Search This Blog

TESIS PENGARUH BEBAN KERJA DAN KONDISI KERJA TERHADAP STRES KERJA PADA PERAWAT

TESIS PENGARUH BEBAN KERJA DAN KONDISI KERJA TERHADAP STRES KERJA PADA PERAWAT

(KODE : PASCSARJ-0244) : TESIS PENGARUH BEBAN KERJA DAN KONDISI KERJA TERHADAP STRES KERJA PADA PERAWAT (PROGRAM STUDI : KESEHATAN MASYARAKAT)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Rumah sakit adalah bagian integral dari keseluruhan sistem pelayanan kesehatan yang dikembangkan melalui rencana pembangunan kesehatan, sehingga pengembangan rumah sakit tidak dapat dilepaskan dari kebijaksanaan pembangunan kesehatan, saling keterkaitan ini terlihat jelas dari visi pembangunan kesehatan yakni Indonesia sehat 2010 yang terwujud dalam undang-undang bidang kesehatan no 23/1992.
Berdasarkan SK Menteri Kesehatan RI. No. 983/Menkes/SK/XI/1992 menyebutkan bahwa rumah sakit adalah tempat yang memberikan pelayanan kesehatan yang bersifat dasar spesialistik dan subspesialistik serta memberikan pelayanan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Sebagai salah satu jaringan pelayanan kesehatan yang penting rumah sakit merupakan salah satu industri jasa. Bentuk pelayanan ini bersifat sosio ekonomi yaitu suatu usaha yang walau bersifat sosial namun diusahakan agar bisa mendapat surplus keuntungan dengan cara pengelolaan yang profesional dengan memperhatikan prinsip ekonomi (Djododibroto, 1997).
Pelayanan kesehatan yang kini berkembang di rumah sakit bukan saja menyangkut masalah bangunannya (seperti ukuran kompleksitas, jumlah unit, jumlah kualifikasi staf medis dan non medis, si stem keuangan serta si stem informasi) tetapi menyangkut pula pada kwalitas pekerja kesehatan dalam memberikan pelayanan.
Dalam bidang pelayanan kesehatan, pemerintah telah merencanakan visi “Indonesia Sehat 2010". Dimana dalam visi tersebut pemerintah bertekad untuk dapat meningkatkan kesehatan masyarakat secara menyeluruh (Bambang, 2002). Dalam mencapai visi tersebut, salah satu strategi yang harus di lakukan adalah meningkatkan profesionalisme termasuk profesionalisme masyarakat pekerja rumah sakit. Pekerja di rumah sakit termasuk kelompok masyarakat yang turut berperan dalam mencapai" Indonesia Sehat 2010. Oleh karena itu pekerja rumah sakit merupakan sumber daya manusia yang harus dibina agar menjadi produktif dan berkualitas (Depkes RI, 2003).
Rumah sakit umum adalah Rumah Sakit yang memberikan pelayanan kesehatan semua jenis penyakit dari yang bersifat dasar sampai yang spesialistik dan mempunyai karakteristik pelayanan yang berbeda dengan industri jasa lainnya.
Menurut Yanuar Hamid (2004) Rumah Sakit mempunyai karakteristik sebagai berikut : 
1. Diberikan selama 24 jam terus menerus selama 365 hari dalam setahun
2. Pelayanan bersifat individual
3. Setiap saat bisa terjadi kedaruratan medik
4. Setiap saat bisa menghadapi kejadian luar biasa
5. Padat teknologi, modal dan tenaga.
Di Rumah Sakit, sumber daya manusia terbanyak yang berinteraksi secara langsung dengan pasien adalah perawat, sehingga kualitas pelayanan yang dilaksanakan oleh perawat dapat dinilai sebagai salah satu indikator baik buruk nya kwalitas pelayanan di Rumah Sakit.
Sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan, rumah sakit beroperasi 24 jam sehari. Rumah sakit membuat pemisahan terhadap pelayanan perawatan pasien yaitu pelayanan pasien yang memerlukan penanganan emergensi, tidak emergensi dan yang diopname. Penanganan pada pelayanan tersebut dilaksanakan oleh pekerja kesehatan rumah sakit. Pekerja kesehatan rumah sakit yang terbanyak adalah perawat yang berjumlah sekitar 60% dari tenaga kesehatan yang ada di rumah sakit. Perawat merupakan salah satu pekerja kesehatan yang selalu ada di setiap rumah sakit dan merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan rumah sakit. Perawat di rumah sakit bertugas pada pelayanan rawat inap, rawat jalan atau poliklinik dan pelayanan gawat darurat.(Hamid, 2001).
Peran perawat sangat penting karena sebagai ujung tombak dirawat inap dan merupakan tenaga yang paling lama kontak dengan pasien yaitu selama 24 jam. Hal ini akan menyebabkan stressor yang kuat pada perawat di lingkungan pekerjaan nya (Anna Keliat, 1999)
Gibson dalam Heater Marr (1987) mengatakan, salah satu unsur yang sangat menentukan dan saling mempengaruhi dalam mutu pelayanan keperawatan adalah unsur proses yang dilakukan perawat, tindakan yang tidak sesuai dengan standard keperawatan akan sulit untuk mencapai kualitas mutu pelayanan keperawatan.
Perawat adalah profesi pekerjaan yang mengkhususkan diri pada upaya penanganan perawatan pasien atau asuhan kepada pasien dengan tuntutan kerja yang bervariasi, tergantung pada karakteristik-karakteristik tertentu dalam melaksanakan pekerjaannya. Karakteristik tersebut meliputi karakteristik tugas (yang membutuhkan kecepatan, kesiagaan serta kerja shift), karakteristik organisasi, serta karakteristik lingkungan kerja baik lingkungan fisik dan sosial. Selain itu perawat juga dibebani tugas tambahan lain dan sering melakukan kegiatan yang bukan fungsinya.
Menurut Schroder dalam Heater Marr (1991), perawat yang terlibat dalam meningkatkan mutu pelayanan keperawatan harus dapat melaksanakan pengkajian yang mendalam di area praktek nya dan dapat melaksanakan riset, memperlihatkan rasa tanggungjawab dalam menentukan aspek keperawatan sesuai dengan keahliannya, dapat berkomunikasi dengan rekan sejawat serta dapat menerapkan disiplin ilmu.
Hal ini sejalan dengan penelitian Departemen Kesehatan dan Universitas Indonesia (2005) bahwa terdapat 78,8% perawat melaksanakan tugas kebersihan, 63,6% melakukan tugas administratif dan lebih dari 90% melakukan tugas non keperawatan (misalnya menetapkan diagnosa penyakit, membuat resep dan melakukan tindakan pengobatan) dan hanya 50% yang melakukan asuhan keperawatan sesuai dengan fungsinya.
Seorang perawat diharapkan bersikap penuh perhatian dan kasih sayang terhadap pasien maupun keluarga pasien dalam melaksanakan tugasnya, namun pada kenyataannya di masa sekarang ini masih banyak dijumpai keluhan masyarakat tentang buruknya kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan oleh perawat, yang ditulis di berbagai media masa.
Menurut Kariyoso (1994) di masa sekarang ini masih saja ada stigma yang berkembang di masyarakat yang menyatakan bahwa perawat merupakan sosok yang tidak ramah dan tidak bersikap hangat terhadap pasiennya.
Tugas dan tanggung jawab perawat bukan hal yang ringan untuk dipikul. Hal inilah yang bisa menimbulkan stres kerja pada perawat. Stres yang dihadapi oleh perawat di dalam bekerja akan sangat mempengaruhi kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan kepada pasien. Stres kerja akan berpengaruh pada kondisi fisik, psikologis dan sikap perawat (Robbins, 1998).
Sebuah survei di Prancis menyebutkan persentase kejadian stres sekitar 74% di alami perawat, mereka mengeluh dan kesal terhadap lingkungan yang menuntut kekuatan fisik dan keterampilan, hal ini merupakan penyebab stres Perawat (Frasser, 1997).
Tingkah laku negatif pekerja yang mengalami stres berkorelasi dengan hasil kerja, peningkatan ketidakhadiran kerja, tendensi mengalami kecelakaan kerja, sehingga dampak negatif yang ditimbulkan merupakan hambatan baik dalam management maupun oprasional kerja serta dapat menurunkan produktivitas kerja terutama mutu pelayanan (Scholler, 1980).
Keith Davis (1985) mengatakan bahwa stres sebagai suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses pikiran, dan kondisi fisik seseorang. Stres yang dialami seseorang tentunya akan mengganggu kesehatannya.
Hasil penelitian Plaut dan Friedman (1981), Baker, (1985) menyatakan bahwa stres yang dialami seseorang akan menurunkan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit dengan cara menurunkan jumlah fighting disease cells, sehingga seseorang lebih mudah terinfeksi penyakit, terkena alergi dan untuk menyembuhkannya memerlukan waktu yang lama karena produksi sel-sel kekebalan menurun.
Penurunan status kesehatan ini tentunya akan menurunkan kinerja yang akhirnya juga menurunkan produktivitas kerja. Kondisi tersebut akan mempengaruhi perusahaan tempat bekerja, dimana perusahaan akan mengalami kerugian finansial karena tidak seimbangnya antara produktivitas dengan biaya yang dikeluarkan untuk membayar gaji, tunjangan dan fasilitas lainnya. Banyak pekerja yang tidak masuk kerja dengan berbagai alasan, atau pekerjaan tidak selesai pada waktunya karena kelambanan atau kesalahan yang berulang (Rini, 2002).
Kondisi kerja mencakup lingkungan secara fisik dan sosial misalnya hubungan dengan teman sekerja, hubungan atasan dengan bawahan dan rasa aman bagi pekerja itu sendiri saat melakukan pekerjaan (Anoraga, 2006).
Kondisi lingkungan fisik dapat berupa suhu yang terlalu panas, terlalu dingin, terlalu sesak, kurang cahaya dan semacamnya. Ruangan yang terlalu panas menyebabkan ketidaknyamanan seseorang dalam menjalankan pekerjaannya, begitu juga ruangan yang terlalu dingin. Panas bukan hanya dalam pengertian temperatur udara tetapi juga sirkulasi atau arus udara. Disamping itu, kebisingan juga mengambil andil tidak kecil munculnya stres kerja, sebab beberapa orang sangat sensitif pada kebisingan dibanding yang lain (Margiati, 1999).
Beban kerja sebagai sumber stres disebabkan karena kelebihan beban kerja baik beban kerja kualitatif maupun beban kerja kuantitatif (French dan Kaplan, 1973). Beban kerja perawat di rumah sakit meliputi beban kerja fisik dan mental. Beban kerja bersifat fisik meliputi mengangkat pasien, memandikan pasien, membantu pasien ke kamar mandi, mendorong peralatan kesehatan, merapikan tempat tidur, mendorong brankas pasien. Sedangkan beban kerja yang bersifat mental dapat berupa bekerja dengan shift atau bergiliran, kompleksitas pekerjaan (mempersiapkan mental dan rohani pasien dan keluarga terutama yang akan memerlukan operasi atau dalam keadaan kritis), bekerja dengan keterampilan khusus dalam merawat pasien, tanggung jawab terhadap kesembuhan serta harus menjalin komunikasi dengan pasien.
Beban kerja yang terbagi atau mendadak tidaknya suatu tugas, kesulitan tugas, ketercukupan waktu penyelesaian, teman kerja yang bisa membantu dan kelelahan menyelesaikan tugas.
Secara umum orang berpendapat bahwa jika seseorang dihadapkan pada tuntutan pekerjaan yang melampaui kemampuan individu tersebut, maka di katakan individu itu mengalami stres kerja. Stres merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami gangguan emosi karena adanya kondisi yang mempengaruhi dirinya yang dapat diperoleh dari dalam maupun dari luar diri seseorang (Ulhaq, 2008).
Menurut Hager (1999), stres sangat bersifat individual dan pada dasarnya bersifat merusak bila tidak ada keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan beban yang dirasakannya. Namun, berhadapan dengan suatu stressor (sumber stres) tidak selalu mengakibatkan gangguan secara psikologis maupun fisiologis.
Seperti yang telah diungkapkan di atas, lingkungan pekerjaan berpotensi sebagai stressor kerja. Stressor kerja merupakan segala kondisi pekerjaan yang dipersepsikan karyawan sebagai suatu tuntutan dan dapat menimbulkan stres kerja. Stressor yang sama dapat dipersepsi secara berbeda, yaitu dapat sebagai peristiwa yang positif dan tidak berbahaya, atau menjadi peristiwa yang berbahaya dan mengancam. Penilaian kognitif individu dalam hal ini nampaknya sangat menentukan apakah stressor itu dapat berakibat positif atau negatif. Penilaian kognitif tersebut sangat berpengaruh terhadap respon yang akan muncul (Selye, 1956). Penilaian kognitif bersifat individual differences, maksudnya adalah berbeda pada masing-masing individu. Perbedaan ini disebabkan oleh banyak faktor. Penilaian kognitif itu, bisa mengubah cara pandang akan stres. Dimana stres diubah bentuk menjadi suatu cara pandang yang positif terhadap diri dalam menghadapi situasi yang stressful. Sehingga respon terhadap stressor bisa menghasilkan outcome yang lebih baik bagi individu.
Rumah sakit Umum X adalah Rumah Sakit yang memberikan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat di daerah sekitar lokasi Rumah Sakit tersebut. Unit perawatan rawat inap yang ada di Rumah Sakit Umum X, terdiri dari Ruang Perawatan Bedah, Ruang Perawatan Anak, Ruang Perawatan Kebidanan dan Perawatan Dewasa. Berdasarkan data Rumah Sakit Umum X Kabupaten X terdapat 58 perawat di ruang Rawat Inap yang tersebar di ruang rawat bedah 9 orang, di ruang perawatan kebidanan 10 orang, di ruang perawatan anak 10 orang, dan di ruang perawatan dewasa 29 orang. Perawat jaga dibagi dalam 3 shift kerja yaitu pagi dari jam 08.00 WIB-14.00 WIB, siang dari 14.00 WIB-21.00 WIB, malam dari jam 21.00 WIB-08.00 WIB.
Hasil wawancara pada uji pendahuluan yang dilakukan pada perawat ruang rawat inap di rumah sakit tersebut yang mengalami stres kerja. Hal ini terlihat dengan banyaknya keluhan nyeri otot dan sendi, mudah marah, sulit konsentrasi, apatis, perasaan lelah, dan nafsu makan menurun. Menurut Anoraga (2001), hal ini merupakan gejala-gejala stres kerja. Untuk mencegah keluhan yang ada maka perlu adanya suatu penelitian yang berkaitan dengan hubungan beban kerja dan kondisi kerja dengan stres kerja perawat di ruang rawat inap rumah sakit umum X Kabupaten X.

