Search This Blog

Showing posts with label contoh tesis manajemen pendidikan islam. Show all posts
Showing posts with label contoh tesis manajemen pendidikan islam. Show all posts
TESIS MANAJEMEN FINGER PRINT DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP PENINGKATAN KINERJA GURU MTSN

TESIS MANAJEMEN FINGER PRINT DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP PENINGKATAN KINERJA GURU MTSN

(KODE : PASCSARJ-1158) : TESIS MANAJEMEN FINGER PRINT DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP PENINGKATAN KINERJA GURU MTSN (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Abad ke-21 ditandai dengan globalisasi teknologi dan informasi, telah membawa dampak yang luar biasa bagi peran guru dalam proses pendidikan dan pembelajaran. Peran lama guru sebagai satu-satunya sumber informasi dan sumber belajar, sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Guru harus memerankan peran-peran baru yang lebih kontekstual dan relevan. Tugas penting guru adalah menyiapkan generasi muda untuk menghadapi abad baru yang penuh dengan goncangan dan ketidakpastian.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi di era globalisasi saat ini terlihat sangat pesat. Perkembangan tersebut tidak hanya melahirkan era informasi global, tetapi juga melahirkan media informasi dan telekomunikasi yang tidak mengenal batas ruang dan waktu. Dampak global juga dirasakan pada bidang ekonomi dan manajemen yang sangat berkaitan dengan teknologi, yakni dengan munculnya peralatan-peralatan teknologi canggih yang memudahkan usaha manusia dalam meningkatkan motivasi dan produktivitas untuk menghadapi persaingan diantara perusahaan atau institusi. Disamping kecanggihan teknologi tersebut, perusahaan atau institusi dituntut untuk mampu menghadapi tingkat persaingan yang tinggi tersebut dengan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki.
Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan salah satu sumber daya terpenting di setiap organisasi atau institusi. Memiliki sumber daya manusia yang mempunyai produktivitas dan kinerja tinggi merupakan impian dari setiap perusahaan. Selain itu peningkatan mutu sumber daya manusia merupakan aset yang paling berharga bagi perusahaan atau institusi. Sumber daya ini banyak memegang peranan dalam rangka pencapaian tujuan perusahaan. Apabila sumber daya manusia yang dimiliki berkualitas dan sesuai dengan harapan perusahaan, maka perusahaan tersebut memiliki daya saing yang nyata.
Sumber daya manusia yang berkualitas dapat dicapai melalui upaya pengembangan SDM yang terarah dan terencana. Upaya pengembangan SDM ini merupakan kegiatan yang harus dilakukan oleh setiap organisasi agar kemampuan serta sikap SDM semakin meningkat sesuai dengan tuntutan pekerjaan dan kebutuhan institusi. Program pengembangan SDM dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan pemberian penghargaan atas prestasi kerja, promosi dan mutasi, pemberian insentif, pengembangan karir, serta pemberian pendidikan dan pelatihan. Salah satu cara yang efektif dalam meningkatkan kualitas SDM adalah melaksanakan peraturan dan disiplin yang tinggi oleh setiap karyawan.
Disiplin merupakan suatu hal yang sangat penting bagi suatu organisasi atau perusahaan dan mempertahankan atau melangsungkan kehidupannya. Hal ini disebabkan hanya dengan disiplin yang tinggi suatu organisasi dapat berprestasi tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Widjaja (1986 : 29), bahwa “Dengan perkataan lain disiplin adalah unsur yang penting yang mempengaruhi prestasi dalam organisasi. Tidak ada organisasi yang berprestasi lebih tinggi tanpa melaksanakan disiplin dalam derajat yang lebih tinggi”.
Pada awal tahun 2005, Institut Pertanian Bogor mulai menerapkan absensi karyawan dengan menggunakan sidik jari. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya korupsi waktu yang sering dilakukan oleh karyawan dengan cara menitip absen kepada karyawan lain. Untuk itu Direktorat Sumber Daya Manusia dan Administrasi Umum IPB menyediakan di masing-masing fakultas atau kantor sebuah alat finger print, yaitu peralatan absensi canggih yang merekam sidik jari pegawai saat jam datang dan jam pulang. Para karyawan tidak bisa lagi menitip absen kepada temannya, karena peralatan ini hanya merekam sidik jari karyawan yang bersangkutan, selain itu peralatan ini bekerja secara online dan dapat dipantau dari komputer yang terhubung dengan peralatan tersebut. Finger print ini juga memudahkan bagi administratornya untuk merekap absensi para karyawan.
Sistem pengidentifikasian sidik jari dulu hanya digunakan di kalangan aparat keamanan untuk menemukan jati diri korban atau tersangka kejahatan. Kini kegunaannya telah bergeser hingga ke perusahaan-perusahaan komersial. Sidik jari manusia merupakan bukti materi yang sangat penting. Tidak ada sidik jari yang identik di dunia ini sekalipun di antara dua saudara kembar. Dalam dunia sains pernah dikemukakan bahwa jika ada lima juta orang di bumi, kemungkinan munculnya dua sidik jari manusia yang sama baru akan terjadi lagi 300 tahun kemudian (Ulfa Dewi Hasnita, 2012 : 2).
Mengingat betapa akuratnya mengidentifikasi seseorang lewat sidik jari, diciptakanlah sebuah alat pendeteksi sidik jari dengan sistem elektronik. Alat ini pertama kali digunakan Federal Bureau Investigation atau lebih populer dengan sebutan FBI di Amerika Serikat sekitar tahun 1960-an. Meski lebih populer untuk melacak pelaku kejahatan, alat pendeteksi sidik jari ini ternyata juga digunakan untuk mengetahui latar belakang seorang calon pekerja. Sejak tahun 1970-an, beberapa perusahaan sedikitnya sepuluh negara di dunia sudah menggunakan teknologi ini. Efisiensi menjadi dasar penggunaan sistem identifikasi sidik jari di perusahaan atau instansi, alat ini mendorong perusahaan untuk menghemat waktu, tenaga, sekaligus menjamin keamanan (Faisal Ali Ahmad, 2006 : 2).
Dengan demikian, bukti kehadiran karyawan (absensi) bisa didapat melalui alat ini. Tentu saja hal ini sangat membantu divisi sumber daya manusia untuk mengevaluasi kinerja para karyawan. Kelemahan sistem konvensional adalah terbukanya peluang manipulasi, kesalahan pencatatan, maupun hilangnya catatan kehadiran seorang karyawan. Selain itu kemungkinan terjadinya kecurangan dimana rekan sekerja yang lain mencatatkan waktu kerja yang bukan dirinya sangat besar. Hal ini membuat pencatatan waktu kehadiran karyawan menjadi tidak akurat.
Kualitas mutu pendidikan sekarang ini masih membutuhkan banyak perhatian dari segi tenaga kependidikan. Dalam hal ini khususnya guru sebagai tenaga profesional yang menyampaikan pesan pembelajaran kepada peserta didik akan dapat diterima dengan baik ketika guru memiliki kinerja yang baik. Tidak kalah pentingnya juga kepala sekolah sebagai manajer yang mengatur suatu lembaga pendidikan yang harus memiliki kecakapan dan wawasan yang layak dalam memimpin institusi pendidikan.
Guru merupakan komponen paling menentukan dalam sistem pendidikan secara keseluruhan, yang harus mendapat perhatian sentral, pertama, dan utama. Guru memegang peran utama dalam pembangunan pendidikan, sehingga perlu dikembangkan sebagai tenaga profesi yang bermartabat dan profesional (Mulyasa, 2007 : 5). Sebagai tenaga profesional sudah selayaknya guru memperoleh jaminan hidup yang layak dan memadai, sebab hal ini bukan saja akan menyebabkan kepuasan kerja, tetapi juga memungkinkan seorang profesional menggunakan waktu penuh untuk menjalankan pekerjaannya.
Guru dituntut memiliki kinerja yang mampu memberikan dan merealisasikan harapan dan keinginan semua pihak terutama masyarakat umum yang telah mempercayai sekolah dan guru dalam membina anak didik. Dalam meraih mutu pendidikan yang baik sangat dipengaruhi oleh kinerja guru dalam melaksanakan tugasnya sehingga kinerja guru menjadi tuntutan penting untuk mencapai keberhasilan pendidikan. Secara umum mutu pendidikan yang baik menjadi tolok ukur bagi keberhasilan kinerja yang ditunjukkan guru (Muhlisin, 2010 : 2).
Ada beberapa hal yang perlu menjadi bahan pertimbangan kita, bagaimana kinerja guru akan berdampak kepada mutu pendidikan?. Dilihat sistem pendidikan nasional kita, dengan sering terjadinya pergantian kurikulum secara langsung atau tidak akan berdampak kepada guru itu sendiri, sehingga perubahan tersebut dapat menjadi beban psikologis bagi guru yang dapat membuat guru frustasi. Hal ini sangat dirasakan oleh guru yang memiliki kemampuan minimal dan tidak demikian halnya guru professional.
Menurut Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 10 menyebutkan bahwa terdapat empat kompetensi guru yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional yang harus dikuasai guru. Oleh karena itu, guru harus senantiasa meningkat kompetesinya agar dapat tercapai tujuan pendidikan yang bermutu. Dengan demikian, empat kompetensi dasar guru di atas dapat digunakan sebagai indikator penilaian kinerja guru.
Untuk itu, faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja guru dipandang perlu untuk dipelajari, ditelaah dan dikaji secara mendalam agar dapat memberikan gambaran yang jelas faktor yang lebih berperan dan urgen yang mempengaruhi kinerja guru (Muhlisin, 2010 : 5). Salah satu yang perlu dikaji adalah kedisiplinan melalui penerapan absensi elektronik seperti yang telah ada di MTsN X.
Kebijakan penerapan absensi elektronik ini merujuk pada PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS. Adanya kebijakan absensi ini memiliki peran penting dalam peningkatan kedisiplinan aparatur Kemenag. Kedisiplinan ini sudah seharusnya ditegakkan di kalangan aparatur Kemenag. Selain merupakan kewajiban sebagai PNS seperti yang diatur dalam PP No. 53 Tahun 2010, kedisiplinan sangat besar artinya bagi peningkatan kinerja aparatur Kemenag. Kedisiplinan merupakan kunci bagi keberhasilan program-program Kemenag. Dengan disiplin pelayanan terhadap masyarakat pun dapat diberikan secara profesional dan maksimal. Hal ini sejalan dengan harapan untuk meningkatkan kinerja Kemenag dengan integritas dan profesionalitas.
Sebagai abdi negara dan masyarakat yang digaji oleh negara sudah seharusnya segala tugas dan kewajiban dilaksanakan dengan sebaik-baiknya sesuai aturan yang telah ditetapkan. Tidak bisa kita sekehendak hati dengan mengabaikan aturan yang ada. Oleh karenanya seorang PNS baik pegawai maupun guru harus masuk kerja sesuai dengan jam dinas. Fakta di lapangan seringkali dijumpai PNS tidak mengikuti aturan ini, dengan kata lain masuk kerja terkadang terlambat begitu pula pulangnya lebih cepat. Demikian pula di kalangan guru, banyak yang tidak berangkat ke sekolah ketika tidak ada jam mengajar. Bahkan sering ditemui seorang PNS sering tidak masuk tanpa alasan dan tanpa ada surat izin karena model presensi yang konvensional melalui tanda tangan. Jelas ini merupakan pelanggaran yang tidak seharusnya dilakukan PNS dan segera harus ditangani.
Kenyataan di MTsN X bahwa pemakaian absensi finger print telah dimulai. Penerapan sistem absensi berbasis sidik jari (biometrics) dalam proses pengambilan informasi diharapkan kehadiran guru bisa mencapai 100% akurat karena didasarkan pada sidik jari masing-masing guru, serta proses pencatatan dan pelaporannya menjadi otomatis oleh software khusus. Kesalahan maupun manipulasi catatan dapat dihilangkan karena intervensi pegawai administrasi menjadi minimal. Informasi yang akurat merefleksikan kondisi yang sebenarnya menjadi landasan untuk pengambilan keputusan serta kebijakan dan kemajuan suatu instansi atau lembaga.
Dalam perjalanannya, MTsN X pernah mengalami pasang surut baik secara kuantitas maupun kualitas. MTsN X pernah meraih nilai akreditasi B. Hal ini tentunya belum cukup membuat bangga segenap warga madrasah. Seluruh keluarga besar MTsN X berusaha agar mampu meraih nilai akreditasi A. Perkembangan siswa MTsN X sangat bervariasi. Pernah jumlah siswa mencapai lima kelas paralel dengan jumlah siswa kurang lebih 450 orang. Namun demikian pernah juga terjadi jumlah siswa menurun drastis hingga hanya berjumlah 150 orang saja. Secara kualitas lulusan dari MTsN X telah banyak yang sukses meskipun tidak sedikit juga yang masih belum berhasil.
Peningkatan kinerja guru di MTsN X melalui presensi sidik jari juga perlu di dukung dengan motivasi yang tinggi. Akan tetapi, masih ada juga beberapa guru MTsN X yang memiliki motivasi rendah seperti belum mau melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, malas mengerjakan administrasi, maupun belum termotivasi dalam mengembangkan IT.
Sebetulnya, melalui motivasi yang muncul dari dalam diri guru maka dapat mendorong atau menggerakkan seseorang bertingkah laku. Dengan demikian motivasi tentunya dimiliki oleh setiap individu tak terkecuali individu. Motivasi kerja guru yaitu suatu kekuatan potensial (baik itu dorongan internal maupun dorongan eksternal) yang menggerakkan (to move) perilaku seorang guru untuk berbuat atau bekerja terhadap sesuatu ataupun tujuan tertentu. Motivasi kerja guru adalah kondisi yang membuat guru mempunyai kemauan/kebutuhan untuk mencapai tujuan tertentu melalui pelaksanaan suatu tugas.
Kesetiaan atau loyalitas guru terhadap kinerja dapat menimbulkan rasa tanggung jawab. Di mana rasa tanggung jawab tersebut dapat menciptakan semangat kerja untuk dapat menimbulkan loyalitas guru terhadap sekolah, dengan berdasar uraian di atas maka penulis akan melakukan penelitian tentang “MANAJEMEN FINGER PRINT DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP PENINGKATAN KINERJA GURU MTSN X”.
TESIS HUBUNGAN PELAKSANAAN PENDIDIKAN AGAMA DALAM KELUARGA DAN SEKOLAH DENGAN PEMBENTUKAN PERILAKU SISWA

