Search This Blog

TESIS INTERFERENSI DAN SIKAP BAHASA ASING DALAM PENULISAN NAMA BADAN USAHA SWASTA

TESIS INTERFERENSI DAN SIKAP BAHASA ASING DALAM PENULISAN NAMA BADAN USAHA SWASTA

(KODE : PASCSARJ-1155) : TESIS INTERFERENSI DAN SIKAP BAHASA ASING DALAM PENULISAN NAMA BADAN USAHA SWASTA (PROGRAM STUDI : LINGUISTIK)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan masyarakat dapat mempengaruhi perubahan bahasa. Era globalisasi merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya perubahan bahasa. Mudahnya informasi yang diperoleh, baik melalui media cetak, elektronik, maupun interaksi sosial dapat menyebabkan terjadinya perubahan bahasa. Adanya kontak antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain dapat memungkinkan terjadinya interferensi bahasa. Dengan demikian, salah satu perubahan bahasa adalah adanya interferensi bahasa.
Sejalan dengan itu, Alwasilah (1985:132) mengatakan bahwa setiap bahasa akan mengalami perubahan selama bahasa itu masih dipakai. Seringkali perubahan ini tidak kita sadari. Salah satu faktor yang mengakibatkan terjadinya perubahan bahasa karena pengaruh pemakaian bahasa lain. Hal ini sesuai dengan makna interferensi yang berarti adanya saling mempengaruhi antar bahasa. Pengaruh ini biasanya terlihat dalam peminjaman kosa kata dari bahasa lain.
Zabadi (2009:2) dalam makalahnya yang disampaikan pada Seminar Nasional di Hotel Grand Antares X, menyatakan masyarakat Indonesia yang berada dalam situasi kedwibahasaan sehingga memungkinkan terjadinya alih kode (code-switching), campur code (code-mixing), atau interferensi (interference). Di dalam keadaan seperti inilah bahasa Indonesia yang mereka pakai sering tidak lagi baik dan benar berdasarkan ukuran pemakaian kaidah bahasa Indonesia. Gejala ini menyebabkan perubahan situasi tindak tutur dari penggunaan bahasa daerah ke nasional, nasional ke daerah, nasional ke asing, atau asing ke nasional.
Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku dan bangsa sehingga mengakibatkan adanya multibahasa. Di samping itu bangsa Indonesia tergolong bangsa yang terbuka terhadap pengaruh budaya bangsa asing. Adanya multibahasa bahasa dan pengaruh budaya bangsa asing dapat mengakibatkan kontak bahasa antara bahasa yang satu dengan bahasa lain sehingga tidak terelakkan terjadi interferensi bahasa.
Kota X merupakan kota besar yang tidak menutup kemungkinan terjadinya interferensi bahasa. Masyarakat Kota X termasuk masyarakat bilingual dan multilingual yang dapat mengakibatkan adanya interferensi bahasa. Di dalam pengamatan sepintas ada kecenderungan masyarakat kota besar, termasuk Kota X, menggunakan bahasa asing, baik dalam bahasa lisan maupun tulisan. Begitu pula halnya interferensi bahasa tidak hanya terjadi pada bahasa lisan tetapi bahasa tulisan. Tidak dapat dipungkiri bahwa interferensi bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia sangatlah tinggi, baik pada tataran fonologi, morfologi, maupun sintaksis. Contoh interferensi pada tataran fonologi antara lain singkatan ‘acc’ diucapkan [a-se-se] seharusnya dalam bahasa Indonesia diucapkan [a-c-c], singkatan ‘ac’ diucapkan [a-se] seharusnya dalam bahasa Indonesia [a-c]. Singkatan acc dan ac merupakan interferensi dari bahasa asing, yaitu bahasa Inggris. Ada pula bahasa Indonesia yang ter interferensi fonologi bahasa asing, contohnya ‘kecapnya kecap abc’ di mana pengucapan ‘a-b-c’ diucapkan dengan [a-b-se,] seharusnya [a-b-c]. Contoh pada tataran morfologi adalah nama badan usaha perhotelan antara lain ‘Garuda Hotel’ seharusnya ‘Hotel Garuda’, dan ‘Hotel Grand Angkasa’ seharusnya ‘Hotel Angkasa Agung’. Contoh lain, Rumah Makan ACC. Banyak orang mengucapkannya Rumah Makan [a-se-se]. Contoh pada tataran sintaksis banyak terlihat pada penggunaan bahasa di tempat umum, seperti ‘No Smoking’ yang memiliki padanan dalam bahasa Indonesianya adalah ‘Dilarang Merokok’
Di samping itu, dalam sejarah pemberian Anugerah Bahasa bernama Adibahasa yang diberikan oleh Pusat Bahasa, ternyata Provinsi Y tidak pernah mendapatkannya. Hal ini disebabkan Provinsi Y, khususnya Kota X, dinyatakan tidak tertib dalam penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, baik dalam surat-menyurat kedinasan maupun penulisan nama badan usaha. Khususnya, pemakaian bahasa pada nama badan usaha, masih banyak yang menggunakan bahasa asing.
Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Balai Bahasa X. Syarfina, dkk. (2009:61) menyebutkan masyarakat Kota X banyak melihat kata/istilah asing pada papan nama, papan reklame, nama gedung, spanduk dan lain-lain. Sebenarnya, mereka kurang bangga dengan banyaknya penggunaan kata asing di Kota X atau di sekitar tempat tinggalnya. Walaupun mereka suka menggunakan kata/istilah asing, mereka setuju pemerintah mengimbau para usahawan dan masyarakat menggunakan kata dari bahasa Indonesia untuk menamai papan nama atau papan reklame.
Data di atas menunjukkan bahwa interferensi bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia tidak dapat dihindari. Tingginya interferensi bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia mengakibatkan melemahnya jatidiri bahasa Indonesia. Hal itu karena interferensi bahasa akan mengakibatkan penyimpangan kaidah bahasa Indonesia, baik kaidah fonologi, morfologi, maupun sintaksis. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengindonesiaan bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Hal ini merupakan pertaruhan harga diri bahasa Indonesia, seperti diungkapkan Badudu (1995:19) dengan adanya interferensi tersebut, kadang-kadang menguntungkan bahasa Indonesia, namun ada juga yang merugikan karena menyimpang dari struktur bahasa Indonesia.
Sejalan dengan itu, dalam UUD 1945, Pasal 36, menyebutkan bahwa bahasa negara ialah bahasa Indonesia. Hal ini berarti bahasa Indonesia harus dipelihara dan setiap warga negara wajib turut membinanya. Secara kelembagaan, pemerintah mendirikan Pusat Bahasa sebagai lembaga resmi untuk melakukan pembinaan bahasa Indonesia, seperti dengan membuat Rancangan Undang-Undang Kebahasaan yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Ruang lingkup kebahasaan terdiri dari lima bab. Bagian kesatu, Umum tertuang dalam pasal 25; bagian kedua, Penggunaan Bahasa Indonesia tertuang dalam pasal 26-40; bagian ketiga, Pengembangan, Pembinaan, dan Perlindungan Bahasa Indonesia, tertuang dalam pasal 41-43; bagian keempat, Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia tertuang dalam pasal 44; bagian kelima, Lembaga Kebahasaan tertuang dalam pasal 45.
Selanjutnya undang-undang yang mengatur penggunaan bahasa Indonesia pada nama badan usaha terdapat dalam pasal 36 ayat 3 berbunyi, “Bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks, perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.”
Jika diamati saat ini, adanya kecenderungan penulisan papan nama badan usaha swasta di Kota X menggunakan bahasa asing, baik dalam tataran fonologi, gramatikal, leksikal, dan semantik. Secara kualitatif, penulisan nama badan usaha dideskripsikan dan dianalisis berdasarkan peraturan yang berlaku dalam penggunaan bahasa asing di Indonesia. Hal ini disebabkan kecenderungan menggunakan bahasa asing pada nama badan usaha memiliki alasan tersendiri bagi pengusaha.
Secara kuantitatif, penggunaan bahasa yang ter interferensi tersebut bergantung pada sikap bahasa pengusaha yang senang menggunakan bahasa asing, meniru jenis usaha lain, mengikuti tren masa kini, tidak mengetahui padanan bahasa asing dalam bahasa Indonesia, memudahkan masyarakat dalam mengingat nama usaha, tuntutan zaman dan teknologi, memiliki nilai prestise, dan mengundang ketertarikan konsumen. Oleh karena itu, penyelidikan faktor yang menyebabkan interferensi dari segi usia dan penghasilan, jenis kelamin, pendidikan, dan keturunan menjadi bagian dari kajian ini. Dengan demikian, penggunaan bahasa asing di wilayah Indonesia, khususnya Kota X, sebagai kajian interferensi menemukan alat bukti yang konkret dalam usaha penertiban bahasa asing di tempat umum, sekaligus usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia dalam penulisan nama badan usaha, kawasan, dan bangunan serta nama dan merek dagang.
Berdasarkan hal di atas, perlu dilakukan penelitian yang berkaitan dengan interferensi dan sikap bahasa asing pengusaha dalam penulisan nama badan usaha swasta di Kota X.
TESIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA, PENYULUHAN KESEHATAN LANGSUNG, DAN MEDIA MASSA DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN MALARIA

TESIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA, PENYULUHAN KESEHATAN LANGSUNG, DAN MEDIA MASSA DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN MALARIA

