Search This Blog

SKRIPSI PTK PENGGUNAAN METODE MONTESSORI DALAM UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA DINI

SKRIPSI PTK PENGGUNAAN METODE MONTESSORI DALAM UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA DINI

(KODE : PTK-0128) : SKRIPSI PTK PENGGUNAAN METODE MONTESSORI DALAM UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA DINI (PGTK)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Anak merupakan seorang pembelajar aktif. Anak aktif membangun pengetahuannya melalui interaksi dengan lingkungan dan bermain. Dunia bermain merupakan dunia yang penuh spontanitas dan menyenangkan. Sesuatu akan dilakukan oleh anak dengan penuh semangat apabila terkait dengan suasana yang menyenangkan.
Bermain merupakan hal yang sangat penting bagi anak, karena bermain merupakan suasana belajar anak yang bermakna. Dijelaskan oleh Greenberg (dalam Solehuddin, 2002 : 7) yaitu : "Children learn as they live, work, play, and converse with peers. As they exchange ideas, they challenge each other every bit as much as many adults challenge them-to think, to reconstruct their ideas because they have new information and view points".
Sesuai dengan pendapat Greenberg tersebut, maka bermain merupakan saat belajar bagi anak. Pada saat bermain anak mengkreasikan ide bersama teman sebaya dan anak lainnya, sama halnya seperti orang dewasa yang menantang mereka untuk berpikir, untuk membangun gagasan atau ide mereka, karena mereka memiliki informasi dan pandangan baru.
Cara anak belajar haruslah menyenangkan. Salah satu pembelajaran di Taman Kanak-kanak yang menyenangkan adalah melalui pendekatan bermain sambil belajar. Bermain merupakan sarana yang efektif dalam upaya mengembangkan seluruh potensi anak. Melalui bermain seluruh aspek perkembangan anak baik fisik, motorik, sosial emosional, kognitif dan bahasa dapat berkembang. Bermain membuat anak memperoleh kesempatan untuk mengekspresikan ide dan pikirannya. Melalui kegiatan bermain ini dapat memberikan peluang belajar kepada anak untuk mengembangkan keterampilan-keterampilannya. Salah satu keterampilan yang dikembangkan di Taman Kanak-kanak adalah keterampilan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa.
Kemampuan berbahasa dapat diajarkan sejak dini, dimana kemampuan berbahasa sebagai sarana untuk berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan melalui interaksi dengan lingkungan. Pengalaman anak berinteraksi dengan lingkungan baik dengan teman sebaya maupun orang dewasa lainnya membuat perbendaharaan kata anak bertambah, disamping akan memperlancar kemampuan berkomunikasi juga dapat menyampaikan maksud atau keinginan tanpa kesulitan. Pengalaman berbahasa yang telah anak peroleh ini diperlukan untuk membangun dan menjadi dasar untuk memperkaya kemampuan membaca dini.
Pada Hakekatnya membaca dini merupakan suatu proses yang melibatkan aktivitas-aktivitas fisik. Sejalan dengan pendapat Mediani (2006 : 1) bahwa membaca dini merupakan proses yang melibatkan aktivitas auditif (pendengaran) dan visual (penglihatan) untuk memperoleh makna dari simbol berupa huruf atau kata. Didukung pula oleh pendapat Tampubolon (1993 : 62) bahwa membaca dini merupakan kegiatan fisik dan mental untuk menemukan makna dari tulisan. Lebih lanjut Pflaum (Tampubolon, 1993 : 43) menyatakan bahwa anak dapat diajarkan membaca apabila anak sudah mempunyai minat, dapat menyebutkan bunyi huruf, dapat mengingat kata-kata, memiliki kemampuan membedakan dengan baik, dan memiliki perkembangan bahasa lisan serta kosa kata yang memadai. Ditambahkan lagi oleh Hainstock (2008 : 87) bahwa anak-anak prasekolah tidak hanya dapat diajarkan membaca, tetapi masa prasekolah adalah masa puncak anak secara alamiah dan antusias menyerap kecakapan-kecakapan membaca. Kemampuan membaca ini merupakan tingkat keterampilan membaca dasar yang diupayakan sedemikian rupa, dimana anak memiliki kecakapan untuk memahami lambang-lambang bunyi dan kata sehingga anak dapat mengenal dan melafalkannya. Hal ini merupakan awal keterampilan membaca yang dipakai untuk melangkah ke tingkat membaca berikutnya.
Kemampuan membaca akan berhasil apabila dalam pembelajaran membaca dirancang dan dilaksanakan secara menyenangkan (joyful learning) dan sesuai dengan perkembangan jiwa anak. Freud (Moenir, 2006) menyatakan bahwa pengalaman emosional anak akan berpengaruh terhadap perkembangan anak, oleh karena itu pembelajaran yang menyenangkan akan memberikan pengalaman yang positif bagi anak. Sedangkan menurut Rose dan Nicholl (dalam Moenir, 2006) menyatakan bahwa pengalaman belajar yang menyenangkan adalah : "... use games and activities emotional and music, relaxation, play, color and learning map, learning become joyful, stress-free event. Pendapat lain yang dikemukakan oleh Teale dan Sulzby (dalam Irawati, 2007 : 2) merekomendasikan kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan di rumah maupun di sekolah untuk meningkatkan kemampuan membaca dan menulis : (1) mendengarkan cerita, (2) menulis pesan-pesan, (3) menceritakan kembali suatu cerita, (4) melibatkan diri dalam permainan drama yang melibatkan kegiatan membaca dan menulis otentik, (5) belajar mengeja nama-nama orang, dan (6) mengenal tulisan yang ada di sekelilingnya.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar membaca menjadi menyenangkan apabila dilakukan dengan suasana yang santai, memperhatikan pengalaman emosi anak, serta penggunaan media akan mempermudah anak menangkap apa yang diajarkan.
Cara lain yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kemampuan membaca dini adalah melalui kegiatan bercerita. Sesuai dengan pendapat Goodman (Irawati, 2007 : 3) bahwa di negara maju dalam kelas-kelas rendah dan pendidikan prasekolah seperti di Eropa, Amerika dan Australia, kegiatan membacakan cerita diyakini dapat mengembangkan kemampuan berbahasa, dan mengajarkan baca-tulis. Hal ini biasa dilakukan dengan menggunakan sebuah Big Book (buku besar). Big Book merupakan buku cerita yang berkarakteristik khusus yang dibesarkan, baik teks maupun gambarnya, untuk memungkinkan terjadinya kegiatan membaca bersama (shared reading) antara guru dan anak. Buku ini mempunyai karakteristik khusus seperti penuh dengan warna-warni, gambar yang menarik, mempunyai kata yang dapat diulang-ulang, mempunyai plot yang mudah ditebak, dan memiliki pola teks yang berirama untuk dapat dinyanyikan. Mendukung pendapat Goodman, Purbo (2003 : 4) mengemukakan Bahwa : 
Selain bercerita pembelajaran membaca dapat dilakukan melalui kegiatan menempelkan gambar-gambar yang berhubungan dengan huruf atau tulisan pada ruang bermain, mencoba meniru bentuk lingkaran/garis atau huruf tertentu, mengajak anak menonton film yang bersifat mendidik sekaligus menghibur sehubungan dengan pelajaran baca tulis, bermain tebak-tebakan huruf, dan menelusuri bentuk huruf dengan jari.
Pendapat Goodman dan Purbo mengindikasikan bahwa media belajar dalam bentuk konkret dapat membantu untuk mengembangkan kemampuan membaca. Pembelajarannya pun tak luput dari unsur kesenangan dan bermain sehingga pada akhirnya belajar membaca bukanlah hal yang menakutkan dan menyeramkan, tetapi merupakan hal yang menyenangkan bagi anak.
Riset lebih lanjut dari Nicole Niamic (Irawati, 2007 : 3) menyatakan bahwa anak yang terbiasa membaca atau dibacakan buku sejak kecil cenderung berprestasi lebih baik ketika duduk di TK atau SD, memiliki kemampuan berkomunikasi lebih baik dibandingkan dengan anak yang hanya dibacakan buku beberapa kali saja dalam seminggu, serta memiliki kemampuan matematika lebih baik. Berdasarkan sumber dari www.balipost.co.id menunjukkan bahwa hasil tes awal kemampuan membaca anak SD/MI kelas I pada umumnya anak yang pernah masuk TK kemampuan membacanya lebih baik dibandingkan dengan anak yang tidak dari TK. Hal ini didukung oleh hasil penelitian terdahulu dari Tatat Hartati dan Oho Garda (Masitoh, 2002 : 7). Hasil penelitian Tatat Hartati (1998) menyimpulkan bahwa program membaca dini Steinberg efektif dan dapat digunakan untuk mengajar dan meningkatkan keterampilan membaca untuk anak usia prasekolah. Sedangkan hasil penelitian Oho Garda (1996) menyimpulkan bahwa menggambar dan bermain huruf dikatakan oleh penciptaan lingkungan yang kondusif, kegemaran baca tulis pada anak dapat dipupuk.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa anak yang diajari keterampilan membaca sejak usia dini menjadi individu yang dapat meraih banyak kesempatan berwawasan luas ketika masuk sekolah, dengan catatan pendekatan yang digunakan hendaknya sesuai dengan karakteristik perkembangan anak dan bahasa sebagai alat komunikasi.
Selain kegiatan-kegiatan membaca yang dirancang secara menyenangkan, kemampuan membaca dini juga di dukung oleh lingkungan yang kaya akan bahan bacaan. Solehuddin (2000 : 72) mengungkapkan bahwa : 
Untuk mengembangkan aspek keterampilan baca-tulis awal, para guru dan orang tua dapat melakukannya dengan menyediakan lingkungan kelas dan rumah yang kaya dengan bahan-bahan tulisan dan bacaan yang menstimulasi perkembangan bahasa dan keterampilan baca tulis anak dalam suatu konteks yang bermakna. Jadi, bila pengembangan membacanya dilakukan hanya dengan mengajarkan abjad, membunyikan huruf, suasana yang memaksa dan kurang menyenangkan, maka dinilai kurang tepat.
Lingkungan kelas yang kaya akan bahan bacaan dan tulisan di peroleh dari materi yang beragam untuk tujuan menulis, label dan kata-kata kunci di sekitar ruangan yang sejajar dengan mata anak-anak, memajang hasil karya anak di papan buletin sehingga anak dapat melihatnya, serta buku-buku bacaan di perpustakaan, Asosiasi Membaca Internasional (1999) menyarankan jumlah ideal buku di perpustakaan sekolah adalah 20 kali jumlah anak. Adapun untuk perpustakaan kelas idealnya ada tujuh buku untuk satu anak (Witdarmono, 2008 : 4). Sedangkan bahan bacaan di lingkungan rumah tidak berbeda jauh dengan bahan bacaan di sekolah. Lingkungan rumah dapat menyediakan kartu-kartu permainan huruf, buku-buku bergambar yang di dalamnya ada tulisan-tulisan pendek tentang gambar-gambar tersebut, buku cerita dan sebagainya.
Berdasarkan sudut pandang di atas pembelajaran membaca seyogyanya memperhatikan perkembangan anak, dirancang secara menyenangkan dan penciptaan lingkungan yang kondusif untuk belajar anak. Melalui bermain sambil belajar merupakan cara terbaik menuju kemampuan membaca dan menulis pada anak TK. Guru dan orang tua hendaknya saling bekerjasama untuk dapat memberikan cara belajar dan mengajar sesuai dengan kemampuan yang dimiliki anak.
Pada kenyataannya di lapangan, sebagian Taman Kanak-kanak menerapkan pembelajaran membaca yang kurang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik perkembangan anak. Guru menerapkan pembelajaran yang konvensional, dimana pembelajaran didominasi oleh guru {teacher centered), kurang memberikan kesempatan kepada anak untuk berekspresi, berkreasi dan bereksplorasi sehingga kurang merangsang anak dalam mengembangkan minat dan gairah untuk belajar, terpaku pada buku teks, mengerjakan soal (drilling) atau privat cepat membaca dan lingkungan belajar yang kurang sesuai, dimana anak merasa tidak nyaman dalam belajar, tidak akrab, membuat anak tertekan dan jenuh. Hal tersebut di dukung oleh pernyataan Solehuddin (2002 : 1) bahwa : 
Pembelajaran sering dipahami secara sempit dan terbatas pada kegiatan akademik membaca, menulis dan berhitung. Banyak diantara pendidik berlomba untuk cepat mencapai hasil belajar dalam arti sempit. Anak dipacu untuk cepat bisa membaca, menulis dan berhitung yang hasilnya direfleksikan dengan angka di rapor. Tingginya angka-angka rapor itulah yang pada akhirnya di anggap sebagai supremasi dari keberhasilan suatu lembaga pendidikan, termasuk lembaga pendidikan prasekolah. Tidak cukup di sekolah, di luar sekolah pun berjamur pula kegiatan-kegiatan kursus dan bimbingan tes.
Memperkuat pernyataan Solehuddin, Supriadi (2004 : 46) mengungkapkan bahwa : Kecenderungan salah kaprah dalam pendidikan prasekolah di Indonesia karena kuatnya tekanan dari lingkungan (tuntutan orang tua dan masyarakat) dan pandangan pendidik sendiri bahwa TK merupakan pendidikan prasekolah, maka fungsi TK pun lebih mengutamakan penyiapan anak untuk masuk SD daripada pengembangan kepribadian secara utuh. Karena di SD anak akan diajari materi akademis, maka kegiatan pembelajaran di TK pun sarat dengan muatan akademis.
Akibatnya misi utama TK sebagai wahana pengembangan seluruh aspek kepribadian anak menjadi terkalahkan oleh kepentingan yang pragmatis.
Sutomo (2004 : 5) menyatakan bahwa sebagian besar bangsa Indonesia tidak banyak membaca dan belajar, sehingga sulit untuk mengerti, menguasai, mentransfer serta menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berbagai sumber data yang ditemukan cukup memberikan gambaran bahwa sumber daya manusia Indonesia memiliki mutu yang rendah. Hal ini diindikasikan dengan angka partisipasi buta huruf mencapai 9, 8% dan kemampuan baca tulis di Indonesia berada di urutan ke dua terendah (36%) setelah negara Venezuela (33, 9%). Ironisnya, Joni (Irawati, 2007 : 1) International Education Achievement (IEA) melaporkan bahwa kemampuan membaca anak-anak SD Indonesia berada di urutan 38 dari 39 negara yang diteliti. Di dukung pula oleh responden hasil polling milis Nakita (Maulani, 2007) 61, 5% orang tua merasa gelisah kalau anaknya belum bisa membaca, menulis dan berhitung. Hal ini terjadi kemungkinan besar karena tuntutan dari sebagian orang tua yang menginginkan anaknya untuk bisa membaca, menulis, dan berhitung.
Hal lain yang tampak dengan sistem pendidikan di sebagian lembaga sekolah salah satunya taman kanak-kanak yang lebih mengutamakan kemampuan anak dalam membaca menulis dan berhitung, dimana anak dibawa ke dalam suasana formal yang menitikberatkan pada orientasi persiapan masuk sekolah. Kadang-kadang sistem pendidikan seperti ini ditemukan pola-pola pembelajaran yang memasung kebebasan anak untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dengan berbagai aturan-aturan yang kaku sehingga anak sulit untuk mengembangkan seluruh potensinya. Dengan sistem pendidikan seperti ini, maka potensi-potensi anak kurang berkembang dan sering kali kurang diperhatikan. Ironisnya lagi sebagian orang tua menuntut lembaga pendidikan tempat anak belajar tersebut memberikan les calistung sebagai persiapan masuk SD. Padahal tidak seharusnya anak TK bisa membaca menulis, dan berhitung dengan memaksakan anak untuk memiliki kemampuan yang seharusnya baru diajarkan di SD. Hal ini membuat aktivitas bermain anak yang seyogyanya dominan untuk usia mereka, menjadi berkurang atau bahkan terabaikan. Kondisi seperti ini dirasakan kurang sesuai dengan prinsip pembelajaran di TK yaitu bermain sambil belajar. Padahal masa TK adalah masa ketika anak-anak ingin bermain, bereksplorasi, berimajinasi, serta bereksperimen dengan melakukan banyak kesalahan dan belajar dari kesalahannya.
Melihat fenomena yang terjadi di lapangan khususnya di TK X dari hasil diskusi dengan guru kelas bahwa kemampuan membaca dini masih rendah dan belum optimal. Hal ini terlihat dalam anak-anak masih sedikit yang mampu mengenal simbol-simbol huruf untuk persiapan membaca, pembelajaran masih menggunakan metode yang konvensional. Metode yang digunakan sebatas ceramah, bercakap-cakap dan pemberian tugas. Materi disampaikan dengan bantuan buku-buku latihan membaca, sehingga pembelajaran membaca kurang menyenangkan. Adanya permasalahan ini, sudah selayaknya para pendidik diantaranya guru memikirkan metode yang tepat dalam pembelajaran membaca, karena metode pembelajaran merupakan salah satu faktor penentu dalam keberhasilan suatu program pembelajaran. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Djunaidi, (1987 : 27) bahwa " Berhasil tidaknya suatu program pembelajaran bahasa seringkali di nilai dari segi metode yang digunakan, karena metodelah yang menentukan isi dan cara mengajar bahasa".
Metode yang baik adalah metode yang dapat membuat anak aktif untuk terus mengembangkan pengetahuannya secara mandiri. Tentunya metode pembelajaran membaca pada anak TK memiliki karakteristik tersendiri. Metode membaca dini seyogyanya disesuaikan dengan gaya dan kebutuhan anak. Hal ini mengingat bahwa setiap anak mempunyai kepekaan cara membaca yang berbeda satu sama lain. Aktivitas membaca dilakukan dalam suasana bermain sambil belajar, dimana anak tidak dibebani dengan aktivitas pembelajaran formal yang menegangkan karena mengingat kemampuan anak untuk berkonsentrasi pada satu topik bahasan biasanya masih sangat terbatas.
Salah satu metode pembelajaran membaca dini adalah metode Montessori. Hainstock (2008 : 32) menyatakan bahwa metode Montessori adalah suatu bentuk pembelajaran yang menggunakan pendekatan individual, dimana anak memimpin atau mengatur belajarnya sendiri, memanfaatkan media pembelajaran yang dapat diawasi dan diperbaiki bila salah oleh mereka sendiri, guru cukup memantau kapasitas dan gaya anak. Metode ini di desain untuk merangsang minat anak dalam belajar, menggali segala potensi dan kemampuan anak baik fisik maupun psikisnya. Metode Montessori khususnya pembelajaran membaca, membiarkan anak belajar membaca sesuai dengan cara dan kesempatan yang ada. Inisiatif belajar anak didukung oleh bimbingan guru yang menjadikan anak bisa membaca (melek huruf) secara bertahap. Alat peraga atau alat permainan yang dirancang menunjang belajar abstrak melalui pengalaman sensorik. Interaksi dengan alat peraga dapat memperkenalkan, memperkuat ingatan anak terhadap huruf dan kata serta memberikan fondasi kongkret untuk membangun pengetahuan abstrak. Anak terus di tantang dengan materi dan latihan yang menarik dan semakin kompleks, memperhatikan keunikan setiap anak dan menghindari sekolah yang formal sampai fondasi belajar anak benar-benar kokoh.
Berkaitan dengan permasalahan di atas, pembelajaran berbahasa salah satunya kemampuan membaca dini di pandang perlu untuk diperbaiki proses dan hasilnya. Upaya yang dapat dilakukan salah satunya melalui metode Montessori sebagai metode alternatif untuk memperbaiki kondisi pembelajaran yang ada. Melalui metode ini pembelajaran membaca dini di TK X diharapkan mengalami peningkatan dan perubahan yang lebih baik. Berdasarkan uraian tersebut peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai "PENGGUNAAN METODE MONTESSORI DALAM UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA DINI".

