Search This Blog

Showing posts with label skripsi PGPAUD. Show all posts
Showing posts with label skripsi PGPAUD. Show all posts
SKRIPSI IDENTIFIKASI KEBUTUHAN PENGEMBANGAN KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU

SKRIPSI IDENTIFIKASI KEBUTUHAN PENGEMBANGAN KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU

(KODE : PG-PAUD-0065) : SKRIPSI IDENTIFIKASI KEBUTUHAN PENGEMBANGAN KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan hal terpenting bagi kehidupan manusia. Pendidikan adalah suatu hal yang sangat diprioritaskan, karena pendidikan merupakan kewajiban yang berlangsung sepanjang hayat, selama seseorang masih hidup dan berakal sehat. Oleh karena itu dengan adanya pendidikan dapat menghasilkan manusia yang memiliki kemampuan berpikir logis, bersikap kritis, berinisiatif, unggul, dan kompetitif selain menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan dasar. Pendidikan bisa memberikan peluang yang besar bagi manusia untuk berkembang menjadi diri yang lebih baik lagi.
Masa kanak-kanak merupakan fase yang paling subur dalam menanamkan kreativitas yang mapan dan arahan yang bersih dalam jiwa dan sepak terjang anak. Potensi anak sudah tersedia dalam diri anak yang masih lugu dan polos yang belum terkontaminasi dengan lingkungan luar. Pada masa ini orang tua dapat memaksimalkan pendidikan anak dengan sebaik-baiknya, harapan besarnya untuk keberhasilan anak di masa mendatang. Menurut Nugraha (2006 : 62) anak akan berkembang menjadi remaja dan menjadi dewasa yang tahan dalam menghadapi berbagai macam tantangan. Seiring berjalannya waktu, pendidikan senantiasa mengalami dinamika yang membawa perubahan yang sangat signifikan, dengan berkembangnya pendidikan yang sangat luas maka perilaku anak juga harus diimbangi dengan sosial emosi yang baik, selain itu agama juga yang harus ditanamkan pada diri anak. Sehingga anak akan mempunyai pedoman untuk melangkah.
Dalam memudahkan pendidikan anak, maka diperlukan guru yang mempunyai kompetensi yang baik. Sosok guru yang ideal adalah guru yang mempunyai empat kompetensi dasar, kompetensi ini merupakan kompetensi yang paling utama bagi guru. Empat kompetensi yang paling dasar dan utama yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi pribadi, dan kompetensi sosial. Kompetensi sangat diperlukan untuk melaksanakan fungsi profesi. "Teacher Is The Heart Of Quality Education." Ungkapan ini mengisyaratkan bahwa guru merupakan salah satu indikator yang menentukan kualitas pendidikan. Bagus tidaknya kualitas pendidikan akan terlihat dari kinerja dan kompetensi guru sebagai pendidik yang melaksanakan proses pembelajaran.
Kompetensi pedagogik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari empat kompetensi utama yang harus dimiliki seorang guru. Kompetensi pedagogik yaitu kemampuan seorang guru dalam mengelola proses pembelajaran peserta didik. Selain itu kemampuan pedagogik juga ditunjukkan dalam membantu, membimbing dan memimpin peserta didik. Kompetensi pedagogik ini sangat penting yang berkenaan dengan pembelajaran. Menurut Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 : 62 kompetensi pedagogik guru terdiri atas 37 buah kompetensi yang dirangkum dalam 10 kompetensi inti seperti disajikan berikut ini; kemampuan menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual; menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik; mengembangkan kurikulum yang terkait dengan bidang pengembangan yang diampu; menyelenggarakan kegiatan pengembangan yang mendidik; memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang mendidik; memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki; berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik; menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar; memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran; serta melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran.
Kemampuan pedagogik menurut Suparno (2002 : 52) disebut juga kemampuan dalam pembelajaran atau pendidikan yang memuat pemahaman akan sifat, ciri anak didik dan perkembangannya, mengerti beberapa konsep pendidikan yang berguna untuk membantu siswa, menguasai beberapa metodologi mengajar yang sesuai dengan bahan dan perkembangan siswa, serta menguasai sistem evaluasi yang tepat dan baik yang pada gilirannya semakin meningkatkan kemampuan siswa. Dengan mengerti hal-hal itu guru akan mudah mengerti kesulitan dan kemudahan anak didik dalam belajar dan mengembangkan diri dan guru akan lebih mudah membantu anak didik untuk berkembang.
Untuk itu, guru perlu menguasai beberapa teori tentang pendidikan terlebih pendidikan di jaman modern ini. Oleh karena sistem pendidikan di Indonesia lebih dikembangkan ke arah pendidikan yang demokratis, maka teori dan filsafat pendidikan yang lebih bersifat demokratis perlu didalami dan dikuasai. Dengan mengerti bermacam-macam teori pendidikan, diharapkan guru dapat memilih mana yang paling baik untuk membantu perkembangan anak didik. Karena guru berperan untuk memberikan gambaran serta contoh yang nyata supaya para peserta didik tidak berfikir secara angan-angan yang ada di pikiran mereka saja, dan harapannya para peserta didik dapat memahami apa yang disampaikan oleh guru.
Guru dalam proses belajar mengajar merupakan faktor kesuksesan setiap usaha pendidikan, karena guru merupakan komponen yang paling terpenting. Guru mempunyai peranan dalam memberikan motivasi kepada siswa, karena motivasi berperan sangat penting dalam kegiatan utamanya dalam proses belajar. Guru merupakan sosok yang dapat digugu dan ditiru, dalam arti orang yang memiliki karisma atau wibawa hingga perlu untuk ditiru dan diteladani. Menurut Uno (2010 : 17) seseorang yang ingin menjadi guru yang baik maka sudah seharusnya dapat selalu meningkatkan wawasan pengetahuan akademis dan praktik melalui jalur berjenjang atau pelatihan yang bersifat in service training dengan rekan-rekan sejawatnya. Peran guru sangat dominan, dimana guru merupakan pengelola ruang, waktu, serta alat dan media pembelajaran sesuai dengan cara yang dikehendakinya.
Peran guru juga tidak bisa tergantikan dengan siapa pun atau apa pun, sekalipun dengan teknologi canggih. Keberhasilan ataupun kualitas faktor pendidikan tidaklah bisa terlepas dari peran guru. Menurut Hoyyima, 2010 : 58 peran guru yang berkualitas sangatlah dominan bagi terwujudnya pendidikan di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, faktor pendidikan tidak bisa dipandang sebelah mata dalam upaya meningkatkan perwujudan kesejahteraan dalam masyarakat di suatu daerah. Setiap anak mengharapkan guru mereka dapat menjadi contoh atau model baginya. Oleh karena itu tingkah laku pendidik baik guru, orang tua atau tokoh-tokoh masyarakat harus sesuai dengan norma-norma yang dianut oleh masyarakat, bangsa dan negara. Karena nilai-nilai dasar negara dan bangsa Indonesia adalah Pancasila, maka tingkah laku pendidik harus selalu diresapi oleh nilai-nilai Pancasila.
Menurut Uno (2010 : 22) guru dituntut untuk berperan aktif dalam merencanakan suatu pembelajaran dengan memerhatikan berbagai kompetensi dalam sistem pembelajaran yang meliputi; membuat dan merumuskan teknologi informasi dan teknologi; menyiapkan materi yang relevan dengan tujuan; merancang metode yang disesuaikan dengan siswa; menyediakan sumber belajar, media, dalam hal ini guru sebagai mediator. Jadi bisa disimpulkan bahwa guru diharapkan bisa merancang dan mempersiapkan semua komponen agar berjalan dengan efektif dan efisien.
Mutu pendidikan guru juga mempengaruhi dan menentukan mutu pendidikan. Peningkatan mutu pendidikan merupakan fokus perubahan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2009 Pasal 29 menyatakan bahwa pendidik pada Pendidikan Anak Usia Dini memiliki : (a) kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau Sarjana S1. (b) latar belakang pendidikan tinggi pendidikan anak usia dini, kependidikan lain, pendidikan Psikologi dan (c) sertifikasi pendidikan PAUD.
Menurut Hoyyima (2010 : 36) dalam melaksanakan tanggung jawab tersebut guru (pendidik) dan tenaga kependidikan mempunyai peranan menentukan dalam mencapai tujuan yang ditetapkan. Untuk itu kualitas pendidik dan tenaga kependidikan perlu terus ditingkatkan. Kompetensi guru tersebut perlu terus dikembangkan secara terprogram, berkelanjutan melalui suatu sistem pembinaan yang dapat meningkatkan kualitas profesional guru. Dalam pengertian yang lebih substantif kompetensi merupakan gambaran hakikat perilaku seseorang.
Identifikasi kebutuhan pengembangan guru saat ini sudah banyak mendapat perhatian, baik oleh para ahli pendidik maupun oleh para administrator pendidikan dalam berbagai tingkat wewenang dan tanggung jawab dalam sektor pendidikan. Perhatian itu wajar diberikan mengingat pentingnya peranan lembaga pendidikan guru, baik pre-service maupun in-service, dalam rangka mempersiapkan dan menyediakan calon-calon guru. Pemerintah juga memandang bahwa guru merupakan media yang sangat penting artinya dalam kerangka dan pengembangan bangsa. Oleh karena itu, pengembangan diri harus selalu dikembangkan untuk meningkatkan kualitas diri dalam mendidik putra-putri bangsa yang akan menjadi pemimpin negeri.
Guru memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan kuantitas dan kualitas pengajaran sehingga pada akhirnya guru berperan dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional. Guru berperan sebagai pengelola proses belajar mengajar, bertindak selaku fasilitator yang berusaha menciptakan proses belajar mengajar yang efektif, mengembangkan bahan pelajaran dengan baik dan meningkatkan kemampuan peserta didik untuk menyimak pelajaran dan menguasai tujuan-tujuan pendidikan yang harus mereka capai.
Namun, kenyataan di lapangan kompetensi pedagogik guru sering tidak dipahami dan dimengerti oleh sebagian guru, tidak sedikit guru yang hanya mengajar saja tanpa mau tahu apa itu kompetensi dasar yang harus dimiliki. Sehingga guru tidak maksimal dalam pengorganisasian kelas, pengelolaan kelas, penggunaan metode belajar mengajar, penggunaan teori-teori pembelajaran, strategi belajar mengajar, maupun sikap dan karakteristik guru dalam mengelola proses belajar mengajar. Selain itu, kenyataan yang ada pada saat ini banyak guru yang belum memenuhi kualifikasi dan banyak para guru yang tidak mendapatkan pendidikan, pendampingan serta pelatihan tentang bagaimana teknik kompetensi pedagogik. Akibatnya, dapat menurunkan mutu dan kualitas pembelajaran atau pendidikan, untuk itu guru harus segera mendapatkan berbagai pelatihan maupun pendampingan dengan menganalisis kebutuhan apa saja yang diperlukan guru untuk mengembangkan kompetensi pedagogik itu sendiri.
Selain itu, diperlukan analisis kebutuhan para guru tentang pengembangan kompetensi pedagogik guru yang meliputi kesadaran guru dalam dipahami kompetensi pedagogik guru tentang penguasaan terhadap materi perkembangan peserta didik, teori-teori belajar, pengembangan kurikulum, teknik evaluasi, penguasaan terhadap model-model dan metode pengajaran, adalah perlu, di samping penguasaan terhadap mata pelajaran dan iptek yang berkaitan dengan pengajaran. Untuk mendukung hal tersebut skripsi ini disusun untuk memetakan kebutuhan pengembangan kompetensi pedagogik para guru. Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk menyusun skripsi dengan judul : IDENTIFIKASI KEBUTUHAN PENGEMBANGAN KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU (STUDI DESKRIPTIF GURU TK).

