Search This Blog

Showing posts with label skripsi hukum islam. Show all posts
Showing posts with label skripsi hukum islam. Show all posts

SKRIPSI ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN AKAD JUAL BELI MELALUI MEDIA TELEPON DI RESTORAN MCDONALD

(KODE : HKM-ISLM-00016) : SKRIPSI ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN AKAD JUAL BELI MELALUI MEDIA TELEPON DI RESTORAN MCDONALD

contoh skripsi hukum islam

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk sosial, dalam hidupnya memerlukan bantuan orang lain dalam kehidupan di masyarakat. Dalam kehidupannya manusia sebagai makhluk sosial tidak mungkin hidup, tanpa bantuan orang lain. Antara satu dengan yang lainnya pasti ada ikatan saling ketergantungan, yaitu saling bantu membantu dan saling menerima atau memberikan andil kepada sesamanya. Mereka saling bermu'amalah untuk memenuhi hajat hidup dan untuk mencapai kemajuan dalam hidupnya.
Dalam rangka memenuhi hajat hidup yang bersifat materiil itulah masing-masing mengadakan ikatan yang berupa perjanjian-perjanjian atau akad-akad. Seperti jual beli, sewa-menyewa, syirkah dan sebagainya, yang semuanya itu tercakup dalam muamalah.
Apabila bicara mengenai transaksi jual beli, apakah praktek jual beli itu sudah sesuai dengan syari'ah Islam atau belum. Hal ini dilakukan agar menggeluti dunia usaha itu dapat mengetahui hal-hal yang dapat mengakibatkan jual beli itu menjadi sah atau tidak. Dalam ajaran islam hubungan manusia dalam masyarakat agar tidak terjadi saling merugikan harus dilakukan atas dasar pertimbangan yang mendatangkan manfaat dan menghindarkan madharat. Karena itu, setiap praktek muamalah harus dijalankan dengan memelihara nilai-nilai keadilan dan menghindarkan unsur-unsur penganiayaan serta unsur-unsur penipuan.
Masalah muamalah senantiasa berkembang, tetapi perlu diperhatikan agar perkembangan itu jangan sampai menimbulkan kesulitan-kesulitan hidup pada suatu pihak disebabkan intervensi-intervensi dari pihak lain.
Salah satu bentuk perwujudan dari muamalah yang disyariatkan oleh Allah SWT adalah jual beli. Dalam hal itu jual beli dalam islam menentukan aturan-aturan seperti yang telah diungkapkan oleh para ulama fiqih baik mengenai syarat, rukun, maupun bentuk-bentuk jual beli yang tidak diperbolehkan. Semua itu dalam prakteknya harus dikerjakan secara konsekuen dan ada manfaatnya bagi yang bersangkutan. Namun demikian, dalam kaitannya dengan praktek jual beli terdapat penyimpangan dari aturan yang ada. Karena setiap manusia semenjak lahir dan sepanjang hidupnya, perlu akan bantuan orang lain dan tidak sanggup berdiri sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang makin bertambah. Jual beli adalah salah satu cara mudah untuk saling tukar menukar kebutuhan. Karena jual beli merupakan kebutuhan dalam kehidupan manusia, maka Islam menetapkan kebolehannya sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur'an dan hadits Nabi. Firman Allah SWT, surat Al-Baqarah ayat 275 : 
Artinya : "Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba".
Dan sebagaimana disebutkan juga dalam hadits Rasulullah SAW yang berbunyi : 
Artinya : "Dari Rifa'ah Ibnu Rafi' bahwasanya Nabi SAW ditanya, apa pencarian yang lebih baik? Jawabnya : bekerja seseorang dengan tangannya dan tiap-tiap jual beli yang bersih." (Diriwayatkan oleh Bazzar dan disahkan oleh Hakim)
Islam menghalalkan jual-beli karena sangat diperlukan masyarakat. Namun demikian dalam pelaksanaannya diperlukan aturan-aturan yang kokoh yang harus dipelihara untuk menjamin muamalah yang baik. Maka jual-beli tidaklah sempurna melainkan adanya ijab dan qabul, adanya dua akid yang sama-sama mampu bertindak atau dua orang yang diwakilkan, adanya ma'qud 'alaihi yang diketahui oleh kedua belah pihak, juga barang yang memberi manfaat dan tidak diharamkan syara'. Disamping itu berkaitan dengan prinsip jual-beli, maka unsur kerelaan antara penjual dan pembeli adalah yang utama. Islam merupakan agama yang memberi cara hidup terpadu mengenai aturan-aturan dan sistem untuk seluruh aspek kehidupan, termasuk sistem spiritual maupun sistem perilaku ekonomi dan politik. Adanya kebebasan pasar dalam menentukan harga yang selaras dengan penawaran dan permintaan adalah salah satu contoh dari aspek perilaku ekonomi.
Di dalam perkembangan dunia bisnis banyak persaingan yang semakin ketat menjadi tantangan maupun ancaman bagi pelaku usaha agar dapat memenangkan persaingan perusahaan dalam usahanya untuk memenangkan persaingan, mempertahankan pasar yang dimiliki dan merebut pasar yang sudah ada, dituntut untuk mempunyai kemampuan mengadaptasi strategi usahanya dan lingkungan yang terus-menerus berubah dan berkembang. Setiap pelaku bisnis dituntut untuk mempunyai kepekaan terhadap perubahan yang terjadi, serta mampu memenuhi dan menanggapi setiap tuntutan pelanggan yang terus berubah. Banyak perusahaan harus menempatkan orientasi kepada kepuasan pelanggan sebagai tujuan utama.
Mc Donald's sebagai restoran Internasional berada pada Negara yang memiliki kebudayaan yang berbeda-beda. Salah satunya Mc Donald's di Indonesia sudah menghadapi persaingan dari restoran cepat saji lokal maupun dari cabang-cabang perusahaan lainnya yang beroperasi di Indonesia. Karena itu, terkait dengan budaya Mc Donald's juga menyesuaikan produk-produk yang di pasarkan dengan budaya Negara tersebut. Maka dengan persaingan restoran cepat saji yang sangat ketat Mc Donald's mengemas restoran cepat sajinya agar konsumen mendapatkan pengalaman tak biasa ketika membeli produk-produk Mc Donald's. Langkah awal yang dilakukan dengan meluncurkan slogan "Mana Lagi Selain di McD", untuk menunjukkan bahwa pelanggan akan mendapatkan experience lebih dibandingkan makan ditempat lain. Salah satunya bisa memesan suatu produk dan langsung bisa diantar. Biasanya kalau lewat sistem pemesanan itu harus melalui telepon.
Di dalam sistem pemesanan yang terjadi di Mc Donald's ketika akad pesanan sudah terjadi dan memesan suatu produk yang diinginkan oleh customer setelah menyebutkan perinciannya berdasarkan pesanannya, maka pesanan segera diantar dalam waktu 30 menit (dalam radius atau jarak 2 kilo dari store yang bersangkutan). Prepare produk 90 detik terhitung dari customer menutup telepon melalui call center 14045 Jakarta. Setelah customer menerima pesanan maka terjadilah transaksi, dalam hal ini ternyata ada kesenjangan antara yang diharapkan dengan apa yang terjadi, yaitu salah satunya customer membatalkan pesanannya di tengah jalan (setelah sampai alamat customer) dengan membatalkan pesanan dikarenakan produk ada yang kurang atau tidak sesuai yang dipesan, dan akibatnya akan dapat menimbulkan kerugian salah satu pihak.
Maka dalam hal ini menurut pengamatan penulis ternyata ada unsur antara praktek dan teori tidak sama. Yaitu dalam praktek terjadi kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan apa yang terjadi yang berupa salah satunya bisa menimbulkan kerugian salah satu pihak. Dan dalam teori yang perlu digaris bawahi yaitu salah satu syarat kesempurnaan akad jual-beli adalah bahwa barang yang diperjualbelikan harus memberikan manfaat dan tidak diharamkan oleh syara'. Serta akad jual beli merupakan ikatan kesepakatan atas keridhaan penyerahan dan penerimaan suatu barang yang dilakukan kedua belah pihak (penjual dan pembeli) dalam proses jual beli. Karena jual beli dalam Fiqih Islam disebut ba'i, Jual beli itu suatu bentuk akad antara sesuatu dengan sesuatu yang lain. Dalam hal ini Allah SWT telah berfirman : 
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu". (Q.S Al-Maidah : 1)
Jika kita melihat kembali aturan-aturan jual beli dalam sya'riat islam, agar jual beli menjadi sah maka harus memenuhi syarat dan rukunnya. Diantara rukun jual beli yang penting adalah unsur akad, baik barang yang diakadkan maupun yang berakad. Adapun akad menurut Abdul Rahman Aljaziri dalam kitabnya Al-Fiqh Ala Al-Mazhab Al-Arba'ah yaitu perikatan antara ijab dan qobul yang dibenarkan syara' yang menetapkan keridhaan pada kedua belah pihak.
Dari pemaparan latar belakang diatas, tampak jelas bahwa penulis ingin lebih detail mengetahui bagaimana proses pelaksanaan transaksi yang terjadi di restoran Mc Donald's. Oleh karena itu penulis merasa perlu untuk melakukan suatu penelitian yang pembahasannya tentang : ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN AKAD JUAL BELI MELALUI MEDIA TELEPON (STUDI KASUS).

