Search This Blog

Showing posts with label sertifikasi guru. Show all posts
Showing posts with label sertifikasi guru. Show all posts

TESIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SERTIFIKASI DALAM MENINGKATKAN KOMPETENSI GURU PADA SATUAN PENDIDIKAN SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

(KODE : PASCSARJ-0531) : TESIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SERTIFIKASI DALAM MENINGKATKAN KOMPETENSI GURU PADA SATUAN PENDIDIKAN SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (PROGRAM STUDI : ILMU PEMERINTAHAN)

contoh tesis ilmu pemerintahan

BAB II 
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

A. Kajian Pustaka
1. Penelitian Terdahulu
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Ruhmaniyati, mengenai Pelaksanaan Sertifikasi Guru dalam Jabatan 2007 : Studi Kasus di Provinsi Jambi, Jawa Barat, dan Kalimantan Barat diketahui bahwa : 
“Secara umum hasil kajian menunjukkan bahwa pelaksanaan sertifikasi guru mempunyai beberapa kelemahan. Koordinasi horizontal antar lembaga masih terkendala, sosialisasi program bervariasi, dan informasi yang disampaikan belum menyeluruh; jumlah kuota antar wilayah studi tidak sebanding dengan jumlah guru yang memenuhi persyaratan; dalam jumlah terbatas terdapat indikasi penyimpangan penetapan guru peserta; terdapat laporan penyimpangan pembuatan portofolio; peserta yang lulus belum menerima nomor registrasi dan hanya sedikit yang sudah memperoleh sertifikat pendidik; dan pembayaran tunjangan profesi tersendat.”
Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Sudarman (2007) mengenai Persepsi Guru Sekolah Dasar Terhadap Program Sertifikasi Guru di Kecamatan Jiwan Kabupaten Madiun Sebagai dasar tentang Penguatan Kebijakan Pemerintah Tentang Sertifikasi Guru. Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa batas nilai kelulusan sertifikasi guru dalam jabatan dirasakan oleh guru sangat berat. Hasil perhitungan skor nilai secara kasar dan diasumsikan mendapatkan penilaian maksimal, perolehan skor nilai antara 500 - 600. Dari hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa rendahnya perolehan skor nilai yang dicapai oleh guru disebabkan oleh rendahnya kinerja guru.

2. Implementasi Kebijakan
“Implementasi merupakan terjemahan dari kata “implementation”, berasal dari kata kerja “to implement”, mengandung arti (1) membawa ke suatu hasil (akibat), melengkapi dan menyelesaikan; (2) Menyediakan saranan (alat) untuk melaksanakan sesuatu, memberikan yang bersifat praktis terhadap sesuatu; (3) menyediakan atau melengkapi dengan alat.” 
Implementasi kebijakan publik merupakan proses kegiatan administratif yang dilakukan setelah suatu kebijakan ditetapkan/disetujui. Hubungan implementasi kebijakan dengan tujuan kebijakan yang akan dicapai adalah dengan menyatakan : 
“Implementasi kebijakan sebagai suatu tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang disarankan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan sebelumnya.”
Ndraha berpendapat bahwa : “Konsep implementasi kebijakan lebih luas ketimbang sekedar konsep pelaksanaan”. Dalam konsep implementasi kebijakan terkandung pengaturan dan pengelolaan lebih lanjut kebijakan (manajemen kebijakan) sedangkan yang dimaksud dengan pelaksanaan kebijakan adalah pelaksanaan operasional.
Implementasi kebijakan merupakan alat administrasi, dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik bekerjasama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi pada posisi yang lain merupakan fenomena kompleks yang dapat dipahami sebagai proses, keluaran maupun hasil.
Pelaksanaan kebijakan merupakan langkah yang sangat penting dalam proses kebijakan, tanpa pelaksanaan, suatu kebijakan hanyalah merupakan sebuah dokumen yang tidak bermakna dalam kehidupan masyarakat. Implementasi dipandang sebagai proses interaksi antara tujuan yang telah ditetapkan dan tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan “Implementation may be viewed as process of interaction between the setting of goal and action geared to achieving them”, implementasi kebijakan sebagai suatu mata rantai yang menghubungkan titik awal “setting of goal” dengan titik akhir “achieving them”
Kebijakan merupakan tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Sedangkan menurut Fidrick Pengertian Kebijakan adalah : 
“Suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan” 
Sedangkan definisi kebijakan menurut Harold D. Laswell dalam Islamy, mengartikan kebijakan adalah “A Projected program of goals, value and practices” (suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang terarah).
Berdasarkan berbagai pendapat tersebut, kebijakan diartikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dalam upaya pencapaian tujuan tertentu.
Konsekwensi dari tindakan suatu kebijakan tidak pernah diketahui secara penuh, oleh karena itu memantau suatu tindakan kebijakan merupakan suatu keharusan. Jika tindakan A dilakukan pada waktu t1, maka hasil O akan muncul pada t2.
Kebijakan pemerintah yang mendasari Sertifikasi Guru adalah Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Di dalam pasal 8 disebutkan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikasi pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Sertifikasi pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan (UU No. 14 Tahun 2005 pasal 11). Sertifikasi pendidik diperoleh melalui program pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah. Beban belajar pendidikan profesi untuk guru pada satuan pendidikan TK dan SD atau yang sederajat adalah 18 sampai 20 satuan kredit semester. Sedangkan untuk satuan pendidikan setingkat SMP dan SMA atau yang sederajat adalah 30 sampai 40 satuan kredit semester.