B. Permasalahan
Bagaimana pengaruh beban kerja dan kondisi kerja terhadap stres kerja perawat di ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum X Kabupaten X.

C. Tujuan Penelitian
Menganalisis pengaruh beban kerja dan kondisi kerja terhadap stress kerja pada perawat di ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum X Kabupaten X.

D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai masukan pada Rumah Sakit Umum X tentang pengaruh beban kerja dan kondisi kerja terhadap stres kerja pada perawat di ruang rawat inap.
2. Menambah wawasan bagi peneliti lain guna pengembangan ilmu pengetahuan tentang stres dalam lingkungan pekerjaan.

TESIS PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN FISIK DAN KEBIASAAN KELUARGA TERHADAP KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)

TESIS PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN FISIK DAN KEBIASAAN KELUARGA TERHADAP KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD)

(KODE : PASCSARJ-0243) : TESIS PENGARUH FAKTOR LINGKUNGAN FISIK DAN KEBIASAAN KELUARGA TERHADAP KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) (PROGRAM STUDI : KESEHATAN MASYARAKAT)



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit demam berdarah dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus dengue yang menempati posisi penting dalam deretan penyakit infeksi yang masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Penyakit ini nyaris di temukan diseluruh belahan dunia terutama di negara tropik dan subtropik baik secara endemik maupun epidemik dengan outbreak yang berkaitan dengan datangnya musim penghujan.
Menurut Word Health Organization (1995) populasi di dunia diperkirakan berisiko terhadap penyakit DBD mencapai 2, 5-3 miliar terutama yang tinggal di daerah perkotaan di negara tropis dan subtropis. Saat ini juga diperkirakan ada 50 juta infeksi dengue yang terjadi diseluruh dunia setiap tahun. Diperkirakan untuk Asia Tenggara terdapat 100 juta kasus demam dengue (DD) dan 500.000 kasus DHF yang memerlukan perawatan di rumah sakit, dan 90% penderitanya adalah anak-anak yang berusia kurang dari 15 tahun dan jumlah kematian oleh penyakit DHF mencapai 5% dengan perkiraan 25.000 kematian setiap tahunnya (WHO, 2012).
Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga 2009, WHO mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara dan tertinggi nomor dua di dunia setelah Thailand (Depkes, 2010).
Di Asia Tenggara termasuk Indonesia epidemik DBD merupakan problem abadi dan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada anak-anak. Hasil studi epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit ini terutama dijumpai pada anak-anak di bawah usia 15 tahun, tetapi dalam dekade terakhir ini terlihat ada kecenderungan peningkatan proporsi penderita DBD pada golongan dewasa dan tidak dikemukakan perbedaan signifikan dalam kerentanan terhadap serangan DBD antar gender (Djunaedi, 2006).
Penyakit DBD menunjukkan fluktuasi musiman, biasanya meningkat pada musim penghujan atau beberapa minggu setelah hujan. Pada awalnya kasus DBD memperlihatkan siklus lima tahun sekali selanjutnya mengalami perubahan menjadi tiga tahun, dua tahun dan akhirnya setiap tahun diikuti dengan adanya kecenderungan peningkatan infeksi virus dengue pada bulan-bulan tertentu. Hal ini terjadi, kemungkinan berhubungan erat dengan perubahan iklim dan kelembaban, terjadinya migrasi penduduk dari daerah yang belum ditemukan infeksi virus dengue ke daerah endemis penyakit virus dengue atau dari pedesaan ke perkotaan terutama pada daerah yang kumuh pada bulan-bulan tertentu (Soegijanto, 2008).
Kota X merupakan salah satu wilayah endemis DBD yang mempunyai mobilitas penduduk cukup tinggi yang mempunyai potensi besar untuk terjadinya KLB penyakit DBD. Berdasarkan data dari Bidang PMK Dinas Kesehatan Kota X pada tahun 2007 angka kesakitan DBD di Kota X adalah sebesar 132, 12 per 100.000 penduduk. Angka ini menunjukkan kenaikan dibandingkan dua tahun sebelumnya. Tahun 2008 angka kesakitan DBD di kota X sebesar 101.72 per 100.000 penduduk, dimana dari angka tersebut terjadi penurunan bila dibandingkan tahun 2007. Pada tahun 2009, angka kesakitan DBD di kota X sebesar 61, 4 per 100.000 penduduk, mengalami penurunan bila dibandingkan tahun sebelumnya. Akan tetapi mengalami peningkatan yang sangat berarti bila dibandingkan dengan tahun 2010 sebesar 243, 7 per 100.000 penduduk, kasus tertinggi ditemukan di kecamatan X dengan 216 kasus, sedangkan pada tahun 2011 angka kesakitan DBD sebesar 60, 16 per 100.000 penduduk (142 kasus) mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya (Profil Kesehatan Kota X, 2011).
Berdasarkan hasil pencatatan Penyakit Menular Kesehatan (PMK) Dinkes Kota X (2011) seluruh kecamatan di Kota X berstatus endemis DBD. Kecamatan yang paling sering mengalami peningkatan kasus DBD adalah Kecamatan X, dimana rata-rata angka IR demam berdarah dengue lima tahun terakhir jauh diatas target IR nasional yaitu < 55/100.000 penduduk. Jumlah kasus DBD di Kecamatan X tahun 2007 sebesar 198, 4 per 100.000 penduduk, tahun 2008 sebesar 163, 1 per 100.000 penduduk, tahun 2009 sebesar 50, 1 per 100.000 penduduk, tahun 2010 mengalami peningkatan yang signifikan yaitu sebesar 400, 5 per 100.000 penduduk, dan tahun 2011 sebesar 100, 1 per 100.000 penduduk.
Diduga tingginya angka kejadian DBD ini disebabkan masih banyaknya tempat perindukan nyamuk yang berupa bak mandi, ember, gentong, TPA yang bukan untuk keperluan sehari-hari misalnya vas bunga, ban bekas, tempat sampah, tempat minum burung, dan Iain-lain, serta tempat penampungan air alamiah yaitu lubang pohon, pelepah daun keladi, lubang batu, dan Iain-lain (Depkes, 2005).
Meningkatnya jumlah kasus DBD serta bertambah luasnya wilayah yang terjangkit dari waktu ke waktu di Indonesia disebabkan multi faktorial antara lain semakin majunya sarana transportasi masyarakat; kian padatnya pemukiman penduduk; perilaku manusia seperti kebiasaan menampung air untuk keperluan sehari-hari seperti menampung air hujan, air sumur, membuat bak mandi atau drum/tempayan sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk; kebiasaan menyimpan barang-barang bekas atau kurang memeriksa lingkungan terhadap adanya air yang tertampung di dalam wadah-wadah dan kurang melaksanakan kebersihan dan 3M Plus; dan terdapatnya nyamuk Aedes Aegipty sebagai vektor utama penyakit DBD hampir di seluruh pelosok tanah air serta adanya empat tipe virus Dengue yang bersirkulasi setiap sepanjang tahun (Ginanjar, 2008 & Kemenkes RI, 2004).
Demikian juga menurut Soegijanto (2006) banyak faktor yang memengaruhi kejadian penyakit DBD di Indonesia antara lain faktor hospes, lingkungan (environment), dan respon imun. Faktor hospes yaitu kerentanan (susceptibility), dan respon imun. Faktor lingkungan yaitu kondisi geografis (ketinggian dari permukaan laut, curah hujan, kelembaban, musim), kondisi demografis (kepadatan, mobilitas, perilaku, adat istiadat, kebiasaan, sosial ekonomi penduduk, jenis dan kepadatan nyamuk sebagai vektor penular penyakit. Faktor agent yaitu sifat virus Dengue yang hingga saat ini diketahui ada 4 jenis seroptipe vims Dengue yaitu Dengue 1, 2, 3, 4.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan angka kejadian DBD sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Penelitian Rose (2008) tentang hubungan sosio demografi dan lingkungan fisik dengan kejadian DBD di Kota Pekan Baru, menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara faktor lingkungan fisik seperti jarak rumah, tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari dengan kejadian DBD (OR= 1, 79. dan OR= 0, 34). Demikian juga halnya dengan penelitian Marsaulina (2005) menyatakan penampungan air terhadap kejadian DBD (dengan OR 5, 8 dan 4, 6). Penelitian Fathi, et.al, (2005) juga mengungkapkan bahwa ada hubungan antara keberadaan kontainer dengan kejadian KLB penyakit DBD, dan penelitian Nugrahaningsih (2010) menunjukkan bahwa faktor lingkungan berhubungan dengan keberadaan jentik nyamuk penular DBD adalah keberadaan kontainer.
Faktor kebiasaan masyarakat seperti kebiasaan tidur siang, penggunaan kelambu siang hari, pemakaian anti nyamuk siang hari, dan kebiasaan menggantung pakaian juga berpotensi menimbulkan tingginya kejadian DBD. Sebagaimana hasil penelitian Sitio (2008) tentang hubungan prilaku PSN dan kebiasaan keluarga dengan kejadian DBD tahun 2008 mengungkapkan bahwa ada hubungan signifikan antara kebiasaan keluarga memakai anti nyamuk di siang hari dan kebiasaan menggantung pakaian siap pakai dengan kejadian DBD (p = 0, 026 ; OR = 4, 34 dan p = 0, 018; OR = 5, 50).
Departemen Kesehatan telah mengupayakan pelbagai strategi untuk mengatasi peningkatan kejadian DBD ini. Pada awalnya strategi utama pemberantasan DBD menurut Depkes adalah memberantas nyamuk dewasa melalui pengasapan. Kemudian strategi diperluas dengan menggunakan larva sida yang ditaburkan ke tempat penampungan air. Namun kedua metode ini sampai sekarang belum memperlihatkan hasil yang memuaskan dimana terbukti dengan peningkatan kasus dan bertambah jumlah wilayah yang terjangkit DBD. Mengingat obat dan virus vaksin untuk membunuh virus Dengue belum ada, maka cara yang paling efektif untuk mencegah DBD ialah dengan PSN melalui gerakan 3M Plus yaitu menguras, menutup dan mengubur, ikanisasi di kolam/bak-bak penampungan air, memasang kawat kasa, menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar, mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai, menggunakan kelambu, memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk, yang dilaksanakan oleh masyarakat secara teratur setiap minggunya.
Berdasarkan kajian tersebut diduga kuat ada pengaruh faktor lingkungan fisik dan kebiasaan keluarga terhadap kejadian demam berdarah dengue (DBD) di Kecamatan X.

