Search This Blog

SKRIPSI PERAN MEDIA GAMBAR DALAM PEMBELAJARAN PAI PADA ANAK USIA DINI DI TK

(KODE : PG-PAUD-0088) : SKRIPSI PERAN MEDIA GAMBAR DALAM PEMBELAJARAN PAI PADA ANAK USIA DINI DI TK

contoh skripsi pgtk
BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Merosotnya kualitas pendidikan banyak mendapat sorotan dari masyarakat, peserta lulusan kependidikan, para pendidik dan pemerintah. Oleh karena itu pemerintah berupaya semaksimal mungkin mengadakan perbaikan dan penyempurnaan di bidang pendidikan. Sebagai langkah antisipasi, maka pendidikan banyak diarahkan pada penataan proses belajar, penggunaan dan pemilihan media belajar secara tepat. Kesemuanya dimaksudkan untuk pencapaian hasil belajar semaksimal mungkin.
Belajar adalah suatu proses yang kompleks yang terjadi pada semua orang dan berlangsung seumur hidup. Salah satu pertanda bahwa seorang telah belajar suatu adalah perubahan tingkah laku dalam dirinya. Perubahan tingkah laku tersebut menyangkut baik perubahan yang bersifat pengetahuan (kognitif) dan ketrampilan (psikomotor) maupun yang menyangkut nilai dan sikap (afektif).
Perubahan tersebut hendaknya terjadi sebagai akibat interaksi dengan lingkungannya melalui proses belajar mengajar. Dimana guru bukan satu-satunya sumber belajar, walaupun tugas, peranan dan fungsinya dalam proses belajar mengajar sangatlah penting.
Melihat sedemikian kompleksnya masalah proses belajar mengajar dan peran guru, maka dalam pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam proses belajar mengajar perlu dikembangkan iklim kondusif yang dapat menumbuhkan sikap dan perilaku belajar secara wajar. Untuk itu pembelajaran dengan menggunakan media, khususnya media gambar dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif untuk hal tersebut.
Dengan penggunaan media gambar pada dasarnya membantu mendorong para siswa dan dapat membangkitkan minatnya pada pelajaran. Membantu mereka dalam mengembangkan kemampuan berbahasa, kegiatan seni, dan pernyataan kreatif dalam bercerita, dramatisasi, bacaan, penulisan, melukis dan menggambar, serta membantu mereka menafsirkan dan mengingat-ingat isi materi bacaan dari buku teks. Demikian pula pemahaman pengertian mengenai kemasyarakatan bisa diperoleh dari gambar, dan dalam situasi tertentu gambar merupakan sumber terbaik untuk tujuan penelitian atau penyelidikan.
Media gambar dapat menolong dan banyak digunakan dalam pengajaran, khususnya dalam pembelajaran anak usia dini. Bukan dikarenakan gambar itu banyak dan murah, melainkan gambar-gambar itu mudah dipahami oleh anak-anak ketimbang kata-kata atau pengertian verbal. Anak-anak zaman sekarang ini tumbuh dan berkembang bersama gambar atau tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan gambar dan mereka belajar membaca arti yang terkandung dalam gambar sejak usia anak-anak. Dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, gambar sekarang dibuat lebih menarik dan lebih atraktif, sehingga dapat digunakan sebagai media pembelajaran.
Dalam pembelajaran setiap manusia memiliki kemampuan yang berbeda-beda ada yang unggul dalam aspek verbal ada yang unggul dalam aspek nonverbal. Oleh karena itu, Edge Dale dalam Azhar Arsyad mengemukakan bahwa prosentase keberhasilan pembelajaran sebesar 75% berasal dari indera pandang, melalui indera dengar sebesar 13% dan melalui indera lainnya sebesar 12%.
Oleh karena itu gambar sangat penting digunakan dalam usaha memperjelas pengertian, sehingga dengan menggunakan gambar peserta didik dapat lebih memperhatikan terhadap benda-benda atau hal-hal yang belum pernah dilihatnya yang berkaitan dengan pelajaran. Penggunaan media gambar juga dapat membantu guru dalam mencapai tujuan instruksional, karena gambar termasuk media yang mudah dan murah serta besar artinya untuk mempertinggi nilai pelajaran, karena gambar pengalaman dan pengertian peserta didik menjadi lebih luas, lebih jelas dan tidak mudah dilupakan, serta lebih konkret dalam ingatan dan asosiasi peserta didik.
Menurut H. Carl Witherington “Good teaching maintains fitness and freshness in the classroom as opposed in the drab, dull, deadly routine of a hypertrophied intellectual attitude”. Pengajaran yang baik selalu mengusahakan adanya kejelasan dan kesegaran di dalam kelas. Usaha ini sebagai hal yang berlawanan dengan suasana yang membosankan serta menjemukan yang terdapat pada sikap intelektual yang berlebihan.
Karena itulah kehadiran media mempunyai arti yang cukup penting dalam proses pembelajaran, terutama Pendidikan Agama Islam. Segala ketidakjelasan dan kerumitan bahan yang disampaikan dapat dibantu dan disederhanakan dengan menghadirkan media sebagai perantara. Selain itu anak didik tidak merasa bosan dan dapat menghidupkan pelajaran.
Media juga dapat mewakili apa yang kurang mampu guru ucapkan melalui kata-kata atau kalimat tertentu. Bahkan keabstrakan bahan dapat dikonkritkan dengan kehadiran media. Dengan demikian anak didik akan lebih mudah mencari bahan yang akan dipelajari melalui media.
Tidak diragukan lagi, pemilihan media pembelajaran diarahkan kepada suatu upaya untuk mendorong motivasi belajar, memperjelas, dan mempermudah konsep yang abstrak dan mempertinggi daya serap sekaligus menekankan kepada pengalaman lapangan kepada siswa terutama mengenai pembelajaran Agama Islam.
Untuk itu dalam sistem pendidikan yang baru diperlukan tenaga pengajar yang memiliki kemampuan dan kecakapan yang lebih memadai, kinerja dan sikap baru, peralatan yang lebih lengkap dan administrasi yang teratur.
Oleh karena itu, di dalam pembelajaran yang pada akhirnya diharapkan dapat mempertinggi mutu hasil belajar yang dicapai oleh siswa maka dengan penggunaan media gambar sebagai alternatif media pembelajaran sangat efektif dalam proses belajar siswa dan dapat digunakan sebagai salah satu sarana untuk meningkatkan proses pembelajaran dan hasil belajar siswa di TK X. TK ini menerapkan program peningkatan pendidikan dengan menggunakan media pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan zaman, diharapkan membantu kemajuan dalam hal pendidikan. Terutama dalam menumbuhkan minat belajar pada siswa taman kanak-kanak, disamping itu dapat mempermudah proses belajar mengajar di kelas.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan pembelajaran Agama Islam dengan menggunakan media gambar khususnya dalam pembelajaran agama di taman kanak-kanak dengan harapan dapat meningkatkan mutu hasil belajar.

SKRIPSI PERAN GURU DALAM MENGENALKAN MAKANAN BERGIZI PADA ANAK KELOMPOK B PAUD

(KODE : PG-PAUD-0087) : SKRIPSI PERAN GURU DALAM MENGENALKAN MAKANAN BERGIZI PADA ANAK KELOMPOK B PAUD

contoh skripsi pgpaud
BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Anak usia dini adalah anak yang baru dilahirkan sampai usia 6 tahun. Usia ini merupakan usia yang sangat menentukan dalam pembentukan karakter dan kepribadian anak (Sujiono, 2009 : 7). Usia ini merupakan usia di mana anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Usia dini disebut sebagai usia emas (golden age). Anak berusia 4-6 tahun kebutuhan gizi sangat dibutuhkan. Karena pada usia ini anak sangat rentang terhadap penyakit. Banyak anak yang hanya mengkonsumsi makanan jajanan (makanan ringan) yang seharusnya tidak bisa dikonsumsi dalam jumlah yang banyak, sehingga mengakibatkan anak menjadi kudis, gatal-gatal, bisul, dll.
Makanan jajanan boleh diberikan hanya sebagai selingan, namun makanan tersebut harus mengandung zat gizi yang dibutuhkan. Pada usia ini, anak mulai dibiasakan mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan segar untuk menambah asupan vitamin dan mineral, merangsang pertumbuhan anak dan memperlancar pencernaan. Dengan demikian, kebutuhan gizi anak akan terpenuhi dan seimbang. (Graaf, 2005 : 28)
Makanan yang bergizi dan seimbang serta stimulasi yang intensif sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan anak. Makanan yang diberikan kepada anak agar dapat tumbuh dan berkembang secara optimal sebaiknya makanan bergizi, meliputi (1) bahan makanan pokok sebagai sumber zat tenaga, (2) bahan makanan lauk pauk sebagai sumber zat pembangun, (3) bahan makanan sayuran sebagai 1 zat pengatur, serta (4) susu dan telur (Santoso, 2008 : 11).  
Pemberian makanan bergizi ini sangat penting bagi anak usia dini. Karena untuk mengetahui sejauh mana perkembangan anak dalam mengkonsumsi makanan yang disesuaikan dengan usia anak. Tanpa ada pemberian makanan yang bergizi maka akan terganggu pertumbuhan anak baik fisik maupun mentalnya. Untuk itu sebagai pendidik maupun orang tua harus mengetahui cara pemberian gizi yang sehat terhadap anak pada setiap tahapan perkembangan anak.
Peran guru dalam mengenalkan makanan bergizi bagi anak usia dini sangatlah penting, agar anak dapat mengenal berbagai makanan bergizi sehingga anak tidak mudah terserang penyakit. Kebanyakan orang tua hanya memberikan uang saku kepada anak ke sekolah tanpa mengetahui jajanan yang dibeli oleh anak mengandung gizi atau tidak, karena anak-anak hanya tahu mengkonsumsi saja. Sehingga menjadi kewajiban guru dalam memberikan pembelajaran tentang pengenalan makanan bergizi kepada anak maupun orang tua murid.
Selain itu juga guru adalah seorang figur sentral dalam dunia pendidikan, khususnya saat terjalinnya proses interaksi belajar mengajar misalnya dalam pembelajaran mengenai pengenalan makanan yang bergizi kepada anak usia dini. Guru juga harus memiliki kompetensi profesional. Karena guru yang profesional itu adalah guru yang mempunyai tanggung jawab besar terhadap anak-anak didiknya, memiliki kemampuan mengembangkan diri dalam meningkatkan kualitas pembelajaran dan mendidik anak. Khususnya dalam mengenalkan makanan bergizi bagi anak, tugas guru disini adalah mengenalkan berbagai macam makanan bergizi untuk dapat dikonsumsi oleh anak, serta manfaat makanan bagi tubuh yang memiliki gizi seimbang untuk perkembangan dan pertumbuhan anak. (Saptawaty, 2010 : 33)
Guru sangat berperan dalam membantu perkembangan peserta didik untuk mewujudkan tujuan hidup sehat secara optimal. Semua itu menunjukkan bahwa setiap orang membutuhkan orang lain dalam perkembangannya, demikian halnya peserta didik, ketika orang tua mendaftarkan anaknya ke sekolah pada saat itu juga ia menaruh harapan terhadap guru, agar anaknya dapat berkembang secara optimal.
Anak usia dini tidak akan berkembang secara optimal tanpa bantuan orang dewasa yaitu guru dan orang tua. Dalam hal ini dikaitkan dengan pemberian makanan bergizi kepada anak usia dini, sehingga menjadi anak yang sehat jasmani dan rohani. Maka peranan gurulah yang sangat berpengaruh terhadap anak-anak kelak. (Soedirman, 2000 : 121)
Berdasarkan hasil observasi awal masih banyak anak yang kurang mengenal makanan bergizi. Ini diduga karena kurangnya informasi dan komunikasi mengenai pemberian makanan dan ukuran dalam memberikan asupan gizi melalui media-media yang telah ada pada zaman sekarang ini seperti media televisi, majalah-majalah dan koran. Selain itu juga materi pembelajaran tentang gizi masih kurang diberikan kepada anak. Guru sebagai tenaga pendidik dalam proses belajar-mengajar mempunyai pengaruh terhadap anak-anak didiknya yang kadang-kadang lebih dituruti daripada orang tua. Sehingga sangat diperlukan pendidikan di sekolah mengenai pemenuhan kebutuhan gizi agar hidup anak usia dini menjadi sehat dan cerdas. 
Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa dalam pemberian makanan bergizi ini harus disesuaikan dengan usia dan perkembangan anak. Maka harus memerlukan guru yang profesional terhadap perkembangan anak dalam memperkenalkan makanan yang sehat, agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Karena Pendidikan gizi harus ditanamkan kepada anak-anak sejak usia dini. Cara yang harus dilakukan oleh guru untuk memberikan pengenalan tentang makanan bergizi adalah (1) Menunjukkan macam-macam makanan bergizi; (2) bagaimana memilih makanan bergizi; dan (3) manfaat gizi bagi kehidupan. Sehingga apa yang diharapkan oleh guru untuk merealisasikan dan melakukannya sesuai dengan tahapan perkembangan anak usia dini, (Saptawaty, 2010 : 35).
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti berusaha untuk mencari solusi terhadap pemecahan masalah ini, melalui suatu kajian ilmiah berupa penelitian dengan judul : PERAN GURU DALAM MENGENALKAN MAKANAN BERGIZI PADA ANAK KELOMPOK B PAUD.

