Search This Blog

SKRIPSI PTK PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN MATEMATIKA MELALUI MODEL KOMPETISI AKTIF MENYENANGKAN

SKRIPSI PTK PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN MATEMATIKA MELALUI MODEL KOMPETISI AKTIF MENYENANGKAN

(KODE : PTK-0133) : SKRIPSI PTK PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN MATEMATIKA MELALUI MODEL KOMPETISI AKTIF MENYENANGKAN (KAM) (MATEMATIKA KELAS II)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Permendiknas RI nomor 22 Tahun 2006 tentang standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah bahwa dalam setiap kesempatan pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contexstual problem). Dengan membahas masalah sesuai dengan konteks kehidupan dan situasi di sekitar siswa maka secara bertahap siswa dibimbing untuk menguasai konsep matematika. Pembelajaran matematika akan lebih menarik jika dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi mengajar dan sekaligus melibatkan peran aktif siswa dalam proses pembelajaran.
Permendiknas RI nomor 41 Tahun 2007 menyebutkan bahwa proses pembelajaran pada setiap satuan pendidikan dasar dan menengah harus interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreatifitas, dan kemandirian sesuai dengan minat, bakat, dan perkembangan fisik serta psikologi siswa. Seiring dengan tujuan tersebut maka harus ada kesiapan dari seorang guru dalam mendesain pembelajaran yang inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi siswa untuk berperan aktif di dalam pembelajaran.
Berdasarkan UU nomor 23 Th 2002 tentang perlindungan anak menyatakan bahwa anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasan sesuai dengan minat dan bakatnya. Maka melalui Permendiknas RI nomor 22 tahun 2006 menetapkan bahwa pendekatan tematik sebagai pendekatan pembelajaran yang harus dilakukan pada siswa Sekolah Dasar terutama pada siswa kelas rendah (kelas I s.d III). Menurut BSNP (2006 : 35) penetapan pendekatan tematik dalam pembelajaran di SD dikarenakan perkembangan peserta didik pada kelas rendah Sekolah Dasar, pada umumnya berada pada tingkat perkembangan yang masih melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan (holistik) serta baru mampu memahami hubungan antara konsep secara sederhana. Di dalam pembelajaran antara pelajaran satu dengan yang lainnya selalu dikaitkan menjadi satu dan sebisa mungkin tidak nampak antar mata pelajarannya. Berdasarkan hal ini di dalam pelaksanaan pembelajaran di kelas II harus menggunakan pendekatan tematik.
Menurut Slavin (1994) disebutkan siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasi informasi komplek, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama itu sudah tidak sesuai. Bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha susah payah dengan ide-ide. Satu prinsip yang paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa namun siswa harus membangun sendiri pengetahuan yang ada dibenaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan memberikan siswa kesempatan untuk menemukan dan menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan membelajarkan siswa dengan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberi siswa anak tangga yang membawa siswa ke pemahaman yang lebih tinggi dengan catatan sendiri yang harus memanjatnya.
Ruang lingkup mata pelajaran matematika pada satuan pendidikan SD/MI meliputi aspek-aspek sebagai berikut (1) bilangan, (2) geometri dan pengukuran, serta (3) pengolahan data. Oleh karena itu matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan-kemampuan tersebut. Menurut Fathani (2009 : 75) matematika merupakan salah satu ilmu dasar yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari dan harus dikuasai oleh setiap manusia terutama oleh siswa sekolah. Akan tetapi dalam perkembangannya matematika dianggap sebagai pelajaran yang sulit dan kurang disukai oleh sebagian orang. Menurut Susilo dalam Fathani (2009 : 77) ada beberapa mitos negatif yang berkembang dalam masyarakat mengenai matematika salah satu diantaranya adalah anggapan bahwa untuk mempelajari matematika diperlukan bakat istimewa yang tidak dimiliki setiap orang. Kebanyakan orang berpandangan bahwa untuk mempelajari matematika diperlukan kecerdasan yang tinggi, akibatnya bagi mereka yang merasa kecerdasannya rendah tidak termotivasi untuk belajar matematika.
Berdasarkan temuan dari Depdiknas (2002) dalam Trianto (2007), dalam proses pembelajaran selama ini siswa hanya menghafal konsep dan kurang mampu menggunakan konsep tersebut jika menemui masalah dalam kehidupan nyata yang berhubungan dengan konsep yang dimiliki. Lebih jauh lagi bahkan siswa kurang mampu menentukan masalah dan merumuskannya. Hal ini bertolak belakang dengan teori konstruktivisme yang menyatakan bahwa siswa harus membangun konsep sendiri dan bukan sekedar menghafalkan.
Keadaan yang terjadi di kelas II SDN X, berdasarkan observasi yang dilakukan oleh penulis di SDN X serta hasil wawancara, catatan dan hasil belajar sebelumnya yang diperoleh dari guru kelas keadaan yang terjadi adalah sebagai berikut : Ketika guru mengajukan pertanyaan maka tidak ada yang menjawab pertanyaan guru jika tidak ditunjuk oleh guru secara langsung. Siswa mau maju ke depan kelas diiming-imingi akan diberikan penghargaan. Jumlah penghargaan terbatas sehingga jika penghargaan sudah habis siswa harus ditunjuk oleh guru baru mau menjawab pertanyaan guru. Guru hanya memberikan evaluasi dan hasilnya hanya dibagikan begitu saja kepada murid tanpa ada penghargaan bagi siswa yang mendapatkan nilai terbaik sehingga siswa merasa biasa saja dengan nilai yang diperolehnya dan tidak berkeinginan mendapat nilai lebih tingi dibandingkan teman lainnya. Ketika menjawab soal yang diberikan guru siswa asal mengerjakan saja yang penting semua soal sudah dikerjakan.
Dalam pembelajaran sudah menggunakan media tetapi jumlahnya hanya ada 1 yaitu media yang dipajang di depan kelas saja dan tidak semua anak disediakan media sendiri-sendiri sehingga siswa hanya bisa menggunakannya secara bergantian. Media juga cenderung lebih banyak digunakan guru daripada siswa. Dalam pembelajaran guru lebih banyak berceramah sedangkan siswa hanya mendengarkan dan hanya duduk di bangkunya masing-masing tanpa melakukan aktivitas. Padahal siswa karakteristik anak SD adalah senang beraktivitas. Hal ini cenderung membuat siswa merasa tidak senang. Siswa yang tidak mendapat giliran menggunakan media cenderung merasa bosan dan siswa lebih asyik bermain sendiri. Siswa bisa mengerjakan soal yang diberikan jika dibimbing oleh guru tetapi ketika diberikan soal evaluasi dan mengerjakan sendiri siswa merasa kesulitan. Hal ini antara lain dikarenakan anak belajar dengan sistem menghafal.
Sesuai dengan hasil catatan pengamatan, di lapangan terjadi pembelajaran yang kurang menyenangkan, guru kurang terampil dalam menggunakan model dan media pembelajaran, dan siswa yang kurang aktif mengikuti kegiatan pembelajaran. Pembelajaran yang seperti ini mengakibatkan kurang berhasilnya proses pembelajaran dengan ditunjukKan 65% siswa yaitu 27 dari 42 siswa kelas II siswa mendapat nilai dibawah KKM pada pelajaran Matematika. Dengan nilai terendah 7 dan nilai tertinggi 100. Serta rata-rata kelas yang diperoleh adalah 50, 62. Padahal batas nilai ketuntasan di SDN X untuk mata pelajaran matematika adalah > 65.
Berdasarkan hal ini maka penulis memiliki dorongan dan ketertarikan mengadakan PTK dengan menggunakan model KAM dikarenakan model KAM memiliki beberapa keunggulan seperti menimbulkan rasa persaingan yang sehat antar siswa, siswa menjadi lebih aktif dalam pembelajaran dan senang mengikuti pembelajaran, menimbulkan rasa kerja sama dan kompetisi yang tinggi antara siswa satu dengan yang lain, dan meningkatkan keterampilan guru dalam menggunakan model pembelajaran dan media pembelajaran yang dapat menarik minat siswa dalam mengikuti pelajaran. Berdasarkan diskusi peneliti bersama kolaborator memilih menggunakan model KAM di dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran dan model KAM diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan yang terjadi tersebut sehingga kualitas pembelajaran matematika dapat meningkat.
Pembelajaran KAM merupakan modifikasi dari model pembelajaran Team Games Tournament (TGT) dan Pembelajaran Aktif Kreatif Efisien dan Menyenangkan (PAKEM). Tetapi karena kelas II termasuk kelas rendah maka dalam pelaksanaannya tetap dipadukan dengan pendekatan tematik. Model TGT merupakan salah satu tipe atau model pembelajaran kooperatif yang mudah diterapkan, melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur permainan dan reinforcement, Sedang PAKEM merupakan pembelajaran yang menggunakan pendekatan kontekstual yang menempatkan siswa sebagai subjek yang aktif mengkonstruksi pengetahuannya dengan menggunakan informasi yang diperoleh dari situasi nyata atau yang dapat dibayangkan (Depdiknas, 2007). Pembelajaran tematik merupakan pembelajaran terpadu melalui tema sebagai pemersatu dengan memadukan beberapa model sekaligus yang bisa dikaitkan satu sama lain.
Dari ulasan latar belakang tersebut diatas maka peneliti akan mengkaji melalui penelitian tindakan kelas dengan judul "PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN MATEMATIKA MELALUI MODEL KOMPETISI AKTIF MENYENANGKAN (KAM) PADA SISWA KELAS II SDN X".

B. Rumusan masalah dan Pemecahan masalah 
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan permasalahan masalah sebagai berikut : "Bagaimana deskripsi model KAM yang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran matematika siswa kelas II SDN X ?"
Adapun dari rumusan masalah tersebut dapat dirinci menjadi : 
a. Apakah model KAM dapat meningkatkan aktivitas siswa kelas II SDN X dalam pembelajaran matematika ?
b. Apakah model KAM dapat meningkatkan keterampilan guru SDN X dalam pembelajaran matematika ?
c. Apakah model KAM dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas II SDN X dalam pembelajaran matematika.

2. Pemecahan masalah
Melihat masalah yang sudah dipaparkan maka guru harus melakukan pemecahan masalah dengan melakukan PTK. Setelah mengadakan perundingan dengan kolaborator, peneliti memilih model KAM dengan pendekatan tematik dalam penyelesaian masalahnya. model KAM (Kompetisi Aktif Menyenangkan) merupakan modifikasi antara model TGT (Team Games Tournament) dan model PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan). Adapun tahapan dari model KAM adalah sebagai berikut : 1) pembentukan kelompok, 2) membangun konsep, 3) kompetisi antar kelompok, 4) kompetisi antar siswa, 5) pemberian penghargaan.

