Search This Blog

TESIS IMPLEMENTASI MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN BERBASIS MADRASAH

TESIS IMPLEMENTASI MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN BERBASIS MADRASAH

(KODE : PASCSARJ-0288) : TESIS IMPLEMENTASI MANAJEMEN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN BERBASIS MADRASAH (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pergeseran paradigma pengelolaan pendidikan dasar dan menengah telah tercermin dalam visi pembangunan pendidikan nasional yang tercantum dalam GBHN (1999)1 adalah mewujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan berkualitas guna mewujudkan akhlak yang mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, disiplin, bertanggung jawab, trampil serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk menjalankan amanat GBHN tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui Menteri Pendidikan Nasional telah mencanangkan Gerakan Peningkatan Mutu Pendidikan pada tanggal 2 Mei 2002, dan lebih terfokus lagi, setelah diamanatkan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan dan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Menurut ditjen. Kelembagaan Islam. Adalah menjadi tanggung jawab pendidikan, utamanya dalam mempersiapkan peserta didik agar menjadi insan yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, tangguh, kreatif, mandiri, demokratis, dan profesional pada bidangnya masing-masing. Kompetensi tersebut diperlukan untuk mengantisipasi era kemajuan dunia dewasa ini, khususnya globalisasi pasar bebas di lingkungan negara-negara ASEAN, seperti AFTA (Asean Free Trade Area) yang
diberlakukan pada tahun 2003, dan maupun di kawasan negara-negara Asia Pasifik (APEC) yang berlaku pada tahun 2010 untuk negara-negara maju dan 2020 untuk negara-negara anggotanya termasuk Indonesia.
Dalam rangka pengembangan mutu tersebut, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Mulai tahun 2001 pemerintah mencoba menggunakan paradigma baru manajemen pendidikan baik secara makro maupun secara mikro. Paradigma baru manajemen pendidikan makro adalah desentralisasi pendidikan yang dilandasi oleh Undang-Undang No 22 dan 25 tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang melahirkan otonomi pendidikan. Sedangkan manajemen mikro di bidang pendidikan adalah dicobanya sebuah model pendidikan dari madrasah, oleh madrasah dan untuk madrasah. Model manajemen tersebut biasa di sebut dengan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Madrasah (MPMBM).
Secara umum manajemen peningkatan mutu berbasis madrasah (MPMBM), dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada madrasah, memberikan fleksibilitas/keluwesan-keluwesan kepada madrasah, dan mendorong partisipasi secara langsung warga madrasah (kepala sekolah, guru, siswa dan karyawan) dan warga masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dsb) untuk meningkatkan mutu madrasah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan demikian esensi MPMBM adalah otonomi, fleksibilitas/keluwesan dan pelibatan. Dengan otonomi yang besar, maka madrasah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengelola madrasahnya, sehingga madrasah lebih mandiri.
Dengan kemandiriannya madrasah lebih berdaya dalam mengembangkan program-program yang tentu saja, lebih sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimilikinya. Dengan fleksibilitas, madrasah akan lebih lincah dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya madrasah secara optimal. Demikian juga, dengan partisipasi/pelibatan warga madrasah dan masyarakat secara langsung dalam penyelenggaraan madrasah, maka rasa memiliki mereka terhadap madrasah dapat ditingkatkan. Peningkatan rasa memiliki ini akan menyebabkan rasa tanggung jawab, dan peningkatan rasa tanggung jawab akan meningkatkan rasa dedikasi warga madrasah dan warga masyarakat terhadap madrasah.
Sedangkan kedudukan madrasah dalam Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003/ bab IV/ pasal 17, ayat (1) dan (2) dinyatakan bahwa : (ayat 1) Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah, (ayat. 2) Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan madrasah Ibtidaiah (MI) atau bentuk lain yang sederajat. serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajat. Dan lebih terfokus lagi yakni pasal 51 (ayat 1) bahwa pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah. Merujuk pada Undang-Undang tersebut di atas, maka manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah yang diterapkan oleh DEPDIKNAS bagi sekolah umum, maka hal serupa berlaku juga bagi madrasah sebagai institusi penyelenggaraan pendidikan berciri khas Islam di bawah naungan Departemen Agama. Dengan manajemen mutu berbasis madrasah ini penyelenggaraan pendidikan akan menjadi lebih fokus dan terencana dengan baik.
Semangat kemandirian masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan Islam di Madrasah (MI) sangat tinggi. Hanya saja, semangat keagamaan dan dakwah tersebut pada umumnya belum banyak disertai dengan profesionalitas dalam manajemen madrasah, serta belum banyak didukung oleh sumberdaya internal, baik dalam pengembangan program pendidikan (kurikulum), sistem pembelajaran, sumberdaya manusia, sumber dana maupun sarana dan prasarana yang memadai, sehingga sebagian besar proses dan hasil pendidikannya belum menunjukkan kualitas mutu yang diharapkan.
Kecenderungan masyarakat terhadap pendidikan pada madrasah, umumnya masih didominasi oleh masyarakat menengah ke bawah belum secara menyeluruh menyentuh masyarakat yang secara ekonomi mampu (menengah ke atas).
Penyebabnya adalah madrasah di pandang sebagai lembaga pendidikan yang kurang berkualitas atau bermutu bila di bandingkan dengan sekolah umum lainnya. Tetapi anggapan tersebut tidak semuanya benar, banyak di antara madrasah yang berhasil mengembangkan lembaganya bahkan lebih unggul dan sederajat dengan sekolah-sekolah unggul lainnya.
Lebih khusus Madrasah Ibtidaiah Negeri X (MIN X), adalah salah satunya, lembaga ini lebih dikenal masyarakat luas bahkan tingkat nasional dan internasional. Sebagai gambaran bahwa kecenderungan masyarakat Kota X dan sekitarnya terhadap MIN Malang 1 sangat besar. Hal ini dibuktikan dengan survey pendahuluan yang dilakukan peneliti. Kecenderungan ini dapat dilihat pada saat tahun ajaran baru. Para orang tua siswa berbondong-bondong melamar sebagai calon siswa/i baru dan berharap dapat diterima di MIN X ini. Sebagai contoh data pendaftaran siswa baru tahun pelajaran 2007/2008, jumlah pendaftar siswa baru mencapai 600-700, angka ini hampir merata setiap tahunnya. Sedangkan yang diterima hanya 160 calon siswa baru, jumlah ini disesuaikan dengan daya tampung yang ada.
Jika ditinjau dari jenis pekerjaan orang tua siswa, maka dapat dikategorikan masyarakat dengan status/pekerjaannya; pegawai negeri 28,6%; TNI/Polri 1,4%; karyawan swasta 54,2%; guru/dosen 4%; pedagang 0,3%, serta lain-lainnya 10,7%.7 Jika dilihat angka presentasi tersebut di atas, maka dapat dipastikan status masyarakat atau orang tua siswa adalah mereka (orang tua siswa) yang memiliki tingkat perekonomian menengah ke atas atau dikategorikan masyarakat mampu.
Dengan pola MPMBM ini pula menurut koordinator humas MIN X. Madrasah memiliki keleluasaan untuk menjalin hubungan atau kerja sama kemitraan dengan warga masyarakat dalam rangka peningkatan mutu pendidikan di madrasah. Kerja sama kemitraan tersebut diantaranya komite madrasah (adalah representatif dari unsur terpenting dalam masyarakat) pemerintah (Kan Depag. Kota X dan Dinas P&P Kota X) Perguruan Tinggi di Kota X. Dengan pola kerja sama kemitraan yang dikembangkan di MIN X ini masyarakat merasa memiliki madrasah, hal ini dapat dibuktikan dengan keterlibatan masyarakat secara langsung dalam proses penyelenggaraan pendidikan diantaranya komite madrasah yang berperan penting dan berfungsi menyediakan sarana dan prasarana serta membantu kesejahteraan para pegawai non PNS (GTT dan PTT) di lingkungan MIN X sesuai dengan kemampuan. Serta dukungan orang tua siswa yang bergabung dalam paguyuban orang tua siswa (POS). Pos ini berfungsi membantu proses penyelenggaraan pendidikan di luar jam pelajaran dengan berperan langsung mendesain materi sesuai dengan bahan ajar dan lokasi kunjungan serta berbagai fasilitas lain yang diperlukan.
Dalam implementasi program mutu pada MIN X, lebih difokuskan pada pencapaian visi. misi, tujuan (baca bab III poin b tentang situs penelitian) adapun ruang lingkup dari target/sasaran yang ingin dicapai adalah juga bagian dari gugusan substansi manajemen madrasah yang meliputi; kurikulum dan pembelajaran, pengembangan sumber day a manusia, sarana dan prasarana, administrasi dan keuangan, kesiswaan dan humas, layanan khusus serta standar operasional manajemen kelas. Komponen-komponen tersebut di atas adalah bagian terpenting dari sasaran yang juga diimplementasikan dalam manajemen pendidikan dalam proses pencapaian pendidikan yang bermutu di MIN X.
Di samping komponen-komponen disebutkan di atas, ada juga faktor-faktor lain yang turut membantu pencapaian pendidikan yang bermutu di MIN X diantaranya kesungguhan dan kedisiplinan. Sebagaimana dicontohkan oleh Kepala Madrasah untuk hadir pertama kali dengan memberikan ucapan selamat datang kepada siswa, guru dan karyawan yang datang. Lingkungan dan layanan, lingkungan yang bersih dan sehat merupakan cermin sikap tanggung jawab. Disamping pelayanan yang optimal tetap diberikan sesuai dengan aspirasi masyarakat, dan menerapkan manajemen yang terbuka.
Upaya dan kerja keras yang diwujudkan bersama antara warga madrasah dan warga masyarakat agar dapat terwujud pengelolaan madrasah yang unggul baik secara kuantitas maupun kualitas (sarana/prasarana, keuangan dan SDM) terwujud dengan berbagai prestasi-prestasi yang dimilikinya. Prestasi adalah ukuran keberhasilan suatu lembaga, untuk itu prestasi akademik maupun non-akademik akan menjadi tujuan utama lembaga ini baik di tingkat kota, provinsi, nasional maupun international. Dalam hal ini MIN X telah menunjukkan bahwa dirinya memang berprestasi, hal ini dapat dibuktikan dengan sejumlah prestasi yang diraih lembaga ini baik lokal, provinsi, nasional dan internasional.
Dengan demikian layak untuk diteliti bagaimana implementasi manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis madrasah yang diterapkan di MIN X, agar nantinya hasil penelitian ini menjadi bahan masukan bagi lembaga-lembaga pendidikan pada umumnya dan lembaga-lembaga pendidikan berciri khas Islam (madrasah) pada khususnya.

B. Fokus Penelitian
Berdasarkan konteks penelitian di atas, maka fokus penelitian ini sebagai berikut : 
1. Bagaimana penyusunan sasaran mutu pada MIN X ?
2. Bagaimana pelaksanaan manajemen peningkatan mutu pada MIN X ?
3. Bagaimana monitoring dan evaluasi pelaksanaan mutu pada MIN X ?

