Search This Blog

TESIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SERTIFIKASI GURU PADA SMA NEGERI

(KODE : PASCSARJ-0282) : TESIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SERTIFIKASI GURU PADA SMA NEGERI (PROGRAM STUDI : ADMINISTRASI PUBLIK)



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Isu penting dunia pendidikan, setelah pengesahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada Desember 2005 adalah masalah sertifikasi guru. Hal ini dimaklumi oleh para praktisi pendidikan, seperti guru dan kepala sekolah. Oleh karena, sertifikasi guru merupakan fenomena baru di negeri ini. Sertifikasi guru juga menyangkut nasib dan masa depan guru. Apalagi di era modern sekarang ini, guru merupakan sebuah profesi. Profesi guru kedudukannya sejajar dengan profesi lain, misalnya profesi pengacara, notaries, dokter, atau akuntan.
Menurut Muhammad Zen, bahwa pemerintah melakukan sertifikasi guru, salah satu alasannya adalah mengangkat nasib guru dan pengakuan profesi guru disejajarkan dengan profesi bergengsi lainnya sebagai tenaga professional (Muhammad Zen, 2010 : 20). Karena guru adalah sebuah profesi maka perlu adanya proses pembuktian tentang profesionalitas dari yang bersangkutan.
Sehubungan hal tersebut, maka pemahaman mengenai sertifikasi guru harus tersampaikan dengan benar dan dipahami secara baik oleh semua pihak, khususnya pemegang pelaksana kebijakan di lapangan. Para guru pun menyesuaikan hal tersebut. Ini dimaksudkan, agar isi kebijakan sertifikasi guru tidak dipandang secara keliru. Apabila tiba waktunya diberlakukan kebijakan tersebut, maka para pelaksana kebijakan dapat menjalankan perannya sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku. Guru pun harus menyiapkan dirinya secara baik. Mereka mencari sebanyak mungkin informasi (mengupdate) tentang sertifikasi. Agar makna dari kebijakan sertifikasi guru tidak salah penafsiran, tetapi disikapi secara benar.
Oleh karena, berbagai interpretasi mengenai sertifikasi bagi guru masih dimaknai secara keliru. Sebagian guru memahami sertifikasi, yaitu guru yang mempunyai pendidikan sarjana kependidikan secara otomatis sudah bersertifikasi.
Sebagian guru lain memahami sertifikasi bagi guru itu, yaitu guru yang telah menempuh pendidikan khusus, yang dilakukan oleh Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), yang ditunjuk oleh pemerintah (Masnur Musnich, 2007 : 1).
Untuk memahami pengertian sertifikasi secara jelas dan utuh, maka dapat menyimak dari kutipan beberapa pasal dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen atau UUGD sebagai berikut
• Pasal 1 butir 11 : Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru dan dosen.
• Pasal 8 : Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional
• Pasal 11 butir 1 : Sertifikat pendidik sebagaimana dalam Pasal 8 diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan.
• Pasal 16 : Guru yang memiliki sertifikat pendidik memperoleh tunjangan profesi sebesar satu kali gaji, guru negeri maupun swasta dibayar pemerintah.
Dari kutipan tersebut dapat dipahami bahwa sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru yang telah memenuhi persyaratan tertentu, yaitu memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yang dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan yang layak.
Singkat kata, dengan lahirnya UUGD mengindikasikan upaya pemerintah dalam mengangkat mutu guru semakin tampak. Kompetensi guru menjadi dasar utama melihat mutu guru. Hal ini terkait profesinya (sebagai pendidik dan pengajar). Dengan demikian, konsep kompetensi menjadi penting sekali. Ini berkenaan dengan kompensasi sertifikasi yang dijanjikan oleh pemerintah, bahwa kesejahteraan guru akan meningkat seiring dengan kompetensi yang dimilikinya.