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, batasan masalah dalam penelitian ini adalah "apakah penggunaan metode Montessori dapat meningkatkan kemampuan membaca dini di TK ?". Adapun yang menjadi fokus masalah dalam penelitian ini adalah : 
1. Bagaimana kondisi objektif kemampuan membaca dini di TK X ?
2. Bagaimana implementasi penggunaan metode Montessori di TK X ?
3. Bagaimana peningkatan kemampuan membaca dini anak TK X setelah menggunakan metode Montessori ?

C. Tujuan Penelitian
1. Secara umum penelitian ini bertujuan : untuk mengetahui penggunaan metode Montessori dalam upaya meningkatkan kemampuan membaca dini.
2. Secara khusus penelitian ini bertujuan : 
a. Untuk mengetahui kondisi objektif kemampuan membaca dini di TK X
b. Untuk mengetahui implementasi penggunaan metode Montessori di TK X
c. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan membaca dini anak TK X setelah menggunakan metode Montessori

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat : 
1. Bagi peneliti.
Dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang metode pembelajaran pada umumnya, dan penggunaan metode Montessori dalam meningkatkan kemampuan membaca dini anak TK pada khususnya.
2. Bagi Guru.
Menjadi bahan masukan dalam menggunakan metode alternatif pembelajaran bahasa untuk meningkatkan kemampuan membaca dini anak TK.
3. Bagi Lembaga Pendidikan.
Menjadi bahan rujukan untuk menggunakan metode alternatif sebagai metode pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan membaca dini.

SKRIPSI PTK PENGENALAN KONSEP BENTUK GEOMETRI MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TEKNIK MENCARI PASANGAN

SKRIPSI PTK PENGENALAN KONSEP BENTUK GEOMETRI MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TEKNIK MENCARI PASANGAN

