Search This Blog

Showing posts with label contoh tesis manajemen pendidikan islam. Show all posts
Showing posts with label contoh tesis manajemen pendidikan islam. Show all posts
TESIS PENGARUH PERILAKU KEPEMIMPINAN DAN KETERAMPILAN MANAJERIAL KEPALA MADRASAH TERHADAP KINERJA GURU MAN

TESIS PENGARUH PERILAKU KEPEMIMPINAN DAN KETERAMPILAN MANAJERIAL KEPALA MADRASAH TERHADAP KINERJA GURU MAN

(KODE : PASCSARJ-0287) : TESIS PENGARUH PERILAKU KEPEMIMPINAN DAN KETERAMPILAN MANAJERIAL KEPALA MADRASAH TERHADAP KINERJA GURU MAN (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)



BAB I
PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang Masalah
Di era globalisasi, di tengah peliknya pendidikan dewasa ini dengan berbagai kendala yang dihadapi serta harapan ke depan, diperlukan pemimpin yang profesional untuk mewujudkan visi pendidikan yang telah dirinci dalam misi dan program-program yang jelas dan terarah. Dalam menghadapi kehidupan terbuka dalam abad 21 dengan masalah-masalah globalnya, menurut Tilaar diperlukan pemimpin-pemimpin yang sesuai yang disebut pemimpin profesional, pemimpin yang tidak hanya menguasai kemampuan dan keterampilan untuk memimpin tetapi juga dituntut dari padanya dua hal, yaitu : pemimpin yang dapat mengejawantahkan nilai-nilai moral di dalam sistem pendidikan, dan pemimpin yang memiliki dan menguasai nilai-nilai ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan perkembangan zaman. Hal itu berarti kepemimpinan tidak sekedar dilandasi oleh kemampuan seseorang dalam mengatur dan menjalankan mekanisme kepemimpinannya, melainkan menganggap kepemimpinan lebih dilandasi oleh nilai-nilai spiritual (spiritual leader), dimana pemimpin dijadikan model/panutan bagi bawahannya.
Kepala madrasah sebagai pemimpin profesional di lembaga pendidikan mempunyai peran yang sangat penting, mengingat posisinya yang secara struktural sebagai pimpinan legal formal memiliki kekuasaan penuh pada lembaga yang dipimpinnya.
Gorton mengemukakan bahwa "perangkat sekolah seperti kepala sekolah, dewan guru, siswa, pegawai/karyawan harus saling mendukung untuk dapat bekerja sama mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sukses atau tidaknya suatu organisasi mencapai tujuan yang telah ditentukan sangat tergantung atas kemampuan pimpinannya untuk menumbuhkan iklim kerja sama agar dengan mudah dapat menggerakkan sumber day a manusia yang ada, sehingga pendayagunaannya dapat berjalan dengan efektif dan efisien".
Dalam lembaga pendidikan, baik itu sekolah atau madrasah disamping dibutuhkan kepala madrasah profesional, juga perlu adanya tenaga kependidikan yang kompeten dan profesional. Hal ini dikarenakan pencapaian tujuan pendidikan sangat tergantung pada kualitas tenaga pendidik, dalam hal ini guru, karena guru memegang peran sentral dalam proses belajar mengajar, dimana guru harus berinteraksi langsung dengan para siswa.
Madrasah sebagai sebuah organisasi, harus mampu membangun kredibilitas dan kinerjanya secara baik sesuai harapan dari stakeholdernya yaitu tidak hanya menjadi lembaga kepercayaan masyarakat (trustworthy institution) tetapi juga sebagai agen dari pembangunan (agent of development). Kredibilitas dan kinerja yang baik tersebut ditentukan oleh beberapa pihak baik kinerja pendidik maupun tenaga kependidikan dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Hal ini didukung pendapat Prawirosentoso bahwa "kinerja merupakan hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing". Hal yang sama dikatakan oleh Mangkunegara yang mendefinisikan "kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya".
Paparan di atas mengimplikasikan bahwa guru memegang peran yang sangat penting dan menentukan dalam pelaksanaan pembelajaran di madrasah. Dengan demikian kinerja guru harus terus ditingkatkan agar dapat melaksanakan tugas dan fungsinya mengemban amanat pendidikan seperti yang telah digariskan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Berbagai upaya dan strategi harus dilakukan dengan baik terencana agar kinerja guru terus meningkat dan dapat mencapai tujuan pendidikan yang telah direncanakan.
Salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja guru adalah kepemimpinan kepala madrasah, hal ini sebagaimana hasil penelitian Ana Susana yang menunjukkan bahwa : 
Ada hubungan antara variabel pengetahuan administrasi terhadap motivasi kerja guru MTs Negeri di Kabupaten X. Ada hubungan antara variabel kepemimpinan kepala madrasah terhadap motivasi kerja guru MTs Negeri di Kabupaten X. Secara simultan ada hubungan antara pengetahuan administrasi dan kepemimpinan kepala madrasah terhadap motivasi kerja guru.
Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin bagus pengetahuan administrasi dan kepemimpinan kepala madrasah maka motivasi kerja guru akan semakin meningkat pula. Sebaliknya jika pengetahuan administrasi dan kepemimpinan kepala sekolah jelek, maka motivasi kerja guru akan rendah.
Kepala madrasah merupakan pimpinan tertinggi dalam lembaga pendidikan madrasah. Perilaku kepemimpinannya sangat berpengaruh bahkan sangat menentukan terhadap kinerja guru. Oleh karena itu dalam pendidikan modern, kepemimpinan kepala madrasah perlu mendapatkan perhatian yang serius. Hal ini penting untuk diperhatikan agar kepala madrasah dapat berperan dengan baik dalam mencapai tujuan madrasah yang telah direncanakan. Kepala madrasah harus memiliki faktor pendukung terhadap kepemimpinannya, sebagaimana diungkapkan oleh Sergiovanni (1991), sebagai berikut : (1) memiliki kepribadian yang kuat, (2) memahami tujuan pendidikan dengan baik, (3) memiliki pengetahuan yang luas, dan (4) memiliki keterampilan profesional.
Gorton (1991) mengemukakan bahwa "pemimpin pendidikan merupakan sosok yang mengorganisasikan sumber-sumber daya insani dan sumber-sumber daya fisik untuk mencapai tujuan organisasi pendidikan secara efektif dan efisien". Peran utama adalah mengembangkan dan mengimplementasikan prosedur dan kebijaksanaan pendidikan yang dapat menghasilkan efisiensi pelaksanaan pendidikan. Dengan demikian paparan tersebut memperkuat keberadaan perilaku kepemimpinan kepala madrasah yang memiliki dampak terhadap kinerja guru.
Hal di atas mengisyaratkan bahwa keberhasilan madrasah sangat ditentukan oleh kepemimpinan kepala madrasah, karena kepala madrasah merupakan pengendali dan penentu arah yang hendak ditempuh oleh madrasah menuju tujuannya.
Gorton (1976) mengemukakan bahwa "kepala sekolah sebagai pemimpin di suatu sekolah dalam menjalankan tugasnya, bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan yang ada di sekolahnya". Dengan demikian kepala sekolah mempunyai peranan besar dalam meningkatkan kualitas guru dan harus terus menerus membina moral kerja guru, sehingga setiap guru akan melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Pencapaian tujuan sekolah baik secara kuantitas maupun kualitas tidak terlepas dari orang-orang yang tergabung dalam organisasi sekolah. Griffiths dalam Gorton (1976) menguraikan bahwa baik buruknya sekolah ditentukan oleh orang-orang yang melaksanakannya. Oleh karena itu kemampuan setiap pemimpin dalam mempengaruhi bawahan sangat berpengaruh dalam mengembangkan pola perilaku, baik berupa tingkah laku, tindakan, maupun cara-cara dalam seluruh kegiatan yang digunakan untuk mencapai tujuan sekolah. Upaya mempengaruhi bawahan ini, biasanya tampak dalam pola perilaku tertentu, yang disebut dengan perilaku kepemimpinan.
Kinerja (performance) adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi/madrasah sesuai dengan wewenang dan tanggungjawab masing-masing, dalam rangka mencapai tujuan lembaga pendidikan. Seorang pimpinan mengerahkan bakat dan kemampuan, serta usaha beberapa orang lain yang berada di dalam daerah wewenangnya yang disebut sebagai kinerja manajerial. Kinerja manajerial merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan keefektifan organisasi.
Kinerja guru di madrasah tidak hanya dipengaruhi oleh pelaksanaan tugas dan pekerjaannya termasuk seberapa besar kewenangan dan tanggung jawabnya, tetapi ditentukan juga antara lain oleh faktor kepemimpinan kepala madrasah dan budaya organisasi yang berlaku dan berjalan di madrasah tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Ruki, A.S (2001) yang mengatakan bahwa "performance management sebenarnya menjamah semua elemen, unsur atau input yang hal didayagunakan oleh organisasi untuk meningkatkan kinerja organisasi dan kinerja karyawannya. Elemen tersebut adalah teknologi yang digunakan, kualitas dari input, kualitas lingkungan fisik seperti keselamatan kerja, kesehatan kerja., kepemimpinan serta iklim dan budaya organisasi".
Bila diamati, bahwa guru sudah menunjukkan kinerja maksimal dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pendidik dan pengajar, akan tetapi masih ada sebagian guru belum menunjukkan kinerja yang baik, tentunya secara tidak langsung akan berpengaruh pada kinerja guru secara makro.
Namun pada kenyataannya di lapangan, masih ada sebagian guru yang belum menyadari sepenuhnya tugas dan tanggungjawab yang diembannya sehingga kewajibannya sering terabaikan. Kadangkala guru hanya menerapkan metode mencatat pelajaran sampai selesai, memberikan tugas menyelesaikan soal-soal latihan kemudian meninggalkan kelas hingga pelajaran selesai, sehingga suasana kelas berubah menjadi tidak kondusif karena guru tidak hadir di kelas tanpa ada alasan yang jelas. Bahkan seringkali siswa keluar kelas karena gurunya tidak ada dan guru kurang menanamkan nilai-nilai kedisiplinan kepada siswa. Fenomena tersebut sangat memprihatinkan, hal ini dikarenakan kinerja guru yang rendah, untuk itu diperlukan adanya pembenahan-pembenahan yang lebih baik agar guru memahami tugas dan tanggungjawabnya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa disiplin dalam proses pembelajaran merupakan salah satu hal yang patut mendapat perhatian. Sikap disiplin yang ditunjukkan oleh guru menunjukkan salah satu bentuk kinerja guru. Ukuran kinerja guru terlihat dari rasa tanggung jawabnya menjalankan amanah, profesi, yang diembannya, rasa tanggungjawab moral yang diembannya. Semua itu akan terlihat dari kepatuhan dan loyalitas di dalam menjalankan tugas keguruannya di dalam kelas dan tugas kependidikannya di luar kelas.
Kinerja guru yang berkualitas ditentukan oleh banyak faktor, salah satunya adalah kepemimpinan kepala madrasah. Hal ini karena kepemimpinan adalah proses mendorong dan membantu orang lain untuk bekerja dengan antusias untuk mencapai tujuan. Kinerja yang optimal merupakan perwujudan dari kualitas guru, dan dengan kerja yang optimal berarti para guru benar-benar dapat berfungsi sebagai pegawai yang dapat bekerja secara efektif dan efisien sesuai dengan tujuan organisasi yang hendak dicapai. Apabila tujuan peningkatan kinerja guru dapat terpenuhi, maka tujuan pendidikan nasional dapat tercapai.