(KODE : PASCSARJ-1154) : TESIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA, PENYULUHAN KESEHATAN LANGSUNG, DAN MEDIA MASSA DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN MALARIA (PROGRAM STUDI : KEPERAWATAN)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang banyak terjadi di negara-negara tropis. Penyakit ini pun masih menjadi masalah kesehatan di dunia (Kemenkes RI, 2010) dan dikategorikan “re-emerging disease”. WHO (World Health Organization) dalam Malaria Report 2011 menyatakan bahwa malaria cenderung selalu meningkat dari tahun ke tahun. Data lima tahun terakhir menunjukkan bahwa pada tahun 2005 terdapat 83.551.210 kasus, tahun 2006 terdapat 85.573.379 kasus, tahun 2007 terdapat 86.746.527 kasus, tahun 2008 terdapat 74.585.630 kasus dan tahun 2009 terdapat 82.485.969 kasus. WHO (2011), melaporkan dari 106 negara yang dinyatakan endemis malaria terdapat 94.299.637 kasus malaria, 345.960 meninggal karenanya dan 2.426 kasus terjadi di Asia Tenggara selama tahun 2010.
Kondisi ini juga terpapar di Indonesia, populasi penduduk Indonesia hampir setengahnya tinggal di daerah endemik malaria (kecuali Pulau Jawa-Bali). WHO (2011) melaporkan bahwa terdapat 1.849.062 kasus dan 432 kasus meninggal selama tahun 2010. Terdapat 424 kabupaten/ kota endemis dari 576 kabupaten/ kota yang ada di Indonesia (Kemenkes, 2010).
Malaria juga merupakan penyakit yang mempengaruhi tingginya kematian terutama kelompok risiko tinggi, yaitu bayi, anak balita, dan ibu hamil. Malaria secara langsung menyebabkan anemia dan dapat menurunkan produktivitas sumber daya manusia (Kemenkes, 2010). Secara tidak langsung, malaria menyebabkan melemahnya perekonomian masyarakat. GF (Global Fund AIDS, Tuberculosis, and Malaria) (2009), menyatakan bahwa penyakit ini dianggap sebagai keadaan berbahaya yang mempengaruhi setengah dari populasi dunia dan menjadi lingkaran kemiskinan di beberapa negara berkembang. Menurut perhitungan para ahli ekonomi kesehatan, kasus malaria saat ini dapat menimbulkan kerugian ekonomi mencapai sekitar 3,3 triliun rupiah sebagai akibat dari tidak dapat bekerja selama satu minggu, biaya pengobatan dan lain-lain, belum termasuk biaya sosial seperti menurunnya tingkat kecerdasan anak dan menurunnya kualitas sumber daya manusia yang berdampak pada penurunan produktifitas (Kemenkes, 2010).
Penanggulangan penyakit malaria telah menjadi kerangka kerja pembangunan nasional, kerangka kerja ini sebagai implikasi dari kesepakatan MDGs (Millennium Development Goals) tahun 2015. Penanggulangan malaria dideklarasikan pula sebagai agenda kesepuluh Sidang WHA (World Health Assembly) di Swiss tahun 2011 (Kemenkes RI, 2011). Penurunan angka kejadian malaria menjadi 1 per 1000 penduduk merupakan indikator yang harus dicapai setiap negara yang menyepakati MDGs tersebut.
Pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular dilakukan melalui upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif bagi individu atau masyarakat, dan ditegaskan pula bahwa pencegahan penyakit menular wajib dilakukan oleh masyarakat melalui perilaku hidup sehat (Kemendagri, 2009). Artinya penanggulangan penyakit ini perlu dilakukan secara komprehensif sesuai dengan paradigma sehat pembangunan kesehatan saat ini, yang bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian serta mencegah KLB (Kejadian Luar Biasa). Pencapaian hasil yang optimal dilakukan dengan upaya preventif dan kuratif yang berkualitas dan terintegrasi dengan lintas sektor, lintas program, dan lintas daerah (Kemenkes RI, 2010). Hal ini disebabkan karena malaria tidak mengenal batas-batas wilayah administratif (Bappenas, 2006).
Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular menjadi upaya wajib (Kemenkes, 2004). Upaya wajib berarti upaya yang ditetapkan sebagai komitmen nasional dan global yang dianggap mampu menjadi daya ungkit tinggi dalam peningkatan derajat kesehatan manusia. Artinya penyakit malaria menjadi prioritas utama program di puskesmas.
Berdasarkan Rencana Strategis Kementerian Kesehatan tahun 2010-2014 telah ditetapkan target penurunan angka kejadian kasus malaria (Annual Parasite Index-API) dari 2 menjadi 1 per 1.000 penduduk (Kemenkes, 2010). Angka kejadian malaria berdasarkan API sejak tahun 2005–2006 cenderung meningkat dari 2,93-3,14, namun tahun 2007-2011 dengan berbagai upaya pemerintah terjadi penurunan yang sangat tajam dari 2,87-1,75 (Kemenkes, 2012).
Setiap individu dapat terinfeksi plasmodium malaria, akan tetapi dalam keadaan vulnerable, risiko terinfeksi akan lebih tinggi. Keadaan ini akan bertambah lagi bila dipicu dengan faktor-faktor lain seperti usia, jenis, kelamin, ras, riwayat malaria sebelumnya, gaya hidup, sosial ekonomi, status gizi dan imunitas (Kemenkes, 2004). Sehingga, kondisi vulnerable yang dipicu dengan beberapa faktor di atas akan menyebabkan individu mudah terinfeksi malaria.
Penduduk yang tinggal di daerah endemik pun lebih rentan terkena penyakit malaria. Keadaan semacam ini akan meningkatkan risiko memburuknya status kesehatan masyarakat (Stanhope & Lancaster, 2004). Populasi yang rentan merupakan kelompok yang paling membutuhkan dilakukannya tindakan pencegahan dan proteksi terhadap penyakit (Jaspers dan Shoham, 1999; Webb dan Harinarayan, 1999). Salah satu upaya pencegahan yang dilakukan adalah menghindari/ memproteksi dari agent penyebab malaria.
Agent penyebab malaria adalah protozoa dari genus plasmodium. Bila terjadi kontak yang efektif, agent ini akan lebih mudah menginfeksi pada individu/ keluarga vulnerable. Sedangkan, lingkungan di Indonesia cukup mendukung keberadaan penyakit malaria, seperti: lingkungan fisik (suhu, kelembaban udara, curah hujan, ketinggian, angin), lingkungan biologis dan lingkungan sosial-budaya (Kemenkes, 2004). Kondisi semacam ini semakin memudahkan agent malaria untuk menginfeksi individu/ keluarga yang vulnerable tersebut.
Suryantoro (2008) menemukan bahwa karakteristik lingkungan daerah endemis berpengaruh terhadap ada tidaknya kasus malaria di suatu daerah, adanya danau genangan air, kolam, pembenihan ikan merupakan tempat perkembangbiakan nyamuk anopheles sebagai vektor malaria. Begitu juga Darundiati (2010) yang menemukan bahwa terdapat hubungan yang bermakna dari faktor lingkungan dengan angka kejadian malaria. Sedangkan Kurniawan (2008) menemukan bahwa faktor risiko kejadian malaria adalah keberadaan genangan air dekat rumah dan tingkat pengetahuan. Keadaan lingkungan yang endemis dapat meningkatkan angka kejadian penyakit malaria.
Penduduk yang tinggal di daerah endemis termasuk dalam kategori populasi rentan. Populasi ini sangat sensitif terhadap risiko yang berasal dari faktor biologis dan didukung dengan faktor ekonomi, sosial, dan gaya hidup. Interaksi hasil beberapa faktor risiko dalam meningkatkan kerentanan terhadap faktor-faktor lain, yang juga dapat berdampak negatif terhadap kesehatan individu (Sebastian & Burshy, 2000 dalam Rita Hammer, Barbara dan Pagliaro, 2006). Keluarga rentan pun memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk terjangkitnya penyakit. Keadaan ini disebabkan karena keluarga rentan mempunyai keterbatasan sumber daya fisik dan emosional yang dapat mengancam tugas dan fungsi keluarga. Upaya yang dilakukan keluarga rentan dalam menyelesaikan masalah cenderung tidak tepat bahkan menyimpang (Hitchcock, 1999).
Penduduk yang tinggal di daerah endemik malaria tergolong dalam aggregate vulnerable. Swanson dan Nies (1997), rentan merupakan kondisi tidak terlindunginya dari pengaruh lingkungan. Peneliti juga mengemukakan karakteristik rentan terdiri atas fisik, lingkungan, sosial, dan ekonomi. Penduduk yang tinggal di daerah endemik malaria, dalam kondisi fisik yang kurang optimal akibat gizi kurang, terpaparnya dengan lingkungan rawa tempat berkembang biak vektor malaria, ditunjang pula dengan interaksi sosial yang kurang pemahaman tentang malaria dan pencegahannya kurang, diperberat lagi dengan kondisi ekonomi yang menyebabkan penduduk termasuk populasi rentan.
Keluarga dengan salah satu anggota keluarganya yang mempunyai pekerjaan di wilayah endemis akan mempunyai risiko lebih tinggi tertular penyakit malaria (Kemenkes, 2004). Hasil wawancara peneliti dengan pengelola Program P2 Malaria Puskesmas X, didapatkan data bahwa selama kurun waktu tahun 2011 terdapat 149 kasus malaria klinis dari 28.328 penduduk dan lebih dari 75% nya disebabkan lokal yang bekerja di wilayah endemis. Karakteristik lain keluarga rentan adalah person with communicable disease atau penderita penyakit menular. Transmisi penularan penyakit malaria begitu mudah dan cepat, sehingga prevalensinya dapat mempengaruhi sosial ekonomi kesehatan masyarakat. Semakin banyak pekerja yang sakit, maka akan makin sedikit keluarga yang mampu bekerja untuk mempertahankan fungsi keluarganya (Stanhope & Lancaster, 2004).
Secara epidemiologis, transmisi penularan malaria merupakan hasil interaksi dari host, agent, dan environment (Kemenkes, 2004). Blum (1974, dalam Notoatmojo, 2010) berpendapat bahwa faktor perilaku manusia merupakan determinan utama dan paling sukar ditanggulangi disamping faktor lain, yaitu: lingkungan, pelayanan kesehatan, dan genetik. Hal ini disebabkan, faktor perilaku mempengaruhi lingkungan hidup manusia.
Malaria merupakan penyakit menular yang berkaitan erat dengan perilaku. Perilaku seseorang juga dipengaruhi oleh keluarga. Keluarga rentan perilakunya berisiko tinggi memburuknya status kesehatan (Chesney dan Barbara, 2008). Hasil penelitian Cruz dan Crookston (2006), menemukan bahwa dari 516 partisipan, terdapat 90 % pekerja lembur dan 77% pekerja non lembur menyatakan tahu bahwa perilaku pencegahan dengan menggunakan kelambu dapat mencegah dari penyakit malaria. Penelitian lain menemukan bahwa perilaku pencegahan pemakaian kelambu, menggunakan jamban, dan menggunakan racun serangga mempunyai hubungan yang bermakna dengan angka kejadian malaria (Salim, 2009). Perilaku pencegahan dengan menggunakan kelambu berinsektisida dapat menurunkan risiko terjangkit malaria 0,7 kali (Taviv; Salim; dan Yeni, 2008). Afridah (2009) dalam penelitiannya tentang pengaruh perilaku penderita terhadap angka kesakitan malaria di Kabupaten Rokan Hilir, dari 110 responden yang diambil secara random menunjukkan bahwa 52,7 % pengetahuan dalam kategori buruk, 51,8% sikap dalam kategori buruk, dan 76,3% tindakan dalam kategori sedang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan, sikap, serta tindakan mempunyai pengaruh terhadap tindakan pencegahan malaria.
Perilaku pencegahan digambarkan oleh Glanz dan Rimer (2008), dalam The Health Belief Model (HBM), perilaku dipengaruhi oleh karakteristik individu dan informasi kesehatan yang disampaikan baik melalui penyuluhan kesehatan atau media massa. Penyuluhan kesehatan dan media massa merupakan kegiatan dari promosi kesehatan. Kemenkes (2009), menjelaskan bahwa kegiatan eliminasi malaria lebih banyak terfokus kepada kegiatan promotif dan preventif. Oleh karena itu, peranan promosi kesehatan akan semakin besar agar pelaksanaannya lebih optimal. Notoatmojo, (2010) menjelaskan promosi kesehatan dapat dilakukan melalui penyuluhan kesehatan dan media massa. Promosi kesehatan dilakukan untuk meningkatkan kemampuan perilaku individu dalam pencegahan penyakit malaria. Mardiah (2008), telah menemukan bahwa penyuluhan kesehatan memberikan pengaruh signifikan dalam membentuk perilaku pencegahan penyakit malaria. Pasaribu (2005), menemukan kenaikan nilai rata-rata komponen pengetahuan, sikap, dan praktik terjadi setelah dilakukan penyuluhan kesehatan. Hal ini menunjukkan penyuluhan kesehatan yang dilakukan dapat mengubah dan membentuk perilaku individu.
Hasil wawancara dengan pengelola program P2 Malaria Puskesmas X (09 Februari 2012) didapatkan bahwa kegiatan promotif dan preventif yang dilaksanakan saat ini adalah penyuluhan kesehatan setiap bulannya, pelaksanaan 3M (menguras, menutup, mengubur) pada tempat penampungan air, pembagian kelambu berinsektisida kepada keluarga dengan ibu hamil dan balita, pembagian bubuk larvasida, pemasangan banner dan spanduk serta baliho di sepanjang jalan protokol. Selain itu juga disarankan kepada masyarakat agar menggunakan profilaksis saat akan bepergian ke daerah endemis malaria. Lebih lanjut disampaikan, kegiatannya selama ini belum dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap masyarakat. Investigasi kasus dilaksanakan bila ada ditemukan penderita yang mengalami klinis atau positif malaria dan disampaikan laporannya ke Dinas Kesehatan.
Promosi Kesehatan melalui media massa telah digunakan untuk meningkatkan kesadaran dan perubahan perilaku. Media massa memberikan peranan kunci dalam perang memerangi malaria. Mozumder dan Marathe (2006) telah menemukan media massa dapat meningkatkan efektivitas sumber daya yang ada untuk pencegahan malaria.
Pencegahan dan pengendalian malaria dilakukan untuk mengurangi prevalensi kejadiannya, sehingga malaria tidak lagi menjadi masalah utama kesehatan di masyarakat (Kemenkes, 2012). Pencegahan penyakit malaria dapat dilakukan melalui pencegahan primer, sekunder, dan tersier. Pencegahan primer dilakukan untuk mengurangi insidensi penyakit malaria melalui promosi dan pendidikan kesehatan, seperti melakukan chemoprophylaxis, pemakaian kelambu berinsektisida, atau pun menghindari gigitan nyamuk anopheles sp. Pencegahan sekunder melalui deteksi dini dan penatalaksanaan, seperti surveilans epidemiologi, investigasi kasus dan penanganan kasus malaria. Sedangkan pencegahan tersier untuk mengurangi komplikasi dan kecacatan, seperti menghindari terjadinya keguguran pada ibu hamil dan gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada bayi akibat anemia malaria (Stanhope dan Lancaster, 2004).
Berdasarkan beberapa hal di atas, peneliti bermaksud melakukan penelitian tentang “HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA, PENYULUHAN KESEHATAN LANGSUNG, DAN MEDIA MASSA DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN MALARIA PADA KECAMATAN CEMPAKA KOTA X”.
TESIS EVALUASI PELAKSANAAN JAMKESMAS DALAM PEMELIHARAAN KESEHATAN DASAR BAGI MASYARAKAT MISKIN DI PUSKESMAS