(KODE : PTK-0127) : SKRIPSI PTK PENGENALAN KONSEP BENTUK GEOMETRI MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TEKNIK MENCARI PASANGAN (PGTK)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Anak usia dini merupakan anak yang berada pada rentang usia antara 0-8 tahun atau disebut usia keemasan {Golden Age), yaitu masa ini merupakan masa kritis bagi anak yang apabila kebutuhan tumbuh kembangnya tidak dipenuhi dengan baik niscaya akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak pada tahap selanjutnya berbagai aspek pertumbuhan dan perkembangan anak harus mendapatkan stimulus yang baik agar dapat berkembang secara optimal karena setiap aspek perkembangan saling berhubungan dan memiliki keterkaitan satu sama lain. Salah satu aspek perkembangan yang perlu mendapatkan stimulus dengan baik adalah aspek perkembangan kognitif anak (Musliddin 2007 : 29).
Menurut Cavanagh (Muslihuddin & Agustin, 2008 : 11) kognitif merupakan bagian intelegensi yang merujuk pada penerimaan, penafsiran, pemikiran, pengingatan, pengkhayalan, pengambilan keputusan, dan penalaran dengan kemampuan kognitif inilah individu mampu memberikan respon terhadap kejadian yang terjadi secara internal dan eksternal. Sejalan pendapat Witherington (Sujino, dkk 2004 : 1.12) mengemukakan bahwa "kognitif adalah pikiran, kognitif (kecerdasan pikiran) melalui pikiran dapat digunakan dengan cepat dan tepat untuk mengatasi suatu situasi untuk memecahkan masalah". Sedangkan perkembangan kognitif (perkembangan mental, adalah perkembangan pikiran.
Pikiran adalah bagian dari proses berpikir dari otak. Pikiran untuk mengenali, mengetahui dan memahami. Salah satu pembelajaran yang bertujuan untuk menstimulasi perkembangan aspek kognitif adalah pembelajaran matematika. Dalam pembelajaran matematika terdapat materi tentang pengenalan bentuk geometri. Pengenalan bentuk geometri merupakan salah satu standar isi pembelajaran matematika yang direkomendasikan oleh National Council of Teacher of Mathematics (NCTM). Lebih lanjut disebutkan bahwa pembelajaran untuk anak prasekolah pada standar geometri bertujuan agar anak dapat menganalisa karakteristik dan sifat-sifat bentuk geometri dua atau tiga dimensi dan mengembangkan argumentasi matematika mengenai hubungan-hubungan geometri (Sriningsih, 2008 : 56).
Menurut Solehuddin (2000 : 46) Anak mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi, rasa ingin tahu yang antusias yang kuat terhadap segala sesuatu merupakan ciri yang menonjol pada anak TK, ia akan banyak memperhatikan, membicarakan, atau bertanya tentang berbagai hal yang sempat dilihat atau didengarnya. Maka dengan demikian anak TK akan diberikan pengenalan konsep bentuk geometri melalui kegiatan yang biasa dilakukan oleh anak atau belajar dengan pengalaman anak misalnya pada saat anak mengenal bentuk lingkaran, persegi panjang, segi empat, segitiga, jajar genjang, belah ketupat, trapesium. Namun, pengenalan geometri masih merupakan kesulitan yang dihadapi bagi anak TK. Sedangkan menurut Ruseffendi (Nirmala 2009 : 58) upaya pengajian pembelajaran geometri dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satu caranya dengan menggunakan media pembelajaran yang beranekaragam. Sehingga dalam kegiatan pembelajaran menjelaskan konsep bentuk geometri pada anak dapat mengembangkan penerapan model pembelajaran kooperatif teknik mencari pasangan, agar pemahaman anak tentang konsep bentuk geometri akan semakin meningkat.
Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru sebagai suatu upaya meningkatkan pengenalan anak TK tentang konsep bentuk geometri, yakni melalui model pembelajaran kooperatif yang mana menurut Soleh (Karti dan Yuliariatiningsih, 2009 : 17) merupakan suatu strategi belajar mengajar yang menekankan pada sikap atau prilaku bersama dalam bekerja atau membantu diantara sesama dalam struktur kerja sama yang teratur dalam kelompok yang terdiri atas dua orang atau lebih. Pembelajaran kooperatif ini memiliki beragam teknik, yang mana satu diantaranya yang dapat digunakan dalam rangka upaya meningkatkan pengenalan anak TK mengenai konsep bentuk geometri adalah pembelajaran kooperatif dengan teknik mencari pasangan.
Pentingnya pembelajaran geometri dikaitkan dengan teknik mencari pasangan yang dikembangkan dalam pembelajaran kooperatif dapat memacu semangat siswa untuk saling membantu untuk mengenalkan halnya dengan pengenalan konsep bentuk geometri, pada pembelajaran pengenalan konsep bentuk geometri anak mengenal beberapa bentuk seperti : lingkaran, bujur sangkar, segitiga, bujur sangkar panjang, belah ketupat, segi lima, jajar genjang. Pengenalan geometri tersebut dirasakan sangat penting karena, merupakan pengenalan bentuk-bentuk yang dirancang untuk mencari pasangan sambil mempelajari suatu konsep geometri.
Menurut Yudha & Rudianto (2005 : 69) Model pembelajaran kooperatif teknik mencari pasangan adalah suatu pembelajaran kelompok yang beranggotakan empat orang yang heterogen. Konsep pembelajaran diberikan kepada setiap kelompok dalam bentuk kartu pasangan berupa gambar yang menunjukan bentuk geometri lingkaran, segitiga, segi empat, persegi panjang, jajar genjang, dan belah ketupat. Setiap kelompok harus mampu memasangkan kartu tersebut dengan benar sesuai dengan pasangan kartunya.
Hasil penelitian tentang penerapan model pembelajaran kooperatif teknik mencari pasangan telah menghasilkan temuan-temuan yang positif dalam proses belajar mengajar yaitu adanya peningkatan pengenalan materi tentang konsep bentuk geometri. Sebagaimana hasil penelitian Mulryan (1992) dalam penelitiannya bahwa pembelajaran kooperatif memberikan dampak yang baik, pada mata pelajaran matematika, yakni siswa lebih aktif dilihat dari keterlibatan dan keikutsertaannya di kelompok kecil dibandingkan belajar dalam kelas secara utuh, (Rosliyanti, Lena, 2008 : 45). Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan Nirmala (2009) di TK Angkasa I, bahwa hasil penelitian tersebut menunjukan pemahaman konsep bentuk geometri anak TK tersebut dapat meningkatkan aspek perkembangan kognitif anak sebanyak 73%, dimana hasil penelitian ini juga menunjukan hampir semua anak memahami bentuk geometri melalui media realita. Berdasarkan penelitian tersebut terlihat bahwa pemahaman konsep bentuk geometri pada anak taman kanak-kanak dapat ditingkatkan melalui media pembelajaran yang salah satunya adalah media realita. Dengan demikian secara tidak langsung anak TK dapat mengenal, mengetahui, dan mengaplikasikan dalam kehidupan anak sehari-hari. Mengacu pada hal tersebut penelitian ini difokuskan pada pengenalan konsep bentuk geometri melalui model pembelajaran kooperatif teknik mencari pasangan.
Berdasarkan observasi di TK X model pembelajaran kooperatif teknik mencari pasangan khususnya dalam pengenalan konsep bentuk geometri proses pembelajaran dilihat dari media yang digunakan dalam proses pembelajaran kognitif di TK ini menggunakan media yang masih terbatas dan kurang menarik sehingga anak sulit untuk memahaminya, selain itu guru juga hanya menggunakan metode ceramah yang membuat anak bosan dan tidak tertarik dalam mempelajari bentuk geometri, kemampuan anak dalam pengenalan konsep bentuk geometri masih kurang, seperti anak merasa kesulitan mengingat dan mengenal bentuk geometri, (mengenal dan membedakan lingkaran, segitiga, persegi panjang, belah ketupat, jajar genjang, belah ketupat, trapesium). Berdasarkan kondisi tersebut, maka proses pembelajaran bentuk geometri yang sudah sering dilakukan di TK ini kurang dapat meningkatkan pemahaman anak mengenai konsep bentuk geometri. Oleh karena itu, pembelajaran mengenai konsep bentuk geometri harus lebih menarik dan menyenangkan sehingga anak tidak merasa bosan.
Untuk mengetahui sejauh mana anak TK X mampu mengenal materi pembelajaran tentang konsep bentuk geometri dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif teknik mencari pasangan, yang diterapkan dalam proses pembelajaran, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tindakan kelas dengan judul : “PENINGKATAN PENGENALAN KONSEP BENTUK GEOMETRI MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TEKNIK MENCARI PASANGAN”.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dikemukakan, bahwa permasalahan yang paling utama muncul yaitu rendahnya kemampuan dalam mengenal anak mengenalkan konsep bentuk geometri maka dari itu penulis akan mencoba memecahkan masalah tersebut melalui model pembelajaran kooperatif teknik mencari pasangan. Agar permasalahan lebih fokus, maka penulis mencoba mengidentifikasi rumusan masalah sebagai berikut : 
1. Bagaimana kondisi awal pembelajaran bentuk geometri di TK X ?
2. Bagaimana kondisi awal kemampuan anak TK X dalam mengenal bentuk geometri ?
3. Bagaimana pelaksanaan model kooperatif dalam pembelajaran bentuk geometri di TK X ?
4. Bagaimana peningkatan pengenalan bentuk geometri melalui model kooperatif teknik mencari pasangan ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk meningkatkan pengenalan anak terhadap konsep bentuk geometri dan meningkatkan pemahaman guru dalam mengadaptasi keragaman model pembelajaran kooperatif teknik mencari pasangan untuk mengajarkan konsep geometri di TK X. 
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui kondisi awal pembelajaran bentuk geometri di TK X.
b. Untuk mengetahui kondisi awal kemampuan anak TK X dalam mengenal bentuk geometri.
c. Untuk mengetahui pelaksanaan model kooperatif dalam pembelajaran bentuk geometri di TK X
d. Untuk mengetahui peningkatan pengenalan bentuk geometri melalui model kooperatif teknik mencari pasangan

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
a. Memperoleh gambaran tentang pengenalan konsep bentuk geometri anak
Taman Kanak-kanak di TK X.
b. Memperoleh gambaran tentang penggunaan model pembelajaran kooperatif, teknik mencari pasangan untuk meningkatkan pengenalan konsep bentuk geometri di TK X.
2. Bagi Guru
a. Mengembangkan model pembelajaran yang menyenangkan sehingga siswa dapat mengenal konsep bentuk geometri dengan baik.
b. Meningkatkan minat untuk melakukan penelitian dalam upaya pengembangan profesionalisme guru.
3. Bagi Lembaga Pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan memberi sumbangsih dalam meningkatkan kualitas pembelajaran di lembaga penyelenggaraan pendidikan pada umumnya dan TK X pada khususnya.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut bagi peneliti selanjutnya mengenai hal yang sama secara lebih mendalam.

SKRIPSI PTK PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DALAM PEMBELAJARAN IPA TENTANG WUJUD BENDA DAN PERUBAHANNYA UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA

SKRIPSI PTK PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DALAM PEMBELAJARAN IPA TENTANG WUJUD BENDA DAN PERUBAHANNYA UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA

(KODE : PTK-0126) : SKRIPSI PTK PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL DALAM PEMBELAJARAN IPA TENTANG WUJUD BENDA DAN PERUBAHANNYA UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA (IPA KLS IV)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan Nasional di bidang pengembangan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas melalui pendidikan merupakan upaya yang sungguh-sungguh dan terus-menerus dilakukan untuk mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya. Sumber daya yang berkualitas akan menentukan mutu kehidupan pribadi, masyarakat, dan bangsa dalam rangka mengantisipasi, mengatasi persoalan-persoalan, dan tantangan-tantangan yang terjadi dalam masyarakat pada masa kini dan masa depan.
Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, antara lain melalui berbagai pelatihan dan peningkatan kualitas guru, penyempurnaan kurikulum, pengadaan buku dan alat pelajaran, perbaikan sarana dan prasarana pendidikan lain, dan peningkatan mutu manajemen sekolah, namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang memadai.
Upaya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia tidak pernah berhenti. Berbagai terobosan baru terus dilakukan oleh pemerintah melalui Depdiknas. Upaya itu antara lain dalam pengelolaan sekolah, peningkatan sumber daya tenaga pendidikan, pengembangan/penulisan materi ajar, serta pengembangan paradigma baru dalam metodologi pengajaran.
Mengajar bukan semata persoalan menceritakan. Belajar bukanlah konsekuensi otomatis dari perenungan informasi ke dalam benak siswa. Belajar memerlukan keterlibatan mental dan kerja siswa sendiri. Penjelasan dan pemeragaan semata tidak akan meningkatkan hasil belajar. Salah satu upaya untuk meningkatkan hasil belajar siswa secara optimal adalah pendekatan kontekstual.
Pada saat ini pembelajaran IPA hanya berorientasi pada guru (teacher centered) dan proses pembelajaran yang dilakukan oleh banyak tenaga pendidik saat ini cenderung hanya pada pencapaian target kurikulum dengan mengesampingkan kemampuan anak untuk dapat berdiskusi dan bekerja sama dengan baik. Hal ini dapat dilihat dalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas yang selalu didominasi oleh guru. Dalam menyampaikan materi, biasanya guru menggunakan metode ceramah, dimana siswa hanya duduk, mencatat dan mendengarkan. Sedikit sekali peluang siswa untuk menjadi aktif dan berpartisipasi melakukan diskusi baik dengan guru maupun dengan teman, sehingga siswa menjadi pasif dan pembelajaran menjadi kurang bermakna.
Berdasarkan pengalaman penulis di lapangan kondisi serupa dialami pula pada siswa di kelas IV tempat penulis mengajar. Hal ini dapat dilihat dari gejala-gejala siswa yang kurang berminat terhadap mata pelajaran IPA yang ditunjukkan oleh sikap mereka saat menerima pelajaran, siswa cenderung pasif di kelas seolah-olah belum siap untuk menerima pelajaran, siswa tidak mau bertanya walaupun mereka belum memperoleh kejelasan materi pelajaran tersebut. Hal ini dapat dilihat dari nilai-nilai hasil belajar siswa Kelas IV, terutama mata pelajaran IPA dari 30 siswa hanya ada 60% yang memenuhi kriteria ketuntasan minimum (KKM) yaitu 60. Nilai terendah di Kelas IV adalah 46, sedangkan nilai tertingginya adalah 78 dan untuk rata-rata kelasnya adalah 63. Hal tersebut diperoleh berdasarkan hasil Ulangan Tengah Semester I.
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi paradigma pembelajaran di sekolah ini pun telah banyak mengalami perubahan antara lain perubahan proses pembelajaran, salah satunya adalah pembelajaran kontekstual. Sebagai suatu konsep pembelajaran yang mengkaitkan materi pembelajaran dengan dunia nyata serta mendorong siswa membangun antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan kehidupan mereka sehari-hari.
Berdasarkan paradigma tersebut, pembelajaran IPA pada jenjang SD ditujukan untuk menumbuh kembangkan keterampilan siswa dalam mempersiapkan, membina, dan mengoptimalkan kemampuan peserta didik, menguasai kemampuan dasar yang diperlukan bagi kehidupannya di masyarakat. Pendekatan Kontekstual/Contextual Teaching Learning (CTL) dapat dijadikan salah satu alternatif agar siswa dapat belajar dengan kreatif dan lebih mudah memahami konsep-konsep IPA. sehingga dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, baik ketika mereka sekolah maupun ketika sudah di lingkungan masyarakat.
Pendekatan Kontekstual/Contextual Teaching Learning (CTL), memiliki kelebihan diantaranya, siswa dapat lebih termotivasi karena materi yang disajikan terkait dengan kehidupan sehari-hari. Juga merupakan sistem belajar yang didasarkan pada filosofi bahwa siswa mampu menyerap pelajaran apabila mereka menangkap makna dalam materi akademis yang mereka terima, dan mereka menangkap makna dalam tugas-tugas sekolah jika mereka bisa mengkaitkan informasi baru dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah mereka miliki sebelumnya. (Johnson, 2002) 
Pada intinya Pendekatan Kontekstual/Contextual Teaching Learning (CTL) merupakan upaya inovasi pendidikan yang menekankan pada meaningful learning atau pembelajaran yang bermakna dengan cara mengkaitkan materi pembelajaran dengan kehidupan nyata {contextual). Sehingga diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar siswa, karena pembelajaran menjadi lebih bermakna.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penulis merasa tertarik untuk mencoba memperbaiki proses pembelajaran yang dirasa belum optimal dilaksanakan oleh penulis di lapangan. Sehingga diharapkan dengan menerapkan Pendekatan Kontekstual sebagai salah satu pendekatan pembelajaran di SD dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran IPA, khususnya dalam konsep wujud benda dan perubahannya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang dapat diidentifikasi secara umum adalah : "Bagaimana hasil belajar siswa dalam pembelajaran IP A melalui penerapan Pendekatan Kontekstual di SD X ?".
Rumusan masalah tersebut dijabarkan menjadi beberapa pertanyaan sebagai berikut : 
1. Bagaimana aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran IPA menggunakan pendekatan kontekstual ?
2. Apakah penerapan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran IPA tentang wujud benda dan perubahannya dapat meningkatkan hasil belajar siswa ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan dengan permasalahan yang dikemukakan di atas, tujuan umum dari penelitian ini adalah memperbaiki dan meningkatkan hasil belajar siswa melalui pendekatan kontekstual, sehingga pembelajaran IPA menjadi tidak verbalisme, tetapi dapat lebih menyenangkan, menimbulkan kreatifitas dan dapat lebih bermakna bagi siswa.
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 
1. Mengetahui aktivitas siswa dalam pembelajaran IPA dengan menggunakan pendekatan kontekstual/Contextual Teaching Learning (CTL).
2. Mengetahui peningkatan hasil belajar siswa dalam pembelajaran IPA dengan menggunakan Pendekatan Kontekstual/Contextual Teaching Learning (CTL).

