Search This Blog

Showing posts with label pertumbuhan ekonomi. Show all posts
Showing posts with label pertumbuhan ekonomi. Show all posts

SKRIPSI PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, INFLASI, DAN TINGKAT KESEMPATAN KERJA TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI INDONESIA

(KODE : EKONPEMB-039) : SKRIPSI PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, INFLASI, DAN TINGKAT KESEMPATAN KERJA TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI INDONESIA

skripsi ekonomi pembangunan

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah meningkatkan kinerja perekonomian agar mampu menciptakan lapangan kerja dan menata kehidupan yang layak bagi seluruh rakyat yang pada gilirannya akan mewujudkan kesejahteraan penduduk Indonesia. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah menurunkan tingkat kemiskinan. Kemiskinan merupakan salah satu penyakit dalam ekonomi, sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Permasalahan kemiskinan memang merupakan permasalahan yang kompleks dan bersifat multidimensional. Oleh karena itu, upaya pengentasan kemiskinan harus dilakukan secara komprehensif, mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat, dan dilaksanakan secara terpadu (Muhammad Nasir, dkk, 2008).
Kemiskinan adalah suatu situasi dimana pendapatan tahunan individu di suatu kawasan tidak memenuhi standar pengeluaran minimum yang di butuhkan individu untuk dapat hidup layak di kawasan tersebut. Individu yang hidup dibawah standar pengeluaran minimum tersebut tergolong mi skin, ketika perekonomian berkembang di suatu kawasan, terdapat lebih banyak pendapatan untuk dibelanjakan, yang jika terdistribusi dengan baik diantara penduduk kawasan tersebut akan mengurangi kemiskinan. Dengan kata lain, secara teoritis pertumbuhan ekonomi memainkan peranan penting dalam mengatasi masalah penurunan kemiskinan.
Istilah kemiskinan muncul ketika seseorang atau sekelompok orang tidak mampu mencukupi tingkat kemakmuran ekonomi yang dianggap sebagai kebutuhan minimal dari standar hidup tertentu. Dalam arti proper, kemiskinan dipahami sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup. Dalam arti luas, Chambers (dalam Chriswardani Suryawati, 2005) mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu integrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu : 1) kemiskinan (proper), 2) ketidakberdayaan (powerless), 3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency), 4) ketergantungan (dependence), dan 5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis. Menurut BPS (2011), dan BPS dan Word Bank, 2007 (dalam Basri & Munandar, 2009) seseorang masuk dalam kriteria miskin jika pendapatannya berada dibawah garis kemiskinan.
Menurut Sharp, et. al. (1996) dalam Kuncoro, 2004 : 157) mengidentifikasi penyebab kemiskinan dipandang dari sisi ekonomi. Pertama, secara mikro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Kedua, kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia yang rendah berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Ketiga, kemiskinan, muncul akibat perbedaan akses dalam modal. Usaha pemerintah dalam penanggulangan masalah kemiskinan sangatlah serius. Pemerintah sudah melakukan berbagai macam program penanggulangan kemiskinan antara lain IDT (Inpres Desa Tertinggal), P2SDT, PPK, P2KP, PDMDKE, PARUL dan PESM (Kuncoro, 2004).
Proses pembangunan memerlukan pendapatan nasional yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang cepat. Di banyak negara syarat utama bagi terciptanya penurunan kemiskinan yang tetap adalah pertumbuhan ekonomi. pertumbuhan ekonomi memang tidak cukup untuk mengentaskan kemiskinan tetapi biasanya pertumbuhan ekonomi merupakan sesuatu yang dibutuhkan, walaupun begitu pertumbuhan ekonomi yang bagus pun menjadi tidak akan berarti bagi penurunan masyarakat miskin jika tidak diiringi dengan pemerataan pendapatan (Wongdesmiwati, 2009).
Menurut Boediono (1985) dalam Kuncoro (2004), pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator untuk melihat keberhasilan pembangunan dan merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi pengurangan tingkat kemiskinan. Adapun syarat kecukupannya ialah bahwa pertumbuhan ekonomi tersebut efektif dalam mengurangi tingkat kemiskinan. Artinya, pertumbuhan tersebut hendaklah menyebar di setiap golongan pendapatan, termasuk di golongan penduduk miskin. Secara langsung, hal ini berarti pertumbuhan itu perlu dipastikan terjadi di sektor-sektor dimana penduduk miskin bekerja yaitu sektor pertanian atau sektor yang padat karya. Adapun secara tidak langsung, diperlukan pemerintah yang cukup efektif mendistribusikan manfaat pertumbuhan yang mungkin didapatkan dari sektor modern seperti jasa yang padat modal (Hermanto Siregar dan Dwi Wahyuniarti, 2008).