TESIS ANALISIS YURIDIS TERHADAP SERTIFIKASI GURU BERBASIS PORTOFOLIO

(KODE : PASCSARJ-0530) : TESIS ANALISIS YURIDIS TERHADAP SERTIFIKASI GURU BERBASIS PORTOFOLIO (PROGRAM STUDI : HUKUM)

contoh tesis hukum

BAB II
PENGATURAN SERTIFIKASI GURU BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL


A. Pengaturan Tentang Pendidik dan Tenaga Kependidikan
1. Pendidik dan Tenaga Kependidikan Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Hampir setiap orang pernah memperoleh pendidikan, tetapi tidak semua orang mengerti makna kata pendidikan, pendidik, dan mendidik. Memahami pendidikan, ada dua istilah yang dapat mengarahkan pada pemahaman hakikat pendidikan, yakni kata paedagogie dan paedagogik. Paedagogie bermakna pendidikan sedangkan paedagogiek bermakna ilmu pendidikan atau ilmu mendidik. Tidaklah mengherankan apabila paedagogik (pedagogic) atau ilmu mendidik adalah ilmu menggunakan teori yang sistematis tentang pendidikan yang sebenarnya bagai anak sampai pada anak mencapai kedewasaannya.
Secara estimologik, perkataan paedogogie berasal dari bahasa Yunani, yaitu paedogogia yang berarti pergaulan dengan anak. Paedogogos adalah hamba atau orang yang pekerjaannya menghantar dan mengambil budak-budak pulang pergi atau antar jemput sekolah. Perkataan “paid” merujuk kepada kanak-kanak, yang menjadikan sebab mengapa sebahagian orang cenderung membedakan antara pedagogi (mengajar kanak-kanak) dan androgogi (mengajar orang dewasa). Padegogi yang juga berasal dari bahasa Yunani Kuno dapat dipahami dari kata yang bermakna “anak”, dan “egogos” yang berarti membina atau membimbing. Apa yang dipraktikkan dalam pendidikan selama ini adalah konsep dari padegogi yang secara harfiah adalah seni mengajar atau seni mendidik anak-anak.
Realitasnya, pendidikan pedogogi dalam dunia modern Menurut Taksonomi Bloom membagi fungsi pembelajaran menjadi tiga area, yakni : Pertama, bidang kognitif, yakni yang berkenaan dengan aktifitas mental seperti ingatan pemahaman, penerapan, analisis, evaluasi, dan mencipta; Kedua, bidang efektif, yakni berkenaan dengan sikap dan rahasia diri; dan Ketiga, bidang psikomotor, yakni berkenaan dengan aktivitas fisik seperti keterampilan hidup.
Ketiga wilayah tersebut memiliki sifat yang berbeda, tetapi dalam situasi pembelajaran semua menjadi satu. Contohnya apabila seorang Guru ingin mengajar seorang pelajar untuk menulis, Guru tersebut harus mengajar pelajar itu cara memegang pensil (bidang psikomotor); bentuk huruf dan maknanya (bidang kognitif); dan juga harus memupuk minat untuk belajar menulis (bidang efektif). Dengan demikian hakikat pendidikan adalah “handayani” seperti yang dikemukakan oleh Ki Mohammad Said R yang memiliki arti “memberi pengaruh”. Pendidikan merupakan kumpulan dari semua proses yang memungkinkan seseorang mampu mengembangkan seluruh kemampuan (potensi) yang dimilikinya, sikap-sikap dan bentuk perilaku yang bernilai positif di masyarakat tempat yang bersangkutan berada.
Efek dari pendidikan adalah gejala perilaku dan upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan dasar-dasar primer bertahan hidup, agar lebih bermakna atau bernilai. Gejala pendidikan timbul seketika ketika sekumpulan individu ingin memenuhi kebutuhan makna yang lebih tinggi atau abstrak seperti pengetahuan, nilai keadilan, kemakmuran, dan keterampilan agar terbebas dari kondisi kekurangan seperti kemiskinan, penyakit, atau kurangnya kemampuan berinteraksi dengan alam sekitarnya. Hal demikian lah yang menjadi tanggung jawab pemerintah sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 yang ditentukan sebagai berikut : 
(1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.
(2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran
nasional, yang diatur dengan undang-undang.
Tanggung jawab pemerintah dalam hal ini dimaksud untuk menjamin kualitas pendidikan nasional bagi warga negara Indonesia melalui peran Guru sebagai tenaga pendidik dan pengajar. Mendidik adalah kata kunci dari pendidikan. Mengingat hal tersebut, bermakna luhur dalam proses pendidikan. Mendidik menurut Langevald adalah mempengaruhi dan membimbing anak dalam usahanya mencapai kedewasaan. Mendidik dapat membantu anak supaya cakap dalam menyelenggarakan hidupnya.
Ki Hajar Dewantara, mengatakan bahwa mendidik adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar tumbuh sebagai anggota manusia dan anggota masyarakat dan mencapai keselamatan serat kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
Mendidik memerlukan tanggung jawab yang lebih besar dari pada mengajar. Mendidik adalah membimbing pertumbuhan anak, jasmani maupun rohani dengan sengaja bukan saja untuk kepentingan pengajaran sekarang melainkan utamanya untuk kehidupan seterusnya di masa depan. Oleh sebab itu, Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, (UU Sisdiknas) disebutkan dengan istilah “pendidikan” bukan “pengajaran”. Dasar pendidikan nasional termaktub dalam Pasal 31 UUD 1945 yang kemudian di atur dalam Pasal 2 UU Sisdiknas, yaitu “pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Plato berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang sesungguhnya adalah memberikan penyadaran terhadap apa yang seharusnya diketahuinya yang kemudian pengetahuan tersebut harus dapat direalisasikan sendiri sehingga dapat penelitian serta mengetahui hubungan kausal yaitu alasan dan alur pikirannya. Pembahasan tujuan pendidikan merupakan sesuatu yang penting mengingat perjalanan suatu institusi penyelenggara memiliki visi yang jelas selalu dimulai dari tujuan.
TESIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SERTIFIKASI GURU PADA SMA NEGERI

TESIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SERTIFIKASI GURU PADA SMA NEGERI

(KODE : PASCSARJ-0282) : TESIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SERTIFIKASI GURU PADA SMA NEGERI (PROGRAM STUDI : ADMINISTRASI PUBLIK)