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Siswa
a. Pembelajaran lebih bermakna bagi siswa karena berkenaan langsung dengan kehidupan sehari-hari.
b. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep yang bermanfaat bagi siswa dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
c. Meningkatkan motivasi belajar siswa kelas IV SD X dalam pembelajaran IPA.
2. Bagi Peneliti
a. Dapat meningkatkan keterampilan mengajar dan memperluas wawasan pengetahuan mengenai pendekatan kontekstual.
b. Dapat menumbuhkan motivasi untuk melakukan inovasi-inovasi pembelajaran.
3. Bagi Guru
a. Memberikan pengalaman bagi guru dalam menggunakan pendekatan kontekstual untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam pembelajaran IPA.
b. Dapat menumbuhkan dan meningkatkan profesionalisme guru, dan pemahaman tentang penelitian tindakan kelas.
4. Bagi Sekolah
a. Memberikan Kesempatan kepada guru-guru untuk mengikuti berbagai diklat dan pelatihan-pelatihan yang berkenaan dengan pembelajaran.
b. Mendorong sekolah untuk dapat meningkatkan proses dengan pembelajaran.

SKRIPSI PTK PENERAPAN METODE EKSPERIMEN UNTUK MENINGKATKAN KESADARAN LINGKUNGAN ANAK TK

SKRIPSI PTK PENERAPAN METODE EKSPERIMEN UNTUK MENINGKATKAN KESADARAN LINGKUNGAN ANAK TK

(KODE : PTK-0125) : SKRIPSI PTK PENERAPAN METODE EKSPERIMEN UNTUK MENINGKATKAN KESADARAN LINGKUNGAN ANAK TK (PGTK)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah kunci peradaban suatu bangsa, artinya pendidikan merupakan proses awal untuk mengembangkan suatu negara. Tipikal ataupun pola pendidikan di suatu negara juga tidak terlepas dari historis bangsa itu sendiri, sama halnya dengan negara Indonesia. Pendidikan merupakan sisi lain dalam kehidupan berbangsa yang sangat mutlak untuk dilaksanakan mengingat setiap negara memiliki cita-cita sendiri, terutama di Indonesia yang mempunyai Undang-Undang Dasar 1945, seperti yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yang berbunyi "mencerdaskan kehidupan bangsa".
Pendidikan perlu dimulai sejak dini. Sejalan dengan pendapat Plato (Jamaris, 2003 : 1), bahwa waktu yang tepat untuk mendidik anak adalah sebelum usia enam tahun. Comenius (Jamaris, 2003 : 1) mengemukakan bahwa "pendidikan harus dimulai sejak dini karena usia dini merupakan masa emas {golden age), dimana seluruh aspek perkembangan anak berjalan pesat". Masa kanak-kanak adalah masa yang peka untuk menerima berbagai rangsangan dari lingkungan guna menunjang perkembangan jasmani dan rohani yang ikut menentukan keberhasilan peserta didik dalam mengikuti pendidikan di kemudian hari.
Anak usia TK memiliki rasa ingin tahu dan sikap antusias yang kuat terhadap segala sesuatu serta memiliki sikap berpetualang serta minat yang kuat untuk mengobservasi lingkungan. Pengenalan terhadap lingkungan di sekitarnya merupakan pengalaman yang positif untuk mengembangkan minat keilmuan anak usia TK.
Menurut Bredecamp & Copple, (Masitoh, 2007 : 21) anak usia TK memiliki sifat relatif spontan dalam mengekspresikan perilakunya, bersifat aktif dan energik, memiliki rasa ingin tahu dan antusias yang tinggi terhadap berbagai objek, bersifat eksploratif dan berjiwa petualang, kaya akan imajinasi, serta merupakan masa yang potensial untuk mengembangkan seluruh aspek perkembangannya. Sebagai makhluk hidup, anak selain berinteraksi dengan orang atau manusia lain juga berinteraksi dengan sejumlah makhluk hidup lainnya dan benda-benda mati. Makhluk hidup tersebut antara lain adalah berbagai tumbuhan dan hewan, sedangkan benda-benda mati antara lain udara, air, dan tanah.
Pembelajaran anak usia TK pada hakikatnya adalah pembelajaran yang berorientasi pada bermain, (belajar sambil bermain dan bermain sambil belajar). Pembelajaran yang berorientasi perkembangan lebih banyak memberikan kesempatan kepada anak untuk dapat belajar dengan cara-cara yang tepat. Pendekatan yang paling tepat adalah pembelajaran yang berpusat pada anak. Senada dengan hal tersebut, Masitoh (2007), pendidikan di TK harus bersifat holistik, yaitu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan baik koordinasi motorik (halus dan kasar), kecerdasan emosi, kecerdasan jamak, (multiple intelligence), maupun kecerdasan spiritual. Menurut (Solehuddin, 2000 : 36) tujuan pendidikan TK memfokuskan pada upaya mengembangkan seluruh dimensi kecerdasan anak. Adapun yang menjadi penekanannya adalah pada pengembangan aspek-aspek perkembangan pribadi yang diperlukan untuk proses perkembangan anak pada saat ini dan selanjutnya. Penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar akan mendorong pada penghayatan nilai-nilai atau aspek-aspek kehidupan yang ada di lingkungannya. Kesadaran akan pentingnya lingkungan dalam kehidupan bisa mulai ditanamkan pada anak sejak dini, sehingga setelah mereka dewasa kesadaran tersebut bisa tetap terpelihara.
Anak merupakan penerus yang akan membangun bangsa. Oleh karena itu pendidikan harus ditanamkan sejak dini. Pengenalan pada alam, lingkungan sekitar, merupakan hal penting untuk meningkatkan kesadaran anak bahwa alam perlu dijaga dan dilestarikan, mereka harus dituntun agar cinta terhadap alam. Cherry, (Rachmawati & Kurniati 2005 : 32) menyatakan tentang pentingnya lingkungan yang sehat dalam menumbuhkan kreatifitas anak.
Pengenalan terhadap alam akan menumbuhkan kesadaran lingkungan anak TK. Menurut Mjolnir (2009), kesadaran lingkungan adalah pengertian yang mendalam pada diri seseorang atau sekelompok orang yang terwujud dalam pemikiran, sikap, dan tingkah laku yang mendukung pengembangan lingkungan, sehingga individu tersebut akan menjaga dan melestarikan lingkungan tempat ia berada. Jika anak dengan mudah dapat menandai pola benda-benda alam, dan mengingat benda-benda alam yang ada di sekitarnya, maka anak dapat dikatakan memiliki kesadaran lingkungan tinggi Anwar kholil (2008). Adapun indikator kesadaran lingkungan bagi anak TK yaitu anak adalah menjaga lingkungan, mencintai flora dan fauna dan peka terhadap alam sekitar.
Kesadaran lingkungan menjadi satu hal yang sangat penting untuk dikembangkan karena dengan adanya potensi kesadaran lingkungan, individu akan memiliki perilaku yang positif (positive attitude) yang akan menjauhkan dari pribadi yang hidup dan berkembang dengan mengeksploitasi alam (Armstrong, 2005 : 35). Dalam upaya menjadikan anak tumbuh menjadi individu yang bisa melindungi bumi dari kerusakan, anak perlu diajak ke alam luar atau lingkungan sekitar untuk mencoba mengolah kebun, merawat hewan, mempelajari sistem kehidupan dan memikirkan bagaimana cara menjaga alam dengan baik.
Permasalahan yang terjadi di TK X terkait dengan kesadaran lingkungan, anak kurang mempunyai rasa peduli terhadap lingkungan, kurang menghargai lingkungan, dan anak tidak memiliki kecintaan terhadap lingkungan. Dalam hal ini, guru kurang memberikan kesempatan kepada anak untuk mengemukakan pendapat ataupun melakukan percobaan-percobaan sederhana, pembelajaran lebih cenderung bersifat pemberian tugas. Guru kurang memahami bagaimana cara menyampaikan materi pembelajaran terkait kesadaran lingkungan. Disamping itu, pemilihan metode pembelajaran yang disajikan oleh guru kurang bervariasi, hanya sebatas tanya jawab, ceramah dan penugasan. Anak hanya menerima informasi yang diberikan oleh guru, tidak diberikan pemahaman akan pentingnya kesadaran lingkungan. Hal itu sering terjadi sampai berulang-ulang, sehingga menyebabkan anak jenuh mengikuti kegiatan pembelajaran.
Menurut (Rostina, 2000 : 3) menyatakan bahwa, pembelajaran di TK masih cenderung bersifat ceramah serta berpusat pada guru (teacher centered). Dampak dari pembelajaran yang seperti ini hampir tidak ada unsur penemuan (discovery) pada anak usia TK, sehingga pembelajaran akan menjadi sesuatu yang membosankan. Seharusnya pembelajaran tidak hanya berpusat pada guru, akan tetapi harus memberikan ruang kepada anak untuk mencari dan menyelidiki masalah yang pada akhirnya menuntun anak untuk menemukan jawabannya sendiri.
Penulis memilih salah satu metode pembelajaran yang tentunya diharapkan dapat meningkatkan kesadaran lingkungan anak khususnya di TK X yaitu dengan menerapkan metode eksperimen. Dimana kegiatan mengenal lingkungan bisa dilakukan dengan cara mengajak anak untuk melakukan kegiatan percobaan yang tentunya membuat anak dapat menemukan jawaban sendiri dari informasi yang telah didapatkan. Misalnya menanam tanaman baik di kebun maupun di dalam pot untuk diteliti, mengobservasi perkembangbiakan binatang dan melakukan percobaan-percobaan berhubungan dengan alam sekitar.
Metode eksperimen menurut Djamarah (Martiningsih, 2007) adalah cara penyajian pelajaran dimana anak melakukan percobaan, dengan mengalami sendiri sesuatu yang dipelajari. Kegiatan mencoba ini tidak hanya memberikan kesenangan bagi anak melainkan juga memberi pengalaman yang lebih baik tentang sifat-sifat yang dimiliki oleh suatu benda. Oleh karena itu, bila anak diberi kesempatan untuk bereksperimen, mencoba, menguji dengan berbagai sumber belajar mereka akan memperoleh penyempurnaan dalam cara kerja mereka dan juga dapat mengapresiasi cara kerja anak lain. Maka dari itu, penggunaan metode eksperimen terkait dengan kesadaran lingkungan itu penting untuk anak agar bisa mengapresiasi lingkungan sekitar. Dalam proses belajar mengajar dengan metode eksperimen, anak diberi kesempatan melakukan sendiri, mengikuti suatu proses, mengamati suatu objek, keadaan atau proses sesuatu dan menarik kesimpulan dari proses yang dialaminya tersebut. Dengan demikian anak dapat mengenal dan mengetahui pentingnya sesuatu yang sedang diteliti.
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan, penelitian ini memfokuskan pada "PENERAPAN METODE EKSPERIMEN UNTUK MENINGKATKAN KESADARAN LINGKUNGAN ANAK TK". 

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, secara umum rumusan masalah dari penelitian ini yaitu "Bagaimana penerapan metode eksperimen dapat meningkatkan kesadaran lingkungan anak TK ?”, yang secara khusus dijabarkan dalam pertanyaan sebagai berikut : 
1. Bagaimana kondisi objektif kesadaran lingkungan anak sebelum diterapkan metode eksperimen di TK X ?
2. Bagaimana langkah-langkah penerapan metode eksperimen dalam meningkatkan kesadaran lingkungan anak di TK X ?
3. Bagaimana kesadaran lingkungan anak setelah diterapkan metode eksperimen di TK X ?