Pertumbuhan ekonomi, yang diukur dengan berkembangnya produksi barang dan jasa atau Pendapatan Nasional sangat diperlukan, karena kedua faktor yang sangat menentukan yaitu tambahnya jumlah penduduk dari tahun ke tahun dan meningkatnya tingkat kesejahteraan masyarakat sebagai hasil pembangunan itu sendiri, sehingga masyarakat membutuhkan semakin banyak barang dan jasa, baik itu barang privat maupun barang publik (Irawan & Suparmoko, 2002).
Perekonomian saat ini sudah semakin pulih, yang di tunjukkan semakin membaiknya kondisi makro ekonomi nasional, namun masih banyak permasalahan mendasar tentang belum tertangani secara berarti. Masalah relatif tingginya angka kemiskinan merupakan masalah kritikal yang memerlukan perhatian khusus. Beberapa tahun terakhir, jumlah penduduk miskin menunjukkan peningkatan, yang dikarenakan belum optimalnya pertumbuhan ekonomi. Selama beberapa tahun terakhir terjadi kesenjangan yang signifikan antara desa dan kota, dimana tingkat kemiskinan di desa selalu lebih besar dari kemiskinan di kota relatif persistennya kemiskinan di pedesaan berarti bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi belum dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Inflasi dapat didefinisikan sebagai kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus menerus, atau bisa juga disebut gejala ketidakseimbangan antara jumlah uang yang beredar dengan jumlah barang dan jasa yang tersedia, jumlah uang yang beredar lebih besar dibanding dengan jumlah barang dan jasa yang tersedia. Kemiskinan merupakan masalah ekonomi global paling mendesak saat ini, terutama di negara-negara berkembang. Di Indonesia, jumlah orang miskin tidak banyak berkurang dalam tiga puluh tahun terakhir. Dalam kurun waktu yang panjang tersebut, jelas sekali bahwa pengentasan kemiskinan belum mencapai hasil yang diharapkan. Fenomena inflasi di Indonesia sebenarnya semata-mata bukan merupakan suatu fenomena jangka pendek saja dan yang terjadi secara situasional, tetapi seperti halnya yang umum terjadi pada negara-negara yang sedang berkembang lainnya, masalah inflasi di Indonesia lebih pada masalah inflasi jangka panjang karena masih terdapatnya hambatan dalam struktural dalam perekonomian.
Tingkat pertumbuhan ekonomi dan inflasi di Indonesia akan mempengaruhi tingkat kesempatan kerja yang pada akhirnya akan mempengaruhi pada tingkat pengangguran. Tingkat kesempatan kerja merupakan rasio antara jumlah penduduk yang bekerja terhadap jumlah angkatan kerja (Kuncoro, 2004 : 153). Nilai rasio "kesempatan kerja" tersebut dalam pengertian adanya "lowongan kerja", tetapi indikator ini dimaksudkan untuk merefleksikan tingkat penyerapan terhadap angkatan kerja.
Hampir semua negara di dunia ini termasuk indonesia tidak mampu menyediakan lapangan kerja yang cukup menampung angkatan kerjanya.
Bukan hanya negara berkembang yang tidak mampu menyediakan lapangan kerja, tetapi juga negara-negara maju. Kurangnya lapangan pekerjaan merupakan masalah yang harus di tangani dengan sungguh-sungguh alasannya, bekerja atau tidak bekerjanya seseorang berhubungan langsung dengan kesempatan orang mencari nafkah. Kesempatan kerja adalah tersedianya lapangan kerja bagi angkatan kerja yang membutuhkan pekerjaan. Semakin sedikitnya kesempatan kerja maka akan meningkatkan pengangguran. Pengangguran adalah orang yang tidak mempunyai pekerjaan, sedang mencari pekerjaan, atau sedang mempersiapkan suatu usaha baru. Sedangkan tingkat pengangguran adalah perbandingan antara jumlah pengangguran dan jumlah angkatan kerja dalam bentuk persentase. (Indriamadia, 2011)
Pasca krisis pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2000 sebesar 4.92%, ternyata kondisi ini belum mampu menciptakan lapangan kerja dan menyerap tambahan angkatan kerja yang muncul sekitar 2,5 juta setiap, akibatnya jumlah pengangguran meningkat, sebesar 9,76 juta orang tahun 2001-2004. Lambatnya pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya jumlah pengangguran mengakibatkan jumlah penduduk miskin belum dapat diturunkan setelah pasca krisis, tercatat bahwa tahun 2002 penduduk miskin sebesar 38,4 juta jiwa dimana angka ini lebih besar jika dibandingkan sebelum krisis, yaitu sebesar 34,5 juta jiwa pada tahun 1996 (BPS, 2002).
Cutler dan Katz (1991) menganalisis tentang pengaruh dari variabel-variabel ekonomi makro seperti inflasi, pengangguran dan variable-variabel demografis terhadap kemiskinan. Dalam penelitiannya Cutler dan Katz (1991) menemukan bahwa inflasi memberikan pengaruh yang relatif kurang signifikan, sedangkan pengangguran memberikan pengaruh yang signifikan dan positif terhadap tingkat kemiskinan. Tetapi Powers (1995) menemukan bahwa inflasi memberikan pengaruh yang cukup signifikan terhadap consumption poverty rate.
Untuk itu mengacu dari latar belakang masalah yang telah di sampaikan diatas, peneliti akan menganalisis masalah kemiskinan ini dengan judul "PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, INFLASI, DAN TINGKAT KESEMPATAN KERJA TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN DI INDONESIA".