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Isu penting dunia pendidikan, setelah pengesahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada Desember 2005 adalah masalah sertifikasi guru. Hal ini dimaklumi oleh para praktisi pendidikan, seperti guru dan kepala sekolah. Oleh karena, sertifikasi guru merupakan fenomena baru di negeri ini. Sertifikasi guru juga menyangkut nasib dan masa depan guru. Apalagi di era modern sekarang ini, guru merupakan sebuah profesi. Profesi guru kedudukannya sejajar dengan profesi lain, misalnya profesi pengacara, notaries, dokter, atau akuntan.
Menurut Muhammad Zen, bahwa pemerintah melakukan sertifikasi guru, salah satu alasannya adalah mengangkat nasib guru dan pengakuan profesi guru disejajarkan dengan profesi bergengsi lainnya sebagai tenaga professional (Muhammad Zen, 2010 : 20). Karena guru adalah sebuah profesi maka perlu adanya proses pembuktian tentang profesionalitas dari yang bersangkutan.
Sehubungan hal tersebut, maka pemahaman mengenai sertifikasi guru harus tersampaikan dengan benar dan dipahami secara baik oleh semua pihak, khususnya pemegang pelaksana kebijakan di lapangan. Para guru pun menyesuaikan hal tersebut. Ini dimaksudkan, agar isi kebijakan sertifikasi guru tidak dipandang secara keliru. Apabila tiba waktunya diberlakukan kebijakan tersebut, maka para pelaksana kebijakan dapat menjalankan perannya sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku. Guru pun harus menyiapkan dirinya secara baik. Mereka mencari sebanyak mungkin informasi (mengupdate) tentang sertifikasi. Agar makna dari kebijakan sertifikasi guru tidak salah penafsiran, tetapi disikapi secara benar.
Oleh karena, berbagai interpretasi mengenai sertifikasi bagi guru masih dimaknai secara keliru. Sebagian guru memahami sertifikasi, yaitu guru yang mempunyai pendidikan sarjana kependidikan secara otomatis sudah bersertifikasi.
Sebagian guru lain memahami sertifikasi bagi guru itu, yaitu guru yang telah menempuh pendidikan khusus, yang dilakukan oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), yang ditunjuk oleh pemerintah (Masnur Musnich, 2007 : 1).
Untuk memahami pengertian sertifikasi secara jelas dan utuh, maka dapat menyimak dari kutipan beberapa pasal dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen atau UUGD sebagai berikut
• Pasal 1 butir 11 : Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru dan dosen.
• Pasal 8 : Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional
• Pasal 11 butir 1 : Sertifikat pendidik sebagaimana dalam Pasal 8 diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan.
• Pasal 16 : Guru yang memiliki sertifikat pendidik memperoleh tunjangan profesi sebesar satu kali gaji, guru negeri maupun swasta dibayar pemerintah.
Dari kutipan tersebut dapat dipahami bahwa sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru yang telah memenuhi persyaratan tertentu, yaitu memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yang dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan yang layak.
Singkat kata, dengan lahirnya UUGD mengindikasikan upaya pemerintah dalam mengangkat mutu guru semakin tampak. Kompetensi guru menjadi dasar utama melihat mutu guru. Hal ini terkait profesinya (sebagai pendidik dan pengajar). Dengan demikian, konsep kompetensi menjadi penting sekali. Ini berkenaan dengan kompensasi sertifikasi yang dijanjikan oleh pemerintah, bahwa kesejahteraan guru akan meningkat seiring dengan kompetensi yang dimilikinya.
Banyak fenomena yang berkenaan dengan implementasi kebijakan sertifikasi guru yang menarik perhatian. Seperti yang dikutip Harian Kompas 7 Februari 2007 bahwa pimpinan sejumlah LPTK pesimistik dengan sertifikasi menjamin peningkatan kualitas guru. Hal ini disebabkan kebijakan sertifikasi guru yang pada dasarnya memiliki tujuan untuk memberdayakan profesi guru melalui kualifikasi akademik dan kompetensi, ternyata memicu pihak-pihak yang berkepentingan untuk melakukan sertifikasi massal. Jika bersifat massal, maka ini berdampak pada kualitas. Yang pada akhirnya, sertifikasi tidak lebih dari formalitas belaka dan tidak menyentuh substansi.
Sedangkan Muhammad Zen dalam bukunya yang berjudul "KIAT SUKSES MENGIKUTI SERTIFIKASI GURU" mengemukakan bahwa program sertifikasi guru cukup kental dengan pemalsuan dokumen. Dokumen yang dipalsukan, yaitu dokumen berkas-berkas portofolio yang dikumpulkan guru ketika mengikuti sertifikasi seperti modul pembelajaran, lokakarya, seminar, pelatihan, dan kegiatan sosial dan pengabdian masyarakat yang tidak otentik. Merebaknya pemalsuan ini memang memungkinkan, mengingat berkas yang dikumpulkan adalah dalam bentuk fotokopi bukan berkas yang asli (Muhammad Zen, 2010 : 35).
Hastuti dan kawan-kawan (2010) dalam penelitian berjudul "PELAKSANAAN SERTIFIKASI GURU DALAM JABATAN 2007 : STUDI KASUS DI PROVINSI JAMBI, JAWA BARAT, DAN KALIMANTAN BARAT”, hasil temuannya adalah pertama, umumnya informan kurang meyakini program sertifikasi guru yang sekarang dilaksanakan akan berpengaruh pada peningkatan kualitas guru dan pendidikan secara umum. Oleh karena, mekanismenya tidak dirancang untuk menjaring atau mengidentifikasi guru-guru terbaik yang diharapkan akan mampu meningkatkan mutu pendidikan. Terlebih lagi, dalam pembuatan portofolio banyak ditemui penyimpangan sehingga portofolio yang dibuat kurang mencerminkan kualitas guru yang sebenarnya. Kedua, informan berpendapat program sertifikasi sebagaimana yang diterapkan saat ini tidak memiliki paradigma yang jelas. Apabila sertifikasi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan guru, maka mekanismenya dirancang lebih sederhana dan tidak menyulitkan guru. Sebaliknya, apabila sertifikasi adalah untuk meningkatkan kualitas guru, maka mekanisme yang dianggap cocok untuk meningkatkan kemampuan guru adalah melalui pendidikan dan pelatihan yang intensif. Diklat profesi guru pada program sertifikasi saat ini sudah dinilai bagus, namun hanya mampu "menyegarkan" pengetahuan guru, bukan meningkatkan.
Oktora Melansari (2010) dalam tesis berjudul "ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SERTIFIKASI GURU PADA SEKOLAH DASAR NEGERI DI KECAMATAN CIPAYUNG KOTA JAKARTA TIMUR", hasil temuannya adalah sertifikasi sebagian besar hanya dianggap oleh guru untuk meningkatkan kesejahteraan saja daripada meningkatkan kualitas guru. Hal ini berkenaan dengan kurang jelasnya mengenai isi kebijakan sertifikasi guru dalam buku pedoman maupun sosialisasi.
Bambang Raharjo (2009) dalam penelitian berjudul "DAMPAK KEBIJAKAN AKREDITASI SEKOLAH DAN SERTIFIKASI GURU TERHADAP PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN DI KABUPATEN BANYUMAS, PROVINSI JAWA TENGAH", hasil temuannya adalah pertama, proses sertifikasi guru dan koordinasi antar unit, kemudahan untuk member dan memperoleh layanan, telah dilaksanakan meskipun belum semuanya memuaskan peserta sertifikasi guru. Yang kedua, ditemukan sejumlah permasalahan sertifikasi guru seperti penetapan peserta sertifikasi guru, workshop penyusunan portofolio, kesiapan peserta sertifikasi guru, penyusunan portofolio, pengiriman berkas portofolio, penerimaan pengumuman hasil, penerimaan sertifikat, pengusulan tunjangan profesi, realisasi pencairan tunjangan, jadwal dan tahapan pelaksanaan sertifikasi guru, koordinasi antar unit dalam pelaksanaan sertifikasi guru, memperoleh layanan dari pihak yang terkait dengan sertifikasi guru, dan pemenuhan kuota sertifikasi guru.
