Search This Blog

SKRIPSI PGSD KEEFEKTIFAN PENGGUNAAN MODEL MIND MAPPING DALAM PEMBELAJARAN IPS KELAS III

(KODE : PENDPGSD-0036) : SKRIPSI PGSD KEEFEKTIFAN PENGGUNAAN MODEL MIND MAPPING DALAM PEMBELAJARAN IPS KELAS III

contoh skripsi pgsd

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Di era globalisasi, perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang sudah semakin modern harus diimbangi dengan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). SDM yang berkualitas akan mampu memanfaatkan perkembangan IPTEK semaksimal mungkin. Pendidikan sebagai sarana dan wahana yang sangat baik dalam pembinaan SDM yang berkualitas perlu mendapat perhatian, penanganan, dan prioritas secara baik oleh pemerintah, pengelola pendidikan, dan masyarakat.
Pendidikan merupakan hak setiap manusia, dan merupakan kewajiban bagi manusia untuk mengikuti pendidikan. Berkaitan dengan hak dan kewajiban pendidikan bagi setiap manusia, di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 (Amandemen) Pasal 31 Ayat 1 yang menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak mendapat pendidikan, selanjutnya dalam Ayat 2 juga disebutkan bahwa setiap warga negara Indonesia wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Manusia dengan adanya pendidikan, akan mampu mengembangkan pola pikir, dan kemampuan yang dimiliki, sehingga bermanfaat bagi dirinya, masyarakat, dan bangsa.
Hal tersebut sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Bab I Pasal 1 Ayat 1 bahwa : “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.
Munib, dkk (2011 : 34) juga berpendapat : "Pendidikan adalah usaha sadar dan sistematis, yang dilakukan oleh orang-orang yang diserahi tanggung jawab untuk mempengaruhi peserta didik agar mempunyai sifat atau tabiat sesuai dengan cita-cita pendidikan". Lebih lanjut, Rusman (2012 : 201) menyatakan bahwa pendidikan hendaknya mampu mengkondisikan, dan memberikan dorongan untuk dapat mengoptimalkan dan membangkitkan potensi siswa, menumbuhkan aktivitas serta daya cipta atau kreativitas, sehingga akan menjamin terjadinya dinamika di dalam proses pembelajaran. Pendidikan di Indonesia dapat ditempuh melalui 3 jalur, yakni pendidikan formal, pendidikan non formal, dan pendidikan informal. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Bab I Pasal 1 Ayat 2, pendidikan formal adalah "jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi". Pendidikan formal tersebut dapat diselenggarakan melalui sekolah.
Pada hakikatnya, sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang menyediakan banyak kegiatan belajar, sehingga siswa dapat memperoleh pengalaman pendidikan. Pendidikan diharapkan tidak hanya membentuk manusia yang bermartabat saja, tetapi juga mampu menjadi pilar peradaban bangsa yang bermartabat. Oleh karena itu, pendidikan memiliki peranan penting dalam mencapai tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Bab II Pasal 3 yaitu : 
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Demi tercapainya fungsi dan tujuan pendidikan tersebut, maka pendidikan di Indonesia harus dilaksanakan sesuai dengan kurikulum yang telah ditetapkan. Kurikulum dibentuk agar tujuan pendidikan dapat terlaksana dan tercapai tepat sasaran. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab I Pasal 1 Ayat 19 menyatakan bahwa : 
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Kurikulum pendidikan dasar (SD/MI/SLB) dan menengah menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab X Pasal 37 Ayat 1, wajib memuat 10 mata pelajaran, salah satunya yakni Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Susanto (2013 : 137) menyatakan bahwa, IPS merupakan ilmu pengetahuan yang mengkaji berbagai disiplin ilmu sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang dikemas secara ilmiah dalam rangka memberi wawasan dan pemahaman yang mendalam kepada siswa, khususnya di tingkat dasar dan menengah.
IPS dikenal sebagai mata pelajaran yang memiliki cakupan materi yang luas, sehingga pembelajaran IPS harus dikemas dalam pembelajaran yang menarik. Proses pembelajaran IPS yang masih berpusat pada guru dan memonopoli peran sebagai sumber informasi, sudah sepantasnya diubah dengan menerapkan metode atau model pembelajaran yang bervariasi. Hal ini sesuai dengan proses pembelajaran yang dimaksudkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses yang menjelaskan bahwa : Proses pembelajaran pada setiap satuan pendidikan dasar dan menengah harus interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Kenyataannya, masih banyak guru yang melaksanakan pembelajaran IPS dengan menggunakan metode pembelajaran yang cenderung monoton, yaitu masih menggunakan pembelajaran konvensional berupa metode ceramah dan tanya jawab yang berpusat pada guru. Dalam situasi tersebut, maka peran guru dan buku-buku teks masih merupakan sumber belajar yang sangat utama. Siswa hanya berperan sebagai objek belajar yang harus bisa menghafal semua materi yang telah disampaikan oleh guru. Cara-cara yang demikian cenderung membuat siswa lebih bersikap apatis, baik terhadap mata pelajaran itu sendiri maupun terhadap gejala-gejala sosial yang terjadi di dalam masyarakat.
Metode ceramah memang memudahkan guru dalam menyampaikan materi pelajaran, tetapi di sisi lain kurang dapat mengaktifkan siswa dan dapat membuat siswa cepat bosan terhadap proses pembelajaran. Terlebih lagi, pembelajaran yang menggunakan metode ceramah cenderung mengarahkan siswa untuk mencatat materi yang telah atau akan disampaikan oleh guru. 
Kegiatan pembelajaran yang demikian, menurut Windura (2013 : 21-3) hanya melibatkan satu belahan otak saja, yaitu belahan otak kiri. Padahal pada kenyataannya, otak mempunyai sifat untuk selalu menyeimbangkan kedua belahannya. Sifat menyeimbangkan otak ini ditunjukkan saat keadaan sedang jenuh. Ketika siswa yang sudah kelebihan beban otak kirinya saat belajar di kelas, maka otak kanan juga akan menyeimbangkannya dengan beberapa hal, yaitu : (1) menggambar atau mencoret-coret apa saja yang sesuai dengan lamunannya; (2) melamunkan sesuatu, kemudian mengajak bercerita teman di sebelahnya mengenai lamunannya; (3) tidak konsentrasi; (4) bosan; (5) mengantuk; dan (6) tidur. Oleh karena itu, guru perlu menggunakan metode atau model pembelajaran lain yang dalam proses pembelajaran mampu melibatkan kedua belahan otak dalam berpikir, sehingga dapat mengingat informasi jauh lebih mudah dan pembelajaran menjadi lebih kondusif.
Permasalahan yang berkaitan dengan pembelajaran IPS juga dialami Sekolah Dasar (SD) Negeri X khususnya kelas III. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru kelas III SD Negeri X diperoleh informasi bahwa hasil belajar siswa pada Ulangan Akhir Semester (UAS) semester gasal kurang optimal, dari 27 siswa, 33% diantaranya masih mendapatkan nilai di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang telah ditentukan yaitu 70. Setelah dianalisis, keadaan demikian didasarkan oleh beberapa penyebab, yaitu : (1) model pembelajaran yang digunakan dalam proses pembelajaran IPS masih menggunakan metode konvensional, dan berpusat pada guru; (2) penggunaan metode pembelajaran lebih menitikberatkan pada aspek kognitif saja, sehingga pengembangan aspek afektif, dan psikomotorik siswa belum optimal; dan (3) pada pelaksanaan pembelajaran IPS, guru jarang menerapkan model pembelajaran yang inovatif, dan masih terfokus pada kegiatan siswa yang berupa mencatat, serta menghafal materi pelajaran.
Berdasarkan permasalahan yang ada pada kelas tersebut, guru dituntut harus mempunyai kombinasi metode atau model pembelajaran lainnya, agar suasana pembelajaran menjadi lebih baik. Hal tersebut dikarenakan guru merupakan subjek yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan. Rusman (2012 : 58) menyatakan bahwa pada umumnya guru merupakan faktor penentu yang sangat dominan dalam proses pendidikan, karena guru memegang peranan dalam proses pembelajaran yang merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan. Dengan demikian, guru dituntut untuk menguasai berbagai kompetensi, salah satunya yaitu kompetensi pedagogik. Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan mengelola pembelajaran yang meliputi pemahaman terhadap siswa, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan siswa untuk mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya (Chatib, 2013 : 28). Guru harus mengerti dan bisa mempraktikkan konsep pedagogik yang efektif agar tujuan pendidikan tercapai.
Berdasarkan permasalahan dalam proses pembelajaran IPS yang terjadi pada kelas III SD Negeri X maka diperlukan suatu upaya untuk memperbaiki proses pembelajaran IPS. Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut, yaitu dengan berinovasi menggunakan model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik perkembangan siswa, dan materi pembelajaran. Model pembelajaran tersebut tentunya yang mampu melibatkan kedua belahan otak selama proses pembelajaran berlangsung. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, akan diujicobakan dengan menerapkan model pembelajaran Mind Mapping.
Mind Mapping menurut Buzan (2013 : 4) merupakan "cara termudah untuk menempatkan informasi ke dalam otak dan mengambil informasi ke luar dari otak". Melalui Mind Mapping, siswa memetakan konsep-konsep ilmu yang diperoleh dari buku pada selembar kertas dalam bentuk simbol-simbol, kata-kata, gambar, serta garis-garis dengan berbagai warna sehingga dalam hal ini siswa menciptakan media belajar sendiri. 
Swadarma (2013 : 7) menyebutkan bahwa Mind Mapping bekerja dengan memadukan dan mengembangkan potensi kerja kedua belahan otak dalam proses belajar, sehingga menjadi mudah untuk mengatur dan mengingat segala bentuk informasi, baik melalui tulisan maupun lisan. Mind Mapping memadukan dan mengembangkan potensi kerja otak yang terdapat dalam diri seseorang. Dengan adanya keterlibatan kedua belahan otak, maka akan memudahkan seseorang untuk mengatur dan mengingat segala bentuk informasi. Adanya kombinasi warna, simbol, bentuk, dan sebagainya, memudahkan otak dalam menyerap informasi yang diterima. Hal tersebut menyebabkan siswa dapat memahami materi pelajaran secara lebih mendalam dan mengingatnya lagi dengan mudah. Selain itu, melalui model pembelajaran Mind Mapping, siswa mampu berperan aktif dan bekerjasama dalam membangun pengetahuannya. 
Dengan demikian, model pembelajaran Mind Mapping diharapkan mampu meningkatkan hasil belajar siswa. Oleh karena itu, peneliti bermaksud untuk menggunakan model pembelajaran Mind Mapping pada pembelajaran IPS materi sejarah uang dan penggunaan uang sesuai kebutuhan agar dapat membuat siswa mampu memahami materi serta mengingat materi pembelajaran dengan mudah. Melalui model pembelajaran Mind Mapping, diharapkan siswa dapat membangun pengetahuan dan pemahaman terhadap materi sejarah uang dan penggunaan uang sesuai kebutuhan yang sebagian besar berisi tentang hafalan.
Keberhasilan penggunaan model pembelajaran Mind Mapping telah dibuktikan oleh penelitian terdahulu. Setyaningrum dari Universitas Negeri Yogyakarta telah membuktikan keefektifan Mind Mapping pada tahun 2012 dengan judul penelitian "Penerapan Metode Mind Map untuk Meningkatkan Kemampuan Membaca Pemahaman Siswa Tunarungu Kelas 3 di SLB As-Syifa Lombok Timur". Berdasarkan penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penerapan Mind Mapping terbukti efektif dalam meningkatkan hasil belajar siswa kelas 3 SLB As-Syifa Lombok Timur. Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan oleh mahasiswi dari Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, Subiyati (2012) dengan judul "Perbedaan Pengaruh Penggunaan Metode Mind Map dan Metode Ceramah terhadap Hasil Belajar IPS Siswa Kelas IV SD Negeri Keputran A Yogyakarta Tahun Ajaran 2011/2012", yang menyatakan bahwa penerapan Mind Mapping terbukti efektif dalam meningkatkan hasil belajar IPS siswa. Hasil tersebut menjadi bukti empiris terhadap penerapan model pembelajaran Mind Mapping di kelas untuk menyelesaikan masalah-masalah pembelajaran.  
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti bermaksud untuk melaksanakan penelitian dengan judul "KEEFEKTIFAN PENGGUNAAN MODEL MIND MAPPING DALAM PEMBELAJARAN IPS PADA SISWA KELAS III SEKOLAH DASAR NEGERI X". Dengan harapan, peneliti dapat membandingkan hasil belajar siswa antara pembelajaran yang menggunakan model pembelajaran Mind Mapping dan pembelajaran konvensional.

