(KODE : HKM-ISLM-0007) : SKRIPSI TINJAUAN FIQIH MUAMALAH TERHADAP PELAKSANAAN JUAL-BELI HASIL PERTANIAN DENGAN CARA BORONGAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat hidup sendiri, artinya bahwa manusia selalu berhubungan dan membutuhkan orang lain. Salah satunya yaitu dalam bidang Muamalah, dalam hal Muamalah sendiri Islam telah memberikan ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah yang harus ditaati dan dilaksanakan. Jadi pelaksanaan Muamalah harus sesuai dengan ketentuan yang sudah ditetapkan oleh Syari'at Islam.
Sesungguhnya praktek jual-beli itu telah ada lebih dahulu sebelum adanya konsepsi tentang Muamalah (ekonomi Islam), sebab usaha manusia dalam bentuk perdagangan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan manusia telah ada semenjak manusia itu ada. Baik berupa tukar menukar barang (Barter), Jual-beli maupun kegiatan Muamalah yang lain. Dan itu berkembang sesuai dengan perkembangan budaya manusia, akhirnya timbullah pikiran-pikiran untuk menerapkan kaidah-kaidah dasar tentang Muamalah (ekonomi Islam).
Karena itulah semenjak Islam datang di bumi ini, bangsa Arab ketika itu telah mempunyai adat, norma dan kaidah-kaidah Muamalah. Adapun sikap Islam terhadap kaidah-kaidah yang telah berlaku di kalangan bangsa arab itu adalah mengembangkan dan menyempurnakan mana yang sesuai dengan syari'at Islam, dan menghapuskan yang tidak sesuai dengannya. Kemudian menggantikannya dengan kaidah-kaidah yang wajib ditaati dan dilaksanakan oleh kedua belah pihak yang mengadakan transaksi.
Allah SWT telah menjadikan harta sebagai salah satu sebab tegaknya kemaslahatan manusia di dunia, untuk mewujudkan kemaslahatan tersebut, Allah SWT telah mensyariatkan cara perdagangan (jual-beli) tertentu, sebab apa saja yang dibutuhkan oleh setiap orang tidak dengan mudah diwujudkan setiap saat, dan karena mendapatkannya dengan menggunakan kekerasan dan penindasan itu merupakan tindakan yang merusak, maka harus ada cara yang memungkinkan tiap orang untuk mendapatkan apa saja yang dia butuhkan, tanpa harus menggunakan kekerasan dan penindasan, itulah perdagangan dan hukum-hukum jual-beli yang dibenarkan atau yang disyariatkan.
Maka di dalam pelaksanaan perdagangan (jual-beli) selain ada penjual, pembeli, juga harus sesuai dengan syarat rukun jual-beli, dan yang paling penting yaitu tidak adanya unsur penipuan, jadi harus suka sama suka atau saling ridha.
Anjuran untuk melaksanakan jual-beli yang baik dan benar atau harus saling suka sama suka, telah banyak disebutkan dalam Al-Qur'an. Salah satunya surat An-Nisa' ayat 29 :
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu".
Jadi lafaz tijarah yang berarti perdagangan sebenarnya memiliki padanan dengan al-ba'i karena memang lafaz tijarah adalah nama lain dari al-ba'i yang menjadi salah satu term fiqih dalam sebuah konsep pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain).
Al-Ba'i (jual-beli) menurut terminologi adalah tukar menukar barang atau harta dengan sejenisnya dengan cara yang baik, atau juga bisa dikatakan tukar menukar barang dengan barang atau harta dengan harta dengan cara yang khusus/tertentu (akad).
Konsep ba'i sebagai salah satu bentuk kerja sama dalam sistem perekonomian Islami sangat menarik bila konsep ini dijadikan sebagai alat untuk memotret sistem perekonomian, sistem perekonomian masyarakat khususnya dalam pelaksanaan jual-beli yang dilakukan oleh masyarakat di Desa X. Kegiatan Muamalah khususnya jual-beli yang dilakukan oleh masyarakat di desa ini sangat bervariasi, guna untuk mendapatkan barang yang diinginkannya. Khususnya dalam pembahasan ini adalah jual-beli hasil pertanian, dimana mayoritas masyarakat di Desa X dalam transaksi jual-beli hasil pertanian menggunakan jual-beli dengan cara "Borongan".
