Search This Blog

SKRIPSI PENGARUH PELAKSANAAN PRINSIP GOOD GOVERNANCE TENTANG RESPONSIVITAS TERHADAP KINERJA PEGAWAI (STUDI PADA KANTOR CAMAT)

SKRIPSI PENGARUH PELAKSANAAN PRINSIP GOOD GOVERNANCE TENTANG RESPONSIVITAS TERHADAP KINERJA PEGAWAI (STUDI PADA KANTOR CAMAT)

(KODE : FISIP-AN-0091) : SKRIPSI PENGARUH PELAKSANAAN PRINSIP GOOD GOVERNANCE TENTANG RESPONSIVITAS TERHADAP KINERJA PEGAWAI (STUDI PADA KANTOR CAMAT)



BAB I
PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang Masalah
Ditetapkannya Undang-undang nomor 22 Tahun 1999 yang diubah dengan undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah diharapkan menjadi birokrasi yang efektif. Dalam undang-undang disebutkan, pemerintah hanya mengelola enam bidang saja yaitu : politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama serta beberapa bidang lainnya yang membawa implikasi baru dalam manajemen publik dimana domain (pedoman) pemerintah berbeda.
Untuk itu dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, peran kinerja memiliki kedudukan dan fungsi signifikan. karena peranan kinerja di tengah masyarakat senantiasa menjadi sangat vital, seperti yang dijelaskan berikut ini Dwiyanto (2006 : 50) : 
1. Masih rendahnya produktivitas, produktivitas pada umumnya sebagai rasio antara input dan output, maksudnya ialah bahwa pelayanan publik tersebut harus mengedepankan hasil ketimbang pemasukan. Contohnya dalam pengurusan KTP masyarakat (customer) harus mengeluarkan uang untuk proses administrasi yang relatif besar, namun hasil yang diterima oleh masyarakat sangat minim melalui proses yang relatif lama. Harusnya terdapat keseimbangan antara uang yang dikeluarkan oleh masyarakat dengan hasil yang diterimanya.
2. Kualitas layanan, banyak pandangan negatif yang terbentuk mengenai organisasi publik muncul karena ketidakpuasan masyarakat terhadap kualitas layanan yang diterima dari organisasi publik. informasi mengenai kepuasan terhadap kualitas pelayanan seringkali dapat diperoleh dari media massa atau diskusi publik, yang masih jauh dengan harapan masyarakat terhadap pelayanan yang mudah dan murah.
3. Responsivitas, yaitu masih rendahnya kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan serta mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
4. Akuntabilitas, akuntabilitas menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik tunduk pada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat, asumsinya adalah bahwa para pejabat politik tersebut karena dipilih oleh rakyat, dengan sendirinya akan selalu merepresentasikan kepentingan rakyat. Dalam konteks ini konsep akuntabilitas dapat digunakan untuk melihat seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik itu konsisten dengan kehendak masyarakat.
Berdasarkan uraian diatas kinerja merupakan suatu hal yang sangat penting diperhatikan, di dalam penyelenggaraan tata kelola pelayanan terhadap masyarakat tepatnya di Kantor Camat X. karena dapat digunakan sebagai ukuran keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuannya. Untuk organisasi pelayanan publik, informasi mengenai kinerja tentu sangat berguna untuk memulai seberapa jauh pelayanan yang diberikan oleh organisasi itu memenuhi harapan dan memuaskan pengguna jasa. Dengan melakukan penilaian terhadap kinerja, maka upaya untuk memperbaiki kinerja ini penulis mengkorelasikannya dengan prinsip-prinsip dari Good Governance agar tercipta kinerja yang lebih terarah dan sistematis. 
Tata kepemerintahan yang baik (Good Governance) merupakan suatu konsep yang akhir-akhir ini marak dipergunakan dalam ilmu politik dan administrasi pubik. Konsep ini lahir sejalan dengan konsep-konsep dan terminologi birokrasi, masyarakat sipil, partisipasi rakyat, hak asasi manusia dan pembangunan masyarakat yang berkelanjutan. Pada akhir dasawarsa yang lalu, konsep Good Governance ini lebih dekat digunakan dalam reformasi sektor publik. Di dalam disiplin atau profesi manajemen publik konsep ini di pandang sebagai salah satu aspek dalam paradigma baru ilmu administrasi publik. Paradigma ini menekankan pada peranan manajer publik agar memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat, mendorong meningkatkan otonomi manajerial terutama sekali mengurangi campur tangan kontrol yang dilakukan pemerintah pusat, transparansi, akuntabilitas publik dan di ciptakan pengelolaan manajerial yang bersih bebas dari korupsi.
United Nations Development Programme (UNDP 1997 dalam Kuncoro, 2004) merumuskan istilah Governance sebagai suatu penyelenggaraan (exercise) dari kewenangan politik, ekonomi dan administrasi untuk menata, mengatur dan mengelola masalah-masalah sosialnya istilah. "Governance" menunjukan suatu proses dimana rakyat bisa mengatur ekonominya, institusi dan sumber-sumber sosial dan politiknya tidak hanya dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan kohesi, integrasi, dan untuk kesejahteraan rakyatnya.
Sedangkan Pada bulan Mei 2001 yang lalu, para pejabat dan staf pemerintah pusat dan daerah menyetujui beberapa prinsip tata kelola yang baik (Good Governance) yang perlu diterapkan di Indonesia. Kesepuluh prinsip tersebut adalah (Mishsra, et al. dalam Nugroho R. 2003 : 23) : 
1. Partisipasi : mendorong semua warga negara mengekspresikan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan, baik langsung maupun tidak langsung. 
2. Penegakan Hukum : menjaga agar penegakan hukum dan perundangan adil dan tanpa diskriminasi, serta dengan mendukung HAM dengan memperhitungkan semua nilai yang ada dalam masyarakat.
3. Transparansi : membangun saling kepercayaan antara pemerintah dan masyarakat dengan memberikan informasi yang dibutuhkan dan akses informasi yang mudah bila dibutuhkan.
4. Responsif : meningkatkan responsivitas birokrat terhadap keluhan, masalah dan aspirasi masyarakat tanpa kecuali.
5. Pemerataan : memberikan peluang sama pada semua warga untuk meningkatkan kesejahteraannya.
6. Visi Strategik : memformulasikan suatu strategi, yang didukung dengan sistem penganggaran yang mencukupi, sehingga rakyat memiliki rasa memiliki dan tanggungjawab terhadap masa depan daerah.
7. Efektivitas dan Efisiensi : melayani masyarakat dengan memanfaatkan sumber daya secara optimal dan bijaksana.
8. Profesionalisme : meningkatkan kapasitas, keterampilan dan moral birokrat sedemikian rupa sehingga mereka dapat pelayanan yang mudah, cepat, akurat dan dapat dijangkau.
9. Akuntabilitas : meningkatkan akuntabilitas publik bagi para pengambil kebijakan di pemerintahan swasta dan organisasi masyarakat pada semua bidang (politik, fiscal, anggaran).
10. Pengawasan : melakukan kontrol dan pengawasan terhadap administrasi publik dan aktivitas pembangunan dengan melibatkan masyarakat dan organisasi kemasyarakatan.
Dari kesepuluh prinsip-prinsip good governance diatas jelas sekali bahwa pemerintah dalam hal ini memandang serius dalam mengedepankan pelayanan yang memang dikehendaki oleh masyarakat. Tetapi pada penelitian ini penulis hanya membahas tentang Responsivitas saja yaitu, kemampuan birokrasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, serta mengembangkan program pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Secara singkat dapat dikatakan bahwa responsivitas ini mengukur daya tanggap birokrasi terhadap harapan, keinginan dan aspirasi serta tuntutan pengguna jasa. Responsivitas sangat dibutuhkan dalam pelayanan publik karena hal tersebut merupakan bukti kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan serta mengembangkan program-program pelayanan public sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat (Diliulio, 1994 dalam Dwiyanto, 2006) organisasi yang memiliki responsivitas rendah dengan sendirinya memiliki kinerja yang jelek juga.
Masih tingginya tingkat keluhan yang disampaikan oleh masyarakat pengguna jasa terhadap birokrasi menunjukan bahwa pada suatu sisi kualitas produk layanan birokrasi masih dirasakan tidak dapat memenuhi harapan masyarakat pengguna jasa, pada sisi lain telah semakin tumbuhnya kesadaran masyarakat pengguna jasa untuk memenuhi hak-haknya sebagai konsumen untuk memperolah pelayanan dengan kualitas yang terbaik. Namun meningkatnya pengguna jasa tersebut ternyata masih belum diikuti dengan daya tanggap aparat birokrasi terhadap keluhan masyarakat.
Berdasarkan observasi lapangan, (Dwiyanto, 2006 : 66) rendahnya tingkat responsivitas aparat birokrasi tersebut terlihat dari belum maksimalnya tugas-tugas bagian informasi dalam penyebaran informasi pelayanan secara akurat kepada masyarakat pengguna jasa, pada hampir sebagian besar loket informasi instansi pemberian pelayanan yang diobservasi, aparat yang bertugas di loket bagian informasi sangat sulit ditemui oleh masyarakat pengguna layanan jasa. apabila ada masyarakat yang mengalami kebingungan berkaitan dengan informasi pelayanan, jarang sekali ditemukan ada aparat yang berinisiatif untuk membantu atau sekedar menanyakan kesulitan yang dialami masyarakat pengguna jasa tersebut.
Di lain Kasus Penolakan terhadap pelayanan masih sering kali dilakukan oleh aparat birokrasi dengan dalih berkas dokumen pengguna jasa yang dibawa tidak lengkap dengan persyaratan pelayanan yang telah ditentukan, responsivitas birokrasi yang rendah juga banyak disebabkan dengan belum adanya pengembangan informasi eksternal secara nyata oleh jajaran birokrasi pelayanan, misalnya dalam kasus pengurusan sertifikat tanah, seseorang datang ke BPN, setelah membayar berbagai persyaratan petugas BPN tersebut mengatakan dalam 4 atau 3 hari lagi tanah akan diukur dan penyelesaian sertifikat. Tetapi setelah 10 bulan menunggu tidak ada kabar dari BPN setelah didatangi ke BPN dan di cek di komputer ternyata tidak ada data-data mengenai tanah tersebut (Dwiyanto, 2006 : 65).
Berdasarkan penjelasan tentang fenomena serta kejadian diatas penulis memandang masih rendahnya kualitas organisasi publik dalam menanggapi Keluhan, masalah dan aspirasi masyarakat yang berbasis pada pelayanan hak, dengan kata lain setiap orang atau warga negara punya hak yang sama dalam pelayanan pemenuhan hak dasarnya dan negara wajib memenuhinya, RUU pelayanan publik harus mengatur penyelenggara pelayanan publik mungkin dalam hal ini dibentuknya lembaga independen yang memiliki kekuasaan untuk melakukan pengawasan dan penyelesaian sengketa pelayanan publik.
Berdasarkan pertimbangan diatas penulis merasa tertarik melakukan penelitian tentang Pengaruh pelaksanaan prinsip Good Governance tentang Responsivitas terhadap Kinerja pegawai, adapun yang menjadi judul penelitian ini adalah : "PENGARUH PELAKSANAAN PRINSIP GOOD GOVERNANCE TENTANG RESPONSIVITAS TERHADAP KINERJA PEGAWAI (STUDI PADA KANTOR CAMAT)”.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan fakta serta permasalahan yang telah dikemukakan pada latar belakang masalah diatas, adapun perumusan masalah dari penelitian ini adalah adakah Pengaruh Pelaksanaan Prinsip Good Governance (Responsivitas) Terhadap Kinerja Pegawai (Studi Kasus Pada Kantor Camat X).