SKRIPSI PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA PADA ANAK USIA DINI MELALUI TEKNIK MEMBACA NYARING MENGGUNAKAN BUKU CERITA BERGAMBAR

(KODE : PG-PAUD-0086) : SKRIPSI PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA PADA ANAK USIA DINI MELALUI TEKNIK MEMBACA NYARING MENGGUNAKAN BUKU CERITA BERGAMBAR

SKRIPSI PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA PADA ANAK USIA DINI MELALUI TEKNIK MEMBACA NYARING MENGGUNAKAN BUKU CERITA BERGAMBAR
BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Fokus utama tujuan pengajaran Bahasa Indonesia meliputi empat aspek ketrampilan berbahasa yaitu ketrampilan menyimak, ketrampilan berbicara, ketrampilan membaca dan menulis. Keempat aspek kemampuan berbahasa tersebut saling berkaitan erat, sehingga merupakan satu kesatuan dan bersifat hirarkis, artinya ketrampilan berbahasa yang satu akan mendasari ketrampilan berbahasa yang lain.
Di sekolah pembelajaran bahasa Indonesia memang memiliki peranan yang sangat penting dibandingkan dengan pembelajaran yang lain. Seperti yang dikemukakan Akhadiah dalam Darmiyati Zuchdi dan Budiasih (2001 : 57), bahwa pembelajaran membaca, guru dapat berbuat banyak dalam proses pengindonesiaan anak-anak Indonesia.
Dalam pembelajaran membaca, guru dapat memilih wacana yang berkaitan dengan tokoh nasional, kepahlawanan, kenusantaraan dan kepariwisataan. Selain itu, melalui pembelajaran membaca, guru dapat mengembangkan nilai-nilai moral, kemampuan bernalar dan kreativitas anak didik.
Pembelajaran membaca anak usia dini merupakan pembelajaran membaca tahap awal, salah satunya adalah membaca nyaring. Dengan membaca nyaring siswa akan mengenali huruf-huruf dan membacanya sebagai suku kata, kata dan kalimat sederhana.
Setelah peneliti mencermati ternyata siswa kurang tertarik dan kurang aktif dalam mengikuti pembelajaran membaca nyaring. Hal ini disebabkan oleh guru yang dalam pembelajaran membaca nyaring sering menggunakan metode ceramah, dan belum menggunakan metode, sehingga siswa mendapat pemahaman yang masih abstrak. 
Upaya meningkatkan kemampuan membaca nyaring merupakan kebutuhan yang mendesak untuk dilakukan sehingga dalam pembelajaran Bahasa Indonesia dapat memberikan pengalaman kongkrit, meningkatkan motivasi belajar siswa dan mempertinggi daya serap siswa serta siswa dapat memusatkan perhatiannya dalam belajar.
Media gambar memegang peranan yang sangat penting dalam proses belajar. Media gambar dapat memperlancar pemahaman dan memperkuat ingatan. Gambar dapat pula menumbuhkan minat siswa dan dapat memberikan hubungan dengan isi materi pelajaran dengan dunia nyata. 
Menurut Farida Nur’aini (2010 : 12) menyatakan bahwa “Alam pikir anak adalah gambar. Dengan perkataan lain, ‘bahasa alam pikir anak adalah bahasa gambar’. Semua informasi yang dia terima, akan dia pikirkan di alam pikirannya dalam bentuk konkret, bentuk yang sesuai dengan pemikirannya sendiri”.
Agar menjadi efektif, gambar sebaiknya diletakkan pada konteks yang bermakna dan siswa harus berinteraksi dengan gambar (image) itu untuk meyakinkan terjadinya proses informasi.
Bentuk media gambar bisa berupa gambar yang dibuat dari kertas karton atau sejenisnya yang tidak tembus cahaya. Contohnya lukisan, potret, gambar dari majalah atau gambar yang disertai kata atau kalimat.
Dengan adanya media gambar dalam proses belajar tersebut diharapkan guru dan murid bisa mengungkapkan isi mengenai gambar tersebut setelah menganalisa dan memikirkan informasi yang terkandung dalam gambar tersebut.
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa media gambar adalah gambar yang dibuat pada kertas karton atau sejenisnya yang dapat memberikan gambaran tentang segala sesuatu seperti binatang, orang, tempat atau peristiwa.
Manfaat yang diperoleh dalam proses belajar membaca dengan menggunakan media gambar adalah anak dapat memahami isi gambar, sehingga anak lebih termotivasi dan lebih tertarik untuk membaca dan mengetahui isi cerita bergambar. Dengan demikian membaca bagi anak perlu disediakan media sebagai visualisasi agar dapat menarik minat membaca sehingga kemampuan anak dapat lebih meningkat dibanding sebelum menggunakan media gambar.
Dari uraian diatas, peneliti menganggap perlu dilakukan penelitian tentang PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA PADA ANAK USIA DINI DENGAN TEKNIK MEMBACA NYARING MENGGUNAKAN MEDIA GAMBAR.