TESIS HUBUNGAN PELAKSANAAN PENDIDIKAN AGAMA DALAM KELUARGA DAN SEKOLAH DENGAN PEMBENTUKAN PERILAKU SISWA

(KODE : PASCSARJ-1157) : TESIS HUBUNGAN PELAKSANAAN PENDIDIKAN AGAMA DALAM KELUARGA DAN SEKOLAH DENGAN PEMBENTUKAN PERILAKU SISWA (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pada umumnya, anak-anak semenjak dilahirkan sampai menjadi manusia dewasa, menjadi orang yang dapat berdiri sendiri dan bertanggung jawab sendiri dalam masyarakat, serta mengalami perkembangan. Baik atau buruknya hasil perkembangan anak itu terutama bergantung kepada pendidikan yang diterima anak itu dari berbagai lingkungan pendidikan yang dialaminya.
Adapun menurut Ngalim, macam-macam lingkungan (tempat) pendidikan itu adalah : 
a. Lingkungan keluarga,
b. Lingkungan sekolah,
c. Lingkungan kampung,
d. Lingkungan perkumpulan pemuda,
e. Lingkungan negara dan sebagainya.
Kelima macam lingkungan tersebut dapat digolongkan menjadi tiga golongan besar, yaitu : 
a. Lingkungan keluarga, yang disebut juga lingkungan pertama
b. Lingkungan sekolah, yang disebut juga lingkungan kedua
c. Lingkungan masyarakat, yang disebut juga lingkungan ketiga.
Setiap orang tua dan semua guru ingin membina anak agar menjadi orang yang baik, mempunyai kepribadian yang kuat, dan sikap mental yang sehat, serta akhlak yang terpuji. Semua itu dapat diusahakan melalui pendidikan, baik formal (di sekolah) maupun informal (di rumah oleh orang tua). Setiap pengalaman yang dilalui anak, baik melalui penglihatan, pendengaran maupun perlakuan yang diterima akan ikut menentukan pembinaan pribadinya.
Orang tua adalah Pembina pribadi yang pertama dalam kehidupan anak. Kepribadian orang tua, sikap dan cara hidup mereka merupakan unsur-unsur pendidikan tak langsung, yang dengan sendirinya akan masuk ke dalam pribadi anak yang sedang tumbuh. Sikap anak terhadap guru agama dan pendidikan agama di sekolah sangat di pengaruhi oleh sikap orang tua terhadap agama dan guru agama khususnya.
Hubungan orang tua sangat mempengaruhi pertumbuhan jiwa anak. Hubungan yang serasi, penuh pengertian dan kasih sayang akan membawa pada pembinaan pribadi yang tenang, terbuka dan mudah dididik, karena ia mendapat kesempatan yang cukup dan baik untuk tumbuh dan berkembang. Sebaliknya, hubungan orang tua yang tak serasi, banyak perselisihan dan percekcokan akan membawa anak pada pribadi yang sukar dan tak mudah dibentuk, karena ia tak mendapatkan suasana yang kondusif untuk berkembang. Tentunya, semua itu akan berpengaruh pada jenjang pendidikan berikutnya di sekolah, yang terealisasi dalam sikapnya terhadap guru, termasuk dalam guru agamanya.
Guru agama mempunyai tugas yang cukup berat, yaitu ikut membina pribadi anak di samping mengajarkan pengetahuan agama kepada anak. Guru agama harus membawa anak didik ke arah pribadi yang sehat dan baik. Setiap guru agama di sekolah harus menyadari bahwa segala yang terefleksi dari dirinya akan menjadi unsur pembinaan yang lebih dominan bagi anak didik daripada pengajarannya secara langsung.
Islam memandang bahwa sesungguhnya keluarga adalah pondasi bagi masyarakat. Sesungguhnya pernikahan adalah pondasi bagi keluarga. Oleh karena itu Islam menganjurkan pernikahan, memudahkan jalanya, menghilangkan faktor ekonomi yang menjadi penghalang bagi jalanya, baik dengan pendidikan maupun dengan perundang-undangan. Allah dan Rasul-Nya membenci semua hal tersebut. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Ar-Rum (30) : 21 : 
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Q.S. 30 : 21)
Dalam hadits Rasulullah SAW bersabda, yang artinya : 
“Wanita itu dinikahi karena empat faktor, yaitu : karena hartanya, karena kecantikannya, karena kedudukannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah wanita yang berpegang pada agama, niscaya engkau akan bahagia”. (HR. Abu Daud).
Islam mempermudah jalan-jalan halal, menutup rapat pintu-pintu menuju perbuatan haram, termasuk perbuatan asusila, mempertontonkan diri dan perhiasan, dalam audio dan visual, kisah, drama yang lainnya. Terlebih lagi alat-alat komunikasi-informasi yang hampir memasuki setiap rumah dan sampai kepada semua mata dan telinga.
Islam juga membangun hubungan antara orang tua dan anak berupa kewajiban untuk membimbing anak dengan sempurna, baik dari segi materi, moril maupun akhlak. Ini merupakan kewajiban orang tua. Adapun dari pihak anak, kewajibannya adalah berbuat baik kepada orang tua.
Keluarga menurut para pendidik merupakan lapangan pendidikan yang pertama dan pendidiknya adalah kedua orang tua. Orang tua (bapak dan ibu) adalah pendidik kodrati. Mereka pendidik bagi anak-anaknya karena secara kodrati, ibu dan bapak diberikan anugerah oleh Tuhan Pencipta berupa naluri orang tua. Karena naluri ini, timbul rasa kasih sayang para orang tua kepada anak-anak mereka, hingga secara moral, keduanya merasa terkena beban tanggung jawab untuk memelihara, mengawasi, melindungi, dan membimbing keturunan mereka.
Dijelaskan dalam Hadis Rasulullah SAW., fungsi dan peran orang tua bahkan mampu membentuk arah keyakinan anak-anak mereka. Menurut beliau, setiap bayi yang dilahirkan sudah memiliki potensi untuk beragama, namun bentuk keyakinan agama yang akan dianut anak sepenuhnya bergantung pada bimbingan, pemeliharaan, dan pengaruh kedua orang tua mereka.
Pendidikan merupakan suatu proses yang kompleks dan melibatkan berbagai pihak khususnya keluarga, sekolah dan masyarakat sebagai lingkungan pendidikan yang dikenal sebagai tri pusat pendidikan. Fungsi dan peranan tri pusat pendidikan itu, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, merupakan faktor penting dalam mencapai tujuan pendidikan yakni membangun manusia Indonesia seutuhnya serta menyiapkan sumber daya manusia bermutu. Dengan demikian, pemenuhan fungsi dan peranan itu secara optimal merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan Pembangunan Nasional.
Maka dalam hal ini Keluarga merupakan tempat pertama dan sebagai dasar dalam menerapkan pendidikan agama, sehingga terlahir anak-anak yang agamis sebagai generasi penerus dan juga merupakan tanggung jawab bersama dalam menerapkan nilai-nilai agama, baik di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
Adapun Sekolah atau lembaga pendidikan formal lainnya merupakan lingkungan kedua yang mempunyai pengaruh besar terhadap pembinaan pertumbuhan dan perkembangan anak-anak atau generasi muda Indonesia.
Sekolah adalah lembaga pendidikan yang penting sesudah keluarga, karena semakin besar kebutuhan anak, maka orang tua menyerahkan tanggung jawab sebagian kepada lembaga sekolah ini. Sekolah berfungsi sebagai pembantu keluarga dalam mendidik anak. Sekolah memberikan pendidikan dan pengajaran kepada anak-anak mengenai apa yang tidak dapat atau tidak ada kesempatan orang tua untuk memberikan pendidikan dan pengajaran di dalam keluarga.
Tugas guru dan pemimpin sekolah disamping memberikan ilmu pengetahuan-pengetahuan, keterampilan, juga mendidik anak beragama. Disinilah sekolah berfungsi sebagai pembantu keluarga dalam memberikan pendidikan dan pengajaran kepada anak didik.
Pendidikan budi pekerti dan keagamaan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah haruslah merupakan kelanjutan, setidak-tidaknya jangan bertentangan dengan apa yang diberikan dalam keluarga.
Bagi setiap muslim yang benar-benar beriman dan melaksanakan ajaran-ajaran Islam, mereka berusaha untuk memasukan anak-anaknya ke sekolah-sekolah yang diberikan pendidikan agama, atau ke sekolah umum yang memberikan pendidikan agama secara terpisah pada jam-jam tertentu.
Dalam hal ini mereka mengharapkan agar anak didiknya kelak memiliki kepribadian yang sesuai dengan ajaran Islam atau dengan kata lain berkepribadian yang seluruh aspeknya baik tingkah lakunya, kegiatan jiwanya maupun filsafat hidup akan kepercayaannya menunjukkan pengabdian kepada Tuhan penyerahan diri kepadaNya. 
Kewajiban sekolah adalah membantu keluarga dalam mendidik anak-anak. Dalam mendidik anak-anak itu, sekolah melanjutkan pendidikan anak-anak yang telah dilakukan orang tua di rumah. Berhasil baik atau tidaknya pendidikan di sekolah bergantung pada dan dipengaruhi oleh pendidikan di dalam keluarga.
Namun kenyataannya, banyak remaja dalam hal ini pelajar yang sedang belajar di SMK Negeri X sebagai generasi penerus yang memiliki beban tanggung jawab besar di masa yang akan datang, sebagai calon-calon pemimpin, ada sebagian siswa yang kurang menyadari tugasnya sebagai pelajar dengan perilaku yang tidak baik dengan melanggar tata tertib sekolah atau bertindak indisipliner, misalnya terlambat ke sekolah, tidak memakai atribut sekolah, judi, premanisme, membolos dan pelanggaran tata tertib yang lainnya. Padahal, disamping memperoleh bimbingan dari sekolah, mereka juga memperoleh bekal bimbingan dari orang tua mereka di rumah. Disamping belajar di sekolah, mereka juga sedang dalam proses pendewasaan diri. Dalam proses pendewasaan tersebut banyak mengalami pergolakan dalam diri mereka yang apabila dibiarkan tanpa adanya bimbingan/perhatian dari keluarga dan sekolah maka akan hidup penuh dengan kegelisahan, kecemasan, ketidakpastian serta kebingungan apalagi di era globalisasi saat ini. Dengan demikian, ada masalah yang menarik untuk diteliti, yaitu APAKAH PERILAKU SISWA SMK NEGERI X YANG KURANG BAIK ITU, ADA HUBUNGAN DENGAN PELAKSANAAN PENDIDIKAN AGAMA DI LINGKUNGAN KELUARGA DAN SEKOLAH ?.