C. Tujuan Penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan terhadap suatu masalah pasti mempunyai tujuan yang ingin dicapai. Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui seberapa besar frekuensi variabel X (Pelaksanaan Prinsip Responsivitas) berdasarkan hasil jawaban responden.
2. Untuk mengetahui seberapa besar frekuensi variabel Y (Kinerja Pegawai) berdasarkan hasil jawaban responden.
3. untuk mengetahui tingkat hubungan antara pelaksanaan prinsip responsivitas terhadap kinerja pegawai.
4. Untuk mengetahui pengaruh pelaksanaan prinsip pelaksanaan responsivitas terhadap kinerja pegawai.
5. Untuk mengetahui berapa persen besar pengaruh yang ditimbulkan dari pelaksanaan prinsip responsivitas terhadap kinerja pegawai.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Ilmiah
Yaitu untuk mencari khasanah ilmiah tentang prinsip responsivitas dalam rangka menjadikan kinerja pegawai yang lebih terarah dan sistematis.
2. Manfaat Praktis
Sebagai bahan masukan dalam literatur kepustakaan bagi kalangan yang berkepentingan dan tertarik pada masalah yang sama.
3. Manfaat Akademis
Sebagai salah satu syarat penyelesaian studi Program Sarjana Ilmu Administrasi Negara.

SKRIPSI PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP DISIPLIN KERJA PEGAWAI PADA KANTOR PT BANK MUAMALAT

SKRIPSI PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP DISIPLIN KERJA PEGAWAI PADA KANTOR PT BANK MUAMALAT

(KODE : FISIP-AN-0090) : SKRIPSI PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP DISIPLIN KERJA PEGAWAI PADA KANTOR PT BANK MUAMALAT



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Membicarakan kepemimpinan memang menarik dan dapat dimulai dari sudut manapun ia ingin diteropong. Dari waktu ke waktu kepemimpinan menjadi perhatian manusia. Ada yang berpendapat bahwa masalah kepemimpinan itu sama tuanya dengan sejarah manusia. Hal ini tidaklah berlebihan kiranya karena kepemimpinan itu dibutuhkan manusia sebab ada keterbatasan dan kelebihan-kelebihan tertentu pada manusia. Di satu pihak manusia terbatas kemampuannya untuk memimpin, di pihak lain ada orang yang mempunyai kelebihan kemampuan untuk memimpin. Dari sinilah munculnya kebutuhan akan pemimpin dan kepemimpinan.
Persoalan kepemimpinan selalu memberikan kesan yang menarik. Topik ini senantiasa memberikan daya tarik yang kuat pada setiap orang yang ingin mengadakan suatu penelitian. Literatur-literatur tentang kepemimpinan senantiasa memberikan penjelasan tentang bagaimana menjadi pemimpin yang baik, sikap dan gaya yang sesuai dengan situasi kepemimpinan, serta syarat-syarat pemimpin yang baik.
Suatu organisasi akan memperoleh keberhasilan atau bahkan kegagalan sebagian besar ditentukan oleh sisi kepemimpinan ini. Suatu ungkapan yang bijak mengatakan bahwa pemimpin lah yang bertanggung jawab atas keberhasilan maupun kegagalan dalam pelaksanaan suatu pekerjaan. Ungkapan tersebut kian memantapkan kedudukan seorang pemimpin dalam suatu organisasi pada posisi yang cukup penting.
Sementara itu digambarkan pula bahwa pemimpin itu adalah penggembala, dan setiap penggembala akan diminta pertanggungjawabannya atas perilaku penggembalanya. Ungkapan ini membuktikan bahwa seorang pemimpin apapun wujudnya, di manapun letaknya akan mempunyai beban untuk mempertanggungjawabkan kepemimpinannya.
Kepemimpinan pada hakikatnya adalah suatu ilmu dan seni, yaitu suatu kemampuan seseorang untuk dapat mempengaruhi seseorang/kelompok orang untuk mencapai suatu tujuan. Setiap orang pada hakikatnya adalah sebagai pemimpin, akan tetapi kekuasaan seseorang dalam mempengaruhi orang lain dalam mencapai tujuan antara orang yang satu dengan yang lainnya tidaklah sama. Di sinilah yang membedakan siapa yang sebenarnya pemimpin dan siapa yang bukan atau tidak pemimpin.
Dari penjelasan di atas jelaslah rambu-rambunya bahwa seorang pemimpin dalam kepemimpinannya juga harus disertai tanggung jawab dan mampu membangun atau mendorong atau memotivasi bawahannya untuk bekerja dengan baik. Di dunia kerja, motivasi sering diartikan sebagai suatu dorongan yang menyebabkan seseorang mau bekerja untuk mewujudkan kebutuhannya/keinginannya.
Kata motivasi ini sendiri berasal dari kata motivation yang dapat diartikan sebagai dorongan yang ada pada diri seseorang untuk bertingkah laku dalam usaha yang tekun untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang sifatnya menguntungkan. Kalau pemimpin memotivasi seseorang/kelompok orang agar mereka mempunyai motivasi kerja yang baik artinya pemimpin berusaha menimbulkan kebutuhan tertentu pada diri mereka, agar tingkah laku mereka tertuju kepada tujuan yang dikehendaki.
Ketika seorang pemimpin memotivasi karyawannya agar mereka mempunyai motivasi kerja yang baik artinya pemimpin tersebut sedang berusaha menimbulkan kebutuhan tertentu pada diri karyawannya, agar tingkah laku mereka tertuju kepada tujuan yang dikehendaki oleh pimpinan maupun oleh perusahaan. Kalau pemimpin sudah mengetahui mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi (kemauan) kerja seseorang, maka kemudian pemimpin perlu menetapkan tentang apa yang bisa dilakukan sebagai atasan dalam rangka menimbulkan motivasi kerja bawahan.
Kalau pegawai yang ada itu dipengaruhi oleh lingkungan fisik tempat mereka bekerja, maka alangkah baiknya jika pemimpin membuat suatu keputusan yang dapat menciptakan satu lingkungan fisik yang optimal yang dapat diberikan misalnya tempat yang bersih, peralatan yang mudah dipakai, udara ruangan yang sejuk, dan seterusnya.
Pemimpin dalam rangka memotivasi karyawannya sesungguhnya membutuhkan satu dasar yang terkadang terlewatkan, yaitu keteladanan. Motivasi yang diberikan pemimpin melalui contoh teladan yang konkrit sesungguhnya lebih ampuh untuk memberikan semangat pada karyawan dibandingkan motivasi yang diberikan melalui kata-kata semu. Dalam hal disiplin waktu misalnya, seorang pemimpin yang datang lebih awal pada saat jam masuk kantor maka dengan sendirinya akan memberikan rasa malu dan cambukan bagi karyawan untuk tidak datang terlambat.
Banyak hal-hal lainnya di dalam organisasi yang sebenarnya bisa membuktikan bahwa keteladanan adalah hal yang cukup fundamental yang sifatnya ringan serta esensinya dapat memberikan motivasi bagi karyawan untuk melaksanakan setiap aktivitas dalam organisasi dengan lebih baik.
Terkait dengan masalah kepemimpinan, peneliti dalam hal ini mencoba untuk menginterpretasikannya ke dalam ruang lingkup perusahaan perbankan. Bank sebagai suatu manifestasi dalam menyukseskan pembangunan suatu bangsa. Keberadaan bank sebagai suatu lembaga keuangan tidak akan terlepas fungsinya dalam memberikan suatu pelayanan baik dalam bentuk penyimpanan maupun penyaluran dana yang ada pada masyarakat. Untuk itu fungsi bank tersebut akan tercermin dari seberapa besar aktivitas yang dijalankan dalam menghimpun dana dari masyarakat kemudian menyalurkannya baik dalam bentuk investasi maupun portofolio, yang jelas bank sebagai penggerak dari perekonomian negara diharapkan dapat memberikan suatu pembiayaan atau modal pada nasabah yang memerlukannya yang biasanya disalurkan dalam bentuk kredit.
Berbicara tentang perbankan, Bank Muamalat merupakan bagian dari perbankan nasional. Keyakinan pada kebenaran perekonomian dan kegiatan muamalat yang sesuai dengan syari'ah, dan penerimaan masyarakat atas kegiatan perbankan syari'ah, telah memberikan semangat kepada Bank Muamalat untuk memberikan pelayanan terbaik dengan berlandaskan empat prinsip operasional, yakni : Keadilan, kemitraan, keterbukaan, dan universalitas; yang berorientasi pada pelayanan seluruh golongan masyarakat tanpa membedakan latar belakang suku, agama, dan ras.
Dalam melaksanakan setiap kegiatan pekerjaan, ibadah merupakan orientasi utama yang menjadi prinsip dalam melaksanakan setiap aktivitas pekerjaan. Inilah yang menjadi motivasi utama seluruh unsur organisasi Bank Muamalat khususnya pegawai serta -yang paling utama- pemimpin untuk bekerja sebaik-baiknya. Karena pekerjaan bukan hanya menjadi tanggung jawab pribadi, tetapi juga tanggung jawab kepada Tuhan. Karena itu setiap disiplin akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya karena bukan hanya pemimpin yang mengawasi, melainkan juga Tuhan. Dan karena itulah disiplin menjadi satu hal yang dilaksanakan dengan penuh kerelaan.
Dalam kaitannya dengan hal di atas, kepemimpinan pada hakikatnya adalah suatu ilmu dan seni, yaitu kemampuan seorang untuk dapat mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Kepemimpinan tidak hanya berbicara namun lebih dari itu yakni memberikan keteladanan yang lebih bermakna dari pada nasihat yang pastinya teladan itu dapat diikuti oleh para anggotanya agar termotivasi untuk melakukan sesuatu.
Dari penjelasan ini jelaslah bahwa seorang pemimpin harus memiliki tanggung jawab dan mampu membangun motivasi para bawahannya untuk bekerja dengan baik. Kepemimpinan yang bertanggung jawab dan motivasi yang baik dari pimpinan dalam organisasi merupakan dua unsur yang penting untuk membangun disiplin kerja yang baik bagi para anggota organisasi.
Secara sederhana dapat dicontohkan jika pemimpin dapat memberikan teladan dengan hadir tepat waktu pada setiap agenda organisasi, maka para anggotanya akan termotivasi untuk mengikuti pemimpin tersebut dengan datang lebih awal dari pemimpinnya sebagai wujud dari disiplin waktu.
Bertitik tolak dari latar belakang yang dikemukakan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul "PENGARUH KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP DISIPLIN KERJA PEGAWAI (STUDI PADA KANTOR PT. BANK MUAMALAT)".

B. Perumusan Masalah
Guna memudahkan peneliti nantinya ketika melakukan proses penelitian, dan agar peneliti memiliki arahan yang fokus dalam menginterpretasikan hasil penelitian ke dalam skripsi, maka terlebih dahulu permasalahan yang ada harus diakumulasikan menjadi rumusan-rumusan.
Berdasarkan hal tersebut serta berpedoman pada perumusan latar belakang yang telah dikemukakan, maka peneliti mengemukakan beberapa rumusan masalah dalam penelitian sebagai berikut : 
1. Adakah pengaruh yang positif antara Kepemimpinan terhadap Disiplin Pegawai ?
2. Adakah pengaruh yang positif antara Motivasi Kerja terhadap Disiplin Pegawai ?
3. Adakah pengaruh yang positif antara Kepemimpinan dan Motivasi Kerja secara bersama-sama terhadap Disiplin Pegawai ?