Kepala madrasah, di samping sebagai pemimpin ia juga sebagai manajer pendidikan. Dalam rangka melakukan peran dan fungsinya sebagai manajer, kepala madrasah harus memiliki strategi yang tepat untuk memberdayakan tenaga kependidikan melalui kerja sama atau kooperatif, memberi kesempatan kepada para tenaga kependidikan untuk meningkatkan profesinya, dan mendorong keterlibatan seluruh tenaga kependidikan dalam berbagai kegiatan yang menunjang program sekolah.
Sebagai manajer, kepala madrasah harus memiliki pengetahuan yang luas untuk mengarahkan semua sumberdaya yang tersedia dalam mencapai tujuan, termasuk dalam hal ini adalah memberdayakan guru untuk mencapai kinerja secara maksimal. Ol eh karena itu sebagai manajer maka kepala madrasah harus mampu menggerakkan para guru untuk mencapai kinerja yang maksimal melalui pemberian dorongan dan motivasi, atau dengan kata lain kepala madrasah harus mampu menjadi motivator yang handal. Masalah inti motivasi ialah membangun cara merangsang sekelompok orang yang masing-masing memiliki kebutuhan yang khas dan kepribadian yang berbeda untuk bekerja sama menuju pencapaian sasaran organisasi dengan memperhatikan keinginannya (wants) dan kebutuhannya (needs).
Seperti yang dikatakan di atas, bahwa kepala madrasah harus mempunyai kemampuan manajerial yang bagus untuk memberdayakan tenaga pendidik dan kependidikan guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tapi pada kenyataannya di lapangan, kepala madrasah lemah dalam kompetensi manajerialnya sehingga tidak mampu menjalankan organisasi dengan baik. Hal ini sebagaimana diungkapkan Direktur Tenaga Kependidikan Depdiknas Surya Dharma bahwa "kebanyakan kepala sekolah di Indonesia lemah dalam kompetensi manajerial dan supervisi".
Pada umumnya, kepala madrasah di Indonesia belum dapat dikatakan sebagai manajer profesional, karena pengangkatannya tidak didasarkan pada kemampuan dan pendidikan profesional, tetapi lebih pada pengalaman menjadi guru. Hal ini disinyalir pula oleh laporan Bank Dunia (1999) bahwa "salah satu penyebab menurunnya mutu pendidikan persekolahan di Indonesia adalah kurang profesionalnya kepala sekolah sebagai manajer pendidikan di tingkat lapangan".
Data dari Depdiknas, dari dua ratus lima puluh ribu (250.000) kepala sekolah di seluruh tanah air, lebih dari 70% tercatat memiliki dua sisi kelemahan, yakni manajerial dan supervisi. Direktur Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas Surya Dharma mengungkapkan kelemahan tersebut karena di sejumlah daerah penunjukan kepala sekolah asal comot saja.
Menyadari hal tersebut, maka keterampilan manajerial dan supervisi merupakan kemampuan yang mesti dimiliki kepala madrasah. Di samping tiga kompetensi lainnya yang juga tidak kalah pentingnya, yaitu kompetensi kepribadian, kompetensi kewirausahaan, dan kompetensi sosial.
Terkait dengan keterampilan manajerial kepala madrasah dan merujuk pada Permendiknas Nomor 13 tentang Kompetensi Kepala Sekolah, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan kepala madrasah. Di antaranya : penyusunan rencana sekolah, mengembangkan organisasi sekolah, memberdayakan sumber daya sekolah secara optimal, mengembangkan sekolah menuju organisasi pembelajaran yang efektif, menciptakan budaya dan iklim sekolah yang kondusif dan inovatif, kemampuan mengelola guru dan staf, sarana dan prasarana, hubungan sekolah dengan masyarakat, pengembangan kurikulum, keuangan sekolah yang akuntabel, transparan dan efisien, ketatausahaan sekolah, sistem informasi dalam mendukung program dan pengambilan keputusan, kemampuan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi bagi peningkatan pembelajaran dan manajemen sekolah, serta adanya monitoring, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan program sekolah dengan prosedur yang tepat.
Robert L Katz mengatakan bahwa keterampilan yang harus dimiliki administrator yang efektif adalah keterampilan teknis (technical skill), keterampilan hubungan manusiawi (human relation skill), dan keterampilan konseptual (conceptual skill).14 Dilain pihak, Fred Luthans (1995) mengemukakan lima jenis keterampilan yang dibutuhkan oleh seorang manajer, yang mencakup : (1) Cultural flexibility; (2) Communication skills  (3) Human Resources Development skills; (4) Creativity; dan (5) Self Management of learning.
Keberhasilan madrasah banyak ditentukan oleh peran guru dan kepala madrasah, meskipun keberhasilan kinerja guru juga sangat ditentukan oleh banyak faktor. Salah satu faktor yang berperan terhadap kinerja guru adalah kemampuan manajerial kepala madrasah. Hal ini sebagaimana hasil penelitian Gemnafle menyimpulkan bahwa "keterampilan manajerial memberikan kontribusi 33,79 terhadap kinerja guru. Lebih lanjut Gemnafle menyimpulkan bahwa terdapat jalur hubungan kausal langsung yang cukup signifikan antara keterampilan manajerial kepala sekolah dengan kinerja guru dalam mengajar pada SMU Negeri dan swasta".
Dari paparan di atas, peneliti tertarik untuk menulis tesis dengan judul '"Pengaruh Perilaku Kepemimpinan dan Keterampilan Manajerial Kepala Madrasah Terhadap Kinerja Guru Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Se-Kota X". Hal ini didasarkan pada alasan bahwa : pertama, kepemimpinan merupakan masalah menarik untuk diteliti, karena kepemimpinan kepala madrasah merupakan motor penggerak dan penentu arah yang hendak ditempuh dalam mewujudkan tujuan madrasah. Kedua, rata-rata kepala madrasah lemah dalam hal keterampilan manajerial, sebagaimana data dari Depdiknas dan juga laporan dari Bank Dunia, sehingga hal ini menarik untuk diteliti untuk mengetahui pengaruhnya terhadap kinerja guru. Ketiga, dari
pengamatan peneliti kinerja guru Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Se-Kota X termasuk baik, hal ini terlihat dari kedisiplinan guru-guru, adanya supervisi secara kontinyu oleh kepala madrasah, ini tentunya tidak lepas dari kepemimpinan dan kemampuan manajerial kepala madrasah dalam mengelola lembaga tersebut.
Dipilihnya Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Se-Kota X dikarenakan 1). Di wilayah Kotamadya X, Madrasah Aliyah Negeri (MAN) yang ada dibawah naungan Departemen Agama Kota X hanya dua madrasah tersebut, sehingga keduanya dijadikan obyek penelitian 2). MAN 1 dan MAN 3 termasuk madrasah yang unggul/berprestasi baik dari segi prestasi akademik maupun non akademik, hal ini tentunya tidak terlepas dari kepemimpinan, keterampilan manajerial kepala madrasah dan juga kinerja gurunya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah umum penelitian ini adalah "apakah ada pengaruh positif signifikan perilaku kepemimpinan dan keterampilan manajerial kepala madrasah terhadap kinerja guru Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Se-Kota X ?". Sedangkan rumusan masalah khusus penelitian adalah sebagai berikut : 
1. Bagaimana gambaran perilaku kepemimpinan, keterampilan manajerial kepala madrasah dan kinerja guru Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Se-Kota X ?
2. Apakah ada pengaruh positif signifikan perilaku kepemimpinan kepala madrasah terhadap kinerja guru Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Se-Kota X ?
3. Apakah ada pengaruh positif signifikan keterampilan manajerial kepala madrasah terhadap kinerja guru Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Se-Kota X ?
4. Apakah ada pengaruh positif signifikan secara simultan perilaku kepemimpinan dan keterampilan manajerial kepala madrasah terhadap kinerja guru Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Se-Kota X ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian diatas, maka tujuan penelitian secara umum adalah untuk menjelaskan pengaruh positif signifikan perilaku kepemimpinan dan keterampilan manajerial kepala madrasah terhadap kinerja guru Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Se-Kota X. Adapun tujuan khususnya adalah sebagai berikut : 
1. Untuk menjelaskan gambaran perilaku kepemimpinan, keterampilan manajerial kepala madrasah dan kinerja guru Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Se-Kota X.
2. Untuk menjelaskan pengaruh positif signifikan perilaku kepemimpinan kepala madrasah terhadap kinerja guru Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Se-Kota X.
3. Untuk menjelaskan pengaruh positif signifikan keterampilan manajerial kepala madrasah terhadap kinerja guru Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Se-Kota X.
4. Untuk menjelaskan pengaruh positif signifikan secara simultan perilaku kepemimpinan dan keterampilan manajerial kepala madrasah terhadap kinerja guru Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Se-Kota X.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan dan bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis : bagi berbagai pihak antara lain : 
1. Manfaat Teoritis : 
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam implementasi teoretik peningkatan kinerja guru.
2. Manfaat Praktis : 
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan memberikan kontribusi pemikiran kepada berbagai pihak antara lain : 
a. Bagi Madrasah
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi bagi lembaga pendidikan madrasah, khususnya bagi madrasah yang bersangkutan mengenai faktor-faktor yang dapat meningkatkan kinerja guru yang pada akhirnya dapat meningkatkan mutu pendidikan.
b. Bagi Kepala Madrasah
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dan informasi bagi kepala madrasah agar berupaya meningkatkan keterampilan manajerial dan juga kepemimpinannya guna meningkatkan kinerja guru di lembaga yang dipimpinnya.
c. Bagi Guru
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dan informasi bagi guru agar selalu berupaya meningkatkan kinerja dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai pendidik dan pengajar, serta menambah wawasan dan pengetahuan guru tentang bagaimana mengoptimalkan kinerja dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran di madrasah.
d. Bagi Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini diharapkan dapat menambah perbendaharaan atau setidaknya dapat memperkaya informasi empirik dalam hal kepemimpinan, keterampilan manajerial kepala madrasah dan kinerja guru yang dapat dipakai sebagai data banding atau rujukan dengan mengubah atau menambah variabel lain sekaligus dapat menyempurnakan penelitian ini.

