Search This Blog

TESIS KINERJA GURU PROFESIONAL DALAM MENINGKATKAN PRESTASI SISWA DI MI X

TESIS KINERJA GURU PROFESIONAL DALAM MENINGKATKAN PRESTASI SISWA DI MI X

(KODE : PASCSARJ-1160) : TESIS KINERJA GURU PROFESIONAL DALAM MENINGKATKAN PRESTASI SISWA DI MI X (PROGRAM STUDI : PGMI)


BAB I
PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang Penelitian
Abad 21 yang dikenal dengan abad pengetahuan, abad dimana pengetahuan akan menjadi landasan utama segala aspek kehidupan. Untuk meningkatkan pengetahuan tidak akan terlepas dari dunia pendidikan. Karena pendidikan adalah jalur utama menuju masyarakat yang berpengetahuan.
Secara umum terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam sebuah pendidikan yang bermutu untuk menuju masyarakat yang berpengetahuan. Faktor-faktor tersebut antara lain : guru, siswa, sarana dan prasarana, lingkungan pendidikan dan kurikulum. Kelima faktor tersebut memegang peranan dan wewenang masing-masing yang saling mendukung.
Guru adalah pelaku utama dalam pendidikan karena guru yang bersinggungan langsung dengan peserta didik. Sarana dan prasarana merupakan pendukung dalam tercapainya tujuan pendidikan, begitu juga dengan kurikulum yang berperan sebagai menu wajib bagi siswa untuk dipelajari sesuai dengan tingkatan dan kompetensinya. Sehingga faktor-faktor tersebut harus berjalan dengan baik dan saling menguatkan.
Namun, sering kali pendidikan di Indonesia mengasumsikan bahwa apabila ada kemerosotan dalam pendidikan, memposisikan kurikulum, sarana dan prasarana sebagai penyebab utama merosotnya pendidikan di Indonesia. Hal tersebut tercermin dengan adanya perubahan kurikulum mulai kurikulum 1975 sampai dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Sebagaimana Nasanius menjelaskan bahwa pada realita yang ada ternyata kemerosotan pendidikan bukan dikarenakan oleh lemahnya kurikulum dan sarana-prasarana, melainkan oleh kurangnya kompetensi guru. Sehingga pendidikan kita belum menemukan model pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi anak didik kita.
Faktor guru apabila kita cermati merupakan faktor yang sangat penting dan tidak dapat diganti oleh apapun, karena guru sebagai subyek pendidik dan sebagai penentu keberhasilan dalam pendidikan itu sendiri. Nana Sudjana menyebutkan bahwa prestasi siswa sangat dipengaruhi oleh guru dan guru merupakan pelaku utama dalam peningkatan prestasi belajar siswa.
Peran guru dalam meningkatkan prestasi siswa akan semakin kelihatan apabila berada pada keterbatasan sarana dan prasarana. Sejalan dengan penelitian Nana di atas dari hasil study yang dilakukan oleh Heyneman dan Loxly dalam Dedi Supriyadi menjelaskan bahwa dari 16 negara berkembang guru memberikan kontribusi besar terhadap prestasi siswa sebesar tiga puluh empat persen.
Berdasarkan hasil penelitian di atas, tergambar secara jelas bahwa peran guru sangat penting dalam peningkatan prestasi siswa dalam pendidikan. Meskipun sarana dan prasarana sudah begitu lengkap dan canggih, namun apabila tidak di tunjang oleh keberadaan guru yang kompeten dan profesional maka mustahil pendidikan bisa berjalan dengan maksimal. Guru adalah faktor kunci bagi terlaksananya pendidikan nasional.
Berdasarkan Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sebagai landasan yuridis untuk peningkatan kualifikasi dan profesional guru, dengan asumsi bahwa guru sebagai profesi yang profesional dengan segala kompetensi yang harus dimiliki akan berdampak dapat meningkatkan kualitas pembelajaran, output maupun outcome. Setiap pendidik dan tenaga kependidikan layaknya memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional dan sosial.
Kompetensi guru merupakan seperangkat penguasaan kemampuan yang harus ada dalam diri guru agar dapat mewujudkan kinerja secara tepat dan efektif. Sedangkan guru yang profesional adalah guru yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga mampu melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan maksimal.
Pendidik yang profesional tidak akan lepas dari kemampuan pedagogiknya, karena pedagogik merupakan ilmu yang membahas pendidikan, yaitu ilmu pendidikan anak. Jadi pedagogik mencoba menjelaskan tentang seluk beluk pendidikan anak. Pedagogik sebagai ilmu sangat dibutuhkan oleh guru, khususnya guru madrasah atau sekolah dasar karena mereka akan berhadapan dengan anak yang belum dewasa.
Tugas guru bukan hanya mengajar untuk menyampaikan, atau mentransformasikan pengetahuan kepada para anak di sekolah, melainkan guru mengemban tugas untuk mengembangkan kepribadian anak didiknya secara terpadu. Guru mengembangkan sikap mental anak, mengembangkan hati nurani anak, sehingga anak akan sensitif terhadap masalah-masalah kemanusiaan, harkat, derajat manusia, dan menghargai sesama manusia. Begitu juga guru harus mengembangkan keterampilan anak, keterampilan hidup di masyarakat sehingga mampu untuk menghadapi segala permasalahan hidupnya.
Kompetensi pedagogik tersebut didapat dari pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Namun untuk mencapai hal tersebut dan menjadi seorang guru yang profesional tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada lima syarat yang harus dilewati untuk menjadi guru profesional, yaitu : 1) Seorang guru bisa dikatakan sebagai seorang profesional apabila dia memiliki latar belakang pendidikan sekurang-sekurangnya setingkat sarjana; 2) Guru adalah seorang ahli. Sebagai seorang ahli, maka dalam diri guru harus tersedia pengetahuan yang luas dan mendalam (kemampuan kognisi atau akademik) yang terkait dengan substansi mata pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya, 3) Guru dituntut untuk menunjukkan keterampilannya secara unggul dalam bidang pendidikan dan pembelajaran (kemampuan pedagogik), seperti : keterampilan menerapkan berbagai metode dan teknik pembelajaran, teknik pengelolaan kelas, keterampilan memanfaatkan media dan sumber belajar, dan sebagainya. Sehingga akan timbul motivasi dan gairah berprestasi pada diri siswa, 4) Guru bekerja dengan kualitas tinggi. Pekerjaan guru termasuk dalam bidang jasa atau pelayanan (service). Pelayanan yang berkualitas dari seorang guru ditunjukkan melalui kepuasan dari para pengguna jasa guru yaitu siswa, dan 5) Guru dapat berperilaku sejalan dengan kode etik profesi serta dapat bekerja dengan standar yang tinggi.
Berdasarkan uraian di atas, kita ketahui bahwa untuk menjadi guru dengan predikat sebagai profesional tampaknya tidaklah mudah, tidak cukup hanya dinyatakan melalui selembar kertas yang diperoleh melalui proses sertifikasi. Namun guru dituntut untuk memiliki kemampuan menyelenggarakan proses pembelajaran dan penilaian yang menyenangkan dan sesuai dengan kriteria yang berlaku dengan tujuan agar dapat mendorong peningkatan dan tumbuhnya prestasi, motivasi, dan kreatifitas pada diri siswa.
Peningkatan prestasi pada siswa dipengaruhi oleh faktor lingkungan, internal dan eksternal siswa, selain itu faktor utama peningkatan prestasi siswa terletak pada bagaimana kualitas proses pembelajaran yang berlangsung. Oleh karena itu untuk meningkatkan prestasi siswa, proses pembelajaran di kelas harus berlangsung dengan baik, berdaya guna dan berhasil guna. Proses pembelajaran akan berjalan dengan baik apabila didukung oleh guru yang mempunyai kemampuan profesional (tersertifikasi), karena guru merupakan faktor utama dalam tercapainya pelaksanaan pendidikan. Guru profesional atau yang telah tersertifikasi tentu akan mampu menumbuhkan semangat dan motivasi belajar siswa lebih baik.
Untuk dapat menumbuhkan kualitas dan prestasi siswa, guru tersertifikasi akan berupaya untuk mempengaruhi emosi dan minat siswa dalam proses pembelajaran. Sehingga siswa akan selalu termotivasi dan pada akhirnya akan tercipta pembelajaran yang berdaya guna. Apabila dalam sebuah pembelajaran sudah berdaya guna tentu akan mudah bagi guru tersertifikasi untuk dapat meningkatkan prestasi siswa.
Namun kurangnya tenaga pendidik yang profesional, menjadi penyebab permasalahan keilmuan yang dihadapi lembaga pendidikan saat ini, umumnya mengalami kekurangan guru yang sesuai dengan kebutuhan. Kebutuhan yang dimaksud adalah kebutuhan subyek atau guru bidang studi yang kompeten dan sesuai dengan latar belakang guru. Akhirnya sekolah terpaksa menempuh kebijakan yang tidak populis bagi anak, guru mengasuh pelajaran yang tidak sesuai bidangnya. Misalnya guru Biologi dapat mengajar Kimia atau Fisika. Ataupun guru IPS dapat mengajar Bahasa Indonesia. Memang jumlah tenaga pendidik secara kuantitatif sudah cukup banyak, tetapi mutu dan profesional yang ditunjang dengan sertifikasi belum sesuai dengan harapan. Banyak diantaranya yang tidak berkualitas dan menyampaikan materi yang keliru sehingga mereka tidak mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar berkualitas. Dan permasalahan inilah yang menjadi faktor awal merosotnya prestasi dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Dengan adanya guru yang sudah tersertifikasi diharapkan dapat menjadikan guru sebagai guru yang profesional. Sehingga permasalahan kebijakan sekolah yang tidak populis dapat dicegah. Sertifikasi guru merupakan sebuah terobosan dalam dunia pendidikan untuk meningkatkan kualitas dan profesionalitas seorang guru, sehingga ke depan semua guru harus memiliki sertifikat sebagai lisensi atau ijin mengajar. Dengan demikian, upaya pembentukan guru yang profesional di Indonesia segera menjadi kenyataan dan diharapkan tidak semua orang dapat menjadi guru dan tidak semua orang menjadikan profesi guru sebagai batu loncatan untuk memperoleh pekerjaan.
Pada kenyataannya saat ini guru yang sudah tersertifikasi belum dapat menjalankan amanahnya dengan sebenar-benarnya sebagaimana kriteria yang telah ditetapkan. Ada indikasi bahwa guru yang telah tersertifikasi tidak lagi seproduktif ketika mereka belum mendapatkan tunjangan profesi.
Berdasarkan hal tersebut Madrasah Ibtidaiah (MI) Al Fattah Malang memiliki beberapa kelebihan terkait dengan program sertifikasi yang telah dilakukan dan prestasi siswa baik prestasi akademik maupun non akademik. Dengan ditunjang sarana dan prasarana yang cukup memadai yaitu dengan adanya laboratorium multimedia satu-satunya yang ada di kawasan gugus enam dan perlengkapan komputer serta alat-alat kegiatan non akademik. Peningkatan prestasi siswa diharapkan dapat tercapai dengan baik. Tercapai dan tidaknya peningkatan prestasi siswa tentu tidak akan terlepas dari kinerja lembaga pendidikan dan khususnya para guru profesional (tersertifikasi). Sebagaimana uraian di atas yang secara teoritis menjelaskan bahwa mutu pendidikan akan berjalan dengan baik apabila didukung oleh guru yang profesional.
Namun apakah benar guru yang tersertifikasi mampu meningkatkan prestasi siswa di MI X. Kemudian upaya apa yang dilakukan guru tersertifikasi di MI X dalam meningkatkan prestasi siswa. Pernyataan-pernyataan inilah yang membuat peneliti ingin mengetahui secara riil bagaimana kinerja dan upaya guru tersertifikasi dalam meningkatkan prestasi siswa di MI X.
TESIS PEMANFAATAN MEDIA PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS BACAAN AL-QURAN