C. Tujuan Penelitian
Secara umum, penelitian bertujuan untuk "mengetahui penerapan metode eksperimen untuk meningkatkan kesadaran lingkungan anak TK". Adapun secara khusus, penelitian ini bertujuan : 
1. Memperoleh gambaran mengenai kondisi objektif kesadaran lingkungan anak sebelum diterapkan metode eksperimen di TK X.
2. Mengetahui bagaimana langkah-langkah penerapan metode eksperimen dalam meningkatkan kesadaran lingkungan anak di TK.
3. Mengetahui bagaimana kesadaran lingkungan anak setelah diterapkan metode eksperimen di TK X.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat. Adapun manfaat teoritis penelitian ini yakni, memberikan kontribusi dan informasi secara ilmiah tentang penerapan metode eksperimen untuk meningkatkan kesadaran lingkungan anak. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 
1. Bagi penulis
Sebagai bahan untuk menambah pengetahuan, wawasan dan pemahaman mengenai penerapan metode eksperimen dalam meningkatkan kesadaran lingkungan anak.
2. Bagi guru
Untuk menambah wawasan, pengetahuan, serta pemahaman mengenai kesadaran lingkungan anak TK, juga sebagai masukan dalam memfasilitasi aspek perkembangan kesadaran lingkungan anak melalui penerapan metode eksperimen.
3. Bagi Lembaga Pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi kontribusi positif kepada lembaga penyelenggara pendidikan khususnya di TK X dalam rangka meningkatkan kesadaran lingkungan anak TK melalui penerapan metode eksperimen.
4. Bagi peneliti selanjutnya
Memberikan gambaran tentang penerapan metode eksperimen terhadap peningkatan kesadaran lingkungan sebagai bahan masukan untuk melakukan penelitian selanjutnya.

SKRIPSI PTK MENINGKATKAN KREATIVITAS GERAK DALAM KEGIATAN PEMBELAJARAN TARI MELALUI RANGSANGAN AUDITIF

SKRIPSI PTK MENINGKATKAN KREATIVITAS GERAK DALAM KEGIATAN PEMBELAJARAN TARI MELALUI RANGSANGAN AUDITIF

(KODE : PTK-0124) : SKRIPSI PTK MENINGKATKAN KREATIVITAS GERAK DALAM KEGIATAN PEMBELAJARAN TARI MELALUI RANGSANGAN AUDITIF (PGTK)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Anak usia dini merupakan anak yang berada pada rentang usia dari 0 sampai dengan usia 8 tahun (Solehuddin, 1997 : 23). Rasa ingin tahu dan sikap antusias yang kuat terhadap segala sesuatu merupakan ciri yang menonjol pada anak usia ini. Anak usia prasekolah adalah sosok individu yang sedang menjalani suatu proses perkembangan dengan sangat pesat dan sangat mendasar dalam kehidupannya (Solehuddin, 1997 : 42).
Pada hakekatnya Taman Kanak-kanak adalah tempat anak-anak bermain sambil belajar atau belajar sambil bermain. Program pendidikan prasekolah bukan usaha percepatan untuk menguasai pelajaran. Atas dasar konsep bermain sambil belajar atau belajar sambil bermain dengan berbagai alat bantu belajar serta metode belajar yang sesuai dengan kebutuhan minat, kemampuan serta tingkat perkembangan anak (Depdikbud dalam Desfina, 2005 : 2).
Sasaran yang diarahkan pada anak usia taman kanak-kanak lebih pada pengembangan berpikir dan kreativitas anak secara optimal. Anak usia prasekolah merupakan anak usia bermain, dimana bermain dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengembangkan aspek kognitif, aspek afektif dan aspek psikomotor, karena bermain merupakan suatu kebutuhan bagi anak. Hal ini juga diungkapkan oleh Abdurrahman (Yulianti, 2006 : 30) bahwa "Anak pada usia dini merupakan awal pertumbuhan perkembangan pribadi yang dipusatkan pada kreativitas, melalui bermain adalah bentuk ekspresi kreatif bebas yang sangat esensial bagi anak yang tumbuh melalui kesenian".
Kreativitas dapat dipandang dari perspektif yang berbeda berdasarkan latar belakang disiplin ilmu. Pada umumnya orang mendefinisikan kreatif sebagai daya cipta atau kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan, daya imajinasi, maupun hasil karya. Pendapat tersebut sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Munandar (1992 : 33) bahwa : 
Kreativitas adalah kemampuan umum untuk menciptakan sesuatu yang baru, sebagai kemampuan untuk memberikan gagasan-gagasan baru yang dapat diterapkan dalam pemecahan masalah, atau sebagai kemampuan untuk melihat hubungan-hubungan baru antara unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya.
Kreativitas perlu dikembangkan dalam pendidikan formal, informal, maupun nonformal. Seperti yang dikemukakan oleh Hasan (Hayati, 2011 : 2) : 
Pendidikan adalah suatu proses pengembangan dasar atau pengembangan bakat/kreativitas anak, dan proses tersebut berjalan sesuai dengan hukum-hukum perkembangan. Bakat atau kreativitas anak tidak datang secara stimulan atau tiba-tiba, melainkan tumbuh dan berkembang sesuai dengan hukum alam yang ada, bahwa manusia tumbuh dan berkembang setahap demi setahap.
Pendapat lain dikemukakan oleh seorang psikolog terkenal Erikson (Mariyana, 2008 : 2) mengatakan bahwa masa usia tiga setengah tahun hingga enam tahun adalah masa penting bagi seorang anak untuk mengembangkan kreativitasnya.
Berkenaan dengan hal tersebut, kegiatan yang dapat mengembangkan kreativitas anak salah satunya yaitu dengan tari. Menurut pakar tari yaitu Soedarsono (Desfina, 2005 : 4) tari adalah ungkapan perasaan jiwa manusia yang dilahirkan dalam bentuk gerak ritmis dan indah. Dengan demikian unsur yang paling utama dari sebuah tarian adalah gerak tubuh manusia. Pembelajaran tari untuk anak usia Taman Kanak-kanak, diharapkan dapat mengembangkan kreativitasnya sehingga kreativitas anak dapat berkembang dalam menciptakan suatu gerakan dari ide-ide dan gagasannya.
Rangsangan yang dijadikan sebagai alat untuk mengembangkan kreativitas gerak anak perlu diperhatikan dan disesuaikan dengan usia anak Taman Kanak-kanak. Rangsangan yang tepat pada anak Taman Kanak-kanak harus memudahkan anak dalam menimbulkan respon gerak yang bisa berupa ungkapan dari ide-idenya, imajinasinya, pendapat dan fantasinya. Dari respon itu anak akan memiliki pengalaman, kreativitas untuk bergerak, serta peka terhadap lingkungan sekitarnya. Salah satu rangsangan yang dapat memotivasi anak untuk mau bergerak secara kreatif adalah rangsangan auditif atau rangsangan dengar. Pada umumnya anak lebih mudah merespon suara yang didengarnya. Rangsangan yang dapat didengar bisa berupa musik, suara alam, suara binatang, sehingga memotivasi anak untuk bergerak lebih aktif dan kreatif.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, khususnya pada anak kelompok B di TK X, sejauh ini penyelenggaraan pembelajaran di TK masih dapat ditemukan bahwa kreativitas gerak anak belum dapat berkembang dengan optimal khususnya dalam pembelajaran tari. Guru masih cenderung memberikan materi tari bentuk. Guru kurang memberikan kesempatan kepada anak untuk mengungkapkan idenya, guru kurang memberikan kebebasan kepada anak untuk mengeksplorasi dan mencoba gerak-gerak yang baru yang diciptakan oleh anak. Secara keseluruhan kegiatan menari di TK X masih kurang variatif, anak-anak hanya melakukan kegiatan menari dengan mencontoh gerakan yang diperagakan oleh guru tanpa adanya rangsangan awal terlebih dahulu sebagai penciptaan gerak dalam tari. Oleh karena itu diperlukan kegiatan menari yang lebih bervariatif.
Banyak cara yang dapat dilakukan guru untuk menciptakan pembelajaran tari yang menyenangkan, salah satunya adalah melalui pemberian rangsangan dalam pembelajaran. Rangsangan merupakan kegiatan yang dapat meningkatkan motivasi anak untuk belajar secara aktif dan kreatif. Berbagai rangsangan yang dapat memotivasi anak untuk bergerak kreatif yaitu rangsangan auditif, rangsangan visual, rangsangan gagasan, rangsangan rabaan atau kinestetik (Smith dalam Narawati dan Masunah, 2003 : 47).
Rangsangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rangsangan auditif. Pemilihan rangsangan tersebut disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan yang diharapkan dalam penelitian yang dilakukan, tentunya dengan menggunakan metode pembelajaran yang disesuaikan pula.
Seperti yang dikemukakan oleh Smith (Narawati dan Masunah, 2003 : 254) bahwa : Rangsangan auditif atau rangsangan dengar yaitu suatu rangsangan yang dapat membangkitkan semangat melalui pengamatan pendengaran. Rangsangan auditif atau rangsangan dengar meliputi berbagai bunyi suara atau bunyi-bunyian, seperti suara manusia, suara binatang, suara angin atau air, bunyi alat atau instrumen, kata-kata, puisi, musik dan sebagainya. Rangsangan tersebut dapat dijadikan bahan untuk memotivasi anak untuk mau bergerak dan perkembangan kreativitas gerak. Suasana, karakter dan gerak tari dapat muncul melalui rangsangan auditif tersebut.
Penggunaan musik dan bunyi suara binatang sebagai rangsangan merupakan media yang digunakan dalam penelitian untuk mengetahui kreativitas gerak anak taman kanak-kanak dalam merespon musik yang didengarnya menjadi bentuk gerak. Adapun alasan mengapa peneliti memilih stimulus musik dalam kegiatan belajar tari, sebab musik dapat menstimulasi gerakan dan mengembangkan koordinasi fisik serta pengendaliannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Sheppard (2007 : 121) bahwa : 
Musik membantu perkembangan mental, meningkatkan kemampuan koordinasi pada tingkat tinggi, mendatangkan banyak kemampuan sosial, memberikan kreativitas dan pemahaman diri, serta bahkan dapat bermanfaat bagi kesehatan. musik merupakan wadah yang baik untuk mengeksplorasi kreativitas alami karena secara alamiah menstimulasi rasa imajinasi dan keingintahuan anak.
Melalui penelitian ini penulis mencoba menerapkan proses pembelajaran dengan menggunakan rangsangan auditif, yang diharapkan menjadi sumber inspirasi dan daya imajinasi anak dalam penciptaan gerak-gerak tari yang mereka kehendaki, selain dapat menumbuhkan kreativitas anak dalam mengikuti proses pembelajaran juga memberikan kesempatan kepada anak untuk mengeksplorasi gerak sesuai dengan apa yang mereka inginkan sesuai dengan stimulus yang diberikan. Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini memfokuskan kajian pada "MENINGKATKAN KREATIVITAS GERAK DALAM KEGIATAN PEMBELAJARAN TARI MELALUI RANGSANGAN AUDITIF”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka masalah umum dirumuskan sebagai berikut "Bagaimana meningkatkan kreativitas gerak dalam kegiatan pembelajaran tari melalui rangsangan auditif ?".
Adapun secara lebih khusus rumusan masalah dituangkan dalam pernyataan, yaitu : 
1. Bagaimana kondisi objektif kreativitas gerak dalam kegiatan pembelajaran tari pada anak kelompok B di TK X ?
2. Bagaimana proses pembelajaran melalui rangsangan auditif dalam meningkatkan kreativitas gerak dalam kegiatan pembelajaran tari pada anak kelompok B di TK X ?
3. Bagaimana peningkatan kreativitas gerak anak setelah diberikan rangsangan auditif dalam kegiatan pembelajaran tari pada anak kelompok B di TK X ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut : 
1. Tujuan umum
Tujuan dari penelitian ini secara umum adalah untuk meningkatkan kreativitas gerak dalam kegiatan pembelajaran tari melalui rangsangan auditif.
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui kondisi objektif kreativitas gerak dalam kegiatan pembelajaran tari pada anak kelompok B di TK X
b. Untuk mengetahui proses pembelajaran melalui rangsangan auditif dalam meningkatkan kreativitas gerak dalam kegiatan pembelajaran tari pada anak kelompok B di TK X.
c. Untuk mengetahui peningkatan kreativitas gerak dalam kegiatan pembelajaran tari setelah diberikan rangsangan auditif pada anak kelompok B di TK X.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah : 
1. Manfaat Teoritis
Meningkatkan kreativitas gerak dalam kegiatan belajar tari pada anak usia dini melalui rangsangan auditif.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti
Untuk mengetahui sejauh mana peningkatan kreativitas gerak anak dengan menggunakan rangsangan auditif.
b. Bagi Guru
Dapat dijadikan sebagai bahan referensi dalam kegiatan pembelajaran tari di TK X.
c. Bagi Lembaga
Diharapkan mampu bekerjasama dengan guru kelas untuk memperbaiki permasalahan dalam pengembangan seluruh aspek perkembangan anak.