TESIS EVALUASI PELAKSANAAN JAMKESMAS DALAM PEMELIHARAAN KESEHATAN DASAR BAGI MASYARAKAT MISKIN DI PUSKESMAS

(KODE : PASCSARJ-1153) : TESIS EVALUASI PELAKSANAAN JAMKESMAS DALAM PEMELIHARAAN KESEHATAN DASAR BAGI MASYARAKAT MISKIN DI PUSKESMAS (PROGRAM STUDI : ILMU PEMERINTAHAN)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Salah satu aspek mendasar pemberian otonomi kepada daerah adalah keleluasaan pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri atas dasar prakarsa, kreativitas, dan peran serta aktif masyarakat dalam rangka mengembangkan dan memajukan daerahnya. Selain itu, adanya pemberian kewenangan untuk mengatur dan menyelenggarakan urusan pemerintahan berdasar skala pelayanan umum apakah lebih efektif diselenggarakan oleh daerah ataukah oleh pusat.
Kehidupan masyarakat yang semakin kompleks menuntut adanya suatu pelayanan yang semakin berkualitas, dalam hal ini pemerintah sebagai provider atau penyedia harus lebih intensif di dalam memperhatikan pelayanan tersebut. Karena diberbagai kesempatan pemerintah senantiasa menjanjikan pelayanan yang memuaskan kepada masyarakat, namun dalam kenyataannya belum dilaksanakan secara optimal.
Menurut perspektif Kybernologi, pemerintahan itu adalah pelayanan kepada manusia dan masyarakat. Di bentuknya suatu sistem pemerintahan, pada hakekatnya adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah berfungsi sebagai provider jasa-publik yang tidak diprivatisasi kan dan layanan civil termasuk layanan birokrasi. Pemerintahan tidaklah dibentuk untuk melayani diri sendiri tetapi untuk melayani masyarakat, menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap individu dapat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya untuk tujuan bersama. Pemerintah merupakan manifestasi dari kehendak rakyat, karena itu harus memperhatikan kepentingan rakyat dan melaksanakan fungsi kerakyatan melalui proses dan mekanisme pemerintahan. Pemerintah milik masyarakat akan tercipta jika birokrat dapat mendefinisikan ulang tugas dan fungsi mereka.
Antara pemerintah dengan masyarakat terdapat suatu hubungan, dimana ada masyarakat disana pula pemerintah diperlukan. Hubungan ini lebih didasarkan pada suatu interaksi antara yang menyediakan atau memberikan produk dengan yang membutuhkan atau menerima produk. Pemerintah adalah semua badan yang memproduksi, mendistribusi atau menjual alat pemenuhan kebutuhan rakyat berbentuk jasa publik dan layanan civil, sedangkan masyarakat yang mempunyai hak untuk mendapatkan, menerima dan menggunakan produk dari pemerintah, baik yang bersifat fisik maupun non fisik.
Salah satu bentuk produk pelayanan pemerintah kepada masyarakat adalah pelayan dibidang kesehatan. Kesehatan adalah merupakan salah satu dari hak asasi manusia, seperti termaktub dalam UUD 1945. Dalam UUD 1945 juga dinyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Kesehatan sebagai hak asasi manusia, mengandung suatu kewajiban untuk menyehatkan yang sakit dan berupaya mempertahankan yang sehat untuk tetap sehat. Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Hal ini melandasi pemikiran bahwa sehat adalah investasi.
Sentralisasi perencanaan kesehatan yang berlangsung di Indonesia dalam kurun waktu yang cukup lama berdampak pada kekurangberhasilan dalam pencapaian tujuan pembangunan kesehatan yakni peningkatan status derajat kesehatan masyarakat. Kebijakan kesehatan di masa lalu khususnya dalam bidang perencanaan kesehatan didominasi oleh Pemerintah Pusat dan peranan Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Kesehatan kabupaten/kota sangat terbatas. Target program bahkan penentuan prioritas program kesehatan umumnya berdasarkan proyeksi nasional. Hal ini menyebabkan ketidaksesuaian dengan situasi dan kebutuhan kesehatan lokal (kabupaten/kota).
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 131/MENKES/SK/II/2004 telah menetapkan Sistem Kesehatan Nasional (SKN) sebagai strategi pembangunan kesehatan di Indonesia. SKN merupakan tatanan yang menghimpun berbagai upaya bangsa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan mencapai derajat kesehatan yang setinggi tingginya sebagai perwujudan kesejahteraan umum, seperti dimaksud di dalam UUD 1945. Sub system pertama SKN adalah upaya kesehatan. Penyelenggaraan berbagai upaya kesehatan memerlukan dukungan dana. Sumber daya manusia, sumber daya obat dan perbekalan kesehatan sebagai masukan SKN. Dukungan dana sangat berpengaruh terhadap pembiayaan kesehatan yang semakin penting dalam menentukan kinerja SKN. Mengingat kompleksnya pembiayaan kesehatan, maka pembiayaan kesehatan ditetapkan sebagai sub sistem ke dua SKN.
Program pembangunan dibidang kesehatan merupakan salah satu unsur yang sangat penting dari mutu kehidupan dalam pembangunan nasional untuk mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya. Terkait dengan kebijakan pelayanan pemerintah dibidang kesehatan masyarakat, diawali dengan pernyataan bahwa “kesehatan adalah hak seluruh masyarakat”. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 ayat (1) dinyatakan bahwa:
“Setiap orang berhak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Sedangkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 menyatakan bahwa :
Ayat (1)
- Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara.
Ayat (2)
- Negara mengembangkan system jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai martabat kemanusiaan.
Ayat (3)
- Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Sedangkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan pasal 4 menyatakan bahwa : “Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal”.
Untuk dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat banyak hal yang perlu dilakukan, salah satu diantaranya dengan menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatnya kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan ataupun masyarakat.
Sejalan dengan makin tingginya tingkat pendidikan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat, maka kebutuhan dan tuntutan masyarakat akan kesehatan tampak makin meningkat pula. Untuk dapat memenuhi kebutuhan dan tuntutan tersebut, tidak ada upaya lain yang dapat dilakukan, kecuali menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang sebaik-baiknya.
Dalam upaya mewujudkan status kesehatan masyarakat yang optimal serta menjamin kualitas pelayanan dasar dibidang kesehatan, maka pemerintah menetapkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1457/MENKES/SK/X/2003 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten Kota. Standar Pelayanan Minimal bidang Kesehatan selanjutnya disebut SPM Kesehatan adalah tolok ukur kinerja pelayanan kesehatan yang diselenggarakan Daerah Kabupaten/Kota.
Melalui penetapan standarisasi pelayanan minimal bidang kesehatan tersebut, diharapkan kiranya masyarakat akan mendapat kepastian hukum khususnya kemudahan dalam pemberian layanan oleh masing-masing instansi teknis didaerah. Selain itu, diharapkan pula agar para pejabat pembuat kebijakan (Gubernur/Walikota/Bupati) di setiap daerah akan memperoleh kesamaan pandangan dalam metode pemberian pelayanan kesehatan untuk masyarakat di tingkat dasar di Indonesia adalah melalui Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang merupakan unit organisasi fungsional Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan diberi tanggung jawab sebagai pengelola kesehatan bagi masyarakat tiap wilayah kecamatan dari kabupaten/ Kota bersangkutan.
Pelayanan kesehatan yang langsung menyentuh pada lapisan masyarakat yang paling bawah dan sangat diperlukan oleh masyarakat adalah sangat penting hal ini dikarenakan pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh puskesmas akan memberikan perlindungan kesehatan kepada warga masyarakat khususnya bagi warga kurang mampu.
Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) sebagai salah satu institusi fasilitas pemerintah daerah dan sebagai lini terdepan dalam pemberian pelayanan kesehatan non-profit kepada masyarakat dan merupakan ujung tombak dalam sistem kesehatan Nasional, juga dituntut untuk dapat memberikan pelayanan dengan baik berdasarkan wewenang tugas pokok dan fungsinya yang disesuaikan dengan situasi, kondisi, masalah dan kemampuan Puskesmas tersebut. Puskesmas diharapkan mampu memberikan jaminan bagi warga masyarakat sekitarnya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang sangat dibutuhkan. Sehingga jelaslah bahwa pemerintah mempunyai kewajiban untuk menyediakan pelayanan kesehatan minimum yang dibutuhkan rakyatnya. Kelalaian pemerintah untuk menyediakan pelayanan kesehatan yang optimal (minimum) yang mampu diberikan oleh pemerintah akan menimbulkan keresahan sosial di masyarakat. Bagi penyelenggara pelayanan kesehatan prinsip yang harus dipegang dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat adalah bagaimana masyarakat puas dan nyaman dalam menerima pelayanan kesehatan yang diberikan dan keberadaan Puskesmas sebagai media untuk memberikan pelayanan kesehatan haruslah dijalankan dengan baik sehingga kualitas pelayanan yang diberikan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh masyarakat.
Implementasi pelaksanaan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1457/Menkes/Sk/X/2003 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten Kota sampai saat ini belum dapat dikatakan berhasil 100% sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Berbagai permasalahan mengenai standar dan mutu pelaksanaan pelayanan kesehatan sering terjadi, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah diseluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dinas Kesehatan Kabupaten X yang terkait langsung dengan pelaksanaan program kesehatan masyarakat di Kabupaten X diberikan wewenang dalam memformulasikan sistem jaminan kesehatan dengan mengacu kepada petunjuk teknis dari Depkes. Dengan demikian akan dapat dilakukan evaluasi implementasi pelaksanaan Jamkesmas di kabupaten X dalam mencapai target yang telah ditetapkan dalam Standar Pelayanan Minimal (SPM) salah satunya adalah cakupan pemeliharaan kesehatan masyarakat miskin..
Permasalahan tersebut sampai saat ini masih menjadi fenomena tersendiri bagi kelancaran pembangunan nasional khususnya bidang kesehatan. Berbagai informasi mengenai rendahnya kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan oleh pemerintah dimulai dari rumitnya prosedur pelayanan, kekurangan peralatan medis dan obat-obatan, rendahnya kualitas sumberdaya manusia pelaksana kegiatan pelayanan, minimnya ketersediaan tenaga medis, serta sarana penunjang kegiatan pelayanan kesehatan yang tidak memadai kerap terjadi.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti terhadap kurangnya pemanfaatan Jamkesmas oleh masyarakat disebabkan oleh pelayanan dan sarana pelayanan kesehatan belum tercapai, sarana pelayanan kesehatan yang susah dijangkau (kondisi demografi), yang menggunakan kartu Jamkesmas itu hanya masyarakat yang tinggal di sekitar puskesmas terdekat.
TESIS PENGARUH IKLIM ORGANISASI TERHADAP KINERJA PEGAWAI DINAS PEMADAM KEBAKARAN

