Search This Blog

Showing posts with label contoh skripsi pendidikan PKN. Show all posts
Showing posts with label contoh skripsi pendidikan PKN. Show all posts

SKRIPSI PENDIDIKAN PKN UPAYA GURU PKN DALAM MENGEMBANGKAN NILAI NASIONALISME MELALUI MATA PELAJARAN PKN SISWA SMPN X

(KODE : PEND-PKN-0030) : SKRIPSI PENDIDIKAN PKN UPAYA GURU PKN DALAM MENGEMBANGKAN NILAI NASIONALISME MELALUI MATA PELAJARAN PKN SISWA SMPN X


contoh skripsi pendidikan pkn

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan kewarganegaraan menurut Depdiknas (2006 : 1) adalah mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, berkarakter yang diamanatkan oleh pancasila dan UUD 1945.
Pendidikan kewarganegaraan di Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang memiliki komitmen yang kuat dan konsisten untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Hakikat Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kebangsaan modern. Negara kebangsaan modern adalah negara yang pembentukannya didasarkan pada semangat kebangsaan yaitu pada tekad suatu masyarakat untuk membangun masa depan bersama dibawah satu negara yang sama, walaupun warga masyarakat tersebut berbeda-beda agama, ras, etnik atau golongannya. (Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) Jakarta : Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1998 : 200)
Agar nilai-nilai pancasila dan semangat kebangsaan tersebut dapat berkembang melalui PKn, guru mempunyai peran yang sangat penting. Oleh karena itu guru harus mempunyai kriteria khusus. Kriteria tersebut antara lain : a. Memiliki pengetahuan yang benar tentang pancasila, UUD 1945 serta bahan penunjang lainnya, b. Mempunyai keyakinan terhadap pancasila, baik sebagai dasar Negara maupun sebagai pandangan hidup bangsa, c. Memiliki moral yang tercermin dalam sikap dan tingkah laku sehari-hari, d. Menguasai keterampilan mendidik, e. Menguasai metode yang dapat menumbuhkan dan mengembangkan sikap (afektif), f. Menampilkan hubungan guru-siswa yang penuh keakraban, kekeluargaan dan manusiawi, g. Menggunakan media yang memberikan stimuli bagi perkembangan moralitas subjek didik, h. Mampu memilih dan mempergunakan instrumen evaluasi sikap. (Rustopo dan Sutrisno, 1993 : 119-127). Kriteria tersebut adalah mutlak dimiliki oleh guru PKn.
Dengan kriteria tersebut diatas diharapkan dapat menjadi guru PKn dengan baik, sehingga tujuan pengajaran yang telah direncanakan berhasil termasuk mengembangkan nilai-nilai nasionalisme kepada peserta didik. Peran guru dalam proses belajar mengajar akan mempengaruhi hasil belajar siswa. Oleh karena itu guru harus dapat memerankan dengan baik dalam proses belajar mengajar antara lain adalah sebagai pendidik dan pembimbing sikap dan tingkah laku (Rustopo dan Sutrisno, 1993 : 113)
Dalam menampilkan nilai-nilai nasionalisme dalam mata pelajaran PKn, guru harus mampu memilih materi yang tepat, metode yang tepat, dan media yang tepat sehingga siswa dapat menerima pelajaran yang diberikan. Apabila siswa dapat menerima pelajaran yang diberikan, siswa akan mengerti dan memahaminya, yang pada akhirnya dapat menghayati dan mengamalkan nilai nasionalisme dalam kehidupannya. Dengan indikasi mempunyai sikap tidak individualisme, tidak fanatik, cinta tanah air, mengikuti upacara dengan khidmat, suka bekerja sama dan mempunyai semangat kebangsaan. Jika siswa sudah mempunyai nilai-nilai nasionalisme, tugas guru selanjutnya adalah mengembangkannya.
Sesuai hasil observasi awal yang dilakukan peneliti, dalam proses belajar mengajar yang terjadi di SMPN X Kabupaten X, upaya guru dalam meningkatkan nilai nasionalisme belum maksimal, hal ini terlihat banyak siswa kelas 7, 8, 9 SMPN X, masih mempunyai sikap individualisme, egoisme, mengikuti upacara dengan tidak khidmat, kurang mencintai lingkungan, menggunakan fasilitas internet bukan untuk belajar melainkan hanya untuk bermain dan sebagainya.
Berdasarkan alasan diatas maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul "UPAYA GURU PKN DALAM MENGEMBANGKAN NILAI NASIONALISME MELALUI MATA PELAJARAN PKN SISWA SMPN X".

SKRIPSI PENDIDIKAN PKN PERAN INSPEKTORAT DAERAH DALAM PENGAWASAN PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

(KODE : PEND-PKN-0029) : SKRIPSI PENDIDIKAN PKN PERAN INSPEKTORAT DAERAH DALAM PENGAWASAN PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

contoh skripsi pendidikan pkn

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah sebagai implementasi dari amanat Ketetapan MPR Republik Indonesia Nomor XV/MPR/1998, menyebabkan terjadinya pergeseran kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah. Pemerintah pusat secara prinsip, bertanggung jawab untuk menjaga kesatuan nasional, meningkatkan taraf hidup masyarakat, dan bertanggung jawab secara keseluruhan dalam pengelolaan perekonomian nasional. Sedangkan pemerintah daerah bertanggung jawab untuk melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat (public services) di daerahnya.
Pada hakekatnya, otonomi merupakan pelaksanaan konsep berbagi kekuasaan (power sharing) dalam mengelola kehidupan kebangsaan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Power sharing lebih mengutamakan pada aspek pendelegasian kewenangan ke daerah yang diwujudkan dalam bentuk political aspect (aspek politik-kekuasaan negara), dan administrative aspect (aspek administrasi negara). Pendelegasian kewenangan dalam bentuk political aspect berwujud pada keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama. Sedangkan pendelegasian kewenangan dalam bentuk administrative aspect berwujud pada kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi (Rasyid, 2000 : 32).
Berbagai isu permasalahan dan prospek penyelenggaraan pemerintahan daerah, memiliki nilai strategis yang sangat penting untuk segera ditindaklanjuti dengan upaya-upaya penyelesaian yang kongkrit, transparan dan akuntabel berdasarkan kesepakatan diantara berbagai pihak yang berkepentingan, sehingga praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah selalu berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi daerah dan dapat menjamin terwujudnya paradigma kepemerintahan daerah yang baik (good governance).
Secara substansial, otonomi daerah sesungguhnya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan, serta pemeliharaan kehidupan demokrasi, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah, serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan NKRI. Tujuan itulah sesungguhnya yang merupakan perwujudan good governance (Fernanda, 2004 : 21).
Gerakan reformasi nasional di segala bidang pada hakekatnya sejalan dan dilandasi oleh paradigma demokratisasi dan partisipasi masyarakat dalam rangka mewujudkan kepemerintahan yang baik. Kepemerintahan yang baik adalah tata penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan negara bangsa yang memiliki karakteristik ataupun memiliki prinsip-prinsip : (a) partisipasi masyarakat, (b) supremasi hukum (rule of law), (c) transparansi, daya tanggap (responsif), (d) berorientasi konsensus, (e) kesetaraan dalam bentuk kesejahteraan, hak dan kewajiban, dan gender, (f) efektivitas dan efisiensi, (g) akuntabilitas, (h) bervisi strategis, dan (i) keseluruhannya harus dapat diwujudkan secara terpadu dan saling berkaitan satu dengan lainnya. Dengan otonomi daerah, penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat diharapkan dapat diwujudkan dalam bentuk good governance ( Dwiyanto, 2002 : 77 ).
Pemerintahan daerah pada hakekatnya adalah sub-sistem dari pemerintahan nasional dan secara implisit, pembinaan dan pengawasan terhadap Pemerintahan Daerah merupakan bagian integral dari sistem penyelenggaraan pemerintahan. Agar maksud penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan mutu pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta daya saing daerah dapat tercapai sebagaimana yang diharapkan, maka pengawasan sebagai instrumen dalam manajemen organisasi pemerintahan harus berjalan dan terlaksana secara optimal.
Optimalisasi pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah selain untuk mewujudkan cita-cita otonomi daerah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, juga untuk mencegah agar tidak terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang. 
Untuk mencegah terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka pada setiap lini pemerintahan dibentuk lembaga pengawasan internal pemerintah yang secara khusus melaksanakan fungsi pengawasan, yang dilakukan oleh pejabat pengawas pemerintah. Lembaga pengawasan internal pemerintah adalah lembaga yang dibentuk dan secara inheren merupakan bagian dari sistem pemerintahan, yang memiliki tugas pokok dan fungsi dibidang pengawasan. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan oleh Inspektorat provinsi, Kabupaten/kota.
Ismail Mohamat, seperti yang dikutip oleh Pontas R. Siahaan menyatakan peran dan fungsi lembaga pengawasan eksternal (BPK) dan Aparat Lembaga Pengawasan Internal (APIP) meskipun sangat berbeda, tetapi keduanya saling mengisi dan melengkapi. Keduanya merupakan unsur-unsur penting yang diperlukan dan tidak saling menggantikan untuk terselenggaranya ”good governance” dalam manajemen pemerintahan negara. Lembaga pengawasan internal pemerintah diperlukan untuk mendorong terselenggaranya manajemen pemerintahan yang bersih, efektif, dan efisien pada tiap tingkatan pemerintahan, mulai dari presiden, menteri/pimpinan lembaga pemerintah non departemen, gubernur dan Bupati/walikota. Pengawasan internal tidak hanya dilakukan pada saat akhir proses manajemen saja, tetapi berada pada setiap tingkatan proses manajemen. Perubahan paradigma pengawasan internal yang telah meluas dari sekedar ”watchdog” (menemukan penyimpangan) ke posisi yang lebih luas yaitu pada efektivitas pencapaian misi dan tujuan organisasi, mendorong pelaksanaan pengawasan ke arah pemberian nilai tambah yang optimal (Siahaan, 2004 : 6)
Lembaga pengawasan internal pemerintah dalam lingkungan pemerintahan provinsi dan Kabupaten/kota adalah Inspektorat provinsi, Kabupaten/kota. Inspektorat adalah lembaga perangkat daerah yang mempunyai tugas membantu kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang pengawasan dalam wilayah dan jajaran pemerintah, yang secara organisatoris dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya bertanggung jawab kepada kepala daerah (gubernur, Bupati/walikota).
Dengan kedudukan Inspektorat yang demikian, maka independensi dalam pelaksanaan tugas dan fungsi pengawasan akan sulit dilakukan. Karena dengan posisi yang demikian, pengaruh dan intervensi dari kepala daerah tidak dapat dihindari, sehingga terkesan bahwa Inspektorat provinsi, Kabupaten/kota merupakan perangkat daerah yang dibentuk untuk melengkapi syarat formal kelembagaan perangkat daerah, yang dalam melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan terkesan lebih melindungi dan mengamankan kebijakan dan kepentingan pribadi kepala daerah daripada melaksanakan pemerintahan daerah di bidang pengawasan. Anggapan ini barangkali ada benarnya, karena banyak penyimpangan dan kejanggalan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang terindikasi merugikan kepentingan masyarakat luas belum (tidak) tertangani dan teratasi dengan baik. Hal itu menunjukkan, bahwa pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah belum terlaksana dengan optimal.
Optimalisasi pelaksanaan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah belum terlaksana sebagaimana seharusnya, selain karena faktor-faktor tersebut di atas, juga disebabkan oleh beberapa faktor lain, diantaranya faktor ketersediaan sumber daya manusia, faktor anggaran, dan faktor komitmen (”political will”) gubernur, bupati/walikota selaku atasan langsung yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan tugas pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Komitmen kepala daerah sangat penting dan menentukan untuk mewujudkan optimalisasi fungsi pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah, karena secara organisatoris Inspektorat propinsi, Kabupaten/kota adalah lembaga perangkat daerah yang dalam melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan bertanggungjawab kepada kepala daerah. Sehingga akan sulit bagi Inspektorat provinsi, Kabupaten/kota untuk melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan dengan optimal apabila tidak didukung oleh kepala daerah. Kendala-kendala pelaksanaan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana diuraikan di atas juga terjadi dan dialami oleh Inspektorat Kabupaten X, sehingga menghambat dan menyulitkan Inspektorat Kabupaten X untuk melaksanakan pengawasan dengan optimal.
Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka pada kesempatan ini penulis yang sekaligus adalah putra daerah asli Kabupaten X tertarik untuk melakukan penelitian dengan membahas dan memilih judul penelitian tentang : "PERAN INSPEKTORAT DAERAH DALAM PENGAWASAN PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN X".