TESIS PENGEMBANGAN MANAJEMEN KEGIATAN ORGANISASI KESISWAAN DAN EKSTRAKURIKULER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM PEMBINAAN BUDAYA KEAGAMAAN DI SMK

TESIS PENGEMBANGAN MANAJEMEN KEGIATAN ORGANISASI KESISWAAN DAN EKSTRAKURIKULER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM PEMBINAAN BUDAYA KEAGAMAAN DI SMK

(KODE : PASCSARJ-0285) : TESIS PENGEMBANGAN MANAJEMEN KEGIATAN ORGANISASI KESISWAAN DAN EKSTRAKURIKULER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM PEMBINAAN BUDAYA KEAGAMAAN DI SMK (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan secara historis maupun filosofis telah ikut mewarnai dan menjadi landasan moral, dan etik dalam proses pembentukan jati diri bangsa. Pendidikan merupakan variabel yang tidak dapat diabaikan dalam mentransformasi ilmu pengetahuan, keahlian dan nilai-nilai akhlak. Hal tersebut sesuai dengan fungsi dan tujuan pendidikan sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 dinyatakan pada pasal 3 yaitu : 
"Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab".
Pendidikan juga merupakan persoalan hidup manusia sepanjang hayatnya, baik sebagai individu, kelompok sosial maupun sebagai bangsa. Pendidikan telah terbukti mampu mengembangkan sumber daya manusia yang merupakan karunia Allah SWT. serta memiliki kemampuan untuk mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan sehingga kehidupan manusia semakin beradab.
Mengingat begitu pentingnya pendidikan bagi kehidupan, maka kegiatan pendidikan harus dapat membekali peserta didik dengan kecakapan hidup (life skill atau life competency) yang sesuai dengan lingkungan dan kebutuhan peserta didik. Pemecahan masalah secara reflektif sangat penting dalam kegiatan pendidikan yang dilakukan melalui kerja sama secara demokratis. UNESCO (1994) mengemukakan dua prinsip pendidikan yang sangat relevan dengan konsep Islam, yaitu pertama, pendidikan harus diletakkan pada empat pilar, yaitu : a) Learning to know (belajar untuk mengetahui), b) Learning to do (belajar untuk dapat berbuat), c) Learning to be (belajar untuk menjadi diri sendiri), dan d) Learning to live together (belajar untuk hidup bersama dengan orang lain); kedua, life long learning ( belajar seumur hidup).3 Kultur yang demikian harus dikembangkan dalam pembangunan manusia, karena pada akhirnya aspek kultur dari kehidupan manusia lebih penting dari pertumbuhan ekonomi.
Sebagaimana yang dikatakan Ahmad Watik Pratiknya; bahwa sumber daya manusia yang berkualitas menyangkut tiga dimensi, yaitu : (1) dimensi ekonomi, (2) dimensi budaya, dan (3) dimensi spiritual (iman dan takwa). Upaya pengembangan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan juga perlu mengacu pada pengembangan nilai tambah.
Sebagai upaya peningkatan sumber daya manusia (human resources), pada dasarnya pendidikan di sekolah maupun madrasah bertujuan untuk mengembangkan aspek-aspek kemanusiaan peserta didik secara utuh, yang meliputi aspek kedalaman spiritual, aspek prilaku, aspek ilmu pengetahuan dan intelektual, dan aspek keterampilan.
Sejalan semakin pesatnya tingkat perkembangan saat ini, maka tuntutan akan ketersediaan sumber daya manusia semakin tinggi. Dengan demikian kualitas yang memadai dan output merupakan sesuatu yang harus dihasilkan oleh sekolah maupun madrasah sebagai satuan pendidikan yang tujuan dasarnya adalah menyiapkan manusia-manusia berkualitas baik secara intelektual, integritas, maupun perannya dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk itu, baik sekolah maupun madrasah harus membekali dirinya dengan kurikulum yang memadai.
Kurikulum dan pembelajaran Pendidikan Agama Islam dirancang untuk mengantarkan siswa kepada keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. serta pembentukan akhlak yang mulia. Keimanan dan ketakwaan serta kemuliaan akhlak sebagaimana yang tertuang dalam tujuan akan dapat dicapai dengan terlebih dahulu jika siswa memiliki pengetahuan dan pemahaman yang utuh dan benar terhadap ajaran agama Islam, sehingga terinternalisasi dalam penghayatan dan kesadaran untuk melaksanakannya dengan benar. Kurikulum dan pembelajaran PAI yang dirancang seharusnya dapat menghantarkan siswa kepada pengetahuan dan pemahaman yang utuh dan seimbang antara penguasaan ilmu pengetahuan tentang agama Islam dengan kemampuan pelaksanaan ajaran serta pengembangan nilai-nilai akhlakul karimah.
Akhir-akhir ini, pendidikan agama Islam dianggap kurang berhasil dalam membentuk sikap dan perilaku akhlak peserta didik serta moralitas etika bangsa. Mochtar Buchari (1992) menilai pendidikan agama gagal. Kegagalan ini disebabkan karena praktik pendidikannya hanya memperhatikan aspek kognitif semata dari pertumbuhan kesadaran nilai-nilai agama, dan mengabaikan pembinaan aspek afektif dan konatif-volatif, yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama. Akibat pendidikan agama hanya melahirkan peserta didik yang hanya mampu menghafalkan pelajaran tetapi tidak mau mengamalkan. Terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan pengamalan ajaran agama, kaya teori dan miskin aplikasi. Sehingga melahirkan peserta didik yang berkemampuan verbal dan kurang memperhatikan nilai-nilai akhlakul karimah. Kenyataan tersebut diperparah dengan kurangnya jam pelajaran agama yang hanya dua jam pelajaran, sementara tuntutannya sangat berat dalam membentuk generasi yang berkepribadian mulia. Pendidikan agama sebagai salah satu kegiatan untuk membangun pondasi mental spiritual yang kokoh, ternyata belum dapat berperan secara maksimal.
Dari fenomena di atas, untuk mengatasi semua persoalan ini; Abudin Nata memberikan solusi yang tepat yaitu dengan menambah jam pelajaran agama yang diberikan di luar jam pelajaran yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Dalam kaitan ini, kurikulum tambah atau kegiatan ekstra kurikulum perlu ditambahkan dan dirancang sesuai dengan kebutuhan dengan penekanan utamanya pada pengalaman agama dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian kegiatan pendidikan formal dikemas dalam bentuk kurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler. Kurikuler dan kokurikuler telah berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan memfokuskan pada pembelajaran klasikal baik dalam kelas maupun di luar kelas. Namun pada sisi lain, ekstrakurikuler juga harus berjalan sesuai dengan standar yang ada. Ini mengindikasikan bahwa kegiatan ekstrakurikuler sangat menentukan perubahan yang terjadi pada peserta didik dan sangat tergantung dari efektivitas penyelenggaraan kegiatannya.
Dalam hal ini, kegiatan ekstrakurikuler dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dapat ditemukan dalam program pengembangan diri. Dalam panduan tersebut dijelaskan bahwa pengembangan diri terdiri dari dua jenis kegiatan yaitu bimbingan konseling dan ekstrakurikuler. Kegiatan ekstrakurikuler dilaksanakan di sekolah melalui wadah organisasi kesiswaan (OSIS/Organisasi Siswa Intra Sekolah). Yang menjadi pertanyaan di sini adalah, apakah kegiatan ekstrakurikuler Pendidikan Agama Islam melalui wadah organisasi kesiswaan (OSIS) dapat menciptakan budaya keagamaan di sekolah ?
Melalui kiprah organisasi kesiswaan, peran strategis siswa dapat diaktualisasikan. Organisasi kesiswaan dapat menjadi wahana pembelajaran sesungguhnya, baik dalam kerangka prestasi akademik maupun prestasi non akademik. Organisasi kesiswaan juga dapat mencipta budaya keagamaan dan pentradisian akhlakul karimah. Pokok pangkal sikap yang tumbuh dan berkembang dalam tradisi organisasi kesiswaan dapat melahirkan kepekaan sosial siswa dalam merespon fenomena sekolah, masyarakat lokal, maupun kebangsaan.
Menelaah kegiatan ekstrakurikuler pada sekolah, kegiatan yang bersifat ekstrakurikuler keagamaan perlu selalu didorong, sehingga menampakkan kegiatan sekolah yang penuh dengan semangat keagamaan (religious). Dalam artian bahwa mata pelajaran Pendidikan Agama Islam mengandung unsur pembelajaran yang terdapat di dalamnya kegiatan ekstrakurikuler.
Pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler Pendidikan Agama Islam di sekolah akan memberikan banyak manfaat tidak hanya terhadap siswa tetapi juga bagi efektifitas penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Begitu banyak fungsi dan makna kegiatan ekstrakurikuler dalam menunjang tercapainya tujuan pendidikan.
Hal ini akan terwujud, manakala pengelolaan kegiatan ekstrakurikuler dilaksanakan dengan sebaik-baiknya khususnya pengaturan siswa, peningkatan disiplin siswa dan semua petugas. Biasanya mengatur siswa di luar jam pelajaran lebih sulit dari mengatur mereka di dalam kelas. Oleh karena itu, pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler melibatkan banyak pihak, memerlukan peningkatan manajemen yang lebih baik mulai dari perencanaan, pengorganisasian pelaksanaan kegiatan, sampai pada pengevaluasian kegiatan.
Dalam beberapa kegiatan ekstrakurikuler guru terlibat langsung dalam pelaksanaannya. Keterlibatan ini dimaksudkan untuk memberikan pengarahan, pengawasan dan pembinaan juga menjaga agar kegiatan tersebut tidak mengganggu atau merugikan aktifitas akademis. Maka dari itu pentingnya buku pedoman organisasi kesiswaan dan ekstrakurikuler Pendidikan Agama Islam dalam Pembinaan Budaya Keagamaan dapat membantu tugas guru pembimbing dalam mengembangkan kegiatan organisasi kesiswaan dengan menyusun program kegiatan yang disesuaikan dengan kondisi, situasi, suasana yang ada di sekolah.
Sebagaimana peraturan Dirjen Pendidikan Agama Islam (2009) "Bahwa dalam rangka optimalisasi Pendidikan Agama Islam di sekolah perlu dilakukan pengembangan kegiatan ekstrakurikuler. Agar kegiatan ekstrakurikuler PAI di sekolah semakin terarah dan tepat sasaran diperlukan pedoman tentang penyelenggaraan kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan ekstrakurikuler PAI adalah upaya pemantapan, pengayaan, dan perbaikan nilai-nilai serta pengembangan bakat, minat dan kepribadian peserta didik dalam aspek pengamalan dan penguasaan kitab suci, keimanan, ketakwaan, akhlak mulia, ibadah, sejarah, seni, dan kebudayaan, dilakukan di luar jam intra kurikuler, melalui bimbingan guru PAI, guru mata pelajaran lain, tenaga kependidikan dan tenaga lainnya yang berkompeten, dilaksanakan di sekolah atau di luar sekolah".
Pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler di SMK X yang diamati oleh pengembang selama ini, kegiatan ekstrakurikuler hanya sebatas pada kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan keterampilan sosial semata. Keikutsertaan para siswa dalam pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler keagamaan biasanya baru terlihat antusias hanya pada kegiatan-kegiatan yang bersifat perayaan saja atau memperingati hari besar Islam, seperti memperingati Maulid Nabi, Isra' Mi'raj, dan peringatan-peringatan lainnya yang bersifat seremonial saja, namun setelah perayaan-perayaan itu berlalu tidak tercermin terbentuknya kepribadian yang sesungguhnya diharapkan melalui kegiatan tersebut.
Dengan mendasarkan pada manajemen organisasi, model pengembangan yang sesuai dengan paparan di atas adalah model Recursive, Reflection, Design and Development, R2D2. Model ini mengamanatkan bahwa pengembangan dilakukan dengan berkolaborasi dalam tim, yang dilakukan secara recursive. Berdasarkan karakteristik dari model R2D2 yang recursive dan fleksibel, maka pedoman guru pembina yang dikembangkan ini menggunakan model R2D2. Pemilihan model R2D2 ini didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu : 1) sifat dari materi yang akan dikembangkan bukanlah merupakan hal yang bersifat prosedural, 2) pedoman dikembangkan berdasarkan adanya permasalahan yang ada di lapangan, sehingga sifatnya adalah bottom-up, 3) adanya perubahan-perubahan yang bersifat dinamis dalam perkembangan keilmuan dibidang manajemen kegiatan organisasi, 4) dalam pengembangan pedoman ini mengikutsertakan pengguna (ket; guru) dalam proses desain dan pengembangan khususnya untuk merancang program kegiatan ekstrakurikuler Pendidikan Agama Islam dalam Pembinaan Budaya Keagamaan yang akan disajikan. Berbagai macam pertimbangan atas permasalahan di atas, pengembang merasa perlu mengembangkan pedoman bagi guru pembina dengan menggunakan teori model pengembangan R2D2.