SKRIPSI ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, INVESTASI, DAN JUMLAH INDUSTRI TERHADAP PENYEDIAAN KESEMPATAN KERJA

(KODE : EKONPEMB-038) : SKRIPSI ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, INVESTASI, DAN JUMLAH INDUSTRI TERHADAP PENYEDIAAN KESEMPATAN KERJA

skripsi ekonomi pembangunan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu indikator yang sangat penting dalam melakukan analisis pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara karena pertumbuhan ekonomi menunjukkan seberapa jauh aktivitas perekonomian menghasilkan dan bertambahnya pendapatan masyarakat pada suatu periode tertentu.
Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sangat didukung oleh sumber daya yang potensial. Jumlah penduduk sebagai sumber daya manusia merupakan sumber daya potensial bagi suatu negara. Dalam GBHN tahun 1978 dinyatakan : "jumlah penduduk yang sangat besar, apabila dapat dibina dan diarahkan sebagai tenaga kerja yang efektif merupakan pembangunan yang besar dan sangat menguntungkan bagi usaha-usaha pembangunan di segala bidang" (bab II, hal 45). Dari kutipan GBHN tersebut, jelas bahwa hal ini sangat penting dikemukakan, tidak saja keterbatasan dana, tetapi juga sebagai landasan yang kuat bagi partisipasi masyarakat dalam pembangunan nasional.
Tingkat keberhasilan perekonomian suatu negara yang telah dicapai dapat diukur melalui konsep kesempatan kerja yang dapat diciptakan atau dihitung dari orang yang berhasil mendapat pekerjaan. Akan tetapi masalah penduduk dan lapangan pekerjaan selalu menjadi masalah yang rumit. Masalah ini langsung atau tidak langsung menyangkut pertanyaan, sampai sejauh mana proses pembangunan dinikmati oleh sebagian masyarakat dan sampai sejauhmana bangsa kita berpartisipasi sebagai pelaksana aktif dalam usaha kearah kemajuan.
Kebijakan-kebijakan yang sangat dibutuhkan dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, kestabilan ekonomi, dan penciptaan lapangan kerja bagi seluruh rakyat Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan tidak disertai dengan perbaikan struktur perekonomian yang lebih kokoh dapat menyebabkan ketidakstabilan ekonomi dalam negeri dan tingkat inflasi yang sangat tinggi. Kondisi perekonomian dengan tingkat ekonomi yang tinggi dapat menyebabkan perubahan-perubahan dalam output dan kesempatan kerja.
Hubungan antara MEC, investasi, dan tingkat bunga dapat dilihat dari MEC sebagai garis yang menurun, dimana garis ini memperlihatkan jumlah investasi yang dilakukan pada setiap tingkat bunga yang berlaku.
Sementara itu, jumlah industri terus berkembang. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa jumlah usaha industri pada tahun 2004 tercatat sebanyak 929 perusahaan, jumlah ini menunjukkan peningkatan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebanyak 919 perusahaan. Sebagian besar industri ini termasuk pada industri makanan, minuman, dan tembakau yang jumlahnya mencapai 384 perusahaan dan kemudian diikuti oleh golongan industri kimia, batu bara, karet, dan plastik sebanyak 174 perusahaan, dan sisanya 133 perusahaan diikuti oleh industri kayu dan perabot rumah tangga.
Berdasarkan uraian diatas, penulis mencoba menganalisa atau melihat perkembangan kesempatan kerja dihadapkan dengan pertumbuhan ekonomi, investasi, dan jumlah industri. Untuk maksud tersebut, maka penulis melakukan penelitian dengan judul "ANALISIS PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, INVESTASI, DAN JUMLAH INDUSTRI TERHADAP PENYEDIAAN KESEMPATAN KERJA".

SKRIPSI ANALISIS PENGARUH PERDAGANGAN INTERNASIONAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

(KODE : EKONPEMB-036) : SKRIPSI ANALISIS PENGARUH PERDAGANGAN INTERNASIONAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