UPAYA SEKOLAH DALAM MENANAMKAN NILAI-NILAI PLURALISME PADA SISWA SEBAGAI USAHA MEMINIMALISIR ADANYA DISKRIMINASI SOSIAL DI SMAN X

(KODE : PEND-PKN-0028) : SKRIPSI PENDIDIKAN PKN UPAYA SEKOLAH DALAM MENANAMKAN NILAI-NILAI PLURALISME PADA SISWA SEBAGAI USAHA MEMINIMALISIR ADANYA DISKRIMINASI SOSIAL DI SMAN X

contoh skripsi pendidikan pkn

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia merupakan kumpulan masyarakat yang multikultural dan pluralistik di dunia. Di Indonesia ada ratusan suku dan sub-suku dengan ciri khas sosio-kulturalnya masing-masing mempunyai aneka ragam bahasa suku dan sub-suku, ada banyak cara penyembahan kepada Tuhan sesuai situasi kondisi hidup dan kehidupan, bahkan terdapat berbagai macam karakteristik manusia, dan seterusnya.
Kondisi keberagaman masyarakat dan budaya tersebut, secara positif menggambarkan kekayaan potensi masyarakat yang bertipe pluralis, namun secara negatif orang merasa tidak nyaman karena tidak saling mengenal budaya orang lain. Setiap etnik atau ras cenderung mempunyai ideologi yang etnosentris, yang menyatakan bahwa kelompoknya lebih superior dari pada kelompok etnik atau ras lain (Prof. Dr. HM. Amin Abdullah, 2005 : 3)
Terjadinya tidak saling mengenal identitas budaya orang lain, bisa mendorong meningkatnya prasangka terhadap orang lain, berupa sikap antiX yang didasarkan pada kesalahan generalisasi yang diekspresikan sebagai perasaan. Prasangka juga diarahkan kepada sebuah kelompok secara keseluruhan, atau kepada seseorang hanya karena itu adalah anggota kelompok tertentu. Secara demikian, prasangka memiliki potensi dalam mengambinghitamkan orang lain melalui stereotipe, diskriminasi dan penciptaan jarak sosial.
Dalam lingkup kecil di masyarakat contohnya di suatu sekolah, tak jarang sering adanya kasus-kasus perbedaan perlakuan, misalnya; siswa/orang yang mempunyai ekonomi tinggi lebih diprioritaskan daripada yang tingkat ekonominya bisa dibilang rendah, siswa yang memeluk agama minoritas di sekolah tersebut dikesampingkan dari siswa yang memeluk agama mayoritas di sekolah tersebut, siswa yang berasal dari suku lain dikucilkan oleh teman-temannya, dan lain sebagainya. Dari adanya permasalahan-permasalahan tersebut, Sehingga perlu adanya suatu upaya dari sekolah untuk mengubah pemikiran negatif tersebut menjadi suatu kekayaan yang dimiliki oleh sekolah akan banyaknya keberagaman etnik, ras, suku, agama dan bahasa di sekolah, agar siswa berkeinginan untuk mengenal dan menghargai kebudayaan orang lain, dan kesemuanya itu dapat disikapi sebagai kekayaan yang dapat mengembangkan potensi suatu bangsa.
Melihat dari adanya permasalahan-permasalahan yang muncul diatas, nilai-nilai pluralisme mencoba membantu menyatukan keanekaragaman bangsa secara demokratis, dengan menekankan pada perspektif pluralitas masyarakat di berbagai bangsa, etnik, kelompok budaya yang berbeda begitupun perbedaan-perbedaan yang ada di lingkungan sekolah. Dengan demikian lingkup sekolah dikondisikan untuk mencerminkan praktik dari penanaman nilai-nilai pluralisme sejak dini pada seorang individu. Nilai-nilai pluralisme menampakkan aneka kelompok budaya yang berbeda dalam masyarakat, agama, bahasa, dan dialek; dimana para pelajar lebih baik berbicara tentang rasa hormat di antara mereka dan menjunjung tinggi nilai-nilai kerjasama, dari pada membicarakan persaingan dan prasangka diantara sejumlah pelajar yang berbeda dalam hal agama, ras, etnik, budaya dan kelompok status sosialnya.
Pembelajaran berbasis pluralisme didasarkan pada gagasan filosofis tentang kebebasan, keadilan, kesederajatan dan perlindungan terhadap hak-hak manusia. Hakekat nilai-nilai pluralisme mempersiapkan seluruh siswa untuk bekerja secara aktif menuju kesamaan struktur dalam organisasi dan lembaga sekolah. Nilai-nilai pluralisme bukanlah kebijakan yang mengarah pada pelembagaan pendidikan dan pengajaran inklusif yang berperan bagi kompetisi budaya individual. Pembelajaran berbasis pluralisme berusaha memberdayakan siswa untuk mengembangkan rasa hormat kepada orang yang berbeda budaya, memberi kesempatan untuk bekerja bersama dengan orang atau kelompok orang yang berbeda etnis atau rasnya secara langsung. Pembelajaran pluralisme juga membantu siswa untuk mengakui ketepatan dari pandangan-pandangan budaya yang beragam, membantu siswa dalam mengembangkan kebanggaan terhadap warisan budaya mereka, menyadarkan siswa bahwa konflik nilai sering menjadi penyebab konflik antar kelompok masyarakat. Pembelajaran pluralisme diselenggarakan dalam upaya mengembangkan kemampuan siswa dalam memandang kehidupan dari berbagai perspektif budaya yang berbeda dengan budaya yang mereka miliki, dan bersikap positif terhadap perbedaan budaya, ras, dan etnis. Pembelajaran pluralisme dianggap sebagai suatu pendidikan yang penting dalam membangun suatu kebersamaan di atas keberagaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat.
SMAN X merupakan salah satu sekolah yang berbasis "Adiwiyata", yaitu suatu sekolah yang ingin menciptakan lingkungan yang ramah untuk setiap kalangan. Seperti yang kita ketahui sebagai salah satu sekolah Negeri tidak boleh memandang siswanya itu dari segi ekonomi, agama, bahasa, ras, etnis dan lain-lainnya, namun selayaknya harus menanamkan nilai-nilai persatuan agar segala perbedaan itu menjadi suatu kekayaan untuk mengenal budaya lain. Begitu halnya dengan keadaan SMAN X, dimana siswa-siswinya tidak hanya terdiri dari kalangan orang berada semua, dan dari satu golongan agama saja, namun banyak sekali keragaman yang ada di SMAN X.
Dari permasalahan dan latar belakang yang telah di uraikan di atas maka penulis memilih judul "UPAYA SEKOLAH DALAM MENANAMKAN NILAI-NILAI PLURALISME PADA SISWA SEBAGAI USAHA MEMINIMALISIR ADANYA DISKRIMINASI SOSIAL DI SMAN X" dalam penulisan skripsi ini.