B. Rumusan Masalah
Terkait dengan konteks penelitian yang dikemukakan di atas, maka permasalahan yang dijadikan dasar pada pengembangan ini adalah : belum adanya buku pedoman kegiatan organisasi kesiswaan dan ekstrakurikuler pendidikan agama Islam dalam pembinaan budaya keagamaan di SMK X. Berdasarkan masalah tersebut, maka rumusan masalah pengembangan manajemen melalui buku pedoman kegiatan organisasi kesiswaan dan ekstrakurikuler pendidikan agam Islam dalam pembinaan budaya keagamaan di SMK X dirumuskan sebagaimana di bawah ini : 
1. Bagaimana proses penyusunan buku pedoman kegiatan organisasi kesiswaan dan ekstrakurikuler pendidikan agama Islam dalam pembinaan budaya keagamaan ?
2. Bagaimana implementasi buku pedoman kegiatan organisasi kesiswaan dan ekstrakurikuler pendidikan agama Islam dalam pembinaan budaya keagamaan di SMK X ?

C. Tujuan Pengembangan
Sesuai dengan rumusan masalah tersebut di atas, maka penelitian ini tujuannya : 
1. Mendeskripsikan langkah-langkah pengembangan buku pedoman kegiatan organisasi kesiswaan dan ekstrakurikuler pendidikan agama Islam dalam pembinaan budaya keagamaan di SMK X.
2. Mendeskripsikan implementasi buku pedoman kegiatan organisasi kesiswaan melalui ekstrakurikuler pendidikan agama Islam dalam pembinaan budaya keagamaan di SMK X.

D. Manfaat Pengembangan
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat secara teoritis, praktis maupun institusional. Secara teoritis, penelitian ini akan berguna sebagai bahan masukan bagi pengembangan tentang model manajemen kegiatan organisasi kesiswaan dan ekstrakurikuler PAI dalam pembinaan budaya keagamaan di sekolah.
Secara praktis, hasil penelitian ini menjadi bahan masukan berharga bagi pemerintah, para praktisi pendidikan, kepala sekolah, para pendidik, dan para pemerhati pendidikan Islam terutama sekolah untuk melakukan penelitian lebih mendalam, guna memberikan sumbangan pemikiran untuk pengembangan kegiatan ekstrakurikuler melalui wadah organisasi kesiswaan sekolah.
Adapun secara institusional, penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi positif bagi beberapa pihak diantaranya : 
1. Bagi sekolah
Bagi SMK X, penelitian pengembangan ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 
a. Tersedianya contoh model pengembangan kegiatan organisasi kesiswaan dan ekstrakurikuler pendidikan agama Islam dalam pembinaan budaya keagamaan.
b. Langkah-langkah pengembangan dalam penelitian ini dapat dijadikan acuan oleh guru Pembina organisasi kesiswaan dan ekstrakurikuler pendidikan agama Islam dalam memperbaiki proses manajemen kegiatan.
2. Bagi almamater
Untuk mengembangkan kajian keilmuan Manajemen Pendidikan Islam.
3. Bagi peneliti selanjutnya
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah keilmuan dan dapat dijadikan panduan untuk mengadakan penelitian selanjutnya terlebih tentang pengembangan model manajemen organisasi kesiswaan dan kegiatan ekstrakurikuler PAI dalam pembinaan budaya agama di sekolah.