skripsi ekonomi pembangunan

BAB I
PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang
Perdagangan internasional mempunyai arti yang sangat penting bagi suatu negara, tak terkecuali bagi Indonesia. Melalui perdagangan internasional dapat diraih banyak manfaat, baik manfaat langsung maupun tidak langsung. Manfaat langsung dari perdagangan internasional diantaranya adalah dengan adanya spesialisasi, suatu negara dapat mengekspor komoditi yang ia produksi untuk dipertukarkan dengan apa yang dihasilkan negara lain dengan biaya yang lebih rendah. Negara akan memperoleh keuntungan secara langsung melalui kenaikan pendapatan nasional dan pada akhirnya akan menaikkan laju output dan pertumbuhan ekonomi.
Manfaat tidak langsung dari perdagangan internasional diantaranya adalah (1) Perdagangan internasional membantu mempertukarkan barang-barang yang mempunyai pertumbuhan rendah dengan barang-barang luar negeri yang mempunyai kemampuan pertumbuhan yang tinggi, (2) Sebagai sarana pemasukan gagasan, kemampuan, dan keterampilan yang merupakan perangsang bagi peningkatan teknologi, dan (3) Perdagangan internasional memberikan dasar bagi pemasukan modal asing. Jika tidak ada perdagangan internasional, modal tidak akan mengalir dari negara maju ke negara sedang berkembang (Jhingan, 2003). Semua transaksi perdagangan internasional yang terjadi di suatu negara, terangkum dalam neraca perdagangan (trade balance) yang terdiri dari komponen ekspor dan impor barang dan jasa.
Dalam sebuah Negara, pertumbuhan ekonomi merupakan sebuah capaian yang menjadi prioritas utama. Negara akan melakukan berbagai macam cara dan strategi ekonomi yang dapat menunjang tercapainya tingkat pertumbuhan ekonomi tersebut. Pertumbuhan ekonomi tersebut akan menjadi gambaran akan tingkat kesejahteraan dan kemakmuran bagi setiap warga Negara yang mendiami Negara tersebut.
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator dari kemajuan ekonomi suatu negara. Menurut Kuznets, pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya (Todaro, 2000 dan Smith, 2003).
Pertumbuhan ekonomi merupakan fenomena yang penting bagi suatu bangsa, masalah pertumbuhan ekonomi menjadi tujuan bangsa agar dapat pula meningkatkan pembangunan nasional yang dapat meningkatkan kualitas manusia dan masyarakat Indonesia yang dilakukan secara berkelanjutan berdasarkan kemampuan nasional (Sukirno, 2003 : 9).
Pertumbuhan ekonomi tidak bisa lepas dari modal atau tenaga kerja dan teknologi. Penyediaan sumber daya modal sangat diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan. Sumber dana ini diwujudkan dalam bentuk penanaman modal (Investasi). Hal ini sangat diperlukan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi, maupun kesempatan kerja. Dana investasi dapat diperoleh dari pemerintah, masyarakat (swasta), pinjaman luar negeri serta investasi swasta asing (Sukirno, 2002 : 351).
Investasi merupakan faktor penting dalam memberikan kontribusi yang besar terhadap proses pembangunan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi maka sangat diperlukan kegiatan-kegiatan proses produksi (barang dan jasa) di semua sektor-sektor ekonomi, yang akan terciptanya kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat meningkat, sehingga pertumbuhan ekonomi akan tercipta (Tulus, 2001 : 40).
Dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi Indonesia memerlukan dua faktor penting, yaitu modal dan tenaga ahli. Tersedianya modal saja tidak cukup untuk meningkatkan perekonomian. Dengan kata lain diperlukan adanya tenaga kerja yang terdidik, ahli dan terampil dalam melakukan proses produksi. Tenaga kerja yang terdidik, ahli dan terampil ini memerlukan pendidikan. Perkembangan pendidikan merupakan suatu langkah yang harus dilaksanakan pada waktu usaha pembangunan dimulai. Selain itu masalah pengembangan pengusaha juga penting. Menurut Schumpeter bahwa golongan pengusaha sangat penting dalam menentukan sampai mana perkembangan ekonomi akan tercapai. Mereka adalah golongan peminjam atau mengumpulkan modal atau dana sendiri yang akan mengembangkan kegiatan proses produksinya (Sukirno, 2004 : 439).
Pemerintah memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian karena memiliki wewenang sebagai regulator (pengatur atau pengendali). Meskipun pemerintah sebagai regulator, pemerintah tidak dapat bertindak semena-mena, karena bila pemerintah tidak pandai menarik investor maka pertumbuhan ekonomi akan lambat dan lapangan kerja akan tidak bertambah melebihi pertambahan angkatan kerja. Selain itu pemerintah sebagai stimulator, dana yang dimiliki pemerintah dapat digunakan sebagai stimulan untuk mengarahkan investasi swasta atau masyarakat umum ke arah yang diinginkan pemerintah baik dari sudut jenis kegiatan maupun lokasinya (Tarigan, 2005 : 32).
Kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemerintah adalah kebijaksanaan yang harus dapat mengatasi masalah perekonomian secara keseluruhan. Di satu pihak dapat meningkatkan ekspor sebagai penghasil devisa guna membiayai impor serta pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri, dan di lain pihak dapat menekan laju inflasi. Penekanan laju inflasi diarahkan untuk mencegah penurunan daya beli masyarakat, terutama golongan mayoritas yang banyak mengkonsumsi keperluan bahan pokok, tetapi di sisi lain juga merupakan alat yang ampuh untuk mempertahankan nilai tukar (kurs) yang kompetitif guna menunjang eksport serta dapat mengatasi masalah di bidang ketenagakerjaan. (Mubyarto : 2000).
Dari uraian yang telah disampaikan, dapat terlihat bahwa net ekspor, investasi, tenaga kerja dan kurs valuta asing merupakan indikasi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). Hal ini dapat terwujud oleh peranan berbagai unsur pendukung yang mempengaruhinya. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengamati masalah pertumbuhan ekonomi dan mengkaji lebih dalam lagi tentang : "ANALISIS DAMPAK PERDAGANGAN INTERNASIONAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA".

SKRIPSI ANALISIS KAUSALITAS ANTARA FDI DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI ASEAN

(KODE : EKONPEMB-024) : SKRIPSI ANALISIS KAUSALITAS ANTARA FDI DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI ASEAN