TESIS PERAN KEPALA MADRASAH DALAM MENGEMBANGKAN PROFESIONALITAS GURU

(KODE : PASCSARJ-0553) : TESIS PERAN KEPALA MADRASAH DALAM MENGEMBANGKAN PROFESIONALITAS GURU (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)

TESIS PERAN KEPALA MADRASAH DALAM MENGEMBANGKAN PROFESIONALITAS GURU

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan bagian yang integral dalam kehidupan manusia, di mana manusia dapat membina kepribadiannya dengan jalan membina potensi-potensi pribadinya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Dengan demikian dari nilai-nilai yang ada, berlangsung suatu proses pendidikan sesuai dengan tujuan utama pendidikan yang tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Tujuan Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa : 
“Tujuan Pendidikan Nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab”.
Berdasarkan hal tersebut di atas berarti lembaga pendidikan Islam diharapkan mampu mengantarkan peserta didik untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Sedangkan untuk mencapai Tujuan Pendidikan Nasional, tidak akan tercapai tanpa didukung oleh peran kepala madrasah selaku pemimpin lembaga pendidikan Islam. Dalam memajukan lembaga pendidikan Islam, seorang kepala madrasah harus memiliki kepemimpinan yang berkualitas dan efektif. Kepemimpinan yang berkualitas dan efektif merupakan realisasi perpaduan bakat dan pengalaman kepemimpinan dalam situasi yang berubah-ubah karena berlangsung melalui interaksi antar sesama manusia. Begitu pentingnya sebuah kepemimpinan dalam kehidupan manusia, Rasulullah SAW bersabda : 
Artinya : “Masing-masing kamu adalah penggembala (pemimpin) dan masing-masing kamu harus bertanggung jawab atas kepemimpinanmu itu....” (HR. Bukhori).
Dalam hadits tersebut memberikan interpretasi tentang kepemimpinan, bahwa manusia dituntut untuk mempertanggungjawabkan kepemimpinannya. Dalam memanfaatkan posisi kepemimpinan ini potensi akan tumbuh dan berkembang dengan baik apabila dikembangkan dengan niat baik dan i'tikad yang baik pula.
Kualitas kepemimpinan sangat menentukan dalam mencapai keberhasilan suatu lembaga pendidikan Islam, sebab kepemimpinan yang berkualitas itu adalah kepemimpinan yang mampu dalam hal : 1. Mengatur/mengelola lembaga yang dipimpinnya, yaitu terkait dengan planning (perencanaan), organizing (pengorganisasian), actuating (penggerakan) dan controlling (pengawasan); 2. Mampu mengantisipasi perubahan; 3. Mampu mengoreksi kekurangan dan kelemahan; dan 4. Sanggup membawa lembaga pada tujuan yang telah ditetapkan. Sehubungan dengan hal ini pimpinan merupakan kunci sukses bagi organisasi. Adapun kualitas kepemimpinan kepala madrasah ini terlihat pada sebuah lembaga pendidikan Islam swasta yaitu MTs X yang dalam pelaksanaannya menunjukkan perkembangannya dengan pesat.
Kepala madrasah MTs X memang merekrut sedikit peserta didik karena berorientasi pada kualitas, sehingga ada seleksi yang ketat, karena beliau berkesimpulan bahwa madrasah yang menampung siswa tertentu lebih dicari orang daripada menerima semua pendaftar.
Sedangkan dari segi kualitas, dari tahun ke tahun MTs ini telah menunjukkan perkembangannya. Hal ini bisa dilihat dari prestasi peserta didiknya yang telah meraih Nilai Akhir Nasional (NUN) murni tertinggi antar MTs swasta yaitu 26,35 (rata-rata 8,8), beberapa siswa yang mendapat beasiswa di sekolah MAN serta meraih beberapa juara perlombaan baik tingkat kota, provinsi maupun nasional, seperti KIR bidang Matematika juara I tingkat kabupaten, telling story juara I tingkat propinsi, lomba senam santri juara II tingkat nasional dan sebagainya. 
Adapun kepala madrasah dalam mewujudkan keberhasilannya dalam proses belajar mengajar dan meningkatkan prestasi siswa secara maksimal, beliau menggunakan sistem kelas kecil. Dalam hal ini, dalam satu kelas dibatasi sebanyak 24-32 orang siswa. Sedangkan waktu belajar, MTs X menerapkan Full Day School (pukul 06.45-15.30 WIB), dengan mengintegrasikan bimbingan belajar dan pelajaran komputer kepada siswa.
Adanya bimbingan belajar diharapkan dapat membantu siswa untuk mempersiapkan diri dalam UAN. Sedangkan pelajaran komputer disiapkan untuk siswa dalam menghadapi era globalisasi yang mana persaingan hidup semakin keras. Dengan bekal pengetahuan komputer sejak dini akan mampu memotivasi siswa dalam mengenal teknologi dan pada akhirnya mampu menghadapi persaingan di dunia global ini.
MTs X memegang asumsi bahwa setiap siswa pasti memiliki kelebihan, selanjutnya yang menjadi masalah adalah bagaimana menggali dan mengembangkan kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh siswa. Berkaitan dengan hal ini, pada awal masuk dilakukan penggalian potensi, bakat, dan minat siswa, untuk selanjutnya dikembangkan secara maksimal. Kegiatan yang digunakan untuk menyalurkan kreatifitas siswa adalah hari kreasi yang diselenggarakan 6 bulan sekali.
Perkembangan sekolah di atas, tidak lepas dari peran kepala Madrasah dalam mengatur/mengelola komponen-komponen substantif pendidikan, salah satunya adalah guru. Guru merupakan faktor paling dominan dalam kegiatan belajar-mengajar karena posisi guru adalah sebagai perencana sekaligus sebagai pelaksana pembelajaran serta pemberi balikan untuk memotivasi siswa dalam melaksanakan tugas belajar. Selain itu guru di tentukan sebagai faktor paling dominan karena di tangan guru lah kurikulum, sumber belajar, sarana dan prasarana, dan iklim pembelajaran menjadi sesuatu yang berarti bagi kehidupan peserta didik, sehingga dapat mengantarkan peserta didik ke arah tujuan pendidikan nasional. Oleh karena itu, seorang guru harus memiliki keprofesionalan dalam menjalankan tugasnya. Dengan memiliki keprofesionalan tersebut, guru diharapkan dapat menjalankan tugasnya dengan maksimal, sehingga dapat mencapai hasil dan tujuan pendidikan nasional.
Dari deskripsi di atas ada dua hal yang penting dalam mengembangkan lembaga pendidikan Islam, yaitu (1) Peran kepala madrasah selaku pemimpin lembaga pendidikan Islam dalam mengatur komponen-komponen substantif pendidikan, khususnya guru dilihat dari segi penerapan fungsi manajemen, yaitu planning (perencanaan), organizing (pengorganisasian), actuating (penggerakan) dan controlling (pengawasan); (2) Keprofesionalan guru dalam membentuk peserta didik yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Oleh karena itu, untuk lebih memahami secara detail terkait dengan peran kepala madrasah serta keprofesionalan guru, maka dalam tesis ini peneliti tertarik untuk meneliti Peran Kepala Madrasah dalam Mengembangkan Profesionalitas Guru di sekolah ini. Dan dalam penelitian ini, peneliti membatasi pada Penerapan Fungsi Manajemen Kepala Madrasah, yaitu Planning, Organizing, Actuating dan Controlling, sehingga judul yang diangkat peneliti dalam tesis ini adalah PERAN KEPALA MADRASAH DALAM MENGEMBANGKAN PROFESIONALITAS GURU (STUDI PENERAPAN FUNGSI MANAJEMEN KEPALA MADRASAH DI MTS X).

TESIS PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DAN MOTIVASI KERJA GURU TERHADAP KINERJA GURU

(KODE : PASCSARJ-0552) : TESIS PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DAN MOTIVASI KERJA GURU TERHADAP KINERJA GURU (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)