Banyak fenomena yang berkenaan dengan implementasi kebijakan sertifikasi guru yang menarik perhatian. Seperti yang dikutip Harian Kompas 7 Februari 2007 bahwa pimpinan sejumlah LPTK pesimistik dengan sertifikasi menjamin peningkatan kualitas guru. Hal ini disebabkan kebijakan sertifikasi guru yang pada dasarnya memiliki tujuan untuk memberdayakan profesi guru melalui kualifikasi akademik dan kompetensi, ternyata memicu pihak-pihak yang berkepentingan untuk melakukan sertifikasi massal. Jika bersifat massal, maka ini berdampak pada kualitas. Yang pada akhirnya, sertifikasi tidak lebih dari formalitas belaka dan tidak menyentuh substansi.
Sedangkan Muhammad Zen dalam bukunya yang berjudul "KIAT SUKSES MENGIKUTI SERTIFIKASI GURU" mengemukakan bahwa program sertifikasi guru cukup kental dengan pemalsuan dokumen. Dokumen yang dipalsukan, yaitu dokumen berkas-berkas portofolio yang dikumpulkan guru ketika mengikuti sertifikasi seperti modul pembelajaran, lokakarya, seminar, pelatihan, dan kegiatan sosial dan pengabdian masyarakat yang tidak otentik. Merebaknya pemalsuan ini memang memungkinkan, mengingat berkas yang dikumpulkan adalah dalam bentuk fotokopi bukan berkas yang asli (Muhammad Zen, 2010 : 35).
Hastuti dan kawan-kawan (2010) dalam penelitian berjudul "PELAKSANAAN SERTIFIKASI GURU DALAM JABATAN 2007 : STUDI KASUS DI PROVINSI JAMBI, JAWA BARAT, DAN KALIMANTAN BARAT”, hasil temuannya adalah pertama, umumnya informan kurang meyakini program sertifikasi guru yang sekarang dilaksanakan akan berpengaruh pada peningkatan kualitas guru dan pendidikan secara umum. Oleh karena, mekanismenya tidak dirancang untuk menjaring atau mengidentifikasi guru-guru terbaik yang diharapkan akan mampu meningkatkan mutu pendidikan. Terlebih lagi, dalam pembuatan portofolio banyak ditemui penyimpangan sehingga portofolio yang dibuat kurang mencerminkan kualitas guru yang sebenarnya. Kedua, informan berpendapat program sertifikasi sebagaimana yang diterapkan saat ini tidak memiliki paradigma yang jelas. Apabila sertifikasi adalah untuk meningkatkan kesejahteraan guru, maka mekanismenya dirancang lebih sederhana dan tidak menyulitkan guru. Sebaliknya, apabila sertifikasi adalah untuk meningkatkan kualitas guru, maka mekanisme yang dianggap cocok untuk meningkatkan kemampuan guru adalah melalui pendidikan dan pelatihan yang intensif. Diklat profesi guru pada program sertifikasi saat ini sudah dinilai bagus, namun hanya mampu "menyegarkan" pengetahuan guru, bukan meningkatkan.
Oktora Melansari (2010) dalam tesis berjudul "ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SERTIFIKASI GURU PADA SEKOLAH DASAR NEGERI DI KECAMATAN CIPAYUNG KOTA JAKARTA TIMUR", hasil temuannya adalah sertifikasi sebagian besar hanya dianggap oleh guru untuk meningkatkan kesejahteraan saja daripada meningkatkan kualitas guru. Hal ini berkenaan dengan kurang jelasnya mengenai isi kebijakan sertifikasi guru dalam buku pedoman maupun sosialisasi.
Bambang Raharjo (2009) dalam penelitian berjudul "DAMPAK KEBIJAKAN AKREDITASI SEKOLAH DAN SERTIFIKASI GURU TERHADAP PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN DI KABUPATEN BANYUMAS, PROVINSI JAWA TENGAH", hasil temuannya adalah pertama, proses sertifikasi guru dan koordinasi antar unit, kemudahan untuk member dan memperoleh layanan, telah dilaksanakan meskipun belum semuanya memuaskan peserta sertifikasi guru. Yang kedua, ditemukan sejumlah permasalahan sertifikasi guru seperti penetapan peserta sertifikasi guru, workshop penyusunan portofolio, kesiapan peserta sertifikasi guru, penyusunan portofolio, pengiriman berkas portofolio, penerimaan pengumuman hasil, penerimaan sertifikat, pengusulan tunjangan profesi, realisasi pencairan tunjangan, jadwal dan tahapan pelaksanaan sertifikasi guru, koordinasi antar unit dalam pelaksanaan sertifikasi guru, memperoleh layanan dari pihak yang terkait dengan sertifikasi guru, dan pemenuhan kuota sertifikasi guru.