TESIS PEMANFAATAN MEDIA PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS BACAAN AL-QURAN

(KODE : PASCSARJ-1159) : TESIS PEMANFAATAN MEDIA PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS BACAAN AL-QURAN (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN AGAMA ISLAM)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Di era globalisasi, media merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam proses belajar mengajar. Sebagaimana menurut Oemar Hamalik mendefinisikan media sebagai teknik yang digunakan untuk lebih mengefektifkan komunikasi antara guru dan murid dalam proses pendidikan dan pengajaran sekolah.
Dalam proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMK Y dan SMK X, guru menghadapi fenomena yang terjadi bahwa semakin anak tumbuh menjadi dewasa mereka akan malu dan enggan dalam hal mempelajari Al Qur'an, salah satunya mempelajari Baca Tulis Al-Qur'an. Pada anak usia remaja termasuk didalamnya siswa SMK, tujuan mereka akan terfokus kepada apa yang akan mereka jalani esok setelah mereka lulus yaitu dunia kerja. Banyak kasus yang terjadi pada siswa SMK sebagian besar belum bisa membaca Al-Qur'an dikarenakan banyak faktor yang telah diuraikan diatas. Berbagai upaya dilakukan oleh guru tetapi hasilnya belum maksimal.
Media pembelajaran interaktif yang menarik dan efektif yang berbasis teknologi dan informasi sangat dibutuhkan untuk mengenalkan materi supaya dikenal oleh guru dan siswa. Sehingga dengan adanya media pembelajaran yang menarik dapat mempermudah guru dalam melakukan penjelasan materi-materi yang akan disampaikan.
Di SMK X masih menggunakan kurikulum KTSP sedangkan SMK Y sudah menggunakan kurikulum 2013 dimana peserta didik dituntut untuk aktif dalam pembelajaran, khususnya pembelajaran pendidikan agama Islam. Guru semestinya memanfaatkan dan menggunakan alat yang murah dan efisien, dalam upaya mencapai tujuan pengajaran yang diharapkan. Guru pendidikan agama Islam Di SMK Y dan SMK X berupaya mengoptimalkan pemanfaatan media pembelajaran yang sudah lengkap meliputi ketersediaan Gadget, laptop dan kelas yang sudah terpasang LCD Proyektor, speaker aktif serta kabel VGA. 
Penelitian Dwi Purwanto (2009, 50-51) berjudul Pengaruh Media Pembelajaran Terhadap Motivasi Belajar Siswa, difokuskan pada masalah rendahnya motivasi belajar siswa. Adapun hasilnya adalah media pembelajaran dapat meningkatkan motivasi belajar siswa.
Selanjutnya, penelitian Ahmad Hasyim Fauzan (2015 : 27), “Pola Pembinaan Baca Tulis Al-Qur'an (BTQ) Sebagai Upaya Peningkatkan Kemampuan Membaca Al-Quran”, bahwa penelitian tersebut difokuskan untuk mencari tahu tujuan dari Kurikulum Baca Tulis Quran (BTQ). Hasil dari penelitian ini adalah Dengan adanya BTQ sistem pembelajaran untuk anak didik atau warga belajar menjadi bertambah.
Media pembelajaran adalah alat bantu yang digunakan oleh guru sebagai alat bantu mengajar. Dalam interaksi pembelajaran, guru menyampaikan pesan ajaran berupa materi pembelajaran kepada siswa.
Media pembelajaran meliputi alat pengajaran, yang terdiri dari antara lain buku, tape recorder, kaset, video camera, video recorder, film, gambar bingkai (slide), foto, gambar, grafik, televisi, dan komputer. Media yang digunakan dalam pembelajaran dapat dipilih oleh pendidik untuk menunjang pembelajaran yang dilaksanakan pada hari tersebut. Media yang digunakan sebaiknya sesuai dengan materi yang akan disampaikan sehingga media berfungsi dengan tepat.
Manfaat media pembelajaran yaitu : 1) Dapat menumbuhkan motivasi belajar siswa karena pengajaran akan lebih menarik perhatian mereka, 2) Makna bahan pengajaran akan menjadi lebih jelas sehingga dapat dipahami siswa dan memungkinkan terjadinya penguasaan serta pencapaian tujuan pengajaran, 3) Metode mengajar akan lebih bervariasi, tidak semata-mata didasarkan atas komunikasi verbal melalui kata-kata, 4) Siswa lebih banyak melakukan aktivitas selama kegiatan belajar, tidak hanya mendengarkan tetapi juga mengamati, mendemonstrasikan, melakukan langsung, dan memerankan.
Teknologi dan informasi adalah sarana dan prasarana (hardware, software) sistem dan metode untuk memperoleh, mengirimkan, mengolah, menafsirkan, menyimpan, mengorganisasikan, dan menggunakan data secara bermakna.
Dari pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran berbasis teknologi dan informasi adalah alat perantara teknologi berupa (hardware, software) yang digunakan untuk memperoleh, mengirimkan, mengolah, menafsirkan, menyimpan, mengorganisasikan, dan menggunakan data secara bermakna untuk memperoleh informasi yang berkualitas yang digunakan dalam proses pembelajaran.
TESIS MANAJEMEN FINGER PRINT DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP PENINGKATAN KINERJA GURU MTSN

TESIS MANAJEMEN FINGER PRINT DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP PENINGKATAN KINERJA GURU MTSN

(KODE : PASCSARJ-1158) : TESIS MANAJEMEN FINGER PRINT DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP PENINGKATAN KINERJA GURU MTSN (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Abad ke-21 ditandai dengan globalisasi teknologi dan informasi, telah membawa dampak yang luar biasa bagi peran guru dalam proses pendidikan dan pembelajaran. Peran lama guru sebagai satu-satunya sumber informasi dan sumber belajar, sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Guru harus memerankan peran-peran baru yang lebih kontekstual dan relevan. Tugas penting guru adalah menyiapkan generasi muda untuk menghadapi abad baru yang penuh dengan goncangan dan ketidakpastian.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi di era globalisasi saat ini terlihat sangat pesat. Perkembangan tersebut tidak hanya melahirkan era informasi global, tetapi juga melahirkan media informasi dan telekomunikasi yang tidak mengenal batas ruang dan waktu. Dampak global juga dirasakan pada bidang ekonomi dan manajemen yang sangat berkaitan dengan teknologi, yakni dengan munculnya peralatan-peralatan teknologi canggih yang memudahkan usaha manusia dalam meningkatkan motivasi dan produktivitas untuk menghadapi persaingan diantara perusahaan atau institusi. Disamping kecanggihan teknologi tersebut, perusahaan atau institusi dituntut untuk mampu menghadapi tingkat persaingan yang tinggi tersebut dengan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki.
Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan salah satu sumber daya terpenting di setiap organisasi atau institusi. Memiliki sumber daya manusia yang mempunyai produktivitas dan kinerja tinggi merupakan impian dari setiap perusahaan. Selain itu peningkatan mutu sumber daya manusia merupakan aset yang paling berharga bagi perusahaan atau institusi. Sumber daya ini banyak memegang peranan dalam rangka pencapaian tujuan perusahaan. Apabila sumber daya manusia yang dimiliki berkualitas dan sesuai dengan harapan perusahaan, maka perusahaan tersebut memiliki daya saing yang nyata.
Sumber daya manusia yang berkualitas dapat dicapai melalui upaya pengembangan SDM yang terarah dan terencana. Upaya pengembangan SDM ini merupakan kegiatan yang harus dilakukan oleh setiap organisasi agar kemampuan serta sikap SDM semakin meningkat sesuai dengan tuntutan pekerjaan dan kebutuhan institusi. Program pengembangan SDM dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan pemberian penghargaan atas prestasi kerja, promosi dan mutasi, pemberian insentif, pengembangan karir, serta pemberian pendidikan dan pelatihan. Salah satu cara yang efektif dalam meningkatkan kualitas SDM adalah melaksanakan peraturan dan disiplin yang tinggi oleh setiap karyawan.
Disiplin merupakan suatu hal yang sangat penting bagi suatu organisasi atau perusahaan dan mempertahankan atau melangsungkan kehidupannya. Hal ini disebabkan hanya dengan disiplin yang tinggi suatu organisasi dapat berprestasi tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Widjaja (1986 : 29), bahwa “Dengan perkataan lain disiplin adalah unsur yang penting yang mempengaruhi prestasi dalam organisasi. Tidak ada organisasi yang berprestasi lebih tinggi tanpa melaksanakan disiplin dalam derajat yang lebih tinggi”.
Pada awal tahun 2005, Institut Pertanian Bogor mulai menerapkan absensi karyawan dengan menggunakan sidik jari. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya korupsi waktu yang sering dilakukan oleh karyawan dengan cara menitip absen kepada karyawan lain. Untuk itu Direktorat Sumber Daya Manusia dan Administrasi Umum IPB menyediakan di masing-masing fakultas atau kantor sebuah alat finger print, yaitu peralatan absensi canggih yang merekam sidik jari pegawai saat jam datang dan jam pulang. Para karyawan tidak bisa lagi menitip absen kepada temannya, karena peralatan ini hanya merekam sidik jari karyawan yang bersangkutan, selain itu peralatan ini bekerja secara online dan dapat dipantau dari komputer yang terhubung dengan peralatan tersebut. Finger print ini juga memudahkan bagi administratornya untuk merekap absensi para karyawan.
Sistem pengidentifikasian sidik jari dulu hanya digunakan di kalangan aparat keamanan untuk menemukan jati diri korban atau tersangka kejahatan. Kini kegunaannya telah bergeser hingga ke perusahaan-perusahaan komersial. Sidik jari manusia merupakan bukti materi yang sangat penting. Tidak ada sidik jari yang identik di dunia ini sekalipun di antara dua saudara kembar. Dalam dunia sains pernah dikemukakan bahwa jika ada lima juta orang di bumi, kemungkinan munculnya dua sidik jari manusia yang sama baru akan terjadi lagi 300 tahun kemudian (Ulfa Dewi Hasnita, 2012 : 2).
Mengingat betapa akuratnya mengidentifikasi seseorang lewat sidik jari, diciptakanlah sebuah alat pendeteksi sidik jari dengan sistem elektronik. Alat ini pertama kali digunakan Federal Bureau Investigation atau lebih populer dengan sebutan FBI di Amerika Serikat sekitar tahun 1960-an. Meski lebih populer untuk melacak pelaku kejahatan, alat pendeteksi sidik jari ini ternyata juga digunakan untuk mengetahui latar belakang seorang calon pekerja. Sejak tahun 1970-an, beberapa perusahaan sedikitnya sepuluh negara di dunia sudah menggunakan teknologi ini. Efisiensi menjadi dasar penggunaan sistem identifikasi sidik jari di perusahaan atau instansi, alat ini mendorong perusahaan untuk menghemat waktu, tenaga, sekaligus menjamin keamanan (Faisal Ali Ahmad, 2006 : 2).
Dengan demikian, bukti kehadiran karyawan (absensi) bisa didapat melalui alat ini. Tentu saja hal ini sangat membantu divisi sumber daya manusia untuk mengevaluasi kinerja para karyawan. Kelemahan sistem konvensional adalah terbukanya peluang manipulasi, kesalahan pencatatan, maupun hilangnya catatan kehadiran seorang karyawan. Selain itu kemungkinan terjadinya kecurangan dimana rekan sekerja yang lain mencatatkan waktu kerja yang bukan dirinya sangat besar. Hal ini membuat pencatatan waktu kehadiran karyawan menjadi tidak akurat.
Kualitas mutu pendidikan sekarang ini masih membutuhkan banyak perhatian dari segi tenaga kependidikan. Dalam hal ini khususnya guru sebagai tenaga profesional yang menyampaikan pesan pembelajaran kepada peserta didik akan dapat diterima dengan baik ketika guru memiliki kinerja yang baik. Tidak kalah pentingnya juga kepala sekolah sebagai manajer yang mengatur suatu lembaga pendidikan yang harus memiliki kecakapan dan wawasan yang layak dalam memimpin institusi pendidikan.
Guru merupakan komponen paling menentukan dalam sistem pendidikan secara keseluruhan, yang harus mendapat perhatian sentral, pertama, dan utama. Guru memegang peran utama dalam pembangunan pendidikan, sehingga perlu dikembangkan sebagai tenaga profesi yang bermartabat dan profesional (Mulyasa, 2007 : 5). Sebagai tenaga profesional sudah selayaknya guru memperoleh jaminan hidup yang layak dan memadai, sebab hal ini bukan saja akan menyebabkan kepuasan kerja, tetapi juga memungkinkan seorang profesional menggunakan waktu penuh untuk menjalankan pekerjaannya.
Guru dituntut memiliki kinerja yang mampu memberikan dan merealisasikan harapan dan keinginan semua pihak terutama masyarakat umum yang telah mempercayai sekolah dan guru dalam membina anak didik. Dalam meraih mutu pendidikan yang baik sangat dipengaruhi oleh kinerja guru dalam melaksanakan tugasnya sehingga kinerja guru menjadi tuntutan penting untuk mencapai keberhasilan pendidikan. Secara umum mutu pendidikan yang baik menjadi tolok ukur bagi keberhasilan kinerja yang ditunjukkan guru (Muhlisin, 2010 : 2).
Ada beberapa hal yang perlu menjadi bahan pertimbangan kita, bagaimana kinerja guru akan berdampak kepada mutu pendidikan?. Dilihat sistem pendidikan nasional kita, dengan sering terjadinya pergantian kurikulum secara langsung atau tidak akan berdampak kepada guru itu sendiri, sehingga perubahan tersebut dapat menjadi beban psikologis bagi guru yang dapat membuat guru frustasi. Hal ini sangat dirasakan oleh guru yang memiliki kemampuan minimal dan tidak demikian halnya guru professional.
Menurut Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 10 menyebutkan bahwa terdapat empat kompetensi guru yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional yang harus dikuasai guru. Oleh karena itu, guru harus senantiasa meningkat kompetesinya agar dapat tercapai tujuan pendidikan yang bermutu. Dengan demikian, empat kompetensi dasar guru di atas dapat digunakan sebagai indikator penilaian kinerja guru.
Untuk itu, faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja guru dipandang perlu untuk dipelajari, ditelaah dan dikaji secara mendalam agar dapat memberikan gambaran yang jelas faktor yang lebih berperan dan urgen yang mempengaruhi kinerja guru (Muhlisin, 2010 : 5). Salah satu yang perlu dikaji adalah kedisiplinan melalui penerapan absensi elektronik seperti yang telah ada di MTsN X.
Kebijakan penerapan absensi elektronik ini merujuk pada PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS. Adanya kebijakan absensi ini memiliki peran penting dalam peningkatan kedisiplinan aparatur Kemenag. Kedisiplinan ini sudah seharusnya ditegakkan di kalangan aparatur Kemenag. Selain merupakan kewajiban sebagai PNS seperti yang diatur dalam PP No. 53 Tahun 2010, kedisiplinan sangat besar artinya bagi peningkatan kinerja aparatur Kemenag. Kedisiplinan merupakan kunci bagi keberhasilan program-program Kemenag. Dengan disiplin pelayanan terhadap masyarakat pun dapat diberikan secara profesional dan maksimal. Hal ini sejalan dengan harapan untuk meningkatkan kinerja Kemenag dengan integritas dan profesionalitas.
Sebagai abdi negara dan masyarakat yang digaji oleh negara sudah seharusnya segala tugas dan kewajiban dilaksanakan dengan sebaik-baiknya sesuai aturan yang telah ditetapkan. Tidak bisa kita sekehendak hati dengan mengabaikan aturan yang ada. Oleh karenanya seorang PNS baik pegawai maupun guru harus masuk kerja sesuai dengan jam dinas. Fakta di lapangan seringkali dijumpai PNS tidak mengikuti aturan ini, dengan kata lain masuk kerja terkadang terlambat begitu pula pulangnya lebih cepat. Demikian pula di kalangan guru, banyak yang tidak berangkat ke sekolah ketika tidak ada jam mengajar. Bahkan sering ditemui seorang PNS sering tidak masuk tanpa alasan dan tanpa ada surat izin karena model presensi yang konvensional melalui tanda tangan. Jelas ini merupakan pelanggaran yang tidak seharusnya dilakukan PNS dan segera harus ditangani.
Kenyataan di MTsN X bahwa pemakaian absensi finger print telah dimulai. Penerapan sistem absensi berbasis sidik jari (biometrics) dalam proses pengambilan informasi diharapkan kehadiran guru bisa mencapai 100% akurat karena didasarkan pada sidik jari masing-masing guru, serta proses pencatatan dan pelaporannya menjadi otomatis oleh software khusus. Kesalahan maupun manipulasi catatan dapat dihilangkan karena intervensi pegawai administrasi menjadi minimal. Informasi yang akurat merefleksikan kondisi yang sebenarnya menjadi landasan untuk pengambilan keputusan serta kebijakan dan kemajuan suatu instansi atau lembaga.
Dalam perjalanannya, MTsN X pernah mengalami pasang surut baik secara kuantitas maupun kualitas. MTsN X pernah meraih nilai akreditasi B. Hal ini tentunya belum cukup membuat bangga segenap warga madrasah. Seluruh keluarga besar MTsN X berusaha agar mampu meraih nilai akreditasi A. Perkembangan siswa MTsN X sangat bervariasi. Pernah jumlah siswa mencapai lima kelas paralel dengan jumlah siswa kurang lebih 450 orang. Namun demikian pernah juga terjadi jumlah siswa menurun drastis hingga hanya berjumlah 150 orang saja. Secara kualitas lulusan dari MTsN X telah banyak yang sukses meskipun tidak sedikit juga yang masih belum berhasil.
Peningkatan kinerja guru di MTsN X melalui presensi sidik jari juga perlu di dukung dengan motivasi yang tinggi. Akan tetapi, masih ada juga beberapa guru MTsN X yang memiliki motivasi rendah seperti belum mau melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, malas mengerjakan administrasi, maupun belum termotivasi dalam mengembangkan IT.
Sebetulnya, melalui motivasi yang muncul dari dalam diri guru maka dapat mendorong atau menggerakkan seseorang bertingkah laku. Dengan demikian motivasi tentunya dimiliki oleh setiap individu tak terkecuali individu. Motivasi kerja guru yaitu suatu kekuatan potensial (baik itu dorongan internal maupun dorongan eksternal) yang menggerakkan (to move) perilaku seorang guru untuk berbuat atau bekerja terhadap sesuatu ataupun tujuan tertentu. Motivasi kerja guru adalah kondisi yang membuat guru mempunyai kemauan/kebutuhan untuk mencapai tujuan tertentu melalui pelaksanaan suatu tugas.
Kesetiaan atau loyalitas guru terhadap kinerja dapat menimbulkan rasa tanggung jawab. Di mana rasa tanggung jawab tersebut dapat menciptakan semangat kerja untuk dapat menimbulkan loyalitas guru terhadap sekolah, dengan berdasar uraian di atas maka penulis akan melakukan penelitian tentang “MANAJEMEN FINGER PRINT DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP PENINGKATAN KINERJA GURU MTSN X”.
TESIS HUBUNGAN PELAKSANAAN PENDIDIKAN AGAMA DALAM KELUARGA DAN SEKOLAH DENGAN PEMBENTUKAN PERILAKU SISWA