SKRIPSI PGSD KEEFEKTIFAN MODEL TWO STAY TWO STRAY BERBASIS TEORI VAN HIELE DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA KELAS V

(KODE : PENDPGSD-0035) : SKRIPSI PGSD KEEFEKTIFAN MODEL TWO STAY TWO STRAY BERBASIS TEORI VAN HIELE DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA KELAS V

contoh skripsi pgsd

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan formal merupakan pendidikan yang diselenggarakan di sekolah pada umumnya. Pelaksanaan pembelajaran di sekolah tidak dapat terlepas dari kurikulum. Kurikulum merupakan program pendidikan yang disediakan oleh lembaga pendidikan (sekolah) bagi siswa (Hamalik, 2015 : 65). Kurikulum dijadikan pedoman dalam melaksanakan pembelajaran di semua jenjang pendidikan.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Bab I Pasal 1 Ayat 19 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan : “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu". Kurikulum disusun sebagai acuan dalam pelaksanaan pembelajaran sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Jenjang pendidikan formal yang paling mendasar yaitu Sekolah Dasar (SD). Pendidikan di sekolah dasar bertujuan memberikan bekal kemampuan dasar baca, tulis hitung, pengetahuan, dan keterampilan dasar yang bermanfaat bagi siswa sesuai dengan tingkat perkembangannya (Susanto, 2015 : 89). Salah satu mata pelajaran yang diajarkan yaitu mata pelajaran matematika. Matematika diajarkan di jenjang sekolah dasar mulai dari kelas I-VI. Matematika merupakan ide-ide abstrak yang berisi simbol-simbol, sehingga konsep matematika harus dipahami dahulu sebelum memanipulasi simbol-simbol itu (Susanto, 2015 : 183).
Abdurrahman (2012 : 253) menyatakan mata pelajaran matematika yang diajarkan di SD mencakup tiga cabang, yaitu aritmetika, aljabar, dan geometri. Maryunis (1989) dalam Abdurrahman (2012 : 204) menyebutkan salah satu cabang matematika yang diajarkan pada sekolah dasar yaitu geometri. Geometri merupakan cabang matematika yang berkenaan dengan titik dan garis. Tujuan materi geometri salah satunya yaitu menguasai bentuk dan sifat yang mencakup pembelajaran sifat-sifat dari bentuk-bentuk baik dua maupun tiga dimensi dan pembelajaran tentang hubungan yang terbangun dari sifat-sifat tersebut (Walle, 2008 : 150). Cabang geometri tersebut terwujud dalam beberapa materi, salah satunya yaitu materi sifat-sifat bangun datar. Materi sifat-sifat bangun datar merupakan materi mengenai pemahaman konsep. Siswa dapat mengembangkan konsep apabila mampu mengklasifikasikan atau mengelompokkan benda-benda atau ketika siswa dapat mengasosiasikan suatu nama dengan kelompok benda tertentu (Abdurrahman, 2012 : 204-5).
Susanto (2015 : 189) menyatakan salah satu kompetensi pembelajaran matematika di sekolah dasar yaitu menentukan sifat dan unsur berbagai bangun datar dan bangun ruang sederhana, termasuk penggunaan sudut, keliling, luas, dan volume. Pembelajaran matematika merupakan proses belajar dan pemberian pengalaman kepada siswa melalui serangkaian kegiatan yang terencana sehingga siswa memperoleh kompetensi tentang bahan matematika yang dipelajari (Muhsetyo, 2008 : 26). Guru mempunyai peran penting dalam merencanakan pembelajaran di sekolah dasar dengan baik agar tercapai tujuan pembelajaran yang optimal.
Burden & Byrd (1999) dalam Anitah (2009 : 2.19) mengemukakan perencanaan pembelajaran berkenaan dengan keputusan yang diambil guru dalam mengorganisasikan, mengimplementasikan dan mengevaluasi hasil pembelajaran. Guru menyiapkan perencanaan pembelajaran yang matang sebagai pedoman pelaksanaan pembelajaran agar tujuan pembelajaran dapat tercapai sesuai dengan yang diharapkan. Tujuan pembelajaran matematika dapat tercapai apabila guru mampu menciptakan situasi dan kondisi pembelajaran yang memungkinkan siswa aktif membentuk, menemukan, dan mengembangkan pengetahuan (Susanto, 2015 : 190).
Berdasarkan observasi awal yang dilakukan di kelas V, pembelajaran matematika di sekolah dasar ini memiliki kekurangan yang menyebabkan tujuan pembelajaran tercapai kurang optimal. Pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru berpedoman pada model pembelajaran konvensional yaitu menggunakan metode ceramah, pemberian tugas dan pekerjaan rumah. Pembelajaran konvensional berpusat kepada guru sehingga membuat siswa tidak aktif berpartisipasi dalam pembelajaran.
Guru memiliki kesulitan dalam pembelajaran matematika. Kesulitan yang pertama yaitu rendahnya aktivitas yang dimiliki siswa pada saat mengikuti pembelajaran matematika. Siswa cenderung pasif dan kurang antusias dalam mengikuti pembelajaran. Guru sudah memberikan kesempatan untuk aktif dalam pembelajaran yaitu dengan cara mengerjakan soal di depan kelas, namun siswa tidak berpartisipasi jika belum ditunjuk oleh guru. Perilaku tersebut menunjukkan masih rendahnya aktivitas dalam diri siswa untuk belajar matematika. Kesulitan kedua yaitu masih banyak siswa yang sulit memahami materi yang diajarkan. Hal ini dikarenakan pembelajaran hanya berpusat pada guru tanpa adanya timbal balik dari siswa.
Siswa hanya menerima informasi yang sampaikan oleh guru. Kebanyakan siswa menerima informasi yang disampaikan oleh guru tanpa dipahami terlebih dahulu. Metode yang digunakan oleh siswa dalam belajar yaitu dengan cara menghafal. Jadi, guru menyampaikan informasi dan siswa hanya menghafal serta menelan mentah-mentah informasi tersebut tanpa memahami terlebih dahulu. Siswa dapat memahami contoh soal yang disampaikan oleh guru di papan tulis, namun ketika diberikan soal yang berbeda siswa tidak dapat mengerjakan soal tersebut. Kondisi yang demikian membuat siswa menjadi bosan dan kurang tertarik pada pembelajaran. Pembelajaran yang menggunakan model konvensional menyebabkan hasil belajar tidak tercapai secara maksimal karena tidak berlangsung secara efektif.
Berdasarkan wawancara dengan guru kelas VA dan VB, menjelaskan siswa kurang aktif dalam pembelajaran matematika. Terdapat siswa yang tidak memperhatikan penjelasan guru, berbicara dengan teman sebangku, dan bermain sendiri. Hal tersebut menjadi hambatan dalam pembelajaran matematika, sehingga belum bisa mencapai hasil pembelajaran yang maksimal.
Faktor lain yang menjadi hambatan pembelajaran matematika yaitu tingkat kemampuan dan kecerdasan siswa yang beraneka ragam. Hal ini menuntut siswa untuk belajar lebih giat daripada siswa yang sudah memiliki kemampuan di atas rata-rata. Beberapa siswa juga beranggapan bahwa matematika merupakan mata pelajaran yang menakutkan, membosankan, dan cenderung tidak menyenangkan dibandingkan mata pelajaran yang lain. Hal ini berdampak kepada aktivitas belajar siswa menjadi rendah baik aktivitas fisik maupun mental sehingga berdampak pada hasil belajar matematika yang kurang maksimal.
Berdasarkan hasil dokumentasi, nilai ulangan akhir semester pembelajaran matematika pada kelas V masih tergolong rendah. Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) untuk mata pelajaran matematika adalah 65. Jumlah siswa kelas V SD Negeri X yaitu sebanyak 50 dan terdapat 30 siswa yang nilainya belum mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) atau 60%. 
Depdikbud (1996) dalam Trianto (2011 : 241) menjelaskan, suatu kelas dikatakan tuntas belajar secara klasikal apabila dalam kelas tersebut terdapat 85% siswa yang tuntas belajarnya. Berdasarkan nilai yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa siswa masih memiliki kemampuan yang rendah dalam pembelajaran matematika. Hal ini dikarenakan guru belum menerapkan model pembelajaran yang tepat sehingga aktivitas dan hasil belajar siswa masih rendah.
Berdasarkan permasalahan di atas perlu adanya alternatif pemecahan masalah, yaitu dengan menciptakan pembelajaran yang efektif. Pembelajaran efektif dapat tercapai dengan cara menciptakan suasana kelas yang menyenangkan, sehingga siswa mendapatkan kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain (Hamruni, 2012 : 29). Pembelajaran yang menyenangkan dapat terlaksana apabila siswa terbebas dari rasa takut dan ketegangan. Suasana yang demikian dapat mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki siswa.
Penerapan pembelajaran yang efektif dilaksanakan dengan menerapkan pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif merupakan rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa dalam kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan (Andayani, 2014 : 193). Tujuan pembelajaran kooperatif tidak hanya meningkatkan potensi akademik, akan tetapi juga meningkatkan keterampilan sosial siswa.
Pembelajaran kooperatif memiliki berbagai macam model di dalamnya. Model pembelajaran merupakan suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas (Ngalimun, 2014 : 27). Model pembelajaran yang diterapkan harus disesuaikan dengan karakteristik siswa.
Siswa pada jenjang sekolah dasar memiliki karakteristik senang bermain, bergerak, bekerja dalam kelompok, dan melakukan sesuatu secara langsung. Guru perlu mengembangkan pembelajaran yang mengandung unsur permainan dan mengusahakan siswa berpindah atau bergerak. Belajar dalam kelompok dapat memberikan kesempatan bagi siswa untuk terlibat langsung dalam pembelajaran (Desmita, 2014 : 35).
Salah satu model pembelajaran yang menjadi alternatif pemecahan masalah pada mata pelajaran matematika yaitu model pembelajaran Two Stay Two Stray (TSTS). Model pembelajaran ini dilaksanakan dengan cara berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan kelompok lain. Huda (2014b : 207) menyatakan model Two Stay Two Stray mempunyai tujuan agar siswa dapat bekerja sama, bertanggung jawab, saling membantu memecahkan masalah dan melatih siswa untuk bersosialisasi dengan baik.
Peneliti memilih model pembelajaran Two Stay Two Stray dengan alasan prosedur dalam model pembelajaran tersebut dapat mengaktifkan siswa dalam pembelajaran. Setiap siswa mempunyai tanggung jawab untuk menyelesaikan tugas masing-masing meskipun dilaksanakan secara berkelompok. Model pembelajaran Two Stay Two Stray dapat meningkatkan keterampilan sosial karena setiap siswa berinteraksi dengan berkunjung ke kelompok yang lain ataupun menerima tamu dari kelompok lain.
Pelaksanaan model pembelajaran harus didukung oleh perangkat yang lain, salah satunya yaitu penggunaan teori belajar. Salah satu teori yang dapat digunakan guru dalam pembelajaran matematika yaitu teori Van Hiele. Alasan pemilihan teori Van Hiele yaitu karena teori tersebut mempunyai fase-fase yang dapat memberi kemudahan bagi siswa untuk memahami materi geometri. Pemilihan teori Van Hiele disesuaikan dengan materi yang akan disampaikan yaitu materi geometri tentang bangun datar. Terdapat lima fase dalam melaksanakan pembelajaran teori Van Hiele yaitu fase informasi, orientasi, penjelasan, orientasi bebas dan integrasi (Aisyah, 2007 : 4-9-10).
Model pembelajaran Two Stay Two Stray pernah diterapkan dalam pembelajaran pada jenjang sekolah dasar yang dilaksanakan oleh Dwitantra (2011) yang berjudul "Efektivitas Pembelajaran Misi Kebudayaan Internasional melalui Model Two Stay Two Stray terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas IV SD Negeri Kaligangsa Kulon 1 Brebes". Penerapan teori belajar Van Hiele telah dilakukan dalam penelitian eksperimen oleh Safrina dkk (2014) dari Universitas Syiah Kuala dengan judul "Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah Geometri melalui Pembelajaran Kooperatif Berbasis Teori Van Hiele".
Beberapa kajian empiris di atas, menjadi landasan peneliti untuk menerapkan model pembelajaran Two Stay Two Stray berbasis teori Van Hiele dalam mengatasi permasalahan pembelajaran matematika pada siswa kelas V SD Negeri X. Diharapkan melalui penerapan model pembelajaran Two Stay Two Stray berbasis teori Van Hiele pembelajaran matematika dapat berlangsung secara efektif sehingga tujuan pembelajaran tercapai dengan optimal. Penerapan model pembelajaran Two Stay Two Stray berbasis teori Van Hiele sebagai bentuk pengujian keefektifan model dan teori pembelajaran pada mata pelajaran matematika kelas V SD.

