Search This Blog

SKRIPSI HUBUNGAN KARAKTERISTIK DAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG TERAPI DIET PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN KETERKENDALIAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA

SKRIPSI HUBUNGAN KARAKTERISTIK DAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG TERAPI DIET PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN KETERKENDALIAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA

(KODE : KEPRAWTN-0078) : SKRIPSI HUBUNGAN KARAKTERISTIK DAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG TERAPI DIET PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN KETERKENDALIAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Sedangkan menurut World Health Organization (WHO) secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin (Soegondo, 2008).
Meningkatnya prevalensi diabetes melitus di beberapa negara berkembang, disebabkan karena adanya peningkatan pendapatan perkapita dan perubahan gaya hidup terutama di kota-kota besar, menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung koroner (PJK), hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan lain-lain (Suyono, 2007).
Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), memprediksi kenaikan jumlah penderita DM dari 177 juta jiwa pada tahun 2000 menjadi 366 juta pada tahun 2030. Untuk Indonesia, WHO memprediksi kenaikan jumlah penderita dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Indonesia menempati urutan ke 4 di dunia sebagai negara dengan jumlah penderita diabetes melitus terbanyak setelah India, China dan Amerika Serikat (AS).
Sedangkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, diperoleh bahwa proporsi penyebab kematian akibat DM pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan menduduki ranking ke-2 yaitu 14,7% dan daerah pedesaan, DM menduduki ranking ke-6 yaitu 5,8%.
Melihat tendensi kenaikan kekerapan diabetes secara global, terutama disebabkan oleh karena peningkatan kemakmuran suatu populasi, maka dengan demikian dapat dimengerti bila dalam kurun waktu 1 atau 2 dekade yang akan datang kekerapan diabetes melitus di Indonesia akan meningkat dengan drastis (Suyono, 2007).
Hal ini harus mendapat perhatian dari berbagai pihak baik dokter, ahli gizi, perawat, pasien itu sendiri dan keluarga karena diabetes merupakan penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup, maka bila diabaikan akan menimbulkan berbagai komplikasi akut seperti ketoasidosis diabetik, hiperosmolar non ketotik, hipoglikemia dan komplikasi kronik seperti penyakit jantung koroner, retinopati diabetik, nefropati diabetik dan neuropati (Suyono, 2006).
Untuk mencegah terjadinya komplikasi tersebut di perlukan pencapaian keterkendalian kadar glukosa (gula) darah yaitu melalui pengaturan menu makanan yang diiringi dengan pengobatan secara medik, olahraga, dan pola hidup sehat (Krisnatuti, 2008). Ditemukan adanya hubungan antara faktor diet dan pola hidup dengan pengendalian diabetes. Gizi khususnya diet (perencanaan makan) diabetes melitus merupakan salah satu pilar utama pengelolaan diabetes melitus (Suyono, Syahbudin, dkk, 2007). Dengan mempertimbangkan jumlah kebutuhan kalori dan keteraturan makan yang dibutuhkan, tujuan pengaturan menu akan tercapai.
Pengelolaan diet diabetes secara holistik dan mandiri selama hidup melalui edukasi berupa penyuluhan dapat meningkatkan kualitas hidup dan mencegah komplikasi akut dan komplikasi kronik yang sering menyebabkan cacat bahkan kematian (Suyono, Syahbudin, dkk, 2007).
Setelah penderita diberikan penyuluhan diharapkan pengetahuan penderita terhadap penyakitnya dan pengelolaannya meningkat, sehingga diasumsikan penderita memiliki motivasi dan menunjukkan perilaku dalam menerapkan terapi diet dalam kehidupannya sehari-hari untuk mengontrol kadar glukosa darahnya agar tercapai keterkendalian kadar glukosa darah.
Berdasarkan hasil uraian diatas mendorong peneliti untuk mengetahui. "HUBUNGAN KARAKTERISTIK DAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG TERAPI DIET PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN KETERKENDALIAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA".

B. Perumusan Masalah

Angka kekerapan diabetes melitus semakin meningkat secara global dari tahun ke tahun, 90% merupakan diabetes melitus tipe 2 (DM tipe 2). Diabetes melitus merupakan penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup, maka bila diabaikan akan menimbulkan berbagai komplikasi akut maupun kronik. Untuk mencegah terjadinya komplikasi tersebut di perlukan pencapaian keterkendalian kadar glukosa (gula) darah, salah satu pilar penatalaksanaan DM yang utama yaitu melalui terapi diet (perencanaan makan). Pengetahuan yang baik terhadap perencanaan makan sangat diperlukan sehingga diharapkan penderita DM memiliki motivasi dan menunjukkan perilaku dalam menerapkan terapi diet dalam kehidupannya sehari-hari untuk mengontrol kadar glukosa darahnya agar tercapai keterkendalian kadar glukosa darah.

C. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka pertanyaan penelitian dalam penelitian ini, adalah "Adakah Hubungan Karakteristik dan Tingkat Pengetahuan Tentang Terapi Diet Pasien Diabetes Melitus tipe 2 dengan Keterkendalian Kadar Glukosa Darah Puasa".

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan karakteristik dan tingkat pengetahuan tentang terapi diet pasien diabetes melitus tipe 2 dengan keterkendalian kadar gula darah puasa.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui karakteristik (umur, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan) pasien diabetes melitus tipe 2.
b. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan pasien diabetes melitus tipe 2 tentang terapi diet diabetes.
c. Untuk mengetahui hubungan karakteristik pasien diabetes melitus tipe 2 dengan keterkendalian kadar glukosa darah puasa.
d. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan kebutuhan kalori terapi diet pasien diabetes melitus tipe 2 dengan keterkendalian kadar gula darah puasa.
e. Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan keteraturan makan terapi diet pasien diabetes melitus tipe 2 dengan keterkendalian kadar gula darah puasa.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara praktis sebagai berikut:
1. Bagi penderita, untuk menambah wawasan dan pengetahuan penderita diabetes melitus tipe 2 mengenai penyakit dan cara pengelolaan terapi diet, sehingga timbul dorongan dari penderita untuk melaksanakan terapi diet.
2. Bagi Institusi pendidikan, penelitian ini diharapkan menjadi penyediaan data dasar yang dapat digunakan untuk penelitian lebih lanjut khususnya mengenai penyakit diabetes melitus.
3. Bagi puskesmas untuk memberikan masukan perencanaan dan pengembangan pelayanan kesehatan pada penderita diabetes melitus tipe 2 dalam peningkatan kualitas pelayanan khususnya edukasi mengenai pengelolaan terapi diet di Puskesmas Kecamatan X.
4. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk belajar melakukan penelitian dan mengaplikasikan ilmu yang sudah di dapat khususnya dalam bidang CRP (Communication Research Program).
SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU TERHADAP PENYAKIT KECACINGAN PADA SISWA SD

SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU TERHADAP PENYAKIT KECACINGAN PADA SISWA SD

(KODE : KEPRAWTN-0077) : SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU TERHADAP PENYAKIT KECACINGAN PADA SISWA SD


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam rangka mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri serta sejahtera lahir batin, pembangunan kesehatan ditujukan untuk mewujudkan manusia yang sehat, produktif dan mempunyai daya saing yang tinggi. Salah satu ciri bangsa yang maju adalah bangsa yang mempunyai derajat kesehatan yang tinggi dengan mutu kehidupan yang tinggi pula. Pada Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PJP II) pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan kualitas sumber daya manusia (Depkes RI, 1998)
Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan, salah satu diantaranya ialah cacing perut yang ditularkan melalui tanah. Cacingan ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktifitas penderitanya sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian, karena menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah, sehingga menurunkan kualitas sumber daya manusia. Prevalensi cacingan di Indonesia pada umumnya masih sangat tinggi, terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu mempunyai resiko tinggi penyakit ini.
Penyakit kecacingan adalah penyakit yang disebabkan oleh karena masuknya parasit (berupa cacing) ke dalam tubuh manusia. Jenis cacing yang sering ditemukan menimbulkan infeksi adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura), dan cacing tambang (Necator americanus) yang ditularkan melalui tanah (Soil Transmitted Helminthiasis) (Srisasi Gandahusada, 2006).
Penyakit cacingan tersebar luas, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Angka infeksi tinggi, tetapi intensitas infeksi (jumlah cacing dalam perut) berbeda. Hasil survei Cacingan di Sekolah dasar di beberapa provinsi menunjukkan prevalensi sekitar 60%-80%, sedangkan untuk semua umur berkisar antara 40%-60%.
Penelitian epidemiologi telah dilakukan hampir di seluruh Indonesia, terutama pada anak-anak sekolah dan umumnya didapatkan angka prevalensi tinggi yang bervariasi. Prevalensi askariasis di propinsi DKI Jakarta adalah 4-91%, Jabar 20-90%, Yogyakarta 12-85%, Jatim 16-74%, Bali 40-95%, NTT 10-75%, Sumut 46-75%, Sumbar 2-71%, Sumsel 51-78%, Sulut 30-72%. Bila menurut golongan umur, askariasis lebih banyak ditemukan pada anak-anak, prevalensi kecacingan anak balita juga lebih rendah dibandingkan golongan umur lain, mungkin disebabkan anak balita relatif lebih sedikit tercemar infeksi.
Ascariasis pada manusia muncul di kedua lingkungan yang sedang dan tropis. Prevalensi rendah terdapat pada iklim yang kering, tetapi tinggi di kondisi yang basah dan hangat yang mana kondisi ini cocok untuk telur dan embrionisasi. Kepadatan, ekonomi lemah, rendah higienitas lingkungan dan suplai air dapat menyebabkan naiknya infeksi cacing ini. Prevalensi Ascaris lumbricoides adalah 16,5%. Paling tertinggi prevalensinya terutama pada golongan anak kecil antara 11-15 tahun sekitar 3,7%. Dan pada grup 15 tahun atau ke bawah bisa mencapai 5,3% . Pada rentang umur 6-10, 11-15 dan 16-20 tahun 3,5%, 5,4% dan 3,5% didapatkan menderita malnutrisi dari ringan sampai sedang.
Anak usia sekolah merupakan golongan masyarakat yang diharapkan dapat tumbuh menjadi sumber daya manusia yang potensial di masa akan datang sehingga perlu diperhatikan dan disiapkan untuk dapat tumbuh sempurna baik fisik dan intelektualnya. Dalam hubungan dengan infeksi kecacingan, beberapa penelitian ternyata menunjukkan bahwa anak usia sekolah merupakan golongan yang sering terkena infeksi kecacingan karena sering berhubungan dengan tanah (Depkes RI, 2004).
Perilaku seseorang dapat tumbuh dipengaruhi oleh pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman, sehingga hal tersebut dapat memunculkan sikap dan tindakan terhadap nilai-nilai yang baik dan salah satunya adalah nilai kesehatan. Kurangnya pengetahuan anak tentang infeksi cacingan merupakan faktor dasar seorang anak berperilaku. Keadaan sanitasi yang belum memadai, keadaan sosial ekonomi yang masih rendah dan kebiasaan manusia mencemari lingkungan dengan tinjanya sendiri, didukung oleh iklim yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan cacing merupakan beberapa faktor penyebab tingginya prevalensi infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah di Indonesia. Selain itu bahwa infeksi cacingan pada manusia dipengaruhi oleh perilaku, lingkungan tempat tinggal dan manipulasi terhadap lingkungan, misalnya tidak tersedianya air bersih dan tempat pembuangan faeces yang tidak memenuhi syarat kesehatan.
Berdasarkan permasalahan diatas maka peneliti tertarik melakukan penelitian tentang HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU TERHADAP PENYAKIT CACINGAN PADA SISWA SEKOLAH DASAR.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka penulis ingin mengetahui beberapa permasalahan, yaitu :
1. Adakah hubungan antara pengetahuan siswa kelas V terhadap penyakit kecacingan?
2. Adakah hubungan antara sikap siswa kelas V terhadap penyakit kecacingan?
3. Adakah hubungan antara perilaku siswa kelas V terhadap penyakit kecacingan?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan pengetahuan, sikap dan perilaku terhadap penyakit kecacingan pada siswa kelas V di SD X.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui hubungan antara pengetahuan siswa kelas V terhadap penyakit kecacingan
b. Mengetahui hubungan antara sikap siswa kelas V terhadap penyakit kecacingan.
c. Mengetahui hubungan antara perilaku siswa kelas V terhadap penyakit kecacingan.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Siswa Sekolah Dasar
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan tambahan kepada siswi sekolah dasar tentang penyakit cacingan dan cara pencegahannya sehingga dapat terhindar dari faktor resiko penyebab penyakit cacingan.
2. Bagi Institusi Sekolah
a. Bagi pihak guru penelitian ini dapat dijadikan sebagai media informasi tentang pentingnya pendidikan kesehatan diajarkan sejak dini pada anak usia sekolah.
b. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi pada pihak sekolah maupun staf pengajar di SD dalam pelaksanaan UKS yang berkaitan dengan perilaku anak yang beresiko untuk terpapar faktor penyebab penyakit terutama penyakit cacingan.
c. Penelitian ini nantinya akan memperkuat bukti bahwa pendidikan kesehatan yang diberikan sejak dini pada anak-anak dapat mencegah terjadinya penyakit terutama penyakit cacingan.
3. Bagi Dinas Kesehatan
a. Sebagai tambahan informasi dan bahan masukan dalam upaya pencegahan masalah kesehatan khususnya penyakit cacingan.
b. Dapat memberikan gambaran tentang masalah kesehatan yang terjadi pada anak usia sekolah khususnya tentang penyakit cacingan, sehingga pemerintah lebih tepat dalam mengambil kebijakan-kebijakan guna mengatasi permasalahan tersebut.
4. Bagi Peneliti
Penelitian ini dapat juga sebagai bahan penelitian selanjutnya, serta merupakan proses yang bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IBU DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN MEMILIH PENOLONG PERSALINAN

SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IBU DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN MEMILIH PENOLONG PERSALINAN

(KODE : KEPRAWTN-0076) : SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IBU DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN MEMILIH PENOLONG PERSALINAN




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mortalitas dan morbiditas pada wanita hamil dan bersalin merupakan masalah yang besar di negara miskin dan berkembang seperti Indonesia. Sebagian besar kematian perempuan disebabkan komplikasi karena hamil, bersalin dan nifas. Namun demikian banyak faktor yang membuat teknologi kesehatan kurang dapat diterapkan ditingkat masyarakat diantaranya ketidaktahuan, kemiskinan, rendahnya status sosial ekonomi perempuan, terbatasnya kesempatan memperoleh informasi dan kelangkaan pelayanan kesehatan yang peka terhadap kebutuhan perempuan juga berperan terhadap situasi ini, sedangkan pengetahuan baru, hambatan membuat keputusan, terbatasnya akses memperoleh pendidikan yang tidak memadai.
Persalinan dan kelahiran merupakan kejadian fisiologi yang normal dalam kehidupan. Kelahiran seorang bayi juga merupakan peristiwa sosial bagi ibu dan keluarga. Dimana peranan ibu adalah melahirkan bayinya, sedangkan peranan keluarga adalah memberikan bantuan dan dukungan pada ibu ketika terjadi proses persalinan. Dalam hal ini peranan petugas kesehatan tidak kalah penting dalam memberikan bantuan dan dukungan pada ibu agar seluruh rangkaian proses persalinan berlangsung dengan aman baik bagi ibu maupun bagi bayi yang dilahirkan (Sumarah, dkk, 2009).
Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk melihat derajat kesehatan perempuan. Angka kematian ibu juga merupakan salah satu target yang telah ditentukan untuk mencapai sasaran Millennium Development Goals (MDGs) yaitu Angka Kematian Ibu (AKI) sebesar 102/100.000 Kelahiran Hidup (KH) dan Angka Kematian Bayi (AKB) menjadi 23/1.000 Kelahiran Hidup (KH) pada 2015. Di negara miskin, sekitar 25-50% kematian wanita usia subur disebabkan oleh masalah yang berkaitan dengan kehamilan, persalinan, dan nifas. WHO memperkirakan diseluruh dunia setiap tahunnya lebih dari 585.000 meninggal saat hamil atau persalinan (Depkes RI, 2010).
Berdasarkan hasil SDKI Tahun 2007 derajat kesehatan ibu dan anak di Indonesia masih perlu ditingkatkan, ditandai oleh Angka Kematian Ibu (AKI) (KH) dan Tahun 2008, 4.692 jiwa ibu melayang di masa kehamilan, persalinan, dan nifas. Kementerian kesehatan telah melakukan berbagai upaya percepatan penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) antara lain mulai Tahun 2010 meluncurkan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) ke Puskesmas di Kabupaten Kota yang di fokuskan pada kegiatan preventif dan promotif dalam program kesehatan ibu dan anak. Kematian ibu disebabkan oleh perdarahan, tekanan darah yang tinggi saat hamil (Eklampsia), infeksi, persalinan macet dan komplikasi keguguran. Sedangkan penyebab langsung kematian bayi adalah Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan kekurangan Oksigen (asfiksia). Penyebab tidak langsung kematian ibu dan bayi baru lahir adalah karena kondisi masyarakat seperti pendidikan, sosial ekonomi, dan budaya. Kondisi geografi serta keadaan sarana pelayanan yang kurang siap ikut memperberat permasalahan ini. (Depkes RI, 2010).
Menteri kesehatan menambahkan salah satu upaya terobosan dan terbukti mampu meningkatkan indikator proksi (persalinan oleh tenaga kesehatan) dalam penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) adalah Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K). Sedangkan data Riskesdas 2010 memperlihatkan bahwa persalinan di fasilitas 55,4% dan masih ada persalinan yang dilakukan di rumah (43,2%). Pada kelompok ibu yang melahirkan di rumah ternyata baru 51,9% persalinan ditolong oleh bidan, sedangkan yang ditolong oleh dukun masih 40,2% (Depkes RI, 2010).
Beberapa hal tersebut mengakibatkan 3 kondisi terlambat yaitu (terlambat mengambil keputusan di tingkat keluarga, terlambat sampai ditempat pelayanan, dan terlambat mendapatkan pertolongan yang adekuat) dan 4 kondisi terlalu muda (dibawah 20 tahun), terlalu tua (diatas 35 tahun), terlalu dekat (jarak melahirkan kurang dari 2 tahun), terlalu banyak (lebih dari 4 kali). Keterlambatan pengambilan keputusan ditingkat keluarga dapat dihindari apabila ibu dan keluarga mengetahui tanda bahaya kehamilan dan persalinan serta tindakan yang perlu dilakukan untuk mengatasinya ditingkat keluarga (Menkes RI, 2011).

Foster dan Anderson (1986) melukiskan tentang masalah klasik yang masih selalu ditemukan dalam kehidupan berbagai kelompok masyarakat, betapa sosial sering mengalahkan pemanfaatan optimal dari sarana kesehatan yang tersedia. Pasangan suami-istri lebih rela untuk memutuskan tidak menggunakan sarana pertolongan persalinan dari puskesmas atau rumah bersalin, atas pertimbangan bahwa konflik dengan kerabat tidak menggunakan jasanya dari pada biaya bersalin di rumah sakit atau puskesmas (Meutia, 1998).
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui dan meneliti tentang "FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IBU DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN MEMILIH PENOLONG PERSALINAN DI DUSUN X".

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian tersebut yaitu apakah Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ibu Dalam Pengambilan Keputusan Memilih Penolong Persalinan di Dusun x.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui "Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Ibu Dalam Pengambilan Keputusan Memilih Penolong Persalinan Di Dusun X".
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi sosial ekonomi ibu tentang memilih penolong persalinan.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi sosial budaya ibu tentang memilih penolong persalinan.
c. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan suami dan keluarga ibu tentang memilih penolong persalinan.
d. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi jarak pelayanan kesehatan ibu tentang memilih penolong persalinan.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi praktik keperawatan
Hasil penelitian di harapkan dapat menjadi masukan untuk peningkatan asuhan keperawatan maternitas, dalam mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam pengambilan keputusan memilih penolong persalinan di Dusun X.
2. Bagi pendidikan keperawatan
Hasil penelitian ini memberikan informasi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam pengambilan keputusan memilih penolong persalinan di Dusun X.
3. Bagi masyarakat
Hasil penelitian ini di harapkan pada masyarakat khususnya pada seorang ibu, dapat digunakan sebagai tambahan informasi, tentang apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam pengambilan keputusan memilih penolong persalinan.
TESIS KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM MEMBANGUN BUDAYA ORGANISASI BERBASIS ISLAM