SKRIPSI EKONOMI PEMBANGUNAN

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Globalisasi ekonomi bagi seluruh bangsa di dunia adalah fakta sejarah yang harus dihadapi dan terlibat didalamnya termasuk negara-negara di kawasan ASEAN. Globalisasi dapat menjadi sarana bagi suatu negara untuk dapat memperluas pangsa pasarnya, baik dalam hal perdagangan internasional maupun investasi. Situasi ini pun dianggap sebagai suatu peluang bagi seluruh negara di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang. Perekonomian dunia yang mengglobal ini telah menciptakan kondisi saling ketergantungan ekonomi antar-negara, dan cenderung menimbulkan proses penyatuan aktivitas ekonomi baik di sektor riel maupun sektor keuangan, sehingga batas-batas antar-negara dalam berbagai praktik kegiatan ekonomi tersebut seakan-akan tidak berlaku lagi.
Timbulnya ketergantungan antarnegara umumnya disebabkan oleh sumber daya alam yang dimiliki oleh masing-masing negara sangat terbatas, sehingga setiap negara membutuhkan bantuan dari negara lain (Huala Adolf, 2003). Sebagai motor penggeraknya adalah sistem persaingan yang oleh sebagian pihak menganggap akan dapat menghasilkan perbaikan kualitas pemenuhan kebutuhan dan pelayanan bagi para pelaku ekonomi di negara-negara yang terlibat. Globalisasi yang terjadi di seluruh dunia telah meningkatkan aliran dana maupun investasi, meningkatkan peredaran uang dan modal, menciptakan alih-teknologi, melancarkan distribusi hasil-hasil produksi, serta menciptakan produk berstandar global.
Tetapi oleh sebagian pihak lainnya, mengatakan bahwa globalisasi justru dapat menciptakan malapetaka, akibat eksploitasi sumber daya ekonomi oleh negara-negara yang lemah sebagai akibat lemahnya sendi-sendi ekonomi dasar mereka, seperti lembaga ekonomi, SDM atau sistem ekonomi yang berlaku. Misalnya dapat memperburuk neraca pembayaran karena masyarakat cenderung menyukai barang impor sedangkan hasil ekspor dalam negeri kalah bersaing dengan perusahaan raksasa di dunia.
Di era globalisasi ini Foreign Direct Investment (FDI) memegang peran penting dalam bisnis internasional. Integrasi ekonomi erat kaitannya dengan liberalisasi perdagangan yang merupakan ciri dari kondisi perekonomian yang semakin mengglobal. Integrasi ekonomi terjadi di antara negara-negara di dunia yang mendorong munculnya kerjasama dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya. Saat ini, ada tiga kerjasama ekonomi regional yang terbesar di dunia, yaitu European Community (EC) yang merupakan bentuk integrasi ekonomi untuk negara-negara di kawasan Eropa, North American Free Trade Area (NAFTA) yang merupakan bentuk integrasi ekonomi untuk kawasan Amerika Utara dan Association of South East Asian Nations (ASEAN) yang merupakan bentuk integrasi bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya di Asia Tenggara. Saat ini ASEAN juga melakukan kerjasama dengan negara Jepang, Korea Selatan, dan RRC yang disebut dengan kawasan ASEAN.
Situasi ini akan mempengaruhi iklim investasi dalam bentuk Foreign Direct Investment (FDI), yang saat ini banyak dipilih oleh investor. FDI mempunyai dampak jangka panjang untuk negara penerima, dimana dalam FDI tidak hanya terjadi transfer modal, namun juga terjadi transfer teknologi, ilmu pengetahuan, maupun manajemen. Dengan kata lain, FDI juga berpotensi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi di host country.
Pada awalnya FDI dapat memperbaiki posisi devisa di host country, namun dalam jangka panjang bisa berdampak mengurangi devisa itu sendiri. Hal tersebut disebabkan oleh impor besar-besaran dari barang setengah jadi serta barang modal di host country dan diperburuk oleh adanya pengiriman kembali keuntungan hasil bunga serta royalti. FDI juga dapat menyebabkan turunnya investasi domestik, karena kalah bersaing dengan modal asing. (Haryadi, R. Oktaviani, M. Tambunan, dan N.A. Achsani, 2008)
ASEAN (Association of Southeast Asia Nations) merupakan organisasi geopolitik dan ekonomi yang anggotanya berasal dari negara-negara di kawasan Asia Tenggara. ASEAN berdiri pada tanggal 8 Agustus 1967 di kota Bangkok, Thailand melalui Deklarasi Bangkok yang diprakarsai oleh lima negara yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Singapura. Pada tanggal 7 Januari 1984 Brunei Darussalam bergabung dengan ASEAN disusul dengan Vietnam, Laos, Myanmar, dan Kamboja. Hampir semua negara di kawasan Asia Tenggara merupakan anggota ASEAN kecuali Timor Leste dan Papua Nugini dan hanya mendapat status pemerhati dalam ASEAN.
Tujuan didirikannya ASEAN yaitu untuk meningkatkan ekonomi, kemajuan sosial, pengembangan kebudayaan dan memajukan perdamaian di tingkat regional. Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-23 ASEAN di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam disepakati untuk memperdalam, memperluas, dan mengintegrasikan ekonomi ASEAN dengan perekonomian global, khususnya melalui penerapan kawasan perdagangan bebas negara-negara ASEAN melalui Asean Economic Community (AEC) yang dimulai pada Desember 2015.
Implementasi AEC 2015 akan menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan pusat produksi, menjadikan ASEAN sebagai kawasan ekonomi yang kompetitif, menciptakan pertumbuhan ekonomi yang seimbang, serta mengakselerasi integrasi ekonomi regional menuju ekonomi global (Eddy Cahyono. S dalam situs www.setkab.go.id, 2013)
Untuk menghadapi hal diatas, harus disadari bahwa sebagian besar negara di kawasan ASEAN merupakan negara berkembang dan membutuhkan dana yang cukup besar untuk melaksanakan pembangunan nasional. Kebutuhan dana yang besar tersebut terjadi karena adanya upaya untuk mengejar ketertinggalan pembangunan dari negara-negara maju, baik di kawasan regional maupun kawasan global.
Menurut Jonker Sihombing (2008), pemerintah harus mengupayakan sumber pembiayaan pembangunan dari alternatif-alternatif yang tersedia, baik yang bersumber dari dalam maupun yang bersumber dari luar negeri. Apabila ternyata persediaan tabungan di dalam negeri tidak tercukupi, maka salah satu cara untuk mendapatkan suntikan modal adalah dengan menarik investasi asing langsung (FDI). Dalam hal tertentu, FDI hanyalah pelengkap investasi domestik. Namun, dalam perkembangannya FDI memiliki peranan penting dalam investasi secara keseluruhan terutama untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN.
Berdasarkan kondisi diatas, maka peneliti tertarik melakukan penelitian terkait dengan FDI dan pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN yang berjudul "ANALISIS KAUSALITAS ANTARA FDI DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DI ASEAN".
TESIS ANALISIS PRO POOR GROWTH DI INDONESIA MELALUI IDENTIFIKASI PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP KETIMPANGAN PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