SKRIPSI PENGARUH TAYANGAN TELEVISI TERHADAP PERKEMBANGAN PERILAKU NEGATIF ANAK USIA DINI

(KODE : PG-PAUD-0085) : SKRIPSI PENGARUH TAYANGAN TELEVISI TERHADAP PERKEMBANGAN PERILAKU NEGATIF ANAK USIA DINI

SKRIPSI PENGARUH TAYANGAN TELEVISI TERHADAP PERKEMBANGAN PERILAKU NEGATIF ANAK USIA DINI
BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Era globalisasi informasi sekarang ini, Indonesia diramaikan oleh hadirnya beberapa televisi swasta seperti AN-TV, INDOSIAR, TRANSTV, MNC TV, Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), Surya Citra Televisi (SCTV), TV-Global, TV ONE, TRANS7, Metro-TV, Televisi Republik Indonesia (TVRI) yang sudah lebih lama beroperasi. Apabila sampai akhir dekade 80-an masyarakat dihadapkan pada suatu pilihan mau tidak mau, suka tidak suka hanya TVRI, saat ini masyarakat lebih leluasa memindah saluran yang satu ke saluran yang lain sesuai dengan acara yang dinikmati. Semua televisi swasta tersebut berusaha menarik perhatian pemirsa sebanyak-banyaknya dan dapat menempati porsi tertinggi. Hal ini berarti masuknya dana meliputi iklan yang menopang dari televisi tersebut. Dalam situasi demikian sudah tentu televisi harus menyiarkan hal-hal atau film-film import, meskipun porsinya mulai dikurangi, tetapi tidak mungkin atau belum berhasil seluruhnya.
Kekhawatiran muncul karena diduga akan menjadi muntahan acara dari luar negeri tersebut, sebab isinya tidak sesuai dengan budaya, kepribadian bahkan falsafat bangsa Indonesia. Hal itu tidak sepenuhnya benar dan tidak semua keliru, karena pada kenyataannya masyarakat tidak bisa menolak masuknya segala hal yang “berbau” asing. Bahkan tidak hanya dalam bidang komunikasi, tetapi dalam hal mode busana, rambut dan makanan alternatif sama dengan yang ada di luar negeri.
Dengan banyaknya stasiun televisi yang ada di Indonesia (bandingkan dengan jaman dahulu) dengan berbagai macam acara yang lebih mengutamakan hiburan (kecuali TVRI), tentu membawa konsekuensi semakin berat bagi pemirsa, khususnya orang yang sudah tua harus mulai mengarahkan anak-anaknya dalam memanfaatkan hasil teknologi tersebut. Kondisi ini menantang para orang tua untuk lebih selektif dan berkompromi dengan anak-anaknya untuk menyaksikan tayangan yang patut dinikmati dan acara yang seharusnya tidak dilihat oleh anak. Apalagi usia anak-anak merupakan usia yang strategis dan lebih mudah terkena pengaruh, baik dari lingkungan dengan kontak langsung maupun media elektronik.
Penelitian pada film untuk anak-anak yang dilakukan oleh Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) bekerjasama dengan Balitbang Deppen tahun 1993 menunjukkan bahwa adegan antisosial (52%) lebih banyak dari pada adegan prososial (48%). Adegan prososial menurut Wispe adalah beberapa perilaku yang memiliki konsekuensi sosial positif sedangkan menurut Mussen dan Einsenberg perilaku prososial sebagai tindakan yang ditujukan untuk memberi bantuan atau kebaikan pada orang lain atau kelompok orang tanpa mengharapkan balasan, dengan cara-cara yang cenderung mentaati norma sosial, Contoh adegan prososial adalah mementingkan orang lain, mengalah dengan alasan yang masuk akal dan tanpa paksaan, aktivitas menolong, pemakaian bersama (share), kehangatan yang menggambarkan keakraban hubungan persahabatan atau persaudaraan termasuk romantisme dalam bekerjasama, simpati yang merupakan ungkapan perasaan dan perbuatan tertentu dari seorang kepada orang lain seperti yang dialami oleh orang tersebut, misalnya; turut sedih, turut bergembira, dan lain-lain. Sedangkan kategori adegan antisosial meliputi; berkata dan bertindak kasar, membunuh, berkelahi, pemaksaan, mencuri, berperang, memukul, melukai, mengganggu, menyerang, dan sejenisnya, seperti ungkapan kebencian atau mengejek (B. Gunarto, 1995 : 24).
Tayangan televisi berpengaruh negatif terhadap perkembangan perilaku anak tergantung dari penyesuaian anak, (Hurlock, 1978 : 344), “Anak yang penyesuaiannya baik kurang kemungkinannya terpengaruh secara negatif, apakah permanen atau temporer dibandingkan dengan anak yang buruk penyesuaiannya, dan anak yang sehat dibanding anak yang tidak sehat.”
Kuatnya pengaruh tontonan televisi terhadap prilaku seseorang telah dibuktikan dengan penelitian ilmiah. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh American Psychological Association (APA) pada 1995, yang mengatakan bahwa tayangan yang bermutu akan mempengaruhi seseorang untuk berperilaku baik. Sedangkan tayangan kurang bermutu akan mendorong seseorang untuk berperilaku buruk, bahkan penelitian ini juga menyimpulkan bahwa hampir semua perilaku buruk yang dilakukan orang adalah hasil dari pelajaran yang mereka dapat dari media semenjak usia anak-anak. Pengaruh sinetron dapat kita saksikan setiap hari, diantaranya banyak anak-anak yang menirukan ucapan-ucapan nakal dari tokoh film animasi 'Shinchan' yang kasar dan jorok. Belum lagi beberapa contoh prilaku negatif lain seperti pergaulan bebas, merampok, memperkosa, bertengkar, dan lain-lain yang dilakukan remaja karena pengaruh tayangan televisi.
Dalam sebuah buku yang berjudul Sex, Violence and The Media diungkapkan bahwa membaca dan melihat tayangan televisi yang berbau seks dan kekerasan dapat berpengaruh kepada perilaku seseorang. Media, televisi, majalah porno, dan juga iklan yang makin hari makin bebas menonjolkan seks dan kekerasan, sangat berpengaruh terhadap penyimpangan seks dan kekerasan di masyarakat, meningkatnya kejahatan, pemerkosaan dan lainnya. Yang paling menarik, dalam buku itu, juga memberikan kesimpulan bahwa mass media sebenarnya berpengaruh terhadap perilaku, penampilan, dan situasi mental para pemirsa dan pembacanya.
Pengaruh yang diingat seseorang melalui membaca ternyata hanya sekitar 15% saja, namun pengaruh terlihat semakin meningkat kalau disertai suara bahkan adegan visual yang ternyata berpengaruh 50% bagi yang menontonnya. Karena itulah televisi sangat besar pengaruhnya dalam mengubah perilaku penontonnya. Imitasi adalah tingkat pertama pengaruh yang kelihatan jelas, dimana pemirsa melihat secara berulang-ulang perilaku tokoh idolanya dan cenderung meniru perilaku tersebut. Ini bisa dimaklumi karena salah satu perkembangan perilaku seseorang dihasilkan dari contoh mereka yang lebih dewasa, orang tua, keluarga, guru, bahkan orang lain yang menjadi idola.
Berdasarkan kajian yang telah dikemukakan diatas, dapat ditarik kesimpulan, bahwa peran serta tayangan televisi sangat besar dalam perkembangan anak, terkhusus lagi terhadap pola pikir, sikap dan perilaku anak di sekolah. Dikhususkan pada anak usia 2-7 tahun (menurut konsep kognisi Piaget) dimana anak mengalami perkembangan pesat dalam bahasa, dan hanya bisa menyimpulkan sesuatu berdasarkan apa yang mereka lihat. Apabila anak pada usia ini selalu mendapatkan teman yang berupa tayangan televisi, maka hal tersebut akan sangat mempengaruhi perkembangan sikap dan perilaku anak tersebut. Mereka sedikit banyak akan meniru apa yang mereka lihat dari tayangan televisi tersebut. Menurut APA, berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, banyak bukti menunjukan bahwa tayangan televisi khususnya tayangan kekerasan dapat menyebabkan perilaku agresif, desensitisasi terhadap kekerasan, mimpi buruk, dan takut dirugikan. Menonton tayangan kekerasan juga dapat menyebabkan penontonnya kurang memiliki empati terhadap orang lain. Maka dari itu, apabila anak- anak terlalu sering didampingi oleh tayangan televisi, akan ada kemungkinan nantinya anak tersebut tidak sengaja menonton tayangan kekerasan tersebut. Disinilah diperlukan peran serta orang tua dan guru, yang mana sebelumnya sudah dikatakan bahwa guru dan orang tua merupakan pembimbing si anak dalam memanfaatkan tayangan yang ada di televisi tersebut.
Dikutip dari artikel Ningsih (2009), dibawah ini dicantumkan data mengenai fakta tentang pertelevisian Indonesia : 
1. Tahun 2002 jam tonton televisi anak-anak 30-35 jam/hari atau 1.560-1.820 jam/tahun, sedangkan jam belajar SD umumnya kurang dari 1.000 jam/tahun.
2. 85% acara televisi tidak aman untuk anak, karena banyak mengandung adegan kekerasan, seks dan mistis yang berlebihan dan terbuka.
3. Saat ini ada 800 judul acara anak, dengan 300 kali tayang selama 170 jam/minggu padahal satu minggu hanya ada 24 jam x 7 hari = 168 jam.
4. 40% waktu tayang diisi iklan yang jumlahnya 1.200 iklan/minggu, jauh diatas rata-rata dunia 561 iklan/minggu.
Anak-anak dan televisi merupakan dua hal yang agak sulit untuk pisahkan, menurut Cooney (dikutip dalam Yonathan, 2010), anak-anak dan televisi adalah suatu perpaduan yang sangat kuat yang diketahui orangtua, pendidik, dan pemasang iklan. Televisi juga merupakan suatu alat yang melebihi budaya dalam mempengaruhi cara berpikir dan perilaku anak. Televisi dapat membantu anak mengetahui hak-hak dan kewajiban anak sebagai warga negara yang baik dan bisa membangkitkan semangat anak untuk melibatkan diri dalam perbaikan lingkungan masyarakat, yang disertai oleh panduan orang tua (Chen, 1996). Singkat kata, sedikit banyak tayangan televisi dapat mempengaruhi cara pikir serta sikap dan perilaku anak.
Berdasarkan konsep di atas dapat disimpulkan bahwa tayangan televisi dapat berpengaruh terhadap perkembangan perilaku anak. Untuk itu peneliti ingin melakukan penelitian dengan judul “KORELASI PENGARUH TAYANGAN TELEVISI TERHADAP PERKEMBANGAN PERILAKU NEGATIF ANAK USIA DINI PADA KELOMPOK B TAMAN KANAK-KANAK”.

