Search This Blog

SKRIPSI PGSD ANALISIS PERILAKU AKADEMIK SISWA KELAS IV PADA DISKUSI PEMBELAJARAN PKN SD

(KODE : PENDPGSD-0032) : SKRIPSI PGSD ANALISIS PERILAKU AKADEMIK SISWA KELAS IV PADA DISKUSI PEMBELAJARAN PKN SD

contoh skripsi pgsd

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan suatu usaha secara sadar yang dilakukan untuk mengembangkan diri dan memperoleh suatu perubahan perilaku sebagai bekal dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Berdasarkan Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menetapkan bahwa "tujuan pendidikan adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab". Menurut Islamuddin (2012 : 3) pendidikan adalah usaha secara dewasa dari orang dewasa untuk dengan pengaruhnya meningkatkan si anak ke kedewasaan yang selalu diartikan mampu menimbulkan tanggung jawab moral dalam setiap perbuatannya. UNESCO mengemukakan bahwa pendidikan di sokong oleh 4 pilar yang disebut dengan 4 pilar pendidikan yakni : (I) learning to know untuk mengetahui banyak hal yang sangat diperlukan dalam kehidupan manusia, learning to do menekankan pada aktivitas kemampuan untuk melakukan atau mengaktualisasikan dalam hidup dan kehidupannya apa yang sudah diketahuinya, learning to be mengandung makna bahwa manusia tak pernah berhenti belajar dan belajar agar menjadi seperti dirinya sendiri (jati diri), dan learning to live together merupakan pilar pendidikan yang mengacu pada pembinaan dan pembentukan kemampuan untuk menghidupi kehidupan bersama dengan orang lain.
Sekolah sebagai salah satu sarana penyaluran pendidikan sangat berperan dalam mewujudkan tujuan pendidikan. dalam pendidikan formal siswa dapat menggali dan mengembangkan potensi diri yang diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam kegiatan belajar di sekolah, siswa mengalami proses perubahan perilaku karena hasil pengalaman. Hal tersebut juga dinyatakan oleh pakar pendidikan Morgan (dalam Agus Suprijono, 2009 : 2) yang menyatakan bahwa "Belajar adalah perubahan perilaku yang permanen sebagai hasil dari pengalaman". Sehingga luaran yang diharapkan dalam kegiatan belajar di sekolah yaitu perubahan perilaku berupa kebiasaan. Selain bertugas mencerdaskan bangsa, sekolah juga memiliki tugas membentuk perilaku anak melalui pendidikan di sekolah.
Perilaku dalam pandangan behaviorisme adalah segala sesuatu yang dilakukan dan dapat dilihat secara langsung. Ciri teori perilaku adalah mengutamakan unsur-unsur dari bagian kecil, menekankan pada peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan pentingnya latihan, mementingkan mekanisme belajar dan mementingkan peranan kemampuan sehingga hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan. Dalam tingkah laku belajar terdapat kaitan yang erat dengan reaksi-reaksi dan respon siswa terhadap suatu stimulus. Perilaku siswa selama merespon kegiatan belajar mengajar disebut perilaku akademik. Dalam hal ini, tujuan dari kegiatan belajar mengajar adalah pembentukan perilaku akademik yang baik sehingga dapat membentuk kebiasaan yang baik pula. Hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang diinginkan.
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu sarana pembentukan perilaku akademik siswa dalam pembelajaran. PKn memiliki kaitan yang erat dalam pembentukan perilaku siswa dalam kehidupan sehari-hari, dalam pembelajaran PKn siswa mempelajari penerapan sikap menjadi warga Negara yang baik. Hal ini sejalan dengan pendapat Ruminiati (2007 : 1.15) menyatakan bahwa pelajaran PKn merupakan salah satu pelajaran yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat dan cenderung pada pendidikan afektif. Sebagai pendidikan nilai PKn akan membantu siswa dalam mengembangkan estetika. Mata pelajaran PKn juga dimaksudkan untuk membekali peserta didik dengan budi pekerti, pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antara warganegara dengan negara serta pendidikan pendahuluan bela negara agar menjadi warganegara yang baik.
Saat ini, dalam penyampaian materi PKn, guru telah memiliki banyak variasi metode pembelajaran yang dapat mengembangkan sikap dan pemikiran siswa. Metode merupakan suatu komponen yang sangat menentukan terhadap keberhasilan atau tidaknya suatu proses pengajaran (Sabri : 2005). Berdasarkan pengamatan lapangan diperoleh bahwa metode yang sering digunakan adalah diskusi kelompok karena diskusi metode yang relevan digunakan dalam pembelajaran PKn yang dapat membentuk sikap pengelolaan emosional siswa. setiap siswa memiliki cara tersendiri dalam menentukan sikap terhadap suatu permasalahan begitu pula dengan sikap dalam menghadapi globalisasi dalam lingkungan sekitar. Diskusi sebagai suatu metode dapat digunakan sebagai sarana dalam membentuk perilaku siswa selama pembelajaran. dalam diskusi siswa berkelompok dengan teman sekelas mereka dan membicarakan serta memecahkan suatu permasalahan. Diskusi dapat memicu siswa mengungkapkan pendapatnya serta pemikirannya terhadap suatu topik permasalahan.
Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa perilaku siswa dalam diskusi dipengaruhi beberapa faktor. Salah satu faktornya yaitu emosional siswa. Siswa yang belum mampu mengendalikan emosional dengan baik cenderung belum dapat melaksanakan diskusi dengan baik. Pengukuran perilaku siswa selama diskusi pembelajaran dapat diketahui secara langsung dengan pengamatan peneliti. Selama proses diskusi, siswa cenderung belum menunjukkan kerjasama kelompok dengan baik. Dalam diskusi kelompok tersebut terlihat ketimpangan antara siswa yang benar-benar berfikir menyelesaikan tugas kelompok dan siswa yang tidak hanya mencantumkan namanya saja tanpa berkontribusi dalam diskusi. Namun di sisi lain terdapat beberapa kelompok yang sudah mampu berdiskusi dengan baik, terdapat pembagian tugas yang jelas dalam diskusi sehingga tugas kelompok diselesaikan dengan kontribusi anggota kelompok yang seimbang. Hal ini lah yang menjadi landasan peneliti akan menganalisis mengenai perilaku akademik siswa dalam diskusi kelompok. Dengan menggunakan metode diskusi kelompok akan memicu para siswa untuk mengemukakan pendapatnya sebagai tanggapan atas masalah-masalah yang diberikan oleh guru akan memancing kreatifitas berfikir siswa, sedangkan aktifitas siswa akan ditunjukkan melalui kegiatan siswa yang terjadi selama kegiatan pembelajaran berlangsung.
Penelitian mengenai Analisis perilaku akademik dalam diskusi terhadap pembelajaran dilakukan berdasarkan beberapa penelitian yang mendukung diantaranya, penelitian yang berjudul "PENGARUH PENERAPAN BUILDING LEARNING POWER (BLP) TERHADAP PERILAKU SISWA SMP NEGERI 01 SIDOARJO" dalam Jurnal Mahasiswa Teknologi Pendidikan Volume 01 Nomor 01 tahun 2011 yang menunjukkan bahwa ada pengaruh positif dari diri siswa dan meningkatnya perilaku akademik. Serta jurnal penelitian yang berjudul "PENERAPAN METODE DISKUSI UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV SEKOLAH DASAR KECIL TORARANGA PADA MATA PELAJARAN PKN POKOK BAHASAN SISTEM PEMERINTAHAN KABUPATEN, KOTA DAN PROVINSI" dalam jurnal Kreatif Tadulako Online Volume 03 Nomor 04 ISSN 2354-614X yang menunjukkan bahwa siswa di kelas IV SD Kecil memperoleh persentase ketuntasan belajar klasikal sebelum menerapkan metode diskusi 20%, pada siklus I meningkat menjadi 60%, dan pada siklus II meningkat menjadi 80%.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dilakukan penelitian deskriptif-analitik yang berjudul "ANALISIS PERILAKU AKADEMIK SISWA KELAS IV DALAM DISKUSI KELOMPOK PADA PEMBELAJARAN PKN SD".