SKRIPSI PENDIDIKAN PKN PERAN GURU PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKN) DALAM MENGEMBANGKAN CIVIC SKILL PARTICIPATION DI SMAN X

(KODE : PEND-PKN-0027) : SKRIPSI PENDIDIKAN PKN PERAN GURU PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKN) DALAM MENGEMBANGKAN CIVIC SKILL PARTICIPATION DI SMAN X

contoh skripsi pendidikan pkn

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan dapat didefinisikan sebagai humanisasi atau upaya memanusiakan manusia. Yaitu upaya untuk membantu manusia untuk dapat berinteraksi sesuai martabatnya sebagai manusia sebab manusia menjadi manusia yang sebenarnya jika ia mampu merealisasikan hakekatnya secara total maka pendidikan hendaknya merupakan upaya yang dilaksanakan secara sadar yang bertitik tolak pada asumsi tentang hakekat manusia (Maida. 2012 : 09).
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dalam proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengenalan diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan meliputi pengajaran berupa keahlian khusus, dan juga sesuatu yang tidak dapat dilihat tetapi lebih mendalam yaitu pemberian pengetahuan.
Pendidikan nasional memiliki peranan yang sangat penting bagi warga negara. Pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap tuhan yang maha esa dan berbudi pekerti luhur, mempunyai pengetahuan dan keterampilan kesehatan jasmani dan rohani kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa bertanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Oleh karena itu setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh pendidikan.
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dipandang sebagai mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-haknya sebagai warga negara indonesia yang cerdas, terampil dan berkarakter yang diamanatkan melalui Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu tidak tepat jika di dalam proses pembelajaran guru hanya menitik beratkan pada pengukuran pengetahuan saja tetapi harus menanamkan berbagai aspek kognitif, afektif dan psikomotorik secara seimbang agar dapat membentuk warganegara yang ideal Warganegara harus mempunyai beberapa kompetensi ideal, ada 3 (tiga) Kompetensi ideal seorang warganegara, Civic Knowledge (pengetahuan kewarganegaraan), Civic Disposition (karakter kewarganegaraan), Civic Skill (keterampilan warganegara). Selanjutnya civic skill terdiri atas civic skill intelektual (keterampilan intelektual warganegara) dan Civic skill participation (keterampilan partisipasi warganegara).
Melalui pendidikan Kewarganegaraan (PKn) anak dapat dididik menjadi warga negara yang memiliki kompetensi ideal untuk berpartisipasi aktif di dalam masyarakat, hal ini menjadi peran utama dari pendidikan kewarganegaraan karena salah satu tujuan dari pendidikan kewarganegaraan adalah untuk membentuk warganegara yang dapat berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab serta bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
Anak adalah warganegara hipotetis yaitu warganegara yang "belum jadi" karena masih harus dididik menjadi warganegara dewasa yang sadar akan hak dan kewajibannya. Oleh karena itu masyarakat sangat mendambakan generasi mudanya dipersiapkan untuk menjadi warganegara yang baik dan dapat berpartisipasi di dalam kehidupan masyarakat dan negaranya (Winarno. 2009 : xi).
Partisipasi warganegara sangat penting untuk kemajuan negara indonesia yang menganut sistem demokrasi karena partisipasi warga masyarakat berada dalam konteks governance, yakni korelasi antara negara (pemerintah) dan rakyat. Negara adalah pusat kewenangan dan kebijaksanaan yang mengatur (mengelola) alokasi barang-barang (sumber daya publik serta sosial).
Sedangkan di dalam masyarakat terdapat hak sipil dan hak politik dengan demikian partisipasi adalah jembatan penghubung antara negara dan masyarakat (Ginting. 2012 : 99).
Secara umum dalam sistem pemerintahan yang demokratis selalu mengandung unsur-unsur penting yang mendasar yaitu : 
1. Partisipasi warganegara dalam pembuatan keputusan politik.
2. Tingkat persamaan tertentu diantara warganegara.
3. Tingkat kebebasan atau kemerdekaan tertentu yang diakui dan dipakai oleh warganegara.
4. Suatu sistem perwakilan.
5. Suatu sistem pemilihan kekuasaan mayoritas.
Berdasarkan unsur-unsur tersebut maka demokrasi mengandung ciri yang mengandung patokan yaitu setiap sistem demokrasi adalah ide bahwa warga negara seharusnya terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dengan melalui wakil pilihan mereka. Ciri lain yang tidak boleh diabaikan adanya keterlibatan atau partisipasi warganegara baik secara langsung maupun tidak langsung di dalam proses pemerintahan negara (Kaelan. 2007 : 69).
Mengingat pentingnya partisipasi warganegara maka pengembangan keterampilan partisipasi warganegara (Civic skill participation) harus dilakukan secara baik dan maksimal, tentu saja ini merupakan tujuan dari mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
Namun keberhasilan pendidikan kewarganegaraan (PKn) juga bergantung pada peran guru dalam mendidik, Guru PKn pada hakekatnya merupakan komponen manusiawi dalam proses belajar mengajar yang berperan dalam usaha pembentukan sumberdaya manusia (SDM), oleh sebab itu guru salah satu unsur di dalam pendidikan harus berperan aktif sebagai tenaga profesional sesuai tuntutan masyarakat yang semakin berkembang artinya bahwa guru bertanggung jawab untuk membawa siswanya pada suatu kecerdasan dan taraf kematangan tertentu dengan kriteria guru PKn mengetahui pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai keyakinan dan pandangan hidup bangsa memiliki nilai-nilai moral pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari (Haryati. 2005 : 109).
Guru tidak semata-mata sebagai "pengajar" yang melakukan transfer of knowledge tetapi juga sebagai pendidik yang melakukan "transfer of values" dan sekaligus sebagai pembimbing yang memberikan pengarahan dan menuntun siswa dalam belajar. Berkaitan dengan ini sebenarnya guru mempunyai peran yang unik dan sangat kompleks dalam partisipasi belajar-mengajar, dan usahanya mengantar siswa atau anak didik ke taraf yang dicita-citakan. Oleh karena itu setiap rencana kegiatan guru harus dapat didudukkan dan dibenarkan semata-mata demi kepentingan anak didik, sesuai dengan profesi dan tanggung jawabnya (Sardiman A.M. 2011 : 125).
Pada pasal 28 ayat 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan menyatakan bahwa ada empat kompetensi yang harus dimiliki guru sebagai agen pembelajaran. Keempat kompetensi itu adalah Kompetensi Pedagogi, Kompetensi Kepribadian, Kompetensi Profesional dan kompetensi Sosial (Maida. 2012 : 15).
Dalam mendidik guru harus memperhatikan 3 (tiga) aspek yaitu : 
1. Kognitif.
Aspek kognitif adalah aspek yang menekankan pada pengetahuan siswa serta konsep-konsep ilmu yang diberikan oleh guru.
2. Afektif.
Aspek Afektif adalah aspek yang menekankan pada pembentukan kepribadian atau sikap para peserta didik.
3. Psikomotorik.
Aspek psikomotorik adalah aspek yang menekankan pada kelakuan, keterampilan dan penampilan. 
Tiga aspek tersebut harus diperhatikan oleh guru agar pembelajaran dan tujuan dari pembelajaran dapat terwujud dengan baik. Jika meninjau dari aspek di atas maka keterampilan berpartisipasi warganegara (Civic skill participation) masuk ke dalam ranah Psikomotorik, namun pada kenyataannya proses pendidikan hanya menekankan pada aspek Kognitif yaitu pemberian materi serta penanaman konsep Pendidikan Kewarganegaraan dan pada aspek afektif berupa pendidikan karakter atau penanaman nilai sedangkan aspek psikomotorik yang menekankan pada keterampilan siswa SMAN X kurang ditekankan sehingga keterampilan berpartisipasi warganegara (civic skill participation) yang dimiliki siswa tidak dapat berkembang dan diaplikasikan di dalam masyarakat, siswa akan menjadi warganegara yang pasif yang hanya mengerti serta mempunyai sifat kewarganegaraan saja sedangkan partisipasinya sebagai warganegara kurang dikembangkan. Oleh karena itu peran guru dalam mengembangkan kemampuan partisipasi warganegara (civic skill participation) yang dimiliki oleh siswa sangat penting untuk membentuk warganegara yang ideal.

SKRIPSI PENDIDIKAN PKN PENGEMBANGAN SIKAP DEMOKRATIS SISWA DALAM MAPEL PKN DI SMK

(KODE : PEND-PKN-0026) : SKRIPSI PENDIDIKAN PKN PENGEMBANGAN SIKAP DEMOKRATIS SISWA DALAM MAPEL PKN DI SMK

contoh skripsi pendidikan pkn

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar belakang Masalah
Dinamika pengembangan kehidupan berbangsa dan bernegara ditandai oleh semakin tingginya tuntutan masyarakat diberbagai bidang menuju kehidupan masyarakat yang lebih demokratis, sejahtera dan berkeadilan (Winatamaputra, 2006 : l).Sikap demokratis sangat diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Karena dengan dimilikinya sikap demokratis segala kepentingan yang berbeda, keinginan dan pendapat yang berbeda dapat dipersatukan.
Sikap demokratis adalah sikap yang bersedia menerima perbedaan pendapat, mengutamakan kepentingan bersama dan menghormati pendapat orang lain (Tijan, dkk, 2004 : 122). Hal ini sesuai dengan nilai- nilai Pancasila terutama sila ke- IV, sikap demokratis yang dimiliki oleh siswa perlu dikembangkan oleh guru. Dalam mengembangkan sikap demokratis guru hendaknya memposisikan siswa sebagai insan yang harus dihargai kemampuannya dan diberi kesempatan untuk mengembangkan potensinya. Menurut Budimansyah (2002 : 5-7) mengatakan bahwa pembelajaran demokratis (democratic teaching) adalah suatu bentuk upaya menjadikan sekolah sebagai pusat kehidupan demokrasi melalui proses pembelajaran yang demokratis. Secara singkat democratic teaching adalah proses pembelajaran yang dilandasi oleh nilai-nilai demokrasi, yaitu penghargaan terhadap kemampuan, menjunjung keadilan, menerapkan persamaan kesempatan, dan memperhatikan keragaman siswa.
Salah satu mata pelajaran di sekolah yang mengembangkan sikap demokratis adalah mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan dari Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) yang tercantum dalam Permendiknas No. 22 tahun 2006 yaitu" siswa dapat berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya".
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan salah satu mata pelajaran di sekolah yang bertujuan untuk mempersiapkan warganegara muda agar mampu berpartisipasi secara efektif, demokratis dan bertanggung jawab. Sebagai mata pelajaran yang berupaya mewujudkan warga negara yang baik dan cerdas (good and smart citizen), maka Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) harus dikemas dalam pembelajaran yang memberikan keleluasaan pada siswa untuk berperan aktif dalam proses pembelajaran agar siswa terbiasa berpartisipasi dan bersikap demokratis.
Pada saat ini siswa belum menunjukkan sikap demokratis dalam pergaulan sehari-hari, seperti sikap kurang menghormati dan kurang bertanggung jawab, kurang kritis dalam berfikir, masih tertutup serta kurang jujur dan adil. Oleh karena itu sikap demokratis perlu dikembangkan di SMK X. Banyak siswa SMK X yang masih pasif, belum berani untuk menyatakan pendapat, serta kurang menghargai pendapat temannya. Sikap demokratis pada diri siswa dapat dikembangkan melalui proses belajar mengajar, terutama pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), karena siswa hanya dituntut untuk kognitifnya saja tanpa memperhatikan perkembangan afektifnya. Jadi sikap demokratis siswa perlu dikembangkan, sehingga perkembangan kognitif siswa harus diimbangi dengan perkembangan afektif siswa.
Berdasarkan alasan tersebut, maka diharapkan dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di sekolah dapat membimbing siswa sebagai generasi penerus dan bagian dari warga negara untuk memahami nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, khususnya sila IV untuk selanjutnya dapat menumbuhkan sikap demokratis siswa. Nilai moral sila IV akan menjadi pedoman dalam pengembangan sikap perilaku yang demokratis.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik mengadakan penelitian yang berjudul "PENGEMBANGAN SIKAP DEMOKRATIS SISWA DALAM MATA PELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKN) DI SMK X".