B. Pembatasan Masalah
Berdasarkan berbagai masalah yang telah dikemukakan. Peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian terhadap kebutuhan pengembangan kompetensi pedagogik. Peneliti melakukan batasan masalah, agar pembahasan masalah tidak terlalu luas untuk diteliti.
Batasan masalah dalam skripsi ini yakni pada kebutuhan pengembangan kompetensi pedagogik yang berhubungan dengan guru dalam melaksanakan pembelajaran. Kompetensi pedagogik merupakan kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh guru. Oleh karena itu, setiap guru diharapkan mampu mengembangkan kompetensi pedagogik.

C. Penegasan Istilah
Berdasarkan pembahasan diatas, maka perlu adanya pembatasan masalah dalam judul penelitian ini agar tidak terjadi kesalahan dalam pembahasan selanjutnya dijelaskan sebagai berikut : 
1. Kebutuhan
Kebutuhan merupakan hal penting bagi kehidupan manusia untuk mempertahankan hidup serta untuk memperoleh kesejahteraan dan kenyamanan.
2. Kompetensi pedagogik guru
Kompetensi pedagogik guru merupakan kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban secara bertanggung jawab dan layak. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kompetensi pedagogik guru merupakan kemampuan guru dalam melaksanakan tugas-tugas sebagai pengajar yang dilakukan secara bertanggung jawab dan layak.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang ada dan agar dalam penelitian ini tidak terjadi kerancuan, maka penulis dapat membatasi dan merumuskan permasalahan yang akan di angkat dalam penelitian ini. 
1. Bagaimana gambaran kompetensi pedagogik guru TK di Kecamatan Kota X ?
2. Apakah yang menjadi kebutuhan pengembangan kompetensi pedagogik guru TK di Kecamatan Kota X ?

E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk : 
1. Mengetahui tentang gambaran kompetensi pedagogik guru TK di Kecamatan Kota X.
2. Mengetahui kebutuhan pengembangan kompetensi pedagogik guru TK di Kecamatan Kota X.

F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan konsep dan teori mengenai pengembangan kompetensi pedagogik.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi sekolah
Memberikan sumbangan positif dalam mengembangkan kompetensi pedagogik guru untuk meningkatkan pembelajaran yang ada di TK.
b. Bagi guru
Sebagai masukan bagi para guru agar dapat mengembangkan kompetensi pedagogik guru dan disesuaikan dengan kebutuhan dari masing-masing guru.
c. Bagi penulis
Menambah pengalaman, wawasan, dan untuk bekal peneliti sebagai pendidik yang selalu mengamalkan ilmu pengetahuan. Sebagai bahan masukan berupa informasi kepada mahasiswa agar dapat menambah perbendaharaan kepustakaan tentang identifikasi kebutuhan untuk mengembangkan kompetensi pedagogik guru TK supaya diterapkan ketika mengajar nantinya dan mengaplikasikannya pada kehidupannya kelak.

SKRIPSI IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (STUDI DI TK X DAN Y)

SKRIPSI IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (STUDI DI TK X DAN Y)

(KODE : PG-PAUD-0064) : SKRIPSI IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (STUDI DI TK X DAN Y)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada masa orde lama pengelolaan pendidikan yang dianut dan dijalankan di Indonesia bersifat sentralistik, pusat menjadi sangat dominan dalam pengambilan kebijakan. Sebaliknya, daerah dan sekolah bersifat pasif, hanya sebagai penerima dan pelaksana perintah pusat saja. Pola kerja sentralistik tersebut sering mengakibatkan adanya kesenjangan antara kebutuhan riil sekolah dengan perintah atau apa yang digariskan oleh pusat. Hal ini dapat terlihat dari ketatnya pengaturan dalam pelaksanaan kurikulum, pengadaan, pemanfaatan prasarana dan sarana, pengaturan dan pemanfaatan anggaran, pembinaan guru, dan lain-lain. Selain itu manajemen pendidikan di sekolah juga kurang memanfaatkan peran serta masyarakat untuk kemajuan pendidikan di sekolah.
Sekolah merupakan salah satu dari pusat pendidikan yang dituntut untuk mampu menjadikan output yang unggul, dimana sekolah adalah suatu sistem organisasi, yang didalamnya terdapat sejumlah orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan sekolah yang dikenal sebagai tujuan instruksional.
Manajemen pendidikan menuntut dukungan tenaga kerja yang terampil dan berkualitas agar dapat membangkitkan motivasi kerja yang lebih produktif dan memberdayakan otoritas daerah setempat, serta mengefisienkan sistem dan menghilangkan birokrasi yang tumpang tindih. Oleh karena itu, dituntut kemandirian dan kreativitas sekolah dalam mengelola pendidikan dan pembelajaran di balik otonomi yang dimilikinya. Sekolah juga harus mampu mencermati kebutuhan peserta didik yang bervariasi, keinginan staff yang berbeda, kondisi lingkungan yang beragam, harapan masyarakat yang menitipkan anaknya pada sekolah agar kelak bisa menjadi anak yang mandiri, serta tuntutan dunia kerja untuk memperoleh tenaga yang produktif, potensial dan berkualitas.
Manajemen Berbasis Sekolah terlahir dengan beberapa nama yang berbeda, yaitu tata kelola berbasis sekolah (school-based governance), manajemen mandiri sekolah (school self-management), dan bahkan juga dikenal dengan school site management atau manajemen yang bermarkas di sekolah.
Tujuan utama adalah untuk mengembangkan prosedur kebijakan sekolah, memecahkan masalah-masalah umum, memanfaatkan semua potensi individu yang tergabung dalam tim tersebut. Sehingga sekolah selain dapat mencetak orang yang cerdas serta emosional tinggi, juga dapat mempersiapkan tenaga-tenaga pembangunan. Oleh karena itu perlu diketahui pandangan filosofis tentang hakekat sekolah dan masyarakat dalam kehidupan kita. Sekolah adalah bagian yang integral dari masyarakat, ia bukan merupakan lembaga yang terpisah dari masyarakat, hak hidup dan kelangsungan hidup sekolah bergantung pada masyarakat, sekolah adalah lembaga sosial yang berfungsi untuk melayani anggota-anggota masyarakat dalam bidang pendidikan, kemajuan sekolah dan masyarakat saling berkorelasi, keduanya saling membutuhkan. Masyarakat adalah pemilik sekolah, sekolah ada karena masyarakat memerlukannya.
Kemajuan suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh kualitas SDM bangsa tersebut. Kualitas SDM tergantung pada tingkat pendidikan masing-masing individu pembentuk bangsa. Pendidikan yang visioner, memiliki misi yang jelas akan menghasilkan keluaran yang berkualitas. Dari sanalah pentingnya manajemen pendidikan diterapkan.
Manajemen pendidikan merupakan hal yang harus diprioritaskan untuk kelangsungan pendidikan, sehingga menghasilkan keluaran yang diinginkan. Kenyataannya, banyak institusi pendidikan yang belum memiliki manajemen yang bagus dalam pengelolaan pendidikannya. Manajemen yang digunakan masih konvensional, sehingga kurang bisa menjawab tantangan zaman dan terkesan tertinggal dari modernitas. Hal ini mengakibatkan sasaran-sasaran ideal pendidikan yang seharusnya bisa dipenuhi ternyata tidak bisa diwujudkan. Parahnya, terkadang para pengelola pendidikan tidak menyadari akan hal itu.
Manajemen pendidikan merupakan suatu proses untuk mengkoordinasikan berbagai sumber daya pendidikan seperti guru, sarana dan prasarana pendidikan seperti perpustakaan, laboratorium, dan sebagainya untuk mencapai tujuan dan sasaran pendidikan, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Dalam perkembangannya, manajemen pendidikan memerlukan Good Management Practice untuk pengelolaannya. Tetapi pada prakteknya, ini masih merupakan suatu hal yang elusif. Banyak penyelenggara pendidikan yang beranggapan bahwa hal tersebut bukanlah suatu hal yang penting.
Tuntutan akan lulusan lembaga pendidikan yang bermutu semakin mendesak karena semakin ketatnya persaingan dalam lapangan kerja. Salah satu implikasi globalisasi dalam pendidikan yaitu adanya deregulasi yang membuka peluang lembaga pendidikan (termasuk perguruan tinggi asing) membuka sekolahnya di Indonesia. Oleh karena itu persaingan di pasar kerja akan semakin berat.
Mengantisipasi perubahan-perubahan yang begitu cepat serta tantangan yang semakin besar dan kompleks, tiada jalan lain bagi lembaga pendidikan untuk mengupayakan segala cara untuk meningkatkan daya saing lulusan serta produk-produk akademik lainnya, yang antara lain dicapai melalui peningkatan mutu pendidikan, dalam hal ini tentang paradigma baru dalam pendidikan, bagaimana menghasilkan mutu bisa berlangsung dalam pendidikan, dan bagaimana peran sistem manajemen untuk mendukung berlangsungnya pencapaian mutu pendidikan tersebut.
Sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai ciri khas Islam, madrasah memegang peran penting dalam proses pembentukan kepribadian anak didik, karena melalui pendidikan madrasah ini para orang tua berharap agar anak-anaknya memiliki dua kemampuan sekaligus, tidak hanya pengetahuan umum (IPTEK) tetapi juga memiliki kepribadian dan komitmen yang tinggi terhadap agamanya (IMTAQ). Oleh sebab itu jika kita memahami benar harapan orang tua ini maka sebenarnya madrasah memiliki prospek yang cerah.
Di sisi lain, jika dilihat dari sejarahnya, madrasah memiliki akar budaya yang kuat di tengah-tengah masyarakat, sebab itu madrasah sudah menjadi milik masyarakat. Apabila dewasa ini banyak ahli berbicara tentang inovasi pendidikan nasional untuk melahirkan pendidikan yang dikelola masyarakat (community based management), maka madrasah dan termasuk juga pesantren merupakan model dari pendidikan tersebut.
Persoalan madrasah menurut Fadjar (1998 : 35) dari sekian puluh ribu madrasah yang tersebar di seluruh pelosok tanah air ini sebagian besar masih bergumul dengan persoalan berat yang sangat menentukan hidup dan matinya madrasah, sehingga nilai tawar semakin rendah dan semakin termarginalkan.
Fenomena di atas setidaknya disebabkan dan dipengaruhi oleh dua hal, yaitu kaitannya dengan problem internal kelembagaan dan parental choice of education, bahwa popularitas dan marginalitas lembaga pendidikan sangat ditentukan oleh sejauh mana lembaga pendidikan bersangkutan mampu merespon dan mengakomodasi aspirasi masyarakat dan seberapa jauh lembaga bersangkutan dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan internal kelembagaan ke arah profesionalitas penyelenggaraan pendidikan.
Kaitannya dengan problem internal kelembagaan, bahwa problem internal madrasah yang selama ini dirasakan, seperti dikatakan Fadjar (1998 : 41) meliputi seluruh sistem kependidikannya, terutama sistem manajemen dan etos kerja madrasah, kualitas dan kuantitas guru, kurikulum, dan sarana fisik dan fasilitasnya. Problem semacam itu karena posisi madrasah berada dalam lingkaran yang membingungkan, sebuah problem yang bersifat causal relationship.
Selanjutnya parental choice of education, menurut Fadjar (1999 : 76) bahwa dalam masyarakat akhir-akhir ini terjadi adanya pergeseran pandangan terhadap pendidikan seiring dengan tuntutan masyarakat (social demand) yang berkembang dalam skala yang lebih makro. sekarang masyarakat melihat pendidikan tidak lagi dipandang hanya sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan terhadap perolehan pengetahuan dan keterampilan dalam konteks waktu sekarang. Di sisi lain, pendidikan dipandang sebagai bentuk investasi, baik modal maupun manusia (human and capital investment) untuk membantu meningkatkan keterampilan dan pengetahuan sekaligus mempunyai kemampuan produktif di masa depan yang diukur dari tingkat penghasilan yang diperolehnya (Suryadi, dan Tilaar, 1993). Pergeseran tersebut menurut Praktiknya (dalam Fadjar, 1999 : 77) mengarah pada; Pertama, terjadinya teknologisasi kehidupan sebagai akibat adanya loncatan revolusi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, kecenderungan perilaku masyarakat yang lebih fungsional, dimana hubungan sosial hanya dilihat dari sudut kegunaan dan kepentingan semata, ketiga, masyarakat padat informasi, dan keempat, kehidupan yang makin sistemik dan terbuka, yakni masyarakat yang sepenuhnya berjalan dan diatur oleh sistem yang terbuka (open system).
Sesuai dengan ciri masyarakat tersebut, maka pendidikan yang akan dipilih oleh masyarakat adalah pendidikan yang dapat memberikan kemampuan secara teknologis, fungsional, individual, informatif dan terbuka. Dan yang lebih penting lagi, kemampuan secara etik dan moral yang dapat dikembangkan melalui agama.
Dengan melihat problem internal kelembagaan madrasah seperti dijelaskan di atas, dikaitkan dengan parental choice of education, dimana masyarakat semakin kritis, prakmatis, terbuka dan berpikir jauh ke depan dalam melakukan pilihan pendidikan bagi anak-anaknya, maka pendidikan madrasah akan tetap berada pada posisinya sebagai lembaga pendidikan "kelas dua", "marginal” yang hanya diminati masyarakat bawah dan tidak atau kurang dilirik oleh masyarakat menengah atas (upper middle class), sebaliknya jika madrasah secara internal dikelola dengan sistem manajemen profesional dan mampu memahami dan merespon tuntutan dan aspirasi masyarakat tersebut, maka madrasah akan memperoleh peluang yang lebih besar untuk menjadi pilihan utama dan pertama bagi masyarakat.
Sejalan dengan hal tersebut bahwa semakin terpelajar masyarakat semakin banyak aspek yang menjadi pertimbangan masyarakat dalam memilih suatu lembaga pendidikan. Dan sebaliknya, semakin awam masyarakat semakin sederhana pertimbangannya dalam memilih lembaga pendidikan atau barangkali, bahkan hanya sekadar menjadi makmum dengan kepercayaannya. Menurutnya, ada tiga hal yang paling tidak menjadi pertimbangan masyarakat terpelajar dalam memilih suatu lembaga pendidikan bagi anak-anak mereka, yaitu cita-cita dan gambaran hidup masa depan, posisi dan status sosial, serta agama. Dalam kaitan ini, jika madrasah atau lembaga pendidikan islam lainnya memenuhi ketiga kriteria di atas, maka akan semakin diminati oleh masyarakat terutama masyarakat terpelajar, tetapi sebaliknya, banyak lembaga pendidikan Islam yang akan semakin meminggir posisinya karena tidak menjanjikan apa-apa.
Kesan marginalitas madrasah, sebenarnya lebih banyak disebabkan karena sebagian besar madrasah lebih berorientasi pada kerakyatan (populis), pendidikan hanya dijadikan sebagai fungsi "cagar budaya" dan pada saat bersamaan ia mengabaikan kualitas dan prestasi, sebab itu penyelenggaraan pendidikan cenderung dilakukan secara konvensional, apa adanya, manajemen non-profesional, stagnan dan status quo, dan pada akhirnya pendidikan semacam ini ditinggalkan oleh masyarakat dan hanya diminati kelompok masyarakat bawah.
Akan tetapi dewasa ini persepsi atau pemahaman masyarakat tentang madrasah sudah mengalami pergeseran sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi secara makro yang dilakukan pemerintah dengan kebijakan-kebijakan barunya. Pada awalnya madrasah dipahami sebagai sekolah yang hanya mengajarkan agama tetapi sekarang ini persepsi masyarakat sudah berubah bahwa ternyata madrasah pada dasarnya sama dengan sekolah umum lainnya karena memiliki kurikulum yang sama, di sisi lain madrasah dianggap sebagai sekolah umum plus agama. Perubahan persepsi dan pemahaman tersebut seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi secara makro, madrasah dianggap sebagai sekolah agama ketika kurikulum madrasah masih berbanding 70% agama dan 30% umum, tetapi ketika terjadi perubahan dimana madrasah adalah sekolah umum yang berciri khas Islam yang memiliki kurikulum sama dengan sekolah umum dan memiliki kelebihan yakni "identitas keislaman", maka madrasah kemudian dianggap sebagai sekolah umum plus yang memiliki nilai lebih dibanding dengan sekolah umum.
Berikutnya muncul kesadaran baru dalam beragama (santrinisasi), terutama pada masyarakat perkotaan kelompok masyarakat menengah atas, sebagai akibat dari proses re-Islamisasi yang dilakukan secara intens oleh organisasi-organisasi keagamaan, lembaga-lembaga dakwah atau yang dilakukan secara perorangan. Terjadinya santrinisasi masyarakat elit tersebut akan berimplikasi pada tuntutan dan harapan akan pendidikan yang mengaspirasikan status sosial dan keagamaannya. Sebab itu pemilihan lembaga pendidikan didasarkan minimal pada dua hal tersebut, yakni status sosial dan agama.
Kecenderungan di atas harus segera direspon oleh madrasah jika lembaga ini tidak ingin ditinggalkan oleh masyarakat. Disamping itu Madrasah juga harus dapat membaca alasan-alasan dan pertimbangan orang tua dalam memilih lembaga pendidikan baik yang bersifat internal maupun eksternal.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, tentunya persoalan pendidikan harus seiring berjalan atas standar minimal manajemen yang baik, manajemen berbasis sekolah bertujuan untuk memandirikan atau memperdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah, pemberian fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumber daya sekolah, dan mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan.
TK di Kabupaten X dan TK Kota Y juga didukung oleh Kepala TK yang bertanggung jawab sebagai manajer yaitu dapat mengelola atau mengatur manajemen yang ada di sekolahnya, pendidik dan tenaga kependidikan yang profesional dalam mengoperasikan sekolahnya, serta orang tua murid yang mendukung program TK. Selain itu, sarana dan prasarana yang cukup memadai untuk proses belajar mengajar. Dalam hal sarana dan prasarana di TK Kabupaten X dan TK Kota Y, selain didukung oleh orang tua murid juga didukung oleh pemerintah pada setiap tahunnya. Berdasarkan hasil observasi tersebut di atas TK Kabupaten X dan TK Kota Y menggunakan manajemen berbasis sekolah.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan suatu permasalahan yaitu : 
1. Bagaimanakah perencanaan implementasi manajemen berbasis sekolah pada TK Kabupaten X dan TK Kota Y ?
2. Bagaimanakah pelaksanaan implementasi manajemen berbasis sekolah pada TK Kabupaten X dan TK Kota Y ?
3. Bagaimanakah evaluasi implementasi manajemen berbasis sekolah pada TK Kabupaten X dan TK Kota Y ?