C. Tujuan penelitian
Berdasarkan fokus penelitian di atas, maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut : 
1. Untuk mendeskripsikan penyusunan sasaran mutu pada MIN X.
2. Untuk mendeskripsikan pelaksanaan manajemen peningkatan mutu pada MIN X.
3. Untuk mendeskripsikan monitoring dan evaluasi pelaksanaan mutu pada MIN X.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian dengan judul Implementasi Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Madrasah (Studi kasus MIN X) diharapkan dapat bermanfaat untuk semua pihak. Dan selain itu juga sebagai persyaratan untuk mendapatkan gelar Magister Pendidikan bagi peneliti. Manfaat dapat ditinjau dari dua aspek yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Diantaranya sebagai berikut : 
1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan informasi dan acuan bagi semua pihak yang akan mengadakan penelitian lebih lanjut.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis adalah bahwa hasil penelitian ini dijadikan pedoman bagi pengelola pendidikan untuk mengembangkan pola yang berorientasi pada implementasi manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis madrasah. Terutama lembaga-lembaga pendidikan Islam (madrasah) dan pihak-pihak yang memanfaatkan hasil penelitian demi peningkatan mutu di lembaga pendidikan serta dijadikan bahan koleksi ilmiah pada perpustakaan.
3. Bagi Pengelola Pendidikan
a. Pengelola pendidikan dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai sumber informasi untuk menemukan kelebihan dan kekurangan dari implementasi manajemen berbasis madrasah untuk meningkatkan mutu pendidikan dan dijadikan bahan evaluasi guna mencapai tujuan dari lembaga pendidikan tersebut.
b. Pengelola pendidikan dapat mengambil kebijakan tentang pemecahan masalah secara tepat, efektif dan efisien serta memperhatikan permasalahan yang timbul dan berkembang di tengah-tengah masyarakat
c. Pengelola pendidikan dapat memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai bahan kajian serta informasi baru tentang implementasi manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis madrasah.
4. Manfaat bagi Pendidik
a. Pendidik dapat memperbaiki kekurangan-kekurangan atas dasar temuan penelitian ini untuk mengimplementasikan manajemen peningkatan mutu berbasis madrasah yang lebih efektif dan efisien.
b. Pendidik dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran yang meningkat serta dapat mengetahui cara-cara yang lebih baik untuk dapat mengelola manajemen kelembagaan dengan baik demi mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan bersama.

TESIS PENGARUH PERILAKU KEPEMIMPINAN DAN KETERAMPILAN MANAJERIAL KEPALA MADRASAH TERHADAP KINERJA GURU MAN

TESIS PENGARUH PERILAKU KEPEMIMPINAN DAN KETERAMPILAN MANAJERIAL KEPALA MADRASAH TERHADAP KINERJA GURU MAN

(KODE : PASCSARJ-0287) : TESIS PENGARUH PERILAKU KEPEMIMPINAN DAN KETERAMPILAN MANAJERIAL KEPALA MADRASAH TERHADAP KINERJA GURU MAN (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)