C. Tujuan Penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan tentu mempunyai sasaran yang hendak dicapai atau apa yang menjadi tujuan penelitian tentunya harus diketahui secara jelas sebelumnya. Menurut Arikunto (1997 : 51), tujuan penelitian adalah rumusan kalimat yang menunjukkan adanya sesuatu hal yang diperoleh setelah penelitian.
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah : 
1. Untuk mengukur pengaruh kemampuan yang dimiliki seorang Pemimpin terhadap tingkat disiplin kerja karyawan Bank Muamalat.
2. Untuk mengukur pengaruh Motivasi Kerja terhadap Disiplin Kerja karyawan Bank Muamalat.
3. Untuk mengukur pengaruh kemampuan Pemimpin dan Motivasi Kerja terhadap Disiplin Kerja karyawan Bank Muamalat.

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian yang dilaksanakan ini adalah : 
1. Bagi penulis penelitian ini merupakan usaha untuk meningkatkan kemampuan berfikir melalui penulisan karya ilmiah dan untuk menerapkan teori-teori yang telah diterima di Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
2. Bagi Universitas, penelitian ini juga diharapkan dapat melengkapi ragam penelitian yang telah dibuat oleh insan akademis sebelumnya dan dapat menjadi bahan referensi bagi terciptanya suatu karya ilmiah.
3. Penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan pemikiran dan bahan masukan kepada segenap unsur organisasi di Bank Muamalat akan pentingnya peran Kepemimpinan dan Motivasi Kerja Pegawai terhadap peningkatan Disiplin Kerja karyawan.

SKRIPSI PENGARUH KENAIKAN PANGKAT TERHADAP MOTIVASI KERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL (STUDI PADA KANTOR PERTANAHAN)

SKRIPSI PENGARUH KENAIKAN PANGKAT TERHADAP MOTIVASI KERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL (STUDI PADA KANTOR PERTANAHAN)

(KODE : FISIP-AN-0089) : SKRIPSI PENGARUH KENAIKAN PANGKAT TERHADAP MOTIVASI KERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL (STUDI PADA KANTOR PERTANAHAN)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pegawai Negeri adalah pekerja di sektor publik yang bekerja untuk pemerintah suatu negara. Pekerja di badan publik non-departemen kadang juga dikategorikan sebagai pegawai negeri. Seperti halnya di Inggris dan Perancis, pegawai negeri di Indonesia adalah sistem karir. Mereka dipilih dalam ujian seleksi tertentu, mendapatkan gaji dan tunjangan khusus, serta memperoleh pensiun. 
Namun demikian, terdapat jabatan-jabatan tertentu yang tidak diduduki oleh pegawai negeri, misalnya : 
a. Presiden, Gubernur, Bupati, dan Walikota : dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu
b. Menteri : ditunjuk oleh Presiden
Camat dan Lurah adalah PNS, sedangkan Kepala Desa bukan merupakan PNS karena dipilih langsung oleh warga setempat.
Berdasarkan kenyataan dan pengalaman sejarah ternyata bahwa kedudukan dan peranan Pegawai pada setiap negara adalah sangat penting dan menentukan, karena Pegawai adalah unsur aparatur negara dan aparatur pelaksana pemerintah dalam mencapai tujuan nasional suatu negara. 
Di Indonesia Pegawai Negeri Sipil mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dan menentukan serta merupakan penyelenggara tugas-tugas pemerintah dan pembangunan.
Dalam rangka mencapai tujuan nasional suatu negara diperlukan kelancaran penyelenggara pemerintah seperti yang diatur dalam alinea ke 5 Penjelasan Undang-Undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yaitu : 
Dalam rangka usaha mencapai tujuan Nasional sebagai tersebut diatas diperlukan adanya Pegawai Negeri yang penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah serta yang bersatu padu, bermental baik, berwibawa, kuat, berdaya guna, berhasil guna, bersih, berkualitas tinggi, dan sadar akan tanggungjawabnya sebagai unsur Aparatur Negara, Abdi Negara, dan Abdi Masyarakat.
Pegawai Negeri Sipil terdiri atas : 
1. Pegawai Negeri Sipil Pusat (PNS Pusat), yaitu PNS yang gajinya dibebankan pada APBN, dan bekerja pada departemen, lembaga non departemen, kesekretariatan negara, lembaga-lembaga tinggi negara, instansi vertikal di daerah-daerah, serta kepaniteraan di pengadilan.
2. Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNS Daerah), yaitu PNS yang bekerja di Pemerintah Daerah dan gajinya dibebankan pada APBD. PNS Daerah terdiri atas PNS Daerah Provinsi dan PNS Daerah Kabupaten/Kota.
Baik PNS Pusat maupun PNS Daerah dapat diperbantukan di luar instansi induknya. Jika demikian, gajinya dibebankan pada instansi yang menerima pembantuan. Di samping PNS, pejabat yang berwenang dapat mengangkat Pegawai Tidak Tetap (PTT) atau disebut pula honorer; yaitu pegawai yang diangkat untuk jangka waktu tertentu untuk melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan yang bersifat teknis dan profesional sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan organisasi. PTT tidak berkedudukan sebagai pegawai negeri.
Dalam birokrasi pemerintah dikenal jabatan karir, yakni jabatan dalam lingkungan birokrasi yang hanya dapat diduduki oleh PNS. Jabatan karir dapat dibedakan menjadi 2, yaitu : 
1. Jabatan Struktural, yaitu jabatan yang secara tegas ada dalam struktur organisasi. Kedudukan jabatan struktural bertingkat-tingkat dari tingkat yang terendah (eselon IV/b) hingga yang tertinggi (eselon I/a). Contoh jabatan struktural di PNS Pusat adalah : Sekretaris Jenderal, Direktur Jenderal, Kepala Biro, dan Staf Ahli. Sedangkan contoh jabatan struktural di PNS Daerah adalah : sekretaris daerah, kepala dinas/badan/kantor, kepala bagian, kepala bidang, kepala seksi, camat, sekretaris camat, lurah, dan sekretaris lurah.
2. Jabatan Fungsional, yaitu jabatan yang tidak secara tegas disebutkan dalam struktur organisasi, tetapi dari sudut pandang fungsinya diperlukan oleh organisasi, misalnya : auditor (Jabatan Fungsional Auditor atau JFA), guru, dosen, dokter, perawat, bidan, apoteker, peneliti, perencana, pranata komputer, dan penguji kendaraan bermotor. 
Salah satu motif yang erat hubungannya dengan motivasi pegawai negeri dalam bekerja adalah adanya gaji dan pangkat kepegawaian. Selain itu seorang pegawai selalu mendambakan jabatan, dan kekuasaan yang memadai sesuai dengan kemampuannya. Berikut ini penjelasan pengertian dari gaji, pangkat, jabatan dan kekuasaan yaitu merupakan hal yang mempengaruhi motivasi kerja pegawai negeri;
Gaji adalah sebagai balas jasa dan penghargaan atas prestasi kerja Pegawai Negeri yang bersangkutan. System penggajian dapat digolongkan dalam 3 (tiga) system, yaitu : 
a. System skala tunggal : System penggajian yang memberikan gaji yang sama kepada pegawai negeri yang berpangkat sama dengan tidak atau kurang memperhatikan sifat pekerjaan yang dilakukan dan beratnya tanggung jawab pekerjaannya ;
b. System skala ganda : System penggajian yang menentukan besarnya gaji bukan saja didasarkan pada pangkat, tetapi juga didasarkan pada sifat pekerjaan yang dilakukan, prestasi kerja yang dicapai, dan beratnya tanggung jawabnya pekerjaannya ;
c. System skala gabungan : Gaji pokok ditentukan sama bagi Pegawai Negeri yang berpangkat sama, disamping itu diberikan tunjangan kepada Pegawai Negeri yang memikul tanggung jawab yang lebih berat, prestasi yang lebih tinggi atau melakukan pekerjaan tertentu yang sifatnya memerlukan pemusatan perhatian dan pengerahan tenaga secara terus menerus ;
Pangkat adalah kedudukan yang menunjukkan tingkat kedudukan seseorang Pegawai Negeri Sipil berdasarkan jabatannya dalam rangkaian susunan kepegawaian dan digunakan sebagai dasar penggajian ;
Jabatan adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak seseorang Pegawai Negeri Sipil dalam suatu satuan organisasi Negara. Jabatan dalam lingkungan birokrasi pemerintahan adalah Jabatan Karier ; Kekuasaan secara lebih lengkap dapat ditinjau dari sudut politik karena hal ini sudah berhubungan dengan kepentingan tertentu, beberapa pengertian lain dari kekuasaan yang diungkapkan para ahli politik, sebagaimana diinventarisir oleh Budiardjo (1994 : 92-94) antara lain sebagai berikut :  a. Kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apapun dasar kemauan ini (Max Weber, Witchcraft und Gesselschaft, 1992) ;
b. Kekuasaan adalah kemungkinan untuk membatasi alternatif bertindak dari seseorang atau suatu kelompok sesuai dengan tujuan dari pihak pertama (van Doom, Sociologische Begrippen en Problemen rond het Verschijnsel Macht, 1957) ;
c. Kekuasaan adalah kemampuan dari pelaku untuk menetapkan secara mutlak atau mengubah (seluruhnya atau sebagian) alternatif-alternatif bertindak atau memilih, yang tersedia bagi pelaku-pelaku lain (Mokken, Power and Influence as Political Phenomena, 1976) ;
d. Kekuasaan adalah kemampuan untuk menyebabkan kesatuan-kesatuan dalam suatu sistem organisasi kolektif melaksanakan kewajiban-kewajiban yang mengikat. Kewajiban dianggap sah sejauh menyangkut tujuan-tujuan kolektif, dan jika ada perlawanan, maka pemaksaan melalui sanksi-sanksi negative dianggap wajar terlepas dari siapa yang melaksanakan pemaksaan itu (Talcott Parsons, The Distribution of Power in America Society, 1957). 
Dalam melaksanakan dan menyelenggarakan tugas pemerintah diperlukan adanya pegawai negeri yang baik dan mempunyai motivasi kerja yang tinggi. Dalam Hukum Administrasi Negara hal yang berhubungan dengan motivasi khususnya motivasi kerja pegawai negeri mendapatkan perhatian yang besar, sebab pegawai negeri sebagai penyelenggara negara mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam penyelenggaraan Negara untuk mencapai cita-cita perjuangan bangsa mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB) sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. 
Untuk mewujudkan Penyelenggaraan Negara yang mampu menjalankan fungsi dan tugasnya secara sungguh-sungguh dan penuh tanggungjawab, perlu diletakkan asas-asas penyelenggaraan Negara. Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyelenggara Negara meliputi : 
1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;
2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
3. Menteri;
4. Gubernur;
5. Hakim;
6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku; dan
7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Yang dimaksud dengan "pejabat lain yang memiliki fungsi strategis" adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya di dalam melakukan penyelenggaraan negara rawan terhadap praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang meliputi : 
1. Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah;
2. Pimpinan Bank Indonesia dan Pimpinan Badan Penyehatan Perbankan Nasional;
3. Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri;
4. Pejabat Eselon I dan Pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
5. Jaksa;
6. Penyidik;
7. Panitera Pengadilan; dan
8. Pemimpin dan bendaharawan proyek.
Menurut Penjelasan Undang-Undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian alinea ke 10 disebutkan "pembinaan Pegawai Negeri Sipil perlu diatur secara menyeluruh, yaitu dengan pengaturan pembinaan yang seragam bagi segenap Pegawai Negeri Sipil, baik Pegawai Negeri Sipil Pusat maupun Pegawai Negeri Sipil Daerah, atau dengan perkataan lain, peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil Pusat dengan sendirinya berlaku pula bagi Pegawai Negeri Sipil Daerah, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan. Dengan adanya keseragaman pembinaan sebagai tersebut di atas, maka disamping memudahkan penyelenggaraan pembinaan, dapat pula diselenggarakan keseragaman perlakuan dan jaminan kepastian hukum bagi segenap Pegawai Negeri Sipil."
Dalam Penjelasan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil alinea ke 2 disebutkan "kebijaksanaan manajemen Pegawai Negeri Sipil berada pada Presiden selaku Kepala Pemerintahan.
Sesuai dengan Pasal 25 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999, pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil dilakukan oleh Presiden. Untuk kelancaran pelaksanaan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, Presiden dapat mendelegasikan sebagian wewenangnya kepada Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat dan menyerahkan sebagian wewenangnya kepada Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah."
Dalam Peraturan Pemerintah ini juga diberikan kewenangan pembinaan karier Pegawai Negeri Sipil Daerah secara berjenjang khususnya pembinaan karier kenaikan pangkatnya. Dengan demikian tetap terdapat hubungan yang sinergi antara Pemerintah dengan Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. Pada prinsipnya pembinaan kenaikan pangkat dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian instansi induk. Namun demikian, dalam hal terdapat Pegawai Negeri Sipil yang diperbantukan di luar instansi induknya, maka gajinya dibebankan pada instansi yang menerima perbantuan dan pembinaan kenaikan pangkatnya dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian instansi yang menerima perbantuan. Sedangkan bagi Pegawai Negeri Sipil yang dipekerjakan di luar instansi induknya, maka gajinya tetap menjadi beban instansi induknya dan pembinaan kenaikan pangkatnya dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian instansi induknya. 
Disamping pengangkatan menurut ketentuan-ketentuan pokok tersebut diatas, maka segala hal mengenai urusan pegawai seperti pemberian gaji, kenaikan gaji, kenaikan pangkat, pemberhentian dan sebagainya, diselenggarakan oleh para menteri untuk tiap-tiap pegawai yang bekerja pada departemennya masing-masing atau oleh pejabat yang diserahi kekuasaan oleh menteri. Untuk itu maka tiap-tiap departemen dibentuk suatu Bagian Urusan Pegawai, yang harus merencanakan, menyiapkan dan sebagainya segala sesuatu mengenai pegawai.
Penyelenggaraan, pengangkatan, penggajian dan pemberhentian dari pegawai hams dijalankan menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah dan yang mempunyai maksud untuk berlaku seragam bagi semua pegawai negeri. Sebagaimana kaedah-kaedah hukum lainnya, maka semua hubungan hukum tersebut apabila terjadi penyimpangan yang tidak sesuai dengan kaedah-kaedah hukum tersebut akan diberi sanksi oleh pemerintah melalui aparaturnya. Karena kedaulatan Indonesia sebagai negara hukum, maka seluruh pegawai negeri sebagai subjek hukum hams tunduk kepada hukum. Sampai saat ini masih banyak masyarakat belum mengetahui dan memahami tentang kedudukan dan wewenang dari pemerintah. Dalam ketatanegaraan dibutuhkan suatu ilmu pengetahuan tentang pemerintahan, dan ketika menganalisis lebih jauh tentang pemerintah, terlebih dahulu menganalisis tentang pemerintahan dalam perspektif Hukum Administrasi Negara. Istilah "Hukum Administrasi Negara" dikenal dalam berbagai literatur dengan sebutan "Hukum Tata Usaha Negara, Hukum Tata Pemerintahan, Administratief recht, Bestuursrecht (Belanda), Administrative Law (Inggris), dan Droit Administratief (Perancis). Ke semua istilah memberikan makna sebagai "Seperangkat aturan hukum yang menyangkut hubungan hukum antara pemerintah dengan rakyat (individu/badan hukum perdata) berkenaan dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan. 