SKRIPSI PTK MENINGKATKAN KREATIVITAS ANAK USIA DINI DALAM PEMBELAJARAN SAINS MELALUI METODE DISCOVERY-INQUIRY

SKRIPSI PTK MENINGKATKAN KREATIVITAS ANAK USIA DINI DALAM PEMBELAJARAN SAINS MELALUI METODE DISCOVERY-INQUIRY

(KODE : PTK-0123) : SKRIPSI PTK MENINGKATKAN KREATIVITAS ANAK USIA DINI DALAM PEMBELAJARAN SAINS MELALUI METODE DISCOVERY-INQUIRY (PGTK)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Usia dini berada pada masa peka dalam pertumbuhan, yaitu masa yang tepat untuk meletakkan dasar pertama dalam pengembangan aspek-aspek perkembangan (Depdiknas, 2004). Pada periode ini proses perkembangan sangat pesat dan fundamental bagi kehidupan selanjutnya, maka untuk mengembangkan aspek-aspek perkembangan dilakukan pada usia dini.
Salah satu bentuk lembaga pendidikan yang menangani anak usia dini yaitu Taman Kanak-kanak (TK). Ruang lingkup program kegiatan belajar di TK dalam Standar Kompetensi Pendidikan Anak Usia Dini-TK dan RA (Depdiknas, 2003) meliputi aspek-aspek perkembangan anak dengan dipadukan dalam bidang pengembangan yang utuh mencakup bidang pengembangan pembentukan perilaku melalui pembiasaan (meliputi pengembangan moral dan nilai-nilai agama, serta pengembangan sosial, emosional dan kemandirian) dan bidang pengembangan kemampuan dasar (meliputi pengembangan kemampuan berbahasa, kognitif, fisik-motorik, dan seni). Apabila pada anak usia TK tidak memperoleh rangsangan yang dapat mengembangkan seluruh aspek perkembangannya sesuai dengan tujuan program pembelajaran TK tersebut, maka akan mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya.
Pendidikan pada tataran kedua setelah pendidikan di keluarga yang tidak kalah penting adalah pendidikan prasekolah selanjutnya pendidikan di sekolah. Sehingga orangtua dan guru perlu dituntut untuk memperhatikan dan memperlakukan anak secara khusus dan individual karena perkembangan kemampuan tidak dapat mencapai tahap optimal apabila proses perkembangannya tidak dituntut dan didesain secara sistematis juga memperhatikan karakteristik anak usia dini yang sangat bervariasi baik dalam kecakapan, sikap maupun minat-minatnya (Brenner dalam Solehuddin, 1997).
Pendidikan TK bertujuan untuk mengembangkan aspek-aspek perkembangan anak secara terpadu, maka pendidikan juga memiliki tugas untuk dapat mengembangkan potensi kreatif anak (Rachmawati, dan Kurniati, 2005). Upaya yang dilakukan pendidikan TK untuk merangsang kreativitas anak di usia dini sangatlah penting. Seperti yang dipaparkan oleh Sumiyati (2009) kreativitas anak bukanlah produk instan melainkan proses pembelajaran yang terus-menerus dan dimulai sedini mungkin, dan untuk memunculkan anak yang kreatif kita harus menggali kreativitas anak sejak dini.
Dalam upaya menggali dan mengembangkan potensi kreatif sejak dini maka anak senantiasa membutuhkan aktivitas yang penuh dengan ide-ide kreatif (Rachmawati, dan Kurniati, 2005). Berbagai kegiatan dapat berkontribusi dalam upaya tersebut, seperti juga dengan kegiatan sains untuk anak usia dini. Hasil penelitian Susanti juga menunjukkan bahwa kreativitas dapat meningkat melalui pembelajaran sains (Susanti, 2008). Pengembangan aspek sains pada anak dapat mengundang dan menumbuhkan rasa ingin tahu yang tinggi serta merangsang anak untuk memunculkan pertanyaan yang tak terduga sebagai wujud dari berfikir dan belajar kreatif yang nyata (Nugraha, 2008).
Bila dihubungkan dengan kedudukan sains yang menjunjung tinggi "keaslian-orisinalitas", maka kreativitas sesungguhnya merupakan tujuan alamiah dalam suatu pendidikan sains (Nugraha, 2008). Pendidikan sains diarahkan untuk "mencari tahu" dan "berbuat" sehingga dapat membantu siswa untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar (Depdiknas 2005). Oleh karena itu, metode yang diterapkan dalam pembelajaran sains adalah memadukan antara pengalaman proses sains dan pemahaman produk sains dalam bentuk pengalaman langsung.
Namun pada saat ini, ada beberapa permasalahan dalam pendidikan anak usia dini yang berkaitan dengan pengembangan kreativitas. Orang tua yang bermaksud baik dengan dalih menanamkan disiplin dan kepatuhan, tidak memberi kesempatan kreativitas anak untuk tumbuh dan berkembang. Selain itu masih ada kecenderungan orangtua pada pendidikan di instansi pendidikan anak usia dini seperti TK yang menginginkan anak belajar hal-hal akademis sebagai tuntutan agar anaknya lebih unggul dengan persiapan dini. Orangtua menuntut dengan mempertanyakan dan memprotes kegiatan yang dilakukan anak di TK yang hanya diajarkan menggambar, mewarnai, menggunting, tidak diajarkan membaca-menulis-berhitung, tanpa mereka ketahui ada beberapa aspek pengembangan harus distimulasi agar dapat berkembang baik pada anak usia TK yang jauh lebih penting dan dibutuhkan ketimbang diajarkan calistung (dalam Fatimah, 2010).
Begitupun dalam pelaksanaan pembelajaran kegiatan sains yang diyakini dapat meningkatkan kreativitas anak masih memiliki hambatan, seperti dalam penggunaan metode secara tepat untuk anak usia dini yang masih belum merangsang kreativitas anak dan pembelajaran cenderung masih berpusat pada guru. Seperti hasil penemuan Yossi (dalam Susanti, 2009) menjelaskan bahwa guru masih kurang memberikan kesempatan kepada anak untuk mengemukakan ide dan gagasan secara variatif dan original, sehingga jawaban yang dihasilkan anak cenderung sama. Dari permasalahan tersebut sama dengan ungkapan Semiawan (2007) yaitu ketika guru yang memberikan pertanyaan yang menuntut banyak jawaban tapi menganggap salah jawaban anak yang tidak sesuai dengan keinginan guru maka sikap guru ini mengunci kreativitas anak. 
Senada dengan sebagian permasalahan-permasalahan tersebut, hasil observasi yang dilakukan pada kelompok B di TK X untuk dapat mengembangkan kreativitas anak dengan optimal dalam pembelajaran sains, dalam pemilihan kegiatan dengan metode yang menarik bagi anak, dapat lebih dikembangkan lagi dengan memanfaatkan fasilitas lingkungan sekolah yang cukup menunjang. Pembelajaran sains di TK masih menekankan pada tujuan pengembangan produk atau hasil karya dari anak yang berupa prestasi akademik anak didik yang mengedepankan potensi kecerdasan anak didik. Aktivitas guru dan siswa dalam pembelajaran masih berpusat pada guru. Kegiatan sains yang seharusnya bisa memfasilitasi dan mengembangkan sikap ilmiah anak seperti yang dipaparkan Nugraha (2008) yaitu sikap rasa ingin tahu anak, tekun, kritis, berhati-hati, bertanggungjawab, bekerjasama, mandiri, serta membantu melatih anak untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari, dengan sikap-sikap tersebut dapat meningkatkan perkembangan kreativitas anak merupakan hal yang perlu diperhatikan oleh TK X ini.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan pada paragraf sebelumnya, sudah saatnya guru dan orangtua memfasilitasi peserta didiknya agar berhasil menjadi anak yang kreatif. Penelitian ini dilakukan untuk meningkatkan kreativitas anak dalam pembelajaran sains melalui penggunaan metode pembelajaran sains yang dalam proses pembelajarannya didasarkan oleh aktivitas langsung atau pengalaman langsung (hands on experience) , dimana anak diberikan kesempatan untuk bereksplorasi yaitu metode discovery-inquiry. Metode ini merupakan metode penemuan yang cara penyajian pelajarannya banyak melibatkan siswa dalam proses-proses mental, dalam rangka penemuannya banyak menuntut aktifitas berpikir dan bahkan tidak jarang pula menuntut aktifitas fisik (Dharmawan, 2008).
Discovery-Inquiry berasal dari keyakinan bahwa siswa memiliki kebebasan untuk belajar (Amien dalam Sulistyastuti, 2009). Dalam metode pembelajaran ini keinginan anak dapat dipergunakan karena Inquiry akan membantu anak mengembangkan keterampilan berpikirnya seperti dalam mengajukan pertanyaan dan menemukan (mencari) jawaban yang berawal dari keingintahuan anak. Hal ini bisa menjadi pembelajaran yang menyenangkan, juga dapat membuka intelegensi anak dan mengembangkan kreativitasnya.
Dengan demikian perlu adanya perbaikan dalam pembelajaran sains untuk anak sebagai upaya meningkatkan pengembangan kreativitas anak usia dini di TK. Maka, penelitian ini mencoba untuk melihat sejauh mana penggunaan metode pembelajaran discovery-inquiry sebagai alternatif metode pada pembelajaran sains terhadap peningkatan kreativitas anak usia dini pada kelompok B TK X. Dengan judul MENINGKATKAN KREATIVITAS ANAK USIA DINI DALAM PEMBELAJARAN SAINS MELALUI METODE DISCOVERY-INQUIRY.

B. Identifikasi Masalah dan Perumusan Masalah
Proses identifikasi terhadap faktor-faktor yang bisa mempengaruhi permasalahan yang sedang diteliti di lapangan sehingga bisa lebih jelas dan mudah sangat diperlukan dalam suatu penelitian. Oleh karena itu, peneliti mengidentifikasi masalah yang ada di lapangan tersebut dipengaruhi faktor-faktor sebagai berikut : 
1. Keterbatasan guru untuk memilih, memahami, dan mempergunakan metode yang tepat dalam pembelajaran sains.
2. Pembelajaran sains di TK masih menekankan pada tujuan pengembangan produk yang berupa hasil karya anak dan prestasi akademik anak didik. Hal ini berarti baru potensi kecerdasan anak didik yang dikedepankan.
3. Proses ilmiah, khususnya kreativitas anak didik belum dikembangkan seoptimal mungkin.
4. Aktivitas guru dan siswa belum optimal, sehingga pembelajaran masih berpusat pada guru.
Dari latar belakang dan identifikasi permasalahan yang ada di lapangan maka perumusan masalah yang harus dijawab dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : "Apakah metode Discovery-Inquiry dalam pembelajaran sains anak usia dini dapat meningkatkan kreativitas anak ?".
Perumusan masalah dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan dengan maksud untuk mempermudah penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut : 
1 Bagaimana kondisi objektif kegiatan pembelajaran sains anak kelompok B di TK ?
2 Bagaimana kreativitas anak dalam pembelajaran sains pada kelompok B di TK sebelum diberikan metode Discovery-Inquiry ?
3 Bagaimana implementasi pembelajaran sains dengan metode Discovery-Inquiry dalam meningkatkan kreativitas anak pada kelompok B di TK ?
4 Bagaimana peningkatan kreativitas anak pada kelompok B di TK dalam pembelajaran sains dengan menggunakan metode Discovery-Inquiry ?
5 Kendala-kendala apa yang dihadapi dalam proses pembelajaran sains dengan menggunakan metode Discovery-Inquiry untuk meningkatkan kreativitas anak kelompok B di TK ?

C. Tujuan penelitian
Dengan adanya rumusan masalah yang telah dipaparkan maka penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan umum untuk mengetahui pengaruh metode Discovery-Inquiry dalam pembelajaran sains terhadap tingkat aspek perkembangan kreativitas anak usia dini kelompok B di TK. Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini yaitu : 
1. Mengetahui kondisi objektif kegiatan pembelajaran sains pada kelompok B di TK.
2. Untuk mengetahui kreativitas anak dalam pembelajaran sains kelompok B di TK sebelum menggunakan metode Discovery-Inquiry.
3. Mengetahui implementasi pembelajaran sains dengan metode Discovery-Inquiry yang dapat meningkatkan kreativitas anak kelompok B di TK.
4. Untuk mengetahui peningkatan kreativitas anak kelompok B di TK selama menggunakan metode Discovery-Inquiry dalam pembelajaran sains.
5. Mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam proses pembelajaran sains dengan menggunakan metode Discovery-Inquiry untuk meningkatkan kreativitas anak kelompok B di TK.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Dapat menambah pengetahuan dan memperluas wawasan mengenai penggunaan metode Discovery-Inquiry dalam pembelajaran sains untuk anak usia dini terhadap tingkat aspek perkembangan kreativitas anak usia dini. Dan bagi peneliti selanjutnya dapat mengembangkan penelitian ini ataupun menjadi bahan pertimbangan bagi penelitian selanjutnya.
2. Bagi Guru
Memberikan masukan alternatif metode dalam mengenalkan atau mengajarkan sains pada anak usia dini yang dapat mengembangkan berbagai aspek perkembangan anak (di dalamnya dapat meningkatkan kreativitas anak usia dini).
3. Bagi Anak Didik
Anak Didik dapat berekspresi kreatif sesuai dengan potensi kreativitasnya, sehingga mengurangi rasa ketakutan untuk berbeda pendapat karena di dalam kreativitas memungkinkan adanya keberagaman, membantu anak memahami konsep sains sederhana, membantu anak memecahkan suatu masalah sederhana, dan membantu anak mengelompokkan benda menurut ciri-cirinya.
4. Yayasan Lembaga Pendidikan Taman Kanak-kanak
Penelitian Tindakan Kelas ini merupakan aset penting, karena hal ini dalam rangka meningkatkan kreativitas anak dan sebagai acuan jika akan melakukan kegiatan sejenis.