BAB I
PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang Masalah
Di era globalisasi, di tengah peliknya pendidikan dewasa ini dengan berbagai kendala yang dihadapi serta harapan ke depan, diperlukan pemimpin yang profesional untuk mewujudkan visi pendidikan yang telah dirinci dalam misi dan program-program yang jelas dan terarah. Dalam menghadapi kehidupan terbuka dalam abad 21 dengan masalah-masalah globalnya, menurut Tilaar diperlukan pemimpin-pemimpin yang sesuai yang disebut pemimpin profesional, pemimpin yang tidak hanya menguasai kemampuan dan keterampilan untuk memimpin tetapi juga dituntut dari padanya dua hal, yaitu : pemimpin yang dapat mengejawantahkan nilai-nilai moral di dalam sistem pendidikan, dan pemimpin yang memiliki dan menguasai nilai-nilai ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan perkembangan zaman. Hal itu berarti kepemimpinan tidak sekedar dilandasi oleh kemampuan seseorang dalam mengatur dan menjalankan mekanisme kepemimpinannya, melainkan menganggap kepemimpinan lebih dilandasi oleh nilai-nilai spiritual (spiritual leader), dimana pemimpin dijadikan model/panutan bagi bawahannya.
Kepala madrasah sebagai pemimpin profesional di lembaga pendidikan mempunyai peran yang sangat penting, mengingat posisinya yang secara struktural sebagai pimpinan legal formal memiliki kekuasaan penuh pada lembaga yang dipimpinnya.
Gorton mengemukakan bahwa "perangkat sekolah seperti kepala sekolah, dewan guru, siswa, pegawai/karyawan harus saling mendukung untuk dapat bekerja sama mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sukses atau tidaknya suatu organisasi mencapai tujuan yang telah ditentukan sangat tergantung atas kemampuan pimpinannya untuk menumbuhkan iklim kerja sama agar dengan mudah dapat menggerakkan sumber day a manusia yang ada, sehingga pendayagunaannya dapat berjalan dengan efektif dan efisien".
Dalam lembaga pendidikan, baik itu sekolah atau madrasah disamping dibutuhkan kepala madrasah profesional, juga perlu adanya tenaga kependidikan yang kompeten dan profesional. Hal ini dikarenakan pencapaian tujuan pendidikan sangat tergantung pada kualitas tenaga pendidik, dalam hal ini guru, karena guru memegang peran sentral dalam proses belajar mengajar, dimana guru harus berinteraksi langsung dengan para siswa.
Madrasah sebagai sebuah organisasi, harus mampu membangun kredibilitas dan kinerjanya secara baik sesuai harapan dari stakeholdernya yaitu tidak hanya menjadi lembaga kepercayaan masyarakat (trustworthy institution) tetapi juga sebagai agen dari pembangunan (agent of development). Kredibilitas dan kinerja yang baik tersebut ditentukan oleh beberapa pihak baik kinerja pendidik maupun tenaga kependidikan dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Hal ini didukung pendapat Prawirosentoso bahwa "kinerja merupakan hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing". Hal yang sama dikatakan oleh Mangkunegara yang mendefinisikan "kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya".
Paparan di atas mengimplikasikan bahwa guru memegang peran yang sangat penting dan menentukan dalam pelaksanaan pembelajaran di madrasah. Dengan demikian kinerja guru harus terus ditingkatkan agar dapat melaksanakan tugas dan fungsinya mengemban amanat pendidikan seperti yang telah digariskan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Berbagai upaya dan strategi harus dilakukan dengan baik terencana agar kinerja guru terus meningkat dan dapat mencapai tujuan pendidikan yang telah direncanakan.
Salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja guru adalah kepemimpinan kepala madrasah, hal ini sebagaimana hasil penelitian Ana Susana yang menunjukkan bahwa : 
Ada hubungan antara variabel pengetahuan administrasi terhadap motivasi kerja guru MTs Negeri di Kabupaten X. Ada hubungan antara variabel kepemimpinan kepala madrasah terhadap motivasi kerja guru MTs Negeri di Kabupaten X. Secara simultan ada hubungan antara pengetahuan administrasi dan kepemimpinan kepala madrasah terhadap motivasi kerja guru.
Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin bagus pengetahuan administrasi dan kepemimpinan kepala madrasah maka motivasi kerja guru akan semakin meningkat pula. Sebaliknya jika pengetahuan administrasi dan kepemimpinan kepala sekolah jelek, maka motivasi kerja guru akan rendah.
Kepala madrasah merupakan pimpinan tertinggi dalam lembaga pendidikan madrasah. Perilaku kepemimpinannya sangat berpengaruh bahkan sangat menentukan terhadap kinerja guru. Oleh karena itu dalam pendidikan modern, kepemimpinan kepala madrasah perlu mendapatkan perhatian yang serius. Hal ini penting untuk diperhatikan agar kepala madrasah dapat berperan dengan baik dalam mencapai tujuan madrasah yang telah direncanakan. Kepala madrasah harus memiliki faktor pendukung terhadap kepemimpinannya, sebagaimana diungkapkan oleh Sergiovanni (1991), sebagai berikut : (1) memiliki kepribadian yang kuat, (2) memahami tujuan pendidikan dengan baik, (3) memiliki pengetahuan yang luas, dan (4) memiliki keterampilan profesional.
Gorton (1991) mengemukakan bahwa "pemimpin pendidikan merupakan sosok yang mengorganisasikan sumber-sumber daya insani dan sumber-sumber daya fisik untuk mencapai tujuan organisasi pendidikan secara efektif dan efisien". Peran utama adalah mengembangkan dan mengimplementasikan prosedur dan kebijaksanaan pendidikan yang dapat menghasilkan efisiensi pelaksanaan pendidikan. Dengan demikian paparan tersebut memperkuat keberadaan perilaku kepemimpinan kepala madrasah yang memiliki dampak terhadap kinerja guru.
Hal di atas mengisyaratkan bahwa keberhasilan madrasah sangat ditentukan oleh kepemimpinan kepala madrasah, karena kepala madrasah merupakan pengendali dan penentu arah yang hendak ditempuh oleh madrasah menuju tujuannya.
Gorton (1976) mengemukakan bahwa "kepala sekolah sebagai pemimpin di suatu sekolah dalam menjalankan tugasnya, bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan yang ada di sekolahnya". Dengan demikian kepala sekolah mempunyai peranan besar dalam meningkatkan kualitas guru dan harus terus menerus membina moral kerja guru, sehingga setiap guru akan melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Pencapaian tujuan sekolah baik secara kuantitas maupun kualitas tidak terlepas dari orang-orang yang tergabung dalam organisasi sekolah. Griffiths dalam Gorton (1976) menguraikan bahwa baik buruknya sekolah ditentukan oleh orang-orang yang melaksanakannya. Oleh karena itu kemampuan setiap pemimpin dalam mempengaruhi bawahan sangat berpengaruh dalam mengembangkan pola perilaku, baik berupa tingkah laku, tindakan, maupun cara-cara dalam seluruh kegiatan yang digunakan untuk mencapai tujuan sekolah. Upaya mempengaruhi bawahan ini, biasanya tampak dalam pola perilaku tertentu, yang disebut dengan perilaku kepemimpinan.
Kinerja (performance) adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi/madrasah sesuai dengan wewenang dan tanggungjawab masing-masing, dalam rangka mencapai tujuan lembaga pendidikan. Seorang pimpinan mengerahkan bakat dan kemampuan, serta usaha beberapa orang lain yang berada di dalam daerah wewenangnya yang disebut sebagai kinerja manajerial. Kinerja manajerial merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan keefektifan organisasi.
Kinerja guru di madrasah tidak hanya dipengaruhi oleh pelaksanaan tugas dan pekerjaannya termasuk seberapa besar kewenangan dan tanggung jawabnya, tetapi ditentukan juga antara lain oleh faktor kepemimpinan kepala madrasah dan budaya organisasi yang berlaku dan berjalan di madrasah tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Ruki, A.S (2001) yang mengatakan bahwa "performance management sebenarnya menjamah semua elemen, unsur atau input yang hal didayagunakan oleh organisasi untuk meningkatkan kinerja organisasi dan kinerja karyawannya. Elemen tersebut adalah teknologi yang digunakan, kualitas dari input, kualitas lingkungan fisik seperti keselamatan kerja, kesehatan kerja., kepemimpinan serta iklim dan budaya organisasi".
Bila diamati, bahwa guru sudah menunjukkan kinerja maksimal dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pendidik dan pengajar, akan tetapi masih ada sebagian guru belum menunjukkan kinerja yang baik, tentunya secara tidak langsung akan berpengaruh pada kinerja guru secara makro.
Namun pada kenyataannya di lapangan, masih ada sebagian guru yang belum menyadari sepenuhnya tugas dan tanggungjawab yang diembannya sehingga kewajibannya sering terabaikan. Kadangkala guru hanya menerapkan metode mencatat pelajaran sampai selesai, memberikan tugas menyelesaikan soal-soal latihan kemudian meninggalkan kelas hingga pelajaran selesai, sehingga suasana kelas berubah menjadi tidak kondusif karena guru tidak hadir di kelas tanpa ada alasan yang jelas. Bahkan seringkali siswa keluar kelas karena gurunya tidak ada dan guru kurang menanamkan nilai-nilai kedisiplinan kepada siswa. Fenomena tersebut sangat memprihatinkan, hal ini dikarenakan kinerja guru yang rendah, untuk itu diperlukan adanya pembenahan-pembenahan yang lebih baik agar guru memahami tugas dan tanggungjawabnya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa disiplin dalam proses pembelajaran merupakan salah satu hal yang patut mendapat perhatian. Sikap disiplin yang ditunjukkan oleh guru menunjukkan salah satu bentuk kinerja guru. Ukuran kinerja guru terlihat dari rasa tanggung jawabnya menjalankan amanah, profesi, yang diembannya, rasa tanggungjawab moral yang diembannya. Semua itu akan terlihat dari kepatuhan dan loyalitas di dalam menjalankan tugas keguruannya di dalam kelas dan tugas kependidikannya di luar kelas.
Kinerja guru yang berkualitas ditentukan oleh banyak faktor, salah satunya adalah kepemimpinan kepala madrasah. Hal ini karena kepemimpinan adalah proses mendorong dan membantu orang lain untuk bekerja dengan antusias untuk mencapai tujuan. Kinerja yang optimal merupakan perwujudan dari kualitas guru, dan dengan kerja yang optimal berarti para guru benar-benar dapat berfungsi sebagai pegawai yang dapat bekerja secara efektif dan efisien sesuai dengan tujuan organisasi yang hendak dicapai. Apabila tujuan peningkatan kinerja guru dapat terpenuhi, maka tujuan pendidikan nasional dapat tercapai.
Kepala madrasah, di samping sebagai pemimpin ia juga sebagai manajer pendidikan. Dalam rangka melakukan peran dan fungsinya sebagai manajer, kepala madrasah harus memiliki strategi yang tepat untuk memberdayakan tenaga kependidikan melalui kerja sama atau kooperatif, memberi kesempatan kepada para tenaga kependidikan untuk meningkatkan profesinya, dan mendorong keterlibatan seluruh tenaga kependidikan dalam berbagai kegiatan yang menunjang program sekolah.
Sebagai manajer, kepala madrasah harus memiliki pengetahuan yang luas untuk mengarahkan semua sumberdaya yang tersedia dalam mencapai tujuan, termasuk dalam hal ini adalah memberdayakan guru untuk mencapai kinerja secara maksimal. Ol eh karena itu sebagai manajer maka kepala madrasah harus mampu menggerakkan para guru untuk mencapai kinerja yang maksimal melalui pemberian dorongan dan motivasi, atau dengan kata lain kepala madrasah harus mampu menjadi motivator yang handal. Masalah inti motivasi ialah membangun cara merangsang sekelompok orang yang masing-masing memiliki kebutuhan yang khas dan kepribadian yang berbeda untuk bekerja sama menuju pencapaian sasaran organisasi dengan memperhatikan keinginannya (wants) dan kebutuhannya (needs).
Seperti yang dikatakan di atas, bahwa kepala madrasah harus mempunyai kemampuan manajerial yang bagus untuk memberdayakan tenaga pendidik dan kependidikan guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tapi pada kenyataannya di lapangan, kepala madrasah lemah dalam kompetensi manajerialnya sehingga tidak mampu menjalankan organisasi dengan baik. Hal ini sebagaimana diungkapkan Direktur Tenaga Kependidikan Depdiknas Surya Dharma bahwa "kebanyakan kepala sekolah di Indonesia lemah dalam kompetensi manajerial dan supervisi".
Pada umumnya, kepala madrasah di Indonesia belum dapat dikatakan sebagai manajer profesional, karena pengangkatannya tidak didasarkan pada kemampuan dan pendidikan profesional, tetapi lebih pada pengalaman menjadi guru. Hal ini disinyalir pula oleh laporan Bank Dunia (1999) bahwa "salah satu penyebab menurunnya mutu pendidikan persekolahan di Indonesia adalah kurang profesionalnya kepala sekolah sebagai manajer pendidikan di tingkat lapangan".
Data dari Depdiknas, dari dua ratus lima puluh ribu (250.000) kepala sekolah di seluruh tanah air, lebih dari 70% tercatat memiliki dua sisi kelemahan, yakni manajerial dan supervisi. Direktur Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas Surya Dharma mengungkapkan kelemahan tersebut karena di sejumlah daerah penunjukan kepala sekolah asal comot saja.
Menyadari hal tersebut, maka keterampilan manajerial dan supervisi merupakan kemampuan yang mesti dimiliki kepala madrasah. Di samping tiga kompetensi lainnya yang juga tidak kalah pentingnya, yaitu kompetensi kepribadian, kompetensi kewirausahaan, dan kompetensi sosial.
Terkait dengan keterampilan manajerial kepala madrasah dan merujuk pada Permendiknas Nomor 13 tentang Kompetensi Kepala Sekolah, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan kepala madrasah. Di antaranya : penyusunan rencana sekolah, mengembangkan organisasi sekolah, memberdayakan sumber daya sekolah secara optimal, mengembangkan sekolah menuju organisasi pembelajaran yang efektif, menciptakan budaya dan iklim sekolah yang kondusif dan inovatif, kemampuan mengelola guru dan staf, sarana dan prasarana, hubungan sekolah dengan masyarakat, pengembangan kurikulum, keuangan sekolah yang akuntabel, transparan dan efisien, ketatausahaan sekolah, sistem informasi dalam mendukung program dan pengambilan keputusan, kemampuan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi bagi peningkatan pembelajaran dan manajemen sekolah, serta adanya monitoring, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan program sekolah dengan prosedur yang tepat.
Robert L Katz mengatakan bahwa keterampilan yang harus dimiliki administrator yang efektif adalah keterampilan teknis (technical skill), keterampilan hubungan manusiawi (human relation skill), dan keterampilan konseptual (conceptual skill).14 Dilain pihak, Fred Luthans (1995) mengemukakan lima jenis keterampilan yang dibutuhkan oleh seorang manajer, yang mencakup : (1) Cultural flexibility; (2) Communication skills  (3) Human Resources Development skills; (4) Creativity; dan (5) Self Management of learning.
Keberhasilan madrasah banyak ditentukan oleh peran guru dan kepala madrasah, meskipun keberhasilan kinerja guru juga sangat ditentukan oleh banyak faktor. Salah satu faktor yang berperan terhadap kinerja guru adalah kemampuan manajerial kepala madrasah. Hal ini sebagaimana hasil penelitian Gemnafle menyimpulkan bahwa "keterampilan manajerial memberikan kontribusi 33,79 terhadap kinerja guru. Lebih lanjut Gemnafle menyimpulkan bahwa terdapat jalur hubungan kausal langsung yang cukup signifikan antara keterampilan manajerial kepala sekolah dengan kinerja guru dalam mengajar pada SMU Negeri dan swasta".
Dari paparan di atas, peneliti tertarik untuk menulis tesis dengan judul '"Pengaruh Perilaku Kepemimpinan dan Keterampilan Manajerial Kepala Madrasah Terhadap Kinerja Guru Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Se-Kota X". Hal ini didasarkan pada alasan bahwa : pertama, kepemimpinan merupakan masalah menarik untuk diteliti, karena kepemimpinan kepala madrasah merupakan motor penggerak dan penentu arah yang hendak ditempuh dalam mewujudkan tujuan madrasah. Kedua, rata-rata kepala madrasah lemah dalam hal keterampilan manajerial, sebagaimana data dari Depdiknas dan juga laporan dari Bank Dunia, sehingga hal ini menarik untuk diteliti untuk mengetahui pengaruhnya terhadap kinerja guru. Ketiga, dari
pengamatan peneliti kinerja guru Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Se-Kota X termasuk baik, hal ini terlihat dari kedisiplinan guru-guru, adanya supervisi secara kontinyu oleh kepala madrasah, ini tentunya tidak lepas dari kepemimpinan dan kemampuan manajerial kepala madrasah dalam mengelola lembaga tersebut.
Dipilihnya Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Se-Kota X dikarenakan 1). Di wilayah Kotamadya X, Madrasah Aliyah Negeri (MAN) yang ada dibawah naungan Departemen Agama Kota X hanya dua madrasah tersebut, sehingga keduanya dijadikan obyek penelitian 2). MAN 1 dan MAN 3 termasuk madrasah yang unggul/berprestasi baik dari segi prestasi akademik maupun non akademik, hal ini tentunya tidak terlepas dari kepemimpinan, keterampilan manajerial kepala madrasah dan juga kinerja gurunya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah umum penelitian ini adalah "apakah ada pengaruh positif signifikan perilaku kepemimpinan dan keterampilan manajerial kepala madrasah terhadap kinerja guru Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Se-Kota X ?". Sedangkan rumusan masalah khusus penelitian adalah sebagai berikut : 
1. Bagaimana gambaran perilaku kepemimpinan, keterampilan manajerial kepala madrasah dan kinerja guru Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Se-Kota X ?
2. Apakah ada pengaruh positif signifikan perilaku kepemimpinan kepala madrasah terhadap kinerja guru Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Se-Kota X ?
3. Apakah ada pengaruh positif signifikan keterampilan manajerial kepala madrasah terhadap kinerja guru Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Se-Kota X ?
4. Apakah ada pengaruh positif signifikan secara simultan perilaku kepemimpinan dan keterampilan manajerial kepala madrasah terhadap kinerja guru Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Se-Kota X ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian diatas, maka tujuan penelitian secara umum adalah untuk menjelaskan pengaruh positif signifikan perilaku kepemimpinan dan keterampilan manajerial kepala madrasah terhadap kinerja guru Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Se-Kota X. Adapun tujuan khususnya adalah sebagai berikut : 
1. Untuk menjelaskan gambaran perilaku kepemimpinan, keterampilan manajerial kepala madrasah dan kinerja guru Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Se-Kota X.
2. Untuk menjelaskan pengaruh positif signifikan perilaku kepemimpinan kepala madrasah terhadap kinerja guru Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Se-Kota X.
3. Untuk menjelaskan pengaruh positif signifikan keterampilan manajerial kepala madrasah terhadap kinerja guru Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Se-Kota X.
4. Untuk menjelaskan pengaruh positif signifikan secara simultan perilaku kepemimpinan dan keterampilan manajerial kepala madrasah terhadap kinerja guru Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Se-Kota X.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan dan bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis : bagi berbagai pihak antara lain : 
1. Manfaat Teoritis : 
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam implementasi teoretik peningkatan kinerja guru.
2. Manfaat Praktis : 
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan memberikan kontribusi pemikiran kepada berbagai pihak antara lain : 
a. Bagi Madrasah
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi bagi lembaga pendidikan madrasah, khususnya bagi madrasah yang bersangkutan mengenai faktor-faktor yang dapat meningkatkan kinerja guru yang pada akhirnya dapat meningkatkan mutu pendidikan.
b. Bagi Kepala Madrasah
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dan informasi bagi kepala madrasah agar berupaya meningkatkan keterampilan manajerial dan juga kepemimpinannya guna meningkatkan kinerja guru di lembaga yang dipimpinnya.
c. Bagi Guru
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dan informasi bagi guru agar selalu berupaya meningkatkan kinerja dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai pendidik dan pengajar, serta menambah wawasan dan pengetahuan guru tentang bagaimana mengoptimalkan kinerja dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran di madrasah.
d. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini diharapkan dapat menambah perbendaharaan atau setidaknya dapat memperkaya informasi empirik dalam hal kepemimpinan, keterampilan manajerial kepala madrasah dan kinerja guru yang dapat dipakai sebagai data banding atau rujukan dengan mengubah atau menambah variabel lain sekaligus dapat menyempurnakan penelitian ini.