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan judul tulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan gambaran keadaan tentang pengaruh kenaikan pangkat terhadap motivasi kerja pegawai negeri, khususnya bagi pegawai negeri Kantor Pertanahan Kota X.
Sehubungan dengan hal tersebut permasalahan utama dalam skripsi ini adalah sebagai berikut : 
1. Apakah yang menjadi dasar hukum kenaikan pangkat PNS Kantor Pertanahan Kota X;
2. Syarat-syarat dan prosedur apa saja yang harus dipenuhi oleh PNS Kantor Pertanahan Kota X untuk memperoleh kenaikan pangkat;
3. Sejauh mana pengaruh kenaikan pangkat PNS Kantor Pertanahan Kota X terhadap motivasi kerja. 

C. Tujuan
Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan dan penelitian skripsi ini adalah : 
1. Untuk mengetahui peraturan perundang undangan tentang PNS dan mengenai peraturan perundang undangan tentang kenaikan pangkat PNS Kantor Pertanahan Kota X;
2. Untuk mengetahui prosedur kenaikan pangkat PNS Kantor Pertanahan Kota X;
3. Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh positif kenaikan pangkat terhadap motivasi kerja PNS Kantor Pertanahan Kota X.

D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan dan penelitian skripsi ini adalah : 
1. Memperkaya pengetahuan mengenai peraturan perundang undangan tentang PNS pada umumnya dan secara spesifik memperkaya pengetahuan mengenai peraturan perundang undangan tentang kenaikan pangkat PNS Kantor Pertanahan Kota X serta dapat memberikan masukan bagi pengembangan aplikasi Hukum Administrasi Negara dalam Instansi Pemerintah ;
2. Sebagai parameter untuk mengetahui pengaruh kenaikan pangkat terhadap motivasi kerja PNS khususnya yang bertugas di BPN dan di Instansi Pemerintah lain pada umumnya.

SKRIPSI PENERAPAN E-PROCUREMENT PADA SISTEM PELAYANAN PUBLIK MENUJU GOOD CORPORATE GOVERNANCE PADA PT. PLN

SKRIPSI PENERAPAN E-PROCUREMENT PADA SISTEM PELAYANAN PUBLIK MENUJU GOOD CORPORATE GOVERNANCE PADA PT. PLN

(KODE : FISIP-AN-0088) : SKRIPSI PENERAPAN E-PROCUREMENT PADA SISTEM PELAYANAN PUBLIK MENUJU GOOD CORPORATE GOVERNANCE PADA PT. PLN



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
BUMN sebagai unit ekonomi milik negara merupakan sektor yang penting peranan nya dalam membantu pemerintah mengimplementasikan kebijakan pembangunan yang telah digariskan dalam tujuan nasional bangsa Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Pembangunan di segala bidang yang dilakukan oleh pemerintah dalam upaya menuju kemajuan dan kemakmuran bangsa yang berorientasi pada peningkatan kualitas dan sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang tercermin dalam produktivitas nasional.
BUMN di dalam konteks perekonomian Indonesia mempunyai tempat penting, bukan saja eksistensinya hanya sebatas pengelolaan sumber daya dan produksi barang yang meliputi hajat hidup orang banyak, tetapi juga berbagai kegiatan investasi untuk produksi barang dan jasa yang tidak menarik atau terlalu besar untuk dapat dilakukan oleh pihak swasta.
Di dalam pasal 33 ayat 2 UUD 1945 ditetapkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Pasal 33 UUD 1945 tersebutlah yang menjadi dasar bagi Indonesia untuk membangun BUMN dimana BUMN tersebut merupakan perwakilan pemerintah dalam melayani kebutuhan utama publik baik secara tingkat nasional maupun daerah.
Indonesia yang masih berada dalam situasi paska krisis ekonomi (1997-2000) dan dalam upaya pembenahan ekonomi secara nasional demi menghadapi tuntutan globalisasi yang akan hadir pada tahun 2015 mulai berupaya untuk menghidupkan kegiatan perekonomian nasional dengan salah satu upayanya adalah dengan mengefektifkan kembali kinerja BUMN. Pasal 33 UUD 1945 tersebut kemudian menggiring Indonesia untuk melakukan alternatif pembangunan perekonomian yang salah satu upaya yang ditempuh oleh pemerintah adalah dengan menghidupkan kembali sector ekonomi yang berasal dari perusahaan negara (BUMN) yang menguasai alam Indonesia yang kaya.
Berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, BUMN merupakan Badan Usaha Milik Negara yang sebagian besar modal perusahaan nya berasal dari kekayaan negara, mempunyai peranan sebagai sumber pendapatan devisa negara dan juga untuk memproduksi berbagai barang dan jasa kebutuhan masyarakat. Berdasarkan undang-undang tersebut dapat dilihat bahwa BUMN sebagai institusi milik pemerintah menjadi alat vital yang efektif bagi pembangunan nasional.
Kenyataan, bahwa BUMN tidak hanya berperan sebagai usaha bisnis semata-mata yang tujuannya bukan hanya untuk mencari keuntungan, akan tetapi juga merupakan bagian dari aparatur negara yang bertujuan memberikan pelayanan kepada publik, sering kali menyebabkan bahwa BUMN menjadi birokratis dan kehilangan keluwesan serta kegesitan usaha yang diperlukan untuk menghadapi tuntutan bisnis. Dan juga banyak nya patologi di dalam tubuh BUMN menyebabkan prestasi BUMN sebagai usaha bisnis yang kurang memuaskan, malahan harus menderita rugi sehingga harus diberikan subsidi oleh pemerintah.
Kondisi tersebut menyebabkan tidak adanya transparansi dalam setiap kegiatan kinerja BUMN yang membuat semakin tidak efisiennya dan tidak efektifnya BUMN. Hal ini tentu tidak wajar, mengingat BUMN sesuai dengan jiwa UUD 1945 Pasal 33 menjadi perusahaan negara yang menguasai hajat hidup orang banyak dengan tanpa pesaing, tentunya akan sangat jauh dari kata "rugi".
Namun seiring dengan adanya reformasi, banyaknya tuntunan dari masyarakat agar adanya transparansi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap perusahaan-perusahaan milik negara yang ada di Indonesia baik Badan Usaha Milik Negara maupun Badan Usaha Milik Daerah dalam hal pengelolaan keuangan perusahaan dan juga dalam hal melakukan tender proyek pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh perusahaan. Tuntutan yang timbul dari masyarakat ini, menginginkan terwujudnya perusahaan negara yang mampu mendukung kelancaran dan keterpaduan terlaksana tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan negara dan juga pembangunan yang sesuai dengan prinsip-prinsip good corporate governance.
E-Procurement merupakan salah satu contoh e-government yang diterapkan oleh salah satu BUMN di Indonesia yaitu Perusahaan Listrik Negara (PLN). E-Procurement diterapkan karena berawal dari ketidakadaan transparansi di dalam tubuh BUMN dalam hal pengelolaan keuangan perusahaan dan dalam hal melakukan tender proyek pengadaan barang dan jasa, tingkat kemajuan teknologi informasi yang semakin canggih, serta berawal dari tuntutan kesiapan BUMN terhadap perkembangan era perdagangan bebas yang akan dilakukan pada tahun 2015 nanti
Jenis e-procurement ini merupakan implementasi e-government pada BUMN dimana melalui aplikasi e-procurement rangkaian proses tender proyek-proyek pemerintah dapat dilakukan secara online melalui internet dan juga dalam penerapan proyeknya merupakan proyek yang berskala besar dimana kebanyakan aplikasinya perlu melibatkan sejumlah sumber daya yang besar, dalam hal ini menyangkut ketersediaan modal dan juga kemampuan/keahlian yang dimiliki oleh para pegawai dalam menguasai komputer dan juga internet.
Di dalam e-procurement ini yang terjadi adalah sebuah komunikasi dua arah, dimana pemerintah mempublikasikan berbagai data dan informasi yang dimilikinya seperti dalam hal pelelangan atau tender barang untuk dapat secara langsung dan bebas diakses oleh masyarakat dan pihak-pihak lain yang berkepentingan melalui internet.
Biasanya kanal akses yang dipergunakan adalah komputer atau handphone melalui medium internet, dimana alat-alat tersebut dapat dipergunakan untuk mengakses situs (website) departemen atau divisi terkait yang ada di dalam perusahaan, kemudian user dapat melakukan browsing (melalui link yang ada) terhadap data atau informasi yang dibutuhkan.
Secara umum istilah governance lebih ditujukan untuk sistem pengendalian dan pengaturan perusahaan, dalam arti lebih ditujukan pada tindakan yang dilakukan oleh eksekutif perusahaan agar tidak merugikan para stakeholder. Good corporate governance menyangkut tentang konsep moralitas, etika kerja, dan prinsip-prinsip kerja yang baik yang harus dilakukan oleh para eksekutif perusahaan dalam mengambil kebijakan dan keputusan.
Corporate governance yang buruk disinyalir sebagai salah satu sebab terjadinya krisis ekonomi dan krisis politik di Indonesia pada tahun 1997 yang lalu (www.kompas.com, 22 Oktober 2007, Dengan judul artikel : Good Corporate Governance Sebuah Keharusan). Mulai saat itulah tata kelola perusahaan yang baik {good corporate governance I GCG) mengemuka. Dimulai dengan jatuhnya perusahaan-perusahaan di Indonesia yang disebabkan oleh tidak patuhnya manajemen perusahaan terhadap prinsip-prinsip good corporate governance tersebut dimana hal ini ditandai dengan kurang transparan nya pengelolaan perusahaan sehingga kontrol publik menjadi sangat lemah, konglomerat yang tidak baik dalam menjalankan usaha dimana hal tersebut dapat dilihat dengan terkonsentrasi nya pemegang saham besar pada beberapa keluarga konglomerat yang menyebabkan campur tangan pemegang saham mayoritas pada manajemen perusahaan yang sangat terasa serta menimbulkan konflik kepentingan yang sangat menyimpang dari norma-norma tata kelola perusahaan yang baik, dan juga pemerintah yang penuh dengan patologi KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme) yang sangat kronis.
Kondisi tersebut semakin diperparah dengan rendahnya tingkat stabilitas keamanan dalam negeri dan tidak berfungsinya aparat penegak hukum menjadikan investasi jangka panjang yang ikut menggerakkan sektor riil mulai meninggalkan Indonesia dan memindahkan perusahaannya ke beberapa negara tetangga. Indonesia sudah tidak dianggap lagi sebagai negara yang kompetitif untuk investasi jangka panjang. Ini tentu saja semakin menambah jumlah pengangguran dan mengganggu kinerja ekspor negara kita.
Oleh sebab itu, untuk menyehatkan perekonomian Indonesia kembali maka seluruh elemen masyarakat dan juga para stakeholder lainnya menuntut agar segera menerapkan prinsip good corporate governance ini dalam perusahaan-perusahaan di Indonesia secara efektif agar kejadian krisis ekonomi dan krisis politik tidak kembali lagi terjadi di Indonesia.
Penerapan tata kelola perusahaan yang baik memberikan banyak sekali keuntungan bagi perusahaan itu sendiri dan masyarakat, tumbuhnya kepercayaan investor memberi peluang akses sumber pendanaan yang murah dan berkembangnya pasar modal kita, menguatnya kepercayaan lembaga keuangan domestik maupun internasional memberi peluang akses kredit dengan bunga yang kompetitif, kontrol yang efektif mengurangi kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Bersihnya perusahaan dari praktik-praktik korupsi memungkinkan perusahaan untuk beroperasi secara efisien dan menghasilkan produk-produk yang mampu bersaing di pasar global, yang pada gilirannya mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak dan berkesinambungan.
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan diatas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dan menuangkannya dalam bentuk skripsi dengan judul "PENERAPAN E-PROCUREMENT PADA SISTEM PELAYANAN PUBLIK MENUJU GOOD CORPORATE GOVERNANCE PADA PT.PLN".