TESIS ANALISIS PRO POOR GROWTH DI INDONESIA MELALUI IDENTIFIKASI PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP KETIMPANGAN PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

(KODE : PASCSARJ-0248) : TESIS ANALISIS PRO POOR GROWTH DI INDONESIA MELALUI IDENTIFIKASI PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI TERHADAP KETIMPANGAN PENDAPATAN DAN KEMISKINAN (PROGRAM STUDI : EKONOMI KEBIJAKAN PUBLIK)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara umum diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan. Sedangkan tujuan yang paling penting dari suatu pembangunan adalah pengurangan tingkat kemiskinan yang dapat dicapai melalui pertumbuhan ekonomi dan/atau melalui redistribusi pendapatan (Kakwani dan Son, 2003). Hal ini dilandasi pada teori trickle-down effect yang dikembangkan pertama kali oleh Arthur Lewis (1954) dan diperluas oleh Ranis dan Fei (1968). Teori tersebut menjadi salah satu topik penting di dalam literatur mengenai pembangunan ekonomi di negara-negara sedang berkembang (Least Develop Countries/LDCs) pada dekade 1950-an dan 1960-an.
Teori trickle-down effect menjelaskan bahwa kemajuan yang diperoleh oleh sekelompok masyarakat akan sendirinya menetes ke bawah sehingga menciptakan lapangan kerja dan berbagai peluang ekonomi yang pada gilirannya akan menumbuhkan berbagai kondisi demi terciptanya distribusi hasil-hasil pertumbuhan ekonomi yang merata. Teori tersebut mengimplikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi akan diikuti oleh aliran vertikal dari penduduk kaya ke penduduk miskin yang terjadi dengan sendirinya. Manfaat pertumbuhan ekonomi akan dirasakan penduduk kaya terlebih dahulu, dan kemudian pada tahap selanjutnya penduduk miskin mulai memperoleh manfaat ketika penduduk kaya mulai membelanjakan hasil dari pertumbuhan ekonomi yang telah diterimanya. Dengan demikian, maka pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap penurunan angka kemiskinan merupakan efek tidak langsung oleh adanya aliran vertikal dari penduduk kaya ke penduduk miskin. Hal ini berarti juga bahwa kemiskinan akan berkurang dalam skala yang sangat kecil bila penduduk miskin hanya menerima sedikit manfaat dari total manfaat yang ditimbulkan dari adanya pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini dapat membuka peluang terjadinya peningkatan kemiskinan sebagai akibat dari meningkatnya ketimpangan pendapatan yang disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi yang lebih memihak penduduk kaya dibanding penduduk mi skin.
Oleh sebab itu, maka dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat berdampak positif bagi pengurangan kemiskinan bilamana pertumbuhan ekonomi yang terjadi berpihak pada penduduk miskin (pro-poor growth/PPG). Siregar (2006) juga menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi pengurangan kemiskinan, sedangkan syarat kecukupannya (sufficient condition) adalah pertumbuhan ekonomi tersebut harus efektif dalam mengurangi kemiskinan. Artinya, pertumbuhan hendaklah menyebar di setiap golongan pendapatan, termasuk di golongan penduduk miskin (growth with equity). Secara langsung, hal ini berarti pertumbuhan itu perlu dipastikan terjadi di sektor-sektor dimana penduduk miskin bekerja (pertanian atau sektor yang padat karya). Adapun secara tidak langsung, hal itu berarti diperlukan pemerintah yang cukup efektif me redistribusi manfaat pertumbuhan.
Kasus di beberapa negara cukup membuktikan kontribusi pertumbuhan ekonomi terhadap penurunan tingkat kemiskinan. Kesuksesan negara-negara Asia Timur di tahun 1970-an dan 1980-an menunjukkan bahwa tingginya pertumbuhan ekonomi yang dikombinasi dengan rendahnya ketimpangan pendapatan dapat secara signifikan mengurangi kemiskinan (World Bank, 1993 dalam Cord, 2007). Analisa yang dilakukan oleh Kakwani dan Son (2006) terhadap beberapa negara Asia menunjukkan bahwa selama tahun 1990-an pertumbuhan ekonomi Korea dan Vietnam tergolong pro-poor. Analisa yang menggunakan data panel negara-negara berkembang di tahun 1980-an dan 1990-an juga menunjukkan pentingnya pertumbuhan ekonomi bagi penurunan kemiskinan (Dollar dan Kraay, 2002; Kraay 2005). Terkait dengan hal tersebut, maka saat ini pro-poor growth menjadi salah satu konsep pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di berbagai negara khususnya negara sedang berkembang, dimana pertumbuhan ekonomi digunakan sebagai salah satu alat untuk mengurangi kemiskinan.
Meskipun hingga sebelum krisis jumlah penduduk miskin selalu mengalami penurunan, namun ketika pada tahun 1999 pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali meningkat ke pertumbuhan positif sebesar 0.79% dan tahun berikutnya kembali meningkat menjadi 4.92 %, kondisi ini belum mampu menciptakan lapangan kerja dan menyerap tambahan angkatan kerja. Akibatnya, jumlah pengangguran meningkat sebesar 9.76 juta orang pada tahun 2001 hingga 2004. Lambatnya pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya jumlah pengangguran mengakibatkan jumlah penduduk miskin belum dapat diturunkan setelah paska krisis, tercatat bahwa pada tahun 2002 penduduk miskin sebesar 38.4 juta jiwa (18.2 persen) dimana angka ini lebih besar jika dibandingkan sebelum krisis, yaitu sebesar 22.5 juta jiwa (11.34 persen) pada tahun 1996. Bahkan sampai pada tahun 2008, persentase penduduk miskin pun masih lebih besar dibanding sebelum krisis ekonomi yaitu 15.4 persen atau 34.54 juta. Dalam kurun waktu yang panjang tersebut, jelas sekali bahwa penanggulangan kemiskinan di Indonesia belum mencapai hasil yang diharapkan. Kondisi kemiskinan ini diperburuk dengan adanya kecenderungan peningkatan ketimpangan pendapatan, paling tidak sejak 2002, saat Indonesia mulai mencoba keluar dari krisis.
Kondisi kemiskinan dan ketimpangan di Indonesia tersebut bertolak belakang dengan capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam kurun waktu 1981 hingga 2008 menunjukkan bahwa Indonesia tergolong mempunyai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi yaitu hampir mencapai angka 5 persen (4.82 persen). Bahkan selama kurun waktu 1989 hingga 1996, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada pada kisaran angka 7 persen. Kondisi ini terkait dengan konsep pembangunan trickle down effect yang dianut oleh pemerintahan orde baru. Strategi pembangunan yang diterapkan pemerintah saat itu terpusat pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Namun, akselerasi pembangunan yang dilakukan pemerintah paska krisis juga belum menyentuh golongan bawah. Pertumbuhan ekonomi yang mulai meningkat dan mendekati angka 5 persen di tahun 2002, ternyata justru diikuti oleh meningkatnya ketimpangan pendapatan. Pertumbuhan ekonomi yang mulai meningkat paska krisis pun tidak diikuti oleh penurunan tingkat kemiskinan secara signifikan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dalam konteks kebijakan, penelitian mengenai pro-poor growth di Indonesia melalui analisa pengaruh pertumbuhan ekonomi Indonesia terhadap ketimpangan pendapatan dan tingkat kemiskinan menjadi hal yang menarik dan penting untuk dilakukan. Dengan mengetahui pengaruh pertumbuhan ekonomi Indonesia terhadap ketimpangan pendapatan dan tingkat kemiskinan, perencanaan dan kebijakan ekonomi dapat dibuat lebih baik dan lebih terarah. Jika pertumbuhan ekonomi di Indonesia selama ini ternyata tidak pro-poor (tidak mengurangi ketimpangan dan tingkat kemiskinan secara signifikan), maka pemerintah harus mulai berpikir untuk dapat mengarahkan kebijakannya pada pertumbuhan ekonomi yang dapat mengurangi ketimpangan pendapatan dan kemiskinan di Indonesia.