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah : "meningkatkan kualitas pembelajaran matematika pada siswa kelas II SDN X".
Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah : 
1. Mendeskripsikan peningkatan aktivitas siswa kelas II SDN X dalam pembelajaran matematika menggunakan model KAM.
2. Mendeskripsikan peningkatan keterampilan guru SDN X dalam pembelajaran matematika menggunakan model KAM.
3. Meningkatkan hasil belajar siswa kelas II SDN X dalam pembelajaran matematika menggunakan model KAM.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada umumnya dan meningkatkan kualitas pembelajaran matematika pada khususnya. Secara rinci diharapkan penelitian ini memberi kontribusi sebagai berikut : 
a. Kontribusi bagi guru
1. Meningkatkan kompetensi guru dalam pengembangan pembelajaran matematika di SD.
2. Meningkatkan keterampilan guru untuk menyelenggarakan sistem pembelajaran yang menarik, bervariasi dan kontekstual.
3. Mengubah paradigma pembelajaran matematika dari teacher centered (berpusat pada guru) menjadi student centered (berpusat pada siswa).
b. Kontribusi bagi siswa
1. Meningkatkan motivasi belajar dan kompetisi siswa dalam pembelajaran matematika
2. Meningkatkan peran aktif siswa dalam kegiatan pembelajaran serta mempererat hubungan antara murid yang satu dengan yang lainnya
c. Kontribusi bagi sekolah
1. Tercapainya tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sekolah baik secara kualitasnya (keterampilan guru dan aktivitas siswanya) maupun kuantitasnya (hasil belajar siswa).

SKRIPSI PTK PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR BENTUK PERMUKAAN BUMI MELALUI PENDEKATAN KONTEKSTUAL

SKRIPSI PTK PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR BENTUK PERMUKAAN BUMI MELALUI PENDEKATAN KONTEKSTUAL

(KODE : PTK-0132) : SKRIPSI PTK PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR BENTUK PERMUKAAN BUMI MELALUI PENDEKATAN KONTEKSTUAL (IPA KELAS III)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dalam penjelasan Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk dapat mewujudkan fungsi pendidikan nasional tersebut, diperlukan proses pembelajaran yang bermakna bagi siswa.
Sugiyanto (2010 : 1) mengemukakan bahwa profesionalisme seorang guru bukanlah pada kemampuannya mengembangkan ilmu pengetahuan, tetapi lebih pada kemampuannya untuk melaksanakan pembelajaran yang menarik dan bermakna bagi siswanya. Menurut Degeng dalam Sugiyanto (2010 : 1-2) daya tarik suatu mata pelajaran (pembelajaran) ditentukan oleh dua hal, pertama oleh mata pelajaran itu sendiri, dan kedua oleh cara mengajar guru. Oleh karena itu, tugas profesional guru adalah menjadikan pelajaran yang sebelumnya tidak menarik menjadikannya menarik, yang dirasakan sulit menjadi mudah, yang tadinya tak berarti menjadi bermakna.
Kebermaknaan dalam proses pembelajaran dapat diwujudkan melalui beberapa upaya yang harus ditempuh. Beberapa upaya tersebut antara lain yaitu memilih dan mengorganisasikan bahan ajar yang tepat, berkomunikasi dengan anak baik secara individu maupun secara klasikal, menentukan pendekatan pembelajaran yang efektif dan mengelola waktu. Hal ini tentu saja tidak dapat dilakukan tanpa proses pengalaman dan pemikiran secara ilmiah. Sehubungan dengan itu jenjang pendidikan sekolah dasar merupakan pendidikan dasar awal yang sangat penting, hal ini dikarenakan : (1) Dasar awal cepat berkembang menjadi pola kebiasaan yang akan mempengaruhi penyesuaian pribadi dan sosial anak sepanjang hidup, (2) Hasil belajar dan pengalaman semakin memainkan peranan secara dominan dalam perkembangan dengan bertambahnya usia anak, (3) pola sikap dan perilaku yang dibentuk pada awal kehidupan, cenderung bertahan (Soeparwoto, 2007 : 33).
Ilmu Pengetahuan Alam sebagai salah satu mata pelajaran di satuan pendidikan sekolah dasar turut memberikan kontribusi dalam usaha pencapaian cita-cita pendidikan nasional. Selain itu IPA juga merupakan salah satu mata pelajaran yang dimasukkan dalam ujian UASBN. Oleh karena itu, sebagai guru harus mampu mengaktifkan siswa dalam kegiatan pembelajaran IPA. 
Bagi sebagian siswa kelas III SDN X, IPA merupakan mata pelajaran mudah tetapi sulit. Hal ini ditandai dari perolehan hasil evaluasi mata pelajaran IPA pada materi penerapan energi, sebagian siswa tidak dapat menjawab soal evaluasi sehingga hasil evaluasi tidak sesuai dengan yang diharapkan. Beberapa siswa mendapatkan nilai dibawah KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) yaitu nilai 62.
Pada test formatif mata pelajaran IPA materi penerapan energi, dari 28 siswa kelas III SDN X, hanya 19 siswa atau 67,85% yang memperoleh nilai diatas KKM. Sisanya 9 siswa atau 32,15 masih memperoleh nilai dibawah KKM (belum tuntas/lulus KKM). Dari pengamatan penulis, siswa mengalami kesulitan dalam proses pengerjaan dan penyimpulan jawaban akhir, yang berarti pembelajaran yang dilakukan siswa belum begitu bermakna. Guru umumnya hanya menggunakan metode ceramah dalam pembelajaran, sehingga pembelajaran tidak berpusat pada siswa, oleh karena itu peneliti mengupayakan model pembelajaran yang diharapkan mampu meningkatkan hasil pembelajaran mata pelajaran IPA melalui pendekatan kontekstual.
Dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran untuk mewujudkan hasil pembelajaran yang diharapkan, diperlukan strategi baru yang lebih memberdayakan siswa. Sebuah strategi belajar yang tidak mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta, namun strategi yang mendorong siswa menerapkan pengetahuan di benak mereka sendiri. Sesuai dengan karakteristik siswa dilihat dari usianya, usia anak SD (7-11 tahun) berada pada tahap operasional konkret, yaitu berada pada tahap berfikir yang harus dikaitkan dengan hal-hal nyata dan pengetahuan awal yang telah dibangun oleh mereka sendiri (Piaget dalam Syah, 2006 : 31). Menurut Rifa'i dan Anni (2009 : 29) pada tahap operasional konkret anak mampu mengoperasikan berbagai logika menggantikan penalaran intuitif, namun hanya pada situasi konkret dan kemampuan untuk menggolong-golongkan sudah ada namun belum bisa memecahkan masalah abstrak.
Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang memungkinkan siswa-siswa TK sampai dengan SMU untuk menguatkan, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademik mereka dalam berbagai macam tatanan dalam sekolah dan luar sekolah agar dapat memecahkan masalah-masalah dunia nyata atau masalah-masalah yang disimulasikan (Trianto, 2007 : 102). Pendekatan ini mengasumsikan bahwa secara natural pikiran mencari makna konteks sesuai dengan situasi nyata lingkungan seseorang, dan itu dapat terjadi melalui pencarian hubungan yang masuk akal dan bermanfaat. Pemaduan materi pelajaran dengan konteks keseharian siswa di dalam pembelajaran kontekstual akan menghasilkan dasar-dasar pengetahuan yang mendalam dimana siswa kaya akan pemahaman masalah dan cara untuk menyelesaikannya. Siswa mampu secara independen menggunakan pengetahuannya untuk menyelesaikan masalah-masalah baru dan belum pernah dihadapi, serta memiliki tanggung jawab yang lebih terhadap belajarnya seiring dengan peningkatan pengalaman dan pengetahuan mereka.
Berdasarkan pada latar belakang diatas, peneliti mencoba menerapkan pendekatan kontekstual pada pembelajaran IPA. Pendekatan kontekstual merupakan konsep pembelajaran yang membantu guru dalam mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari (Sugandi, 2007 : 41). Dengan menerapkan pendekatan kontekstual, diharapkan semua kendala yang ada di atas dapat diselesaikan, prestasi belajar siswa dapat meningkat karena pendekatan ini dapat mengaktifkan siswa dan guru dalam kegiatan pembelajaran di kelas.

B. Rumusan Masalah dan Pemecahan Masalah
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan tersebut diatas, peneliti merumuskan permasalahan yang hendak di selesaikan melalui PTK yaitu : 
a. Bagaimana cara menggunakan pendekatan kontekstual, sehingga pembelajaran IPA materi bentuk permukaan bumi di kelas III SDN X dapat meningkat ?
b. Apakah dengan menggunakan pendekatan kontekstual dapat meningkatkan pembelajaran IPA materi bentuk permukaan bumi di
kelas III SDN X ? 
2. Pemecahan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah diatas, pemecahan masalah yang diajukan yaitu melalui penggunaan pendekatan kontekstual dapat meningkatkan prestasi belajar siswa kelas III SDN X pada mata pelajaran IPA materi pokok bentuk permukaan bumi.

C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 
a. Tujuan Umum
Untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas guru dan siswa dalam kegiatan pembelajaran di sekolah dasar dalam mata pelajaran IPA.
b. Tujuan Khusus
Untuk meningkatkan hasil belajar dan proses/keaktifan siswa kelas III SDN X serta performansi guru dalam mata pelajaran IPA materi pokok bentuk permukaan bumi.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi siswa, guru, sekolah (instansi terkait), dan peneliti. 
1. Bagi Siswa
a. Meningkatnya pemahaman terhadap materi bentuk permukaan bumi dalam mata pelajaran IPA.
b. Meningkatnya keterampilan dalam menyelesaikan soal materi bentuk permukaan bumi dalam mata pelajaran IPA.
c. Meningkatnya keaktifan belajar siswa dalam kegiatan pembelajaran IPA.
2. Bagi Guru
a. Guru mendapat pengalaman dalam kegiatan pembelajaran IPA melalui pendekatan kontekstual.
b. Pendekatan kontekstual sebagai alternatif dalam pembelajaran yang dapat meningkatkan kompetensi dan kreatifitas guru di dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar.
3. Bagi Sekolah
Membantu meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan kualitas pembelajaran IPA materi pokok bentuk permukaan bumi di kelas III SDN X.