B. Perumusan Masalah
Untuk mempermudah penelitian ini nantinya dan agar penelitian ini memiliki arah yang jelas dalam menginterpretasikan fakta dan data ke dalam penulisan skripsi, maka terlebih dahulu dirumuskan permasalahan yang akan diteliti.
Berdasarkan pada uraian latar belakang masalah diatas, maka dapat dikemukakan perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimana Penerapan E-Procurement Pada Sistem Pelayanan Publik Menuju BUMN Yang Good Corporate Governance (Studi Pada PT. PLN).

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 
1. Untuk mengetahui sudah sejauh mana penerapan e-procurement dalam sistem pelayanan publik pada PT. PLN.
2. Untuk mengetahui tingkat kesiapan sumber daya manusia para pegawai PT.PLN setelah diterapkan nya e-procurement.
3. Untuk mengetahui pola kerjasama yang dibina oleh PT.PLN dalam rangka menuju BUMN yang good corporate governance.

D. Manfaat Penelitian
Adapun yang diharapkan penulis dari penelitian ini adalah : 
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan bagi penulis dan pembaca tentang teori e-government (melalui e-procurement), sistem pelayanan publik, dan good corporate governance.
2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan untuk sebagai bahan masukan atau referensi bagi PT.PLN dalam menerapkan e-procurement pada sistem pelayanan publik menuju BUMN yang good corporate governance
3. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmiah dan keputusan baru dalam penelitian-penelitian ilmu sosial khususnya bagi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 

SKRIPSI HUBUNGAN REFORMASI BIROKRASI DENGAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK

SKRIPSI HUBUNGAN REFORMASI BIROKRASI DENGAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK

(KODE : FISIP-AN-0087) : SKRIPSI HUBUNGAN REFORMASI BIROKRASI DENGAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Birokrasi di Indonesia selalu jadi sebuah diskursus yang tidak pernah membosankan. Karena, hingga kini birokrasi di Indonesia masih problematik dan jauh dari apa yang menjadi harapan. Birokrasi yang buruk menjadi salah satu masalah akut di Indonesia. Rendahnya kinerja pelayanan publik dan minimnya kualitas sumberdaya aparatur seperti tidak pernah ada akhirnya. Mulai dari KKN sampai dengan sistem birokrasi yang buruk menjadi hambatan (red tape barriers) dalam mewujudkan birokrasi yang pro terhadap kepentingan rakyat banyak.
Krisis ekonomi yang dialami Indonesia tahun 1997, pada tahun 1998 telah berkembang menjadi krisis multidimensi. Kondisi tersebut mengakibatkan adanya tuntutan kuat dari segenap lapisan masyarakat terhadap pemerintah untuk segera diadakan reformasi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejak itu, telah terjadi berbagai perubahan penting yang menjadi tonggak dimulainya era reformasi di bidang politik, hukum, ekonomi, dan birokrasi yang dikenal sebagai reformasi gelombang pertama. Perubahan tersebut dilandasi oleh keinginan sebagian besar masyarakat untuk mewujudkan pemerintahan demokratis dan mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat yang didasarkan pada nilai-nilai dasar sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
Publikasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Direktur Laporan Harta Kekayaan Penyelenggaraan Negara (LHKPN) dan Ombudsman RI dengan kesimpulan Indeks Pelayanan Publik di Sumut terus mengalami penurunan sejak dua tahun terakhir. Bahkan khusus Kota X komitmen dan pengawasan pejabatnya sangat rendah untuk memperbaiki pelayanan publik. Pencapaian pelayanan publik kota X sudah sempat membaik di tahun 2009, tetapi kemudian semakin turun hingga kondisinya sangat memprihatinkan seperti saat ini. Paparan KPK menunjukkan temuan terbanyak masalah pelayanan publik tersebut ada di dinas kependudukan dan catatan sipil. Kemudian pelayanan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), proses uji KIR di Dinas Perhubungan dan sejumlah proses administrasi keimigrasian. 
Dalam hal pelayanan publik, pemerintah belum dapat menyediakan pelayanan publik yang berkualitas sesuai dengan tantangan yang dihadapi, yaitu perkembangan kebutuhan masyarakat yang semakin maju dan persaingan global yang semakin ketat. Hal ini dapat dilihat dari hasil survei integritas yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2009 yang menunjukkan bahwa kualitas pelayanan publik Indonesia baru mencapai skor 6,64 dari skala 10 untuk instansi pusat, sedangkan pada tahun 2008 skor untuk unit pelayanan publik di daerah sebesar 6,69. Skor integritas menunjukkan karakteristik kualitas dalam pelayanan publik, seperti ada tidaknya suap, ada tidaknya Standard Operating Procedures (SOP), kesesuaian proses pelayanan dengan SOP yang ada, keterbukaan informasi, keadilan dan kecepatan dalam pemberian pelayanan, dan kemudahan masyarakat melakukan pengaduan.
Pelayanan publik di bidang administrasi kependudukan merupakan salah satu tugas pelayanan publik yang dilaksanakan oleh pemerintah. Pelayanan tersebut diantaranya pembuatan KTP, kartu keluarga, serta berbagai Akta Catatan Sipil maupun pencatatan Mutasi dan pengelolaan Data Penduduk. Namun kondisi yang terjadi di masyarakat menunjukan bahwa pelayanan publik dalam bentuk pelayanan administrasi kependudukan belum sepenuhnya berjalan dengan baik dan masih ditemuinya hambatan.
Pemerintah Indonesia saat ini berusaha untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih (clean government) dan menerapkan tata kelola yang baik (good governance). Kedua hal tersebut baru bisa dicapai jika penyelenggaraan pemerintahan didasarkan pada prinsip kepastian hukum, professional, visioner, efisien, efektif, akuntabel, transparan, dan partisipatif. Pencapaian tata kelola pemerintahan memerlukan reformasi di berbagai bidang dimana termasuk didalamnya adalah reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi di Indonesia saat ini tengah berlangsung untuk menciptakan pemerintahan yang baik di tahun 2025.
Hal ini yang mendorong penulis untuk mengkaji dan meneliti masalah reformasi birokrasi dan kualitas pelayanan publik. Oleh sebab itu dalam kesempatan ini penulis mengupayakan suatu kajian ilmiah dalam judul penelitian sebagai berikut : "HUBUNGAN REFORMASI BIROKRASI DENGAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK (STUDI PADA KECAMATAN X)".

B. Perumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan permasalahan pokok dalam penelitian ini, yaitu : "Apakah reformasi birokrasi mempunyai hubungan dengan kualitas pelayanan publik di Kecamatan X ?"

C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah : 
1. Untuk mengetahui reformasi birokrasi di Kecamatan X
2. Untuk mengetahui kualitas pelayanan publik di Kecamatan X
3. Untuk mengetahui apakah reformasi birokrasi mempunyai hubungan dengan kualitas pelayanan publik di Kecamatan X.

D. Manfaat Penelitian
Disamping tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian, penelitian ini juga dapat bermanfaat. Adapun manfaat yang ingin dicapai oleh penulis adalah : 
1. Bagi penulis khususnya, penelitian ini bermanfaat untuk mengembangkan kemampuan penulis menulis karya ilmiah, terutama dalam menganalisa permasalahan yang terjadi di masyarakat yang ada kaitannya dengan ilmu yang di dapat di dalam perkuliahan.
2. Bagi Instansi terkait, penelitian diharapkan dapat menjadi masukan yang berguna bagi kemajuan instansi itu sendiri.
3. Bagi Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk melengkapi ragam penelitian yang telah dilakukan oleh para mahasiswa serta dapat menjadi bahan masukan bagi Fakultas dan diharapkan dapat menjadi salah satu referensi tambahan bagi mahasiswa di masa yang akan datang.