TESIS PENGARUH IKLIM ORGANISASI TERHADAP KINERJA PEGAWAI DINAS PEMADAM KEBAKARAN

(KODE : PASCSARJ-1152) : TESIS PENGARUH IKLIM ORGANISASI TERHADAP KINERJA PEGAWAI DINAS PEMADAM KEBAKARAN (PROGRAM STUDI : ADMINISTRASI PUBLIK)

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sebagai usaha guna memenuhi kebutuhan hidupnya manusia memerlukan manusia lain dengan membentuk hubungan kerjasama dan selanjutnya membentuk kelompok-kelompok (organisasi). Dalam organisasi perlu adanya manusia sebagai pendukung utama apapun bentuk dari organisasi tersebut. Perilaku manusia yang berada dalam suatu kelompok merupakan awal dari perilaku organisasi, oleh karena adanya perbedaan persepsi, kepribadian serta pengalaman hidupnya.
Pandangan alamiah manusia mempunyai sikap rata-rata: tidak menyukai (menghindari) kerja, harus dipaksa untuk bekerja mencapai tujuan organisasi, pasif dan menunggu perintah dibanding harus menerima tanggung jawab, hanya dapat dimotivasi dengan insentif berkaitan dengan fisiologi dan rasa aman, memiliki kapasitas terbatas untuk pemecahan masalah secara kreatif, serta harus diamati dan dikontrol secara baik untuk menjamin pencapaian kinerja.
Pembauran manusia dengan berbagai sifat serta karakter dalam suatu kelompok disertai dengan pandangan alamiah sikap rata-rata manusia, akan membentuk suatu iklim organisasi dari serangkaian sifat lingkungan kerja yang berpengaruh terhadap kinerja individu dalam suatu organisasi. Iklim organisasi yang digambarkan sebagai iklim kerja sebuah organisasi dapat diukur melalui empat dimensi yaitu : psikologis, sosial, struktural dan birokrat.
Dimensi psikologis meliputi variabel beban kerja, kurang otoritas, kurang pemenuhan diri sendiri (self fulfillment clerkship) dan kurang inovatif. Dimensi struktural meliputi variabel fisik, bunyi serta tingkat keserasian kerja antara keperluan kerja dengan struktur fisik. Dimensi sosial meliputi aspek interaksi dengan klien (kuantitas dan permasalahan), rekan sejawat (dukungan dan kerjasama), dan para penyelia (berupa dukungan dan imbalan). Dimensi birokratis meliputi Undang-undang serta peraturan konflik peranan dan ketidak jelasan peranan.
Iklim organisasi yang bersifat terbuka akan lebih memacu karyawan untuk mengutarakan kepentingan serta adanya ketidakpuasan, tanpa adanya rasa takut, tindakan balasan maupun bertujuan untuk mendapatkan perhatian, yang harus ditangani secara positif dan bijaksana. Iklim keterbukaan bagaimanapun juga akan tercipta apabila seluruh anggota memiliki tingkat keyakinan yang tinggi serta mempercayai akan adanya keadilan tindakan.
Iklim organisasi penting untuk diciptakan karena merupakan persepsi seseorang tentang apa yang diberikan organisasi yang menjadi dasar bagi penentuan sikap perilaku anggota selanjutnya. Iklim organisasi ditentukan oleh seberapa baiknya anggota diarahkan, dibangun dan dihargai oleh organisasi.
Birokrasi Dinas Pemadam Kebakaran kota X sebagai organisasi pemerintah dibawah naungan pemerintah kota X sebagai satuan organisasi yang menjalankan fungsi operasional lapangan dalam pelaksanaan tugas penanggulangan bencana dan pemadam kebakaran, membutuhkan iklim serta suasana kerja yang menunjang untuk dapat senantiasa mempertahankan kinerja secara maksimal dalam memberikan pelayanan bagi masyarakat.
Berdasarkan pengamatan dan penilaian absensi pelaksanaan kegiatan apel masuk kerja dan pulang kerja pegawai pada Dinas Pemadam Kebakaran terdapat kecenderungan penurunan kinerja individual pegawai secara menyeluruh melalui ketidakhadiran pada saat dilakukannya apel pagi (23%) dan apel siang (30%) ataupun melalui merosotnya semangat serta motivasi pegawai untuk melaksanakan fungsi serta tugas-tugas yang seharusnya diemban dalam pelaksanaan tanggung jawab sebagai aparatur negara dan abdi masyarakat, yang semestinya senantiasa siaga untuk memberikan pelayanan dalam penanggulangan bencana dan pemadaman kebakaran yang menimpa di masyarakat.
Berkaitan dengan hal diatas, maka muncul pertanyaan apakah menurunnya kinerja para pegawai dipengaruhi oleh iklim organisasi pada Dinas Pemadam Kebakaran, dan seberapa besar iklim organisasi berpengaruh terhadap kinerja para pegawai. Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti dan menetapkan judul : "Pengaruh Iklim Organisasi Terhadap Kinerja Pegawai Dinas Pemadam Kebakaran Kota X".

SKRIPSI PTK USING CLUSTERING TECHNIQUE TO IMPROVE STUDENTS WRITING OF RECOUNT TEXT

(KODE : PTK-0713) : SKRIPSI PTK USING CLUSTERING TECHNIQUE TO IMPROVE STUDENTS WRITING OF RECOUNT TEXT (MAPEL BAHASA INGGRIS KELAS VIII)