TESIS KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM MEMBANGUN BUDAYA ORGANISASI BERBASIS ISLAM

(KODE : PASCSARJ-0294) : TESIS KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM MEMBANGUN BUDAYA ORGANISASI BERBASIS ISLAM (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kepemimpinan adalah termasuk dalam kajian konsep kebutuhan manusia. Karena proses kepemimpinan berlangsung di mana saja dan kapan saja dalam hubungan timbal balik antar individu dan kelompok manusia. Overton dalam Syafaruddin dalam bukunya Kepemimpinan Pendidikan menjelaskan : "leadership is the ability to get done with and through others while gaining their confidence and cooperation ". Dipahami dari pendapat ini bahwa kepemimpinan adalah kemampuan untuk memperoleh tindakan dengan dan melalui orang lain dengan kepercayaan dan kerjasama.
Kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang sangat berperan dalam organisasi, baik buruknya organisasi sering kali sebagian besar tergantung pada faktor pemimpin. Berbagai riset juga telah membuktikan bahwa faktor pemimpin memegang peranan penting dalam pengembangan organisasi. Faktor pemimpin yang sangat penting adalah karakter dari orang yang menjadi pemimpin tersebut sebagaimana dikatakan oleh Covey (dalam Muhaimin, dkk) dalam bukunya Manajemen Pendidikan, bahwa 90 persen dari semua kegagalan kepemimpinan adalah kegagalan pada karakter.
Lembaga pendidikan membutuhkan seorang pemimpin. Sebab, pemimpin itulah penggerak dan inspirator dalam merancang dan mengerjakan kegiatan. Pemimpin tidak hanya seorang manajer, ia juga harus pembangun mental, moral, spirit, dan kolektivitas kepada jajaran bawahannya. Seorang pemimpin seyogyanya tidak hanya menggunakan aturan tertulis, tapi juga sikap perilaku, sepak terjang, dan keteladanan dalam melakukan agenda transformasi ke arah yang lebih baik.
Di dalam kepemimpinan ada tiga unsur yang saling berkaitan, yaitu unsur manusia, unsur sarana, dan unsur tujuan. Untuk dapat memperlakukan ketiga unsur tersebut secara seimbang, seorang pemimpin harus memiliki pengetahuan atau kecakapan dan keterampilan yang diperlukan dalam melaksanakan kepemimpinannya. Pengetahuan dan keterampilan ini dapat diperoleh dari pengalaman belajar secara teori ataupun dari pengalamannya di dalam praktek selama jadi pemimpin. Namun, secara tidak disadari seorang pemimpin dalam memperlakukan ketiga unsur tersebut dalam rangka menjalankan kepemimpinannya menurut caranya sendiri. Dan cara-cara yang digunakannya merupakan pencerminan dari sifat-sifat dasar kepribadian seorang pemimpin walaupun pengertian ini tidak mutlak. Cara atau teknik seseorang dalam menjalankan suatu kepemimpinan disebut tipe atau gaya kepemimpinan.
Adapun gaya-gaya kepemimpinan yang pokok, atau dapat juga disebut ekstrim, ada tiga, yaitu (1) Otokrasi. Dalam kepemimpinan yang otokrasi, pemimpin bertindak sebagai diktator terhadap anggota-anggota kelompoknya. Baginya, pemimpin adalah menggerakkan dan memaksa kelompok. Kekuasaan pemimpin yang otokrasi hanya dibatasi oleh undang-undang; (2) Laissez Faire. Tipe ini diartikan sebagai membiarkan orang-orang berbuat sekehendaknya. Pemimpin yang termasuk tipe ini sama sekali tidak memberikan kontrol dan koreksi terhadap pekerjaan anggota-anggotanya; dan (3) Demokratis. Pemimpin yang demokratis menafsirkan kepemimpinannya bukan sebagai diktator, melainkan sebagai pemimpin di tengah-tengah anggota kelompoknya. Pemimpin yang demokratis selalu berusaha menstimulasi anggota-anggotanya agar pekerja secara kooperatif untuk mencapai tujuan bersama. Dalam tindakan atau usaha-usahanya, ia selalu berpangkal pada kepentingan dan kebutuhan kelompoknya, dan mempertimbangkan kesanggupan serta kemampuan kelompoknya.
Adapun karakteristik dari beberapa gaya kepemimpinan tersebut antara lain : 1) Otokrasi memiliki sifat yaitu a) menganggap organisasi yang dipimpinnya sebagai milik pribadi, b) mengidentifikasikan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi, c) menganggap bawahan sebagai alat semata-mata, tidak mau menerima pendapat, saran, dan kritik dari anggotanya, d) terlalu bergantung pada kekuasaan formalnya, e) caranya menggerakkan bawahan dengan pendekatan paksaan dan bersifat mencari kesalahan/menghukum; 2) Laissez Faire memiliki sifat yaitu a) menyerahkan sepenuhnya pada para bawahannya untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya, setelah tujuan diterangkan kepadanya, b) ia hanya akan menerima laporan-laporan hasilnya tidak terlampau turut campur tangan atau tidak terlalu mau ambil inisiatif, c) semua pekerjaan tergantung pada inisiatif dan prakarsa dari para bawahannya; 3) Demokratis memiliki sifat yaitu a) dalam menggerakkan bawahan bertitik tolak dari pendapat bahwa manusia itu makhluk yang termulia di dunia, b) selalu berusaha untuk menyinkronkan kepentingan dan tujuan organisasi dengan kepentingan dan tujuan pribadi bawahan, c) senang menerima saran, pendapat, dan kritik dari bawahan, d) mengutamakan kerja sama dalam mencapai tujuan, e) memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada bawahan, dan membimbingnya.
Tannenbaum dan Schmidt (dalam Boone dan Kurtz) mengatakan bahwa pemilihan gaya kepemimpinan yang tepat tergantung pada faktor : 1) pemimpin yakni sistem nilai dan keyakinan pada bawahan, 2) bawahan yakni harapannya terhadap prilaku kepemimpinan, 3) situasi yakni nilai dan tradisi organisasi. Debutts (dalam Boone dan Kurtz) menambahkan pula faktor tersebut sebagai berikut : 1) orang yang dipimpin dalam hal ini bawahan, 2) pekerjaan itu sendiri menyangkut keterlibatan bawahan dalam melaksanakan pekerjaan tentang kapan, di mana dan bagaimana dikerjakan, 3) dukungan manajemen menyangkut sistem penghargaan yang diberikan untuk manajer, 4) karakteristik pribadi yang menyangkut kesenangan, pengetahuan, dan kebutuhan yang diterima oleh pemimpin.
Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti lakukan, gaya kepemimpinan kepala sekolah di SMAN X dan SMAN Y cenderung lebih menerapkan kepemimpinan demokratis, walaupun tidak sepenuhnya menerapkan gaya kepemimpinan tersebut dan masih didukung dengan gaya kepemimpinan yang lain. Karena sebagai pimpinan di lembaga pendidikan kepala sekolah tidak bisa menerapkan hanya satu gay a kepemimpinan saja, akan tetapi sebaiknya mengkombinasikan beberapa gaya tersebut dalam kepemimpinannya. Karena gaya kepemimpinan yang satu dan lainnya saling mendukung.
Dalam memberdayakan masyarakat dan lingkungan sekitar, kepala sekolah merupakan kunci keberhasilan yang harus menaruh perhatian tentang apa yang terjadi pada peserta didik di sekolah dan apa yang dipikirkan orang tua dan masyarakat tentang sekolah. Kepala sekolah dituntut untuk senantiasa berusaha membina dan mengembangkan hubungan kerjasama yang baik antara sekolah dan masyarakat guna mewujudkan sekolah yang efektif dan efisien. Pelaksanaan manajemen berbasis sekolah memerlukan sosok kepala sekolah yang memiliki kemampuan manajerial dan integritas yang tinggi, serta demokratis dalam pengambilan keputusan-keputusan mendasar. Kepala sekolah adalah "The Key Person" keberhasilan pelaksanaan otonomi sekolah. Kepala sekolah adalah orang yang di beri tanggung jawab untuk mengelola dan memberdayakan berbagai sumber yang tersedia dan dapat menggali lagi untuk mewujudkan visi, misi, dan tujuan sekolah. Oleh karena itu dalam implementasi manajemen berbasis sekolah, kepala sekolah dituntut memiliki visi dan wawasan yang luas tentang sekolah yang efektif serta kemampuan profesional yang memadai dalam bidang perencanaan, kepemimpinan, manajerial dan supervisi pendidikan. Ia juga harus memiliki kemampuan untuk membangun kerjasama yang harmonis dengan berbagai pihak yang terkait dengan program pendidikan di sekolah. Dalam implementasi manajemen berbasis sekolah, kepala sekolah harus mampu berperan sebagai educator, manager, administrator, supervisor, leader, innovator, dan motivator pendidikan. Dalam melaksanakan fungsinya kepala sekolah dituntut untuk melakukan (action) perubahan-perubahan dan pengembangan dalam pendidikan di sekolah yang dipimpinnya yang dapat berupa ide, program, layanan, proses atau teknologi yang diimplementasikan dalam sistem pendidikan.
Begitu besarnya peranan sekolah dalam proses pencapaian tujuan pendidikan, sehingga dapat dikatakan bahwa sukses tidaknya inovasi pendidikan dan kegiatan sekolah sebagian besar ditentukan oleh kualitas kepemimpinan yang dimiliki oleh kepala sekolah. Namun, perlu dicatat bahwa keberhasilan seorang pemimpin dalam melaksanakan tugasnya, tidak ditentukan oleh tingkat keahliannya dibidang konsep dan teknik kepemimpinan semata, melainkan lebih banyak ditentukan oleh kemampuannya dalam memilih dan menggunakan teknik atau gaya kepemimpinan yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang dipimpin.
Wahjosumidjo mengemukakan bahwa penampilan kepemimpinan kepala sekolah adalah prestasi atau sumbangan yang diberikan oleh kepemimpinan seorang kepala sekolah baik secara kualitatif maupun kuantitatif yang terukur dalam rangka membantu tercapainya tujuan sekolah. Penampilan kepemimpinan kepala sekolah ditentukan oleh faktor kewibawaan, sifat dan keterampilan, prilaku maupun fleksibilitas pemimpin. Agar fungsi kepemimpinan kepala sekolah berhasil memberdayakan segala sumber daya sekolah untuk mencapai tujuan sesuai dengan situasi, diperlukan seorang kepala sekolah yang memiliki kemampuan profesional yaitu : kepribadian, keahlian dasar, pengalaman, pelatihan dan pengetahuan.