TESIS STRATEGI KEPALA SEKOLAH DALAM MENGEMBANGKAN KOMPETENSI PEDAGOGIK PENDIDIK

TESIS STRATEGI KEPALA SEKOLAH DALAM MENGEMBANGKAN KOMPETENSI PEDAGOGIK PENDIDIK

(KODE : PASCSARJ-0252) : TESIS STRATEGI KEPALA SEKOLAH DALAM MENGEMBANGKAN KOMPETENSI PEDAGOGIK PENDIDIK (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Konteks Penelitian
Lembaga pendidikan dipandang sebagai lembaga yang memiliki peran strategis dalam meningkatkan sumberdaya manusia. Pendidikan merupakan wahana ampuh untuk membawa bangsa menjadi maju dan terpandang dalam pergaulan bangsa-bangsa dan dunia internasional. Proses pendidikan dengan sengaja dilakukan untuk mencerdaskan bangsa serta mencetak generasi yang unggul. Peran pendidikan sangat urgen dalam pembangunan sumberdaya manusia yang diharapkan mampu berperan aktif dalam pembangunan nasional. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam rangka pengembangan mutu pendidikan bagi Bangsa Indonesia adalah dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Pasal 3 Undang-undang No. 20 Tahun 2003 itu dijelaskan bahwa :
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, tujuan pendidikan tidak hanya mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia berilmu, cakap, dan kreatif saja tetapi juga sehat, mandiri, demokratis, bertanggung jawab, serta berakhlak mulia. Untuk mewujudkan tujuan ini Pemerintah menetapkan standar nasional pendidikan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam peraturan pemerintah ini dijelaskan bahwa Standar Nasional Pendidikan meliputi : (1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar kompetensi lulusan, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar sarana dan prasarana, (6) standar pengelolaan, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian pendidikan.
Satuan Pendidikan formal memiliki tanggung jawab dalam pemenuhan Standar Isi, Standar Proses, Standar Kompetensi Lulusan, Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Standar Sarana dan Prasarana, Standar Pengelolaan, Standar Pembiayaan, dan Standar Penilaian Pendidikan, masing-masing dalam SNP dan standar mutu diatas SNP. Hal diatas tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 63 tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan, pada pasal 18 ayat 1.3 :
Mutu sumberdaya manusia berkorelasi positif dengan mutu pendidikan, dan mutu pendidikan sering diindikasikan dengan kondisi yang baik, memenuhi syarat, dan segala komponen yang terdapat dalam pendidikan, termasuk pendidik serta tenaga kependidikan.
Berkaitan dengan tuntutan akan sumberdaya manusia yang tinggi adalah salah satu dari tuntutan dunia pendidikan, karena kualitas terdidik akan tergali dan dapat diasah dengan baik dengan proses pendidikan yang baik pula. Asumsi yang terbangun pada pakar pendidikan di Indonesia saat ini adalah bahwa pendidikan yang dilaksanakan bangsa Indonesia belum mampu menjawab permintaan yang besar terhadap mutu sumberdaya manusia. Bahkan Darmaningtyas dengan tegas mengatakan bahwa "Institusi pendidikan itu tidak cerdas dan tidak kritis, terbukti mereka tidak punya kepekaan terhadap masalah kritis". Asumsi-asumsi yang dinyatakan tentang buruknya kondisi mutu pendidikan di Indonesia harusnya dijawab dengan perbaikan infrastruktur dan suprastruktur pendidikan baik yang ada di bawah koordinasi departemen maupun di luar koordinasi departemen. Adanya berbagai tuntutan tersebut merupakan tugas dari lembaga pendidikan untuk dapat meningkatkan mutu pendidik sebagai salah satu komponen terpenting dalam dunia pendidikan. Ruh pendidikan sesungguhnya terletak dipundak pendidik. Bahkan, baik buruknya atau berhasil tidaknya pendidikan hakikatnya ada di tangan pendidik.
Mutu pendidikan berkaitan dengan beberapa komponen seperti input, proses, output, sarana dan prasarana serta biaya yang tersedia. Namun yang memiliki peran yang sangat penting adalah pendidik yang bermutu atau berkualitas. Sosok pendidik memiliki peranan yang strategis dalam "mengukir" peserta didik menjadi pandai, cerdas, terampil, bermoral dan berpengetahuan luas. Sehingga strategi pengembangan mutu pendidik menjadi hal yang harus diperhatikan. Menurut Sanusi Sekolah tidak saja membutuhkan penambahan sumber daya manusia tetapi juga memiliki program pengembangan sumber daya manusia (SDM). Program pengembangan bagi guru khususnya dalam upaya meningkatkan profesionalitas guru. Rasionalnya guru merupakan media utama bagi pembelajaran, yang bertanggung jawab dan memberikan sumbangan pada pengembangan potensi siswa.
Peranan pendidik sangat menentukan dalam usaha pengembangan mutu pendidikan. Untuk itu pendidik sebagai agen pembelajaran dituntut untuk mampu menyelenggarakan proses pembelajaran dengan sebaik-baiknya, dalam kerangka pembangunan pendidikan. Pendidik mempunyai fungsi dan peran yang sangat strategis dalam pembangunan bidang pendidikan, dan oleh karena itu perlu dikembangkan sebagai profesi yang bermartabat. Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 4 menyiratkan bahwa pendidik sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Dalam mendukung harapan itu, pemerintah Indonesia menetapkan standar kualifikasi akademik dan kompetensi pendidik sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Untuk dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, pendidik wajib untuk memiliki syarat tertentu, salah satu diantaranya adalah kompetensi.
Sebagai tenaga edukatif dalam lingkup sekolah, pendidik harus memiliki kompetensi-kompetensi dasar kependidikan. Sebab dalam interaksi pembelajaran peserta didik, seorang pendidik harus bisa melakukan demonstrasi yang hidup dan menyenangkan bagi peserta didik. Sehingga kompetensi tersebut menyebabkan pembelajaran semakin bertambah baik.
Kompetensi pendidik terdiri dari kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Sejalan dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab pendidik pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut pendidik untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan penyesuaian penguasaan kompetensinya. Terutama kompetensi pedagogik yang menjadi ruh proses pembelajaran di sekolah. Dalam Standar Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat 3 butir a dikemukakan bahwa : 
Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Diantara permasalahan mengenai kompetensi pedagogik pendidik berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di MIN X menunjukkan bahwa rata-rata guru di Kota X memiliki kompetensi pedagogik dalam kategori cukup. Satu-satunya dimensi kompetensi pedagogik yang dapat dikategorikan baik adalah pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam proses pembelajaran. Sedangkan dimensi yang lain, yang meliputi : penguasaan karakteristik anak didik, penguasaan teori dan prinsip-prinsip pembelajaran, pengembangan kurikulum mata pelajaran diampu, penyelenggaraan pembelajaran yang mendidik, upaya memfasilitasi pengembangan dan pengaktualisasian berbagai potensi yang dimiliki anak didik, kemampuan berkomunikasi yang efektif, empatik dan santun kepada semua anak didik, kemampuan penilaian dan evaluasi, serta kemampuan melakukan tindakan reflektif dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran, masih berkisar pada kategori cukup. Dengan demikian, pengembangan kompetensi pedagogik menjadi hal yang sangat urgen dalam mewujudkan pendidik yang profesional.
Kompetensi pedagogik menjadi hal yang sangat urgen dalam pembelajaran, termasuk dalam meningkatkan mutu pendidikan. Berkaitan dengan pentingnya pendidik atau guru dalam meningkatkan mutu pendidikan, Tilaar mengatakan bahwa pendidik abad 21 harus memenuhi empat kriteria yaitu : (1) mempunyai kepribadian yang matang (mature and developing personality), (2) menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, (3) mempunyai keterampilan untuk membangkitkan minat peserta didik, dan (4) mengembangkan profesinya secara kesinambungan.
Pendidik yang profesional menurut Muhaimin perlu mempunyai karakteristik yakni : (1) komitmen terhadap profesionalitas, yang melekat pada dirinya sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja serta sikap continuous improvement (2) menguasai ilmu dan mampu mengembangkan serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoritis, melakukan internalisasi serta amaliah (implementasi) (3) memiliki kepekaan intelektual dan informasi serta memperbaharui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan dan berusaha mencerdaskan peserta didiknya, memberantas kebodohan mereka serta melatih keterampilan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya. Berdasarkan pendapat Muhaimin tersebut, peningkatan profesionalisme pendidik/pendidik harus menjadi prioritas utama pemerintah dan instansi terkait demi terwujudnya pendidik yang profesional. Beberapa pandangan tersebut sejalan dengan Oemar Hamalik bahwa pentingnya perbaikan proses pendidikan agar lebih bermutu, yaitu diawali dengan perbaikan tenaga pendidikan karena ini merupakan hal yang sangat mendasar. 
Betapapun baiknya visi, misi, kurikulum yang telah di susun oleh para ahli, ketersediaan peralatan dan biaya yang cukup untuk kebutuhan pendidikan, namun pada akhirnya keberhasilan tergantung pada kinerja dan cara mengimplementasikan dalam proses dan situasi pendidikan.
Akhir-akhir ini terjadi gelombang aksi tuntutan mengenai profesionalisme pendidik. Eksistensi pendidik menjadi bagian inheren yang tidak dapat dipisahkan dari satu kesatuan interaksi pedagogis dalam sistem pengelolaan pengajaran pendidikan (sekolah). Hal diatas sejalan dengan cita-cita yang tertuang dalam tujuan pendidikan nasional. Sebagaimana yang termaktub dalam Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II pasal 3 :
"Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."
Karena itu, sikap profesionalisme dalam dunia pendidikan (sekolah), tidak sekadar dinilai formalitas tetapi harus fungsional dan menjadi prinsip dasar yang melandasi aksi operasionalnya. Tuntutan demikian ini wajar karena dalam dunia modern, khususnya dalam rangka persaingan global, memerlukan sumberdaya manusia yang bermutu dan selalu melakukan improvisasi diri secara terus menerus. Sehingga dapat dikatakan bahwa tenaga pendidik merupakan cetak biru (blueprint) bagi penyelenggaraan pendidikan.
Seorang pendidik yang baik adalah mereka yang memenuhi persyaratan kemampuan profesional baik sebagai pendidik maupun sebagai pengajar atau pelatih. Di sinilah letak pentingnya standar mutu profesional pendidik untuk menjamin proses belajar mengajar dan hasil belajar yang bermutu. Terutama permasalahan disparitas mutu pendidikan yang berkaitan dengan (1) ketersediaan pendidik dan tenaga kependidikan yang belum memadai baik secara kuantitas dan kualitas, maupun kesejahteraannya, (2) prasarana dan sarana belajar yang belum tersedia, dan bila pun tersedia belum didayagunakan secara optimal, (3) pendanaan pendidikan yang belum memadai untuk menunjang mutu pembelajaran, (4) proses pembelajaran yang belum efisien dan efektif; dan penyebaran sekolah yang belum merata, ditandai dengan belum meratanya partisipasi pendidikan antara kelompok masyarakat, seperti masih terdapat kesenjangan antara penduduk kaya dan mi skin, kota dan desa, laki-laki dan perempuan, antar wilayah.
Secara nasional pendidik yang telah berkualifikasi S1 mencapai 42.3%. pendidik yang belum berkualifikasi S1 lebih banyak mengajar di pendidikan dasar serta berada di pedesaan dan sekitar 30% masih berusia dibawah 36 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan mutu pendidik menjadi suatu keharusan mengingat standar kualifikasi dan kompetensi yang telah ditentukan oleh pemerintah.
Menjadi pendidik yang profesional tidak akan terwujud tanpa adanya upaya untuk meningkatkannya, hal ini membutuhkan dukungan dari pihak-pihak yang mempunyai peran penting, dalam hal ini adalah kepala sekolah, dimana kepala sekolah merupakan pemimpin di lembaga pendidikan yang sangat penting karena berhubungan langsung dengan pelaksanaan program pendidikan di sekolah. Ketercapaian pendidik profesional sangat bergantung pada kecakapan/kemampuan manajerial kepala sekolah.
Kepala Sekolah sebagai pemimpin di lingkungan Sekolah memiliki peran penting dalam pengembangan kompetensi para pendidik di sekolah. Mengingat Kepala Sekolah sebagai top manajer pada sekolahnya adalah motor penggerak, turut menentukan berhasil atau tidaknya sekolah yang dipimpin, termasuk pengembangan kompetensi pendidik, baik sebagai educator (pendidik), manajer, administrator, supervisor, leader (pemimpin), pencipta iklim kerja maupun sebagai wirausahawan. Seberapa jauh kepala sekolah dapat mengoptimalkan segenap peran yang diembannya, secara langsung maupun tidak langsung dapat memberikan kontribusi terhadap peningkatan kompetensi/profesionalisme pendidik, dan pada gilirannya dapat membawa efek terhadap pengembangan mutu pendidikan di sekolah. 
Menurut E. Mulyasa kemampuan kepala sekolah yang mandiri dan profesional dengan kemampuan manajemen serta kepemimpinannya yang tangguh mampu mengambil keputusan dan prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah. Kemandirian disini selanjutnya diperlukan terutama untuk memobilisasi sumberdaya sekolah dalam kaitannya dengan perencanaan, evaluasi program sekolah, pengembangan silabus, pembelajaran, pengelolaan ketenagaan, sarana dan sumber belajar, keuangan, pelayanan siswa, hubungan sekolah dengan masyarakat dan penciptaan iklim sekolah.
SMAN X adalah salah satu diantara beberapa sekolah yang ditetapkan menjadi sekolah rintisan kategori mandiri. Selain itu, juga merupakan suatu lembaga pendidikan yang berkualitas. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa indikator, yaitu : kurikulum pendidikan, output, kualitas pendidik, minat orang tua, bangunan gedung serta fasilitas yang ada di sekolah tersebut.
SMAN X tersebut mempunyai output yang berkualitas. Hal ini dapat dilihat bahwa sekolah tersebut beberapa kali mendapat juara di dalam beberapa kompetisi, baik ditingkat regional maupun nasional. Prestasi yang diraih tersebut memiliki korelasi dengan mutu pendidik SMAN X yang merupakan tenaga yang berkualitas, hal ini dapat dilihat bahwa pendidik yang ada merupakan lulusan sarjana yang sesuai dengan kualifikasi pendidik. Selain itu, kualitasnya juga dilihat dari prestasi yang diraih oleh siswa SMAN X, baik prestasi akademik ataupun non akademik, serta minat orang tua dalam menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut dapat dilihat bahwa tiap tahun ajaran baru pendaftar yang ada selalu dalam jumlah yang tinggi serta dari latar belakang kemampuan siswa yang termasuk siswa-siswa berprestasi di sekolah-sekolah mereka sebelumnya (SLTP). Dengan demikian, SMAN X representatif untuk dijadikan lokasi penelitian yang sesuai dengan fokus penelitian ini.