contoh tesis manajemen pendidikan islam

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia merupakan suatu sistem pendidikan nasional yang diatur secara sistematis. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU No. 20 Tahun 2003).
Peningkatan mutu pendidikan ditentukan oleh kesiapan sumber daya manusia yang terlibat dalam proses pendidikan. Guru merupakan salah satu faktor penentu terhadap mutu hasil pendidikan. Tinggi rendahnya mutu hasil pendidikan mempunyai posisi strategis, maka setiap usaha peningkatan mutu pendidikan perlu memberikan perhatian besar kepada peningkatan guru baik dalam segi jumlah maupun mutunya.
Guru adalah figur manusia yang menempati posisi dan memegang peran penting dalam pendidikan. Ketika semua orang mempersoalkan masalah dunia pendidikan, figur guru pasti terlibat dalam agenda pembicaraan terutama yang menyangkut persoalan pendidikan formal di sekolah maupun di madrasah. 
Pendidik atau guru merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan bimbingan dan pelatihan. Di sekolah guru merupakan unsur yang sangat mempengaruhi tercapainya tujuan pendidikan selain unsur murid dan fasilitas lainnya. Keberhasilan penyelenggaraan pendidikan sangat ditentukan kesiapan guru dalam mempersiapkan peserta didiknya melalui kegiatan belajar mengajar.
Namun demikian posisi strategis guru untuk meningkatkan mutu hasil pendidikan sangat dipengaruhi oleh kemampuan profesional guru dan mutu kinerjanya. Guru merupakan ujung tombak pendidikan sebab secara langsung berupaya mempengaruhi, membina dan mengembangkan peserta didik, sebagai ujung tombak, guru dituntut untuk memiliki kemampuan dasar yang diperlukan sebagai pendidik, pembimbing dan pengajar dan kemampuan tersebut tercermin pada kompetensi guru. Berkualitas tidaknya proses pendidikan sangat tergantung pada kreativitas dan inovasi yang dimiliki guru. Gunawan (1996) mengemukakan bahwa Guru merupakan perencana, pelaksana sekaligus sebagai evaluator pembelajaran di kelas, maka peserta didik merupakan subjek yang terlibat langsung dalam proses untuk mencapai tujuan pendidikan. 
Kehadiran guru dalam proses pembelajaran di madrasah masih tetap memegang peranan yang penting. Peran tersebut belum dapat diganti dan diambil alih oleh apapun. Hal ini disebabkan karena masih banyak unsur-unsur manusiawi yang tidak dapat diganti oleh unsur lain. Guru merupakan faktor yang sangat dominan dan paling penting dalam pendidikan formal pada umumnya karena bagi siswa guru sering dijadikan tokoh teladan bahkan menjadi tokoh identifikasi diri (Wijaya dan Rusyan, 1994). Oleh karena itu guru dituntut memiliki kinerja yang mampu memberikan dan merealisasikan harapan dan keinginan semua pihak terutama masyarakat umum yang telah mempercayai sekolah dan guru dalam membina anak didik. Dalam meraih mutu pendidikan yang baik, sangat dipengaruhi oleh kinerja guru dalam melaksanakan tugasnya sehingga kinerja guru menjadi tuntutan penting untuk mencapai keberhasilan pendidikan. Secara umum mutu pendidikan yang baik menjadi tolak ukur bagi keberhasilan kinerja yang ditunjukkan guru.
Kinerja adalah tingkat keberhasilan seseorang atau kelompok orang dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya serta kemampuan untuk mencapai tujuan dan standar yang telah ditetapkan (Sulistyorini, 2001). Sedangkan Ahli lain berpendapat bahwa kinerja merupakan hasil dari fungsi pekerjaan atau kegiatan tertentu yang di dalamnya terdiri dari tiga aspek yaitu : Kejelasan tugas atau pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya; Kejelasan hasil yang diharapkan dari suatu pekerjaan atau fungsi; Kejelasan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan agar hasil yang diharapkan dapat terwujud (Tempe, A Dale, 1992).
Keberhasilan guru bisa dilihat apabila kriteria-kriteria yang ada telah tercapai secara keseluruhan. Jika kriteria telah tercapai berarti pekerjaan seseorang telah dianggap memiliki kualitas kerja yang baik. Sebagaimana yang telah disebutkan dalam pengertian kinerja bahwa kinerja guru adalah hasil kerja yang terlihat dari serangkaian kemampuan yang dimiliki oleh seorang yang berprofesi guru. Kemampuan yang harus dimiliki guru telah disebutkan dalam peraturan pemerintah RI No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 28 ayat 3 bahwa : Kompetensi sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial
Kepala madrasah merupakan motor penggerak bagi semua sumber daya madrasah yang dituntut untuk mampu menggerakkan guru secara efektif, membina hubungan baik antar warga, terciptanya suasana kondusif, bergairah, produktif dan kompak serta mampu melaksanakan perencanaan, pelaksanaan dan pengevaluasian terhadap berbagai kebijakan dan perubahan yang dilakukan secara efektif dan efisien yang semua diarahkan untuk menghasilkan produk atau out put yang berkualitas.
Gaya kepemimpinan yang dijalankan oleh kepala madrasah Tsanawiyah tidak sedikit yang monoton terhadap satu gaya kepemimpinan saja. Tidak jarang kepala sekolah sebagai pimpinan menganggap gaya kepemimpinan otokratik merupakan gaya kepemimpinan terbaik, hal ini biasanya dilakukan agar dirinya memperoleh kewibawaan dari bawahannya. Pimpinan menganggap bahwa dengan menerapkan gaya otokratik akan membawa instansi/kantor pada kesuksesan, padahal menurut ilmu kepemimpinan tidak ada satupun gaya kepemimpinan yang terbaik. Gaya kepemimpinan yang terbaik yaitu gaya kepemimpinan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada dalam hal ini adalah situasi dan kondisi yang ada pada keadaan dan kemampuan guru-guru di kantor tersebut. Kenyataan tersebut terjadi karena kurangnya pengetahuan khusus tentang keterampilan yang diperlukan oleh pimpinan seperti gaya kepemimpinan apa yang harus diterapkan untuk menghadapi perubahan-perubahan dramatis dalam menjalankan peranannya. Dengan kata lain gaya kepemimpinan ini secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi kinerja guru.
Efektifitas kepemimpinan kepala madrasah tergantung pada sejauh mana kepala madrasah tersebut dapat menggunakan gaya kepemimpinan yang sesuai. Robert House dengan teori alur (Kreitner dan Kinicki, 2005) mengemukakan bahwa terdapat empat gaya kepemimpinan yang akan ditampilkan pimpinan dengan bawahan dalam proses kepemimpinannya, yakni pemimpin yang direktif (mengarahkan), supportive (membantu), Partisipatif (partisipasi) dan goal oriented (berorientasi pada prestasi). Efektif tidaknya gaya kepemimpinan tersebut beradaptasi dengan kematangan (maturity) bawahan. 
Sebagai suatu lembaga pendidikan pada Madrasah Tsanawiyah yang didalamnya terdapat personal guru dimana guru mempunyai tugas dan tanggung jawab yang besar terhadap proses belajar mengajar, tugas tersebut terlihat pada aktivitas pembelajaran dan administrasi madrasah yang dikerjakan. Disamping kepemimpinan kepala madrasah faktor lain yang mempengaruhi kinerja guru adalah motivasi kerja. Sebagaimana dikatakan Hasibuan (1999 : 126) bahwa prestasi kerja merupakan gabungan dari tiga faktor, yaitu : kemampuan dan minat seorang pekerja, kemampuan dan penerimaan atas penjelasan delegasi tugas, serta peran dan tingkat motivasi seorang pekerja. Semakin tinggi ketiga faktor tersebut, semakin besarlah prestasi kerja karyawan yang bersangkutan. Diduga munculnya motivasi kerja yang baik dari guru akan melahirkan kinerja yang baik pula. 
Motivasi adalah proses psikologi yang terjadi pada diri seseorang akibat adanya interaksi antara sikap, kebutuhan, keputusan dan persepsi seseorang dengan lingkungannya. Motivasi adalah kecenderungan yang timbul pada diri seseorang secara sadar maupun tidak sadar melakukan tindakan dengan tujuan tertentu atau usaha-usaha yang menyebabkan seseorang atau kelompok orang tergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang di kehendaki (Poerwodarminto, 2006).
Motivasi merupakan bagaimana cara gairah kerja guru agar mau bekerja keras dengan menyumbangkan dengan segenap kemampuan, pikiran, ketrampilan, pengetahuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Motivasi merupakan kekuatan potensial yang ada pada diri seorang manusia yang dapat dikembangkan sendiri atau oleh sejumlah kekuatan luar yang pada intinya sekitar imbalan material dan non material, yang dapat mempengaruhi hasil kerja secara positif atau negatif, hal mana sangat tergantung pada situasi dan kondisi yang dihadapi orang yang bersangkutan.
Motivasi atau dorongan dapat mempengaruhi prilaku seseorang dan prilaku akan menimbulkan aktivitas sedang aktivitas dapat mengarah untuk suatu tujuan. Motivasi timbul karena adanya kebutuhan-kebutuhan. Abraham Maslow (Mangkunegara, 2005 : 63-64) menggolongkan kebutuhan tersebut ke dalam lima kebutuhan yaitu : kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan bersosial, kebutuhan akan harga diri dan kebutuhan aktualisasi diri.
Banyak Guru Tidak Tetap (GTT) dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya belum dapat mencerminkan suatu pola kerja yang dapat meningkatkan mutu pendidikan ke arah yang lebih baik hal ini terlihat masih banyak guru yang kurang memberikan perhatian pada murid, tidak memiliki program perencanaan pembelajaran dan pengayaan, guru dalam melaksanakan proses pendidikan semaunya sendiri karena harus mencari nafkah tambahan dengan mencari kerja tambahan, sementara dukungan dari kepala madrasah dan pemerintah terkait dengan kemajuan proses pendidikan sangat signifikan. Hal ini terlihat adanya pengambilan keputusan yang partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga madrasah, baik guru, siswa, karyawan, orang tua siswa dan masyarakat untuk meningkatkan mutu madrasah, kepala madrasah senantiasa membina hubungan baik antar warga demi terciptanya suasana kondusif, bergairah, produktif dan kompak serta melaksanakan perencanaan, pelaksanaan dan pengevaluasian terhadap berbagai kebijakan dan perubahan yang dilakukan untuk menghasilkan produk atau out put yang berkualitas. Dukungan pemerintah terhadap madrasah juga sudah sangat signifikan, adanya Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Tunjangan Fungsional bagi guru non PNS dan sertifikasi guru dalam jabatan.
Berdasarkan fenomena di atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai : PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DAN MOTIVASI GURU TERHADAP KINERJA GURU MTS.

TESIS KONSEP PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN SURAT AL-ALAQ AYAT 1-5

(KODE : PASCSARJ-0551) : TESIS KONSEP PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN SURAT AL-ALAQ AYAT 1-5 (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)

TESIS KONSEP PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN SURAT AL-ALAQ AYAT 1-5