Kepala sekolah profesional tidak saja dituntut untuk melaksanakan berbagai tugasnya di sekolah, tetapi ia juga harus mampu menjalin hubungan/kerja sama dengan masyarakat dalam rangka membina pribadi peserta didik secara optimal. Kerja sama ini penting karena banyak persoalan yang tidak dapat diselesaikan sekolah secara sepihak, atau sering terjadi kesalahpahaman, perbedaan persepsi antara pihak sekolah dengan masyarakat. Dalam hal ini kepala sekolah harus mampu mencari jalan keluar untuk mencairkan hubungan sekolah dengan masyarakat yang selama ini terjadi, agar masyarakat khususnya orang tua peserta didik bisa mengerti, memahami dan maklum dengan ide-ide serta visi yang sedang berkembang di sekolah.
Menurut Robbins (dalam R.A. Sri Isminingsih) untuk menduduki posisi kepala sekolah tentunya menuntut dipenuhinya persyaratan, baik unjuk kerja, administratif, akademik maupun kepribadian. Terpenuhinya, persyaratan mengandung arti, bahwa kepala sekolah telah memiliki kelebihan sehingga mampu berperan sebagai pemimpin sekolah. Kemampuan yang dimiliki telah terseleksi baik seleksi diri, karier dan seleksi organisasi. Sedangkan Wiles dan Bondi (dalam R.A. Sri Isminingsih) mengatakan bahwa seseorang terseleksi untuk menjadi kepala sekolah antara lain mengacu pada tanggung jawab kualifikasi dan pengalaman.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 Tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah, seorang kepala sekolah sebagai pimpinan dari lembaga pendidikan harus memiliki lima kompetensi antara lain : kompetensi kepribadian, kompetensi manajerial, kompetensi kewirausahaan, kompetensi supervisi, dan kompetensi sosial.
Pentingnya kedudukan budaya dalam sebuah organisasi yang di dalamnya terdapat pemaknaan bersama antar anggota, sebagaimana diungkapkan oleh Robbins, pada dasarnya merupakan fenomena yang relatif baru. Hal ini dikarenakan selama ini organisasi hanya dilihat sebagai alat yang paling rasional untuk mengendalikan dan mengatur sekelompok orang. Owens mengatakan bahwa, bahkan secara ekstrim organisasi dipandang sebagai mesin yang menekankan pada otoritas formal dan legitimasi perintah. Simon dan Barnard dengan asumsi dasar mengatakan bahwa, manusia sebagai economic man dengan fokus utamanya adalah tercapainya kekuasaan (wealth power). Namun akhir-akhir ini, pandangan tersebut telah mengalami perubahan, di mana dalam sebuah organisasi ternyata terdapat pemaknaan bersama seluruh anggotanya yang di dalamnya ada nilai, norma, keyakinan, dan tradisi yang membentuk satu kesatuan sistem dalam organisasi sehingga itu menjadi kekuatan yang walaupun tidak terlihat tetapi memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pikiran, perasaan dan tindakan anggota organisasi.
Pentingnya kedudukan budaya ini juga mulai menarik perhatian kalangan pendidikan. Peterson mengatakan bahwa budaya ternyata memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap motivasi anggota organisasi dan motivasi itu sendiri sangat berpengaruh terhadap produktivitas dan keberhasilan sebuah organisasi. Begitu pentingnya kedudukan budaya ini dalam sebuah institusi pendidikan sampai-sampai membuat Edward Redalen membuat pernyataan bahwa, jika seorang pimpinan atau kepala sekolah ingin melakukan perubahan maka starting pointnya adalah melalui budaya. Jika tidak, sebaik apapun upaya perubahan yang dilakukan itu tidak akan pernah membawa hasil yang maksimal.
Pendidikan sebagai investasi dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM) melakukan upaya dilakukan dalam konteks organisasi, apakah keluarga, masyarakat, sekolah, atau jenis organisasi lainnya. Penyelenggaraan pendidikan dalam sebuah organisasi menunjukkan bahwa keberadaan organisasi pendidikan tersebut ditujukan untuk mencapai tujuan pendidikan secara lebih efektif dan efisien. Tujuan pendidikan dan tujuan sekolah sebagai organisasi pendidikan formal tidaklah terpisah.
Dalam setiap organisasi terdapat pola mengenai kepercayaan, ritual, mitos serta praktik-praktik yang berkembang sejak beberapa lama. Ke semua itu pada gilirannya, menciptakan pemahaman yang sama di antara para anggota mengenai bagaimana sebenarnya organisasi itu dan bagaimana anggotanya berperilaku.
Konteks eksternal organisasi yang sangat cepat berubah merupakan sebuah tantangan utama dari organisasi untuk dapat hidup terus. Sebagaimana makhluk hidup, organisasi juga harus pandai menyesuaikan diri dengan lingkungannya jika menginginkan untuk hidup dalam usia yang lebih panjang. Ketidakmampuan organisasi menyesuaikan diri dengan lingkungannya akan dapat menyebabkan organisasi tersebut mengalami masalah serius bahkan dapat mengakibatkan kematian (kebangkrutan).
Organisasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Setiap manusia hidup dalam sebuah organisasi. Gibson, Ivancevich, dan Donnelly (dalam Daman Hermawan dan Cepi Triatna) mendefinisikan organisasi sebagai "wadah yang memungkinkan masyarakat dapat meraih hasil yang sebelumnya tidak dapat dicapai oleh individu secara sendiri-sendiri". Lebih jauh ketiganya menyebutkan bahwa organisasi adalah suatu unit terkoordinasi terdiri setidaknya dua orang berfungsi mencapai satu sasaran tertentu atau serangkaian sasaran. Definisi ini menekankan pada upaya peningkatan pencapaian tujuan bersama secara lebih efektif dan efisien melalui koordinasi antar unit organisasi.
Setiap individu yang memasuki organisasi melakukan proses interaksi (adaptasi) dengan kebiasaan pada masing-masing individu dan dengan budaya organisasi. Proses ini merupakan aktifitas sumber kehidupan dalam struktur organisasi. Proses yang umum meliputi komunikasi, pengambilan keputusan, sosialisasi dan pengembangan basis. Budaya organisasi dapat menjadi positif atau negatif. Budaya organisasi yang positif akan membantu meningkatkan produktifitas, budaya yang negatif akan menghambat efektifitas kelompok dan desain organisasi yang lebih baik.
Budaya organisasi berbasis Islam dalam hal ini nilai-nilai Islami di sekolah. Pengembangan nilai Islami adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga mengimani, bertaqwa, dan berakhlaq mulia dalam mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci al-Qur'an dan hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman. Nilai adalah patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya diantara cara-cara tindakan alternatif.
Nilai-nilai budaya Islami yang dijadikan pilar dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di sekolah antara lain : 1) Nilai akhlakul karimah. Etika atau akhlakul karimah adalah tata aturan untuk bisa hidup bersama dengan orang lain; 2) Nilai kejujuran. Yaitu jujur kepada dirinya sendiri, jujur kepada Tuhan, jujur kepada orang lain; 3) Nilai kasih sayang; 4) Nilai menghormati hukum dan peraturan; 5) Nilai tepat waktu/kedisiplinan; 6) Nilai bekerja sama; 7) Nilai jihad. Adapun karakteristik bentuk pembangunan budaya organisasi Islam yang dilakukan oleh kepala sekolah adalah sebagai berikut : 1) keadilan; 2) senyum, salam, sapa; 3) berjabat tangan; 4) doa bersama; 5) shalat dzuhur dan Jum'at berjamaah; 6) pendistribusian zakat fitrah; 7) pondok Ramadhan, untuk mewujudkan budaya tersebut melalui pembiasaan, keteladanan dan internalisasi.
Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti lakukan, sesuai dengan pendapat yang diungkapkan oleh Aan Komariah dan Cepi Triatna bahwa organisasi selalu unik dan selalu tampil khas, masing-masing memiliki budayanya sendiri-sendiri, hal ini dipengaruhi oleh visi dan misi serta tujuan. Walaupun organisasi itu sejenis, namun budayanya akan berbeda. Adapun budaya organisasi yang terdapat di SMAN X adalah budaya organisasi berbasis Islam yang tercantum dalam daftar kegiatan ekstrakurikuler yaitu Kerohanian Islam (Rohis), dan di SMAN Y adalah budaya organisasi berbasis Islam yang tercantum dalam visi dan misi sekolah.
Adapun alasan mengapa penulis mengambil judul "KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM MEMBANGUN BUDAYA ORGANISASI BERBASIS ISLAM (STUDI MULTI SITUS DI SMAN X DAN SMAN Y)" karena peneliti ingin mengetahui bagaimana kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam, budaya yang sudah menjadi karakteristik atau identitas suatu organisasi/lembaga pendidikan tersebut serta apa latar belakang kepala sekolah membangun budaya organisasi berbasis Islam, serta dampak yang dihasilkan dari kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di kedua SMAN tersebut, merupakan rumusan masalah penelitian.
Sedangkan tempat yang menjadi sasaran peneliti untuk mengadakan penelitian adalah SMAN X dan SMAN Y. Peneliti memilih tempat tersebut karena seperti yang peneliti pernah ketahui bahwa di sekolah tersebut memiliki budaya yang khas yang mungkin belum pernah dimiliki oleh sekolah-sekolah umum yang lain yaitu kepemimpinan kepala sekolah yang didasari oleh nilai-nilai Islami dalam kepemimpinannya, serta adanya budaya organisasi berbasis Islam. 