SKRIPSI ANALISIS KEKUATAN HUKUM AKTA NOTARIS TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN PADA PENETAPAN PERKARA PERDATA

(KODE : HKM-ISLM-00015) : SKRIPSI ANALISIS KEKUATAN HUKUM AKTA NOTARIS TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN PADA PENETAPAN PERKARA PERDATA

contoh skripsi hukum islam

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia sebagai individu mempunyai kehidupan jiwa yang menyendiri, namun sebagai mahkluk sosial, manusia tidak dapat dipisahkan dari masyarakat karena manusia sejak lahir, hidup berkembang dan meninggal dunia selalu di dalam lingkungan masyarakat dan setiap manusia itu diciptakan dengan berpasang-pasangan. Manusia untuk memulai kehidupannya dalam berpasangan yakni terikat dengan perkawinan, yang mana dalam perkawinan tersebut akan terciptanya keluarga dan menghasilkan keturunan.
Kita ketahui perkawinan adalah mempertemukan laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim kemudian terikat dalam hubungan perkawinan. Untuk membentuk suatu keluarga, setiap manusia apakah dia seorang pria atau wanita perlu bergaul (berkomunikasi) dengan lawan jenisnya dalam rangka menuju kehidupan keluarga yang harmonis yaitu melangsungkan perkawinan.
Pada Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa : "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa."
Sebelum lahirnya Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, ketentuan, tata cara dan sahnya suatu perkawinan didasarkan pada hukum agama yang dianut para pihak maupun hukum adat yang berlaku pada daerah tertentu yang akan melangsungkan perkawinan, sehingga dapat ditemui bahwa tata cara suatu perkawinan akan berbeda menurut agama yang dianut masing-masing. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Dengan demikian Undang-undang Perkawinan tersebut merupakan landasan untuk menciptakan kepastian hukum akibat dari suatu perkawinan baik dari sudut hukum keluarga, harta benda dan status hukumnya. Hal ini dikarenakan Negara Indonesia yang kaya akan budaya dan adat, sehingga dengan hadirnya Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 untuk dijadikan landasan hukum dalam ketentuan perkawinan, agar di Indonesia ada kepastian hukum tentang perkawinan. Maka Undang-undang perkawinan ini, selain meletakkan asas-asas hukum perkawinan Nasional, sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan masyarakat di Indonesia.
Prof. Dr. Hazairin dalam bukunya yang berjudul : "Tinjauan mengenai Undang-undang No 1 Tahun 1974", beliau menamakan Undang-undang ini sebagai suatu unifikasi yang unik dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam pandangan masyarakat, perkawinan merupakan tali ikatan yang melahirkan keluarga sebagai dasar kehidupan masyarakat dan negara. Guna mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat, perlu adanya landasan yang kokoh dan kuat sebagai titik tolak pada masyarakat yang adil dan makmur, hal ini dituangkan dalam suatu Undang-undang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara di wilayah negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perkawinan pada masyarakat kita sejak dahulu mengenal adanya pencampuran harta perkawinan. Para mempelai tidak pernah meributkan mengenai harta masing-masing pihak. Asas saling percaya dan memahami pasangan menjadi landasan dalam penyatuan harta perkawinan.
Adanya suatu perkawinan akan menimbulkan berbagai masalah, dalam hal ini ada tiga masalah penting, yaitu : masalah hubungan suami-istri, masalah hubungan orang tua dengan anak dan masalah harta benda. Dan akibat dari suatu perkawinan memiliki pengaruh yang cukup luas antara lain sosial dan hukum, mulai pada saat perkawinan, selama perkawinan maupun setelah perkawinan, karena dalam suatu perkawinan banyak hal yang akan terjadi maupun yang akan didapatkan seperti; masalah harta, keturunan, dimana apabila tidak ada ketentuan yang jelas khususnya masalah pembagian harta peninggalan dari yang meninggal maupun yang melakukan perceraian, termasuk juga masalah harta bawaan masing-masing akan menimbulkan suatu persoalan.
Disamping soal hak dan kewajiban antara suami istri dan masalah anak ada lagi masalah tentang harta benda, hal ini merupakan pokok yang dapat menimbulkan berbagai perselisihan dan ketegangan hidup perkawinan, sehingga dapat memungkinkan terjadinya pertengkaran di dalam kehidupan rumah tangga. Tentang masalah harta ini ada dua kemungkinan, yakni ada harta bersama yang diperoleh dari setelah menikah sehingga harta tersebut menjadi kesatuan bulat dalam perkawinan, dan yang kedua adalah harta bawaan yang di bawa masing-masing oleh calon pengantin. Tentang tipe harta yang kedua tersebut, kadang ada pasangan yang menuangkannya dalam perjanjian nikah.
Dan akhir-akhir ini banyak ditemukan suatu masalah tentang perjanjian pra nikah yang dilakukan oleh calon mempelai pasangan. Jadi pernikahan menurut mereka yang melaksanakan perjanjian nikah ini, tidak hanya didasarkan oleh rasa kepercayaan antara pasangan, namun kadang kala hal ini dilakukan untuk menghindari konflik yang akan terjadi di kemudian hari dalam kehidupan pernikahan. Namun sebenarnya terasa janggal apabila kita melakukan pernikahan namun kehidupan kita dibatasi dengan adanya suatu perjanjian yang dinamakan sebagai perjanjian perkawinan (Prenuptial Agreement). Perjanjian perkawinan merupakan perjanjian yang dibuat oleh para pihak (mempelai pria dan wanita) sebelum atau pada saat dilangsungkannya pernikahan. Perjanjian ini mengatur akibat perkawinan terhadap harta dan kewajiban para pihak.
Perjanjian perkawinan dapat difungsikan sebagai persiapan untuk bahtera rumah tangga, karena isi perjanjian perkawinan tidak hanya berupa pemisahan harta antara milik suami dan istri. Isi perjanjian perkawinan bisa berupa hal-hal yang berkaitan dengan bagaimana membangun sebuah keluarga yang harmonis dan sejahtera. Sebagai contoh, pasangan suami istri dapat saling berjanji bahwa jika sudah menikah suami tidak boleh berpoligami dan melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Perkawinan merupakan suatu bentuk perjanjian itu sendiri karena ketika pasangan pengantin akan menikah diikat dengan perjanjian suci tersebut. Oleh karena itu, perjanjian perkawinan yang akan mengikat hubungan mereka lebih kuat lagi yang menjadi suatu perbuatan atau pilihan yang tidak dilarang oleh agama. Artinya, yakni umat Islam diperbolehkan membuat perjanjian perkawinan tanpa memandang hal ini sebagai suatu perbuatan yang bersifat duniawi. Namun, tentunya perjanjian perkawinan yang dibuat juga mengindahkan tata agama, tata hukum, dan tata susila yang berlaku di masyarakat.
Namun, perihal pembuatan perjanjian perkawinan ini seringkali bukan hanya calon pasangan pengantin saja yang bertengkar ketika ide perjanjian pernikahan dilontarkan, namun juga merembet menjadi masalah keluarga antara calon besan. Hal ini terjadi karena perjanjian pranikah bagi kebanyakan orang disini masih dianggap tidak pantas, materialistik, juga egois, tidak etis, tidak sesuai dengan adat dan lain sebagainya.
Selain itu, tentang perjanjian perkawinan bukanlah hal yang populer dalam masyarakat, karena dalam masyarakat terdapat pemikiran bahwa suami istri yang membuat perjanjian perkawinan dianggap tidak mencintai pasangannya sepenuh hati, karena tidak mau membagi harta yang diperolehnya. Hal ini disebabkan dengan adanya perjanjian perkawinan maka dengan sendirinya dalam perkawinan tersebut tidak terdapat harta bersama dan yang ada hanya harta pribadi masing-masing dari suami atau istri.
Terlepas dari anggapan masyarakat yang menilai perjanjian pra nikah ini dengan anggapan negatif, sebenarnya memiliki manfaat yang baik, yakni untuk kehidupan rumah tangga calon pasangan pengantin agar tidak semena-mena dan merugikan salah satu pihak.
Sebagai contoh seorang istri yang tidak melakukan perjanjian perkawinan, maka kekuasaan harta bersama biasanya lebih dikuasai oleh suami, sehingga tidak jarang suami sering melakukan kesalahan yang dapat merugikan istri dan harta bersama, misalnya suami suka berjudi, atau minum-minuman keras sehingga sering menghabiskan uang dari harta bersama. Atau sebaliknya sikap istri yang terlalu boros dalam memakai harta bersama, dimana dengan sikap itu harta bersama sering terpakai secara tidak bermanfaat sehingga tentunya juga akan merugikan bagi suami yang sudah bekerja keras untuk mengumpulkan harta tersebut. Akan tetapi jika mereka melakukan perjanjian perkawinan, maka suami atau istri hanya akan menghabiskan harta pribadinya sehingga harta si istri atau harta si suami tetap aman terpelihara.
Maka dengan membuat perjanjian pra nikah, pasangan calon pengantin mempunyai kesempatan untuk saling terbuka. Mereka bisa berbagi rasa atas keinginan-keinginan yang hendak disepakati bersama tanpa ada yang ditutup-tutupi atau salah satu pihak merasa dirugikan karena satu sama lain sudah mengetahui dan menyetujui dan mau menjalani isi perjanjian tersebut. Namun, tentang keinginan membuat perjanjian perkawinan semuanya tergantung atas calon pasangan pengantin dan kesepakatan bersama tanpa ada pemaksaan dari pihak lain.
Perjanjian kawin biasanya disusun sebelum dilangsungkannya perkawinan. Hal ini bertujuan mengatur terlebih dahulu sebelum adanya pernikahan. Sehingga hak dan kewajiban para pihak akan menjadi jelas. Pembuatan perjanjian sebelum ada perkawinan adalah agar perjanjian tersebut berlaku efektif ketika perkawinan tersebut dilangsungkan. Sebab ada kemungkinan jika perjanjian kawin dilaksanakan setelah adanya perkawinan akan menjadi sebuah hal yang aneh. Karena masih saja memikirkan harta sedangkan sudah saling terikat. Hal ini berarti ada indikasi untuk melakukan perceraian atau memang sejak awal motivasi perkawinan tersebut adalah motivasi ekonomi atau politis. Namun fenomena perjanjian pra nikah ini dilakukan oleh orang-orang yang memiliki harta dalam jumlah besar, sehingga merasa perlu untuk membuat perjanjian perkawinan agar tidak terjadi konflik di kemudian hari.
Tentang Perjanjian yang demikian itu menurut Pasal 147 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata tersebut harus diadakan sebelum perkawinan dilangsungkan dan harus diletakkan dalam suatu akta notaris. Perjanjian kawin ini mulai berlaku antara suami-istri pada saat perkawinan selesai dilakukan di depan Pegawai Catatan Sipil dan mulai berlaku terhadap para pihak ketiga sejak dilakukannya pendaftaran di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat, dimana dilangsungkannya perkawinan dan telah dicatat dalam Akta Perkawinan pada Catatan Sipil.
Dan apabila pendaftaran perjanjian tersebut belum dicatat dalam Akta Perkawinan Catatan Sipil, maka para pihak ketiga boleh menganggap suami-istri itu kawin dalam persatuan bulat harta kekayaan perkawinan.
Perjanjian kawin dilakukan secara tertulis atas persetujuan kedua belah pihak. Hal ini menimbulkan konsekuensi hukum yang berarti para pihak telah mengikatkan diri pada perjanjian tersebut dan tidak boleh melanggar perjanjian tersebut. Para pihak harus menaati perjanjian ini sebagaimana diatur dalam Bugerlijk Wetboek (BW). Sebagai sebuah perjanjian maka bila salah satu pihak melakukan pelanggaran (ingkar janji) dapat dilakukan gugatan baik gugatan cerai atau ganti rugi.
Perjanjian perkawinan ini dibuat untuk menjaga profesionalisme, hubungan, dan citra mereka, juga menghindari tuduhan bahwa salah satu pihak atau keluarganya ingin mendapatkan kekayaan pihak lain, terutama dari hasil pembagian harta gono-gini (harta yang didapat setelah pernikahan).
Perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris, maupun dengan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pengawas Pencatat Perkawinan, sebelum perkawinan itu berlangsung dan ia mulai berlaku sejak perkawinan itu dilangsungkan. Materi yang diatur di dalam perjanjian tergantung pada pihak-pihak calon suami-calon istri, asal tidak bertentangan dengan hukum, undang-undang, agama, dan kepatutan atau kesusilaan. Perjanjian perkawinan ini berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, juga berlaku bagi pihak ketiga sepanjang pihak ketiga ini tersangkut.
Agar perjanjian perkawinan itu mempunyai kekuatan hukum, maka lebih baik dibuat di hadapan notaris, karena notaris memiliki wewenang dalam pembuatan akta otentik, berbicara tentang keterkaitan dengan akta otentik dan kewenangan notaris selaku pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik, dapat lebih jauh dilihat dalam UU No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, yaitu konsiderans butir b disebutkan bahwa untuk menjamin kepastian hukum, ketertiban, dan perlindungan hukum dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang diselenggarakan melalui jabatan tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa notaris mempunyai dasar hukum yang menguatkan profesi mereka.
Berdasarkan UUJN (Undang-undang Jabatan Notaris) tersebut diatur bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut.
Kembali membicarakan pembahasan tentang sahnya sebuah perjanjian perkawinan dan mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka perjanjian perkawinan tersebut harus didaftarkan dan disahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan, hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Namun dalam kenyataannya, banyak pihak yang justru masih melakukan pendaftaran perjanjian perkawinan kepada Panitera Pengadilan Negeri, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata, sehingga masalah tentang pendaftaran dan pengesahan perjanjian perkawinan ini masih simpang siur atau belum jelas. Padahal dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sudah disebutkan bahwa : "peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku."
Dari uraian di atas jelas terlihat adanya kegelisahan akademik, yang membuat peneliti ingin mengkaji lebih dalam, yakni tentang perjanjian perkawinan yang di buat di hadapan notaris namun kenapa masih harus di daftarkan ke kepaniteraan Pengadilan Negeri untuk mendapatkan penetapan dari Pengadilan Negeri agar dapat dicatat di dalam kesatuan akta nikah, padahal akta notaris ini memiliki kekuatan hukum dan ada dasar hukumnya dan apa tujuan dari pendaftaran perjanjian perkawinan tersebut ke panitera Pengadilan Negeri, serta penjelasan tentang perjanjian perkawinan pada pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang mana menerangkan pengesahan pencatatan perjanjian perkawinan dilakukan di pegawai pencatatan perkawinan (pencatatan sipil) bukan di Lembaga Pengadilan. Hal ini terlihat masih terdapat simpang siur dalam pengesahan dan pendaftaran perjanjian perkawinan.
Untuk itu, peneliti ingin mengkaji lebih dalam permasalahan tersebut dengan mengadakan penelitian dengan judul : "ANALISIS KEKUATAN HUKUM AKTA NOTARIS TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN TERHADAP PENETAPAN PERKARA PERDATA”