SKRIPSI PENDIDIKAN PKN PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TWO STAY TWO STRAY TERHADAP HASIL BELAJAR PKN SISWA KELAS IV

(KODE : PEND-PKN-0025) : SKRIPSI PENDIDIKAN PKN PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TWO STAY TWO STRAY TERHADAP HASIL BELAJAR PKN SISWA KELAS IV

contoh skripsi pendidikan pkn

BAB I
PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang Masalah
Proses pengajaran yang baik adalah yang dapat menciptakan proses belajar mengajar yang efektif dengan adanya komunikasi dua arah antara guru dengan siswa yang tidak hanya menekan apa yang dipelajari tetapi menekan bagaimana ia harus belajar. Salah satu alternatif untuk pengajaran tersebut adalah menggunakan model pembelajaran Two Stay Two Stray (TSTS). Penerapan model pembelajaran yang bervariasi akan mengatasi kejenuhan siswa sehingga dapat dikatakan bahwa model pembelajaran sangat berpengaruh terhadap tingkat pemahaman siswa dan hasil belajar siswa.
Model penyampaian masalah sangat berpengaruh terhadap keberhasilan siswa dalam mempelajari pokok bahasan tertentu. Bisa dikatakan bahwa ini merupakan kemasan yang dibuat untuk membungkus materi agar lebih mudah dipahami, menarik, tidak menjenuhkan sehingga tujuan dari pengajaran yang dilakukan dapat tercapai. Model pembelajaran biasanya dijadikan sebagai parameter untuk melihat sejauh mana siswa dapat menerima dan menerapkan materi yang disampaikan guru dengan mudah dan menyenangkan dengan model yang diterapkan.
Masalah yang dihadapi seorang guru yaitu karena siswa bukan hanya sebagai makhluk individu dengan segala keunikannya, tetapi juga sebagai makhluk sosial dengan latar belakang yang berlainan. Paling sedikit ada tiga aspek yang membedakan siswa yang satu dengan lainnya, yaitu aspek intelektual, psikologis, dan biologis. Maka dari itu terkait dengan masalah yang terpapar di atas seorang guru dituntut untuk lebih selektif dalam mengembangkan pembelajarannya.
Pembelajaran yang berkualitas harus mampu memberikan pengalaman sukses pada siswa. Pengalaman sukses yang dimaksud adalah adanya perasaan yang menyenangkan dan membanggakan bagi siswa sebagai akibat telah berhasil menyelesaikan atau memecahkan sesuatu. Pengalaman sukses yang diperoleh siswa akan menumbuhkan percaya diri. Pengalaman sukses juga akan menumbuhkan motivasi siswa untuk belajar lebih lanjut. Sebaliknya, jika siswa tidak mendapatkan pengalaman sukses dari proses pembelajaran maka siswa akan menemui kegagalan. Sebagaimana kita ketahui bahwa sasaran akhir dari suatu program pembelajaran adalah tercapainya tujuan umum pembelajaran tersebut. Oleh karana itu, setiap perancang harus mempertimbangkan secara mendalam tentang rumusan tujuan umum pengajaran yang akan ditentukan. Proses pembelajaran diharapkan berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa untuk bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil (Sugiyanto, 2010 : 16).
Kegiatan belajar mengajar merupakan suatu kegiatan yang bernilai edukatif. Nilai edukatif mewarnai nilai interaksi yang terjadi antara guru dengan siswa. Guru dengan sadar merencanakan kegiatan pengajarannya secara sistematis dengan memanfaatkan segala sesuatunya guna kepentingan pengajaran. Keinginan yang tidak pernah sirna dan selalu guru tuntut adalah bagaimana bahan pelajaran yang disampaikan guru dapat dikuasai oleh siswa secara tuntas.
Mata pelajaran PKn di SD berfungsi untuk menyiapkan warganegara yang cerdas, dan bertanggungjawab, serta berkeadaban (Kaelan, 2007 : 1). Kebanyakan guru SD pada saat penyampaian materi ini guru hanya menggunakan metode ceramah sehingga siswa kurang berminat untuk memperhatikan materi yang disampaikan guru. Oleh karena guru itu perlu menggunakan metode pembelajaran yang bisa membuat siswa menjadi tertarik dan tidak bosan saat mengikuti pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang bisa digunakan adalah model pembelajaran Two Stay Two Stray (TSTS).
Solusi pembelajaran Two Stay Two Stray diharapkan dapat mengatasi masalah karena model ini menuntut guru untuk mengembangkan bahan ajar serta media yang nantinya akan diimplementasikan dalam proses pembelajaran sehingga dapat menciptakan pembelajaran yang inovatif. 
Model pembelajaran Two Stay Two Stray (TSTS) diharapkan dapat membuat siswa menjadi tertarik dan termotivasi dalam pembelajaran PKn khususnya materi globalisasi, sehingga diharapkan akan berpengaruh positif terhadap prestasi belajar PKn siswa kelas IV SD. 