C. Fokus Penelitian
Fokus dari penelitian ini adalah perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi implementasi manajemen berbasis sekolah pada TK Kabupaten X dan TK Kota Y.

D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah : 
1. Untuk mengetahui perencanaan implementasi manajemen berbasis sekolah pada TK Kabupaten X dan TK Kota Y.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan implementasi manajemen berbasis sekolah pada TK Kabupaten X dan TK Kota Y.
3. Untuk mengetahui evaluasi implementasi manajemen berbasis sekolah pada TK Kabupaten X dan TK Kota Y.

E. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yang berarti bagi perorangan/institusi sebagai berikut : 
1. Manfaat Teoritis
Dengan penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi taman kanak-kanak se-Kabupaten X dalam mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah di taman kanak-kanak.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini bermanfaat bagi : 
a. Bagi Kepala Sekolah
Memberi pengetahuan tentang peran dan fungsi sebagai Kepala Sekolah dalam melaksanakan manajemen berbasis sekolah.
b. Bagi Penulis
Memberi pengalaman, mendapatkan informasi-informasi, menambah wawasan dan kajian tentang implementasi manajemen berbasis sekolah pada TK Kabupaten X dan TK Kota Y.
c. Bagi Dinas Pendidikan Kabupaten X dan Kota Y
Memberi masukan dan gambaran pelaksanaan manajemen berbasis sekolah di TK Kabupaten X dan TK Kota Y.