TESIS HUBUNGAN PELAKSANAAN PENDIDIKAN AGAMA DALAM KELUARGA DAN SEKOLAH DENGAN PEMBENTUKAN PERILAKU SISWA

(KODE : PASCSARJ-1157) : TESIS HUBUNGAN PELAKSANAAN PENDIDIKAN AGAMA DALAM KELUARGA DAN SEKOLAH DENGAN PEMBENTUKAN PERILAKU SISWA (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pada umumnya, anak-anak semenjak dilahirkan sampai menjadi manusia dewasa, menjadi orang yang dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab sendiri dalam masyarakat, serta mengalami perkembangan. Baik atau buruknya hasil perkembangan anak itu terutama bergantung kepada pendidikan yang diterima anak itu dari berbagai lingkungan pendidikan yang dialaminya.
Adapun menurut Ngalim, macam-macam lingkungan (tempat) pendidikan itu adalah : 
a. Lingkungan keluarga,
b. Lingkungan sekolah,
c. Lingkungan kampung,
d. Lingkungan perkumpulan pemuda,
e. Lingkungan negara dan sebagainya.
Kelima macam lingkungan tersebut dapat digolongkan menjadi tiga golongan besar, yaitu : 
a. Lingkungan keluarga, yang disebut juga lingkungan pertama
b. Lingkungan sekolah, yang disebut juga lingkungan kedua
c. Lingkungan masyarakat, yang disebut juga lingkungan ketiga.
Setiap orang tua dan semua guru ingin membina anak agar menjadi orang yang baik, mempunyai kepribadian yang kuat, dan sikap mental yang sehat, serta akhlak yang terpuji. Semua itu dapat diusahakan melalui pendidikan, baik formal (di sekolah) maupun informal (di rumah oleh orang tua). Setiap pengalaman yang dilalui anak, baik melalui penglihatan, pendengaran maupun perlakuan yang diterima akan ikut menentukan pembinaan pribadinya.
Orang tua adalah Pembina pribadi yang pertama dalam kehidupan anak. Kepribadian orang tua, sikap dan cara hidup mereka merupakan unsur-unsur pendidikan tak langsung, yang dengan sendirinya akan masuk ke dalam pribadi anak yang sedang tumbuh. Sikap anak terhadap guru agama dan pendidikan agama di sekolah sangat di pengaruhi oleh sikap orang tua terhadap agama dan guru agama khususnya.
Hubungan orang tua sangat mempengaruhi pertumbuhan jiwa anak. Hubungan yang serasi, penuh pengertian dan kasih sayang akan membawa pada pembinaan pribadi yang tenang, terbuka dan mudah dididik, karena ia mendapat kesempatan yang cukup dan baik untuk tumbuh dan berkembang. Sebaliknya, hubungan orang tua yang tak serasi, banyak perselisihan dan percekcokan akan membawa anak pada pribadi yang sukar dan tak mudah dibentuk, karena ia tak mendapatkan suasana yang kondusif untuk berkembang. Tentunya, semua itu akan berpengaruh pada jenjang pendidikan berikutnya di sekolah, yang terealisasi dalam sikapnya terhadap guru, termasuk dalam guru agamanya.
Guru agama mempunyai tugas yang cukup berat, yaitu ikut membina pribadi anak di samping mengajarkan pengetahuan agama kepada anak. Guru agama harus membawa anak didik ke arah pribadi yang sehat dan baik. Setiap guru agama di sekolah harus menyadari bahwa segala yang terefleksi dari dirinya akan menjadi unsur pembinaan yang lebih dominan bagi anak didik daripada pengajarannya secara langsung.
Islam memandang bahwa sesungguhnya keluarga adalah pondasi bagi masyarakat. Sesungguhnya pernikahan adalah pondasi bagi keluarga. Oleh karena itu Islam menganjurkan pernikahan, memudahkan jalanya, menghilangkan faktor ekonomi yang menjadi penghalang bagi jalanya, baik dengan pendidikan maupun dengan perundang-undangan. Allah dan Rasul-Nya membenci semua hal tersebut. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Ar-Rum (30) : 21 : 
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q.S. 30 : 21)
Dalam hadits Rasulullah SAW bersabda, yang artinya : 
“Wanita itu dinikahi karena empat faktor, yaitu : karena hartanya, karena kecantikannya, karena kedudukannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah wanita yang berpegang pada agama, niscaya engkau akan bahagia”. (HR. Abu Daud).
Islam mempermudah jalan-jalan halal, menutup rapat pintu-pintu menuju perbuatan haram, termasuk perbuatan asusila, mempertontonkan diri dan perhiasan, dalam audio dan visual, kisah, drama yang lainnya. Terlebih lagi alat-alat komunikasi-informasi yang hampir memasuki setiap rumah dan sampai kepada semua mata dan telinga.
Islam juga membangun hubungan antara orang tua dan anak berupa kewajiban untuk membimbing anak dengan sempurna, baik dari segi materi, moril maupun akhlak. Ini merupakan kewajiban orang tua. Adapun dari pihak anak, kewajibannya adalah berbuat baik kepada orang tua.
Keluarga menurut para pendidik merupakan lapangan pendidikan yang pertama dan pendidiknya adalah kedua orang tua. Orang tua (bapak dan ibu) adalah pendidik kodrati. Mereka pendidik bagi anak-anaknya karena secara kodrati, ibu dan bapak diberikan anugerah oleh Tuhan Pencipta berupa naluri orang tua. Karena naluri ini, timbul rasa kasih sayang para orang tua kepada anak-anak mereka, hingga secara moral, keduanya merasa terkena beban tanggung jawab untuk memelihara, mengawasi, melindungi, dan membimbing keturunan mereka.
Dijelaskan dalam Hadis Rasulullah SAW., fungsi dan peran orang tua bahkan mampu membentuk arah keyakinan anak-anak mereka. Menurut beliau, setiap bayi yang dilahirkan sudah memiliki potensi untuk beragama, namun bentuk keyakinan agama yang akan dianut anak sepenuhnya bergantung pada bimbingan, pemeliharaan, dan pengaruh kedua orang tua mereka.
Pendidikan merupakan suatu proses yang kompleks dan melibatkan berbagai pihak khususnya keluarga, sekolah dan masyarakat sebagai lingkungan pendidikan yang dikenal sebagai tri pusat pendidikan. Fungsi dan peranan tri pusat pendidikan itu, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, merupakan faktor penting dalam mencapai tujuan pendidikan yakni membangun manusia Indonesia seutuhnya serta menyiapkan sumber daya manusia bermutu. Dengan demikian, pemenuhan fungsi dan peranan itu secara optimal merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan Pembangunan Nasional.
Maka dalam hal ini Keluarga merupakan tempat pertama dan sebagai dasar dalam menerapkan pendidikan agama, sehingga terlahir anak-anak yang agamis sebagai generasi penerus dan juga merupakan tanggung jawab bersama dalam menerapkan nilai-nilai agama, baik di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
Adapun Sekolah atau lembaga pendidikan formal lainnya merupakan lingkungan kedua yang mempunyai pengaruh besar terhadap pembinaan pertumbuhan dan perkembangan anak-anak atau generasi muda Indonesia.
Sekolah adalah lembaga pendidikan yang penting sesudah keluarga, karena semakin besar kebutuhan anak, maka orang tua menyerahkan tanggung jawab sebagian kepada lembaga sekolah ini. Sekolah berfungsi sebagai pembantu keluarga dalam mendidik anak. Sekolah memberikan pendidikan dan pengajaran kepada anak-anak mengenai apa yang tidak dapat atau tidak ada kesempatan orang tua untuk memberikan pendidikan dan pengajaran di dalam keluarga.
Tugas guru dan pemimpin sekolah disamping memberikan ilmu pengetahuan-pengetahuan, keterampilan, juga mendidik anak beragama. Disinilah sekolah berfungsi sebagai pembantu keluarga dalam memberikan pendidikan dan pengajaran kepada anak didik.
Pendidikan budi pekerti dan keagamaan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah haruslah merupakan kelanjutan, setidak-tidaknya jangan bertentangan dengan apa yang diberikan dalam keluarga.
Bagi setiap muslim yang benar-benar beriman dan melaksanakan ajaran-ajaran Islam, mereka berusaha untuk memasukan anak-anaknya ke sekolah-sekolah yang diberikan pendidikan agama, atau ke sekolah umum yang memberikan pendidikan agama secara terpisah pada jam-jam tertentu.
Dalam hal ini mereka mengharapkan agar anak didiknya kelak memiliki kepribadian yang sesuai dengan ajaran Islam atau dengan kata lain berkepribadian yang seluruh aspeknya baik tingkah lakunya, kegiatan jiwanya maupun filsafat hidup akan kepercayaannya menunjukkan pengabdian kepada Tuhan penyerahan diri kepadaNya. 
Kewajiban sekolah adalah membantu keluarga dalam mendidik anak-anak. Dalam mendidik anak-anak itu, sekolah melanjutkan pendidikan anak-anak yang telah dilakukan orang tua di rumah. Berhasil baik atau tidaknya pendidikan di sekolah bergantung pada dan dipengaruhi oleh pendidikan di dalam keluarga.
Namun kenyataannya, banyak remaja dalam hal ini pelajar yang sedang belajar di SMK Negeri X sebagai generasi penerus yang memiliki beban tanggung jawab besar di masa yang akan datang, sebagai calon-calon pemimpin, ada sebagian siswa yang kurang menyadari tugasnya sebagai pelajar dengan perilaku yang tidak baik dengan melanggar tata tertib sekolah atau bertindak indisipliner, misalnya terlambat ke sekolah, tidak memakai atribut sekolah, judi, premanisme, membolos dan pelanggaran tata tertib yang lainnya. Padahal, disamping memperoleh bimbingan dari sekolah, mereka juga memperoleh bekal bimbingan dari orang tua mereka di rumah. Disamping belajar di sekolah, mereka juga sedang dalam proses pendewasaan diri. Dalam proses pendewasaan tersebut banyak mengalami pergolakan dalam diri mereka yang apabila dibiarkan tanpa adanya bimbingan/perhatian dari keluarga dan sekolah maka akan hidup penuh dengan kegelisahan, kecemasan, ketidakpastian serta kebingungan apalagi di era globalisasi saat ini. Dengan demikian, ada masalah yang menarik untuk diteliti, yaitu APAKAH PERILAKU SISWA SMK NEGERI X YANG KURANG BAIK ITU, ADA HUBUNGAN DENGAN PELAKSANAAN PENDIDIKAN AGAMA DI LINGKUNGAN KELUARGA DAN SEKOLAH ?.
TESIS MANAJEMEN MUTU TERPADU (MMT) DI SD NEGERI X