Winarsih (2008) dalam penelitian berjudul "IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SERTIFIKASI GURU SEKOLAH DASAR (STUDI KASUS DI KABUPATEN SEMARANG)", hasil temuannya adalah 1) Implementasi sertifikasi guru SD di Kabupaten Semarang secara umum sudah berjalan baik, 2) Pada faktor komunikasi, sub faktor transmisi dan konsistensi informasi adalah baik. Namun dari sub faktor kejelasan ada masalah. Ketidakjelasan informasi antara lain mengenai persyaratan masa kerja guru, format portofolio dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), 3) Pada faktor sumber daya, sub faktor staf, informasi, dan wewenang, berjalan efektif. Namun sub faktor fasilitas kurang memadai. Fasilitas yang berupa sarana dan prasarana maupun anggaran khusus untuk pelaksanaan sertifikasi di Kabupaten Semarang tidak ada, 4) Pada faktor disposisi implementer termasuk baik, 5) pada faktor struktur birokrasi juga mendukung implementasi kebijakan tersebut, 6) faktor kondisi sosial ekonomi juga merupakan faktor pendukung implementasi kebijakan sertifikasi guru SD di Kabupaten Semarang.
Malem Sendah Sembiring (2010) dalam penelitian berjudul "KAJIAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM SERTIFIKASI GURU", hasil temuannya adalah 1) Implementasi kebijakan uji kompetensi guru melalui uji portofolio diragukan pengaruhnya terhadap peningkatan kompetensi guru dan mutu pembelajaran serta terdapat kecenderungan pemahaman yang keliru tentang pengertian portofolio, 2) Terdapat variasi proporsi guru yang masuk kuota untuk disertifikasi antar kabupaten/kota diperkirakan berdampak pada perbedaan kebijakan di daerah masing-masing, 3)Terindikasi adanya praktek-praktek kurang terpuji dalam proses mendapatkan dokumen yang diperlukan untuk penilaian portofolio guru, dan 4) Belum terlihat perbedaan kompetensi guru antara guru yang bersertifikat dengan yang belum bersertifikat.
Sedangkan yang menyangkut masalah pembiayaan sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi kebijakan sertifikasi guru, maka seperti yang tercantum dalam Pasal 13 UUGD dibebankan kepada pemerintah dan pemerintah daerah. Pemerintah menyiapkan dana 2,78 trilyun untuk tunjangan profesi guru, tunjangan tersebut diperuntukkan bagi 180 ribu guru yang lolos uji sertifikasi pada kuota 2007 (Muhammad Zen, 2010 : 37). Melihat kesiapan pemerintah dalam menyediakan anggaran tunjangan guru, menjadi tolok ukur pemerintah begitu serius merealisasikan program sertifikasi guru. Bagi pemerintah, memang tidak ada program lain dalam rangka meningkatkan kualitas guru, selain melalui program ini. Sebuah program yang diharapkan berimbas pada peningkatan mutu pendidikan di negeri ini.
Selanjutnya melihat dari sisi sosialisasi, Rektor Universitas Negeri Jakarta, sekaligus anggota perumus UUGD, Haris Supratno menyatakan kurangnya sosialisasi sertifikasi guru terutama berkenaan dengan cara pengisian dan penyusunan portofolio. Kurangnya sosialisasi ini mengakibatkan terjadinya banyak kesalahan pengisian portofolio yang kerapkali menjadi faktor penyebab ketidaklulusan guru dari program sertifikasi (Winarsih, 2008 : 17).
Sementara itu, yang menyangkut permasalahan, yang mengacu pada efektifitas program sertifikasi terhadap peningkatan kualitas guru. Program uji sertifikasi guru yang dilakukan melalui penilaian portofolio dirasakan kurang efektif. Oleh karena, hampir semua tim penilai sertifikasi guru yang mengadakan penilaian terhadap portofolio guru menemui banyak kejanggalan. Kejanggalan yang dimaksud adalah banyak peserta yang mencantumkan dokumen atau berkas-berkas portofolio fiktif (tidak otentik) seperti piagam, sertifikat, surat keterangan pengangkatan (SK), dan berkas rencana proses pembelajaran (Muhammad Zen, 2010 : 35). Hal ini dimungkinkan sekali, ini dikarenakan portofolio yang dibuat kurang mencerminkan kualitas guru yang sesungguhnya. Sementara tim penilai tidak memiliki kewenangan menindak setiap kecurangan.