B. Permasalahan
Kecamatan X merupakan wilayah berstatus endemis DBD dimana angka kejadian DBD terus menerus meningkat dan berfluktuasi setiap tahunnya dan sampai saat ini belum diketahui faktor risiko yang memengaruhi kejadian DBD serta keeratan hubungannya. 

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh faktor lingkungan fisik dan kebiasaan keluarga terhadap kejadian DBD di Kecamatan X.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut : 
1. Sebagai bahan masukan dan informasi kepada Pemerintah Kota X melalui Dinas Kesehatan Kota X dalam merencanakan strategi yang tepat dalam pengendalian dan pencegahan penyakit DBD di Kota X.
2. Sebagai bahan informasi kepada masyarakat tentang pengaruh faktor lingkungan fisik dan kebiasaan keluarga terhadap kejadian demam berdarah dengue.
3. Menambah referensi ilmiah tentang pengaruh faktor lingkungan fisik dan kebiasaan keluarga terhadap kejadian DBD.

TESIS PENGARUH KARAKTERISTIK KADER DAN STRATEGI REVITALISASI POSYANDU TERHADAP KEAKTIFAN KADER

TESIS PENGARUH KARAKTERISTIK KADER DAN STRATEGI REVITALISASI POSYANDU TERHADAP KEAKTIFAN KADER

(KODE : PASCSARJ-0242) : TESIS PENGARUH KARAKTERISTIK KADER DAN STRATEGI REVITALISASI POSYANDU TERHADAP KEAKTIFAN KADER (PROGRAM STUDI : KESEHATAN MASYARAKAT)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gangguan gizi pada anak dibawah usia lima tahun (balita) pada umumnya secara kuantitas kasusnya tidak pernah berkurang, demikian pula halnya terjadi di Indonesia selama ini, cenderung meningkat akibat krisis ekonomi tahun 1997. Akibat kurang gizi dikhawatirkan dapat mengancam kualitas sumberdaya manusia generasi penerus, sesungguhnya kita memiliki sarana untuk mengatasinya. Apabila posyandu dapat melaksanakan fungsi dasarnya sebagai unit pemantau tumbuh kembang anak, melaksanakan imunisasi, memberi makanan tambahan (PMT) dan penyuluhan kesehatan kepada ibu dan anak (Depdagri, 2001).
Pemeliharaan dan perawatan kesejahteraan ibu dan anak-anak sejak usia dini, merupakan strategi dalam upaya pemenuhan pelayanan dasar yang meliputi peningkatan derajat kesehatan dan gizi yang baik, lingkungan yang sehat, aman, pengembangan daya pikir dan daya cipta serta perlindungan terhadap anak. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dasar masyarakat dengan fokus pada ibu dan anak dapat dilakukan di posyandu. Karena posyandu merupakan wadah peran serta masyarakat untuk menyampaikan dan memperoleh pelayanan kesehatan dasarnya, maka diharapkan pula strategi operasional secara dini dapat dilakukan di setiap posyandu (Depkes RI, 2001).
Posyandu merupakan sarana kesehatan berbasis masyarakat yang paling memasyarakat dewasa ini. Posyandu yang meliputi 5 program prioritas (KB, KIA, Gizi, Imunisasi dan penanggulangan diare) terbukti mempunyai manfaat besar terhadap penurunan angka kematian bayi. Sejak dicanangkan pada tahun 1984 oleh presiden Soeharto, pertumbuhan jumlah posyandu bertambah besar dan ternyata juga dibarengi dengan peranannya yang menonjol, khususnya dalam meningkatkan cakupan program. Dapat kita lihat bahwa posyandu membawa kontribusi yang besar pada peningkatan cakupan program, khususnya pada sasaran populasi bayi bawah lima tahun (Balita) dan ibu (Depdagri, 2001).
Selama ini banyak ditemukan kasus gizi buruk yang disebabkan kurang berfungsinya posyandu, rendahnya kemampuan kader, banyak kader yang tidak aktif dari pada yang aktif, kurang pembinaan dan perhatian dari unsur Pemerintah desa dan dinas/instansi/lembaga terkait, yang mengakibatkan rendahnya minat masyarakat untuk menggunakan posyandu. Akibat lebih lanjut adalah banyak hal yang sesungguhnya dapat bermanfaat bagi ibu-ibu untuk memahami cara merawat anak secara baik sejak dalam kandungan, dapat meningkatkan keselamatan ibu saat melahirkan. Oleh karena itu perlu diupayakan langkah dalam memberdayakan kader agar lebih profesional dalam melayani masyarakat di posyandu (Depdagri, 2001).
Upaya yang perlu dilakukan agar posyandu aktif khusus di daerah penelitian ini adalah : pada masyarakat nelayan pembina harus mempunyai pengalaman lebih dari 24 bulan dan jumlah posyandu yang dibina tidak lebih dari 15 posyandu. Kader posyandu sebaiknya tidak mempunyai pekerjaan tetap dan kader mempunyai pengalaman menjadi kader sekurangnya 60 bulan. Tidak boleh pergantian kader sedikitnya dalam setahun dan jumlah kader sedikitnya 5 orang. Layanan yang diharapkan oleh pengguna posyandu agar mendapatkan PMT untuk balita dan kesediaan pengguna memberi imbalan untuk kader. Pada masyarakat tani Pembina posyandu harus mempunyai pendidikan SLTA ke atas. Layanan yang diharapkan berupa penyuluhan gizi dan kesehatan serta layanan KB, kesediaan pengguna posyandu memberi imbalan berupa uang untuk kader diterapkan (Depkes RI, 2000).
Menurut keterangan dari beberapa tenaga kesehatan dan tokoh masyarakat yang di wawancarai saat survey pendahuluan di posyandu-posyandu dalam wilayah kerja Puskesmas X mengatakan bahwa, di kecamatan X terdapat 27 buah desa dan 29 buah posyandu, jumlah kader seluruhnya 145 orang, yang aktif 77 (53, 10%) kader. Tahun berikutnya jumlah kader seluruhnya 145 orang, aktif 87 (60%) kader, tahun 2007 jumlah kader 145 orang, aktif 87 (60%) kader, pencapaian target yang diharapkan masing-masing setiap tahunnya 95%. hasil pengamatan penulis banyak posyandu tidak berfungsi sebagaimana yang diharapkan, banyak kader yang tidak aktif dari pada kader yang aktif pada kegiatan posyandu, fasilitas kerja tidak memadai, tugas dan fungsi kader tidak sesuai sebagaimana yang diharapkan, disamping strategi pelaksanaan kegiatan Posyandu tidak jelas jadwal, struktur, fungsi dan tugas masing-masing kader yang tidak tertata secara rapi sebagaimana yang diharapkan (Dinkes, 2007).
Tempat pelaksanaan kegiatan posyandu tidak tepat/layak, begitu juga dengan gaya pimpinan posyandu terhadap pelaksanaan strategi tidak berperan secara aktif. Seharusnya jumlah kader yang aktif setiap bulan untuk kegiatan posyandu sebanyak 5 orang, mempunyai 5 meja kegiatan, adanya makanan tambahan (PMT), ada tempat khusus yang sesuai dan layak untuk pelaksanaan kegiatan posyandu, ada jadwal, struktur yang tertata dengan jelas, ada laporan bulanan, dan ada salah seorang ditunjuk sebagai pemimpin kader. Umur kader yang banyak dijumpai berkisar 30-40 tahun, pendidikan rata-rata SLTP sederajat yang diharapkan SLTA ke atas. Kader sudah menikah, mempunyai anak balita, pekerjaan sebagai ibu rumah tangga, kader kurang termotivasi dalam melaksanakan kegiatan posyandu alasannya karena tidak pernah mendapatkan insentif dari pemerintah daerah maupun pihak lainnya.
Berdasarkan uraian permasalahan tersebut di atas, maka Pelaksanaan revitalisasi posyandu untuk menunjang keaktifan kader di Kabupaten X perlu dilakukan penelitian, agar ke depan dapat terselenggaranya posyandu dengan baik juga tercipta alur pelaporan yang jelas, dengan sinkronisasi kerja yang baik antara kader dengan petugas kesehatan secara berkesinambungan, maka laporan hasil kegiatan posyandu maupun di lapangan dapat mengalir dari tingkat desa secara berjenjang sampai pada Dinas Kesehatan Kabupaten dan untuk seterusnya melaporkan ke Dinas Kesehatan Provinsi (Dinkes, 2007).

B. Permasalahan
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut : 
1. Bagaimana pengaruh karakteristik kader yang terdiri dari; umur, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, sikap, dan motivasi terhadap perilaku kader dalam melaksanakan kegiatan posyandu di Kecamatan X Kabupaten X.
2. Bagaimana pengaruh strategi revitalisasi posyandu yang terdiri dari; pelatihan, dukungan, dan struktur terhadap perilaku kader posyandu dalam melaksanakan kegiatan posyandu di Kecamatan X Kabupaten X.

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk menganalisis pengaruh karakteristik kader yang terdiri dari; umur, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, sikap, dan motivasi terhadap perilaku kader posyandu dalam melaksanakan kegiatan posyandu di Kecamatan X Kabupaten X.
2. Untuk menganalisis pengaruh strategi revitalisasi posyandu yang terdiri dari; pelatihan, dukungan, dan struktur terhadap perilaku kader posyandu dalam melaksanakan kegiatan posyandu di Kecamatan X Kabupaten X.

D. Hipotesis Penelitian
1. Karakteristik kader yang terdiri dari; umur, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, sikap, dan motivasi mempunyai pengaruh terhadap perilaku kader posyandu dalam melaksanakan kegiatan posyandu di Kecamatan X Kabupaten X.
2. Strategi revitalisasi posyandu yang terdiri dari; pelatihan, dukungan, dan struktur mempunyai pengaruh terhadap perilaku kader posyandu dalam melaksanakan pelayanan kegiatan posyandu di Kecamatan X Kabupaten X.

E. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi pemerintahan daerah khususnya Dinas Kesehatan Kabupaten X dalam merumuskan kebijakan-kebijakan guna mendukung strategi peningkatan keaktifan kader sebagai tumpuan upaya optimalisasi revitalisasi posyandu.
2. Bagi program studi administrasi dan kebijakan kesehatan Universitas merupakan tambahan kekayaan penelitian kasus untuk dapat dipergunakan dan dikembangkan khususnya yang menyangkut dengan pemberdayaan tenaga kesehatan dan keaktifan kader posyandu di Kecamatan X Kabupaten X.
3. Menambah dan memperluas wawasan serta pengalaman bagi peneliti dalam mengaplikasikan keilmuan di bidang administrasi kebijakan kesehatan yang berhubungan dengan Keaktifan kader posyandu.
4. Bagi peneliti selanjutnya sebagai bahan perbandingan dan acuan dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan kebijakan pelaksanaan pelayanan kesehatan dasar di posyandu.