SKRIPSI PGSD ASESMEN PEMBELAJARAN IPS KELAS V

(KODE : PENDPGSD-0031) : SKRIPSI ASESMEN PEMBELAJARAN IPS KELAS V

contoh skripsi pgsd

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa standar pendidikan nasional meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilaian. Standar penilaian diatur dalam Permendiknas nomor 20 tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan untuk Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik. Penilaian pendidikan sebagai proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik mencakup : penilaian otentik, penilaian diri, penilaian berbasis portofolio, ulangan, ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, ujian tingkat kompetensi, ujian mutu tingkat kompetensi, ujian nasional, dan ujian sekolah/madrasah.
Penilaian dalam proses pendidikan merupakan komponen yang tidak dapat dipisahkan dari komponen lainnya khususnya pembelajaran. Poerwanti (2008 : 1-3) menyebutkan bahwa asesmen pembelajaran merupakan bagian integral dari keseluruhan proses pembelajaran dan harus dilakukan pengajar sepanjang rentang waktu berlangsungnya proses pembelajaran. Asesmen dalam pembelajaran diperlukan untuk mengetahui tingkat keberhasilan program pembelajaran, hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan program pembelajaran, serta penyusunan rencana untuk memperbaiki program pembelajaran.
Asesmen pembelajaran merupakan kegiatan sistematik untuk memperoleh informasi tentang apa yang diketahui, dilakukan dan dikerjakan oleh peserta didik (Rifa'i dan Anni 2012 : 215). Kegiatan penilaian merupakan kegiatan untuk mengungkapkan sejauh mana tujuan-tujuan instruksional telah dapat dicapai atau dikuasai oleh siswa dalam bentuk hasil belajar setelah mereka menempuh pengalaman belajar (Sudjana 2014 : 2). Tujuan instruksional merupakan perubahan tingkah laku yang diinginkan pada diri siswa.
Asesmen dilakukan secara komprehensif untuk melihat perkembangan ranah kognitif, afektif dan psikomotorik siswa. Agar dapat dilakukan secara menyeluruh, penilaian perlu dilakukan dengan menggunakan berbagai metode. Metode dan alat asesmen meliputi : observasi, asesmen mandiri oleh peserta didik, tugas praktik harian, hasil pekerjaan peserta didik, tes tertulis, skala penilaian, proyek, laporan tertulis, review kinerja, dan asesmen portofolio (Rifa'i dan Anni 2012 : 216).
Ngadip (2010 : 2) untuk mengukur kadar ketercapaian kurikulum di jenjang sekolah, khususnya yang mencakup tujuan dan isi, penilaian terhadap capaian hasil pembelajaran harus dilakukan. Berdasarkan hal tersebut, kemampuan melakukan asesmen merupakan kemampuan yang mutlak dimiliki bagi setiap tenaga pendidik, tetapi pelaksanaan asesmen pembelajaran yang dilakukan oleh sebagian besar tenaga pendidik masih belum sesuai dengan kebijakan sistem penilaian yang telah ditetapkan. 
Sejalan dengan hasil Ujian Kompetensi Guru (UKG) pada tahun 2015 bahwa rata-rata UKG nasional 53,02, dari rata-rata target minimal nilai di angka 55. Selain itu, hasil survei dalam Naskah Akademik Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) bahwa pada umumnya guru melakukan penilaian menggunakan alat-alat penilaian yang masih konvensional yaitu tes tertulis. Tes yang digunakan belum mampu mengukur aspek kognitif pada taraf yang lebih tinggi. Penggunaan bentuk tes tersebut disebabkan oleh pemahaman materi IPS yang kurang tepat. Materi IPS dipahami sebagai materi hafalan dan tes yang digunakan pun lebih menekankan pada hafalan (Balitbang Puskurnas 2007 : 6-7).
Peneliti menemukan bahwa hasil UKG dan masalah penilaian tersebut juga tercermin pada masalah pelaksanaan asesmen pembelajaran oleh guru di UPTD Kecamatan X. Berdasarkan hasil wawancara dengan lima guru kelas di SD Negeri yang ada di UPTD Kecamatan X, pelaksanaan asesmen pembelajaran masih belum sesuai dengan kebijakan penilaian pembelajaran yang berlaku. Asesmen yang dilakukan oleh guru belum dilakukan secara menyeluruh terhadap semua domain hasil belajar peserta didik. Pelaksanaan asesmen pembelajaran di kelas masih terbatas pada penilaian kognitif. Salah satu penyebab masalah ini adalah perencanaan pembelajaran yang kurang sesuai dengan standar proses pendidikan. Penilaian dalam perencanaan pembelajaran belum dirancang sesuai dengan tujuan instruksional yang akan dicapai dalam proses pembelajaran.
Guru berpendapat bahwa penilaian yang paling mudah dilakukan adalah penilaian terhadap aspek kognitif. Penilaian kognitif meliputi ulangan harian serta tugas/PR. Sedangkan penilaian terhadap aspek sikap masih belum nampak. Guru mengungkapkan bahwa penilaian sikap kurang ditekankan dalam KTSP, sehingga cukup dilakukan dengan pengamatan pada akhir semester. Seharusnya, sikap sebagai perubahan perilaku yang diinginkan setelah siswa mendapatkan pengalaman belajar harus diamati dan dievaluasi dalam setiap kegiatan belajar mengajar. Terlebih untuk mata pelajaran PKn dan IPS yang menekankan pada pembentukan sikap/ karakter siswa. Penilaian keterampilan dilakukan terbatas pada mapel yang membutuhkan tes praktik seperti Bahasa Indonesia, SBK dan IPA. Sedangkan penilaian keterampilan terhadap mapel IPS belum dilaksanakan dengan saksama.
Berdasarkan data dokumen yang ditemukan, sebagian besar guru belum memiliki kelengkapan administrasi asesmen pembelajaran. Berbagai administrasi tersebut antara lain buku daftar nilai siswa, analisis soal, pengayaan, remedial, KKM, serta bank soal. Bank soal dibuat oleh guru dan juga diambil dari buku paket dan LKS. Meskipun demikian, kisi- kisi dalam penyusunan soal belum disusun sesuai dengan tujuan instruksional yang diharapkan dari kegiatan belajar mengajar.
Berdasarkan pemaparan tentang permasalahan tersebut, peneliti ingin mengetahui gambaran yang lebih luas mengenai permasalahan asesmen pembelajaran di sekolah dasar dengan melakukan studi deskriptif. Penelitian deskriptif ini merupakan penelitian dasar yang diharapkan dapat dijadikan sebagai langkah awal untuk memperbaiki asesmen pembelajaran di sekolah dasar. Penelitian yang mendukung dalam penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Esther Obiageli Okobia tahun 2015 dengan judul "The Investigation of Evaluation Techniques Used by Social Studies Teachers in Junior Secondary Schools in Edo State, Nigeria".
The result revealed that majority of the social studies teachers were not using the appropriate evaluation techniques in social studies classrooms. Findings from the classroom observation revealed that evaluation of students were predominantly in the area of cognitive domain which requires students to regurgitate memorized knowledge.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar guru mata pelajaran IPS tidak menggunakan teknik evaluasi yang tepat pada kelas IPS. Hasil temuan observasi di dalam kelas menunjukkan bahwa evaluasi terhadap siswa lebih dominan pada aspek kognitif yang membutuhkan siswa untuk mengeluarkan pengetahuan ingatan.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, peneliti akan mengkaji masalah tersebut dengan melakukan penelitian deskriptif dengan judul ASESMEN PEMBELAJARAN IPS KELAS V SD NEGERI GUGUS X.