SKRIPSI HUKUM WARIS ANAK DARI PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT FIQH DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

(KODE : HKM-ISLM-00014) : SKRIPSI HUKUM WARIS ANAK DARI PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT FIQH DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

contoh skripsi hukum islam

BAB I
PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang Masalah
Allah SWT menciptakan manusia berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain, perbedaan yang mendasar dari manusia ialah diciptakannya manusia berlainan jenis kelamin, begitu juga dengan tingkah laku atau prilaku manusia juga berbeda-beda. Antara manusia yang satu dengan manusia yang lain terjalin suatu hubungan interaksi social. Selain perbedaan jenis kelamin dan prilaku, manusia juga menganut agama yang berbeda pula. Selain agama Islam, Indonesia juga mempunyai beraneka ragam agama dan kepercayaan sehingga tidak menutup kemungkinan masyarakat Indonesia menganut agama selain Islam. Dari berbagai macam agama yang terdapat di Indonesia, hanya enam agama yang diakui oleh negara Indonesia, ialah : Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu.
Dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 29 Ayat (2) disebutkan bahwa "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk Agama masing-masing dan untuk beribadat menurut Agama dan kepercayaannya". Dari pasal tersebut sudah jelas bahwa negara Indonesia memberikan kebebasan kepada warga negaranya untuk memeluk agama dan beribadat sesuai dengan keyakinan masing-masing individu.
Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 tersirat adanya sebuah kemerdekaan manusia untuk melakukan sesuatu baik dalam konteks hubungan komunikasi maupun sampai pada sebuah perkawinan antar agama. Sekali lagi hal ini sangat memungkinkan melihat berbagai macam agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia, tidak menutup kemungkinan kita akan sering menjumpai terjadinya proses perkawinan beda agama diantara orang-orang yang berbeda keyakinan. 
Perkawinan seperti ini banyak terjadi dan kita jumpai di dalam kehidupan masyarakat, khususnya di kalangan selebritis. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka tidak lagi didasarkan pada satu akidah agama, melainkan mereka hanya berdasarkan pada cinta. Seolah-olah cinta semata yang menjadi dasar suatu perkawinan. Perkawinan beda agama bisa dilakukan antara : Seorang pria muslim dengan wanita musyrik, seorang pria muslim dengan wanita ahlul kitab dan seorang wanita muslimah dengan pria non muslim. Ketiga bentuk perkawinan ini mempunyai akibat hukum yang berbeda.
Perkawinan beda agama sebagai fakta sosial sebenarnya sudah ada sejak zaman permulaan Islam muncul di pelataran Makkah dan Madinah. Namun dalam perkembangan selanjutnya, perkawinan tersebut mengalami banyak hambatan-hambatan. Negara sebagai institusi resmi memberikan hambatan yang cukup serius terhadap praktek perkawinan beda agama. 
Begitu pula agama Islam sebagai salah satu institusi yang juga mempunyai andil dalam perkawinan memberikan berbagai macam penafsiran yang kesemuanya ternyata berujung pada dua kutub, yaitu pendapat yang membolehkan dan pendapat yang tidak membolehkan. Perkawinan beda agama dalam agama Islam menjadi persoalan yang tak pernah berujung pada satu kesepakatan, kehadirannya senantiasa menempati dua kutub. Kedua-duanya mempunyai dalil yang sama-sama berasal dari al-Qur'an sekaligus dapat dipertanggungjawabkan. Terjadinya perbedaan pendapat tentang perkawinan beda agama karena perkawinan tersebut berhubungan dengan akidah dan hukum.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga disebutkan bahwa perkawinan antara seorang muslim dan non muslim tidak diperbolehkan, sebagaimana terdapat dalam pasal 40 ayat (c) "dilarang perkawinan antara seorang pria beragama Islam dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam". Selain itu, dalam pasal 44 juga disebutkan bahwa "seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam".
Meskipun terdapat aturan yang tidak memperbolehkan perkawinan beda agama, akan tetapi fenomena yang ada masih banyak kalangan masyarakat Indonesia yang masih melakukan perkawinan seperti itu. Dari perkawinan tersebut tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan berbagai permasalahan dari segi hukum, seperti dalam masalah kewarisan.
Fenomena perkawinan beda agama yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia mempunyai akibat hukum dalam hal kewarisan. Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum keluarga dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat, sehingga hukum kewarisan mempunyai peranan penting dalam ruang lingkup kehidupan manusia. Ini semua disebabkan karena setiap manusia pasti akan mengalami suatu peristiwa yang sangat penting dalam hidupnya dan merupakan peristiwa hukum yang lazim disebut dengan meninggal dunia. Meninggalnya seseorang dalam suatu keluarga akan menimbulkan akibat hukum tentang bagaimana cara pengurusan hak-hak dan kewajiban seseorang yang telah meninggal. Pengurusan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia diatur dalam hukum kewarisan. Jadi, hukum kewarisan dapat dikatakan sebagai himpunan peraturan-peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya pengurusan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia.
Perkawinan dan hukum kewarisan merupakan dua hal yang saling berkaitan dalam kehidupan manusia, karena perkawinan merupakan salah satu dari sebab-sebab memperoleh warisan dan dari perkawinan tersebut terjadi saling mewarisi antara suami-istri. Perkawinan beda agama juga mempunyai keterkaitan dengan adanya hak kewarisan pada setiap pasangan. Hubungan antara kerabat yang berbeda agama dalam kehidupan sehari-hari hanya terbatas pada pergaulan serta hubungan baik dan tidak termasuk dalam hal pelaksanaan agama seperti hukum waris. Dalam al-Qur'an memang tidak terdapat petunjuk yang pasti tentang hak kewarisan antara orang yang berbeda agama. Sedangkan perkawinan beda agama telah dijelaskan dalam al-Qur'an dan bahkan perkawinan tersebut ada yang dihalalkan, yaitu perkawinan dengan wanita ahli kitab. Sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Maidah ayat 5 : 
Artinya : "Dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan dari wanita-wanita ahli kitab sebelum kamu."
Selain melalui proses perkawinan, warisan bisa diperoleh melalui hubungan kekerabatan. Yang dimaksud dengan hubungan kekerabatan disini ialah hubungan darah atau famili dan hubungan tersebut ditentukan pada saat adanya kelahiran. Hubungan kekerabatan dengan hubungan perkawinan merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan, karena seorang anak mempunyai hubungan kekerabatan dengan kedua orang tuanya apabila anak tersebut lahir dari hasil atau akibat perkawinan yang berlaku antara kedua orang tuanya. Dengan demikian, anak tersebut bisa mewarisi harta peninggalan kedua orang tuanya.
Berdasarkan surat al-Maidah : 5 diatas, Allah menghalalkan atau membolehkan menikahi wanita ahli kitab. Dengan dibolehkannya perkawinan tersebut, tidak menutup kemungkinan anak yang dilahirkan bisa mewarisi harta kedua orang tuanya. Akan tetapi dalam hukum kewarisan Islam, orang kafir tidak bisa mewarisi harta orang Islam, begitu juga dengan orang Islam tidak bisa mewarisi harta orang kafir. Sebagaimana sabda Nabi SAW : 
Artinya : "seorang muslim tidak boleh mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak boleh mewarisi orang muslim". (HR. Bukhori dan Muslim)
Hadis diatas merupakan larangan saling mewarisi antara orang yang berbeda keyakinan. Mengacu pada hadis diatas, maka anak juga tidak bisa mewarisi harta orang tuanya yang beda agama.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis melakukan kajian tentang waris yang diberi judul HUKUM WARIS ANAK DARI PERKAWINAN BEDA AGAMA (STUDI ATAS EKSISTENSI ANAK DARI PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM HUKUM WARIS ISLAM).