SKRIPSI PENGARUH POLA ASUH ORANGTUA TERHADAP PERKEMBANGAN KEMANDIRIAN ANAK DIDIK TK

(KODE : PG-PAUD-0084) : SKRIPSI PENGARUH POLA ASUH ORANGTUA TERHADAP PERKEMBANGAN KEMANDIRIAN ANAK DIDIK TK

contoh skripsi pgpaud
BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dunia anak-anak adalah dunia yang sangat menyenangkan. Bagi anak itu sendiri dunia adalah segala sesuatu ada di hari-harinya seperti, menangis, tertawa, ceria, sakit, kecewa, berteman, tidak cocok, kasih sayang orangtua, dimarahi dan Iain-lain.
Apabila kita ingin memahami kehidupan anak-anak umumnya usia pra sekolah (TK), maka kita harus banyak menyandarkan diri pada pengamatan terhadap tingkah laku yang nampak pada anak-anak tersebut. Pada anak-anak yang sudah belajar di Taman Kanak-kanak, anak tentu saja sudah mulai diajarkan sikap mandiri, disiplin, bekerjasama, berfikir dan lain sebagainya. Di sekolah memang peranan penting dipegang oleh para guru, tetapi peran orangtua juga sangat penting dalam menyiapkan anak dan menjadikannya anak yang cerdas, mandiri, disiplin, kreatif. Waktu anak-anak dengan orangtuanya lebih banyak dari pada waktu bersama guru di sekolah.
Kedekatan orangtua dengan anak akan tampak dari kelekatan anak dengan orangtuanya. Kelekatan berarti adanya hubungan afeksi yang kuat antara anak dengan orangtuanya. Membangun kelekatan dengan anak tidak otomatis berdampak ketergantungan anak. Agar kelekatan tidak berujung pada ketergantungan, maka orangtua perlu memberikan bimbingan dan pelatihan pada anak-anak untuk melakukan keperluan-keperluannya sendiri sesuai dengan tingkat usia anak.
Kemandirian anak dapat dilatih melalui hal-hal yang sederhana, yang paling penting adalah orangtua haras dapat menghargai anak dan tidak terlalu mengendalikan anak (Tim Pustaka Familia, 2006 : 21). Kemandirian diawali ketika seorang bayi dilahirkan di dunia. Ketergantungan sepenuhnya terhadap ibu selama sembilan bulan dalam kandungan benar-benar diputuskan. Tangisan bayi sesaat setelah keluar dari rahim ibu adalah penanda awal kemandiriannya sebagai manusia. Pada saat itulah ia harus menggunakan paru-parunya sendiri untuk bernafas. Kemandiriannya sebagai anak manusia tak terjadi begitu saja dan serentak. Seorang anak akan mengalami proses perkembangan dan pertumbuhan yang berjalan teras-menerus dalam rentang kehidupannya. Kemandirian fisik, emosional, moral berjalan seiring sangat dipengaruhi oleh kematangan biologis maupun dukungan sosial.
Kata kemandirian berasal dari kata dasar diri yang mendapatkan awalan ke dan akhiran an yang kemudian membentuk suatu kata keadaan atau kata benda. Karena kemandirian berasal dari kata dasar diri, pembahasan mengenai kemandirian tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai perkembangan diri itu sendiri. Emil Durkheim, misalnya melihat makna dan perkembangan kemandirian dari sudut pandang yang berpusat pada masyarakat. Menurut Abraham H. Maslow (dalam Mohammad Ali dkk, 2008 : 111) kemandirian dibedakan menjadi dua : yaitu 1) kemandirian aman, dan 2) kemandirian tidak aman. Kemandirian aman adalah kekuatan untuk menumbuhkan cinta kasih pada dunia, kehidupan, dan orang lain, sadar akan tanggung jawab bersama dan tumbuh rasa percaya diri terhadap kehidupan. Sedangkan kemandirian tidak aman yaitu kekuatan kepribadian yang dinyatakan dalam perilaku menentang dunia. Maslow menyebut kondisi ini sebagai selfish autonomy atau kemandirian mementingkan diri sendiri. Kemandirian merupakan suatu kekuatan internal individu yang diperoleh melalui proses individualisasi. Proses individualisasi itu adalah proses realisasi kedirian dan proses menuju kesempurnaan. Diri adalah inti dari kepribadian dan merupakan titik pusat yang menyelaraskan dan mengoordinasikan selurah aspek kepribadian. Kemandirian yang terintegrasi dan sehat dapat dicapai melalui proses perkembangan dan ekspresi sistem kepribadian sampai pada tingkatan yang tertinggi (Mohammad Ali dkk, 2008 : 111).
Sedangkan menurut Moh. Akhlis (1994 : 19) siswa yang memiliki sifat mandiri tinggi lebih tergantung pada diri sendiri dari pada pihak lain, antara lain adanya sifat kreatif tinggi, dan rasa tanggung jawab yang besar. Secara ringkas kemandirian dapat diartikan sebagai suatu kemampuan untuk memikirkan, merasakan, serta melakukan suatu sendiri atau tidak tergantung pada orang lain.
Kemandirian sangat penting dikembangkan pada diri anak. Hal ini dapat di-pahami bahwa anak merupakan subyek dan obyek yang berperan penting dalam proses pendidikan. Dalam pendidikan tersebut diarahkan untuk menciptakan anak yang berkualitas yang mempunyai pengetahuan dan ketrampilan, handal, berbudi luhur serta mampu bersaing di masa yang akan datang. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan anak-anak yang mempunyai kemandirian.
Dalam Tim Pustaka Familia (2006 : 49) cara mengembangkan kemandirian pada anak dibakukan dengan memberikan kesempatan untuk terlibat dalam berbagai aktivitas. Semakin banyak kesempatan maka anak akan semakin mahir mengembangkan keterampilannya sehingga anak lebih percaya diri. Peran orangtua amat penting dalam pembentukan kemandirian anak. Dengan kemandirian yang ditanamkan sejak dini, anak akan memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Hal ini akan memberikan pengaruh yang berarti dalam pergaulannya di masa mendatang. Sebab akan tumbuh perasaan bahwa mereka akan mampu melakukan sesuatu dan dapat mengontrol diri.
Menurat Mohammad Ali (2009 : 109) perkembangan kemandirian menjadi sangat penting karena dewasa ini semakin terlihat gejala-gejala negatif seperti ketergantungan disiplin kepada kontrol dari luar dan bukan karena niat sendiri secara ikhlas, sikap tidak peduli terhadap lingkungan fisik maupun sosial, sikap hidup yang mematuhi dan menghormati orang lain dilandasi bukan oleh hakikat kemanusiaan sejati melainkan hanya atribut-atribut sementara yang dimiliki oleh orang lain.
Kemandirian bukanlah keterampilan yang muncul tiba-tiba tetapi perlu di-ajarkan pada anak. Tanpa diajarkan, anak-anak tidak tahu bagaimana harus membantu dirinya sendiri. Kemampuan bantu diri inilah yang dimaksud dengan mandiri. Misalnya makan, mandi, berpakaian, buang air kecil dan buang air besar sendiri. Tentu saja kemandirian ini hanya bias dicapai melalui tahapan sesuai dengan perkembangan usia. Oleh karena itu, latihan kemandirian mesti dimulai di rumah, tak hanya di sekolah.
Kemandirian anak harus dibina sejak masih bayi, jikalau kemandirian anak diusahakan setelah anak besar, kemandirian itu akan menjadi tidak utuh. Kunci kemandirian anak sebenamya ada di tangan orangtua. Kemandirian yang dihasilkan dari kehadiran dan bimbingan orangtua akan menghasilkan kemandirian yang utuh. Untuk dapat mandiri anak membutuhkan kesempatan, dukungan dan dorongan dari keluarga khususnya pola asuh orangtua serta lingkungan sekitarnya, agar dapat mencapai otonomi atas diri sendiri. Kemandirian pada anak berawal dari keluarga serta dipengaruhi oleh pola asuh orangtua di dalam keluarga, orangtua lah yang berperan dalam mengasuh, membimbing, membantu dan mengarahkan anak untuk menjadi mandiri. Meski dunia pendidikan atau sekolah juga turut berperan dalam memberikan kesempatan kepada anak untuk mandiri, pola asuh orangtua tetap merupakan pilar utama dan pertama dalam membentuk anak untuk mandiri. Orangtua mana yang tidak mau melihat anaknya tumbuh menjadi anak mandiri. Tampaknya memang itulah salah satu tujuan yang ingin dicapai orangtua dalam mendidik anak-anaknya.
Pola asuh orangtua akan sangat mempengaruhi perkembangan kemandirian anak. Mohammad Ali (2009 : 118) mengatakan ada sejumlah faktor-faktor yang sering disebut sebagai korelat perkembangan kemandirian, yaitu gen atau keturunan orang tua, pola asuh orangtua, sistem pendidikan di sekolah dan sistem kehidupan di masyarakat. Seperti yang kita ketahui lingkungan yang paling dekat dengan anak dan tempat dimana anak berinteraksi pertama adalah lingkungan keluarga. Terdapat banyak faktor dalam keluarga yang dapat memengaruhi perkembangan anak. Salah satu faktor tersebut adalah pola asuh yang diterapkan orangtua kepada anaknya.
Menurut Ratri Sunar Astuti (2006 : 53) prinsip mendidik kemandirian adalah melatih pada saat yang tepat. Latihan yang terlalu awal justru akan membuat anak merasa tidak aman dan menjadi tertekan. Namun, apabila terlambat maka kita akan kesulitan mengubah sifat ketergantungan anak terhadap orangtua. Pada umumnya anak adalah insan yang masih perlu dididik atau diasuh oleh orang yang lebih dewasa dalam hal ini adalah ayah dan ibu, jika orangtua sebagai pendidik yang pertama dan utama ini tidak berhasil meletakkan dasar kemandirian maka akan sangat berat untuk berharap sekolah mampu membentuk anak menjadi mandiri.
Para siswa di TK obyek penelitian rata-rata berasal dari latar belakang keluarga yang berada. Kebanyakan berasal dari keluarga menengah ke atas yang orangtuanya bekerja di bidang meubel sehingga dalam kesehariannya anak didik di asuh oleh beberapa pengasuh. Perbedaan dalam hal kemandirian dan pola asuh anak didik TK ini sangat terasa. Ada sebagian anak yang mempunyai kemandirian yang tinggi, hal ini dapat dilihat dari anak dalam kegiatan sehari-hari di sekolah terhadap suatu tugas dari guru dengan mandiri tanpa meminta bantuan dari pihak lain, anak yang mempunyai kemandirian cenderung mendapatkan pola asuh yang baik dan bertanggung jawab melaksanakan tugas-tugas yang diberikan kepada anak tersebut, tetapi ada sebagian anak juga tingkat kemandiriannya yang rendah, hal tersebut dapat dilihat dari anak yang diberikan tugas dari guru selalu meminta bantuan, tidak percaya dengan kemampuan diri sendiri dan menggantungkan tugas-tugasnya tersebut kepada pihak lain. Fenomena tersebut kerap kali terjadi, misalnya seorang anak meminta bantuan pihak lain untuk memenuhi keperluannya walau sebenarnya mereka mampu melakukan sendiri. Tidak jarang anak meminta diambilkan minum atau sepatu, meskipun sebenarnya bisa mengambil sendiri.
Penelitian ini dilaksanakan di TK X karena banyak diminati oleh masyarakat setempat dan TK ini termasuk TK yang dijadikan sebagai TK unggulan dan sebagai pusat percontohan TK-TK lain di Kabupaten X. Mencermati kenyataan diatas, bahwa dari latar belakang keluarga yang berada akan membentuk pola asuh yang memengaruhi kemandirian anak didik. Secara kenyataan di TK X belum pernah diadakan penelitian tentang pengarah pola asuh terhadap perkembangan kemandirian anak. Hal tersebut mendorong penulis untuk mengadakan penelitian tentang pengarah pola asuh terhadap perkembangan kemandirian anak di sekolah tersebut, dan akhirnya penulis merumuskan ke dalam penelitian yang berjudul sebagai berikut : PENGARUH POLA ASUH ORANGTUA TERHADAP PERKEMBANGAN KEMANDIRIAN ANAK DIDIK TK X.