TESIS PENGAMBILAN KEPUTUSAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN KEJURUAN

TESIS PENGAMBILAN KEPUTUSAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN KEJURUAN

(KODE : PASCSARJ-0286) : TESIS PENGAMBILAN KEPUTUSAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN KEJURUAN (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN)



BAB I
PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang
Pendidikan memiliki peran yang sangat strategis dalam pengembangan dan peningkatan mutu sumber daya manusia. Sebagaimana dimaktub dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan negara. Pendidikan adalah sebuah aktivitas yang kompleks, di mana dalam kondisi ideal diharapkan dapat mengakomodasikan seluruh kebutuhan dalam proses transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi serta pembentukan mental dan kepribadian peserta didik sebagai bentuk dari upaya memanusiakan manusia muda menjadi manusia yang bertakwa, cakap, bertanggung jawab, cerdas, mandiri, kreatif, terampil, atau dengan kata lain menjadi manusia yang seutuhnya, yang dalam konteks keindonesiaan disebut manusia Indonesia seutuhnya.
Apapun jalur, jenis dan jenjangnya, pendidikan membutuhkan institusi inti di mana kegiatan pendidikan tersebut berpusat. Dalam jalur pendidikan informal, keluarga dapat dianggap sebagai institusi inti, sedangkan institusi inti dalam jalur pendidikan nonformal dapat berupa lembaga-lembaga kursus dan semacamnya. Sementara sekolah adalah institusi inti dalam jalur pendidikan formal pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa kualitas atau mutu pendidikan sangat tergantung pada situasi dan kondisi yang terjadi dalam institusi pendidikan tersebut, meskipun sangat dipahami bahwa mutu pendidikan (formal) sangat dipengaruhi oleh banyak faktor di luar lembaga pendidikan. Seperti diketahui, sebagai sebuah kegiatan sadar tujuan, pendidikan adalah sebuah aktivitas yang sangat kompleks yang melibatkan banyak pihak dan dipengaruhi oleh banyak faktor, baik di dalam internal lembaga maupun di luar lembaga.
Di tengah berbagai kritik tentang fungsi dan peran sekolah sebagai institusi pendidikan, tak dapat dipungkiri bahwa sekolah adalah lembaga yang sampai saat ini diakui paling efektif dalam menjalankan fungsi pencerahan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa secara massal. Meskipun ada pemikiran semacam de schooling society yang dimotori oleh Ivan Illich, sampai saat ini sekolah adalah institusi yang menjadi tumpuan sebagian besar masyarakat untuk membentuk manusia seutuhnya dalam rangka membudayakan manusia, meskipun ada institusi lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu keluarga dan masyarakat.
Lingkungan keluarga mungkin akan sangat mempengaruhi pembentukan mental dan kepribadian, lingkungan masyarakat mungkin akan sangat mempengaruhi perilaku, tapi dari institusi-institusi tersebut sangat sulit diharapkan terjadinya proses transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi secara sistematis dan terencana, dan sejauh ini fungsi tersebut hanya bisa diperankan oleh sekolah, apapun bentuk sekolah tersebut. Seperti diketahui, sekolah adalah suatu organisasi terbawah dalam jajaran Departemen Pendidikan Nasional yang bertugas memberikan "bekal kemampuan dasar" kepada peserta didik atas dasar ketentuan-ketentuan yang bersifat legalistik dan profesional (Slamet, 2005).
Sebagai sebuah institusi yang menyelenggarakan fungsi-fungsi pendidikan, sekolah diharapkan tidak hanya menjadi pusat dan wahana transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga menjadi wahana transformasi nilai-nilai dan pengembangan sumber daya manusia muda secara komprehensif. Hal ini dapat dimengerti karena peserta didik berada dalam suatu interaksi dengan pendidik dan warga sekolah lain serta lingkungannya dalam waktu yang relatif lama. Untuk sekolah lanjutan, keberadaan peserta didik di sekolah berkisar antara 40 jam sampai dengan 50 jam per minggu, dan kurang lebih ada 40 sampai 46 minggu dalam satu tahun ajaran. Durasi waktu sepanjang ini tentu mempunyai pengaruh yang tidak kecil terhadap diri peserta didik, sehingga desain sekolah sebagai sebuah masyarakat kecil atau mini society dapat membawa pengaruh-pengaruh positif ke dalam peserta didik melalui berbagai interaksi dan proses yang terjadi di sekolah, baik yang terjadi di dalam maupun di luar kelas.
Sekolah adalah sebuah organisasi yang mempunyai tujuan spesifik, yaitu menyelenggarakan fungsi-fungsi pendidikan dengan output dan outcome berupa human resources atau sumber daya manusia. Keberhasilan atau kinerja sekolah dapat diukur dari banyak aspek, mulai dari kualitas dan kelengkapan sarana dan prasarana, kinerja kepala sekolah, tertib administrasi, penataan dan tampilan lingkungan, pelaksanaan pemelajaran, kedisiplinan warga sekolah, prestasi siswa, dan outcome lembaga tersebut. Tetapi yang terpenting dari itu semua adalah bagaimana sebuah lembaga pendidikan dapat menghasilkan lulusan atau tamatan dalam ujud manusia seutuhnya, yang diukur bukan semata-mata dari kemampuan akademis saja, tetapi bagaimana output atau outcome dari lembaga tersebut dapat mengembangkan seluruh potensi dirinya secara optimal. Hal terpenting dalam proses pencapaian tujuan pendidikan yang ideal adalah bagaimana seluruh potensi sumber daya yang ada dimanfaatkan dan diberdayakan secara sinergis dalam sebuah proses yang sistematis dan terencana.
Sekolah adalah salah satu bentuk organisasi yang di ada di masyarakat yang menjalankan salah satu kebutuhan dan misi kehidupan masyarakat beradab, yaitu menyelenggarakan kegiatan pendidikan. Organisasi merupakan struktur koordinasi yang terencana yang formal, melibatkan dua orang atau lebih, dalam rangka mencapai tujuan bersama. Organisasi dicirikan dengan hubungan kewenangan dan tingkatan pembagian kerja (Robbins 2002). Dari pengertian tersebut paling tidak ada tiga komponen sebagai pembentuk organisasi, yaitu anggota organisasi, tujuan bersama, dan sistem. Anggota organisasi adalah manusia, dan manusia adalah pendukung utama setiap organisasi apapun bentuk organisasi tersebut.
Organisasi adalah wahana manusia untuk mencapai salah satu atau beberapa tujuan hidupnya. Organisasi adalah wadah atau sarana yang digunakan oleh manusia untuk mengkoordinasikan seluruh tindakan mereka dengan tujuan saling berinteraksi untuk mencapai sejumlah tujuan yang sama. Organisasi ada didorong oleh kemunculan sejumlah masalah dan tantangan yang dihadapi manusia di dalam meraih tujuan yang ingin dicapainya, di mana tantangan dan masalah itu tentu harus dipecahkan. Dengan kata lain sebenarnya organisasi adalah salah satu alat dari manusia untuk memecahkan masalah dan tantangan yang dihadapinya.
Masalah dan tantangan adalah adanya kesenjangan antara harapan atau kondisi ideal yang diinginkan yang diinginkan dengan kenyataan yang ada. Ada banyak sumber masalah, antara lain keterbatasan sumber daya (scarcity) dan konsep tentang ketidakpastian masa depan atau uncertainly (Dermawan 2004). Kedua hal tersebut sebenarnya adalah inti dari munculnya sebuah mekanisme di dalam organisasi, yaitu bagaimana seluruh anggota organisasi yang tersusun dalam sebuah tatanan tertentu membuat pilihan-pilihan mengenai apa yang terbaik menurut anggota organisasi tersebut di dalam mencapai tujuan. Di dalam keterbatasan mengenai sumber daya dan ketidakpastian masa depan, anggota organisasi harus mengambil keputusan untuk memilih alternatif-alternatif yang dirasa paling menguntungkan untuk mencapai tujuan. Dengan kata lain, organisasi sebenarnya adalah "mesin pembuat keputusan", termasuk di dalamnya organisasi penyelenggara pendidikan.
Bila ditelusuri lebih jauh lagi, pengambilan keputusan sebenarnya adalah fitrah dari manusia, yang harus dijalani oleh manusia dalam setiap langkah kehidupannya dari waktu ke waktu. Pengambilan keputusan adalah prasyarat dari sebuah tindakan, baik itu bersifat mayor ataupun minor. Pengambilan keputusan merupakan proses memilih suatu rangkaian tindakan dari dua atau lebih alternatif (Tjiptono, 2001).
Dalam organisasi yang paling sederhana yang terdiri dari dua orang, baik secara alamiah ataupun disengaja pasti akan ada yang menjadi pemimpin atau manajer, dan lainnya secara otomatis menjadi anggota atau pengikut, serta kedua unsur tersebut pasti akan membuat keputusan-keputusan dalam sebuah mekanisme yang relatif sederhana. Dalam organisasi yang lebih kompleks di mana unsur pimpinan dapat bersifat majemuk atau kolektif dan semakin banyak jenjang yang ada dalam struktur organisasi tersebut maka akan semakin banyak pimpinan atau manajer pada masing-masing level, di mana "mesin pengambilan keputusan" akan menjadi semakin rumit.
Meskipun setiap anggota organisasi harus "mengambil keputusan", sifat atau karakteristik keputusan dan cara pengambilan keputusan pada masing-masing level tentu berbeda-beda. Keputusan yang diambil oleh pimpinan puncak akan memberi pengaruh secara signifikan terhadap organisasi, terlebih bila keputusan tersebut bersifat strategis, misalnya penentuan visi dan mi si organisasi. Dengan memahami alur pemikiran di atas, dapat dilihat bahwa kualitas dari sebuah lembaga sebenarnya dimulai dari kualitas keputusan yang diambil dalam organisasi atau lembaga tersebut, baik dilihat dari proses maupun hasilnya.
Pengambilan keputusan merupakan salah satu tanggung jawab pokok setiap pemimpin atau manajer. Kualitas keputusan seorang pemimpin atau manajer sangat penting peranannya bagi dua hal. Pertama, kualitas keputusan pemimpin atau manajer secara langsung mempengaruhi peluang karir, penghargaan, dan kepuasan kerja. Kedua, keputusan manajerial memiliki kontribusi terhadap kesuksesan atau kegagalan suatu organisasi. Meskipun setiap pemimpin atau manajer memiliki latar belakang, gaya hidup, dan karakter yang berbeda, tetapi manajer dalam level apapun (puncak, madya, maupun lini pertama) harus mengambil keputusan dalam rangka pencapaian tujuan organisasi dan bertanggung jawab atas hasil-hasil keputusan yang mereka buat.
Pemimpin atau manajer dalam konteks sekolah atau lembaga pendidikan antara lain adalah Kepala Sekolah atau Direktur, Wakil Kepala Sekolah atau Wakil Direktur, dan sebagainya. Di dalam struktur organisasi Sekolah Menengah Kejuruan ada yang disebut dengan Ketua Jurusan, yang berperan sebagai pemimpin atau manajer dalam sebuah jurusan atau departemen. Keputusan yang dibuat oleh para manajer ini akan memberi pengaruh yang sangat signifikan terhadap perkembangan dan jalannya organisasi. Semakin berkualitas sebuah keputusan diambil, maka perkembangan dan jalannya organisasi dimungkinkan lebih baik, dan berdampak kepada kualitas output maupun outcome-nya. Namun yang perlu diingat bahwa keputusan yang baik saja tidak cukup, karena perlu ditindaklanjuti dengan tindakan yang juga berkualitas dan sumber daya yang memadai menyusul pengambilan keputusan tersebut.
Dengan melihat apa yang terjadi di organisasi khususnya organisasi pendidikan atau sekolah sebagai sebuah dengan pendekatan proses, maka secara logis dapat dikatakan bahwa output dan outcome yang berkualitas bukan dihasilkan oleh tindakan yang asal-asalan, tetapi tindakan yang terpilih dari sekian banyak alternatif yang ada. Menentukan tindakan terpilih adalah sebuah proses pengambilan keputusan, dengan demikian kualitas sebuah lembaga dimulai dari bagaimana pengambilan keputusan tersebut di buat. Adair (dalam Syafaruddin, 2004 : 7) menjelaskan, "the first requirement for success in any enterprise, then is high quality management decision". Keberhasilan suatu organisasi atau perusahaan sangat bergantung pada tingginya mutu keputusan yang diambil oleh para manajer yang memimpin.
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa di dalam lembaga yang berkualitas maka keputusan-keputusan yang diambil pun adalah keputusan yang berkualitas, apakah dilihat dari proses ataupun hasil dari keputusan tersebut. Demikian pula sebaliknya, bila keputusan-keputusan yang diambil tidak berkualitas, hampir dipastikan bahwa organisasi tersebut tidak berkualitas. Dengan demikian maju atau mundurnya lembaga pendidikan, berkualitas atau tidaknya sekolah, salah satu faktornya adalah pada apa dan bagaimana keputusan tersebut di ambil. Hipotesis tersebut di atas berlaku secara umum, berarti juga berlaku pada lembaga pendidikan kejuruan, baik negeri maupun swasta.
Bertitik tolak dari hal tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan studi mengenai bagaimana proses pengambilan keputusan dilakukan di Lembaga Pendidikan Kejuruan.