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini lebih ditujukan untuk menjawab bagaimana kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di SMAN X dan SMAN Y tersebut. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam maka peneliti akan memfokuskan penelitian ini pada : 
1. Bagaimana kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di SMAN X dan SMAN Y ?
2. Faktor apa yang melatarbelakangi kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di SMAN X dan SMAN Y ?
3. Dampak apa saja yang dihasilkan dari kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di SMAN X dan SMAN Y ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini pada dasarnya bertujuan untuk memahami, mendeskripsikan, dan menganalisa tentang : 
1. Mendeskripsikan dan menganalisa tentang kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di SMAN X dan SMAN Y.
2. Mendeskripsikan dan menganalisa tentang faktor apa yang melatarbelakangi kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di SMAN X dan SMAN Y.
3. Mendeskripsikan dan menganalisa tentang dampak apa saja yang dihasilkan dari kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di SMAN X dan SMAN Y.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi baik secara teoritis maupun praktis bagi pengembangan lembaga pendidikan di Indonesia. Adapun manfaat dan kegunaan dari penelitian ini yaitu : 
1. Manfaat teoritis ilmu Manajemen Pendidikan Islam yaitu : dihasilkan kesimpulan-kesimpulan substantif yang berkaitan dengan gaya kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di SMAN X dan SMAN Y sebagai wujud pengembangan teori-teori gaya kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi sebelumnya. Memberikan sumbangan pemikiran terkait "Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Membangun Budaya Organisasi berbasis Islam (Studi Multi Situs di SMAN X dan SMAN Y)" sehingga terbuka peluang dilakukannya penelitian yang lebih besar dan luas dari segi biaya maupun jangkauan lokasi yang relevan. 
2. Manfaat praktis : dapat memberikan pengetahuan tentang proses dibangunnya budaya organisasi berbasis Islam serta faktor pendukung dan kendala yang dihadapi sekolah dalam pembangunan budaya organisasi tersebut sehingga dapat dijadikan dasar kebijakan untuk pengembangan sekolah ditinjau dari segi fungsi-fungsi manajemen. Dapat digunakan sebagai sumber informasi tentang kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di SMAN X dan SMAN Y. Tidak menutup kemungkinan gaya kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam yang dikembangkan di SMAN X dan SMAN Y bisa diterapkan oleh lembaga pendidikan lain secara lebih luas.

TESIS MANAJEMEN PENGEMBANGAN PROGRAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMPN

TESIS MANAJEMEN PENGEMBANGAN PROGRAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMPN

(KODE : PASCSARJ-0293) : TESIS MANAJEMEN PENGEMBANGAN PROGRAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMPN (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Suatu kenyataan yang dihadapi dunia pendidikan khususnya Pendidikan Agama Islam di lembaga pendidikan formal saat ini, adalah rendahnya kualitas pembelajaran yang dilakukan oleh guru dan siswa di dalam kelas. Permasalahannya adalah proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam kurang berhasil dalam pembentukan perilaku positif siswa. Lemahnya aspek metodologi yang dikuasai oleh guru juga merupakan penyebab rendahnya kualitas pembelajaran. Metode yang banyak dipakai adalah model konvensional yang kurang menarik.
Apabila kualitas pembelajaran tidak dapat ditingkatkan, tidak menutup kemungkinan tujuan Pendidikan Agama Islam pun tidak akan sesuai dengan yang diharapkan. Secara umum tujuan Pendidikan Agama Islam adalah membentuk pribadi taqwa. Di samping itu ada juga yang merumuskan bahwa tujuan Pendidikan Agama Islam adalah membentuk peserta didik yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, memiliki pengetahuan yang luas tentang Islam dan berakhlakul karimah.
Permasalahan nyata yang tampak dan diakui pula oleh para ahli pendidikan dewasa ini adalah pendidikan agama yang diajarkan di sekolah umum ternyata kurang berhasil untuk mengembangkan pribadi-pribadi yang taat dan berakhlak mulia. Bukti-bukti yang diajukan untuk memperkuat pernyataan tersebut antara lain kenyataan adanya siswa yang tidak mampu membaca Al-Qur'an dengan baik meski sudah duduk di bangku SMP, belum dapat melaksanakan shalat dengan baik, tidak puasa di bulan Ramadhan, tidak menunjukkan perilaku yang terpuji, banyaknya perilaku asusila dan penggunaan obat terlarang dan minum minuman keras di kalangan pelajar. Kesimpulannya, pendidikan agama belum mampu untuk menumbuhkan sikap positif dalam diri anak yang berguna bagi kemaslahatan masyarakat.
Untuk mencapai tujuan pendidikan, dalam Proses Belajar Mengajar, paling tidak ada dua aspek yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu : didaktik dan metodik. Didaktik adalah ilmu menanamkan pengetahuan kepada murid dengan cara yang cepat dan tepat, sehingga anak dapat dengan mudah menangkapnya. Atau dengan istilah lain ilmu yang memberi uraian tentang kegiatan proses mengajar yang menimbulkan proses belajar. Sedangkan metodik adalah bagian dari didaktik yang membicarakan tentang pelaksanaan cara mengajar, atau cara guru menyajikan bahan pelajaran kepada murid.
Kenyataan di lapangan bahwa guru-guru agama (Islam), jarang yang mau mencermati efektivitas penggunaan metode mengajar, perhatiannya lebih terfokus pada buku pegangan (teks book) yang dipergunakan. Disamping itu, dalam mengajar kebanyakan guru agama, lebih dominan menggunakan metode ceramah, belum mampu mengembangkan program-program pembelajaran yang efektif dan aplikatif. Guru Agama belum banyak menggunakan manajemen pembelajaran yang profesional, masih banyak menggunakan paradigma lama yaitu pendidikan sebagai transfer ilmu saja belum pada pencapaian tiga ranah (kognitif, afektif, dan psikomotorik).
Dalam Islam, penggunaan metodologi yang tepat dalam rangka mempermudah proses belajar-mengajar adalah suatu yang niscaya sehingga keberadaannya sangat dinanti baik dari kalangan siswa maupun dari pemerhati dan pengguna lulusan keguruan. Ismail mengatakan bahwa metode sebagai seni dalam mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswa dianggap lebih signifikan dibanding dari materi itu sendiri. Sebuah adagium mengatakan bahwa "At-Thariqat Ahamm min al-Maddah" (metode jauh lebih penting dibanding materi). Ini adalah sebuah realita bahwa cara penyampaian yang komunikatif lebih disenangi oleh siswa, walaupun sebenarnya materi yang disampaikan sesungguhnya tidak terlalu menarik. Sebaliknya materi yang cukup menarik, karena disampaikan dengan cara yang kurang menarik maka materi itu kurang dapat dicerna oleh siswa.
Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam telah memerintahkan untuk memilih metode yang tepat dalam proses pembelajaran, seperti yang terdapat dalam surah an-Nahl : 125.
"Serulah (manusia) kepada Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk". Dalam Surat Ali Imran 159 Allah SWT menjelaskan : 
"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka dan bermusyawarah lah dengan mereka dalam urusan ini . Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa kepada-Nya".
Selama ini, metodologi pembelajaran agama Islam yang diterapkan masih mempertahankan cara-cara lama (tradisional) seperti ceramah, menghafal dan demonstrasi praktik-praktik ibadah yang tampak kering. Seperti halnya pada materi ilmu tajwid dari masa ke masa selalu menggunakan cara-cara lama dengan ceramah dan membaca al-Qur'an sehingga cara-cara seperti itu diakui atau tidak, membuat siswa tampak bosan, jenuh dan kurang bersemangat dalam belajar agama.
Oleh karenanya secara umum seluruh praktisi pendidikan, khususnya pendidikan agama Islam perlu melakukan inovasi, kreatifitas sehingga tujuan pendidikan Islam dapat tercapai. Strategi PAIKEM merupakan pendekatan dalam proses belajar mengajar yang bila diterapkan secara tepat berpeluang dalam meningkatkan tiga hal, pertama, maksimalisasi pengaruh fisik terhadap jiwa, kedua, maksimalisasi pengaruh jiwa terhadap proses psiko fisik dan psikososial, dan ketiga, bimbingan ke arah pengalaman kehidupan spiritual.
Hal ini memang merupakan masalah pendidikan secara umum, namun dilihat dari aspek psikologis bahwa dalam praktek pembelajaran Agama kurang dapat memobilisasikan seluruh potensi yang ada pada diri siswa : berfikir, sikap dan keterampilan anak didik. Dengan kata lain bila pengajaran agama (Islam) menggunakan metode ceramah, berarti hanya menyentuh aspek kognitif saja (menghafal dan mengetahui). Padahal inti Pendidikan Agama Islam adalah keimanan yang lebih berdimensi afektif dengan sasaran utama hati nurani (conscience) yang harus diterapkan (psikomotor) dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu pengajaran Pendidikan Agama Islam hendaknya bersifat integralistik yang menyentuh semua ranah.
Untuk itulah dibutuhkan suatu program pengembangan pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang didalamnya diarahkan bukan hanya sekedar menyuruh siswa untuk menghafal nilai-nilai normatif, disampaikan lewat ceramah dan diakhiri dengan ulangan, tetapi program pengembangan Pendidikan Agama Islam yang mengarahkan siswa tidak hanya memahami berbagai konsep, tetapi mereka mampu menguasai ketrampilan berpikir, karena memang seharusnya learning itu berisi thinking dan juga values. Disamping itu seorang guru agama harus pandai membuat perencanaan yang mengarah pada pengembangan ke arah yang lebih baik.
Atas dasar itulah dipilih program-program pengembangan yang tepat dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam dengan maksud sebagai suatu upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Dalam upaya pencapaian tujuan Pendidikan Agama Islam secara sempurna dan diharapkan dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari maka dipandang perlu untuk mengkaji sebuah program pembelajaran Pendidikan Agama Islam selanjutnya disingkat PAI. Dalam hal ini, penulis akan mengadakan penelitian mengenai Manajemen Pengembangan program pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMPN X.
Salah satu masalah pendidikan agama Islam yang dihadapi di SMPN X adalah lemahnya manajemen (pengelolaan) program-program pembelajaran mulai dari proses perencanaan program pembelajaran, pelaksanaan program pembelajaran baik di kelas atau di luar kelas (Intra maupun ekstrakurikuler), dan proses pengendalian program pembelajaran, baik lewat penilaian program yang dikembangkan maupun proses pengawasan dari pihak-pihak terkait dengan penilaian Pendidikan Agama Islam (PAI).
Dalam proses pelaksanaan program pembelajaran PAI di kelas, anak kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Proses pelaksanaan program pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang dilakukan di SMPN X hanya diarahkan pada kemampuan anak untuk meniru program yang selama ini diterapkan tanpa meneliti sejauhmana program pembelajaran itu benar-benar dapat dijalankan. Seringkali anak-anak hanya disuruh untuk menghafal informasi; otak anak dipaksa untuk mengingat dan menimbun berbagai informasi tanpa dituntut untuk memahami informasi yang diingatnya itu untuk menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari. Akibatnya ? Ketika anak didik lulus dari sekolah tersebut, mereka pintar secara teoritis, tetapi mereka miskin aplikasi.
Kegagalan institusi pendidikan dalam menjalankan fungsi pendidikannya itu lebih terlihat ketika sekolah gagal melakukan penanaman atau internalisasi nilai kepada para peserta didik. Kegagalan ini dipandang sebagai kekurangberdayaan pendidikan agama yang diterapkan. Ketidakberdayaan itu dirasakan pada aspek pengembangan internalisasi nilai moral agama ke dalam diri peserta didik. 
Oleh karena itu tidak berlebihan jika Roem Topatimasang, seorang aktivis LSM pendidikan, menganggap sekolah sudah mati. Sebab sekolah dipandang tidak sanggup lagi menggarap tiga wilayah kepribadian manusia (taksonomi pendidikan) yang merupakan fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan : membentuk watak dan sikap (affective domain) mengembangkan pengetahuan (cognitive domain) serta melatih ketrampilan (psikomotorik atau cognitive domain). Sudarsono, mengatakan bahwa banyak indikasi yang membuktikan bahwa anak-anak remaja yang memasuki sekolah hanya sebagian saja yang benar-benar berwatak soleh, sedangkan sebagian yang lain adalah pemabuk, peminum, pengisap ganja dan pecandu narkotik.
Fenomena yang memprihatinkan itu, menuntut kita untuk lebih berbuat dalam menyediakan alternatif dan menyediakan persiapan-persiapan lembaga pendidikan yang matang dengan berbagai metodologi yang cocok serta sarana pendukung lainnya yang dirasa lebih pas dalam mengantisipasi kehidupan masyarakat umumnya dan pelajar khususnya yang serba dilematis.
Sekolah sebagai institusi yang mengemban misi publik, seharusnya dapat mempertanggungjawabkan pembentukan moralitas siswa. Ketika kondisi moralitas masyarakat makin tidak terbentuk, sekolah-sekolah harus melakukan prakarsa reformatif untuk membenahi moral bangsa ini. Misalnya dengan memperbaiki pola manajerial pembelajaran yang efektif dan efisien dengan lebih menyentuh pada totalitas aspek kesadaran IQ, EQ dan SQ serta RQ (kecerdasan religius), termasuk didalamnya merevisi secara holistik metode pendidikan agama yang selama ini cenderung mengindoktrinasi ajaran agama dari pada membuat siswa memahami dan menghayati makna ajaran tersebut.
Oleh karenanya institusi pendidikan dengan wajah apapun (madrasah, sekolah umum atau pesantren) secara bersama harus dapat mengembangkan human dignity (harkat dan martabat manusia) atau humanizing human (yaitu memanusiakan manusia) sehingga benar-benar mampu menjadi khalifah di muka bumi. Juga yang tak kalah pentingnya adalah pengelolaan secara manajerial terhadap beberapa program pengembangan pembelajaran pendidikan sehingga antara mengedepankan fungsi-fungsi pembelajaran dengan meningkatkan mutu pembelajaran akan dapat tercapai bersama-sama.
SMPN X, sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai tugas setara dengan sekolah lain yaitu mempelopori penyempurnaan proses dan tujuan pembelajaran melalui perbaikan pengembangan program-program pembelajaran khususnya pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) dengan cara pengintegrasian dan internalisasi nilai-nilai pendidikan di dalam hidup dan kehidupan para pelajar, yang pada gilirannya merupakan bekal yang berharga baginya untuk membangun diri sendiri dan bangsa sesuai dengan yang kita harapkan bersama sebagaimana yang tercantum dalam salah satu visinya yakni Unggul dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta Seni (IPTEKS) yang berlandaskan Iman dan Taqwa (IMTAQ) dan Berbudi pekerti yang luhur.
Untuk mencapai tujuan tersebut, SMPN X banyak melakukan berbagai terobosan program sekolah diantaranya : Pertama, penyiasatan kurikulum pendidikan yang dipercaya akan mampu menjawab tantangan kebutuhan di masa depan yang disusun oleh sekolah bersama dengan seluruh stakeholder yang ada. Kedua, penyelenggaraan program pembelajaran yang lebih diorientasikan pada pengembangan nilai-nilai yang benar-benar dapat terinternalisasi dalam kepribadian dan kehidupan siswa sehingga berkemampuan nyata untuk mengidentifikasi masalah serta mencari solusi untuk pemecahan masalah-masalah kemasyarakatan dalam lingkungannya, tanpa mengabaikan penyiapan kemampuan akademik untuk berhasil menapaki jenjang pendidikan tinggi. Begitupun dengan sistem seleksi calon siswa, penambahan wawasan profesionalisme tenaga edukasi dan program-program unggulan lainnya. Sehingga dengan program ini, menjadikan sekolah ini meraih image dalam masyarakat sebagai salah satu sekolah favorit yang mengembangkan disamping seni juga nilai-nilai agama di Kota X.
Dipilihnya SMPN X sebagai setting penelitian karena peneliti menganggap masih belum maksimalnya kegiatan-kegiatan keagamaan termasuk program pembelajaran PAI yang dikembangkan Baik intra maupun ekstrakurikuler, sementara sekolah tersebut termasuk sekolah SSN yang sudah memasuki tahap II bahkan sudah membuka kelas bilingual sebagai persyaratan menuju Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Disamping itu sekolah ini telah mengembangkan program unggulannya di bidang Seni yang mana prestasinya sudah mencapai tingkat nasional, karena itu untuk mengimbanginya, perlu ditingkatkan dan dikembangkan program-program keagamaan dalam membekali siswa-siswinya dalam even-even di luar pantauan orang tua dan guru-gurunya di sekolah.
Yang lebih penting dari alasan di atas, adalah karena sekolah ini mencapai prestasi akademik dan non akademik yang luar biasa. Dalam lomba Penelitian Ilmiah Remaja/PIR masuk nominasi finalis Tingkat Nasional, dalam perolehan rata-rata nilai ujian nasional (NUN) masuk 6 besar tingkat Kota, juara olimpiade Biologi tingkat kota dan masuk nominasi finalis tingkat nasional. Dalam kelulusan Ujian Nasional sejak tiga tahun terakhir ini 100 % meluluskan siswanya. Sedangkan prestasi non akademis yang diraih dari kegiatan ekstrakurikuler terutama Seni jauh melampaui sekolah-sekolah lain, karena itu SMPN X adalah satu-satunya di Kota X yang dipercaya Depdiknas untuk bergabung dalam Paguyuban Peminat Seni Tradisi (PPST) dan dipercaya menjadi pilot project sekolah Seni di Kota X.
Di samping itu pula, dipilihnya lokasi ini sebagai tempat penelitian karena peneliti ingin mengetahui sejauhmana program-program pembelajaran yang dilaksanakan hingga mampu menjadi sekolah unggulan di Kota X termasuk ingin mengetahui program-program pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang diterapkan. Karena menurut observasi peneliti terdapat 19 ekstrakurikuler yang dikembangkan termasuk ekstrakurikuler Pendidikan Agama Islam dan Budaya religius yang kondusif. Hal inilah yang menjadi alasan tersendiri bagi peneliti untuk menjadikan lembaga tersebut sebagai lokasi penelitian.
Sebagai sekolah yang telah mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, SMPN X diharapkan bisa dijadikan figur sentral atau lembaga yang representatif untuk mewakili standar percontohan kualitas pendidikan seluruh SMP baik negeri maupun swasta di Kota X, dan bahkan mungkin bisa diadopsi dan dicontoh oleh SMP di daerah lain, baik dari segi manajerial pengelolaan kelembagaan ataupun dari segi pembelajaran, sehingga bisa menghasilkan output yang berkualitas sekaligus unggul, termasuk pola pembelajaran pendidikan Agama Islam di sekolah tersebut.
Kegiatan pengembangan program pembelajaran pendidikan agama Islam merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam pendidikan di SMPN X, tentunya juga memiliki karakteristik manajemen yang bernilai lebih dibanding sekolah lain. Akan tetapi SMPN X juga tidak lepas dari tantangan dan ancaman besar yang tidak jarang dihadapi oleh sekolah umum lainnya seperti kasus tawuran, narkoba, pacaran, pergaulan bebas dan perilaku negatif lainnya, apalagi jika pelakunya didominasi oleh siswa muslim. Sehingga itu, dituntut peran pendidikan agama untuk tampil di garda depan menjadi tameng atau "dokter" dalam mengatasi semua problematika tersebut.
Problematika pendidikan yang sangat kompleks tersebut menjadi beban dan tanggung jawab pendidikan agama secara khusus dengan mengupayakan berbagai cara dengan segala keterbatasan dalam pendidikan agama Islam itu sendiri mulai dari segi kurikulum, metodologi pembelajaran, fasilitas sarana belajar sampai pada alokasi waktu proses belajar mengajar yang sedikit (2 jam pelajaran). Namun, sebagai sekolah yang menyandang SSN menuju RSBN, SMPN X tentunya mempunyai strategi atau model manajemen untuk mengembangkan program-program pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang jitu sehingga dapat memposisikan diri sebagai satu kesatuan lembaga unggulan diantara sekolah-sekolah lainnya. 