contoh ptk bahasa inggris kelas viii

CHAPTER I
INTRODUCTION

A. The Background of the Study
As we know, language is an integral part that can not be separated from human being, because of its function as communication. Communication is mainly divided into two, there are verbal and non-verbal. Verbal language consists of spoken and written language. On the other hand, non-verbal language is like gestures and body language. Human language has chanced form simple to complex from time to time. “communication between humans is an extremely complex and ever-changing phenomenon.” Undoubted, language is needed to interact one to another. 
Nowadays, the most language which used widely is English language. People surround the world who use English as lingua franca is bigger than another languages, such as; French, Latin, Spanish, Chinese or Arabic. English has become an international language. Jack C Richards and Theodore S. Rodgers said,
“latin was most widely studied as foreign language five hundred years ago. However, English has become the most widely studied foreign language today.” So that, if we want to communicate to another countries, nations, from any place in the world, we should master English which is lingua franca.
There are many reasons why people learn language. One of the reasons is Advancement, some people want to learn English because they think it offers a chance for advancement in their professional lives. They will get better jobs by mastering two languages than if they only know their mother tongue. “English has a special position since it has become the international language of communication.”
There are many aspects that can not be separated from English language, moreover; English domination takes technology, social-culture, economy, education, art, science, ideology, research, information, etc. By mastering English we can enhance and enrich many aspects. In many countries, English is used as a first language, a second language or a foreign language.
English is one of the important foreign languages in Indonesia that has purpose to absorb and to develop knowledge, technology, and to establish relationship with other nations. Thus, it is essential to learn English to help people’s need to get information and knowledge in every aspect such as education, science, religion, social and technology.
Because of the reason our government puts English as a first foreign language. Minister of Education and culture decree No : 372/2003, stated that English becomes the first foreign language and the compulsory subject that should be thought in Indonesia school from junior high school up to university level.4 It means that students in our country in any level must study English.
Commonly, English is divided into two; written and oral. It also consists four skills that should be learned by students. They are listening, speaking, reading and writing. Listening and reading are included as receptive skills, on the other hand speaking and writing are included as productive skills.
Among the skills, writing is the most difficult skill. “many people find it easy to speak but hard to write things down on paper.” Writing is a complex skill, Leo Masiello stated “writing is hard work, or one students explains, „for me, writing is like running or exercise. The reason that say this is because both of these activities take a lot of effort.” Writing is unlike another skills, it requires background knowledge, vocabulary, spelling, grammar, punctuation, coherence, etc. In learning writing, students face several problems in their writing such as; limited vocabularies, difficulty in organizing ideas, no ideas to write about, no motivation to write and lack of confidence in grammar. The effect can be seen in English writing score, it is regarded as a main problem in many schools. To overcome this problem, a technique which can improve students’ score in English writing is needed.
One of the techniques is clustering, it is kind of prewriting activity that enrich idea before students start writing. As Regina L. Smalley and Mark K. Ruetten said that “clustering is making a visual map of the ideas.” At the beginning writing activity, students have to find out the ideas what they want to write about. Dorothy Sedley said that “the most common complaint English Composition teachers hear from students is “I don’t have anything to write about”. Actually, you have plenty to write about. After all, you live in the same world that “real” writers live in, and that world provides the raw material for millions of books every year. What you really need is not “something to write about”, but some suggestions that will help you exploit the resources all around you.”
Developing ideas for making a composition cause problems in writing class, if the teacher does not conduct pre-writing activity. Getting stuck of ideas and a block of writing can be problems in writing activity. As a result, writing process goes slowly and stops immediately.
Students at junior high school learn two kinds of writing. There are narrative text and recount text. Both of texts talk about past events, besides they have similarities and dissimilarities. Narrative text is a text that tells a story and entertains the reader, for example novel. While recount text is a text that retells past events, its purpose is to provide the reader with a description of what occurred and when it occurred. For students at junior high school are emphasized in personal recount text.
“Personal recount text usually retells an experience in which the writer was personally involved. It lists and describes past experiences by retelling events. It presents the events chronologically (in order in which they happened). The purpose of a personal recount are to inform, entertain the audience (listener or reader), or both”.
Even though the basic differentiation between narrative and recount is the purpose, recount is more emphasize to entertain and to inform.
In addition, Based on the writer’s personal experiences while he took PPKT in SMP Z, he found students’ problems in writing especially in developing idea. The students could not start their writing because they did not have any idea. Meanwhile, the writer had been learned a technique how to develop idea in fourth semester, the technique is clustering. So, he decided to apply it in order to solve students’ problem in writing. The writer assumed that students in other school had the same problem in writing, but to convince there is a problem in writing or not. The writer observes the school before.
Based on the writer’s observation on SMPN X, in teaching learning process the English teacher did not use the clustering technique in teaching writing especially recount text. Students did not understand clearly what recount text is, how to identify generic structure of recount text. Besides, the teacher also less preparation in teaching recount text. Moreover, SMPN X is not far from the writer’s house, so it is easier for him to do a research.
Because of the reasons that have been mentioned above, the writer takes a title of this “skripsi” “USING CLUSTERING TECHNIQUE TO IMPROVE STUDENTS’ WRITING OF RECOUNT TEXT AT SECOND GRADE OF SMPN X”.

SKRIPSI PTK THE USE OF PICTURE SERIES TO HELP THE STUDENTS WRITE A RECOUNT TEXT

(KODE : PTK-0712) : SKRIPSI PTK THE USE OF PICTURE SERIES TO HELP THE STUDENTS WRITE A RECOUNT TEXT (MAPEL BAHASA INGGRIS KELAS X)

contoh ptk bahasa inggris kelas x

CHAPTER I 
INTRODUCTION

A. Background of the Study
English is well-known as a global language used by people to communicate with other people around the world. If someone does not know English, he will get difficulties in having communication with other people that use English. Therefore, mastering English language is very important.
The fact that mastering English is very important becomes the background for the government of Indonesia to put English in the formal education curriculum. The government of Indonesia has put English as a compulsory subject since the fourth grade of elementary school. It is expected that every student will be able to master English so the student does not find any obstacles dealing with language when the student is having communication with other people from around the world.
Feez (1998) argues that enabling learners to develop the knowledge and skills which will allow them to engage with whole texts appropriate to social context is the aim of English language teaching. Because of that, the government of Indonesia is implementing the School Based Curriculum which focuses on texts both in junior and senior high school levels. In the curriculum, senior high school students are obliged to learn English through different texts which have different function based on social context. Therefore, the syllabus used in the learning and teaching activities is text-based syllabus. The genre-based approach is one example of approaches used in text-based syllabus (Feez, 1998). Some texts to be taught in senior high schools are recount, narrative, procedure, descriptive, news item, report, analytical exposition, spoof, hortatory exposition, explanation, discussion, and review (BSNP, 2006).
Those texts should be learned by the students in all language skills which are listening, speaking, reading, and writing. However, each student has different types of difficulties related to those four skills. Some of them consider writing as the most difficult skill to be learnt. Tiedt (1989 : 6) states that "of all the language skills, writing is the most difficult and it is a hard work." As with speaking, the writer generates ideas. On the other hand, writing is important to be mastered to express ideas without the pressure of face-to-face communication (Raimes, 1983). 
Unfortunately, based on the researcher's experience and observation when he was doing his Program Pengalaman Lapangan (PPL), many English teachers usually do not give equal portion of teaching to the four language skills when they are teaching the students. Many English teachers usually assign the students to write a text at home and then they submit their writing in the following meeting. The teachers do not understand that writing has to be done after several stages of writing starting from brain-storming until final draft of writing. They even do not give any feedback on the students' writing so that the students cannot know whether their writing is good or not. It can be the obstacle for the students to improve their writing skills.
The students in SMAN X also considered writing as the most difficult skill to learn. The researcher asked the students to write down their simple opinion towards writing on the back side of their drafts while the researcher taught the students. From the data, there were more than 50% students who stated that writing is difficult. They found a lot of difficulties in writing. Based on the researcher's observation, the students had problem in writing a recount text. They needed much time to start writing because they did not have any idea to write and they had very limited English vocabulary. Besides, the result of the students' recount texts was not really satisfying. Their ideas were not organized well. They also made mistakes mostly on the use of past tense, minimum requirements, and even some of them did not write proper recount text based on the generic structure of a recount text. It was so ironic since recount is one of the texts that have more value in the context of schooling (Gerot and Wignell, 1994) as cited by Mulya (2007 : 17). Feez (1998) adds that recount is classified as the simplest story text.
The reasons motivated the researcher to conduct a classroom action research to help the students write a recount text. Besides, the researcher, who considers that writing is not really difficult, wants to help the students in that class write a recount text so that they will not think that writing is difficult anymore.
The research offered a solution in the form of instructional media to overcome the problem faced by the students by using picture series. Picture series were chosen because they have many advantages. Using what appears in the pictures, the students can get ideas and opportunity to write in a connected way (Kreidle, 1968). It will help the students write a text without spending much time only to find ideas. Well-chosen picture series also give motivation to the students in learning situation, especially in learning how to write (Kieffer and Cochran, 1985). Besides, picture series provide material that offers guidance on vocabulary, sentence structure, and organization yet lets the students write about new subject matter (Raimes, 1983).
Some previous research dealing with the use of picture series in teaching writing showed good results. One of them was done by Setiawaty in 2003. Setiawaty used the picture series to help her students write a narrative text. Based on Setiawaty's research, the use of picture series helped her students write a narrative text. Understanding the advantages provided by picture series and also the problems in writing a recount text faced by the students, the use of picture series can be a good solution in the form instruction media for the students in this research in writing a recount text.

SKRIPSI PTK PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS SURAT LAMARAN PEKERJAAN MELALUI METODE QUANTUM WRITING

(KODE : PTK-0711) : SKRIPSI PTK PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS SURAT LAMARAN PEKERJAAN MELALUI METODE QUANTUM WRITING (MAPEL BAHASA INDONESIA SMK KELAS XII)