B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang penelitian sebagaimana dikemukakan di atas, fokus dari penelitian ini adalah bagaimana pengambilan keputusan dalam pengelolaan pendidikan dan pelatihan dilakukan di Lembaga Pendidikan Kejuruan X.
Adapun dari fokus penelitian tersebut dapat dijabarkan lagi menjadi beberapa subfokus, yaitu : 
1. Model pengambilan keputusan dalam pengelolaan pendidikan dan pelatihan di Lembaga Pendidikan Kejuruan X.
2. Teknik pengambilan keputusan dalam pengelolaan pendidikan dan pelatihan di Lembaga Pendidikan Kejuruan X.

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan fokus penelitian, secara umum tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah menemukan sekaligus mendeskripsikan proses pengambilan keputusan di Lembaga Pendidikan Kejuruan X di dalam menangani atau mengelola pendidikan dan pelatihan. Tujuan umum tersebut dijabarkan menjadi tujuan khusus, yaitu : 
1. Mendeskripsikan model pengambilan keputusan dalam pengelolaan pendidikan dan pelatihan di Lembaga Pendidikan Kejuruan X.
2. Mendeskripsikan teknik pengambilan keputusan dalam pengelolaan pendidikan dan pelatihan di Lembaga Pendidikan Kejuruan X.

D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan sebagai berikut : 
1. Memberi gambaran mengenai proses pengambilan keputusan di lembaga pendidikan unggulan sehingga dapat dijadikan acuan dalam penyelenggaraan dan pengelolaan lembaga pendidikan. 
2. Memberi masukan kepada para pengelola dan pemerhati lembaga pendidikan mengenai bagaimana cara pengambilan keputusan yang berkualitas.
3. Secara konseptual dapat memperkaya teori manajemen pendidikan, terutama dalam bidang kepemimpinan pendidikan.
4. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi peneliti berikutnya atau peneliti lain yang ingin mengkaji lebih mendalam dengan topik dan fokus serta setting yang lain untuk memperoleh perbandingan sehingga memperkaya temuan-temuan penelitian ini.

TESIS PENGEMBANGAN MANAJEMEN KEGIATAN ORGANISASI KESISWAAN DAN EKSTRAKURIKULER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM PEMBINAAN BUDAYA KEAGAMAAN DI SMK

TESIS PENGEMBANGAN MANAJEMEN KEGIATAN ORGANISASI KESISWAAN DAN EKSTRAKURIKULER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM PEMBINAAN BUDAYA KEAGAMAAN DI SMK

(KODE : PASCSARJ-0285) : TESIS PENGEMBANGAN MANAJEMEN KEGIATAN ORGANISASI KESISWAAN DAN EKSTRAKURIKULER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM PEMBINAAN BUDAYA KEAGAMAAN DI SMK (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan secara historis maupun filosofis telah ikut mewarnai dan menjadi landasan moral, dan etik dalam proses pembentukan jati diri bangsa. Pendidikan merupakan variabel yang tidak dapat diabaikan dalam mentransformasi ilmu pengetahuan, keahlian dan nilai-nilai akhlak. Hal tersebut sesuai dengan fungsi dan tujuan pendidikan sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 dinyatakan pada pasal 3 yaitu : 
"Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab".
Pendidikan juga merupakan persoalan hidup manusia sepanjang hayatnya, baik sebagai individu, kelompok sosial maupun sebagai bangsa. Pendidikan telah terbukti mampu mengembangkan sumber daya manusia yang merupakan karunia Allah SWT. serta memiliki kemampuan untuk mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan sehingga kehidupan manusia semakin beradab.
Mengingat begitu pentingnya pendidikan bagi kehidupan, maka kegiatan pendidikan harus dapat membekali peserta didik dengan kecakapan hidup (life skill atau life competency) yang sesuai dengan lingkungan dan kebutuhan peserta didik. Pemecahan masalah secara reflektif sangat penting dalam kegiatan pendidikan yang dilakukan melalui kerja sama secara demokratis. UNESCO (1994) mengemukakan dua prinsip pendidikan yang sangat relevan dengan konsep Islam, yaitu pertama, pendidikan harus diletakkan pada empat pilar, yaitu : a) Learning to know (belajar untuk mengetahui), b) Learning to do (belajar untuk dapat berbuat), c) Learning to be (belajar untuk menjadi diri sendiri), dan d) Learning to live together (belajar untuk hidup bersama dengan orang lain); kedua, life long learning ( belajar seumur hidup).3 Kultur yang demikian harus dikembangkan dalam pembangunan manusia, karena pada akhirnya aspek kultur dari kehidupan manusia lebih penting dari pertumbuhan ekonomi.
Sebagaimana yang dikatakan Ahmad Watik Pratiknya; bahwa sumber daya manusia yang berkualitas menyangkut tiga dimensi, yaitu : (1) dimensi ekonomi, (2) dimensi budaya, dan (3) dimensi spiritual (iman dan takwa). Upaya pengembangan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan juga perlu mengacu pada pengembangan nilai tambah.
Sebagai upaya peningkatan sumber daya manusia (human resources), pada dasarnya pendidikan di sekolah maupun madrasah bertujuan untuk mengembangkan aspek-aspek kemanusiaan peserta didik secara utuh, yang meliputi aspek kedalaman spiritual, aspek prilaku, aspek ilmu pengetahuan dan intelektual, dan aspek keterampilan.
Sejalan semakin pesatnya tingkat perkembangan saat ini, maka tuntutan akan ketersediaan sumber daya manusia semakin tinggi. Dengan demikian kualitas yang memadai dan output merupakan sesuatu yang harus dihasilkan oleh sekolah maupun madrasah sebagai satuan pendidikan yang tujuan dasarnya adalah menyiapkan manusia-manusia berkualitas baik secara intelektual, integritas, maupun perannya dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk itu, baik sekolah maupun madrasah harus membekali dirinya dengan kurikulum yang memadai.
Kurikulum dan pembelajaran Pendidikan Agama Islam dirancang untuk mengantarkan siswa kepada keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. serta pembentukan akhlak yang mulia. Keimanan dan ketakwaan serta kemuliaan akhlak sebagaimana yang tertuang dalam tujuan akan dapat dicapai dengan terlebih dahulu jika siswa memiliki pengetahuan dan pemahaman yang utuh dan benar terhadap ajaran agama Islam, sehingga terinternalisasi dalam penghayatan dan kesadaran untuk melaksanakannya dengan benar. Kurikulum dan pembelajaran PAI yang dirancang seharusnya dapat menghantarkan siswa kepada pengetahuan dan pemahaman yang utuh dan seimbang antara penguasaan ilmu pengetahuan tentang agama Islam dengan kemampuan pelaksanaan ajaran serta pengembangan nilai-nilai akhlakul karimah.
Akhir-akhir ini, pendidikan agama Islam dianggap kurang berhasil dalam membentuk sikap dan perilaku akhlak peserta didik serta moralitas etika bangsa. Mochtar Buchari (1992) menilai pendidikan agama gagal. Kegagalan ini disebabkan karena praktik pendidikannya hanya memperhatikan aspek kognitif semata dari pertumbuhan kesadaran nilai-nilai agama, dan mengabaikan pembinaan aspek afektif dan konatif-volatif, yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama. Akibat pendidikan agama hanya melahirkan peserta didik yang hanya mampu menghafalkan pelajaran tetapi tidak mau mengamalkan. Terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan pengamalan ajaran agama, kaya teori dan miskin aplikasi. Sehingga melahirkan peserta didik yang berkemampuan verbal dan kurang memperhatikan nilai-nilai akhlakul karimah. Kenyataan tersebut diperparah dengan kurangnya jam pelajaran agama yang hanya dua jam pelajaran, sementara tuntutannya sangat berat dalam membentuk generasi yang berkepribadian mulia. Pendidikan agama sebagai salah satu kegiatan untuk membangun pondasi mental spiritual yang kokoh, ternyata belum dapat berperan secara maksimal.
Dari fenomena di atas, untuk mengatasi semua persoalan ini; Abudin Nata memberikan solusi yang tepat yaitu dengan menambah jam pelajaran agama yang diberikan di luar jam pelajaran yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Dalam kaitan ini, kurikulum tambah atau kegiatan ekstra kurikulum perlu ditambahkan dan dirancang sesuai dengan kebutuhan dengan penekanan utamanya pada pengalaman agama dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian kegiatan pendidikan formal dikemas dalam bentuk kurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler. Kurikuler dan kokurikuler telah berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan memfokuskan pada pembelajaran klasikal baik dalam kelas maupun di luar kelas. Namun pada sisi lain, ekstrakurikuler juga harus berjalan sesuai dengan standar yang ada. Ini mengindikasikan bahwa kegiatan ekstrakurikuler sangat menentukan perubahan yang terjadi pada peserta didik dan sangat tergantung dari efektivitas penyelenggaraan kegiatannya.
Dalam hal ini, kegiatan ekstrakurikuler dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dapat ditemukan dalam program pengembangan diri. Dalam panduan tersebut dijelaskan bahwa pengembangan diri terdiri dari dua jenis kegiatan yaitu bimbingan konseling dan ekstrakurikuler. Kegiatan ekstrakurikuler dilaksanakan di sekolah melalui wadah organisasi kesiswaan (OSIS/Organisasi Siswa Intra Sekolah). Yang menjadi pertanyaan di sini adalah, apakah kegiatan ekstrakurikuler Pendidikan Agama Islam melalui wadah organisasi kesiswaan (OSIS) dapat menciptakan budaya keagamaan di sekolah ?
Melalui kiprah organisasi kesiswaan, peran strategis siswa dapat diaktualisasikan. Organisasi kesiswaan dapat menjadi wahana pembelajaran sesungguhnya, baik dalam kerangka prestasi akademik maupun prestasi non akademik. Organisasi kesiswaan juga dapat mencipta budaya keagamaan dan pentradisian akhlakul karimah. Pokok pangkal sikap yang tumbuh dan berkembang dalam tradisi organisasi kesiswaan dapat melahirkan kepekaan sosial siswa dalam merespon fenomena sekolah, masyarakat lokal, maupun kebangsaan.
Menelaah kegiatan ekstrakurikuler pada sekolah, kegiatan yang bersifat ekstrakurikuler keagamaan perlu selalu didorong, sehingga menampakkan kegiatan sekolah yang penuh dengan semangat keagamaan (religious). Dalam artian bahwa mata pelajaran Pendidikan Agama Islam mengandung unsur pembelajaran yang terdapat di dalamnya kegiatan ekstrakurikuler.
Pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler Pendidikan Agama Islam di sekolah akan memberikan banyak manfaat tidak hanya terhadap siswa tetapi juga bagi efektifitas penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Begitu banyak fungsi dan makna kegiatan ekstrakurikuler dalam menunjang tercapainya tujuan pendidikan.
Hal ini akan terwujud, manakala pengelolaan kegiatan ekstrakurikuler dilaksanakan dengan sebaik-baiknya khususnya pengaturan siswa, peningkatan disiplin siswa dan semua petugas. Biasanya mengatur siswa di luar jam pelajaran lebih sulit dari mengatur mereka di dalam kelas. Oleh karena itu, pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler melibatkan banyak pihak, memerlukan peningkatan manajemen yang lebih baik mulai dari perencanaan, pengorganisasian pelaksanaan kegiatan, sampai pada pengevaluasian kegiatan.
Dalam beberapa kegiatan ekstrakurikuler guru terlibat langsung dalam pelaksanaannya. Keterlibatan ini dimaksudkan untuk memberikan pengarahan, pengawasan dan pembinaan juga menjaga agar kegiatan tersebut tidak mengganggu atau merugikan aktifitas akademis. Maka dari itu pentingnya buku pedoman organisasi kesiswaan dan ekstrakurikuler Pendidikan Agama Islam dalam Pembinaan Budaya Keagamaan dapat membantu tugas guru pembimbing dalam mengembangkan kegiatan organisasi kesiswaan dengan menyusun program kegiatan yang disesuaikan dengan kondisi, situasi, suasana yang ada di sekolah.
Sebagaimana peraturan Dirjen Pendidikan Agama Islam (2009) "Bahwa dalam rangka optimalisasi Pendidikan Agama Islam di sekolah perlu dilakukan pengembangan kegiatan ekstrakurikuler. Agar kegiatan ekstrakurikuler PAI di sekolah semakin terarah dan tepat sasaran diperlukan pedoman tentang penyelenggaraan kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan ekstrakurikuler PAI adalah upaya pemantapan, pengayaan, dan perbaikan nilai-nilai serta pengembangan bakat, minat dan kepribadian peserta didik dalam aspek pengamalan dan penguasaan kitab suci, keimanan, ketakwaan, akhlak mulia, ibadah, sejarah, seni, dan kebudayaan, dilakukan di luar jam intra kurikuler, melalui bimbingan guru PAI, guru mata pelajaran lain, tenaga kependidikan dan tenaga lainnya yang berkompeten, dilaksanakan di sekolah atau di luar sekolah".
Pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler di SMK X yang diamati oleh pengembang selama ini, kegiatan ekstrakurikuler hanya sebatas pada kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan keterampilan sosial semata. Keikutsertaan para siswa dalam pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler keagamaan biasanya baru terlihat antusias hanya pada kegiatan-kegiatan yang bersifat perayaan saja atau memperingati hari besar Islam, seperti memperingati Maulid Nabi, Isra' Mi'raj, dan peringatan-peringatan lainnya yang bersifat seremonial saja, namun setelah perayaan-perayaan itu berlalu tidak tercermin terbentuknya kepribadian yang sesungguhnya diharapkan melalui kegiatan tersebut.
Dengan mendasarkan pada manajemen organisasi, model pengembangan yang sesuai dengan paparan di atas adalah model Recursive, Reflection, Design and Development, R2D2. Model ini mengamanatkan bahwa pengembangan dilakukan dengan berkolaborasi dalam tim, yang dilakukan secara recursive. Berdasarkan karakteristik dari model R2D2 yang recursive dan fleksibel, maka pedoman guru pembina yang dikembangkan ini menggunakan model R2D2. Pemilihan model R2D2 ini didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu : 1) sifat dari materi yang akan dikembangkan bukanlah merupakan hal yang bersifat prosedural, 2) pedoman dikembangkan berdasarkan adanya permasalahan yang ada di lapangan, sehingga sifatnya adalah bottom-up, 3) adanya perubahan-perubahan yang bersifat dinamis dalam perkembangan keilmuan dibidang manajemen kegiatan organisasi, 4) dalam pengembangan pedoman ini mengikutsertakan pengguna (ket; guru) dalam proses desain dan pengembangan khususnya untuk merancang program kegiatan ekstrakurikuler Pendidikan Agama Islam dalam Pembinaan Budaya Keagamaan yang akan disajikan. Berbagai macam pertimbangan atas permasalahan di atas, pengembang merasa perlu mengembangkan pedoman bagi guru pembina dengan menggunakan teori model pengembangan R2D2.