SKRIPSI PGSD KEEFEKTIFAN MODEL TIPE COURSE REVIEW HORAY TERHADAP HASIL BELAJAR IPS PESERTA DIDIK KELAS IV

(KODE : PENDPGSD-0034) : SKRIPSI PGSD KEEFEKTIFAN MODEL TIPE COURSE REVIEW HORAY TERHADAP HASIL BELAJAR IPS PESERTA DIDIK KELAS IV

contoh skripsi pgsd

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan sarana untuk meningkatkan kualitas manusia dengan segala upaya secara sadar untuk mengubah tingkah laku seseorang dalam keberlangsungan pembangunan bangsa. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 Ayat 1 menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 menyebutkan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Untuk itu setiap satuan pendidikan melaksanakan proses pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran serta penilaian proses pembelajaran untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas ketercapaian kompetensi lulusan.
Selaras dengan pernyataan di atas, Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar tingkat SD/MI dalam Permendikbud Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah menyatakan bahwa Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan mulai dari SD/MI/SLB sampai SMP/MTs/SMPLB. IPS mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang terkait dengan isu sosial. Pada jenjang SD/MI mata pelajaran IPS mengarahkan peserta didik untuk menjadi warga negara Indonesia yang demokratis, dan bertanggung jawab, serta warga yang cinta damai. Oleh sebab itu, mata pelajaran IPS dirancang untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan untuk menyesuaikan terhadap kondisi sosial di masyarakat dalam memasuki kehidupan masyarakat yang dinamis.
Pembelajaran IPS yang dilakukan seorang guru harus interaktif dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan. Keberhasilan dari kegiatan pembelajaran dapat dicapai apabila guru melaksanakan pembelajaran yang efektif bagi peserta didik. Keefektifan pembelajaran bagi peserta didik di kelas dapat dicapai dengan perencanaan yang tepat, pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang baik, pengalaman pembelajaran bermakna, indikator dan penilaian proses pembelajaran. Untuk menciptakan keefektifan pembelajaran dalam kegiatan pembelajaran, maka diperlukan model dan strategi pembelajaran agar menunjang proses pembelajaran dan memberikan pengalaman pembelajaran yang bermakna bagi peserta didik (Trianto, 2014 : 19).
Model pembelajaran Course Review Horay adalah salah satu model pembelajaran yang dapat memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi peserta didik. Model pembelajaran Course Review Horay merupakan model pembelajaran inovatif yang menciptakan pembelajaran yang efektif dengan suasana yang meriah, menyenangkan dan menarik. Model pembelajaran ini juga melatih peserta didik untuk saling menghargai, berdiskusi dan kerjasama dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Sehingga model pembelajaran Course Review Horay dapat menciptakan kelas dengan pembelajaran yang efektif yang dapat meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia (Huda, 2014 : 229-230).
Berbeda dengan pernyataan di atas, pembelajaran yang terjadi di Indonesia masih rendah. Supardi (2012 : 114) menyatakan model kegiatan pendidikan di Indonesia lebih banyak menyeragamkan pola pengajaran secara klasikal dengan slogan "masuk bareng keluar bareng" yang menyalahi dari konsep pendidikan yang sesungguhnya. Pembelajaran di sekolah sebagai salah satu bentuk model pendidikan, seharusnya dilakukan dengan azas demokrasi yang disesuaikan dengan potensi dan kecepatan daya tangkap masing-masing peserta didik. Selain itu, faktor proses dan hasil dari pembelajaran juga mempengaruhi kualitas pendidikan di Indonesia. Hal ini dibuktikan dalam laporan UNESCO pada tahun 2012 yang mengungkapkan bahwa Indonesia berada diperingkat ke-64 dari 120 negara berdasarkan Education Development Index (EDI) atau Indeks Pembangunan Pendidikan. Total nilai EDI itu diperoleh dari rangkuman perolehan empat kategori penilaian, yaitu angka partisipasi pendidikan dasar, angka melek huruf pada usia 15 tahun ke atas, angka partisipasi menurut kesetaraan gender, angka bertahan siswa hingga kelas V Sekolah Dasar (Jakaria, 2014 : 500). Dari permasalahan diatas, maka harus dilakukan peningkatan kualitas pendidikan dengan meningkatkan kualitas pembelajaran, penggunaan model inovatif pembelajaran, sarana dan prasarana pembelajaran sekolah.
Rendahnya kualitas pembelajaran di Indonesia juga terjadi di SDN Gugus X. Hasil pembelajaran IPS untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan peserta didik masih rendah. Pada proses pembelajaran IPS di SDN Gugus X, guru masih menerapkan model pembelajaran expository didominasi metode ceramah. Proses pembelajaran yang tidak menggunakan model pembelajaran inovatif dan berpusat pada guru mengakibatkan peserta didik menjadi pasif dan tidak tertarik dengan materi yang diberikan guru. Hal ini sangat mempengaruhi hasil belajar peserta didik.
Berdasarkan hasil wawancara terstruktur didapatkan informasi bahwa proses pembelajaran IPS guru menggunakan model pembelajaran ekspositori yang didominasi metode ceramah, dan tidak ada model pembelajaran inovatif yang digunakan dalam pembelajaran. Saat pembelajaran berlangsung, peserta didik diberi penjelasan materi yang banyak sehingga materi tidak dikuasai peserta didik dengan optimal. Peserta didik juga kurang giat mengulang pelajaran IPS, kurang fokus dalam pelajaran, rasa kantuk yang menular ke peserta didik lain dan rasa bosan terhadap pembelajaran sehingga terkadang guru mengambil langkah untuk bernyanyi bersama sambil tepuk tangan untuk mengembalikan semangat belajar peserta didik. Rasa senang yang dirasakan peserta didik dapat mengembalikan pembelajaran yang kondusif Ditemukan hasil belajar beberapa peserta didik belum mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang telah ditentukan, yaitu 67. Oleh karena itu, diperlukan suatu penelitian yang memberikan inovasi pembelajaran dengan suasana belajar yang lebih menarik, interaktif, menyenangkan karena peserta didik dapat bermain dan bernyanyi bersama serta memberikan ruang untuk berpartisipasi aktif dalam pembelajaran yang efektif.
Belajar efektif mempunyai arti penting bagi setiap peserta didik. Belajar adalah bentuk kegiatan psikologis, fisik, dan sosial menuju ke perkembangan pribadi seutuhnya. Belajar akan mengolah kegiatan jiwa dan raga untuk mendapatkan suatu perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah laku dari belajar bersifat permanen sebagai hasil dari interaksi pengalaman dengan lingkungannya (Suprijono, 2013 : 3).
Model pembelajaran sebagai suatu inovasi pembelajaran yang dirancang untuk membantu peserta didik memahami teori melalui pengalaman belajar dan praktik empirik. Pembelajaran Course Review Horay (CRH) merupakan cara pembelajaran yang dapat menciptakan suasana kelas menjadi meriah dan menyenangkan karena setiap siswa yang dapat menjawab benar diwajibkan berteriak 'hore!!' atau yel-yel lainnya. Metode ini menguji pemahaman siswa dalam menjawab soal, di mana soal tersebut dituliskan pada kartu atau kotak yang telah dilengkapi nomor (Huda, 2014 : 229).
Model Course Review Horay (CRH) termasuk model pembelajaran kooperatif yang merupakan bagian dari strategi pembelajaran inovatif dan dapat mendorong peserta didik menjadi aktif. Pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang diyakini sebagai praktik pedagogis untuk meningkatkan proses pembelajaran, gaya berpikir tingkat tinggi, perilaku sosial sekaligus kepedulian terhadap peserta didik yang memiliki latar belakang kemampuan, penyesuaian, dan kebutuhan yang berbeda-beda. Aktivitas pembelajaran kelompok bahwa setiap peserta didik bertanggung jawab atas pembelajarannya sendiri dan meningkatkan pembelajaran anggota dalam kelompoknya (Huda, 2015 : 27).
Proses pembelajaran model Course Review Horay dapat memacu peserta didik untuk selalu berinteraksi dengan tim, berpikir kritis untuk menyelesaikan masalah bersama, munculnya ide-ide kreativitas, dan menjaga kekompakan tim. Keunggulan dari model ini adalah strukturnya yang menarik, tidak monoton karena diselingi dengan hiburan sehingga suasana tidak menegangkan, semangat belajar yang meningkat karena suasana pembelajaran berlangsung menyenangkan dan skill kerja sama antar siswa yang semakin terlatih (Huda, 2014 : 231).
Penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Course Review Horay terhadap pembelajaran IPS materi masalah sosial dengan Standar Kompetensi 2. Mengenal sumber daya alam, kegiatan ekonomi, dan kemajuan teknologi di lingkungan kab/kota dan provinsi dan Kompetensi Dasar 2.4 Mengenal permasalahan sosial di daerahnya akan menciptakan keefektifan pembelajaran, pengalaman yang bermakna, dan tercapainya tujuan pembelajaran IPS. Pembelajaran IPS yang mengkaji konsep kehidupan nyata dan masalah sosial di masyarakat akan terbantu dengan penerapan model pembelajaran Course Review Horay. Pembelajaran IPS dengan model pembelajaran Course Review Horay dapat mendorong peserta didik dalam menerapkan bimbingan oleh tim, meningkatkan motivasi belajar, menggali makna pengetahuan, mengungkap sudut pandang pengetahuan yang berbeda, menciptakan pemahaman yang bermakna, menghargai pendapat antara anggota, dan memberikan ruang untuk berpartisipasi dalam pembelajaran. Penggunaan model inovatif ini memotivasi peserta didik untuk lebih aktif dan giat dalam proses pembelajaran serta menciptakan situasi pembelajaran yang kondusif dan ideal. Selain itu, pembelajaran model pembelajaran Course Review Horay secara tidak langsung akan meningkatkan hasil belajar IPS peserta didik.
Keunggulan dari model Course Review Horay dalam pembelajaran tersebut menjadi bahan menarik bagi peneliti dalam meningkatkan hasil belajar peserta didik. Penelitian model pembelajaran Course Review Horay pernah dilakukan beberapa peneliti, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Widyani Made dkk pada tahun 2014 dengan judul "PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE COURSE REVIEW HORAY (CRH) BERBANTUAN MEDIA AUDIO VISUAL TERHADAP HASIL BELAJAR IPA PESERTA DIDIK KELAS V SD SARASWATI 2 DENPASAR". Hasil penelitian menunjukkan uji-t diperoleh t hitung = 8,35 dan taraf signifikan 5%, sehingga terdapat perbedaan hasil belajar IPA dengan model Course Review Horay (CRH) dengan rata-rata sebesar 76,43 sedangkan pembelajaran konvensional dengan rata-rata 70,75. Pada tahun 2013 Liliana dkk telah melakukan penelitian dengan judul "EFEKTIVITAS MODEL PEMBELAJARAN COURSE REVIEW HORAY TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA MATA PELAJARAN EKONOMI". Hasil penelitian menunjukan nilai kelas eksperimen lebih tinggi dibanding kelas kontrol. Penelitian dengan judul "KEFEKTIFAN MODEL COURSE REVIEW HORAY TERHADAP PENINGKATAN HASIL BELAJAR IPS" yang dilakukan oleh Meidian Kusumahati memberikan hasil thitung > ttabel (5,1311 > 2, 373). Hal ini menyatakan bahwa pembelajaran yang menggunakan model Course Review Horay lebih tinggi dengan rata-rata 81,25 dibanding pembelajaran konvensional dengan rata-rata nilai 68,55.
Pada penelitian di atas terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaan dalam penelitian tersebut terletak pada model pembelajaran, fokus terhadap hasil belajar dan instrument observasi serta tes dalam melaksanakan penelitian. Persamaan lain yang terlihat yaitu hasil belajar peserta didik dalam pembelajaran yang menggunakan Course Review Horay mengalami peningkatan yang signifikan. Sedangkan perbedaan pada penelitian tersebut terletak pada media penelitian, mata pelajaran yang akan diteliti, subyek penelitian dan rancangan desain penelitian.
Jenis penelitian yang dilakukan peneliti adalah penelitian kuasi eksperimen. Penelitian menggunakan metode eksperimen dan nonequivalent control group design. Penelitian ini mencari pengaruh perlakuan model Course Review Horay terhadap hasil belajar IPS peserta didik. Pada penelitian terdahulu, diketahui bahwa model Course Review Horay dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik sehingga penelitian tersebut dapat sebagai acuan dan memperkuat teori dalam penelitian ini. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan variabel yang sama dan lokasi penelitian yang lebih luas dibanding dengan penelitian sebelumnya. Peneliti juga menggunakan instrument yang mencakup wawancara terstruktur, observasi, tes dan dokumentasi. Adanya indikator hasil belajar yang lebih jelas dalam aspek kognitif mencakup pengetahuan, pemahaman, penerapan, dan analisis sehingga proses pencapaian hasil belajar peserta didik terlihat dengan jelas. Kejelasan dari hasil belajar tercermin dari tujuan instruksional yang berisi rumusan kemampuan yang dikuasai peserta didik sebagai dasar penilaian. Sehingga, hasil belajar menandakan hasil tercapainya tujuan dari proses pembelajaran.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, peneliti memandang penting penelitian ini untuk menambah kajian tentang model pembelajaran Course Review Horay dan hasil belajar. Dengan demikian, judul penelitian yang peneliti laksanakan adalah "KEEFEKTIFAN MODEL TIPE COURSE REVIEW HORAY TERHADAP HASIL BELAJAR IPS PESERTA DIDIK KELAS IV SDN DI GUGUS X".