SKRIPSI HUBUNGAN POLA ASUH DEMOKRATIS DENGAN KEDISIPLINAN SISWA KELAS V

(KODE : PENDPGSD-0030) : SKRIPSI HUBUNGAN POLA ASUH DEMOKRATIS DENGAN KEDISIPLINAN SISWA KELAS V

contoh skripsi pgsd

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Peran orang tua dalam membesarkan dan mengasuh anak bukanlah hal yang sepele. Dibutuhkan kekompakan dan kompromi masing-masing orang tua dalam mengawal dan mempraktikkan konsep dan tujuan pola asuh yang sesuai dengan karakter anak. Peran aktif orang tua dalam pendidikan anak, telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Bab IV Pasal 7 dimana, "Orang tua berhak berperan serta dalam memilih satuan pendidikan dan memperoleh informasi tentang perkembangan pendidikan anaknya. Dan orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya". Orang tua memiliki tanggung jawab untuk menentukan masa depan anaknya, begitu pula dengan pembentukan karakter dalam diri anak.
Sebagaimana telah diketahui bahwa keluarga adalah pondasi yang membangun karakter maupun kepribadian anak. Orang tua mempunyai waktu yang lebih banyak untuk bersama anaknya, sehingga kepribadian anak terbentuk berdasarkan pola asuh orang tua. Pembentukan kepribadian dapat terjadi melalui apa yang dilihat oleh anak, contohnya perkataan dan tingkah laku yang dilakukan orang tuanya. Banyak peristiwa mengenai perilaku menyimpang siswa, yang menyoroti masalah kegagalan kepribadian siswa adalah kegagalan sekolah dalam mendidik anak. Untuk menanggulangi kekurangan moral dan perilaku menyimpang siswa maka maka pendidikan sekarang ini menekankan pada pendidikan karakter.
Pendidikan karakter merupakan perwujudan dari pengamalan nilai-nilai pancasila, dan secara eksplisit Pendidikan Karakter (watak) adalah amanat Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 3 menegaskan bahwa, "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan membentuk watak, serta peradaban bangsa yang martabat, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab."
Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan dari pendidikan. Berdasarkan Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menetapkan bahwa "Tujuan pendidikan adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab".
Keluarga merupakan dunia pertama yang dikenal anak karena keluarga menjadi lingkungan tempat anak belajar menanggapi dunia luar, berinteraksi dengan teman, serta beradaptasi dengan lingkungan sekolah. Di dalam keluarga anak mendapat perlakuan dan pendidikan serta komunikasi yang penuh untuk meningkatkan hubungan yang baik antara orang tua dengan anak karena sebagian besar waktu anak di habiskan bersama anggota keluarga.
Orang tua mempunyai cara sendiri dalam mendidik anak sebagai pribadi yang berguna. Oleh karena itu cara pola asuh yang dilakukan orang tua tidak lepas dalam membentuk kepribadian anak. Menurut Mussen (dalam Erma Lestari, 2009) pola asuh adalah cara yang digunakan orang tua dalam mencoba berbagai strategi untuk mendorong anak mencapai tujuan yang diinginkan. Pola asuh orang tua yang diterima oleh setiap siswa sangatlah beragam, hal ini tergantung dari cara pola asuh keluarga yang diterapkan oleh orang tua kepada anaknya.
Pola asuh merupakan pencerminan tingkah laku orang tua yang diterapkan kepada anak secara dominan. Hal ini sesuai dengan pendapat Hetherling dan Whiting (dalam Walgito, 2010 : 215) yang mengatakan bahwa pola asuh adalah suatu tingkah laku orang tua yang secara dominan muncul dalam keseluruhan interaksi antara orang tua dan anak. Dikatakan dominan karena pola asuh yang diterapkan dilakukan secara penuh dan terus menerus, sepanjang kehidupan anak. Tidak ada satu hari pun lepas dari asuhan dan didikan orang tua, bahkan ketika anak sudah dewasa. Sebagai orang tua harus memberikan pola asuh yang sesuai dengan anak karena tampak banyak pelanggaran moral yang dilakukan oleh siswa SD yaitu datang terlambat saat ke sekolah, tidak memakai atribut lengkap saat upacara, membuang sampah tidak pada tempatnya, dan Iain-lain. Penyebabnya diduga karena pemberian pola asuh yang tidak tepat.
Djamarah (2014 : 51) mengemukakan bahwa pola asuh orang tua dalam keluarga berarti kebiasaan orang tua, ayah dan atau ibu, dalam memimpin, mengasuh, dan membimbing anak dalam keluarga. Mengasuh dalam arti menjaga dengan cara merawat dan mendidiknya. Membimbing dengan cara membantu, melatih, dan sebagainya.
Menurut Walgito (2010 : 218), bentuk pola asuh orang tua ada tiga macam, yaitu : pola asuh otoriter, demokratis, dan permisif. Dimana dari masing-masing pola pengasuhan tersebut mempunyai dampak yang berbeda-beda bagi perkembangan anak. Bentuk pola asuh yang dipilih orang tua kepada anak menjadi salah satu faktor yang menentukan karakter anak. Perbedaan pola asuh dari orang tua seperti ini dapat berpengaruh terhadap perbedaan pembentukan dan perkembangan perilaku disiplin yang dimiliki anak. Dari ketiga bentuk pola asuh orang tua kepada siswa, bentuk pola asuh demokratis lah yang merupakan pola asuh paling baik diterapkan oleh orang tua kepada anaknya. Karena dalam pola asuh demokratis, orang tua memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan dengan memperhatikan aturan dan norma yang berlaku, serta pendekatannya kepada anak bersifat hangat.
Menurut Helmawanti (2014 : 139) pola asuh demokratis adalah pola asuh yang menggunakan komunikasi dua arah (two ways communication). Kedudukan antara orang tua dan anak dalam berkomunikasi sejajar. Suatu keputusan diambil bersama dengan mempertimbangkan (keuntungan) kedua belah pihak (win-win solution). Anak diberi kebebasan yang bertanggung jawab. Artinya, apa yang dilakukan anak tetap harus ada di bawah pengawasan orang tua dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Orang tua dan anak tidak dapat berbuat semena-mena pada salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak dapat memaksakan sesuatu tanpa berkomunikasi terlebih dahulu dan keputusan akhir disetujui oleh keduanya tanpa merasa tertekan.
Keluarga merupakan tempat pertama dan utama dalam membentuk kepribadian anak, salah satunya dengan menerapkan disiplin. Tujuan disiplin adalah mengarahkan anak agar mereka belajar mengenai hal-hal baik yang merupakan persiapan bagi masa dewasa, saat mereka sangat bergantung kepada disiplin diri. Tugas utama dari keluarga bagi pendidikan anak adalah sebagai peletak dasar bagi pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan. Sikap dan tabiat anak sebagian besar diambil dari kedua orang tua dan dari anggota keluarga yang lain. Dimana pemberian pola pengasuhan yang positif akan berdampak baik pada perkembangan anak, begitu juga sebaliknya, pola pengasuhan yang tidak baik akan berdampak tidak baik juga pada perkembangan anak.
Menurut Daryanto (2013 : 49) disiplin pada dasarnya control diri dalam mematuhi aturan baik yang dibuat oleh diri sendiri maupun di luar diri baik keluarga, lembaga pendidikan, masyarakat, bernegara maupun beragama. Disiplin juga merujuk pada kebebasan individu untuk tidak bergantung pada orang lain dalam memilih, membuat keputusan, tujuan, melakukan perubahan perilaku, pikiran maupun emosi sesuai dengan prinsip yang diyakini dari aturan moral yang dianut.
Benhard (dalam Shochib 2010 : 3) menyatakan bahwa tujuan disiplin diri adalah mengupayakan pengembangan minat anak dan mengembangkan anak menjadi manusia yang baik, yang akan menjadi sahabat, tetangga, dan warga negara yang baik. Dalam hal ini terdapat perbedaan yang fundamental antara keluarga di barat dengan keluarga di Indonesia dalam mengupayakan anak untuk memiliki dasar-dasar dan mengembangkan disiplin diri.
Shochib (2010 : 16) menyatakan bahwa keterkaitan pola asuh orang tua dengan anak berdisiplin diri dimaksudkan sebagai upaya orang tua dalam meletakkan dasar-dasar disiplin diri kepada anak membantu mengembangkannya sehingga anak memiliki disiplin diri. Intensitas kebutuhan anak untuk mendapatkan bantuan dari orang tua bagi kepemilikan dan pengembangan dasar-dasar disiplin diri, menunjukkan adanya kebutuhan internal, yaitu : 
  1. Tingkat rendah, apabila anak masih membutuhkan banyak bantuan dari orang tua untuk memiliki dan mengembangkan dasar-dasar disiplin diri (berdasarkan naluri).
  2. Tingkat menengah, apabila anak kadang-kadang masih membutuhkan bantuan dari orang tua untuk memiliki dan mengembangkan dasar-dasar disiplin diri (berdasarkan nalar).
  3. Tingkat tinggi, apabila anak sedikit sekali atau tidak lagi memerlukan bantuan serta control orang tua untuk memiliki dan mengembangkan dasar-dasar disiplin diri (berdasarkan kata hati).

Tapi pada kenyataannya masih sering ditemui perilaku tidak disiplin di lingkungan sekolah, termasuk di sekolah dasar yang akan diteliti. Sebagai contoh antara lain datang ke sekolah tidak tepat waktu, tidak memakai seragam yang lengkap, membolos sekolah, mengumpulkan tugas tidak tepat waktu, dan lain-lain. Ini dikarenakan orang tua tidak mengajarkan anak dalam mengembangkan disiplin diri, tidak mengajarkan kepada anak untuk mengembangkan tanggung jawab atas setiap perilaku dan tindakannya, dan orang tua tidak bersifat demokratis.
Gordon (dalam Syamaun 2012 : 28) mengemukakan bahwa ciri pola asuh orang demokratis adalah menerima, kooperatif, terbuka terhadap anak, mengajar anak untuk mengembangkan disiplin diri, jujur, dan ikhlas dalam menghadapi masalah anak-anak, memberikan penghargaan positif kepada anak tanpa dibuat-buat, mengajarkan kepada anak untuk mengembangkan tanggung jawab atas setiap perilaku dan tindakannya, bersikap akrab dan adil, tidak cepat menyalahkan, memberikan kasih sayang dan kemesraan kepada anak.
Penelitian yang mendukung dalam hal ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Rizki Lestari dalam jurnal pendidikan, dengan judul "Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Kedisiplinan Siswa Kelas V Gugus I", hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara pola asuh orang tua otoriter, demokratis, permisif, dan abai dengan kedisiplinan siswa kelas V Gugus I. Dimana pola asuh otoriter memiliki > atau 5,6172 > 1,671, pola asuh demokratis memiliki > atau 4,5738 > 1,671, pola asuh permisif memiliki > atau 3,9028 > 1,671, pola asuh abai memiliki > atau 3,1071 > 1,671.
Penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Jihan Filisyamala, dkk dalam jurnal Pendidikan pada bulan April 2016 yang berjudul "Bentuk Pola Asuh Demokratis dalam Kedisiplinan Siswa SD", hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk pola asuh demokratis merupakan suatu pola dimana orang tua memberikan kebebasan pada siswa untuk memilih dan melakukan suatu tindakan tetapi tetap sesuai dengan batasan-batasan yang telah disetujui bersama. Orangtua mendorong siswa untuk mandiri dengan tetap menjaga batasan dan kontrol pada tindakan mereka. Dalam menerapkan suatu aturan dalam bentuk pola asuh demokratis, adanya hubungan yang bersifat hangat dan terbuka baik antara orangtua dengan anak, serta adanya sikap saling menghargai satu sama lain. Melalui aturan yang dibuat bersama membuat munculnya kesadaran diri siswa untuk mematuhi aturan tersebut, sehingga akan tercipta perilaku disiplin yang baik pada siswa.
Dalam jurnal internasional yang berjudul "Harsh Discipline and Child Problem Behavior The Role of Positive Parenting and Gender", Penelitian yang dilakukan oleh Laura dkk, Vol. 10, Tahun 2007, penelitian menunjukkan bahwa anak laki-laki yang disiplin dan fisik yang lebih keras dibandingkan anak perempuan, dengan ayah memanfaatkan disiplin fisik yang lebih keras dengan anak laki-laki daripada ibu. Kedua jenis disiplin keras yang terkait dengan masalah keunikan perilaku anak setelah pengasuhan positif diperhitungkan. Gender anak tidak mempengaruhi, tapi satu dimensi positif parenting yaitu, kehangatan orangtua disajikan untuk menjauhkan anak dari pengaruh merugikan dari disiplin fisik yang keras.
Hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti di kelas V SD Negeri Gugus X, ditemukan perilaku ketidakdisiplinan siswa baik di luar kelas maupun di dalam kelas. Beberapa perilaku ketidakdisiplinan di luar kelas yang diamati peneliti yaitu siswa terlambat datang ke sekolah, bertengkar dengan temannya, tidak berbaris rapi dalam pelaksanaan upacara bendera, membuang sampah sembarangan. Perilaku ketidakdisiplinan di dalam kelas juga ditemukan oleh peneliti yaitu siswa yang mengenakan seragam tidak lengkap, terdapat coretan-coretan didinding dan di meja kelas, tidak membawa buku pelajaran sesuai jadwal, mengumpulkan tugas tidak tepat waktu atau bahkan tidak mengerjakan tugas, dan ramai saat guru atau teman menjelaskan di depan kelas.
Namun ternyata masih terdapat siswa yang memiliki disiplin yang tinggi. Hal ini ditunjukkan dalam mengikuti proses pembelajaran, terdapat siswa yang memperhatikan pada saat guru menjelaskan di depan, membuang sampah pada tempatnya, mengerjakan pekerjaan rumah, dan datang ke sekolah tepat waktu.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, peneliti akan mengkaji masalah ini dengan melakukan sebuah penelitian yang berjudul "HUBUNGAN POLA ASUH DEMOKRATIS DENGAN KEDISIPLINAN SISWA KELAS V SD NEGERI GUGUS X". Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi bagi guru maupun orang lain yang ingin tahu lebih dalam mengenai pola asuh demokratis. 