TESIS PENGEMBANGAN RELIGIOUS CULTURE MELALUI MANAJEMEN PEMBIASAAN DIRI BERDOA BERSAMA SEBELUM BELAJAR DI SMK

TESIS PENGEMBANGAN RELIGIOUS CULTURE MELALUI MANAJEMEN PEMBIASAAN DIRI BERDOA BERSAMA SEBELUM BELAJAR DI SMK

(KODE : PASCSARJ-0283) : TESIS PENGEMBANGAN RELIGIOUS CULTURE MELALUI MANAJEMEN PEMBIASAAN DIRI BERDOA BERSAMA SEBELUM BELAJAR DI SMK (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Secara geografis Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari 17.677 buah pulau besar dan kecil yang ditempati sebagai pemukiman penduduk. Dengan wilayah yang terpisah-pisah ini memungkinkan kelompok-kelompok masyarakat dalam satu pulau terpisah pergaulannya dengan pulau yang lain. Sehingga berkembang struktur budaya yang beraneka ragam. Pulau Bali secara geografis terletak diantara dua pulau dengan mayoritas penduduk beragama Islam, yakni pulau Jawa dan gugusan pulau Nusa Tenggara Barat (NTB). Mayoritas penduduk pulau Bali sendiri beragama Hindu, dengan demikian kemungkinan untuk terjadinya asimilasi kebudayaan semakin besar.
Berdasarkan data tersebut, bisa dipastikan bahwa pulau Bali memiliki kekayaan baik alam, maupun kebudayaan. Hal ini berimbas kepada dunia pendidikan, dimana pemerintah daerah mempunyai otonomi dalam pengelolaan peraturan pendidikan. Sebagai daerah mayoritas penduduk pemeluk agama Hindu, Bali juga dituntut merespon lebih sensitif keberadaan masyarakat lain yang berada di Bali namun memeluk agama selain Hindu. Kebijakan-kebijakannya dalam dunia pendidikan juga mempertimbangkan kebutuhan pendidikan keagamaan umat lain. Bali menjamin bahwa setiap penduduk di daerahnya telah diberikan fasilitas dan media/sarana bagi kebutuhan rohani umat lain.
Landasan hukum pemenuhan pendidikan agama bagi setiap penduduk Indonesia adalah pertama; UUD 1945 pasal 29 ayat 2 bahwa "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu". Kedua; UUD 1945 pasal 31 ayat 2 menyatakan bahwa "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan Undang-Undang". Ketiga; Tap MPRS No. 2 tahun 1960 menetapkan : "Pemberian pelajaran agama pada semua tingkat pendidikan, mulai dari Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi Negeri". Keempat; Tap MPRS No. 27 tahun 1966 menetapkan bahwa "Agama, pendidikan dan kebudayaan adalah unsur mutlak dalam Nation and Character Building, sekaligus menetapkan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran pokok dan wajib diikuti oleh setiap murid/peserta didik sesuai dengan agama masing-masing".
Kelima; UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas Pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Selanjutnya pada ayat (2) dinyatakan bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama dan seterusnya. Hal tersebut diperkuat dengan Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi "Mewujudkan manusia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang berpengetahuan, raj in beribadah, cerdas, produktif, jujur, adil, etis, berdisiplin, bertoleransi (tasamuh), menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah.
Jaminan pemerintah terhadap pemenuhan pendidikan agama bagi setiap penduduk Indonesia teraktualisasi dalam pelaksanaan pendidikan keagamaan di sekolah. Termasuk di dalamnya adalah pemenuhan pendidikan agama Islam bagi daerah minoritas berpenduduk Muslim seperti Propinsi Bali. Pentingnya pemenuhan kebutuhan Pendidikan Agama Islam bagi penduduk Muslim minoritas di pulau Bali, sejatinya merupakan usaha internalisasi pemahaman unity in diversity (Bhinneka Tunggal Ika) dan internal diversity (perbedaan dalam internal agama) yang memang tidak bisa dihindarkan lagi. Bahkan Muhaimin menyebutkan bahwa pendidikan agama Islam pada dasarnya merupakan upaya normatif untuk membantu seseorang atau sekelompok peserta didik dalam mengembangkan pandangan hidup Islami (bagaimana akan menjalani dan memanfaatkan hidup dan kehidupan sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai Islam), sikap hidup Islami, yang dimanifestasikan dalam keterampilan hidup sehari-hari.
Pendidikan agama (Islam) di sekolah pada dasarnya berusaha untuk membina sikap dan perilaku keberagamaan peserta didik itu sendiri, bukan terutama pada aspek pemahaman tentang agama. Dengan kata lain, yang diutamakan oleh pendidikan agama (Islam) bukan knowing (mengetahui tentang ajaran dan nilai-nilai agama) ataupun doing (bisa mempraktekkan apa yang diketahui) setelah diajarkan di sekolah, tetapi justru mengutamakan being-nya (beragama atau menjalani hidup atas dasar ajaran dan nilai-nilai agama). Hal ini sejalan dengan esensi Islam adalah sebagai agama amal atau kerja (praksis). Kesadaran akan besarnya pengaruh agama bagi pembentukan warga negara telah terwujud dengan menjadikan agama sebagai mata pelajaran yang wajib bagi semua jenjang pendidikan dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Keberadaan agama sebagai mata pelajaran didukung oleh Undang-Undang 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara. Maka harapan yang muncul ialah pelajaran agama dijadikan tumpuan untuk membentuk moralitas dan kepribadian yang religius.
Moral adalah keterikatan spiritual pada norma-norma yang telah ditetapkan, baik yang bersumber pada ajaran agama, budaya masyarakat, atau berasal dari tradisi berfikir secara ilmiah. Keterikatan spiritual tersebut akan mempengaruhi keterikatan sikapnya terhadap nilai-nilai kehidupan (norma) yang akan menjadi pijakan utama dalam menentukan pilihan, pengembangan perasaan dan dalam menetapkan suatu tindakan. Seperti yang diungkapkan oleh Muhaimin bahwa pendidikan agama masih gagal disebabkan karena praktek pendidikannya hanya memperhatikan aspek kognitif semata dan mengabaikan aspek afektif dan akibatnya terjadi kesenjangan antara pengetahuan agama dan pengamalannya. Sehingga tidak mampu membentuk pribadi-pribadi bermoral, padahal inti dari pendidikan agama adalah pendidikan moral.
Dengan landasan hukum penjaminan pemenuhan penyelenggaraan pendidikan agama oleh pemerintah Indonesia, maka Bali sebagai salah satu Propinsi di Indonesia pun ikut berpartisipasi dalam rangka pemenuhan pendidikan agama tersebut yang tidak saja dilaksanakan demi pemenuhan visi dan misi terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, tetapi juga demi melihat urgensi penyelenggaraan pendidikan agama tersebut. Namun sejalan dengan kerangka idealis bagi penyelenggaraan pendidikan agama di Bali, realitasnya bahwa sistem birokrasi otonomi daerah turut membawa andil yang besar bagi terlaksananya penjaminan pemenuhan penyelenggaraan pendidikan agama oleh pemerintah pusat. Berbagai perisiwa yang terjadi di Bali terkait dengan terganggunya keamanan dan kenyamanan daerah tersebut, salah satu penyebabnya adalah agama sebagai pemicu. Latar belakang agama sebagai kambing hitam atas terjadinya kerusuhan di Bali juga melanda seluruh negara bagian di dunia.
Penjaminan pemenuhan penyelenggaraan pendidikan agama oleh pemerintah Indonesia, dan adanya sistem birokrasi otonomi daerah menyebabkan pemerintah daerah kurang memaksimalkan perhatiannya akan pentingnya penyelenggaraan pendidikan agama (selain agama Hindu) di Bali. Faktor lain bagi kurangnya pelaksanaan jaminan tersebut adalah kuantitas peserta didik pada lembaga pendidikan di bawah naungan Diknas pada semua jenjang pendidikan, terlebih pada sekolah menengah atas/kejuruan. Untuk mengatasi hal tersebut, upaya yang dilakukan pemerintah pusat adalah dengan melakukan pendataan peserta didik yang dibedakan berdasarkan latar belakang agamanya masing-masing, untuk kemudian mendapat bantuan guru Pendidikan Agama Islam dari Departemen Agama. Namun, hal tersebut juga mengalami kendala di tingkatan penerimaan secara individual.
Masalah semacam itu terjadi, disebabkan rendahnya kesadaran pluralism dan multikultural bagi masyarakat sekitar, tentu saja kurangnya sosialisasi di tingkat yang lebih atas, yakni pendidikan di Indonesia pada umumnya. Pelaksanaan pendidikan agama pada lingkungan sekolah pun kemudian menjadi overlapping dengan konsep pluralism dan multikultural. Untuk menyamakan pelaksanaan pendidikan agama yang sesuai standar mutu proses belajar mengajar dengan wilayah lain di Indonesia, sangat sulit dilakukan. Sebab, mau tidak mau, waktu pelaksanaan kegiatan belajar mengajar PAI juga harus mengalami adaptasi dengan situasi dan kondisi daerah sekitarnya. Maka tenaga praktisi pendidikan dan pihak lain yang concern dan peduli terhadap perkembangan pendidikan agama Islam di Bali-lah yang kreatif, inovatif, dan jeli dalam usahanya untuk mensejajarkan kualitas PAI dengan standar mutu yang telah ditetapkan.
Sebagai salah satu cara membumikan pluralism dan multikultural, maka pengembangan budaya agama di sekolah dirintis sebagai arah dan implementasi pendidikan agama (Islam) di bumi Bali. Hal ini menjadi hal yang sedemikian penting mengingat betapa rawannya tindak kriminalitas, kerusuhan dan intrik-intrik yang terjadi dengan ras sebagai penyebab utamanya. Setelah melakukan refleksi dari hasil pengamatan selama mengajar dari berbagai sekolah menengah atas di Kabupaten X, maka penulis tertarik meneliti gagasan pengembangan budaya agama di sekolah yang dimulai dengan merekonstruksi beberapa kebiasaan berlatar kultur sekolah setempat.
Ruang lingkup budaya agama (religious culture) di sekolah meliputi kebiasaan mengucapkan salam, memakai busana Muslim (memakai jilbab bagi siswi Muslim), membaca Al Quran sebagai rutinitas awal sebelum dimulainya proses belajar mengajar, terciptanya kebiasaan shalat duha, kebiasaan shalat berjamaah, budaya tawaddlu', budaya bersih, budaya toleransi (tasamuh), budaya jujur, dan lain sebagainya. Hampir semua sekolah menerapkan medan budaya religious culture tersebut. Terlebih di sekolah yang berlokasi dengan penduduk mayoritas Muslim. Sehingga religious culture yang tercitrakan merujuk pada satu agama yakni Islam. Hal tersebut tidak berlaku pada daerah dengan minoritas Muslim. Sebagaimana diungkapkan Zainuddin bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat plural ditinjau dari pelbagai aspeknya, baik etnis, bahasa, budaya, maupun agama. Beliau menambahkan bahwa pluralitas merupakan realitas dan keniscayaan bagi masyarakat Indonesia.
Sedangkan agama sendiri menurut Riaz Hassan merupakan sistem keyakinan individu yang melibatkan emosi-emosi dan pemikiran-pemikiran dan diwujudkan dalam tindakan-tindakan keagamaan (upacara, ibadat, dan amal ibadat) yang bersifat pribadi maupun kelompok yang melibatkan sebagian atau seluruh masyarakat. Suparlan mengatakan, agama dilihat dari sudut kebudayaan adalah agama sebagai sistem simbol suci yang ada dalam kebudayaan, serta bagaimana sistem simbol-simbol suci tersebut digunakan sebagai pedoman dalam menghadapi lingkungan sehari-hari.
Merujuk pada pernyataan Zainuddin bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat plural, maka dalam konteks setting sosial, Salie Abraham menjelaskan bahwa Propinsi Bali masuk dalam kategori pluralisme kontekstual (contextual pluralism). Propinsi Bali, lebih khusus lagi Kabupaten X dengan mayoritas penduduk Hindu, termasuk ke dalam wilayah dengan kategori pluralism kontekstual, menyebabkan banyak medan budaya agama (religious culture space) hanya bisa dilakukan sebagai kultur pada tingkatan akhlak. Sedangkan pada tingkatan fiqih namun terintegrasi kepada wilayah akhlak bisa terlihat dalam kultur sekolah melalui pembiasaan diri berdoa bersama sebelum belajar. Pembiasaan diri tersebut masih berpijak pada agama mayoritas, yakni Hindu, mengingat Bali khususnya Kabupaten X merupakan kategori pluralism kontekstual seperti yang telah disebutkan di atas.
Selama bertahun-tahun, pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di sekolah-sekolah di Bali (khususnya Kabupaten X), selalu dimulai dengan kebiasaan melakukan doa bersama. Hal tersebut dilakukan di berbagai tempat, baik dilakukan di lapangan bersama seluruh Civitas Akademika sekolah maupun dilaksanakan di kelas-kelas. Mereka semua membaca trisandya dan bagi pemeluk agama lain di tempat yang sama dipersilahkan untuk menundukkan kepala dan membaca doa sesuai dengan kepercayaan masing-masing sebagai wujud penghormatan terhadap pemeluk agama mayoritas. Akibat dari kultur seperti ini yang dilakukan selama bertahun-tahun sebagai sebuah kebiasaan, maka peserta didik yang beragama selain Hindu menjadi terdoktrin dengan trisandya.
Di samping itu, pada waktu-waktu tertentu dimana agama Hindu melakukan ritual keagamaan pada hari-hari besar keagamaannya, umat agama lain tentu saja berperan serta, karena kebijakan sekolah mengacu pada kebijakan pemerintah daerah tidak pernah menyentuh kebijakan pendidikan pada momen-momen keagamaan seperti itu bagi pemeluk agama lain. Setiap bulan pada tanggal 15 (penanggalan tahun Saka), oleh umat Hindu Bali biasa diperingati sebagai hari raya purnama. Pada hari tersebut seluruh umat Hindu melakukan persembahyangan di Pura. Tak terkecuali di sekolah-sekolah yang ada di kabupaten X. SMKN X pun menyelenggarakan doa bersama di Pura sebagai wujud memperingati hari raya purnama. Warga SMKN X diharuskan memakai pakaian adat umat Hindu, mereka melakukan persembahyangan sebelum pembelajaran dengan mengambil waktu yang lebih lama daripada rutinitas pembiasaan doa bersama sebelum belajar di SMKN X. Tiga sampai empat jam pertama dikosongkan untuk berdoa bersama di Pura.
Kebiasaan yang dilakukan seperti di atas, menjadi sebuah hidden indoktrinasi yang bias pluralism dan multikultural. Kebiasaan yang membawa Membaca tantra atau mantra tertentu yang berasal dari Weda, sebagai wujud doa verbal bagi umat Hindu yang dilakukan tiga kali sehari yaitu pagi, siang dan sore hari.
Bercermin dari apa yang telah diuraikan di atas, penulis menjadi tertarik untuk melakukan kajian lebih mendalam tentang pengembangan religious culture melalui manajemen pembiasaan diri berdoa bersama sebelum belajar di sekolah. Efektifitas pendidikan agama Islam yang diinternalisasikan dalam pengembangan religious culture dilakukan melalui pembiasaan berdoa bersama sebelum memulai aktifitas pembelajaran di sekolah. Pengembangan budaya agama melalui pembiasaan diri berdoa bersama merupakan hal yang biasa terjadi di wilayah-wilayah Indonesia selain Bali. Dan pembiasaan diri tersebut tidak hanya dilakukan pada saat memulai aktifitas pembelajaran di sekolah tetapi juga ketika mengakhiri pembelajaran, bahkan pada momen-momen tertentu. Namun, hal tersebut tidak terjadi di sekolah-sekolah di Bali. Tidak semua sekolah menerapkan pembacaan doa sebelum dan setelah aktifitas pembelajaran, termasuk di SMKN X.
Pentingnya melakukan pembiasaan diri berdoa bersama sebelum belajar di sekolah karena sekolah adalah tempat untuk belajar dan mengembangkan diri, sedangkan doa adalah pengait spiritual antara manusia, Tuhan dan usahanya dalam hidup salah satunya adalah belajar. Belajar menurut Hilgard dan Bower dalam bukunya Theories of Learning yang dikutip oleh Ngalim Purwanto mengatakan bahwa belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap suatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam suatu situasi. Bahkan menurut Thursan Hakim belajar adalah suatu proses perubahan di dalam kepribadian manusia, dan perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman, keterampilan, daya pikir dan kemampuan.
Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat disintesiskan bahwa belajar adalah perubahan serta peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seseorang di berbagai bidang yang terjadi akibat melakukan interaksi terus menerus dengan lingkungannya. Jika di dalam proses belajar tidak mendapatkan peningkatan kualitas dan kuantitas kemampuan, dapat dikatakan bahwa orang tersebut mengalami kegagalan di dalam proses belajar. Sedangkan aktifitas doa merupakan bagian dari proses komunikasinya manusia kepada Pencipta-nya. Bagi masyarakat yang beragama, berdoa merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan kelompok. Dimana tujuan berdoa diantaranya adalah memohon hidup selalu dalam bimbingan Allah SWT, agar selamat dunia akhirat, untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Allah SWT, meminta perlindungan Allah SWT dari setan yang terkutuk.
Dalam kehidupan pribadi, kita berdoa setelah selesai sholat, atau sembahyang, sebelum dan setelah belajar atau bekerja, dan lain sebagainya. Berdoa sebelum belajar yang biasanya dilakukan oleh siswa di SMKN X, menjadi salah satu metode pengembangan religious culture di sekolah. Di samping itu, kegiatan berdoa bersama sebelum belajar merupakan bagian dari proses pembelajaran pendidikan keagamaan. Selain itu, kegiatan tersebut menjadi salah satu kepustakaan bagi kehidupan religious culture di sekolah, mengingat Bali termasuk kategori plural kontekstual dimana umat Islam sebagai minoritas. Penelitian tindakan sekolah melalui pembiasaan diri berdoa bersama sebelum belajar dengan cara memisahkan ruang dan tempat berdasarkan latar belakang agama dan kepercayaan siswa ini penting dilakukan mengingat komunitas SMKN X yang terdiri dari beragam pemeluk agama.
Penulis menyadari betapa besar kendala merekonstruksi kebiasaan yang menjadi kultur sekolah di Bali khususnya di SMKN X. Dan apabila upaya merekonstruksi kebiasaan tersebut melalui manajemen pembiasaan diri berdoa bersama sebelum belajar di sekolah bisa dilaksanakan, maka hal ini menjadi penelitian pertama dalam upaya pengembangan religious culture di Kabupaten X dan di Propinsi Bali. Maka atas dasar pengembangan religious culture berbasis pendidikan multikultur dan plural di sekolah, peneliti meneliti sekaligus merekonstruksi kultur sekolah dalam upaya sosialisasi pluralism, multikultural dan mensistemikkan budaya agama di sekolah.
Penelitian tindakan sekolah ini juga ingin melihat apakah dampak yang terjadi pada perubahan tingkah laku pada siswa ketika diberlakukan pembiasaan diri berdoa bersama sebelum belajar pada skala mikro. Dan untuk melihat pengaruh yang terjadi pada lingkungan sekolah dalam skala makro.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, peneliti melakukan penelitian tindakan sekolah dengan memfokuskan penelitian pada pengembangan religious culture melalui manajemen pembiasaan diri berdoa bersama sebelum belajar di SMKN X.