B. Rumusan Masalah
Terkait dengan konteks penelitian yang dikemukakan di atas, maka permasalahan yang dijadikan dasar pada pengembangan ini adalah : belum adanya buku pedoman kegiatan organisasi kesiswaan dan ekstrakurikuler pendidikan agama Islam dalam pembinaan budaya keagamaan di SMK X. Berdasarkan masalah tersebut, maka rumusan masalah pengembangan manajemen melalui buku pedoman kegiatan organisasi kesiswaan dan ekstrakurikuler pendidikan agam Islam dalam pembinaan budaya keagamaan di SMK X dirumuskan sebagaimana di bawah ini : 
1. Bagaimana proses penyusunan buku pedoman kegiatan organisasi kesiswaan dan ekstrakurikuler pendidikan agama Islam dalam pembinaan budaya keagamaan ?
2. Bagaimana implementasi buku pedoman kegiatan organisasi kesiswaan dan ekstrakurikuler pendidikan agama Islam dalam pembinaan budaya keagamaan di SMK X ?

C. Tujuan Pengembangan
Sesuai dengan rumusan masalah tersebut di atas, maka penelitian ini tujuannya : 
1. Mendeskripsikan langkah-langkah pengembangan buku pedoman kegiatan organisasi kesiswaan dan ekstrakurikuler pendidikan agama Islam dalam pembinaan budaya keagamaan di SMK X.
2. Mendeskripsikan implementasi buku pedoman kegiatan organisasi kesiswaan melalui ekstrakurikuler pendidikan agama Islam dalam pembinaan budaya keagamaan di SMK X.

D. Manfaat Pengembangan
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat secara teoritis, praktis maupun institusional. Secara teoritis, penelitian ini akan berguna sebagai bahan masukan bagi pengembangan tentang model manajemen kegiatan organisasi kesiswaan dan ekstrakurikuler PAI dalam pembinaan budaya keagamaan di sekolah.
Secara praktis, hasil penelitian ini menjadi bahan masukan berharga bagi pemerintah, para praktisi pendidikan, kepala sekolah, para pendidik, dan para pemerhati pendidikan Islam terutama sekolah untuk melakukan penelitian lebih mendalam, guna memberikan sumbangan pemikiran untuk pengembangan kegiatan ekstrakurikuler melalui wadah organisasi kesiswaan sekolah.
Adapun secara institusional, penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi positif bagi beberapa pihak diantaranya : 
1. Bagi sekolah
Bagi SMK X, penelitian pengembangan ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 
a. Tersedianya contoh model pengembangan kegiatan organisasi kesiswaan dan ekstrakurikuler pendidikan agama Islam dalam pembinaan budaya keagamaan.
b. Langkah-langkah pengembangan dalam penelitian ini dapat dijadikan acuan oleh guru Pembina organisasi kesiswaan dan ekstrakurikuler pendidikan agama Islam dalam memperbaiki proses manajemen kegiatan.
2. Bagi almamater
Untuk mengembangkan kajian keilmuan Manajemen Pendidikan Islam.
3. Bagi peneliti selanjutnya
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah keilmuan dan dapat dijadikan panduan untuk mengadakan penelitian selanjutnya terlebih tentang pengembangan model manajemen organisasi kesiswaan dan kegiatan ekstrakurikuler PAI dalam pembinaan budaya agama di sekolah.

TESIS STRATEGI PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN SDN

TESIS STRATEGI PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN SDN

(KODE : PASCSARJ-0284) : TESIS STRATEGI PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN SDN (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Reformasi pendidikan merupakan respon terhadap perkembangan tuntutan global sebagai suatu upaya untuk mengadaptasikan sistem pendidikan yang mampu mengembangkan sumber daya manusia untuk memenuhi tuntutan zaman yang sedang berkembang. Melalui reformasi pendidikan, pendidikan harus berwawasan masa depan yang memberikan jaminan bagi perwujudan hak-hak azasi manusia untuk mengembangkan seluruh potensinya secara optimal guna kesejahteraan hidup di masa depan.
Upaya peningkatan mutu merupakan agenda setiap institusi pendidikan. Hal ini sejalan dengan pendapat Hardjosoedarmo (2004), "Berkembangnya tuntutan kebutuhan masyarakat terhadap mutu layanan jasa pendidikan merupakan sebuah tantangan baru bagi setiap institusi atau lembaga pendidikan di tengah kondisi persaingan yang semakin ketat. Untuk mempertahankan eksistensinya, setiap institusi pendidikan harus memiliki daya saing yang ditunjukkan melalui peningkatan mutu layanannya."
Pada era globalisasi pendidikan merupakan hal yang sangat penting karena pendidikan merupakan salah satu penentu mutu sumber daya manusia. Dewasa ini keunggulan suatu bangsa tidak lagi ditandai dengan melimpahnya kekayaan alam, melainkan pada keunggulan sumber daya manusia yang berkorelasi positif dengan mutu pendidikan. Mutu pendidikan sering diindikasikan dengan kondisi yang baik, memenuhi syarat, dan segala komponen yang harus terdapat dalam pendidikan. Komponen-komponen tersebut adalah masukan, proses, keluaran, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana serta biaya.
Mutu pendidikan tercapai apabila input, proses, output, guru, sarana dan prasarana serta biaya pada seluruh komponen tersebut memenuhi syarat tertentu. Namun dari beberapa komponen tersebut yang lebih banyak berperan adalah tenaga kependidikan yang bermutu yaitu yang mampu menjawab tantangan-tantangan dengan cepat dan tanggung jawab.
Sekolah dalam hal ini kepala sekolah, guru dan stakeholder mempunyai tanggung jawab terhadap peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Peningkatan mutu pendidikan bukanlah upaya sederhana, melainkan suatu kegiatan dinamis dan penuh tantangan. Pendidikan selalu berubah seiring dengan perubahan jaman. Oleh karena itu pendidikan senantiasa memerlukan upaya perbaikan dan peningkatan mutu sejalan dengan semakin tingginya kebutuhan dan tuntutan kehidupan masyarakat.
Mutu pendidikan atau mutu sekolah tertuju pada mutu lulusan. Sekolah menghasilkan lulusan yang bermutu melalui proses pendidikan yang bermutu pula. Proses pendidikan yang bermutu didukung oleh faktor-faktor penunjang proses pendidikan yang bermutu. 
Menurut Syaodih (dalam Mulyasa 2006), Proses pendidikan yang bermutu harus didukung oleh personalia (seperti administrator, guru, konselor, dan tata usaha yang bermutu dan professional), sarana dan prasarana pendidikan, fasilitas, media, sumber belajar yang memadai, biaya yang mencukupi, manajemen dan strategi yang tepat serta lingkungan yang mendukung. Jika komponen berfungsi optimal akan menentukan terciptanya sekolah yang memiliki mutu lulusan yang unggul, yaitu mutu peserta didik yang mempunyai kemampuan dan keterampilan sesuai dengan tuntutan masyarakat.
Keberhasilan sekolah ditingkat pendidikan dasar biasanya dilihat dari hasil Ujian Nasional (UN) yang diperoleh. Kalau sekolah sukses meluluskan siswanya 100% dengan nilai rata-rata UN bagus, maka dikatakan sekolah itu cukup bermutu.
Menurut Maswir (2009) dikatakan bahwa sebuah prestasi dari sekolah, dapat dilihat dari hasil Ujian Nasional (UN) dan input dari sekolah tersebut. Mengukur sebuah prestasi sekolah dengan membandingkan input dengan output. Sekolah yang dapat memproses peserta didik dalam memperoleh hasil Ujian Nasional (UN) lebih tinggilah yang berprestasi. Karena pendidikan itu adalah proses, maka mengukurnya juga dari proses yang telah dilakukan.
Hasil penelitian Dedi Cristiawan (2004) tentang Strategi Meningkatkan Kualitas Pendidikan di Madrasah Aliyah Negeri 1 Tulungagung menyatakan bahwa langkah-langkah yang digunakan adalah 1) Melakukan strategi mencari siswa yang berkualitas, 2) Melakukan strategi keseimbangan antara sekolah dengan siswa dan mengurangi friksi dan menjalin kerjasama yang baik, 3) Melakukan strategi diversifikasi dengan menciptakan jaringan kerja antar lembaga sekolah dengan lembaga dibawahnya, 4) Menciptakan strategi defensive (pertahanan) terhadap kondisi dalam menghadapi era globalisasi dan persaingannya. Namun diantara 4 strategi tersebut yang paling berperan dalam peningkatan mutu sekolah adalah strategi mencari siswa yang berkualitas dengan menerapkan strategi agresif menjemput bola dalam mendapat siswa yang berkualitas.
Berbeda dengan Munirul (2008), ada beberapa strategi yang digunakan oleh MTsN Babat Lamongan dalam meningkatkan mutu pendidikannya yaitu : peningkatan mutu akademis, peningkatan mutu guru/profesionalisme guru dan tenaga kependidikan lainnya, peningkatan mutu sarana dan prasarana, serta peningkatan hubungan dengan masyarakat. Namun ada beberapa hal yang belum terpenuhi dalam strategi tersebut yaitu tidak dibentuknya tim pengendali dan tim yang mengevaluasi terhadap pelaksanaan strategi tersebut.
Sedangkan Baharun, (2006) menambahkan bahwa strategi meningkatkan mutu pendidikan di Pondok Pesantren Jadid Paiton Probolinggo meliputi (1) Sinkronisasi kurikulum pada lembaga pendidikan formal dan non formal, (2) mengimplementasikan manajemen berbasiskan mutu, (3) standarisasi (kualifikasi) tenaga kependidikan, (4) participative decision making, (5) pemberdayaan stake holder, (6) evaluasi kerja program, dan (7) mengimplementasikan strategi promosi (syiar) pesantren. Dari pelaksanaan strategi manajemen di pondok pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo tersebut, sangat efektif dalam meningkatkan prestasi santri dalam bidang akademik maupun non akademik, perilaku civitas pesantren yang Islami, kepercayaan stake holder bertambah, dan jumlah santri yang terus meningkat.
Berdasarkan kajian latar belakang dan penelitian sebelumnya maka penelitian ini berusaha untuk mengetahui apakah strategi peningkatan mutu pendidikan di SDN X sama dengan penelitian sebelumnya atau ada hal-hal serupa.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : "Bagaimanakah strategi peningkatan mutu pendidikan di SDN X ?"