contoh ptk bahasa indonesia smk kelas xii

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dalam pembangunan nasional, pendidikan diartikan sebagai upaya meningkatkan harkat dan martabat manusia serta dituntut untuk menghasilkan kualitas manusia yang lebih tinggi untuk menjamin pelaksanaan dan kelangsungan pembangunan. Peningkatan kualitas pendidikan harus dipenuhi melalui peningkatan proses pembelajaran, metode pembelajaran, kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan lainnya. Dalam upaya memperbaiki kualitas pendidikan agar relevan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan siswa di masa yang akan datang, pemerintah perlu mengupayakan suatu pembaharuan terhadap sistem pendidikan.
Pembaharuan sistem pendidikan dapat dilakukan salah satunya melalui peningkatan mutu mata pelajaran Bahasa Indonesia karena merupakan salah satu mata pelajaran yang sangat penting di SMK yang saat ini telah berkembang pesat baik materi maupun kegunaannya. Hal ini perlu di tingkatkan, karena Bahasa Indonesia sebagai simbol persatuan dan sebagai bahasa resmi yang telah disepakati bersama oleh seluruh bangsa Indonesia. Melalui bahasa manusia mengetahui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedang berlangsung.
Mengingat pentingnya bahasa sebagai alat komunikasi, maka dalam proses pembelajaran Bahasa Indonesia di SMK juga harus diarahkan pada tercapainya keterampilan berkomunikasi, baik secara lisan maupun tertulis, maupun dalam hal pemahaman dan penggunaan. Kemahiran bahasa lisan menekankan pada aspek bicara dan menyimak, sedangkan kemampuan bahasa tulis menekankan pada aspek menulis dan membaca. Sesuai dengan perkembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) oleh pemerintah menghendaki terwujudnya suasana yang menarik agar siswa dapat mengembangkan potensi dirinya. Salah satu pembelajaran yang dapat mengembangkan potensi siswa adalah menulis surat karena surat merupakan suatu pernyataan tertulis maka pemakaian bahasa pada surat-menyurat sangat mempengaruhi informasi yang disampaikan. Khusus untuk pemakaian bahasa pada surat menyurat yang sifatnya resmi, maka penulisan harus sesuai dengan kaedah atau aturan yang berlaku dalam bahasa Indonesia.
Menurut Tarigan (1994 : 1) keterampilan berbahasa mencakup empat aspek yaitu menyimak (listening Skill), Berbicara (Speaking Skill), Membaca (Reading Skill) dan Menulis ( Writing Skill). Penguasaan keempat aspek ini merupakan keterampilan dasar. Untuk menunjang keberhasilan tujuan umum pembelajaran bahasa Indonesia, maka siswa terampil dalam berbahasa yang mencakup aspek mendengarkan, berbicara, membaca, menulis dan apresiasi sastra.
Keempat aspek keterampilan berbahasa tersebut, aspek keterampilan menulis merupakan aspek yang paling tinggi dan paling kompleks tingkatannya. Aspek keterampilan menulis jauh lebih sukar dan jauh lebih rumit dibandingkan aspek kebahasaan yang lainnya, seperti keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, dan keterampilan membaca. Menulis merupakan salah satu dari pokok bahasan bahasa Indonesia yang bertujuan memberikan bekal keterampilan dan kemampuan kepada siswa untuk mengkomunikasikan ide atau pesan. Menulis adalah kegiatan melahirkan pikiran dan perasaan dengan tulis menulis juga dapat diartikan sebagai cara berkomunikasi dengan mengungkapkan pikiran, perasaan, dan kehendak kepada orang lain secara tertulis.
Keterampilan menulis dianggap sebagai keterampilan yang sulit dan rumit tetapi keterampilan menulis itu sangatlah penting untuk dipelajari dan dilakukan terus menerus. Keterampilan menulis harus didukung juga oleh keterampilan lainnya terutama keterampilan membaca, karena membaca dan menulis saling berkaitan. Menurut maksud dan menurut tujuannya surat dibagi menjadi empat macam surat yaitu : surat permohonan atau permintaan, surat keputusan, surat kuasa, dan surat lamaran.
Berdasarkan empat macam surat di atas, pelajaran menulis surat lamaran pekerjaan merupakan salah satu aspek pengajaran bahasa Indonesia yang pembelajarannya tidak difokuskan secara sungguh-sungguh, maka peneliti mengambil satu bentuk surat yang dijadikan penelitian yaitu surat lamaran pekerjaan karena dalam menulis surat lamaran pekerjaan siswa masih sangat sulit dalam menggunakan isi gagasan, pilihan kata, kalimat, paragraf, dan ejaan. Materi menulis surat lamaran pekerjaan ini diberikan pada siswa, untuk meningkatkan hasil belajar siswa perlu dilakukan berbagai upaya perbaikan, khususnya dalam proses pembelajaran diperlukan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi serta pemilihan metode yang tepat. Dalam upaya meningkatkan hasil menulis surat lamaran pekerjaan siswa kelas XII TFL SMKN X, penulis perlu melakukan inovasi kreatif, yaitu dengan cara menerapkan metode pembelajaran yang dapat menciptakan suasana yang menyenangkan bagi siswa, sehingga menimbulkan proses pembelajaran yang aktif.
Hasil observasi awal yang dilakukan di SMKN X terungkap dari keluhan guru bahasa Indonesia, menjelaskan bahwa pokok bahasan menulis surat mereka rendah.
Rendahnya kemampuan menulis siswa dipengaruhi beberapa faktor internal dan eksternal. Faktor internal terlihat pada kurang terampilnya siswa mempergunakan ejaan dan memilih kata sehingga penyusunan kalimat masih banyak mengalami kesalahan. Faktor eksternal muncul dari pemilihan strategi dan pendekatan yang digunakan guru. Guru masih terikat pada pola pembelajaran tradisional dan monoton. Kondisi seperti ini dapat menghambat para siswa untuk aktif dan kreatif sehingga menyebabkan rendahnya kualitas siswa. Sistem pembelajaran dengan pendekatan tradisional yang masih diterapkan guru tidak mampu menciptakan anak didik yang diidamkan, terutama untuk bidang keterampilan menulis. Hal ini dikarenakan dominasi guru dalam pembelajaran dengan pendekatan tradisional lebih menonjol dan dikuasai guru, sehingga keterlibatan siswa kurang mendapat tempat. Guru lebih banyak mendominasi sebagian besar aktivitas proses belajar-mengajar sehingga para siswa cenderung pasif. Jika keadaan tersebut terus berlanjut, tanpa ada solusi penanggulangannya secara tepat dikhawatirkan lama-kelamaan akan menurunkan kemampuan dan kualitas siswa dalam menulis.
Pemilihan strategi dan pendekatan yang tepat dalam pembelajaran merupakan hal yang harus betul-betul dipertimbangkan oleh guru agar tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan dapat mencapai sasaran.
Dalam meningkatkan partisipasi aktif fisik dan mental siswa, guru hendaknya tidak mendominasi aktivitas belajar-mengajar, tetapi memberikan kesempatan seluas-luasnya pada siswa untuk berinteraksi dengan guru, dengan materi pelajaran maupun dengan sesama manusia. Demikian juga siswa hendaknya diberi kesempatan berlatih pada saat guru menyampaikan pelajaran yang berupa suatu keterampilan. Untuk itu agar pembelajaran menjadi menyenangkan dan hasil menulis surat lamaran pekerjaan siswa menjadi lebih aktif maka guru menerapkan metode pembelajaran Quantum Writing karena merupakan sebuah proses interaksi yang terjadi lewat proses menulis. Seseorang yang menjalankan konsep “Quantum writing”, akan merasakan bahwa dirinya sedang berinteraksi dengan dirinya yang unik, materi tulisan yang sedang ditulisnya, dan dengan pikiran-pikiran orang lain yang telah dibicarakannya sebelum dia menulis.
Pembelajaran dengan metode Quantum Writing mempunyai tahap-tahap dalam proses pembelajaran dalam menulis, tahap-tahap tersebut, yaitu tahap persiapan, draft kasar, berbagi, revisi, penyuntingan, penulisan kembali, dan evaluasi.
Dari latar belakang tersebut, maka penulis memilih judul yang akan memperbaiki kemampuan belajar Bahasa Indonesia dengan menulis surat lamaran pekerjaan yaitu berupa “PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS SURAT LAMARAN PEKERJAAN SISWA DI KELAS XII JURUSAN TEKNIK FABRIKASI LOGAM (TFL) SMKN X”.

SKRIPSI PTK PENGGUNAAN MEDIA GAMBAR UNTUK MENINGKATKAN KEAKTIFAN BELAJAR

(KODE : PTK-0710) : SKRIPSI PTK PENGGUNAAN MEDIA GAMBAR UNTUK MENINGKATKAN KEAKTIFAN BELAJAR (MAPEL IPS KELAS IV)