B. Fokus Penelitian
1. Bagaimana strategi manajerial yang dilakukan kepala SMAN X dalam mengembangkan kompetensi pedagogik pendidik ?
2. Bagaimana dampak yang ditimbulkan dari strategi kepala sekolah dalam mengembangkan kompetensi pedagogik pendidik di SMAN X ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian sesuai dengan fokus penelitian diatas, yakni : 
1. Untuk mendeskripsikan strategi kepala SMAN X dalam mengembangkan kompetensi pedagogik pendidik di SMAN X.
2. Untuk mendeskripsikan dampak yang ditimbulkan dari strategi kepala sekolah dalam mengembangkan kompetensi pedagogik pendidik di SMAN X.

D. Manfaat Penelitian 
1. Secara teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi keilmuan untuk menjadi bahan kajian dan bahan penelitian selanjutnya. Terutama yang berkaitan dengan strategi kepala sekolah dalam mengembangkan kompetensi pedagogik pendidik, bagaimana strategi yang diterapkan untuk mengembangkan kompetensi pedagogik pendidik atau menambah referensi untuk pelaksanaan pengembangan kompetensi pedagogik pendidik di daerah-daerah pinggiran karena pelaksanaan strategi ini tidak bisa diseragamkan antara satu sekolah dengan sekolah lainnya, sehingga hal ini akan bermanfaat bagi praktisi pendidikan terutama Kepala sekolah dan para pendidik. 
2. Secara Praktis
Dapat memberikan masukan dan sumbang saran untuk semua pihak pengelola SMAN X, sebagai lokasi penelitian, dan lembaga-lembaga lain untuk memproyeksikan agenda pengembangan kompetensi pedagogik pendidik yang lebih baku dan identik dengan strategi pengembangan mutu pendidik ini sesuai dengan tuntutan masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan guna memenuhi harapan masyarakat baik masa sekarang atau yang akan datang.

TESIS PENGARUH KUALITAS PELAYANAN PERPUSTAKAAN TERHADAP KEPUASAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN LOYALITAS MAHASISWA

TESIS PENGARUH KUALITAS PELAYANAN PERPUSTAKAAN TERHADAP KEPUASAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN LOYALITAS MAHASISWA

(KODE : PASCSARJ-0251) : TESIS PENGARUH KUALITAS PELAYANAN PERPUSTAKAAN TERHADAP KEPUASAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN LOYALITAS MAHASISWA (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Untuk meningkatkan sumber daya manusia yang memiliki intelektual dan unggul, mampu bersaing dalam bidangnya maka tidak terlepas dari peranan Perguruan Tinggi sebagai institusi pendidikan. Perguruan Tinggi bertugas menghasilkan alumni-alumni yang berkualitas. Proses belajar dan mengajar saja tidak cukup tetapi perlu didukung dengan fasilitas-fasilitas penunjang lainnya terutama perpustakaan. Karena perpustakaan adalah tempat dimana masyarakat, pelajar, dan mahasiswa dapat memperoleh informasi dan belajar mandiri guna untuk meningkatkan kualitasnya. Sebagai pusat informasi, perpustakaan tidak hanya sebatas gedung dan buku. Perpustakaan yang modern memiliki tugas dan fungsi untuk mencari, mengumpulkan, mengorganisasikan, mendokumentasikan dan menyajikan informasi kepada pengguna baik dalam bentuk cetakan maupun dalam bentuk elektronik.
Bagi kebanyakan masyarakat, perpustakaan selalu dipersepsikan identik dengan ruangan yang sepi, koleksi yang out of date dan tidak menarik. Segala kekurangan ini masih ditambah dengan keluhan pelayanan yang diberikan kadang kurang profesional dan kurang simpatik
Perlu diketahui bahwa status Perpustakaan di Indonesia keberadaannya masih terpinggirkan. Ada yang menganggap penting tapi masih sebatas retorika. Sebuah perpustakaan, merupakan salah satu ukuran dalam menilai sejauh mana kualitas knowledge yang dimiliki dan dihasilkan oleh institusi tersebut. Karena itu perpustakaan menjadi sumber yang sangat penting dalam pengembangan knowledge di institusinya, begitu juga dengan peranan perpustakaan perguruan tinggi.
Perpustakaan sebagai organisasi publik nonprofit memberikan pelayanan informasi kepada masyarakat pemakainya dengan mengutamakan kepuasan pelanggan. Berbeda dengan organisasi bisnis yang memberikan layanan umum dengan mengutamakan keuntungan (profit). Namun di antara organisasi profit dan nonprofit terdapat kesamaan tugas, yakni melayani masyarakat pengguna. Perpustakaan adalah pelayanan. Tidak ada perpustakaan jika tidak ada pelayanan. Karena itu sebenarnya perpustakaan identik dengan pelayanan. Maka perpustakaan dan petugas perlu mengubah pola pikir bahwa pemakai adalah pelanggan (customers). Kepuasan pelanggan menjadi salah satu tujuan pelayanan suatu perpustakaan.
Untuk mencapai tujuan pelayanan yang berkualitas, perpustakaan dituntut untuk memenuhi kebutuhan masyarakat penggunanya. Tidak saja terpenuhinya sumber-sumber informasi tetapi perlu juga diperhatikan fasilitas-fasilitas fisik, kualitas pelayanan, dan teknologi yang dapat membantu proses pelayanan sehingga tercapainya kepuasan pemakai, karena kepuasan dan loyalitas adalah berkaitan, walaupun keterkaitannya ada, tidak selalu beriringan.
PP Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi menegaskan bahwa perpustakaan merupakan unsur penunjang pendidikan tinggi. Secara harfiah, unsur penunjang dapat diartikan sebagai sesuatu yang harus ada untuk kesempurnaan yang ditunjang. Peran strategis ini juga terlihat jelas dalam proses akreditasi sebuah pendidikan tinggi, dimana perpustakaan merupakan unsur utama, walau bukan yang pertama. Jika suatu lembaga pendidikan tinggi ingin mendapatkan akreditasi resmi, maka perpustakaan dan segala isinya wajib ada. Artinya, akreditasi tidak akan diperoleh jika lembaga tersebut tidak memiliki perpustakaan. Secara teori, perpustakaan sebetulnya memiliki peran strategis dalam eksistensi pendidikan tinggi. Sebagai unsur penunjang penting, perpustakaan tidak dapat diabaikan, khususnya dalam hal pencapaian visi. Jika sebuah universitas ingin menjadi 'universitas bertaraf internasional', otomatis perpustakaan juga harus ikut menjadi 'perpustakaan bertaraf internasional'.
Ketidakstabilan frekuensi kunjungan dan jumlah pinjaman setiap bulannya, menunjukan bahwa minimnya kualitas pelayanan yang ada di Perpustakaan Universitas X. Kualitas pelayanan perpustakaan adalah salah satu variabel yang sangat menentukan untuk mencapai kepuasan dan loyalitas mahasiswa terhadap pemanfaatan perpustakaan, untuk mengetahui pengaruh kualitas pelayanan tersebut terhadap kepuasan mahasiswa serta keeratan hubungan antara kepuasan dengan loyalitas mahasiswa, peneliti mencoba melihat pengaruh tersebut berdasarkan pada lima dimensi, yaitu : Bukti fisik, adalah aspek-aspek nyata yang bisa dilihat dan diraba, termasuk sumber daya manusia. Kehandalan, adalah aspek-aspek kehandalan sistem pelayanan yang diberikan oleh perpustakaan, apakah jasa yang diberikan sesuai dengan standar-standar umum atau kemampuan mewujudkan jasa sesuai dengan yang telah dijanjikan secara cepat. Ketanggapan, adalah keinginan untuk membantu mahasiswa dan menyediakan jasa yang dibutuhkan atau kecepat-tanggapan dari pustakawan dalam memberikan jasa serta dapat menangkap aspirasi-aspirasi yang muncul dari mahasiswa. Jaminan, adalah bahwa jasa yang diberikan memberikan jaminan kenyamanan, kemampuan sumber daya dalam memberikan pelayanan yang sesuai dengan standar. Empati, adalah kemudahan dalam mendapatkan pelayanan, keramahan, komunikasi, dan kemampuan memahami kebutuhan mahasiswa.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dirumuskan masalah sebagai berikut : 
a. Sejauhmana pengaruh kualitas pelayanan perpustakaan yang terdiri dari; bukti fisik, kehandalan, ketanggapan, jaminan, dan empati terhadap kepuasan mahasiswa Universitas X
b. Bagaimana hubungan kepuasan mahasiswa dengan loyalitas mahasiswa dalam memanfaatkan Perpustakaan Universitas X.

C. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui pengaruh kualitas pelayanan perpustakaan yang terdiri dari; bukti fisik, kehandalan, ketanggapan, jaminan, dan empati terhadap kepuasan mahasiswa Universitas X.
b. Untuk mengetahui variabel yang paling dominan dari kualitas pelayanan yang terdiri dari; bukti fisik, kehandalan, ketanggapan, jaminan, dan empati yang mempengaruhi kepuasan mahasiswa Universitas X
c. Untuk mengetahui hubungan kepuasan dengan loyalitas mahasiswa Universitas X.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi;
a. Perbaikan kepada Manajemen Perpustakaan Universitas X dalam menentukan kebijakan dan perencanaan ke depan guna untuk meningkatkan kualitas pelayanan
b. Dapat memberikan sumbangan (contribution) empirik bagi para akademisi dalam pengembangan ilmu pengetahuan tentang kualitas pelayanan yang mempengaruhi kepuasan dan hubungannya dengan loyalitas mahasiswa terhadap perpustakaan Universitas X
c. Bagi peneliti, dapat melatih dan berpikir secara ilmiah serta menambah wawasan pengetahuan di bidang manajemen pemasaran, khususnya yang berkaitan dengan kualitas pelayanan .
d. Bagi akademisi dan peneliti lanjutan, dapat menjadi bahan referensi atau bahan acuan untuk penelitian selanjutnya terutama yang berminat untuk meneliti tentang kualitas pelayanan.

TESIS ANALISIS PENGARUH JOB STRESSOR DAN KONFLIK KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI DINAS PEKERJAAN UMUM

TESIS ANALISIS PENGARUH JOB STRESSOR DAN KONFLIK KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI DINAS PEKERJAAN UMUM

(KODE : PASCSARJ-0250) : TESIS ANALISIS PENGARUH JOB STRESSOR DAN KONFLIK KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI DINAS PEKERJAAN UMUM (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian
Setiap perusahaan atau organisasi dituntut untuk dapat menggunakan sumber daya yang dimiliki seoptimal mungkin, dalam arti perusahaan harus dapat menciptakan keunggulan kompetitif, sehingga diharapkan dapat menghadapi para pesaingnya. Salah satu permasalahan yang dihadapi perusahaan atau organisasi adalah mencari metode yang tepat untuk mengatur dan mengkoordinasikan sumber daya manusia secara efektif dan efisien. Meskipun terdapat banyak teori tentang manajemen sumber daya manusia, namun pada prakteknya untuk mencapai hal tersebut bukan merupakan satu hal yang mudah, sebab sumber daya manusia ini terdiri dari berbagai manusia dengan karakteristik yang berbeda-beda.
Pada zaman sekarang banyak organisasi yang mengubah konsep operasional dalam manajemen sumber daya manusia, yang dulunya organisasi memperlakukan pegawai secara individu tetapi sekarang para pegawai tersebut diperlakukan sebagai bagian dari suatu kelompok atau tim kerja dalam suatu kelompok, dengan tujuan dapat mengoptimalkan aspek sosial, teknis serta kinerja dari individu itu sendiri dalam lingkungan kerja. Dalam suatu kelompok atau tim kerja terdiri dari berbagai macam individu dengan berbagai latar belakang, pendidikan, dan sifat yang berbeda sehingga konflik dapat muncul setiap saat. Jika suatu konflik tidak dapat terselesaikan dengan baik, maka akan dapat berdampak buruk bagi kelompok secara langsung maupun kinerja organisasi secara tidak langsung.
Di samping, konflik dapat terjadi pada setiap organisasi, maka konflik dapat menyebabkan akibat bagi organisasi tersebut. Akibat itu, dapat merupakan hal yang negatif, tetapi dapat juga merupakan hal yang positip, bergantung bentuk konflik itu sendiri. Pada hakikatnya konflik tidak bisa dihindari tetapi bisa diminimalkan agar konflik tidak mengarah ke perpecahan, permusuhan bahkan mengakibatkan suatu organisasi mengalami kerugian. Tetapi jika konflik dapat diolah dengan baik maka suatu organisasi memperoleh keuntungan yang maksimal seperti menciptakan persaingan sehat antar karyawan. Jadi, pihak manajemen harus dapat menangkap gejala-gejala dan indikator-indikator konflik yang berdampak konstruktif dan konflik yang berdampak destruktif. Pihak manajemen harus benar-benar jeli dalam melihat, memperhatikan dan merasakan perilaku-perilaku karyawannya agar konflik yang berdampak negatif dapat ditekan
Stres dan konflik merupakan salah satu masalah yang mungkin timbul dalam organisasi. Hal tersebut bisa disebabkan adanya ketidakpuasan pegawai terhadap apa yang diinginkan dan apa yang diharapkan dalam lingkungan kerja, bisa juga terjadi di luar lingkungan kerja pegawai. Stress bisa terjadi karena faktor-faktor yang menyebabkannya, atau bisa juga disebut job stressor. Stres merupakan suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir, dan kondisi mental seseorang. Konflik kerja dalam organisasi merupakan ketidaksesuaian antara dua individu atau kelompok dalam suatu perusahaan atau organisasi yang timbul karena ada kenyataan bahwa pihak satu dengan yang lain harus membagi sumber daya yang terbatas atau kegiatan kerja dan atau kenyataan kedua belah pihak mempunyai status, tujuan, nilai-nilai, dan persepsi yang berbeda-beda. Job stressor dan konflik kerja dapat menimbulkan dampak yang positip dan negatif terhadap organisasi atau perusahaan, itu semua tergantung pada sifat stres pekerjaan dan konflik itu sendiri dan bagaimana cara mengatasinya. Konflik dapat berperan positip (fungsional), tetapi dapat pula berperan negatif (disfungsional). Ini berarti konflik harus dapat dikelola sebaik-baiknya, karena potensial untuk dapat berkembang "positif" dan "negatif" dalam kegiatan organisasi untuk mencapai tujuannya.
Job stressor dan konflik kerja merupakan masalah yang timbul pada pegawai pada Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Kabupaten X. Masalah yang dihadapi pegawai bisa bersifat sementara atau jangka panjang, ringan, atau berat, tergantung seberapa besar kekuatan dan kemampuan pegawai dalam menghadapinya. Apabila setiap persoalan yang ada pada Dinas Pekerjaan Umum dapat terselesaikan dengan baik, maka akan meningkatkan kinerja pegawai, yang pada gilirannya akan dapat menimbulkan dampak positip bagi Dinas Pekerjaan Umum dalam meningkatkan kinerjanya, sebaliknya, apabila masalah-masalah tersebut tidak dapat terselesaikan dengan baik, maka akan dapat menurunkan kinerja pegawai, karena masalah yang terjadi secara terus menerus dan dihadapi oleh pegawai dapat menimbulkan stres dan konflik yang berkepanjangan sehingga akan dapat menimbulkan dampak yang negatif.
Pada dasarnya kinerja pegawai merupakan cara kerja pegawai dalam suatu perusahaan atau selama periode tertentu. Suatu organisasi atau perusahaan yang memiliki pegawai yang kinerjanya baik maka besar kemungkinan kinerja organisasi atau perusahaan tersebut juga baik, sehingga dalam hal ini terdapat hubungan yang sangat erat antara kinerja individu (pegawai) dengan kinerja organisasi atau perusahaan, hal ini juga berlaku bagi pegawai negeri yang bekerja di Pemerintah Pusat, Pemerintah Kota, maupun Pemerintah Kabupaten.
Kabupaten X adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara, Indonesia yang memiliki beberapa dinas-dinas sebagai pelaksana kebijakan pemerintah di antaranya adalah Dinas Pekerjaan Umum. Kabupaten X sebagai sebuah kabupaten yang baru berdiri perlu membangun infrastruktur-infrastruktur demi jalannya pembangunan di kabupaten tersebut. Pegawai Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten X bekerja di berbagai bagian atau sub dinas, dimana bagian bagian tersebut saling berhubungan, dan dari beberapa bagian tersebut terdapat banyak sekali perbedaan-perbedaan dari pendapatan, gaji, kondisi kerja, mutu supervisi, tantangan tugas, sampai pada perbedaan jabatan yang tercakup dalam kebutuhan-kebutuhan dasar manusia seperti yang dikemukakan Maslow, di mana perbedaan-perbedaan tersebut disebabkan adanya perbedaan bidang pekerjaan suatu individu pegawai/pegawai tersebut.
Fenomena melatarbelakangi penelitian ini adalah tingginya beban kerja di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten X menimbulkan job stressor dan konflik kerja yang pada akhirnya dapat menurunkan kinerja pegawai. Job stressor yang paling nyata adalah stressor yang datang dari individu dan stressor yang datang dari lingkungan kerja, maupun stressor yang bersumber dari teknis maupun non-teknis, misalnya perbedaan nilai kompensasi di luar gaji yang berbeda antara seorang pegawai dengan pegawai lain di mana banyak pegawai merasa banyak melakukan pekerjaan tetapi kompensasi yang mereka terima lebih kecil dari pegawai yang sedikit pekerjaannya, demikian pula dari segi promosi dimana banyak pegawai merasa pengangkatan pimpinan pada Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten X baik sebagai kepala seksi, kepala bagian dan lain lain, bukan dinilai dari kinerja tetapi dikarenakan pegawai tersebut mempunyai kedekatan hubungan dengan pimpinan. 
Kinerja pegawai dinas Pekerjaan Umum Kabupaten X juga sangat rendah hal ini ditunjukkan dengan waktu penyelesaian pekerjaan yang cukup lama khususnya apabila pekerjaan tersebut berhubungan dengan administrasi, Dinas PU Kabupaten X harus membuat laporan mingguan dan laporan bulanan untuk setiap proyek yang sedang berjalan, laporan mingguan ini sering baru selesai setelah dua minggu demikian juga dengan laporan bulanan tidak pernah selesai pada waktu yang telah ditetapkan, pada umumnya rendahnya kinerja ini disebabkan oleh rendahnya kemampuan sumber daya manusia yang bekerja di kantor ini, khususnya apabila berhubungan dengan komputer dan penyusunan anggaran keuangan ataupun pembukuan.
Konflik yang timbul terjadi antara unit kerja dan antar seksi {intergroup conflict), karena beranggapan bahwa seksi atau bagian kerja merekalah yang paling memiliki target yang terlalu besar dan beranggapan seksi lain memiliki target yang terlalu kecil. Hal ini dapat menimbulkan kecemburuan dan rasa ketidakadilan oleh pegawai.
Adanya berbagai bentuk stres pekerjaan, konflik kerja, perbedaan tanggapan atau pengelolaan konflik individu dan akibatnya terhadap kinerja pegawai di Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten X tersebut, mendorong peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul : "ANALISIS PENGARUH JOB STRESSOR DAN KONFLIK KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI DINAS PEKERJAAN UMUM PEMERINTAH KABUPATEN X".

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut : apakah job stressor dan konflik kerja berpengaruh signifikan terhadap kinerja pegawai Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten X ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah : untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh job stressor dan konflik kerja terhadap kinerja pegawai Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten X secara simultan maupun parsial.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi : 
1. Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten X, sebagai masukan bagi pimpinan dalam merumuskan kebijakan, strategi dan program kerja dalam meningkatkan kinerja pegawai di instansi tersebut
2. Bagi peneliti, untuk menambah pengetahuan, membuka cakrawala berpikir dan menambah wawasan mengenai job stressor, konflik kerja dan kinerja pegawai. 
3. Peneliti selanjutnya, sebagai referensi untuk melakukan penelitian yang sama pada masa mendatang.