SKRIPSI IDDAH DAN IHDAD WANITA KARIER PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

(KODE : HKM-ISLM-00013) : SKRIPSI IDDAH DAN IHDAD WANITA KARIER PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

contoh skripsi hukum islam

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan dunia modern dewasa ini, Banyak kaum wanita muslimah yang aktif di berbagai bidang, baik politik, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, olah raga, ketentaraan, maupun bidang-bidang lainnya. Boleh dikata, hampir di setiap sektor kehidupan umat manusia, wanita muslimah sudah terlibat; bukan hanya dalam pekerjaan-pekerjaan ringan, Tetapi juga dalam pekerjaan-pekerjaan yang berat, seperti sopir taksi, Tukang parkir, buruh bangunan, satpam, dan lain-lain. Dibidang olahraga, kaum wanita juga tidak mau ketinggalan dari kaum pria. Bidang-bidang olahraga keras yang dulu dipandang hanya layak dilakukan oleh laki-laki, kini sudah banyak diminati dan dilakukan oleh kaum wanita, seperti sepak bola, bina raga, karate, bahkan tinju.
Wanita sebagai warga negara maupun sumber daya insani mempunyai kedudukan hak dan kewajiban serta kesempatan yang sama dengan pria untuk berperan dalam pembangunan di segala bidang. Peranan wanita sebagai mitra sejajar pria diwujudkan melalui peningkatan kemandirian peran aktifnya dalam pembangunan, termasuk upaya mewujudkan keluarga beriman dan bertaqwa, sehat, serta untuk pengembangan anak, remaja dan pemuda. Untuk itu, dalam Program Pembangunan Nasional (2000-2004) ditentukan Program Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan, yang bertujuan untuk meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan sebagai individu, yaitu baik sebagai insan dan sumber daya pembangunan, sebagai bagian dari keluarga yang merupakan basis terbentuknya generasi sekarang dan masa mendatang, sebagai makhluk sosial yang merupakan agen perubahan sosial di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Sasaran kinerja program ini adalah meningkatnya kualitas dan peranan perempuan terutama di bidang hukum ekonomi, politik, pendidikan, sosial, dan budaya.
Islam, sebagai agama yang memberikan rahmat kepada penganut Islam mengangkat derajat perempuan pada posisi yang tinggi. Semua manusia dalam Islam, baik laki-laki ataupun perempuan mempunyai porsi yang sama, dalam melakukan semua kegiatan yang bisa membuatnya lebih beriman dan berbuat baik.
Batasan penangguhan waktu bagi seorang perempuan biasa disebut dengan Iddah, sedangkan alasan penangguhan waktu adalah berkabung atau yang disebut dengan Ihdad. Sebagaimana penjelasan yang lalu, wanita diberikan porsi yang sama dalam menjalankan kehidupan yang bertujuan untuk membuat dia lebih baik, di hadapan agama maupun masyarakat. Salah satu dari sekian banyak kegiatan itu adalah wanita dibolehkannya beraktivitas di luar rumah dengan izin wali atau dengan kebutuhan mendesak, atau dengan istilah lain wanita karier.
Wanita karier adalah wanita sibuk, wanita kerja, yang waktunya di luar rumah kadang-kadang lebih banyak dari pada di dalam rumah. Demi karier dan prestasi, tidak sedikit wanita yang bekerja siang dan malam tanpa mengenal lelah. "waktu adalah uang" merupakan motto mereka sehingga waktu satu detik pun sangat berharga. Persaingan yang ketat antar sesamanya dan rekan-rekan antar sesamanya dan rekan-rekan seprofesinya, memacu mereka untuk bekerja keras. Mereka, mau tidak mau, harus mencurahkan segenap kemampuan, pemikiran, waktu dan tenaga, demi keberhasilan dalam keadaan demikian, jika wanita karier tersebut seorang wanita muslimah yang tiba-tiba ditinggal mati oleh suaminya, aktivitasnya dihadapkan kepada ketentuan agama yang disebut Iddah dan Ihdad.
Masa Iddah atau masa tunggu atau masa berkabung di dalam UU. No. 1 Tahun 1974 dituangkan dalam pasal 11, dan kemudian lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. (1) waktu tunggu bagi seorang janda sebagai maksud dalam pasal 11 ayat (2) Undang-undang ditentukan sebagai berikut : 
  1. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.
  2. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.
  3. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

Masa berkabung bagi seorang isteri yang di tinggal mati suaminya, masa tersebut adalah 4 bulan 10 hari disertai dengan larangan-larangannya, antara lain : bercelak mata, berhias diri, keluar rumah, kecuali dalam keadaan terpaksa. Sedangkan Ihdad (berkabung), menurut Ibnu Kasir berkata : "Berkabung itu suatu ungkapan, yang intinya ialah : tidak berhias dengan wangi-wangian dan tidak memakai pakaian dan perhiasan yang bisa menarik laki-laki". Dan berkabung ini wajib atas perempuan yang kematian seorang suami. Kebutuhan manusia untuk bertahan hidup, dan tuntutan bagi seorang wanita untuk mempertahankan keluarga setelah ia ditinggal wafat oleh suami. Dengan melihat anjuran islam akan dibolehkannya wanita bekerja di luar rumah, akan tetapi terdapatnya batasan-batasan yang sebagian batasannya terlihat memberatkan, sehingga seakan-akan dibutuhkan penjelasan dan penjabaran bagaimana hubungan wanita karier dengan batasan Iddah dan Ihdad.
Para fuqaha' berbeda pendapat bahwa wanita yang sedang berihdad dilarang memakai semua perhiasan yang dapat menarik perhatian laki-laki kepadanya, seperti perhiasan, intan dan celak, kecuali hal-hal yang dianggap bukan sebagai perhiasan. Dan dilarang pula memakai pakaian yang celup dengan warna, kecuali warna hitam.
Wanita yang ditinggal mati suaminya, mereka tidak menerima nafakah, sedangkan mereka butuh nafkah untuk hidup. Sehingga harus keluar rumah di waktu siang untuk memenuhi kebutuhannya. Selain itu, dia juga harus tinggal di rumah yang ditempatinya saat terjadi perceraian. Jika haknya di dalam rumah suami yang telah meninggal tidak terpenuhi atau ahli waris suami tidak memberi haknya tersebut maka dia boleh pindah, karena ada alasan. Tinggal di rumahnya adalah ibadah sedangkan ibadah gugur karena alasan yang dibenarkan.
Kenyataan yang ada adalah kepedulian sebagian masyarakat dalam menyikapi batasan yang ditentukan oleh agama, sehingga terdorong untuk membahas tentang hubungan Iddah dan Ihdad bagi wanita karier, karena sebelah pihak terlihat ketidak adilan bagi seorang wanita, dengan jarak yang begitu lama sehingga menjadi alasan untuk melanggar peraturan agama itu sendiri.
Dari beberapa latar belakang masalah diatas, maka penulis akan berusaha mencoba membahas permasalahan yang menjadi latar belakang penulis adalah mengapa masa bergabung istri yang kematian suaminya selama masa iddah 4 bulan 10 hari? yang semoga bisa membantu terutama bagi penulis sendiri dalam menyelesaikan masa pendidikan penulis dalam setara S1. Oleh sebab itu penulis memberikan judul untuk penelitian ini dengan judul : IDDAH DAN IHDAD WANITA KARIER (PERSEPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF).

SKRIPSI MODEL PENYELESAIAN PERKARA PERCERAIAN DI KALANGAN TOKOH MASYARAKAT (STUDI KASUS)

(KODE : HKM-ISLM-00012) : SKRIPSI MODEL PENYELESAIAN PERKARA PERCERAIAN DI KALANGAN TOKOH MASYARAKAT (STUDI KASUS)