SKRIPSI PENGARUH LAYANAN KONSULTASI DALAM MENGATASI KESULITAN BELAJAR DI TK

(KODE : PG-PAUD-0083) : SKRIPSI PENGARUH LAYANAN KONSULTASI DALAM MENGATASI KESULITAN BELAJAR DI TK

skripsi pg paud
BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Tujuan pendidikan Taman Kanak-Kanak adalah membantu meletakkan dasar ke arah perkembangan sikap, pengetahuan, keterampilan dan daya cipta yang diperlukan oleh anak didik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan untuk pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya. Untuk mencapai semua itu diperlukan suatu perhatian khusus, terutama pendidikan sejak dini, yaitu sebuah pendidikan Taman Kanak-kanak yang dapat menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan kurikulum yang berlaku agar anak dapat mengembangkan seluruh kemampuan yang dimilikinya sesuai dengan tahap perkembangannya.
Di lingkungan tertentu, perkembangan anak usia taman kanak-kanak ini dirasakan tidak merata. Ada anak yang telah memenuhi karakteristik tahap-tahap perkembangan anak yaitu memiliki karakter yang menonjol, yakni sifat ekspresif dan eksploratif. Dari segi kognitif, mereka cenderung berpikir logis dan mudah menyerap sesuatu hal yang baru seperti teknologi dan penguasaan bahasa asing, namun masih ditemukan sejumlah permasalahan pada anak tertentu. Kesulitan belajar pada anak TK selalu ditemukan pada bidang tertentu. Anak-anak dengan inteligensi rata-rata bisa mengalami kesulitan belajar dalam bidang yang berbeda-beda. Otak dibagi ke dalam berbagai bagian yang mengendalikan tingkah laku yang berbeda. Beberapa bagian otak mengontrol kemampuan untuk berbicara, kemampuan untuk memahami kata yang diucapkan atau untuk mengenali apa arti kata-kata dan angka (Zulkifli, 2005 : 53).
Identifikasi kesulitan belajar sejak dini dapat dilakukan sebelum memasuki sekolah dasar yaitu pada tingkat pra sekolah dengan melihat tanda-tanda awal dari kesulitan belajar seperti perkembangan motorik, persepsi, bahasa atau atensi. Jenis kesulitan belajar di TK secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam 2 (dua) kelompok besar yaitu gangguan perkembangan wicara dan berbahasa dan gangguan kemampuan akademik, yang meliputi membaca, menulis, berhitung. Anak dengan gangguan perkembangan wicara dan bahasa dapat mengalami kesulitan untuk memproduksi suara huruf/kata tertentu, menggunakan bahasa verbal dalam berkomunikasi, dan memahami bahasa verbal yang dikemukakan orang lain.
Dalam kegiatan belajar yang berlangsung, tidak sedikit siswa akan mengalami hambatan dalam proses belajarnya, hambatan-hambatan itulah yang dimaksud dengan kendala yang menghambat proses tercapainya tujuan belajar. Kendala yang dialami siswa bermacam-macam antara individu yang satu dengan yang lain berbeda, baik macam maupun bobotnya.
Keberhasilan proses belajar sebagian dipengaruhi oleh peran orang tua. Dalam keluarga anak mulai mengadakan interaksi dengan orang-orang yang ada di sekitarnya, terutama dengan orang tuanya, yaitu ayah dan ibu. Melalui interaksi anak dengan orang tua, akan terbentuklah gambaran-gambaran tertentu mengenai anaknya. Dengan adanya gambaran-gambaran tertentu tersebut sebagai hasil persepsinya, maka akan terbentuklah sikap-sikap tertentu pada masing-masing pihak. Bagi orang tua anak sebagai objek sikap, sebaliknya bagi anak orang tua juga sebagai objek sikap. Pada anak akan terbentuk sikap tertentu terhadap orang tuanya, sebaliknya pada orang tua akan terbentuk sikap tertentu pada anaknya.
Untuk menjembatani permasalahan kesulitan belajar yang dialami anak TK adalah diberikannya kegiatan konseling di TK yang tujuannya untuk membantu proses perubahan (transisi) dari kanak-kanak sebagai makhluk individu yang menonjol keunikannya menjadi makhluk sosial. Oleh karena itu ditujukan untuk mencapai perkembangan penyesuaian pribadi dan sosial yang optimal dan memadai. Mengingat usia anak, maka diperlukan kolaborasi/kerjasama dengan orangtua. Hal ini amat diperlukan agar diperoleh informasi yang berkaitan dengan masalah, tujuan dari konsultasi, perencanaan intervensinya.
Berkaitan dengan hal tersebut orang tua harus selalu memonitor segala perkembangan proses belajar anaknya. Orang tua selalu berhubungan dengan guru pembimbing di sekolah tempat anak menuntut ilmu. Apabila dijumpai anak mengalami hambatan dalam belajarnya, orang tua harus berkonsultasi kepada gurunya agar dapat diketahui faktor-faktor yang menyebabkan anaknya mengalami kesulitan belajar dan dapat diketahui pemecahan masalah atas hambatan yang dialami. Layanan konsultasi antara orang tua dan guru pembimbing akan menjadi salah satu pemecahan atas permasalahan di atas. Dalam layanan konsultasi akan membantu peserta didik dan atau pihak lain dalam memperoleh wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang perlu dilaksanakan dalam menangani kondisi dan atau masalah peserta didik.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penelitian ini mengambil judul “PENGARUH LAYANAN KONSULTASI DALAM MENGATASI KESULITAN BELAJAR DI TK”.

SKRIPSI PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA ANAK USIA DINI

(KODE : PG-PAUD-0082) : SKRIPSI PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA ANAK USIA DINI

contoh skripsi pgpaud
BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 bab I pasal 1 ayat 1 yang dimaksud pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan merupakan transformasi nilai dari pendidik kepada peserta didik baik secara langsung maupun tidak langsung. Pendidikan juga sebagai upaya dalam rangka membangun, membina, dan mengembangkan kualitas manusia yang dilakukan terstruktur dan terprogram serta berkelanjutan. Oleh karena itu, pendidikan sebagai proses belajar harus dimulai sejak dini.
Dalam Islam dijelaskan bahwa usia anak-anak merupakan usia yang paling mudah untuk menerima atau merespon sesuatu baik melalui ungkapan, ucapan, panca indera, dan bahkan pengalaman, sehingga pada usia tersebut dianjurkan agar anak dilatih dengan ucapan-ucapan baik, terutama pada kehidupan awal anak (balita).
Pada umur tersebut pertumbuhan kecerdasan anak masih terkait kepada panca inderanya dan belum tumbuh pemikiran logis atau maknawi (abstrak), atau dapat dikatakan bahwa anak masih berpikir inderawi.
Usia dini merupakan masa emas (golden age) bagi anak- anak, karena pada usia ini anak-anak mempunyai kebebasan untuk berkembang dan tumbuh, baik secara fisik atau emosional dengan fasilitas dan media belajar yang representatif. Pada masa kanak-kanak ini juga merupakan periode pembentukan watak, kepribadian dan karakter.
Rasulullah saw bersabda : 
Abdan menceritakan kepada kami memberikan kabar kepada kami Abdullah memberikan kabar kepada kami Yunus dari Az-zuhri berkata : memberikan kabar kepadaku Abu Salamah bin Abdurrahman bahwasannya Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw bersabda : “Tidaklah anak yang dilahirkan itu kecuali telah membawa fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari)
Anak yang baru lahir ke dunia oleh Allah telah dibekali fitrah. Fitrah yang berupa potensi atau kemampuan dari semua hal. Tinggal bagaimana dia mengembangkan potensinya. Jika anak berada di lingkungan yang baik maka niscaya kelak ia tumbuh menjadi anak yang mempunyai karakter dan kejiwaan yang baik. Pertumbuhan kejiwaan seorang anak merupakan tanggung jawab utama orang tua. Seorang anak akan tumbuh menjadi apa, itu tergantung didikan dari orang tuanya. Menjadi baik, jahat, menjadi orang Yahudi, Nasrani, maupun Majusi itu pun merupakan tanggung jawab dan didikan dari orang tua sebagaimana hadis diatas. Perkembangan dan pertumbuhan anak juga tidak terlepas dari pengaruh lingkungan baik lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat yang ikut mewarnai kehidupan anak.
Usia dini merupakan masa terpenting bagi anak, karena pada usia ini anak mulai tumbuh dan berkembang secara optimal, juga merupakan masa pembentukan kepribadian anak sehingga memiliki kepribadian yang utama.
Oleh karena itu penting diterapkan pendidikan agama sejak dini. Keberhasilan pada usia dini adalah faktor penentu keberhasilan anak di masa mendatang.
Perkembangan agama pada masa anak terjadi melalui pengalaman hidupnya yang didapat sejak kecil, dalam keluarga, lingkungan sekolah, dan dalam lingkungan masyarakat. Semakin banyak pengalaman yang bersifat agama, (sesuai dengan ajaran agama) maka sikap, tindakan, kelakuan dan caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan ajaran agama.
Dengan memperkenalkan pendidikan agama sejak dini berarti telah membuat pribadi yang kuat berlandaskan agama dalam hal mendidik anak.
Keluarga mempunyai peran yang sangat penting dalam mendidik anak agar berperilaku sesuai dengan ajaran agama. Tetapi karena keterbatasan ataupun kesibukan orang tua, maka orang tua menyerahkan pendidikan anak mereka di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Untuk menyelamatkan fitrah Islami anak, orang tua perlu menyekolahkan anaknya pada sekolah-sekolah yang Islami sehingga mampu membentuk kepribadian anak yang sesuai dengan ajaran Islam. Pentingnya penanaman nilai- nilai agama sejak usia dini diantaranya agar tercipta manusia yang berakhlak mulia.
Pendidikan agama Islam diberikan kepada anak sejak dini melalui pengenalan-pengenalan terlebih dahulu mengenai ciptaan Allah yang meliputi alam seisinya. Kemudian dikenalkan sholat yang dimulai dengan wudhu'. Anak-anak diberi kesempatan untuk mempraktekkan wudhu'. Apabila memulai mengerjakan sesuatu dibiasakan dengan basmalah. Anak-anak dilatih membaca do'a sehari-hari seperti do'a makan, do'a mau tidur, do'a berangkat ke sekolah. Dengan mengajarkan kebiasaan-kebiasaan yang bernuansa Islami akan menjadikan anak berperilaku sesuai ajaran agama Islam.
Pelaksanaan pembelajaran agama Islam melalui cara-cara seperti itu tidak akan berhasil sepenuhnya tanpa kerjasama dengan orang tua peserta didik dalam hal membiasakan kegiatan-kegiatan yang diajarkan di sekolah untuk diterapkan juga di rumah. Selain itu, guru juga harus selalu mengulang-ulang materi yang diajarkan supaya anak terbiasa melakukannya dalam kegiatan sehari-hari.
Disinilah pentingnya mendidik anak sejak dini terutama dalam menanamkan pendidikan agama Islam. Karena pada usia ini merupakan masa-masa terpenting bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Sehingga perlu untuk ditanamkan nilai-nilai agama sejak dini agar dapat membentuk kepribadian anak yang Islami. Selain itu merupakan masa penentu keberhasilan anak di masa mendatang.
Dengan latar belakang di atas, penulis akan melakukan penelitian dalam bentuk skripsi yang mengangkat judul PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA ANAK USIA DINI DI PGIT X. Dengan alasan bahwa lembaga tersebut merupakan lembaga pendidikan prasekolah yang memprioritaskan pembelajaran pendidikan agama Islam pada anak usia dini.