Winarsih (2008) dalam penelitian berjudul "IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SERTIFIKASI GURU SEKOLAH DASAR (STUDI KASUS DI KABUPATEN SEMARANG)", hasil temuannya adalah 1) Implementasi sertifikasi guru SD di Kabupaten Semarang secara umum sudah berjalan baik, 2) Pada faktor komunikasi, sub faktor transmisi dan konsistensi informasi adalah baik. Namun dari sub faktor kejelasan ada masalah. Ketidakjelasan informasi antara lain mengenai persyaratan masa kerja guru, format portofolio dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), 3) Pada faktor sumber daya, sub faktor staf, informasi, dan wewenang, berjalan efektif. Namun sub faktor fasilitas kurang memadai. Fasilitas yang berupa sarana dan prasarana maupun anggaran khusus untuk pelaksanaan sertifikasi di Kabupaten Semarang tidak ada, 4) Pada faktor disposisi implementer termasuk baik, 5) pada faktor struktur birokrasi juga mendukung implementasi kebijakan tersebut, 6) faktor kondisi sosial ekonomi juga merupakan faktor pendukung implementasi kebijakan sertifikasi guru SD di Kabupaten Semarang.
Malem Sendah Sembiring (2010) dalam penelitian berjudul "KAJIAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM SERTIFIKASI GURU", hasil temuannya adalah 1) Implementasi kebijakan uji kompetensi guru melalui uji portofolio diragukan pengaruhnya terhadap peningkatan kompetensi guru dan mutu pembelajaran serta terdapat kecenderungan pemahaman yang keliru tentang pengertian portofolio, 2) Terdapat variasi proporsi guru yang masuk kuota untuk disertifikasi antar kabupaten/kota diperkirakan berdampak pada perbedaan kebijakan di daerah masing-masing, 3)Terindikasi adanya praktek-praktek kurang terpuji dalam proses mendapatkan dokumen yang diperlukan untuk penilaian portofolio guru, dan 4) Belum terlihat perbedaan kompetensi guru antara guru yang bersertifikat dengan yang belum bersertifikat.
Sedangkan yang menyangkut masalah pembiayaan sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi kebijakan sertifikasi guru, maka seperti yang tercantum dalam Pasal 13 UUGD dibebankan kepada pemerintah dan pemerintah daerah. Pemerintah menyiapkan dana 2,78 trilyun untuk tunjangan profesi guru, tunjangan tersebut diperuntukkan bagi 180 ribu guru yang lolos uji sertifikasi pada kuota 2007 (Muhammad Zen, 2010 : 37). Melihat kesiapan pemerintah dalam menyediakan anggaran tunjangan guru, menjadi tolok ukur pemerintah begitu serius merealisasikan program sertifikasi guru. Bagi pemerintah, memang tidak ada program lain dalam rangka meningkatkan kualitas guru, selain melalui program ini. Sebuah program yang diharapkan berimbas pada peningkatan mutu pendidikan di negeri ini.
Selanjutnya melihat dari sisi sosialisasi, Rektor Universitas Negeri Jakarta, sekaligus anggota perumus UUGD, Haris Supratno menyatakan kurangnya sosialisasi sertifikasi guru terutama berkenaan dengan cara pengisian dan penyusunan portofolio. Kurangnya sosialisasi ini mengakibatkan terjadinya banyak kesalahan pengisian portofolio yang kerapkali menjadi faktor penyebab ketidaklulusan guru dari program sertifikasi (Winarsih, 2008 : 17).
Sementara itu, yang menyangkut permasalahan, yang mengacu pada efektifitas program sertifikasi terhadap peningkatan kualitas guru. Program uji sertifikasi guru yang dilakukan melalui penilaian portofolio dirasakan kurang efektif. Oleh karena, hampir semua tim penilai sertifikasi guru yang mengadakan penilaian terhadap portofolio guru menemui banyak kejanggalan. Kejanggalan yang dimaksud adalah banyak peserta yang mencantumkan dokumen atau berkas-berkas portofolio fiktif (tidak otentik) seperti piagam, sertifikat, surat keterangan pengangkatan (SK), dan berkas rencana proses pembelajaran (Muhammad Zen, 2010 : 35). Hal ini dimungkinkan sekali, ini dikarenakan portofolio yang dibuat kurang mencerminkan kualitas guru yang sesungguhnya. Sementara tim penilai tidak memiliki kewenangan menindak setiap kecurangan.
Persoalan menjadi lebih rumit lagi dari aspek kualifikasi pendidikan guru. Hal ini antara lain disebabkan oleh tidak terpenuhinya kualitas pendidikan minimal. Oleh karena, menurut ketentuan perundang-undangan atau peraturan pemerintah menyatakan guru adalah tenaga professional. Sebagai tenaga professional, guru dipersyaratkan memiliki kualifikasi pendidikan sarjana (S-1) atau diploma empat (D-4) dalam bidang yang relevan dengan mata pelajaran yang diampunya. Menurut data dari Direktorat Tenaga Kependidikan Dikdasmen Depdiknas pada tahun 2004 menunjukkan terdapat 991.243 guru baik SD, SMP, maupun SMA tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal (Masnur Muslich, 2007 : 6).
Sebagai gambaran rinci keadaan kualifikasi pendidikan minimal guru di Indonesia sebagai berikut : untuk guru SD, yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal sebesar 391.507 orang, yang terdiri dari 378.740 berijazah SMA dan 12.767 berijazah diploma satu (D-1). Untuk guru SMP, jumlah yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal sebesar 317.112 orang, yang terdiri dari 130.753 orang berijazah diploma satu (D-1) dan 186.359 orang berijazah diploma dua (D-2). Sedangkan SMA, terdapat 87.133 orang, yang belum memiliki kualifikasi pendidikan minimal, yang terdiri dari 164 orang berijazah diploma satu (D-1), 15.589 orang berijazah diploma dua (D-2), dan 71.380 orang berijazah diploma tiga (D-3) (Masnur Muslich, 2007 : 6). Gambaran jumlah guru yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal tersebut akan semakin besar persentasenya bila melihat dari persyaratan kualifikasi pendidikan minimal guru menurut ketentuan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.s
Melihat realita tersebut, hal ini akan menimbulkan kecemburuan sosial diantara sesama guru, khususnya ditujukan bagi guru yang belum memenuhi kriteria pendidikan minimal (sebagai salah satu persyaratan mengikuti sertifikasi). Mereka tidak berkesempatan akan diundang menjadi calon peserta sertifikasi sampai kapanpun apabila PP No. 19 Tahun 2005 menjadi patokan dalam menetapkan kriteria dan persyaratan guru dalam mengikuti sertifikasi. Dengan kata lain, guru yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal kehilangan hak dan kesempatannya mendapatkan tunjangan profesi sebagai kompensasi dari sertifikasi ini.
Terlepas dari sejumlah permasalahan seputar implementasi kebijakan sertifikasi guru ini, pada hakekatnya implementasi kebijakan ini harus dilakukan dalam konteks organisasi yang menyeluruh dengan tujuan dan target yang jelas, prioritas yang jelas, serta sumber daya pendukung yang jelas pula. Kebijakan sertifikasi tidak hanya dipandang sebagai cara memberikan tunjangan profesi, tetapi sebagai upaya memotivasi guru dalam meningkatkan kualitas dirinya dan kinerjanya secara terencana, terarah dan berkesinambungan.