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan konteks penelitian di atas, maka peneliti memfokuskan penelitian ini pada "manajemen pengembangan program pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMPN X". Fokus penelitian ini selanjutnya dijabarkan dalam beberapa sub fokus sebagai berikut : 
1. Bagaimana proses perencanaan pengembangan program pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMPN X ?
2. Bagaimana proses pelaksanaan pengembangan program pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMPN X ?
3. Bagaimana proses pengendalian pengembangan program pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMPN X ?

C. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk : 
1. Mendeskripsikan proses perencanaan pengembangan program pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMPN X.
2. Mendeskripsikan proses pelaksanaan pengembangan program pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMPN X.
3. Mendeskripsikan proses pengendalian pengembangan program pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMPN X.

D. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan yaitu : Pertama, sebagai bahan percontohan untuk sekolah lainnya di Kota X dan atau sekolah-sekolah di daerah lain terkhusus di lokasi peneliti yaitu SMPN X, tentang bagaimana proses manajemen pengembangan program pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI).
Kedua, memberikan informasi kepada instansi terkait yang dalam hal ini adalah Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama, serta Institusi SMPN X sendiri agar lebih mengembangkan dan mempertahankan program-program unggulan dan sesegera mungkin dapat mengadakan pembenahan jika terdapat kekurangan atau kelemahan yang terjadi dalam kaitannya dengan Proses pengembangan Program Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI).
Ketiga, hasil penelitian ini bisa digunakan bagi peneliti lain untuk mengkaji secara mendalam konsep-konsep teoretik manajemen dalam pengembangan program pembelajaran pendidikan Agama Islam (PAI) yang berkualitas dan lebih luas.

TESIS PENGARUH SUPERVISI AKADEMIK KEPALA SEKOLAH DAN MOTIVASI KERJA GURU TERHADAP KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU SD

TESIS PENGARUH SUPERVISI AKADEMIK KEPALA SEKOLAH DAN MOTIVASI KERJA GURU TERHADAP KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU SD

(KODE : PASCSARJ-0292) : TESIS PENGARUH SUPERVISI AKADEMIK KEPALA SEKOLAH DAN MOTIVASI KERJA GURU TERHADAP KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU SD (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mutu pendidikan bukan ditentukan oleh megahnya bangunan sekolah, akan tetapi oleh bagaimana pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan guru di depan kelas, apakah guru sudah melaksanakan pembelajaran yang bermutu atau belum. Kegiatan pembelajaran yang bermutu sangat dipengaruhi oleh guru dalam penguasaan kompetensi pedagogik. Kompetensi pedagogik yang harus dikuasai guru meliputi (1) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (2) pemahaman terhadap peserta didik; (3) pengembangan kurikulum atau silabus; (4) perancangan pembelajaran; (5) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (6) pemanfaatan teknologi pembelajaran; (7) evaluasi hasil belajar; dan (8) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Kompetensi lain yang juga harus dikuasai guru adalah kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional sebagaimana tersebut dalam pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Keempat kompetensi tersebut diperoleh melalui pendidikan profesi.
Pembinaan secara terus menerus dan berkesinambungan perlu diadakan untuk menjadikan guru sebagai tenaga profesional, salah satunya melalui kegiatan supervisi akademik oleh Kepala Sekolah. Supervisi akademik berfungsi untuk membantu guru dalam mengembangkan kemampuannya dalam mengelola proses pembelajaran. Untuk membuat mereka menjadi profesional tidak hanya meningkatkan kompetensinya, melalui penataran, pelatihan maupun memperoleh kesempatan untuk belajar lagi, namun perlu juga memperhatikan guru dari segi lain seperti peningkatan disiplin, pemberian motivasi, pemberian bimbingan melalui supervisi, serta pemberian insentif dan gaji yang layak. Dengan demikian guru menjadi puas dalam bekerja sebagai pendidik.
Kompetensi guru masih menjadi salah satu permasalahan dasar dari para guru di Indonesia. Masih banyak guru terutama di daerah-daerah, yang tidak lulus uji kompetensi dan sertifikasi akibat rendahnya kualitas. Hasil uji kompetensi selama tiga tahun terakhir menunjukkan kualitas guru di Indonesia sangat rendah. Banyak guru yang tidak memahami substansi keilmuan yang dimiliki maupun pola pembelajaran yang tepat untuk diterapkan kepada anak didik. 
Realita yang ada menunjukkan masih banyak guru di Kecamatan X yang dalam melaksanakan tugasnya belum menunjukkan kompetensi pedagogik yang optimal. Indikasinya antara lain dalam penyusunan Rencana Pembelajaran yang masih copy paste, penggunaan metode pembelajaran yang kurang bervariasi serta kurangnya pemanfaatan teknologi pembelajaran. Selain itu, hasil ujian kompetensi guru (UKG) juga masih rendah. 
Penguasaan kompetensi pedagogik guru SD belum sesuai harapan. Hasil UKG yang kurang memuaskan tersebut tidak hanya terjadi pada guru di Kecamatan X, namun juga berlaku umum secara nasional. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengatakan hasil nilai uji kompetensi guru jauh dari standar. Dari penilaian pada tiga hari pelaksanaan UKG, nilai rata-rata bertengger pada angka 44,5. Nilai itu masih di bawah standar yang ditentukan sebesar 70. 
Kompetensi pedagogik guru SD di Kecamatan X yang belum sesuai harapan juga tercermin dari prestasi belajar siswa. Nilai rata-rata dari 10 sekolah adalah 69,7 yang berarti daya serap materi yang dikuasai siswa adalah 69,7%. Kriteria ketuntasan minimal (KKM) tiap-tiap sekolah berbeda sesuai dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang disusun masing-masing sekolah. Jika dikaitkan dengan konsep belajar tuntas nilai rata-rata di atas masih kurang, karena dalam penerapan konsep belajar tuntas, peserta didik menguasai sekurang-kurangnya 75% dari kompetensi yang ditetapkan.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi capaian nilai siswa SD di Kecamatan X, salah satunya adalah guru. Guru mempunyai andil yang sangat penting dalam mengelola proses pembelajaran. Capaian nilai yang belum sesuai harapan dapat menjadi cermin bahwa kompetensi pedagogik guru SD di Kecamatan X belum optimal dan perlu ditingkatkan.
Kompetensi pedagogik guru di Kecamatan X yang belum optimal dapat dipengaruhi oleh pelaksanaan supervisi yang kurang intensif dari Kepala Sekolah. Sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 tahun 2007 tanggal 17 April 2007 tentang Standar Kepala Sekolah, salah satu dimensi kompetensi yang hams dimiliki seorang Kepala Sekolah adalah kompetensi supervisi. Supervisi tersebut mengarah pada perencanaan dan pelaksanaan supervisi akademik dalam rangka peningkatan profesionalisme guru. Supervisi yang diberikan oleh Kepala Sekolah melalui pelaksanaan pembinaan dan bimbingan kepada guru dapat berdampak positif terhadap kompetensi pedagogik guru.
Permasalahan yang ada menyangkut supervisi akademik oleh Kepala Sekolah antara lain adalah pelaksanaan supervisi akademik yang kurang intensif. Hasil wawancara informal dengan beberapa orang kepala SD di Kecamatan X menunjukkan bahwa 8 orang kepala SD di Kecamatan X yang diwawancarai oleh peneliti secara informal menyatakan melakukan supervisi akademik pada kegiatan belajar mengajar antara 1 s/d 3 kali tiap semester. Data tersebut memang bukan data keseluruhan Kepala Sekolah di Kecamatan X, namun setidaknya dapat menjadi cermin bahwa frekuensi supervisi akademik masih rendah, karena idealnya supervisi akademik dilakukan 1 kali tiap semester untuk tiap kelas. Jadi, apabila dalam satu sekolah terdapat 6 kelas, maka idealnya supervisi akademik dilakukan 6 kali tiap semester. Rendahnya pelaksanaan supervisi akademik khususnya disebabkan oleh banyaknya tugas-tugas yang diemban Kepala Sekolah sehingga sulit meluangkan waktu untuk melakukan supervisi akademik secara intensif. Kondisi demikian jika terus berlanjut kurang memberikan iklim yang kondusif terhadap peningkatan kompetensi pedagogik para guru.
Faktor lain yang dapat pula mempengaruhi kompetensi pedagogik guru di Kecamatan X adalah motivasi kerja guru. Hal tersebut disebabkan motivasi merupakan landasan dan energi penggerak bagi seseorang dalam melakukan berbagai macam aktivitas, termasuk di dalamnya upaya guru untuk mewujudkan atau mencapai kompetensi pedagogik yang memadai. Menurut Gerungan (2002 : 141) semua pekerjaan selain membutuhkan kecakapan-kecakapan pribadi, juga membutuhkan adanya motivasi yang cukup kuat pada pribadi tersebut untuk melaksanakan pekerjaan itu dengan berhasil. Tanpa motivasi orang tidak akan berbuat apa-apa, tidak akan bergerak. Pekerjaan kerapkali dapat diselesaikan oleh orang yang bermotivasi kuat dan kecakapan sedang-sedang saja, sedangkan orang dengan kecakapan tinggi tanpa motivasi yang cukup kuat tak akan menyelesaikan pekerjaan tersebut.
Menurut Syah (2008 : 63) motivasi merupakan pemasok daya untuk bertingkah laku secara terarah. Jadi apabila, seorang guru mempunyai motivasi kerja yang baik atau tinggi, maka ia akan bemsaha dengan sungguh-sungguh untuk dapat mewujudkan kompetensi pedagogik. Terlebih lagi, kompetensi pedagogik merupakan salah satu kompetensi yang hams dipenuhi untuk dapat menjadi seorang guru yang profesional.
Permasalahan menyangkut motivasi yang peneliti jumpai dari observasi di lapangan adalah masih adanya sebagian guru yang kurang memiliki motivasi yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya. Hal itu diindikasikan dari kurangnya kedisiplinan. Hasil pengamatan menunjukkan ada sebagian guru yang datang terlambat (datang di atas jam pukul 07.00 WIB), pulang dari tempat kerja sebelum pukul 14.00 WIB, sehingga secara keseluruhan jam kerja masih di bawah ketentuan menurut PP No. 53 Tahun 2010 yang menentukan jam kerja sebanyak 37,5 jam per minggu. guru juga cenderung melaksanakan tugas mengajar sebagai sebuah rutinitas dan tidak berorientasi pada upaya mewujudkan proses pembelajaran yang bermutu tinggi. Atas dasar uraian tersebut di atas, peneliti melakukan penelitian tentang PENGARUH SUPERVISI AKADEMIK DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU SD DI KECAMATAN X.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, dapat diidentifikasikan beberapa masalah yang terkait dengan penelitian ini, yaitu sebagai berikut : 
a. Masih banyak guru di Kecamatan X yang dalam melaksanakan tugasnya belum menunjukkan kompetensi pedagogik yang optimal, yang dibuktikan dengan rendahnya hasil uji kompetensi guru.
b. Supervisi akademik oleh Kepala Sekolah belum sepenuhnya dilakukan secara optimal akibat banyaknya tugas Kepala Sekolah. Frekuensi supervisi hanya berkisar 1 s/d 3 kali tiap semester.
c. guru kurang menunjukkan motivasi yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya, misalnya cenderung melaksanakan tugas mengajar sebagai sebuah rutinitas, kurang inovatif dan termotivasi untuk mewujudkan proses pembelajaran yang berkualitas.
2. Pembatasan Masalah
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kompetensi pedagogik guru SD di Kecamatan X, sehingga perlu dibuat pembatasan masalah agar kajian penelitian dapat lebih fokus dan sistematis. Penelitian ini dibatasi pada variabel supervisi akademik dan motivasi kerja guru. Kedua variabel tersebut akan dikaji pengaruhnya terhadap kompetensi pedagogik, baik secara parsial maupun simultan.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 
1. Apakah supervisi akademik berpengaruh terhadap kompetensi pedagogik guru SD di Kecamatan X ?
2. Apakah motivasi kerja berpengaruh terhadap kompetensi pedagogik guru ?
3. Apakah supervisi akademik dan motivasi kerja secara bersama-sama berpengaruh terhadap kompetensi pedagogik guru SD ?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk : 
1. mengetahui pengaruh supervisi akademik terhadap kompetensi pedagogik guru SD di Kecamatan X;
2. mengetahui pengaruh motivasi kerja terhadap kompetensi pedagogik guru SD;
3. mengetahui pengaruh supervisi akademik dan motivasi kerja secara bersama-sama terhadap kompetensi pedagogik guru.