SKRIPSI PENDIDIKAN PKN PENGARUH MIND MAP TERHADAP HASIL BELAJAR PKN SISWA KELAS V

(KODE : PEND-PKN-0024) : SKRIPSI PENDIDIKAN PKN PENGARUH MIND MAP TERHADAP HASIL BELAJAR PKN SISWA KELAS V

contoh skripsi pendidikan pkn

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan pada dasarnya merupakan proses untuk membantu manusia dalam mengembangkan potensi dirinya sehingga mampu menghadapi setiap perubahan yang terjadi. Sejalan dengan perkembangan masyarakat dewasa ini, pendidikan banyak menghadapi berbagai tantangan dan hambatan. Salah satu tantangan yang cukup menarik adalah masih rendahnya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, "Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dalam proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang dibutuhkan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara". Dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar mengajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Hal ini berarti berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung kepada bagaimana proses belajar yang dialami oleh siswa sebagai peserta didik.
Untuk mengembangkan potensi diri peserta didik maka seorang pendidik perlu menguasai empat kompetensi guru, yakni, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Peran seorang guru sebagai pengembang ilmu sangat besar untuk memilih dan melaksanakan pembelajaran yang tepat dan efisien bagi peserta didik, bukan hanya pembelajaran yang berbasis konvensional. Hal ini selaras dengan pendapat (Hamalik, 2012 : 32) Bagaimanapun baiknya kurikulum, administrasi, dan fasilitas perlengkapan, kalau tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas guru-gurunya tidak akan membawa hasil yang diharapkan. Hal ini membuktikan bahwa peran guru dalam pendidikan atau proses pembelajaran lebih vital dibandingkan yang lain, maka kompetensi guru harus senantiasa ditingkatkan, agar tujuan pendidikan dapat tercapai.
Kenyataan di lapangan adalah berbanding terbalik dengan teori yang ada, kenyataannya saat ini profesi guru malah sering terkait dengan hal yang negatif, terutama dari segi kedisiplinan. Untuk masalah waktu atau kedisiplinan saja kurang, bagaimana dengan tanggung jawab seorang guru dalam merencanakan pembelajaran yang baik? Hal inilah yang mulai menjadi sorotan dari banyak pihak, maka dari itu kesadaran pihak guru sendiri akan pentingnya dirinya dalam kemajuan pendidikan Indonesia harus selalu tertanam, sehingga akan selalu berperan aktif dan memberikan yang terbaik dalam setiap perjalanannya.
Pembelajaran yang baik dapat ditunjang dari suasana pembelajaran yang kondusif serta hubungan komunikasi antara guru dan peserta didik dapat berjalan dengan baik pula, namun kebanyakan yang terjadi adalah guru yang mendominasi dalam proses pembelajaran tersebut. Guru secara pasti menjadi sumber ilmu yang paling utama dalam proses pembelajaran yang berlangsung, sehingga siswa hanya menjadi pendengar setia, dan tentunya tidak akan terjadi komunikasi yang baik antara keduanya, karena segalanya dikuasai oleh guru. Hal ini serupa dengan pendapat (Trianto, 2007 : 1) "bahwa dalam arti yang lebih substansial, proses pembelajaran hingga dewasa ini masih memberikan dominasi guru dan tidak memberikan akses bagi anak didik untuk berkembang secara mandiri melalui penemuan dan proses berfikirnya". Proses belajar mengajar merupakan interaksi yang dilakukan antara guru dengan peserta didik dalam suatu situasi pendidikan atau pengajaran untuk mewujudkan tujuan yang ditetapkan. Seorang guru harus di tuntut kemampuannya untuk menggunakan berbagai metode, model, dan media mengajar secara bervariasi.
Belajar PKn pada umumnya terlihat mudah, karena mata pelajaran PKn tidak terdapat materi hitung menghitung. Dengan pandangan bahwa secara umum proses hitung menghitung kebanyakan adalah hal yang tidak disukai oleh siswa, padahal sebenarnya belajar PKn cenderung rumit dibandingkan dengan mata pelajaran yang lain. Pembelajaran PKn adalah pembelajaran yang membutuhkan ketelitian dan konsentrasi tinggi, karena konsep pembelajaran PKn itu sendiri adalah ilmu yang mempelajari apa yang seharusnya dilakukan dalam kehidupan nyata, jadi memerlukan konsentrasi dan pemahaman materi yang tinggi, dan juga menjadikan keharusan bagi guru untuk menyampaikan materi secara benar, sehingga tidak terjadi salah konsep dalam penyampaiannya kepada peserta didik. Kesalahan konsep dari guru dalam penyampaian materi PKn akan berakibat fatal bagi proses kehidupan dan interaksi sosial dari peserta didik, baik untuk saat itu maupun kehidupan siswa ke depan. Fakta yang ada, siswa bahkan guru sering menganggap remeh pelajaran PKn, masih menganggap sebagai mata pelajaran yang mudah. Hal inilah yang nantinya akan menimbulkan berbagai masalah.
Berdasarkan observasi di SDN X, hasil belajar mata pelajaran PKn masih rendah dibandingkan mata pelajaran yang lain. Menurut guru kelas V di SD tersebut, siswa seringkali merasa jenuh, terlebih di waktu menjelang akhir pembelajaran dan dengan otomatis kejenuhan tersebut menjadikan siswa menyepelekan pembelajaran. Banyak siswa acuh tak acuh, tidak memperhatikan guru dan pembelajaran, bahkan hanya tidur-tiduran sampai sibuk sendiri dengan teman sebangkunya. Saat proses pembelajaran berlangsung, sebagian anak sering bercanda sendiri di belakang dan tidak mendengarkan penjelasan dari guru, sehingga pelajaran kurang efektif, secara otomatis akan mengganggu konsentrasi siswa yang lain. Hal ini dikarenakan kurangnya ketertarikan siswa dalam kegiatan pembelajaran yang disajikan oleh guru dengan pembelajaran yang berbasis ceramah saja, sehingga mengakibatkan siswa bosan dalam mengikuti pelajaran. Secara pasti hal ini akan berpengaruh terhadap hasil belajar yang dicapai siswa dalam mata pelajaran PKn.
Sebenarnya mata pelajaran PKn sangat membutuhkan konsentrasi yang lebih dibandingkan mata pelajaran yang lain baik dari pihak guru ataupun siswa sendiri, karena kebanyakan materi mata pelajaran PKn adalah sesuatu yang akan dialami dalam kehidupan sehari-hari, seperti halnya hak dan kewajiban sebagai warga negara, perilaku yang tepat dalam kehidupan, membahas tentang norma, adat istiadat dan sebagainya. Itu semua adalah materi penting, jadi harus dipelajari sefokus mungkin agar siswa tidak salah tangkap atau salah persepsi dengan materi yang diajarkan oleh guru.
Mengacu pada berbagai macam aspek pembelajaran tersebut guru harus memilih dan menggunakan inovasi-inovasi pembelajaran yang tepat untuk menumbuhkan minat dan ketertarikan siswa dalam mengikuti pembelajaran, sehingga diharapkan juga hasil belajar akan meningkat. Salah inovasi yang harus dilakukan guru yaitu dengan menggunakan model dan media pembelajaran yang menarik. Model dan media pembelajaran seharusnya tidak hanya disamakan semua, karena setiap media dan model pembelajaran mempunyai fokus dan tujuan pembelajaran yang berbeda. Tingkat ketertarikan yang rendah dalam mengikuti pembelajaran pada anak bukan semata-semata akibat dari guru atau komponen sekolah saja, namun dari pihak keluarga (orangtua) juga ikut berperan aktif dalam menumbuhkan atau menjaga ketertarikan, semangat, serta motivasi belajar anak-anak mereka. Peran aktif keluarga (orangtua) sendiri adalah dengan cara selalu menanyakan apa yang didapatkan anak saat berada di sekolah serta mendampingi anak-anaknya dalam belajar, hal ini selaras dengan pendapat Li em Hwie Nio dalam (Kartono, 1985 : 89) Pentingnya belajar di rumah setiap hari semakin terasa, yaitu saat anak-anak mulai menggunakan sebagian daya ingatnya, untuk belajar menghitung, menghafalkan sesuatu lebih banyak serta sedikit berfantasi untuk mempermudah menangkap nilai kehidupan yang belum terjangkau oleh panca inderanya.
Orangtua selayaknya selalu mendampingi anak-anak mereka dalam belajar, sehingga mereka dapat mengetahui perkembangan-perkembangan apa yang terjadi pada anak-anak mereka setiap harinya. Memang bukan hal mudah bagi orangtua untuk mendampingi anaknya belajar di rumah, mungkin karena kesibukan masing-masing, namun memang tidak dapat dipungkiri bahwa hal ini sangat penting untuk menjaga keinginan, semangat dan motivasi belajar anak baik di sekolah maupun di tempat lain. Jadi untuk menumbuhkan dan menjaga semangat belajar anak peran aktif orangtua dan guru sangat diperlukan.
Piaget (dalam Fatimah, 2006 : 25) menyatakan bahwa kecakapan intelektual yang diperoleh seseorang pada umumnya akan berhubungan dengan proses mencari keseimbangan antara apa yang mereka rasakan dan mereka ketahui pada satu sisi dengan apa yang mereka lihat suatu fenomena bam sebagai pengalaman atau persoalan. Dari pendapat tersebut berarti bahwa proses pembelajaran akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan pada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang dijumpai dalam hidupnya.
Model pembelajaran mind map adalah cara termudah untuk menempatkan informasi ke dalam otak dan mengambil informasi ke luar dari otak. Mind map adalah cara mencatat yang kreatif, efektif, dan secara harfiah akan "memetakan" pikiran-pikiran kita (Buzan, 2009 A). Mind map sendiri secara sederhana dapat diartikan sebagai cara mencatat yang cerdas. Maksudnya adalah sistem menulis yang cerdas dengan cara memikirkan dan menulis sub bab atau hal-hal penting dalam suatu tema, sehingga dapat mengingat dengan mudah. Mengapa harus mind map? karena model pembelajaran ini dikira cukup baik dan cocok untuk digunakan dalam pembelajaran PKn, karena konsep dasar mind map sendiri adalah membuat cabang-cabang yang bertuliskan kalimat-kalimat penting atau kalimat pokok dari suatu tema yang ada atau ditentukan, jadi akan memudahkan siswa untuk mengembangkan pikirannya masing-masing, serta mengurangi kemungkinan siswa lupa tentang apa yang akan dikatakan atau dikembangkannya.
Pada kenyataannya ketertarikan siswa dalam belajar PKn rendah dibandingkan dengan mata pelajaran yang lain, Hal ini mungkin karena ada anggapan dari guru bahwa pelajaran PKn adalah pembelajaran yang mudah, dengan cara sederhanapun siswa akan paham dengan materi yang dijelaskan, berbeda dengan mata pelajaran yang lain yang mungkin sedikit banyak sudah mendapatkan sentuhan-sentuhan pembelajaran yang kreatif dan menyenangkan. Mungkin ada anggapan mata pelajaran yang lain lebih penting, atau mungkin ada alasan yang lain. Cenderung ada pengecualian untuk mata pelajaran PKn sendiri. Anggapan seperti inilah yang seharusnya dihilangkan, pengecualian dalam sebuah pembelajaran itu tidak seharusnya ada, karena semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah itu sama pentingnya, sehingga harus mendapatkan porsi yang sama dalam pelaksanaannya.
Berdasarkan rumusan di atas, penggunaan model pembelajaran mind map dalam pembelajaran PKn, sangat membantu menumbuhkan kreativitas anak dalam berpikir dan mencatat, sehingga sedikit banyak akan berpengaruh dengan hasil belajar yang akan dicapai siswa. Untuk itu peneliti mencoba menggunakan model pembelajaran mind map untuk mengetahui seberapa besar pengaruhnya terhadap hasil belajar PKn siswa kelas V di SDN X.

SKRIPSI PENDIDIKAN PKN KESADARAN HUKUM MASYARAKAT TENTANG PERKAWINAN DI BAWAH UMUR TERHADAP HAK ANAK MENURUT UU NO. 1 TH 1974 DAN UU NO.23 TH 2002

(KODE : PEND-PKN-0023) : SKRIPSI PENDIDIKAN PKN KESADARAN HUKUM MASYARAKAT TENTANG PERKAWINAN DI BAWAH UMUR TERHADAP HAK ANAK MENURUT UU NO. 1 TH 1974 DAN UU NO. 23 TH 2002