contoh skripsi hukum islam

BAB I
PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang
Perkara perceraian adalah sebuah perkara yang lazim terjadi di masyarakat. Perkara perceraian bukan permasalahan yang baru akan tetapi permasalahan yang terus menerus terjadi di kalangan masyarakat secara luas. Dari perspektif manapun baik normative maupun sosiologis perkara perceraian bukan suatu perkara yang di kehendaki dan bahkan di benci. Secara normative di benci oleh Allah SWT tapi secara sosiologis menjadi model yang kurang positif dalam proses pendidikan keluarga.
Namun persoalan-persoalan problematik yang terjadi di kalangan masyarakat menyangkut persoalan tentang perceraian hingga kini tidak pernah ada solusi yang efektif, efisien dan solutif. Selalu saja problem perceraian ini menjadi berkembang secara dinamis dan progresif.
Beberapa langkah strategis teoretik yang ditawarkan oleh mediator acap kali data yang kami peroleh mereka hanya berhasil mendamaikan tapi tidak berhasil untuk mencegah dan merujukkan, sementara ada beberapa empiris di lapangan pemecahan sengketa atau penyelesaian perkara perceraian itu dengan mudah dilakukan secara efektif oleh para tokoh elit agama dan ini tentu secara normative mungkin bisa juga di anggap sebagai mediator karena tokoh agama berfungsi untuk memediasi antara orang-orang yang bermasalah dalam hal ini adalah perkara perceraian dan solusi yang dilakukan oleh para tokoh agama adalah solusi yang jauh dari perhitungan materi dan perhitungan matematis akan tetapi betul-betul suatu solusi yang sekilas bisa diambil dan diasumsikan dengan cara yang ikhlas tetapi ini jauh dari sebuah asumsi, tapi ini kebenarannya. Apa kira-kira faktor yang melatarbelakangi kesuksesan para tokoh agama melakukan penyelesaian perkara inilah yang setidaknya menjadi persoalan yang cukup menarik untuk digagas dan diungkap di dalam penelitian ini. Bisa jadi karena adanya faktor-faktor x dalam hal ini adalah sangat irasional, bisa jadi adalah faktor keikhlasan atau faktor kepercayaan sosial tetapi dari sekian kemungkinan-kemungkinan dalam penelitian ini akan diungkap kira-kira faktor apa yang membuat tokoh agama secara kuat bisa dianggap sukses menyukseskan problema-problema perkara rumah tangga.
Fenomena perceraian cukup marak akhir-akhir ini dalam masyarakat, sama-sama berada dalam ancaman perbuatan halal namun dibenci Allah SWT. Dalam sebuah rumah tangga pasti tidak akan lepas dari yang namanya masalah. Masalah dalam rumah tangga itu merupakan suatu hal yang biasa, tapi percekcokan yang berlarut-larut dan tidak dapat didamaikan lagi secara otomatis akan disusul dengan pisah ranjang seperti adanya perselingkuhan antara suami istri.
Penanganan dan penyelesaian konflik dengan melibatkan pihak ketiga atau istilah sekarang ini disebut mediator, sudah sangat umum. Karena sebenarnya praktek tersebut sudah berlangsung pada masa Nabi dahulu. Dalam masyarakat indonesia dahulu proses pendamaian itu dinamakan musyawarah atau mufakat, bahkan sampai saat ini masih banyak sekali masyarakat Indonesia yang tinggal di wilayah perdesaan yang jauh dari pusat perkotaan masih memakai mediasi dalam hukum adat yang sesuai dengan adatnya masing-masing.
Masyarakat Indonesia dalam penyelesaian masalah masih menggunakan tokoh masyarakat yang dianggap sanggup menjadi pengayom umat. Seorang tokoh masyarakat juga diharapkan bisa menjadi perantara untuk mendamaikan pihak-pihak yang berperkara sangatlah sejalan dengan ajaran moral islam. Dalam hal ini seorang tokoh masyarakat memposisikan dirinya sebagai pendamai antara kedua belah pihak yang mana setiap ucapan tokoh masyarakat dapat dijadikan panutan oleh kedua belah pihak tersebut. Sebagian besar masyarakat dan mayoritas masyarakat lebih ta'dzim dan tawadhu' dengan apa yang disampaikan seorang tokoh masyarakat tersebut. Tindakan masyarakat tersebut bukan tanpa alasan, melainkan karena sosok tokoh masyarakat dipandang memiliki pemahaman yang lebih di bidang ilmu agama dan memiliki kearifan dalam berinteraksi setiap hari dalam masyarakat. Mungkin ini menjadi faktor yang melatarbelakangi masyarakat memilih seorang tokoh masyarakat sebagai penengah dalam permasalahannya.
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ikatan lahir adalah hubungan formal yang dapat dilihat karena dibentuk menurut undang-undang, yang mengikat kedua pihak dan pihak lain dalam masyarakat sedangkan Ikatan batin adalah hubungan tidak formal yang dibentuk dengan kemauan bersama yang sungguh-sungguh mengikat kedua pihak.
Hukum Islam dan hukum positif secara tegas menyebutkan bahwa pernikahan bagi umat manusia hendaknya menjadi ikatan yang bahagia, tentram, dan abadi. Perselisihan dan persengketaan rumah tangga bukanlah sebuah penghalang seseorang untuk mewujudkan hal tersebut, karena pada dasarnya setiap permasalahan ada jalan keluar dan cara untuk menyelesaikannya.
Ikatan perkawinan merupakan ikatan suci yang berdasarkan nilai-nilai ketuhanan untuk membentuk keluarga sakinah dan mawaddah. Ikatan perkawinan bukan saja ikatan perdata tetapi ikatan lahir batin antara seorang suami dengan seorang isteri. Perkawinan tidak lagi hanya sebagai hubungan jasmani tetapi juga merupakan hubungan batin. Pergeseran ini mengesankan perkawinan selama ini hanya sebatas ikatan jasmani ternyata juga mengandung aspek yang lebih substantif dan berdimensi jangka panjang. Ikatan yang didasarkan pada hubungan jasmani itu berdampak pada masa yang pendek sedangkan ikatan lahir batin itu lebih jauh. Dimensi masa dalam ini dieksplisitkan dengan tujuan sebuah perkawinan yakni untuk membangun sebuah keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Bila perkawinan telah dilangsungkan, maka mereka telah berjanji dan bersedia akan membangun suatu rumah tangga yang damai dan teratur, akan sehidup semati, sesakit dan sesenang, merunduk sama bungkuk, melompat sama tinggi, ke bukit sama mendaki, kelereng sama menurun, berenang sama basah, terampai sama kering, terapung sama hanyut sehingga mereka menjadi suatu keluarga. Sesaat perkawinan sedang berlangsung, kedua pihak kedudukannya akan berubah. Pihak pria menjadi kepala keluarga dan pihak wanita sebagai ibu rumah tangga. Pada saat itulah timbul hak dan kewajiban masing-masing.
Dalam kenyataannya, tujuan perkawinan itu banyak tercapai secara tidak utuh. Tercapainya itu baru mengenai pembentukan keluarga atau pembentukan rumah tangga, karena dapat diukur secara kuantitatif. Sedangkan predikat bahagia dan kekal belum, bahkan tidak tercapai sama sekali. Akan tetapi, hubungan lahir itu ada kemungkinan tidak dapat kekal. Pada suatu waktu dapat terjadi putusnya hubungan, baik tidak sengaja maupun sengaja dilakukan karena suatu sebab yang mengganggu berlanjutnya hubungan itu. Perkawinan dapat putus, karena : 
a. Kematian
b. Perceraian
c. Atas keputusan pengadilan.
Putus karena kematian merupakan suatu proses terakhir dalam melaksanakan kodrat manusia. Namun, putus karena perceraian dan atau atas keputusan pengadilan merupakan sebab yang dicari-cari. Putusnya hubungan perkawinan yang menimbulkan masalah adalah putusnya hubungan perkawinan karena perceraian dan karena putusan pengadilan.
Pasangan yang sudah menikah (dipersatukan) tidak menutup kemungkinan masih memiliki perbedaan pendapat yang sangat tajam dan menjadi penyebab kerusakan hubungan pernikahannya, namun banyak juga yang mau belajar untuk mengatasi perselisihan dengan cara yang terkendali dan saling menghargai. Namun banyak juga pasangan yang secara berkala mengalami masa-masa di mana mereka menyalahgunakan kata-kata sebagai senjata di tengah-tengah konfliknya. Bila sudah seperti ini kata "cerai" menjadi sebuah solusi. Namun untuk sampai pada tahap perceraian harus menjalani proses litigasi. Undang-undang sendiri selain menganut prinsip mempersulit perceraian juga mewajibkan perceraian hanya dilakukan di depan sidang pengadilan setelah keduanya tidak bisa didamaikan. Walaupun kita semua tahu bahwasanya perceraian itu dalam islam boleh dilakukan, tapi hal tersebut merupakan suatu hal yang di benci oleh Allah SWT. Seperti halnya yang tercantum dalam Al-Hadist yakni : 
“Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak.” (H.R. Abu Daud, Ibn Majah, Al-Baihaqi dan Hakim).
Perdamaian dengan menunjuk mediator sebagai pihak ketiga yang bersifat netral juga menjadi hal yang wajib dalam sebuah permasalahan. Hal ini juga sejalan dengan anjuran islam, yakni bila ada orang yang berselisih maka wajib menunjuk perantara dari masing-masing keluarga suami istri untuk melakukan upaya perdamaian. Tercantum dalam Al-Qur'an Q.S. An-Nisa' 35 : 
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S. An-Nisa' 35).
Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak penemu penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
Mediator sendiri sebenarnya ada 2 yakni mediator litigasi (pengadilan) dan nonlitigasi (non pengadilan), jika mediator litigasi biasa dilakukan oleh para mediator atau hakim mediator yang bekerja di Pengadilan Agama yang tentunya memiliki sertifikat resmi dari Mahkamah Agung berbeda dengan Nonlitigasi yakni yang dilakukan oleh orang-orang yang dianggap memiliki karismatik dalam dirinya, seperti Kyai, tokoh masyarakat, ketua adat dan sebagainya.
Berangkat dari pemaparan di atas penulis tertarik untuk meneliti tentang "MODEL PENYELESAIAN PERKARA PERCERAIAN DI KALANGAN TOKOH MASYARAKAT (STUDI KASUS)". Yang diteliti disini yakni metode penyelesaian yang digunakan dalam mengurangi angka perceraian. Penulis merasa bahwa permasalahan ini menarik untuk dibahas dan dikaji.

SKRIPSI NIKAH SIRRI PERSPEKTIF PARA PELAKU (STUDI SOSIOLOGI HUKUM)

(KODE : HKM-ISLM-00011) : SKRIPSI NIKAH SIRRI PERSPEKTIF PARA PELAKU (STUDI SOSIOLOGI HUKUM)

contoh skripsi hukum islam

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Allah tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betinanya secara anarki, dan tidak ada satu aturan. Tetapi demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah adakan hukum sesuai dengan martabatnya.
Sehingga hubungan laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan saling ridha-meridhai, dengan ucapan akad pernikahan sebagai lambang dari adanya rasa ridha-meridhai, dihadiri para saksi yang menyaksikan kedua pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terkait. Bentuk perkawinan ini telah diberikan jalan yang aman pada naluri seks, memelihara keturunan dengan baik dan menjaga kaum perempuan agar tidak laksana rumput yang biasa dimakan oleh binatang ternak dengan seenaknya. Sebagaimana firman Allah swt dalam Surat An-Nisaa' ayat 1 : 
Artinya : "Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu".
Ayat tersebut di atas, keberadaan pernikahan dalam agama Islam sangat penting karena dengan pernikahan itu akan tercipta keturunan yang banyak dan menjadi generasi penerus keturunan yang sah demi pengembangan agama Islam selanjutnya.
Manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan adalah makhluk yang diciptakan berpasang-pasangan, hubungan antara pasangan-pasangan itu membuahkan keturunan agar hidup di alam semesta itu berkesinambungan. Dengan demikian penghuni dunia ini tidak akan pernah sunyi dan kosong, tetapi terus berkembang dari generasi ke generasi. Di dalam agama Islam, lima prinsip yang harus dijaga dan dipelihara yaitu : memelihara agama, jiwa, akal, harta, dan memelihara keturunan.
Untuk memelihara keturunan, Islam mensyariatkan hukum perkawinan (lembaga perkawinan), agar berkembang biak dalam keadaan yang sebaik-baiknya. Sebuah perkawinan yang berdasarkan asas-asas yang Islami adalah bertujuan untuk mendapatkan keturunan yang sah dan baik-baik serta mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan di dalam kehidupan manusia.
Kebahagiaan tersebut bukan hanya terbatas dalam ukuran-ukuran fisik biologis tetapi dalam psikologis dan sosial serta agamis. Manusia adalah makhluk yang paling dimuliakan Allah dibanding dengan makhluk lainnya, yaitu dengan kelebihan akalnya. Di dalam kehidupan ini ia memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dimana ia selalu membutuhkan orang lain.
Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan. Sebagaimana firman Allah dalam surat Yaasin ayat 36 : 
Artinya : "Maha suci Tuhan telah menciptakan pasang-pasangan semuanya baik dari apa yang telah ditumbuhkan semuanya oleh bumi dan dari diri mereka sendiri maupun dari apa yang mereka ketahui".
Ayat di atas menjelaskan bahwa hidup berpasang-pasangan itu sudah disyari'atkan manusia di dunia ini. Allah mengatur kelanggengan hidup manusia dalam suatu perkawinan yang diatur oleh agama. Perkawinan adalah ikatan lahir batin seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Suatu ikatan perkawinan dimaksudkan untuk menciptakan kehidupan antara suami isteri yang harmonis dalam rangka membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan sejahtera sepanjang masa. Suami isteri selalu mendambakan agar ikatan perkawinannya semakin kokoh terpatri dalam jiwanya masing-masing.
Kekalnya kehidupan yang harmonis yang terjalin melalui ikatan perkawinan yang sah merupakan tujuan utama yang sangat diharapkan. Akad pernikahan diakadkan untuk selama-lamanya, agar suami isteri bersama-sama dapat mewujudkan suatu rumah tangga sebagai tempat berlindung dalam menikmati naungan kasih sayang yang mesra dan dapat mendidik serta memelihara anak-anak yang baik sesuai dengan petunjuk syari'at Islam. Dapat dikatakan bahwa ikatan perkawinan itu merupakan ikatan yang paling suci dan kokoh, sebagaimana ditunjukkan dalam firman Allah surat Ar Ruum ayat 21 : 
Artinya : "Dan diantara tanda-tanda kekuasaannya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir".
Perkawinan yang dalam istilah agama disebut 'pernikahan' yaitu : melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan di antara seorang laki-laki dan perempuan untuk menghalalkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhai oleh Allah.
Hukum perkawinan dalam agama Islam mempunyai kedudukan yang sangat penting, oleh karena itu peraturan-peraturan tentang perkawinan ini diatur dan diterangkan dengan jelas dan terperinci. Hukum perkawinan Islam pada dasarnya tidak hanya mengatur pelaksanaan perkawinan saja melainkan juga mengatur segala persoalan yang erat hubungannya dengan perkawinan. Misalnya : hak-hak dan kewajiban suami, isteri mengatur harta kekayaan dalam perkawinan, cara-cara untuk memutuskan perkawinan, biaya hidup yang harus diadakan sesudah putusan perkawinan, dan lain-lainnya.
Hukum perkawinan merupakan bagian tersendiri yang di dalamnya memuat tentang hal ihwal perkawinan, bagaimana proses dan terbentuknya perkawinan, bagaimana cara menyelenggarakan dan bagaimana cara memelihara perkawinan, bagaimana cara mengatasi krisis rumah tangga yang mengakibatkan putusnya perkawinan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban suami isteri dan anak-anak mereka. Dalam kalangan ahli fiqih munakahat atau hukum perkawinan Islam.
Sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ada UU No. 20 Tahun 1946 tentang Pencatatan Pernikahan, Talak, dan Rujuk, dimana dalam pasal 1 disebutkan : 
  1. Pernikahan yang dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut pernikahan, diawasi oleh pegawai pencatat pernikahan yang diangkat oleh Menteri Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk olehnya. Talak dan rujuk yang dilakukan menurut agama Islam selanjutnya disebut talak dan rujuk, diberitahukan kepada pegawai pencatat pernikahan.
  2. Yang berhak melakukan pengawasan atas pernikahan dan menerima pemberitahuan tentang talak dan rujuk hanya pegawai yang diangkat oleh Menteri Agama.
  3. Bila pegawai itu tidak ada atau berhalangan, maka pekerjaan itu dilakukan oleh orang yang ditunjuk sebagai wakilnya oleh Kepala Jawatan Agama Daerah.
  4. Seorang yang pernikahan, menjatuhkan talak atau rujuk, diwajibkan membayar biaya pencatatan pernikahan yang banyaknya ditentukan oleh Menteri Agama. Dari mereka yang dapat surat keterangan tidak mampu dari kepala desanya tidak dipungut biaya surat keterangan ini diberikan dengan percuma. Biaya pencatatan pernikahan talak dan rujuk dimasukkan di dalam kas negara menurut aturan yang ditetapkan oleh Menteri Agama.
  5. Tempat kedudukan dan wilayah pegawai pencatat pernikahan ditetapkan oleh Kepala Jawatan Agama Daerah. 
  6. Pengangkatan dan pemberhentian pegawai pencatat pernikahan diumumkan oleh Kepala Jawatan Agama Daerah dengan cara yang sebaik-baiknya.