contoh ptk ips kelas iv

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan faktor penting dalam kehidupan manusia. Pendidikan membantu manusia untuk menumbuh kembangkan potensi-potensi yang ada dalam dirinya. Belajar tentunya tak lepas dari pendidikan, pelajaran yang dikemas dengan menarik tentunya dapat membantu siswa lebih menyenangi pelajaran tersebut sehingga pelajaran tersebut dapat diterima oleh siswa. pembelajaran yang menarik tentunya dapat diberikan kepada siswa apabila guru menggunakan media belajar.
Belajar adalah suatu proses kompleks yang terjadi pada diri setiap orang sepanjang hidupnya. Proses belajar itu terjadi karena adanya interaksi antara seseorang dengan lingkungannya. Oleh karena itu, belajar dapat terjadi kapan saja dan di mana saja. Salah satu pertanda bahwa seseorang itu telah belajar adalah adanya perubahan pada tingkat pengetahuan atau sikapnya. Azhar Arsyad (2011 : 1).
Sedangkan Hujair (AH Sanaky 2013 : 11) mengemukakan proses pembelajaran pada hakikatnya adalah proses komunikasi, yaitu proses penyampaian pesan dari sumber pesan ke penerima pesan melalui saluran atau media tertentu. Proses komunikasi harus diciptakan dan diwujudkan melalui kegiatan penyampaian pesan, tukar menukar pesan atau informasi dari setiap pengajar kepada pembelajar atau sebaliknya. Pesan atau informasi yang disampaikan dapat berupa pengetahuan, keahlian, skill, ide, pengalaman, dan sebagainya.
Melalui proses komunikasi, pesan dapat diterima, diserap, dan dihayati oleh penerima pesan. Maka agar tidak terjadi kesalahan dalam proses komunikasi, perlu digunakan sarana yang dapat membantu proses komunikasi pembelajaran yang disebut dengan media pembelajaran.
Pendidikan IPS sebagai salah satu mata pelajaran yang bertujuan meningkatkan dan menumbuhkan pengetahuan, kesadaran dan sikap sebagai warga negara yang bertanggung jawab, menuntut pembelajaran menarik dengan menggunakan media pembelajaran juga dapat menumbuhkan sikap belajar yang menyenangkan dan dapat memancing siswa menjadi aktif.
Dwi Siswoyo (2007 : 119) menyatakan bahwa guru merupakan pendidik yang berada di lingkungan sekolah. Keberhasilan suatu pembelajaran tergantung pada interaksi guru dengan siswa. interaksi guru dengan siswa akan muncul apabila guru dapat mengelola kelasnya dengan baik.
Belajar aktif sangat diperlukan oleh siswa untuk mendapatkan hasil belajar yang maksimum. Menurut Hisyam Zaini (2008 : xiv) belajar aktif merupakan salah satu cara untuk mengikat informasi yang baru kemudian disimpan dalam otak. Pembelajaran aktif adalah suatu pembelajaran yang mengajak siswa untuk belajar secara aktif. Ketika siswa belajar dengan aktif, berarti siswa yang mendominasi aktivitas pembelajaran. Dengan belajar aktif ini siswa diajak untuk turut serta dalam semua proses pembelajaran tidak hanya mental tapi juga fisik.
Konsep pembelajaran aktif bukanlah tujuan dari kegiatan pembelajaran, tetapi merupakan salah satu strategi yang digunakan untuk mengoptimalkan proses pembelajaran. Aktif dalam strategi ini adalah memposisikan guru sebagai orang yang menciptakan suasana belajar yang aktif. Dalam proses pembelajaran yang aktif itu terjadi dialog yang interaktif antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru atau siswa dengan sumber belajar lainnya. Dalam suasana pembelajaran yang aktif tersebut siswa tidak terbebani secara perseorangan dalam memecahkan masalah yang dihadapi dalam belajar, tetapi mereka dapat saling bertanya dan berdiskusi sehingga beban belajar yang aktif ini diharapkan akan tumbuh dan berkembang segala potensi yang mereka miliki sehingga pada akhirnya dapat mengoptimalkan hasil belajar mereka. (Hamzah dan Nurdin Mohamad 2011 : 10).
Sedangkan Warsono dan Hariyanto (2012 : 12) mengemukakan pembelajaran aktif secara sederhana didefinisikan sebagai metode pengajaran yang melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran. Pembelajaran aktif mengkondisikan agar siswa selalu melakukan pengalaman belajar yang bermakna dan senantiasa berfikir tentang apa yang dapat dilakukannya selama pembelajaran. Pembelajaran aktif melibatkan siswa untuk melakukan sesuatu dan berpikir tentang sesuatu yang dilakukannya.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran aktif merupakan strategi yang dapat diberikan kepada siswa supaya siswa memperoleh pelajaran yang bermakna, menemukan ide-ide, dan mengungkapkan apa yang telah diterima dalam proses pembelajaran.
Menurut Hamzah B. Uno dan Nurdin Mohamad (2011 : 33) tentang ciri atau kadar dari proses pembelajaran yang lebih mengaktifkan siswa yaitu : 
a. Siswa aktif mencari atau memberikan informasi, bertanya bahkan dalam membuat kesimpulan.
b. Adanya interaksi aktif secara terstruktur dengan siswa.
c. Adanya kesempatan bagi siswa untuk menilai hasil karyanya sendiri.
d. Adanya pemanfaatan sumber belajar secara optimal.
Menurut Nana Sudjana (2005 : 61), keaktifan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran dapat dilihat dalam
1. turut serta dalam melaksanakan tugas belajarnya;
2. terlibat dalam pemecahan masalah;
3. bertanya kepada siswa lain atau kepada guru apabila tidak memahami persoalan yang dihadapinya;
4. berusaha mencari berbagai informasi yang diperlukan untuk pemecahan masalah; melaksanakan diskusi kelompok sesuai dengan petunjuk guru;
5. menilai kemampuan dirinya dan hasil-hasil yang diperolehnya;
6. melatih diri dalam memecahkan soal atau masalah yang sejenis;
7. kesempatan menggunakan atau menerapkan apa yang telah diperolehnya dalam menyelesaikan tugas atau persoalan yang dihadapinya.
Pembelajaran yang jika hanya gurunya saja yang aktif tanpa melibatkan siswa merupakan siswa pembelajaran kurang berhasil. Siswa yang tidak aktif cenderung hanya duduk dan diam saja. Jika guru memberi pertanyaan hanya siswa yang dikatakan pandai saja yang bias menjawab pertanyaan guru.
Menurut hasil observasi dengan guru bernama pak AHB hal inilah yang terjadi pada siswa kelas IV SD pada saat pembelajaran siswa kurang menunjukkan sikap yang aktif dalam belajar. Hasil observasi awal menunjukkan bahwa kurang efektifnya pembelajaran IPS, ketika pembelajaran berlangsung banyak siswa yang berbicara sendiri serta adanya beberapa anak yang kurang memperhatikan guru dengan mated yang diajarkan. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di SD Negeri X kelas IV, selama proses pembelajaran berlangsung, peneliti menemukan permasalahan sebagai berikut.
Pada mata pelajaran IPS, siswa dalam mengikuti pelajaran belum sepenuhnya dapat berpartisipasi aktif dalam mengerjakan tugas, menjawab pertanyaan, bertanya, serta dalam menanggapi beberapa pertanyaan yang disampaikan guru. yang terlihat pada mata pelajaran IPS, metode pembelajaran yang digunakan oleh guru selama proses pembelajaran kurang bervariasi dalam arti guru hanya menggunakan buku pedoman siswa, sehingga siswa menjadi tidak memiliki motivasi tinggi untuk aktif belajar. Hal ini dibuktikan pada saat dilakukan observasi, proses pembelajaran yang berlangsung guru menggunakan buku pelajaran IPS dan siswa mendengarkan apa yang dijelaskan oleh guru serta mengerjakan tugas. Akibatnya pembelajaran menjadi monoton yang membuat siswa merasa tidak bersemangat. Pembelajaran yang seperti ini kurang memberikan kesan untuk siswa dan pengalaman yang bam. Pembelajaran yang berpusat pada guru juga tidak memberikan sikap aktif pada siswa selama proses pembelajaran berlangsung. 
Penggunaan metode yang dilaksanakan dalam proses pembelajaran juga menggunakan metode pembelajaran yang kurang bervariasi, sehingga membuat pembelajaran kurang menarik bagi siswa, akibatnya siswa hanya dapat membayangkan apa yang disampaikan guru, siswa tidak dapat melihat wujud dari apa yang sudah disampaikan guru. Berdasarkan permasalahan di kelas IVA, maka peneliti menerapkan penggunaan media pembelajaran yang dapat membuat aktif. Terdapat berbagai media salah satunya yang dapat membuat siswa aktif. Salah satunya adalah media gambar dimana siswa akan lebih berpartisipasi aktif dalam kegiatan proses pembelajaran. Dengan menggunakan gambar kita akan merasa lebih dekat, seolah-olah kita menyaksikan sendiri. Media gambar digunakan untuk mendapatkan gambaran yang nyata, menjelaskan ide, dan menunjuk objek (benda) yang sebenarnya. Media gambar adalah salah satu media yang paling tepat untuk siswa, media gambar yang diberikan kepada siswa sesuai dengan karakteristik siswa kelas IV yaitu siswa belum mampu berpikir secara abstrak, sehingga media yang paling tepat untuk meningkatkan keaktifan belajar siswa adalah media gambar.
Media gambar dapat membuat pembelajaran lebih menarik, Oemar Hamalik (dalam Azhar Arsyad, 2011 : 2) menjelaskan untuk mewujudkan pembelajaran menarik tersebut, seharusnya menggunakan alat-alat yang dapat disediakan oleh sekolah, dan tidak tertutup kemungkinan bahan alat-alat tersebut sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Guru sekurang-kurangnya dapat menggunakan alat yang murah dan efisien yang meskipun sederhana dan bersahaja tapi merupakan keharusan dalam upaya mencapai tujuan pengajaran yang diharapkan. Disamping mampu menggunakan alat-alat yang tersedia, guru juga dituntut untuk dapat mengembangkan keterampilan membuat media pembelajaran yang akan digunakannya apabila media tersebut belum tersedia.
Sudah saatnya pengajaran mata pelajaran menggunakan media. Sebab diyakini bahwa dengan memiliki media pembelajaran yang baik dan efekif dapat menciptakan suasana belajar yang lebih bermakna. Oleh karena itu maka peneliti ini menerapkan penggunaan media pembelajaran dan media pembelajaran disesuaikan dengan karakteristik siswa kelas IV bahwa siswa masih dalam tahap operasional kongkrit karena siswa belum bisa berpikir abstrak dan media yang cocok untuk meningkatkan keaktifan belajar siswa adalah media gambar. Dengan menggunakan media gambar dapat membuat siswa lebih tertarik karena untuk mempelajari apa yang telah ditampilkan dalam gambar.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka peneliti mengambil judul "PENGGUNAAN MEDIA GAMBAR UNTUK MENINGKATKAN KEAKTIFAN BELAJAR IPS PADA SISWA KELAS IV SD NEGERI X".

SKRIPSI PTK PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR SISWA, SIKAP KRITIS DAN PRESTASI BELAJAR MATERI PERHITUNGAN PAJAK PPH 21

(KODE : PTK-0709) : SKRIPSI PTK PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR SISWA, SIKAP KRITIS DAN PRESTASI BELAJAR MATERI PERHITUNGAN PAJAK PPH 21 (MAPEL AKUNTANSI KELAS XI SMK)