Persoalan menjadi lebih rumit lagi dari aspek kualifikasi pendidikan guru. Hal ini antara lain disebabkan oleh tidak terpenuhinya kualitas pendidikan minimal. Oleh karena, menurut ketentuan perundang-undangan atau peraturan pemerintah menyatakan guru adalah tenaga professional. Sebagai tenaga professional, guru dipersyaratkan memiliki kualifikasi pendidikan sarjana (S-1) atau diploma empat (D-4) dalam bidang yang relevan dengan mata pelajaran yang diampunya. Menurut data dari Direktorat Tenaga Kependidikan Dikdasmen Depdiknas pada tahun 2004 menunjukkan terdapat 991.243 guru baik SD, SMP, maupun SMA tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal (Masnur Muslich, 2007 : 6).
Sebagai gambaran rinci keadaan kualifikasi pendidikan minimal guru di Indonesia sebagai berikut : untuk guru SD, yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal sebesar 391.507 orang, yang terdiri dari 378.740 berijazah SMA dan 12.767 berijazah diploma satu (D-1). Untuk guru SMP, jumlah yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal sebesar 317.112 orang, yang terdiri dari 130.753 orang berijazah diploma satu (D-1) dan 186.359 orang berijazah diploma dua (D-2). Sedangkan SMA, terdapat 87.133 orang, yang belum memiliki kualifikasi pendidikan minimal, yang terdiri dari 164 orang berijazah diploma satu (D-1), 15.589 orang berijazah diploma dua (D-2), dan 71.380 orang berijazah diploma tiga (D-3) (Masnur Muslich, 2007 : 6). Gambaran jumlah guru yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal tersebut akan semakin besar persentasenya bila melihat dari persyaratan kualifikasi pendidikan minimal guru menurut ketentuan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.s
Melihat realita tersebut, hal ini akan menimbulkan kecemburuan sosial diantara sesama guru, khususnya ditujukan bagi guru yang belum memenuhi kriteria pendidikan minimal (sebagai salah satu persyaratan mengikuti sertifikasi). Mereka tidak berkesempatan akan diundang menjadi calon peserta sertifikasi sampai kapanpun apabila PP No. 19 Tahun 2005 menjadi patokan dalam menetapkan kriteria dan persyaratan guru dalam mengikuti sertifikasi. Dengan kata lain, guru yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan minimal kehilangan hak dan kesempatannya mendapatkan tunjangan profesi sebagai kompensasi dari sertifikasi ini.
Terlepas dari sejumlah permasalahan seputar implementasi kebijakan sertifikasi guru ini, pada hakekatnya implementasi kebijakan ini harus dilakukan dalam konteks organisasi yang menyeluruh dengan tujuan dan target yang jelas, prioritas yang jelas, serta sumber daya pendukung yang jelas pula. Kebijakan sertifikasi tidak hanya dipandang sebagai cara memberikan tunjangan profesi, tetapi sebagai upaya memotivasi guru dalam meningkatkan kualitas dirinya dan kinerjanya secara terencana, terarah dan berkesinambungan.
Apabila kinerja dan kesejahteraan guru sudah meningkat, maka mutu pendidikan juga akan meningkat pula. Inilah yang menjadi muara dari diberlakukannya kebijakan sertifikasi terhadap guru oleh pemerintah tersebut. Ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Riant Nugroho (2003 : 158) implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Demikian juga dengan implementasi kebijakan sertifikasi guru ini memiliki tujuan untuk meningkatkan mutu dan menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Dalam implementasi kebijakan sertifikasi guru ini, banyak faktor penentu keberhasilan yang harus dikaji. Dari berbagai model implementasi kebijakan yang dikemukakan beberapa ahli, ada lima faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi suatu kebijakan, yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi, struktur birokrasi dan kondisi sosial ekonomi. Kelima model ini mengadopsi dari teori implementasi kebijakan yang digagas oleh George C. Edward dan Daniel Van Meter-Carl Van Horn.