SKRIPSI PERAN GURU DAN ORANG TUA DALAM MENANAMKAN BUDI PEKERTI PADA ANAK USIA DINI

SKRIPSI PERAN GURU DAN ORANG TUA DALAM MENANAMKAN BUDI PEKERTI PADA ANAK USIA DINI

(KODE : PG-PAUD-0063) : SKRIPSI PERAN GURU DAN ORANG TUA DALAM MENANAMKAN BUDI PEKERTI PADA ANAK USIA DINI



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan proses tiada henti sejak manusia dilahirkan hingga akhir hayat. Bahkan banyak pendapat mengatakan bahwa pendidikan sudah dimulai sejak manusia masih berada dalam kandungan (pre-natal). Pastinya proses pendidikan akan dan harus dialami dan dijalani oleh setiap manusia di setiap waktu.
Masa anak usia dini adalah salah satu fase yang dijalani oleh manusia. Masa ini merupakan masa pendidikan yang terfokus pada psikomotorik anak serta penanaman akhlak dan sikap hidup anak didik. Di masa kanak-kanak, anak belum memiliki kemampuan untuk berpikir dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Untuk itu, peranan orang tua dengan memberikan teladan berupa budi pekerti yang baik akan membantu proses belajar anak. Kesan-kesan yang baik, yang diberikan orang tua kepada anak akan membantu mendorong berkembangnya kepribadian anak ke arah yang baik.
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Sekolah adalah fase kedua dari pendidikan pertama dalam keluarga, karena pendidikan pertama dan utama diperoleh anak dari keluarganya. Pada masa inilah peletakan pondasi belajar harus tepat dan benar.
Dalam perkembangannya, seorang anak selain membutuhkan perhatian dari keluarga dan sekolah juga membutuhkan perhatian dari lingkungan masyarakat. Lingkungan ini nantinya akan memberi pengaruh terhadap perkembangan jiwa anak. Seperti yang diungkapkan oleh Suhartono (2008 : 50) bahwa lingkungan masyarakat adalah kegiatan pendidikannya berpusat pada bimbingan potensi moral. Masyarakat secara kodrat bertanggung jawab atas pencerdasan emosional. Peran masyarakat terhadap pendidikan amat menentukan. Tanpa pelibatan masyarakat, pendidikan sekolah tidak bisa berlangsung. Oleh sebab itu, agar peran masyarakat terhadap pendidikan lebih efektif, setiap faksi sosial perlu membangun kembali visinya dengan menanamkan kependidikan sebagai landasan dasar kemajuan. Bahwa kemajuan kehidupan masyarakat tanpa spirit pendidikan tidaklah mungkin. Karena pendidikan pada hakikatnya adalah upaya mempertumbuhkan nilai kemanusiaan. Jika nilai kemanusiaan tumbuh, maka tidak mungkin terjadi kerusakan moral, kerusakan alam, dam kerusakan spiritual (Suhartono, 2008 : 52).
Pendidikan anak usia dini perlu dilakukan dengan terarah ke pengembangan segenap aspek pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak serta dilaksanakan secara terintegrasi dalam suatu kesatuan program yang utuh dan proporsional. Secara makro, prinsip ini juga memiliki makna bahwa penyelenggaraan pendidikan anak usia dini (PAUD) dilakukan secara terintegrasi dengan si stem sosial yang ada di masyarakat dan menyertakan segenap komponen masyarakat sesuai dengan tanggung jawab dan kewenangannya. Hal ini memerlukan keselarasan antara pendidikan yang dilakukan dalam berbagai lembaga; keluarga, sekolah dan masyarakat (Siti Aisyah, dkk., 2008 : 1.23).
Penyelenggaraan pendidikan anak usia dini di negara maju telah berlangsung lama sebagai bentuk yang berbasis masyarakat (community based education), akan tetapi gerakan untuk menggalakkan pendidikan ini di Indonesia baru muncul beberapa tahun terakhir. Hal ini didasarkan akan pentingnya pendidikan untuk anak usia dini dalam menyiapkan manusia Indonesia seutuhnya (MANIS) serta membangun masa depan anak-anak dan masyarakat Indonesia seluruhnya (MASIS). Namun sejauh ini jangkauan pendidikan anak usia dini masih terbatas dari segi jumlah maupun eksistensinya, misalnya; penitipan anak dan kelompok bermain masih terkonsentrasi di kota-kota. Padahal bila dilihat dari tingkat kebutuhannya akan perlakuan sejak dini, anak-anak usia dini di pedesaan dan dari keluarga miskin jauh lebih tinggi guna mengimbangi miskinnya rangsangan intelektual, sosial dan moral dari keluarga dan orang tua.
Pemerintah telah menunjukkan kemauan politiknya dalam membangun sumber daya manusia sejak dini. Seperti yang disampaikan Ibu Megawati Soekarno Putri (Wakil Presiden saat itu) saat membuka Konferensi Pusat I Masa Bakti VII Ikatan Guru Taman Kanak-kanak Indonesia. Beliau menegaskan pentingnya pendidikan anak usia dini dalam konsep pembinaan dan pengembangan anak dihubungkan pembentukan karakter manusia seutuhnya. Lebih jauh lagi beliau menyatakan sudah tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pendidikan bagi anak usia dini merupakan basis penentu pembentukan karakter manusia Indonesia di dalam kehidupan berbangsa.
Pernyataan ini menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini sangat penting bagi kelangsungan bangsa dan perlu menjadi perhatian serius dari pemerintah. Pendidikan anak usia dini merupakan strategi pembangunan sumber daya manusia harus dipandang sebagai titik sentral mengingat pembentukan karakter bangsa dan kehandalan SDM (sumber daya manusia) ditentukan sebagaimana penanaman sejak usia dini. Pentingnya pendidikan pada masa ini sehingga sering disebut dengan masa usia emas (the golden age).
Dalam merealisasikan upaya tersebut pemerintah berupaya keras untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, pemerintah telah menerapkan 8 (delapan) standar nasional pendidikan, salah satunya standar nasional pendidikan yang dinilai paling berperan terhadap peningkatan mutu pendidikan adalah standar pendidik dan standar kependidikan. Standar pendidik dan tenaga kependidikan mencakup jalur pendidikan formal dan pendidikan non formal. Semua upaya pemerintah tersebut dimaksudkan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional.
Adapun tujuan pendidikan nasional adalah menciptakan manusia Indonesia seutuhnya. Dalam hal ini menekankan pada peningkatan kualitas manusia. Ngalim Purwanto (2006 : 37), menegaskan bahwa hal tersebut didasarkan atas tuntutan perkembangan kehidupan masyarakat dan negara dalam pengembangan ilmu dan teknologi yang sangat diperlukan dalam kehidupan dunia yang sedang mengalami era industrialisasi, informasi dan globalisasi. Dalam mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut, maka diupayakanlah suatu penyelenggaraan pendidikan yang bersifat formal mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Segala aktivitas yang berlangsung di dalamnya memerlukan sarana dan prasarana yang memadai seperti pendidik yang kompeten, laboratorium dan perpustakaan yang baik.
Ki Hajar Dewantara, selaku Bapak Pendidikan Indonesia menegaskan bahwa : "Pendidikan harus dilakukan secara kooperatif antara keluarga, terpenting, karena kelurga lah pondasi utama pembentukan Intelligence Quotient (IQ) dan Emotional Quotient (EQ)”.
Bertolak dari latar belakang tersebut, peneliti bermaksud untuk mengupas lebih lanjut pokok persoalan tentang "PERAN GURU DAN ORANG TUA DALAM MENANAMKAN BUDI PEKERTI PADA ANAK USIA DINI (STUDI PADA TAMAN KANAK-KANAK X)".

B. Rumusan Masalah
Untuk membuat permasalahan menjadi lebih spesifik dan sesuai dengan titik tekan kajian, maka harus ada rumusan masalah yang benar-benar fokus. Hal ini dimaksudkan agar pembahasan dalam penelitian ini, tidak melebar dari apa yang dikehendaki. Dari latar belakang yang telah disampaikan di atas, ada beberapa rumusan yang bisa diambil : 
1. Sejauh mana peran guru dan orang tua dalam menanamkan budi pekerti pada anak usia dini di Taman Kanak-kanak X serta di lingkungan keluarga ?
2. Faktor-faktor apakah yang mendorong dan menghambat guru dalam menanamkan budi pekerti pada anak usia dini di Taman Kanak-kanak X ?
3. Faktor-faktor apakah yang mendorong dan menghambat orang tua dalam menanamkan budi pekerti pada anak usia dini di lingkungan keluarga ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan penelitian di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 
1. Untuk mengetahui sejauh mana peran guru dan orang tua dalam menanamkan budi pekerti pada anak usia dini di Taman Kanak-kanak X serta di lingkungan keluarga.
2. Untuk mengetahui faktor pendorong dan penghambat guru dalam menanamkan budi pekerti pada anak usia dini di Taman Kanak-kanak X.
3. Untuk mengetahui faktor pendorong dan penghambat orang tua dalam menanamkan budi pekerti pada anak usia dini di lingkungan keluarga.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian kualitatif ini meliputi dua, yaitu : 
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi khasanah ilmu, terutama bagi jurusan Pendidikan Anak Usia Dini dalam memberikan gambaran yang jelas mengenai peran guru dan orang tua dalam mendidik budi pekerti anak usia dini Taman Kanak-kanak.
2. Manfaat Praktis
Bagi orang tua dan guru di Taman Kanak-kanak X, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang dapat digunakan dalam upaya peningkatan pembinaan budi pekerti pada anak usia dini.

SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN ORANG TUA DENGAN ORIENTASI POLA ASUH ANAK USIA DINI

SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN ORANG TUA DENGAN ORIENTASI POLA ASUH ANAK USIA DINI

(KODE : PG-PAUD-0062) : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN ORANG TUA DENGAN ORIENTASI POLA ASUH ANAK USIA DINI