SKRIPSI KEEFEKTIFAN MODEL WORD SQUARE DALAM PEMBELAJARAN IPS MATERI UANG TEMA PERMAINAN (KELAS III)

(KODE : PENDPGSD-0029) : SKRIPSI KEEFEKTIFAN MODEL WORD SQUARE DALAM PEMBELAJARAN IPS MATERI UANG TEMA PERMAINAN (KELAS III)

contoh skripsi pgsd

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan menurut Tilaar (1999) dalam Taufiq, dkk (2010 : 1.4) sebagai proses menumbuh kembangkan eksistensi siswa yang memasyarakat, membudaya, dalam tata kehidupan yang berdimensi lokal, nasional, dan global. Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 Ayat 1, menyebutkan : 
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Oleh karena itu, pendidikan mempunyai peranan yang penting untuk membantu siswa agar dapat berkembang secara optimal sesuai dengan kemampuan yang ada, serta memiliki kepribadian dan akhlak yang baik. Pendidikan juga memiliki tujuan, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3, yang menyatakan : 
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Untuk mewujudkan tujuan pendidikan tersebut, orang tua, masyarakat, serta pemerintah terutama pihak sekolah bertanggungjawab dalam pelaksanaan pendidikan yang berkesinambungan serta mengacu pada kehidupan manusia masa kini dan masa depan. Pendidikan yang berada di bawah naungan pemerintah adalah pendidikan formal, sebagaimana tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 Bab I Pasal 1 Ayat 11 yang menyatakan "Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi." Dalam UU No. 20 Tahun 2003 Bab VI Pasal 17 Ayat 2 menyatakan "Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat." Pendidikan dasar memiliki kurikulum dalam proses pelaksanaan pembelajarannya. "Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu" (UU No. 20 Tahun 2003 Bab I Pasal 1 Ayat 19). "Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan/kejuruan, dan muatan lokal" (UU No. 20 Tahun 2003 Bab X Pasal 37 Ayat 1).
Pendidikan IPS merupakan salah satu mata pelajaran yang dapat memberikan wawasan pengetahuan yang luas kepada siswa mengenai masyarakat lokal maupun global, sehingga mereka mampu hidup bersama-sama dengan masyarakat lainnya (Susanto, 2013 : 148). IPS merupakan salah satu materi yang didominasi oleh hafalan. Agar lebih efektif, bidang kajian IPS harus dipelajari secara kontekstual dengan kehidupan sosial. 
Hadi (1997) dalam Susanto (2013 : 146), menyebutkan bahwa pendidikan IPS memiliki empat tujuan, yaitu knowledge, skill, attitude, dan value. Knowledge, sebagai tujuan utama pendidikan IPS membantu siswa mengenal diri mereka sendiri dan lingkungannya. Skill, mencakup keterampilan berpikir (thinking skills). Attitude, terdiri atas tingkah laku berpikir (intellectual behavior) dan tingkah laku sosial (social behavior). Value, yaitu nilai yang terkandung dalam masyarakat, diperoleh dari lingkungan masyarakat maupun lembaga pemerintahan.
Agar tujuan pendidikan IPS tercapai dengan baik, dalam proses pembelajaran guru sebaiknya mengoptimalkan interaksinya dengan siswa. Hal ini sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2003 Bab I Pasal 1 Ayat 20 yang menyatakan "Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar." Interaksi dalam hal ini yaitu keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran IPS biasanya didominasi oleh metode ceramah, siswa hanya mendengarkan penjelasan dari guru dan pemberian tugas, sehingga proses pembelajaran kurang efektif.
Keadaan tersebut juga terjadi dalam pembelajaran IPS pada siswa kelas III SD Negeri X. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru kelas III, diperoleh keterangan bahwa dalam proses pembelajaran IPS guru memberikan materi kemudian siswa mencatatnya. Siswa memahaminya dengan cara menghafalkan materi yang disampaikan oleh guru. Kondisi belajar seperti ini menimbulkan kebosanan pada siswa. Oleh karena itu, diperlukan suatu pembelajaran inovatif yang mampu melibatkan siswa, agar proses pembelajaran lebih efektif.
Pembelajaran IPS kelas III materi Uang, berdasarkan KTSP menggunakan pendekatan tematik terpadu. Uang merupakan salah satu materi IPS yang disampaikan kepada siswa kelas III dengan tujuan agar siswa dapat memahami materi Uang yang dipadukan dengan materi Pengelolaan Uang dalam tema Permainan. 
Menurut Hadisubroto (2000) dalam Trianto (2014 : 56), bahwa pembelajaran terpadu merupakan pembelajaran yang diawali dengan pokok bahasan atau tema tertentu yang dikaitkan dengan pokok bahasan lain, dilakukan secara spontan atau direncanakan, baik dalam satu bidang studi atau beberapa bidang studi dengan beragam pengalaman belajar anak, sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna. Dalam penelitian ini menggunakan pembelajaran terpadu model keterhubungan (connected) dalam satu mata pelajaran. Tujuan tersebut dapat tercapai apabila pembelajarannya dirancang sesuai dengan tingkat perkembangan dan karakteristik siswa kelas III.
Menurut Susanto (2012 : 70), anak yang berada di sekolah dasar masih tergolong rentangan anak usia dini, terutama anak yang berada pada kelas rendah. Masa usia dini merupakan masa yang pendek dan masa yang penting bagi kehidupan seseorang. Oleh karena itu, pada masa ini seluruh potensi yang dimiliki anak perlu didorong agar berkembang secara optimal. Berdasarkan karakteristik siswa kelas rendah tersebut, peneliti berpendapat bahwa model pembelajaran yang sesuai dengan IPS materi Uang dan Pengelolaan Uang dalam Tema Permainan yaitu pembelajaran inovatif yang berorientasi pada keterlibatan siswa secara aktif, menyenangkan, dan meningkatkan motivasi belajar siswa. Pembelajaran inovatif adalah pembelajaran kooperatif yang di dalamnya terdapat beberapa model. Taniredja, dkk (2013 : 55), berpendapat "Pembelajaran kooperatif merupakan sistem pengajaran yang memberi kesempatan kepada siswa untuk bekerjasama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur."
Pembelajaran inovatif yang dapat melibatkan siswa secara aktif dan menyenangkan adalah model pembelajaran kooperatif Word Square, yang di dalam pembelajarannya terdapat nuansa bermain. Hal ini diharapkan dapat membuat siswa merasa senang dan tidak jenuh selama mengikuti pembelajaran IPS di sekolah. Dengan demikian, materi yang disampaikan akan mudah diterima dan dipahami oleh siswa sehingga hasil belajar lebih optimal.
Menurut Santoso (2011), "Model Word Square adalah model pembelajaran yang memadukan kemampuan menjawab pertanyaan dengan kejelian dalam mencocokkan jawaban pada kotak-kotak jawaban." Model tersebut hampir sama dengan teka-teki silang, bedanya jawaban sudah ada dan disamarkan dengan menambahkan kotak tambahan berisi huruf sebagai pengecoh. Tujuan huruf pengecoh bukan untuk mempersulit siswa, namun melatih sikap teliti dan kritis. Model ini sesuai untuk semua mata pelajaran, tergantung kreativitas guru dalam membuat sejumlah pertanyaan terpilih yang dapat merangsang siswa untuk berpikir efektif.
Penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilaksanakan oleh Pertiwi (2013) dari Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang dengan judul "Peningkatan Keterampilan Membaca Lancar Aksara Jawa melalui Model Word Square Siswa Kelas VA SDN". Penelitian yang lain dilaksanakan oleh Aningsih, dkk (2012) dari Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Ganesha dengan judul "Pengaruh Model Pembelajaran Word Square Berbantuan Media Gambar terhadap Hasil Belajar IP A Kelas IV SD Gugus 1". Penelitian lain oleh Widiartini, dkk (2014) dari Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Ganesha dengan judul "Pengaruh Model Word Square terhadap Keterampilan Menyimak Cerita Kelas V SD Gugus IX". Hasil yang diperoleh dari beberapa penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil belajar menggunakan model Word Square dengan hasil belajar menggunakan model konvensional.
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk menguji tentang pembelajaran IPS kelas III menggunakan model Word Square dengan judul "KEEFEKTIFAN MODEL WORD SQUARE DALAM PEMBELAJARAN IPS MATERI UANG TEMA PERMAINAN PADA SISWA KELAS III SEKOLAH DASAR NEGERI X".