contoh ptk akuntansi kelas xi

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan sarana terpenting untuk mewujudkan kemajuan bangsa dan Negara. Hal ini karena pendidikan merupakan proses budaya yang bertujuan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Dengan pendidikan bermutu, akan tercipta sumber daya manusia yang berkualitas. Pendidikan itu sendiri berlaku seumur hidup dan dilakukan dalam lingkungan, keluarga, pendidikan formal (sekolah) dan masyarakat. Untuk itu, pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat, dan Negara.
Menurut Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 1 menyebutkan bahwa : 
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Artinya proses pendidikan di sekolah merupakan proses yang terencana dan mempunyai tujuan sehingga segala sesuatu yang dilakukan oleh guru dan siswa diarahkan untuk mewujudkan suasana belajar yang kondusif serta proses belajar yang menyenangkan. Dengan demikian, dalam pendidikan antara proses dan hasil belajar harus berjalan secara simbang.
Suasana belajar dan pembelajaran itu diarahkan agar peserta didik dapat mengembangkan potensi dirinya, sehingga pendidikan itu harus berorientasi pada siswa (student active learning) dan peserta didik harus dipandang sebagai seorang yang sedang berkembang dan memiliki potensi. Sedangkan tugas pendidik adalah mengembangkan potensi yang dimiliki anak.
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen bab 1 pasal 1 poin (a) "Guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah".
Artinya, proses pendidikan berujung kepada pembentukan sikap, pengembangan kecerdasan atau intelektual, serta pengembangan keterampilan anak sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan. Guru merupakan pendorong belajar siswa yang mempunyai peranan besar dalam menumbuhkan semangat para murid untuk belajar. Dengan menggunakan model pembelajaran yang menarik maka siswa akan lebih mudah memahami pelajaran dan mengembangkan ilmu pengetahuannya.
Salah satu persoalan besar yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah rendahnya kualitas pendidikan nasional. Rendahnya kualitas pendidikan tersebut disebabkan oleh banyak faktor, antara lain keterbatasan dana, ketersediaan sarana dan prasarana dalam aktivitas pembelajaran, dan pengelolaan proses pembelajaran. Kondisi tersebut diperburuk dengan minimnya sosialisasi kurikulum sebelum kurikulum baru dijalankan. Problematika pendidikan itulah yang menjadi tanggung jawab dan membutuhkan keseriusan lebih untuk mencari solusinya.
Sejalan dengan itu perlu dikembangkan iklim belajar mengajar yang menumbuhkan rasa percaya diri, sikap dan perilaku yang inovatif serta kreatif. Dengan demikian pendidikan nasional akan mampu mewujudkan manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa. Dalam rangka mengembangkan iklim belajar mengajar seperti menumbuhkan rasa percaya diri, sikap dan perilaku yang inovatif dan kreatif, sangat diperlukan adanya keterkaitan antara komponen-komponen pendidikan. Komponen-komponen pendidikan yang meliputi guru, siswa, kurikulum, alat (media pembelajaran) dan sumber belajar, materi, metode maupun alat evaluasi saling bekerjasama untuk mewujudkan proses belajar yang kondusif. Oleh karena itu komponen-komponen dalam pendidikan tersebut tidak bisa dipisahkan karena memiliki keterkaitan yang penting, sehingga akan membentuk suatu sistem yang berkesinambungan dalam mencapai tujuan pendidikan.
Pembelajaran yang menyenangkan memang menjadi langkah awal untuk mencapai hasil belajar yang berkualitas. Dalam skripsi Amroni yang berjudul Efektifitas pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah (PBM) pada prestasi mata pelajaran ekonomi akuntansi siswa kelas XI SMA Nurul Islami Semarang halaman 3 menyatakan "belajar akan lebih bermakna apabila siswa atau anak didik mengalami sendiri apa yang dipelajarinya". Akan tetapi, pelaksanaan pembelajaran di sekolah seringkali membuat masyarakat kecewa. Kondisi ini dikaitkan dengan pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran. Sebagian besar siswa memiliki kemampuan dalam menyajikan materi melalui bahan hafalan semata, akan tetapi memahami dan mengerti secara dalam mengenai pengetahuan. Kondisi ini ditandai dengan siswa belum mampu menghubungkan materi pembelajaran di sekolah dengan pengetahuan yang diperoleh dari lingkungan dan belum mampu mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pembelajaran, motivasi sangat diperlukan. Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan yang memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat tercapai (Sardiman, 2010 : 75). Motivasi akan senantiasa menentukan intensitas usaha belajar bagi para siswa. Adanya motivasi yang baik dalam belajar akan menunjukkan hasil yang baik. Dengan usaha yang tekun dan terutama didasari adanya motivasi, maka seseorang yang belajar itu akan melahirkan prestasi yang baik. Intensitas motivasi seseorang siswa akan sangat menentukan tingkat pencapaian prestasi belajarnya (Sardiman, 2010 : 75).
Dalam proses belajar mengajar guru sebagai sumber daya memiliki peranan yang penting karena merupakan salah satu unsur penentu keberhasilan siswa. Proses belajar dan hasil belajar para siswa bukan saja ditentukan oleh sekolah, pola, struktur dan isi kurikulumnya akan tetapi ditentukan atau bahkan sebagian besar ditentukan oleh kompetensi guru yang mengajar dan membimbing mereka (Hamalik, 2002 : 36).
Menurut Yunus Abidin (2014 : 122), model pembelajaran proses saintifik merupakan model yang menuntut siswa beraktivitas sebagaimana seorang ahli sains. Proses belajar secara saintifik mencakup beberapa aktivitas, diantaranya mengidentifikasi atau menemukan masalah, merumuskan masalah, mengajukan atau merumuskan hipotesis, mengumpulkan data dengan berbagai teknik, menganalisis data, menarik kesimpulan, dan mengkomunikasikan konsep yang ditemukan.
Salah satu proses belajar saintifik yang dapat diterapkan di kelas adalah penerapan strategi pembelajaran Problem Based Learning (PBL). Problem Based Learning adalah proses pembelajaran yang dirancang dengan masalah-masalah yang menuntut siswa mendapat pengetahuan penting, membuat mereka mahir dalam memecahkan masalah, memiliki strategi belajar sendiri, serta kecakapan berpartisipasi dalam tim. Pernyataan ini pernah ada dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Elfrida Gita (2014) yang menyatakan bahwa penerapan Problem Based Learning (PBL) dapat meningkatkan motivasi belajar siswa dalam mata pelajaran ekonomi.
Pelaksanaan proses saintifik bertujuan agar dapat menumbuhkan keterampilan sikap kritis siswa selama proses interaksi antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa, sehingga siswa menghasilkan pertimbangan, keputusan yang tepat, dan menjawab secara lebih lengkap. Sependapat dengan penelitian jurnal yang telah dilakukan oleh Sri Wahyuni (Program Studi Kimia PMIPA FKIP-UT) tentang mengembangkan keterampilan berpikir kritis siswa pada mata pelajaran IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) dengan penerapan strategi pembelajaran Problem Based Learning menerangkan bahwa keterampilan ini berkaitan dengan kemampuan mengidentifikasi, menganalisis, memecahkan masalah secara kreatif, dan berpikir logis sehingga menumbuhkan sikap kritis dalam diri siswa terutama dalam mata pelajaran Kimia (IPA).
Proses pembelajaran dengan menggunakan strategi pembelajaran Problem Based Learning dapat meningkatkan pola berpikir siswa untuk lebih kritis dalam memecahkan materi pelajaran yang sudah disediakan. Dengan berpikir kritis akan berpikir lebih mendalam tentang materi-materi yang diajarkan dan motivasi siswa bertambah sehingga diharapkan prestasi belajar siswa juga akan meningkat dengan model ini. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : "PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI BELAJAR SISWA, SIKAP KRITIS DAN PRESTASI BELAJAR SISWA KELAS XI AKUNTANSI SMK X".

SKRIPSI PTK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR FIQIH MATERI TATA CARA HAJI MENGGUNAKAN METODE SIMULASI (MAPEL PAI KELAS V)

(KODE : PTK-0708) : SKRIPSI PTK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR FIQIH MATERI TATA CARA HAJI MENGGUNAKAN METODE SIMULASI (MAPEL PAI KELAS V)


contoh ptk penelitian tindakan kelas

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Belajar merupakan suatu usaha sadar individu untuk mencapai tujuan peningkatan diri atau perubahan diri melalui latihan-latihan. Pendapat tentang belajar yang dikemukakan oleh Gregory A. Kimble (1997) bahwa, "Learning is a relatively permanent change in behavior or in behavioral potentiality that result from experience and cannot be attributed to temporary body states such as those induced by illness, fatigue, or drugs". Definisi ini secara sederhana diterjemahkan sebagai berikut : Belajar adalah perubahan relatif permanen dalam tingkah laku atau potensi perilaku yang diperoleh dari pengalaman dan tidak berhubungan dengan kondisi tubuh pada saat tertentu semacam penyakit, kelelahan atau obat-obatan. Setelah melalui proses belajar, maka akan ada hasil yang dicapai yaitu berupa hasil belajar. hasil belajar sebagai kemampuan yang diperoleh seseorang sesudah mengikuti proses belajar. Hasil belajar pada dasarnya adalah suatu kemampuan yang berupa keterampilan dan perilaku baru sebagai akibat dari latihan atau pengalaman yang diperoleh.
Pendidikan merupakan sarana yang sangat strategis dalam melestarikan sistem nilai yang berkembang dalam kehidupan. Sistem nilai tersebut meliputi ranah pengetahuan, kebudayaan dan nilai keagamaan. Proses pendidikan tidak hanya memberikan pengetahuan dan pemahaman kepada peserta didik, namun lebih diarahkan pada pembentukan sikap, perilaku, dan kepribadian anak. Untuk itu penyampaian proses pembelajaran hendaknya dikemas menjadi proses yang membangun pengalaman baru berdasar pengetahuan awal, membangkitkan semangat kerjasama, menantang dan menyenangkan. Tugas pendidik dalam konteks ini membantu mengkondisikan peserta didik pada sikap, perilaku atau kepribadian yang benar agar mampu berkembang dan berguna bagi dirinya sendiri, lingkungan dan masyarakat. Pelaksanaan pembelajaran harus mampu membantu peserta didik agar menjadi manusia yang berbudaya tinggi dan bermoral tinggi.
Untuk mewujudkan capaian tersebut salah satu cara yang bisa dilakukan oleh seorang guru adalah dengan melaksanakan pembelajaran yang inovatif.
Sebelum melakukan proses belajar mengajar, seorang guru menentukan metode yang akan digunakan agar tujuan pembelajaran yang telah disusun dapat tercapai. Pemilihan suatu metode harus disesuaikan dengan tujuan pembelajaran dan sifat mated yang akan menjadi objek pembelajaran. Tujuan belajar mengajar dapat dicapai secara efektif dan efisien jika seorang guru secara nalar mampu memperkirakan dengan tepat metode apa yang harus digunakan. Metode mengajar harus diperhatikan dalam proses belajar mengajar, karena suatu pelajaran bisa diterima dengan mudah oleh siswa tergantung bagaimana cara atau metode yang digunakan oleh seorang guru. Seperti dikutip oleh ismail, bahwa metode memiliki arti suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan. Hal ini ditambahkan oleh Umiarso, bahwa metode mengajar tersebut hams sesuai dengan tujuan pembelajaran yang hendak ingin dicapai.
Penggunaan dari sebuah metode yang tepat untuk materi yang akan disampaikan, dapat memberi motivasi pada diri siswa pada saat menerima materi pelajaran. Siswa dengan sendirinya akan termotivasi jika materi yang akan disampaikan menarik dan guru tidak perlu lagi mendorong siswanya untuk belajar, karena mereka sendiri telah termotivasi untuk mempelajari materi yang akan disampaikan. Oleh karena itu, penggunaan metode yang tepat itu sangat mempengaruhi kepada siswa untuk meningkatkan prestasi belajar. Dan guru juga sangat berperan dalam meningkatkan prestasi belajar siswa melalui metode-metode yang digunakan dalam penyampaian materi pelajaran.
Pada tahun pelajaran ini penulis mengajar kelas V MI X yang terdiri dari 5 anak laki-laki dan 2 anak perempuan. Selama tahun ini penulis merasa kurang berhasil dalam mengajar Mata Pelajaran Fiqih. Hal ini didasarkan pada rendahnya hasil belajar mata pelajaran tersebut, yaitu pada ulangan harian diperoleh nilai rata-rata kelas 58,67 padahal Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang telah ditetapkan adalah 65, dengan demikian dapat diartikan bahwa kompetensi dasar yang diajarkan secara keseluruhan belum tuntas. Dari data yang ada, 6 anak mendapat nilai di atas KKM selebihnya (15 anak) memperoleh nilai di bawah KKM.
Setelah penulis melakukan perenungan kembali terhadap proses pembelajaran yang sudah dilaksanakan dan pemberian dari saran dari Kepala Madrasah serta teman sejawat maka dapat penulis identifikasi penyebab rendahnya hasil belajar tersebut. Dari beberapa penyebab rendahnya hasil belajar tersebut yang dapat penulis catat adalah peserta didik kurang memperhatikan dalam proses pembelajaran, penyampaian mated oleh guru kurang menarik, kegiatan belajar monoton yaitu ceramah dan mencatat, guru belum memanfaatkan alat peraga yang sesuai dengan materi.
Tidak bisa dipungkiri bahwa semua guru mengharapkan peserta didiknya dapat memperoleh nilai hasil belajar yang lebih dari Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang telah ditetapkan pada awal tahun pelajaran. Untuk mencapai harapan tersebut diperlukan kreativitas guru dalam merancang pembelajaran yang menarik dan menantang bagi peserta didik, yaitu dengan melakukan inovasi pembelajaran.
Dari kondisi MI X dapat disimpulkan bahwa secara garis besar ada dua masalah yang dihadapi guru yaitu rendahnya hasil belajar Mata Pelajaran Fiqih dan guru belum menemukan metode yang tepat dalam mengajar.
Dengan meminta masukan dari Kepala Madrasah dan teman sejawat maka penulis hendak mengadakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). yaitu penelitian tindakan yang dilakukan di kelas dengan tujuan memperbaiki/meningkatkan mutu praktik pembelajaran sehingga hasil belajar meningkat. Dengan pertimbangan tersebut penulis mengambil judul : "MENINGKATKAN HASIL BELAJAR FIQIH MATERI TATA CARA HAJI MENGGUNAKAN METODE SIMULASI BAGI SISWA KELAS V MI X".