B. Perumusan Masalah
Saat ini pro-poor growth menjadi konsep yang menjadi dasar pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di beberapa negara khususnya di negara sedang berkembang. Sebagai negara berkembang, Indonesia pun seharusnya menerapkan konsep pro-poor dalam pertumbuhan ekonominya. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang terjadi dapat mengurangi tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan.
Namun demikian, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Indonesia masih dihadapkan pada masalah kemiskinan dan ketimpangan pendapatan meskipun pertumbuhan ekonomi yang dicapai tergolong cukup tinggi. Data regional pada tingkat propinsi juga menunjukkan hal yang cukup menarik yaitu terdapat propinsi yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi tingkat kemiskinan pun cenderung sangat tinggi dan terdapat pula propinsi yang pertumbuhan ekonominya tidak terlalu tinggi tetapi tingkat kemiskinannya rendah.
Oleh sebab itu, maka pertanyaan-pertanyaan penting yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah : 
1. Bagaimana pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan pendapatan ?
2. Bagaimana pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan ?
3. Apakah pertumbuhan ekonomi di Indonesia pro-poor ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada permasalahan-permasalahan yang ingin dijawab, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 
1. Menganalisa pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan pendapatan
2. Menganalisa pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan
3. Menganalisa keberpihakan pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan.

D. Manfaat Penelitian
Tesis ini diharapkan akan memberikan manfaat, terutama bagi pemerintah sebagai policy maker. Hasil dari tesis ini dapat dijadikan bahan pertimbangan pemerintah dalam membuat kebijakan yang ditujukan untuk menanggulangi kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang salah satu alternatifnya bisa distimulasi melalui pertumbuhan ekonomi. Dengan tesis ini diharapkan pemerintah dapat membuat kebijakan penanggulangan kemiskinan yang lebih efektif dan tepat sasaran. Tesis ini juga bermanfaat bagi bidang keilmuan karena akan memperkaya khasanah kajian mengenai pro-poor growth di Indonesia.