SKRIPSI PERANAN KEPALA SEKOLAH DALAM MENGEMBANGKAN KEPRIBADIAN SISWA MELALUI PEMBINAAN PENDIDIKAN AGAMA DI SD

SKRIPSI PERANAN KEPALA SEKOLAH DALAM MENGEMBANGKAN KEPRIBADIAN SISWA MELALUI PEMBINAAN PENDIDIKAN AGAMA DI SD

(KODE : PENDPGSD-0011) : SKRIPSI PERANAN KEPALA SEKOLAH DALAM MENGEMBANGKAN KEPRIBADIAN SISWA MELALUI PEMBINAAN PENDIDIKAN AGAMA DI SD



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dalam era globalisasi saat ini, kemajuan IPTEK dan masuknya budaya-budaya asing telah mempengaruhi bangunan dan kebudayaan serta gaya hidup manusia, kenyataan semacam ini, akan mempengaruhi nilai, moral, sikap atau tingkah laku kehidupan individu dan masyarakatnya. Karena itu pendidikan dibutuhkan oleh manusia, lebih-lebih pendidikan agama, karena pendidikan agama dipandang salah satu aspek yang memiliki peranan penuh dalam mengembangkan dan membentuk generasi muda agar memiliki kepribadian yang baik. Maksudnya, kepribadian yang memiliki sopan santun, perilaku atau akhlak mulia dan moral yang baik. Pendidikan Agama memegang peranan penting untuk menjamin kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara, yang dapat menghasilkan manusia berkualitas tinggi untuk melaksanakan tugas sebagai seorang khulafa' di muka bumi ini.
Kepala sekolah sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan, harus memiliki kesiapan dan kemampuan untuk membangkitkan semangat kerja secara kelompok atau individu. Kepala sekolah juga harus mampu menciptakan suasana yang aman, nyaman, tentram, menyenangkan dan penuh semangat dalam bekerja sama, sehingga pendidikan dan pengajaran dapat berjalan tertib dan lancar. Untuk mencapai tujuan yang diharapkan oleh semua warga sekolah dan masyarakat. Maka kepala sekolah hendaknya memiliki peran kepemimpinan pendidikan yang kuat dalam arti mampu untuk mempengaruhi dan menggerakkan semua warga sekolah untuk mencapai tujuan.
Kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan memiliki peran sentral dalam membawa keberhasilan lembaga kependidikan. Kepala sekolah berperan memandu, menuntun, membimbing, membangun, dan memberi motivasi kerja, mengemudikan organisasi, menjalin jaringan komunikasi yang baik dengan komunitas sekolah, lingkungan sekitar dan yang lainnya.
Selain itu, kepala sekolah sebagai seorang tenaga fungsional juga memiliki tugas untuk memimpin suatu sekolah dimana diselenggarakan proses belajar mengajar atau tempat dimana terjadi interaksi antara guru yang memberi pelajaran dan murid yang menerima pelajaran. Dari pada itu kepala sekolah bertanggung jawab atas manajemen pendidikan secara mikro, yang secara langsung berkaitan dengan proses pembelajaran di sekolah. Seorang kepala sekolah harus mempunyai sebuah program untuk mengembangkan kepribadian siswa melalui kegiatan-kegiatan keagamaan di sekolah, seperti latihan ibadah perorangan dan jamaah, ibadah yang dimaksud di sini meliputi aktivitas-aktivitas yang mencakup dalam rukun Islam selain membaca dua kalimat Syahadat, yaitu shalat, puasa, zakat, haji ditambah bentuk-bentuk ibadah lainnya yang bersifat sunnah.
Dalam kegiatan ini siswa dirangsang untuk dapat memahami kegiatan-kegiatan keagamaannya secara mendalam dan mampu menterjemahkannya dalam kehidupan sehari-hari, dan melakukan kegiatan karya wisata ke suatu lokasi tertentu untuk melakukan pengamatan, penghayatan dan perenungan mendalam terhadap alam ciptaan Allah yang demikian besar dan menakjubkan, Peringatan hari besar Islam, yaitu kegiatan yang dilaksanakan untuk memperingati dan merayakan hari-hari besar Islam sebagaimana biasanya diselenggarakan oleh masyarakat Islam yang ada di seluruh dunia, Pesantren kilat, yaitu kegiatan yang diselenggarakan pada waktu bulan puasa yang berisi berbagai bentuk kegiatan keagamaan, seperti berbuka puasa bersama, tadarus Al-Qur'an, kunjungan atau silaturrahim antar sesama siswa untuk menambah jalinan erat persahabatan.
Kepribadian mencakup keseluruhan pikiran, perasaan dan tingkah laku, kesadaran dan ketidaksadaran. Kepribadian pembimbing orang untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik. Sejak awal kehidupan, kepribadian adalah kesatuan atau berpotensi membentuk kesatuan. Ketika mengembangkan kepribadian, orang harus berusaha mempertahankan kesatuan dan harmoni antar semua elemen kepribadian.
Al Wisol berpendapat dasar umum sifat-sifat kepribadian berasal dari keturunan, dalam bentuk tipe dan trait. Eysenck juga berpendapat bahwa semua tingkah laku dipelajari dari lingkungan dan kepribadian merupakan keseluruhan pola tingkah laku aktual maupun potensial dari organisme, sebagaimana yang ditentukan oleh keturunan dan lingkungan.
Optimalisasi peran kepala sekolah dalam mengembangkan kepribadian siswa sangat penting, seiring dengan tuntutan zaman. Kepala sekolah hendaknya juga mengerti kedudukan sekolah di masyarakat, mengenal badan-badan dan lembaga masyarakat yang menunjang pendidikan, mengenal perubahan sosial, ekonomi, yang kesemuanya itu harus dibarengi dengan IMTAQ dan IPTEK, demi mewujudkan moral, perilaku, dan pribadi anak bangsa sebagai calon penerus bangsa kita.
Pendidikan Agama Islam, sebenarnya memiliki wawasan yang begitu luas, agar melalui pendidikan keagamaan ini para siswa mampu memahami, menghayati dan menerapkan ajaran Islam yang termuat dalam kitab suci Al-Qur'an dan As-Sunnah. Kedua sumber ajaran ini sebagaimana kita ketahui memuat segala aspek kehidupan dan mengaitkan dengan fenomena alam, sosial, budaya, politik, ekonomi dan lainnya (kontekstual), sehingga dapat menambah kekhusukan dalam beribadah dan mampu membangun kesadaran beragama anak. Sasaran yang ingin di capai dan di kembangkan oleh kepala sekolah meliputi aspek hati nurani agar memiliki kehalusan budi (Akhlakul Karimah) daya nalar dan pikir agar anak cerdas dan memiliki keterampilan yang tinggi.
Siswa SD Negeri X, memiliki pengetahuan agama yang masih minim, yang berpengaruh terhadap pemahaman anak pada tentang pengetahuan agama, sehingga anak sering tidak melakukan sholat lima waktu, anak tidak lancar membaca Al-Qur'an dan lainnya. Menanggapi hal ini, maka kepala sekolah melakukan pembinaan kepribadian siswa tentang keagamaan melalui kegiatan-kegiatan keagamaan di sekolah, sehingga siswa mendapat pengetahuan tentang keagamaan yang belum mereka dapatkan dari orang tua, seperti kegiatan sholat berjamaah, menghafal surat-surat pendek, Pondok Ramadhan pada bulan puasa, mengikuti peringatan hari besar Islam di sekolah dan lainnya. Hal ini diketahui berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pendidikan agama di SD Negeri X bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan serta pengalaman siswa tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketakwaan, berbangsa dan bernegara serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Sekolah Dasar Negeri X memiliki banyak fasilitas penunjang kegiatan belajar mengajar, seperti laboratorium komputer, musholla, perpustakaan, koperasi, dan sarana penunjang lainnya. Juga berbagai macam kegiatan ekstra kurikuler yang dapat menunjang keterampilan siswa, diantaranya pramuka, pembinaan keagamaan, olimpiade, dan lainnya. Sekolah Dasar Negeri X ini dididik oleh tenaga-tenaga yang professional di bidangnya dan berpengalaman dalam dunia kependidikan. Sebanyak 13 orang tenaga pengajar merupakan lulusan dari berbagai perguruan tinggi yang ada di Indonesia, dan berstatus sebagai pegawai Negeri.
Di Sekolah Dasar Negeri X sangat penting untuk melakukan pengembangan kepribadian siswa melalui kegiatan-kegiatan keagamaan yang ada di sekolah, dengan tujuan untuk memupuk moral siswa-siswi ke arah yang lebih baik sesuai dengan pendidikan agama islam. Kepala sekolah dalam kepemimpinannya selalu berusaha mengembangkan kepribadian siswa melalui pelajaran pendidikan agama yang diberikan oleh guru agama SD Negeri X supaya bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang : PERANAN KEPALA SEKOLAH DALAM MENGEMBANGKAN KEPRIBADIAN SISWA MELALUI PEMBINAAN PENDIDIKAN AGAMA DI SD NEGERI X.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana peranan kepala sekolah dalam mengembangkan kepribadian siswa melalui pembinaan pendidikan Agama di SD Negeri X ?
2. Kesulitan apa saja yang dihadapi oleh kepala sekolah dalam mengembangkan kepribadian siswa melalui pembinaan pendidikan Agama di SD Negeri X ?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana peranan kepala sekolah dalam mengembangkan kepribadian siswa melalui pembinaan pendidikan Agama di SD Negeri X.
2. Untuk mengetahui hambatan yang di hadapi kepala sekolah dalam mengembangkan kepribadian siswa melalui pembinaan pendidikan Agama di SD Negeri X.

D. Manfaat Penelitian
1. Peneliti
Dapat memperluas wawasan dan pengalaman baru bagi peneliti.
2. Pengguna
Hasil penelitian ini bisa menjadi informasi dan bahan pertimbangan bagi masyarakat dalam meningkatkan kwalitas pendidikan khususnya pembinaan agama.
3. Lembaga
Memperoleh informasi secara konkrit kondisi obyektif lembaga mengenai perbaikan akhlak siswa.

SKRIPSI PERAN KEPALA SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN MANAJEMEN PEMBELAJARAN DI MI

SKRIPSI PERAN KEPALA SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN MANAJEMEN PEMBELAJARAN DI MI

(KODE : PENDPGSD-0010) : SKRIPSI PERAN KEPALA SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN MANAJEMEN PEMBELAJARAN DI MI