Apabila kinerja dan kesejahteraan guru sudah meningkat, maka mutu pendidikan juga akan meningkat pula. Inilah yang menjadi muara dari diberlakukannya kebijakan sertifikasi terhadap guru oleh pemerintah tersebut. Ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Riant Nugroho (2003 : 158) implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Demikian juga dengan implementasi kebijakan sertifikasi guru ini memiliki tujuan untuk meningkatkan mutu dan menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Dalam implementasi kebijakan sertifikasi guru ini, banyak faktor penentu keberhasilan yang harus dikaji. Dari berbagai model implementasi kebijakan yang dikemukakan beberapa ahli, ada lima faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi suatu kebijakan, yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi, struktur birokrasi dan kondisi sosial ekonomi. Kelima model ini mengadopsi dari teori implementasi kebijakan yang digagas oleh George C. Edward dan Daniel Van Meter-Carl Van Horn.
Melihat kondisi SMA di Kecamatan X, menarik dan layak untuk diteliti. Ini dikarenakan Kecamatan X, memiliki dua SMA berstatus sekolah negeri, yaitu SMAN Y dan SMAN Z, yang sebagian besar 95% gurunya berstatus sebagai pegawai negeri sipil. 
Melihat kualifikasi pendidikan guru di SMAN 1 dan SMAN 2, hanya empat orang atau 3,85% yang belum berpendidikan sarjana (S-1), sementara sembilan puluh empat orang atau 90,38% telah berpendidikan sarjana (S-1). Sedangkan empat orang atau 3,85% berpendidikan magister (S-2) dan satu orang atau 0,96% yang berpendidikan doktor (S-3) adalah kepala sekolah.
Melihat kuota guru di SMAN 1 dan SMAN 2, yang ditetapkan sebagai peserta sertifikasi dari tahun 2007 hingga 2010 menunjukkan jumlah yang semakin bertambah. Dari yang semula lima orang tahun 2007 kemudian bertambah menjadi enam puluh delapan orang di tahun 2010.
Apabila melihat data guru di SMAN 1 dan SMAN 2, maka jumlah guru yang sudah dinyatakan lulus sertifikasi dari 2007 hingga 2010 semakin bertambah jumlahnya. Dari yang semula 5 orang (2 orang melalui jalur penilaian portofolio dan 3 orang melalui jalur PLPG) di tahun 2007, sekarang sudah bertambah menjadi 68 orang (31 orang melalui jalur penilaian portofolio dan 37 melalui jalur PLPG) di tahun 2010.
Melihat sisi komunikasi, proses implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN 1 dan SMAN 2 dilakukan pada saat sosialisasi, pengumpulan berkas portofolio maupun dalam pengumuman hasil sertifikasi. Dalam proses implementasi kebijakan sertifikasi guru ini, sebelumnya diawali dengan sosialisasi yang dilakukan oleh panitia pelaksana sertifikasi guru Dinas Pendidikan kabupaten X. Dalam hal ini diwakili oleh kepala seksi kurikulum, kepala seksi tenaga dan teknis beserta staf. Strategi yang digunakan untuk memudahkan sosialisasi dari dinas, yaitu dengan mengumpulkan guru yang telah mendapat undangan sebagai peserta sertifikasi di sekolah-sekolah yang ditunjuk menjadi tempat melakukan sosialisasi.
Namun, tidak ada pos anggaran khusus dari pemerintah pusat dalam kegiatan sosialisasi tentang sertifikasi guru, akan tetapi pemerintah daerah mengalokasikan anggaran sebesar 50 juta setiap tahunnya dari APBD. Anggaran ini dialokasikan agar proses implementasi kebijakan sertifikasi guru dapat berjalan lancar. Dari empat periode pelaksanaan sertifikasi yaitu tahun 2007, 2008, 2009 dan 2010, kegiatan sosialisasi menggunakan dana rutin dari pemerintah daerah setempat. Minimnya dana dalam proses implementasi kebijakan sertifikasi guru ini, berdampak pada kegiatan sosialisasi tidak berjalan efektif. Ini mengakibatkan beberapa kesalahan dilakukan guru-guru dalam pengisian formulir dan pengumpulan berkas portofolio akibat kurang maksimalnya sosialisasi ini.
Melihat sisi sumber daya yang dimiliki Dinas Pendidikan Kabupaten X terkait dengan minimnya dana dalam implementasi kebijakan sertifikasi guru. Ini berpengaruh pada kinerja staf pelaksana sertifikasi. Pekerjaan dan jam kerja yang bertambah tanpa diimbangi dengan pemberian insentif yang sesuai juga berpotensi terhadap kurang berhasilnya implementasi sertifikasi guru SMA. Selain minimnya dana, sumber daya juga terkait dengan kemampuan para pelaksana. Selama ini kemampuan pelaksana terbatas karena pembekalan yang dilakukan hanya bersifat sosialisasi dan bukan program pelatihan tentang konsep portofolio dan teknis.
Melihat dari sisi sikap para pelaksana sertifikasi guru SMA di Kabupaten X ini sangat mendukung terhadap kebijakan tersebut. Dalam menjalankan kebijakan seperti yang diinginkan oleh pembuat kebijakan, para pelaksana kebijakan sertifikasi ini memiliki sikap atau komitmen yang baik sehingga proses implementasi kebijakan bisa berjalan cukup baik dan lancar.
Melihat dari sisi struktur birokrasi organisasi yang mengimplementasikan kebijakan ini, memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan sertifikasi. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (standard operating procedures atau SOP) yang menjadi pedoman bagi staf pelaksana dalam bekerja. SOP yang digunakan dalam pelaksanaan sertifikasi guru SMA di Kabupaten X mengacu pada buku pedoman yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional yaitu Buku 2 Pedoman Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Melalui Penilaian Portofolio.
Dalam pelaksanaan sertifikasi guru SMA di Kabupaten X dibentuk struktur organisasi pelaksana dengan mengacu pada buku pedoman. Kinerja semua komponen dalam struktur organisasi ini harus maksimal karena banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan.
Melihat dari sisi kondisi sosial maka status sosial guru SMA mampu mendukung pelaksanaan kebijakan sertifikasi guru. Para guru SMA ini banyak yang aktif menjadi pengurus kegiatan kemasyarakatan di lingkungan tempat tinggalnya maupun masyarakat guru. Misalnya menjadi pengurus RT/RW, menjadi pengurus Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) tingkat kabupaten X, dan sebagainya. Mereka merupakan kelompok intelektual pada masyarakat desa sehingga banyak terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan. Program sertifikasi bagi guru SMA ini juga memberikan harapan bagi peningkatan kesejahteraan bagi para guru yang berujung pada peningkatan kualitas pendidikan. Dengan kesejahteraan yang meningkat maka guru diharapkan akan lebih konsentrasi pada tugasnya sebagai pendidik.
Hal-hal tersebut merupakan gambaran awal dari penelitian tentang implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z. Dari Penelitian ini diharapkan akan mendapatkan gambaran menyeluruh tentang implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z. Penelitian ini akan difokuskan kepada Implementasi Kebijakan Sertifikasi Guru di SMAN Y dan SMAN Z dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

B. Perumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah, secara khusus penelitian ini akan mengarahkan rumusan permasalahan pada pertanyaan-pertanyaan di bawah ini : 
1. Bagaimana faktor komunikasi dalam implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z ?
2. Bagaimana faktor sumber daya dalam implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z sehingga dapat berjalan dengan efektif ?
3. Bagaimana faktor sikap para pelaksana dalam implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z ?
4. Bagaimana faktor struktur birokrasi organisasi pelaksana dalam implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z ?
5. Bagaimana faktor lingkungan sosial ekonomi dalam implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan fokus masalah, maka penelitian implementasi kebijakan sertifikasi guru ini bertujuan untuk : 
1. Menganalisis faktor komunikasi dalam proses implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z.
2. Menganalisis faktor sumberdaya dalam proses implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z.
3. Menganalisis faktor sikap para pelaksana dalam proses implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z.
4. Menganalisis faktor struktur birokrasi dalam proses implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z.
5. Menganalisis faktor lingkungan eksternal (sosial dan ekonomi) dalam proses implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk memperkaya kajian implementasi kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pendidikan, sehingga pada akhirnya dapat memberi sumbangan pemikiran baru untuk penelitian lanjutan dan dapat digunakan sebagai bahan perbandingan untuk penelitian sejenis.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi : 
a. Para pengambil kebijakan untuk dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran, khususnya untuk lembaga penyelenggara uji sertifikasi yaitu dinas pendidikan kabupaten X sebagai lembaga penyelenggara sertifikasi bagi guru.
b. Para guru SMAN Y dan SMAN Z untuk menyiapkan diri menghadapi sertifikasi guru dengan lebih meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi profesional, pedagogik, dan sosial.