SKRIPSI PGSD IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN TEMATIK BERBASIS KTSP PADA KELAS RENDAH

(KODE : PENDPGSD-0033) : SKRIPSI PGSD IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN TEMATIK BERBASIS KTSP PADA KELAS RENDAH

contoh skripsi pgsd

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan suatu keharusan bagi manusia. Melalui pendidikan, manusia akan memiliki kemampuan dan kepribadian yang berkembang. Pendidikan juga mampu membimbing generasi muda untuk mencapai suatu generasi yang lebih baik. Pendidikan nasional berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem dalam pengajaran nasional yang diatur melalui undang-undang. Hal ini sesuai dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional.
Fungsi dan tujuan pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3 yakni mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Fungsi dan tujuan pendidikan nasional dapat diraih dengan mengembangkan kurikulum yang mengacu pada standar nasional pendidikan.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 160 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Kurikulum Tahun 2006 dan Kurikulum 2013 Pasal 1 menyatakan bahwa satuan pendidikan dasar dan pendidikan menengah yang melaksanakan kurikulum 2013 sejak semester pertama tahun pelajaran 2014/2015 kembali melaksanakan kurikulum tahun 2006 mulai semester kedua tahun pelajaran 2014/2015 sampai ada ketetapan dari kementerian untuk melaksanakan kurikulum 2013. Berdasarkan Peraturan Menteri tersebut, sebagian besar satuan pendidikan dasar yang baru melaksanakan kurikulum 2013 di semester pertama tahun pelajaran 2014/2015 kembali melaksanakan kurikulum tahun 2006 (KTSP) pada semester kedua tahun pelajaran 2014/2015 hingga saat ini.
Kurikulum yang berlaku, diatur melalui standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. Menurut Peraturan Menteri Nomor 22 tahun 2006 mengenai standar isi, pembelajaran pada kelas I s.d. III dilaksanakan melalui pendekatan tematik dengan pedoman standar proses sesuai dengan Peraturan Menteri Nomor 41 tahun 2007 dan standar penilaian sesuai dengan Peraturan Menteri Nomor 20 tahun 2007. Standar proses dikembangkan mengacu pada Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi yang telah ditetapkan. Standar proses memuat perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengawasan proses pembelajaran, sedangkan standar penilaian mengatur evaluasi pembelajaran.
Sejak diberlakukannya KTSP, pelaksanaan pembelajaran pada kelas awal (kelas 1, 2, dan 3) MI/SD lebih tepat jika dikelola dengan pembelajaran terpadu/terintegrasi melalui pendekatan pembelajaran tematik untuk semua mata pelajaran sesuai dengan standar proses dan standar penilaian.
Depdiknas (dalam Kadir dan Asrohah, 2014 : 9) mengemukakan guna memberikan gambaran konkret tentang pembelajaran untuk menjadi acuan, maka perlu disiapkan model pembelajaran tematik bagi MI/SD kelas 1 sampai dengan kelas 3. Selain itu, pemerintah melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) menetapkan pendekatan tematik sebagai pendekatan pembelajaran yang harus dilakukan pada peserta didik Sekolah Dasar (SD) terutama untuk peserta didik kelas rendah (Majid, 2014 : 6).
Pembelajaran dengan pendekatan tematik adalah program pembelajaran yang berangkat dari satu tema/topik tertentu dan kemudian dielaborasikan dari berbagai aspek atau ditinjau dari berbagai perspektif mata pelajaran yang biasa diajarkan di sekolah (Kadir dan Asrohah, 2014 : 1). Pada dasarnya pembelajaran tematik diimplementasikan pada kelas awal yakni kelas 1-3 sekolah dasar atau Madrasah Ibtidaiyah dengan titik tolak pencapaian kompetensi membaca, menulis, dan berhitung serta penanaman nilai-nilai moral. Menurut BSNP (dalam Majid, 2014 : 6), penetapan pendekatan tematik dalam pembelajaran di SD dikarenakan perkembangan peserta didik pada kelas rendah sekolah dasar pada umumnya berada pada tingkat perkembangan yang masih melihat segala sesuatu sebagai suatu keutuhan (holistic) dan baru mampu memahami hubungan antara konsep secara sederhana serta masih bergantung pada objek konkret dan pengalaman dalam proses pembelajarannya. Inilah alasan peserta didik kelas rendah (kelas 1-3) melaksanakan pembelajaran tematik. Hal ini sesuai dengan teori konstruktivisme dan behaviorisme. Teori konstruktivisme mengungkapkan bahwa belajar tidak dari sekadar mengingat namun juga memahami dan mampu menerapkan pengetahuan yang telah dipelajari, sedangkan teori behaviorisme mengungkapkan bahwa belajar merupakan proses perubahan perilaku yang tampak dan tidak tampak (Rifai, 2012 : 89 dan 114).
Pembelajaran tematik dirancang dalam rangka meningkatkan hasil belajar yang optimal dan maksimal dengan cara mengangkat pengalaman peserta didik yang mempunyai jaringan dari berbagai aspek kehidupan dan pengetahuannya. Secara efektif pembelajaran tematik akan memberikan nilai positif bagi guru dan peserta didik yakni : (1) memudahkan pemusatan perhatian pada satu tema tertentu, (2) peserta didik dapat mempelajari pengetahuan dan mengembangkan berbagai kompetensi dasar antar isi mata pelajaran dalam tema yang sama, (3) pemahaman materi mata pelajaran lebih mendalam dan berkesan, (4) kompetensi dasar dapat dikembangkan lebih baik dengan mengaitkan mata pelajaran lain dengan pengalaman pribadi peserta didik, (5) lebih dapat dirasakan manfaat dan makna belajar karena materi disajikan dalam konteks tema yang jelas, (6) peserta didik lebih bergairah belajar karena dapat berkomunikasi dalam situasi nyata untuk mengembangkan suatu kemampuan dalam suatu mata pelajaran dan sekaligus dapat mempelajari mata pelajaran lain, dan (7) guru dapat menghemat waktu sebab mata pelajaran yang disajikan secara tematik dapat dipersiapkan sekaligus dan diberikan dalam dua atau tiga pertemuan dan waktu selebihnya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan remidial, pemantapan, atau pengayaan materi (Panduan KTSP dalam Kadir dan Asrohah, 2014 : 7). 
Berdasarkan faktor positif  yang telah disebutkan, maka dorongan untuk melaksanakan pembelajaran tematik dari berbagai pihak baik dari pendidik maupun dari pengambil kebijakan kependidikan menjadi semakin menguat.
Implementasi pembelajaran tematik berbasis KTSP memiliki ciri sesuai dengan ciri KTSP, yakni berbasis kompetensi dan karakter, proses pembelajaran menggunakan EEK (Eksplorasi, Elaborasi dan Konfirmasi), dan menggunakan penilaian berbasis kelas. Implementasi pembelajaran tematik yang ideal meliputi 3 hal yakni penyusunan perencanaan, penerapan atau pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran tematik (Hajar, 2013 : 82). Langkah awal dalam merencanakan pembelajaran tematik adalah mengenal standar kompetensi dan kompetensi dasar sesuai dengan standar isi, menentukan tema, membuat jaring tema, menyusun silabus, dan merancang RPP (rencana pelaksanaan pembelajaran) sesuai dengan standar proses yang mencakup komponen-komponen berikut : (1) standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator pencapaian hasil belajar, (2) tujuan pembelajaran, (3) materi pembelajaran, (4) pendekatan dan metode pembelajaran, (5) langkah-langkah kegiatan pembelajaran, (6) alat dan sumber belajar, dan (7) evaluasi pembelajaran. Melalui perencanaan pembelajaran tematik, pelaksanaan pembelajaran akan lebih mudah. Pelaksanaan pembelajaran tematik menggunakan pendekatan tematik dengan memperhatikan karakteristik pembelajaran tematik sebagai pembeda dengan pembelajaran lainnya. Menurut Prastowo (2013 : 401), penilaian pembelajaran tematik bertujuan untuk mendapatkan berbagai informasi secara berkala, berkesinambungan, serta menyeluruh tentang proses dan hasil pertumbuhan maupun perkembangan yang telah dicapai, baik berkaitan dengan proses maupun hasil pembelajaran. Oleh karena itu, sesuai standar penilaian, evaluasi pembelajaran tematik dilakukan dengan dua hal, yaitu penilaian terhadap proses kegiatan dan hasil kegiatan.
Hasil kajian lapangan implementasi standar isi yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum pada tahun 2007 menyebutkan pelaksanaan pembelajaran tematik di kelas I s.d III tidak berjalan sesuai dengan ketentuan standar isi, karena guru-guru mengalami kesulitan dalam menyusun silabus sesuai dengan Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang ditetapkan dalam standar isi. Selain itu guru-guru mengalami kesulitan dalam mengalokasikan waktu yang harus dipergunakan dalam seminggu, karena tidak ada ketentuan alokasi waktu untuk setiap tema yang ditetapkan. Hal ini disebabkan guru-guru belum memahami esensi dan praktek pembelajaran tematik. Pada umumnya guru-guru belum mendapat pelatihan yang cukup memadai dalam pelaksanaan pembelajaran tematik (Depdiknas Badan Penelitian dan Pengembangan Puskur, 2007 : 12).
Fenomena tersebut juga terjadi di SD negeri di Gugus X yang menjadi sampel pada penelitian ini. Peneliti melalui data observasi dan wawancara menemukan masalah yang berkaitan dengan implementasi pembelajaran tematik pada kelas rendah yang belum optimal. Hal ini terbukti dengan ditemukannya berbagai masalah antara lain, guru kelas rendah sudah membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dengan pendekatan tematik namun pada saat pelaksanaan pembelajaran terlihat pengotakan mata pelajaran sehingga antar mata pelajaran tidak tematik. Karakteristik pembelajaran tematik belum muncul dalam pembelajaran. Selain masalah tersebut, evaluasi pembelajaran hanya dilihat dari hasil belajar peserta didik melalui kegiatan tes lisan dan tertulis, sedangkan penilaian proses seperti pengamatan, sikap, kinerja, dan portofolio belum dilakukan secara maksimal.