TESIS MANAJEMEN MUTU TERPADU (MMT) DI SD NEGERI X

(KODE : PASCSARJ-1156) : TESIS MANAJEMEN MUTU TERPADU (MMT) DI SD NEGERI X (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian
Kualitas pendidikan di Indonesia masih jauh dari harapan masyarakat. Laporan terbaru United Nation Development Programme (UNDP) tahun 2013 menyatakan, “Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2012 menduduki peringkat 121 dari 187 negara dengan skor 0,629”. Laporan tersebut juga menyebutkan, di antara negara ASEAN, IPM Indonesia masih di bawah Malaysia yang menempati peringkat 64 dengan skor 0,769; Singapura 18 (0,895); Thailand 103 (0,690); atau Brunei Darussalam yang berada di posisi 30 (0,855). Begitu pula jika dibandingkan IPM negara berkembang lainnya, seperti China yang menduduki peringkat 101 dengan skor 0,699; Meksiko di 61 (0,755); Korea di 12 (0,909); Turki di 90 (0,7222); Kolumbia di 91 (0,719); dan Mesir di 112 (0,662) (Whisnu, 2013 : 1). Masih rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia dibanding dengan negara-negara ASEAN tersebut menunjukkan bahwa tingkat kualitas pendidikan di Indonesia belum juga menuju perbaikan yang signifikan. Berbagai masalah pendidikan berkaitan dengan masih rendahnya mutu pembelajaran yang dilaksanakan, baik mengenai kualitas pengajaran guru, kompetensi guru, output yang dihasilkan, kurikulum yang digunakan, bahkan mengenai kepemimpinan kepala sekolah masih menjadi sorotan utama. Kritik mengenai kualitas pendidikan di Indonesia banyak dikemukakan oleh para pakar pendidikan, peneliti bidang pendidikan, dan pemerhati pendidikan.
Tilaar (2006 : 5-6) mengemukakan bahwa, kemerosotan mutu pendidikan nasional tidak terletak kepada kemampuan intelegensi para siswa Indonesia, tetapi disebabkan oleh kesempatan yang tidak merata dalam memperoleh pendidikan yang baik pada anak-anak bangsa ini. Selain itu, kualitas pembinaan para guru, kesempatan belajar yang tersedia di dalam lingkungan sekolah dan masyarakat, serta biaya-biaya yang dibutuhkan di dalam pendidikan berkualitas rupa-rupanya belum secara merata dapat dinikmati oleh anak-anak bangsa. Sebagaimana telah diketahui bahwa kualitas pendidikan tidak hanya ditentukan oleh kurikulum (standar isi), tetapi juga oleh faktor-faktor lain seperti : penguasaan para siswa terhadap isi yang telah digariskan di dalam kurikulum serta tersedianya sumber-sumber belajar yang memadai.
Hasairin (2008 : 10) menyatakan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara di dunia tetangga dan tidak terlepas dari tanggung jawab seluruh komponen bangsa Indonesia. Komponen yang harus bertanggung jawab adalah semua pihak yang berkepentingan (stakeholder) dalam dunia pendidikan, baik guru, orang tua siswa, Dinas Pendidikan, Departemen Agama, Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP), maupun DPR yang membawahi bidang pendidikan.
Umaedi (1999 : 1) juga menyebutkan bahwa mutu pendidikan selama ini kurang berhasil disebabkan strategi dan pengelolaannya tidak tepat sasaran.
Pertama, strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan (penyediaan buku-buku/materi ajar, alat-alat belajar, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya telah dipenuhi, maka secara otomatis lembaga pendidikan (sekolah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagaimana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan (sekolah) melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri.
Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro oriented, diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Secara singkat dapat dikatakan bahwa kompleksitas cakupan permasalahan pendidikan seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat.
Dalam upaya peningkatan mutu sumber daya manusia melalui peningkatan mutu pendidikan, bangsa Indonesia secara nyata telah melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk perbaikan mutu pendidikan. Kondisi nyata dari usaha perbaikan mutu sumber daya manusia melalui peningkatan mutu pendidikan dapat kita lihat dalam bentuk program wajib belajar 9 tahun (6 tahun pada jenjang Sekolah Dasar dan 3 tahun pada jenjang Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Upaya ini lebih jauh dilakukan melalui berbagai cara seperti peningkatan sarana prasarana, perbaikan kualitas tenaga kependidikan, penyempurnaan manajemen, pembaharuan kurikulum, peningkatan anggaran, dan lain-lain. Namun hingga saat ini mutu pendidikan di Indonesia belum menunjukkan adanya perkembangan yang signifikan.
Mutu pendidikan sendiri pada dasarnya dapat dilihat dari aspek proses pendidikan, outcome pendidikan, dan isi atau konten pendidikan (Hamzah, 2006 : 14). Ketiganya dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Bila proses pendidikan berkaitan dengan bagaimana pendidikan itu berlangsung dengan mengikutsertakan segenap potensi dan sumberdaya yang tersedia maka outcome pendidikan lebih mencerminkan apa yang sudah dicapai oleh proses tersebut. Proses pendidikan menentukan kualitas hasil pendidikan yang akan diperoleh, sedangkan kualitas hasil pendidikan menjadi indikator dan feedback bagi perbaikan mutu pendidikan yang akan dilaksanakan selanjutnya.
Standar mutu bagi pelanggan memberikan jaminan produk atau jasa yang dihasilkan pemasok secara konsisten sesuai dengan mutu yang telah ditetapkan. Dalam ISO 9001 : 2001, ada delapan elemen persyaratan, yaitu fokus pelanggan, kepemimpinan, partisipasi karyawan, pendekatan proses, pendekatan sistem, perbaikan terus-menerus, pendekatan faktual dalam pengambilan keputusan dan hubungan timbal baik yang menguntungkan dengan pemasok. Di sini terlihat, filosofi mendasar standar mutu ISO adalah menekankan pencegahan daripada pengobatan, sedangkan landasan konsepnya adalah Plan, Do, Check, dan Action.
Berdasarkan konsepsi mutu dan standar mutu di atas, dalam upaya mewujudkan pendidikan yang bermutu, kebutuhan akan pengelolaan atau manajemen yang memiliki fokus terhadap mutu menjadi suatu keharusan. Manajemen Mutu Terpadu (MMT) merupakan jawaban atas kebutuhan di atas. MMT merupakan proses kontinyu yang melibatkan segenap pegawai melalui organisasi dalam pemecahan masalah secara kreatif untuk meningkatkan kualitas atau mutu atas output dan proses. Ada tiga karakteristik utama dalam MMT yaitu customer focus, commitment to increment improvement dan emphasis on problem solving.
Ada lima aspek yang menjadi tolok ukur penerapan MMT dalam pendidikan yaitu : fokus pelanggan internal maupun eksternal, adanya keterlibatan total, standar baku mutu lulusan, komitmen, dan perbaikan yang berkelanjutan. Usaha untuk mengimplementasikan MMT pendidikan pada sekolah-sekolah perlu memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut antara lain : kepemimpinan, pendidikan dan pelatihan, budaya (iklim organisasi), fokus pelanggan, metode ilmiah dan alat-alatnya, data-data yang bermakna, serta tim penyelesaian masalah (Syafarudin, 2002 : 57).
Pendidikan dimaksudkan untuk meningkatkan mutu Sumber Daya Manusia. UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada Bab II Pasal 3 dijelaskan bahwa : 
Tujuan diselenggarakannya pendidikan adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Ini berari bahwa melalui pendidikan setiap orang akan dapat meningkatkan pengetahuan, penguasaan nilai-nilai dan keterampilan. Mutu menjadi penting dalam rancangan pendidikan sekolah oleh karena output yang dipersiapkan adalah sumberdaya manusia yang memiliki kemampuan memecahkan masalah. Sekolah merupakan satuan pendidikan formal yang berfungsi sebagai organisasi jasa kemanusiaan (pembinaan potensi peserta didik) melalui berbagai kegiatan di sekolah sehingga akan meningkat pengetahuan, nilai-nilai kehidupan, dan keterampilan yang bermanfaat dalam hidupnya.
Studi pendahuluan di SD Negeri X menunjukkan bahwa mayoritas siswa berasal dari masyarakat dengan latar belakang pendidikan, dan ekonomi orangtua tergolong kelas bawah. Menurut Kepala Sekolah hal tersebut mempengaruhi tingkat perhatian terhadap belajar anak kurang intensif sehingga perhatian terhadap belajar anak cenderung rendah. Mereka menyerahkan pendidikan anak-anak mereka kepada sekolah. Berbicara mutu pendidikan bagi orangtua adalah jika anak-anak mereka telah lulus dan dapat diterima di sekolah lanjutan sesuai dengan harapan. Tetapi jika tidak dapat diterima di sekolah yang mereka inginkan berarti sekolah tidak bermutu. Kepala sekolah menangkap peluang kepercayaan orangtua sebagai potensi yang harus dimanfaatkan dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada mereka, agar sekolah tidak kehilangan pelanggan.
Upaya kepala sekolah untuk mewujudkan harapan pelanggan merupakan bagian dari tugas dan fungsinya sebagaimana disebutkan pada pasal 12 ayat 1 PP 28 Tahun 2009 bahwa : 
Kepala sekolah bertanggung jawab atas penyelenggaraan kegiatan pendidikan, administrasi sekolah, pembinaan tenaga kependidikan lainnya, dan pendayagunaan serta pemeliharaan sarana dan prasarana.
Tugas dan tanggungjawab kepala sekolah sebagaimana kutipan di atas, sebagai penyelenggara pendidikan di sekolah memiliki peran dan fungsi selain sebagai Manajer, seorang kepala sekolah juga sebagai Leader (Pemimpin), Educator (Pendidik), Inovator, dan Motivator. Untuk menjalankan peran dan fungsinya diperlukan suatu sistem manajemen yang mengangkat kualitas sebagai strategi usaha dan berorientasi pada kepuasan pelanggan dengan melibatkan seluruh anggota organisasi atau Manajemen Mutu Terpadu. Melalui Manajemen Mutu Terpadu pada institusi pendidikan diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan di sekolah.
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “MANAJEMEN MUTU TERPADU (MMT) DI SD NEGERI X”.
TESIS INTERFERENSI DAN SIKAP BAHASA ASING DALAM PENULISAN NAMA BADAN USAHA SWASTA