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Usia Prasekolah adalah usia yang rentan bagi anak, usia dini (0-6 tahun) adalah masa (Golden Age) dimana pada masa ini anak perlu dasar pengasuhan, ini tercermin dalam ungkapan "Belajar di masa kecil, bagai mengukir di atas batu" para ahli menyatakan bahwa mereka yang mendapatkan stimuli dan pengasuhan yang baik selama masa usia dini akan memiliki resiko rendah terkena stres dan gangguan mental. Pada masa ini anak mempunyai sifat meniru atau imitasi terhadap apapun yang dilihatnya, kenyataan yang terjadi di masyarakat tanpa disadari anak semua perilaku serta kepribadian orang tua yang baik dan tidak baik akan ditiru dan direkam oleh anak. Anak tidak tahu bahwa yang dilakukannya baik atau tidak bagi perkembangan selanjutnya bagi dirinya, karena anak Prasekolah belajar dari apa yang dia lihat, keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak yang berpengaruh sangat besar bagi kelanjutan perkembangannya. Haryoko (1997 : 54) berpendapat bahwa lingkungan sangat besar pengaruhnya sebagai stimulus dalam perkembangan anak, orang tua adalah guru ataupun orang yang pertama dalam memberikan pengasuhan dasar tentang semua perkembangan baik yang berhubungan dengan peletakan dasar moral, psikomotor, bahasa, seni serta keterampilan yang telah dimiliki anak.
Setiap anak pada dasarnya dilahirkan dengan membawa sejumlah potensi yang diwarisi dari kedua orang tua biologisnya, potensi bawaan adalah berbagai kemampuan yang dimiliki anak, potensi tersebut dapat berkembang secara alamiah (by natural) bila diberikan rangsangan melalui stimulus orang tua sedari dini secara tepat sehingga potensi fisik, meliputi kekuatan, ketahanan, daya ledak, kecepatan, koordinasi, kelenturan, keseimbangan, ketepatan, kelincahan dan potensi fisik meliputi berbagai aspek kecerdasan intelektual, emosional, mental, sosial, moral dan spiritual yang berkembang terhadap pembentukan pribadi anak di masa datang (Sujiono, 2004 : 32). Dalam memberikan pembelajaran tentang semua potensi yang dimiliki anak sejak usia dini tak lepas hubungannya dengan faktor pola asuh orang tua. Pengasuhan yang diberikan orang tua sangat menjadi dasar bagi perkembangan anak yang akan menjadikannya kelak sebagai pribadi yang berkarakter baik bagi dirinya dan bagi lingkungan sosialnya. Pengasuhan yang diberikan orang tua pada anaknya sangat berbeda cara dan metodenya, sehingga kualitas pengasuhannya pun akan berpengaruh pada anak secara berbeda pula. Hal ini berhubungan dengan bagaimana kedekatan anak dan orang tuanya dalam keseharian dan faktor latar belakang yang mewarnai kehidupan orang tua itu sendiri, baik yang berhubungan dengan lingkungan keluarganya, agama, kebudayaan, ekonomi maupun latar belakang pendidikan orang tua itu sendiri.
Pengasuhan orang tua yang diberikan pada anaknya bukanlah pengasuhan yang sifatnya sementara dan singkat, akan tetapi pengasuhan yang sifatnya interaksi antara orang tua dan anak secara langsung, sesuai pendapat Riyanto (2002 : 67) dalam mengasuh orang tua bukanlah hanya mampu mengkomunikasikan fakta, gagasan dan pengetahuannya saja, melainkan langsung membantu menumbuh kembangkan anak secara maksimal.
Dalam pelaksanaan pemberian pengasuhan seyogyanya orang tua tidak memaksakan kehendaknya, tetapi harus mengetahui apa yang dibutuhkan anak dan sesuai dengan usia perkembangan anak. Semua itu dimengerti oleh orang tua bila mereka mengerti dan peduli terhadap proses pengasuhan anak dalam keluarga. Kepedulian orang tua terhadap pengasuhan selain didasari faktor alami juga karena faktor latar belakang pendidikannya, peranan pendidikan masing-masing orang tua sangatlah berpengaruh pada pemberian pengasuhan. Anak akan menjadi tumbuh dan berkarakter karena peranan pengasuhan orang tua yang mendasarinya. Perbedaan pendidikan yang dimiliki orang tua akan dapat terlihat pada kualitas hasil proses pengasuhan.
Seiring dengan perkembangan kecerdasan emosional, seorang anak juga akan mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Hal ini terbukti dengan bertambahnya tinggi dan berat badan, untuk pertumbuhan anak secara pesat dibutuhkan nutrisi dan gizi yang cukup namun untuk perkembangan kecerdasan emosional membutuhkan berbagai pengalaman dalam berhubungan sosial dengan lingkungan serta pemahaman tentang perasaan. Kecerdasan emosional itu sendiri terkait dengan faktor-faktor pemberian pola asuh terhadap anak oleh orang tua.
Bagi anak yang masih dalam rentang usia 0 hingga 6 tahun, biasanya sangat memiliki kedekatan dengan orang tua karenanya pada masa inilah bimbingan dan pola asuh orang tua sangat menentukan perkembangan anak baik untuk berhubungan sosial, perkembangan tingkah laku secara maksimal maupun penumbuhan rasa percaya diri yang sangat berguna untuk masa depannya.
Ketika anak masih dalam usia batita (bawah tiga tahun) kecenderungan kelekatan dengan ibunya begitu kuat hal ini karena pada masa itu seorang anak masih membutuhkan ASI dari ibunya, sementara dalam kemampuan motoriknya belumlah sempurna sehingga ia juga membutuhkan bantuan orang tua ketika hendak melakukan sesuatu.
Pada usia di bawah tiga tahun, seorang anak memiliki ciri tak berdaya dalam menghadapi sesuatu, mencoba sesuatu yang baru menyenangi sesuatu yang menarik, sampai kadang bersikap egois dan bandel dari ciri sikap yang menonjol tersebut, sebenarnya anak sudah memerlukan adanya dukungan, penghargaan, pengertian dan dorongan dan bisa juga pujian dari orang tuanya.
Sebagai orang tua, kita dapat mewujudkan perhatian pada anak tersebut melalui pemberian hadiah seperti contohnya ketika buah hati terampil menggunakan alat makan maka kita orang tua harus jeli, bagaimana bisa menempatkan posisi buah hati sebagai anggota baru dalam meja makan. Target yang diharapkan dalam pembelajaran ini adalah melatih kemandirian atau menumbuhkan rasa percaya diri bagi buah hati kita.
Dalam kondisi yang serba terampil dan mulai adanya kekritisan pada fokus perhatiannya inilah kita sebagai orang tua mulai memberikan batasan yang konsisten berupa hal yang dapat dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Kebutuhan anak yang utama adalah pujian pendampingan dan perhatian dimana semua kebutuhan itulah yang nantinya dapat diterapkan ketika berhubungan sosial dengan orang lain. Seorang anak tidak akan mengetahui perilaku sesuai dengan kelompok sosial dan memiliki sumber motivasi untuk mendorongnya berbuat sesuka hati.
Dalam hal ini jelas awalnya jalan sosial diperoleh dalam lingkungan keluarga anak belajar dari orang tua, saudara kandung dan anggota keluarga yang lain apa yang dianggap benar dan salah dalam hubungan bagi perilaku yang salah dan dari penerimaan sosial atau penghargaan bagi perilaku yang benar, seorang anak akan memperoleh motivasi yang diperlukan untuk mengikuti standar perilaku yang diterapkan anggota keluarga.
Dengan memahami hal tersebut, sebaiknya orang tua memberikan pendidik terbaik kepada anak tanamkanlah nilai-nilai kehidupan yang baik pada masa ini kepada anak, tanamkanlah nila-nilai kehidupan yang baik pada masa ini kepada anak. Perilaku, sikap dan komitmen orang tua akan menjadi teladan dan sumber yang akan ditiru oleh anak-anak.
Stimulasi dini adalah rangsangan-rangsangan atau stimulus yang diberikan kepada anak oleh lingkungan sekitarnya, terutama orang tuanya agar anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dengan stimulasi dini ini diharapkan perkembangan motorik anak berjalan baik sehingga dapat mengikuti pendidikan berikutnya.
Peranan orang tua di sini sangatlah penting pada aktifitas pemberian pola asuh pada anaknya pada dasarnya orang tua adalah pembentuk akhlak dan dasar tingkah laku yang nantinya akan berperan pada fase perkembangan selanjutnya, sehingga sangatlah penting wawasan dan pendidikan orang tua dalam upaya peletakan pola asuh di dalam keluarga. Adapun pendidikan tersebut, tidaklah harus dilihat dari pendidikan formal yang di peroleh, pendidikan non formal pun (pendidikan agama) sangatlah diperlukan dalam pemberian pola asuh yang sesuai dengan kebutuhannya pada masa fase perkembangannya.
Betapa banyak orang tua yang ingin anak-anaknya menjadi anak yang cerdas otak rasionalnya, cerdas emosionalnya juga kecerdasan jamak lainnya. Semua kecerdasan bisa didapat bila diasuh oleh orang tua yang pintar dalam membentuk semua itu, walaupun unsur kesiapan menerima kehadiran anak juga tak kalah pentingnya berperan dalam pengasuhan anak.
Kriteria untuk berperan sebagai orang tua ideal memang tidak sederhana baik bagi mereka yang berpendidikan rendah ataupun yang berpendidikan tinggi orang tua yang berperan ganda seperti ibu misalnya, tentu saja memiliki keterbatasan waktu dan tenaga untuk memberikan sentuhan fisik maupun psikologis bagi anak-anaknya sekalipun demikian ibu yang ideal untuk mencapai kriteria ideal, paling tidak, orang tua menunjukan semangat dan upaya untuk berusaha lebih baik dalam memenuhi kebutuhan anaknya di berbagai sisi, baik fisik, psikologis maupun sosial anak.
Erikson (1993 : 98), seorang ahli dalam bidang perkembangan menjelaskan pentingnya peran orang tua dalam mengembangkan aspek psikososial anak orang tua yang memberikan kehangatan, kenyamanan, cinta dan kasih sayang pada anak sejak usia dini, akan memungkinkan anak mengembangkan rasa percaya pada lingkungannya bila bisa melalui tahap-tahap ini dengan baik, anak akan lebih mudah mengembangkan percaya diri dan inisiatif pada dirinya dengan kata lain anak tidak akan di dominasi oleh rasa ragu ataupun cemas dalam mengeksploitasi lingkungannya.
Uraian di atas fokusnya ada pada orang tua sebagai sentralnya dalam keluarga, hal ini menjadi suatu rujukan dari beberapa pemikiran yang mendasari penelitian tentang pola asuh dan pendidikan orang tua.
Dari segi ini jelaslah pula adanya perbedaan pola asuh yang diberikan pada anaknya kita tahu pada umumnya jelaslah bisa dilihat bagaimanakah peranan seorang suami/istri yang pendidikannya lebih tinggi dari pasangannya, betapa akan sangat terlihat mereka lebih tertata dalam penanaman pola asuh pada anaknya baik dari segi bahasa ataupun teladan yang lain dalam penerapan dalam peletakan pengasuhan berwawasan lebih luas akan lebih terarah pola asuh dalam penerapan keseharian, mereka yang berpendidikan lebih tinggi pastinya akan menggunakan pola asuh yang penuh dengan keakraban (demokratis) orang tua dan anaknya, mereka sadar akan pentingnya pemberian pola asuh yang tepat akan berdampak positif pada belahan jiwanya. Hal ini pun tak lepas dari faktor karakter dari masing-masing orang tua, hanya saja suami atau istri yang lebih tinggi pendidikannya akan lebih dominan dalam mewarnai pola asuh yang diterima anak-anak pada umumnya.
Wujud kasih sayang seseorang memang beragam bentuknya ada yang dinyatakan secara lisan, tulisan. Adapula yang terlihat dalam sikap dan perilaku, demikian pula wujud kasih sayang orang tua kepada anak bisa di nyatakan dengan cara yang berbeda, sesuai dengan keyakinan atau prinsip, wawasan atau pengetahuan yang sedikit banyak dipengaruhi oleh faktor kondisi atau situasi.
Namun demikian, penerimaan anak tentang sayang tidaknya orang tua terhadap mereka tentu saja berbeda jika di lihat dari segi usia. Kualitas dan kuantitas interaksi yang diberikan orang tua akan sangat berpengaruh terhadap ikatan emosi yang terjalin diantara mereka. Dengan demikian untuk anak usia dini, kuantitas pertemuan tidaklah cukup sebagai bukti kasih sayang.
Kualitas harus diiringi dengan kuantitas anak usia dini perlu sentuhan baik fisik maupun psikologis yang intensif. Kebersamaan dengan orang tua dalam rumah sangat memungkinkan anak bisa mengungkapkan perasaannya di kala sedih dan suka. Mendapatkan jawaban tentang berbagai hal yang ingin diketahuinya, mendapatkan perhatian dan pujian serta, serta hal positif lainnya di saat yang dibutuhkan kebersamaan anak dengan orang tuanya selama sekian waktu dalam sehari tentu saja menumbuhkan ikatan emosi mereka akan merasa saling kehilangan jika tidak bersama. Berkaitan dengan hal ini tentu saja ekstra tenaga dan kesabaran orang diperlukan untuk meminimalkan masalah yang mungkin terjadi. Green (2005 : 89) mengatakan jika para ibu yang ingin bekerja atau harus bekerja di luar rumah menjalankan segala kehidupannya dan berhenti merasa bersalah, tetapi hidup mereka akan lebih bahagia walaupun secara kuantitas waktu ibu bekerja tidak bisa memberikan terbaik untuk anak, paling tidak mereka bisa mengoptimalkan kualitas kebersamaan dengan anak dalam waktu yang terbatas untuk meminimalkan masalah yang mungkin terjadi.
Hal ini seharusnya disadari lawan pasangan masing-masing karena sudah ada kesepakatan diantara keduanya. Anak tumbuh dan berkembang di bawah asuhan orang tua. Melalui orang tua, anak beradaptasi dengan lingkungannya dan mengenal dunia sekitarnya serta pola pergaulannya hidup yang berlaku di lingkungannya. Ini disebabkan oleh orang tua merupakan dasar pertama bagi pembentukan pribadi anak.
Masing-masing orang tua tentu saja memiliki pola asuh tersendiri dalam mengarahkan perilaku anak. Semua jelas sangatlah dipengaruhi oleh faktor latar belakang pendidikan orang tua, orang tua dalam memberikan pengasuhan tentang pendidikan, sopan santun, membentuk latihan-latihan tanggung jawab, yang semua penerapannya pun pasti dari pengalamannya dalam keluarganya ataupun lingkungannya, baik lingkungan sosial lingkungan pendidikan maupun lingkungan budayanya. Manakala suami istri di masa kalanya menerima penerapan pola arah yang baik niscaya mereka pun akan memberikan pelayanan pola asuh yang lebih baik pula ke anaknya ataupun generasi selanjutnya, secara sadar pun bilamana dulu orang tua mendapatkan pengalaman pola asuh yang kurang baik pun, dengan sendirinya orang tua akan membuangnya jauh-jauh dan tidak ingin semuanya terulang pada anak-anaknya.
Pengasuhan sosial yang diberikan orang lain akan sangat bermanfaat bagi anak kita, karena dengan pengasuhan etika dan moral pada anak, anak akan memiliki keterampilan ber sosial dan juga akan lebih bisa menahan diri, mengontrol emosi dan menghargai peraturan yang berlaku dalam masyarakat. Etika dan sistem nilai adalah sesuatu yang dipandang paling dan di junjung tinggi (Guhardja, Harroyo, Puspitawati & Hastuti, 1994).
Dari semua fenomena tentang pengasuhan orang tua diatas, membuka inisiatif peneliti untuk lebih jelas dalam memahami dan mendalami tentang hubungan perbedaan pendidikan orang tua dengan pola pengasuhan. Peneliti mengambil sampel langsung dari masyarakat desa X yang mempunyai anak usia dini dengan mengambil batasan pendidikan orang tua dari SMP sampai dengan yang berpendidikan sarjana.