Melihat kondisi SMA di Kecamatan X, menarik dan layak untuk diteliti. Ini dikarenakan Kecamatan X, memiliki dua SMA berstatus sekolah negeri, yaitu SMAN Y dan SMAN Z, yang sebagian besar 95% gurunya berstatus sebagai pegawai negeri sipil. 
Melihat kualifikasi pendidikan guru di SMAN 1 dan SMAN 2, hanya empat orang atau 3,85% yang belum berpendidikan sarjana (S-1), sementara sembilan puluh empat orang atau 90,38% telah berpendidikan sarjana (S-1). Sedangkan empat orang atau 3,85% berpendidikan magister (S-2) dan satu orang atau 0,96% yang berpendidikan doktor (S-3) adalah kepala sekolah.
Melihat kuota guru di SMAN 1 dan SMAN 2, yang ditetapkan sebagai peserta sertifikasi dari tahun 2007 hingga 2010 menunjukkan jumlah yang semakin bertambah. Dari yang semula lima orang tahun 2007 kemudian bertambah menjadi enam puluh delapan orang di tahun 2010.
Apabila melihat data guru di SMAN 1 dan SMAN 2, maka jumlah guru yang sudah dinyatakan lulus sertifikasi dari 2007 hingga 2010 semakin bertambah jumlahnya. Dari yang semula 5 orang (2 orang melalui jalur penilaian portofolio dan 3 orang melalui jalur PLPG) di tahun 2007, sekarang sudah bertambah menjadi 68 orang (31 orang melalui jalur penilaian portofolio dan 37 melalui jalur PLPG) di tahun 2010.
Melihat sisi komunikasi, proses implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN 1 dan SMAN 2 dilakukan pada saat sosialisasi, pengumpulan berkas portofolio maupun dalam pengumuman hasil sertifikasi. Dalam proses implementasi kebijakan sertifikasi guru ini, sebelumnya diawali dengan sosialisasi yang dilakukan oleh panitia pelaksana sertifikasi guru Dinas Pendidikan kabupaten X. Dalam hal ini diwakili oleh kepala seksi kurikulum, kepala seksi tenaga dan teknis beserta staf. Strategi yang digunakan untuk memudahkan sosialisasi dari dinas, yaitu dengan mengumpulkan guru yang telah mendapat undangan sebagai peserta sertifikasi di sekolah-sekolah yang ditunjuk menjadi tempat melakukan sosialisasi.
Namun, tidak ada pos anggaran khusus dari pemerintah pusat dalam kegiatan sosialisasi tentang sertifikasi guru, akan tetapi pemerintah daerah mengalokasikan anggaran sebesar 50 juta setiap tahunnya dari APBD. Anggaran ini dialokasikan agar proses implementasi kebijakan sertifikasi guru dapat berjalan lancar. Dari empat periode pelaksanaan sertifikasi yaitu tahun 2007, 2008, 2009 dan 2010, kegiatan sosialisasi menggunakan dana rutin dari pemerintah daerah setempat. Minimnya dana dalam proses implementasi kebijakan sertifikasi guru ini, berdampak pada kegiatan sosialisasi tidak berjalan efektif. Ini mengakibatkan beberapa kesalahan dilakukan guru-guru dalam pengisian formulir dan pengumpulan berkas portofolio akibat kurang maksimalnya sosialisasi ini.
Melihat sisi sumber daya yang dimiliki Dinas Pendidikan Kabupaten X terkait dengan minimnya dana dalam implementasi kebijakan sertifikasi guru. Ini berpengaruh pada kinerja staf pelaksana sertifikasi. Pekerjaan dan jam kerja yang bertambah tanpa diimbangi dengan pemberian insentif yang sesuai juga berpotensi terhadap kurang berhasilnya implementasi sertifikasi guru SMA. Selain minimnya dana, sumber daya juga terkait dengan kemampuan para pelaksana. Selama ini kemampuan pelaksana terbatas karena pembekalan yang dilakukan hanya bersifat sosialisasi dan bukan program pelatihan tentang konsep portofolio dan teknis.