SKRIPSI PTK MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENYIMAK ANAK MELALUI METODE BERCERITA

SKRIPSI PTK MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENYIMAK ANAK MELALUI METODE BERCERITA

(KODE : PTK-0122) : SKRIPSI PTK MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENYIMAK ANAK MELALUI METODE BERCERITA (PGTK)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian
Tarigan (1994 : 2) menyebutkan bahwa keterampilan berbahasa mencakup empat segi, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Menyimak merupakan keterampilan berbahasa awal yang dikuasai manusia dan dasar bagi keterampilan berbahasa lain. Pada awal kehidupan manusia lebih dulu belajar menyimak, kemudian berbicara, membaca, dan menulis. Penguasaan keterampilan menyimak akan berpengaruh pada keterampilan berbahasa lain.
Dalam pengembangan kemampuan berbahasa diarahkan untuk meningkatkan perkembangan keterampilan berbicara, mendengar, membaca dan menulis. Pada usia TK keterampilan anak masih terbatas untuk memahami bahasa dari pandangan orang lain. Akselerasi perkembangan bahasa anak terjadi sebagai hasil perkembangan fungsi simbolis (Hetherington dalam Moeslichatoen, 2004 : 18). Jika pengembangan simbol bahasa telah berkembang maka hal ini memungkinkan anak memperluas kemampuan memecahkan persoalan yang dihadapi dan memungkinkan anak belajar dari bahasa ucapan orang lain. Semakin banyak dan sering menyimak kosakata, pola-pola kalimat, intonasi, dan sebagainya maka semakin berkembang pula keterampilan berbicara. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila para ahli menyimpulkan, menyimak merupakan dasar daripada keterampilan bahasa lainnya (Tarigan dan Tarigan, 1987 : 48).
Menyimak sebagai salah satu kegiatan berbahasa merupakan keterampilan yang cukup mendasar dalam aktivitas berkomunikasi. Dalam kehidupan, manusia selalu dituntut untuk menyimak, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Oleh sebab itu, menyimak lebih banyak daripada kegiatan berbahasa lain yaitu berbicara, membaca, dan menulis. Hal ini dibuktikan oleh Wilga W. River (Sutari, dkk 1997 : 8) kebanyakan orang dewasa menggunakan 45% waktunya untuk menyimak, 30% untuk berbicara, 16% untuk membaca, dan hanya 9% saja untuk menulis. Berdasarkan kenyataan di atas maka jelas bahwa keterampilan menyimak harus dibina dan ditingkatkan karena sangat penting di lingkungan pendidikan.
Keterampilan menyimak adalah suatu proses kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh perhatian, pemahaman, apresiasi, serta interpretasi. Untuk memperoleh informasi, menangkap isi, serta makna komunikasi yang hendak disampaikan oleh si pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan (Tarigan, 1994 : 28).
Berdasarkan hasil pengamatan awal di Kelompok Bermain X, ditemukan permasalahan dalam perkembangan bahasa yaitu masih rendahnya kemampuan dalam menyimak anak. Anak tidak memperhatikan dan mendengarkan guru saat memberikan materi pembelajaran sehingga proses pembelajaran tidak berjalan optimal. Pada saat guru menjelaskan materi pembelajaran, beberapa anak ada yang bermain mandi bola, mengobrol dengan temannya atau tidak memperhatikan ibu guru dengan memainkan tangan atau kakinya. Selain itu kegiatan yang dilakukan lebih kepada pemberian tugas seperti mewarnai, menempel dan sebagainya, sementara latihan untuk menyimak tidak dikembangkan. Setelah melakukan refleksi awal dengan guru kelas, disepakati sebagai solusi untuk meningkatkan keterampilan menyimak anak di Kelompok Bermain X adalah menggunakan metode bercerita.
Metode merupakan bagian dari strategi kegiatan. Metode di pilih berdasarkan strategi kegiatan yang sudah dipilih dan ditetapkan. Metode merupakan cara, yang dalam bekerjanya merupakan alat untuk mencapai tujuan kegiatan. Metode bercerita merupakan salah satu pemberian pengalaman belajar bagi anak TK dengan membawakan cerita kepada anak secara lisan (Moeslichatoen, 1999 : 157). Apabila isi cerita dikaitkan dengan dunia kehidupan anak, mereka akan mendengarkannya dengan penuh perhatian dan dapat menangkap isi cerita. Melalui cerita pun anak memperoleh manfaat antara lain : mengasah daya imajinasi, mengembangkan kemampuan berbahasa, mengembangkan aspek sosial, mengembangkan aspek moral, mengembangkan aspek emosi, menumbuhkan semangat berprestasi dan melatih konsentrasi anak.
Utami (2011) dalam penelitiannya mengatakan bahwa melalui metode bercerita keterampilan menyimak anak meningkat. Anak terlihat lebih aktif, senang, tertarik, dan antusias dengan pembelajaran yang dilaksanakan, sehingga anak dapat memahami materi yang diberikan dan tugas yang diberikan oleh guru dapat diselesaikan dengan baik.
Berdasarkan pentingnya hal diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian tersebut menunjukkan upaya meningkatkan keterampilan menyimak anak strategis untuk dilaksanakan. Oleh karena itu peneliti merasa tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai "MENINGKATKAN KETERAMPILAN MENYIMAK ANAK USIA DINI MELALUI METODE BERCERITA".

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas peneliti mengungkapkan permasalahan yang muncul untuk dikaji antara lain : 
1. Bagaimanakah keterampilan menyimak anak sebelum diterapkan metode bercerita di Kelompok Bermain X ?
2. Bagaimanakah implementasi penggunaan metode bercerita untuk meningkatkan keterampilan menyimak anak di Kelompok Bermain X ?
3. Bagaimanakah keterampilan menyimak anak setelah diterapkan metode bercerita di Kelompok Bermain X ?

C. Tujuan penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah : 
1. Untuk memperoleh gambaran tentang keterampilan menyimak anak sebelum diberi tindakan berupa penggunaan metode bercerita di Kelompok Bermain X.
2. Untuk memperoleh gambaran tentang penggunaan metode bercerita dalam meningkatkan keterampilan menyimak anak di Kelompok Bermain X.
3. Untuk memperoleh gambaran tentang keterampilan menyimak anak setelah diberi tindakan berupa penggunaan metode bercerita di Kelompok Bermain X.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi semua orang yang berkepentingan, penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut : 
1. Manfaat Teoritis
Bagi bidang keilmuan Pendidikan Anak Usia Dini dapat memberikan sumbangan ilmiah untuk meningkatkan perkembangan keterampilan menyimak anak melalui metode bercerita.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi guru, diharapkan dapat menambahkan wawasan serta memberikan pengetahuan dalam upaya meningkatkan keterampilan menyimak anak melalui metode bercerita.
b. Bagi anak, diharapkan dapat membantu meningkatkan keterampilan menyimak sehingga dapat memberikan pengalaman dalam pergaulan di sekolah, keluarga maupun masyarakat.
c. Bagi peneliti, diharapkan dapat memberikan gambaran tentang pengembangan keterampilan menyimak anak usia dini, yang dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan motivasi untuk melakukan penelitian lebih lanjut.

SKRIPSI PTK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PRA MEMBACA ANAK TAMAN KANAK-KANAK MELALUI MEDIA CD INTERAKTIF

SKRIPSI PTK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PRA MEMBACA ANAK TAMAN KANAK-KANAK MELALUI MEDIA CD INTERAKTIF