SKRIPSI PELAKSANAAN METODE CERITA UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN SOSIALISASI ANAK USIA DINI DI TK

(KODE : PG-PAUD-0081) : SKRIPSI PELAKSANAAN METODE CERITA UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN SOSIALISASI ANAK USIA DINI DI TK

contoh skripsi paud
BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Pendidikan terpenting dan pertama yang harus diberikan oleh seorang pendidik adalah menanamkan keyakinan pada anak, yang mana ini diharapkan dapat melandasi sikap, tingkah laku dan kepribadian anak. Pembentukan kepribadian tersebut berlangsung secara berangsur-angsur dan berkembang sehingga menjadi proses menuju kesempurnaan.
Dalam mengkomunikasikan ilmu pengetahuan agar berjalan secara efektif, maka perlu menerapkan berbagai metode mengajar yang sesuai dengan tujuan, situasi dan kondisi yang ada guna meningkatkan pembelajaran dengan baik. Hal ini dikarenakan berhasil atau tidaknya suatu proses belajar mengajar ditentukan oleh adanya metode pembelajaran yang merupakan suatu bagian yang sangat urgen dalam sistem pembelajaran. Yang dimaksud dengan metode disini adalah suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam proses pembelajaran, metode sangat diperlukan oleh guru guna kepentingan proses pengajarannya.
Masa kanak-kanak merupakan sebuah periode penaburan benih, pendirian serta pondasi yang dapat disebut sebagai periode pembentukan watak, kepribadian dan karakter dari seorang manusia. Agar manusia kelak memiliki kekuatan dan kemampuan untuk berdiri tegar dalam meniti kehidupan.
Sebagaimana hadits Nabi : 
“Dari Abi Hurairoh sesungguhnya dia berkata bahwa rasulullah SA W. Bersabda : Tidaklah ada seorang anak pun yang dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah, kedua orang tualah yang mempengaruhi anak itu menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi”. (HR. Muslim)."
Pendidikan terhadap anak dipandang sebagai salah satu aspek yang memiliki peranan pokok sebagai pembentukan manusia menjadi insan kamil (manusia sempurna) atau yang memiliki kepribadian utama. Maka dari itu, hendaklah pendidikan menyentuh aspek yang bersinggungan langsung dengan ilmu umum agar mereka dapat hidup dan berkembang sesuai dengan cita-cita pendidikan itu sendiri. Dalam sebuah cerita terdapat ide, tujuan, imajinasi, bahasa dan gaya bahasa. Unsur-unsur dalam cerita tersebut berpengaruh dalam pembentukan pribadi anak. Untuk itulah tumbuh kepentingan dalam mengambil manfaat dari adanya sebuah cerita.
Metode cerita tampaknya memang merupakan metode yang sederhana namun dapat menarik interest seseorang lebih-lebih jika diterapkan untuk pendidikan anak-anak. Oleh karena itu, proses pendidikan pada anak dapat dilakukan oleh orang tua dan para pendidik melalui suri tauladan dengan contoh-contoh perilaku maupun dengan cerita-cerita yang dapat mendukung sikap dan nilai-nilai yang baik.
Masa usia dini merupakan periode emas (golden age) bagi perkembangan anak untuk memperoleh proses pendidikan. Periode ini adalah tahun-tahun berharga bagi seorang anak untuk mengenali berbagai fakta di lingkungan sebagai stimulan terhadap perkembangan kepribadian, psikomotor, kognitif maupun sosialnya. Pada usia dini tersebut anak masih mempunyai pola pikir sederhana, mereka belajar apa yang mereka lihat dan apa yang mereka dengar kemudian mereka cenderung mencontoh dari apa yang mereka lihat dan apa yang mereka dengar. Pengalaman tersebut nantinya akan terekam kuat dalam otak mereka. Jika lingkungan di sekitarnya baik, maka besar kemungkinan anak tersebut akan baik, begitu juga sebaliknya.
Awal masa kanak-kanak berlangsung dari usia dua sampai enam tahun. Orang tua menyebutnya sebagai usia problematis/usia sulit karena memelihara/mendidik mereka sulit; disebut sebagai usia main karena sebagian besar hidup anak waktunya dihabiskan untuk main. Masa ini dikatakan usia pra kelompok karena pada masa ini anak-anak mempelajari dasar-dasar perilaku sosial sebagai persiapan bagi kehidupan sosial yang lebih tinggi yang diperlukan untuk penyesuaian diri pada waktu masuk kelas satu SD. Manusia akan mengalami proses sosialisasi agar ia dapat hidup dan bertingkah laku sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat dimana ia berada. Syarat penting untuk berlangsungnya proses sosialisasi adalah adanya interaksi sosial, karena tanpa interaksi sosial, sosialisasi tidak mungkin berlangsung.
Perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian sesudah tahun pertama ditandai oleh beberapa proses-proses yang sangat fundamental. Tingkah laku sosial interaktif seperti tingkah laku kooperatif, altruistis dan agresif banyak dipengaruhi oleh latar belakang struktural yang disebut ‘‘role taking” (pengambilan peran) dan egosentrisme. Dalam buku ‘‘Denken over jezelf en ander” (berfikir tentang diri dan orang lain) (Gerris, Jansen, dan Badal, 1980) diterangkan bahwa perkembangan sosial dapat dibagi dalam tiga bagian yaitu kognisi sosial, artinya pengertian akan tingkah laku orang lain : kecakapan dalam bergaul dengan orang lain seperti sikap altruistis dan kooperatif : dan nilai-nilai sosial, artinya ‘‘berfikir dan bertindak dalam kenyataan sosial, berlangsung atas dasar pemilikan nilai-nilai”.
Dalam filsafat perkembangan dan pertumbuhan, disamping memperhatikan individualitas anak juga harus memperhatikan masyarakat dimana ia tumbuh dan dewasa. Lingkungan sosial inilah yang memberi fasilitas dan area-bermain pada anak untuk pelaksanaan realisasi diri. Oleh karena itu, anak tidak mungkin bisa berkembang sendiri tanpa bantuan dari lingkungan sosialnya (orangtua, lembaga pendidikan, dll). Setiap tingkah laku anak merupakan tingkah laku sosial, karena mempunyai relasi kaitan dengan orang lain baik dengan teman sebaya ataupun dengan orang dewasa.
Usia dini merupakan masa peka yang sangat penting bagi pendidikan. Untuk itu, saat yang paling baik memberikan pendidikan anak adalah pada usia dini. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya dilakukan pada saat usia dini yang dapat dilakukan oleh keluarga, sekolah dan masyarakat. Masa ini merupakan masa ekspresi kreativitas, seperti bermain boneka, suka mendengarkan atau bercerita, permainan drama, menyanyi, menggambar dan lain sebagainya.
Bagi anak usia TK mendengarkan cerita yang menarik yang dekat dengan lingkungannya merupakan kegiatan yang mengasyikkan. Guru dapat memanfaatkan kegiatan bercerita untuk menanamkan kejujuran, keberanian, keramahan, dan sikap-sikap positif yang lain dalam kehidupan lingkungan keluarga, sekolah, dan luar sekolah. Kegiatan bercerita juga memberikan sejumlah pengetahuan sosial, nilai-nilai moral dan keagamaan.
Proses pembelajaran akan berhasil apabila didukung oleh berbagai faktor dan aspek tertentu, diantaranya adalah metode pembelajaran. Metode pembelajaran merupakan suatu cara yang terarah dalam proses belajar mengajar sehingga pengajaran menjadi lebih berkesan dan terarah untuk mencapai tujuan pembelajaran. Penggunaan metode yang tepat dapat memudahkan pendidik untuk mencapai tujuan pendidikan.
Kondisi riil yang terjadi di obyek penelitian yaitu dalam penyampaian cerita masih memiliki banyak kendala. Hal itu disebabkan kurangnya minat dari anak dalam mendengarkan cerita yang disampaikan oleh guru dan kemampuan guru yang relatif rendah dalam menyampaikan cerita yang menarik
Dari uraian dan pemikiran tersebut, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan mengangkat judul ‘‘PELAKSANAAN METODE CERITA UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN SOSIALISASI ANAK USIA DINI DI TK”.

SKRIPSI MEMBANGUN PEMAHAMAN KARAKTER KEJUJURAN MELALUI PERMAINAN TRADISIONAL JAWA PADA ANAK USIA DINI

(KODE : PG-PAUD-0080) : SKRIPSI MEMBANGUN PEMAHAMAN KARAKTER KEJUJURAN MELALUI PERMAINAN TRADISIONAL JAWA PADA ANAK USIA DINI