TESIS INTERFERENSI DAN SIKAP BAHASA ASING DALAM PENULISAN NAMA BADAN USAHA SWASTA

(KODE : PASCSARJ-1155) : TESIS INTERFERENSI DAN SIKAP BAHASA ASING DALAM PENULISAN NAMA BADAN USAHA SWASTA (PROGRAM STUDI : LINGUISTIK)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan masyarakat dapat mempengaruhi perubahan bahasa. Era globalisasi merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya perubahan bahasa. Mudahnya informasi yang diperoleh, baik melalui media cetak, elektronik, maupun interaksi sosial dapat menyebabkan terjadinya perubahan bahasa. Adanya kontak antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain dapat memungkinkan terjadinya interferensi bahasa. Dengan demikian, salah satu perubahan bahasa adalah adanya interferensi bahasa.
Sejalan dengan itu, Alwasilah (1985:132) mengatakan bahwa setiap bahasa akan mengalami perubahan selama bahasa itu masih dipakai. Seringkali perubahan ini tidak kita sadari. Salah satu faktor yang mengakibatkan terjadinya perubahan bahasa karena pengaruh pemakaian bahasa lain. Hal ini sesuai dengan makna interferensi yang berarti adanya saling mempengaruhi antar bahasa. Pengaruh ini biasanya terlihat dalam peminjaman kosa kata dari bahasa lain.
Zabadi (2009:2) dalam makalahnya yang disampaikan pada Seminar Nasional di Hotel Grand Antares X, menyatakan masyarakat Indonesia yang berada dalam situasi kedwibahasaan sehingga memungkinkan terjadinya alih kode (code-switching), campur code (code-mixing), atau interferensi (interference). Di dalam keadaan seperti inilah bahasa Indonesia yang mereka pakai sering tidak lagi baik dan benar berdasarkan ukuran pemakaian kaidah bahasa Indonesia. Gejala ini menyebabkan perubahan situasi tindak tutur dari penggunaan bahasa daerah ke nasional, nasional ke daerah, nasional ke asing, atau asing ke nasional.
Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku dan bangsa sehingga mengakibatkan adanya multibahasa. Di samping itu bangsa Indonesia tergolong bangsa yang terbuka terhadap pengaruh budaya bangsa asing. Adanya multibahasa bahasa dan pengaruh budaya bangsa asing dapat mengakibatkan kontak bahasa antara bahasa yang satu dengan bahasa lain sehingga tidak terelakkan terjadi interferensi bahasa.
Kota X merupakan kota besar yang tidak menutup kemungkinan terjadinya interferensi bahasa. Masyarakat Kota X termasuk masyarakat bilingual dan multilingual yang dapat mengakibatkan adanya interferensi bahasa. Di dalam pengamatan sepintas ada kecenderungan masyarakat kota besar, termasuk Kota X, menggunakan bahasa asing, baik dalam bahasa lisan maupun tulisan. Begitu pula halnya interferensi bahasa tidak hanya terjadi pada bahasa lisan tetapi bahasa tulisan. Tidak dapat dipungkiri bahwa interferensi bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia sangatlah tinggi, baik pada tataran fonologi, morfologi, maupun sintaksis. Contoh interferensi pada tataran fonologi antara lain singkatan ‘acc’ diucapkan [a-se-se] seharusnya dalam bahasa Indonesia diucapkan [a-c-c], singkatan ‘ac’ diucapkan [a-se] seharusnya dalam bahasa Indonesia [a-c]. Singkatan acc dan ac merupakan interferensi dari bahasa asing, yaitu bahasa Inggris. Ada pula bahasa Indonesia yang ter interferensi fonologi bahasa asing, contohnya ‘kecapnya kecap abc’ di mana pengucapan ‘a-b-c’ diucapkan dengan [a-b-se,] seharusnya [a-b-c]. Contoh pada tataran morfologi adalah nama badan usaha perhotelan antara lain ‘Garuda Hotel’ seharusnya ‘Hotel Garuda’, dan ‘Hotel Grand Angkasa’ seharusnya ‘Hotel Angkasa Agung’. Contoh lain, Rumah Makan ACC. Banyak orang mengucapkannya Rumah Makan [a-se-se]. Contoh pada tataran sintaksis banyak terlihat pada penggunaan bahasa di tempat umum, seperti ‘No Smoking’ yang memiliki padanan dalam bahasa Indonesianya adalah ‘Dilarang Merokok’
Di samping itu, dalam sejarah pemberian Anugerah Bahasa bernama Adibahasa yang diberikan oleh Pusat Bahasa, ternyata Provinsi Y tidak pernah mendapatkannya. Hal ini disebabkan Provinsi Y, khususnya Kota X, dinyatakan tidak tertib dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, baik dalam surat-menyurat kedinasan maupun penulisan nama badan usaha. Khususnya, pemakaian bahasa pada nama badan usaha, masih banyak yang menggunakan bahasa asing.
Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Balai Bahasa X. Syarfina, dkk. (2009:61) menyebutkan masyarakat Kota X banyak melihat kata/istilah asing pada papan nama, papan reklame, nama gedung, spanduk dan lain-lain. Sebenarnya, mereka kurang bangga dengan banyaknya penggunaan kata asing di Kota X atau di sekitar tempat tinggalnya. Walaupun mereka suka menggunakan kata/istilah asing, mereka setuju pemerintah mengimbau para usahawan dan masyarakat menggunakan kata dari bahasa Indonesia untuk menamai papan nama atau papan reklame.
Data di atas menunjukkan bahwa interferensi bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia tidak dapat dihindari. Tingginya interferensi bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia mengakibatkan melemahnya jatidiri bahasa Indonesia. Hal itu karena interferensi bahasa akan mengakibatkan penyimpangan kaidah bahasa Indonesia, baik kaidah fonologi, morfologi, maupun sintaksis. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengindonesiaan bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Hal ini merupakan pertaruhan harga diri bahasa Indonesia, seperti diungkapkan Badudu (1995:19) dengan adanya interferensi tersebut, kadang-kadang menguntungkan bahasa Indonesia, namun ada juga yang merugikan karena menyimpang dari struktur bahasa Indonesia.
Sejalan dengan itu, dalam UUD 1945, Pasal 36, menyebutkan bahwa bahasa negara ialah bahasa Indonesia. Hal ini berarti bahasa Indonesia harus dipelihara dan setiap warga negara wajib turut membinanya. Secara kelembagaan, pemerintah mendirikan Pusat Bahasa sebagai lembaga resmi untuk melakukan pembinaan bahasa Indonesia, seperti dengan membuat Rancangan Undang-Undang Kebahasaan yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Ruang lingkup kebahasaan terdiri dari lima bab. Bagian kesatu, Umum tertuang dalam pasal 25; bagian kedua, Penggunaan Bahasa Indonesia tertuang dalam pasal 26-40; bagian ketiga, Pengembangan, Pembinaan, dan Perlindungan Bahasa Indonesia, tertuang dalam pasal 41-43; bagian keempat, Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia tertuang dalam pasal 44; bagian kelima, Lembaga Kebahasaan tertuang dalam pasal 45.
Selanjutnya undang-undang yang mengatur penggunaan bahasa Indonesia pada nama badan usaha terdapat dalam pasal 36 ayat 3 berbunyi, “Bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks, perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.”
Jika diamati saat ini, adanya kecenderungan penulisan papan nama badan usaha swasta di Kota X menggunakan bahasa asing, baik dalam tataran fonologi, gramatikal, leksikal, dan semantik. Secara kualitatif, penulisan nama badan usaha dideskripsikan dan dianalisis berdasarkan peraturan yang berlaku dalam penggunaan bahasa asing di Indonesia. Hal ini disebabkan kecenderungan menggunakan bahasa asing pada nama badan usaha memiliki alasan tersendiri bagi pengusaha.
Secara kuantitatif, penggunaan bahasa yang ter interferensi tersebut bergantung pada sikap bahasa pengusaha yang senang menggunakan bahasa asing, meniru jenis usaha lain, mengikuti tren masa kini, tidak mengetahui padanan bahasa asing dalam bahasa Indonesia, memudahkan masyarakat dalam mengingat nama usaha, tuntutan zaman dan teknologi, memiliki nilai prestise, dan mengundang ketertarikan konsumen. Oleh karena itu, penyelidikan faktor yang menyebabkan interferensi dari segi usia dan penghasilan, jenis kelamin, pendidikan, dan keturunan menjadi bagian dari kajian ini. Dengan demikian, penggunaan bahasa asing di wilayah Indonesia, khususnya Kota X, sebagai kajian interferensi menemukan alat bukti yang konkret dalam usaha penertiban bahasa asing di tempat umum, sekaligus usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia dalam penulisan nama badan usaha, kawasan, dan bangunan serta nama dan merek dagang.
Berdasarkan hal di atas, perlu dilakukan penelitian yang berkaitan dengan interferensi dan sikap bahasa asing pengusaha dalam penulisan nama badan usaha swasta di Kota X.
TESIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA, PENYULUHAN KESEHATAN LANGSUNG, DAN MEDIA MASSA DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN MALARIA

TESIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA, PENYULUHAN KESEHATAN LANGSUNG, DAN MEDIA MASSA DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN MALARIA