SKRIPSI ANALISIS PERANAN KOPERASI SIMPAN PINJAM BMT TERHADAP PENGEMBANGAN USAHA MIKRO KECIL MENENGAH

SKRIPSI ANALISIS PERANAN KOPERASI SIMPAN PINJAM BMT TERHADAP PENGEMBANGAN USAHA MIKRO KECIL MENENGAH

(KODE : EKONPEMB-0023) : SKRIPSI ANALISIS PERANAN KOPERASI SIMPAN PINJAM BMT TERHADAP PENGEMBANGAN USAHA MIKRO KECIL MENENGAH



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perekonomian Indonesia pada penghujung tahun 1990-an mengalami krisis perekonomian multidimensional. Pilar utama penyangga perekonomian tidak sanggup menjadi penyangga. Perusahaan-perusahaan besar yang mengalami banyak kerugian mengambil tindakan untuk melaksanakan efisiensi kerja dalam berproduksi. Terjadilah PHK besar-besaran yang dilaksanakan berbagai perusahaan sehingga menimbulkan pengangguran dalam kapasitas yang besar.
Sementara usaha-usaha kecil masih dapat bertahan karena modal yang mereka kelola tidaklah begitu besar jika dibandingkan dengan perusahaan besar. Pengangguran yang begitu besar menyebabkan masyarakat mulai berbalik pada usaha-usaha kecil yang bersifat pribadi yang disebut dengan UMKM. Masyarakat berusaha untuk mengatasi pengangguran dengan bekerja ataupun membuka usaha kecil untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Usaha kecil tersebut bukanlah hal yang baru dalam perekonomian Indonesia. Pemerintah Indonesia sendiri telah menaruh perhatian bagi usaha UMKM melalui berbagai macam kebijakan pemerintah. Tetapi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tersebut kurang memberi manfaat bagi masyarakat yang melaksanakan usaha-usaha kecil yang disebut dengan UMKM.
Salah satu hal yang paling penting dalam pengembangan UMKM adalah modal kredit yang diberikan oleh pemerintah melalui kebijakan yang dikeluarkan, tidak efektif dalam memajukan usaha kecil. Banyak kredit yang diberikan oleh pemerintah tetapi tidak disalurkan bagi usaha kecil milik masyarakat.
Selain melalui pemerintah modal juga diperoleh usaha kecil melalui pihak perbankan. Perbankan diketahui memberi kredit untuk mengembangkan usaha. Berbagai macam bentuk kredit yang disediakan oleh lembaga perbankan untuk mengembangkan usaha kecil. Hanya saja bukan rahasia lagi bahwa kredit-kredit yang disediakan oleh perbankan yang digunakan untuk usaha kecil sering mengalami kegagalan dibandingkan keberhasilannya. Ada berbagai macam kendala yang menyebabkan kegagalan penyaluran kredit tersebut. Dimulai dengan bunga kredit bank yang tinggi, prosedur yang panjang sehingga masyarakat menjadi merasa dipersulit dalam proses permohonan kredit. Selain pemerintah dan perbankan yang dapat memberikan kredit bagi usaha kecil, ada pula yang dikenal dengan rentenir yang memberi pinjaman dana bagi pengusaha kecil dengan bunga yang harus dibayar mencekik leher masyarakat.
Sehubungan dengan hal tersebut ekonomi syariah yang sedang berkembang dan menjadi perhatian di Indonesia, menawarkan sistem kerja sama yang berbeda bagi pengusaha kecil yang dikenal dengan lembaga keuangan Baitul Mai Wat Tamwil (BMT) yang merupakan lembaga pendukung kegiatan ekonomi masyarakat kecil (golongan ekonomi lemah) dengan berlandaskan sistem ekonomi syariah Islam.
Badan hukum dari BMT dapat berbentuk koperasi dengan syarat telah memiliki kekayaan lebih dari Rp. 40.000.000,00 dan telah siap secara administrasi dan untuk menjadi koperasi yang sehat dapat dilihat dari segi pengelolaan koperasi dan dianalisa dari segi ibadah, amalan shalihah para pengurus yang telah mengelola BMT secara syariah Islam. Sebelum berbadan hukum koperasi, BMT dapat dibentuk sebagai KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) yang dapat berfungsi sebagai pra koperasi.
Berdasarkan UU No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian, dalam Bab I, Pasal I, Ayat I dinyatakan bahwa koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas azas kekeluargaan.
Keberadaan BMT yang siap memberikan pinjaman modal tanpa agunan, dengan prosedur administrasi yang mudah, rendah biaya transaksi, dan yang tak kalah penting bebas bunga akan menjadi daya tarik bagi pengusaha mikro untuk beralih dari lembaga keuangan informal semacam rentenir kepada lembaga keuangan yang lebih baik, aman, halal dan syar 'i yaitu BMT.
Keberadaan BMT diharapkan dapat mengurangi atau bahkan menghapuskan ketergantungan pengusaha mikro terhadap rentenir. Selain itu sektor usaha mikro dewasa ini tengah mendapatkan perhatian dunia internasional.
Bahkan tahun 2005 dicanangkan sebagai tahun Internasional pembiayaan mikro oleh perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Hal ini merupakan peluang besar bagi BMT sebagai sebuah lembaga keuangan mikro syariah untuk berkembang dan mendapat dukungan pemerintah. Baik dari dukungan segi modal, legalitas, pengawasan, maupun info struktur.
Pada awal periode 1980-an, diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi Islam mulai dilakukan. Sedangkan pada tahun 1992 perkembangan bank syariah di tanah air mendapatkan pijakan setelah adanya deregulasi sektor perbankan pada tahun 1983. Maka pada tahun 1992 lahirlah sebuah lembaga keuangan yang beroperasi menggunakan gabungan konsep Baitul Mai dan Baitul Tamwil, yang target sasarannya serta skalanya pada sektor usaha mikro. Dengan semakin banyaknya orang yang memiliki perhatian terhadap lembaga kecil ini serta disamping juga perlu adanya perantara untuk terjalinnya komunikasi dan jaringan antar BMT.
BMT X berdiri untuk melindungi pengusaha mikro dan kecil yang ada di Y dari rentenir-rentenir yang memberi pinjaman modal dengan bunga yang tinggi serta motivasi pengurus BMT untuk menambah amal ibadah melalui bekerja di BMT tersebut.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas penulis melakukan penelitian yang diberi judul "ANALISIS PERANAN KOPERASI SIMPAN PINJAM BMT X TERHADAP PENGEMBANGAN USAHA MIKRO KECIL MENENGAH DI KOTA Y".

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang pemilihan judul diatas, maka penulis terlebih dahulu merumuskan permasalahan sebagai dasar kajian penelitian dilakukan.
Adapun perumusan masalah yang dibuat adalah sebagai berikut : 
1. Bagaimana perkembangan BMT X di kota Y ?
2. Apa yang melatarbelakangi masyarakat meminjam di BMT ?
3. Bagaimana peranan pinjaman yang disalurkan pihak BMT terhadap pendapatan anggota BMT ?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 
1. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan BMT X di kota Y.
2. Untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi masyarakat meminjam di BMT.
3. Untuk mengetahui bagaimana peranan pinjaman yang disalurkan BMT terhadap pendapatan masyarakat/anggota BMT. 

D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan studi dan tambahan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa Fakultas Ekonomi terutama Departemen Ekonomi Pembangunan.
2. Sebagai masukan bagi kalangan akademis dan peneliti yang tertarik untuk membahas mengenai perkembangan BMT di kota Y.
3. Sebagai penambah wawasan ilmiah penulis dalam disiplin ilmu yang penulis tekuni.
4. Bagi BMT penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan yang bermanfaat untuk mendukung kemajuan dan kelancaran kegiatan usaha BMT.
5. Sebagai bahan, pelengkap sekaligus pembanding hasil-hasil penelitian yang sudah ada menyangkut topik yang sama.

SKRIPSI PENGARUH OTONOMI DAERAH TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

SKRIPSI PENGARUH OTONOMI DAERAH TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

(KODE : EKONPEMB-0022) : SKRIPSI PENGARUH OTONOMI DAERAH TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejak tahun 1996, pemerintah orde baru (Orba) telah membangun suatu pemerintahan nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik sebagai landasan untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Politik sebagai panglima telah diganti dengan ekonomi sebagai panglima dan mobilisasi massa atas dasar partai secara perlahan digeser oleh birokrasi dan politik teknokratis. Dalam konstelasi politik yang bam ini, militer telah menempati posisi yang paling atas dalam hierarki kekuasaan.
Kenyataan menunjukkan, pemerintahan orde baru telah berhasil dalam melenyapkan hiperinflasi (inflasi beratus-ratus persen), mengubah modal yang hengkang ke luar negeri menjadi arus masuk modal swasta yang substansial, mengubah deficit cadangan devisa menjadi selalu positif, mempertahankan harga beras dan meningkatkan produksi beras hingga mencapai tingkat swasembada, menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan menurunkan jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Prestasi politik dan ekonomi yang mengesankan itu, tak pelak lagi telah ditopang dengan control dan inisiatif program-program pembangunan dari pusat.
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara, Republik Indonesia terbagi atas beberapa daerah propinsi. Daerah propinsi tersebut terdiri dari daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut memiliki hak dan kewajiban mengatur sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi inilah, Undang-undang No. 5 tahun 1974 yang mengatur tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah dibentuk. Undang-undang No. 5/1974 ini telah meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam 3 (tiga) prinsip, yang dijelaskan sebagai berikut : Pertama, desentralisasi yang mengandung arti penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah. Kedua, dekonsentrasi yang berarti bahwa pelimpahan wewenang dari pemerintah atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal tingkat atasnya kepada pejabat-pejabat di daerah. Ketiga, tugas perbantuan yang berarti bahwa pengkoordinasian prinsip tunggal di daerah dan wakil pemerintah pusat di daerah. Akibat prinsip ini, dikenal adanya daerah otonom dan wilayah administratif.
Ditekankan juga bahwa titik tolak desentralisasi di Indonesia adalah Daerah Tingkat II (Dati II), dengan dasar pertimbangan, yaitu : Pertama, dimensi politik, Dati II dipandang kurang mempunyai fanatisme kedaerahan sehingga resiko gerakan separatisme dan peluang berkembangnya aspirasi federalis relatif minim. Kedua, dimensi administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat relatif dapat lebih efektif. Ketiga, Dati II adalah daerah "ujung tombak" pelaksanaan pembangunan sehingga dati II-lah yang lebih tahu kebutuhan akan dan potensi rakyat di daerahnya. Yang pada akhirnya, hal ini dapat meningkatkan local accountability Pemda terhadap rakyatnya. Atas dasar itulah prinsip otonomi yang dianut, yaitu otonomi yang nyata, bertanggung jawab, dan dinamis, yang diharapkan dapat dengan mudah direalisasikan. "Nyata" berarti otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif di daerah. "Bertanggung jawab" mengandung arti pemberian otonomi diselaraskan atau diupayakan untuk memperlancar pembangunan diseluruh pelosok tanah air. "Dinamis" berarti pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju.
Untuk menjamin proses desentralisasi berlangsung dan berkesinambungan, pada prinsipnya mengacu pada dasar otonomi daerah itu sendiri yang telah di tuangkan dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, maka akan terlihat bahwa perubahan mendasar yang telah dilakukan melalui UU No. 33 tahun 2004, yaitu peraturan tentang 2 sumber penerimaan daerah yang baru, yaitu dana perimbangan dan pinjaman daerah.
Pemberian hak otonomi didasarkan pada kemampuan fisik suatu daerah untuk membiayai dirinya sendiri dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah. Menurut UU No. 32 tahun 2004, bahwa prinsip otonomi daerah dapat dijelaskan sebagai berikut : 
1. Otonomi yang seluas-luasnya adalah daerah yang diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam UU. Daerah tersebut memiliki kewenangan membuat kebijakan daerahnya demi memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
2. Otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintah dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh dan hidup serta berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah tersebut.
3. Otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan maksud pemberian otonomi yang ada yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk peningkatan kesejahteraan masyarakat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.
Dengan pemberian otonomi ini diharapkan pada pemerintah daerah untuk lebih memanfaatkan dan mengolah peluang dan potensi yang dimiliki daerah tersebut demi kesejahteraan masyarakatnya melalui pembangunan di daerahnya dengan melibatkan aspirasi dan partisipasi masyarakat setempat/daerah tersebut. Pembangunan ekonomi daerah merupakan wujud dari pembangunan nasional didaerah. 
Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dan sector swasta untuk menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut. Tolok ukur keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari pembangunan ekonomi, struktur ekonomi, dan semakin kecilnya ketimpangan pendapatan, baik antar daerah maupun antar sektor. Pertumbuhan ekonomi merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan serta hasil dari pertumbuhan ekonomi tersebut dapat pula dinikmati oleh masyarakat diberbagai lapisan, mulai dari lapisan atas hingga pada lapisan yang paling bawah baik dengan sendirinya maupun dengan campur tangan pemerintah. Pertumbuhan harus berjalan secara beriringan dan terencana, mengupayakan terciptanya pemerataan kesempatan di berbagai sektor.
Dengan demikian daerah yang miskin, tertinggal, tidak produktif nantinya akan menjadi lebih produktif dan mempercepat pertumbuhan daerah itu sendiri. Menurut pandangan para ekonom klasik (Adam Smith) maupun para ekonom non klasik (Robert Solow & Trevor Swan), menyatakan bahwa pada dasarnya ada 4 faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, yaitu jumlah penduduk, jumlah stok barang modal, luas tanah dan kekayaan alam serta tingkat teknologi yang digunakan.
Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau perkembangan apabila tingkat kegiatan ekonominya lebih tinggi daripada apa yang dicapai pada masa yang sebelumnya. Menurut Boediono (1985), pertumbuhan ekonomi adalah suatu proses kenaikan output perkapita dalam jangka panjang. Disini proses mendapat penekanan karena mengandung unsur dinamis. Dalam konteks ini, Siagian (1995), mengemukakan pendapatnya bahwa desentralisasi merupakan suatu konsep yang dianggap mampu untuk mengatasi masalah pelayanan sosial diberbagai sektor publik. Dengan konsep ini diharapkan terjadi efisiensi dan efektifitas serta pemerataan yang diharapkan akan terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Hal senada juga dikemukakan oleh Wahyono (1993), yang menyatakan bahwa pengotonomian justru untuk membangun daerah tersebut agar masyarakatnya sejahtera, dengan tujuan sebagai berikut : 
1. Menghilangkan berbagai perasaan ketidak adilan pada masyarakat.
2. Menciptakan pertumbuhan ekonomi daerah
3. Meningkatkan demokrasi diseluruh strata masyarakat didaerah
4. Meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik.
Berdasarkan uraian diatas, penulis mencoba menganalisa sejauh mana pelaksanaan otonomi diterapkan di Kota X melalui pembangunan sarana dan prasarana fisik yang dapat langsung dirasakan oleh masyarakat. Penulis mencoba menuangkannya Dalam penulisan skripsi yang berjudul "PENGARUH OTONOMI DAERAH TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT KOTA X".