contoh skripsi paud

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tingkat korupsi suatu negara dapat diukur dari Indeks Persepsi Korupsi (IPK). Data tahun 2009 menunjukan bahwa Indonesia berada pada papan bawah dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2,8. Skala IPK mulai dari 1 sampai 10, semakin besar nilai IPK suatu negara maka semakin bersih negara tersebut dari tindakan korupsi. Dari data yang diperoleh dari Transparency International Corruption Perception Index 2009 tersebut, IPK Indonesia sama dengan negara lainnya pada urutan 111 seperti Algeria, Djibouti, Egypt, Kiribati, Mali, Sao Tome and Principe, Solomon Islands dan Togo. Angka ini menyimpulkan bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang belum lepas dari persoalan korupsi.
Berdasarkan data-data tentang tingkat korupsi di Indonesia, persoalan korupsi menjadi permasalahan besar yang harus diselesaikan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah melalui pendidikan. Pendidikan Anti Korupsi pada hakikatnya merupakan bagian dari pendidikan karakter. Pendidikan anti korupsi berfokus pada pengembangan tata nilai & moralitas pada individu. Kemendikbud telah menetapkan bahwa pendidikan karakter dianggap sangat penting dalam keseluruhan proses pembelajaran di sekolah. Dalam buku panduan tentang Pendidikan Karakter di SMP, Kemendiknas (2010), disebutkan bahwa karakter merupakan salah satu faktor terpenting bagi kesuksesan seseorang. Kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih ditentukan oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill).
Pendidikan anti korupsi adalah pendidikan untuk menanamkan nilai-nilai pada anak. Menurut Handoyo (2009) nilai-nilai yang dapat disemaikan kepada generasi muda, terutama mereka yang masih duduk di bangku sekolah diantaranya adalah kejujuran, tanggung jawab, keberanian, keadilan, keterbukaan, kedisiplinan, kesederhanaan, kerja keras, dan kepedulian.
Menurut laporan KPK tahun 2007 dalam pengembangan modul pendidikan, telah dibuat 3 modul untuk siswa SMP dan telah siap untuk dipublikasikan pada tahun 2008. Selain itu juga, untuk pendidikan pengembangan karakter anti korupsi bagi SD, telah dibuat modul pendidikan untuk siswa kelas 4, 5, dan 6. Khusus untuk pendidikan pengembangan siswa Taman Kanak-kanak (TK) telah dibuat buku dongeng anti korupsi yang berisi pesan moral yang memadukan cerita sederhana dengan tokoh dan karakter hewan-hewan lucu. Implementasi kegiatan pendidikan dengan pendekatan dongeng akan dilaksanakan pada tahun 2008.
Pendidikan anti korupsi memiliki banyak nilai yang harus dikembangkan untuk dapat membangun karakter anti korupsi kepada anak. Ada salah satu nilai yang paling penting untuk membangun karakter anti korupsi. Nilai tersebut adalah nilai kejujuran. Pendidikan anti korupsi adalah pendidikan yang berkaitan dengan cara-cara untuk menanamkan kejujuran pada diri peserta didik melalui serangkaian cara dan strategi yang bersifat edukatif (Deal dan Peterson, 1999) dalam Hamdani (2010). 
Sebagaimana pernyataan yang ditulis oleh Hamdani (2010) bahwa moral kejujuran adalah moral universal, moral yang dijunjung tinggi oleh bangsa-bangsa modern dan beradab. Yang didasarkan atas nilai-nilai kejujuran. Kejujuran pada gilirannya akan menumbuhkan kepercayaan (trust), dan kepercayaannya merupakan salah satu unsur modal sosial. Tugas pendidikan adalah menanamkan nilai-nilai kejujuran kepada setiap komponen di dalamnya, baik itu siswa, staff guru maupun komponen lainnya. Handoyo, dkk (2010) melakukan penelitian tentang penanaman nilai-nilai kejujuran dalam pendidikan anti korupsi di SMA 06 kota Semarang. Adanya penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pendidikan anti korupsi, kejujuran merupakan nilai yang paling penting untuk diajarkan kepada anak.
Membangun karakter bukanlah merupakan produk instan yang dapat langsung dirasakan sesaat setelah pendidikan tersebut diberikan. Pendidikan membangun karakter merupakan proses panjang yang harus dimulai sejak dini pada anak-anak dan baru akan dirasakan setelah anak-anak tersebut tumbuh menjadi dewasa. Penanaman pondasi karakter anti korupsi khususnya karakter kejujuran harus ditanamkan sejak usia dini. Salah satu cara untuk menanamkan karakter kejujuran pada anak adalah melalui pendidikan di sekolah. Menurut Schweinhart (1994) dalam Megawangi (2004) pendidikan karakter di sekolah hendaknya dimulai dari usia TK. Pembelajaran bagi anak usia dini hendaknya dilakukan secara bertahap. Dalam membangun karakter kejujuran pada anak, terlebih dahulu harus dikenalkan konsep atau pemahaman kepada anak usia dini tentang karakter kejujuran.
Model pendidikan untuk anak usia dini harus disesuaikan dengan masa perkembangan mereka yang masih didominasi oleh permainan sebagai media transfer pengetahuan. Salah satu metode yang sesuai digunakan dalam implementasi pendidikan membangun pemahaman karakter kejujuran adalah melalui bermain. Bermain adalah suatu kebutuhan yang sudah ada dengan sendirinya (inherent), dan sudah didapat secara alami. Permainan yang bisa digunakan adalah permainan tradisional anak yang sudah cukup lama berkembang di negeri ini, bahkan permainan-permainan tersebut sarat dengan nilai-nilai budaya bangsa. Namun demikian seiring dengan perkembangan jaman permainan tradisional ini semakin lama semakin dilupakan oleh anak-anak terutama di perkotaan karena sudah semakin banyaknya permainan modern yang berasal dari luar negeri.
Kajian tentang permainan tradisional anak di Indonesia umumnya belum sangat berkembang, tapi terlihat perhatian yang cukup besar dari kalangan ilmuwan terhadap fenomena budaya ini, kecuali dari kalangan tertentu. Namun demikian perhatian yang cukup serius telah diberikan oleh pemerintah melalui Balai kajian Sejarah dan Nilai Tradisional yang berada di bawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Beberapa studi telah dilakukan oleh para ahli, bahkan beberapa berusaha mengetahui proses-proses perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan dampaknya terhadap berbagai jenis permainan tradisional di Jawa. Salah satu faktor yang ditemukan menjadi penyebab semakin surutnya permainan anak-anak tradisional dari tengah kehidupan anak-anak di Jawa adalah masuknya pesawat televisi ke daerah pedesaan. Dengan berbagai tayangan acara yang menarik dan tidak membutuhkan tenaga untuk menikmatinya, tontonan dari pesawat televisi secara langsung menjadi hal yang lebih disukai oleh anak-anak ketimbang berbagai permainan anak-anak yang memang tidak semuanya menarik dan menyenangkan untuk dimainkan.
Permainan tradisional anak merupakan unsur-unsur kebudayaan yang tidak dapat dianggap remeh, karena permainan ini memberikan pengaruh yang tidak kecil terhadap perkembangan kejiwaan, sifat, dan kehidupan sosial anak di kemudian hari. Selain itu, permainan anak-anak ini juga dianggap sebagai salah satu unsur kebudayaan yang memberi ciri atau warna khas tertentu pada suatu kebudayaan. Oleh karena itu permainan tradisional anak-anak juga dapat dianggap sebagai aset budaya, sebagai modal bagi suatu masyarakat untuk mempertahankan keberadaannya dan identitasnya di tangan kumpulan masyarakat yang lain (Sukirman, 2004).
Misbach (2006) mengatakan dalam artikelnya bahwa permainan tradisional mengandung pesan-pesan moral dengan muatan kearifan lokal (local wisdom). Permainan tradisional bisa dikategorikan dalam tiga golongan, permainan untuk bermain (rekreatif), permainan untuk bertanding (kompetitif) dan permainan yang bersifat edukatif. Walaupun permainan-permainan ini dibeda-bedakan dalam 3 kategori, namun tidak berarti sifat yang ada pada satu macam permainan tidak terdapat dalam permainan jenis lainnya. Ada percampuran-percampuran diantara unsur-unsur permainan tersebut. Yang mendasar, semua jenis permainan ini kental dengan nilai-nilai kerjasama; kebersamaan; kedisiplinan; kejujuran; yang merupakan nilai-nilai pandangan hidup (world-view) dari berbagai suku bangsa di Indonesia, yang mendasari filosofi terbentuknya permainan tradisional ini.
Menurut Purwaningsih (2006) permainan tradisional mengandung unsur-unsur nilai budaya. Menurut Dharmamulya (2008), unsur-unsur nilai budaya yang terkandung dalam permainan tradisional adalah nilai kesenangan atau kegembiraan, nilai kebebasan, rasa berteman, nilai demokrasi, nilai kepemimpinan, rasa tanggung jawab, nilai kebersamaan dan saling membantu, nilai kepatuhan, melatih cakap dalam berhitung, melatih kecakapan berpikir, nilai kejujuran dan sportivitas.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Badu (2011) menunjukkan bahwa pelatihan permainan tradisional edukatif potensi lokal mampu meningkatkan kemampuan dan keterampilan orang tua anak usia dini dalam kegiatan bermain anak. Dalam penelitian ini dikatakan bahwa permainan tradisional edukatif menanamkan sikap hidup dan keterampilan seperti nilai kerja sama, kebersamaan, kedisiplinan, kejujuran, dan musyawarah mufakat karena ada aturan yang harus dipenuhi oleh anak sebagai pemain. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Badu (2011) ini menunjukkan bahwa permainan tradisional adalah sangat penting untuk diajarkan kepada anak usia dini di lingkungan rumah melalui orang tua. Penelitian yang dilakukan oleh Badu (2011), menunjukkan bahwa permainan tradisional mengandung nilai sikap hidup dan keterampilan. Salah satu dari nilai itu adalah nilai kejujuran.
Kajian permainan tradisional telah dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1982 melalui penelitian dalam bentuk inventarisasi permainan tradisional. Dalam penelitian tersebut belum sepenuhnya dijelaskan nilai-nilai yang terkandung dalam permainan tradisional. Mengingat jangka waktu inventarisasi penelitian telah dilakukan oleh Kementerian dan Kebudayaan pada tahun 1982 sudah mencapai rentang waktu 15 tahun maka dilakukan penelitian untuk mengidentifikasi nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) dalam permainan tradisional etnis Sunda. Dalam penelitian ini banyak sekali nilai-nilai yang ada dalam permainan tradisional yaitu jiwa kepemimpinan, kerjasama, lapang dada, menegakkan keadilan, taat aturan, jujur, usaha keras, tidak sombong, cerdik, dan motivator untuk menang. Salah satu contoh misalnya permainan tradisional congkak atau dakon mengandung nilai disiplin diri, kejujuran diri, kerja sama, menghargai kawan dan lawan, kecepatan dan ketepatan, melatih kesabaran, tanggung jawab.
Penelitian yang dilakukan oleh Siagawati dkk (2007), mengungkap nilai-nilai yang terkandung dalam permainan tradisional Gobak Sodor. Nilai-nilai dalam permainan Gobak Sodor adalah sebagai berikut ; yang pertama yaitu aspek jasmani yang meliputi nilai kesehatan dan kelincahan. Yang kedua, aspek psikologis yang meliputi nilai kejujuran, sportivitas, kepemimpinan, pengaturan strategi, kegembiraan, spiritualisme, perjuangan.
Berdasarkan uraian di atas peneliti menyusun skripsi dengan judul “MEMBANGUN PEMAHAMAN KARAKTER KEJUJURAN MELALUI PERMAINAN TRADISIONAL PADA ANAK USIA DINI”.