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan di hampir semua aspek kehidupan manusia. Agar dapat berperan dalam persaingan global, maka sebagai suatu bangsa kita perlu mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara terus-menerus, terencana, terarah, intensif, efektif, dan efisien dalam proses pembangunan, kalau tidak ingin kalah bersaing dengan bangsa lain dalam menjalani era globalisasi ini.
Lembaga pendidikan Islam merupakan bagian integral dari masyarakat. Madrasah termasuk lembaga pendidikan Islam yang mempunyai ciri khas Islam. Lembaga ini memegang peranan penting dalam proses pembentukan kepribadian anak didik, karena melalui pendidikan madrasah para orang tua berharap agar anak-anaknya memiliki dua kemampuan sekaligus, tidak hanya kemampuan umum, tetapi juga memiliki kepribadian dam komitmen yang tinggi terhadap agamanya. Oleh sebab itu jika kita memahami benar harapan orang tua ini maka sebenarnya madrasah memiliki prospek yang cerah.
Madrasah jika dilihat dari kesejahteraannya, madrasah memiliki akar budaya yang kuat di tengah-tengah masyarakat, sebab itu madrasah sudah menjadi milik masyarakat. Jika di lihat dari potensi yang ada, madrasah memiliki kekuatan yang cukup besar, tetapi para pemimpin lembaga belum bisa memanfaatkan sumber-sumber kekuatan tersebut secara maksimal, sementara itu di sisi lain madrasah mempunyai persoalan internal kelembagaan.
Menurut Malik Fajar "Dari sekian puluh ribu madrasah yang tersebar di seluruh pelosok tanah air sebagian besar masih bergumul dengan persoalan berat yang sangat menentukan hidup dan matinya madrasah, sehingga nilai tawar semakin rendah dan semakin termarjinalkan."
Menurut Azyumardi Azra, Madrasah menghadapi persoalan Berat yaitu : madrasah mendapat beban yang cukup berat karena disamping memberikan kurikulum sekolah umum yang setingkat penuh, ia juga harus memberikan materi-materi esensial keislaman. Selain itu, madrasah masih ditambah rendahnya kualitas sumber-sumber daya pembelajaran. Disamping sumber daya guru yang umumnya masih belum sesuai dengan kualifikasi guru mata pelajaran (khususnya pelajaran-pelajaran umum), minimnya fasilitas pembelajaran dan persoalan tersebut belum tuntas untuk dicarikan jalan pemecahannya, madrasah juga menghadapi persoalan lain sebagaimana lembaga pendidikan yang lainnya yaitu : dihadapkan pada persoalan melakukan respon terhadap tuntutan yang berkembang di masyarakat.
Madrasah dalam mengatasi masalah tersebut tidak terlepas dari peranan kepala sekolah sebagai pimpinan dalam lembaga. Kepemimpinan sangat menopang keberhasilan suatu lembaga pendidikan formal dalam mengembangkan lembaga agar tidak dimarginalkan.
Peran kepala sekolah sangat menopang keberhasilan suatu lembaga pendidikan formal, namun di pihak lain untuk mencari pemimpin ini bukan hanya menjadi masalah bagi dunia usaha, akan tetapi juga merupakan masalah dunia pendidikan. Lembaga pendidikan Islam, kepemimpinan diperankan oleh seorang kepala sekolah yang sekaligus bertindak sebagai seorang pendidik yang bertanggungjawab terhadap kemajuan sekolah. 
Menurut M. Ngalim Purwanto, Kepala sekolah merupakan pemimpin pendidikan yang sangat penting karena lebih dekat dan langsung berhubungan dengan pelaksanaan program pendidikan tiap-tiap sekolah dan tercapai tidaknya tujuan pendidikan itu, sangatlah tergantung kepada kebijakan dan kecakapan kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan.
Peran kepala sekolah dalam meningkatkan manajemen pembelajaran sangat ditentukan oleh penyelenggaraan pendidikan yang dijalankan oleh lembaga yang bersangkutan, oleh karena itu diperlukan kepemimpinan kepala sekolah yang berkualitas dalam mengembangkan lembaga pendidikan Islam.
Menurut Kartini Kartono, Kualitas kepemimpinan menentukan keberhasilan suatu lembaga, sebab kepemimpinan yang sukses itu mampu mengelola lembaga yang dipimpinnya, mampu mengantisipasi perubahan, mampu mengoreksi kekurangan dan kelemahan serta sanggup membawa lembaga pada tujuan yang ditetapkan.
Kepemimpinan dibutuhkan untuk mengefisienkan setiap langkah atau kegiatan yang berarti di madrasah. Hanya kepemimpinan yang berkualitas dan yang bersedia mengakui bakat, kapasitas dan mampu bekerja sama dengan bawahannya dalam mengembangkan lembaga yang dipimpinnya. Oleh karena itu pemimpin merupakan faktor penting yang dapat menentukan maju mundurnya suatu lembaga.
Menjalankan tugas sebagai pemimpin formal maka seorang kepala sekolah di hadapkan pada persoalan-persoalan teknis manajerial sekolah serta dituntut untuk menjadi administrator yang handal untuk mengupayakan adanya kemajuan-kemajuan bagi sekolah yang dikelolanya. Kepala sekolah merupakan pemimpin sekolah yang bertanggungjawab terhadap seluruh kegiatan-kegiatan sekolah. Ia mempunyai wewenang dan bertanggung jawab penuh dalam penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pendidikan dalam sekolah yang dipimpinnya.
Kepala sekolah tidak hanya bertanggung jawab atas kelancaran jalannya kegiatan sekolah, akan tetapi keadaan lingkungan sekolah dan situasi serta hubungan dengan masyarakat sekitarnya merupakan tanggung jawabnya pula. Inisiatif dan kreatifitas yang mengarah pada perkembangan dan kemajuan sekolah adalah merupakan tanggung jawab kepala sekolah terhadap lembaga pendidikan yang dipimpinnya.
Demikian halnya Madrasah Ibtidaiah X tidak terlepas dari peran kepala sekolah sebagai pemimpin sekolah tersebut. Pola-pola kepemimpinan yang digunakan oleh kepala sekolah dalam mengelola sekolah ini terbukti memberikan kontribusi atau sumbangan yang positif bagi perkembangan dan kemajuan di kemudian hari.
Madrasah Ibtidaiah X merupakan sekolah yang telah berdiri selama 40 tahun, selama itu telah terjadi 6 kali pergantian kepala sekolah. Letak sekolah yang berada di lintasan desa dengan kapasitas siswa berasal dari golongan menengah ke bawah yang sangat membutuhkan perhatian khusus agar pembelajarannya dapat berjalan baik.
Kualifikasi peran kepala sekolah dapat dirumuskan secara lebih jelas setelah dilakukan penelitian yang lebih mendalam terhadap aktivitas kepala sekolah sebagai pemimpin sebagai pemimpin formal yang bertanggungjawab atas kelangsungan hidup sekolah khususnya yang berkaitan dengan upaya pengembangan dan kemajuan sekolah tersebut.
Mengingat begitu pentingnya peran kepala sekolah dalam meningkatkan pembelajaran, maka peneliti tertarik untuk mengambil judul : PERAN KEPALA SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN MANAJEMEN PEMBELAJARAN DI MI X.

B. Fokus Penelitian
Berdasarkan pada latar belakang diatas maka permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut : 
1. Bagaimana peran kepala sekolah dalam meningkatkan manajemen pembelajaran di MI X ?
2. Apa faktor-faktor penghambat dan pendukung dalam meningkatkan manajemen pembelajaran di MI X ?
3. Apa usaha kepala sekolah dalam meningkatkan manajemen pembelajaran di MI X ?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui peran kepala sekolah dalam meningkatkan manajemen pembelajaran di MI X ?
2. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat dan pendukung dalam meningkatkan manajemen pembelajaran di MI X ?
3. Untuk mengetahui usaha kepala sekolah dalam meningkatkan manajemen pembelajaran di MI X ?

D. Manfaat Penelitian
Dari tujuan penelitian tersebut di atas, diharapkan penelitian ini mampu memberikan manfaat bagi beberapa pihak, diantaranya adalah sebagai berikut : 
1. Bagi sekolah hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam meningkatkan manajemen pembelajaran.
2. Bagi universitas dapat dijadikan sebagai masukan dan sumbangan pemikiran dalam hal pendidikan.
3. Bagi peneliti hasil penelitian ini dapat dijadikan sarana untuk meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan yang diperoleh di jenjang perkuliahan.

SKRIPSI PERAN KEPALA MADRASAH DALAM MENINGKATKAN KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU MI

SKRIPSI PERAN KEPALA MADRASAH DALAM MENINGKATKAN KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU MI

(KODE : PENDPGSD-0009) : SKRIPSI PERAN KEPALA MADRASAH DALAM MENINGKATKAN KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU MI



BAB I
PENDAHULUAN 

A. Konteks Penelitian
Sebagian besar masyarakat sudah tidak percaya lagi dengan kemampuan pendidikan untuk merubah nasib mereka, terutama masa depan putra-putrinya. Hal ini dapat dilihat dengan cara para orang tua zaman sekarang mengajak putra-putri mereka ikut bekerja mencari uang. Ditambah lagi pernyataan putra-putri mereka sendiri yang lebih suka mencari uang dibandingkan dengan duduk di dalam kelas untuk mencari ilmu. Perlu digaris bawah bahwa pernyataan di atas hanya sebagian dari masyarakat, karena ada sebagian lainnya yang mengatakan sebaliknya.
Sebagian yang lain mengatakan bahwa pendidikan sangat penting, pendidikan dapat membawa kehidupan mereka lebih baik, pendidikan dapat membuat masa depan putra-putrinya lebih cerah dan lebih baik dari keadaan orang tua mereka. Sebagian yang lain ini berusaha sekuat tenaga untuk bisa menyekolahkan putra-putrinya, dan ditambah juga dengan keinginan dari putra-putrinya sendiri untuk selalu dapat mengenyam pendidikan hingga pada tingkat pendidikan yang paling tinggi.
Masyarakat yang sangat peduli dengan pendidikan terkadang bisa sangat selektif terhadap lembaga pendidikan. Orang tua yang menginginkan pendidikan yang terbaik untuk putra-putrinya selalu memilih sekolah yang memberikan fasilitas terbaik untuk menunjang pendidikan anaknya agar sesuai dengan harapan orang tua mereka. Setelah mendapatkan sekolah yang sesuai dengan harapan orang tua, maka kepercayaan orang tua sepenuhnya diserahkan pada pihak sekolah untuk bisa membuat masa depan putra-putri mereka menjadi sangat cerah.
Kepercayaan sangat penting di dalam kehidupan, terutama dalam dunia pendidikan. Karena kepercayaan masyarakat merupakan kekuatan sekolah, jika suatu masyarakat sudah tidak percaya maka suatu sekolah bisa saja tidak mendapat seorang siswa pun dan berakhir ditutup oleh pemerintah. Untuk menjaga kepercayaan ini maka sekolah harus berusaha semaksimal mungkin untuk dapat dipercaya oleh masyarakat. Sehingga kejadian seperti pada alinea pertama di atas tidak akan terjadi. Masyarakat tidak akan pernah puny a fikiran untuk tidak percaya dengan kekuatan pendidikan dalam merubah nasib mereka dan putra-putri mereka.
Ketidakpercayaan masyarakat terhadap pendidikan bukan karena tidak ada alasan. Ketidakpercayaan mereka memiliki alasan yang terkadang sangat mencengangkan, yakni karena kualitas pelayan pendidikan di lembaga pendidikan di sekitar sangat rendah. Sehingga banyak yang beranggapan bahwa pendidikan merupakan suatu masalah yang sangat penting bagi setiap bangsa yang sedang membangun.
Usaha untuk melakukan perbaikan dibidang pendidikan merupakan suatu keharusan untuk selalu dilaksanakan agar suatu bangsa dapat maju dan berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Beberapa upaya dilaksanakan antara lain penyempurnaan kurikulum, peningkatan kompetensi guru, perbaikan sarana-prasarana pendidikan, dan lain-lain. Hal ini tidak lain dilaksanakan untuk meningkatkan mutu pendidikan bangsa dan terciptanya manusia Indonesia seutuhnya.
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 Sisdiknas, pasal 3. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa serta mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Untuk mencapai tujuan di atas, suatu lembaga pendidikan formal memiliki indikator keberhasilan pendidikan yaitu keberhasilan pelaksanaan proses belajar mengajar, artinya antara kegiatan guru dengan kegiatan siswa terdapat keterpaduan. Bagaimana siswa belajar dipengaruhi oleh bagaimana guru mengajar. Dan Salah satu usaha untuk mengoptimalkan pembelajaran adalah dengan memperbaiki pengajaran yang dilakukan oleh guru, karena pengajaran adalah suatu system terpenting pendidikan, maka perbaikannya pun harus mencakup keseluruhan komponen dalam sistem pengajaran tersebut.
Komponen-komponen pendidikan yang terpenting adalah tujuan, materi, evaluasi dan pendidik. Untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pengajaran yang dilakukan oleh guru, maka guru harus memiliki dan menguasai perencanaan pengajaran, melaksanakan kegiatan pengajaran yang telah direncanakan dan melakukan evaluasi terhadap hasil dari proses pengajaran.
Kemampuan guru dalam merencanakan dan melaksanakan pengajaran merupakan faktor penting dalam mencapai tujuan dari pengajaran. Karena hal ini merupakan sesuatu yang erat kaitannya dengan tugas dan tanggung jawab guru sebagai pengajar yang mendidik. Guru sebagai pendidik mengandung arti yang sangat luas, memiliki peran yang sangat banyak dalam tumbuh kembang siswa-siswinya.
Saat ini upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan yakni dengan memberlakukan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Yang dalam pemberlakuannya unsur paling penting adalah faktor guru. Selain dalam mengaplikasikannya dibutuhkan kemampuan guru yang sangat profesional, suatu kurikulum memang memerlukan kualitas guru yang baik, agar sistem dalam kurikulum dapat berjalan dengan maksimal. Oleh karena itu, guru diharapkan memiliki kompetensi yang diperlukan untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara efektif dan efisien.
Kompetensi merupakan salah satu syarat terpenting guru yang harus dipenuhi. Bila kompetensi ini tidak ada pada diri seorang guru, maka ia tidak akan berkompeten dalam melakukan tugasnya dan hasilnya pun tidak berbuah manis. Sehingga jalan satu-satunya adalah membangun kompetensi yang kokoh bagi guru yang belum memiliki kompetensi. Dalam pembangunan kompetensi guru tidak berjalan sendiri, karena guru adalah salah satu anggota sebuah organisasi kependidikan maka pemimpin dari organisasi tersebut harus ikut campur. Keikutsertaan pemimpin organisasi terhadap pengembangan kemampuan anggotanya bukan sesuatu yang melanggar etika, namun sebuah keharusan, seorang pemimpin bertanggungjawab atas anggota-anggotanya.
Pemimpin organisasi pendidikan adalah kepala sekolah/madrasah. Kepala madrasah adalah seorang pendidik, managerial, administrator, pemimpin, inovator, motivator dan supervisor yang diharapkan dapat mengelola lembaga pendidikan serta mampu membawa lembaganya ke arah tercapainya tujuan yang telah ditetapkan, ke arah perkembangan yang lebih baik dan dapat menjanjikan masa depan yang gemilang.
Salah satu peran kepala madrasah yakni melakukan suatu usaha untuk membantu para guru dalam meningkatkan pertumbuhan pribadi dan jabatannya dan juga para staf madrasah lainnya agar anak didik dapat belajar secara lebih baik dalam situasi proses mengajar secara lebih efektif dan efisien. Sehingga pengembangan kompetensi pada diri seorang harus didukung oleh adanya peran kepala madrasah yang efektif dan efisien. Dan jika seorang guru yang mengalami kesulitan untuk mengembangkan kompetensi dirinya ada yang membantu dirinya untuk mengembangkannya.
Dengan kata lain peranan kepala madrasah sangat penting dalam peningkatan kompetensi yang dimiliki seorang guru terutama dalam lingkup kompetensi pedagogik. Selain karena memiliki banyak peran kepala sekolah juga memegang tanggung jawab terhadap anggota-anggotanya seperti halnya ketua sebuah organisasi.
Pada Madrasah X kepala Madrasah sedang berusaha membantu meningkatkan kompetensi guru dengan mendaftarkan para guru-gurunya untuk mengikuti sertifikasi dan juga meminta guru yang belum memiliki title S-1 untuk segera mengambilnya dan menyelesaikannya, agar kompetensi-kompetensi guru tercapai seutuhnya oleh seluruh guru di MI X. Dari uraian di atas ini menunjukkan bahwa kepala madrasah di MI X, menjalankan peranannya sebagai kepala madrasah dan para staf gurunya juga memberikan respon yang diharapkan.
Sehubungan dengan beberapa pernyataan di atas penulis ingin mengangkat sebuah penelitian yang berkaitan dengan yang sudah diuraikan di atas, yakni mengenai kepala madrasah dalam meningkatkan kompetensi pedagogic guru yang akan peneliti urai lebih mendalam dan terperinci. Peneliti mengambil judul "PERAN KEPALA MADRASAH DALAM MENINGKATKAN KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU DI MI X".