Jual-beli Cara "Borongan" ini bermula ketika seorang pedagang atau penjual ingin mendapatkan barang yang akan dijualnya nanti, maka mereka para penjual mencari barang dagangannya itu dengan cara melakukan akad jual-beli dengan cara "borongan", jadi sekali akad dan sekali pengambilan saja, ini bisa dicontohkan semisal; ada pedagang membeli buah alpukat milik petani, maka pedagang itu akan mengambil buah alpukat yang ada dipohon semuanya sampai habis, karena menggunakan cara "borongan", seperti yang kita ketahui umumnya buah-buahan itu belum tentu matangnya (masaknya) secara bersamaan. Bagaimana kedudukan buah yang masih hijau (kecil) tersebut. Padahal dalam aturan Muamalahnya sudah dijelaskan bahwa jual-beli buah yang belum nampak atau masih kecil hukumnya adalah tidak sah (fasid), seperti sabda Rasulullah Saw, yang diriwayatkan oleh 'Abdullah bin 'Umar r.a :
Artinya : Diriwayatkan dari 'Abdullah bin 'Umar r.a. : Rasulullah Saw. Pernah bersabda, "Jangan menjual buah kurma sebelum jelas masak (bebas dari kemungkinan busuk atau kena hama) dan jangan menjual kurma basah dan kurma kering”.
Kenapa Rasulullah melarang memperjualbelikan sesuatu yang belum nampak masaknya, karena hal itu bisa mengakibatkan pertengkaran diantara mereka (penjual dan pembeli).
Pelaksanaan dari jual-beli dengan Cara "borongan" di yang lain yaitu; menjual tanaman kacang tanah yang masih belum diketahui barangnya. Kharijah bin Zaid bin Tsabit berkata bahwa Zaid bin Tsabit tidak menjual buah-buahan dari tanahnya sebelum muncul sehingga seseorang dapat membedakan buah yang kuning dari yang merah (matang). Jadi apabila muncul maka tandanya tanaman tersebut sudah memasuki umur tua atau sudah waktunya untuk dipanen.
Kedua masalah diatas adalah beberapa macam jual-beli dengan cara "borongan" yang kebanyakan dilakukan oleh masyarakat di Desa X, yang mana pelaksanaan dari transaksi jual-beli dengan cara "borongan" sebenarnya masih diperdebatkan, karena adanya unsur "spekulasi" (perkiraan saja), Jadi kebenarannya masih perlu dibuktikan. Padahal yang kita ketahui bahwa sistem jual-beli yang baik adalah barangnya bisa diketahui atau jelas, bermanfaat dan saling menguntungkan satu sama lain serta tidak adanya penipuan. Seperti Hadist Shahih Bukhari :
"Diriwayatkan dari (Abdullah bin umar) r.a : Seseorang menemui Nabi Saw, dan berkata bahwa ia selalu dicurangi dalam pembelian. Nabi Saw, bersabda kepadanya agar pada waktu membeli (sesuatu) mengatakan, "Tidak ada penipuan". (ia mempunyai hak untuk mengembalikan barang yang dibelinya apabila ternyata cacat, rusak, tidak sesuai dengan janji si penjual, dan sebagainya).
Dalam hadist diatas Nabi Muhammad SAW. bersabda bahwa jual-beli yang mengandung unsur penipuan hendaknya ditinggalkan dan barang yang cacat atau rusak hendaknya dikembalikan pada salah satu pihak yang merasa dirugikan.
Apakah pelaksanaan jual-beli hasil pertanian dengan Cara "borongan" di Desa X itu terjadi dari kebiasaan/tradisi atau memang ada dalam aturan perniagaan/strategi perdagangan Islami. Persoalan selanjutnya adalah mengapa masyarakat di desa ini yang notabene ke-lslamannya sangat kuat masih saja terjebak pada praktek-praktek perekonomian Islami yang masih diragukan kebenarannya. Jawaban inilah yang ingin dicari dalam penelitian fenomena kasus di atas, maka penulis tergugah untuk mengadakan penelitian yang akan penulis tuangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul : TINJAUAN FIQIH MUAMALAH TERHADAP PELAKSANAAN JUAL-BELI HASIL PERTANIAN DENGAN CARA "BORONGAN".