Pernikahan dibawah tangan, kawin sirri atau lebih populer dengan pernikahan sirri merupakan pernikahan yang dilaksanakan sesuai dengan syarat rukun pernikahan dalam Islam, tetapi tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) atau oleh Petugas Pencatat Pernikahan (PPN). Dinamakan sirri karena dilangsungkan secara diam-diam, rahasia, atau sembunyi-sembunyi tanpa adanya publikasi.
Kalau kita lacak historis pemakaian istilah pernikahan sirri ini kita tidak akan menemukannya dalam literatur (kitab) fiqih klasik maupun kontemporer, maupun kapan istilah itu muncul. Karena pernikahan sirri merupakan istilah lokal yang hanya terjadi di Indonesia. Meskipun demikian dari sisi hukum Islam pernikahan sirri ini tidak mengakibatkan pernikahan itu batal atau tidak sah. 
Oleh karena itu, pernikahan ini tidak dikategorikan sebagai perbuatan hukum, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum positif. Bahkan pernikahan sirri ini membawa implikasi negatif bagi pihak perempuan baik secara hukum maupun sosial. Secara hukum, si istri tidak dianggap sebagai isteri yang sah, tidak berhak atas nafkah dan warisan suami jika meninggal dunia, dan tidak mendapatkan harta gono-gini apabila terjadi perceraian. Sehingga secara sosial si isteri pun sulit bersosialisasi dengan masyarakat sekitar karena perempuan yang melakukan pernikahan sirri sering dianggap telah tinggal satu rumah dengan laki-laki tanpa ikatan perkawinan atau dianggap menjadi istri simpanan.
Termasuk kategori ini adalah keinginan untuk melegalkan perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan karena belum menikah. Yang di dalamnya tersirat pengertian bahwa dengan pernikahan secara sirri berarti perbuatan yang semula dianggap maksiat, dosa, dan mengakibatkan perasaan bersalah itu berubah statusnya menjadi tindakan atau perbuatan yang sah, halal bahkan berpahala. Banyak perbuatan yang menurut norma agama dilarang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan karena belum menikah, seperti bersama-sama di tempat yang sepi tanpa mahrom, bermesraan, berciuman, dan bersetubuh. Perbuatan-perbuatan tersebut akan berubah status menjadi sah, halal, bahkan berpahala melakukannya setelah yang bersangkutan pernikahan. Jadi, dalam konteks ini pernikahan sirri berfungsi sebagai lembaga sekaligus alat untuk melegalisasi perbuatan-perbuatan tertentu bagi para pelakunya.
Dalam realitas sosial khususnya di Desa X yang melakukan pernikahan sirri, konsep pernikahan sirri umumnya dipersiapkan sebagai suatu pernikahan berdasarkan prosedur agama Islam tetapi belum atau tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA), dan pernikahan ini belum atau tidak dipublikasikan.
Menurut persepsi mereka, pernikahan sirri dalam pengertian ini, secara legal formal (fikih) Islam, dapat dinyatakan sah, hal ini didasarkan pada alasan bahwa pada saat peresmian pernikahan secara sirri (pernikahan sirri) semacam itu semua rukun yang ditentukan telah terpenuhi. Semua rukun yang dimaksud itu ialah adanya mempelai laki-laki dan perempuan, wali yang menikahkan, dua orang saksi, akad ijab dan kobul atau transaksi pernikahan, dan ada yang menambahkan lagi dengan harus adanya mas kawin (mahar). Hal-hal tersebut dianggap oleh kebanyakan umat Islam sebagai keharusan sah atau tidaknya suatu pernikahan secara Islam. Sedangkan berkaitan dengan pencatatan di KUA dan adanya publikasi yang biasanya dilaksanakan dalam bentuk walimah (persepsi), secara substansi kedua-duanya lebih didasarkan untuk tujuan kemaslahatan. Pencatatan resmi di KUA sebagai lembaga resmi pemerintah banyak hal yang berkaitan dengan masalah-masalah keluarga, kependudukan atau kewarganegaraan, dan masalah-masalah sosial lainnya.
Masyarakat Desa X dilihat dari perkembangannya, faktor ekonomi, pendidikannya juga sangat bagus. Dipandang dari perkembangannya pun semakin bertambah dan berkembang dengan pesat. Faktor ekonomi pun dikatakan sudah mapan, dipandang dari segi kependidikannya pun sudah banyak yang pandai dalam tingkatan kependidikan.
Akan tetapi desa ini tetap saja masih ada yang melakukan pernikahan sirri, karena dari dulu sampai sekarang masyarakat masih kental dengan Islam kejawen yaitu masih mengikuti atau menerapkan tentang adat-adat Jawa peninggalan nenek moyang yang masih aktif sampai saat sekarang ini.
Salah satunya dalam pelaksanaan atau adanya pernikahan sirri yang ada pada saat ini, karena masyarakat menganggap perkawinan tersebut tetap dianggap sah karena sudah memenuhi syarat dan hukum dalam suatu ikatan perkawinan. 
Dari paparan di atas, penulis termotivasi untuk menelaah lebih mendalam lagi dalam bentuk karya tulis dalam judul : NIKAH SIRRI PERSPEKTIF PARA PELAKU (Studi Sosiologi Hukum Atas Praktik Pernikahan Sirri di Desa X).

SKRIPSI STATUS KEPERDATAAN ANAK DI LUAR NIKAH DARI NIKAH SIRRI MELALUI PENETAPAN ASAL USUL ANAK

(KODE : HKM-ISLM-00010) : SKRIPSI STATUS KEPERDATAAN ANAK DI LUAR NIKAH DARI NIKAH SIRRI MELALUI PENETAPAN ASAL USUL ANAK