(KODE : PASCSARJ-1154) : TESIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA, PENYULUHAN KESEHATAN LANGSUNG, DAN MEDIA MASSA DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN MALARIA (PROGRAM STUDI : KEPERAWATAN)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang banyak terjadi di negara-negara tropis. Penyakit ini pun masih menjadi masalah kesehatan di dunia (Kemenkes RI, 2010) dan dikategorikan “re-emerging disease”. WHO (World Health Organization) dalam Malaria Report 2011 menyatakan bahwa malaria cenderung selalu meningkat dari tahun ke tahun. Data lima tahun terakhir menunjukkan bahwa pada tahun 2005 terdapat 83.551.210 kasus, tahun 2006 terdapat 85.573.379 kasus, tahun 2007 terdapat 86.746.527 kasus, tahun 2008 terdapat 74.585.630 kasus dan tahun 2009 terdapat 82.485.969 kasus. WHO (2011), melaporkan dari 106 negara yang dinyatakan endemis malaria terdapat 94.299.637 kasus malaria, 345.960 meninggal karenanya dan 2.426 kasus terjadi di Asia Tenggara selama tahun 2010.
Kondisi ini juga terpapar di Indonesia, populasi penduduk Indonesia hampir setengahnya tinggal di daerah endemik malaria (kecuali Pulau Jawa-Bali). WHO (2011) melaporkan bahwa terdapat 1.849.062 kasus dan 432 kasus meninggal selama tahun 2010. Terdapat 424 kabupaten/ kota endemis dari 576 kabupaten/ kota yang ada di Indonesia (Kemenkes, 2010).
Malaria juga merupakan penyakit yang mempengaruhi tingginya kematian terutama kelompok risiko tinggi, yaitu bayi, anak balita, dan ibu hamil. Malaria secara langsung menyebabkan anemia dan dapat menurunkan produktivitas sumber daya manusia (Kemenkes, 2010). Secara tidak langsung, malaria menyebabkan melemahnya perekonomian masyarakat. GF (Global Fund AIDS, Tuberculosis, and Malaria) (2009), menyatakan bahwa penyakit ini dianggap sebagai keadaan berbahaya yang mempengaruhi setengah dari populasi dunia dan menjadi lingkaran kemiskinan di beberapa negara berkembang. Menurut perhitungan para ahli ekonomi kesehatan, kasus malaria saat ini dapat menimbulkan kerugian ekonomi mencapai sekitar 3,3 triliun rupiah sebagai akibat dari tidak dapat bekerja selama satu minggu, biaya pengobatan dan lain-lain, belum termasuk biaya sosial seperti menurunnya tingkat kecerdasan anak dan menurunnya kualitas sumber daya manusia yang berdampak pada penurunan produktifitas (Kemenkes, 2010).
Penanggulangan penyakit malaria telah menjadi kerangka kerja pembangunan nasional, kerangka kerja ini sebagai implikasi dari kesepakatan MDGs (Millennium Development Goals) tahun 2015. Penanggulangan malaria dideklarasikan pula sebagai agenda kesepuluh Sidang WHA (World Health Assembly) di Swiss tahun 2011 (Kemenkes RI, 2011). Penurunan angka kejadian malaria menjadi 1 per 1000 penduduk merupakan indikator yang harus dicapai setiap negara yang menyepakati MDGs tersebut.
Pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular dilakukan melalui upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif bagi individu atau masyarakat, dan ditegaskan pula bahwa pencegahan penyakit menular wajib dilakukan oleh masyarakat melalui perilaku hidup sehat (Kemendagri, 2009). Artinya penanggulangan penyakit ini perlu dilakukan secara komprehensif sesuai dengan paradigma sehat pembangunan kesehatan saat ini, yang bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian serta mencegah KLB (Kejadian Luar Biasa). Pencapaian hasil yang optimal dilakukan dengan upaya preventif dan kuratif yang berkualitas dan terintegrasi dengan lintas sektor, lintas program, dan lintas daerah (Kemenkes RI, 2010). Hal ini disebabkan karena malaria tidak mengenal batas-batas wilayah administratif (Bappenas, 2006).
Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular menjadi upaya wajib (Kemenkes, 2004). Upaya wajib berarti upaya yang ditetapkan sebagai komitmen nasional dan global yang dianggap mampu menjadi daya ungkit tinggi dalam peningkatan derajat kesehatan manusia. Artinya penyakit malaria menjadi prioritas utama program di puskesmas.
Berdasarkan Rencana Strategis Kementerian Kesehatan tahun 2010-2014 telah ditetapkan target penurunan angka kejadian kasus malaria (Annual Parasite Index-API) dari 2 menjadi 1 per 1.000 penduduk (Kemenkes, 2010). Angka kejadian malaria berdasarkan API sejak tahun 2005–2006 cenderung meningkat dari 2,93-3,14, namun tahun 2007-2011 dengan berbagai upaya pemerintah terjadi penurunan yang sangat tajam dari 2,87-1,75 (Kemenkes, 2012).
Setiap individu dapat terinfeksi plasmodium malaria, akan tetapi dalam keadaan vulnerable, risiko terinfeksi akan lebih tinggi. Keadaan ini akan bertambah lagi bila dipicu dengan faktor-faktor lain seperti usia, jenis, kelamin, ras, riwayat malaria sebelumnya, gaya hidup, sosial ekonomi, status gizi dan imunitas (Kemenkes, 2004). Sehingga, kondisi vulnerable yang dipicu dengan beberapa faktor di atas akan menyebabkan individu mudah terinfeksi malaria.
Penduduk yang tinggal di daerah endemik pun lebih rentan terkena penyakit malaria. Keadaan semacam ini akan meningkatkan risiko memburuknya status kesehatan masyarakat (Stanhope & Lancaster, 2004). Populasi yang rentan merupakan kelompok yang paling membutuhkan dilakukannya tindakan pencegahan dan proteksi terhadap penyakit (Jaspers dan Shoham, 1999; Webb dan Harinarayan, 1999). Salah satu upaya pencegahan yang dilakukan adalah menghindari/ memproteksi dari agent penyebab malaria.
Agent penyebab malaria adalah protozoa dari genus plasmodium. Bila terjadi kontak yang efektif, agent ini akan lebih mudah menginfeksi pada individu/ keluarga vulnerable. Sedangkan, lingkungan di Indonesia cukup mendukung keberadaan penyakit malaria, seperti: lingkungan fisik (suhu, kelembaban udara, curah hujan, ketinggian, angin), lingkungan biologis dan lingkungan sosial-budaya (Kemenkes, 2004). Kondisi semacam ini semakin memudahkan agent malaria untuk menginfeksi individu/ keluarga yang vulnerable tersebut.
Suryantoro (2008) menemukan bahwa karakteristik lingkungan daerah endemis berpengaruh terhadap ada tidaknya kasus malaria di suatu daerah, adanya danau genangan air, kolam, pembenihan ikan merupakan tempat perkembangbiakan nyamuk anopheles sebagai vektor malaria. Begitu juga Darundiati (2010) yang menemukan bahwa terdapat hubungan yang bermakna dari faktor lingkungan dengan angka kejadian malaria. Sedangkan Kurniawan (2008) menemukan bahwa faktor risiko kejadian malaria adalah keberadaan genangan air dekat rumah dan tingkat pengetahuan. Keadaan lingkungan yang endemis dapat meningkatkan angka kejadian penyakit malaria.
Penduduk yang tinggal di daerah endemis termasuk dalam kategori populasi rentan. Populasi ini sangat sensitif terhadap risiko yang berasal dari faktor biologis dan didukung dengan faktor ekonomi, sosial, dan gaya hidup. Interaksi hasil beberapa faktor risiko dalam meningkatkan kerentanan terhadap faktor-faktor lain, yang juga dapat berdampak negatif terhadap kesehatan individu (Sebastian & Burshy, 2000 dalam Rita Hammer, Barbara dan Pagliaro, 2006). Keluarga rentan pun memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk terjangkitnya penyakit. Keadaan ini disebabkan karena keluarga rentan mempunyai keterbatasan sumber daya fisik dan emosional yang dapat mengancam tugas dan fungsi keluarga. Upaya yang dilakukan keluarga rentan dalam menyelesaikan masalah cenderung tidak tepat bahkan menyimpang (Hitchcock, 1999).
Penduduk yang tinggal di daerah endemik malaria tergolong dalam aggregate vulnerable. Swanson dan Nies (1997), rentan merupakan kondisi tidak terlindunginya dari pengaruh lingkungan. Peneliti juga mengemukakan karakteristik rentan terdiri atas fisik, lingkungan, sosial, dan ekonomi. Penduduk yang tinggal di daerah endemik malaria, dalam kondisi fisik yang kurang optimal akibat gizi kurang, terpaparnya dengan lingkungan rawa tempat berkembang biak vektor malaria, ditunjang pula dengan interaksi sosial yang kurang pemahaman tentang malaria dan pencegahannya kurang, diperberat lagi dengan kondisi ekonomi yang menyebabkan penduduk termasuk populasi rentan.
Keluarga dengan salah satu anggota keluarganya yang mempunyai pekerjaan di wilayah endemis akan mempunyai risiko lebih tinggi tertular penyakit malaria (Kemenkes, 2004). Hasil wawancara peneliti dengan pengelola Program P2 Malaria Puskesmas X, didapatkan data bahwa selama kurun waktu tahun 2011 terdapat 149 kasus malaria klinis dari 28.328 penduduk dan lebih dari 75% nya disebabkan lokal yang bekerja di wilayah endemis. Karakteristik lain keluarga rentan adalah person with communicable disease atau penderita penyakit menular. Transmisi penularan penyakit malaria begitu mudah dan cepat, sehingga prevalensinya dapat mempengaruhi sosial ekonomi kesehatan masyarakat. Semakin banyak pekerja yang sakit, maka akan makin sedikit keluarga yang mampu bekerja untuk mempertahankan fungsi keluarganya (Stanhope & Lancaster, 2004).
Secara epidemiologis, transmisi penularan malaria merupakan hasil interaksi dari host, agent, dan environment (Kemenkes, 2004). Blum (1974, dalam Notoatmojo, 2010) berpendapat bahwa faktor perilaku manusia merupakan determinan utama dan paling sukar ditanggulangi disamping faktor lain, yaitu: lingkungan, pelayanan kesehatan, dan genetik. Hal ini disebabkan, faktor perilaku mempengaruhi lingkungan hidup manusia.
Malaria merupakan penyakit menular yang berkaitan erat dengan perilaku. Perilaku seseorang juga dipengaruhi oleh keluarga. Keluarga rentan perilakunya berisiko tinggi memburuknya status kesehatan (Chesney dan Barbara, 2008). Hasil penelitian Cruz dan Crookston (2006), menemukan bahwa dari 516 partisipan, terdapat 90 % pekerja lembur dan 77% pekerja non lembur menyatakan tahu bahwa perilaku pencegahan dengan menggunakan kelambu dapat mencegah dari penyakit malaria. Penelitian lain menemukan bahwa perilaku pencegahan pemakaian kelambu, menggunakan jamban, dan menggunakan racun serangga mempunyai hubungan yang bermakna dengan angka kejadian malaria (Salim, 2009). Perilaku pencegahan dengan menggunakan kelambu berinsektisida dapat menurunkan risiko terjangkit malaria 0,7 kali (Taviv; Salim; dan Yeni, 2008). Afridah (2009) dalam penelitiannya tentang pengaruh perilaku penderita terhadap angka kesakitan malaria di Kabupaten Rokan Hilir, dari 110 responden yang diambil secara random menunjukkan bahwa 52,7 % pengetahuan dalam kategori buruk, 51,8% sikap dalam kategori buruk, dan 76,3% tindakan dalam kategori sedang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan, sikap, serta tindakan mempunyai pengaruh terhadap tindakan pencegahan malaria.
Perilaku pencegahan digambarkan oleh Glanz dan Rimer (2008), dalam The Health Belief Model (HBM), perilaku dipengaruhi oleh karakteristik individu dan informasi kesehatan yang disampaikan baik melalui penyuluhan kesehatan atau media massa. Penyuluhan kesehatan dan media massa merupakan kegiatan dari promosi kesehatan. Kemenkes (2009), menjelaskan bahwa kegiatan eliminasi malaria lebih banyak terfokus kepada kegiatan promotif dan preventif. Oleh karena itu, peranan promosi kesehatan akan semakin besar agar pelaksanaannya lebih optimal. Notoatmojo, (2010) menjelaskan promosi kesehatan dapat dilakukan melalui penyuluhan kesehatan dan media massa. Promosi kesehatan dilakukan untuk meningkatkan kemampuan perilaku individu dalam pencegahan penyakit malaria. Mardiah (2008), telah menemukan bahwa penyuluhan kesehatan memberikan pengaruh signifikan dalam membentuk perilaku pencegahan penyakit malaria. Pasaribu (2005), menemukan kenaikan nilai rata-rata komponen pengetahuan, sikap, dan praktik terjadi setelah dilakukan penyuluhan kesehatan. Hal ini menunjukkan penyuluhan kesehatan yang dilakukan dapat mengubah dan membentuk perilaku individu.
Hasil wawancara dengan pengelola program P2 Malaria Puskesmas X (09 Februari 2012) didapatkan bahwa kegiatan promotif dan preventif yang dilaksanakan saat ini adalah penyuluhan kesehatan setiap bulannya, pelaksanaan 3M (menguras, menutup, mengubur) pada tempat penampungan air, pembagian kelambu berinsektisida kepada keluarga dengan ibu hamil dan balita, pembagian bubuk larvasida, pemasangan banner dan spanduk serta baliho di sepanjang jalan protokol. Selain itu juga disarankan kepada masyarakat agar menggunakan profilaksis saat akan bepergian ke daerah endemis malaria. Lebih lanjut disampaikan, kegiatannya selama ini belum dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap masyarakat. Investigasi kasus dilaksanakan bila ada ditemukan penderita yang mengalami klinis atau positif malaria dan disampaikan laporannya ke Dinas Kesehatan.
Promosi Kesehatan melalui media massa telah digunakan untuk meningkatkan kesadaran dan perubahan perilaku. Media massa memberikan peranan kunci dalam perang memerangi malaria. Mozumder dan Marathe (2006) telah menemukan media massa dapat meningkatkan efektivitas sumber daya yang ada untuk pencegahan malaria.
Pencegahan dan pengendalian malaria dilakukan untuk mengurangi prevalensi kejadiannya, sehingga malaria tidak lagi menjadi masalah utama kesehatan di masyarakat (Kemenkes, 2012). Pencegahan penyakit malaria dapat dilakukan melalui pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Pencegahan primer dilakukan untuk mengurangi insidensi penyakit malaria melalui promosi dan pendidikan kesehatan, seperti melakukan chemoprophylaxis, pemakaian kelambu berinsektisida, atau pun menghindari gigitan nyamuk anopheles sp. Pencegahan sekunder melalui deteksi dini dan penatalaksanaan, seperti surveilans epidemiologi, investigasi kasus dan penanganan kasus malaria. Sedangkan pencegahan tersier untuk mengurangi komplikasi dan kecacatan, seperti menghindari terjadinya keguguran pada ibu hamil dan gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada bayi akibat anemia malaria (Stanhope dan Lancaster, 2004).
Berdasarkan beberapa hal di atas, peneliti bermaksud melakukan penelitian tentang “HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA, PENYULUHAN KESEHATAN LANGSUNG, DAN MEDIA MASSA DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN MALARIA PADA KECAMATAN CEMPAKA KOTA X”.
TESIS EVALUASI PELAKSANAAN JAMKESMAS DALAM PEMELIHARAAN KESEHATAN DASAR BAGI MASYARAKAT MISKIN DI PUSKESMAS