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur'an adalah kitab suci yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW yang mengandung petunjuk-petunjuk bagi umat manusia. Al-Qur'an diturunkan untuk menjadi pegangan bagi umat manusia, yang ingin mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Ajaran-ajarannya begitu luas serta ditujukan kepada umat manusia dalam peri kehidupan yang bagaimanapun juga, kepada kaum yang keadaannya primitif maupun kepada kaum yang telah mencapai peradaban dan kebudayaan yang tinggi, bagi seorang yang sufi yang tidak mengindahkan harta, maupun bagi seorang usahawan yang hartawan, yang pandai maupun yang bodoh. Dan lebih luasnya lagi bagi seluruh manusia dengan segala aspek kegiatannya.
Al-Qur'an adalah kitab suci yang merupakan sumber utama dan pertama ajaran Islam menjadi petunjuk kehidupan hidup manusia diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW, sebagai salah satu rahmat yang tiada taranya bagi alam semesta.
Di dalamnya berkumpul wahyu Ilahi yang mejadi petunjuk, pedoman dan pelajaran bagi siapa saja yang mempercayai dan mempelajarinya. Al-Qur'an adalah kitab suci yang terakhir diturunkan Allah SWT, yang isinya mencakup segala pokok-pokok syari'at yang terdapat dalam kitab-kitab suci yang diturunkan sebelumnya. Oleh karena itu, setiap orang yang mempercayai al-Qur'an akan bertambah cinta kepada-Nya, cinta untuk membacanya, untuk mempelajari dan memahaminya serta pula untuk mengamalkan dan mengajarkannya sampai merata rahmat-Nya dirasakan dan dinikmati oleh penghuni alam semesta. Sesuai firman Allah SWT dalam surat al-Anbiya ayat 107, yang berbunyi : 
Artinya : “Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam”. (Hasbi Ash-Siddiqi dkk, 1994 : 508).
Al-Qur'an sebagai pedoman bagi umat manusia dalam menjalani kehidupan di dunia yang fatamorgana ini, agar manusia dalam kehidupannya tidak keliru dan salah jalan, baik individu maupun keluarga dan Masyarakat. maupun sebagian besar al-Qur'an tidak memuat petunjuk secara rinci dan mendetail terutama yang berkaitan dengan pendidikan. Dengan keadaan seperti ini membuat kesulitan dalam menjalankan petunjuk -petunjuk tersebut di dalam realitas kehidupan individual, berkeluarga dan bermasyarakat. Dengan demikian langkah yang tepat adalah mencari jalan keluar untuk mendapatkan petunjuk dari al-Qur'an dengan mencapai keselamatan dan sejahtera hidup di dunia dan akhirat.
Permasalahan yang perlu mendapat perhatian dalam setiap kehidupan adalah pendidikan. Walaupun ayat-ayat tentang pendidikan banyak terdapat di dalam al-Qur'an, isinya masih bersifat umum (general) sehingga tidak dapat secara instan diterapkan begitu saja ke dalam kehidupan manusia. Karena itu, ayat-ayat yang ada kaitannya dengan pendidikan di dalam al-Qur'an perlu di kaji secara mendalam dan komprehensif agar dapat dipahami dan ditangkap makna dan petunjuknya sehingga dapat diterapkan di tengah-tengah masyarakat untuk membimbing manusia ke jalan yang benar dan ridha Allah SWT. Sebagaimana firmannya dalam Surat Al-Baqarah ayat 185 berbunyi : 
Artinya : “(Beberapa had yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia. dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).” (Hasbi Ash-Siddiqi dkk, 1994 : 45).
Ayat di atas, selain al-Qur'an menjelaskan selain al-Qur'an sebagai petunjuk bagi umat manusia dan pedoman bagi umat manusia. Ayat tersebut juga menerangkan surat yang pertama kali diturunkan. Pada bulan Ramadhan adalah surat al-Alaq.
Surat al-Alaq ayat 1-5 adalah surat yang pertama diturunkan kepada Rasulullah di dalam al-Qur'an yang turun pada awal Islam. Ayat 1-5 merupakan ayat yang pertama kali turun kepada Nabi Muhammad SAW. Ayat yang pertama berisikan perintah untuk membaca. Membaca merupakan salah satu aktifitas dalam pendidikan yang tidak dapat diabaikan baik membaca yang tersurat maupun membaca alam dan fenomena yang tersirat.
Membaca merupakan materi pertama yang disebutkan di dalam surat al-Alaq. Hal ini sesuai dengan perkembangan daya serap dan jiwa manusia (peserta didik). Kondisi ini sesuai dengan penegasan Allah dalam surat An-Nahl ayat 78 bahwa manusia dianugerahi tiga potensi, yaitu pendengaran, penglihatan dan perasaan (hati).
Pelajaran membaca yang diisyaratkan di dalam surat al-Alaq jelas membutuhkan organ pendengaran. Jika organ pendengaran peserta didik rusak atau tidak berfungsi, maka proses pelajaran membaca akan terganggu sebab belajar membaca merupakan belajar meniru bunyi yang didengar.
Setelah perintah membaca, di dalam surat al-Alaq tidak ditegaskan obyek dari bacaan. Karena itu, alangkah baiknya perlu meninjau sekilas konotasi kata yang berasal dari akar kata. Menurut al-Raghib al-Asfihani (t.t. : 402), kata tersebut berarti menghimpun. Dengan demikian seseorang tidak dapat dikatakan membaca, kecuali jika dia menghimpun kata demi kata dan mengucapkannya. Berdasarkan pengertian tersebut Quraish Shihab (1992 : 10-11) lebih cenderung mengembalikan arti kata tersebut kepada hakikat kata menghimpun, yaitu menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui ciri-cirinya dan sebagainya.
Pendapat tersebut diatas sesuai dengan pemahaman ayat yang pertama kali turun. Karena itu, kurang tepat jika Allah menyuruh Nabi Muhammad Saw membaca teks, sementara teksnya tidak ada. Dengan begitu dapat dipahami bahwa pengertian membaca di sini tidak dalam pengertian sempit, yakni membaca teks, tetapi mencakup pengertian luas yaitu menghimpun berbagai informasi melalui penelitian, penalaran. Semua itu merupakan sarana untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.
Menurut Muhammad Abduh (1999 : 248) memahami perintah membaca sebagai amor takwini, yakni mewujudkan kemampuan membaca pada diri pribadi Nabi Muhammad Saw. Quraish Shihab sebagai mufasir kontemporer cenderung memahami itu dalam pengertian luas, seperti penegasannya bahwa kata dalam susunan yang tidak disebutkan obyeknya maka obyek yang dimaksudkan bersifat umum, mencakup segala yang dapat dijangkau oleh kata tersebut (Quraish Shihab, 1992 : 12).
Dalam surat al-Alaq, obyek bacaan tidak disebut secara khusus. Sesuai dengan penegasan Quraish Shihab diatas perintah membaca yang dimaksud berkonotasi umum yakni membaca apa saja yang dapat dibaca dan berguna, baik untuk diri si pembaca maupun umat manusia umumnya. Tidak perduli apakah yang dibaca itu tertulis atau tidak tertulis, seperti membaca atau meneliti alam semesta.
Berdasarkan uraian diatas turunnya perintah membaca tanpa menyebut obyek bacaan secara eksplisit pada wahyu pertama, dimaksudkan agar perintah tersebut berkonotasi luas sehingga dapat memuat pesan-pesan yang lebih kondusif dan kondisi umat untuk memajukan kehidupan mereka di muka bumi ini. Dengan demikian, materi membaca dalam pendidikan sangat penting dan mempunyai efek yang amat besar dalam memajukan kehidupan. Dan amat masuk akal jika perintah membaca diturunkan Allah dalam wahyu pertama, agar umat manusia memahaminya dengan baik dan sekaligus mengaplikasikannya dalam kehidupan mereka.
Sementara itu, para tokoh pendidikan Islam banyak memberikan asumsi dan pengertian tentang al-Qur'an dan terutama surat al-Alaq ayat 1-5, sebagai berikut : 
Abdurrahman an-Nahlawi (1996 : 45) menjelaskan bahwa al-Qur'an sendiri, mulai diturunkan dengan ayat-ayat pendidikan. Dimana terdapat isyarat bahwa tinjauan terpenting al-Qur'an adalah mendidik manusia dengan metoda memantulkan, mengajak, menelaah, membaca, belajar dan observasi ilmiah tentang penciptaan manusia, sejak masih berbentuk segumpal darah beku di dalam rahim ibunya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Alaq ayat 1-5, yang berbunyi : 
Artinya : “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu-lah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (Hasbi Ash-Siddiqi dkk, 1994 : 1079).
Para ahli pendidikan Islam senantiasa memasukan ayat ini sebagai ayat pendidikan. Seperti tokoh pendidikan di bawah ini : 
Hasan Langgulung (1995 : 191), misalnya menyatakan “Seakan-akan permulaan ayat yang pertama kali turun ini sebagai pemberitahuan bahwa kitab ini mengajak kepada Ilmu, judul ilmu, ajaran yang dibawanya tegak di atas dasar ilmu dan akan mengajar kepada manusia apa yang diketahui.
Nur Uhbiyati (1998 : 20), dalam surat al-Alaq ayat 1-5 menjelaskan bahwa seolah-olah Tuhan berkata hendaklah manusia meyakini akan adanya Tuhan pencipta manusia (dari segumpal darah), selanjutnya untuk memperkokoh keyakinannya dan memeliharanya agar tidak luntur hendaklah melaksanakan pendidikan dan pengajaran.
M. Ustman Najati (1985 : 173) memasukan ayat ke dua dari surat ini ke dalam kelompok ayat-ayat al-Qur'an yang mengisyaratkan tentang jenis ilmu pengetahuan biologi. Ayat ini mengisyaratkan pertumbuhan manusia di dalam rahim ibu yang berasal dari segumpal darah.
Mahmud Yunus (1981 : 5) menyatakan bahwa surat al-Alaq ayat yang pertama kali diturunkan itu berisi pendidikan keagamaan dan pendidikan akliyah ilmiah.
Dari lima ungkapan ahli pendidikan Islam tersebut. Telah banyak memberikan pemahaman tentang pendidikan dan pengajaran yang termaktub dalam surat al-Alaq ayat 1-5 secara keseluruhan. Karena itu surat al-Alaq akan dikaji ayat-demi ayat, selain itu akan dikemukakan pula berbagai penafsiran yang diberikan oleh para ulama tafsir dan pendapat ahli pendidikan yang berkaitan dengan masalah pendidikan di dalam surat al-Alaq ayat 1-5, dengan demikian akan dapat di peroleh informasi dan pengetahuan dari al-Qur'an tentang konsep pendidikan Islam dalam surat tersebut.