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian
Salah satu persoalan kontroversial yang dihadapi umat Islam di Indonesia saat ini adalah nikah sirri. Pada tahun 2004, Tim Pengarusutamaan Gender (PUG) Departemen Agama RI, menyusun Counter Legal Drafting Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) yang mencoba memberikan regulasi tentang model perkawinan ini. Setelah tidak ada perkembangan selama enam tahun, pada tahun 2010, pemerintah melalui Kementerian Agama menyusun draft Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Materiil Peradilan Agama dibidang perkawinan yang mencantumkan pasal pemidanaan bagi pelaku nikah sirri.
Bagi sebagian masyarakat, nikah sirri dipandang merugikan hak-hak perempuan karena tidak ada jaminan dan perlindungan hukum terhadap pelaku dan segala sesuatu yang terjadi di dalamnya dari negara. Berbeda halnya dengan ratusan santriwati di Probolinggo, Jawa Timur yang merepresentasikan kaum perempuan muslim, mereka justru menolak adanya regulasi ini. Bagi mereka, nikah sirri tidak selamanya merugikan kaum perempuan dan dapat dijadikan solusi menanggulangi tingginya angka perzinaan.
Nikah sirri telah dipraktikkan dan membudaya di sejumlah daerah. Pelaku nikah sirri ini terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, baik dilihat dari segi usia, status sosial, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi dan sebagainya. Di wilayah Jawa Barat, tepatnya di desa Sinarancang, sebagian besar penduduknya menikah secara sirri dan telah dipraktekkan secara turun temurun. Di desa ini, terdapat 1.200 pasangan dari 2.000 pasangan suami-istri yang perkawinannya tidak dicatatkan. Menariknya, aparatur desa juga melakukan praktik nikah sirri. 
Nikah sirri juga marak dilakukan warga Kabupaten Pasuruan. Menurut data dari Islamic Center for Democracy, Human Right and Empowerment, jumlah pasangan yang menikah secara sirri di Kabupaten Pasuruan mencapai 4 (empat) ribu pasangan. Terbanyak di Kecamatan Rembang, pasangan nikah sirri mencapai 2 (dua) ribu pasangan. Warga Pasuruan menganggap biasa nikah sirri, sehingga generasi berikutnya juga mengikutinya. Sedangkan di wilayah Kabupaten Malang, pada tahun 2010 sebanyak 87 pasangan yang tidak memiliki akta perkawinan dari 26 Kecamatan mengajukan permohonan itsbat nikah dan berperkara di Pengadilan Agama Kabupaten Malang.
Menurut Mukhasonah, perilaku nikah sirri di atas memiliki latar belakang yang berbeda-beda, seperti biaya yang lebih murah, prosedurnya cepat, menghindari perzinaan, ingin poligami, salah satu pihak ada yang masih menempuh jenjang pendidikan, atau rintangan dari orang tua. Meskipun demikian, ada faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi membudayanya nikah sirri, seperti persoalan ekonomi.
Konsep nikah sirri di Indonesia umumnya dipersepsikan sebagai suatu pernikahan berdasarkan ketentuan dan syarat-syarat yang ditetapkan oleh agama Islam tetapi belum atau tidak tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA). Menurut persepsi para pelakunya, secara legal formal hukum Islam (fikih), perkawinan mereka dapat dinyatakan sah. Meskipun dalam perspektif negara perkawinan ini termasuk tidak sah karena tidak dicatatkan pada lembaga yang berwenang.
Jika dilihat dari kenyataan yang ada di masyarakat, fenomena nikah sirri merupakan salah satu model perkawinan yang bermasalah dan cenderung mengutamakan kepentingan-kepentingan subyektif. Model perkawinan juga menimbulkan sejumlah dampak negatif, seperti tidak jelasnya status perkawinan, status anak, atau adanya kemungkinan pengingkaran terhadap perkawinan. Hal ini disebabkan tidak adanya bukti otentik yang menunjukkan telah terjadi perkawinan yang sah. Padahal Allah berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah [2] : 282, yang secara implisit menerangkan akan urgensi pencatatan perkawinan. Logikanya, apabila dalam persoalan hutang saja Allah memberikan ketentuan agar dicatat, maka pada persoalan yang penting dan sakral seperti perkawinan tentu ada anjuran kuat untuk melakukan pencatatan untuk menghindari adanya penipuan dan dampak negatif lainnya.
Dampak negatif juga dialami oleh anak dari nikah sirri. Mereka dapat dengan mudah diingkari oleh orang tuanya dan sangat berpotensi mendapat perlakuan buruk bahkan eksploitasi karena tidak ada jaminan dan perlindungan hukum terhadap hak dan kewajibannya dalam keluarga. Menurut data penelitian tim ahli Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di lima daerah pantai utara  (pantura) menunjukkan bahwa anak hasil nikah sirri rentan menjadi korban eksploitasi, seperti untuk pelacuran dan perdagangan anak. Atau pada kasus yang lain anak yang dilahirkan dari nikah sirri dititipkan kepada orang tua atau nenek di kampung dengan jaminan kesehatan yang relatif rendah dan mereka menderita gizi buruk. Sekitar 70 persen pasangan yang bercerai dan merebutkan kuasa asuh anak berasal dari pasangan nikah sirri. Situasi ini tentu berpotensi menimbulkan kekerasan terhadap anak.
Selain itu, kedudukan anak-anak yang terlahir dari perkawinan sirri secara yuridis dapat dikategorikan sebagai anak di luar nikah. Sebab dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa Asal usul seseorang hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Sedangkan, anak yang terlahir dari nikah sirri tidak dapat memperoleh akta kelahiran. Karena salah satu syarat pengajuan akta kelahiran yang berupa buku nikah, untuk menunjukkan sahnya perkawinan orang tuanya tidak dapat dipenuhi. Akte kelahiran memiliki kedudukan penting dalam kehidupan sehari-hari, karena dapat dijadikan dasar untuk membuat kartu keluarga, KTP,, paspor, pendaftaran sekolah, dan urusan lainnya.
Jika dipersamakan dengan anak di luar nikah, maka nasab anak dari perkawinan sirri yang hanya dihubungkan kepada ibunya dan keluarga ibunya saja, tidak kepada bapaknya. Sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo. Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam. Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa hanya perempuan yang menanggung pemenuhan kebutuhan dari anak dan laki-laki memiliki kebebasan dari tanggung jawab secara hukum, baik terhadap istri maupun anak-anaknya. Jika ada kepatuhan hanya sebatas kesadaran moral saja.
Apabila hal ini terjadi maka bertentangan dengan ajaran Islam tentang keadilan dan perlindungan terhadap hak-hak setiap individu. Keadilan sendiri merupakan sendi utama dalam berbagai lapangan kehidupan, seperti hukum, ekonomi, sosial, budaya, politik, akidah, maupun ideologi serta merupakan sumber ketentraman dan kedamaian bagi umat manusia. Menurut Abdul Manan, keadilan dipandang sebagai kebijakan tertinggi dalam pergaulan hidup dan selalu ada dalam segala manifestasinya yang beraneka ragam.
Persoalan-persoalan di atas juga dialami oleh sejumlah pasangan suami-istri yang melakukan nikah sirri di Kabupaten X. Berdasarkan hasil pra-research yang dilakukan peneliti di Pengadilan Agama Kabupaten X, didapatkan informasi bahwa pasangan yang menikah secara sirri kesulitan mengurus akte kelahiran anak-anaknya, meskipun mereka telah melakukan nikah ulang di hadapan Kantor Urusan Agama (KUA) setempat. Hal ini disebabkan tanggal yang tercantum dalam buku nikah tidak sesuai dengan tanggal kelahiran atau usia anak.
Meskipun telah banyak penelitian mengenai anak di luar nikah dari perkawinan sirri, tidak terlalu banyak yang membahas tentang perubahan status keperdataannya melalui upaya hukum yang sebenarnya diberikan oleh Undang-Undang. Pada pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
Sebagai salah satu penyelenggara kekuasaan kehakiman, Pengadilan Agama Kabupaten X memiliki wewenang untuk memeriksa, memutus, dan mengadili permohonan penetapan asal usul anak di wilayah yurisdiksinya. Berdasarkan Data LIPA Pengadilan Agama Kabupaten X dari tahun 2006 hingga tahun 2011 telah tercatat 72 kasus penetapan asal usul anak yang diterima oleh Pengadilan Agama dan dari semua perkara tersebut, dapat dikabulkan semuanya, sebagaimana yang akan penulis uraikan pada paparan data skripsi berjudul : “STATUS KEPERDATAAN ANAK DI LUAR NIKAH DARI NIKAH SIRRI MELALUI PENETAPAN ASAL USUL ANAK” ini.

SKRIPSI TATA CARA PENGURUSAN JENAZAH MUTILASI DI RS DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

(KODE : HKM-ISLM-0008) : SKRIPSI TATA CARA PENGURUSAN JENAZAH MUTILASI DI RS DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

contoh skripsi hukum islam

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kematian adalah sesuatu yang pasti akan dialami oleh setiap manusia dan makhluk hidup lain di dunia yang fana. Kematian merupakan pintu gerbang menuju kepada kehidupan selanjutnya, yaitu kehidupan akhirat, ia sebagai bukti kekuasaan Allah, bukti adanya kebangkitan dan bukti yang meyakinkan bahwa manusia akan berdiri di hadapan Allah, Tuhan alam semesta. Kematian juga sebagai bukti akan kehidupan kekal yang dikehendaki oleh Tuhan semesta alam, dengan ukuran-ukuran yang telah diketahui dan timbangan-timbangan yang baik dan adil.
Kematian mesti ada, karena kematian berarti kembali ke asal manusia diciptakan. Sebagaimana Allah telah menciptakan manusia dari tanah, maka ia mesti kembali menjadi tanah agar menjadi peringatan bagi jiwa-jiwa yang lalim di saat berada dalam kelaliman, bagi jiwa-jiwa yang gundah di saat kegundahannya, dan jiwa-jiwa yang rusak di saat berada dalam kerusakan bahwa tempat kembalinya adalah ke dalam tanah.
Kehidupan manusia timbul pada saat ruh ditiupkan pada jasad janin dalam rahim seorang ibu. Sedangkan kematian adalah jembatan yang menghubungkan dua kehidupan; kehidupan di dunia dan kehidupan di akhirat atau terputusnya hubungan dan terpisahnya ruh dengan jasad manusia. Namun demikian suka atau tidak suka, cepat atau lambat, kematian pasti datang menjemput kita, ia diibaratkan dengan anak panah yang telah dilepas dari busurnya, ia terus akan mengejar sasarannya, dan begitu ia tiba pada sasarannya saat itu pula kematian yang ditujunya tiba.
Selain itu manusia tidak dapat terhindar sama sekali dari keresahan hidup. Ada keresahan yang dapat ditanggulanginya sendiri atau bersama orang lain, tetapi ada juga keresahan yang tidak dapat ditanggulanginya yaitu keresahan menghadapi kematian. Kecemasan tentang kematian dan apa yang terjadi sesudah mendorong manusia mencari sandaran yang dapat diandalkan. Kematian makhluk hidup, termasuk manusia yang hidup selamanya, meskipun begitu Tuhan juga menegaskan berkali-kali mengenai kepastian kematian manusia agar mereka menyiapkan diri dalam menghadapinya.
Mati secara etimologis berati padam, diam, dan tenang. Maksudnya sesuatu yang tidak memiliki roh jika tenang merupakan makna asal dari kematian. Dengan demikian gerak adalah makna asal dari kehidupan.
Allah SWT telah menggariskan kematian atas manusia sejak dalam kandungan atau rahim ibu, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits bahwa ketika jabang bayi seorang manusia sudah menginjak 40 hari, Allah akan menentukan padanya manusia rezekinya, umurnya dan jodohnya.
Ketentuan-ketentuan akan batasan umur manusia di atas dikenal dengan istilah takdir, artinya sebuah ketetapan yang tidak bisa dijamah oleh nalar manusia, karena ia adalah hak prerogatif Allah. Manusia hanya diwajibkan berusaha dengan berdoa meminta agar panjang umur, adapun kepastiannya Allahlah yang menentukan. Jika ajal sudah datang, tak seorangpun bisa mengelaknya dan menghindarnya, alih-alih meminta dipercepat. Allah SWT berfirman : 
Artinya : "...Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu, maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya." (QS. al-A'raaf [7] : 34)
Takdir kematian yang telah ditetapkan oleh Allah SWT secara umum terjadi karena sebab-sebab (al-asbab). Kematian bisa disebabkan oleh suatu penyakit, kecelakaan, atau pelanggaran hukum seperti pembunuhan atau yang lainnya.
Di dalam skripsi ini, penulis berusaha meneliti di dalam pengurusan jenazah dengan sebab kematian termutilasi karena kecelakaan (tergilas kereta, mobil), pembunuhan mutilasi, atau karena bom bunuh diri dengan tubuh mayat yang hancur-hancuran. Dalam kaitan ini, penelitian tentang tata cara pengurusan jenazah mutilasi dirasa perlu untuk mencari kejelasan identitas seseorang yang terbunuh tersebut. Sebagaimana dikemukakan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana bab Penyidikan bagian kedua pada pasal 133 ayat 3 : 
"Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilaksanakan dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat."
Kematian yang tidak wajar yang disebabkan termutilasi atau anggota tubuh mayat yang hancur harus dicari untuk kepentingan identifikasi korban dan untuk mendapatkan kepastian hukumnya. Dalam kaitan ketidakjelasan jenazah yang ditemukan, yang perlu diketahui adalah; Apakah jenazah tersebut mati secara tidak wajar? Apakah ada tanda-tanda atau ciri-ciri khusus pada jenazah? dan untuk mengetahui identitasnya tanda-tanda khusus tersebut perlu dicocokkan dengan keluarganya melalui informasi anggota keluarganya yang hilang. Dalam KUHP bab penyidikan bagian ke dua pasal 133 ayat 2 : 
"Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat."
Dalam kaitannya dengan jenazah yang tidak dikenal perlu diketahui juga identitas agamanya. Mengapa? karena identitas agama suatu jenazah sangat penting ketika melakukan proses kremasi jenazah dan penguburan, di mana setiap agama memiliki peraturan (syariat) yang berbeda-beda. Dan ini sejalan undang-undang dasar Negara Indonesia yang mengakui keyakinan umat beragama sebagaimana tertera dalam sila ke 1 Pancasila : Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kemudian, dalam kaitannya dengan jenazah yang beragama Islam, secara khusus ada beberapa aturan penatalaksanaan (tata cara) pengurusan jenazah yang perlu diperhatikan, yang meliputi tata cara memandikan, mengkafankan, menshalatkan, serta menguburkan jenazah. Dan ini merupakan kajian yang penulis bahas dalam skripsi ini.
Dari latar belakang di atas, penulis sangat tertarik mengadakan penelitian dalam penulisan skripsi ini dengan mengambil judul : "TATA CARA PENGURUSAN JENAZAH MUTILASI DI RUMAH SAKIT DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM." 