B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti memfokuskan penelitian pada "Pengembangan Religious Culture melalui Manajemen Pembiasaan Diri Berdoa Bersama sebelum Belajar di SMKN X". Fokus tersebut dijabarkan dalam beberapa sub fokus sebagai berikut : 
1. Bagaimanakah pengembangan religious culture di SMKN X melalui manajemen pembiasaan diri berdoa sebelum belajar di sekolah ?
2. Apakah dampak pembiasaan diri berdoa bersama sebelum belajar di sekolah terhadap perilaku siswa di SMKN X ?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk : 
1. Memahami dan mendeskripsikan pengembangan religious culture di SMKN X melalui manajemen pembiasaan diri berdoa bersama sebelum belajar di sekolah.
2. Memahami dan mendeskripsikan bagaimana metode pembiasaan diri berdoa bersama sebelum belajar di sekolah dapat mengembangkan religious culture di SMKN X.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian tindakan sekolah yang dilakukan peneliti dalam pengembangan religious culture melalui manajemen pembiasaan diri berdoa bersama sebelum belajar di SMKN X ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi beberapa pihak, baik secara teoritis maupun praktis. Sehingga manfaat yang diharapkan diantaranya : 
1. Teoritis
a. Pengembangan ilmu manajemen pendidikan terutama berkenaan dengan masalah penelitian tindakan sekolah untuk merubah kultur sekolah menuju kepada pengembangan religious culture di sekolah yang memberikan implikasi praktis bagi penyelenggaraan pendidikan sehingga tujuan organisasi dapat tercapai secara efisien, efektif dan produktif.
b. Diharapkan dapat menjadi pegangan, rujukan atau sebagai masukan bagi para pendidik, praktisi pendidikan, pengelola lembaga pendidikan yang memiliki kesamaan karakteristik.
c. Sebagai bahan referensi bagi peneliti-peneliti lain yang akan melaksanakan penelitian serupa di masa yang akan datang. Juga sebagai pembanding sehingga memperkaya temuan-temuan penelitian dan membuka peluang bagi ditemukannya teori-teori baru yang berkaitan dengan hal tersebut.
2. Praktis
Memberikan informasi kepada Kepala Sekolah yang bersangkutan dan warga sekolah tentang pentingnya pengembangan religious culture melalui pembiasaan diri berdoa bersama sebelum belajar di SMKN X, yang pada gilirannya berdampak pada peningkatan mutu pendidikan, perubahan perilaku siswa, dan perubahan kultur sekolah berbasis multikultural untuk menjawab tuntutan dan kebutuhan sekolah dan masyarakat (stakeholders).
3. Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah keilmuan dan dapat dijadikan panduan untuk mengadakan penelitian selanjutnya terlebih tentang pengembangan religious culture di daerah yang mempunyai karakteristik sama dengan Kabupaten X, dimana Bali merupakan daerah dengan kategori plural kontekstual.

TESIS STRATEGI PEMENUHAN PEMBIAYAAN PENDIDIKAN (STUDI KASUS DI MA)

TESIS STRATEGI PEMENUHAN PEMBIAYAAN PENDIDIKAN (STUDI KASUS DI MA)