contoh skripsi pendidikan pkn

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Maraknya pelanggaran hukum terhadap hak-hak anak sekarang ini menjadi perdebatan yang luas oleh khalayak ramai, ada orang tua yang tega menggauli anaknya sendiri ada pula orang tua yang tega menjual bahkan menikahkan anak yang masih di bawah umur karena alasan-alasan yang sebenarnya tidak dapat diterima oleh anak, hal ini membuktikan bahwa kurang adanya kesadaran hukum dari orang tua maupun masyarakat terhadap hak anak yang mana kesadaran itu sendiri menurut Sudikno Mertokusumo merupakan sesuatu tentang apa yang seyogyanya kita lakukan atau perbuat atau yang seyogyanya tidak kita lakukan atau perbuat terutama terhadap orang lain.
Anak sebagai generasi muda, merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa. Anak merupakan modal pembangunan yang akan mempertahankan, memelihara dan mengembangkan hasil pembangunan yang ada. Oleh karena itu, Anak memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi dan seimbang. Kedudukan anak dalam hukum adalah sebagai Subyek Hukum di tentukan dari bentuk dan si stem terhadap anak sebagai kelompok masyarakat dan tergolong tidak mampu atau di bawah umur. (UU No. 23 Tahun 2002).
Dalam Hukum Positif Indonesia yang mengatur tentang Perkawinan tertuang dalam UU No. l Tahun 1974 menyatakan bahwa "Perkawinan adalah Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (Rumah Tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
Bagi Perkawinan tersebut tentunya di perbolehkan bagi mereka yang telah memenuhi batasan usia untuk melangsungkan perkawinan seperti dalam Pasal 7 ayat 1 UU No. l Tahun 1974 yang berbunyi "Batasan usia untuk melangsungkan perkawinan itu pria telah berusia 19 (Sembilan belas) Tahun dan wanita telah mencapai usia 16 (Enam belas) Tahun". Secara eksplisit ketentuan tersebut di jelaskan bahwa setiap perkawinan yang dilakukan oleh calon pengantin prianya yang belum berusia 19 tahun atau wanitanya belum berusia 16 tahun disebut sebagai "Perkawinan di bawah umur". Bagi perkawinan di bawah umur ini yang belum memenuhi batas usia perkawinan, pada hakikatnya di sebut masih berusia muda (anak-anak) yang ditegaskan dalam Pasal 81 ayat 2 UU No. 23 Tahun 2002, "Bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, dikategorikan masih anak-anak termasuk anak yang masih dalam kandungan, apabila melangsungkan perkawinan tegas di katakan adalah perkawinan di bawah umur.
Hal semacam ini merupakan suatu pemangkasan kebebasan hak anak dalam memperoleh Hak hidup sebagai remaja yang berpotensi untuk tumbuh, berkembang dan berpotensi secara positif sesuai apa yang di garis bawahi agama. Jika anak masih berusia muda bisa dikatakan kekerasan dan diskriminasi terhadap anak-anak seperti yang telah di jelaskan dalam Pasal 81 ayat 2 UU No. 23 Tahun 2002, dalam ayat itu di jelaskan bahwa "Barang siapa dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan hubungan persetubuhan dengannya atau orang lain maka ia dapat di pidanakan atau di denda sedikitnya 60 juta", jadi jelas bagi orang tua berkewajiban mencegah adanya perkawinan di bawah umur.
Namun kenyataannya perkawinan di bawah umur merupakan peristiwa yang di anggap wajar dan lazim dalam masyarakat Indonesia, tidak terkecuali pula bagi masyarakat di Desa X, yang di huni sekitar 8958 penduduk. Adanya penelitian terdahulu juga membuktikan bahwa terjadinya perkawinan di bawah umur banyak di pengaruhi oleh faktor rendahnya pendidikan seseorang dan adanya anggapan bahwa wanita pada dasarnya selalu berada di dapur, mereka mengemban tugas untuk melayani suami dan mendidik anak .
Pemikiran di atas tentu sangat kontras dengan perkembangan IPTEK saat ini dan seolah menjadi hal yang menarik perhatian, karena bagaimanapun pemikiran semacam ini nyatanya mampu mengikis serta mematahkan semangat anak untuk berkarya dan berkembang, baik secara fisik, mental maupun sosial sesuai dengan tingkat kematangannya.
Orang tua kurang menyadari bahwa pemaksaan kehendak terhadap anak adalah bentuk diskriminasi dan eksploitasi, hal ini melanggar hak anak termasuk melanggar hukum positif yang berlaku di Indonesia, yaitu sebagaimana yang terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Mengingat pentingnya kesadaran hukum masyarakat tentang perkawinan di bawah umur terhadap hak anak, serta akibat yang akan di timbulkan atas pelanggaran tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul "KESADARAN HUKUM MASYARAKAT TENTANG PERKAWINAN DI BAWAH UMUR TERHADAP HAK ANAK MENURUT UU NO. 1 TAHUN 1974 DAN UU NO.23 TAHUN 2002".

SKRIPSI PENDIDIKAN PKN KEEFEKTIFAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP HASIL BELAJAR PKN PADA SISWA KELAS IV

(KODE : PEND-PKN-0022) : SKRIPSI PENDIDIKAN PKN KEEFEKTIFAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP HASIL BELAJAR PKN PADA SISWA KELAS IV

contoh skripsi pendidikan pkn

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Proses pendidikan di Indonesia diselenggarakan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan tertentu yang telah ditentukan oleh pemerintah. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab II pasal 3, Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Grafika, 2009 : 7).
Berdasarkan undang-undang di atas, proses pendidikan sangatlah penting dalam rangka membentuk generasi penerus bangsa yang berkualitas dengan watak yang baik, berbudi pekerti luhur, kreatif, cerdas, bertanggung jawab, serta menjadi warga negara yang aktif memajukan dan mengembangkan bangsa Indonesia. Jika tujuan pendidikan nasional tercapai maka pendidikan di Indonesia akan menghasilkan siswa-siswa yang cerdas, aktif, dan hasil belajarnya baik sehingga menjadi generasi penerus bangsa yang dapat berperan serta aktif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Guru sebagai pendidik di sekolah harus selalu berusaha mewujudkan tujuan dari Pendidikan Nasional Indonesia melalui proses pembelajaran yang mengaktifkan siswa. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pada bab IV pasal 19 ayat 1 (Depdiknas, 2005 : 17) yang menyatakan bahwa "proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan mang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik". Proses pembelajaran yang dilakukan dengan menyenangkan dan interaktif diharapkan dapat membuat siswa menjadi lebih aktif, cerdas, dan hasil belajarnya baik sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
Namun, pada kenyataannya tujuan dari Pendidikan Nasional belum tercapai secara optimal seperti adanya siswa yang kurang aktif dalam pembelajaran atau hasil belajar siswa yang rendah. Hal tersebut terjadi karena proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru belum dilakukan secara optimal sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Guru dalam melaksanakan pembelajaran masih menggunakan model pembelajaran yang konvensional berupa ceramah yang cenderung membosankan. Hal tersebut membuat siswa kurang aktif dalam pembelajaran sehingga tujuan pembelajaran belum tercapai secara optimal dan hasil belajar siswa masih rendah.
Peristiwa tentang rendahnya hasil belajar siswa ditemukan oleh peneliti di kelas IV SDN X pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Kelas IV di SDN X terdiri atas empat kelas paralel yaitu kelas IVA, kelas IVB, kelas IVC, dan kelas IVD. Kelas IVA terdiri atas 26 siswa, kelas IVB terdiri atas 27 siswa, kelas IVC terdiri atas 29 siswa, dan kelas IVD terdiri atas 25 siswa (Lampiran 1). Jadi total keseluruhan siswa kelas IV di SDN X adalah 107 siswa. 
Siswa-siswa di kelas IV tersebut secara umum kurang aktif dalam mengikuti proses pembelajaran mata pelajaran PKn karena guru lebih sering menggunakan model pembelajaran konvensional berupa ceramah dari pada menerapkan model pembelajaran yang inovatif. Proses pembelajaran konvensional berupa ceramah mengakibatkan siswa menjadi bosan dan kurang memperhatikan guru sehingga hasil belajarnya rendah. Rendahnya hasil belajar siswa kelas IV SDN X dibuktikan dari nilai Ulangan Akhir Semester Ganjil (UAS I) pada mata pelajaran PKn (Lampiran 2). Berdasarkan nilai tersebut dapat diketahui bahwa rata-rata nilai UAS I kelas IV pada mata pelajaran PKn hanya mencapai 63,69 (Lampiran 3). Rata-rata nilai tersebut masih dibawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang telah ditentukan sebesar 70. Hal tersebut membuktikan bahwa hasil belajar siswa masih rendah dan perlu ditingkatkan.
Peningkatan hasil belajar siswa membutuhkan peran serta dari seorang guru. Seorang guru harus mampu memilih model pembelajaran yang tepat agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan baik. Proses pembelajaran yang baik merupakan proses pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa dengan harapan tujuan pembelajaran dapat tercapai. Oleh karena itu, peneliti berinisiatif untuk melakukan percobaan suatu model pembelajaran di kelas IV SDN X. Model pembelajaran yang dipilih merupakan model pembelajaran yang diharapkan dapat memperbaiki hasil belajar siswa.
Ada berbagai macam model pembelajaran yang bisa dipilih untuk mengarahkan siswa agar lebih aktif dan mampu mencapai tujuan pembelajaran. Peneliti berinisiatif untuk menerapkan model pembelajaran kooperatif yang diharapkan dapat mengaktifkan siswa serta meningkatkan hasil belajar siswa. Menurut Slavin dalam Rusman (2011 : 201) bahwa "pembelajaran kooperatif menggalakkan siswa berinteraksi secara aktif dan positif dalam kelompok". Melalui kerjasama kelompok tersebut, siswa diharapkan dapat memecahkan masalah yang dihadapi dan dapat memahami pemecahan masalah yang telah ditemukan.
Pembelajaran kooperatif mempunyai beberapa variasi metode yang bisa dipilih untuk proses pembelajaran agar lebih efektif dan efisien. Peneliti dalam penelitian ini memilih menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) karena model pembelajaran ini termasuk model pembelajaran yang sederhana dengan dua anggota setiap kelompoknya sehingga proses pembuatan kelompok tidak rumit dan proses pembelajarannya dapat mengaktifkan siswa untuk berfikir, berpendapat, serta bekerjasama dengan pasangannya atau berbagi informasi dengan teman-teman sekelasnya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Trianto (2007 : 61) bahwa "Think Pair Share dapat memberi siswa lebih banyak waktu berfikir, untuk merespon, dan saling membantu". Penerapan model pembelajaran ini memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang suatu masalah yang berkaitan dengan materi pembelajaran agar siswa dapat memahami materi pembelajaran selanjutnya dapat merespon pendapat siswa lain dan siswa dapat saling membantu atau kerjasama dalam memahami informasi yang diterima untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan.
Mengacu uraian-uraian tersebut maka peneliti melakukan penelitian tentang KEEFEKTIFAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR SHARE (TPS) TERHADAP HASIL BELAJAR PKN PADA SISWA KELAS IV SDN.