SKRIPSI TINJAUAN FIQIH MUAMALAH TERHADAP PELAKSANAAN JUAL-BELI HASIL PERTANIAN DENGAN CARA BORONGAN

(KODE : HKM-ISLM-0007) : SKRIPSI TINJAUAN FIQIH MUAMALAH TERHADAP PELAKSANAAN JUAL-BELI HASIL PERTANIAN DENGAN CARA BORONGAN

contoh skripsi hukum islam

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat hidup sendiri, artinya bahwa manusia selalu berhubungan dan membutuhkan orang lain. Salah satunya yaitu dalam bidang Muamalah, dalam hal Muamalah sendiri Islam telah memberikan ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah yang harus ditaati dan dilaksanakan. Jadi pelaksanaan Muamalah harus sesuai dengan ketentuan yang sudah ditetapkan oleh Syari'at Islam.
Sesungguhnya praktek jual-beli itu telah ada lebih dahulu sebelum adanya konsepsi tentang Muamalah (ekonomi Islam), sebab usaha manusia dalam bentuk perdagangan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan manusia telah ada semenjak manusia itu ada. Baik berupa tukar menukar barang (Barter), Jual-beli maupun kegiatan Muamalah yang lain. Dan itu berkembang sesuai dengan perkembangan budaya manusia, akhirnya timbullah pikiran-pikiran untuk menerapkan kaidah-kaidah dasar tentang Muamalah (ekonomi Islam).
Karena itulah semenjak Islam datang di bumi ini, bangsa Arab ketika itu telah mempunyai adat, norma dan kaidah-kaidah Muamalah. Adapun sikap Islam terhadap kaidah-kaidah yang telah berlaku di kalangan bangsa arab itu adalah mengembangkan dan menyempurnakan mana yang sesuai dengan syari'at Islam, dan menghapuskan yang tidak sesuai dengannya. Kemudian menggantikannya dengan kaidah-kaidah yang wajib ditaati dan dilaksanakan oleh kedua belah pihak yang mengadakan transaksi.
Allah SWT telah menjadikan harta sebagai salah satu sebab tegaknya kemaslahatan manusia di dunia, untuk mewujudkan kemaslahatan tersebut, Allah SWT telah mensyariatkan cara perdagangan (jual-beli) tertentu, sebab apa saja yang dibutuhkan oleh setiap orang tidak dengan mudah diwujudkan setiap saat, dan karena mendapatkannya dengan menggunakan kekerasan dan penindasan itu merupakan tindakan yang merusak, maka harus ada cara yang memungkinkan tiap orang untuk mendapatkan apa saja yang dia butuhkan, tanpa harus menggunakan kekerasan dan penindasan, itulah perdagangan dan hukum-hukum jual-beli yang dibenarkan atau yang disyariatkan.
Maka di dalam pelaksanaan perdagangan (jual-beli) selain ada penjual, pembeli, juga harus sesuai dengan syarat rukun jual-beli, dan yang paling penting yaitu tidak adanya unsur penipuan, jadi harus suka sama suka atau saling ridha.
Anjuran untuk melaksanakan jual-beli yang baik dan benar atau harus saling suka sama suka, telah banyak disebutkan dalam Al-Qur'an. Salah satunya surat An-Nisa' ayat 29 : 
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu".
Jadi lafaz tijarah yang berarti perdagangan sebenarnya memiliki padanan dengan al-ba'i karena memang lafaz tijarah adalah nama lain dari al-ba'i yang menjadi salah satu term fiqih dalam sebuah konsep pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain).
Al-Ba'i (jual-beli) menurut terminologi adalah tukar menukar barang atau harta dengan sejenisnya dengan cara yang baik, atau juga bisa dikatakan tukar menukar barang dengan barang atau harta dengan harta dengan cara yang khusus/tertentu (akad).
Konsep ba'i sebagai salah satu bentuk kerja sama dalam sistem perekonomian Islami sangat menarik bila konsep ini dijadikan sebagai alat untuk memotret sistem perekonomian, sistem perekonomian masyarakat khususnya dalam pelaksanaan jual-beli yang dilakukan oleh masyarakat di Desa X. Kegiatan Muamalah khususnya jual-beli yang dilakukan oleh masyarakat di desa ini sangat bervariasi, guna untuk mendapatkan barang yang diinginkannya. Khususnya dalam pembahasan ini adalah jual-beli hasil pertanian, dimana mayoritas masyarakat di Desa X dalam transaksi jual-beli hasil pertanian menggunakan jual-beli dengan cara "Borongan".
Jual-beli Cara "Borongan" ini bermula ketika seorang pedagang atau penjual ingin mendapatkan barang yang akan dijualnya nanti, maka mereka para penjual mencari barang dagangannya itu dengan cara melakukan akad jual-beli dengan cara "borongan", jadi sekali akad dan sekali pengambilan saja, ini bisa dicontohkan semisal; ada pedagang membeli buah alpukat milik petani, maka pedagang itu akan mengambil buah alpukat yang ada dipohon semuanya sampai habis, karena menggunakan cara "borongan", seperti yang kita ketahui umumnya buah-buahan itu belum tentu matangnya (masaknya) secara bersamaan. Bagaimana kedudukan buah yang masih hijau (kecil) tersebut. Padahal dalam aturan Muamalahnya sudah dijelaskan bahwa jual-beli buah yang belum nampak atau masih kecil hukumnya adalah tidak sah (fasid), seperti sabda Rasulullah Saw, yang diriwayatkan oleh 'Abdullah bin 'Umar r.a : 
Artinya : Diriwayatkan dari 'Abdullah bin 'Umar r.a. : Rasulullah Saw. Pernah bersabda, "Jangan menjual buah kurma sebelum jelas masak (bebas dari kemungkinan busuk atau kena hama) dan jangan menjual kurma basah dan kurma kering”.
Kenapa Rasulullah melarang memperjualbelikan sesuatu yang belum nampak masaknya, karena hal itu bisa mengakibatkan pertengkaran diantara mereka (penjual dan pembeli).
Pelaksanaan dari jual-beli dengan Cara "borongan" di yang lain yaitu; menjual tanaman kacang tanah yang masih belum diketahui barangnya. Kharijah bin Zaid bin Tsabit berkata bahwa Zaid bin Tsabit tidak menjual buah-buahan dari tanahnya sebelum muncul sehingga seseorang dapat membedakan buah yang kuning dari yang merah (matang). Jadi apabila muncul maka tandanya tanaman tersebut sudah memasuki umur tua atau sudah waktunya untuk dipanen.
Kedua masalah diatas adalah beberapa macam jual-beli dengan cara "borongan" yang kebanyakan dilakukan oleh masyarakat di Desa X, yang mana pelaksanaan dari transaksi jual-beli dengan cara "borongan" sebenarnya masih diperdebatkan, karena adanya unsur "spekulasi" (perkiraan saja), Jadi kebenarannya masih perlu dibuktikan. Padahal yang kita ketahui bahwa sistem jual-beli yang baik adalah barangnya bisa diketahui atau jelas, bermanfaat dan saling menguntungkan satu sama lain serta tidak adanya penipuan. Seperti Hadist Shahih Bukhari : 
"Diriwayatkan dari (Abdullah bin umar) r.a : Seseorang menemui Nabi Saw, dan berkata bahwa ia selalu dicurangi dalam pembelian. Nabi Saw, bersabda kepadanya agar pada waktu membeli (sesuatu) mengatakan, "Tidak ada penipuan". (ia mempunyai hak untuk mengembalikan barang yang dibelinya apabila ternyata cacat, rusak, tidak sesuai dengan janji si penjual, dan sebagainya).
Dalam hadist diatas Nabi Muhammad SAW. bersabda bahwa jual-beli yang mengandung unsur penipuan hendaknya ditinggalkan dan barang yang cacat atau rusak hendaknya dikembalikan pada salah satu pihak yang merasa dirugikan.
Apakah pelaksanaan jual-beli hasil pertanian dengan Cara "borongan" di Desa X itu terjadi dari kebiasaan/tradisi atau memang ada dalam aturan perniagaan/strategi perdagangan Islami. Persoalan selanjutnya adalah mengapa masyarakat di desa ini yang notabene ke-lslamannya sangat kuat masih saja terjebak pada praktek-praktek perekonomian Islami yang masih diragukan kebenarannya. Jawaban inilah yang ingin dicari dalam penelitian fenomena kasus di atas, maka penulis tergugah untuk mengadakan penelitian yang akan penulis tuangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul : TINJAUAN FIQIH MUAMALAH TERHADAP PELAKSANAAN JUAL-BELI HASIL PERTANIAN DENGAN CARA "BORONGAN".