E. Manfaat Penelitian

1. Secara teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan kajian teoritis tentang pengaruh supervisi akademik dan motivasi kerja terhadap kompetensi pedagogik guru SD dan menjadi bahan referensi bagi penelitian selanjutnya.
2. Secara Praktis
a) Bagi UPT Dinas Pendidikan Kecamatan X, dapat digunakan sebagai acuan dalam mengambil langkah kebijakan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di wilayah kerjanya.
b) Bagi Kepala Sekolah, dapat digunakan sebagai masukan tentang pentingnya pelaksanaan supervisi akademik di kelas untuk menentukan langkah apa yang harus ditempuh setelah ada temuan dari hasil supervisi.
c) Bagi guru, dapat digunakan sebagai informasi mengenai pentingnya motivasi kerja sehingga mendorong guru untuk termotivasi dalam peningkatan kompetensinya, khususnya kompetensi pedagogik.

TESIS PEMBAHARUAN PENDIDIKAN PESANTREN SALAF

TESIS PEMBAHARUAN PENDIDIKAN PESANTREN SALAF

(KODE : PASCSARJ-0291) : TESIS PEMBAHARUAN PENDIDIKAN PESANTREN SALAF (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan dunia telah melahirkan suatu kemajuan zaman modern. Perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosio-kultural sering membentuk pada aneka kemapanan, dan berakibat pada keharusan untuk mengusahakan mengadakan usaha kontekstualisasi bangunan-bangunan sosiokultural dengan dinamika modernisasi, tak terkecuali dengan sistem pendidikan pesantren. Karena itu, sistem pendidikan pesantren harus selalu melakukan upaya rekontruksi pemahaman ajaran-ajarannya agar tetap relevan dan survive (bertahan).
Bersamaan dengan perkembangan dunia, pesantren dihadapkan pada beberapa perubahan sosial budaya. Sebagai konsekuensi logis dari perkembangan ini, pesantren harus memberikan respon yang mutualistis. Sebab, pesantren tidak akan melepaskan diri dari bingkai perubahan-perubahan itu. Kemajuan informasi komunikasi telah menembus benteng budaya pesantren. Dinamika sosial ekonomi (local, nasional, internasional) telah mengharuskan pesantren tampil dalam persaingan dunia pasar bebas. Belum lagi sejumlah perkembangan lain yang terbungkus dalam dinamika masyarakat, yang juga berujung pada pertanyaan tentang resistensi, reponsibilitas, kapabilitas, dan kecanggihan pesantren dalam tuntutan perubahan besar itu. Apakah pesantren mampu menghadapi konsekuensi logis dari perubahan-perubahan itu ?
Pesantren menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri. Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren dari sudut historis kultural dapat dikatakan sebagai "training centre" yang otomatis menjadi pusat budaya Islam, yang disahkan atau dilembagakan oleh masyarakat, setidaknya oleh masyarakat Islam sendiri yang secara terang-terangan tidak dapat diabaikan oleh pemerintah. Itulah sebabnya Nurcholish Madjid mengatakan bahwa dari segi historis, pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia. Pesantren adalah lembaga pendidikan dan sekaligus merupakan pusat penyebaran agama Islam tertua di Indonesia, yang lahir dan berkembang sejak masa permulaan kedatangan Islam ke Indonesia, yang diperkirakan pada abad IX atau X Masehi. Pondok pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam, memiliki fungsi untuk membina kader-kader penerus perjuangan para Alim Ulama', untuk itu pendidikan pesantren bertujuan untuk mendidik santri menjadi Kyai, Ustad, atau guru ngaji yang bertugas sebagai penyebar dan pengajar agama Islam kepada masyarakat, sehingga terbentuk masyarakat yang religius yang mampu menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Kedudukan pondok pesantren tidak dapat dipisahkan dari kehidupan umat Islam Indonesia. Lembaga pendidikan Islam tertua ini sudah dikenal sejak agama Islam masuk ke wilayah nusantara. Oleh karena itu, sejarah pondok pesantren merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah pertumbuhan masyarakat Islam Indonesia. Buktinya, semenjak era kerajaan Islam pertama di Aceh pada abad-abad pertama Hijriah, era Walisongo, dan sampai sekarang, peran para wali, ulama, dan kyai pondok pesantren sangat besar dalam merintis tumbuh kembangnya desa, bahkan kota baru.
Dalam bidang pendidikan, peran pondok pesantren dan madrasah dalam memajukan dan mencerdaskan bangsa dan rakyat Indonesia juga sangat besar. Data terakhir tahun 2003/2004 menyebutkan bahwa jumlah Pondok Pesantren di seluruh Indonesia berjumlah 14.565 buah. Semuanya menyelenggarakan program pendidikan, baik formal maupun non formal demi ikut berpartisipasi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Pondok pesantren jika ditinjau dari aspek program dan praktik penyelenggaraannya merupakan salah satu dari pendidikan keagamaan (Islam) formal, yang diakui oleh pemerintah sebagaimana yang dilindungi oleh UU RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran agamanya dan menjadi ahli ilmu agama.
Dalam perkembangannya, pondok pesantren mengalami perubahan yang pesat, di sebagian pesantren telah mengembangkan kelembagaannya dengan membuka sistem madrasah, sekolah umum, dan di antaranya ada yang membuka semacam lembaga pendidikan kejuruan, seperti bidang pertanian, peternakan, teknik, dan sebagainya. Meskipun kehadiran lembaga pesantren di Indonesia bisa dilacak ke belakang, paling tidak sampai awal abad ke-19 M. Namun, selama masa penjajahan yang amat panjang, lembaga itu mengalami tekanan yang amat berat. Dengan demikian, ketika memasuki masa kemerdekaan, pesantren pada dasarnya baru mulai menata diri kembali sebagai lembaga kajian Islam setelah berperan sebagai benteng perjuangan umat Islam. Pada saat yang hampir bersamaan, perkenalan madrasah ke dalam tradisi pendidikan Islam (pesantren) baru mulai diintensifkan. Dengan dilatarbelakangi oleh dinamika sosial, politik, kultural tertentu, hubungan pesantren dan madrasah tersebut kemudian muncul dalam berbagai model yang bervariasi.
Gerakan reformis muslim yang menemukan momentumnya sejak awal abad ke-20 berpendapat bahwa untuk menjawab tantangan dan kolonialisme diperlukan reformasi sistem pendidikan Islam. Oleh karena itu, pesantren melakukan "penyesuaian" yang mereka anggap tidak hanya akan mendukung kontinuitas pesantren itu sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi para santri, seperti sistem penjenjangan, kurikulum yang lebih jelas dan sistem klasikal. Pembaruan pesantren dapat dikatakan bermula pada tahun 1920-an, yakni bersamaan dengan "kebangkitan nasional" Indonesia. Beberapa pesantren yang memulai memodernisasi diri. K.H. Hasyim Asy’Ari mulai mendirikan madrasah di pesantrennya pada tahun 1919. Selain itu, Pondok Modern Gontor Ponorogo didirikan sebagai upaya lain dari pembaruan pendidikan pesantren. Dari masa pertumbuhannya hingga masa kini, peran dan fungsi tradisional pesantren bersifat dinamis dan tidak tunggal. Namun, terdapat peran dan fungsi pesantren yang terus dijalankan secara konsisten, yakni sebagai 1) transfer dan transmisi ilmu keagamaan atau lembaga pendidikan dan pengajaran tafaqquh fi al-din; 2) lembaga pengkaderan kyai, ulama, dan Da’i; 3) penjaga tradisi umat Islam, terutama Islam-Sunni.
Pesantren mampu merespon dinamika perubahan dalam berbagai dimensi kehidupan, dengan berbagai cara dan pendekatan. Menurut Azyumardi Azra, sedikitnya ada dua bentuk respon pesantren terhadap perubahan; pertama, merevisi kurikulum dengan semakin banyak memasukkan mata pelajaran atau keterampilan yang dibutuhkan masyarakat; kedua, membuka kelembagaan dan fasilitas-fasilitas pendidikannya bagi kepentingan pendidikan umum. Dalam bentuk yang hamper sama, Haydar Putra Daulay, menyebutkan tiga aspek pembaruan pendidikan Islam, yakni 1) Metode, dari metode sorogan dan wetonan ke metode klasikal; 2) isi materi, yakni sudah mulai mengadaptasi materi-materi baru selain tetap mempertahankan kajian kitab kuning; dan 3) manajemen, dari kepemimpinan tunggal kyai menuju demokratisasi kepemimpinan kolektif.
Menurut Asrohah, pesantren Tebuireng Jombang adalah pesantren pertama yang mendirikan SMP dan SMA. Langkah ini kemudian diikuti oleh pesantren-pesantren lain, bahkan belakangan ini pesantren-pesantren berlomba mendirikan sekolah-sekolah umum untuk mengikuti tuntunan masyarakat agar santri bisa belajar ilmu pengetahuan umum seperti murid di sekolah-sekolah umum, sehingga akses santri dalam melanjutkan pendidikan semakin luas. Seperti sekolah-sekolah umum di luar pesantren.
Nurcholish Madjid mengatakan, bahwa pemikiran tersebut sejalan dengan pembaruan yang dilakukan oleh KH. A. Wahid Hasyim semenjak menjabat menjadi Menteri Agama Republik Indonesia yang melakukan pembaruan pendidikan agama Islam melalui peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1950, yang menginstruksikan pemberian pelajaran agama di sekolah umum negari dan swasta. Pembaruan pendidikan agama Islam tersebut ditindak lanjuti dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri (SKB 3 Menteri Tahun 1975) tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah. Dikeluarkannya SKB 3 Menteri tersebut mengupayakan agar kualitas madrasah menjadi lebih bermutu dan mampu mengikuti dan memenuhi tuntutan saat itu dan saat sekarang ini. Pemberian pelajaran umum bagi madrasah baik yang bersifat diniah di dalam pesantren maupun di luar pesantren.
Pondok Pesantren Salaf yang mengajarkan Islam tradisional ini diselenggarakan dalam bentuk asrama yang merupakan komunitas sendiri di bawah kiai dibantu oleh beberapa ulama dan atau para ustadz yang hidup bersama di tengah-tengah santri dengan masjid sebagai pusat kegiatan peribadatan keagamaan, gedung sekolah atau ruang-ruang belajar-mengajar serta pondok sebagai tempat tinggal santri. Proses belajar mengajar yang dilakukan melalui struktur, metode, dan literatur tradisional, baik pendidikan formal di sekolah dan madrasah dengan jenjang bertingkat, ataupun pemberian pelajaran dengan sistem halaqoh dalam bentuk weton dan sorogan. Ciri utama dari pengajaran tradisional ini adalah cara pemberian ajarannya yang ditekankan pada pengungkapan harfiah atas suatu kitab tertentu. Setiap pesantren memiliki elemen-elemen dasar, Dhofier mencatat lima elemen dasar pesantren : pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab klasik, kyai.
Era globalisasi dewasa ini, di masa mendatang, sedang, dan akan terus mempengaruhi perkembangan sosial budaya masyarakat muslim Indonesia pada umumnya atau pendidikan Islam, khususnya pondok pesantren. Argumen panjang tidak perlu diungkapkan lagi bahwa pada kenyataan masyarakat muslim tidak bisa menghindarkan diri dari proses globalisasi komunikasi dan informasi, jika pesantren ingin survive (bertahan) dan berjaya di tengah perkembangan dunia yang kian kompetitif di masa kini dan masa yang akan datang, maka mau tidak mau pesantren harus berbenah diri secara kreatif dan kritis terhadap perkembangan yang terjadi.
Berangkat dari pemikiran di atas, para insan pesantren juga tidak bisa menutup mata bahwa tantangan yang dihadapi pesantren semakin hari semakin besar, dan berat di masa kini dan masa yang akan datang. Mempertahankan warisan lama yang masih relevan dan mengambil hal baru yang lebih baik benar-benar untuk dikaji ulang, hal demikian penting karena : pertama, dunia pesantren tidak hanya bisa hanya mempertahankan tradisi lama, sebab tradisi lama tidak tentu relevan untuk kekinian kita, kedua, hal yang tak kalah pentingnya untuk direnungkan dalam rangka mengambil hal baru yang lebih baik adalah mengungkapkan secara cerdas problem kekinian dengan pendekatan yang kontemporer. Tidak bisa disangkal bahwa modernitas telah menawarkan banyak hal untuk dipikirkan dan direnungkan, terutama bagi pesantren. Tantangan ini menyebabkan terjadinya pergeseran-pergeseran di pesantren, baik yang menyangkut pengelolaan sistem pendidikan pesantren dari tradisional ke modern. Dengan demikian, pesantren harus membenahi dirinya dan bisa beradaptasi dengan kemajuan, dengan cara mendialogkan dengan paradigma dan pandangan dunia yang telah diwariskan oleh generasi-generasi pencerahan Islam. Dari dialog sehat ini diharapkan akan muncul sintesis-sintesis baru yang lebih segar dan menggairahkan. Menutup diri berdialog dengan konteks kekinian adalah kebodohan yang tak perlu dibanggakan. Insan-insan pesantren ditantang untuk secara cerdas dan lincah, membaca khazanah lama dan baru dalam frame yang tidak terpisahkan.
Sekarang banyak pondok pesantren yang mengalami pembaruan guna menyesuaikan diri dengan perkembangan dan kemajuan zaman serta kebutuhan masyarakat dengan berbagai kiat dan usaha-usaha untuk tetap survive (bertahan), banyak cara yang mereka tempuh diantaranya dengan menyelenggarakan lembaga pendidikan umum dengan mengadakan usaha dibidang ekonomi pesantren, mengadakan kursus-kursus keterampilan dan lain sebagainya.
Pesantren X adalah salah satu pesantren salaf yang sudah puluhan tahun berdiri, dan merupakan pondok pesantren yang saat sekarang tetap hidup dan diminati oleh masyarakat dari berbagai kalangan dan berbagai daerah di bahkan di seluruh Indonesia. Pondok pesantren ini masih mempertahankan tradisi lama di antaranya sistem sorogan dan wetonan, halaqoh, sistem ini Kyai dapat mengetahui langsung kemampuan para muridnya bisa membaca kitab kuning atau tidak, di sisi lain sistem ini juga bisa diikuti oleh warga masyarakat sekitar, sehingga dimungkinkan adanya hubungan yang baik antara pesantren dengan masyarakat sekitar, dengan demikian ajaran agama tidak saja diajarkan di pesantren akan tetapi juga di luar pesantren. Di samping masih mempertahankan tradisi lama secara "tradisional" pondok pesantren X ini juga menyerap berbagai pola pendidikan baru yang sekarang berkembang, hal ini dilakukan agar Islam maupun lulusan pesantren masih tetap diterima masyarakat dengan tidak mengurangi sedikitpun nilai-nilai ajaran Islam. Hal ini dilakukan karena kalangan pesantren memandang bahwasanya seiring dengan perkembangan zaman diperlukan keilmuan ganda baik ilmu formal maupun informal (keagamaan), serta ketrampilan tertentu. Sehingga dengan cara mendirikan Madrasah Ibtidaiah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, SMP, SMA serta membuka kursus tata busana, komputer, otomotif. Sehingga, Pondok Pesantren X ini tetap diterima oleh masyarakat, bahkan berkembang sangat pesat.
Kurikulum pesantren yang statusnya sebagai lembaga pendidikan non-formal hanya mempelajari kitab-kitab klasik yang meliputi : Tauhid, Tafsir, Hadits, Fiqh, Ushul Fiqh, Tasawuf, Bahasa Arab (Nahwu, Sharaf, Balaghah dan Tajwid), Mantiq dan Akhlak. Pelaksanaan kurikulum pendidikan pesantren ini berdasarkan kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam kitab. Jadi, ada tingkat awal, menengah dan tingkat lanjutan. Itulah gambaran sekilas isi kurikulum pesantren tentang "salaf", yang umumnya keilmuan Islam digali dari kitab-kitab klasik, dan pemberian keterampilan yang bersifat pragmatis dan sederhana, namun di X ini sudah memasukkan pelajaran umum ke dalam pembelajaran.
Dengan menggunakan sistem salaf bukan berarti Pondok Pesantren X menutup diri dari perkembangan zaman (modernisasi). Pondok Pesantren tetap mengambil hal-hal yang positif dari adanya modernisasi tersebut. Seiring dengan perkembangan dan tuntutan zaman, Pondok Pesantren X pada tahun 2007 ini membuka pendidikan formal Pondok SMP-SMA Terpadu dengan berbagai macam program yang ada.
Berdasarkan konteks penelitian di atas, tampak jelas keberhasilan Pesantren X dalam melakukan Pembaruan Pendidikan, menurut pendapat peneliti sangat menarik untuk diteliti lebih jauh lagi, sebab apa yang dilakukan oleh Pesantren X sangat berbeda dengan pesantren salaf lainnya, pada umumnya pesantren salaf yang melakukan pembaruan biasanya sudah berubah bentuknya menjadi modern, tidak mampu mempertahankan salafnya, hal ini berbeda jauh apa yang terjadi di pesantren X, meskipun banyak bentuk pendidikan yang bersifat modern yang masuk ke dalam pesantren, akan tetapi X tetap mampu bertahan sebagai pesantren salaf yang terkenal.

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan konteks penelitian yang telah penulis paparkan di atas, maka penulis mengambil fokus penelitian, yaitu : 
1. Bagaimana pelaksanaan pendidikan pesantren di X ?
2. Bagaimana pembaruan pendidikan pesantren di X ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dapat diketahui tujuan penelitian ini adalah : 
1. Untuk mendeskripsikan pelaksanaan pendidikan pesantren X 
2. Untuk mendeskripsikan pembaruan pendidikan pesantren X

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi konstruktif terhadap pendidikan. Adapun secara detail, kegunaan penelitian ini diantaranya : 
1. Manfaat teoritis, secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat kepada : 
a. Pengembang ilmu pengetahuan dan memberikan informasi tentang pembaruan pendidikan pesantren salaf di dalam lembaga pendidikan
b. Peneliti sendiri, sebagai tambahan khazanah keilmuan baru berkaitan dengan pembaruan pendidikan pesantren salaf di dalam lembaga pendidikan
2. Manfaat praktis penelitian ini dapat bermanfaat bagi : 
a. Bagi Pengasuh Pesantren
Hasil penelitian ini dipakai sumber informasi berkaitan dengan manfaat pembaruan pendidikan pesantren salaf di lingkungan lembaga pendidikan.
b. Bagi Pesantren
Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai bahan ukur keberhasilan pelaksanaan kegiatan pendidikan yang didalamnya dilaksanakan pembaruan pendidikan pesantren salaf.