(KODE : PASCSARJ-0270) : TESIS STRATEGI PEMENUHAN PEMBIAYAAN PENDIDIKAN (STUDI KASUS DI MA) (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Selanjutnya, pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang, (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional, dan (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Pendidikan mempunyai peranan penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi suatu bangsa, karena pendidikan berpengaruh terhadap produktivitas dan juga berpengaruh terhadap fertilitas masyarakat. Melalui pendidikan manusia menjadi cerdas, memiliki skill, sikap hidup yang baik sehingga dapat bergaul dengan baik di masyarakat dan dapat menolong dirinya sendiri, keluarga, dan masyarakat. Pendidikan menjadi investasi yang memberi keuntungan sosial dan pribadi yang menjadikan bangsa bermartabat dan menjadikan individualnya manusia yang memiliki derajat.
Pendidikan merupakan sumber-kunci pembangunan ekonomi suatu bangsa sebagai outcome proses pembangunan, investasi pendidikan di suatu negara dalam menyelenggarakan sekolah dapat diarahkan untuk menumbuhkan ekonomi suatu bangsa. Johns dan Morphet memiliki pandangan yang sama, bahwa pada negara tertentu pendidikan merupakan penyumbang utama bagi pertumbuhan ekonomi. Suatu hal yang menarik bagaimana negara (pemerintah) membuat kebijakan pendidikan, sehingga pendidikan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Studi yang dilakukan oleh Psacharopulus dan Woodall menunjukkan kontribusi pendidikan secara relatif terhadap pertumbuhan ekonomi dengan tingkat variasi yang beragam. Di kawasan Amerika Utara, presentasi kontribusi per tahun cukup tinggi, yakni 25,0% di Amerika Serikat dan 15% di Kanada. Sementara di kawasan Eropa yang tertinggi mencapai 14,0% di Belgia dan 12,0% di Inggris. Namun, ada juga yang pertumbuhannya relatif kecil, seperti di Jerman dan Yunani masing-masing memiliki persentase 2,0% dan 3,0%.
Sementara itu, di kawasan Asia juga terbilang relatif tinggi, yakni 15,9% di Korea Selatan, 14,7% di Malaysia, dan 10,5% di Filipina, kecuali di Jepang hanya 3,3%. Demikian pula di kawasan Afrika seperti Ghana, Nigeria, dan Kenya Masing-masing 23,2%, 16,0%, dan 12,4%. Psacharopulus dan Woodall yang keduanya merupakan konsultan pendidikan Bank Dunia juga menunjukkan bahwa investasi dibidang pendidikan dapat memberi keuntungan ekonomi yang relatif tinggi sebagaimana terlihat dalam social rate of return, hasil yang diperoleh atau keuntungan ekonomi yang didapat lebih besar dibandingkan ongkos yang dikeluarkan.
Gerakan reformasi di Indonesia secara umum menuntut diterapkannya prinsip demokrasi, desentralisasi, keadilan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Gerakan reformasi ini juga ditandai dengan lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah, dengan adanya otonomi daerah ini, memberikan kewenangan terhadap daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini juga berimbas pada bidang pendidikan, karena pendidikan merupakan kewenangan pada daerah kabupaten/kota, sesuai dengan pasal 11 ayat 2 yang mengisyaratkan bahwa bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah otonomi meliputi : pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertahanan, koperasi, dan tenaga kerja, dengan demikian, jelas bahwa pengelolaan pendidikan secara luas menjadi kewenangan daerah.
Perubahan pola sentralistik menjadi desentralisasi dalam bidang pendidikan merupakan dampak dari adanya otonomi daerah, pengelolaan pendidikan dengan pola desentralisasi menuntut partisipasi masyarakat secara aktif untuk merealisasikan otonomi daerah, karena itu perlu kesiapan sekolah sebagai ujung tombak pelaksanaan operasional pendidikan, pada garis bawah. Sistem pendidikan yang dapat mengakomodasi seluruh elemen esensial diharapkan muncul dari pemerintah kabupaten dan kota sebagai penerima wewenang otonomi. Pendidikan yang selama ini dikelola secara terpusat (sentralistik) harus diubah untuk mengikuti irama yang sedang berkembang. Otonomi daerah sebagai kebijakan politik ditingkat makro akan memberi imbas terhadap otonomi sekolah sebagai subsistem pendidikan nasional.
Secara substantif pembahasan Undang-Undang diatas berkaitan erat dengan Undang-Undang tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Hal ini menunjukkan bahwa daerah atau kabupaten dan kota memegang peranan penting dalam kewenangan dan pembiayaan. Demikian halnya dengan pengembangan pendidikan, sangat bergantung atas kebijakan pemerintah daerah sebagai bagian dari kewenangan yang dilimpahkan. Melalui otonomi pengelolaan pendidikan diharapkan pemenuhan kebutuhan masyarakat lebih cepat, tepat, efektif, dan efisien.
Masalah keuangan erat hubungannya dengan pembiayaan, sedangkan masalah pembiayaan itu sendiri merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan kehidupan suatu organisasi seperti halnya lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga-lembaga yang lainnya. Biaya pendidikan merupakan sal ah satu komponen masukan instrumental (instrumental input) yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan (di sekolah). Dalam setiap upaya pencapaian tujuan pendidikan, baik tujuan-tujuan yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif, biaya pendidikan memiliki peranan yang sangat menentukan.
Biaya pendidikan di sekolah merupakan potensi yang sangat menentukan keberhasilan implementasi kurikulum dan peningkatan kualitas pembelajaran, sehingga nantinya akan berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Hal ini sejalan dengan hasil studi kepustakaan dari tim Universitas Maryland yang dipimpin oleh Dr. James Greenberg menyimpulkan bahwa salah satu indikator sekolah efektif ialah sekolah yang memiliki sumber dana kuat, melakukan investasi berkelanjutan, dan mengalokasikan dana secara efektif. Kekuatan sumber dana terletak pada kepastian dan kecukupan sesuai dengan kebutuhan sekolah, agar sekolah dapat berkembang dan adaptif terhadap perubahan zaman sehingga menjamin lulusan untuk dapat bersaing dalam kehidupan lokal, nasional, dan global.
Persoalan dana merupakan persoalan yang paling krusial dalam perbaikan dan pembangunan sistem pendidikan di Indonesia, yang mana dana merupakan salah satu syarat atau unsur yang sangat menentukan keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Berdasarkan hasil kajian, banyak permasalahan yang dihadapi oleh lembaga pendidikan terkait dengan pembiayaan pendidikan, diantaranya : (1) Tersedianya sumber dana yang terbatas, (2) Pembiayaan program yang serampangan, tidak mendukung visi, misi, dan kebijakan sebagaimana yang tertulis di dalam rencana strategis lembaga pendidikan, (3) Kurangnya bantuan pemerintah akibat otonomi daerah, dengan diberlakukannya otonomi daerah maka kewenangan pengelolaan pendidikan dengan segera mengubah pola pembiayaan sektor pendidikan. Sebelum otonomi daerah, praktis hanya pembiayaan Sekolah Dasar (SD) yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah (Pemda), sedangkan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dan juga Perguruan Tinggi menjadi tanggung jawab Pusat. Pembiayaan SLTP dan SLTA dilakukan melalui Kanwil Depdiknas (di tingkat propinsi) dan Kandepdiknas (di tingkat kabupaten/kota). Setelah diberlakukannya otonomi daerah, maka seluruh pengelolaan sekolah dari SD hingga SLTA menjadi tanggung jawab Pemda, padahal besarnya potensi yang di miliki setiap daerah berbeda.
(4) Rendahnya anggaran pendidikan yang ditujukan untuk pendidikan, dapat dibuktikan dari berbagai data perbandingan antar negara dalam hal anggaran pendidikan yang diterbitkan oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) dan Bank Dunia dalam "The World Bank (2004) : Education in Indonesia : Managing the Transition to Decentralization (Indonesia Education Sector Review), Indonesia adalah negara yang terendah dalam hal pembiayaan pendidikan. Pada tahun 1992, menurut UNESCO, pada saat Pemerintah India menanggung pembiayaan pendidikan 89% dari keperluan, Indonesia hanya menyediakan 62,8% dari keperluan dana bagi penyelenggaraan pendidikan nasionalnya. Sementara itu, dibandingkan dengan negara lain, persentase anggaran yang disediakan oleh pemerintah Indonesia masih merupakan yang terendah, termasuk jika dibandingkan dengan Sri Langka sebagai salah satu negara yang terbelakang.
(5) Rendahnya akuntabilitas publik (public accountability), (6) Belum adanya keterbukaan dalam manajemen keuangan, (7) Keterbatasan dana berpengaruh terhadap kesejahteraan guru, (8) Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji setiap bulannya sebesar Rp 3 juta rupiah, tapi kenyataannya pendapatan guru sebesar Rp 1,5 juta, serta guru bantu bergaji Rp 460 ribu, dan guru honorer Rp 10 ribu per jam.
Masalah pembiayaan harus dipecahkan secara bersama, jika ingin mendapatkan peluang yang maksimal bagi semua penyelenggara pendidikan agar dapat berkembang. Kepala sekolah dituntut untuk memahami prinsip kewirausahaan dan kemudian menerapkannya dalam mengelola sekolah. Permasalahan ini dapat diminimalisir dengan adanya usaha mandiri dari sekolah dalam meningkatkan sumber pembiayaannya untuk pemenuhan pembiayaan pendidikan.
Kebutuhan dana untuk kegiatan operasional secara rutin dan pengembangan program sekolah secara berkelanjutan sangat dirasakan setiap pengelola lembaga pendidikan. Semakin banyak kegiatan yang dilakukan sekolah semakin banyak dana yang dibutuhkan. Untuk itu kreativitas setiap pengelola sekolah dalam menggali dana dari berbagai sumber akan sangat membantu kelancaran pelaksanaan program sekolah, baik rutin maupun pengembangan di lembaga yang bersangkutan.
Sekolah dituntut untuk memiliki kemampuan dalam mengelola dan mengalokasikan dana pendidikan sehingga sumber daya yang berupa uang dapat diberdayakan secara optimal. Sumber pembiayaan merupakan ketersediaan sejumlah uang atau barang dan jasa yang dinyatakan dalam bentuk uang bagi penyelenggara pendidikan, program yang telah direncanakan harus dijalankan sesuai dengan rencana, semakin banyak kegiatan yang dilakukan maka semakin banyak dana yang dibutuhkan, sehingga sekolah harus berupaya untuk memenuhi anggaran biaya yang telah direncanakan. Agar kebutuhan biaya dapat terpenuhi, maka penggunaan strategi diperlukan, karena strategi adalah suatu garis-garis besar suatu haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan, dengan menggunakan strategi pemenuhan pembiayaan pendidikan, maka kebutuhan dana dalam melaksanakan program dapat direncanakan dan dilaksanakan dengan baik.
Sekolah dan madrasah swasta dalam konteks pembiayaan pendidikan mendapat bagian yang kecil dari pemerintah, karena pembiayaan atau pendanaan bagi satuan pendidikan yang didirikan dan dikelola oleh masyarakat menjadi tanggung jawab satuan pendidikan yang bersangkutan. MA X merupakan salah satu madrasah swasta yang ada di kota X, yang dalam perjalanan sejarahnya mengalami perkembangannya yang signifikan.
Berdasarkan hasil survei/observasi awal yang dilakukan oleh peneliti, MA X merupakan madrasah swasta yang sejak berdirinya mengalami perkembangan yang signifikan salah satunya dapat dilihat dari bangunan fisik sekolah yang semakin baik, ruangan kelas semakin bertambah banyak, sarana dan prasarana (saspras) yang mulai terlengkapi, dll. Pengembangan ini tidak akan dapat terpenuhi jika tidak memiliki biaya yang memadahi.
Selain itu juga sebagai madrasah yang didirikan oleh yayasan X, pada awal pendiriannya berkomitmen untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan dan juga mengurangi angka putus sekolah dikarenakan keterbatasan dana, komitmen ini dilakukan dengan menggratiskan biaya sumbangan pembiayaan pendidikan (SPP) bagi siswa yang kurang mampu dalam hal perekonomian. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan akan biaya pendidikan lebih difokuskan pada usaha menggali dana dari berbagai sumber.
Fakta yang terjadi di atas sangat menarik untuk diungkap lebih jauh melalui penelitian ini, dan hal ini memang sangat sesuai dengan judul penelitian, yaitu “STRATEGI PEMENUHAN PEMBIAYAAN PENDIDIKAN DI MA X”. Pada akhirnya, melalui penelitian ini, diharapkan dapat menghasilkan solusi tentang Strategi Pemenuhan Pembiayaan Pendidikan di Sekolah baik swasta ataupun sekolah negeri.

B. Fokus Penelitian
1. Bagaimana kebutuhan dan pemenuhan pembiayaan pendidikan di MA X ?
2. Bagaimana strategi pemenuhan pembiayaan Pendidikan di MA X ?

C. Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian ini adalah ditemukannya strategi pemenuhan pembiayaan pendidikan di MA X, sedangkan tujuan lebih khusus sesuai dengan fokus penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk : 
1. Mendeskripsikan dan mengkaji tentang kebutuhan dan pemenuhan pembiayaan pendidikan di MA X.
2. Mendeskripsikan dan merumuskan alternatif strategi dalam rangka pemenuhan pembiayaan pendidikan di MA X.

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 
1. Secara teoritis : penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi keilmuan untuk menjadi bahan kajian dan bahan penelitian selanjutnya. Terutama yang berkaitan dengan pembiayaan pendidikan, bagaimana strategi yang diterapkan untuk pemenuhan pembiayaan pendidikan, karena pelaksanaan strategi ini tidak bisa diseragamkan antara satu sekolah dengan sekolah lainnya, sehingga hal ini bisa bermanfaat bagi praktisi pendidikan terutama kepala sekolah. 
2. Secara praktis : untuk memberikan gambaran tentang potret ideal bagaimana strategi pemenuhan pembiayaan dalam usaha untuk pemenuhan anggaran pembiayaan pendidikan dan sebagai sumber pemasukan bagi satuan pendidikan.

TESIS PROBLEMATIKA MANAJEMEN PENDIDIKAN (STUDI KASUS DI MIN)

TESIS PROBLEMATIKA MANAJEMEN PENDIDIKAN (STUDI KASUS DI MIN)