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan strategi peningkatan mutu pendidikan di SDN X. 

D. Manfaat Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini di harapkan dapat bermanfaat untuk : 
1. Mengembangkan ilmu manajemen khususnya dibidang pengembangan manajemen pendidikan.
2. Memberikan kontribusi akademis dalam upaya peningkatan dan pengembangan ilmu pendidikan khususnya di bidang peningkatan mutu pendidikan di sekolah. 
3. Sebagai bahan masukan bagi kepala sekolah sehingga sekolah tersebut dapat lebih maju.

TESIS PENGEMBANGAN RELIGIOUS CULTURE MELALUI MANAJEMEN PEMBIASAAN DIRI BERDOA BERSAMA SEBELUM BELAJAR DI SMK

TESIS PENGEMBANGAN RELIGIOUS CULTURE MELALUI MANAJEMEN PEMBIASAAN DIRI BERDOA BERSAMA SEBELUM BELAJAR DI SMK

(KODE : PASCSARJ-0283) : TESIS PENGEMBANGAN RELIGIOUS CULTURE MELALUI MANAJEMEN PEMBIASAAN DIRI BERDOA BERSAMA SEBELUM BELAJAR DI SMK (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Secara geografis Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 17.677 buah pulau besar dan kecil yang ditempati sebagai pemukiman penduduk. Dengan wilayah yang terpisah-pisah ini memungkinkan kelompok-kelompok masyarakat dalam satu pulau terpisah pergaulannya dengan pulau yang lain. Sehingga berkembang struktur budaya yang beraneka ragam. Pulau Bali secara geografis terletak diantara dua pulau dengan mayoritas penduduk beragama Islam, yakni pulau Jawa dan gugusan pulau Nusa Tenggara Barat (NTB). Mayoritas penduduk pulau Bali sendiri beragama Hindu, dengan demikian kemungkinan untuk terjadinya asimilasi kebudayaan semakin besar.
Berdasarkan data tersebut, bisa dipastikan bahwa pulau Bali memiliki kekayaan baik alam, maupun kebudayaan. Hal ini berimbas kepada dunia pendidikan, dimana pemerintah daerah mempunyai otonomi dalam pengelolaan peraturan pendidikan. Sebagai daerah mayoritas penduduk pemeluk agama Hindu, Bali juga dituntut merespon lebih sensitif keberadaan masyarakat lain yang berada di Bali namun memeluk agama selain Hindu. Kebijakan-kebijakannya dalam dunia pendidikan juga mempertimbangkan kebutuhan pendidikan keagamaan umat lain. Bali menjamin bahwa setiap penduduk di daerahnya telah diberikan fasilitas dan media/sarana bagi kebutuhan rohani umat lain.
Landasan hukum pemenuhan pendidikan agama bagi setiap penduduk Indonesia adalah pertama; UUD 1945 pasal 29 ayat 2 bahwa "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu". Kedua; UUD 1945 pasal 31 ayat 2 menyatakan bahwa "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan Undang-Undang". Ketiga; Tap MPRS No. 2 tahun 1960 menetapkan : "Pemberian pelajaran agama pada semua tingkat pendidikan, mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi Negeri". Keempat; Tap MPRS No. 27 tahun 1966 menetapkan bahwa "Agama, pendidikan dan kebudayaan adalah unsur mutlak dalam Nation and Character Building, sekaligus menetapkan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran pokok dan wajib diikuti oleh setiap murid/peserta didik sesuai dengan agama masing-masing".
Kelima; UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas Pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Selanjutnya pada ayat (2) dinyatakan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama dan seterusnya. Hal tersebut diperkuat dengan Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi "Mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang berpengetahuan, raj in beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah.
Jaminan pemerintah terhadap pemenuhan pendidikan agama bagi setiap penduduk Indonesia teraktualisasi dalam pelaksanaan pendidikan keagamaan di sekolah. Termasuk di dalamnya adalah pemenuhan pendidikan agama Islam bagi daerah minoritas berpenduduk Muslim seperti Propinsi Bali. Pentingnya pemenuhan kebutuhan Pendidikan Agama Islam bagi penduduk Muslim minoritas di pulau Bali, sejatinya merupakan usaha internalisasi pemahaman unity in diversity (Bhinneka Tunggal Ika) dan internal diversity (perbedaan dalam internal agama) yang memang tidak bisa dihindarkan lagi. Bahkan Muhaimin menyebutkan bahwa pendidikan agama Islam pada dasarnya merupakan upaya normatif untuk membantu seseorang atau sekelompok peserta didik dalam mengembangkan pandangan hidup Islami (bagaimana akan menjalani dan memanfaatkan hidup dan kehidupan sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai Islam), sikap hidup Islami, yang dimanifestasikan dalam keterampilan hidup sehari-hari.
Pendidikan agama (Islam) di sekolah pada dasarnya berusaha untuk membina sikap dan perilaku keberagamaan peserta didik itu sendiri, bukan terutama pada aspek pemahaman tentang agama. Dengan kata lain, yang diutamakan oleh pendidikan agama (Islam) bukan knowing (mengetahui tentang ajaran dan nilai-nilai agama) ataupun doing (bisa mempraktekkan apa yang diketahui) setelah diajarkan di sekolah, tetapi justru mengutamakan being-nya (beragama atau menjalani hidup atas dasar ajaran dan nilai-nilai agama). Hal ini sejalan dengan esensi Islam adalah sebagai agama amal atau kerja (praksis). Kesadaran akan besarnya pengaruh agama bagi pembentukan warga negara telah terwujud dengan menjadikan agama sebagai mata pelajaran yang wajib bagi semua jenjang pendidikan dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Keberadaan agama sebagai mata pelajaran didukung oleh Undang-Undang 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara. Maka harapan yang muncul ialah pelajaran agama dijadikan tumpuan untuk membentuk moralitas dan kepribadian yang religius.
Moral adalah keterikatan spiritual pada norma-norma yang telah ditetapkan, baik yang bersumber pada ajaran agama, budaya masyarakat, atau berasal dari tradisi berfikir secara ilmiah. Keterikatan spiritual tersebut akan mempengaruhi keterikatan sikapnya terhadap nilai-nilai kehidupan (norma) yang akan menjadi pijakan utama dalam menentukan pilihan, pengembangan perasaan dan dalam menetapkan suatu tindakan. Seperti yang diungkapkan oleh Muhaimin bahwa pendidikan agama masih gagal disebabkan karena praktek pendidikannya hanya memperhatikan aspek kognitif semata dan mengabaikan aspek afektif dan akibatnya terjadi kesenjangan antara pengetahuan agama dan pengamalannya. Sehingga tidak mampu membentuk pribadi-pribadi bermoral, padahal inti dari pendidikan agama adalah pendidikan moral.
Dengan landasan hukum penjaminan pemenuhan penyelenggaraan pendidikan agama oleh pemerintah Indonesia, maka Bali sebagai salah satu Propinsi di Indonesia pun ikut berpartisipasi dalam rangka pemenuhan pendidikan agama tersebut yang tidak saja dilaksanakan demi pemenuhan visi dan misi terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi juga demi melihat urgensi penyelenggaraan pendidikan agama tersebut. Namun sejalan dengan kerangka idealis bagi penyelenggaraan pendidikan agama di Bali, realitasnya bahwa sistem birokrasi otonomi daerah turut membawa andil yang besar bagi terlaksananya penjaminan pemenuhan penyelenggaraan pendidikan agama oleh pemerintah pusat. Berbagai perisiwa yang terjadi di Bali terkait dengan terganggunya keamanan dan kenyamanan daerah tersebut, salah satu penyebabnya adalah agama sebagai pemicu. Latar belakang agama sebagai kambing hitam atas terjadinya kerusuhan di Bali juga melanda seluruh negara bagian di dunia.
Penjaminan pemenuhan penyelenggaraan pendidikan agama oleh pemerintah Indonesia, dan adanya sistem birokrasi otonomi daerah menyebabkan pemerintah daerah kurang memaksimalkan perhatiannya akan pentingnya penyelenggaraan pendidikan agama (selain agama Hindu) di Bali. Faktor lain bagi kurangnya pelaksanaan jaminan tersebut adalah kuantitas peserta didik pada lembaga pendidikan di bawah naungan Diknas pada semua jenjang pendidikan, terlebih pada sekolah menengah atas/kejuruan. Untuk mengatasi hal tersebut, upaya yang dilakukan pemerintah pusat adalah dengan melakukan pendataan peserta didik yang dibedakan berdasarkan latar belakang agamanya masing-masing, untuk kemudian mendapat bantuan guru Pendidikan Agama Islam dari Departemen Agama. Namun, hal tersebut juga mengalami kendala di tingkatan penerimaan secara individual.
Masalah semacam itu terjadi, disebabkan rendahnya kesadaran pluralism dan multikultural bagi masyarakat sekitar, tentu saja kurangnya sosialisasi di tingkat yang lebih atas, yakni pendidikan di Indonesia pada umumnya. Pelaksanaan pendidikan agama pada lingkungan sekolah pun kemudian menjadi overlapping dengan konsep pluralism dan multikultural. Untuk menyamakan pelaksanaan pendidikan agama yang sesuai standar mutu proses belajar mengajar dengan wilayah lain di Indonesia, sangat sulit dilakukan. Sebab, mau tidak mau, waktu pelaksanaan kegiatan belajar mengajar PAI juga harus mengalami adaptasi dengan situasi dan kondisi daerah sekitarnya. Maka tenaga praktisi pendidikan dan pihak lain yang concern dan peduli terhadap perkembangan pendidikan agama Islam di Bali-lah yang kreatif, inovatif, dan jeli dalam usahanya untuk mensejajarkan kualitas PAI dengan standar mutu yang telah ditetapkan.
Sebagai salah satu cara membumikan pluralism dan multikultural, maka pengembangan budaya agama di sekolah dirintis sebagai arah dan implementasi pendidikan agama (Islam) di bumi Bali. Hal ini menjadi hal yang sedemikian penting mengingat betapa rawannya tindak kriminalitas, kerusuhan dan intrik-intrik yang terjadi dengan ras sebagai penyebab utamanya. Setelah melakukan refleksi dari hasil pengamatan selama mengajar dari berbagai sekolah menengah atas di Kabupaten X, maka penulis tertarik meneliti gagasan pengembangan budaya agama di sekolah yang dimulai dengan merekonstruksi beberapa kebiasaan berlatar kultur sekolah setempat.
Ruang lingkup budaya agama (religious culture) di sekolah meliputi kebiasaan mengucapkan salam, memakai busana Muslim (memakai jilbab bagi siswi Muslim), membaca Al Quran sebagai rutinitas awal sebelum dimulainya proses belajar mengajar, terciptanya kebiasaan shalat duha, kebiasaan shalat berjamaah, budaya tawaddlu', budaya bersih, budaya toleransi (tasamuh), budaya jujur, dan lain sebagainya. Hampir semua sekolah menerapkan medan budaya religious culture tersebut. Terlebih di sekolah yang berlokasi dengan penduduk mayoritas Muslim. Sehingga religious culture yang tercitrakan merujuk pada satu agama yakni Islam. Hal tersebut tidak berlaku pada daerah dengan minoritas Muslim. Sebagaimana diungkapkan Zainuddin bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat plural ditinjau dari pelbagai aspeknya, baik etnis, bahasa, budaya, maupun agama. Beliau menambahkan bahwa pluralitas merupakan realitas dan keniscayaan bagi masyarakat Indonesia.
Sedangkan agama sendiri menurut Riaz Hassan merupakan sistem keyakinan individu yang melibatkan emosi-emosi dan pemikiran-pemikiran dan diwujudkan dalam tindakan-tindakan keagamaan (upacara, ibadat, dan amal ibadat) yang bersifat pribadi maupun kelompok yang melibatkan sebagian atau seluruh masyarakat. Suparlan mengatakan, agama dilihat dari sudut kebudayaan adalah agama sebagai sistem simbol suci yang ada dalam kebudayaan, serta bagaimana sistem simbol-simbol suci tersebut digunakan sebagai pedoman dalam menghadapi lingkungan sehari-hari.
Merujuk pada pernyataan Zainuddin bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat plural, maka dalam konteks setting sosial, Salie Abraham menjelaskan bahwa Propinsi Bali masuk dalam kategori pluralisme kontekstual (contextual pluralism). Propinsi Bali, lebih khusus lagi Kabupaten X dengan mayoritas penduduk Hindu, termasuk ke dalam wilayah dengan kategori pluralism kontekstual, menyebabkan banyak medan budaya agama (religious culture space) hanya bisa dilakukan sebagai kultur pada tingkatan akhlak. Sedangkan pada tingkatan fiqih namun terintegrasi kepada wilayah akhlak bisa terlihat dalam kultur sekolah melalui pembiasaan diri berdoa bersama sebelum belajar. Pembiasaan diri tersebut masih berpijak pada agama mayoritas, yakni Hindu, mengingat Bali khususnya Kabupaten X merupakan kategori pluralism kontekstual seperti yang telah disebutkan di atas.
Selama bertahun-tahun, pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di sekolah-sekolah di Bali (khususnya Kabupaten X), selalu dimulai dengan kebiasaan melakukan doa bersama. Hal tersebut dilakukan di berbagai tempat, baik dilakukan di lapangan bersama seluruh Civitas Akademika sekolah maupun dilaksanakan di kelas-kelas. Mereka semua membaca trisandya dan bagi pemeluk agama lain di tempat yang sama dipersilahkan untuk menundukkan kepala dan membaca doa sesuai dengan kepercayaan masing-masing sebagai wujud penghormatan terhadap pemeluk agama mayoritas. Akibat dari kultur seperti ini yang dilakukan selama bertahun-tahun sebagai sebuah kebiasaan, maka peserta didik yang beragama selain Hindu menjadi terdoktrin dengan trisandya.
Di samping itu, pada waktu-waktu tertentu dimana agama Hindu melakukan ritual keagamaan pada hari-hari besar keagamaannya, umat agama lain tentu saja berperan serta, karena kebijakan sekolah mengacu pada kebijakan pemerintah daerah tidak pernah menyentuh kebijakan pendidikan pada momen-momen keagamaan seperti itu bagi pemeluk agama lain. Setiap bulan pada tanggal 15 (penanggalan tahun Saka), oleh umat Hindu Bali biasa diperingati sebagai hari raya purnama. Pada hari tersebut seluruh umat Hindu melakukan persembahyangan di Pura. Tak terkecuali di sekolah-sekolah yang ada di kabupaten X. SMKN X pun menyelenggarakan doa bersama di Pura sebagai wujud memperingati hari raya purnama. Warga SMKN X diharuskan memakai pakaian adat umat Hindu, mereka melakukan persembahyangan sebelum pembelajaran dengan mengambil waktu yang lebih lama daripada rutinitas pembiasaan doa bersama sebelum belajar di SMKN X. Tiga sampai empat jam pertama dikosongkan untuk berdoa bersama di Pura.
Kebiasaan yang dilakukan seperti di atas, menjadi sebuah hidden indoktrinasi yang bias pluralism dan multikultural. Kebiasaan yang membawa Membaca tantra atau mantra tertentu yang berasal dari Weda, sebagai wujud doa verbal bagi umat Hindu yang dilakukan tiga kali sehari yaitu pagi, siang dan sore hari.
Bercermin dari apa yang telah diuraikan di atas, penulis menjadi tertarik untuk melakukan kajian lebih mendalam tentang pengembangan religious culture melalui manajemen pembiasaan diri berdoa bersama sebelum belajar di sekolah. Efektifitas pendidikan agama Islam yang diinternalisasikan dalam pengembangan religious culture dilakukan melalui pembiasaan berdoa bersama sebelum memulai aktifitas pembelajaran di sekolah. Pengembangan budaya agama melalui pembiasaan diri berdoa bersama merupakan hal yang biasa terjadi di wilayah-wilayah Indonesia selain Bali. Dan pembiasaan diri tersebut tidak hanya dilakukan pada saat memulai aktifitas pembelajaran di sekolah tetapi juga ketika mengakhiri pembelajaran, bahkan pada momen-momen tertentu. Namun, hal tersebut tidak terjadi di sekolah-sekolah di Bali. Tidak semua sekolah menerapkan pembacaan doa sebelum dan setelah aktifitas pembelajaran, termasuk di SMKN X.
Pentingnya melakukan pembiasaan diri berdoa bersama sebelum belajar di sekolah karena sekolah adalah tempat untuk belajar dan mengembangkan diri, sedangkan doa adalah pengait spiritual antara manusia, Tuhan dan usahanya dalam hidup salah satunya adalah belajar. Belajar menurut Hilgard dan Bower dalam bukunya Theories of Learning yang dikutip oleh Ngalim Purwanto mengatakan bahwa belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap suatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam suatu situasi. Bahkan menurut Thursan Hakim belajar adalah suatu proses perubahan di dalam kepribadian manusia, dan perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman, keterampilan, daya pikir dan kemampuan.
Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat disintesiskan bahwa belajar adalah perubahan serta peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seseorang di berbagai bidang yang terjadi akibat melakukan interaksi terus menerus dengan lingkungannya. Jika di dalam proses belajar tidak mendapatkan peningkatan kualitas dan kuantitas kemampuan, dapat dikatakan bahwa orang tersebut mengalami kegagalan di dalam proses belajar. Sedangkan aktifitas doa merupakan bagian dari proses komunikasinya manusia kepada Pencipta-nya. Bagi masyarakat yang beragama, berdoa merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan kelompok. Dimana tujuan berdoa diantaranya adalah memohon hidup selalu dalam bimbingan Allah SWT, agar selamat dunia akhirat, untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Allah SWT, meminta perlindungan Allah SWT dari setan yang terkutuk.
Dalam kehidupan pribadi, kita berdoa setelah selesai sholat, atau sembahyang, sebelum dan setelah belajar atau bekerja, dan lain sebagainya. Berdoa sebelum belajar yang biasanya dilakukan oleh siswa di SMKN X, menjadi salah satu metode pengembangan religious culture di sekolah. Di samping itu, kegiatan berdoa bersama sebelum belajar merupakan bagian dari proses pembelajaran pendidikan keagamaan. Selain itu, kegiatan tersebut menjadi salah satu kepustakaan bagi kehidupan religious culture di sekolah, mengingat Bali termasuk kategori plural kontekstual dimana umat Islam sebagai minoritas. Penelitian tindakan sekolah melalui pembiasaan diri berdoa bersama sebelum belajar dengan cara memisahkan ruang dan tempat berdasarkan latar belakang agama dan kepercayaan siswa ini penting dilakukan mengingat komunitas SMKN X yang terdiri dari beragam pemeluk agama.
Penulis menyadari betapa besar kendala merekonstruksi kebiasaan yang menjadi kultur sekolah di Bali khususnya di SMKN X. Dan apabila upaya merekonstruksi kebiasaan tersebut melalui manajemen pembiasaan diri berdoa bersama sebelum belajar di sekolah bisa dilaksanakan, maka hal ini menjadi penelitian pertama dalam upaya pengembangan religious culture di Kabupaten X dan di Propinsi Bali. Maka atas dasar pengembangan religious culture berbasis pendidikan multikultur dan plural di sekolah, peneliti meneliti sekaligus merekonstruksi kultur sekolah dalam upaya sosialisasi pluralism, multikultural dan mensistemikkan budaya agama di sekolah.
Penelitian tindakan sekolah ini juga ingin melihat apakah dampak yang terjadi pada perubahan tingkah laku pada siswa ketika diberlakukan pembiasaan diri berdoa bersama sebelum belajar pada skala mikro. Dan untuk melihat pengaruh yang terjadi pada lingkungan sekolah dalam skala makro.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, peneliti melakukan penelitian tindakan sekolah dengan memfokuskan penelitian pada pengembangan religious culture melalui manajemen pembiasaan diri berdoa bersama sebelum belajar di SMKN X.