TESIS KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM MEMBANGUN BUDAYA ORGANISASI BERBASIS ISLAM

TESIS KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM MEMBANGUN BUDAYA ORGANISASI BERBASIS ISLAM

(KODE : PASCSARJ-0294) : TESIS KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM MEMBANGUN BUDAYA ORGANISASI BERBASIS ISLAM (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kepemimpinan adalah termasuk dalam kajian konsep kebutuhan manusia. Karena proses kepemimpinan berlangsung di mana saja dan kapan saja dalam hubungan timbal balik antar individu dan kelompok manusia. Overton dalam Syafaruddin dalam bukunya Kepemimpinan Pendidikan menjelaskan : "leadership is the ability to get done with and through others while gaining their confidence and cooperation ". Dipahami dari pendapat ini bahwa kepemimpinan adalah kemampuan untuk memperoleh tindakan dengan dan melalui orang lain dengan kepercayaan dan kerjasama.
Kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang sangat berperan dalam organisasi, baik buruknya organisasi sering kali sebagian besar tergantung pada faktor pemimpin. Berbagai riset juga telah membuktikan bahwa faktor pemimpin memegang peranan penting dalam pengembangan organisasi. Faktor pemimpin yang sangat penting adalah karakter dari orang yang menjadi pemimpin tersebut sebagaimana dikatakan oleh Covey (dalam Muhaimin, dkk) dalam bukunya Manajemen Pendidikan, bahwa 90 persen dari semua kegagalan kepemimpinan adalah kegagalan pada karakter.
Lembaga pendidikan membutuhkan seorang pemimpin. Sebab, pemimpin itulah penggerak dan inspirator dalam merancang dan mengerjakan kegiatan. Pemimpin tidak hanya seorang manajer, ia juga harus pembangun mental, moral, spirit, dan kolektivitas kepada jajaran bawahannya. Seorang pemimpin seyogyanya tidak hanya menggunakan aturan tertulis, tapi juga sikap perilaku, sepak terjang, dan keteladanan dalam melakukan agenda transformasi ke arah yang lebih baik.
Di dalam kepemimpinan ada tiga unsur yang saling berkaitan, yaitu unsur manusia, unsur sarana, dan unsur tujuan. Untuk dapat memperlakukan ketiga unsur tersebut secara seimbang, seorang pemimpin harus memiliki pengetahuan atau kecakapan dan keterampilan yang diperlukan dalam melaksanakan kepemimpinannya. Pengetahuan dan keterampilan ini dapat diperoleh dari pengalaman belajar secara teori ataupun dari pengalamannya di dalam praktek selama jadi pemimpin. Namun, secara tidak disadari seorang pemimpin dalam memperlakukan ketiga unsur tersebut dalam rangka menjalankan kepemimpinannya menurut caranya sendiri. Dan cara-cara yang digunakannya merupakan pencerminan dari sifat-sifat dasar kepribadian seorang pemimpin walaupun pengertian ini tidak mutlak. Cara atau teknik seseorang dalam menjalankan suatu kepemimpinan disebut tipe atau gaya kepemimpinan.
Adapun gaya-gaya kepemimpinan yang pokok, atau dapat juga disebut ekstrim, ada tiga, yaitu (1) Otokrasi. Dalam kepemimpinan yang otokrasi, pemimpin bertindak sebagai diktator terhadap anggota-anggota kelompoknya. Baginya, pemimpin adalah menggerakkan dan memaksa kelompok. Kekuasaan pemimpin yang otokrasi hanya dibatasi oleh undang-undang; (2) Laissez Faire. Tipe ini diartikan sebagai membiarkan orang-orang berbuat sekehendaknya. Pemimpin yang termasuk tipe ini sama sekali tidak memberikan kontrol dan koreksi terhadap pekerjaan anggota-anggotanya; dan (3) Demokratis. Pemimpin yang demokratis menafsirkan kepemimpinannya bukan sebagai diktator, melainkan sebagai pemimpin di tengah-tengah anggota kelompoknya. Pemimpin yang demokratis selalu berusaha menstimulasi anggota-anggotanya agar pekerja secara kooperatif untuk mencapai tujuan bersama. Dalam tindakan atau usaha-usahanya, ia selalu berpangkal pada kepentingan dan kebutuhan kelompoknya, dan mempertimbangkan kesanggupan serta kemampuan kelompoknya.
Adapun karakteristik dari beberapa gaya kepemimpinan tersebut antara lain : 1) Otokrasi memiliki sifat yaitu a) menganggap organisasi yang dipimpinnya sebagai milik pribadi, b) mengidentifikasikan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi, c) menganggap bawahan sebagai alat semata-mata, tidak mau menerima pendapat, saran, dan kritik dari anggotanya, d) terlalu bergantung pada kekuasaan formalnya, e) caranya menggerakkan bawahan dengan pendekatan paksaan dan bersifat mencari kesalahan/menghukum; 2) Laissez Faire memiliki sifat yaitu a) menyerahkan sepenuhnya pada para bawahannya untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya, setelah tujuan diterangkan kepadanya, b) ia hanya akan menerima laporan-laporan hasilnya tidak terlampau turut campur tangan atau tidak terlalu mau ambil inisiatif, c) semua pekerjaan tergantung pada inisiatif dan prakarsa dari para bawahannya; 3) Demokratis memiliki sifat yaitu a) dalam menggerakkan bawahan bertitik tolak dari pendapat bahwa manusia itu makhluk yang termulia di dunia, b) selalu berusaha untuk menyinkronkan kepentingan dan tujuan organisasi dengan kepentingan dan tujuan pribadi bawahan, c) senang menerima saran, pendapat, dan kritik dari bawahan, d) mengutamakan kerja sama dalam mencapai tujuan, e) memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada bawahan, dan membimbingnya.
Tannenbaum dan Schmidt (dalam Boone dan Kurtz) mengatakan bahwa pemilihan gaya kepemimpinan yang tepat tergantung pada faktor : 1) pemimpin yakni sistem nilai dan keyakinan pada bawahan, 2) bawahan yakni harapannya terhadap prilaku kepemimpinan, 3) situasi yakni nilai dan tradisi organisasi. Debutts (dalam Boone dan Kurtz) menambahkan pula faktor tersebut sebagai berikut : 1) orang yang dipimpin dalam hal ini bawahan, 2) pekerjaan itu sendiri menyangkut keterlibatan bawahan dalam melaksanakan pekerjaan tentang kapan, di mana dan bagaimana dikerjakan, 3) dukungan manajemen menyangkut sistem penghargaan yang diberikan untuk manajer, 4) karakteristik pribadi yang menyangkut kesenangan, pengetahuan, dan kebutuhan yang diterima oleh pemimpin.
Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti lakukan, gaya kepemimpinan kepala sekolah di SMAN X dan SMAN Y cenderung lebih menerapkan kepemimpinan demokratis, walaupun tidak sepenuhnya menerapkan gaya kepemimpinan tersebut dan masih didukung dengan gaya kepemimpinan yang lain. Karena sebagai pimpinan di lembaga pendidikan kepala sekolah tidak bisa menerapkan hanya satu gay a kepemimpinan saja, akan tetapi sebaiknya mengkombinasikan beberapa gaya tersebut dalam kepemimpinannya. Karena gaya kepemimpinan yang satu dan lainnya saling mendukung.
Dalam memberdayakan masyarakat dan lingkungan sekitar, kepala sekolah merupakan kunci keberhasilan yang harus menaruh perhatian tentang apa yang terjadi pada peserta didik di sekolah dan apa yang dipikirkan orang tua dan masyarakat tentang sekolah. Kepala sekolah dituntut untuk senantiasa berusaha membina dan mengembangkan hubungan kerjasama yang baik antara sekolah dan masyarakat guna mewujudkan sekolah yang efektif dan efisien. Pelaksanaan manajemen berbasis sekolah memerlukan sosok kepala sekolah yang memiliki kemampuan manajerial dan integritas yang tinggi, serta demokratis dalam pengambilan keputusan-keputusan mendasar. Kepala sekolah adalah "The Key Person" keberhasilan pelaksanaan otonomi sekolah. Kepala sekolah adalah orang yang di beri tanggung jawab untuk mengelola dan memberdayakan berbagai sumber yang tersedia dan dapat menggali lagi untuk mewujudkan visi, misi, dan tujuan sekolah. Oleh karena itu dalam implementasi manajemen berbasis sekolah, kepala sekolah dituntut memiliki visi dan wawasan yang luas tentang sekolah yang efektif serta kemampuan profesional yang memadai dalam bidang perencanaan, kepemimpinan, manajerial dan supervisi pendidikan. Ia juga harus memiliki kemampuan untuk membangun kerjasama yang harmonis dengan berbagai pihak yang terkait dengan program pendidikan di sekolah. Dalam implementasi manajemen berbasis sekolah, kepala sekolah harus mampu berperan sebagai educator, manager, administrator, supervisor, leader, innovator, dan motivator pendidikan. Dalam melaksanakan fungsinya kepala sekolah dituntut untuk melakukan (action) perubahan-perubahan dan pengembangan dalam pendidikan di sekolah yang dipimpinnya yang dapat berupa ide, program, layanan, proses atau teknologi yang diimplementasikan dalam sistem pendidikan.
Begitu besarnya peranan sekolah dalam proses pencapaian tujuan pendidikan, sehingga dapat dikatakan bahwa sukses tidaknya inovasi pendidikan dan kegiatan sekolah sebagian besar ditentukan oleh kualitas kepemimpinan yang dimiliki oleh kepala sekolah. Namun, perlu dicatat bahwa keberhasilan seorang pemimpin dalam melaksanakan tugasnya, tidak ditentukan oleh tingkat keahliannya dibidang konsep dan teknik kepemimpinan semata, melainkan lebih banyak ditentukan oleh kemampuannya dalam memilih dan menggunakan teknik atau gaya kepemimpinan yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang dipimpin.
Wahjosumidjo mengemukakan bahwa penampilan kepemimpinan kepala sekolah adalah prestasi atau sumbangan yang diberikan oleh kepemimpinan seorang kepala sekolah baik secara kualitatif maupun kuantitatif yang terukur dalam rangka membantu tercapainya tujuan sekolah. Penampilan kepemimpinan kepala sekolah ditentukan oleh faktor kewibawaan, sifat dan keterampilan, prilaku maupun fleksibilitas pemimpin. Agar fungsi kepemimpinan kepala sekolah berhasil memberdayakan segala sumber daya sekolah untuk mencapai tujuan sesuai dengan situasi, diperlukan seorang kepala sekolah yang memiliki kemampuan profesional yaitu : kepribadian, keahlian dasar, pengalaman, pelatihan dan pengetahuan.
Kepala sekolah profesional tidak saja dituntut untuk melaksanakan berbagai tugasnya di sekolah, tetapi ia juga harus mampu menjalin hubungan/kerja sama dengan masyarakat dalam rangka membina pribadi peserta didik secara optimal. Kerja sama ini penting karena banyak persoalan yang tidak dapat diselesaikan sekolah secara sepihak, atau sering terjadi kesalahpahaman, perbedaan persepsi antara pihak sekolah dengan masyarakat. Dalam hal ini kepala sekolah harus mampu mencari jalan keluar untuk mencairkan hubungan sekolah dengan masyarakat yang selama ini terjadi, agar masyarakat khususnya orang tua peserta didik bisa mengerti, memahami dan maklum dengan ide-ide serta visi yang sedang berkembang di sekolah.
Menurut Robbins (dalam R.A. Sri Isminingsih) untuk menduduki posisi kepala sekolah tentunya menuntut dipenuhinya persyaratan, baik unjuk kerja, administratif, akademik maupun kepribadian. Terpenuhinya, persyaratan mengandung arti, bahwa kepala sekolah telah memiliki kelebihan sehingga mampu berperan sebagai pemimpin sekolah. Kemampuan yang dimiliki telah terseleksi baik seleksi diri, karier dan seleksi organisasi. Sedangkan Wiles dan Bondi (dalam R.A. Sri Isminingsih) mengatakan bahwa seseorang terseleksi untuk menjadi kepala sekolah antara lain mengacu pada tanggung jawab kualifikasi dan pengalaman.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 Tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah, seorang kepala sekolah sebagai pimpinan dari lembaga pendidikan harus memiliki lima kompetensi antara lain : kompetensi kepribadian, kompetensi manajerial, kompetensi kewirausahaan, kompetensi supervisi, dan kompetensi sosial.
Pentingnya kedudukan budaya dalam sebuah organisasi yang di dalamnya terdapat pemaknaan bersama antar anggota, sebagaimana diungkapkan oleh Robbins, pada dasarnya merupakan fenomena yang relatif baru. Hal ini dikarenakan selama ini organisasi hanya dilihat sebagai alat yang paling rasional untuk mengendalikan dan mengatur sekelompok orang. Owens mengatakan bahwa, bahkan secara ekstrim organisasi dipandang sebagai mesin yang menekankan pada otoritas formal dan legitimasi perintah. Simon dan Barnard dengan asumsi dasar mengatakan bahwa, manusia sebagai economic man dengan fokus utamanya adalah tercapainya kekuasaan (wealth power). Namun akhir-akhir ini, pandangan tersebut telah mengalami perubahan, di mana dalam sebuah organisasi ternyata terdapat pemaknaan bersama seluruh anggotanya yang di dalamnya ada nilai, norma, keyakinan, dan tradisi yang membentuk satu kesatuan sistem dalam organisasi sehingga itu menjadi kekuatan yang walaupun tidak terlihat tetapi memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pikiran, perasaan dan tindakan anggota organisasi.
Pentingnya kedudukan budaya ini juga mulai menarik perhatian kalangan pendidikan. Peterson mengatakan bahwa budaya ternyata memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap motivasi anggota organisasi dan motivasi itu sendiri sangat berpengaruh terhadap produktivitas dan keberhasilan sebuah organisasi. Begitu pentingnya kedudukan budaya ini dalam sebuah institusi pendidikan sampai-sampai membuat Edward Redalen membuat pernyataan bahwa, jika seorang pimpinan atau kepala sekolah ingin melakukan perubahan maka starting pointnya adalah melalui budaya. Jika tidak, sebaik apapun upaya perubahan yang dilakukan itu tidak akan pernah membawa hasil yang maksimal.
Pendidikan sebagai investasi dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM) melakukan upaya dilakukan dalam konteks organisasi, apakah keluarga, masyarakat, sekolah, atau jenis organisasi lainnya. Penyelenggaraan pendidikan dalam sebuah organisasi menunjukkan bahwa keberadaan organisasi pendidikan tersebut ditujukan untuk mencapai tujuan pendidikan secara lebih efektif dan efisien. Tujuan pendidikan dan tujuan sekolah sebagai organisasi pendidikan formal tidaklah terpisah.
Dalam setiap organisasi terdapat pola mengenai kepercayaan, ritual, mitos serta praktik-praktik yang berkembang sejak beberapa lama. Ke semua itu pada gilirannya, menciptakan pemahaman yang sama di antara para anggota mengenai bagaimana sebenarnya organisasi itu dan bagaimana anggotanya berperilaku.
Konteks eksternal organisasi yang sangat cepat berubah merupakan sebuah tantangan utama dari organisasi untuk dapat hidup terus. Sebagaimana makhluk hidup, organisasi juga harus pandai menyesuaikan diri dengan lingkungannya jika menginginkan untuk hidup dalam usia yang lebih panjang. Ketidakmampuan organisasi menyesuaikan diri dengan lingkungannya akan dapat menyebabkan organisasi tersebut mengalami masalah serius bahkan dapat mengakibatkan kematian (kebangkrutan).
Organisasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Setiap manusia hidup dalam sebuah organisasi. Gibson, Ivancevich, dan Donnelly (dalam Daman Hermawan dan Cepi Triatna) mendefinisikan organisasi sebagai "wadah yang memungkinkan masyarakat dapat meraih hasil yang sebelumnya tidak dapat dicapai oleh individu secara sendiri-sendiri". Lebih jauh ketiganya menyebutkan bahwa organisasi adalah suatu unit terkoordinasi terdiri setidaknya dua orang berfungsi mencapai satu sasaran tertentu atau serangkaian sasaran. Definisi ini menekankan pada upaya peningkatan pencapaian tujuan bersama secara lebih efektif dan efisien melalui koordinasi antar unit organisasi.
Setiap individu yang memasuki organisasi melakukan proses interaksi (adaptasi) dengan kebiasaan pada masing-masing individu dan dengan budaya organisasi. Proses ini merupakan aktifitas sumber kehidupan dalam struktur organisasi. Proses yang umum meliputi komunikasi, pengambilan keputusan, sosialisasi dan pengembangan basis. Budaya organisasi dapat menjadi positif atau negatif. Budaya organisasi yang positif akan membantu meningkatkan produktifitas, budaya yang negatif akan menghambat efektifitas kelompok dan desain organisasi yang lebih baik.
Budaya organisasi berbasis Islam dalam hal ini nilai-nilai Islami di sekolah. Pengembangan nilai Islami adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga mengimani, bertaqwa, dan berakhlaq mulia dalam mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci al-Qur'an dan hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman. Nilai adalah patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya diantara cara-cara tindakan alternatif.
Nilai-nilai budaya Islami yang dijadikan pilar dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di sekolah antara lain : 1) Nilai akhlakul karimah. Etika atau akhlakul karimah adalah tata aturan untuk bisa hidup bersama dengan orang lain; 2) Nilai kejujuran. Yaitu jujur kepada dirinya sendiri, jujur kepada Tuhan, jujur kepada orang lain; 3) Nilai kasih sayang; 4) Nilai menghormati hukum dan peraturan; 5) Nilai tepat waktu/kedisiplinan; 6) Nilai bekerja sama; 7) Nilai jihad. Adapun karakteristik bentuk pembangunan budaya organisasi Islam yang dilakukan oleh kepala sekolah adalah sebagai berikut : 1) keadilan; 2) senyum, salam, sapa; 3) berjabat tangan; 4) doa bersama; 5) shalat dzuhur dan Jum'at berjamaah; 6) pendistribusian zakat fitrah; 7) pondok Ramadhan, untuk mewujudkan budaya tersebut melalui pembiasaan, keteladanan dan internalisasi.
Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti lakukan, sesuai dengan pendapat yang diungkapkan oleh Aan Komariah dan Cepi Triatna bahwa organisasi selalu unik dan selalu tampil khas, masing-masing memiliki budayanya sendiri-sendiri, hal ini dipengaruhi oleh visi dan misi serta tujuan. Walaupun organisasi itu sejenis, namun budayanya akan berbeda. Adapun budaya organisasi yang terdapat di SMAN X adalah budaya organisasi berbasis Islam yang tercantum dalam daftar kegiatan ekstrakurikuler yaitu Kerohanian Islam (Rohis), dan di SMAN Y adalah budaya organisasi berbasis Islam yang tercantum dalam visi dan misi sekolah.
Adapun alasan mengapa penulis mengambil judul "KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM MEMBANGUN BUDAYA ORGANISASI BERBASIS ISLAM (STUDI MULTI SITUS DI SMAN X DAN SMAN Y)" karena peneliti ingin mengetahui bagaimana kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam, budaya yang sudah menjadi karakteristik atau identitas suatu organisasi/lembaga pendidikan tersebut serta apa latar belakang kepala sekolah membangun budaya organisasi berbasis Islam, serta dampak yang dihasilkan dari kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di kedua SMAN tersebut, merupakan rumusan masalah penelitian.
Sedangkan tempat yang menjadi sasaran peneliti untuk mengadakan penelitian adalah SMAN X dan SMAN Y. Peneliti memilih tempat tersebut karena seperti yang peneliti pernah ketahui bahwa di sekolah tersebut memiliki budaya yang khas yang mungkin belum pernah dimiliki oleh sekolah-sekolah umum yang lain yaitu kepemimpinan kepala sekolah yang didasari oleh nilai-nilai Islami dalam kepemimpinannya, serta adanya budaya organisasi berbasis Islam. 