SKRIPSI PENDIDIKAN PKN UPAYA GURU MENGEMBANGKAN CIVIC SKILLS SISWA MELALUI MATA PELAJARAN PKN DI SMAN X

(KODE : PEND-PKN-0021) : SKRIPSI PENDIDIKAN PKN UPAYA GURU MENGEMBANGKAN CIVIC SKILLS SISWA MELALUI MATA PELAJARAN PKN DI SMAN X

contoh skripsi pendidikan pkn

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945 (Standar Isi 2006).
Dari pengertian tersebut diketahui subtansi PKn meliputi pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), keterampilan kewarganegaraan (civic skills), dan watak kewarganegaraan (civic dispositions), hal ini juga sesuai dengan Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007. Lebih lanjut substansi PKn tercermin dalam tujuan mata pelajaran PKn sebagai berikut : 
1. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan
2. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti-korupsi
3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya
4. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (Standar Isi 2006)
Winataputra dan Budimansyah (2007 : 186) menjelaskan komponen-komponen tersebut sebagai berikut : 
Pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge) berkaitan dengan kandungan atau apa yang harus diketahui warganegara. Sementara keterampilan kewarganegaraan (civic skills), yaitu jika warganegara mempraktekkan hak-haknya dan menunaikan kewajibannya sebagai anggota masyarakat yang berdaulat, mereka tidak hanya perlu menguasai pengetahuan dasar sebagaimana, namun mereka pun perlu memiliki kecakapan-kecakapan intelektual dan parsipatoris yang relevan. Sedangkan komponen yang ketiga adalah watak kewarganegaraan (civic disposition) yang mengisyaratkan pada karakter publik maupun privat yang terpenting bagi pemeliharaan dan pengembangan demokrasi konstitusional.
Dari ketiga komponen tersebut, penulis tertarik memilih civic skills sebagai tema skripsi yang berjudul "UPAYA GURU MENGEMBANGKAN CIVIC SKILLS SISWA MELALUI MATA PELAJARAN PKN DI SMA X" dengan alasan bahwa keterampilan kewarganegaraan (civic skills) merupakan pengembangan dari civic knowledge dan civic disposition agar warganegara dapat mempraktekkan hak-haknya dan menjalankan tanggungjawabnya sebagai anggota masyarakat dalam menghadapi masalah-masalah kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian apabila siswa telah memiliki civic skills atau civic skills melekat pada diri siswa diharapkan siswa dapat menjadi warganegara yang baik sebagaimana sesuai tujuan dari mata pelajaran PKn diatas. 
Namun berdasarkan pengamatan terbatas oleh peneliti sampai saat ini proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di sekolah masih mengembangkan civic knowledge dan kurang mengembangkan civic disposition dan civic skills siswa. Kondisi ini juga didukung oleh pendapat Komalasari dan Budimansyah (2008 : 77) yang menyatakan bahwa : 
Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan belum mampu mengembangkan civic knowledge, civic skills, dan civic disposition secara komprehensif karena pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan tidak mengkaitkan materi dengan realita kehidupan siswa, tidak kontekstual, lebih banyak memberikan kemampuan untuk menghapal bukan untuk berpikir kreatif, kritis, dan analitis, bahkan menimbulkan sikap apatis siswa dan menganggap enteng dan kurang menarik. Kondisi tersebut juga terjadi di SMA X. Di SMA X pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan juga kurang mampu mengembangkan civic skills dan civic disposition siswa karena mata pelajaran PKn dianggap sebagai mata pelajaran yang membosankan dan kurang menarik, guru dalam pembelajarannya kurang menggunakan model pembelajaran alternatif dan sekolah lebih mementingkan mata pelajaran eksak dan bahasa asing. 
Berdasarkan metode yang digunakan guru, siswa lebih menyukai metode yang melibatkan siswa aktif dalam proses pembelajaran sehingga siswa tidak cenderung merasa bosan. Menurut guru dengan menggunakan berbagai metode pembelajaran dapat meningkatkan pemahaman konsep siswa sehingga siswa merasa tertarik untuk mengikuti pelajaran PKn. Tetapi di SMA X terdapat permasalahan siswa mengalami kesulitan memahami konsep PKn karena materi yang disampaikan guru lebih banyak berupa teori (civic knowledge) dan kurang menekankan pada keterampilan kewarganegaraan (civic skills).
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa civic skills masih memerlukan perhatian dan pengembangan secara maksimal dalam mata pelajaran PKn. Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai "UPAYA GURU MENGEMBANGKAN CIVIC SKILLS SISWA MELALUI MATA PELAJARAN PKN DI SMA X".

SKRIPSI PENDIDIKAN PKN UPAYA SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN NILAI-NILAI PATRIOTISME MELALUI PENANAMAN SEMANGAT DAN JIWA NASIONALISME SISWA

(KODE : PEND-PKN-0020) : SKRIPSI PENDIDIKAN PKN UPAYA SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN NILAI-NILAI PATRIOTISME MELALUI PENANAMAN SEMANGAT DAN JIWA NASIONALISME SISWA

contoh skripsi pendidikan pkn

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dalam era globalisasi, seluruh aspek kehidupan bangsa terguncang dahsyat hingga daya adaptif kita sebagai suatu bangsa dalam suatu sistem sangat terpengaruh oleh perubahan, perubahan yang sangat cepat. Dalam dunia pendidikan, proses akulturasi dan perubahan perilaku bangsa mau tidak mau kita terdorong menjadi masyarakat yang memasuki complex adaptive system. Kita merasakan krisis multidimensional melanda kita, dibidang politik, ekonomi, hukum, nilai kesatuan dan keakraban bangsa menjadi longgar, nilai-nilai agama, budaya dan ideologi terasa kurang diperhatikan, terasa pula pembangunan material dan spiritual bangsa tersendat, discontinue, unilinear, dan unpredictable. Dalam keadaan seperti sekarang ini sering tampak perilaku masyarakat menjadi lebih korup bagi yang punya kesempatan, bagi rakyat awam dan rapuh tampak beringas dan mendemonstrasikan sikap anti sosial, anti kemapanan dan kontraproduktif serta goyah dalam keseimbangan ratio dan emosinya.(Sumantri, 2012 : 1) Banyaknya permasalahan tersebut salah satu penyebabnya adalah menurunnya sikap patriotisme dan nasionalisme masyarakat Indonesia khususnya para remaja atau pelajar.
Remaja merupakan usia atau tahap seseorang mencari jati diri yang dilakukan melalui peniruan diri atau imitasi, pergaulan remaja yang tanpa arah dan pengawasan terhadap tingkah laku mereka akan mempunyai kecenderungan mengarah pergaulan remaja yang negatif. Di sisi lain kondisi pelajar sebagai generasi muda belum menunjukkan peran yang semestinya. Keikutsertaan pelajar dalam memperbaiki bangsa dengan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai pancasila salah satu nya adalah sikap patriotisme dan nasionalisme belum terlihat. Gambaran kondisi pelajar justru ikut mewarnai permasalahan bangsa dengan melakukan tindakan seperti tawuran, bolos sekolah, tidak khidmat dalam mengikuti upacara bendera, pada saat penghormatan umum kepada bendera merah putih banyak siswa-siswi yang bersikap tidak sewajarnya, sikap berdiri dan sikap hormat seenaknya (Yudiantari, 2012 : 3) dsb. Namun dibalik hal tersebut pelajar merupakan tulang punggung penerus perjuangan bangsa yang cerdas, berilmu, kreatif, kritis yang semuanya itu diperoleh dari sekolah.
Patriotisme merupakan nilai operasional empat lima yang lahir dan berkembang dalam perjuangan bangsa Indonesia selama ini dan merupakan dasar yang pokok dan daya dorong mental spiritual yang kuat dalam setiap tahap perjuangan bangsa (Dewan Harian Nasional Angkatan Empat Lima, 1989 : 10). Patriotisme Indonesia yang tumbuh seiring dengan perjuangan dalam merebut kemerdekaan, tentunya perlu senantiasa dipupuk dan dipelihara dari generasi ke generasi dalam upaya mempertahankan dan mengamankan semua hasil yang telah tercapai dalam perjuangan sebelumnya. Pemupukan dan pemeliharaan itulah yang disebut pewarisan.
Patriotisme merupakan suatu nilai yang sangat penting dimiliki oleh setiap warga negara. Hal ini karena setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama dalam negara. Sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yaitu bahwa, "segala warga negara bersamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak kecualinya". Pasal ini menunjukkan adanya kesinambungan antara hak dan kewajiban, dan tidak ada diskriminasi antara warga negara, baik mengenai hak dan kewajibannya. (Kansil dalam Sumantri, 2008 : 74)
Sekolah adalah lingkungan pendidikan yang dijadikan tempat mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan pelajar. Jalur pendidikan terdiri dari pendidikan formal, pendidikan informal dan pendidikan non formal. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Tujuan dari pendidikan adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab (Pasal 3 UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003).
Pendidikan sebagai proses pembentukan pribadi, merupakan kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian (jati diri) serta didik yang memiliki identitas (cara khas, tanda khusus) dan integritas (keutuhan dan kedewasaan). Sistematis yang berlangsung secara bertahap dan berkesinambungan, sistemik yaitu berlangsung secara terpadu antara pendidikan keluarga, masyarakat dan sekolah, antara pengembangan kognitif, afektif dan psikomotorik, antara jiwa dan raga, jasmani dan rohani, nafsu dan pengendalian (susila, bermoral dan religius), individu dan sosial, mandiri dan makhluk ciptaan Tuhan (tergantung). Bagi yang belum dewasa, pembentukan pribadi dilaksanakan oleh pendidik (yang sudah dewasa), sedang bagi yang sudah dewasa pembentukan pribadi dilakukan oleh dirinya sendiri dan berlangsung sepanjang hayat, sepanjang hidup, sepanjang raga (Life Long Education). Pembentukan pribadi mencakup cipta, rasa, karsa dan karya (kognitif, afektif dan psikomotorik). Pembentukan pribadi sejalan sesuai dengan tingkat pertumbuhan fisik dan perkembangan mental, mengikuti tingkat usianya, sebagai proses adaptasi dengan diri sendiri, lingkungan dan kehendak Tuhan. (Kusdaryani, 2009 : 16)
Tujuan pendidikan tidak hanya menciptakan peserta didik yang unggul dari sisi kognitifnya (pembentukan pola fikir) saja melainkan juga afektif (pembentukan sikap) dan psikomotorik (pembentukan ketrampilan). Sisi afektif dan psikomotorik dapat diterapkan di sekolah dengan cara salah satunya adalah kegiatan ekstrakurikuler.
Kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran dan pelayanan konseling untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berwenang di sekolah. (Aqib, 2011 : 68)
Jenis kegiatan ekstrakurikuler sangat banyak sekali antara lain pramuka, pecinta alam, PMR, PASKIBRA, KIR, dsb. Kegiatan ini dapat dijadikan sarana oleh pelajar untuk membentuk sikap pelajar yang sesuai dengan nilai-nilai patriotisme yaitu ulet, tangguh, tegar, cinta tanah air, bela negara, rela berkorban dsb. Selain itu ekstrakurikuler juga dapat dijadikan sarana pelajar untuk mengembangkan bakat.
Terkikisnya nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme sekarang ini juga melanda anak didik di SMK X. Contoh nyatanya saja, ketika dilaksanakan upacara bendera para siswa merasa malas dan tidak melaksanakannya dengan khidmat dan tertib. Apabila mereka sadar dan paham bagaimana perjuangan pahlawan ketika merebut negara Indonesia dari tangan penjajah maka mereka akan mengikuti upacara dengan baik atas dorongan dalam dirinya bukan karena takut dihukum guru. Di samping itu, siswa sekarang ini lebih suka menggunakan bahasa yang tidak formal dalam kehidupan sehari-harinya dibandingkan dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Komitmen yang kuat dan konsisten terhadap semangat dan jiwa nasionalisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, perlu ditingkatkan secara terus menerus untuk memberikan pemahaman yang mendalam tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia kepada siswa salah satunya di SMK X yang merupakan generasi penerus bangsa sehingga bangsa ini bisa tercapai tujuannya.
Dari uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul "UPAYA SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN NILAI-NILAI PATRIOTISME MELALUI PENANAMAN SEMANGAT DAN JIWA NASIONALISME SISWA SMK X".