Penelitian yang relevan dengan hal ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Nur Ain dan Mans Kurniawati tahun 2013 dengan judul "IMPLEMENTASI KURIKULUM KTSP : PEMBELAJARAN TEMATIK DI SEKOLAH DASAR". Hasil penelitian tersebut, meskipun lebih dari enam tahun setelah diberlakukannya kurikulum KTSP, sekolah dasar di Kecamatan Klojen dan Kecamatan Sukun belum melaksanakan pembelajaran tematik. Belum terlaksananya pembelajaran tematik karena guru kurang menguasai konsep pembelajaran tematik, sehingga guru kurang dapat merancang pembelajaran tematik yang sesuai dengan konsep pembelajaran tematik yang sebenarnya. Pembelajaran di sekolah dasar pada kedua kecamatan baru mengembangkan keterampilan pada ranah kognitif, sedangkan keterampilan dalam ranah afektif dan psikomotorik belum dilaksanakan secara maksimal. Ranah kognitif yang diajarkan kepada peserta didik antara Cl-C3, dan belum sampai pada C4-C6 (Jurnal Inspirasi : 2013).
Penelitian lain yang mendukung hal ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Ni Wayan Sadri tahun 2012 dengan judul "STUDI EVALUASI IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN TEMATIK PADA SEKOLAH DASAR GUGUS I DENPASAR TIMUR DI DENPASAR". Hasil penelitian tersebut implementasi pembelajaran tematik pada sekolah dasar gugus I Denpasar Timur di Denpasar tergolong tidak efektif dilihat dari variabel konteks, input, proses dan produk. Dengan demikian, implikasi praktisnya adalah pembelajaran tematik yang ada pada sekolah dasar gugus I Denpasar Timur di Denpasar perlu disempurnakan baik dari segi konteks, input, proses maupun produk agar implementasi pembelajaran tematik pada sekolah dasar gugus I Denpasar Timur di Denpasar menjadi efektif. (Jurnal Penelitian Pascasarjana Undiksa : 2012).
Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik ingin mengkaji implementasi pembelajaran tematik berbasis KTSP pada kelas rendah di SD negeri Gugus X karena pembelajaran tematik sesuai dengan karakteristik peserta didik kelas rendah. Dengan pembelajaran tematik peserta didik kelas rendah dapat melihat segala sesuatu sebagai suatu keutuhan dan mampu memahami hubungan antara konsep secara sederhana.
Manfaat dalam penelitian ini adalah untuk menggambarkan secara akurat bagaimana implementasi pembelajaran tematik berbasis KTSP pada kelas rendah di sekolah dasar. Berdasar ulasan latar belakang tersebut, maka peneliti telah mengkaji melalui penelitian deskriptif kualitatif dengan judul "IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN TEMATIK BERBASIS KTSP PADA KELAS RENDAH DI SD NEGERI GUGUS X".

SKRIPSI PGSD ANALISIS PERILAKU AKADEMIK SISWA KELAS IV PADA DISKUSI PEMBELAJARAN PKN SD

(KODE : PENDPGSD-0032) : SKRIPSI PGSD ANALISIS PERILAKU AKADEMIK SISWA KELAS IV PADA DISKUSI PEMBELAJARAN PKN SD

contoh skripsi pgsd

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan suatu usaha secara sadar yang dilakukan untuk mengembangkan diri dan memperoleh suatu perubahan perilaku sebagai bekal dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Berdasarkan Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menetapkan bahwa "tujuan pendidikan adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab". Menurut Islamuddin (2012 : 3) pendidikan adalah usaha secara dewasa dari orang dewasa untuk dengan pengaruhnya meningkatkan si anak ke kedewasaan yang selalu diartikan mampu menimbulkan tanggung jawab moral dalam setiap perbuatannya. UNESCO mengemukakan bahwa pendidikan di sokong oleh 4 pilar yang disebut dengan 4 pilar pendidikan yakni : (I) learning to know untuk mengetahui banyak hal yang sangat diperlukan dalam kehidupan manusia, learning to do menekankan pada aktivitas kemampuan untuk melakukan atau mengaktualisasikan dalam hidup dan kehidupannya apa yang sudah diketahuinya, learning to be mengandung makna bahwa manusia tak pernah berhenti belajar dan belajar agar menjadi seperti dirinya sendiri (jati diri), dan learning to live together merupakan pilar pendidikan yang mengacu pada pembinaan dan pembentukan kemampuan untuk menghidupi kehidupan bersama dengan orang lain.
Sekolah sebagai salah satu sarana penyaluran pendidikan sangat berperan dalam mewujudkan tujuan pendidikan. dalam pendidikan formal siswa dapat menggali dan mengembangkan potensi diri yang diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam kegiatan belajar di sekolah, siswa mengalami proses perubahan perilaku karena hasil pengalaman. Hal tersebut juga dinyatakan oleh pakar pendidikan Morgan (dalam Agus Suprijono, 2009 : 2) yang menyatakan bahwa "Belajar adalah perubahan perilaku yang permanen sebagai hasil dari pengalaman". Sehingga luaran yang diharapkan dalam kegiatan belajar di sekolah yaitu perubahan perilaku berupa kebiasaan. Selain bertugas mencerdaskan bangsa, sekolah juga memiliki tugas membentuk perilaku anak melalui pendidikan di sekolah.
Perilaku dalam pandangan behaviorisme adalah segala sesuatu yang dilakukan dan dapat dilihat secara langsung. Ciri teori perilaku adalah mengutamakan unsur-unsur dari bagian kecil, menekankan pada peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme belajar dan mementingkan peranan kemampuan sehingga hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Dalam tingkah laku belajar terdapat kaitan yang erat dengan reaksi-reaksi dan respon siswa terhadap suatu stimulus. Perilaku siswa selama merespon kegiatan belajar mengajar disebut perilaku akademik. Dalam hal ini, tujuan dari kegiatan belajar mengajar adalah pembentukan perilaku akademik yang baik sehingga dapat membentuk kebiasaan yang baik pula. Hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan.
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu sarana pembentukan perilaku akademik siswa dalam pembelajaran. PKn memiliki kaitan yang erat dalam pembentukan perilaku siswa dalam kehidupan sehari-hari, dalam pembelajaran PKn siswa mempelajari penerapan sikap menjadi warga Negara yang baik. Hal ini sejalan dengan pendapat Ruminiati (2007 : 1.15) menyatakan bahwa pelajaran PKn merupakan salah satu pelajaran yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat dan cenderung pada pendidikan afektif. Sebagai pendidikan nilai PKn akan membantu siswa dalam mengembangkan estetika. Mata pelajaran PKn juga dimaksudkan untuk membekali peserta didik dengan budi pekerti, pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antara warganegara dengan negara serta pendidikan pendahuluan bela negara agar menjadi warganegara yang baik.
Saat ini, dalam penyampaian materi PKn, guru telah memiliki banyak variasi metode pembelajaran yang dapat mengembangkan sikap dan pemikiran siswa. Metode merupakan suatu komponen yang sangat menentukan terhadap keberhasilan atau tidaknya suatu proses pengajaran (Sabri : 2005). Berdasarkan pengamatan lapangan diperoleh bahwa metode yang sering digunakan adalah diskusi kelompok karena diskusi metode yang relevan digunakan dalam pembelajaran PKn yang dapat membentuk sikap pengelolaan emosional siswa. setiap siswa memiliki cara tersendiri dalam menentukan sikap terhadap suatu permasalahan begitu pula dengan sikap dalam menghadapi globalisasi dalam lingkungan sekitar. Diskusi sebagai suatu metode dapat digunakan sebagai sarana dalam membentuk perilaku siswa selama pembelajaran. dalam diskusi siswa berkelompok dengan teman sekelas mereka dan membicarakan serta memecahkan suatu permasalahan. Diskusi dapat memicu siswa mengungkapkan pendapatnya serta pemikirannya terhadap suatu topik permasalahan.
Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa perilaku siswa dalam diskusi dipengaruhi beberapa faktor. Salah satu faktornya yaitu emosional siswa. Siswa yang belum mampu mengendalikan emosional dengan baik cenderung belum dapat melaksanakan diskusi dengan baik. Pengukuran perilaku siswa selama diskusi pembelajaran dapat diketahui secara langsung dengan pengamatan peneliti. Selama proses diskusi, siswa cenderung belum menunjukkan kerjasama kelompok dengan baik. Dalam diskusi kelompok tersebut terlihat ketimpangan antara siswa yang benar-benar berfikir menyelesaikan tugas kelompok dan siswa yang tidak hanya mencantumkan namanya saja tanpa berkontribusi dalam diskusi. Namun di sisi lain terdapat beberapa kelompok yang sudah mampu berdiskusi dengan baik, terdapat pembagian tugas yang jelas dalam diskusi sehingga tugas kelompok diselesaikan dengan kontribusi anggota kelompok yang seimbang. Hal ini lah yang menjadi landasan peneliti akan menganalisis mengenai perilaku akademik siswa dalam diskusi kelompok. Dengan menggunakan metode diskusi kelompok akan memicu para siswa untuk mengemukakan pendapatnya sebagai tanggapan atas masalah-masalah yang diberikan oleh guru akan memancing kreatifitas berfikir siswa, sedangkan aktifitas siswa akan ditunjukkan melalui kegiatan siswa yang terjadi selama kegiatan pembelajaran berlangsung.
Penelitian mengenai Analisis perilaku akademik dalam diskusi terhadap pembelajaran dilakukan berdasarkan beberapa penelitian yang mendukung diantaranya, penelitian yang berjudul "PENGARUH PENERAPAN BUILDING LEARNING POWER (BLP) TERHADAP PERILAKU SISWA SMP NEGERI 01 SIDOARJO" dalam Jurnal Mahasiswa Teknologi Pendidikan Volume 01 Nomor 01 tahun 2011 yang menunjukkan bahwa ada pengaruh positif dari diri siswa dan meningkatnya perilaku akademik. Serta jurnal penelitian yang berjudul "PENERAPAN METODE DISKUSI UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV SEKOLAH DASAR KECIL TORARANGA PADA MATA PELAJARAN PKN POKOK BAHASAN SISTEM PEMERINTAHAN KABUPATEN, KOTA DAN PROVINSI" dalam jurnal Kreatif Tadulako Online Volume 03 Nomor 04 ISSN 2354-614X yang menunjukkan bahwa siswa di kelas IV SD Kecil memperoleh persentase ketuntasan belajar klasikal sebelum menerapkan metode diskusi 20%, pada siklus I meningkat menjadi 60%, dan pada siklus II meningkat menjadi 80%.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dilakukan penelitian deskriptif-analitik yang berjudul "ANALISIS PERILAKU AKADEMIK SISWA KELAS IV DALAM DISKUSI KELOMPOK PADA PEMBELAJARAN PKN SD".