B. Identifikasi Masalah
Pendidikan orang tua merupakan pondasi bagi pendidikan anak di kemudian hari, semakin baik pendidikan orang tua maka dimungkinkan akan lebih memberikan peluang pendidikan, peluang orientasi, peluang ketahanan dan kekebalan hidup. Selanjutnya Tingkat pendidikan orang tua akan saling melengkapi dalam menata kehidupan di keluarganya, asumsi kemanusiaan seorang yang berpendidikan tinggi maka akan mencari pasangan yang minimal pendidikannya setara atau satu tingkat diatas atau di bawahnya, walaupun masih bisa ditemukan Tingkat pendidikan yang jauh tetapi dalam prosentase sedikit.
Selanjutnya bahwa tingkat pendidikan tetap saja memberikan pengaruh yang besar terhadap pola asuh yang dilakukan dan diberikan kepada anak di keluarganya, hal ini tentunya akan memberikan gambaran tentang pengaruh perbedaan tingkat pendidikan orang tua terhadap pola asuh anak.

C. Batasan Masalah
Dalam penelitian ini membatasi masalah sangat penting untuk memberikan arah yang jelas terhadap masalah yang akan diteliti. Peneliti menjadi terarah dan dapat memberikan nilai praktis bagi peneliti. Hal penting dalam keluarga adalah pola asuh bagi anak yang dilatarbelakangi berbagai faktor, diantaranya lingkungan, sosial budaya serta pendidikan orang tua. Dalam penelitian ini yang di kaji adalah pola asuh yang didasari oleh pendidikan orang tua.
Salah satu cara untuk mencapai kemajuan pada suatu sekolah adalah adanya gaya kepemimpinan kepala sekolah. Penulis membatasi masalah dalam penelitian ini yaitu sejauh mana Tingkat pendidikan orang tua terhadap pola asuh.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah diatas peneliti berkeinginan melaksanakan penelitian yang berjudul hubungan antara tingkat pendidikan orang tua terhadap orientasi pola asuh, selanjutnya untuk mengetahui : 
(1) Menganalisis dan mendeskripsikan hubungan tingkat pendidikan orang tua terhadap pola asuh anak usia dini ?
(2) Apa dampak dari perbedaan tingkat pendidikan orang tua terhadap pola Asuh anak usia dini ?

E. Tujuan Penelitian
(1) Untuk mengetahui pengaruh perbedaan tingkat pendidikan orang tua terhadap pola asuh anak usia dini.
(2) Untuk mengetahui dampak dari adanya perbedaan tingkat pendidikan keluarga terhadap pola asuh anak usia dini.

F. Manfaat
(1) Manfaat Teoritis.
Diharapkan dapat memberikan manfaat dan untuk menambah dan mengembangkan dalam kecakapan pengetahuan terutama mengenai pola asuh.
(2) Manfaat Praktis.
1) Bagi orang tua.
Dapat digunakan sebagai acuan atau masukan dalam pendidikan pola asuh anak di keluarga.
2) Bagi sekolah.
Dapat digunakan sebagai masukan dalam penanganan pola asuh di lingkungan pendidikan.
3) Bagi Peneliti.
Dapat menerapkan pola asuh yang benar khususnya bagi anak sendiri dan bagi lingkungan masyarakat pada umumnya.

SKRIPSI KEBIJAKAN PEMERINTAH KABUPATEN DALAM MENINGKATKAN KUALITAS GURU TAMAN KANAK-KANAK

SKRIPSI KEBIJAKAN PEMERINTAH KABUPATEN DALAM MENINGKATKAN KUALITAS GURU TAMAN KANAK-KANAK

(KODE : PG-PAUD-0061) : SKRIPSI KEBIJAKAN PEMERINTAH KABUPATEN DALAM MENINGKATKAN KUALITAS GURU TAMAN KANAK-KANAK



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah dan tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia dalam memenuhi hak setiap warga negara memperoleh pendidikan yang berkualitas sesuai dengan kemampuan Intelektual dan fisiknya kelihatannya masih belum dapat diatasi secara tuntas. Persoalan mutu Pendidikan Nasional juga masih belum sepenuhnya seperti yang diharapkan.
Menanggulangi masalah pemerataan dan perluasan akses memperoleh pendidikan dan peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing sekaligus di dalam waktu yang bersamaan merupakan hal yang rumit. Permasalahan pendidikan tidaklah berdiri sendiri tetapi terkait dengan aspek masukan, proses, dan keluaran. Masukan pendidikan mencakup antara lain peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan, kurikulum, sarana dan prasarana pendidikan, dana dan perangkat peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang berlaku serta lingkungan. Masing-masing komponen masukan ini memiliki karakteristik yang sangat majemuk dan sulit dapat distandarkan.
Salah satu komponen masukan yang sangat strategis adalah ketersediaan Guru TK yang secara kuantitas dan kualitas masih belum memenuhi kebutuhan khususnya di Kabupaten X.
Di samping jumlah dan kemampuan pendidik yang diperlukan beraneka ragam, karakteristik peserta didiknya juga sangat majemuk dilihat dari usia, latar belakang pendidikan sosial, ekonomi dan budaya. Rentang dan jangkauan Guru TK semakin meluas apabila dibawa ke konteks pendidikan sepanjang hayat yang berarti permasalahannya pun semakin kompleks termasuk berkaitan dengan Guru TK yang dibutuhkan.
Untuk menanggulangi masalah mutu pendidik itu program peningkatan mutu Guru TK di bertujuan untuk meningkatkan kecukupan jumlah Guru TK, meningkatkan kemampuannya, kemampuan melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan dan pembelajaran pada setiap satuan Pendidikan Anak Usia Dini.
Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang bermutu, berarti bahwa tanggung jawab penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional untuk menjamin warga negara Indonesia, siapapun dan dimanapun akan dapat memperoleh pendidikan yang bermutu. Untuk itulah dalam penyelenggaraan pendidikan Nasional dikenal Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan.
Berkaitan dengan pemahaman tentang pentingnya setiap peserta didik memperoleh pendidikan bermutu yang dapat dipertanggungjawabkan secara kependidikan dan profesional, upaya peningkatan kualitas Guru TK harus dipahami sebagai upaya meratakan mutu pelayanan Guru TK pada Pemerintah Kabupaten X. 
Seiring dengan meningkatnya tuntutan mutu pendidikan, lembaga pendidikan semakin berbenah diri. Salah satu komponen penyelenggaraan pendidikan yang banyak disorot adalah pendidik atau guru, baik secara kualitas maupun secara kuantitas. Disadari bahwa pendidik merupakan garda terdepan pendidikan yang langsung berhubungan dengan peserta didik. Oleh karena itu tidak heran apabila mutu pendidikan sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan.
Kondisi dan fakta yang dapat diamati di wilayah bahwa ketersediaan Guru TK yang secara kuantitas dan kualitas masih belum memenuhi kebutuhan, di samping itu adanya faktor yang sangat mempengaruhi mutu para Guru TK adalah faktor ekonomi sehingga belum dapat memenuhi standar kualifikasi pendidikan yaitu (S1) Sarjana. Hal lainnya adalah belum dibentuknya Peraturan Daerah yang di dalamnya membahas tentang peningkatan kualitas pendidik, khususnya Guru TK di sehingga upaya menuju profesionalitas Guru TK dirasakan masih banyak menemui hambatan, padahal profesionalitas Guru PAUD menjadi investasi berharga bagi kemajuan bangsa, karena berbagai studi telah membuktikan bahwa pengembangan dan pendidikan anak usia dini merupakan investasi yang strategis dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Perubahan dalam pengembangan sumber daya manusia yang terjadi sekarang ini, di wilayah dalam pendidikan khususnya dalam komponen tenaga Guru TK prosesnya menemui berbagai permasalahan. Permasalahan tersebut baik bersifat klasikal maupun kontemporer seiring dengan perubahan yang berlangsung. Permasalahan memang tidak dapat dihindari dalam setiap interaksi. Akan tetapi bila tidak diupayakan solusinya dari permasalahan tersebut akan besar. Adapun permasalahan yang melekat dalam pengembangan tenaga Guru TK di yaitu pertama masalah tenaga pendidik yang belum memenuhi persyaratan dan kualifikasi sebagai pendidik atau Guru TK. Yang kedua masalah sistem dan manajemen, yaitu masih lemahnya dalam membangun sistem struktur kendali di Pemerintahan Daerah X, sehingga manajemen belum dapat berjalan sebagaimana mestinya.

B. Fokus Penelitian
Penelitian tentang Kebijakan Pemerintah ini akan difokuskan di Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten (DIKPORA) berdasarkan tugas pokok dan fungsi DIKPORA.

C. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dikemukakan selaras dengan fokus penelitian seperti tersebut di atas : 
1. Bagaimana Kebijakan Pemerintah melalui Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga dalam upaya peningkatan kualitas Guru TK ?
2. Apa saja hambatan-hambatan yang dihadapi dalam upaya peningkatan kualitas Guru TK ?
3. Bagaimana Strategi dalam peningkatan kualitas Guru TK di Kabupaten Y ?

D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui Kebijakan Pemerintah melalui Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga dalam upaya peningkatan kualitas Guru TK.
2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi dalam upaya peningkatan kualitas Guru TK.
3. Untuk mengetahui strategi dalam peningkatan kualitas Guru TK.

E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Mahasiswa
Sebagai wahana untuk melatih pemikiran dan penerapan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh dalam penyusunan karya ilmiah.
2. Bagi Pemerintah Daerah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan kajian dalam membuat kebijakan-kebijakan pendidikan yang berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas pendidik anak usia dini khususnya Guru Taman Kanak-Kanak.
3. Bagi Guru Taman Kanak-kanak
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menunjang proses pendidikan dan pembelajaran pada setiap satuan pendidikan Taman Kanak-kanak.
4. Bagi Ilmu Pengetahuan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah perbendaharaan ilmu pengetahuan yang telah ada.