SKRIPSI STUDI DESKRIPTIF TENTANG KINERJA GURU TK YANG TELAH MENDAPATKAN SERTIFIKASI DITINJAU DARI KOMPETENSI PEDAGOGIK, KEPRIBADIAN, PROFESIONAL DAN SOSIAL

SKRIPSI STUDI DESKRIPTIF TENTANG KINERJA GURU TK YANG TELAH MENDAPATKAN SERTIFIKASI DITINJAU DARI KOMPETENSI PEDAGOGIK, KEPRIBADIAN, PROFESIONAL DAN SOSIAL

(KODE : PG-PAUD-0059) : SKRIPSI STUDI DESKRIPTIF TENTANG KINERJA GURU TK YANG TELAH MENDAPATKAN SERTIFIKASI DITINJAU DARI KOMPETENSI PEDAGOGIK, KEPRIBADIAN, PROFESIONAL DAN SOSIAL



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru tidak hanya diwajibkan memiliki kualifikasi akademik, tetapi juga kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan kompetensi professional. Sertifikasi menjadi terobosan untuk mendongkrak mutu pendidikan dan kesejahteraan guru.
Survei yang dilaksanakan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mengenai dampak sertifikasi terhadap kinerja guru menyatakan bahwa kinerja guru yang sudah lolos sertifikasi belum memuaskan. Hal ini terlihat pada guru TK Kabupaten X yang telah mendapatkan sertifikasi bekerja dengan pola lama.
Guru TK di Kabupaten X yang telah lolos sertifikasi rentang waktu 2007 sampai dengan 2010 sebanyak 17 orang. Dari sekian guru yang telah tersertifikasi ternyata masih ada guru yang belum melaksanakan pekerjaan dengan professional. Hal ini terlihat (dari hasil pengamatan dan diskusi kecil dengan rekan-rekan guru) masih ada guru yang sering terlambat dalam menunaikan kewajibannya. Begitu juga dalam hal pelaksanaan proses pembelajaran di sekolah masih banyak guru yang asal-asalan dalam membimbing dan mengarahkan para siswanya. Pembelajaran pun masih monoton dan tidak kreatif.
Hasil survei itu memperkuat dugaan sebagian masyarakat bahwa program ini bisa berkecenderungan menjadi "proyek" formalitas. Sertifikasi guru yang berdampak pada kenaikan tunjangan ternyata belum berkorelasi positif dengan peningkatan kualitas pendidikan dan guru. Sertifikasi yang bertujuan untuk standarisasi kualitas guru berubah menjadi ajang mendapatkan kenaikan tunjangan semata, sekedar formalitas dengan menunjukkan portofolio yang mereka dapat dengan cara cepat.
Motivasi kerja yang tinggi justru ditunjukkan guru-guru di berbagai jenjang pendidikan yang belum lolos sertifikasi. Harapan mereka adalah segera lolos sertifikasi berikut memperoleh uang tunjangan profesi (http://suaraguru.wordpress.com). Hasil survei tersebut memperkuat dugaan sebagian besar masyarakat yang menyebut "proyek" program sertifikasi guru itu sekadar formalitas. Para guru yang belum tersertifikasi terlihat bekerja keras (dengan berbagai cara sampai pada cara-cara instan) demi mendapatkan sertifikasi guru. Lebih dari itu, tujuan lainnya adalah memperoleh tunjangan profesi yang jumlahnya lumayan besar.
Kerja keras guru tersebut ternyata hanya berlaku saat akan mengikuti sertifikasi. Tapi, pasca sertifikasi, kemampuan dan kualitas guru sama saja. Dengan kata lain, ada atau tanpa sertifikasi, kondisi dan kemampuan guru sami mawon atau sama saja. Tidak ada perubahan dan peningkatan signifikan pada kualitas diri dan pembelajaran di sekolah. Mengapa itu terjadi ?
Jika merujuk pedoman yang dikeluarkan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), sertifikasi merupakan upaya peningkatan kualitas guru yang dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan mereka. Diharapkan, program itu meningkatkan mutu pembelajaran dan pendidikan di Indonesia secara berkelanjutan. Bentuk peningkatan kesejahteraan tersebut berupa pemberian tunjangan profesi (TP) sebesar satu kali gaji pokok bagi guru yang memiliki sertifikat pendidik. Tunjangan itu berlaku bagi guru yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) maupun yang bukan atau non-PNS.
Namun, ada beberapa catatan kritis yang perlu terus dikemukakan sebagai pengingat. Pertama, sertifikasi berpotensi menjadi komersialisasi sertifikat. Para guru hanya berorientasi pada selembar sertifikat/portofolio. Bahkan, para guru berani membayar berapa pun untuk ikut kegiatan seminar atau workshop pendidikan, meski hasilnya tak sesuai dengan harapan. Tujuan asasi sertifikasi, yakni meningkatkan kualitas dan kompetensi guru, akhirnya memudar.
Kedua, bermunculan berbagai lembaga penyedia jasa seminar atau workshop awu-awu. Mereka mencari para guru yang "gila" akan sertifikat sebagai lampiran dalam portofolio. Bahkan, tidak sedikit lembaga penyedia sertifikasi instan yang memanfaatkan antusiasme guru yang berorientasi pada selembar sertifikat. Tapi, kegiatan riil nya tidak jelas. Makelar-makelar pendidikan pun tumbuh subur di tengah kebutuhan para guru mendapatkan sertifikat atau portofolio. Kegiatan yang dilakukan penyedia jasa tersebut hanya formalitas, bahkan berorientasi materi. Bagi penyelenggara, yang penting dapat memberikan sertifikat yang dibutuhkan para guru.
Ketiga, selama ini sertifikasi guru hanya didominasi dan dimonopoli guru PNS. Sedangkan guru swasta cenderung dianaktirikan. Seharusnya, pemerintah bersikap adil dan tidak diskriminatif dalam kebijakan sertifikasi. Guru swasta mempunyai hak sama untuk mendapatkan sertifikasi guna meningkatkan kualitas dan kompetensi, juga tunjangan.
Keempat, ternyata kebijakan sertifikasi bagi guru cenderung berorientasi pada harapan kenaikan tunjangan, bahkan sekadar formalitas yang ditunjukkan dengan sebuah portofolio. Kadang portofolio itu juga bermasalah dalam pengajuannya (manipulasi dan instanisasi). Portofolio bisa saja dipermainkan oleh guru yang hanya mengejar kenaikan tunjangan. Dengan begitu, tujuan awal sertifikasi, yaitu menghasilkan standardisasi dan kualifikasi guru yang kapabel dan kredibel, pudar. Penilaian terhadap kualitas dan kompetensi guru yang diwujudkan dalam portofolio tersebut berpotensi subjektif.
Kelima, sertifikasi guru yang berdampak pada kenaikan tunjangan ternyata belum berkorelasi positif dengan peningkatan kualitas pendidikan dan guru. Sertifikasi yang bertujuan standardisasi kualitas guru berubah menjadi ajang mendapatkan kenaikan tunjangan saja. Sudah beberapa kali gaji tunjangan guru dinaikkan, tapi hasil dan kinerja mereka masih rendah saja. Uang miliaran rupiah yang dikeluarkan untuk program sertifikasi itu bisa sia-sia karena tak berbekas pada peningkatan kualitas pendidik dan pengajaran.
Berdasar data Depdiknas, sampai 2010 sudah ada sekitar 400.450 guru yang masuk program sertifikasi. Di antara jumlah tersebut, yang sudah dinyatakan lulus 361.460 guru. TP tidak serta-merta bisa dimiliki semua guru. Meski, pemberian TP tidak dihentikan -dalam hal ini Depdiknas berencana tetap mengevaluasi secara ketat program tersebut. Tahun ini Depdiknas bakal mengeluarkan standar operasional prosedur (SOP) yang digunakan untuk memantau kinerja guru seiring dengan dilaksanakannya sertifikasi (http://suaraguru.wordpress.com).
Dalam implementasinya, dinas pendidikan kabupaten/kota bertanggung jawab penuh dan akan langsung memantau kinerja peserta sertifikasi. Jika memang guru tak memenuhi kewajiban, TP bisa dihentikan. Selain itu, bila dalam pemantauan guru tersertifikasi memiliki kinerja rendah, tidak tertutup kemungkinan TP-nya dihentikan. Dengan kata lain, TP bakal terus diberikan kepada guru tersertifikasi dengan kinerja yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Sekjen Depdiknas Dodi Nandika, nanti TP diberikan berdasar kinerja (http://suaraguru.wordpress.com).
Akhirnya, dinas pendidikan didorong untuk memperbaiki dengan lebih maksimal agar program sertifikasi mampu melahirkan kualitas dan profesionalitas guru yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas pendidikan, tak sekadar guru memperoleh tunjangan materi.
Kebijakan dan program sertifikasi guru itu perlu diawasi lebih ketat agar tidak menjadi formalisme atau sekadar ajang mendapatkan TP. Apalagi, terjadi manipulasi dokumen ataupun portofolio. Karena itu, para guru yang telah mendapatkan sertifikasi perlu dipantau terus-menerus, apakah memiliki kapasitas dan kompetensi yang sebenarnya dalam mengajar. Yang lebih penting lagi adalah peningkatan nilai produktivitas guru dalam mengajar dan berkarya sehingga sertifikasi benar-benar berdampak pada peningkatan kualitas guru dan pendidikan (http://suaraguru.wordpress.com).
Ada satu hal yang mungkin terabaikan-untuk tidak mengatakan terlupakan-pasca sertifikasi. Entah disadari atau tidak yang jelas bahwa proses ini sangat penting untuk keberlanjutan dan keberlangsungan profesionalitas masing-masing guru. Proses itu bernama evaluasi kinerja pasca guru disertifikasi.
Penulis menganggap bahwa sertifikasi bukanlah akhir dari pencapaian tertinggi seorang guru dalam pengajarannya. Ia hanyalah sarana bagi guru agar senantiasa secara konsisten menjaga dan meningkatkan kecakapan seorang pendidik, dan pemerintah memberi maslahat tambahan berupa penghasilan di atas rata-rata.
Bolehlah ini disebut penghargaan atas jasa-jasa seorang guru, namun itu saja tidak cukup karena jika kita kembali pada konsep awal mengenai sertifikasi, kita mesti tahu bahwa hal ini dimaksudkan agar guru bisa tenang dan profesional dalam proses transfer of knowledge dan pemahaman moralitas bagi anak-anak didiknya. Karena boleh jadi, bagi sebagian guru, sertifikasi adalah garis finis sehingga tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas personal masing-masing guru setelahnya.
Sertifikasi bukan hadiah, ia adalah penghargaan atas integritas kedirian seorang pendidik, dan ada tanggung jawab moral untuk memacu diri pasca sertifikasi. Sebagai penutup ada baiknya dicamkan perkataan Vina Barr, seorang guru teladan di Florida yang berucap "Kami bukan hanya guru, kami adalah seniman pendidikan, kami melukis pikiran orang-orang muda" (http://edukasi.kompasiana.com).
Dari berbagai uraian diatas, penulis termotivasi untuk melakukan penelitian, untuk mengetahui kompetensi kinerja guru TK yang telah mendapatkan sertifikasi di Kabupaten X, khususnya pada proses kegiatan belajar mengajar.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pada latar belakang diatas, maka dapat diidentifikasikan sebagai berikut : 
1. Masih terdapatnya persoalan dimana kinerja guru yang telah mendapatkan sertifikasi dalam perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran,
evaluasi pembelajaran, serta kinerja guru dalam disiplin tugas belum optimal.
2. Rendahnya kinerja yang dimiliki para guru yang telah mendapatkan sertifikasi sehingga loyalitas kerja guru kurang memuaskan. 

C. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan tidak terlalu luas, maka perlu adanya pembatasan masalah. Untuk itu penulis membatasi masalah pada kinerja guru ditinjau dari kompetensi guru, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi professional, kompetensi sosial.

D. Rumusan Masalah
Dari pembatasan masalah di atas, penulis menganggap perlu adanya perumusan masalah agar pembahasannya terarah dan tidak meluas. Dengan demikian perumusan masalahnya adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana Kinerja Guru TK Di Kabupaten X yang telah tersertifikasi ?
2. Bagaimana Kompetensi Guru TK Di Kabupaten X yang telah tersertifikasi ?

E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang ada maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja guru TK yang telah mendapatkan ditinjau dari kompetensi di Kabupaten X.

F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini akan mengungkapkan bagaimana kinerja guru TK yang telah tersertifikasi di Kabupaten X. Adapun hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi : 
1. Universitas Negeri X, khususnya program Sarjana, Fakultas Ilmu Pendidikan Jurusan Pendidikan Guru PAUD sebagai wujud pelaksanaan dari salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan.
2. Sebagai langkah terapan dari ilmu yang diperoleh peneliti dari bangku kuliah, untuk dijadikan masukan dalam menyelesaikan skripsi. 
3. Pemerintah, hasil penelitian ini akan memberikan masukan pada pemerintah untuk lebih memperhatikan dan meningkatkan kualitas kebijakannya.
4. Hasil penelitian diharapkan dapat dipergunakan sebagai masukan, sehingga dapat membantu guru dalam melangsungkan pelaksanaan kebijakan sertifikasi.