SKRIPSI MANAJEMEN KURIKULUM PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

(KODE : PG-PAUD-0079) : SKRIPSI MANAJEMEN KURIKULUM PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

contoh skripsi paud

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah upaya manusia untuk memanusiakan manusia, pada dasarnya adalah untuk mengembangkan kemampuan dan potensi manusia sehingga bisa hidup layak, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat. Pendidikan juga bertujuan mendewasakan anak, kedewasaan tersebut mencakup pendewasaan intelektual, sosial dan moral tidak semata-mata kedewasaan dalam arti fisik. Pendidikan adalah proses sosialisasi untuk mencapai kompetensi pribadi dan sosial sebagai dasar untuk mengembangkan potensi dirinya sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya.
Anak diciptakan Allah dengan dibekali kekuatan pendorong alamiah yang dapat diarahkan ke arah baik atau ke arah yang buruk. Menurut Sayid Sabiq kewajiban orang tualah agar memanfaatkan kekuatan-kekuatan alamiah itu dengan menyalurkannya ke saluran yang baik, yaitu dengan mendidik anak -anak asuhannya sejak usia dini, dengan membiasakan diri dengan kelakuan dan adat istiadat yang baik. Agar mereka tumbuh dan berkembang menjadi manusia-manusia yang berguna bagi dirinya dan bagi pergaulan hidup sekelilingnya. Begitu juga mengenai agama yang dianut oleh anak, orang tua sangat mempengaruhi agama apa yang akan dianut oleh anak kelak.
Sebagaimana diterangkan dalam al-Quran surat Ar-Rum ayat 30 yang berbunyi : 
Artinya : “Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah. Tetaplah fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah tersebut. tidak ada perubahan bagi fitrah Allah; itulah agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.
Disamping ayat tersebut, juga disebutkan dalam hadits Nabi yang berbunyi : 
Artinya : “Dari Abu Hurairah berkata : Rasulullah saw. bersabda tidaklah anak yang dilahirkan itu kecuali telah membawa fitrah (kecenderungan untuk percaya kepada Allah). Maka kedua orang tuanya lah yang menjadikan anak tersebut beragama yahudi, nasrani, ataupun majusi” (HR. Muslim)
Jelas bahwa pada dasarnya anak itu telah membawa fitrah beragama dan kemudian tergantung pada pendidikan yang diberikan selanjutnya. Kalau mereka mendapatkan pendidikan agama dengan baik, maka mereka akan menjadi orang yang taat beragama pula. Tetapi sebaliknya, jika tidak dipupuk dan dibina, anak akan menjadi orang yang tidak beragama ataupun jauh dari agama.
Menurut M. Arifin yang mengutip pendapatnya Crow & Crow mengatakan bahwa, pendidikan pertama anak diterima dalam lingkungan rumah. Keadaan ekonomi serta tingkat kehidupan rumah, kestabilan emosi orang tua dan keluarga serta cita-cita dan ambisi yang tampak dari tingkah laku anggota keluarga yang lebih tua umurnya, kesemuanya itu mempengaruhi tingkah laku serta sikap anak secara langsung ataupun tidak langsung. Anak yang terlalu dimanjakan, terlalu dilindungi atau diterlantarkan atau orang tuanya bersikap keras yang mengganggu perasaan, dapat menjadikan anaknya perusak, penakut, dan sakit saraf.
Anak merupakan makhluk Allah yang sedang menempuh perkembangan ke arah abdi Allah yang shaleh. Dalam hal ini, sebagai mana menurut Allport yang dikutip oleh Sumadi Suryabrata, bahwa manusia merupakan organisme yang pada waktu lahir adalah makhluk biologis, lalu berubah atau berkembang menjadi individu yang egonya selalu berkembang, struktur sifat-sifatnya meluas dan merupakan inti dari pada tujuan-tujuan dan aspirasi masa depan.
Pendidikan merupakan proses belajar mengajar yang dapat menghasilkan perubahan tingkah laku yang diharapkan segera setelah anak dilahirkan mulai terjadi proses belajar pada diri anak dan hasil yang diperoleh adalah kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan dan pemenuhan kebutuhan. Pendidikan membantu agar proses itu berlangsung secara berdaya guna dan berhasil guna. Maka dari itu anak sebagai harta yang perlu dibina dan dipupuk sejak dini, ia membutuhkan pendidikan untuk menyiapkan diri menatap masa depan sehingga menjadi manusia dewasa yang berkualitas. Kini dunia juga bergantung kepada sistem dan dasar pendidikannya. Apabila pendidikannya benar maka wajah dunia akan menjadi indah berseri dan sebalikya apabila pendidikannya salah dunia akan dibelenggu oleh kegarangan hidup yang bisa mengubah watak manusia menjadi hewan yang buas yang selalu ingin menerkam kawan dan lawan.
Sekolah juga merupakan salah satu lembaga pendidikan yang dipercaya masyarakat dan negara untuk menyiapkan sumber daya manusia yang dibutuhkan dalam pembangunan bangsa. Karena itu, sekolah dituntut harus mampu menghasilkan out put yang berkualitas yaitu SDM yang pandai, trampil dan berbudi pekerti luhur.
Pakar pendidikan mengingatkan, mendidik anak agar cerdas, kreatif, dan terampil harus dimulai sejak usia dini. Mengutip pendapat Ki Hajar Dewantara, anak yang cerdas perlu diawali di taman anak (sekarang Taman Kanak-kanak atau Masa Wiraga), dimana diberikan pendidikan yang berkaitan dengan pengembangan daya cipta dan pikir, bahasa, perilaku, dan ketrampilan, jasmani serta moral, emosi, sosial, dan disiplin.
Menurut Dr. Soemarti Patmonodewo dalam Pendidikan Anak Prasekolah halaman 56 mengatakan bahwa pendidikan TK memperhatikan beberapa prinsip pendidikan, antara lain : (1) TK merupakan salah satu bentuk awal pendidikan sekolah, untuk itu TK perlu menciptakan situasi pendidikan yang dapat memberikan rasa aman dan menyenangkan; (2) Masing-masing anak perlu mendapat perhatian yang bersifat individual, sesuai dengan kebutuhan anak TK; (3) Perkembangannya adalah hasil proses kematangan dan proses belajar : (4) Kegiatan belajar di TK adalah pembentukan perilaku melalui pembiasaan yang terwujud dalam kegiatan sehari-hari; (5) sifat kegiatan di TK merupakan pengembangan kemampuan yang telah diperoleh di rumah; (6) Bermain merupakan cara yang paling baik untuk mengembangkan kemampuan anak didik.
Sebagaimana disebutkan dalam undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, pasal 28 tentang Pendidikan Anak Usia Dini : 
a. Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.
b. Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.
c. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk taman kanak-kanak (TK), Raudlatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.
d. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk kelompok bermain (KB), taman penitipan anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.
e. Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.
Dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, Bab I Pasal I disebutkan bahwa pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar dan dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal atau informal. Dalam hal ini, TK (Taman Kanak-kanak) merupakan salah satu jalur pendidikan formal yang diselenggarakan untuk anak usia dini yang di mulai pada umur 4 sampai 6 tahun dalam rangka mengembangkan potensi mereka dengan sistem bermain sambil belajar.
Berdasarkan uraian-uraian di atas tentang pendidikan anak usia dini, maka manajemen kurikulum yang jelas dan sistematis tentunya harus sangat diperhatikan dalam pendidikan usia dini, karena harus selalu memperhatikan tingkat perkembangan dan psikologi anak didik. Karena setiap anak adalah unik, dalam arti pola dan saat pertumbuhan dan perkembangan, baik kepribadian, gay a pembelajaran dan latar belakang keluarga. Kurikulum dan interaksi orang dewasa anak seharusnya disesuaikan dengan masing-masing individu.
Pembelajaran pada anak usia dini adalah hasil dari interaksi antara pemikiran anak dan pengalamannya dengan materi-materi, ide-ide dan orang di sekitarnya. Pendidikan dapat menggunakan pengetahuan tentang perkembangan anak guna mengidentifikasi tentang kecapaian tingkah laku, aktivitas dan materi-materi yang diperlukan untuk suatu kelompok usia, yang sekaligus dapat dipergunakan untuk memahami pola perkembangan anak, kekuatan, minat, dan pengalaman serta guna merancang lingkungan pembelajaran yang sesuai. Walaupun gaya pembelajaran ditentukan oleh berbagai faktor antara lain tradisi, nilai sosial-budaya, harapan orang tua dan strategi guna mencapai perkembangan yang optimal yang harus disesuaikan dengan usia dari masing-masing individu.
Di kalangan para pendidik sudah ada kesepahaman bahwa anak bukanlah orang dewasa dalam ukuran kecil. Oleh sebab itu, anak harus diperlakukan sesuai dengan tahap-tahap perkembangannya. Hanya saja dalam praktik pendidikan sehari-hari tidak selalu demikian yang terjadi. Banyak contoh yang menunjukkan betapa peran orang tua dan masyarakat pada umumnya memperlakukan anak tidak sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Walaupun dalam peraturan pemerintah terlihat perbedaan yang jelas antara TK dan SD, dalam kenyataan di lapangan kedua jenjang pendidikan tersebut tidak banyak membedakan materi maupun metodologi pembelajarannya. Di banyak tempat, sistem pembelajaran di Taman Kanak-Kanak tidak banyak berbeda dengan di Sekolah Dasar. Jika praktik pendidikan seperti ini di teruskan, di khawatirkan akan terjadi dampak-dampak negative pada perkembangan anak kemudian hari. Oleh karena itu, dalam pendidikan usia dini harus selalu memperhatikan aspek-aspek perkembangan anak, yakni : kurikulum yang digunakan.
Salah satu tugas sekolah sebagai lembaga pendidikan adalah melaksanakan semua kegiatan pembelajaran sesuai dengan kurikulum yang berlaku, karena kurikulum di sini merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Jadi, berhasil atau tidaknya suatu proses pendidikan sebagian besar ditentukan dari manajemen kurikulum suatu lembaga pendidikan.
Adanya manajemen kurikulum, dalam hal ini khususnya muatan lokal, yang diselenggarakan secara efektif dan efisien, diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas pendidikan suatu daerah. Untuk itu diperlukan sebuah manajemen yang baik dari suatu lembaga pendidikan. “Studi tentang manajemen kurikulum adalah bagian integral dari kurikulum. Karena sekolah merupakan bagian dari masyarakat dan mempersiapkan anak didik untuk kehidupan di masyarakat, maka sekolah sangat dipengaruhi lingkungan masyarakat di mana sekolah tersebut berada.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat kita tarik simpulan bahwasannya pembelajaran di Taman Kanak-Kanak sangat besar pengaruhnya dalam meneruskan di jenjang pendidikan. Karena pembelajaran di Taman Kanak-Kanak itu seperti menanam pohon di waktu masa kecil. Hal ini menyebabkan penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh tentang MANAJEMEN KURIKULUM PENDIDIKAN ANAK USIA DINI.