SKRIPSI IMPLEMENTASI PENDEKATAN SELARAS PERKEMBANGAN (DAP) DALAM PEMBELAJARAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA 4 SAMPAI 6 TAHUN

SKRIPSI IMPLEMENTASI PENDEKATAN SELARAS PERKEMBANGAN (DAP) DALAM PEMBELAJARAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA 4 SAMPAI 6 TAHUN

(KODE : PG-PAUD-0060) : SKRIPSI IMPLEMENTASI PENDEKATAN SELARAS PERKEMBANGAN (DAP) DALAM PEMBELAJARAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK USIA 4 SAMPAI 6 TAHUN


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Masa kanak-kanak awal merupakan masa emas perkembangan anak atau sering disebut dengan the golden age, dimana potensi anak dari manapun dia berasal berdasarkan riset terkini diyakini sangat luar biasa dan menakjubkan (sarwa potensi). Gambaran tentang potensi anak yang diyakini terpercaya, secara sederhana saat ini salah satunya ditunjukkan dengan teridentifikasi beberapa ragam kecerdasan anak. Hurlock (1978) menyatakan bahwa sedikitnya terdapat enam tugas perkembangan pada masa kanak-kanak awal ini, namun yang paling sulit bagi anak adalah belajar untuk berhubungan secara emosional dengan orang tua, saudara-saudara kandung dan orang lain. Hal ini berkaitan dengan ciri-ciri atau karakteristik anak yang bersangkutan. Seorang guru anak usia dini sewajarnya memahami bahwa komponen anak merupakan komponen terpenting dalam proses pengajaran. Karenanya proses pengajaran itu harus diciptakan atas dasar pemahaman siapa dan bagaimana anak tumbuh dan berkembang.
Dengan kata lain kegiatan pembelajaran yang secara praktis dikembangkan guru di TK dituntut untuk berorientasi pada perkembangan anak (DAP) secara tepat, merujuk pada pemahaman yang mendalam (philosophy) tentang pentingnya pengejawantahan pengetahuan mengenai perkembangan anak ke dalam setiap keputusan pengembangan program dan praktek pembelajaran. Pendekatan selaras perkembangan mendasarkan pada pemahaman baik dimensi umur anak maupun dimensi individunya. Dengan pendekatan selaras perkembangan pembelajaran berorientasi pada apa yang anak sukai, anak harapkan atau anak inginkan. Pendekatan selaras perkembangan menghendaki pembelajaran menjadi lebih bersifat "child initiated, child-directed" dan "teacher-supported". Ketiganya sebagai komponen esensial dalam pendekatan selaras perkembangan (Carol, 1995).
Agar dapat mengintegrasikan tujuan, kegiatan dan perkembangan anak, guru harus (mutlak) memahami kebutuhan dan karakteristik perkembangan anak. Jadi, kriteria utama bagi seorang guru jika ingin sukses menyandang gelar sebagai guru Taman Kanak-Kanak profesional adalah dengan membekali diri berupa kemampuan (kompetensi) untuk menyelami perkembangan dan karakteristik anak. Guru juga harus mampu menyediakan arahan dan bimbingan yang tepat bagi anak agar mereka dapat mengeksplorasi lingkungannya melalui setiap tahap perkembangan yang bermakna dan belajar dalam situasi yang menyenangkan, menarik, serta relevan dengan pengalaman mereka.
Salah satu keterampilan yang penting untuk dikuasai anak pada masa kanak-kanak awal (prasekolah) adalah keterampilan sosial. Dengan mengembangkan keterampilan sosial sejak dini akan memudahkan anak dalam memenuhi tugas-tugas perkembangan berikutnya sehingga anak dapat berkembang secara normal dan sehat. Menurut teori Moeslichatoen (dalam http://docstoc.com yang diakses pada tanggal 24 Februari 2010) mengungkapkan keterampilan sosial pada anak usia prasekolah antara lain : membina dan menanggapi hubungan antar pribadi dengan anak lain secara memuaskan, tidak suka bertengkar, tidak ingin menang sendiri, berbagi kue dan mainan, juga sering membantu.
Perkembangan sosial anak dimulai dari egosentrik, individual ke arah interaktif, dan kelompok. Perkembangan sosial yang meliputi dua aspek penting yaitu kompetensi sosial dan tanggung jawab sosial (Kostelnik, Soderman, & Waren : 1993). Kompetensi sosial menggambarkan kemampuan anak untuk beradaptasi dengan lingkungan sosialnya secara efektif. Sedangkan tanggung jawab sosial antara lain ditunjukkan oleh komitmen anak terhadap tugas-tugasnya, menghargai perbedaan individual, memperhatikan lingkungannya, dan mampu menjalankan fungsinya sebagai warga negara yang baik. Tentu saja perkembangan sosial tersebut berjalan secara bertahap.
Keterampilan sosial perlu dikuasai anak karena akan membekali anak untuk memasuki kehidupan sosial yang lebih luas baik di lingkungan rumah terlebih lagi di lingkungan sekolah yang akan segera dimasukinya. Lingkungan pertama tempat anak melatih keterampilan sosialnya selain di lingkungan keluarga adalah lingkungan sekolah dan pihak yang cukup berkompeten dalam mengenalkan bagaimana cara berinteraksi dengan lingkungan adalah guru TK. Oleh karena itu pembelajaran di TK pada tahap awal lebih dominan kegiatan individual dari pada kegiatan kelompok, akan tetapi kegiatan kelompok kecil dan klasikal juga penting untuk memperkenalkan kepada tentang keterampilan sosial. Adanya interaksi dengan anak yang lain, anak mulai mengenal adanya perbedaan pola pikir dan keinginan dari anak lainnya. Hal ini membuat egosentrismenya semakin berkurang, mengembangkan rasa empati dan melatih kerjasama.
Namun berdasarkan hasil penelitian Wisnu Sri Hertinjung, Pratini, dan Wiwin Dinar Pratisti dalam penelitiannya yang berjudul Keterampilan Sosial Anak Pra Sekolah ditinjau dari Interaksi Guru-Siswa Model Mediated Learning Experience di TK Aisyiyah Pabelan kelompok B tahun 2007 menyatakan bahwa yang terjadi adalah orang dewasa jarang memberikan penguatan yang memadai kepada anak, sehingga mengakibatkan kurang berkembangnya keterampilan sosial anak. Banyak guru mengeluh tentang bagaimana cara menerapkan keterampilan sosial pada awal masuk sekolah, dikarenakan ada permasalahan sosial yang sering dialami seperti tidak mau di tinggal sedangkan orang tua harus bekerja, anak bermain sendiri karena tidak mempunyai teman bermain yang dikenal dan atau bersikap menang sendiri. Hal tersebut terjadi disebabkan lingkungan Taman Kanak-Kanak merupakan lingkungan baru bagi anak. Begitu juga teman-teman bermain yang belum anak-anak kenal. Di pihak lain guru pun memiliki banyak target yang harus dicapai dan seringkali lebih banyak memberikan perangsangan kognitif.
Akan tetapi berbeda dengan keadaan di Taman Kanak-Kanak X dan TK Y di kabupaten X. Berdasarkan pengamatan peneliti dari 36 TK di X beberapa bulan sebelum penelitian di Taman Kanak-Kanak X dan TK Y dimana setiap hari sebagian besar anak tidak ditunggu oleh orang tuanya. Jadi orang tua hanya mengantar dan menjemput saja. Anak-anak bermain bersama-sama, mau diajak berkomunikasi dengan orang dewasa dan frekuensi bermusuhan yang sedikit. Selain dilihat Selain itu juga berdasarkan panduan pengembangan kegiatan selaras perkembangan guru yang berkualifikasi untuk bekerja menangani usia 4 sampai 6 tahun adalah guru yang berijazah sesuai program pendidikan anak-anak, dalam hal ini adalah S1 PAUD dan pernah mengikuti pelatihan tentang pendekatan selaras perkembangan.
Prestasi yang pernah diraih oleh kedua TK tersebut juga cukup banyak baik dari guru ataupun anak. Hal ini berkat pengembangan bakat dan minat anak didik yang dilakukan oleh guru sendiri sehingga tersalurkan dengan baik dan memperoleh prestasi. Anak diberi kesempatan untuk mengembangkan bakat yang didukung dengan sarana dan prasarana sekolah. Kedua TK tersebut mempunyai karakter yang berbeda, terlihat dalam penyusunan program kegiatan untuk menunjang dan menambah pengetahuan anak di luar sekolah. TK X dalam melaksanakan kegiatan tanpa didampingi oleh orang tua sehingga anak mandiri, disiplin dan mempunyai hubungan sosial yang baik dengan teman yang lain. Komite juga berjalan dengan baik. Begitu juga dengan TK Y dimana setiap minggu sekali mendapat pembinaan dari kepolisian untuk pengenalan aturan lalu lintas sehingga anak sudah mengenal aturan dan disiplin baik di dalam kelas ataupun di jalan raya.
Berdasarkan dari hasil observasi tersebut diduga di TK X dan TK Y telah menggunakan pendekatan selaras perkembangan dalam pembelajaran keterampilan sosial.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian deskripsi ini adalah sebagai berikut : 
1. Bagaimana gambaran implementasi pendekatan yang selaras perkembangan (DAP) dalam pembelajaran keterampilan sosial anak usia 4 sampai 6 tahun pada TK X dan TK Y.
2. Apakah faktor yang menghambat implementasi DAP dalam pembelajaran keterampilan sosial anak usia 4 sampai 6 tahun pada TK X dan TK Y ?
3. Apakah faktor yang mendukung implementasi DAP dalam pembelajaran keterampilan sosial anak usia 4 sampai 6 tahun pada TK X dan TK Y ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 
1. Memberikan gambaran tentang implementasi pendekatan selaras dengan perkembangan (DAP) dalam pembelajaran keterampilan sosial anak usia 4 sampai 6 tahun TK X dan TK Y pada saat pembelajaran. 
2. Menjelaskan tentang faktor penghambat pelaksanaan penerapan pendekatan selaras dengan perkembangan (DAP) dalam pembelajaran keterampilan sosial.
3. Menjelaskan tentang faktor pendukung dari penerapan pendekatan selaras perkembangan (DAP) dalam pembelajaran keterampilan sosial.

D. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yang berarti bagi perorangan/institusi sebagai berikut : 
1. Manfaat Teoretis
Pengembangan IPTEK, diharapkan memberikan kontribusi yang baik pada pengembangan ilmu pengetahuan berupa informasi tentang implementasi pendekatan selaras dengan perkembangan (DAP).
2. Manfaat Praktis
a. Bagi guru : dengan dilaksanakannya penelitian ini, menambah wawasan guru dan lebih memahami pendekatan selaras dengan perkembangan serta diharapkan dapat menerapkan ke anak didik.
b. Bagi peneliti : penelitian ini akan memberi pengalaman serta menambah wawasan dalam memahami pendekatan selaras dengan perkembangan untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan.
c. Bagi institusi : hasil penelitian ini akan memberi sumbangan yang baik bagi sekolah dalam rangka perbaikan sistem pembelajaran dan sebagai bentuk inovasi model pendek.