(KODE : PASCSARJ-0269) : TESIS PROBLEMATIKA MANAJEMEN PENDIDIKAN (STUDI KASUS DI MIN) (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Keberadaan madrasah di Indonesia merupakan fenomena budaya yang telah berusia satu abad lebih. Sebagai bagian dari budaya, Madrasah dengan sendirinya menjadi proses sosialisasi yang relatif sangat cepat dan intensif.
Secara teknis Madrasah tidak berbeda dengan Sekolah, hanya dengan lingkup kultur Madrasah mempunyai spesialisasi. Di lembaga ini siswa memperoleh pembelajaran hal ihwal atau seluk beluk Agama dan keagamaan, sehingga dalam penggunaan kata Madrasah sering dikonotasikan dengan sekolah Agama.
Madrasah dalam perjalanannya mengalami realitas yang cukup panjang. Transisi perubahan Madrasah disebabkan fenomena yang ada yaitu pendudukan kolonial Belanda yang mendiskreditkan Islam, yang kemudian menimbulkan dikotomi ilmu umum dan ilmu Agama.
Dalam pengembangan dan inovasi Madrasah, secara formal dirintis oleh Menteri Agama Prof. Dr. Mukti Ali 1971-1978 dengan terobosan SKB iga Menteri yang mewajibkan kurikulum di Madrasah Mata pelajaran umum 70% dan Agama 30%. Inovasi tersebut untuk meningkatkan kualitas pendidikan, iklim belajar mengajar yang tepat sebagaimana layaknya pendidikan modern. 
Dalam implementasi inovasi di atas masih banyak kendala yang dihadapi, baik dari segi kelembagaan, tenaga guru, kurikulum, maupun sarana dan prasarana. Dalam pada itu kehadiran Madrasah masih sangat dibutuhkan karena Madrasah mampu melahirkan peserta didik yang memiliki budi pekerti luhur serta kesadaran beragama yang lebih tinggi. Keunggulan Madrasah tersebut dirasa sangan sesuai dan relevan untuk mengantisipasi sebagai akses dan pengaruh pendidikan modern seperti sikap sekularistik, materialistic, dan cenderung mengabaikan persoalan moral.
Bagi remaja usia sekolah mengabaikan masalah moral dan spiritual mengakibatkan banyak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti perkelahian antar pelajar, penggunaan obat terlarang yang sering terjadi akhir-akhir ini. Dengan keunggulan Madrasah tersebut, orang tua merasa tenang jika anaknya belajar di Madrasah.
Dari fenomena di atas, yang terpenting adalah membentuk Madrasah yang berkualitas yang mampu bersaing dengan sekolah umum. Adapun gagasan mengenai pembentukan Madrasah yang berkualitas memiliki landasan yang cukup kuat, diantaranya : 
1. Dengan keluarnya UU No 20/2003 tentang USPN yang menyatakan tidak ada pembedaan antara Madrasah dan sekolah
2. UU No 20/2003 Pasal 8 ayat 2 yang menyebutkan bahwa warga Negara Indonesia yang memiliki kemampuan dan kecerdasan berhak memperoleh perhatian khusus.
Meski demikian madrasah oleh sebagian masyarakat masih dipandang sebelah mata atau dianggap sebagai lembaga pendidikan "kelas dua", faktanya walaupun secara yuridis diakui dan sejajar dengan formal lainnya, Madrasah hanya diminati oleh siswa-siswa yang kemampuan intelegensi dan tingkat ekonomi orang tua yang pas-pasan, sehingga upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di Madrasah selalu mengalami hambatan.
Di sisi lain, kebijakan yang dibuat pemerintah justru terasa mempersulit upaya-upaya pengembangan madrasah. Kualitas pendidikan relative kurang didukung disbanding dengan sekolah formal lainnya, karena kebanyakan bidang studi yang diajarkan sementara kualitas tenaga didik masih rendah, manajemen kurang professional, sarana dan prasarana pas-pasan, serta jumlah siswa yang sedikit dan kebanyakan berasal dari keluarga tidak mampu (Fajar : 1999 : 18).
Kita menyadari dalam dinamika dan peradaban global saat ini, Madrasah menghadapi tantangan yang sangat berat, yakni masyarakat kita mulai terjebak oleh pandangan hidup yang positivism dan kapitalisme, sehingga segala sesuatu yang dianggap tidak mempunyai keuntungan, manfaat dan peluang akan ditinggalkan. Bertolak dari pandangan di atas bahwa Madrasah dianggap marjinal oleh sebagian masyarakat memang cukup beralasan. Masyarakat berpersepsi bahwa Madrasah kurang professional, tidak berkualitas, NEM dibawah rata-rata, out put tidak mampu berkompetisi, serta lemah dalam sisi manajemen.
Menurut Mastuhu (1999 : 59) ada lima kelemahan system pendidikan madrasah, yakni 1) mementingkan materi disbanding metodologi, 2) mementingkan memori di atas analisis dan dialog, 3) mementingkan otak ‘kiri' dibandingkan otak 'kanan', 4) materi pelajaran agama yang diberikan tidak menyentuh aspek social karena bercorak tradisional, 5) mementingkan orientasi 'memiliki' daripada 'menjadi'.
Akibat mendirikan madrasah yang hanya mementingkan kuantitas bukan kualitas, dengan pengelolaan yang asal-asalan, Madrasah swasta khususnya, tidak mampu memberikan pembaharuan dan pencerahan bagi pendidikan Islam.
Dalam hal ini faktor kepemimpinan menjadi sorotan utama, ketidak mampuan pemimpin untuk menggerakkan, mempengaruhi dan mendorong serta memanfaatkan sumberdaya manusia yang ada kelemahan manajemen inilah yang menyebabkan Madrasah sulit berkembang.
Dalam teori sosial (Adam Ibrahim. 1989 : 19) dikatakan, bahwa suatu organisasi yang tidak mampu berinovasi, berperan dan ber konteks dengan lingkungannya, maka cepat atau lambat organisasi tersebut akan ditinggalkan lingkungannya. Lembaga pendidikan dalam hal ini Madrasah sebagai lembaga social harus mampu merespon tuntutan masyarakat yang selalu berubah yang disebabkan oleh perubahan dan tuntutan zaman.
Hal-hal yang perlu dilakukan inovasi dalam pengelolaan Madrasah dapat dikelompokkan sebagai berikut : (1) pembinaan tenaga guru (2) pembinaan staf (3) prilaku dan kedisiplinan (4) melakukan kerjasama dengan pihak-pihak terkait (stake holders) (5) hubungan dan komunikasi serta iklim Madrasah (6) strategi pembelajaran (7) pembelajaran/media pembelajaran (8) keuangan (9) sarana dan prasarana. Yang menjadi pertanyaan besar adalah mengapa upaya inovasi yang telah dirintis sejak dulu, utamanya peningkatan kualitas pendidikan Madrasah tidak sesuai dengan harapan ?.
Inovasi menurut Adam Ibrahim (1989 : 21) adalah upaya pemecahan masalah-masalah yang dihadapi. Dan apabila dikaitkan dengan fungsinya sebagai institusi social terbuka, maka Madrasah dituntut untuk melakukan inovasi sebagai bentuk kepedulian terhadap tuntutan masyarakat yang selalu berubah jika tidak maka Madrasah akan ditinggalkan masyarakatnya. Hal ini diperkuat oleh Ibrahim Bafadhol (1988; 16) bahwa inovasi Madrasah adalah suatu keharusan untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme pendidikan dalam menatap masa depan. Aspek-aspek yang perlu di inovasi menurutnya adalah (1) pembinaan personalia (2) banyaknya personal dan wilayah kerja (3) fasilitas fisik (4) penggunaan waktu (5) perumusan tujuan (6) prosedur (7) peran yang dimiliki (8) bentuk hubungan antar bagian (9) hubungan dengan system yang lain dan strategi : desain, kesadaran, dan perhatian, evaluasi, percobaan. Dari sinilah inovasi pendidikan Madrasah harus dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan. Meski demikian sudah ada Madrasah yang mampu mengaktualkan diri sebagai sekolah unggulan dan favorit yang dapat memberi nuansa baru terhadap pendidikan Islam ke depan.
H.A. R. Tilaar (1999; 33) berpendapat bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih memiliki berbagai problem yang harus dipecahkan : Distribusi pendidikan belum merata, mutu pendidikan masih rendah diberbagai jenjang dan jenis pendidikan, efisiensi internal dan eksternal system pendidikan masih rendah, aplikasi manajemen masih kurang professional dan lemahnya sumberdaya manusia, serta menurunnya akhlak dan moral. Permasalahan tersebut disebabkan karena system pendidikan yang dilakukan selama ini masih bersifat missal dan cenderung memberikan perlakuan yang standar dan merata kepada semua peserta didik, sehingga kurang memberikan perhatian kepada peserta didik yang memiliki kemampuan, kecerdasan, minat dan bakat yang lebih dalam. Oleh karena itu, system tersebut tidak akan menunjang upaya pengoptimalan pengembangan potensi sumberdaya manusia secara tepat.
Menurut Mukti Ali (dalam Maksum, 1999l : 40), realitas pendidikan Islam dari sejak munculnya lembaga pendidikan Islam sampai dengan sekarang masih diliputi oleh problema-problema yang seakan tidak pernah selesai.
Dalam pengembangan madrasah yang merupakan lembaga yang berciri khas Islam sampai saat ini masih dipertanyakan kualitas pendidikannya. Secara jujur harus diakui keberadaan Madrasah masih belum mampu mencapai kualitas yang diharapkan dan perannya di tengah masyarakat masih perlu diadakan pembenahan. Dari sisi kualitas, pendidikan di Madrasah jelas masih jauh dari yang kita harapkan, baik dari faktor profesionalisme tenaga pengajar, sarana dan prasarananya, maupun input dan outputnya serta faktor finansialnya. Masyarakat Indonesia yang sebagian besar memeluk Agama Islam, tentu menaruh harapan besar pada Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang diharapkan mampu menjawab pelbagai tantangan zaman di era global ini. Bukan hal yang berlebihan apabila masyarakat mengharapkan generasi yang memiliki tingkat moralitas yang tinggi yang memiliki konsistensi terhadap Agamanya atau kesolehan spiritual sekaligus kesolehan social.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mukti Ali (1999 : 41) "sudah saatnya pemerintah dan umat Islam memberi perhatian serius terhadap lembaga pendidikan keagamaan seperti Madrasah, pondok pesantren ataupun lembaga keagamaan lainnya. Menurut Bukhori (dalam Muhaimin, 2005; 41) bahwa kegagalan lembaga pendidikan Agama Islam disebabkan karena praktek pendidikannya hanya memperhatikan faktor kognitif dan mengabaikan faktor afektif dan kognatif, yakni kemauan dan tekat yang kuat untuk mengamalkan nilai-nilai Agama, akibatnya terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan pengamalan. Madrasah masih sibuk dengan berputar-putar pada masalah tenaga pengajar dan sumber dana. Sering laki para pengajar di Madrasah merasa kebingungan dengan inovasi pendidikan terutama dalam bidang kurikulum (Muhaimin, 2005 : VI). Jika hal ini dibiarkan tidak mustahil Madrasah akan ditinggalkan oleh masyarakat Islam sendiri.
Dari pelbagai problematika pendidikan khususnya Madrasah. MIN X sebagai obyek penelitian ini yang apabila dibandingkan dengan lembaga pendidikan Islam lain masih jauh kalah bersaing. Akan tetapi MIN X jika di bandingkan dengan Madrasah-Madrasah yang ada di X, terutama di Kecamatan X dari segi sarana-prasarananya, financial dan sumberdaya manusianya masih lebih baik. Tetapi, dengan pelbagai keunggulan yang ada di MIN X tidak mampu menempatkan diri sebagai Madrasah yang diminati atau menjadi pilihan masyarakat, masih kalah dengan Madrasah atau sekolah swasta yang notabene sumberdaya manusianya dan sisi finansialnya jauh di bawahnya.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk memperbaiki kualitas dan meraih kembali simpati masyarakat, dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh besar di daerah X, namun semua masih jauh dari harapan. MIN X yang dulu menjadi kebanggaan masyarakat, kini nasibnya sangat memilukan. Dari fenomena yang terjadi di MIN X tersebut, menarik peneliti untuk mengungkap apa yang sebenarnya terjadi serta apa makna dari kajian tersebut.

B. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini mengungkap penyebab utama terjadinya kemunduran drastic lembaga pendidikan MIN X. Adapun pertanyaan yang peneliti ajukan untuk mengungkap hal tersebut adalah : 
1. Mengapa MIN tersebut mengalami kemunduran ?
2. Apa saja problem yang dihadapi oleh MIN X tersebut ?
3. Upaya apa yang dilakukan MIN X untuk mengatasi problemnya ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan dan batasan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 
1. Untuk mengetahui penyebab utama dari kemunduran MIN X
2. Untuk mengetahui problem yang dihadapi MIN X
3. Upaya apa yang dilakukan oleh Min X untuk mengatasi problemnya ?

D. Manfaat penelitian
Penelitian tentang problematika manajemen pendidikan diajukan dari aspek manajemen dan kepemimpinan tentu sangat banyak, namun tetap memiliki daya tarik tersendiri. Sebab dari beberapa penelitian tentang kepemimpinan Kepala Madrasah tentu ada perbedaan dalam pendekatan settingnya oleh karena itu, penelitian ini diharapkan menemukan hal-hal baru dalam bidang kepemimpinan dan manajemen untuk lembaga pendidikan.
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi berharga bagi inovasi aspek fisik dan non fisik bidang manajemen dan kepemimpinan. Kedua hal di atas diperlukan dalam rangka untuk pemberdayaan Madrasah dan mempersiapkan Madrasah sebagai lembaga alternative yang inovatif dan berkualitas. Di samping itu juga sebagai sumbangan pemikiran kepada Departemen Agama Kabupaten X khususnya dalam rangka mengembangkan inovasi pendidikan Madrasah di masa yang akan dating.
Hasil penelitian juga akan bermanfaat bagi MIN X dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikannya. Manfaat lain dari penelitian ini diharapkan dapat memberdayakan Madrasah pada khususnya dan dunia pendidikan pada umumnya.