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka ada rumusan masalah yang dapat diambil sebagai kajian dalam penelitian yang dilakukan. Hal ini dilakukan untuk lebih mempermudah dan membuat lebih sistematik penulisan skripsi ini. Selain dari pada itu, rumusan masalah ini diperlukan sebagai suatu cara untuk mengambil keputusan dari akhir penulisan skripsi ini. Adapun perumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut : 
1. Bagaimana Kondisi Ekonomi Kota X setelah Otonomi Daerah ?
2. Apakah Otonomi Daerah Berpengaruh terhadap Kesejahteraan Masyarakat Kota X ?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian skripsi ini dilakukan adalah : 
1. Untuk mengetahui kondisi perekonomian kota X setelah adanya otonomi daerah.
2. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh otonomi daerah terhadap kesejahteraan masyarakat kota X.

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian yang dilakukan adalah : 
1. Sebagai bahan studi atau literatur tambahan terhadap penelitian yang sudah ada sebelumnya.
2. Sebagai bahan studi dan literatur bagi mahasiswa/mahasiswi ataupun peneliti yang ingin melakukan penelitian sejenis selanjutnya.
3. Sebagai bahan masukan yang berguna bagi pengambilan keputusan di masa yang akan datang.
4. Sebagai bahan masukan yang bermanfaat bagi pemerintah atau instansi-instansi yang terkait.

SKRIPSI ANALISIS PROBABILITAS KEBERHASILAN PROGRAM BANTUAN LANGSUNG TUNAI UNTUK RUMAH TANGGA SASARAN

SKRIPSI ANALISIS PROBABILITAS KEBERHASILAN PROGRAM BANTUAN LANGSUNG TUNAI UNTUK RUMAH TANGGA SASARAN

(KODE : EKONPEMB-0021) : SKRIPSI ANALISIS PROBABILITAS KEBERHASILAN PROGRAM BANTUAN LANGSUNG TUNAI UNTUK RUMAH TANGGA SASARAN



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Harga minyak mentah dunia mengalami kenaikan dari waktu ke waktu. Sejak Januari sampai Oktober 2007 harga minyak mentah dunia tidak pernah mengalami penurunan dalam pergerakan bulanan. Bahkan hingga pertengahan tahun 2008 harga minyak mentah dunia cenderung mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Kenaikan harga minyak mentah dunia diduga oleh beberapa faktor, diantaranya adalah ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran, ketegangan di perbatasan Turki dan Irak karena kebijakan Turki yang akan menggunakan seluruh kekuatan militernya guna menghadapi separatis Kurdi di Irak, laju konsumsi di China dan India yang terus meroket dan melemahnya dolar AS ikut memicu kenaikan harga (Kuncoro, 2007).
Sebagaimana negara-negara penghasil minyak lainnya seharusnya Indonesia juga mendulang keuntungan karena kenaikan minyak mentah dunia. Dengan keadaan seperti ini justru APBN Indonesia terbebani semakin berat yang harus menanggung kenaikan beban subsidi BBM yang terus meningkat. Hal ini dikarenakan produksi minyak Indonesia mengalami penurunan namun tidak diimbangi penurunan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) bahkan selalu meningkat dari tahun ke tahun. Selain itu produksi minyak di Indonesia kini banyak dikuasai oleh pihak asing. Selama tiga tahun terakhir Chevron Pacific Indonesia merupakan produsen minyak terbesar di Indonesia dengan menguasai 44% dari total produksi minyak Indonesia. Sedangkan Pertamina hanya duduk di peringkat kedua dengan pangsa produksi hanya 12%. Suatu hal yang sangat memprihatinkan, SDA yang seharusnya dikuasai dan dikelola oleh negara serta digunakan untuk kemakmuran rakyat justru sebagian besar dikuasai oleh pihak asing.
Perbandingan harga BBM dalam negeri dengan negara tetangga mengalami ketimpangan yang cukup signifikan. Harga BBM di dalam negeri jauh lebih murah daripada harga BBM di negara-negara tetangga. Pada Maret tahun 2008 harga BBM tertinggi terdapat di Singapura, harga premium di Singapura mencapai Rp. 13.857,- per liter, sedangkan harga premium di Indonesia hanya Rp. 4.557 per liter. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut : 
Harga BBM di Indonesia sangat murah bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Dengan perbedaan harga yang sangat tajam ini ditakutkan akan terjadi penyelundupan ke negara lain. oleh oknum-oknum yang tak bertanggung jawab. BBM yang seharusnya untuk konsumsi dalam negeri justru diselundupkan ke negara lain untuk memperoleh keuntungan pribadi karena harga di luar negeri yang jauh lebih mahal daripada di dalam negeri. Dan bila hal itu terjadi dan terus berlanjut maka yang terjadi adalah kelangkaan BBM di dalam negeri. Untuk mencegah hal itu terjadi maka pemerintah segera menyesuaikan harga BBM dalam negeri dengan harga BBM di luar negeri.
Selain hal di atas kenaikan harga BBM di Indonesia juga dikarenakan distribusi penggunaan subsidi BBM terbesar dinikmati oleh kalangan menengah ke atas. Sekitar 70% distribusi penggunaan subsidi BBM dinikmati oleh 40% masyarakat terkaya. Sedangkan 40% masyarakat miskin hanya menikmati tidak mencapai 15% dari distribusi penggunaan subsidi BBM dan sisanya dinikmati oleh kalangan menengah. Sehingga pemerintah mengambil kebijakan pengurangan subsidi BBM dengan mengalihkan ke hal lain yang lebih dapat dinikmati oleh masyarakat miskin.
Kenaikan harga BBM di Indonesia memberikan tekanan sosial dan ekonomi yang berat terhadap masyarakat. Karena dengan kenaikan harga BBM berdampak pada kenaikan dari harga barang-barang pokok sehari-hari (Sembako). Hal seperti ini memang wajar terjadi sama juga yang terjadi pada saat kenaikan harga BBM pada tahun 2005 yang diikuti juga dengan kenaikan harga sembako. Harga sembako yang terus naik sangat berdampak bagi masyarakat, khususnya masyarakat miskin. Dengan kenaikan harga kebutuhan pokok namun tidak diimbangi dengan kenaikan pendapatan masyarakat sehingga memperlemah daya beli masyarakat, khususnya masyarakat miskin akan mengalami kesulitan beradaptasi dengan perkembangan harga pasar. Sehingga masyarakat miskin akan mengalami penurunan taraf kesejahteraannya atau menjadi semakin miskin.
Untuk meningkatkan atau setidak-tidaknya mempertahankan daya beli masyarakat miskin pemerintah Indonesia melaksanakan program Bantuan Langsung Tunai untuk Rumah Tangga Sasaran (BLT-RTS). Program BLT-RTS merupakan salah satu program kompensasi jangka pendek selain Program Raskin dan Program Operasi Pasar Beras dan Subsidi Harga Beras TNI/Polri. Program BLT-RTS adalah sebuah program pemberian bantuan sejumlah uang tunai sebesar Rp. 100.000,- per bulan selama 7 bulan dengan rincian diberikan Rp. 300.000,- per 3 bulan (Juni-Agustus) dan Rp. 400.000,- per 4 bulan (September-Desember). Sasarannya rumah tangga sasaran sejumlah 19,1 juta sesuai hasil pendataan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik dan DIPA Departemen Sosial yang diterbitkan oleh Departemen Keuangan. Hal serupa juga telah dilaksanakan Pemerintah Indonesia ketika terjadi kenaikan harga BBM pada tahun 2005 dan 2006 dengan melaksanakan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM).
BLT merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mengantisipasi pengaruh kenaikan BBM terhadap rumah tangga miskin. Program BLT merupakan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dalam kurun waktu 2004-2009 untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, yang diantaranya adalah target penurunan angka kemiskinan dari 16,7% pada tahun 2004 menjadi 8,2% pada tahun 2009. Dengan demikian diharapkan dengan adanya program BLT ini mampu mengurangi angka kemiskinan di Indonesia.
Penerima dana BLT adalah dikhususkan untuk Rumah Tangga Sasaran (RTS) yang dikategorikan miskin menurut data BPS. Untuk mendapatkan data rumah tangga sasaran yang berhak menerima BLT, pendataan dilakukan oleh BPS. Kriteria yang berhak menerima dana BLT ini meliputi rumah tangga sangat miskin (poorest), miskin (poor) dan mendekati miskin (near poor) berdasarkan definisi konsumsi kalori atau pengeluaran. Adapun yang termasuk kriteria penerima dana BLT yang digunakan oleh BPS untuk rumah tangga sasaran adalah sebagai berikut (www.kompensasibbm.com) : 
1. Penduduk dikatakan sangat miskin apabila kemampuan untuk memenuhi konsumsi makanan hanya mencapai 1900 kalori per orang per hari plus kebutuhan dasar non makanan, atau setara dengan Rp. 120.000,- per orang per bulan.
2. Penduduk dikatakan miskin apabila kemampuan untuk memenuhi konsumsi makanan hanya mencapai antara 1900 sampai 2100 kalori per orang per hari plus kebutuhan dasar non-makanan, atau setara dengan Rp. 150.000,- per orang per bulan.
3. Penduduk dikatakan mendekati miskin apabila kemampuan untuk memenuhi konsumsi makanan hanya mencapai antara 2100 sampai 2300 kalori per orang per hari plus kebutuhan dasar non-makanan, atau setara dengan Rp. 175.000,- per orang per bulan.
Program BLT dianggap kurang efektif untuk mengatasi permasalahan akibat kenaikan harga BBM. Di mata sebagian besar publik, kebijakan pemerintah mengenai BLT ini sangatlah tidak memadai dan tidak masuk akal dengan kondisi riil saat ini. 
Dari uraian latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk mengambil penelitian yang berjudul "ANALISIS PROBABILITAS KEBERHASILAN PROGRAM BANTUAN LANGSUNG TUNAI UNTUK RUMAH TANGGA SASARAN (BLT-RTS)".