B. Fokus Penelitian
Berdasarkan dari uraian di atas maka penulis merumuskan fokus penelitian sebagai berikut : 
Bagaimana peran kepala madrasah dalam meningkatkan kompetensi pedagogik guru di MI X ?

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 
Mengetahui peran kepala madrasah dalam meningkatkan kompetensi pedagogik guru di MI X khususnya upaya, peran dan faktor pendukung dan penghambat kepala madrasah dalam meningkatkan kompetensi pedagogik guru.

D. Manfaat Penelitian
1. Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan, informasi, dan sekaligus menambah daftar perbendaharaan referensi bacaan ilmiah tentang peranan kepala madrasah dalam meningkatkan kompetensi pedagogik guru sekaligus faktor yang mendukung dan menghambat peranan kepala madrasah dalam meningkatkan kompetensi pedagogik guru.
2. Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi : 
a. Kepala Madrasah
Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi kepala madrasah yang ingin meningkatkan kompetensi pedagogik guru di sekolahnya.
b. Guru
Hasil Penelitian ini dapat menjadi masukan bagi guru untuk lebih memperhatikan kompetensi pedagogik yang dimiliki, dan bisa menjadi bahan untuk mengevaluasi diri sendiri sebelum dievaluasi oleh kepala madrasah.
c. Madrasah
Hasil penelitian ini dapat meningkatkan kompetensi pedagogik guru di madrasah khususnya untuk kepala madrasah dalam meningkatkan kompetensi pedagogik guru di sekolahnya.
d. Peneliti Lain
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi dalam penelitian sejenis dengan substansi yang sama pada latar yang sama untuk lebih memperkuat temuan dalam penelitian ini.

SKRIPSI PERAN GURU DALAM PENDIDIKAN ANTI NARKOBA DI SD

SKRIPSI PERAN GURU DALAM PENDIDIKAN ANTI NARKOBA DI SD

(KODE : PENDPGSD-0008) : SKRIPSI PERAN GURU DALAM PENDIDIKAN ANTI NARKOBA DI SD



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Setiap orang menyadari bahwa harapan di masa yang akan datang terletak pada putra putrinya. Sehingga hampir setiap orang berkeinginan agar putra putrinya kelak menjadi orang yang berguna. Oleh karena itu perlu pembinaan yang terarah bagi putra putrinya sebagai generasi penerus bangsa, sehingga mereka dapat memenuhi harapan yang di cita-citakan. Pembinaan dan pengembangan generasi muda dilakukan secara nasional, menyeluruh dan terpadu. Pembinaan dan pengembangan generasi muda merupakan tanggung jawab bersama antara orang tua, keluarga, masyarakat, pemuda dan pemerintah, di mana hal itu semua bertujuan untuk meningkatkan kualitas generasi muda.
Remaja merupakan masyarakat yang akan datang. Dapat di perkirakan bahwa gambaran kaum remaja sekarang adalah pencerminan masyarakat yang akan datang, baik buruknya bentuk dan susunan masyarakat, bangunan moral dan intelektual, dalam penghayatan terhadap agama, kesadaran kebangsaan, dan derajat kemajuan prilaku dan kepribadian antara sesama masyarakat yang akan datang tergantung pada remaja sekarang.
Pembangunan Nasional di Negara Indonesia tidak akan berjalan dengan seimbang jika tidak diimbangi dengan pembinaan terhadap para remaja. Mengingat bahwa remaja adalah merupakan bagian dari masyarakat yang akan datang. Remaja adalah sebagai bagian dari generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa yang merupakan sumber daya manusia Indonesia yang sangat berguna bagi pembangunan nasional. Dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, diperlukan bimbingan dan pembinaan secara intensif serta perlindungan dari segala hal yang dapat membahayakan pertumbuhan dan perkembangan baik mental, fisik dan sosial mereka dan bangsa di masa depan.
Dalam berbagai hal upaya pembinaan dan perlindungan tersebut terdapat banyak sekali masalah yang dijumpai dalam masyarakat dan kadang-kadang masalah tersebut dijumpai pada anak yang menyimpang pola tingkah lakunya. Bahkan lebih dari itu terdapat anak yang melakukan perbuatan melanggar hukum yaitu dalam hal ini adalah sebagai pecandu narkoba yang belum cukup umur tanpa mengenal status sosial dan ekonominya.
Perbuatan melanggar hukum yang dilakukan para pecandu narkoba yang belum cukup umur tersebut disebabkan oleh banyak faktor, antara lain adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang terlalu cepat, arus globalisasi dibidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku pecandu narkoba yang belum cukup umur.
Sebenarnya penggunaan narkoba sudah dikenal sejak jaman dahulu yakni dalam bentuk candu yang digunakan oleh orang tua yang kebanyakan berasal dari keturunan Tionghoa.
Narkoba, selain mempunyai manfaat dalam penggunaannya terutama untuk dunia pengobatan, penelitian ilmu pengetahuan dan sebagainya, namun jauh yang lebih besar adalah bahayanya apabila digunakan tidak berdasarkan petunjuk atau dengan kata lain bila disalahgunakan. Bahayanya akan berakibat pada kematian, karena yang bersangkutan akan menjadi tergantung pada narkoba dan menjadi lemah baik secara jasmani maupun rohani, merusak etika moral, hukum, sosial dan agama.
Sebagaimana disebutkan bahwa narkoba pada dasarnya boleh dipakai atau digunakan oleh para dokter dalam kepentingan medis. Untuk kepentingan itu agama Islam memperbolehkannya karena tidak akan menimbulkan kemudaratan bagi pasien yang diobati bahkan akan memberikan kesembuhan. Tetapi pada akhir-akhir ini para remaja, orang tua, eksekutif, artis bahkan pejabat yang beragama Islam banyak yang menyalahgunakan narkoba, untuk itu agama Islam melarang keras perbuatan tersebut bahkan mengharamkannya, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Maidah ay at 90-91.
Dalam buku terbitan Badan Narkotika Nasional yang berjudul Materi advokasi Pencegahan Narkoba juga mengutip salah satu hadits Rasulullah SAW yang berbunyi : "kullu muskirin khomrun wa kullu khomrin haraamun". Artinya : "setiap zat atau bahan yang dapat memabukkan dan melemahkan adalah khamar dan setiap khamar adalah haram" (H.R. Abdullah Ibnu Umar r.a).
Pemerintah juga memiliki Undang-undang yang mengatur tentang Narkoba. Dalam kitab UU tentang Narkoba tersebut juga memuat hukuman pidana bagi siapa saja yang tersangkut dengan masalah narkoba. Sebagai contoh pada BAB XV Ketentuan Pidana pasal 111 ayat (1) dijelaskan bahwa setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
Pada pasal tersebut diatas masih hanya untuk pelanggaran Narkotika Golongan I yaitu : tanaman Papaver Somniferum L, Opium, Candu, Tanaman koka, Kokain, Ganja, dan masih banyak jenis yang lainnya. Masih berat lagi bagi para pelanggar Narkotika pada golongan II dan III. Tetapi para pecandu atau yang terlibat dalam masalah narkoba ini masih sangat banyak karena masih minimnya pengetahuan tentang Narkoba, bahaya dan akibatnya.
Perlunya perhatian khusus bagi pecandu narkoba yang belum cukup umur khususnya dalam hal pendidikan dan kesehatan yang melibatkan aparat kepolisian dan pihak sekolah yang bertujuan menghilangkan ketergantungan pecandu narkoba dan mengantisipasi adanya pecandu baru yang belum cukup umur.
Usaha penanggulangan penyebaran narkoba oleh Polresta X yang dilakukan lewat berbagai razia, operasi dan penggerebekan. Tetapi semua yang sudah dilaksanakan oleh Polresta X tersebut tidak memberikan hasil yang maksimal. Sebaliknya, semakin lama jumlah pecandu narkoba yang belum cukup umur malah semakin meningkat.
Dalam hasil wawancara peneliti dengan narasumber dari salah satu anggota Sat Reskoba Polresta X yang menangani kasus tentang narkoba. Beliau menyatakan bahwa saat ini di Indonesia dalam kurun waktu dua tahun sudah tercatat ada sekitar sepuluh anak usia sekolah dasar yang terdeteksi telah terlibat dalam obat-obatan terlarang tersebut. Untuk di wilayah kota X sampai saat ini belum terdeteksi anak usia sekolah dasar yang menggunakan obat-obatan terlarang tersebut. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa sebenarnya sudah ada anak usia sekolah dasar yang sudah menggunakan obat-obatan terlarang tersebut, tetapi tidak ada yang melaporkan ke pihak berwajib, dalam hal ini adalah Sat Reskoba Polresta X.
Kerja sama antara aparat kepolisian dengan pihak sekolah (SD Negeri X) dalam mengatasi masalah kenakalan remaja yang imbasnya pada pemakaian obat-obatan terlarang khususnya narkoba adalah sangat perlu untuk dilaksanakan. Karena masalah narkoba dan penyalah gunaan obat-obatan terlarang harus kita hadapi bersama secara realistis. Yaitu dengan cara memberikan informasi yang lengkap tentang narkoba dan obat-obatan terlarang khususnya kepada generasi muda selaku penerus cita-cita bangsa dan kepada masyarakat pada umumnya.
Salah satu penyebab meningkatnya penyalahgunaan narkoba adalah, kurangnya pendidikan dan informasi tentang bahaya narkoba baik di kalangan orang tua, masyarakat, pelajar maupun anak-anak. Saat ini masih banyak orang tua yang tidak menyadari pengaruh dan bahaya narkoba. Dalam berbagai bentuk, narkoba dapat menjadi berbagai ancaman yang sangat mengerikan bagi siapa saja, terutama bagi pelajar baik di lingkungan rumah, lingkungan bermain maupun lingkungan sekolah.
Kota X merupakan salah satu kota yang banyak disoroti oleh masyarakat khususnya bidang pendidikannya. Karena di kota ini terdapat banyak sarana pendidikan, mulai dari Play Group, Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar hingga Sekolah Tinggi yang kebanyakan merupakan sekolah-sekolah dan perguruan tinggi yang mempunyai akreditasi baik bahkan sangat baik. Sangat ironi sekali jika kota X yang terkenal dengan sebutan kota pendidikan diwarnai dengan berbagai permasalahan dari dampak narkoba terutama bagi para peserta didik dan mahasiswa sebagai para generasi muda yang merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa.
Dalam kehidupan psikis anak terdapat pola kegiatan yang maju dan meningkat seperti yang sering terlihat pada tingkah laku atau ulah seorang anak yang mencampakkan alat permainannya yang baru dibelikan kepadanya beberapa hari yang lain. Pada anak itu timbul perasaan bosan dan alat permainan itu tidak menarik lagi. Ia ingin alat permainan yang baru. Hal tersebut di atas merupakan perwujudan bahwa pada usia ini peserta didik memiliki rasa bosan yang temponya cepat. Dan ia memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar terhadap sesuatu yang baru ia kenal.
Dengan demikian pada usia ini kita selaku pendidik harus dapat mengarahkan para peserta didik kita untuk tidak terjerumus pada barang-barang atau sesuatu yang dapat merusak masa depan mereka. Dengan melalui pendidikan dan bimbingan serta arahan yang baik, kita akan menjauhkan mereka pada hal-hal yang membahayakan masa depannya.
Menurut islam pendidikan adalah pemberi corak hitam putihnya perjalanan hidup seseorang. Sebab manusia diciptakan dalam keadaan suci (fitrah) bersih dari segala daya-daya yang ada. Dan pendidikan berlangsung seumur hidup semenjak dari buaian hingga ajal datang (al Hadits).
Sebagaimana Islam mewajibkan kepada umatnya untuk menuntut ilmu, pemerintah juga mewajibkan kepada warga negaranya untuk menempuh pendidikan. Kunci utama terbentuknya sumber daya manusia yang kompeten dalam membangun suatu bangsa adalah pendidikan. Dalam undang-undang Indonesia no 20 tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional telah disebutkan bahwa : 
"Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab." 
Berkaitan dengan uraian di atas, maka penulis terdorong untuk menyusun skripsi dengan judul "PERAN GURU DALAM PENDIDIKAN ANTI NARKOBA DI SD NEGERI X".