SKRIPSI PGSD ASESMEN PEMBELAJARAN IPS KELAS V

(KODE : PENDPGSD-0031) : SKRIPSI ASESMEN PEMBELAJARAN IPS KELAS V

contoh skripsi pgsd

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa standar pendidikan nasional meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilaian. Standar penilaian diatur dalam Permendiknas nomor 20 tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan untuk Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik. Penilaian pendidikan sebagai proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik mencakup : penilaian otentik, penilaian diri, penilaian berbasis portofolio, ulangan, ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, ujian tingkat kompetensi, ujian mutu tingkat kompetensi, ujian nasional, dan ujian sekolah/madrasah.
Penilaian dalam proses pendidikan merupakan komponen yang tidak dapat dipisahkan dari komponen lainnya khususnya pembelajaran. Poerwanti (2008 : 1-3) menyebutkan bahwa asesmen pembelajaran merupakan bagian integral dari keseluruhan proses pembelajaran dan harus dilakukan pengajar sepanjang rentang waktu berlangsungnya proses pembelajaran. Asesmen dalam pembelajaran diperlukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan program pembelajaran, hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan program pembelajaran, serta penyusunan rencana untuk memperbaiki program pembelajaran.
Asesmen pembelajaran merupakan kegiatan sistematik untuk memperoleh informasi tentang apa yang diketahui, dilakukan dan dikerjakan oleh peserta didik (Rifa'i dan Anni 2012 : 215). Kegiatan penilaian merupakan kegiatan untuk mengungkapkan sejauh mana tujuan-tujuan instruksional telah dapat dicapai atau dikuasai oleh siswa dalam bentuk hasil belajar setelah mereka menempuh pengalaman belajar (Sudjana 2014 : 2). Tujuan instruksional merupakan perubahan tingkah laku yang diinginkan pada diri siswa.
Asesmen dilakukan secara komprehensif untuk melihat perkembangan ranah kognitif, afektif dan psikomotorik siswa. Agar dapat dilakukan secara menyeluruh, penilaian perlu dilakukan dengan menggunakan berbagai metode. Metode dan alat asesmen meliputi : observasi, asesmen mandiri oleh peserta didik, tugas praktik harian, hasil pekerjaan peserta didik, tes tertulis, skala penilaian, proyek, laporan tertulis, review kinerja, dan asesmen portofolio (Rifa'i dan Anni 2012 : 216).
Ngadip (2010 : 2) untuk mengukur kadar ketercapaian kurikulum di jenjang sekolah, khususnya yang mencakup tujuan dan isi, penilaian terhadap capaian hasil pembelajaran harus dilakukan. Berdasarkan hal tersebut, kemampuan melakukan asesmen merupakan kemampuan yang mutlak dimiliki bagi setiap tenaga pendidik, tetapi pelaksanaan asesmen pembelajaran yang dilakukan oleh sebagian besar tenaga pendidik masih belum sesuai dengan kebijakan sistem penilaian yang telah ditetapkan. 
Sejalan dengan hasil Ujian Kompetensi Guru (UKG) pada tahun 2015 bahwa rata-rata UKG nasional 53,02, dari rata-rata target minimal nilai di angka 55. Selain itu, hasil survei dalam Naskah Akademik Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) bahwa pada umumnya guru melakukan penilaian menggunakan alat-alat penilaian yang masih konvensional yaitu tes tertulis. Tes yang digunakan belum mampu mengukur aspek kognitif pada taraf yang lebih tinggi. Penggunaan bentuk tes tersebut disebabkan oleh pemahaman materi IPS yang kurang tepat. Materi IPS dipahami sebagai materi hafalan dan tes yang digunakan pun lebih menekankan pada hafalan (Balitbang Puskurnas 2007 : 6-7).
Peneliti menemukan bahwa hasil UKG dan masalah penilaian tersebut juga tercermin pada masalah pelaksanaan asesmen pembelajaran oleh guru di UPTD Kecamatan X. Berdasarkan hasil wawancara dengan lima guru kelas di SD Negeri yang ada di UPTD Kecamatan X, pelaksanaan asesmen pembelajaran masih belum sesuai dengan kebijakan penilaian pembelajaran yang berlaku. Asesmen yang dilakukan oleh guru belum dilakukan secara menyeluruh terhadap semua domain hasil belajar peserta didik. Pelaksanaan asesmen pembelajaran di kelas masih terbatas pada penilaian kognitif. Salah satu penyebab masalah ini adalah perencanaan pembelajaran yang kurang sesuai dengan standar proses pendidikan. Penilaian dalam perencanaan pembelajaran belum dirancang sesuai dengan tujuan instruksional yang akan dicapai dalam proses pembelajaran.
Guru berpendapat bahwa penilaian yang paling mudah dilakukan adalah penilaian terhadap aspek kognitif. Penilaian kognitif meliputi ulangan harian serta tugas/PR. Sedangkan penilaian terhadap aspek sikap masih belum nampak. Guru mengungkapkan bahwa penilaian sikap kurang ditekankan dalam KTSP, sehingga cukup dilakukan dengan pengamatan pada akhir semester. Seharusnya, sikap sebagai perubahan perilaku yang diinginkan setelah siswa mendapatkan pengalaman belajar harus diamati dan dievaluasi dalam setiap kegiatan belajar mengajar. Terlebih untuk mata pelajaran PKn dan IPS yang menekankan pada pembentukan sikap/ karakter siswa. Penilaian keterampilan dilakukan terbatas pada mapel yang membutuhkan tes praktik seperti Bahasa Indonesia, SBK dan IPA. Sedangkan penilaian keterampilan terhadap mapel IPS belum dilaksanakan dengan saksama.
Berdasarkan data dokumen yang ditemukan, sebagian besar guru belum memiliki kelengkapan administrasi asesmen pembelajaran. Berbagai administrasi tersebut antara lain buku daftar nilai siswa, analisis soal, pengayaan, remedial, KKM, serta bank soal. Bank soal dibuat oleh guru dan juga diambil dari buku paket dan LKS. Meskipun demikian, kisi- kisi dalam penyusunan soal belum disusun sesuai dengan tujuan instruksional yang diharapkan dari kegiatan belajar mengajar.
Berdasarkan pemaparan tentang permasalahan tersebut, peneliti ingin mengetahui gambaran yang lebih luas mengenai permasalahan asesmen pembelajaran di sekolah dasar dengan melakukan studi deskriptif. Penelitian deskriptif ini merupakan penelitian dasar yang diharapkan dapat dijadikan sebagai langkah awal untuk memperbaiki asesmen pembelajaran di sekolah dasar. Penelitian yang mendukung dalam penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Esther Obiageli Okobia tahun 2015 dengan judul "The Investigation of Evaluation Techniques Used by Social Studies Teachers in Junior Secondary Schools in Edo State, Nigeria".
The result revealed that majority of the social studies teachers were not using the appropriate evaluation techniques in social studies classrooms. Findings from the classroom observation revealed that evaluation of students were predominantly in the area of cognitive domain which requires students to regurgitate memorized knowledge.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar guru mata pelajaran IPS tidak menggunakan teknik evaluasi yang tepat pada kelas IPS. Hasil temuan observasi di dalam kelas menunjukkan bahwa evaluasi terhadap siswa lebih dominan pada aspek kognitif yang membutuhkan siswa untuk mengeluarkan pengetahuan ingatan.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, peneliti akan mengkaji masalah tersebut dengan melakukan penelitian deskriptif dengan judul ASESMEN PEMBELAJARAN IPS KELAS V SD NEGERI GUGUS X.