B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah tersebut di atas maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut : 
1. Bagaimanakah pengaruh pendapatan terhadap probabilitas keberhasilan program BLT-RTS di Kabupaten X dan pada pendapatan berapakah RTS mempunyai probabilitas mempertahankan atau meningkatkan daya beli lebih besar dari 50% ?
2. Bagaimanakah pengaruh harga beras terhadap probabilitas keberhasilan program BLT-RTS di Kabupaten X dan pada harga beras berapakah RTS mempunyai probabilitas mempertahankan atau meningkatkan daya beli lebih besar dari 50% ?
3. Bagaimanakah pengaruh gaya hidup terhadap probabilitas keberhasilan program BLT-RTS di Kabupaten X ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk : 
1. Untuk mengetahui pengaruh pendapatan terhadap probabilitas keberhasilan program BLT-RTS di Kabupaten X dan besarnya pendapatan RTS agar mempunyai probabilitas mempertahankan atau meningkatkan daya beli lebih besar dari 50%.
2. Untuk mengetahui pengaruh harga beras terhadap probabilitas keberhasilan program BLT-RTS di Kabupaten X dan besarnya harga beras untuk dikonsumsi RTS agar mempunyai probabilitas mempertahankan atau meningkatkan daya beli lebih besar dari 50%.
3. Untuk mengetahui pengaruh gaya hidup terhadap probabilitas keberhasilan program BLT-RTS di Kabupaten X.

D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan pertimbangan bagi Pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan, khususnya dalam program BLT-RTS.
2. Sebagai aplikasi dari teori secara umum dan Ilmu Ekonomi Pembangunan secara khususnya, serta diharapkan dapat memperkaya khasanah keilmuan yang ada.
3. Sebagai referensi/pedoman bagi pengembangan peneliti selanjutnya.

SKRIPSI PENGARUH ANGGARAN PENERIMAAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI

SKRIPSI PENGARUH ANGGARAN PENERIMAAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI

(KODE : EKONPEMB-0020) : SKRIPSI PENGARUH ANGGARAN PENERIMAAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI 



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam setiap perekonomian pemerintah perlu melakukan berbagai jenis pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi pemerintah, membangun dan memperbaiki struktur, menyediakan fasilitas pendidikan dan kesehatan dan membiayai anggota polisi dan tentara untuk menjaga keamanan merupakan pengeluaran yang tidak terelakkan pemerintah (Sukirno, 2004). Dengan kata lain, pemerintah memiliki kewajiban mutlak dalam mengumpulkan sumber-sumber dana (penerimaan) untuk membiayai seluruh pengeluaran yaitu pengeluaran rutin (belanja rutin) dan pengeluaran pembangunan. Agar terwujud sasaran yang tepat dalam pengumpulan dana dan pembiayaan maka pemerintah menyusun Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN). Untuk tingkat daerah dinamakan Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD).
Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 22 tahun 1999 dan Undang-undang no. 25 tahun 1999 yang mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya kebijakan ini diperbaharui dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 32 tahun 2004 dan Undang-undang No. 33 tahun 2004. Kedua Undang-undang ini mengatur tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Kebijakan ini merupakan tantangan dan peluang bagi pemerintah daerah (Pemda) dikarenakan Pemda memiliki kewenangan lebih besar untuk mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.
Kebijakan desentralisasi ditujukan untuk mewujudkan kemandirian daerah. Pemerintah daerah otonom mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasar aspirasi masyarakat (Undang-undang No. 32 tahun 2004). Inti hakekat otonomi adalah adanya kewenangan daerah, bukan pendelegasian.
APBD terdiri dari Penerimaan dan Belanja Daerah. Sumber-sumber penerimaan daerah yaitu pendapatan asli daerah, dana berimbang, dan penerimaan Iain-lain yang sah. Sumber pendapatan asli daerah merupakan sumber keuangan daerah yang digali dalam daerah yang bersangkutan yang terdiri dari pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah atau sumber daya alam dan Iain-lain pendapatan yang sah. Dana berimbang merupakan sumber pembiayaan yang berasal dari bagian daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, dan penerimaan Sumber daya Alam serta Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus.
Belanja daerah adalah belanja yang tertuang dalam APBD yang diarahkan untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan. Secara umum belanja daerah dapat dikategorikan ke dalam pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Pengeluaran rutin merupakan belanja yang penggunaannya untuk membiayai kegiatan operasional pemerintah daerah. Pengeluaran pembangunan merupakan belanja yang penggunaannya diarahkan dan dinikmati langsung oleh masyarakat.
Dengan dikelolanya APBD oleh pemerintah daerah masing-masing tanpa ada campur tangan pemerintah pusat dalam rangka perwujudan otonomi daerah atau desentralisasi fiskal, pemerintah daerah lebih leluasa untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerahnya untuk mensejahterakan masyarakat di daerahnya. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah keinginan masing-masing daerah. Pertumbuhan ekonomi dapat dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan faktor non ekonomi. Faktor ekonomi seperti : sumber alam, akumulasi modal, organisasi, kemajuan teknologi, pembagian tenaga kerja dan skala produksi. Faktor non ekonomi seperti : sosial, manusia, politik dan administratif. Pertumbuhan ekonomi ini dapat diukur dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dimana PDRB merupakan nilai tambah dari barang dan jasa yang dihasilkan dalam satu periode biasanya satu tahun.
Menurut Keynes dalam Deliarnov (2003), pemerintah perlu berperan dalam perekonomian. Dari berbagai kebijakan yang dapat diambil Keynes lebih sering mengandalkan kebijakan fiskal. Dengan kebijakan fiskal pemerintah bisa mempengaruhi jalannya perekonomian. Langkah itu dilakukan dengan menyuntikkan dana berupa pengeluaran pemerintah untuk proyek-proyek yang mampu menyerap tenaga kerja. Kebijaksanaan ini sangat ampuh dalam meningkatkan output dan memberantas pengangguran, terutama pada situasi saat sumber-sumber daya belum dimanfaatkan secara penuh.
Menurut Rostow dalam Jhingan (2007), yang menghubungkan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi. Pada tahap awal perkembangan, rasio pengeluaran pemerintah terhadap pendapatan nasional relative besar. Hal ini dikarenakan pada tahap ini pemerintah hams menyediakan berbagai sarana dan prasarana. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah hams tetap diperlukan guna memacu pertumbuhan agar dapat lepas landas. Sedangkan Wagner mengukur perbandingan pengeluaran pemerintah terhadap produk nasional. Wagner menamakan hukum aktivitas pemerintah yang selalu meningkat (law of ever increasing state activity).
Pengeluaran pemerintah daerah merupakan salah satu faktor lain yang menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran pemerintah yang terlalu kecil akan merugikan pertumbuhan ekonomi, pengeluaran pemerintah yang boros akan menghambat pertumbuhan ekonomi tetapi pengeluaran pemerintah yang proporsional akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk membuat penelitian ini dengan judul "PENGARUH APBD TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI KABUPATEN X".

B. Perumusan Masalah
Adapun perumusan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah : 
1. Bagaimanakah pengaruh Pengeluaran rutin terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten X ?
2. Bagaimanakah pengaruh Pengeluaran pembangunan terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten X ?

C. Hipotesis
Adapun hipotesis yang dapat disimpulkan adalah : 
1. Pengeluaran rutin berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten X.
2. Pengeluaran pembangunan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten X

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah : 
1. Untuk mengetahui pengaruh Pengeluaran rutin terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten X.
2. Untuk mengetahui pengaruh Pengeluaran pembangunan terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten X. 
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 
1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah daerah dalam pengambilan keputusan.
2. Sebagai bahan informasi dan referensi bagi pihak yang berkepentingan untuk menganalisa masalah-masalah yang berhubungan dengan APBD Kabupaten X.