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut : 
1. Apa peran guru SD Negeri X dalam pelaksanaan pendidikan anti narkoba ?
2. Bagaimana cara guru dalam memasukkan Pendidikan Anti Narkoba dalam pendidikan di sekolah ?
3. Berapa persen kah peserta didik di SD Negeri X dapat memahami Pendidikan Anti Narkoba ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dengan memperhatikan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 
1. Untuk mengetahui sejauh mana peran guru SD Negeri X dalam pelaksanaan Pendidikan Anti Narkoba.
2. Untuk mengetahui cara guru dalam memasukkan Pendidikan Anti Narkoba dalam pendidikan di sekolah.
3. Untuk mengetahui berapa persen peserta didik dapat memahami Pendidikan Anti Narkoba.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 
1. Bagi Orang Tua/Wali Peserta Didik
Dapat memberikan informasi dan pengetahuan kepada masyarakat khususnya bagi orang tua/wali dari peserta didik khususnya dalam hal pengetahuan tentang NARKOBA dan bahayanya. Selain itu dengan penelitian ini diharapkan akan dapat membantu para orang tua/wali peserta didik dalam memberikan informasi kepada anaknya tentang bahaya NARKOBA sedini mungkin.
2. Bagi Instansi Sekolah (SD Negeri X)
Dapat dijadikan sebagai bahan masukan untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam penyediaan fasilitas dan pemberian dukungan untuk layanan bimbingan dan konseling khususnya masalah narkoba.
3. Bagi Universitas 
Dapat memberikan informasi dan pengetahuan serta referensi yang relevan tentang narkoba dan bahayanya bagi pihak yang terkait dalam bidang akademis Universitas. Sehingga diharapkan di kemudian hari ada kerja sama antara pihak Universitas dengan Polresta Kota X untuk bersama-sama dalam upaya menangani kasus-kasus narkoba bagi para pecandu serta upaya pencegahan dan pemberantasan peredaran narkoba di wilayah kota X dan sekitarnya.
4. Bagi Penulis
Sebagai latihan penulis untuk menyusun karya tulis ilmiah dan rasa kepedulian sosial terhadap perkembangan pendidikan, mengingat latar belakang pendidikan penulis adalah berbasis pendidikan.

D. Sistematika Pembahasan
Pendahuluan adalah bab pertama dari skripsi ini. Bab pertama ini berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup pembahasan serta sistematika pembahasan. Uraian pada bab satu ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara umum tentang isi keseluruhan skripsi serta metode pendekatan yang digunakan dalam pembahasannya.
Pada BAB II Kajian Pustaka akan dijelaskan mengenai tinjauan kepustakaan dari pendidikan anti narkoba, pengertian, dasar dan tujuan pendidikan anti narkoba, peran Polresta X dalam rangka pembinaan dan penyuluhan terhadap pecandu narkoba. Pembahasan pada bab dua ini dimaksudkan sebagai konsep dasar dalam pembahasan-pembahasan selanjutnya.
Dalam BAB III ini berisi tentang metodologi penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam meneliti suatu objek permasalahan. Meliputi : lokasi penelitian, jenis penelitian, data dan sumber data, analisis data dan sebagainya.
Pada BAB IV berisi uraian tentang data dan temuan yang diperoleh dengan menggunakan metode dan prosedur yang diuraikan dalam bab tiga. Dalam bab ini peneliti telah menemukan hasil penelitian dan membahas usaha guru Madrasah Ibtidaiah dan Polresta X dalam Pendidikan Anti Narkoba.
BAB yang terakhir dalam skripsi ini adalah BAB V yaitu berisi tentang kesimpulan dari keseluruhan pembahasan skripsi dan juga saran dari peneliti kepada lembaga yang menjadi objek penelitian juga kepada masyarakat pada umumnya.

SKRIPSI PENGARUH PENGGUNAAN MEDIA PEMBELAJARAN POWER POINT TERHADAP HASIL BELAJAR IPA SISWA KELAS V

SKRIPSI PENGARUH PENGGUNAAN MEDIA PEMBELAJARAN POWER POINT TERHADAP HASIL BELAJAR IPA SISWA KELAS V

(KODE : PENDPGSD-0007) : SKRIPSI PENGARUH PENGGUNAAN MEDIA PEMBELAJARAN POWER POINT TERHADAP HASIL BELAJAR IPA SISWA KELAS V



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Teknologi baru terutama multimedia mempunyai peranan semakin penting dalam proses pembelajaran. Banyak orang percaya bahwa multimedia akan dapat membawa kita kepada situasi belajar dimana learning with effort akan dapat digantikan dengan learning with fun. Jadi proses pembelajaran yang menyenangkan, kreatif, tidak membosankan akan menjadi pilihan tepat bagi para guru.
Sistem pembelajaran yang selama ini dilakukan yaitu sistem pembelajaran konvensional (faculty teaching), kental dengan suasana instruksional dan dirasa kurang sesuai dengan dinamika perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat. Lebih dari itu kewajiban pendidikan dituntut untuk juga memasukkan nilai-nilai moral, budi pekerti luhur, kreatifitas, kemandirian dan kepemimpinan, yang sangat sulit dilakukan dalam sistem pembelajaran yang konvensional. Sistem pembelajaran konvensional kurang fleksibel dalam mengakomodasi perkembangan materi kompetensi karena guru harus intensif menyesuaikan materi pelajaran dengan perkembangan teknologi terbaru.
Pada kenyataannya bahwa saat ini Indonesia memasuki era informasi yaitu suatu era yang ditandai dengan makin banyaknya medium informasi, tersebarnya informasi yang makin meluas dan seketika, serta informasi dalam berbagai bentuk yang bervariasi tersaji dalam waktu yang cepat. Penyajian pesan pada era informasi ini akan selalu menggunakan media, baik elektronik maupun non elektronik. Terkait dengan kehadiran media ini, Dimyati (1996 : 12) menjelaskan bahwa suatu media yang terorganisasi secara rapi mempengaruhi secara sistematis lembaga-lembaga pendidikan seperti lembaga keluarga, agama, sekolah, dan pramuka. Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa kehadiran media telah mempengaruhi seluruh aspek kehidupan, termasuk sistem pendidikan kita, meskipun dalam derajat yang berbeda-beda.
Dengan demikian hasil belajar seseorang ditentukan oleh berbagai faktor yang mempengaruhinya. Salah satu faktor yang ada di luar individu adalah tersedianya media pembelajaran yang memberi kemudahan bagi individu untuk mempelajari materi pembelajaran, sehingga menghasilkan belajar yang lebih baik.
Selanjutnya hasil belajar digambarkan sebagai tingkat penguasaan siswa terhadap sasaran belajar pada topik bahasan yang dieksperimenkan, yang diukur berdasarkan pada jumlah skor jawaban benar pada soal yang disusun sesuai dengan sasaran belajar. Secara umum mutu pendidikan sekolah dasar (SD) dikatakan baik dan berhasil jika kompetensi siswa yang diperoleh melalui proses pendidikan berguna bagi perkembangan diri mereka untuk hari depannya, yaitu ketika mereka memasuki dunia kerja.
Peranan Media dalam proses belajar mengajar menurut Gerlac dan Ely (1971 : 285) ditegaskan bahwa ada tiga keistemewaan yang dimiliki media pengajaran yaitu : 
1. Media memiliki kemampuan untuk menangkap, menyimpan dan menampilkan kembali suatu objek atau kejadian,
2. Media memiliki kemampuan untuk menampilkan kembali objek atau kejadian dengan berbagai macam cara disesuaikan dengan keperluan, dan 3. Media mempunyai kemampuan untuk menampilkan sesuatu objek atau kejadian yang mengandung makna.
Begitu juga, Ibrahim (1982 : 12) mengemukakan fungsi atau peranan media dalam proses belajar mengajar antara lain : 
a. Dapat menghindari terjadinya verbalisme,
b. Membangkitkan minat atau motivasi,
c. Menarik perhatian,
d. Mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan ukuran,
e. Mengaktifkan siswa dalam belajar dan
f. Mengefektifkan pemberian rangsangan untuk belajar.
Perlu disadari bahwa mutu pendidikan yang tinggi baru dapat dicapai jika proses pembelajaran yang diselenggarakan di kelas efektif dan fungsional bagi pencapaian kompetensi yang dimaksud. Oleh sebab itu usaha meningkatkan mutu pendidikan sekolah dasar (SD) tidak terlepas dari usaha memperbaiki proses pembelajaran.
Proses pembelajaran merupakan aktivitas yang terdiri atas komponen-komponen yang bersifat sistemik. Artinya komponen-komponen dalam proses pembelajaran itu saling berkaitan secara fungsional dan secara bersama-sama menentukan optimalisasi proses dan hasil pembelajaran. Komponen-komponen pembelajaran tersebut menurut Mudhoffir (1999) dijabarkan atas pesan, orang, bahan, alat, teknik, dan lingkungan. Sedangkan menurut Winkel (1999), komponen pembelajaran terdiri dari tujuan pembelajaran, kondisi awal, prosedur didaktik, pengelompokan siswa, materi, media, dan penilaian.
Dalam upaya memperbaiki proses pembelajaran agar efektif dan fungsional, maka fungsi media pembelajaran sangat penting untuk dimanfaatkan. Pemakaian media dalam proses pembelajaran dimaksudkan untuk mempertinggi daya cerna siswa terhadap informasi atau materi pembelajaran yang diberikan.
Efektifitas penggunaan media pembelajaran sangat tergantung pada derajat kesesuaiannya dengan materi yang akan diajarkan. Disamping itu tergantung juga pada keahlian guru dalam menggunakan media tersebut. Dalam hal ini Dick & Carey (dalam Lamudji, 2005 : 34) menyatakan bahwa salah satu keputusan yang paling penting dalam merancang pembelajaran ialah dengan menggunakan media yang sesuai dalam rangka penyampaian pesan-pesan pembelajaran.
Perlu kita diketahui bahwa teknologi informasi telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Teknologi informasi harus disadari telah mampu membuat berbagai cara untuk mempermudah penyampaian informasi, seperti misalnya teknologi program Power Point. Merupakan suatu hal yang menarik untuk melakukan suatu penelitian dengan penggunaan media belajar Program Power Point dalam pembelajaran cahaya dan sifat-sifatnya di kelas V SDN X yang peneliti jadikan kelas eksperimen dalam penelitian ini.
Microsoft Power Point merupakan salah satu aplikasi milik Microsoft, disamping Microsoft Word dan Microsoft Excel yang telah di kenal banyak orang. Ketiga aplikasi ini lazim disebut Microsoft Office. Pada dasarnya, aplikasi Microsoft Power Point berfungsi untuk membantu user dalam menyajikan presentasi.
Aplikasi Power Point menyediakan fasilitas slide untuk menampung pokok-pokok pembicaraan yang akan disampaikan pada peserta didik. Dengan fasilitas animasi, suatu slide dapat dimodifikasi dengan menarik. Begitu juga dengan adanya fasilitas : front picture, sound dan effect dapat dipakai untuk membuat suatu slide yang bagus. Bila produk slide ini disajikan, maka para pendengar dapat ditarik perhatiannya untuk menerima apa yang kita sampaikan kepada peserta didik.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang : PENGARUH PENGGUNAAN MEDIA PEMBELAJARAN POWERPOINT TERHADAP HASIL BELAJAR IPA SISWA KELAS V SDN X. 