TESIS EVALUASI PELAKSANAAN JAMKESMAS DALAM PEMELIHARAAN KESEHATAN DASAR BAGI MASYARAKAT MISKIN DI PUSKESMAS

(KODE : PASCSARJ-1153) : TESIS EVALUASI PELAKSANAAN JAMKESMAS DALAM PEMELIHARAAN KESEHATAN DASAR BAGI MASYARAKAT MISKIN DI PUSKESMAS (PROGRAM STUDI : ILMU PEMERINTAHAN)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Salah satu aspek mendasar pemberian otonomi kepada daerah adalah keleluasaan pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri atas dasar prakarsa, kreativitas, dan peran serta aktif masyarakat dalam rangka mengembangkan dan memajukan daerahnya. Selain itu, adanya pemberian kewenangan untuk mengatur dan menyelenggarakan urusan pemerintahan berdasar skala pelayanan umum apakah lebih efektif diselenggarakan oleh daerah ataukah oleh pusat.
Kehidupan masyarakat yang semakin kompleks menuntut adanya suatu pelayanan yang semakin berkualitas, dalam hal ini pemerintah sebagai provider atau penyedia harus lebih intensif di dalam memperhatikan pelayanan tersebut. Karena diberbagai kesempatan pemerintah senantiasa menjanjikan pelayanan yang memuaskan kepada masyarakat, namun dalam kenyataannya belum dilaksanakan secara optimal.
Menurut perspektif Kybernologi, pemerintahan itu adalah pelayanan kepada manusia dan masyarakat. Di bentuknya suatu sistem pemerintahan, pada hakekatnya adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah berfungsi sebagai provider jasa-publik yang tidak diprivatisasi kan dan layanan civil termasuk layanan birokrasi. Pemerintahan tidaklah dibentuk untuk melayani diri sendiri tetapi untuk melayani masyarakat, menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap individu dapat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya untuk tujuan bersama. Pemerintah merupakan manifestasi dari kehendak rakyat, karena itu harus memperhatikan kepentingan rakyat dan melaksanakan fungsi kerakyatan melalui proses dan mekanisme pemerintahan. Pemerintah milik masyarakat akan tercipta jika birokrat dapat mendefinisikan ulang tugas dan fungsi mereka.
Antara pemerintah dengan masyarakat terdapat suatu hubungan, dimana ada masyarakat disana pula pemerintah diperlukan. Hubungan ini lebih didasarkan pada suatu interaksi antara yang menyediakan atau memberikan produk dengan yang membutuhkan atau menerima produk. Pemerintah adalah semua badan yang memproduksi, mendistribusi atau menjual alat pemenuhan kebutuhan rakyat berbentuk jasa publik dan layanan civil, sedangkan masyarakat yang mempunyai hak untuk mendapatkan, menerima dan menggunakan produk dari pemerintah, baik yang bersifat fisik maupun non fisik.
Salah satu bentuk produk pelayanan pemerintah kepada masyarakat adalah pelayan dibidang kesehatan. Kesehatan adalah merupakan salah satu dari hak asasi manusia, seperti termaktub dalam UUD 1945. Dalam UUD 1945 juga dinyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Kesehatan sebagai hak asasi manusia, mengandung suatu kewajiban untuk menyehatkan yang sakit dan berupaya mempertahankan yang sehat untuk tetap sehat. Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Hal ini melandasi pemikiran bahwa sehat adalah investasi.
Sentralisasi perencanaan kesehatan yang berlangsung di Indonesia dalam kurun waktu yang cukup lama berdampak pada kekurangberhasilan dalam pencapaian tujuan pembangunan kesehatan yakni peningkatan status derajat kesehatan masyarakat. Kebijakan kesehatan di masa lalu khususnya dalam bidang perencanaan kesehatan didominasi oleh Pemerintah Pusat dan peranan Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Kesehatan kabupaten/kota sangat terbatas. Target program bahkan penentuan prioritas program kesehatan umumnya berdasarkan proyeksi nasional. Hal ini menyebabkan ketidaksesuaian dengan situasi dan kebutuhan kesehatan lokal (kabupaten/kota).
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 131/MENKES/SK/II/2004 telah menetapkan Sistem Kesehatan Nasional (SKN) sebagai strategi pembangunan kesehatan di Indonesia. SKN merupakan tatanan yang menghimpun berbagai upaya bangsa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan mencapai derajat kesehatan yang setinggi tingginya sebagai perwujudan kesejahteraan umum, seperti dimaksud di dalam UUD 1945. Sub system pertama SKN adalah upaya kesehatan. Penyelenggaraan berbagai upaya kesehatan memerlukan dukungan dana. Sumber daya manusia, sumber daya obat dan perbekalan kesehatan sebagai masukan SKN. Dukungan dana sangat berpengaruh terhadap pembiayaan kesehatan yang semakin penting dalam menentukan kinerja SKN. Mengingat kompleksnya pembiayaan kesehatan, maka pembiayaan kesehatan ditetapkan sebagai sub sistem ke dua SKN.
Program pembangunan dibidang kesehatan merupakan salah satu unsur yang sangat penting dari mutu kehidupan dalam pembangunan nasional untuk mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya. Terkait dengan kebijakan pelayanan pemerintah dibidang kesehatan masyarakat, diawali dengan pernyataan bahwa “kesehatan adalah hak seluruh masyarakat”. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 ayat (1) dinyatakan bahwa:
“Setiap orang berhak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Sedangkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 menyatakan bahwa :
Ayat (1)
- Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara.
Ayat (2)
- Negara mengembangkan system jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai martabat kemanusiaan.
Ayat (3)
- Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Sedangkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan pasal 4 menyatakan bahwa : “Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal”.
Untuk dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat banyak hal yang perlu dilakukan, salah satu diantaranya dengan menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatnya kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan ataupun masyarakat.
Sejalan dengan makin tingginya tingkat pendidikan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat, maka kebutuhan dan tuntutan masyarakat akan kesehatan tampak makin meningkat pula. Untuk dapat memenuhi kebutuhan dan tuntutan tersebut, tidak ada upaya lain yang dapat dilakukan, kecuali menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang sebaik-baiknya.
Dalam upaya mewujudkan status kesehatan masyarakat yang optimal serta menjamin kualitas pelayanan dasar dibidang kesehatan, maka pemerintah menetapkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1457/MENKES/SK/X/2003 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten Kota. Standar Pelayanan Minimal bidang Kesehatan selanjutnya disebut SPM Kesehatan adalah tolok ukur kinerja pelayanan kesehatan yang diselenggarakan Daerah Kabupaten/Kota.
Melalui penetapan standarisasi pelayanan minimal bidang kesehatan tersebut, diharapkan kiranya masyarakat akan mendapat kepastian hukum khususnya kemudahan dalam pemberian layanan oleh masing-masing instansi teknis didaerah. Selain itu, diharapkan pula agar para pejabat pembuat kebijakan (Gubernur/Walikota/Bupati) di setiap daerah akan memperoleh kesamaan pandangan dalam metode pemberian pelayanan kesehatan untuk masyarakat di tingkat dasar di Indonesia adalah melalui Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang merupakan unit organisasi fungsional Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan diberi tanggung jawab sebagai pengelola kesehatan bagi masyarakat tiap wilayah kecamatan dari kabupaten/ Kota bersangkutan.
Pelayanan kesehatan yang langsung menyentuh pada lapisan masyarakat yang paling bawah dan sangat diperlukan oleh masyarakat adalah sangat penting hal ini dikarenakan pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh puskesmas akan memberikan perlindungan kesehatan kepada warga masyarakat khususnya bagi warga kurang mampu.
Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) sebagai salah satu institusi fasilitas pemerintah daerah dan sebagai lini terdepan dalam pemberian pelayanan kesehatan non-profit kepada masyarakat dan merupakan ujung tombak dalam sistem kesehatan Nasional, juga dituntut untuk dapat memberikan pelayanan dengan baik berdasarkan wewenang tugas pokok dan fungsinya yang disesuaikan dengan situasi, kondisi, masalah dan kemampuan Puskesmas tersebut. Puskesmas diharapkan mampu memberikan jaminan bagi warga masyarakat sekitarnya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang sangat dibutuhkan. Sehingga jelaslah bahwa pemerintah mempunyai kewajiban untuk menyediakan pelayanan kesehatan minimum yang dibutuhkan rakyatnya. Kelalaian pemerintah untuk menyediakan pelayanan kesehatan yang optimal (minimum) yang mampu diberikan oleh pemerintah akan menimbulkan keresahan sosial di masyarakat. Bagi penyelenggara pelayanan kesehatan prinsip yang harus dipegang dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat adalah bagaimana masyarakat puas dan nyaman dalam menerima pelayanan kesehatan yang diberikan dan keberadaan Puskesmas sebagai media untuk memberikan pelayanan kesehatan haruslah dijalankan dengan baik sehingga kualitas pelayanan yang diberikan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh masyarakat.
Implementasi pelaksanaan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1457/Menkes/Sk/X/2003 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten Kota sampai saat ini belum dapat dikatakan berhasil 100% sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Berbagai permasalahan mengenai standar dan mutu pelaksanaan pelayanan kesehatan sering terjadi, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dinas Kesehatan Kabupaten X yang terkait langsung dengan pelaksanaan program kesehatan masyarakat di Kabupaten X diberikan wewenang dalam memformulasikan sistem jaminan kesehatan dengan mengacu kepada petunjuk teknis dari Depkes. Dengan demikian akan dapat dilakukan evaluasi implementasi pelaksanaan Jamkesmas di kabupaten X dalam mencapai target yang telah ditetapkan dalam Standar Pelayanan Minimal (SPM) salah satunya adalah cakupan pemeliharaan kesehatan masyarakat miskin..
Permasalahan tersebut sampai saat ini masih menjadi fenomena tersendiri bagi kelancaran pembangunan nasional khususnya bidang kesehatan. Berbagai informasi mengenai rendahnya kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pemerintah dimulai dari rumitnya prosedur pelayanan, kekurangan peralatan medis dan obat-obatan, rendahnya kualitas sumberdaya manusia pelaksana kegiatan pelayanan, minimnya ketersediaan tenaga medis, serta sarana penunjang kegiatan pelayanan kesehatan yang tidak memadai kerap terjadi.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti terhadap kurangnya pemanfaatan Jamkesmas oleh masyarakat disebabkan oleh pelayanan dan sarana pelayanan kesehatan belum tercapai, sarana pelayanan kesehatan yang susah dijangkau (kondisi demografi), yang menggunakan kartu Jamkesmas itu hanya masyarakat yang tinggal di sekitar puskesmas terdekat.
TESIS PENGARUH IKLIM ORGANISASI TERHADAP KINERJA PEGAWAI DINAS PEMADAM KEBAKARAN