SKRIPSI PTK UPAYA MENGEMBANGKAN KEMANDIRIAN ANAK USIA PLAYGROUP MELALUI PENERAPAN TEKNIK SCAFFOLDING

SKRIPSI PTK UPAYA MENGEMBANGKAN KEMANDIRIAN ANAK USIA PLAYGROUP MELALUI PENERAPAN TEKNIK SCAFFOLDING

(KODE : PTK-0131) : SKRIPSI PTK UPAYA MENGEMBANGKAN KEMANDIRIAN ANAK USIA PLAYGROUP MELALUI PENERAPAN TEKNIK SCAFFOLDING (PGTK)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masa usia prasekolah adalah merupakan masa yang sangat menentukan bagi perkembangan anak selanjutnya. Di usia ini sangat penting untuk meletakan dasar-dasar kepribadian anak yang akan menjadi pembentukan kepribadian anak di masa dewasa. Oleh karena itu masa usia prasekolah disebut juga masa keemasan bagi anak (golden age) dimana perkembangan otak pada anak sangat berkembang pesat yaitu sekitar 50% pada usia 0-5 tahun, sehingga dapat menerima berbagai masukan dari lingkungan sekitarnya dan sangat terbuka dalam menerima berbagai macam pembelajaran dan stimulasi yang diberikan (Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini, 2004).
Pada tahap perkembangan usia prasekolah ini, anak mulai menguasai berbagai keterampilan fisik, bahasa, dan anak pun mulai memiliki rasa percaya diri untuk mengeksplorasi kemandiriannya (Hurlock, 1997).
Dalam pemerolehannya, anak tentu memerlukan orangtua atau orang dewasa serta lingkungan yang mendukung untuk mendapatkan apa yang dibutuhkannya. Seiring dengan berjalannya waktu serta bertambahnya usia, anak perlahan-lahan akan melepaskan ketergantungannya pada orang tua atau orang lain di sekitarnya dan belajar untuk mandiri.
Salah satu tahapan penting dalam masa perkembangan anak adalah fase otonomi. Fase ini ditandai dengan antusiasme anak untuk melakukan segala sesuatunya sendiri dan munculnya hasrat untuk mandiri (Erikson dalam Hadis, 37).
Kemandirian bukanlah keterampilan yang muncul tiba-tiba tetapi perlu diajarkan pada anak sejak usia dini, apabila anak tidak belajar mandiri sejak usia dini akan sangat memungkinkan anak merasa bingung bahkan tidak tahu bagaimana harus membantu dirinya sendiri. Sartini (1992) mengungkapkan bahwa kemandirian merupakan salah satu aspek kepribadian manusia yang tidak dapat berdiri sendiri, hal ini berarti bahwa kemandirian terkait dengan aspek kepribadian yang lain dan harus dilatihkan pada anak-anak sedini mungkin agar tidak menghambat tugas-tugas perkembangan anak selanjutnya.
Ketika kemampuan-kemampuan yang seharusnya sudah dikuasai oleh anak pada usia tertentu pada kenyataannya anak belum mau dan belum mampu melakukan, maka dapat dikategorikan bahwa anak tersebut belum mandiri (Nakita, 2005). Sebagai contoh nyata yang sering ditemukan adalah ketika anak usia SD atau anak usia 6-9 tahun yang masih dibantu dalam kegiatan yang seharusnya dapat dilakukan sendiri seperti memakai baju, kegiatan makan, dan memakai sepatu. Kemampuan motorik anak usia 6-9 tahun ini pada umumnya sudah matang dan kemandirian anak pada usia ini seharusnya sudah berkembang lebih baik dibandingkan ketika usia anak berusia 2-4 tahun. Hal ini senada dengan apa yang diuraikan oleh Hurlock (1980 : 111) yaitu : 
Awal masa kanak-kanak dapat dianggap sebagai saat belajar untuk belajar keterampilan. Apabila anak tidak diberi kesempatan mempelajari keterampilan tertentu, dimana perkembangan kemampuannya sudah memungkinkan untuk melakukan berbagai hal, dan berkembangnya keinginan pada diri anak untuk mandiri, maka anak tidak saja akan kurang memiliki dasar keterampilan yang telah dipelajari oleh teman-teman sebayanya tetapi juga akan kurang memiliki motivasi untuk mempelajari pelbagai keterampilan pada saat diberi kesempatan.
Istichomah (2009) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa kebiasaan mengompol pada anak dibawah usia 2 tahun masih dianggap wajar karena anak belum mampu mengontrol kandung kemih secara sempurna. Tetapi disamping itu kebiasaan mengompol tersebut tidak jarang masih terbawa sampai anak berusia 4-5 tahun, bahkan di Indonesia kasus anak yang masih mengompol hingga di usia 6 tahun mencapai 12%. Hal ini disebabkan oleh kurangnya kesadaran orang tua dan orang dewasa dalam mengajarkan toilet training kepada anak sejak usia dini. Senada dengan apa yang dikemukakan oleh Istichomah, Hidayat (Faidah, 2009) mengatakan bahwa kemandirian toilet training yang tidak diajarkan sejak dini akan membuat orang tua semakin sulit untuk mengajarkan kepada anak ketika anak bertambah usianya.
Vygotsky dalam teori pembelajaran konstruktivismenya (dalam Isabella, 2007) menyebutkan bahwa pada pendidikan anak usia dini anak memerlukan scaffolding, yaitu bantuan yang tepat waktu dan ditarik kembali tepat waktu ketika interaksi belajar sedang terjadi. Pemberian scaffolding ini dilakukan oleh orang dewasa (adult/care giver/parent/teacher) atau orang yang lebih dahulu tahu (knowledgeable person/siblings/peer) tentang suatu keterampilan yang seharusnya dicapai oleh anak usia dini.
Scaffolding itu sendiri dapat diberikan oleh guru sebagai orang yang lebih dahulu tahu atau orang dewasa dengan memberikan dukungan maupun fasilitas kepada anak dalam proses perkembangannya hingga anak dapat melakukan aktivitasnya sendiri secara mandiri. Seperti apa yang dikatakan oleh Olson & Part (Stuyf, 2002) :
"In scaffolding instruction a more knowledgeable other provides scaffolds or supports to facilitate the learner's development. The scaffolds facilitate a student's ability to build on prior knowledge and internalize new information. The activities provided in scaffolding instruction are just beyond the level of what the learner can do alone".
Kebalikan dari pemberian scaffolding adalah interferensi (gangguan atau campur tangan yang tidak dikehendaki). Sering kali orang dewasa baik guru maupun orangtua mengambil tindakan secara spontan atau langsung datang untuk membantu anak menyelesaikan tugas perkembangannya. Akibatnya, bantuan yang diberikan akan menginterferensi proses pembelajaran anak. Keinginan tersebut sesungguhnya wajar dan natural, karena selain ungkapan kasih sayang, juga merupakan ungkapan kekhawatiran orang dewasa terhadap anak (Isabella, 2007). Akan tetapi apabila interferensi terus dilakukan kemungkinan besar anak akan selalu tergantung pada orang lain karena merasa tidak memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu sendiri. Akibatnya, ketika ia menghadapi masalah, anak akan mengharapkan bantuan orang lain, begitupun dalam mengambil keputusan dan dalam memecahkan masalah (problem solving).
Isabella (2007) telah melakukan observasi pada daily plan sebuah playgroup di Surabaya dengan mengambil tema "My Vegetable" dengan sub tema "Cauliflower" hal yang diobservasi adalah kemampuan anak untuk memetik kuntum bunga kol paling sedikit 8 kuntum. Dalam 5-10 menit pertama anak mengalami kesulitan karena jari-jari tangan belum terbiasa memetik bunga kol, disini guru tidak langsung memberikan bantuan, sampai pada akhirnya anak sendiri yang meminta bantuan. Guru menerapkan scaffolding dengan memegang jari anak dan memberi kekuatan tertentu untuk memetik kuntum bunga kol bersama (scaffolding action), setelah itu guru memberikan kesempatan kepada anak untuk mencoba memetik sendiri dan pada waktu bersamaan guru menarik scaffolding secara bertahap. Setelah anak dapat memetik 8 kuntum bunga kol maka anak telah mencapai level of potential development. Dalam observasi tersebut juga terlihat anak yang berusaha menolong temannya untuk memetik kuntum bunga kol, membagikan keterampilan yang baru saja dikuasai yang merupakan bentuk internalisasi konsep pengetahuan baru ke dalam dirinya. Berdasarkan hasil observasi Isabella tersebut, maka scaffolding memiliki peran yang sangat penting pada setiap aspek menuju pada pencapaian perkembangan anak.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, kemandirian anak-anak yang belum berkembang secara optimal diantaranya yaitu kemandirian untuk memakai sepatu sendiri tanpa bantuan dari orangtua atau pengasuh, mencuci tangan sendiri, toilet training (membuka celana, memakai celana, membersihkan diri, dan menyiram kloset secara mandiri), membersihkan tumpahan makanan secara mandiri, serta membereskan mainan setelah selesai bermain. Guru berpendapat bahwa ketika anak memasuki playgroup maka itu menjadi tahap awal pada anak dalam mengenal lingkungan yang baru di luar lingkungan rumah dan merupakan hal pertama kali bagi anak dalam mengenal lingkungan sekolah, hal ini menjadikan setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda sesuai dengan stimulus yang diperoleh sebelumnya di lingkungan rumah atau di lingkungan terdekat dengan anak selain lingkungan sekolah, sehingga guru memandang perlunya untuk memfasilitasi hal tersebut agar setiap anak dapat mengoptimalkan kemampuan kemandiriannya sesuai dengan perkembangan usia dan kebutuhannya.
Hal di atas senada dengan apa yang dikatakan oleh Siskandar (2003) bahwa program kegiatan di prasekolah seharusnya menanamkan dan menumbuhkan pentingnya pembinaan perilaku dan sikap yang dapat dilakukan melalui pembiasaan yang baik sejak dini agar anak tumbuh menjadi pribadi yang matang dan mandiri. Oleh karena itu maka, pendidik dapat mengembangkan kemandirian anak dengan intensitas yang sering karena aktivitas tersebut pun dilakukan oleh anak pada setiap harinya, maka pendidik dapat mengajarkan secara bertahap dan berkesinambungan serta konsisten dilakukan, sehingga pendidik dapat mengevaluasi level bantuan yang diberikan kepada anak dengan mempertimbangkan tingkat kemajuan hasil belajar anak pada setiap harinya.
Melalui kegiatan pengembangan kemandirian, pendidik diharapkan dapat menerapkan scaffolding yang sesuai bagi setiap individu anak, hal ini dikarenakan setiap anak dalam setiap situasi membutuhkan scaffolding yang berbeda-beda. Oleh karena itu, pendidik seyogyanya memiliki pemahaman dan pengetahuan mengenai tahapan dan perkembangan anak serta memiliki kemampuan untuk mengenal karakteristik setiap individu anak, sehingga dapat menerapkan scaffolding pada pelaksanaan aktivitas di sekolah untuk mencapai kemandirian anak sesuai dengan perkembangan usianya.
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dibahas, maka untuk selanjutnya perlu dilakukan penelitian mengenai proses scaffolding yang tepat dalam mengembangkan kemandirian anak. Oleh karena itu penelitian ini diberi judul "UPAYA MENGEMBANGKAN KEMANDIRIAN ANAK USIA PLAYGROUP MELALUI PENERAPAN TEKNIK SCAFFOLDING".

B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah, maka yang menjadi rumusan masalah secara umum adalah "bagaimana proses scaffolding pada pembelajaran untuk menumbuhkan kemandirian anak usia playgroup".
Adapun secara lebih khusus mengenai rumusan masalah di atas adalah sebagai berikut : 
1. Bagaimanakah kondisi awal perkembangan kemandirian anak di Playgroup X sebelum diberikan scaffolding ?
2. Bagaimanakah proses scaffolding dalam pembelajaran untuk menumbuhkan kemandirian anak Playgroup X ?
3. Bagaimanakah kemandirian anak di Playgroup X setelah diberikan scaffolding ?
4. Kendala-kendala apa saja yang dialami oleh guru dalam menerapkan scaffolding di Playgroup X ?

C. Tujuan Penelitian
1. Memperoleh gambaran kondisi yang sebenarnya mengenai kemandirian yang dimiliki oleh anak Playgroup X sebelum diberikan scaffolding dan memperoleh gambaran mengenai perkembangan kemandirian yang seyogyanya dimiliki oleh anak Playgroup X.
2. Memperoleh gambaran mengenai bagaimana proses scaffolding dalam pembelajaran untuk menumbuhkan kemandirian anak.
3. Memperoleh gambaran mengenai perkembangan kemandirian yang dimiliki anak setelah diberikan scaffolding.
4. Mengetahui kendala-kendala yang dial ami oleh guru dalam upaya mengembangkan kemandirian anak dengan scaffolding.