(KODE : PTK-0121) : SKRIPSI PTK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PRA MEMBACA ANAK TAMAN KANAK-KANAK MELALUI MEDIA CD INTERAKTIF (PGTK)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan dalam rentang kehidupan manusia, memiliki peran yang strategis. Manusia melalui usaha sadarnya berupaya untuk mengembangkan segenap potensi yang dimiliki guna terwujudnya sumber daya manusia yang berkualitas. Pendidikan anak usia dini (PAUD) sebagai bagian dari pendidikan, berupaya melahirkan generasi-generasi penerus bangsa yang diharapkan mampu mewujudkan hal tersebut. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 14 mendefiniskan pendidikan anak usia dini sebagai
suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut
Pembinaan yang dimaksud yakni pemberian stimulasi berbagai informasi baik dari segi afeksi, psikomotor maupun kognitif. Ketiga aspek perkembangan tersebut tidak boleh terpisah karena ketiganya saling berkaitan. Aspek kognitif berkaitan dengan kemampuan berpikir logis dan pemecahan masalah, sementara aspek afeksi berkaitan dengan sikap dan moral, dan aspek psikomotor berkaitan dengan koordinasi fisik anak. Kemampuan anak untuk berpikir logis dan memecahkan masalah di kehidupan sehari-harinya dapat berjalan sesuai dengan norma dan sikap yang berlaku di dalam masyarakat. Cara anak untuk menyelesaikan masalah tersebut merupakan kemampuan kognitifnya yang juga dikaitkan dengan afeksinya. Keduanya akan berjalan baik jika ditunjang dengan fisik yang optimal. Kemampuan fisik yang kurang optimal tidak dapat memungkinkan penyelesaian masalah dapat berjalan dengan baik. Berdasarkan peraturan tersebut, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) berperan sebagai peletak dasar stimulus bagi pengembangan potensi seorang manusia.
Lebih lanjut undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 28 mengatur mengenai bentuk layanan PAUD. Pendidikan Anak Usia Dini terbagi menjadi 3 layanan yakni PAUD formal seperti TK, RA, atau bentuk lain yang sederajat; kemudian PAUD Nonformal seperti kelompok bermain, tempat penitipan anak, atau bentuk lain yang sederajat; serta PAUD Informal seperti pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan tempat tinggal. Bentuk PAUD formal seperti TK dan RA adalah bentuk layanan yang ditujukan bagi anak usia 4-6 tahun. PAUD formal tersebut memiliki kurikulum yang mengacu pada standar pemerintah pusat dan juga dapat dikolaborasikan dengan kurikulum khas lembaga tersebut. PAUD Informal juga memiliki kurikulum yang disusun oleh standar pemerintah pusat namun juga dapat dikolaborasikan dengan kurikulum khas lembaga. Penggabungan kurikulum pusat dan kurikulum khas merupakan salah satu bentuk pengembangan wawasan sekolah terhadap perkembangan pembelajaran yang terjadi saat itu. Pada tahun 2009 Pemerintah melalui Peraturan Menteri Nomor 58 mengeluarkan Standar Pendidikan Anak Usia Dini. Standar tersebut berisi pedoman penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini.
Peraturan tersebut berisi standar tingkat pencapaian perkembangan; standar isi, proses dan penilaian; standar pendidik dan tenaga kependidikan; serta standar sarana dan prasarana. Keempat standar tersebut, telah memiliki aturan baku yang seyogyanya diimplementasikan dalam pendidikan anak usia dini.
Standar isi, proses, dan penilaian memaparkan hal-hal terkait perencanaan pembelajaran, muatan pembelajaran, proses pelaksanaan, hingga penilaian pembelajaran yang diimplementasikan dalam sebuah kurikulum. Standar pendidik dan tenaga kependidikan mengatur hal-hal terkait sumber daya manusia yang terlibat di lembaga PAUD, seperti guru, kepala sekolah, petugas administrasi, serta pihak-pihak yang terlibat di dalam sebuah kepengurusan lembaga PAUD. Standar sarana dan prasarana mengatur mengenai standar fasilitas yang dimiliki oleh lembaga PAUD. Sementara standar tingkat pencapaian perkembangan mengatur mengenai tahapan-tahapan perkembangan yang diharapkan mampu dicapai oleh anak usia dini dalam rentang usia tertentu. Keempat standar tersebut saling berintegrasi satu sama lain membentuk sistem lembaga PAUD yang diharapkan mampu melayani anak usia dini dalam mencapai perkembangan optimalnya.
Fokus pembahasan dalam penelitian ini adalah mengenai salah satu bentuk layanan PAUD Formal, yakni taman kanak-kanak. Seperti yang dikutip dari Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010 Pasal 1 Ayat 4 :
“Taman kanak-kanak merupakan salah satu bentuk satuan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang menyelenggarakan program pendidikan bagi anak berusia 4 (empat) tahun sampai dengan 6 (enam) tahun”.
Taman kanak-kanak merupakan jenjang pendidikan dasar yang mampu diharapkan menjadi peletak dasar bagi jenjang pendidikan selanjutnya. Froebel (Sujiono, 2009) merupakan pencetus istilah Kindergarten atau Taman Kanak-kanak. Menurutnya sistem Kindergarten diperuntukkan bagi anak usia 3 sampai 7 tahun. Froebel menggunakan istilah taman sebagai simbol dari pendidikan anak. Hal ini dilatarbelakangi karena perluasan pandangannya terhadap dunia dan pemahamannya tentang hubungan individu, sang pencipta dan alam semesta.
Mengacu kepada standar tingkat pencapaian perkembangan pada peraturan menteri nomor 58 tahun 2009, perkembangan yang dicapai merupakan aktualisasi semua potensi yang dimiliki oleh anak yang diharapkan mampu dicapai oleh anak. Terdapat 5 aspek perkembangan yang diharapkan mampu dicapai oleh anak usia 4-6 tahun (usia taman kanak-kanak) , diantaranya : 
(1) nilai-nilai agama dan moral membahas mengenai kemampuan anak dalam hal pemahaman agama serta nilai-nilai sikap di dalam kehidupan bermasyarakat; (2) Sosial-emosional berkaitan dengan kemampuan rasa peka terhadap teman-teman dan keluarga serta masyarakat sekitar; (3) Bahasa berkaitan dengan kemampuan berkomunikasi, bercerita serta mengenal simbol-simbol huruf; (4) Kognitif berkaitan dengan kemampuan mengenal konsep sains, kemampuan berhitung serta konsep-konsep logika sederhana; (5) fisik berkaitan dengan kemampuan menggunakan otot halus dan kasar untuk melakukan sejumlah aktivitas pembelajaran.
Bidang pengembangan kemampuan bahasa memiliki peranan yang penting dalam hal penunjang aktivitas pembelajaran. Anak usia TK membutuhkan bahasa untuk menerima dan mengungkapkan setiap informasi yang diterimanya. Seperti yang kita ketahui bahwa usia 4-6 tahun merupakan masa yang sangat aktif yang dikenal dengan istilah The Golden Age, yakni suatu masa dimana perkembangan otak dalam mengolah informasi berkembang dengan sangat pesat. Anak-anak usia 4-6 tahun, memperoleh pembelajaran melalui aktivitas bermain. Sehingga sangat disayangkan jika mereka tidak berpikir aktif, karena kemampuan berbahasanya yang terganggu. Jean Piaget (Crain, 2007) memaparkan bahwa kemampuan berbahasa sangat berkembang cepat selama tahun-tahun pra operasional awal, sekitar 2-4 tahun. hal inilah yang salah satunya melatarbelakangi peneliti menggunakan subjek penelitian kelompok TK A yang berusia antara 4-5 tahun. peraturan menteri nomor 58 tahun 2009 mendeskripsikan bahwa kemampuan pra membaca merupakan salah satu perkembangan bahasa bidang keaksaraan. Anak-anak diharapkan mampu mengenal huruf abjad secara berurutan, merangkai huruf menjadi suku kata, menghubungkan benda dengan kata, menghubungkan kata dengan simbol yang melambangkannya, serta menceritakan gambar sederhana.
Kemampuan membaca merupakan salah satu tingkat pencapaian perkembangan yang harus dimiliki oleh anak pada aspek perkembangan bahasa. Membaca merupakan hal yang penting untuk dikuasai anak, agar informasi pembelajaran dapat terserap dengan optimal. Departemen Pendidikan Nasional (2007) mendefinisikan membaca sebagai kegiatan yang melibatkan unsur auditif (pendengaran) dan visual (pengamatan). Kemampuan Pra Membaca merupakan kemampuan yang dimiliki anak usia TK sebelum mereka mampu membaca. TK sebagai lembaga PAUD yang satu tingkat berada pada jenjang sebelum pendidikan dasar, diharapkan memberikan stimulasi kemampuan pra membaca pada anak. Pra membaca merupakan kemampuan awal membaca. Anak-anak diminta untuk mengenal huruf, kata dan merangkai kata menjadi kalimat yang sangat sederhana.
Anak TK berada dalam rentang usia 4-6 tahun. Jean Piaget menyebutkan istilah tahapan kognitif pra operasional dalam rentang usia ini (Crain, 2007). Yakni suatu tahapan dimana pikiran anak berkembang cepat ke sebuah tatanan baru, yaitu simbol-simbol (termasuk citraan dan kata-kata) , dengan bentuk pikiran yang tidak sistematis dan tidak logis. Anak-anak dalam tahap ini membutuhkan stimulasi yang sangat kongkrit bagi informasi-informasi yang abstrak, seperti konsep bilangan dan konsep huruf. Teori Jean Piaget mengenai tahapan Pra Operasional mengindikasikan bahwa perubahan cara berpikir anak-anak dari tahap abstrak ke kongkrit membutuhkan stimulasi yang baik agar tidak terjadi kesalahan persepsi antara konsep abstrak dan konsep nyatanya. Piaget lebih lanjut menyarankan bahwa stimulasi informasi tersebut dikemas dalam bentuk yang menyenangkan melalui bentuk permainan. Montessori sependapat dengan pernyataan Piaget tersebut, bahwa anak-anak pada usia 4 tahun telah memasuki periode kepekaan berbahasa (Crain, 2007, p. 113) seperti yang dikutip berikut ini
Ketika memasuki usia empat tahun, anak-anak akan belajar membaca dan menulis dengan antusias. Ini karena mereka masih berada di dalam periode kepekaan umum terhadap bahasa. mereka baru saja menguasai bahasa secara tidak sadar, dan sekarang ingin belajar semua hal tentangnya pada tingkatan yang lebih sadar, dan aktivitas membaca dan menulis mengizinkan mereka melakukan hal ini. Jika sebaliknya, anak harus menunggu sampai umur enam atau tujuh tahun untuk belajar bahasa tertulis seperti biasa dilakukan di sekolah-sekolah, tugas ini akan jadi lebih sulit karena periode kepekaan terhadap bahasa sudah berlalu.
Montessori lebih lanjut juga menyarankan bahwa periode kepekaan berbahasa tersebut perlu distimulasi sejak empat tahun. Bahkan jika anak harus menunggu kematangannya sampai usia enam tahun, akan lebih sulit untuk membaca. Montessori juga sependapat dengan Jean Piaget bahwa implementasinya dalam pembelajaran adalah tidak terlepas dari perkembangan dan pertumbuhan anak usia tersebut, yakni dunia bermain. Cass (1973) dalam Essa (2003) memaparkan pengertian bermain bahwa "It is an activity which is concerned with the whole of his being, not with just one small part of him, and to deny him the right to play is to deny him the right to live and grow". 
Bermain merupakan aktivitas yang menyerupai seluruh hal-hal yang nyata, tidak hanya bagian kecil darinya tapi juga untuk belajar seolah-olah seperti nyata. Melalui bermain, anak-anak diajak seolah-olah sedang mempelajari sesuatu yang nyata untuk mengkonsernkan pemikiran abstraknya. Anak-anak diajak untuk berimajinasi, membayangkan bahkan berperan seperti keadaan nyatanya. Misalnya anak-anak diajak untuk mengimajinasikan simbol huruf I sebagai cacing yang panjang. Atau angka 1 sebagai ular yang sedang berdiri. Konsep huruf I merupakan konsep huruf yang abstrak, sementara cacing sebagai perumpamaannya merupakan bentuk bermainnya. Metode pembelajaran seperti ini membuat anak mengeksplorasi pengetahuannya secara luas agar mendapatkan pengetahuan yang baru. Melalui bermain, anak-anak dapat mengembangkan kesempatannya untuk melatih keterampilan, kemampuan berpikir, kemampuan emosinya, sosialnya dan tentu saja kreativitasnya.
Pada kenyataannya, fungsi Sekolah Dasar (SD) telah beralih fungsi ke TK. Saat ini TK mewajibkan anaknya untuk mampu membaca dengan berbagai cara. Pada dasarnya hal ini tidaklah salah, jika stimulasi membaca dapat diimbangi dengan prinsip-prinsip pembelajaran di TK. Salah satu prinsip pembelajaran di TK yang tertuang dalam Kurikulum TK tahun 2010 adalah berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Kemampuan pra membaca merupakan kebutuhan bagi setiap anak. Namun setiap anak tidak dapat diperlakukan sama untuk belajar kemampuan pra membaca. Karena setiap anak berbeda dan unik. Pada kenyataannya yang terjadi di lapangan adalah anak-anak diberikan stimulasi yang sama menggunakan buku, tanpa adanya aspek menyenangkan melalui bentuk permainan. Pada akhirnya masyarakat berpikir bahwa TK adalah lembaga kursus membaca. Padahal esensi TK yakni suatu lembaga yang menstimulasi kemampuan pra membaca. Artinya anak-anak diajak untuk belajar membaca melalui permainan-permainan yang diciptakan untuk menstimulasi kemampuan pra membaca.
Perkembangan teknologi yang semakin berkembang pesat, memiliki relevansi dengan bidang pendidikan. Lembaga setingkat TK juga terkena dampak dari perkembangan teknologi tersebut. Salah satunya adalah prinsip pembelajaran di TK yang mensyaratkan bahwa tanggap terhadap perkembangan teknologi. Berkaitan dengan permasalahan stimulasi perkembangan kemampuan pra membaca, penggunaan CD Interaktif menjadi salah satu media pembelajaran yang efektif untuk digunakan. Melalui kegiatan penggunaan mouse dan tombol-tombol keyboard, anak-anak diajak untuk mengaktifkan koordinasi mata dan tangannya, serta tanggap terhadap simbol-simbol huruf. Media dan materi tidak dapat terlepas satu sama lain, karena keduanya berada dalam sistem pembelajaran. Untuk menyampaikan materi pembelajaran, guru membutuhkan media yang relevan dengan materi yang disampaikan. Di TK X, peneliti menemukan permasalahan tersebut. Tingginya permintaan orangtua anak agar anaknya mampu membaca, membuat guru berpikir untuk menemukan media yang relevan. Peneliti dan guru berkoordinasi untuk menciptakan media yang tidak menghilangkan unsur permainan, namun juga sarat akan informasi pembelajaran pra membaca. Melalui penggunaan CD Interaktif ini, materi pra membaca pada anak usia TK diharapkan mampu tersampaikan tanpa menghilangkan prinsip-prinsip pembelajaran di TK.
Berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan di sekitar TK X, penggunaan produk Teknologi Informasi dan Komunikasi khususnya Komputer, masih jarang digunakan. Padahal dalam Kurikulum TK tahun 2010 salah satu prinsip pembelajaran di TK adalah tanggap terhadap perkembangan teknologi. Seringkali guru hanya menggunakan media yang bukan berbasis teknologi. Hal ini justru tidak mendidik anak untuk tanggap terhadap perkembangan teknologi. Oleh karena itu, melalui penelitian yang berjudul Peningkatan Kemampuan Pra Membaca Anak Taman Kanak-kanak Melalui Media CD Interaktif, diharapkan mampu mengatasi masalah tersebut.

B. Rumusan Masalah
Secara umum rumusan masalah dalam penelitian ini adalah "bagaimana peningkatan kemampuan pra membaca anak taman kanak-kanak melalui media CD interaktif”, secara khusus rumusan masalah tersebut adalah : 
1. Bagaimanakah kondisi kemampuan pra membaca anak TK X saat ini ?
2. Bagaimanakah perencanaan pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan pra membaca anak TK X ?
3. Bagaimanakah proses pembelajaran pra membaca anak TK X setelah menggunakan CD Interaktif ?
4. Bagaimanakah tingkat pencapaian kemampuan pra membaca anak TK X melalui media CD Interaktif ?

C. Tujuan Penelitian
Secara khusus tujuan penulisan tersebut adalah : 
1. Mengetahui kondisi kemampuan pra membaca anak TK X saat ini
2. Mengetahui perencanaan pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan pra membaca anak TK X
3. Mengetahui proses pembelajaran pra membaca anak TK X setelah menggunakan CD Interaktif
4. Mengetahui tingkat pencapaian kemampuan pra membaca anak TK X melalui media CD Interaktif

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Sebagai produk nyata gagasan berupa penelitian dalam keilmuan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan tentang penggunaan CD interaktif dalam meningkatkan mutu pembelajaran khususnya di Taman Kanak-kanak.
b. Memberikan kontribusi berupa produk CD interaktif, sebagai produk nyata penerapan teknologi komputer di Taman Kanak-kanak.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan informasi tentang penggunaan CD interaktif sebagai media dalam meningkatkan kemampuan pra membaca di Taman Kanak-kanak
b. Menambah wawasan peneliti dan guru dalam menerapkan teknologi komputer di Taman Kanak-kanak
c. Memberikan alternatif pemecahan masalah berkaitan dengan stimulus kemampuan pra membaca pada anak usia Taman Kanak-kanak