SKRIPSI PEMBELAJARAN BERBASIS PAKEM PADA MATA PELAJARAN IPS DI KELAS IV

(KODE : PENDPGSD-0028) : SKRIPSI PEMBELAJARAN BERBASIS PAKEM PADA MATA PELAJARAN IPS DI KELAS IV

contoh skripsi pgsd

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan upaya yang diusahakan oleh manusia untuk mengembangkan potensi diri agar menjadi manusia yang lebih berkualitas. Pendidikan diartikan sebagai usaha yang dilakukan secara berkesinambungan dalam rangka membina dan mengembangkan potensi manusia agar dapat memenuhi tantangan di masa depan. Masyarakat menganggap pendidikan mempunyai peranan yang besar dalam mencapai keberhasilan dalam perkembangan anak serta dalam mengubah mutu kehidupan manusia dan bangsa. Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 bab I pasal 1 angka 1 tentang sistem pendidikan nasional, yang menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 
Pendidikan berfungsi sebagai sarana untuk mengolah, mengembangkan, serta memunculkan potensi yang dimiliki oleh tiap-tiap individu agar mereka menjadi individu yang berilmu, bermanfaat, dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal tersebut sesuai yang tertuang pada bab II pasal 3 undang-undang pendidikan, bahwa fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Berdasarkan Undang-Undang nomor 20 tahun 2003, tujuan pendidikan di sekolah dasar meliputi, (1). membina peserta didik agar menjadi individu yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (2). membantu peserta didik mengembangkan, mengolah serta memunculkan potensinya, (3). membina agar menjadi individu yang berakhlak mulia, kreatif, mandiri, menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan lingkungannya.
Tujuan pendidikan dapat dicapai melalui kurikulum. Menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2003 kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan . Kurikulum yang berlaku di Indonesia adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dalam KTSP terdapat beberapa mata pelajaran, salah satunya adalah Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 pasal 37 Ayat 1 menyebutkan bahwa dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah, salah satunya wajib memuat Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Dalam kurikulum 2006, mata pelajaran IPS merupakan mata pelajaran yang mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial. Kawuryan (2010 : 5) menyatakan bahwa, misi utama pendidikan IPS adalah untuk membantu siswa belajar tentang masyarakat dunia di mana mereka hidup dan memperoleh jalan untuk belajar menerima realitas sosial, dan untuk mengembangkan pengetahuan, sikap, serta ketrampilan untuk membantu mengasah pencerahan manusia.
Mengacu pada pasal tersebut, mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial wajib diberikan pada peserta didik jenjang pendidikan dasar dan menengah. Melalui mata pelajaran IPS, diharapkan peserta didik dapat menjadi generasi yang demokratis, bertanggung jawab serta berkualitas baik. Generasi yang berkualitas dapat diperoleh melalui proses pembelajaran yang baik, yaitu proses pembelajaran yang melibatkan serta memaksimalkan semua subjek dan objek di sekitarnya menjadi bagian yang ikut berperan aktif yang dapat membentuk keteladanan peserta didik dengan baik, memunculkan minat belajar, mengembangkan kreativitas peserta didik, dan dapat mewujudkan tujuan dalam pembelajaran. 
Hal tersebut sesuai dengan PP. No. 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan bab IV pasal 19 angka 1 yang menyatakan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Berdasarkan PP tersebut, proses pembelajaran pada satuan pendidikan seharusnya diselenggarakan secara aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan bagi peserta didik yang disingkat dengan PAKEM.
Menurut Asmani (2014 : 61) PAKEM merupakan strategi pembelajaran untuk mengembangkan ketrampilan dan pemahaman siswa, dengan penekanan pada belajar sambil bekerja (learning by doing). Dalam PAKEM, aktor utamanya adalah guru dan siswa, keduanya ada dalam interaksi yang dinamis dan kontekstual. Oleh karena itu, guru perlu mewujudkan situasi pembelajaran yang melibatkan seluruh siswa untuk berperan aktif dalam proses pembelajaran, memicu kreatifitas siswa, serta berusaha menciptakan pembelajaran yang menyenangkan, sehingga pembelajaran menjadi efektif. 
Demikian juga dalam mata pelajaran IPS yang merupakan salah satu mata pelajaran wajib di pendidikan tingkat dasar dengan cakupan materi cukup luas. Pembelajaran IPS menjadi tidak berbasis PAKEM apabila hanya berorientasi pada pemberian materi saja pada siswa. Untuk itu, guru perlu mendesain pembelajaran dengan kreatif, yaitu dengan kegiatan pembelajaran yang beraneka ragam, sehingga siswa dapat terlibat aktif dalam pembelajaran dan guru aktif mengontrol kegiatan tersebut supaya tetap kondusif, sehingga pembelajaran dapat efektif, dan peserta didik akan merasa senang ketika belajar IPS.
Fakta yang terjadi selama ini, pembelajaran di Indonesia masih banyak yang belum sesuai dengan amanat undang-undang pendidikan. Hal tersebut berdasarkan hasil survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah juga ditunjukkan oleh data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya 8 sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP) (Kompas.com 25/06/2015). Mendikbud menjelaskan bahwa 75 persen sekolah di Indonesia tidak memenuhi standar layanan minimal pendidikan. Hal tersebut berdasarkan pada pemetaan Kemendikbud terhadap 40.000 sekolah pada tahun 2012, diketahui bahwa isi, proses, fasilitas, dan pengelolaan sebagian besar sekolah saat ini masih belum sesuai standar pendidikan seperti yang diamanatkan undang-undang (Kompas.com 02/12/2014 dikutip dari http://Indonesiasatu.kompas.com./read/2014/12/02/18365971/Berita.Buruk.Pendidikan.Indonesia diakses pada tanggal 17 Februari 2016 pukul 13 : 05 WIB). Hal tersebut menunjukkan bahwa, proses pendidikan di Indonesia masih kurang baik. Mengacu pada teori dan ketentuan peraturan perundang-undangan, untuk memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia, maka proses pendidikan haruslah berlangsung secara aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan (PAKEM). Apabila PAKEM dilaksanakan secara sempurna dalam proses pembelajaran sesuai dengan yang diamanatkan oleh undang-undang, maka kemungkinan besar hasil dari pembelajaran tersebut akan lebih memuaskan sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan dalam pembelajaran, tak terkecuali dalam mata pelajaran IPS.
Berdasarkan observasi awal yang peneliti lakukan saat pembelajaran IPS di kelas IV SD Gugus Gatotkaca Kecamatan Semarang Barat Kota Semarang, sebagian besar guru telah mengajak siswa untuk terlibat aktif dalam pembelajaran dengan menggunakan metode yang bervariasi, selain itu terdapat pula hasil karya siswa yang dipajang di dalam kelas dan terdapat pojok baca, sehingga kelas terlihat lebih menarik. Pembelajaran terlihat menyenangkan, karena siswa tidak hanya diam memperhatikan penjelasan guru tetapi aktif melakukan berbagai kegiatan dalam pembelajaran. Hal ini menimbulkan keinginan bagi peneliti untuk meneliti tentang pembelajaran berbasis PAKEM pada mata pelajaran IPS kelas IV SD/
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka peneliti akan melakukan penelitian deskriptif dengan judul "PEMBELAJARAN BERBASIS PAKEM PADA MATA PELAJARAN IPS DI KELAS IV SD".

SKRIPSI PENGARUH PENERAPAN METODE BRAINSTORMING DENGAN SIMULASI TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA KELAS V TEMA EKOSISTEM

(KODE : PENDPGSD-0027) : SKRIPSI PENGARUH PENERAPAN METODE BRAINSTORMING DENGAN SIMULASI TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA TEMA EKOSISTEM (KELAS V)