SKRIPSI STUDI DESKRIPTIF TENTANG KINERJA GURU TK YANG TELAH MENDAPATKAN SERTIFIKASI DITINJAU DARI KOMPETENSI PEDAGOGIK, KEPRIBADIAN, PROFESIONAL DAN SOSIAL

SKRIPSI STUDI DESKRIPTIF TENTANG KINERJA GURU TK YANG TELAH MENDAPATKAN SERTIFIKASI DITINJAU DARI KOMPETENSI PEDAGOGIK, KEPRIBADIAN, PROFESIONAL DAN SOSIAL

(KODE : PG-PAUD-0059) : SKRIPSI STUDI DESKRIPTIF TENTANG KINERJA GURU TK YANG TELAH MENDAPATKAN SERTIFIKASI DITINJAU DARI KOMPETENSI PEDAGOGIK, KEPRIBADIAN, PROFESIONAL DAN SOSIAL



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru tidak hanya diwajibkan memiliki kualifikasi akademik, tetapi juga kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan kompetensi professional. Sertifikasi menjadi terobosan untuk mendongkrak mutu pendidikan dan kesejahteraan guru.
Survei yang dilaksanakan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) mengenai dampak sertifikasi terhadap kinerja guru menyatakan bahwa kinerja guru yang sudah lolos sertifikasi belum memuaskan. Hal ini terlihat pada guru TK Kabupaten X yang telah mendapatkan sertifikasi bekerja dengan pola lama.
Guru TK di Kabupaten X yang telah lolos sertifikasi rentang waktu 2007 sampai dengan 2010 sebanyak 17 orang. Dari sekian guru yang telah tersertifikasi ternyata masih ada guru yang belum melaksanakan pekerjaan dengan professional. Hal ini terlihat (dari hasil pengamatan dan diskusi kecil dengan rekan-rekan guru) masih ada guru yang sering terlambat dalam menunaikan kewajibannya. Begitu juga dalam hal pelaksanaan proses pembelajaran di sekolah masih banyak guru yang asal-asalan dalam membimbing dan mengarahkan para siswanya. Pembelajaran pun masih monoton dan tidak kreatif.
Hasil survei itu memperkuat dugaan sebagian masyarakat bahwa program ini bisa berkecenderungan menjadi "proyek" formalitas. Sertifikasi guru yang berdampak pada kenaikan tunjangan ternyata belum berkorelasi positif dengan peningkatan kualitas pendidikan dan guru. Sertifikasi yang bertujuan untuk standarisasi kualitas guru berubah menjadi ajang mendapatkan kenaikan tunjangan semata, sekedar formalitas dengan menunjukkan portofolio yang mereka dapat dengan cara cepat.
Motivasi kerja yang tinggi justru ditunjukkan guru-guru di berbagai jenjang pendidikan yang belum lolos sertifikasi. Harapan mereka adalah segera lolos sertifikasi berikut memperoleh uang tunjangan profesi (http://suaraguru.wordpress.com). Hasil survei tersebut memperkuat dugaan sebagian besar masyarakat yang menyebut "proyek" program sertifikasi guru itu sekadar formalitas. Para guru yang belum tersertifikasi terlihat bekerja keras (dengan berbagai cara sampai pada cara-cara instan) demi mendapatkan sertifikasi guru. Lebih dari itu, tujuan lainnya adalah memperoleh tunjangan profesi yang jumlahnya lumayan besar.
Kerja keras guru tersebut ternyata hanya berlaku saat akan mengikuti sertifikasi. Tapi, pasca sertifikasi, kemampuan dan kualitas guru sama saja. Dengan kata lain, ada atau tanpa sertifikasi, kondisi dan kemampuan guru sami mawon atau sama saja. Tidak ada perubahan dan peningkatan signifikan pada kualitas diri dan pembelajaran di sekolah. Mengapa itu terjadi ?
Jika merujuk pedoman yang dikeluarkan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), sertifikasi merupakan upaya peningkatan kualitas guru yang dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan mereka. Diharapkan, program itu meningkatkan mutu pembelajaran dan pendidikan di Indonesia secara berkelanjutan. Bentuk peningkatan kesejahteraan tersebut berupa pemberian tunjangan profesi (TP) sebesar satu kali gaji pokok bagi guru yang memiliki sertifikat pendidik. Tunjangan itu berlaku bagi guru yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) maupun yang bukan atau non-PNS.
Namun, ada beberapa catatan kritis yang perlu terus dikemukakan sebagai pengingat. Pertama, sertifikasi berpotensi menjadi komersialisasi sertifikat. Para guru hanya berorientasi pada selembar sertifikat/portofolio. Bahkan, para guru berani membayar berapa pun untuk ikut kegiatan seminar atau workshop pendidikan, meski hasilnya tak sesuai dengan harapan. Tujuan asasi sertifikasi, yakni meningkatkan kualitas dan kompetensi guru, akhirnya memudar.
Kedua, bermunculan berbagai lembaga penyedia jasa seminar atau workshop awu-awu. Mereka mencari para guru yang "gila" akan sertifikat sebagai lampiran dalam portofolio. Bahkan, tidak sedikit lembaga penyedia sertifikasi instan yang memanfaatkan antusiasme guru yang berorientasi pada selembar sertifikat. Tapi, kegiatan riil nya tidak jelas. Makelar-makelar pendidikan pun tumbuh subur di tengah kebutuhan para guru mendapatkan sertifikat atau portofolio. Kegiatan yang dilakukan penyedia jasa tersebut hanya formalitas, bahkan berorientasi materi. Bagi penyelenggara, yang penting dapat memberikan sertifikat yang dibutuhkan para guru.
Ketiga, selama ini sertifikasi guru hanya didominasi dan dimonopoli guru PNS. Sedangkan guru swasta cenderung dianaktirikan. Seharusnya, pemerintah bersikap adil dan tidak diskriminatif dalam kebijakan sertifikasi. Guru swasta mempunyai hak sama untuk mendapatkan sertifikasi guna meningkatkan kualitas dan kompetensi, juga tunjangan.
Keempat, ternyata kebijakan sertifikasi bagi guru cenderung berorientasi pada harapan kenaikan tunjangan, bahkan sekadar formalitas yang ditunjukkan dengan sebuah portofolio. Kadang portofolio itu juga bermasalah dalam pengajuannya (manipulasi dan instanisasi). Portofolio bisa saja dipermainkan oleh guru yang hanya mengejar kenaikan tunjangan. Dengan begitu, tujuan awal sertifikasi, yaitu menghasilkan standardisasi dan kualifikasi guru yang kapabel dan kredibel, pudar. Penilaian terhadap kualitas dan kompetensi guru yang diwujudkan dalam portofolio tersebut berpotensi subjektif.
Kelima, sertifikasi guru yang berdampak pada kenaikan tunjangan ternyata belum berkorelasi positif dengan peningkatan kualitas pendidikan dan guru. Sertifikasi yang bertujuan standardisasi kualitas guru berubah menjadi ajang mendapatkan kenaikan tunjangan saja. Sudah beberapa kali gaji tunjangan guru dinaikkan, tapi hasil dan kinerja mereka masih rendah saja. Uang miliaran rupiah yang dikeluarkan untuk program sertifikasi itu bisa sia-sia karena tak berbekas pada peningkatan kualitas pendidik dan pengajaran.
Berdasar data Depdiknas, sampai 2010 sudah ada sekitar 400.450 guru yang masuk program sertifikasi. Di antara jumlah tersebut, yang sudah dinyatakan lulus 361.460 guru. TP tidak serta-merta bisa dimiliki semua guru. Meski, pemberian TP tidak dihentikan -dalam hal ini Depdiknas berencana tetap mengevaluasi secara ketat program tersebut. Tahun ini Depdiknas bakal mengeluarkan standar operasional prosedur (SOP) yang digunakan untuk memantau kinerja guru seiring dengan dilaksanakannya sertifikasi (http://suaraguru.wordpress.com).
Dalam implementasinya, dinas pendidikan kabupaten/kota bertanggung jawab penuh dan akan langsung memantau kinerja peserta sertifikasi. Jika memang guru tak memenuhi kewajiban, TP bisa dihentikan. Selain itu, bila dalam pemantauan guru tersertifikasi memiliki kinerja rendah, tidak tertutup kemungkinan TP-nya dihentikan. Dengan kata lain, TP bakal terus diberikan kepada guru tersertifikasi dengan kinerja yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Sekjen Depdiknas Dodi Nandika, nanti TP diberikan berdasar kinerja (http://suaraguru.wordpress.com).
Akhirnya, dinas pendidikan didorong untuk memperbaiki dengan lebih maksimal agar program sertifikasi mampu melahirkan kualitas dan profesionalitas guru yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas pendidikan, tak sekadar guru memperoleh tunjangan materi.
Kebijakan dan program sertifikasi guru itu perlu diawasi lebih ketat agar tidak menjadi formalisme atau sekadar ajang mendapatkan TP. Apalagi, terjadi manipulasi dokumen ataupun portofolio. Karena itu, para guru yang telah mendapatkan sertifikasi perlu dipantau terus-menerus, apakah memiliki kapasitas dan kompetensi yang sebenarnya dalam mengajar. Yang lebih penting lagi adalah peningkatan nilai produktivitas guru dalam mengajar dan berkarya sehingga sertifikasi benar-benar berdampak pada peningkatan kualitas guru dan pendidikan (http://suaraguru.wordpress.com).
Ada satu hal yang mungkin terabaikan-untuk tidak mengatakan terlupakan-pasca sertifikasi. Entah disadari atau tidak yang jelas bahwa proses ini sangat penting untuk keberlanjutan dan keberlangsungan profesionalitas masing-masing guru. Proses itu bernama evaluasi kinerja pasca guru disertifikasi.
Penulis menganggap bahwa sertifikasi bukanlah akhir dari pencapaian tertinggi seorang guru dalam pengajarannya. Ia hanyalah sarana bagi guru agar senantiasa secara konsisten menjaga dan meningkatkan kecakapan seorang pendidik, dan pemerintah memberi maslahat tambahan berupa penghasilan di atas rata-rata.
Bolehlah ini disebut penghargaan atas jasa-jasa seorang guru, namun itu saja tidak cukup karena jika kita kembali pada konsep awal mengenai sertifikasi, kita mesti tahu bahwa hal ini dimaksudkan agar guru bisa tenang dan profesional dalam proses transfer of knowledge dan pemahaman moralitas bagi anak-anak didiknya. Karena boleh jadi, bagi sebagian guru, sertifikasi adalah garis finis sehingga tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas personal masing-masing guru setelahnya.
Sertifikasi bukan hadiah, ia adalah penghargaan atas integritas kedirian seorang pendidik, dan ada tanggung jawab moral untuk memacu diri pasca sertifikasi. Sebagai penutup ada baiknya dicamkan perkataan Vina Barr, seorang guru teladan di Florida yang berucap "Kami bukan hanya guru, kami adalah seniman pendidikan, kami melukis pikiran orang-orang muda" (http://edukasi.kompasiana.com).
Dari berbagai uraian diatas, penulis termotivasi untuk melakukan penelitian, untuk mengetahui kompetensi kinerja guru TK yang telah mendapatkan sertifikasi di Kabupaten X, khususnya pada proses kegiatan belajar mengajar.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pada latar belakang diatas, maka dapat diidentifikasikan sebagai berikut : 
1. Masih terdapatnya persoalan dimana kinerja guru yang telah mendapatkan sertifikasi dalam perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran,
evaluasi pembelajaran, serta kinerja guru dalam disiplin tugas belum optimal.
2. Rendahnya kinerja yang dimiliki para guru yang telah mendapatkan sertifikasi sehingga loyalitas kerja guru kurang memuaskan. 

C. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan tidak terlalu luas, maka perlu adanya pembatasan masalah. Untuk itu penulis membatasi masalah pada kinerja guru ditinjau dari kompetensi guru, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi professional, kompetensi sosial.

D. Rumusan Masalah
Dari pembatasan masalah di atas, penulis menganggap perlu adanya perumusan masalah agar pembahasannya terarah dan tidak meluas. Dengan demikian perumusan masalahnya adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana Kinerja Guru TK Di Kabupaten X yang telah tersertifikasi ?
2. Bagaimana Kompetensi Guru TK Di Kabupaten X yang telah tersertifikasi ?

E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang ada maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja guru TK yang telah mendapatkan ditinjau dari kompetensi di Kabupaten X.

F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini akan mengungkapkan bagaimana kinerja guru TK yang telah tersertifikasi di Kabupaten X. Adapun hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi : 
1. Universitas Negeri X, khususnya program Sarjana, Fakultas Ilmu Pendidikan Jurusan Pendidikan Guru PAUD sebagai wujud pelaksanaan dari salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan.
2. Sebagai langkah terapan dari ilmu yang diperoleh peneliti dari bangku kuliah, untuk dijadikan masukan dalam menyelesaikan skripsi. 
3. Pemerintah, hasil penelitian ini akan memberikan masukan pada pemerintah untuk lebih memperhatikan dan meningkatkan kualitas kebijakannya.
4. Hasil penelitian diharapkan dapat dipergunakan sebagai masukan, sehingga dapat membantu guru dalam melangsungkan pelaksanaan kebijakan sertifikasi.