SKRIPSI PENDIDIKAN PKN KEEFEKTIFAN METODE PEMBELAJARAN TALKING STICK BERBANTU MEDIA BENDERA GAMBAR TERHADAP HASIL BELAJAR PKN PESERTA DIDIK KELAS IV

(KODE : PEND-PKN-0019) : SKRIPSI PENDIDIKAN PKN KEEFEKTIFAN METODE PEMBELAJARAN TALKING STICK BERBANTU MEDIA BENDERA GAMBAR TERHADAP HASIL BELAJAR PKN PESERTA DIDIK KELAS IV

contoh skripsi pendidikan pkn

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Menurut UU no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam pasal 1 pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Namun hingga saat ini penerapan UU tersebut belum diterapkan pada kenyataannya, sebagian besar peserta didik merasa bosan oleh pembelajaran konvensional yang membatasi pendidik untuk mengeksplorasi potensi yang ada di dalam di dirinya, realita yang ada di lapangan, guru masih bertindak sebagai peran utama dalam pembelajaran dengan menjadikan peserta didik sebagai penerima informasi dari guru, akhirnya hasil lulusan peserta didik tidak sesuai yang di harapkan
Selain hal tersebut munculnya peristiwa sosial dan budaya yang terjadi di dunia pendidikan cukup menjadi pukulan yang memprihatinkan dalam dunia pendidikan dan masyarakat, tindakan kekerasan serta berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan pelajar misalnya tawuran antar pelajar itu menunjukan turunnya perilaku moral dan runtuhnya semangat budi pekerti, kedisiplinan tergambarkan dalam berbagai media masa baik elektronik maupun media cetak sehingga Kemendiknas menekankan pentingnya pendidikan karakter peserta didik dan juga karakter bangsa Indonesia melalui pendidikan karakter. untuk menuju bangsa Indonesia yang bermartabat.
Kondisi demikian dengan menurunnya kualitas pendidikan, pendidikan karakter peserta didik dan karakter bangsa harus bisa menjadi tantangan guru profesional untuk menumbuhkan kembali kualitas pendidikan juga pendidikan karakter peserta didik, Pembelajaran yang diterapkan guru secara inovasi dan kreasi diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia, sistem pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan diharapkan merubah pembelajaran konvensional yang sering dilaksanakan guru.
Keadaan pembelajaran konvensional yang telah diuraikan terkesan kaku dan cenderung membosankan peserta didik, Guru menjadi peran utama yaitu menyampaikan informasi yang dibacanya dari buku sementara peserta didik hanya mendengarkan dan mencatat tanpa adanya interaksi dalam proses pembelajaran. Kondisi seperti ini sering terlihat di dalam proses pembelajaran di sekolah dasar khususnya dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, saat guru menyajikan materi PKn terlihat membosankan dan kurang menarik dan peserta didik memandang PKn sebagai mata pelajaran yang sulit dan membosankan. Padahal pelajaran PKn mengajarkan tentang perilaku peserta didik sebagai warga negara.
Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Hal ini yang perlu diperhatikan guru dalam mengajar PKn agar dengan cermat bisa menyampaikan tujuan sesuai dengan tujuan pembelajaran PKn bukan tugas yang mudah, tugas ini memerlukan kecermatan dari guru untuk merancang pembelajaran supaya berjalan dengan cukup baik, di sisi lain kemampuan guru dalam merencanakan dan melaksanakan kurikulum kurang berjalan dengan baik (KTSP, 2011).
Peneliti sebagai mahasiswa PGSD merasa tergerak untuk membantu guru dalam mengefektifkan pembelajaran PKn di sekolah dasar. Hal ini disebabkan perolehan hasil belajar peserta didik yang belum optimal berdasarkan wawancara yang sudah peneliti lakukan dengan guru kelas IVA dan Kelas VIB SDN X didapat bahwa perolehan hasil belajar PKn pada nilai rata-rata ulangan tengah semester 1 akhir bulan november kelas IV sebesar 65 padahal Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) mata pelajaran PKn sebesar 70.
Dalam kenyataan sekarang ini pembelajaran PKn guru harus mempunyai kompetensi untuk mengajar PKn. Guru harus melakukan perubahan dalam pembelajaran dengan menggunakan atau memodifikasi metode pembelajaran inovasi. Metode pembelajaran merupakan komponen yang sangat berpengaruh di dalam proses pembelajaran yang menjadi salah satu faktor penentu berhasil atau tidak berhasilnya pembelajaran yang sudah dilaksanakan untuk tersampaikannya tujuan pembelajaran kepada peserta didik. Pada saat ini banyak berbagai metode inovasi pembelajaran yang bertujuan untuk menunjang proses pembelajaran agar sesuai dengan tujuan pembelajaran.
Peneliti menggunakan pembelajaran Talking Stick berdasarkan kelebihan metode Talking Stick dan berdasarkan pada penelitian yang relevan yang sudah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Pembelajaran menggunakan metode Talking Stick hasil belajarnya meningkat. Kelebihan metode Talking Stick yang digunakan diharapkan peserta didik bisa mengikuti pembelajaran dengan baik dan peserta didik juga menikmati pembelajaran yang sedang dilaksanakan melalui bantuan media bendera gambar membuat peserta didik akan lebih tertarik dalam pembelajaran yang dilaksanakan sehingga tujuan pembelajaran dari guru akan tercapai dengan baik.
Penelitian yang relevan yang sudah dilakukan peneliti sebelumnya juga mendasari peneliti untuk menggunakan metode Talking Stick pada pembelajaran yang digunakan. Penelitian yang mendasari penelitian yang akan dilaksanakan peneliti melihat dari Penelitian yang dilakukan Purwaningtias mengenai Metode Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : (1) penerapan metode pembelajaran Talking Stick pada siswa kelas X Pemasaran di SMK Islam Batu, (2) hasil belajar siswa setelah diterapkan metode pembelajaran Talking Stick pada siswa kelas X Pemasaran di SMK Islam Batu. Hasil penelitian ini menunjukkan peningkatan prestasi belajar. Metode pembelajaran Talking Stick juga dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Melalui pre test dan post test diperoleh hasil : (1) rata-rata skor test siswa pada siklus I adalah 68,28 dengan skor tertinggi 80 dan jumlah siswa yang tuntas belajar (Skor > 70) sebanyak 27 siswa, rata-rata skor post test meningkat menjadi 89,71 dengan skor tertinggi sebesar 100 dan jumlah siswa yang tuntas belajar (skor > 70) sebanyak 33 siswa. (2) rata-rata skor pre test siswa pada siklus II adalah 80 dengan skor tertinggi 90 dan jumlah siswa yang tuntas belajar (Skor > 70) sebanyak 33 siswa, rata-rata skor post test siswa meningkat menjadi 86,57 dengan skor tertinggi 100 dan jumlah siswa yang tuntas belajar (Skor > 70) sebanyak 34 siswa.. (http://karya-ilmiah.um.ac.id).
Penelitian yang dilakukan Putri dengan judul Penggunaan Metode Pembelajaran Talking Stick dalam Meningkatkan Hasil Belajar PKn bagi Siswa Kelas VII-D di SMP Negeri 19 Malang menunjukan penelitian yang berhasil yakni : pada tahap siklus I penggunaan metode pembelajaran Talking Stick secara individu sedangkan pada siklus II menggunakan metode pembelajaran Talking Stick secara kelompok. Pada siklus I untuk mengetahui hasil belajar pada mata pelajaran PKn di kelas VII-D yaitu pada akhir pelajaran, peneliti memberikan post test dan siswa yang sesuai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yaitu berjumlah 10 orang (23,3%) sedangkan yang tidak memenuhi berjumlah 33 orang (76,7%). Hasil belajar pada penelitian siklus II secara kelompok sudah meningkat, yaitu dengan siswa yang memenuhi KKM berjumlah 42 orang sedangkan siswa yang tidak memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) berjumlah 1 orang. Pada siklus II siswa yang dapat menjawab pertanyaan dengan benar dan percaya diri mencapai 71,4% atau 10 kelompok dari 14 kelompok yang menjawab pertanyaan sedangkan yang tidak menjawab yaitu dengan prosentase 28,5% atau berjumlah 4 kelompok. Hasil belajar pada siklus II sudah mengalami peningkatan yaitu dengan prosentase 48,1%. (http://karya-ilmiah.um.ac.id)