SKRIPSI PTK PENINGKATKAN KEMAMPUAN MENGENAL KONSEP PENGUKURAN MELALUI KEGIATAN MEMASAK

SKRIPSI PTK PENINGKATKAN KEMAMPUAN MENGENAL KONSEP PENGUKURAN MELALUI KEGIATAN MEMASAK

(KODE : PTK-0130) : SKRIPSI PTK PENINGKATKAN KEMAMPUAN MENGENAL KONSEP PENGUKURAN MELALUI KEGIATAN MEMASAK DI RAUDLATUL ATHFAL (PGTK) 



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat. Pendidikan pada anak usia dini merupakan pendidikan yang sangat penting karena pendidikan anak usia dini merupakan pijakan dasar pendidikan selanjutnya. Raudhatul Athfal (RA) merupakan bagian dari pendidikan anak usia dini pada jalur formal di bawah naungan Departemen Agama dengan sasaran usia 4-7 tahun. Menurut Froebel, 'masa anak adalah masa emas (golden age) bagi penyelenggara pendidikan' (Solehuddin, 2000 : 33) karena mengalami perkembangan yang pesat. Orangtua dan pendidik haruslah menjadi fasilitator bagi perkembangan anak yang sedang pesat dengan cara memberikan stimulus yang tepat sesuai dengan tahap perkembangannya. Namun, kurangnya pengetahuan orangtua atau pendidik mengenai tahapan perkembangan anak, maka dalam memberikan stimulus pada anak terkadang tidak sesuai dengan tahap perkembangan anak.
Ada beberapa aspek perkembangan dalam setiap perkembangan anak dan salah satunya adalah aspek perkembangan kognitif. Perkembangan kognitif merupakan mental atau pikiran yang berperan penting dan mendasar bagi studi-studi psikologi manusia. Salah satu pembelajaran yang dapat merangsang aspek perkembangan kognitif anak usia Raudhatul Athfal (RA) yaitu pembelajaran matematika atau daya pikir. Pembelajaran Matematika di Raudhatul Athfal (RA) sudah sering dilaksanakan dengan tujuan agar anak memiliki kesiapan untuk mempelajari matematika pada tahap selanjutnya melalui pemberian stimulus pada anak dalam kemampuan berpikir untuk mengembangkan aspek perkembangan kognitif anak.
Kegiatan untuk pembelajaran matematika di RA X yang biasa digunakan yaitu melalui Lembar Kegiatan Anak (LKA) yang telah disediakan oleh seksi pendidikan di IGRA (Ikatan Guru Raudhatul Athfal). Sebenarnya, kegiatan yang ada dalam buku LKA tersebut sudah sesuai dengan kurikulum di RA namun karena tuntutan Sekolah Dasar di sekitar RA X dan orangtua murid yang menyekolahkan anaknya di RA X menginginkan anaknya jika masuk Sekolah Dasar dapat menguasai keterampilan matematika yang seharusnya anak dapatkan di Sekolah Dasar sehingga pihak sekolah dan guru menambahkan pembelajaran matematika yaitu pelajaran tambahan (les) dan menekankan calistung yang seharusnya disampaikan di Sekolah Dasar. Padahal, kegiatan matematika seperti itu tidak diperbolehkan untuk diterapkan pada anak usia Raudhatul Athfal (RA). Hal tersebut dipertegas oleh pernyataan dari Ace Suryadi yang mengungkapkan bahwa : 
Pembelajaran membaca, menulis dan berhitung (calistung) pada anak usia dini merupakan salah satu bentuk kesalahan terbesar yang diterapkan sistem pendidikan nasional Indonesia. Pada usia dini, pengajaran calistung justru akan membatasi interaksi siswa dengan lingkungan. Meskipun begitu, keinginan belajar calistung datang dari diri anak secara langsung hal itu sah-sah saja" (Sriningsih, 2008 : 2).
Kegiatan penguasaan keterampilan matematika di RA X telah berlangsung sejak awal didirikannya RA X pada tahun 1998 dan memang terbukti bahwa lulusan dari RA X dapat meraih juara dalam bidang akademik di tingkat Sekolah Dasar. Namun, ada beberapa anak yang mengalami kejenuhan belajar pada saat kelas IV (empat) SD. Padahal, menurut Sriningsih (2008 : 8) bahwa "pembelajaran untuk anak usia dini memegang peranan yang sangat penting bagi pembentukan kemampuan dan sikap belajar pada tahap yang lebih lanjut sehingga keberhasilan belajar pada tahap awal sangat menentukan keberhasilan belajar pada tahap berikutnya dan kegagalan belajar pada tahap awal merupakan penyebab paling besar terhadap kegagalan belajar pada tahap berikutnya".
Di RA X, guru hanya menekankan keterampilan berhitung pada anak didiknya terlebih lagi pada anak kelompok A. Padahal dalam pembelajaran matematika yang telah direkomendasikan oleh The National Council of Teacher of Mathematic (NCTM) bahwa : 
Ada sepuluh standar pembelajaran untuk anak usia dini meliputi standar isi dan standar proses pembelajaran matematika antara lain yaitu bilangan dan operasional bilangan, aljabar, geometri, pengukuran, analisis data dan probabilitas, problem solving, penalaran dan pembuktian, komunikasi, koneksi dan representasi" (Sriningsih, 2008 : 5).
Pembelajaran pengukuran yang disampaikan oleh guru kelompok A di RA X yaitu melalui kegiatan mengerjakan LKA. Dalam LKA tersebut, anak hanya membandingkan panjang-pendeknya gambar dan besar-kecilnya gambar kemudian anak mewarnai gambar tersebut. Kurang variatifnya kegiatan dan media yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan anak dalam pengukuran menjadikan kemampuan anak masih rendah. Padahal "pemahaman anak terhadap konsep hampir sepenuhnya tergantung pada pengalaman-pengalaman yang bersifat langsung (hand-on experiences) " (Solehuddin, 2000; Sriningsih, 2008).
Tepat kiranya apabila upaya pengembangan kecerdasan logika-matematika untuk anak usia dini dijadikan sebagai salah satu upaya pemberian rangsangan pendidikan yang dapat dilakukan melalui berbagai aktivitas bermain bukan melalui metode pembelajaran klasik yang menekankan pada penguasaan fakta dengan menggunakan kegiatan drill yang bersifat instan dan berdampak negatif terhadap perkembangan anak. (Sriningsih, 2008 : 3).
Kegiatan yang dapat mengembangkan kemampuan anak dalam mengukur adalah salah satunya melalui kegiatan memasak. Hal ini sesuai dengan pendapat Griffiths (1992 : 105) bahwa "anak-anak dapat belajar tentang pengukuran melalui berbagai aktifitas yang menyenangkan, seperti bermain dengan air, memasak, mengukur tinggi badan dan lain-lain". Kegiatan memasak mempunyai manfaat untuk keterampilan anak yang dapat digunakan seumur hidup mereka karena kegiatan memasak merupakan kegiatan yang tidak lepas dari kehidupan manusia sehari-hari. Selain itu, kegiatan memasak dapat membantu mengembangkan semua aspek perkembangan anak termasuk aspek perkembangan kognitif.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka penulis terdorong untuk menulis skripsi dengan judul "MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENGENAL KONSEP PENGUKURAN MELALUI KEGIATAN MEMASAK DI RAUDHATUL ATHFAL (RA)”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 
1. Bagaimana kondisi objektif proses belajar mengajar di RA X dalam mengenalkan konsep pengukuran dengan menggunakan satuan non standar (tidak baku) pada anak kelompok A ?
2. Bagaimana kondisi objektif kemampuan anak kelompok A di RA X dalam mengenal konsep pengukuran dengan menggunakan satuan non standar (tidak baku) ?
3. Bagaimana implementasi kegiatan memasak untuk meningkatkan kemampuan mengenal konsep pengukuran dengan menggunakan satuan non standar (tidak baku) pada anak kelompok A di Raudhatul Athfal (RA) ?
4. Bagaimana kemampuan anak dalam mengenal konsep pengukuran dengan menggunakan satuan non standar (tidak baku) setelah diterapkan kegiatan memasak di RA X ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan memasak untuk meningkatkan kemampuan mengenal konsep pengukuran dengan menggunakan satuan non standar (tidak baku) pada anak usia Raudhatul Athfal (RA).
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui kondisi objektif proses belajar mengajar di RA X dalam mengenalkan konsep pengukuran dengan menggunakan satuan non standar (tidak baku) pada anak kelompok A.
b. Untuk mengetahui kondisi objektif kemampuan anak kelompok A di RA X dalam mengenal konsep pengukuran dengan menggunakan satuan non standar (tidak baku).
c. Untuk mengetahui implementasi kegiatan memasak untuk meningkatkan kemampuan mengenal konsep pengukuran dengan menggunakan satuan non standar (tidak baku) pada anak kelompok A di Raudhatul Athfal (RA).
d. Untuk mengetahui kemampuan anak dalam mengenal konsep pengukuran dengan menggunakan satuan non standar (tidak baku) setelah diterapkan kegiatan memasak di RA X.

D. Manfaat Hasil Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, dapat diperoleh manfaat atau pentingnya penelitian. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut : 
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam pengembangan ilmu pengetahuan, selain itu juga dapat memberikan pemahaman psikologis terhadap guru-guru mengenai kemampuan mengenal konsep pengukuran dengan menggunakan satuan non standar (tidak baku) melalui kegiatan memasak di Raudhatul Athfal (RA).
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti
Untuk menambah pengetahuan dan berbagai sarana dalam menerapkan pembelajaran matematika khususnya pengenalan konsep pengukuran non standar (tidak baku) di Raudhatul Athfal (RA).
b. Bagi Sekolah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pada pihak sekolah, yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memacu belajar siswa di Raudhatul Athfal (RA).
c. Bagi Prodi Pendidikan Anak Usia Dini
Dapat digunakan sebagai bahan untuk mengembangkan pengetahuan serta bahan perbandingan bagi pembaca yang akan melakukan penelitian, khususnya tentang kemampuan mengenal konsep pengukuran dengan menggunakan satuan non standar (tidak baku) untuk anak usia Raudhatul Athfal (RA) yang dipadukan dalam kegiatan belajar mengajar.

SKRIPSI PTK PENINGKATAN KETERAMPILAN BERHITUNG ANAK USIA TAMAN KANAK-KANAK MELALUI METODE DEMONSTRASI DENGAN MEDIA MANIPULATIF

SKRIPSI PTK PENINGKATAN KETERAMPILAN BERHITUNG ANAK USIA TAMAN KANAK-KANAK MELALUI METODE DEMONSTRASI DENGAN MEDIA MANIPULATIF

(KODE : PTK-0129) : SKRIPSI PTK PENINGKATAN KETERAMPILAN BERHITUNG ANAK USIA TAMAN KANAK-KANAK MELALUI METODE DEMONSTRASI DENGAN MEDIA MANIPULATIF (PGTK)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Dalam perkembangannya, masyarakat telah menunjukkan kepedulian terhadap masalah pendidikan, pengasuhan, dan perlindungan anak usia dini, untuk usia 0 sampai dengan 6 tahun dengan berbagai jenis layanan sesuai dengan kondisi dan kemampuan yang ada, baik dalam jalur pendidikan formal maupun pendidikan non formal (Depdiknas, 2009 : 1).
Penyelenggaraan PAUD jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-Kanak (TK)/Raudhatul Athfal (RA) dan bentuk lain yang sederajat, yang menggunakan program untuk usia 4-6 tahun. Sedangkan penyelenggaraan PAUD jalur pendidikan non formal berbentuk Tempat Penitipan Anak (TPA) dan bentuk lain yang sederajat, yang menggunakan program untuk anak usia 0-2 tahun, 2-4 tahun, 4-6 tahun dan Program Pengasuhan untuk anak usia 0-6 tahun. Kelompok Bermain (KB) dan bentuk lain yang sederajat, menggunakan program untuk anak usia 2-4 tahun dan 4-6 tahun (Depdiknas, 2009 : 1).
Taman Kanak-Kanak (TK) merupakan lembaga pendidikan formal sebelum anak memasuki sekolah dasar, lembaga ini dianggap penting karena masa usia ini merupakan golden age (usia emas) yang di dalamnya terdapat "masa peka" yang hanya datang satu kali. Masa peka adalah suatu masa yang menuntut perkembangan anak dikembangkan secara optimal. Penelitian menunjukkan bahwa 80% perkembangan mental, kecerdasan anak berlangsung pada usia ini. Kenyataannya di lapangan menunjukkan bahwa anak yang tinggal kelas, drop out, khususnya pada kelas rendah disebabkan anak yang bersangkutan tidak melalui pendidikan di TK (Depdiknas 2007 : 1).
Kegiatan pembelajaran di Taman Kanak-Kanak mengutamakan bermain sambil belajar atau belajar sambil bermain. Secara alamiah bermain memotivasi anak untuk mengetahui segala sesuatu lebih mendalam, dan secara spontan anak mengembangkan kemampuannya. Bermain pada dasarnya mementingkan proses dari pada hasil. Menurut Bredekamp (1997), " Play is an important vehicle for children, social, emotional and cognitive development". Artinya bermain merupakan wahana yang penting untuk perkembangan sosial, emosi dan kognitif anak yang direfleksikan pada kegiatan (Masitoh 2005 A).
Salah satu bidang pengembangan yang dilakukan di TK adalah aspek pengembangan kognitif. Pengembangan ini bertujuan agar anak mampu mengolah perolehan belajarnya, menemukan bermacam-macam alternatif pemecahan masalah, mengembangkan kemampuan logika matematika, pengetahuan ruang dan waktu, kemampuan memilah dan mengelompokkan dan persiapan pengembangan kemampuan berpikir teliti (Depdiknas, 2007 : 1).
Pada aspek pengembangan kognitif ini, salah satu kemampuan yang dikembangkan adalah kemampuan berhitung. Depdiknas (2007) dalam Pedoman Pembelajaran Permainan Berhitung Permulaan di Taman Kanak-Kanak menjelaskan bahwa berhitung di Taman Kanak-Kanak diharapkan tidak hanya berkaitan dengan kemampuan kognitif saja, tetapi juga kesiapan mental, sosial dan emosional. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya, berhitung di Taman Kanak-Kanak harus dilakukan secara menarik dan bervariasi.
Pada usia tiga tahun, minat anak terhadap angka pada umumnya sangat besar. Di sekitar lingkungan kehidupan anak berbagai bentuk angka seringkali ditemui dimana-mana, misalnya pada jam dinding, mata uang dan kalender. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa angka telah menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari. Pada saat inilah berhitung seyogianya mulai diperkenalkan pada anak (Harizal, 2009).
Depdiknas (2007) menjelaskan bahwa berhitung sangat berguna bagi kehidupan sehari-hari, terutama konsep bilangan yang merupakan dasar bagi pengembangan kemampuan matematis. Berhitung di Taman Kanak-Kanak diperlukan untuk mengembangkan pengetahuan dasar matematika lebih lanjut di sekolah dasar, seperti pengenalan konsep bilangan, lambang bilangan, warna, bentuk, ukuran, ruang dan posisi melalui berbagai bentuk alat dan kegiatan yang menyenangkan. Selain itu, berhitung juga diperlukan untuk membentuk sikap logis, kritis, cermat, kreatif dan disiplin pada diri anak. Namun, banyak sekali para guru yang belum bisa memanfaatkan bahan-bahan yang ada untuk dijadikan media pembelajaran yang menarik untuk anak dalam mengajarkan keterampilan berhitung, sehingga anak-anak akan merasa senang dan nyaman untuk belajar berhitung.
Hasil penelitian Sukmanasa, E (2009) mengenai dampak metode bermain dengan menggunakan media flashcard terhadap kemampuan berhitung permulaan anak usia dini, menunjukkan bahwa metode bermain dengan menggunakan media flashcard berdampak positif dalam meningkatkan kemampuan berhitung di RA. Al-Muhajirin. Hasil post tes kemampuan berhitung permulaan di kelompok B RA. Al-muhajirin terdapat selisih antara skor sebesar 1,194 antara kelompok kontrol dengan kelompok eksperimen.
Berkaitan dengan masalah tersebut, untuk meningkatkan keterampilan berhitung anak TK, peneliti ingin mengungkapkan salah satu metode pembelajaran yang dipandang efektif bagi peningkatan keterampilan berhitung anak TK. Salah satu metode pembelajaran tersebut adalah metode demonstrasi.
Menurut Roestiyah (2008 : 83) metode demonstrasi adalah cara mengajar dimana seorang instruktur atau tim guru menunjukkan, memperlihatkan suatu proses, sehingga seluruh siswa dapat melihat, mengamati (mendengar dan mungkin meraba-raba) dan merasakan proses yang dipertunjukkan oleh guru tersebut.
Roestiyah (2008), mengungkapkan bahwa penggunaan metode demonstrasi sangat menunjang proses interaksi belajar mengajar di kelas. Keuntungan yang diperoleh ialah ; dengan demonstrasi perhatian siswa lebih dapat terpusatkan pada pelajaran yang sedang diberikan, kesalahan-kesalahan terjadi bila pelajaran itu diceramahkan dapat diatasi melalui pengamatan dan contoh yang konkrit. Sehingga kesan yang diterima siswa lebih mendalam dan tinggal lebih lama pada jiwanya. Keuntungan lainnya adalah dapat memberikan motivasi yang kuat untuk siswa agar lebih giat belajar. Jadi dengan demonstrasi itu siswa dapat berpartisipasi secara aktif, dan memperoleh pengalaman langsung, serta dapat mengembangkan kecakapannya.
Rohanah (2009), meneliti bahwa metode demonstrasi pada anak sangatlah berbeda dengan metode demonstrasi lainnya karena anak lebih menyukai hal-hal yang nyata, sesuatu yang dapat dilihat oleh mata, serta anak lebih senang kepada suatu kegiatan yang langsung melibatkan anak.
Dalam sebuah metode pembelajaran, media pembelajaran merupakan hal yang paling penting dalam proses belajar mengajar, seperti yang telah dikemukakan oleh Rohani (Susilawati dalam Anggraeni, 2011 : 4) menjelaskan bahwa media merupakan segala sesuatu yang dapat diindra yang berfungsi sebagai perantara/sarana/alat dalam proses belajar mengajar. Sedangkan Gagne (Susilawati dalam Anggraeni, 2011 : 4) mengemukakan bahwa media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan anak yang dapat merangsang anak untuk belajar.
Dalam mengenalkan konsep berhitung melalui metode demonstrasi pada anak usia dini sebaiknya menggunakan media yang konkrit sehingga anak lebih mudah untuk memahami kegiatan berhitung. Media yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah media manipulatif.
Montalalu (Anggraeni, 2011 : 5) mengemukakan bahwa media manipulatif besar artinya dalam perkembangan anak terutama dalam berhitung, seperti membandingkan, melihat hubungan dan menarik kesimpulan.
Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Heddens (Sumarni dalam Anggraeni, 2011 : 5) bahwa media manipulatif adalah benda (model konkrit) yang dapat disentuh dan digerak-gerakkan oleh siswa dalam mempelajari konsep bilangan sehingga menimbulkan keinginan untuk berflkir.
Penulis telah melakukan observasi di TK X mengenai pembelajaran berhitung dan metode yang digunakan untuk mengajarkannya. Hasil observasi menunjukkan bahwa pembelajaran berhitung di TK X masih merujuk pada lembar kerja. Selain itu, media yang dipergunakan untuk menunjang pembelajaran berhitung ini pun sangat minim. Diakui oleh guru di TK X, bahwa sampai saat ini para guru masih kesulitan dalam mengajarkan berhitung kepada anak-anak, dan juga belum menemukan cara dan media pembelajaran yang tepat dalam kegiatan berhitung di TK X. Sehingga kegiatan berhitung yang diterapkan di TK X masih menggunakan metode konvensional atau pengerjaan latihan di buku tulis. Anak dipaksa harus mengingat beberapa angka yang harus diingatnya kemudian menjumlahkannya dengan angka melalui jari, sehingga ada beberapa anak yang merasa kesulitan dalam menjumlahkan hasil penambahan dan pengurangan yang diinstruksikan oleh guru.
Berdasarkan hasil refleksi awal melalui diskusi dengan guru, disepakati bahwa tindakan untuk memecahkan masalah tersebut adalah melalui metode demonstrasi dengan media manipulatif. Selain bermanfaat bagi anak dalam melaksanakan metode baru dengan tambahan media yang dapat menumbuhkan rasa antusias atau minat anak terhadap pembelajaran, penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat juga sebagai bahan masukan bagi guru dalam memilih dan memanfaatkan bahan-bahan bekas yang menarik dan bervariasi dalam mengajarkan berhitung pada anak Taman Kanak-Kanak, sehingga guru tidak mengeluarkan biaya yang terlalu banyak. Oleh karena itu, penulis bermaksud untuk melakukan penelitian di TK X yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berhitung di Taman Kanak-Kanak dengan menggunakan metode demonstrasi dan media manipulatif.
Atas dasar uraian di atas, peneliti mengangkat judul dalam penelitian ini, yaitu : “PENINGKATAN KETERAMPILAN BERHITUNG ANAK USIA TAMAN KANAK-KANAK MELALUI METODE DEMONSTRASI DENGAN MEDIA MANIPULATIF”.

B. Rumusan Masalah
Dari permasalahan yang terdapat dalam latar belakang diatas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut : 
1. Bagaimana kondisi objektif pembelajaran berhitung di TK X ?
2. Bagaimana pelaksanaan metode demonstrasi dengan media manipulatif untuk meningkatkan keterampilan berhitung anak TK X ?
3. Bagaimana keterampilan berhitung anak TK X setelah diterapkan metode demonstrasi dengan media manipulatif ?
4. Kendala apa saja yang dihadapi guru dan anak dalam pembelajaran berhitung melalui metode demonstrasi dengan media manipulatif ?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 
1. Mengetahui kondisi objektif pembelajaran berhitung di TK X.
2. Mengetahui pelaksanaan metode demonstrasi dengan media manipulatif untuk meningkatkan keterampilan berhitung anak TK X.
3. Mengetahui keterampilan berhitung anak Taman Kanak-Kanak X setelah diterapkannya metode demonstrasi dengan media manipulatif.
4. Mengetahui kendala apa saja yang dihadapi guru dan anak dalam pembelajaran berhitung dengan menggunakan metode demonstrasi dengan media manipulatif.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.
1. Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangan keilmuan dalam memahami penerapan metode demonstrasi dengan media manipulatif dalam meningkatkan keterampilan berhitung di Taman Kanak-Kanak.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi penulis
Memberikan wawasan pribadi dalam meningkatkan keterampilan berhitung anak melalui metode demonstrasi dengan media manipulatif.
b. Bagi guru
Sebagai bahan masukan bagi guru dalam memilih strategi pembelajaran yang tepat dalam meningkatkan keterampilan berhitung anak Taman Kanak-Kanak.