Melihat dari sisi sikap para pelaksana sertifikasi guru SMA di Kabupaten X ini sangat mendukung terhadap kebijakan tersebut. Dalam menjalankan kebijakan seperti yang diinginkan oleh pembuat kebijakan, para pelaksana kebijakan sertifikasi ini memiliki sikap atau komitmen yang baik sehingga proses implementasi kebijakan bisa berjalan cukup baik dan lancar.
Melihat dari sisi struktur birokrasi organisasi yang mengimplementasikan kebijakan ini, memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan sertifikasi. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (standard operating procedures atau SOP) yang menjadi pedoman bagi staf pelaksana dalam bekerja. SOP yang digunakan dalam pelaksanaan sertifikasi guru SMA di Kabupaten X mengacu pada buku pedoman yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional yaitu Buku 2 Pedoman Sertifikasi Guru Dalam Jabatan Melalui Penilaian Portofolio.
Dalam pelaksanaan sertifikasi guru SMA di Kabupaten X dibentuk struktur organisasi pelaksana dengan mengacu pada buku pedoman. Kinerja semua komponen dalam struktur organisasi ini harus maksimal karena banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan.
Melihat dari sisi kondisi sosial maka status sosial guru SMA mampu mendukung pelaksanaan kebijakan sertifikasi guru. Para guru SMA ini banyak yang aktif menjadi pengurus kegiatan kemasyarakatan di lingkungan tempat tinggalnya maupun masyarakat guru. Misalnya menjadi pengurus RT/RW, menjadi pengurus Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) tingkat kabupaten X, dan sebagainya. Mereka merupakan kelompok intelektual pada masyarakat desa sehingga banyak terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan. Program sertifikasi bagi guru SMA ini juga memberikan harapan bagi peningkatan kesejahteraan bagi para guru yang berujung pada peningkatan kualitas pendidikan. Dengan kesejahteraan yang meningkat maka guru diharapkan akan lebih konsentrasi pada tugasnya sebagai pendidik.
Hal-hal tersebut merupakan gambaran awal dari penelitian tentang implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z. Dari Penelitian ini diharapkan akan mendapatkan gambaran menyeluruh tentang implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z. Penelitian ini akan difokuskan kepada Implementasi Kebijakan Sertifikasi Guru di SMAN Y dan SMAN Z dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

B. Perumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah, secara khusus penelitian ini akan mengarahkan rumusan permasalahan pada pertanyaan-pertanyaan di bawah ini : 
1. Bagaimana faktor komunikasi dalam implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z ?
2. Bagaimana faktor sumber daya dalam implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z sehingga dapat berjalan dengan efektif ?
3. Bagaimana faktor sikap para pelaksana dalam implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z ?
4. Bagaimana faktor struktur birokrasi organisasi pelaksana dalam implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z ?
5. Bagaimana faktor lingkungan sosial ekonomi dalam implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan fokus masalah, maka penelitian implementasi kebijakan sertifikasi guru ini bertujuan untuk : 
1. Menganalisis faktor komunikasi dalam proses implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z.
2. Menganalisis faktor sumberdaya dalam proses implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z.
3. Menganalisis faktor sikap para pelaksana dalam proses implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z.
4. Menganalisis faktor struktur birokrasi dalam proses implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z.
5. Menganalisis faktor lingkungan eksternal (sosial dan ekonomi) dalam proses implementasi kebijakan sertifikasi guru di SMAN Y dan SMAN Z.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk memperkaya kajian implementasi kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pendidikan, sehingga pada akhirnya dapat memberi sumbangan pemikiran baru untuk penelitian lanjutan dan dapat digunakan sebagai bahan perbandingan untuk penelitian sejenis.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi : 
a. Para pengambil kebijakan untuk dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran, khususnya untuk lembaga penyelenggara uji sertifikasi yaitu dinas pendidikan kabupaten X sebagai lembaga penyelenggara sertifikasi bagi guru.
b. Para guru SMAN Y dan SMAN Z untuk menyiapkan diri menghadapi sertifikasi guru dengan lebih meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi profesional, pedagogik, dan sosial.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »