Search This Blog

TESIS PENGARUH MOTIVASI BELAJAR SISWA DAN KEGIATAN EKSTRAKURIKULER TERHADAP PRESTASI BELAJAR PENDIDIKAN JASMANI

TESIS PENGARUH MOTIVASI BELAJAR SISWA DAN KEGIATAN EKSTRAKURIKULER TERHADAP PRESTASI BELAJAR PENDIDIKAN JASMANI

(KODE : PASCSARJ-0184) : TESIS PENGARUH MOTIVASI BELAJAR SISWA DAN KEGIATAN EKSTRAKURIKULER TERHADAP PRESTASI BELAJAR PENDIDIKAN JASMANI (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN OLAHRAGA)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Berdasarkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No. 20 Tahun 2003 pasal 1.1, menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Kemudian pasal 1.20, menyatakan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
Perkembangan dunia pendidikan dari tahun ke tahun mengalami perubahan seiring dengan tantangan dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu bersaing di era global. Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh bangsa kita adalah masih rendahnya kualitas pendidikan pada setiap jenjang. Banyak hal yang telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional antara lain melalui berbagai pelatihan dan peningkatan kualitas guru, penyempurnaan kurikulum, pengadaan buku dan alat pembelajaran serta perbaikan sarana dan prasarana pendidikan.
Namun demikian mutu pendidikan yang dicapai belum seperti apa yang diharapkan. Perbaikan yang telah dilakukan pemerintah tidak akan ada artinya jika tanpa dukungan dari guru, orang tua, siswa, dan masyarakat. Berbicara tentang mutu pendidikan tidak akan lepas dengan proses belajar mengajar. Di mana dalam proses belajar mengajar guru harus mampu menjalankan tugas dan peranannya.
Keberhasilan seorang siswa dalam belajar dapat dilihat dari prestasi belajar siswa yang bersangkutan. Di dalam pendidikan jasmani siswa akan dinilai keberhasilannya melalui tes hasil belajar digabung dengan nilai persentase kehadiran siswa. Hasil yang diharapkan adalah prestasi belajar yang baik karena setiap orang menginginkan prestasi yang tinggi, baik siswa, guru, sekolah, maupun orang tua hingga masyarakat. Namun antara siswa satu dengan siswa yang lainnya berbeda dalam pencapaian prestasi belajar. Ada yang mampu mencapai prestasi yang tinggi, namun ada juga siswa yang rendah prestasi belajarnya, ada yang bisa tuntas tepat waktu dan ada pula tuntas setelah proses remedial. Sedangkan prestasi belajar yang tinggi hanya bisa dicapai jika tuntas tanpa proses remedial.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal mewajibkan pembelajaran pendidikan jasmani sebagai pelajaran wajib seperti yang tercantum dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Namun untuk memenuhi kekurangan dalam pembelajaran ini, sekolah biasanya mengadakan kegiatan olahraga di luar jam pelajaran yang biasanya disebut dengan kegiatan ekstrakurikuler.
Kegiatan ekstrakurikuler merupakan suatu kegiatan di luar jam pelajaran, jadi sifatnya tidak terlalu dibatasi oleh waktu seperti halnya dalam intra kurikuler yang hanya 2 jam pelajaran saja dalam se-minggu. Artinya seorang guru atau pelatih bisa mengembangkan kegiatan secara menyeluruh dan terperinci, misalnya dalam pengembangan permainan bola voli, sepak bola dan cabang olahraga lainnya, baik itu cabang olahraga yang menjadi bagian dari kompetensi dasar pada kurikulum pendidikan jasmani maupun cabang olahraga yang tidak menjadi kompetensi dasar pada kurikulum pendidikan jasmani. Guru atau pelatih bisa lebih banyak menjelaskan mengenai teknik, taktik, dan strategi serta berbagai komponen mengenai pembinaan kondisi fisik, atau bahkan sampai peraturan-peraturannya secara mendetail dan terperinci.
Sehingga memungkinkan berpengaruh kepada perkembangan kesehatan jasmani bagi siswa yang mengikutinya. Hal itu dikarenakan siswa mendapatkan pengetahuan dan tugas gerak yang lebih banyak daripada yang diajarkan di sekolah. Faktor prestasi juga sangat berpengaruh karena prestasi belajar merupakan seluruh kecakapan hasil yang dicapai {achievement) dan diperoleh melalui hasil belajar yang dinyatakan dengan nilai-nilai prestasi belajar berdasarkan nilai rapor.
Selain itu kegiatan ekstrakurikuler cabang olahraga juga memungkinkan siswa untuk dapat meningkatkan minatnya terhadap suatu cabang olahraga, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan motivasi dan prestasi mereka dalam pembelajaran pendidikan jasmani di sekolahnya. Hal tersebut bukanlah tanpa alasan, ini dikarenakan oleh fungsi kegiatan ekstrakurikuler itu sendiri, seperti yang diungkapkan oleh Techonlyib (2009 : 2-3) : 
a. Pengembangan, yaitu fungsi kegiatan ekstrakurikuler untuk mengembangkan kemampuan dan kreatifitas peserta didik sesuai dengan potensi, bakat dan minat mereka.
b. Sosial, yaitu fungsi kegiatan ekstrakurikuler untuk mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial peserta didik.
c. Rekreatif, yaitu fungsi kegiatan ekstrakurikuler untuk mengembangkan suasana rileks, menggembirakan dan menyenangkan bagi peserta didik yang menunjang proses perkembangan.
d. Persiapan karir, yaitu fungsi kegiatan ekstrakurikuler untuk mengembangkan kesiapan karir peserta didik.
Oleh karena itu penulis berpendapat bahwa, banyak keuntungan yang bisa didapat dari kegiatan ekstrakurikuler cabang olahraga di antaranya yaitu untuk pengembangan diri siswa baik dari sisi akademis maupun non akademis, dan nilai sikap. Semua bakat dan minat siswa bisa disalurkan dan dikembangkan melalui kegiatan ekstrakurikuler, sehingga kemampuan atau bakat tidak hanya dijadikan hobi, melainkan bisa membuahkan prestasi.
Kegiatan ekstrakurikuler cabang olahraga di sekolah pada dasarnya semua cabang olahraga bisa menjadi bagian kegiatan ekstrakurikuler, akan tetapi cabang olahraga yang menjadi bagian dari kegiatan ekstrakurikuler biasanya yaitu cabang olahraga yang cukup populer dan banyak digemari oleh siswa serta didukung oleh ketersediaan SDM dan sarana prasarana di sekolah. 
Cabang olahraga yang menjadi bagian dalam kegiatan ekstrakurikuler tersebut merupakan cabang olahraga yang cukup populer dan banyak digemari oleh siswa serta didukung oleh ketersediaan SDM dan sarana prasarana di sekolah. Selain itu cabang olahraga tersebut merupakan salah satu Sub Kompetensi yang terdapat di dalam kurikulum pendidikan jasmani.
Oleh karena itu dengan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler ini, siswa akan mendapat jam belajar lebih banyak, sehingga diharapkan siswa yang berperan aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler ini akan lebih memahami dan menguasai cabang olahraga yang dijadikan sebagai kegiatan ekstrakurikuler dan tambahan proses pembelajaran bagi siswa tersebut.
Proses belajar yang terjadi pada individu memang merupakan sesuatu yang penting, karena melalui belajar individu mengenal lingkungannya dan menyesuaikan diri dengan lingkungan di sekitarnya. Mengenai belajar pada prinsipnya mempunyai tujuan yang sama yaitu seperti yang dikemukakan Ridwan (2008) yakni "setiap orang yang melakukan proses belajar akan mengalami suatu perubahan dalam dirinya". Dengan belajar, maka akan terjadi suatu perubahan yaitu dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak mengerti menjadi mengerti, dari yang tidak mampu menjadi mampu.
Tujuan belajar di atas menunjang siswa untuk berprestasi pada bidang studi di sekolahnya. Prestasi belajar diartikan sebagai gambaran keberhasilan seseorang dalam upaya mengoptimalisasikan kemampuan yang dimilikinya melalui suatu kegiatan yang diikutinya. Hal ini sejalan dengan definisi prestasi belajar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah "Penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru". Makmun (1998 : 111-112) mengemukakan tentang prestasi belajar dapat dimanifestasikan ke dalam bentuk perubahan perilaku belajar berupa : 
a. Pertambahan ilmu pengetahuan yang berupa fakta-fakta, informasi, prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah, prosedur-prosedur atau pola kerja atau teori sistem nilai.
b. Penguasaan pola-pola perilaku kognitif, perilaku afektif dan perilaku psikomotor.
c. Perubahan dalam sikap-sikap kepribadian.
Jadi prestasi belajar dapat diartikan sebagai gambaran keberhasilan seseorang dalam mewujudkan kemampuan yang dimilikinya. Prestasi belajar tersebut dapat berupa perubahan perilaku, perubahan dalam pola kepribadian dan nilai atau angka-angka sebagai wujud konkrit yang dapat dilihat seperti halnya dalam laporan hasil prestasi belajar siswa (rapor). Prinsip belajar tuntas yang berlaku pada saat sekarang ini merupakan gambaran awal dari prestasi belajar minimal yang harus dicapai oleh siswa pada tiap semesternya yakni dengan adanya Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) untuk setiap mata pelajaran, begitu pula dengan pelajaran Pendidikan Jasmani.
KKM tersebut muncul tidak begitu saja, KKM muncul berdasarkan in-take siswa dari SMP sebelumnya, ketersediaan sarana prasarana dan guru yang ada di sekolah pada saat itu, serta bobot materi (Kompetensi Dasar dan Sub Kompetensi) yang diberikan terhadap siswa.
Sedangkan prestasi belajar itu sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah faktor fisiologis dan faktor psikologis. Yang termasuk faktor fisiologis adalah kesehatan siswa dan yang termasuk faktor psikologis salah satunya adalah motivasi siswa untuk mencapai prestasi.
Motivasi merupakan dorongan dari dalam diri seseorang, motivasi dapat disebabkan oleh adanya sesuatu yang dapat membuat seseorang tersebut berbuat sesuai dengan kehendaknya. Hal ini sejalan dengan pendapat Purwanto (1990 : 73) yang mengemukakan : 
- Motivasi yaitu suatu usaha yang disadari untuk menggerakkan, mengarahkan, dan menjaga tingkah laku seseorang agar ia terdorong untuk bertindak melakukan sesuatu sehingga mencapai hasil atau tujuan tertentu.
- Motivasi untuk menampilkan suatu perilaku dilandasi oleh adanya keinginan untuk mencapai atau memuaskan suatu kebutuhan.
Motivasi untuk melakukan sesuatu dapat datang dari diri sendiri, yang dikenal sebagai motivasi intrinsik, serta dapat pula datang dari lingkungan yang disebut motivasi ekstrinsik. Dengan adanya motivasi yang merupakan dorongan bagi siswa untuk belajar, maka siswa tersebut diharapkan bisa belajar dengan baik supaya mendapatkan hasil yang memuaskan.
Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja maupun dalam kehidupan lainnya. Kajian tentang motivasi telah sejak lama memiliki daya tarik tersendiri bagi kalangan pendidik, manajer, dan peneliti, terutama dikaitkan dengan kepentingan upaya pencapaian kinerja (prestasi).
seseorang. Begitu pula dengan prestasi belajar siswa di sekolahnya, faktor motivasi pada siswa bisa saja terkait dengan kegiatan tambahan yang diikuti oleh siswa itu sendiri, sehingga bisa saja ada keterkaitan antara ketiga faktor tersebut dan saling mempengaruhi satu sama lain.
Maka dari itu, berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan di atas, penulis ingin mengetahui dampak kegiatan ekstrakurikuler cabang olahraga akan berpengaruh terhadap pemahaman belajar yang diberikan oleh guru melalui proses pembelajaran yang nantinya mengarah kepada prestasi belajar siswa itu sendiri. Di sisi lain, motivasi yang merupakan dorongan bagi seseorang agar melakukan sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu, juga bisa berdampak terhadap hasil pembelajaran yang ingin dicapai. Dengan demikian, penulis bermaksud untuk mengetahui seberapa besar pengaruh motivasi belajar siswa dan kegiatan ekstrakurikuler terhadap prestasi belajar pendidikan jasmani.
Untuk mencapai tujuan tersebut maka, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh motivasi belajar siswa dan kegiatan ekstrakurikuler cabang olahraga terhadap prestasi belajar pendidikan jasmani di kalangan siswa SMK.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, bahwa prestasi belajar tidaklah datang dengan begitu saja tanpa ada dorongan atau motivasi dan kegiatan tambahan penunjang pembelajaran seperti kegiatan ekstrakurikuler cabang olahraga untuk mata pelajaran Pendidikan Jasmani. Dengan adanya motivasi belajar dan kegiatan tambahan penunjang pembelajaran diharapkan supaya dapat meningkatkan pencapaian prestasi belajar yang akan didapat oleh siswa. Dari rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tersusun pertanyaan penelitian sebagai berikut : 
1. Apakah terdapat pengaruh motivasi belajar siswa terhadap prestasi belajar Pendidikan Jasmani di kalangan siswa SMKN X ?
2. Apakah terdapat pengaruh kegiatan ekstrakurikuler terhadap prestasi belajar Pendidikan Jasmani di kalangan siswa SMKN X ?
3. Apakah terdapat pengaruh motivasi belajar siswa dan kegiatan ekstrakurikuler terhadap prestasi belajar Pendidikan Jasmani di kalangan siswa SMKN X ?

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang penulis ajukan maka penelitian ini tidak lain bertujuan untuk menggambarkan seberapa besar pengaruh dari motivasi belajar siswa dalam pembelajaran Pendidikan Jasmani dan kegiatan ekstrakurikuler cabang olahraga terhadap prestasi belajar di kalangan siswa SMKN X pada umumnya. Sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah : 
1. Untuk mengungkap perbedaan pengaruh dari motivasi belajar siswa terhadap prestasi belajar Pendidikan Jasmani di kalangan siswa SMKN X.
2. Untuk mengungkap perbedaan pengaruh dari kegiatan ekstrakurikuler terhadap prestasi belajar Pendidikan Jasmani di kalangan siswa SMKN X.
3. Untuk mengungkap perbedaan pengaruh dari motivasi belajar siswa dan kegiatan ekstrakurikuler terhadap prestasi belajar Pendidikan Jasmani di kalangan siswa SMKN X.
Adapun hasil dari penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti sendiri akan bermanfaat bagi peneliti dalam penyelesaian studi pada khususnya dan dunia pendidikan pada umumnya. Beberapa manfaat yang dapat disumbangkan untuk dunia pendidikan antara lain yaitu : 
1. Dapat dijadikan sumbangan keilmuan yang berarti di dunia pendidikan serta menjadi suatu informasi dalam usaha pengembangan dalam bidang pendidikan pada umumnya dan pengembangan pendidikan jasmani dan olahraga pada khususnya.
2. Sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang terkait dalam upaya meningkatkan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran pendidikan jasmani dan olahraga, baik di kalangan pendidik dan tenaga kependidikan serta di kalangan pengambil kebijakan.
3. Diharapkan menjadi bahan informasi dan referensi dalam rangka pengembangan ilmu pendidikan, khususnya pendidikan jasmani dan peneliti-peneliti lain yang hendak meneliti hal-hal lain yang berhubungan dengan kegiatan pembelajaran pendidikan jasmani.

TESIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI PEDESAAN DI KECAMATAN

TESIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI PEDESAAN DI KECAMATAN

(KODE : PASCSARJ-0183) : TESIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI PEDESAAN (PNPM-MP) DI KECAMATAN (PROGRAM STUDI : EKONOMI PEMBANGUNAN)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Program pengentasan kemiskinan pada masa sekarang lebih berorientasi kepada pemberdayaan dan partisipasi. Sebelumnya telah dilalui begitu banyak program pengentasan kemiskinan di Indonesia yang pada umumnya memiliki konsep sebagai program yang berdasar kepada keinginan dan kebutuhan masyarakat. Kenyataan yang ditemui bahwa pada saat itu masyarakat tidak merasa memiliki terhadap program-program tersebut sehingga seringkali ditemukan di lapangan bahwa banyak program yang hanya seumur masa proyek dan berakhir tanpa dampak berarti bagi kehidupan masyarakat. Program yang ada tersebut kurang berhasil mencapai sasaran yang diharapkan, yakni kemandirian masyarakat baik secara ekonomis, sosial maupun politis. Bahkan sampai saat ini, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa masyarakat pada umumnya menganggap bahwa pemberdayaan adalah hanya sebatas mereka memperoleh akses finansial seperti dana bantuan atau pun kredit.
Perubahan orientasi dan cara berbagai program pengentasan kemiskinan, tidak terlepas dari aliran perubahan arti pembangunan itu sendiri. Pada awalnya pembangunan ekonomi yang tinggilah yang menjadi prioritas bagi setiap negara di dunia. Dengan adanya pola pendekatan trickle down effect ada suatu harapan akan terjadi tetesan kemakmuran yang dirasakan oleh sekelompok masyarakat tertentu.
Melalui pencapaian pendapatan nasional yang tinggi dianggap merupakan keberhasilan bagi seluruh bangsa. Namun kenyataan adalah bahwa pola pendekatan tersebut adalah tidak sempurna, yang terjadi adalah semakin luasnya kesenjangan yang terjadi antara masyarakat ekonomi lemah dan ekonomi kuat. Jumlah masyarakat miskin bukan berkurang melainkan bertambah dari tahun ke tahun.
Kenyataan tersebut membawa perubahan terhadap pola pengentasan kemiskinan oleh banyak negara. Di negara Indonesia, pemerintah kemudian mewujudkan program pengentasan kemiskinan melalui pola bantuan langsung dan pola pemberdayaan masyarakat. Berbagai program seperti Inpres Desa Tertinggal (IDT), program Takesra, program Jaring Pengaman Sosial (JPS), program kredit lunak bagi masyarakat miskin, Program Pengembangan Kecamatan Fase I dan Fase II serta berbagai program pengentasan kemiskinan melalui pemberian subsidi dan bantuan bagi masyarakat miskin telah dilakukan oleh pemerintah.
Program-program pengentasan kemiskinan yang sebelumnya, diprioritaskan pada upaya pemenuhan kebutuhan dasar, seperti pemenuhan kebutuhan sembilan bahan pokok, upaya peningkatan kemampuan para petani di pedesaan, melalui penyediaan sarana dan prasarana untuk meningkatkan kemudahan para petani menggarap sawah ladangnya, pelayanan kesehatan dan pendidikan yang lebih merata dengan program Inpres Kesehatan, dokter dan tenaga para medisnya, sekolah, guru dan perlengkapan lainnya, serta mengusahakan adanya listrik masuk desa dan perbaikan sarana pedesaan lainnya. Namun pendekatan semacam ini kemudian menimbulkan implikasi baru dalam menanggulangi kemiskinan di masyarakat. Pola ini memang sangat efektif dalam mencapai sasaran yang ada namun di sisi lain tanpa adanya penguatan sosial (social strengthening) justru akan menimbulkan ketergantungan masyarakat serta memperlemah daya kreasi dan inovasi dari masyarakat tersebut. Dampak dari program ini pun tidak berkelanjutan bagi pemenuhan kesejahteraan bagi masyarakat.
Menurut Prasojo (2003) ada beberapa permasalahan terkait upaya pemberdayaan masyarakat sehingga tidak mencapai tujuan pemberdayaan dan penanggulangan kemiskinan yaitu : 
a) Diskontinuitas dan dis koordinasi merupakan permasalahan pemberdayaan masyarakat dikarenakan tidak adanya koordinasi yang baik dari keseluruhan program yang menyangkut pemberdayaan masyarakat, dimana program dijalankan bersifat sporadis. Kebijakan pemerintah mengenai suatu program pemberdayaan tidak berkoordinasi dengan LSM atau upaya pendampingan masyarakat, sehingga program yang dijalankan tidak menyentuh akar permasalahan yang ada.
b) Disinformasi program yaitu suatu keadaan dimana masyarakat tidak mengetahui dan mengenal program pemberdayaan dengan baik. Hal ini disebabkan perbedaan tingkat pengetahuan masyarakat terhadap cara penyampaian informasi yang dilakukan oleh konsultan atau ilmuwan dan pendamping masyarakat dengan penggunaan bahasa ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat sasaran pemberdayaan.
c) Disorientasi Pemberdayaan dengan pendekatan proses, biasanya membutuhkan waktu yang lama sehingga ada kecenderungan dari fasilitator baik dari pemerintah maupun LSM untuk mengubah kebijakan yang lebih nyata. Pendekatan pemberdayaan yang berorientasi proses diubah menjadi lebih berorientasi ke hasil. Sehingga terjadi perubahan orientasi pemberdayaan masyarakat yang menyebabkan ketidakberlanjutan program pemberdayaan masyarakat.
d) Adanya upaya Generalisasi. Kondisi keragaman yang dimiliki oleh negara Indonesia, mengandung potensi variasi lokal yang sangat bear. Oleh karena itu kebijakan pemberdayaan masyarakat harus mengikuti keragaman yang ada tersebut, karena dengan penyeragaman pelaksanaan program tidak akan menyentuh akar permasalahan dalam komunitas yang berbeda tersebut. Oleh karena itu pendekatan pembangunan melalui pemberdayaan masyarakat harus memperhatikan nilai-nilai dasar yang ada di masyarakat, karakter budaya, serta struktur sosial masyarakat. 
e) Rentang birokrasi dan tingginya biaya operasional, permasalahan birokrasi yang tidak fleksibel dengan biaya operasional yang tinggi, selalu menjadi penghambat yang sering ditemui dalam pengalaman pelaksanaan berbagai program dan kegiatan di Indonesia sampai saat ini. Orientasi petugas lapangan lebih kepada mengikuti peraturan dari pada menjawab kebutuhan lapangan. Hal ini akan sangat menghambat upaya pemberdayaan masyarakat.
f) Indikator yang tidak tepat dimana upaya pemberdayaan masyarakat yang selama ini dijalankan seringkali diukur dalam bentuk fisik, komoditas dengan berorientasi pada input dan kualitatif dari pada non-fisik dengan ukuran keberhasilan dari dampak dan proses. Hal ini mengabaikan pentingnya proses dalam upaya pemberdayaan karena yang paling penting adalah bagaimana menumbuhkan partisipasi, kesadaran akan nilai dan hukum dari masyarakat sehingga menjadi masyarakat yang mampu dan mandiri.
Pendekatan penanggulangan yang dilaksanakan saat ini lebih diprioritaskan pada pemberdayaan dan pengembangan kapasitas serta potensi masyarakat miskin dengan sebutan pembangunan manusia, sehingga mereka dapat terlepas dari kemiskinan secara mandiri dan berkelanjutan. Masyarakat yang pada masa sebelumnya dianggap sebagai objek dari pembangunan, kini diposisikan sebagai subjek pembangunan. Berdasarkan pengalaman masa lalu, dalam sistem perencanaan pembangunan yang bersifat top down planning, adalah dirasakan kurang membawa keberhasilan, sehingga perencanaan pembangunan yang sekarang dilakukan adalah lebih kepada bottom up planning. Paradigma pembangunan yang ada saat ini adalah yang bertumpu dan berorientasi pada rakyat (people-based and people-oriented development), rakyat harus diakui dan ditempatkan sebagai kunci dalam perumusan perencanaan dan implementasi kebijakan-kebijakan pembangunan. 
Tujuan dari konsep pemberdayaan masyarakat disini bukan untuk mencari dan menetapkan solusi, struktur penyelesaian masalah atau menghadirkan pelayanan bagi masyarakat melainkan lebih pada usaha bersama masyarakat sehingga mereka dapat mendefinisikan dan menangani masalah, serta terbuka untuk menyatakan kepentingan-kepentingannya sendiri dalam proses pengambilan keputusan. Konsep ini menjadi sangat penting terutama karena memberikan perspektif positif terhadap orang miskin. Orang miskin tidak lagi dipandang sebagai orang yang serba kekurangan (misalnya; kurang makan, kurang pendapatan, kurang sehat, kurang dinamis) dan objek pasif penerima pelayanan belaka, melainkan sebagai orang yang memiliki beragam kemampuan yang dapat dimobilisasi untuk perbaikan hidupnya.
Partisipasi masyarakat menjadi hal yang sangat penting dalam proses pembangunan, karena hanya dengan adanya partisipasi dari masyarakat penerima program pemberdayaan, maka hasil pembangunan tersebut akan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Masyarakat tentunya memiliki hak untuk berperan dalam perencanaan sampai dengan tahap evaluasi dari pembangunan itu sendiri. Partisipasi masyarakat akan terjadi apabila pelaku atau pelaksana program pembangunan di daerahnya adalah orang-orang, organisasi, atau lembaga yang telah mereka percaya integritasnya, serta apabila program tersebut menyentuh inti masalah yang mereka rasakan dan dapat memberikan manfaat terhadap kesejahteraan hidupnya. Tetapi, kondisi masyarakat yang telah begitu lama terbiasa disubsidi oleh pemerintah, telah mematikan kreativitas, sehingga usaha peningkatan partisipasi masyarakat mulai dari titik awal dan benar-benar membutuhkan usaha bersama dari seluruh elemen negara.
Belajar dari berbagai kekurangan dan mengatasi kendala dan kelemahan pada program pengentasan yang sebelumnya, saat ini Indonesia memiliki Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP) sebagai program pembangunan berbasis masyarakat. Didalamnya ada upaya pemberdayaan masyarakat sebagai strategi untuk mencapai tujuan meningkatnya kesejahteraan masyarakat terutama keluarga miskin. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan memiliki konsep melibatkan masyarakat dalam pembangunan dan peningkatan perekonomian mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada pemantauan dan evaluasi. PNPM dimaksudkan untuk menanggulangi kemiskinan melalui peningkatan partisipasi masyarakat di dalam proses pembangunan, peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam penyediaan layanan umum, dan peningkatan kapasitas lembaga lokal yang berbasis masyarakat. Pada program ini masyarakat bukan lagi sebagai objek melainkan subjek dalam upaya menanggulangi kemiskinan. Masyarakat menjadi mandiri dan memiliki kesadaran kritis akan partisipasinya terhadap pembangunan itu sendiri. Bahkan masyarakat pun akan memiliki kesempatan lapangan pekerjaan dalam pelaksanaan program ini. PNPM Mandiri ini berbasis pemberdayaan masyarakat yakni basisnya adalah bagaimana upaya meningkatkan kapasitas masyarakat dalam memecahkan persoalan terkait peningkatan kualitas hidup, kemandirian dan kesejahteraannya. Proses pemberdayaan masyarakat dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat ini terdiri dari tahap pembelajaran, kemandirian dan keberlanjutan. Sumber dana PNPM Mandiri Perdesaan berasal dari : 
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
c. Swadaya Masyarakat
d. Partisipasi dunia usaha
PNPM-MP merupakan program yang terbilang baru, dimana program ini baru dimulai sejak tahun 2007. Konsep PNPM-MP sebagai program pemberdayaan masyarakat adalah cukup bagus, apalagi berbagai kekurangan-kekurangan dan kegagalan yang terjadi pada program pemberdayaan yang sebelumnya telah di evaluasi, dan menghasilkan PNPM-MP sebagai solusi. Namun masih saja ditemukan berbagai kendala sehubungan dengan pelaksanaan PNPM dan terkait peran serta atau partisipasi masyarakat terjadi di beberapa daerah. Kecenderungan masyarakat masih bergantung terhadap pemerintah, dikarenakan beberapa waktu lamanya, masyarakat sudah terbiasa dengan menerima saja kebijakan apapun dari pusat, dan bukan berasal dari keinginan masyarakat sendiri. Masyarakat belum mampu sepenuhnya untuk berinovasi dan memiliki inisiatif sendiri. Masyarakat masih terkesan apatis karena pengalaman mereka selama masa sebelumnya dimana meskipun mereka menyampaikan aspirasi terhadap perencanaan pembangunan, yang sering diterima adalah aspirasi dari elit-elit pemerintah atau kelompok yang dianggap lebih menguasai program pembangunan yang tepat bagi masyarakat. Padahal yang lebih mengetahui permasalahan masyarakat adalah tentunya masyarakat itu sendiri. Maka poin penting dari permasalahan pemberdayaan masyarakat adalah pentingnya partisipasi masyarakat secara sukarela dan penuh kesadaran untuk berubah lebih baik menuju keberdayaan, dari sebab itu, peran pelaku program pemberdayaan seperti fasilitator, Kader Pemberdayaan Masyarakat dan pemerintah daerah pun mengambil posisi penting untuk menjadi agent of change, melakukan perubahan dengan menggugah kesadaran berpartisipasi oleh masyarakat di dalam pembangunan.
Melalui pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan ada harapan untuk mampu mengurangi jumlah penduduk miskin tersebut. Basis dari program pemberdayaan ini adalah partisipasi masyarakat, yang menghargai pengalaman masyarakat di dalam pembangunan desa. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui bagaimana partisipasi masyarakat Kecamatan X dalam pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan, dimana partisipasi masyarakat akan menjadi tolak ukur keberhasilan dari pelaksanaan PNPM-MP, yang pada akhirnya akan mampu mengurangi jumlah penduduk miskin di Kecamatan X melalui upaya pemberdayaan. Untuk mencapai itu semua, masih dibutuhkan peran dari para pelaku yang sangat diharapkan mampu menjadi agen perubahan, mempercepat proses pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan partisipasi masyarakat di dalam pelaksanaan PNPM-MP tersebut. Maka uraian tersebut dijadikan oleh penulis sebagai latar belakang memilih judul "Analisis Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan di Kecamatan X".

B. Perumusan Masalah
Pelaksanaan PNPM-MP bertujuan untuk memberdayakan masyarakat melalui peningkatan kapasitas masyarakat baik secara individu maupun kelompok, untuk kemudian mampu memecahkan berbagai masalah dan persoalan terkait pemenuhan kebutuhan, meningkatkan kualitas hidup, kemandirian serta kesejahteraan masyarakat. Partisipasi seluruh masyarakat, termasuk didalamnya masyarakat miskin, kelompok perempuan, komunitas adat terpencil, dan kelompok masyarakat lainnya yang terpinggirkan juga menjadi tujuan yang sangat penting bagi pelaksanaan PNPM-MP ini.
Pembangunan partisipatif tentunya mengutamakan partisipasi masyarakat lokal untuk mengembangkan kapasitas atau kemampuan masyarakat tersebut. Apabila wewenang diberikan kepada masyarakat untuk mengelola suatu program demi peningkatan kesejahteraan mereka sendiri, maka masyarakat akan mau mengerahkan segala potensi yang dimilikinya demi keberhasilan program tersebut. Agar sasaran penelitian ini lebih terarah, perlu adanya perumusan masalah yang jelas dan terinci yaitu : 
1) Bagaimana peranan fasilitator, Kader Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah sebagai agent of change dalam meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-MP di Kecamatan X ?
2) Bagaimana tingkat partisipasi masyarakat dan faktor-faktor penghambat partisipasi dalam pelaksanaan PNPM-Mandiri Perdesaan di Kecamatan X ?
Masalah tersebut menjadi menarik dan penting untuk diteliti karena keberhasilan dan keberlanjutan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan di Kecamatan X dan secara umum berpengaruh ke tingkat nasional, adalah dilihat dari terciptanya partisipasi masyarakat terhadap program tersebut. Ketika partisipasi masyarakat masih rendah, maka yang menjadi tujuan PNPM-Mandiri Perdesaan yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin secara mandiri, tidak akan dapat dicapai dengan maksimal. Dan apabila terjadi hal demikian maka, program ini hanya akan berakhir sama seperti program-program pemberdayaan masyarakat yang pernah dilaksanakan sebelumnya.

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian adalah : 
1) Untuk mengetahui bagaimana peranan Fasilitator, Kader Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah sebagai agent of change dalam meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-Mandiri Perdesaan di Kecamatan X.
2) Untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat dan faktor-faktor penghambat partisipasi dalam pelaksanaan PNPM-Mandiri Perdesaan di Kecamatan X.

D. Manfaat Penelitian
1. Secara akademis memberikan kontribusi keilmuan tentang pemberdayaan masyarakat dan pengembangannya serta partisipasi masyarakat dalam kegiatan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan dan proses pembangunan.
2. Secara praktis, memberi masukan kebijakan kepada pemerintah kecamatan dan kelompok kepentingan lainnya tentang pemberdayaan, peran aktif masyarakat dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan dan proses pembangunan.

TESIS STRATEGI EFISIENSI BIROKRASI PEMERINTAH DAERAH

TESIS STRATEGI EFISIENSI BIROKRASI PEMERINTAH DAERAH

(KODE : PASCSARJ-0182) : TESIS STRATEGI EFISIENSI BIROKRASI PEMERINTAH DAERAH (PROGRAM STUDI : EKONOMI PEMBANGUNAN)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kebutuhan akan pemerintahan yang efektif adalah suatu keniscayaan bagi tiap masyarakat/negara, apapun model, bentuk negara dan ideologi yang diadopsi dan bagaimanapun cara mereka memandang sejauh mana batas keterlibatan atau peran pemerintah dalam menangani urusan-urusan rakyatnya, terutama untuk mencapai tujuan kesejahteraan rakyat.
Dalam kacamata pembangunan sosial sebagai suatu pendekatan, cara pandang perspektif institusional (institutional perspective), yang berupaya untuk memobilisir berbagai institusi sosial termasuk pasar, masyarakat dan pemerintah/negara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menempatkan peran pemerintah di jajaran terdepan. Posisi pemerintah yang memiliki peran yang besar tersebut juga semakin menunjukkan urgensi terhadap pemerintah yang efektif baik dalam memobilisir berbagai institusi sosial maupun menjalankan fungsi utamanya sebagai pemberi pelayanan kepada masyarakat.
Menurut Loughlin, pemerintahan yang efektif dalam wacana politik dan pemerintahan dicirikan salah satunya adalah bersifat desentralistik, bukan yang sentralistik berlebihan. Ini disebabkan adanya kekhawatiran bahwa sentralisasi kekuasaan cenderung akan menimbulkan tirani. Maka di sini dibutuhkan adanya pemerintahan daerah (berdasar azas desentralisasi) yang juga berperan sebagai alat untuk mengakomodasikan pluralitas di dalam suatu negara modern.
Keberadaan/pembentukan daerah otonom melalui desentralisasi pada hakekatnya adalah untuk menciptakan efisiensi dan inovasi dalam pemerintahan (Sarundajang, 2001 : 5). Dalam konteks pelayanan sebagai salah satu fungsi hakiki pemerintahan, pelaksanaan asas desentralisasi melalui pemberian otonomi kepada daerah dapat membuat penyediaan pelayanan publik juga menjadi lebih efektif dan efisien. Hal ini menurut Rondinelli dalam Kurniawan dapat terjadi terutama karena melalui otonomi terjadi optimalisasi hirarki dalam penyampaian layanan akibat dari penyediaan pelayanan publik dilakukan oleh institusi yang merniliki kedudukan lebih dekat dengan masyarakat sehingga keputusan-keputusan strategis dapat lebih mudah dibuat; juga karena adanya penyesuaian layanan terhadap kebutuhan dan kondisi yang ada di tingkat lokal sehingga alokasi anggaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi yang ada di wilayahnya.
Kondisi ideal tersebut tampaknya masih cukup sulit untuk diwujudkan di Indonesia karena sejumlah alasan. Salah satu determinan yang menjadi sorotan oleh berbagai kalangan adalah bahwa birokrasi peninggalan orde baru yang cenderung lemah dan lamban, akan menghambat pelaksanaan otonomi daerah. Dalam kondisi yang demikian, maksud penyelenggaraan otonomi daerah (penyediaan pelayanan yang efektif dan efisien. serta pemerintahan yang efisien, inovatif) yang bermuara pada kesejahteraan masyarakat tentu akan sukar dicapai.
Ketidakmampuan tersebut di atas, sebabnya cukup beragam untuk masing-masing daerah. Ada yang memang karena kemampuan daerah yang sangat minim, tapi tidak jarang pula karena faktor birokrasi pemerintahannya yang bermasalah. Daerah tersebut sebenarnya punya kemampuan (karena kekayaan sumber daya alamnya misalnya), tetapi karena kesalahan skala prioritas (dengan melaksanakan program mercusuar, rumah dinas yang mewah dll), inefisiensi, korupsi dan lain sebagainya. Hal-hal seperti inilah yang menurut Lusk sebagai penghalang upaya-upaya pembangunan sosial dengan merujuk pada kondisi inefisiensi birokrasi (bureaucratic inefficiency), peraturan/perundang-undangan yang berbelit-belit (complex rules and regulations) dan korupsi pemerintahan (political corruption) di Amerika Latin.
Problem yang dihadapi di negeri ini dapat dikatakan relatif sama. Birokrasi Indonesia dan negara-negara berkembang saat ini oleh Prasojo digambarkan sebagai sesuatu yang berat, lambat, tidak kreatif dan tidak sensitif terhadap publik (Prasojo, Kompas 2004). Islamy menilai birokrasi di kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia cenderung bersifat negara patrimonialistik tidak efisien, tidak efektif (over consuming and under producing). tidak obyektif, menjadi pemarah ketika berhadapan dengan kontrol dan kritik, tidak mengabdi kepada kepentingan umum. tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen penguasa dan sering tampil sebagai penguasa yang sangat otoritatif dan represif.
Penilaian lain juga mengungkapkan, sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hasil penelitian, bahwa birokrasi di Indonesia ada kecenderungan berkembang ke arah "parkinsonian" dimana terjadinya proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktur dalam birokrasi secara tidak terkendali. Pemekaran yang terjadi bukan karena tuntutan fungsi dan kebutuhan, tetapi semata-mata untuk memenuhi tuntutan struktur. Disamping itu, terdapat pula kecenderungan terjadinya birokrasi "orwellian" yakni proses pertumbuhan kekuasaan birokrasi atas masyarakat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi dikendalikan oleh birokrasi. Akibatnya, birokrasi Indonesia semakin membesar (big bureaucracy) dan cenderung tidak efektif dan tidak efisien. Pada kondisi yang demikian, sangat sulit diharapkan birokrasi siap dan mampu melaksanakan kewenangan-kewenangan barunya secara optimal.
Seorang konsultan manajemen organisasi bisnis dan publik sempat mengamati perilaku pegawai birokrasi (pemerintahan) di salah satu propinsi kawasan Indonesia Timur. Sebagian pegawai datang pukul delapan untuk absen, setengah jam kemudian pergi ke warung kopi sampai pukul satu, kemudian kembali ke kantor dan pukul dua ia sudah menghilang. Ketika berdialog dengan pimpinan mereka, sang Gubernur langsung mengeluhkan "saya tidak tahu bagaimana caranya agar birokrasi di tempat saya, bisa melayani rakyat lebih baik lagi. Saya tidak mau ada filsafat "kalau bisa diperlambat, kenapa dipercepat" katanya. Dalam kondisi yang seperti ini, berbicara peningkatan produktivitas kerja, pelayanan prima akan terkesan terlalu dini.
Berbagai "penyakit' pun seakan tak pernah lekang dari tubuh birokrasi. Fenomena ini belakangan sering disebut dengan istilah patologi birokrasi (penyakit birokrasi). Siagian mencirikan kecenderungan patologi karena persepsi, perilaku birokrasi dituding sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam dan gaya manajerial, masalah pengetahuan dan ketrampilan. tindakan melanggar hukum keperilakuan, dan adanya situasi internal. Kategorisasi yang terdiri dari 5 poin itu, bila dirinci bisa melahirkan puluhan penyakit birokrasi, seperti penyalahgunaan wewenang dan jabatan, menerima sogok, mempertahankan status quo, penipuan, tidak peduli kritik/saran, tidak mau bertindak, takut mengambil keputusan, kurangnya komitmen, kurangnya kreativitas dan eksperimentasi. Kurangnya visi yang imajinatif, nepotisme. patronase, keengganan mendelegasikan, ritualisme, xenophobia, ketidakmampuan belajar dan berkembang, pura-pura sibuk, cara kerja legalistik, tidak disiplin dan pertentangan kepentingan, kurangnya prakarsa, ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko, penggemukan pembiayaan, korupsi kontrak fiktif, bertindak sewenang-wenang. kaku, tidak peka, tidak peduli mutu kinerja, tanggung jawab rendah, kerja berbelit-belit, kerja asal jadi, tidak profesional, pemborosan, ketidak tepatan sasaran dan tujuan, pengangguran terselubung, terlalu banyak pegawai, sarana dan prasarana yang tidak tepat, dan masih banyak jenis penyakit birokrasi lainnya (Siagian, 1994 : 35-145).
Munculnya ekonomi biaya tinggi, yang membuat rakyat terbebani. Juga dituduh bertanggung jawab dalam munculnya "mentalitas birokrasi" yang diidentikkan dengan pola perilaku 4-D : duduk, datang, diam dan (dapat) duit. Bahkan birokrasi juga dituduh sebagai penyebab menyebarnya kultur negatif, aji mumpung, korupsi dan sebagainya. Pada birokrasi melekat stigma kaku, reaktif, inefisien. Jauh dari bayangan ideal Weber tiga abad silam, yang sampai abad keduapuluh birokrasi dipercaya sebagai satu-satunya organisasi yang bisa mengatur mekanisme pemerintahan secara efisien.
Keburukan birokrasi memang sudah begitu jelasnya dan telah menjadi gejala yang sangat merata. Mempersoalkannya tidak lagi dirasakan sebagai kritik keilmuan dan tidak mesti datang dari seorang pakar. Kesan negatif terhadap birokrasi meluas menjadi pemahaman umum bagi masyarakat yaitu bahwa birokrasi adalah representasi organisasi yang lamban dan terpusat, pemenuhan terhadap ketentuan dan peraturan, serta rantai hirarki komando, tidak lagi berjalan baik. Birokrasi menjadi bengkak, boros dan tidak efektif.
Saat ini kesadaran terhadap problem yang melekat pada birokrasi akhirnya mengantarkan pada suatu kesimpulan bahwa harus ada "sesuatu" untuk memperbaiki kebobrokan birokrasi sebagai organisasi publik. Sesuatu itu adalah "perubahan/pembaharuan". Dalam wacana akademik maupun praktisi muncul istilah-istilah seperti reformasi birokrasi, reformasi administrasi, reformasi manajemen sektor publik dan lain sebagainya. Walaupun latar belakang lahirnya dan definisi-definisi tersebut tidak sama persis, namun mempunyai titik temu pada upaya pembenahan pengelolaan sektor publik secara lebih baik, lebih profesional.
Penerapan pendekatan manajemen profesional pada sektor publik telah banyak disuarakan oleh para pakar dengan berbagai istilah, misalnya dengan nama "managerialism" oleh Pollitt, "new public management" oleh Hood, "market based public administration" oleh Lan dan Rosenbloom, dan "entrepreneurial government/reinventing government" oleh Osborn dan Gaebler. Apapun istilah yang dipergunakan, yang jelas pendekatan manajemen profesional ini telah merubah orientasi fokus peran dan fungsi birokrasi dalam pemerintahan yang semula lebih mementingkan "process" menuju ke "product', atau dari "rule governance" menuju ke "goal governance", yang pada pelaksanaannya membutuhkan paradigma baru, inovasi, perubahan struktur, kreativitas, tekad/keberanian, efisiensi tinggi, kecepatan, fleksibelitas, optimisme, kegigihan dan lain sebagainya berupa nilai-nilai yang sebelumnya dianggap hanya milik organisasi bisnis dan para entrepreneur.
Dalam konteks Indonesia, upaya perbaikan citra/pembenahan birokrasi yang telah mengalami "distorsi" memang sudah mulai dilakukan. Reformasi 1998 dan otonomi daerah dalam hal ini menduduki peranan yang strategis. Otonomi daerah di Indonesia dapat dikatakan buah dari reformasi sekaligus salah satu wadah dari reformasi birokrasi. Keberadaan reformasi birokrasi sendiri sudah merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi demi tercapainya apa yang biasa disebut good governance. Arus good governance ini menjadi penting sebagai salah satu aspek reformasi Yang dituntut oleh masyarakat yang memiliki makna mencakup transparansi pengelolaan negara, akuntabilitas terhadap publik dan masyarakat yang partisipatif terhadap kebijakan pemerintah yang merupakan bentuk dari tata kelola pemerintahan yang baik.
Pelaksanaan otonomi daerah idealnya akan mengubah perilaku pemerintah daerah untuk lebih efisien dan profesional. Untuk itu, pemerintah daerah perlu melakukan perekayasaan ulang terhadap birokrasi yang selama ini dijalankan (bureaucracy reengineering). Hal tersebut karena pada saat ini dan di masa yang akan datang pemerintah (pusat dan daerah) akan menghadapi gelombang perubahan baik yang berasal dari tekanan eksternal maupun dari internal masyarakatnya. Dari sisi eksternal, pemerintah akan menghadapi globalisasi yang sarat dengan persaingan dan liberalisme arus informasi, investasi, modal, tenaga kerja, dan budaya. Di sisi internal, pemerintah akan menghadapi masyarakat yang semakin cerdas (knowledge based society) dan masyarakat yang semakin banyak tuntutannya (demanding community).
Kecenderungan peningkatan kecerdasan masyarakat dan banyaknya tuntutan yang mereka serukan akan menjadi pressure bagi pemerintah. Yang ditujukan tentu adanya optimalisasi pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah. Pelayanan publik yang optimal akan mustahil tercapai tanpa adanya organisasi pemerintah daerah yang bekerja secara profesional dan efisien serta memiliki sumber daya aparatur yang memiliki jiwa kewirausahaan. Ini mutlak dibutuhkan mengingat sumber daya terbatas (dana, personal, peralatan) sementara tuntutan akan out put tetap maksimal. Hal ini juga dimaksudkan sebagai salah satu upaya agar di tengah gelombang tekanan politik (political pressures) domestik maupun luar negeri kesulitan anggaran dan keuangan (fiscal pressures), pemerintah dan pemerintah daerah bisa terhindar dari keterpurukan dan kebangkrutan.
Hal tersebut memang bukan persoalan mudah. Namun, secara teoretik, salah satu prasyarat penting agar birokrasi pemerintah dapat mendinamisasikan dirinya ialah dengan cara mentransformasikan diri dari birokrasi yang kaku menjadi organisasi pemerintahan yang strukturnya desentralisasi, inovatif, fleksibel dan responsif.
Setelah pelaksanaan otonomi daerah, beberapa pemerintah daerah terbukti telah membentuk sistem birokrasi yang lebih mudah bagi pelayanan publik. Dalam beberapa daerah studi, hal ini menghasilkan rasionalisasi tata kerja, jam kerja dan transparansi yang lebih besar. Penyederhanaan ini khususnya muncul dalam kasus pemberian ijin. Pelayanan ini menjadi lebih mudah dan lebih efisien, dan dilakukan dalam satu atap. Pemerintah pusat juga mendorong Pemkab dan Pemkot untuk mengembangkan sistem pelayanan satu atap atau Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (SAMSAT) untuk tujuan ini. Selain itu, rasionalisasi pada divisi tenaga kerja menghasilkan penyerahan kewenangan dan tanggung jawab administratif yang lebih besar.
Persoalan yang terjadi selama ini dalam konteks kesejahteraan rakyat adalah kemampuan keuangan atau APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) suatu daerah yang tinggi tidak menjamin terjadinya peningkatan kesejahteraan yang signifikan bagi masyarakatnya. Daerah-daerah yang tergolong "sedang" juga menghadapi problem yang sama, apalagi daerah-daerah yang tergolong" miskin", yang merasa lebih tidak mampu lagi untuk memberikan pelayanan lebih baik kepada masyarakatnya. Hal yang sering terjadi, anggaran dana yang tersedia setiap tahunnya sebagian besar terserap hanya untuk kebutuhan operasional birokrasi pemerintah daerah. Tidak banyak pemerintah daerah yang dapat memberikan pelayanan optimal terhadap hal yang berhubungan langsung dengan kebutuhan masyarakat seperti pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya dengan alasan tidak tersedianya dana untuk itu. Padahal persoalan yang sesungguhnya bisa jadi bukan pada jumlah dana yang sedikit, tapi bagaimana pengelolaan dana/sumber daya tersebut dapat dilakukan secara efisien.
Efisiensi merupakan hal yang secara normatif memang harus dilaksanakan oleh organisasi manapun. Dari sisi normatifnya pula, efisiensi adalah sesuatu yang mudah diucapkan oleh siapapun tapi tidak mudah untuk dilaksanakan dan tentu bukannya merupakan sesuatu yang bebas kendala. Ini menarik untuk dikaji secara lebih mendalam.

B. Permasalahan
Dari pemaparan di atas tampak bahwa otonomi telah membawa angin baru dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Persoalan distorsi birokrasi yang sebenarnya adalah masalah klasik sudah seharusnya segera diselesaikan dengan semangat reformasi birokrasi, diiringi optimisme, inovasi, serta keberanian untuk melakukan perubahan.
Otonomi daerah adalah momen yang tepat. Kewenangan luas yang diberikan kepada daerah memberi kesempatan besar untuk melakukan banyak hal, tentu di tengah berbagai keterbatasan, tantangan dan persoalan yang muncul yang merupakan implikasi dari penerapan otonomi itu sendiri.
Daerah-daerah menghadapi keterbatasan, tantangan dan persoalan tersebut secara berbeda dan menghasilkan sesuatu yang berbeda pula. Sebagian daerah menangkap bola otonomi dengan antusias dan kreativitas tinggi dalam rangka optimalisasi pelayanan publik dan mencapai kesejahteraan rakyat. Salah satu daerah yang layak mendapat apresiasi dalam hal ini adalah Pemerintah Kota X yang telah melakukan banyak hal berupa program-program inovatif dengan keterbatasan yang sama dengan daerah !ain.
Sejauh ini telah diketahui melalui penelitian yang dilakukan sebelumnya (Prasojo dkk, 2004) bahwa kata kunci keberhasilan berbagai program di atas dari sisi pemerintah daerahnya adalah penerapan pola efisiensi birokrasi secara ketat di segala bidang. Mengingat efisiensi adalah sesuatu yang tidak mudah untuk dilaksanakan, maka peneliti tertarik untuk mendalami seperti apa strategi efisiensi yang dilakukan dan apa saja kendalanya. Pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut : 
1. Bagaimana strategi efisiensi dan pelaksanaannya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota X ?
2. Faktor- faktor apa saja yang menjadi penghambat dan pendukung dalam pelaksanaan strategi efisiensi tersebut ?
3. Bagaimana peran kebijakan strategi efisiensi terhadap kesejahteraan rakyat di X ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan, ada tiga tujuan yang dicapai dalam penelitian ini, yakni : 
1. Menggambarkan strategi efisiensi dan pelaksanaannya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota X sebagai salah satu faktor kunci keberhasilan dalam pelaksanaan program-program inovatif.
2. Menggali dan mendeskripsikan faktor-faktor penghambat dan pendukung pelaksanaan strategi efisiensi tersebut.
3. Mengetahui peran strategi efisiensi yang dilakukan terhadap pelayanan publik dan program peningkatan kesejahteraan rakyat X.

D. Manfaat Penelitian
Sejalan dengan tujuan di atas penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi pada pengembangan kajian di Bidang Otonomi dan Pemerintahan Lokal yang merupakan objek bahasan utama dalam konsentrasi Otonomi dan Pembangunan Lokal dan juga dalam kajian pembangunan sosial, di mana seperti yang dikatakan Lusk dalam Midgley bahwa birokrasi yang inefisien merupakan salah satu penghalang upaya-upaya pembangunan sosial. Selain itu dalam rangka menambah pengetahuan dan pengalaman penulis dalam penelitian ilmiah di Bidang Pemerintahan Lokal.

TESIS PENGARUH MANAJEMEN KELAS DAN ETOS KERJA TERHADAP EFEKTIVITAS PROSES BELAJAR MENGAJAR GURU SD

TESIS PENGARUH MANAJEMEN KELAS DAN ETOS KERJA TERHADAP EFEKTIVITAS PROSES BELAJAR MENGAJAR GURU SD

(KODE : PASCSARJ-0181) : TESIS PENGARUH MANAJEMEN KELAS DAN ETOS KERJA TERHADAP EFEKTIVITAS PROSES BELAJAR MENGAJAR GURU SD (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan hal yang penting bagi suatu negara untuk menjadi negara maju, kuat, makmur dan sejahtera. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia tidak bisa terpisah dengan masalah pendidikan bangsa.
Dalam Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003, bahwa Pengertian Pendidikan adalah : (dalam Pasal-1, ayat (1)), "usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara".
Untuk mewujudkan hal tersebut diatas sekolah harus dibangun sedemikian rupa sehingga guru tidak hanya mentransfer isi kurikulum, tetapi lebih dari itu, menciptakan bagaimana proses pembelajaran dapat memberikan segala sesuatu yang dibutuhkan para siswa. Dengan demikian hal tersebut dapat menopang bagi kehidupan mereka di tengah-tengah masyarakat dan dunia kerja.
Guru memiliki andil yang sangat besar terhadap keberhasilan pembelajaran di sekolah. Guru sangat berperan dalam membantu perkembangan peserta didik untuk mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal. Di dalam kelas guru melaksanakan dua kegiatan pokok yaitu kegiatan mengajar dan kegiatan mengelola kelas. Kegiatan mengajar pada hakikatnya adalah proses mengatur, mengorganisasi lingkungan yang ada di sekitar siswa. Semua komponen pengajaran yang meliputi tujuan, bahan pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, metode, alat dan sumber, serta evaluasi diperankan secara optimal guna mencapai tujuan pengajaran yang telah ditetapkan sebelum pengajaran dilaksanakan.
Pengelolaan (manajemen) kelas tidak hanya berupa pengaturan kelas, fasilitas fisik dan rutinitas. Kegiatan pengelolaan kelas dimaksudkan untuk menciptakan dan mempertahankan suasana dan kondisi kelas. Sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Misalnya memberi penguatan, mengembangkan hubungan guru dengan siswa dan membuat aturan kelompok yang produktif.
Di kelaslah segala aspek pendidikan pengajaran bertemu dan berproses. Guru dengan segala kemampuannya, siswa dengan segala latar belakang dan sifat-sifat individualnya. Kurikulum dengan segala komponennya, dan materi serta sumber pelajaran dengan segala pokok bahasanya bertemu dan berpadu dan berinteraksi di kelas. Bahkan hasil dari pendidikan dan pengajaran sangat ditentukan oleh apa yang terjadi di kelas. Oleh sebab itu sudah selayaknyalah kelas dikelola dengan baik, professional, dan harus terus-menerus. Djamarah (2006 : 173) menyebutkan " Masalah yang dihadapi guru, baik pemula maupun yang sudah berpengalaman adalah pengelolaan kelas. Aspek yang sering didiskusikan oleh penulis professional dan pengajar adalah juga pengelolaan kelas". Mengingat tugas utama dan paling sulit bagi pengajar adalah pengelolaan kelas, sedangkan tidak ada satu pendekatan yang dikatakan paling baik. Sebagian besar guru kurang mampu membedakan masalah pengajaran dan masalah pengelolaan. Masalah pengajaran harus diatasi dengan cara pengajaran dan masalah pengelolaan harus diatasi dengan cara pengelolaan.
Manajemen kelas diperlukan karena dari hari ke hari bahkan dari waktu ke waktu tingkah laku dan perbuatan siswa selalu berubah. Hari ini siswa dapat belajar dengan baik dan tenang, tetapi besok belum tentu. Kemarin terjadi persaingan yang sehat dalam kelompok, sebaliknya di masa mendatang boleh jadi persaingan itu kurang sehat. Kelas selalu dinamis dalam bentuk perilaku, perbuatan, sikap, mental, dan emosional siswa.
Karena guru sebagai ujung tombak pelaku pendidikan mempunyai posisi strategis, mempunyai pengaruh langsung terhadap proses pembelajaran. Kualitas proses dan hasil belajar pada akhirnya ditentukan oleh mutu pertemuan antara guru dan siswa. Ilmu guru baik empirik maupun rasional serta berbagai keterampilan yang dimilikinya akan diteruskan dan jadi alat pengembangan sikap keilmuan siswanya (Uwes, 1999 : 11).
Oleh karena itu untuk menjadi seorang guru tidak mudah, untuk dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik maka guru harus memiliki berbagai kompetensi. Kompetensi profesional, sosial-personal dan manajemen kelas.
Berangkat dari pemikiran dan hasil observasi di UPTD Pembinaan TK/SD dan PLS Kec. X sebagaimana kajian diatas, maka penelitian ini terfokus pada manajemen kelas dan etos kerja guru dengan judul : "Pengaruh Manajemen Kelas dan Etos Kerja Guru terhadap Efektivitas Proses Belajar Mengajar Guru Sekolah Dasar di Kecamatan X Kabupaten X".

B. Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang masalah, maka disimpulkan rumusan masalahnya adalah sebagai berikut : 
1. Bagaimana manajemen kelas guru Sekolah Dasar di Kecamatan X Kabupaten X ?
2. Bagaimana etos kerja guru Sekolah Dasar di Kecamatan X Kabupaten X ?
3. Bagaimana efektivitas proses belajar mengajar di Sekolah Dasar di Kecamatan X Kabupaten X ?.
4. Seberapa besar pengaruh manajemen kelas terhadap efektivitas proses belajar mengajar guru Sekolah Dasar di Kecamatan X Kabupaten X ?.
5. Seberapa besar pengaruh etos kerja guru terhadap efektivitas proses belajar mengajar guru Sekolah Dasar di Kecamatan X Kabupaten X ?.
6. Seberapa besar pengaruh manajemen kelas dan etos kerja guru terhadap efektivitas proses belajar mengajar guru Sekolah Dasar di Kecamatan X Kabupaten X ?.

C. Tujuan Penelitian
Tujuan secara umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah ingin mengetahui pengaruh Manajemen Kelas dan Etos Kerja guru terhadap efektivitas proses belajar mengajar guru di Sekolah Dasar di Kecamatan X Kabupaten X.
Tujuan khusus yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang : 
1. Manajemen kelas guru Sekolah Dasar di Kecamatan X Kabupaten X.
2. Etos kerja guru Sekolah Dasar di Kecamatan X Kabupaten X.
3. Efektivitas proses belajar mengajar guru Sekolah Dasar di Kecamatan X Kabupaten X.
4. Pengaruh manajemen kelas terhadap efektivitas proses belajar mengajar guru Sekolah Dasar di Kecamatan X Kabupaten X.
5. Pengaruh etos kerja guru terhadap efektivitas proses belajar mengajar di Sekolah Dasar di Kecamatan X Kabupaten X.
6. Pengaruh manajemen kelas dan etos kerja guru terhadap efektivitas proses belajar mengajar guru Sekolah Dasar di Kecamatan X Kabupaten X.

D. Kegunaan Penelitian
Melalui hasil penelitian dapat diperoleh informasi baru dan beberapa informasi penting tentang : 
1. Kerangka/model dalam upaya efektivitas proses belajar mengajar di Sekolah Dasar
2. Hasil pengaruh manajemen kelas terhadap efektivitas proses belajar mengajar di Sekolah sehingga dapat memberikan kontribusi bagi guru dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.
3. Pengayaan wawasan keilmuan dan pengetahuan tentang efektivitas proses belajar mengajar melalui intervensi faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas proses pembelajaran.
4. Orang tua dan masyarakat sebagai salah satu tanggung jawab bersama atas penyelenggaraan pendidikan agar terus membantu meningkatkan mutu sekolah melalui pengawasan baik langsung maupun tidak langsung terhadap efektivitas proses pembelajaran.
5. Pemerintah dalam hal ini Dinas pendidikan, pengawas, kepala sekolah dan pihak-pihak yang terkait serta yang berkepentingan terhadap pendidikan agar mempertimbangkan faktor-faktor sarana dan prasarana, faktor pentingnya kontribusi manajemen kelas dan kontribusi etos kerja guru dalam upaya efektivitas proses belajar mengajar yang intinya bermuara pada peningkatan mutu pendidikan.

TESIS PENGEMBANGAN MEDIA INTERAKTIF BERBASIS KOMPUTER PADA PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS BELAJAR SISWA SMP X

TESIS PENGEMBANGAN MEDIA INTERAKTIF BERBASIS KOMPUTER PADA PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS BELAJAR SISWA SMP X

(KODE : PASCSARJ-0180) : TESIS PENGEMBANGAN MEDIA INTERAKTIF BERBASIS KOMPUTER PADA PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS BELAJAR SISWA SMP X (PROGRAM STUDI : PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan wahana yang penting dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Untuk mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas diperlukan sistem pendidikan yang berkualitas pula. Sebagai upaya untuk memenuhi tuntutan sistem pendidikan yang mampu menghasilkan sumber daya manusia yang dapat diandalkan, pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya dan salah satunya dengan mengeluarkan produk hukum berupa undang-undang tentang sistem pendidikan nasional serta berbagai perangkat lain yang mengatur pelaksanaan dari sistem pendidikan tersebut. Adapun tujuan dari pendidikan seperti yang dirumuskan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, Pasal 3, yakni untuk berkembangnya potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Sekolah Menengah Pertama sebagai suatu institusi pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan selama tiga tahun, pada dasarnya bertugas memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik, baik yang berupa pengetahuan , keterampilan, sikap dan nilai-nilai agar mereka dapat hidup dalam masyarakat serta sebagai persiapan baginya untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi. Udin Syaefuddin S dan Mulyani Sumantri (2007) mengemukakan bahwa esensi pendidikan dasar adalah "paspor" bagi peserta didik untuk mengembangkan dirinya di masa depan, dan "bekal dasar" untuk dapat hidup layak dalam hidup bermasyarakat dimanapun di dunia ini. Dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 26 ayat (1) dijelaskan bahwa "standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan dasar bertujuan untuk meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut".
Wina Sanjaya (2008) dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan di mana salah satu dari lima kelompok mata pelajaran yang tercantum dalam Standar Isi adalah Agama dan Akhlak Mulia yang tujuannya adalah untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, atau moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama. 
Marhamah (2002) mengemukakan "pendidikan agama sebagai pendidikan umum, khususnya PAI, bertujuan untuk membentuk perilaku dan kepribadian individu sesuai dengan prinsip-prinsip dan konsep Islam dalam mewujudkan nilai-nilai moral dan agama sebagai landasan pencapaian tujuan pendidikan umum. Oleh sebab itu pada saat sekarang mata pelajaran PAI mempunyai kedudukan yang sangat penting dan strategis pada tingkat pendidikan dasar, karena pada usia 7-15 tahun merupakan usia yang tepat untuk menanamkan dasar-dasar agama Islam, baik yang berkenaan dengan aqidah, ibadah, muamalah maupun akhlak guna mewujudkan siswa yang beriman dan bertaqwa serta berakhlak mulia. Apalagi pada era globalisasi seperti sekarang dimana pengaruh-pengaruh dari luar apakah itu yang baik atau yang buruk tersebar di mana-mana, maka pendidikan agama khususnya PAI bisa merupakan alat penyaring bagi para peserta didik kita, sehingga mereka nantinya tidak akan terjerumus kepada hal-hal yang buruk tersebut.
Pendidikan Agama dimaksudkan untuk peningkatan potensi spiritual dan membentuk peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari pendidikan Agama. Peningkatan potensi spiritual mencakup pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spiritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan.
Pendidikan Agama Islam diberikan dengan mengikuti tuntunan bahwa agama diajarkan kepada manusia dengan visi untuk mewujudkan manusia yang bertakwa kepada Allah SWT dan berakhlak mulia, serta bertujuan untuk menghasilkan manusia yang jujur, adil, berbudi pekerti, etis, saling menghargai, disiplin, harmonis dan produktif, baik personal maupun sosial.
Mata pelajaran Pendidikan Agama Islam itu keseluruhannya terliput dalam lingkup Al-Qur'an/Hadits, Keimanan, Akhlak, Fiqh/Ibadah, dan Tarikh. Hal ini sekaligus menggambarkan bahwa ruang lingkup Pendidikan Agama Islam mencakup perwujudan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT, dengan diri sendiri, sesama manusia, makhluk lainnya, maupun lingkungannya.
Depdiknas (2001) menjelaskan setelah ditelusuri pendidikan agama menghadapi beberapa kendala, antara lain waktu yang disediakan hanya dua jam mata pelajaran dengan muatan materi begitu padat dan memang penting, yakni menuntut pengetahuan hingga watak dan kepribadian yang berbeda jauh dengan tuntutan terhadap mata pelajaran lainnya. Lalu lemahnya sumber daya guru dalam pengembangan pendekatan dan metode yang lebih variatif, minimnya berbagai sarana pelatihan dan pengembangan, serta rendahnya peran serta orang tua siswa.
Wawan S, dkk (2007 : 754) menyatakan bahwa salah satu penyebab rendahnya hasil pendidikan adalah kualitas guru yang rendah. Hasil studi berskala nasional menunjukan bahwa kemampuan guru SLTP dan SMU dalam memahami aspek-aspek kurikulum dinilai secara rata-rata masih rendah. Pembelajaran yang diterapkan oleh guru di lapangan terdapat kecenderungan bahwa proses belajar mengajar di kelas berlangsung secara klasikal dan hanya bergantung pada buku teks dengan metode pengajaran yang menitikberatkan proses menghafal dari pada pemahaman konsep. Sehingga tingkat pemahaman siswa terhadap apa yang diketahui, ditanya dan dibahas oleh guru masih rendah, akibatnya keterampilan intelektual siswa kurang berkembang. Padahal dalam Permendiknas nomor 16 tahun 2007 salah satu butirnya tentang kompetensi guru mata pelajaran dijelaskan bahwa guru hendaknya memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam kegiatan pembelajaran.
Di sisi lain telah terjadi perubahan paradigma dalam proses pembelajaran, yakni pembelajaran yang tadinya berpusat pada guru (teacher centered) menjadi pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (child centered). Saat ini guru bukanlah satu-satunya sumber belajar yang ada, bahkan guru pun harus terus belajar apabila tidak ingin ketinggalan informasi dari siswanya. Munir (2008 : 80) menyatakan bahwa pembelajaran yang berpusat pada peserta didik merupakan pembelajaran yang lebih berpusat kepada kebutuhan, minat, bakat dan kemampuan peserta didik, sehingga pembelajaran akan menjadi sangat bermakna. Peserta didik memiliki motivasi belajar yang lebih tinggi untuk mencapai sasaran yang telah diterapkannya sendiri karena merasa dilibatkan atau diikut sertakan dalam pembelajaran dengan bebas melakukan pencarian informasi tersebut.
Pendekatan pembelajaran berpusat pada peserta didik menghasilkan peserta didik yang berkepribadian pintar, cerdas, aktif, mandiri tidak bergantung pada kepada pengajar melainkan kepada dirinya sendiri. Peserta didik merupakan subjek bukan semata-mata objek yang hanya menerima informasi dari pengajar, peserta didik mempunyai peran dan aktivitas yang lebih besar. Kemajuan di bidang teknologi komunikasi berupa internet memungkinkan bagi siapapun untuk dapat mengakses berbagai informasi dengan lebih cepat tanpa batas waktu.
Kondisi yang seperti di atas tidak jauh berbeda dengan kondisi pembelajaran PAI yang selama ini berlangsung di sekolah menengah pertama yang ada di kota X. Berdasarkan hasil observasi awal yang penulis lakukan didapatkan bahwa kegiatan pembelajaran PAI yang selama ini berlangsung sebagian besar masih menggunakan metode ceramah, guru masih sangat jarang memanfaatkan media selain buku dalam kegiatan pembelajaran terlebih lagi media yang berbasis komputer malah belum pernah digunakan sehingga kurang menciptakan situasi pembelajaran yang dapat meningkatkan aktivitas dan semangat belajar siswa. Guru belum melakukan inovasi dalam cara mengajar dengan menggunakan berbagai sumber dan media yang lebih bervariasi yang nantinya akan membuat siswa merasa tertarik dalam mengikuti proses pembelajaran di kelas. Begitu juga dengan keterbatasan kemampuan guru agama dan ketersediaan media multimedia pendukung pembelajaran.
Seiring dengan kemajuan di bidang teknologi memasuki abad ke 21 sebagian besar peran guru telah dapat digantikan oleh produk teknologi. Komputer misalnya, pada saat ini tidak saja dapat dipergunakan dalam bidang administrasi pendidikan tetapi juga sebagai alat bantu pengajaran. Begitu juga produk-produk teknologi yang lain berupa televisi, CD interaktif, video disc, dan lain-lain.
Pembelajaran PAI di sekolah juga perlu memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam kegiatan pengajaran di kelas. Teknologi informasi dan komunikasi diperlukan dalam mewujudkan kreativitas dan keterampilan agar hasil belajar siswa dapat diketahui oleh siswa lain atau orang lain dan pemanfaatan teknologi informasi serta komunikasi adalah untuk mendapatkan informasi-informasi terbaru dalam rangka mencari gagasan untuk perancangan dan pembuatan benda-benda keterampilan sebagai wujud dan kreativitas siswa.
Adapun pemanfaatan teknologi informasi yang digunakan adalah : 
- Melihat hasil teman sekelas dan kelas lain
- Melihat pameran keterampilan
- Memamerkan hasil keterampilan di majalah dinding
- Memasang gambar dan informasi hasil keterampilan di Web sekolah dan Web klub keterampilan
- Melihat model-model keterampilan yang memuat teknologi melalui internet
- Melihat berbagai CD pembelajaran berbasis komputer yang ada.
Kedudukan media dalam komponen pembelajaran sangat penting bahkan sejajar dengan metode pembelajaran, karena metode yang digunakan dalam proses pembelajaran biasanya akan menuntut media apa yang dapat diintegrasikan dan diadaptasikan dengan kondisi yang dihadapi. Maka kedudukan media dalam suatu pembelajaran sangatlah penting (Rusman, 2007).
Multimedia tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan sistem belajar mengajar. Penggunaan multimedia berdampak positif dalam memberikan pembelajaran yang bermakna (meaningful learning). Siswa akan lebih menghayati keseluruhan proses belajar mengajar dengan hadirnya multimedia dalam pembelajaran. Hal ini senada diungkapkan oleh (Abdulhak dan Sanjaya 1995) bahwa penentuan komponen multimedia yang integral dalam sistem belajar mengajar didasarkan pada asumsi bahwa pengetahuan yang diperoleh siswa didapatkan dari pengalaman yang diorganisir, dari mulai pengalaman langsung yang memungkinkan pengetahuan semakin konkrit sampai pengalaman yang hanya diperoleh melalui bahasa dan tidak langsung (abstrak).
Menurut Husen, T (1988) peran guru dalam perspektif ke depan akan berkurang, karena sebagian tugas dan peran guru telah tergantikan oleh media elektronik modern, maka tugas guru dapat berbentuk perencanaan, bantuan dan evaluasi terhadap kemajuan para siswa-siswanya. Tugas guru selanjutnya hanyalah menciptakan suasana belajar yang seefektif mungkin. Demikian halnya dengan pandangan Langgulung (2004) bahwa paradigma baru guru bukan hanya sebagai pengajar tetapi juga sebagai fasilitator dan motivator dalam pengajaran.
Memperhatikan uraian di atas, dapat digambarkan bahwa masih banyak persoalan yang timbul dalam proses pembelajaran di sekolah. Salah satu permasalahan tersebut adalah terkait dengan penggunaan media pembelajaran, terutama media pembelajaran yang berbasis komputer dan pemanfaatan laboratorium komputer yang ada di sekolah . Untuk itu dalam penelitian ini peneliti tertarik untuk mengembangkan sebuah media interaktif berbasis komputer pada pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang nantinya media tersebut dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa sekaligus dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dimana pembelajaran tersebut akan membuat siswa menjadi aktif, kreatif dan mandiri serta membuat pembelajaran lebih menyenangkan dengan memanfaatkan fasilitas laboratorium komputer yang ada di sekolah. 
Media interaktif berbasis komputer ini didesain dengan melihat karakteristik siswa menengah pertama yang disesuaikan dengan lingkungan dan ketersediaan sarana dan prasarana yang ada di sekolah menengah pertama . Sehingga nantinya media interaktif berbasis komputer tersebut nantinya akan sangat cocok dan tepat digunakan serta sesuai dengan kebutuhan siswa yang pada gilirannya menciptakan pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan serta dapat meningkatkan proses pembelajaran dan prestasi belajar siswa di sekolah menengah pertama.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari uraian pada latar belakang masalah dan supaya ruang lingkup penelitian tidak meluas, diperlukan pembatasan permasalahan. Mengingat kondisi pembelajaran PAI yang selama ini berlangsung di sekolah menengah pertama Kota X cenderung konvensional dan kurang mengaktifkan siswa dalam proses pembelajaran. Agar pembelajaran menjadi berpusat pada siswa dan siswa terlibat aktif dalam proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam, maka penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan sebuah media interaktif berbasis komputer yang akan digunakan pada pembelajar PAI, mengingat media interaktif berbasis komputer pada mata pelajaran PAI bisa menjadi alternatif solusi untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah menengah pertama Kota X. Dengan demikian rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah : "Media interaktif berbasis komputer yang bagaimana yang tepat digunakan pada pembelajaran Pendidikan Agama Islam untuk meningkatkan aktivitas belajar siswa di Sekolah Menengah Pertama ?."

C. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan dalam penelitian ini, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut : 
1. Bagaimana kondisi pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang selama ini berlangsung di Sekolah Menengah Pertama yang meliputi ?
a. Bagaimana kegiatan dan pandangan siswa selama pembelajaran ?
b. Bagaimana kegiatan guru selama pembelajaran ?
c. Bagaimana ketersediaan fasilitas belajarnya ?
d. Bagaimana ketersediaan waktu untuk pembelajaran Pendidikan Agama Islam ?
2. Bagaimana desain media interaktif berbasis komputer pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam yang meliputi ?
a. Bagaimana perencanaan bahan ajar (model media interaktifnya) ?
b. Bagaimana pengembangan bahan ajar (model media interaktifnya) ?
3. Bagaimana implementasi media interaktif berbasis komputer dan hasil yang dicapai siswa pada pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang meliputi ?
a. Bagaimana kegiatan dan pendapat siswa selama pembelajaran dengan menggunakan media interaktif berbasis komputer ?
b. Bagaimana pendapat guru terhadap pembelajaran dengan menggunakan media interaktif berbasis tersebut ?
c. Bagaimana aktivitas belajar siswa selama pembelajaran dengan menggunakan media interaktif berbasis komputer ?
d. Bagaimana kualitas hasil belajar siswa setelah menggunakan media interaktif berbasis komputer ?
4. Bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pengembangan media interaktif berbasis komputer pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam ?
a. Bagaimana faktor pendukung dalam pengembangan media interaktif berbasis komputer pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam ?
b. Bagaimana faktor penghambat dalam pengembangan media interaktif berbasis komputer pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam ?

D. Tujuan Penelitian
1. Mengkaji kondisi pembelajaran Pendidikan Agama Islam di tingkat sekolah menengah pertama yang ada sekarang ini.
2. Menghasilkan suatu desain media interaktif berbasis komputer yang sesuai dengan karakteristik pembelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah menengah pertama.
3. Memperoleh bentuk kegiatan pembelajaran Pendidikan Agama Islam dengan media interaktif berbasis komputer yang berdampak pada peningkatan aktivitas belajar siswa yang nantinya akan menuju pada peningkatan kualitas hasil belajar.
4. Mengkaji faktor pendukung dan penghambat dalam pengembangan media interaktif berbasis komputer pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam.

E. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini baik secara teoretis maupun praktis adalah sebagai berikut : 
1. Manfaat teoretis
a. Untuk mengembangkan konsep pembelajaran dengan menggunakan media interaktif berbasis komputer.
b. Pengembangan konsep pembelajaran dengan menggunakan media interaktif berbasis komputer dalam meningkatkan aktivitas belajar siswa yang berdampak pada peningkatan kualitas hasil belajar. 
2. Manfaat praktis
a. Guru
Bagi para guru Pendidikan Agama Islam sebagai pencerahan/wahana baru dalam pemanfaatan media pembelajaran di sekolah, sehingga pengajaran akan lebih bervariasi dan lebih menarik.
b. Siswa
Menimbulkan semangat belajar bagi siswa, karena siswa diberikan alternatif yang baru dalam kegiatan pembelajaran dan juga untuk membangkitkan minat siswa terhadap teknologi informasi.
c. Sekolah
Sebagai wahana untuk meningkatkan mutu guru dan siswa melalui kegiatan pembelajaran dengan memanfaatkan media tersebut.
d. Pengembang kurikulum
Sebagai salah satu bahan masukan untuk meningkatkan kemampuan guru dalam penguasaan teknologi dan pemanfaatan media dalam kegiatan pembelajaran di kelas.

TESIS PERANAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERHADAP KOMPETENSI PEDAGOGIK DAN DAMPAKNYA TERHADAP KINERJA GURU SD

TESIS PERANAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERHADAP KOMPETENSI PEDAGOGIK DAN DAMPAKNYA TERHADAP KINERJA GURU SD

(KODE : PASCSARJ-0179) : TESIS PERANAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN TERHADAP KOMPETENSI PEDAGOGIK DAN DAMPAKNYA TERHADAP KINERJA GURU SD (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu faktor strategis dalam menciptakan kemajuan bangsa. Pendidikan merupakan ujung tombak dari kemajuan suatu bangsa, karena pendidikan yang berkualitas akan menghasilkan sumber daya manusia yang juga berkualitas dan produktif. Sumber daya manusia yang handal akan mendorong suatu negara menjadi maju dan pesat dalam persaingan global. Hanya negara-negara dengan sumber daya manusia yang unggul yang akan mampu bersaing dan menjadi pelaku utama dalam era kemajuan ilmu dan teknologi dewasa ini.
Peranan Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal dalam mengelola pendidikan merupakan faktor yang sangat penting untuk mencapai tujuan pendidikan itu sendiri. Peranan guru sangat menentukan keberhasilan anak didiknya, sebab gurulah yang sehari-hari secara langsung berinteraksi dengan siswanya sehingga dialah yang paling mengetahui perkembangan anak didiknya yang pada gilirannya dia pula yang akan menentukan langkah-langkah apa yang terbaik yang mesti dilakukan untuk membenahi kesenjangan yang ada.
Mutu pendidikan dipengaruhi oleh mutu guru yang menangani langsung pendidikan di sekolah. Guru sebagai ujung tombak dalam melaksanakan pembelajaran di kelas semestinya memiliki kompetensi mengajar yang mampu mengelola pembelajaran secara baik, sehingga siswa mendapat pengalaman belajar dari gurunya.
Hasil studi Heyneman dan Loxly menurut Supriadi (1999 : 178) dalam Riduwan (2010 : 304) pada 29 negara menunjukkan bahwa lebih dari sepertiga masukan yang menentukan pendidikan (prestasi siswa) ditentukan oleh guru. Berdasarkan hasil studi tersebut, nampak bahwa salah satu upaya yang perlu mendapat perhatian yang utama dalam meningkatkan kualitas pendidikan adalah peningkatan kualitas guru atau dengan kata lain bahwa sejalan dengan usaha yang telah dilakukan pemerintah sebagai penyedia pendidikan dalam usaha peningkatan mutu pendidikan, peningkatan profesionalisme atau mutu tenaga pendidik merupakan hal mutlak yang mesti diperhatikan. Tanpa peningkatan profesionalisme guru, maka usaha yang dilakukan oleh pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan tidak akan berdampak nyata, khususnya dalam kegiatan belajar mengajar di kelas.
Pemerintah semestinya selalu berusaha meningkatkan kompetensi guru secara bertahap, baik melalui penataran-penataran, melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, maupun dengan menggalakkan berbagai workshop dan seminar yang diadakan baik di tingkat pusat, maupun di daerah masing-masing. Kegiatan pembinaan guru merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam setiap usaha peningkatan mutu pembelajaran.
Tantangan yang dihadapi dalam dunia pendidikan semakin kompleks, maka konsekuensinya guru sebagai pelaku utama dituntut untuk meningkatkan peranan dan kemampuannya untuk menghadapi tantangan tersebut. Berkaitan dengan jabatan dan profesi sebagai seorang guru, fenomena sekarang terlihat di beberapa tempat bahwa masih terdapat guru yang belum memiliki keahlian yang diperolehnya melalui pendidikan dan ditunjukkan dengan sertifikat atau ijazah dan akta yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkannya.
Peran guru yang profesional dapat menumbuhkan kualitas pendidikan Indonesia, maka kebutuhan utama yang harus diperhatikan tentulah bagaimana agar guru-guru memiliki kompetensi-kompetensi yang memadai, yaitu guru-guru yang memiliki kompetensi-kompetensi sebagaimana yang dicantumkan dalam UU Guru dan Dosen No 14 Tahun 2005 yang meliputi; kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, kompetensi kepribadian, dan kompetensi profesional. Hal ini juga menjadi sangat berpengaruh terhadap kinerja dan hasil yang diharapkan pada anak didik. Oleh sebab itu dalam rangka menjadikan guru sebagai tenaga profesional maka perlu diadakan pembinaan secara terus menerus dan berkesinambungan, dan menjadikan guru sebagai tenaga kerja profesional perlu diperhatikan, dihargai dan diakui keprofesionalannya. Sehingga seiring dengan waktu dan tantangan yang dihadapi, kemampuan guru juga semestinya semakin meningkat dalam membekali anak didiknya dengan ilmu yang berguna untuk selalu dapat menghadapi tantangan jaman, atau dengan kata lain pendidikan yang diberikan oleh guru sesuai dengan amanat pendidikan nasional kita.
Guru merupakan salah satu komponen yang sangat menentukan untuk terselenggaranya proses pendidikan. Keberadaan guru merupakan pelaku utama sebagai fasilitator penyelenggaraan proses belajar siswa. Oleh karena itu kehadiran dan profesionalismenya sangat berpengaruh dalam mewujudkan program pendidikan nasional. Guru harus memiliki kualitas yang memadai, karena guru merupakan salah satu komponen mikro system pendidikan yang sangat strategis dan banyak mengambil peran dalam proses pendidikan persekolahan (Suyanto dan Hisyam, 2000 : 27). Menurut UU RI. No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional BAB XI Pasal 39. Dinyatakan bahwa ;
(1). Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelola, pengembang, pengawas dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan.
(2). Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan bimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik di perguruan tinggi.
Guru memiliki peran yang penting, posisi yang strategis, dan bertanggungjawab dalam pendidikan nasional. Guru memiliki tugas sebagai pendidik, pengajar dan pelatih. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup. Guru yang profesional akan tercermin dalam tugas yang ditandai dengan keahlian baik dalam materi maupun metode yang digunakannya dalam berinteraksi dengan anak didiknya.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak guru yang belum memiliki kompetensi yang memadai dalam mengelola pembelajaran. Data dari Evaluasi Diri Sekolah online memperlihatkan bahwa dari 8 Standar Nasional Pendidikan (isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, pengelolaan, sarana dan prasarana, penilaian dan pembiayaan) yang dievaluasi, maka komponen Pendidik dan Tenaga Kependidikan yang masih banyak belum memenuhi standar nasional pendidikan.
Kendala lain yang ditemukan adalah sulitnya mewujudkan peningkatan kinerja guru, khususnya melalui pendidikan dan pelatihan. Kontinyuitas peningkatan kemampuan guru serta kesempatan yang sama untuk meningkatkan kemampuan dalam profesi guru merupakan kebutuhan yang mendesak seiring dengan perubahan tantangan yang dihadapi.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Peranan Pendidikan dan Pelatihan bagi Peningkatan Kompetensi Pedagogik dan Dampaknya pada Kinerja Guru SD

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, terlihat bahwa dalam kenyataannya masih banyak guru-guru yang masih belum memenuhi standar kompetensi yang disyaratkan sebagai seorang pendidik. Standar kompetensi guru dapat dijadikan acuan dalam pengukuran kinerja guru untuk mendapatkan jaminan peningkatan kualitas pembelajaran. Salah satu kompetensi yang sangat penting dimiliki oleh seorang guru adalah kompetensi pedagogik atau kompetensi dalam mengelola pembelajaran. Pengelolaan pembelajaran yang efektif dan efisien yang didukung dengan guru yang memiliki kompetensi yang memadai pada gilirannya akan menghasilkan kualitas belajar peserta didik yang memuaskan.
Di lapangan banyak ditemukan guru hanya sekedar mengisi jam yang belajar yang dibebankan kepadanya, yang berarti bahwa aspek-aspek pembelajaran yang baik belum menjadi fokus mereka. Hal ini umumnya disebabkan oleh kurangnya pengetahuan, keterampilan dan kemampuan guru dalam memahami tugas-tugas yang dibebankan kepadanya.
Pengembangan kemampuan guru secara terus-menerus seiring dengan tantangan yang dihadapi melalui pendidikan dan pelatihan diharapkan dapat meningkatkan kompetensi guru.
Penelitian ini mengambil fokus pada Peranan Pendidikan dan Pelatihan bagi Peningkatan Kompetensi Pedagogik dan Dampaknya pada Kinerja Guru SD. 

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah tersebut, maka dapat disimpulkan rumusan masalah : Bagaimana Peranan Pendidikan dan Pelatihan terhadap Peningkatan Kompetensi Pedagogik dan Dampaknya terhadap Kinerja Guru SD. Rumusan masalah tersebut dapat diuraikan dalam beberapa pertanyaan berikut yaitu : 
1. Bagaimana gambaran tentang pendidikan dan pelatihan guru SD di wilayah kecamatan X Kota Y ?
2. Bagaimana gambaran tentang kompetensi pedagogik guru SD di wilayah kecamatan X Kota Y ?
3. Bagaimana gambaran kinerja guru SD di wilayah kecamatan X Kota Y ?
4. Bagaimana peranan pendidikan dan pelatihan terhadap peningkatan kompetensi pedagogik guru SD di wilayah kecamatan X Kota Y ?
5. Bagaimana peranan pendidikan dan pelatihan terhadap kinerja guru SD di wilayah kecamatan X Kota Y ?
6. Bagaimana pengaruh kompetensi pedagogik terhadap kinerja guru SD di wilayah kecamatan X Kota Y ?
7. Bagaimana peranan pendidikan dan pelatihan secara bersama-sama terhadap kinerja guru SD di wilayah kecamatan X Kota Y ?

D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh data dan informasi tentang Peranan Pendidikan dan Pelatihan bagi Peningkatan Kompetensi Pedagogik dan Dampaknya pada Kinerja Guru SD di wilayah kecamatan X Kota Y. Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui : 
1. Gambaran tentang pendidikan dan pelatihan guru SD di wilayah kecamatan X Kota Y ?
2. Gambaran tentang kompetensi pedagogik guru SD di wilayah kecamatan Y Barat Kota Y ?
3. Gambaran kinerja guru SD di wilayah kecamatan X Kota Y ?
4. Gambaran peranan pendidikan dan pelatihan guru terhadap kompetensi pedagogik guru SD di wilayah kecamatan X Kota Y ?
5. Gambaran tentang peranan pendidikan dan pelatihan terhadap kinerja guru SD di wilayah kecamatan X Kota Y ?
6. Gambaran tentang pengaruh kompetensi pedagogik terhadap kinerja guru SD di wilayah kecamatan X Kota Y ?
7. Gambaran tentang dampak pendidikan dan pelatihan secara bersama-sama terhadap kinerja guru SD di wilayah kecamatan X Kota Y ?

E. Kegunaan Hasil Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan studi untuk membandingkan antara kajian-kajian teori yang ada dengan kenyataan yang ada di lapangan, sehingga akan memberikan pemahaman yang lebih mendalam terhadap masalah ini.
2. Manfaat Praktis
Manfaat penelitian secara praktis diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut : 
a. Memberikan masukan bagi pihak sekolah untuk dijadikan bahan pertimbangan untuk merumuskan pola pengembangan kompetensi guru untuk meningkatkan kinerja guru.
b. Bahan pertimbangan bagi jajaran pimpinan dinas pendidikan kabupaten untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui aspek peningkatan pendidikan dan pelatihan untuk peningkatan kinerja guru.
c. Bagi peneliti, ini merupakan temuan awal untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang peranan pengembangan kinerja guru melalui pendidikan dan pelatihan.