B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti memfokuskan penelitian pada "Pengembangan Religious Culture melalui Manajemen Pembiasaan Diri Berdoa Bersama sebelum Belajar di SMKN X". Fokus tersebut dijabarkan dalam beberapa sub fokus sebagai berikut : 
1. Bagaimanakah pengembangan religious culture di SMKN X melalui manajemen pembiasaan diri berdoa sebelum belajar di sekolah ?
2. Apakah dampak pembiasaan diri berdoa bersama sebelum belajar di sekolah terhadap perilaku siswa di SMKN X ?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk : 
1. Memahami dan mendeskripsikan pengembangan religious culture di SMKN X melalui manajemen pembiasaan diri berdoa bersama sebelum belajar di sekolah.
2. Memahami dan mendeskripsikan bagaimana metode pembiasaan diri berdoa bersama sebelum belajar di sekolah dapat mengembangkan religious culture di SMKN X.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian tindakan sekolah yang dilakukan peneliti dalam pengembangan religious culture melalui manajemen pembiasaan diri berdoa bersama sebelum belajar di SMKN X ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi beberapa pihak, baik secara teoritis maupun praktis. Sehingga manfaat yang diharapkan diantaranya : 
1. Teoritis
a. Pengembangan ilmu manajemen pendidikan terutama berkenaan dengan masalah penelitian tindakan sekolah untuk merubah kultur sekolah menuju kepada pengembangan religious culture di sekolah yang memberikan implikasi praktis bagi penyelenggaraan pendidikan sehingga tujuan organisasi dapat tercapai secara efisien, efektif dan produktif.
b. Diharapkan dapat menjadi pegangan, rujukan atau sebagai masukan bagi para pendidik, praktisi pendidikan, pengelola lembaga pendidikan yang memiliki kesamaan karakteristik.
c. Sebagai bahan referensi bagi peneliti-peneliti lain yang akan melaksanakan penelitian serupa di masa yang akan datang. Juga sebagai pembanding sehingga memperkaya temuan-temuan penelitian dan membuka peluang bagi ditemukannya teori-teori baru yang berkaitan dengan hal tersebut.
2. Praktis
Memberikan informasi kepada Kepala Sekolah yang bersangkutan dan warga sekolah tentang pentingnya pengembangan religious culture melalui pembiasaan diri berdoa bersama sebelum belajar di SMKN X, yang pada gilirannya berdampak pada peningkatan mutu pendidikan, perubahan perilaku siswa, dan perubahan kultur sekolah berbasis multikultural untuk menjawab tuntutan dan kebutuhan sekolah dan masyarakat (stakeholders).
3. Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah keilmuan dan dapat dijadikan panduan untuk mengadakan penelitian selanjutnya terlebih tentang pengembangan religious culture di daerah yang mempunyai karakteristik sama dengan Kabupaten X, dimana Bali merupakan daerah dengan kategori plural kontekstual.