SKRIPSI HUBUNGAN POLA ASUH DEMOKRATIS DENGAN KEDISIPLINAN SISWA KELAS V

(KODE : PENDPGSD-0030) : SKRIPSI HUBUNGAN POLA ASUH DEMOKRATIS DENGAN KEDISIPLINAN SISWA KELAS V

contoh skripsi pgsd

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Peran orang tua dalam membesarkan dan mengasuh anak bukanlah hal yang sepele. Dibutuhkan kekompakan dan kompromi masing-masing orang tua dalam mengawal dan mempraktikkan konsep dan tujuan pola asuh yang sesuai dengan karakter anak. Peran aktif orang tua dalam pendidikan anak, telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab IV Pasal 7 dimana, "Orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya. Dan orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya". Orang tua memiliki tanggung jawab untuk menentukan masa depan anaknya, begitu pula dengan pembentukan karakter dalam diri anak.
Sebagaimana telah diketahui bahwa keluarga adalah pondasi yang membangun karakter maupun kepribadian anak. Orang tua mempunyai waktu yang lebih banyak untuk bersama anaknya, sehingga kepribadian anak terbentuk berdasarkan pola asuh orang tua. Pembentukan kepribadian dapat terjadi melalui apa yang dilihat oleh anak, contohnya perkataan dan tingkah laku yang dilakukan orang tuanya. Banyak peristiwa mengenai perilaku menyimpang siswa, yang menyoroti masalah kegagalan kepribadian siswa adalah kegagalan sekolah dalam mendidik anak. Untuk menanggulangi kekurangan moral dan perilaku menyimpang siswa maka maka pendidikan sekarang ini menekankan pada pendidikan karakter.
Pendidikan karakter merupakan perwujudan dari pengamalan nilai-nilai pancasila, dan secara eksplisit Pendidikan Karakter (watak) adalah amanat Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 3 menegaskan bahwa, "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan membentuk watak, serta peradaban bangsa yang martabat, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab."
Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan dari pendidikan. Berdasarkan Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menetapkan bahwa "Tujuan pendidikan adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab".
Keluarga merupakan dunia pertama yang dikenal anak karena keluarga menjadi lingkungan tempat anak belajar menanggapi dunia luar, berinteraksi dengan teman, serta beradaptasi dengan lingkungan sekolah. Di dalam keluarga anak mendapat perlakuan dan pendidikan serta komunikasi yang penuh untuk meningkatkan hubungan yang baik antara orang tua dengan anak karena sebagian besar waktu anak di habiskan bersama anggota keluarga.
Orang tua mempunyai cara sendiri dalam mendidik anak sebagai pribadi yang berguna. Oleh karena itu cara pola asuh yang dilakukan orang tua tidak lepas dalam membentuk kepribadian anak. Menurut Mussen (dalam Erma Lestari, 2009) pola asuh adalah cara yang digunakan orang tua dalam mencoba berbagai strategi untuk mendorong anak mencapai tujuan yang diinginkan. Pola asuh orang tua yang diterima oleh setiap siswa sangatlah beragam, hal ini tergantung dari cara pola asuh keluarga yang diterapkan oleh orang tua kepada anaknya.
Pola asuh merupakan pencerminan tingkah laku orang tua yang diterapkan kepada anak secara dominan. Hal ini sesuai dengan pendapat Hetherling dan Whiting (dalam Walgito, 2010 : 215) yang mengatakan bahwa pola asuh adalah suatu tingkah laku orang tua yang secara dominan muncul dalam keseluruhan interaksi antara orang tua dan anak. Dikatakan dominan karena pola asuh yang diterapkan dilakukan secara penuh dan terus menerus, sepanjang kehidupan anak. Tidak ada satu hari pun lepas dari asuhan dan didikan orang tua, bahkan ketika anak sudah dewasa. Sebagai orang tua harus memberikan pola asuh yang sesuai dengan anak karena tampak banyak pelanggaran moral yang dilakukan oleh siswa SD yaitu datang terlambat saat ke sekolah, tidak memakai atribut lengkap saat upacara, membuang sampah tidak pada tempatnya, dan Iain-lain. Penyebabnya diduga karena pemberian pola asuh yang tidak tepat.
Djamarah (2014 : 51) mengemukakan bahwa pola asuh orang tua dalam keluarga berarti kebiasaan orang tua, ayah dan atau ibu, dalam memimpin, mengasuh, dan membimbing anak dalam keluarga. Mengasuh dalam arti menjaga dengan cara merawat dan mendidiknya. Membimbing dengan cara membantu, melatih, dan sebagainya.
Menurut Walgito (2010 : 218), bentuk pola asuh orang tua ada tiga macam, yaitu : pola asuh otoriter, demokratis, dan permisif. Dimana dari masing-masing pola pengasuhan tersebut mempunyai dampak yang berbeda-beda bagi perkembangan anak. Bentuk pola asuh yang dipilih orang tua kepada anak menjadi salah satu faktor yang menentukan karakter anak. Perbedaan pola asuh dari orang tua seperti ini dapat berpengaruh terhadap perbedaan pembentukan dan perkembangan perilaku disiplin yang dimiliki anak. Dari ketiga bentuk pola asuh orang tua kepada siswa, bentuk pola asuh demokratis lah yang merupakan pola asuh paling baik diterapkan oleh orang tua kepada anaknya. Karena dalam pola asuh demokratis, orang tua memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan dengan memperhatikan aturan dan norma yang berlaku, serta pendekatannya kepada anak bersifat hangat.
Menurut Helmawanti (2014 : 139) pola asuh demokratis adalah pola asuh yang menggunakan komunikasi dua arah (two ways communication). Kedudukan antara orang tua dan anak dalam berkomunikasi sejajar. Suatu keputusan diambil bersama dengan mempertimbangkan (keuntungan) kedua belah pihak (win-win solution). Anak diberi kebebasan yang bertanggung jawab. Artinya, apa yang dilakukan anak tetap harus ada di bawah pengawasan orang tua dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Orang tua dan anak tidak dapat berbuat semena-mena pada salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak dapat memaksakan sesuatu tanpa berkomunikasi terlebih dahulu dan keputusan akhir disetujui oleh keduanya tanpa merasa tertekan.
Keluarga merupakan tempat pertama dan utama dalam membentuk kepribadian anak, salah satunya dengan menerapkan disiplin. Tujuan disiplin adalah mengarahkan anak agar mereka belajar mengenai hal-hal baik yang merupakan persiapan bagi masa dewasa, saat mereka sangat bergantung kepada disiplin diri. Tugas utama dari keluarga bagi pendidikan anak adalah sebagai peletak dasar bagi pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan. Sikap dan tabiat anak sebagian besar diambil dari kedua orang tua dan dari anggota keluarga yang lain. Dimana pemberian pola pengasuhan yang positif akan berdampak baik pada perkembangan anak, begitu juga sebaliknya, pola pengasuhan yang tidak baik akan berdampak tidak baik juga pada perkembangan anak.
Menurut Daryanto (2013 : 49) disiplin pada dasarnya control diri dalam mematuhi aturan baik yang dibuat oleh diri sendiri maupun di luar diri baik keluarga, lembaga pendidikan, masyarakat, bernegara maupun beragama. Disiplin juga merujuk pada kebebasan individu untuk tidak bergantung pada orang lain dalam memilih, membuat keputusan, tujuan, melakukan perubahan perilaku, pikiran maupun emosi sesuai dengan prinsip yang diyakini dari aturan moral yang dianut.
Benhard (dalam Shochib 2010 : 3) menyatakan bahwa tujuan disiplin diri adalah mengupayakan pengembangan minat anak dan mengembangkan anak menjadi manusia yang baik, yang akan menjadi sahabat, tetangga, dan warga negara yang baik. Dalam hal ini terdapat perbedaan yang fundamental antara keluarga di barat dengan keluarga di Indonesia dalam mengupayakan anak untuk memiliki dasar-dasar dan mengembangkan disiplin diri.
Shochib (2010 : 16) menyatakan bahwa keterkaitan pola asuh orang tua dengan anak berdisiplin diri dimaksudkan sebagai upaya orang tua dalam meletakkan dasar-dasar disiplin diri kepada anak membantu mengembangkannya sehingga anak memiliki disiplin diri. Intensitas kebutuhan anak untuk mendapatkan bantuan dari orang tua bagi kepemilikan dan pengembangan dasar-dasar disiplin diri, menunjukkan adanya kebutuhan internal, yaitu : 
  1. Tingkat rendah, apabila anak masih membutuhkan banyak bantuan dari orang tua untuk memiliki dan mengembangkan dasar-dasar disiplin diri (berdasarkan naluri).
  2. Tingkat menengah, apabila anak kadang-kadang masih membutuhkan bantuan dari orang tua untuk memiliki dan mengembangkan dasar-dasar disiplin diri (berdasarkan nalar).
  3. Tingkat tinggi, apabila anak sedikit sekali atau tidak lagi memerlukan bantuan serta control orang tua untuk memiliki dan mengembangkan dasar-dasar disiplin diri (berdasarkan kata hati).