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini lebih ditujukan untuk menjawab bagaimana kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di SMAN X dan SMAN Y tersebut. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam maka peneliti akan memfokuskan penelitian ini pada : 
1. Bagaimana kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di SMAN X dan SMAN Y ?
2. Faktor apa yang melatarbelakangi kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di SMAN X dan SMAN Y ?
3. Dampak apa saja yang dihasilkan dari kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di SMAN X dan SMAN Y ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini pada dasarnya bertujuan untuk memahami, mendeskripsikan, dan menganalisa tentang : 
1. Mendeskripsikan dan menganalisa tentang kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di SMAN X dan SMAN Y.
2. Mendeskripsikan dan menganalisa tentang faktor apa yang melatarbelakangi kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di SMAN X dan SMAN Y.
3. Mendeskripsikan dan menganalisa tentang dampak apa saja yang dihasilkan dari kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di SMAN X dan SMAN Y.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi baik secara teoritis maupun praktis bagi pengembangan lembaga pendidikan di Indonesia. Adapun manfaat dan kegunaan dari penelitian ini yaitu : 
1. Manfaat teoritis ilmu Manajemen Pendidikan Islam yaitu : dihasilkan kesimpulan-kesimpulan substantif yang berkaitan dengan gaya kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di SMAN X dan SMAN Y sebagai wujud pengembangan teori-teori gaya kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi sebelumnya. Memberikan sumbangan pemikiran terkait "Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Membangun Budaya Organisasi berbasis Islam (Studi Multi Situs di SMAN X dan SMAN Y)" sehingga terbuka peluang dilakukannya penelitian yang lebih besar dan luas dari segi biaya maupun jangkauan lokasi yang relevan. 
2. Manfaat praktis : dapat memberikan pengetahuan tentang proses dibangunnya budaya organisasi berbasis Islam serta faktor pendukung dan kendala yang dihadapi sekolah dalam pembangunan budaya organisasi tersebut sehingga dapat dijadikan dasar kebijakan untuk pengembangan sekolah ditinjau dari segi fungsi-fungsi manajemen. Dapat digunakan sebagai sumber informasi tentang kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di SMAN X dan SMAN Y. Tidak menutup kemungkinan gaya kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam yang dikembangkan di SMAN X dan SMAN Y bisa diterapkan oleh lembaga pendidikan lain secara lebih luas.

TESIS MANAJEMEN PENGEMBANGAN PROGRAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMPN

TESIS MANAJEMEN PENGEMBANGAN PROGRAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMPN

(KODE : PASCSARJ-0293) : TESIS MANAJEMEN PENGEMBANGAN PROGRAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMPN (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Suatu kenyataan yang dihadapi dunia pendidikan khususnya Pendidikan Agama Islam di lembaga pendidikan formal saat ini, adalah rendahnya kualitas pembelajaran yang dilakukan oleh guru dan siswa di dalam kelas. Permasalahannya adalah proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam kurang berhasil dalam pembentukan perilaku positif siswa. Lemahnya aspek metodologi yang dikuasai oleh guru juga merupakan penyebab rendahnya kualitas pembelajaran. Metode yang banyak dipakai adalah model konvensional yang kurang menarik.
Apabila kualitas pembelajaran tidak dapat ditingkatkan, tidak menutup kemungkinan tujuan Pendidikan Agama Islam pun tidak akan sesuai dengan yang diharapkan. Secara umum tujuan Pendidikan Agama Islam adalah membentuk pribadi taqwa. Di samping itu ada juga yang merumuskan bahwa tujuan Pendidikan Agama Islam adalah membentuk peserta didik yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, memiliki pengetahuan yang luas tentang Islam dan berakhlakul karimah.
Permasalahan nyata yang tampak dan diakui pula oleh para ahli pendidikan dewasa ini adalah pendidikan agama yang diajarkan di sekolah umum ternyata kurang berhasil untuk mengembangkan pribadi-pribadi yang taat dan berakhlak mulia. Bukti-bukti yang diajukan untuk memperkuat pernyataan tersebut antara lain kenyataan adanya siswa yang tidak mampu membaca Al-Qur'an dengan baik meski sudah duduk di bangku SMP, belum dapat melaksanakan shalat dengan baik, tidak puasa di bulan Ramadhan, tidak menunjukkan perilaku yang terpuji, banyaknya perilaku asusila dan penggunaan obat terlarang dan minum minuman keras di kalangan pelajar. Kesimpulannya, pendidikan agama belum mampu untuk menumbuhkan sikap positif dalam diri anak yang berguna bagi kemaslahatan masyarakat.
Untuk mencapai tujuan pendidikan, dalam Proses Belajar Mengajar, paling tidak ada dua aspek yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu : didaktik dan metodik. Didaktik adalah ilmu menanamkan pengetahuan kepada murid dengan cara yang cepat dan tepat, sehingga anak dapat dengan mudah menangkapnya. Atau dengan istilah lain ilmu yang memberi uraian tentang kegiatan proses mengajar yang menimbulkan proses belajar. Sedangkan metodik adalah bagian dari didaktik yang membicarakan tentang pelaksanaan cara mengajar, atau cara guru menyajikan bahan pelajaran kepada murid.
Kenyataan di lapangan bahwa guru-guru agama (Islam), jarang yang mau mencermati efektivitas penggunaan metode mengajar, perhatiannya lebih terfokus pada buku pegangan (teks book) yang dipergunakan. Disamping itu, dalam mengajar kebanyakan guru agama, lebih dominan menggunakan metode ceramah, belum mampu mengembangkan program-program pembelajaran yang efektif dan aplikatif. Guru Agama belum banyak menggunakan manajemen pembelajaran yang profesional, masih banyak menggunakan paradigma lama yaitu pendidikan sebagai transfer ilmu saja belum pada pencapaian tiga ranah (kognitif, afektif, dan psikomotorik).
Dalam Islam, penggunaan metodologi yang tepat dalam rangka mempermudah proses belajar-mengajar adalah suatu yang niscaya sehingga keberadaannya sangat dinanti baik dari kalangan siswa maupun dari pemerhati dan pengguna lulusan keguruan. Ismail mengatakan bahwa metode sebagai seni dalam mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswa dianggap lebih signifikan dibanding dari materi itu sendiri. Sebuah adagium mengatakan bahwa "At-Thariqat Ahamm min al-Maddah" (metode jauh lebih penting dibanding materi). Ini adalah sebuah realita bahwa cara penyampaian yang komunikatif lebih disenangi oleh siswa, walaupun sebenarnya materi yang disampaikan sesungguhnya tidak terlalu menarik. Sebaliknya materi yang cukup menarik, karena disampaikan dengan cara yang kurang menarik maka materi itu kurang dapat dicerna oleh siswa.
Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam telah memerintahkan untuk memilih metode yang tepat dalam proses pembelajaran, seperti yang terdapat dalam surah an-Nahl : 125.
"Serulah (manusia) kepada Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk". Dalam Surat Ali Imran 159 Allah SWT menjelaskan : 
"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka dan bermusyawarah lah dengan mereka dalam urusan ini . Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa kepada-Nya".
Selama ini, metodologi pembelajaran agama Islam yang diterapkan masih mempertahankan cara-cara lama (tradisional) seperti ceramah, menghafal dan demonstrasi praktik-praktik ibadah yang tampak kering. Seperti halnya pada materi ilmu tajwid dari masa ke masa selalu menggunakan cara-cara lama dengan ceramah dan membaca al-Qur'an sehingga cara-cara seperti itu diakui atau tidak, membuat siswa tampak bosan, jenuh dan kurang bersemangat dalam belajar agama.
Oleh karenanya secara umum seluruh praktisi pendidikan, khususnya pendidikan agama Islam perlu melakukan inovasi, kreatifitas sehingga tujuan pendidikan Islam dapat tercapai. Strategi PAIKEM merupakan pendekatan dalam proses belajar mengajar yang bila diterapkan secara tepat berpeluang dalam meningkatkan tiga hal, pertama, maksimalisasi pengaruh fisik terhadap jiwa, kedua, maksimalisasi pengaruh jiwa terhadap proses psiko fisik dan psikososial, dan ketiga, bimbingan ke arah pengalaman kehidupan spiritual.
Hal ini memang merupakan masalah pendidikan secara umum, namun dilihat dari aspek psikologis bahwa dalam praktek pembelajaran Agama kurang dapat memobilisasikan seluruh potensi yang ada pada diri siswa : berfikir, sikap dan keterampilan anak didik. Dengan kata lain bila pengajaran agama (Islam) menggunakan metode ceramah, berarti hanya menyentuh aspek kognitif saja (menghafal dan mengetahui). Padahal inti Pendidikan Agama Islam adalah keimanan yang lebih berdimensi afektif dengan sasaran utama hati nurani (conscience) yang harus diterapkan (psikomotor) dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu pengajaran Pendidikan Agama Islam hendaknya bersifat integralistik yang menyentuh semua ranah.
Untuk itulah dibutuhkan suatu program pengembangan pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang didalamnya diarahkan bukan hanya sekedar menyuruh siswa untuk menghafal nilai-nilai normatif, disampaikan lewat ceramah dan diakhiri dengan ulangan, tetapi program pengembangan Pendidikan Agama Islam yang mengarahkan siswa tidak hanya memahami berbagai konsep, tetapi mereka mampu menguasai ketrampilan berpikir, karena memang seharusnya learning itu berisi thinking dan juga values. Disamping itu seorang guru agama harus pandai membuat perencanaan yang mengarah pada pengembangan ke arah yang lebih baik.
Atas dasar itulah dipilih program-program pengembangan yang tepat dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam dengan maksud sebagai suatu upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Dalam upaya pencapaian tujuan Pendidikan Agama Islam secara sempurna dan diharapkan dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari maka dipandang perlu untuk mengkaji sebuah program pembelajaran Pendidikan Agama Islam selanjutnya disingkat PAI. Dalam hal ini, penulis akan mengadakan penelitian mengenai Manajemen Pengembangan program pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMPN X.
Salah satu masalah pendidikan agama Islam yang dihadapi di SMPN X adalah lemahnya manajemen (pengelolaan) program-program pembelajaran mulai dari proses perencanaan program pembelajaran, pelaksanaan program pembelajaran baik di kelas atau di luar kelas (Intra maupun ekstrakurikuler), dan proses pengendalian program pembelajaran, baik lewat penilaian program yang dikembangkan maupun proses pengawasan dari pihak-pihak terkait dengan penilaian Pendidikan Agama Islam (PAI).
Dalam proses pelaksanaan program pembelajaran PAI di kelas, anak kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Proses pelaksanaan program pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang dilakukan di SMPN X hanya diarahkan pada kemampuan anak untuk meniru program yang selama ini diterapkan tanpa meneliti sejauhmana program pembelajaran itu benar-benar dapat dijalankan. Seringkali anak-anak hanya disuruh untuk menghafal informasi; otak anak dipaksa untuk mengingat dan menimbun berbagai informasi tanpa dituntut untuk memahami informasi yang diingatnya itu untuk menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari. Akibatnya ? Ketika anak didik lulus dari sekolah tersebut, mereka pintar secara teoritis, tetapi mereka miskin aplikasi.
Kegagalan institusi pendidikan dalam menjalankan fungsi pendidikannya itu lebih terlihat ketika sekolah gagal melakukan penanaman atau internalisasi nilai kepada para peserta didik. Kegagalan ini dipandang sebagai kekurangberdayaan pendidikan agama yang diterapkan. Ketidakberdayaan itu dirasakan pada aspek pengembangan internalisasi nilai moral agama ke dalam diri peserta didik. 
Oleh karena itu tidak berlebihan jika Roem Topatimasang, seorang aktivis LSM pendidikan, menganggap sekolah sudah mati. Sebab sekolah dipandang tidak sanggup lagi menggarap tiga wilayah kepribadian manusia (taksonomi pendidikan) yang merupakan fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan : membentuk watak dan sikap (affective domain) mengembangkan pengetahuan (cognitive domain) serta melatih ketrampilan (psikomotorik atau cognitive domain). Sudarsono, mengatakan bahwa banyak indikasi yang membuktikan bahwa anak-anak remaja yang memasuki sekolah hanya sebagian saja yang benar-benar berwatak soleh, sedangkan sebagian yang lain adalah pemabuk, peminum, pengisap ganja dan pecandu narkotik.
Fenomena yang memprihatinkan itu, menuntut kita untuk lebih berbuat dalam menyediakan alternatif dan menyediakan persiapan-persiapan lembaga pendidikan yang matang dengan berbagai metodologi yang cocok serta sarana pendukung lainnya yang dirasa lebih pas dalam mengantisipasi kehidupan masyarakat umumnya dan pelajar khususnya yang serba dilematis.
Sekolah sebagai institusi yang mengemban misi publik, seharusnya dapat mempertanggungjawabkan pembentukan moralitas siswa. Ketika kondisi moralitas masyarakat makin tidak terbentuk, sekolah-sekolah harus melakukan prakarsa reformatif untuk membenahi moral bangsa ini. Misalnya dengan memperbaiki pola manajerial pembelajaran yang efektif dan efisien dengan lebih menyentuh pada totalitas aspek kesadaran IQ, EQ dan SQ serta RQ (kecerdasan religius), termasuk didalamnya merevisi secara holistik metode pendidikan agama yang selama ini cenderung mengindoktrinasi ajaran agama dari pada membuat siswa memahami dan menghayati makna ajaran tersebut.
Oleh karenanya institusi pendidikan dengan wajah apapun (madrasah, sekolah umum atau pesantren) secara bersama harus dapat mengembangkan human dignity (harkat dan martabat manusia) atau humanizing human (yaitu memanusiakan manusia) sehingga benar-benar mampu menjadi khalifah di muka bumi. Juga yang tak kalah pentingnya adalah pengelolaan secara manajerial terhadap beberapa program pengembangan pembelajaran pendidikan sehingga antara mengedepankan fungsi-fungsi pembelajaran dengan meningkatkan mutu pembelajaran akan dapat tercapai bersama-sama.
SMPN X, sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai tugas setara dengan sekolah lain yaitu mempelopori penyempurnaan proses dan tujuan pembelajaran melalui perbaikan pengembangan program-program pembelajaran khususnya pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) dengan cara pengintegrasian dan internalisasi nilai-nilai pendidikan di dalam hidup dan kehidupan para pelajar, yang pada gilirannya merupakan bekal yang berharga baginya untuk membangun diri sendiri dan bangsa sesuai dengan yang kita harapkan bersama sebagaimana yang tercantum dalam salah satu visinya yakni Unggul dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta Seni (IPTEKS) yang berlandaskan Iman dan Taqwa (IMTAQ) dan Berbudi pekerti yang luhur.
Untuk mencapai tujuan tersebut, SMPN X banyak melakukan berbagai terobosan program sekolah diantaranya : Pertama, penyiasatan kurikulum pendidikan yang dipercaya akan mampu menjawab tantangan kebutuhan di masa depan yang disusun oleh sekolah bersama dengan seluruh stakeholder yang ada. Kedua, penyelenggaraan program pembelajaran yang lebih diorientasikan pada pengembangan nilai-nilai yang benar-benar dapat terinternalisasi dalam kepribadian dan kehidupan siswa sehingga berkemampuan nyata untuk mengidentifikasi masalah serta mencari solusi untuk pemecahan masalah-masalah kemasyarakatan dalam lingkungannya, tanpa mengabaikan penyiapan kemampuan akademik untuk berhasil menapaki jenjang pendidikan tinggi. Begitupun dengan sistem seleksi calon siswa, penambahan wawasan profesionalisme tenaga edukasi dan program-program unggulan lainnya. Sehingga dengan program ini, menjadikan sekolah ini meraih image dalam masyarakat sebagai salah satu sekolah favorit yang mengembangkan disamping seni juga nilai-nilai agama di Kota X.
Dipilihnya SMPN X sebagai setting penelitian karena peneliti menganggap masih belum maksimalnya kegiatan-kegiatan keagamaan termasuk program pembelajaran PAI yang dikembangkan Baik intra maupun ekstrakurikuler, sementara sekolah tersebut termasuk sekolah SSN yang sudah memasuki tahap II bahkan sudah membuka kelas bilingual sebagai persyaratan menuju Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Disamping itu sekolah ini telah mengembangkan program unggulannya di bidang Seni yang mana prestasinya sudah mencapai tingkat nasional, karena itu untuk mengimbanginya, perlu ditingkatkan dan dikembangkan program-program keagamaan dalam membekali siswa-siswinya dalam even-even di luar pantauan orang tua dan guru-gurunya di sekolah.
Yang lebih penting dari alasan di atas, adalah karena sekolah ini mencapai prestasi akademik dan non akademik yang luar biasa. Dalam lomba Penelitian Ilmiah Remaja/PIR masuk nominasi finalis Tingkat Nasional, dalam perolehan rata-rata nilai ujian nasional (NUN) masuk 6 besar tingkat Kota, juara olimpiade Biologi tingkat kota dan masuk nominasi finalis tingkat nasional. Dalam kelulusan Ujian Nasional sejak tiga tahun terakhir ini 100 % meluluskan siswanya. Sedangkan prestasi non akademis yang diraih dari kegiatan ekstrakurikuler terutama Seni jauh melampaui sekolah-sekolah lain, karena itu SMPN X adalah satu-satunya di Kota X yang dipercaya Depdiknas untuk bergabung dalam Paguyuban Peminat Seni Tradisi (PPST) dan dipercaya menjadi pilot project sekolah Seni di Kota X.
Di samping itu pula, dipilihnya lokasi ini sebagai tempat penelitian karena peneliti ingin mengetahui sejauhmana program-program pembelajaran yang dilaksanakan hingga mampu menjadi sekolah unggulan di Kota X termasuk ingin mengetahui program-program pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang diterapkan. Karena menurut observasi peneliti terdapat 19 ekstrakurikuler yang dikembangkan termasuk ekstrakurikuler Pendidikan Agama Islam dan Budaya religius yang kondusif. Hal inilah yang menjadi alasan tersendiri bagi peneliti untuk menjadikan lembaga tersebut sebagai lokasi penelitian.
Sebagai sekolah yang telah mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, SMPN X diharapkan bisa dijadikan figur sentral atau lembaga yang representatif untuk mewakili standar percontohan kualitas pendidikan seluruh SMP baik negeri maupun swasta di Kota X, dan bahkan mungkin bisa diadopsi dan dicontoh oleh SMP di daerah lain, baik dari segi manajerial pengelolaan kelembagaan ataupun dari segi pembelajaran, sehingga bisa menghasilkan output yang berkualitas sekaligus unggul, termasuk pola pembelajaran pendidikan Agama Islam di sekolah tersebut.
Kegiatan pengembangan program pembelajaran pendidikan agama Islam merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam pendidikan di SMPN X, tentunya juga memiliki karakteristik manajemen yang bernilai lebih dibanding sekolah lain. Akan tetapi SMPN X juga tidak lepas dari tantangan dan ancaman besar yang tidak jarang dihadapi oleh sekolah umum lainnya seperti kasus tawuran, narkoba, pacaran, pergaulan bebas dan perilaku negatif lainnya, apalagi jika pelakunya didominasi oleh siswa muslim. Sehingga itu, dituntut peran pendidikan agama untuk tampil di garda depan menjadi tameng atau "dokter" dalam mengatasi semua problematika tersebut.
Problematika pendidikan yang sangat kompleks tersebut menjadi beban dan tanggung jawab pendidikan agama secara khusus dengan mengupayakan berbagai cara dengan segala keterbatasan dalam pendidikan agama Islam itu sendiri mulai dari segi kurikulum, metodologi pembelajaran, fasilitas sarana belajar sampai pada alokasi waktu proses belajar mengajar yang sedikit (2 jam pelajaran). Namun, sebagai sekolah yang menyandang SSN menuju RSBN, SMPN X tentunya mempunyai strategi atau model manajemen untuk mengembangkan program-program pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang jitu sehingga dapat memposisikan diri sebagai satu kesatuan lembaga unggulan diantara sekolah-sekolah lainnya. 

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan konteks penelitian di atas, maka peneliti memfokuskan penelitian ini pada "manajemen pengembangan program pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMPN X". Fokus penelitian ini selanjutnya dijabarkan dalam beberapa sub fokus sebagai berikut : 
1. Bagaimana proses perencanaan pengembangan program pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMPN X ?
2. Bagaimana proses pelaksanaan pengembangan program pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMPN X ?
3. Bagaimana proses pengendalian pengembangan program pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMPN X ?

C. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk : 
1. Mendeskripsikan proses perencanaan pengembangan program pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMPN X.
2. Mendeskripsikan proses pelaksanaan pengembangan program pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMPN X.
3. Mendeskripsikan proses pengendalian pengembangan program pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMPN X.

D. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan yaitu : Pertama, sebagai bahan percontohan untuk sekolah lainnya di Kota X dan atau sekolah-sekolah di daerah lain terkhusus di lokasi peneliti yaitu SMPN X, tentang bagaimana proses manajemen pengembangan program pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI).
Kedua, memberikan informasi kepada instansi terkait yang dalam hal ini adalah Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama, serta Institusi SMPN X sendiri agar lebih mengembangkan dan mempertahankan program-program unggulan dan sesegera mungkin dapat mengadakan pembenahan jika terdapat kekurangan atau kelemahan yang terjadi dalam kaitannya dengan Proses pengembangan Program Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI).
Ketiga, hasil penelitian ini bisa digunakan bagi peneliti lain untuk mengkaji secara mendalam konsep-konsep teoretik manajemen dalam pengembangan program pembelajaran pendidikan Agama Islam (PAI) yang berkualitas dan lebih luas.