contoh skripsi pgsd

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Globalisasi, mempengaruhi banyaknya penyimpangan yang sering dilakukan oleh anak-anak atau para remaja maka dari itu penerapan nilai sikap sejak dini sangatlah penting salah satunya dengan menanamkan nilai-nilai moral sehingga mampu membentuk pribadi yang memiliki karakter yang baik. Melalui pendidikan, siswa diharapkan memiliki kepribadian yang bertaqwa kepada Tuhan, kreatif, dan mandiri. Berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 1 menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk menghidupkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya. Pendidikan menerapkan kurikulum yang mengarahkan siswa untuk menguasai kompetensi. Kompetensi tersebut dikembangkan dalam kurikulum yang diterapkan saat ini yaitu kurikulum 2013.
Menurut Prastowo (2013 : 219), di dalam kurikulum 2013 menekankan pada kompetensi tertentu yang harus dicapai, adapun kompetensi yang dimaksud adalah sikap spiritual (KI-1), sikap sosial (KI-2), pengetahuan (KI-3), dan keterampilan (KI-4). Kaitannya dengan pembentukan warga negara Indonesia yang demokratis dan bertanggung jawab, pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan memiliki peranan yang strategis dan penting, yaitu dalam membentuk siswa maupun sikap dalam berperilaku keseharian, sehingga diharapkan setiap individu mampu menjadi pribadi yang baik. Melalui pembelajaran tematik siswa dapat mengkaji Pendidikan Kewarganegaraan dalam forum yang dinamis dan interaktif yang dipadukan dengan berbagai mata
pelajaran lainnya. Jika memperhatikan tujuan pendidikan nasional di atas, pembangunan dalam dunia pendidikan perlu diusahakan peningkatannya. Proses pembelajaran diperlukan adanya hubungan timbal balik antara gum dan siswa sehingga terjalin komunikasi banyak arah yang terjadi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa dan siswa dengan masyarakat sehingga menjadikan pembelajaran dapat terarah pada pencapaian kompetensi. Secara umum keberhasilan proses pembelajaran sangat ditentukan oleh beberapa komponen. Komponen tersebut antara lain : siswa, lingkungan, kurikulum, guru, metode dan media mengajar dengan tujuan untuk mencapai tujuan pendidikan.
Penerapan kurikulum 2013 mengacu pada model pembelajaran tematik. Menurut Prastowo (2013 : 117), pada dasarnya pembelajaran tematik adalah salah satu model pembelajaran terpadu yang menggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran, sehingga dapat memberi pengalaman bermakna. Proses pembelajaran kurikulum 2013 yang menggunakan model pembelajaran tematik mengacu pada pendekatan Scientific. Menurut Kemendikbud (2013 : 209), pendekatan Scientific dalam proses pembelajaran meliputi menggali informasi melalui pengamatan, bertanya, percobaan mengolah informasi dan menyimpulkan atau mengkomunikasikan. 
Kondisi pembelajaran yang sesuai dengan kurikulum 2013 diharapkan dapat mengarahkan siswa untuk mampu merumuskan masalah dan melatih kemampuan berpikir analitis sehingga akan terwujud kondisi pembelajaran yang dapat mendorong siswa untuk belajar dengan memaknai apa yang dipelajarinya. Kurikulum 2013 diharapkan dapat menghasilkan "insan Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif, afektif melalui penguatan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang diintegrasikan" (Kemendikbud, 2013). Tujuan perubahan kurikulum 2013 adalah untuk meningkatkan rasa ingin tahu siswa dan mendorong siswa aktif.
Upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, menuntut kemampuan guru dalam mengembangkan metode pembelajaran yang dapat menunjang dan mendorong siswa untuk berpikir kritis. Penggunaan metode yang tepat dalam pembelajaran dengan menggunakan kurikulum 2013 sangatlah berperan penting dalam menentukan efektifitas pembelajaran. Guru SD dalam setiap pembelajaran perlu menggunakan pendekatan, strategi dan metode pembelajaran yang dapat memudahkan siswa untuk memahami mated yang diajarkan khususnya pada kurikulum 2013. Proses pembelajaran pun tidak harus berasal dari guru menuju siswa, ada banyak penelitian yang menemukan bahwa pembelajaran tutor sejawat ternyata lebih efektif karena sistem pengajaran yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bekerjasama dengan teman lainnya dalam mengerjakan tugas-tugas dengan kata lain pembelajaran ini dapat digolongkan dalam pembelajaran kooperatif dan dalam hal ini guru hanya bertindak sebagai fasilitator.
Metode merupakan suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Abdul Madjid (2011 : 135) "metode merupakan proses belajar mengajar merupakan interaksi yang dilakukan antara guru dengan peserta didik dalam suatu pengajaran untuk mewujudkan tujuan yang ditetapkan".
Menurut Hasibuan dan Moedjiono (2012 : 3) Metode mengajar adalah alat yang dapat merupakan bagian dari perangkat alat dan cara dalam pelaksanaan suatu strategi belajar-mengajar. Teknik penyajian yang dikuasai guru untuk mengajar atau menyajikan bahan pelajaran kepada siswa di dalam kelas, baik secara individual atau secara kelompok/klasikal, agar pelajaran itu dapat diserap, dipahami dan dimanfaatkan oleh siswa dengan baik. Semakin baik metode mengajar, makin efektif pula pencapaian tujuan dan peranan metode mengajar sebagai alat untuk menciptakan proses mengajar dan belajar. Metode ini diharapkan tumbuh berbagai kegiatan belajar siswa sehubungan dengan kegiatan mengajar guru. Menurut Lie dalam Kusumawardani (2002 : 85) pembelajaran kooperatif merupakan suatu metode pembelajaran yang berorientasi pada belajar bersama dalam kelompok kecil untuk mendiskusikan suatu permasalahan secara bersama-sama. Berdasarkan uraian diatas dalam pembelajaran ini diharapkan siswa mampu bekerjasama mendiskusikan untuk memecahkan suatu permasalahan. Menurut Trianto dalam Kusumawardani (2007 : 49) macam-macam pembelajaran kooperatif antara lain : kepala bernomor (NHT), bertukar pasangan (Make a Match), Student Teams Achievement Division (STAD), Jigsaw, Team Game Tournament (TGT), dan Sumbang Saran (Brainstorming).
Menurut Roestiyah (2008 : 74) penerapan metode brainstorming sebagai suatu cara untuk mendapatkan banyak ide dari sekelompok manusia dalam waktu yang singkat. Metode Brainstorming dapat menguntungkan dalam pembelajaran, agar pembelajaran lebih efektif dan berhasil metode brainstorming dapat digabungkan dengan metode lainnya. Penelitian ini menggunakan metode Brainstorming yang dipadukan melalui simulasi agar mendapatkan hasil pembelajaran yang lebih maksimal. Penggunaan metode Brainstorming dengan simulasi ini masih belum pernah digunakan dalam proses pembelajaran di SD X sehingga penerapan metode Brainstorming dengan simulasi ini diharapkan mampu meningkatkan hasil belajar siswa karena dalam proses pembelajarannya siswa dapat aktif mengemukakan pendapat yang membangun pengetahuannya. Penggunaan metode ini siswa akan merasa senang karena dapat belajar berpendapat sambil berdiskusi, bermain dan berkompetisi.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi tanggal 13 Desember 2014 di SD X (Lampiran C), dapat dikemukakan bahwa metode yang digunakan dalam pembelajaran masih kurang bervariasi atau bersifat konvensional. Pedoman dalam kurikulum 2013 mengharuskan guru lebih kreatif dalam memilih metode agar mampu mengemas pembelajaran sehingga lebih menarik. Informasi hasil belajar siswa yang diperoleh dari guru kelas V di SD X baik kelas V-A maupun V-B melalui data nilai Ujian Tengah Semester pada Tema 1 sampai Tema 4 semester 1 dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) untuk semua mata pelajaran dan akan dikatakan tuntas apabila telah mencapai skor > 75 dari nilai maksimal 100. Jumlah siswa kelas V-A yaitu 47 orang dan jumlah siswa kelas V-B yaitu 48 orang diperoleh dari data masing-masing kelas, untuk kelas V-A dari 47 siswa hanya 22 orang atau hanya 46,80% yang mendapatkan nilai > 75, sedangkan 25 orang atau 53,19% siswa lainnya mendapatkan nilai < 75. 
Begitu juga pada kelas V-B yaitu dari 48 siswa hanya 22 orang atau 45,83% yang mendapatkan nilai > 75, sedangkan 26 orang atau 54,16% siswa lainnya mendapatkan nilai < 75 (lampiran B). Salah satu penyebab kurangnya nilai ketuntasan pada hasil belajar tersebut adalah karena proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru kurang mampu memadukan pendekatan saintifik dengan metode yang tepat. Permasalahan yang muncul dalam proses pembelajaran tematik diantaranya, kegiatan pembelajaran belum memberikan proses belajar bermakna bagi siswa, sehingga dalam membangun pengetahuan, siswa belum secara optimal mengembangkan kemampuan berpikirnya. 
Guru mendominasi proses pembelajaran, sehingga menyebabkan rendahnya motivasi belajar siswa. Hal ini dibuktikan dengan mayoritas siswa cenderung pasif dalam mengikuti proses pembelajaran. Siswa enggan bertanya dan mengemukakan pendapat, karena guru belum melibatkan siswa secara langsung dalam proses pembelajaran. Hal ini juga berdampak pada rendahnya minat dan perhatian siswa terhadap pelajaran yang disampaikan oleh guru. Pembelajaran kurikulum 2013 memang menggunakan pendekatan saintifik, akan tetapi pada tema pembelajaran yang mengintegrasikan beberapa mata pelajaran guru dapat memadukan metode lainnya salah satunya metode brainstorming dengan simulasi karena metode ini cocok dipadukan dengan pendekatan saintifik yang mengharuskan siswa untuk berfikir kritis dan memusatkan proses pembelajaran pada siswa. Berdasarkan paparan diatas maka sangat memungkinkan metode brainstorming dengan simulasi untuk diterapkan dalam pembelajaran yang menggunakan pembelajaran tematik di sekolah dasar dan diharapkan pada penelitian ini dapat menggali hasil belajar siswa.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti melakukan penelitian eksperimental yang berjudul "PENGARUH PENERAPAN METODE BRAINSTORMING DENGAN SIMULASI TERHADAP HASIL BELAJAR SISWA KELAS V TEMA EKOSISTEM".

SKRIPSI PENGEMBANGAN BAHAN AJAR KELAS IV MENGACU KURIKULUM 2013 SUBTEMA MENGENAL PAHLAWAN BANGSAKU

(KODE : PENDPGSD-0026) : SKRIPSI PENGEMBANGAN BAHAN AJAR KELAS IV MENGACU KURIKULUM 2013 SUBTEMA MENGENAL PAHLAWAN BANGSAKU