Tapi pada kenyataannya masih sering ditemui perilaku tidak disiplin di lingkungan sekolah, termasuk di sekolah dasar yang akan diteliti. Sebagai contoh antara lain datang ke sekolah tidak tepat waktu, tidak memakai seragam yang lengkap, membolos sekolah, mengumpulkan tugas tidak tepat waktu, dan lain-lain. Ini dikarenakan orang tua tidak mengajarkan anak dalam mengembangkan disiplin diri, tidak mengajarkan kepada anak untuk mengembangkan tanggung jawab atas setiap perilaku dan tindakannya, dan orang tua tidak bersifat demokratis.
Gordon (dalam Syamaun 2012 : 28) mengemukakan bahwa ciri pola asuh orang demokratis adalah menerima, kooperatif, terbuka terhadap anak, mengajar anak untuk mengembangkan disiplin diri, jujur, dan ikhlas dalam menghadapi masalah anak-anak, memberikan penghargaan positif kepada anak tanpa dibuat-buat, mengajarkan kepada anak untuk mengembangkan tanggung jawab atas setiap perilaku dan tindakannya, bersikap akrab dan adil, tidak cepat menyalahkan, memberikan kasih sayang dan kemesraan kepada anak.
Penelitian yang mendukung dalam hal ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Rizki Lestari dalam jurnal pendidikan, dengan judul "Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Kedisiplinan Siswa Kelas V Gugus I", hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara pola asuh orang tua otoriter, demokratis, permisif, dan abai dengan kedisiplinan siswa kelas V Gugus I. Dimana pola asuh otoriter memiliki > atau 5,6172 > 1,671, pola asuh demokratis memiliki > atau 4,5738 > 1,671, pola asuh permisif memiliki > atau 3,9028 > 1,671, pola asuh abai memiliki > atau 3,1071 > 1,671.
Penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Jihan Filisyamala, dkk dalam jurnal Pendidikan pada bulan April 2016 yang berjudul "Bentuk Pola Asuh Demokratis dalam Kedisiplinan Siswa SD", hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk pola asuh demokratis merupakan suatu pola dimana orang tua memberikan kebebasan pada siswa untuk memilih dan melakukan suatu tindakan tetapi tetap sesuai dengan batasan-batasan yang telah disetujui bersama. Orangtua mendorong siswa untuk mandiri dengan tetap menjaga batasan dan kontrol pada tindakan mereka. Dalam menerapkan suatu aturan dalam bentuk pola asuh demokratis, adanya hubungan yang bersifat hangat dan terbuka baik antara orangtua dengan anak, serta adanya sikap saling menghargai satu sama lain. Melalui aturan yang dibuat bersama membuat munculnya kesadaran diri siswa untuk mematuhi aturan tersebut, sehingga akan tercipta perilaku disiplin yang baik pada siswa.
Dalam jurnal internasional yang berjudul "Harsh Discipline and Child Problem Behavior The Role of Positive Parenting and Gender", Penelitian yang dilakukan oleh Laura dkk, Vol. 10, Tahun 2007, penelitian menunjukkan bahwa anak laki-laki yang disiplin dan fisik yang lebih keras dibandingkan anak perempuan, dengan ayah memanfaatkan disiplin fisik yang lebih keras dengan anak laki-laki daripada ibu. Kedua jenis disiplin keras yang terkait dengan masalah keunikan perilaku anak setelah pengasuhan positif diperhitungkan. Gender anak tidak mempengaruhi, tapi satu dimensi positif parenting yaitu, kehangatan orangtua disajikan untuk menjauhkan anak dari pengaruh merugikan dari disiplin fisik yang keras.
Hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti di kelas V SD Negeri Gugus X, ditemukan perilaku ketidakdisiplinan siswa baik di luar kelas maupun di dalam kelas. Beberapa perilaku ketidakdisiplinan di luar kelas yang diamati peneliti yaitu siswa terlambat datang ke sekolah, bertengkar dengan temannya, tidak berbaris rapi dalam pelaksanaan upacara bendera, membuang sampah sembarangan. Perilaku ketidakdisiplinan di dalam kelas juga ditemukan oleh peneliti yaitu siswa yang mengenakan seragam tidak lengkap, terdapat coretan-coretan didinding dan di meja kelas, tidak membawa buku pelajaran sesuai jadwal, mengumpulkan tugas tidak tepat waktu atau bahkan tidak mengerjakan tugas, dan ramai saat guru atau teman menjelaskan di depan kelas.
Namun ternyata masih terdapat siswa yang memiliki disiplin yang tinggi. Hal ini ditunjukkan dalam mengikuti proses pembelajaran, terdapat siswa yang memperhatikan pada saat guru menjelaskan di depan, membuang sampah pada tempatnya, mengerjakan pekerjaan rumah, dan datang ke sekolah tepat waktu.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, peneliti akan mengkaji masalah ini dengan melakukan sebuah penelitian yang berjudul "HUBUNGAN POLA ASUH DEMOKRATIS DENGAN KEDISIPLINAN SISWA KELAS V SD NEGERI GUGUS X". Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi bagi guru maupun orang lain yang ingin tahu lebih dalam mengenai pola asuh demokratis. 

SKRIPSI KEEFEKTIFAN MODEL WORD SQUARE DALAM PEMBELAJARAN IPS MATERI UANG TEMA PERMAINAN (KELAS III)

(KODE : PENDPGSD-0029) : SKRIPSI KEEFEKTIFAN MODEL WORD SQUARE DALAM PEMBELAJARAN IPS MATERI UANG TEMA PERMAINAN (KELAS III)

contoh skripsi pgsd

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan menurut Tilaar (1999) dalam Taufiq, dkk (2010 : 1.4) sebagai proses menumbuh kembangkan eksistensi siswa yang memasyarakat, membudaya, dalam tata kehidupan yang berdimensi lokal, nasional, dan global. Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 Ayat 1, menyebutkan : 
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Oleh karena itu, pendidikan mempunyai peranan yang penting untuk membantu siswa agar dapat berkembang secara optimal sesuai dengan kemampuan yang ada, serta memiliki kepribadian dan akhlak yang baik. Pendidikan juga memiliki tujuan, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3, yang menyatakan : 
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Untuk mewujudkan tujuan pendidikan tersebut, orang tua, masyarakat, serta pemerintah terutama pihak sekolah bertanggungjawab dalam pelaksanaan pendidikan yang berkesinambungan serta mengacu pada kehidupan manusia masa kini dan masa depan. Pendidikan yang berada di bawah naungan pemerintah adalah pendidikan formal, sebagaimana tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 Bab I Pasal 1 Ayat 11 yang menyatakan "Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi." Dalam UU No. 20 Tahun 2003 Bab VI Pasal 17 Ayat 2 menyatakan "Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat." Pendidikan dasar memiliki kurikulum dalam proses pelaksanaan pembelajarannya. "Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu" (UU No. 20 Tahun 2003 Bab I Pasal 1 Ayat 19). "Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan/kejuruan, dan muatan lokal" (UU No. 20 Tahun 2003 Bab X Pasal 37 Ayat 1).
Pendidikan IPS merupakan salah satu mata pelajaran yang dapat memberikan wawasan pengetahuan yang luas kepada siswa mengenai masyarakat lokal maupun global, sehingga mereka mampu hidup bersama-sama dengan masyarakat lainnya (Susanto, 2013 : 148). IPS merupakan salah satu materi yang didominasi oleh hafalan. Agar lebih efektif, bidang kajian IPS harus dipelajari secara kontekstual dengan kehidupan sosial. 
Hadi (1997) dalam Susanto (2013 : 146), menyebutkan bahwa pendidikan IPS memiliki empat tujuan, yaitu knowledge, skill, attitude, dan value. Knowledge, sebagai tujuan utama pendidikan IPS membantu siswa mengenal diri mereka sendiri dan lingkungannya. Skill, mencakup keterampilan berpikir (thinking skills). Attitude, terdiri atas tingkah laku berpikir (intellectual behavior) dan tingkah laku sosial (social behavior). Value, yaitu nilai yang terkandung dalam masyarakat, diperoleh dari lingkungan masyarakat maupun lembaga pemerintahan.
Agar tujuan pendidikan IPS tercapai dengan baik, dalam proses pembelajaran guru sebaiknya mengoptimalkan interaksinya dengan siswa. Hal ini sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2003 Bab I Pasal 1 Ayat 20 yang menyatakan "Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar." Interaksi dalam hal ini yaitu keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran IPS biasanya didominasi oleh metode ceramah, siswa hanya mendengarkan penjelasan dari guru dan pemberian tugas, sehingga proses pembelajaran kurang efektif.
Keadaan tersebut juga terjadi dalam pembelajaran IPS pada siswa kelas III SD Negeri X. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru kelas III, diperoleh keterangan bahwa dalam proses pembelajaran IPS guru memberikan materi kemudian siswa mencatatnya. Siswa memahaminya dengan cara menghafalkan materi yang disampaikan oleh guru. Kondisi belajar seperti ini menimbulkan kebosanan pada siswa. Oleh karena itu, diperlukan suatu pembelajaran inovatif yang mampu melibatkan siswa, agar proses pembelajaran lebih efektif.
Pembelajaran IPS kelas III materi Uang, berdasarkan KTSP menggunakan pendekatan tematik terpadu. Uang merupakan salah satu materi IPS yang disampaikan kepada siswa kelas III dengan tujuan agar siswa dapat memahami materi Uang yang dipadukan dengan materi Pengelolaan Uang dalam tema Permainan. 
Menurut Hadisubroto (2000) dalam Trianto (2014 : 56), bahwa pembelajaran terpadu merupakan pembelajaran yang diawali dengan pokok bahasan atau tema tertentu yang dikaitkan dengan pokok bahasan lain, dilakukan secara spontan atau direncanakan, baik dalam satu bidang studi atau beberapa bidang studi dengan beragam pengalaman belajar anak, sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna. Dalam penelitian ini menggunakan pembelajaran terpadu model keterhubungan (connected) dalam satu mata pelajaran. Tujuan tersebut dapat tercapai apabila pembelajarannya dirancang sesuai dengan tingkat perkembangan dan karakteristik siswa kelas III.
Menurut Susanto (2012 : 70), anak yang berada di sekolah dasar masih tergolong rentangan anak usia dini, terutama anak yang berada pada kelas rendah. Masa usia dini merupakan masa yang pendek dan masa yang penting bagi kehidupan seseorang. Oleh karena itu, pada masa ini seluruh potensi yang dimiliki anak perlu didorong agar berkembang secara optimal. Berdasarkan karakteristik siswa kelas rendah tersebut, peneliti berpendapat bahwa model pembelajaran yang sesuai dengan IPS materi Uang dan Pengelolaan Uang dalam Tema Permainan yaitu pembelajaran inovatif yang berorientasi pada keterlibatan siswa secara aktif, menyenangkan, dan meningkatkan motivasi belajar siswa. Pembelajaran inovatif adalah pembelajaran kooperatif yang di dalamnya terdapat beberapa model. Taniredja, dkk (2013 : 55), berpendapat "Pembelajaran kooperatif merupakan sistem pengajaran yang memberi kesempatan kepada siswa untuk bekerjasama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur."
Pembelajaran inovatif yang dapat melibatkan siswa secara aktif dan menyenangkan adalah model pembelajaran kooperatif Word Square, yang di dalam pembelajarannya terdapat nuansa bermain. Hal ini diharapkan dapat membuat siswa merasa senang dan tidak jenuh selama mengikuti pembelajaran IPS di sekolah. Dengan demikian, materi yang disampaikan akan mudah diterima dan dipahami oleh siswa sehingga hasil belajar lebih optimal.
Menurut Santoso (2011), "Model Word Square adalah model pembelajaran yang memadukan kemampuan menjawab pertanyaan dengan kejelian dalam mencocokkan jawaban pada kotak-kotak jawaban." Model tersebut hampir sama dengan teka-teki silang, bedanya jawaban sudah ada dan disamarkan dengan menambahkan kotak tambahan berisi huruf sebagai pengecoh. Tujuan huruf pengecoh bukan untuk mempersulit siswa, namun melatih sikap teliti dan kritis. Model ini sesuai untuk semua mata pelajaran, tergantung kreativitas guru dalam membuat sejumlah pertanyaan terpilih yang dapat merangsang siswa untuk berpikir efektif.
Penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilaksanakan oleh Pertiwi (2013) dari Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang dengan judul "Peningkatan Keterampilan Membaca Lancar Aksara Jawa melalui Model Word Square Siswa Kelas VA SDN". Penelitian yang lain dilaksanakan oleh Aningsih, dkk (2012) dari Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Ganesha dengan judul "Pengaruh Model Pembelajaran Word Square Berbantuan Media Gambar terhadap Hasil Belajar IP A Kelas IV SD Gugus 1". Penelitian lain oleh Widiartini, dkk (2014) dari Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Ganesha dengan judul "Pengaruh Model Word Square terhadap Keterampilan Menyimak Cerita Kelas V SD Gugus IX". Hasil yang diperoleh dari beberapa penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil belajar menggunakan model Word Square dengan hasil belajar menggunakan model konvensional.
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk menguji tentang pembelajaran IPS kelas III menggunakan model Word Square dengan judul "KEEFEKTIFAN MODEL WORD SQUARE DALAM PEMBELAJARAN IPS MATERI UANG TEMA PERMAINAN PADA SISWA KELAS III SEKOLAH DASAR NEGERI X".