B. Identifikasi Masalah
Dalam pembelajaran IPA tidak cukup hanya menggunakan alat peraga biasa seperti yang dilakukan guru sewaktu pembelajaran di kelas, hendaknya guru juga menggunakan alat atau benda seperti aslinya sehingga terkadang berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Oleh sebab itu perlu dilakukan suatu penelitian guna mengetahui sejauh mana pemanfaatan media di dalam proses belajar mengajar.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat diidentifikasikan masalah sebagai berikut : 
Dalam kegiatan belajar mengajar guru, masih kurang maksimal dalam menggunakan media pembelajaran salah satunya adalah penggunaan multimedia, yaitu media pembelajaran Power point saat kegiatan pembelajaran. 

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka pada penelitian ini dapat dirumuskan masalah sebagai berikut. Apakah penggunaan media pembelajaran power point berpengaruh terhadap hasil belajar IPA siswa kelas V SDN X ?

D. Tujuan Penelitian
Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh Penggunaan Media Pembelajaran Power Point Terhadap Hasil Belajar IPA Siswa Kelas V SD Negeri X.

E. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini ada beberapa manfaat yang dapat diambil antara lain : 
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap pembelajaran IPA khususnya penggunaan media power point.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi sekolah
Dengan adanya penelitian ini, memberikan masukan dalam pergeseran praktik pembelajaran konvensional menuju pembelajaran berbasis teknologi informasi dalam komunikasi dengan menggunakan multimedia pada pembelajaran IPA.
b. Bagi guru
Membuka cakrawala berfikir guru-guru dalam usaha meningkatkan kemampuan anak didik dalam penguasaan materi pelajaran dengan menggunakan media berbasis teknologi informasi dan komunikasi sehingga pembelajaran mata pelajaran IPA tidak ketinggalan zaman.
c. Bagi siswa
Siswa diharapkan semakin menyukai mata pelajaran IPA, sehingga hasil belajar siswa semakin baik.

SKRIPSI PENGARUH MENONTON FILM KARTUN YANG MENGANDUNG UNSUR KEKERASAN TERHADAP PERILAKU AGRESIF PADA ANAK SISWA KELAS IV

SKRIPSI PENGARUH MENONTON FILM KARTUN YANG MENGANDUNG UNSUR KEKERASAN TERHADAP PERILAKU AGRESIF PADA ANAK SISWA KELAS IV

(KODE : PENDPGSD-0006) : SKRIPSI PENGARUH MENONTON FILM KARTUN YANG MENGANDUNG UNSUR KEKERASAN TERHADAP PERILAKU AGRESIF PADA ANAK SISWA KELAS IV



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Anak merupakan bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang memiliki peran yang strategis dan mempunyai ciri serta sifat yang khusus, serta sangat memerlukan bimbingan dan perlindungan. Dalam fase kehidupannya anak mengalami perkembangan dan pertumbuhan, pertumbuhan dalam arti fisik, sedangkan perkembangan adalah dalam arti psikis termasuk perilakunya. Dalam perkembangan perilakunya, seorang anak belajar melalui pengalaman-pengalaman yang ditemui dan belajar dari mengidentifikasi model yang diamatinya. "Pembentukan atau perkembangan perilaku anak dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor intern (dari dalam diri anak) dan faktor ekstern (dari luar diri anak). Yang termasuk faktor intern yaitu herediter, umur dan jenis kelamin. Sedangkan yang termasuk faktor ekstern adalah lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, media masa, kultur dan sebagainya" (Kartini Kartono, 1990).
Beberapa tahun terakhir ini banyak kita temui kejadian atau kasus di kalangan anak-anak yang sangat memerlukan perhatian dari orang tua, pendidik dan masyarakat luas, sebagai contoh : maraknya tindak kriminal yang dilakukan anak mulai dari tindakan pencurian sampai pada tindakan pembunuhan. Banyak anak-anak yang terdorong untuk melakukan perilaku yang menyimpang dan melanggar norma yang disebabkan oleh pengaruh lingkungan serta pengaruh dari media masa terutama televisi.
Di zaman yang sudah maju seperti sekarang ini televisi bukan lagi barang yang mewah bagi warga Indonesia, terutama di kota-kota besar. Apalagi saat ini di Indonesia sudah memiliki sebelas stasiun televisi yaitu satu milik pemerintah dan sepuluh milik swasta. Persaingan yang keras di dunia bisnis pertelevisian menyebabkan acara-acara yang ditayangkan bervariasi temanya dan tidak lagi mendapat sensor yang ketat sehingga perilaku dan budaya yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia dapat begitu saja ditonton.
Acara televisi pada umumnya mempengaruhi sikap pandangan, persepsi dan perasaan para penontonnya sehingga terharu, terpesona atau meniru tingkah laku dalam film tersebut. "Salah satu pengaruh psikologis dari televisi adalah seakan-akan menghipnotis penonton, sehingga penonton dihanyutkan ke dalam suasana pertunjukan tersebut" (Milton Chen, 1996). Siaran televisi menimbulkan pengaruh terhadap masyarakat Indonesia baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif.
Salah satu pengaruh negatif dari televisi adalah banyaknya tayangan televisi yang mengandung unsur kekerasan, kejahatan, ketegangan, dan luapan emosi. Tayangan yang mengandung unsur kekerasan hampir setiap saat dapat ditemui dan tidak hanya pada film laga saja, bahkan sekarang dalam film kartun (animasi) yang merupakan tontonan bagi anak-anak juga mengandung unsur kekerasan. "Menurut Zainun Mu'tadi dengan menyaksikan perkelahian dan pembunuhan meskipun sedikit pasti akan menimbulkan rangsangan dan memungkinkan untuk meniru model kekerasan tersebut" (Mom Kiddies, 17 Desember 2006).
Film-film kartun yang mengandung unsur kekerasan memberi pengaruh yang buruk pada perilaku anak. "Hasil penelitian Komnas perlindungan anak menunjukan bahwa anak-anak menjadi lebih agresif yang dapat dikategorikan anti sosial setelah menonton film kartun yang mengandung unsur kekerasan, seperti Ninja Turtles" (Yayasan Kesejahteraan Keluarga, 2006). Dengan menyaksikan adegan kekerasan dalam film kartun maka terjadilah proses belajar peran model kekerasan oleh seorang anak dan dalam hal ini menjadi sangat efektif untuk terciptanya perilaku agresif. Menurut Koeswara (1988 : 4) "perilaku agresif adalah tingkah laku individu, yang berupa tindakan permusuhan yang ditujukan untuk melukai atau mencelakai individu lain baik secara fisik maupun verbal atau merusak harta benda".
"Tokoh pahlawan dalam film kartun misalnya film Power Ranger, banyak menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan konflik atau sebagai jalan keluar dari suatu masalah. Dan seringkali mendapat imbalan setelah mereka melakukan tindakan kekerasan, berupa tepukan tangan atau sekedar pemberian selamat. Hal ini sudah barang tentu membuat anak-anak yang menonton semakin meyakini bahwa tindakan kekerasan itu adalah hal yang menyenangkan dan dapat dijadikan suatu nilai bagi dirinya. Serta dapat membuat seorang anak berpikiran bahwa dalam menyelesaikan masalah kita tidak perlu bernegosiasi, tinggal pukul dan banting saja maka masalah akan selesai. Jika nilai-nilai ini tertanam dalam benak anak-anak, kita bisa membayangkan bagaimana masa depan mereka kelak baik secara pribadi, dalam hidup bermasyarakat maupun berbangsa. Bisa jadi yang tumbuh nanti adalah generasi yang mengedepankan kekerasan dalam menyelesaikan masalah".
Berpijak dari latar belakang permasalahan yang penulis kemukakan di atas, maka penulis mengadakan penelitian dengan judul "PENGARUH MENONTON FILM KARTUN YANG MENGANDUNG UNSUR KEKERASAN TERHADAP PERILAKU AGRESIF PADA ANAK SISWA KELAS IV SDN X".

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasikan masalah sebagai berikut : 
1. Film kartun yang mengandung unsur kekerasan, mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap aspek psikologi penontonnya terutama anak-anak.
2. Perilaku Agresif yang terjadi pada seorang anak merupakan akibat yang ditimbulkan dari menonton film kartun yang mengandung kekerasan. 

C. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, dilanjutkan dengan identifikasi masalah dan pembatasan masalah yang dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 
"Apakah ada pengaruh menonton film kartun yang mengandung unsur kekerasan terhadap perilaku agresif pada anak ?"

D. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah "Mengetahui ada tidaknya pengaruh menonton film kartun yang mengandung unsur kekerasan terhadap perilaku agresif pada anak".

E. Manfaat Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan dapat memperoleh bukti empiris mengenai pengaruh menonton film kartun yang mengandung unsur kekerasan terhadap perilaku agresif pada anak, artinya bila hipotesis yang diajukan terbukti maka diambil manfaat sebagai berikut : 
1. Manfaat Teoritis
a. Bagi ilmuwan atau peneliti, bisa digunakan untuk mengembangkan teori-teori psikologi pada umumnya dan psikologi perkembangan anak pada khususnya yaitu memberikan kerangka pikiran pada penelitian.
b. Untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan Pendidikan Khusus, yaitu mengenai perilaku agresi pada anak
2. Manfaat Praktis
a. Bagi orang tua, sebagai panduan untuk memberikan pengarahan terhadap anak mereka saat menonton televisi sehingga anak dapat memahami dan mengerti acara yang tengah ditonton.
b. Bagi guru, sebagai masukan untuk menilai perkembangan anak 
c. Bagi penentu kebijaksanaan penyiaran, sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan tayangan untuk anak.
d. Bagi dunia pertelevisian, sebagai masukan untuk mengkaji secara terarah dampak sesungguhnya dari tayangan dan siaran untuk anak-anak.