SKRIPSI PENGARUH ANGGARAN PENERIMAAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI

SKRIPSI PENGARUH ANGGARAN PENERIMAAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI

(KODE : EKONPEMB-0020) : SKRIPSI PENGARUH ANGGARAN PENERIMAAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI 



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam setiap perekonomian pemerintah perlu melakukan berbagai jenis pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi pemerintah, membangun dan memperbaiki struktur, menyediakan fasilitas pendidikan dan kesehatan dan membiayai anggota polisi dan tentara untuk menjaga keamanan merupakan pengeluaran yang tidak terelakkan pemerintah (Sukirno, 2004). Dengan kata lain, pemerintah memiliki kewajiban mutlak dalam mengumpulkan sumber-sumber dana (penerimaan) untuk membiayai seluruh pengeluaran yaitu pengeluaran rutin (belanja rutin) dan pengeluaran pembangunan. Agar terwujud sasaran yang tepat dalam pengumpulan dana dan pembiayaan maka pemerintah menyusun Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Untuk tingkat daerah dinamakan Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD).
Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 22 tahun 1999 dan Undang-undang no. 25 tahun 1999 yang mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya kebijakan ini diperbaharui dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 32 tahun 2004 dan Undang-undang No. 33 tahun 2004. Kedua Undang-undang ini mengatur tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Kebijakan ini merupakan tantangan dan peluang bagi pemerintah daerah (Pemda) dikarenakan Pemda memiliki kewenangan lebih besar untuk mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.
Kebijakan desentralisasi ditujukan untuk mewujudkan kemandirian daerah. Pemerintah daerah otonom mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasar aspirasi masyarakat (Undang-undang No. 32 tahun 2004). Inti hakekat otonomi adalah adanya kewenangan daerah, bukan pendelegasian.
APBD terdiri dari Penerimaan dan Belanja Daerah. Sumber-sumber penerimaan daerah yaitu pendapatan asli daerah, dana berimbang, dan penerimaan Iain-lain yang sah. Sumber pendapatan asli daerah merupakan sumber keuangan daerah yang digali dalam daerah yang bersangkutan yang terdiri dari pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah atau sumber daya alam dan Iain-lain pendapatan yang sah. Dana berimbang merupakan sumber pembiayaan yang berasal dari bagian daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, dan penerimaan Sumber daya Alam serta Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus.
Belanja daerah adalah belanja yang tertuang dalam APBD yang diarahkan untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan. Secara umum belanja daerah dapat dikategorikan ke dalam pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Pengeluaran rutin merupakan belanja yang penggunaannya untuk membiayai kegiatan operasional pemerintah daerah. Pengeluaran pembangunan merupakan belanja yang penggunaannya diarahkan dan dinikmati langsung oleh masyarakat.
Dengan dikelolanya APBD oleh pemerintah daerah masing-masing tanpa ada campur tangan pemerintah pusat dalam rangka perwujudan otonomi daerah atau desentralisasi fiskal, pemerintah daerah lebih leluasa untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerahnya untuk mensejahterakan masyarakat di daerahnya. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah keinginan masing-masing daerah. Pertumbuhan ekonomi dapat dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan faktor non ekonomi. Faktor ekonomi seperti : sumber alam, akumulasi modal, organisasi, kemajuan teknologi, pembagian tenaga kerja dan skala produksi. Faktor non ekonomi seperti : sosial, manusia, politik dan administratif. Pertumbuhan ekonomi ini dapat diukur dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dimana PDRB merupakan nilai tambah dari barang dan jasa yang dihasilkan dalam satu periode biasanya satu tahun.
Menurut Keynes dalam Deliarnov (2003), pemerintah perlu berperan dalam perekonomian. Dari berbagai kebijakan yang dapat diambil Keynes lebih sering mengandalkan kebijakan fiskal. Dengan kebijakan fiskal pemerintah bisa mempengaruhi jalannya perekonomian. Langkah itu dilakukan dengan menyuntikkan dana berupa pengeluaran pemerintah untuk proyek-proyek yang mampu menyerap tenaga kerja. Kebijaksanaan ini sangat ampuh dalam meningkatkan output dan memberantas pengangguran, terutama pada situasi saat sumber-sumber daya belum dimanfaatkan secara penuh.
Menurut Rostow dalam Jhingan (2007), yang menghubungkan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi. Pada tahap awal perkembangan, rasio pengeluaran pemerintah terhadap pendapatan nasional relative besar. Hal ini dikarenakan pada tahap ini pemerintah hams menyediakan berbagai sarana dan prasarana. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah hams tetap diperlukan guna memacu pertumbuhan agar dapat lepas landas. Sedangkan Wagner mengukur perbandingan pengeluaran pemerintah terhadap produk nasional. Wagner menamakan hukum aktivitas pemerintah yang selalu meningkat (law of ever increasing state activity).
Pengeluaran pemerintah daerah merupakan salah satu faktor lain yang menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran pemerintah yang terlalu kecil akan merugikan pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah yang boros akan menghambat pertumbuhan ekonomi tetapi pengeluaran pemerintah yang proporsional akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk membuat penelitian ini dengan judul "PENGARUH APBD TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI KABUPATEN X".

B. Perumusan Masalah
Adapun perumusan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah : 
1. Bagaimanakah pengaruh Pengeluaran rutin terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten X ?
2. Bagaimanakah pengaruh Pengeluaran pembangunan terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten X ?

C. Hipotesis
Adapun hipotesis yang dapat disimpulkan adalah : 
1. Pengeluaran rutin berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten X.
2. Pengeluaran pembangunan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten X

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah : 
1. Untuk mengetahui pengaruh Pengeluaran rutin terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten X.
2. Untuk mengetahui pengaruh Pengeluaran pembangunan terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten X. 
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 
1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah daerah dalam pengambilan keputusan.
2. Sebagai bahan informasi dan referensi bagi pihak yang berkepentingan untuk menganalisa masalah-masalah yang berhubungan dengan APBD Kabupaten X.