contoh skripsi pgsd

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan dan kemajuan sebuah negara adalah kedua hal yang memiliki keterkaitan cukup , sebab bangsa yang maju adalah bangsa yang mampu mengandalkan sumber daya manusia di bangsanya, oleh karena itu pendidikan merupakan kunci yang harus disiapkan (Boediono dalam Rachman, 2010). Kurikulum dikatakan sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan serta menjadi pedoman pelaksanaan pembelajaran bagi semua jenjang pendidikan. Kurikulum di Indonesia disesuaikan dengan falsafah dan dasar negara, yaitu Pancasila serta UUD 1945 karena sistem kurikulum yang diterapkan sebuah negara turut menentukan tujuan serta pola hidup suatu bangsa. Kurikulum menjadi "pilihan" bagi sebuah negara, sifatnya dinamis sebab harus selalu mengikuti arus perkembangan zaman, ilmu pengetahuan, teknologi, tingkat kecerdasan peserta didik, budaya, sistem nilai dan kebutuhan masyarakat. Kurikulum di Indonesia juga disesuaikan dengan nilai-nilai luhur bangsa, maka kurikulum diterapkan di jenjang pendidikan taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi baik formal maupun informal (Arifin, 2011 : 1-2). Peningkatkan mutu pendidikan di sebuah negara perlu adanya evaluasi serta direncanakan untuk mengetahui akan dibawa kemana arah pendidikan kita, maka sebuah negara seharusnya bersiap-siap dengan pola kurikulum yang sangat mungkin berubah.
Hidayat (2013 : 1-2) mengatakan perubahan kurikulum merupakan konsekuensi terjadinya perubahan dalam sistem politik, sosial budaya, ekonomi dan perkembangan IPTEK suatu bangsa. Jika kurikulum tidak berubah sesuai dengan perkembangan jaman maka yang terjadi, kurikulum yang dimiliki pada bangsa itu bersifat pasif, karena tidak fleksibel berdasarkan situasi dan kondisi yang ada. Pada dasarnya, semua kurikulum yang digunakan pada masing jenjang pendidikan adalah sama, sebab mengacu pada pedoman yang sama pula. Tetapi perbedaannya hanya terletak dalam hal penekanan pada tujuan pendidikan dan pendekatan yang digunakan untuk menerapkan kurikulum.
Implementasi setiap kurikulum tentu masih banyak kekurangan dan masalah-masalah. Pemerintah mengganti kurikulum dengan berbagai macam penyempurnaan dalam jangka waktu yang tidak tentu. Hal itu demi memenuhi sifat kurikulum yang dinamis sehingga tujuan pendidikan yang tercantum dalam kurikulum sejalan dengan perkembangan zaman, IPTEK, sosial budaya, dan ekonomi di negara. Kurikulum 2013 merupakan kurikulum yang akan diterapkan oleh pemerintah Indonesia dimulai tahun 2013 melalui uji coba secara bertahap di sekolah-sekolah pilihan.
Dakir (2004 : 2-3) menjelaskan kurikulum berasal dari bahasa Latin currere yang berarti lapangan perlombaan lari. Batas start dan finish-nya perlombaan sudah ditentukan dalam sebuah lapangan perlombaan lari, apabila diartikan sesuai dengan konteks pendidikan, kurikulum merupakan sebuah bahan untuk belajar yang telah ditentukan secara pasti bagaimana pelaksanaannya, kapan dimulai dan kapan diakhiri. Kurikulum merupakan sebuah program pendidikan yang dirancang dan direncanakan serta berisi berbagai macam bahan ajar dan pengalaman belajar yang dibuat secara sistemik berdasarkan dengan norma yang berlaku sehingga dijadikan pedoman dalam proses pembelajaran Kurikulum menjadi penting bagi tercapainya tujuan pendidikan nasional karena sifatnya yang berhubungan langsung dengan pengajaran demi kemajuan bangsa.
Bahan ajar adalah salah satu bagian terpenting dalam kurikulum, salah satu contoh dari bahan ajar tersebut adalah buku ajar. Buku ajar menurut Sitepu (2012 : 20) mengandung berbagai informasi tentang perasaan, pikiran, gagasan, atau pengetahuan pengarangnya untuk disampaikan kepada orang lain menggunakan berbagai simbol visual, dalam bentuk huruf, gambar, bahkan bentuk lainnya. Buku ajar berisikan bahan belajar yang membantu siswa untuk mengembangkan kemampuannya sesuai tahapan pencapaian tujuan pendidikan institusional dan pendidikan nasional. Penulis bahan ajar hendaknya mengutamakan kesesuaian isi bahan ajar yang akan ditulis dengan kemampuan pengguna bahan tersebut. Bagi seorang guru sekolah dasar khususnya, bahan ajar menjadi sebuah kebutuhan yang penting untuk membantu proses pembelajaran. Guru akan mengikuti setiap alur pembelajaran dari halaman per halaman (Dakir, 2004 : 13-15).
Bahan ajar digunakan guru sebagai fasilitas belajar bagi siswa. Sebaiknya guru menyusun sendiri bahan ajarnya, karena gurulah yang mengetahui keadaan dan kebutuhan siswanya. Guru dapat memanfaatkan media cetak atau media publik untuk peroleh informasi sehingga dapat menyusun bahan ajar yang sesuai dengan perkembangan jaman. Selain itu guru dapat belajar dari pengalaman sebelumnya selama mengajar karena evaluasi materi yang telah digunakan sebelumnya juga turut menentukan kelayakan bahan ajar tersebut untuk digunakan bagi siswa (Cunningsworth, 1995 : 7-8). Pentingnya penggunaan bahan ajar dikatakan pula oleh Trianto (2010 : 122) bahwa bahan ajar diperlukan dalam pembelajaran khususnya pembelajaran tematik, bahan ajar hendaknya lebih lengkap dan komprehensif khususnya bahan ajar yang dipergunakan dalam pembelajaran tematik yang memadukan berbagai disiplin ilmu.
Berdasarkan hasil wawancara, Bapak Subagyo guru kelas IV yang merupakan SD percontohan Kurikulum 2013, mengungkapkan bahwa pelaksanaan Kurikulum 2013 di sekolah belum maksimal, artinya masih banyak kekurangan yang disebabkan oleh minimnya informasi mengenai implementasi Kurikulum 2013. Guru memahami mengenai Kurikulum 2013 sebatas cakupan tiga kemampuan yaitu pengetahuan, keterampilan dan sikap, sedangkan mengenai pendekatan tematik integratif dan pendekatan sains, guru menyatakan bahwa pendekatan sains adalah pembelajaran menggunakan indera siswa, sedangkan pendekatan tematik yaitu yang sama digunakan pada pembelajaran di kelas rendah.
Pemerintah pusat telah menyiapkan bahan ajar berdasarkan tema dalam satu tahun, namun guru menyatakan masih kesulitan karena materi pada buku ajar (buku siswa dan buku guru) kurang sesuai dengan kearifan lokal sekolah setempat. Guru harus kreatif untuk mengkaitkan pembelajaran dengan budaya lokal sekaligus menanamkan pendidikan karakter bagi peserta didik. Mengenai penilaian otentik, guru menjawab belum memahami dengan pasti teknik penilaian yang digunakan seperti apa, sebab belum ada pedoman penilaian yang sesuai. Pengawas setempat mengatakan bahwa penilaian Kurikulum 2013 sama dengan penilaian pada pembelajaran tematik di kelas rendah, artinya guru belum memahami penilaian otentik yang tepat.
Guru menyatakan bahwa masih perlu adanya revisi terhadap bahan ajar yang telah disediakan agar tepat sasaran dan sesuai kebutuhan siswa. Guru juga mengatakan bahwa belum ada keinginan untuk menciptakan bahan ajar baru pada saat ini karena memang belum ada waktu untuk itu, tetapi guru sudah berusaha mencari referensi lain yang dapat digunakan untuk belajar siswa selain buku ajar dari pemerintah pusat. Guru mengharapkan adanya bahan ajar lain yang dapat memenuhi kebutuhan siswa dan mempermudah guru dalam membimbing siswa, misalnya kegiatan dasarnya jelas menggunakan pendekatan tematik integratif dan pendekatan saintifik, lalu pendidikan karakter yang sesuai budaya lokal siswa, serta penilaian otentik yang digunakan guru dalam menilai siswa.
Berdasarkan beberapa masalah yang telah diungkapkan, peneliti menyimpulkan bahwa bahan ajar merupakan salah satu bagian penting dari kurikulum untuk membantu tercapainya tujuan pendidikan khususnya pada penerapan Kurikulum 2013, bahkan berdasarkan wawancara, ketersediaan bahan ajar Kurikulum 2013 yang diterbitkan oleh pemerintah pusat masih belum memenuhi kebutuhan siswa, contohnya terkait budaya lokal yang kurang tercermin dalam bahan ajar. Guru juga menjelaskan bahan ajar dari pemerintah belum menampilkan pendidikan karakter dalam kegiatan belajarnya, sehingga dengan pengetahuan yang masih terbatas guru harus mampu mengkaitkan sendiri pengetahuan yang diperoleh siswa dalam pembelajaran dengan budaya lokal setempat. Namun bukan hanya budaya lokal, ciri-ciri bahan ajar dalam Kurikulum 2013 yang paling tidak mencakup pendekatan tematik integratif, pendekatan saintifik, pendidikan karakter berbasis budaya lokal, serta penilaian otentik perlu diperjelas kembali, oleh karena itu peneliti akan melakukan penelitian dengan judul "PENGEMBANGAN BAHAN AJAR MENGACU KURIKULUM 2013 SUBTEMA MENGENAL PAHLAWAN BANGSAKU” dalam taraf percobaan dan perlu untuk disempurnakan.

SKRIPSI PENGEMBANGAN BAHAN AJAR KELAS IV MENGACU KURIKULUM 2013 SUBTEMA HEWAN DAN TUMBUHAN DI LINGKUNGAN RUMAHKU

(KODE : PENDPGSD-0025) : SKRIPSI PENGEMBANGAN BAHAN AJAR KELAS IV MENGACU KURIKULUM 2013 SUBTEMA HEWAN DAN TUMBUHAN DI LINGKUNGAN RUMAHKU 

contoh skripsi pgsd

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kurikulum merupakan program pendidikan yang telah direncanakan secara sistematis sehingga mengemban peranan yang sangat penting bagi pendidikan peserta didik. Menurut UU No. 20 Tahun 2003 (dalam Permendikbud No. 54, 2013 : 1) tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan peraturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan. Kurikulum menjadi acuan berlangsungnya kegiatan pembelajaran. Kurikulum dikembangkan ke arah yang dapat menimbulkan nilai luhur dan kemudian dapat diaplikasikan oleh peserta didik dalam kehidupan bermasyarakat. 
Kurikulum di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan. Pada tahun pelajaran 2013/2014, kurikulum di Indonesia telah berganti menjadi kurikulum 2013. Kurikulum 2013 merupakan pengembangan dari KTSP 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). Kurikulum 2013 menuntut siswa lebih kreatif dan inovatif sama halnya dengan KTSP. Perbedaan yang dapat dilihat adalah di dalam kurikulum 2013 semua mata pelajaran diintegrasikan ke dalam satu tema tertentu sedangkan dalam KTSP tiap mata pelajaran berdiri sendiri tanpa terintegrasi dengan mata pelajaran lain. 
Menurut Permendikbud (2013 : 3) kurikulum 2013 dirancang dengan karakteristik seperti mengembangkan keseimbangan antara pengembangan sikap spiritual dan sosial, rasa ingin tahu, kreativitas, kerjasama dengan kemampuan intelektual dan psikomotorik. Selain itu sekolah dapat memanfaatkan masyarakat sekitar untuk memberikan pengalaman belajar bagi peserta didik. Kurikulum 2013 memberi waktu yang cukup leluasa untuk mengembangkan berbagai sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Kompetensi kurikulum 2013 dinyatakan dalam bentuk Kompetensi Inti (KI) kelas yang dirinci lebih lanjut dalam Kompetensi Dasar (KD) mata pelajaran.
Perubahan kurikulum tentunya juga memerlukan perubahan bahan ajar yang sesuai dengan kurikulum tersebut. Bahan ajar yang dikembangkan harus sesuai dengan aspek-aspek seperti pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Bahan ajar merupakan salah satu sarana terpenting dalam melaksanakan kurikulum. Bahan ajar yang dikembangkan dapat memberikan pengalaman belajar yang menarik dan mudah untuk diterima oleh peserta didik.
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilaksanakan di sekolah yang sudah mengimplementasikan kurikulum 2013 masih ada kekurangan pada kurikulum 2013. Terutama pada bahan ajar yang digunakan oleh guru yang mengimplementasikan kurikulum 2013. Adapun kekurangan dari kurikulum 2013 yang diutarakan oleh guru kelas IV antara lain pemahaman tentang kurikulum 2013 yang belum menyeluruh dikarenakan singkatnya waktu saat diklat mengenai kurikulum 2013. Pendekatan saintifik dalam pembelajaran belum maksimal karena kurang menunjangnya media pembelajaran. Menurut beliau penilaian juga menjadi kendala dalam menentukan nilai peserta didik dikarenakan masih terdapat indikator yang belum dicantumkan. Selain itu juga kurangnya buku pegangan atau bahan ajar. Menurut beliau bahan ajar yang terdapat dalam kurikulum 2013 masih kurang mendalami pada karakter yang akan dicapai oleh peserta didik. Pengembangan karakter peserta didik dapat dikembangkan melalui kegiatan pembelajaran. Hal ini berkaitan dengan karakter yang terdapat dalam budaya lokal setempat. Lingkungan dapat digunakan sebagai sumber belajar siswa sehingga anak lebih paham dengan materi yang diajarkan oleh guru. Bahan ajar kiranya dapat dikembangkan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah.
Berdasarkan kenyataan tersebut, peneliti merasa perlu mengembangkan bahan ajar untuk kurikulum 2013. Bahan ajar yang dikembangkan adalah tema tiga pada subtema satu yaitu hewan dan tumbuhan di lingkungan rumahku dengan spesifikasi produk menggunakan pendekatan tematik integratif, pendekatan saintifik, dan karakter berbasis budaya lokal. Melalui pengembangan bahan ajar kurikulum 2013, peneliti berharap bahan ajar dapat berguna bagi siswa dan guru agar dapat membantu pelaksanaan pembelajaran menggunakan kurikulum 2013.