TESIS PENGARUH IKLIM ORGANISASI TERHADAP KINERJA PEGAWAI DINAS PEMADAM KEBAKARAN

(KODE : PASCSARJ-1152) : TESIS PENGARUH IKLIM ORGANISASI TERHADAP KINERJA PEGAWAI DINAS PEMADAM KEBAKARAN (PROGRAM STUDI : ADMINISTRASI PUBLIK)

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sebagai usaha guna memenuhi kebutuhan hidupnya manusia memerlukan manusia lain dengan membentuk hubungan kerjasama dan selanjutnya membentuk kelompok-kelompok (organisasi). Dalam organisasi perlu adanya manusia sebagai pendukung utama apapun bentuk dari organisasi tersebut. Perilaku manusia yang berada dalam suatu kelompok merupakan awal dari perilaku organisasi, oleh karena adanya perbedaan persepsi, kepribadian serta pengalaman hidupnya.
Pandangan alamiah manusia mempunyai sikap rata-rata: tidak menyukai (menghindari) kerja, harus dipaksa untuk bekerja mencapai tujuan organisasi, pasif dan menunggu perintah dibanding harus menerima tanggung jawab, hanya dapat dimotivasi dengan insentif berkaitan dengan fisiologi dan rasa aman, memiliki kapasitas terbatas untuk pemecahan masalah secara kreatif, serta harus diamati dan dikontrol secara baik untuk menjamin pencapaian kinerja.
Pembauran manusia dengan berbagai sifat serta karakter dalam suatu kelompok disertai dengan pandangan alamiah sikap rata-rata manusia, akan membentuk suatu iklim organisasi dari serangkaian sifat lingkungan kerja yang berpengaruh terhadap kinerja individu dalam suatu organisasi. Iklim organisasi yang digambarkan sebagai iklim kerja sebuah organisasi dapat diukur melalui empat dimensi yaitu : psikologis, sosial, struktural dan birokrat.
Dimensi psikologis meliputi variabel beban kerja, kurang otoritas, kurang pemenuhan diri sendiri (self fulfillment clerkship) dan kurang inovatif. Dimensi struktural meliputi variabel fisik, bunyi serta tingkat keserasian kerja antara keperluan kerja dengan struktur fisik. Dimensi sosial meliputi aspek interaksi dengan klien (kuantitas dan permasalahan), rekan sejawat (dukungan dan kerjasama), dan para penyelia (berupa dukungan dan imbalan). Dimensi birokratis meliputi Undang-undang serta peraturan konflik peranan dan ketidak jelasan peranan.
Iklim organisasi yang bersifat terbuka akan lebih memacu karyawan untuk mengutarakan kepentingan serta adanya ketidakpuasan, tanpa adanya rasa takut, tindakan balasan maupun bertujuan untuk mendapatkan perhatian, yang harus ditangani secara positif dan bijaksana. Iklim keterbukaan bagaimanapun juga akan tercipta apabila seluruh anggota memiliki tingkat keyakinan yang tinggi serta mempercayai akan adanya keadilan tindakan.
Iklim organisasi penting untuk diciptakan karena merupakan persepsi seseorang tentang apa yang diberikan organisasi yang menjadi dasar bagi penentuan sikap perilaku anggota selanjutnya. Iklim organisasi ditentukan oleh seberapa baiknya anggota diarahkan, dibangun dan dihargai oleh organisasi.
Birokrasi Dinas Pemadam Kebakaran kota X sebagai organisasi pemerintah dibawah naungan pemerintah kota X sebagai satuan organisasi yang menjalankan fungsi operasional lapangan dalam pelaksanaan tugas penanggulangan bencana dan pemadam kebakaran, membutuhkan iklim serta suasana kerja yang menunjang untuk dapat senantiasa mempertahankan kinerja secara maksimal dalam memberikan pelayanan bagi masyarakat.
Berdasarkan pengamatan dan penilaian absensi pelaksanaan kegiatan apel masuk kerja dan pulang kerja pegawai pada Dinas Pemadam Kebakaran terdapat kecenderungan penurunan kinerja individual pegawai secara menyeluruh melalui ketidakhadiran pada saat dilakukannya apel pagi (23%) dan apel siang (30%) ataupun melalui merosotnya semangat serta motivasi pegawai untuk melaksanakan fungsi serta tugas-tugas yang seharusnya diemban dalam pelaksanaan tanggung jawab sebagai aparatur negara dan abdi masyarakat, yang semestinya senantiasa siaga untuk memberikan pelayanan dalam penanggulangan bencana dan pemadaman kebakaran yang menimpa di masyarakat.
Berkaitan dengan hal diatas, maka muncul pertanyaan apakah menurunnya kinerja para pegawai dipengaruhi oleh iklim organisasi pada Dinas Pemadam Kebakaran, dan seberapa besar iklim organisasi berpengaruh terhadap kinerja para pegawai. Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti dan menetapkan judul : "Pengaruh Iklim Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai Dinas Pemadam Kebakaran Kota X".

SKRIPSI PTK USING CLUSTERING TECHNIQUE TO IMPROVE STUDENTS WRITING OF RECOUNT TEXT

(KODE : PTK-0713) : SKRIPSI PTK USING CLUSTERING TECHNIQUE TO IMPROVE STUDENTS WRITING OF RECOUNT TEXT (MAPEL BAHASA INGGRIS KELAS VIII)

contoh ptk bahasa inggris kelas viii

CHAPTER I
INTRODUCTION

A. The Background of the Study
As we know, language is an integral part that can not be separated from human being, because of its function as communication. Communication is mainly divided into two, there are verbal and non-verbal. Verbal language consists of spoken and written language. On the other hand, non-verbal language is like gestures and body language. Human language has chanced form simple to complex from time to time. “communication between humans is an extremely complex and ever-changing phenomenon.” Undoubted, language is needed to interact one to another. 
Nowadays, the most language which used widely is English language. People surround the world who use English as lingua franca is bigger than another languages, such as; French, Latin, Spanish, Chinese or Arabic. English has become an international language. Jack C Richards and Theodore S. Rodgers said,
“latin was most widely studied as foreign language five hundred years ago. However, English has become the most widely studied foreign language today.” So that, if we want to communicate to another countries, nations, from any place in the world, we should master English which is lingua franca.
There are many reasons why people learn language. One of the reasons is Advancement, some people want to learn English because they think it offers a chance for advancement in their professional lives. They will get better jobs by mastering two languages than if they only know their mother tongue. “English has a special position since it has become the international language of communication.”
There are many aspects that can not be separated from English language, moreover; English domination takes technology, social-culture, economy, education, art, science, ideology, research, information, etc. By mastering English we can enhance and enrich many aspects. In many countries, English is used as a first language, a second language or a foreign language.
English is one of the important foreign languages in Indonesia that has purpose to absorb and to develop knowledge, technology, and to establish relationship with other nations. Thus, it is essential to learn English to help people’s need to get information and knowledge in every aspect such as education, science, religion, social and technology.
Because of the reason our government puts English as a first foreign language. Minister of Education and culture decree No : 372/2003, stated that English becomes the first foreign language and the compulsory subject that should be thought in Indonesia school from junior high school up to university level.4 It means that students in our country in any level must study English.
Commonly, English is divided into two; written and oral. It also consists four skills that should be learned by students. They are listening, speaking, reading and writing. Listening and reading are included as receptive skills, on the other hand speaking and writing are included as productive skills.
Among the skills, writing is the most difficult skill. “many people find it easy to speak but hard to write things down on paper.” Writing is a complex skill, Leo Masiello stated “writing is hard work, or one students explains, „for me, writing is like running or exercise. The reason that say this is because both of these activities take a lot of effort.” Writing is unlike another skills, it requires background knowledge, vocabulary, spelling, grammar, punctuation, coherence, etc. In learning writing, students face several problems in their writing such as; limited vocabularies, difficulty in organizing ideas, no ideas to write about, no motivation to write and lack of confidence in grammar. The effect can be seen in English writing score, it is regarded as a main problem in many schools. To overcome this problem, a technique which can improve students’ score in English writing is needed.
One of the techniques is clustering, it is kind of prewriting activity that enrich idea before students start writing. As Regina L. Smalley and Mark K. Ruetten said that “clustering is making a visual map of the ideas.” At the beginning writing activity, students have to find out the ideas what they want to write about. Dorothy Sedley said that “the most common complaint English Composition teachers hear from students is “I don’t have anything to write about”. Actually, you have plenty to write about. After all, you live in the same world that “real” writers live in, and that world provides the raw material for millions of books every year. What you really need is not “something to write about”, but some suggestions that will help you exploit the resources all around you.”
Developing ideas for making a composition cause problems in writing class, if the teacher does not conduct pre-writing activity. Getting stuck of ideas and a block of writing can be problems in writing activity. As a result, writing process goes slowly and stops immediately.
Students at junior high school learn two kinds of writing. There are narrative text and recount text. Both of texts talk about past events, besides they have similarities and dissimilarities. Narrative text is a text that tells a story and entertains the reader, for example novel. While recount text is a text that retells past events, its purpose is to provide the reader with a description of what occurred and when it occurred. For students at junior high school are emphasized in personal recount text.
“Personal recount text usually retells an experience in which the writer was personally involved. It lists and describes past experiences by retelling events. It presents the events chronologically (in order in which they happened). The purpose of a personal recount are to inform, entertain the audience (listener or reader), or both”.
Even though the basic differentiation between narrative and recount is the purpose, recount is more emphasize to entertain and to inform.
In addition, Based on the writer’s personal experiences while he took PPKT in SMP Z, he found students’ problems in writing especially in developing idea. The students could not start their writing because they did not have any idea. Meanwhile, the writer had been learned a technique how to develop idea in fourth semester, the technique is clustering. So, he decided to apply it in order to solve students’ problem in writing. The writer assumed that students in other school had the same problem in writing, but to convince there is a problem in writing or not. The writer observes the school before.
Based on the writer’s observation on SMPN X, in teaching learning process the English teacher did not use the clustering technique in teaching writing especially recount text. Students did not understand clearly what recount text is, how to identify generic structure of recount text. Besides, the teacher also less preparation in teaching recount text. Moreover, SMPN X is not far from the writer’s house, so it is easier for him to do a research.
Because of the reasons that have been mentioned above, the writer takes a title of this “skripsi” “USING CLUSTERING TECHNIQUE TO IMPROVE STUDENTS’ WRITING OF RECOUNT TEXT AT SECOND GRADE OF SMPN X”.