SKRIPSI PENGEMBANGAN BAHAN AJAR MENGACU KURIKULUM 2013 SUBTEMA BAHAN-BAHAN MAKANAN (KELAS IV)

(KODE : PENDPGSD-0024) : SKRIPSI PENGEMBANGAN BAHAN AJAR MENGACU KURIKULUM 2013 SUBTEMA BAHAN-BAHAN MAKANAN (KELAS IV)

contoh skripsi pgsd

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu hal yang penting untuk mencetak anak-anak bangsa lebih berkualitas dan bermartabat. Pendidikan yang baik saat ini adalah suatu sistem pendidikan yang mampu menghasilkan sumber daya manusia yang seimbang antara segi intelektual dengan segi moralitas (Suwija, 2012 : 67). Hal tersebut dibuktikan dengan fungsi pendidikan nasional dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 3 yang menyatakan bahwa "pendidikan nasional mempunyai fungi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa". Hal tersebut menjelaskan bahwa setiap am pendidikan yang disusun pemerintah harus terpadu dan sistematis agar dapat membentuk atau membangun karakter yang baik dalam masyarakat.
Program pendidikan yang diadakan oleh pemerintah yaitu dengan mengadakan program kegiatan belajar mengajar di sekolah. Belajar merupakan salah suatu kegiatan sadar untuk memperoleh pengetahuan dan membentuk kebiasaan-kebiasaan yang baik. Proses belajar mengajar dapat dikatakan berjalan dengan baik, pemerintah harus memerlukan suatu alat yaitu kurikulum. Kurikulum itu sendiri bersifat dinamis yang berarti kurikulum akan selalu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman, masyarakat yang terus berkembang serta kemajuan ilmu-ilmu pengetahuan dan teknologi (Hamalik, 2007 : 4). Tujuan dengan adanya perubahan tersebut, diharapkan akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik lagi dan dapat menghadapi segala tantangan zaman.
Oleh sebab itu, pemerintah sedang mengupayakan perubahan Kurikulum dari Kurikulum KTSP menjadi Kurikulum 2013. Perubahan kurikulum ini diharapkan agar para guru mampu mengembangkan pembelajaran yang terintegrasi dan mampu membangun karakter-karakter yang dimiliki oleh para siswa secara maksimal. Pembelajaran tematik integratif itu sendiri merupakan pendekatan pembelajaran yang mengintegrasikan beberapa kompetensi dan mata pelajaran ke dalam berbagai tema sebagai pemersatu kegiatan pembelajaran dalam satu kali pertemuan. (Mendikbud, 2013 : 197). 
Selain itu, semua kegiatan belajar mengajar siswa mengajar siswa menggunakan pendekatan sains. Aspek-aspek yang dilihat dari pendekatan sains dalam pembelajaran yaitu seperti mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, serta mencipta (Hidayat, 2013 : 21). Oleh sebab itu, agar semua aspek yang diharapkan dapat terlihat, maka pada kurikulum 2013 ini, pemerintah menggunakan penilaian otentik untuk menilai segala aktivitas belajar yang dilakukan oleh siswa. Penilaian otentik merupakan suatu bentuk penugasan yang menghendaki pembelajar untuk menunjukkan kinerja di dunia nyata secara bermakna yang merupakan penerapan esensi ilmu pengetahuan serta keterampilan (Nurgiyantoro, 2011 : 25). 
Penilaian tersebut juga didukung dengan pendapat Adisusilo (2012 : 98), bahwa "pembelajaran yang baik yaitu adanya penekanan pada usaha membantu siswa agar mampu mempelajari suatu hal, bukan ditekankan pada seberapa banyak informasi yang didapat pada akhir pembelajaran." Jadi guru tidak hanya menilai hasil penguasaan pengetahuan yang didapat siswa saja, melainkan guru menilai semua aktivitas proses belajar siswa dari awal sampai akhir pembelajaran. Penilaian juga melihat dari semua segi, baik itu dari segi penguasaan pengetahuan dan keterampilan, serta dapat diakumulasikan menjadi satu nilai pada lembar penilaian portofolio.
Pembelajaran yang dilaksanakan harus mengacu pada kurikulum, terutama bahan ajar yang akan digunakan untuk mengajar tidak melenceng dari tujuan kurikulum itu sendiri. Bahan ajar sangat berperan penting dalam proses belajar mengajar. Pemilihan maupun pengembangan bahan ajar yang sesuai dengan tuntutan tujuan pembelajaran dapat memotivasi siswa dengan menarik stimulus perhatian siswa, keterampilan kinerja serta pembentukan sikap dalam memahami materi pembelajaran (Trianto, 2012 : 88). 
Bahan ajar yang sudah ada juga harus mampu dikembangkan secara maksimal oleh guru, sehingga proses belajar mengajar diharapkan dapat berpusat pada siswa bukan malah berpusat pada guru. Namun bahan ajar yang sudah disediakan oleh pemerintah masih ada beberapa kekurangan. Sebaiknya di sini guru harus bisa mengembangkan bahan ajar yang sudah ada dengan menyesuaikan keadaan lingkungan sekolahan serta karakteristik-karakteristik yang dimiliki oleh para siswa yang diajar, sehingga semua kemampuan yang dimiliki siswa dapat berkembang secara maksimal.
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan guru kelas IV, saat peneliti bertanya tentang pertanyaan sejauh mana pemahaman Ibu terhadap Kurikulum 2013? Beliau menjawab, "Saya belum begitu paham dan mengerti Kurikulum 2013 karena masih terbilang baru dan bahan ajar yang tersedia masih dalam tahap proses penyelesaian" 
Rangkuman dari semua pertanyaan yang peneliti tanyakan dapat diambil kesimpulan bahwa guru masih mengalami kesulitan dalam penerapan Kurikulum 2013, karena guru masih belum begitu paham dan Kurikulum 2013 masih terbilang baru. Hal tersebut juga didukung dengan masih terlalu sederhananya bahan ajar yang sudah dibuat oleh pemerintah. Bahan ajar yang tersedia dinilai masih terlalu sederhana, karena masih dalam tahap proses pematangan oleh pihak pemerintah.
Bahan ajar dikatakan terlalu sederhana, karena materi yang disajikan dalam bahan ajar belum berbobot dan masih terlalu ringkas. Materi yang terlalu ringkas ini, menimbulkan kesulitan guru dalam mengembangkan kegiatan belajar mengajar yang mengintegrasikan mata pelajaran yang satu dengan lainnya menjadi satu tema pembelajaran. Pendekatan sains dalam kegiatan belajar siswa dalam bahan ajar yang sudah ada juga masih belum begitu nampak, sehingga penilaian otentik yang nantinya untuk menilai kegiatan proses belajar siswa dari awal hingga akhir sulit diterapkan oleh guru.
Guru mengungkapkan juga bahwa pada Kurikulum 2013 ini, pemerintah mengharapkan guru agar mampu mengembangkan karakter pada setiap siswa sesuai dengan budaya lokal yang ada. Pendidikan karakter yang diharapkan pemerintahan dapat dikembangkan oleh guru juga mengalami hambatan. Bahan ajar yang sudah ada diharapkan dapat membantu pembelajaran pendidikan karakter berbasis budaya lokal, masih belum begitu membantu. Isi materi dari bahan ajar masih belum begitu nampak keterkaitannya dengan budaya lokal yang ada di lingkungan sekolah. Oleh sebab itu, mau tidak mau guru harus pandai mengembangkan kegiatan belajar mengajar seefektif mungkin, agar apa yang menjadi tujuan dari Kurikulum 2013 dapat tercapai semua. Hal ini juga harus didukung dengan adanya tambahan referensi bahan ajar lainnya yang mengacu Kurikulum 2013, karena bahan ajar yang sudah disediakan oleh pemerintah saat ini masih terlalu sederhana dan sedikit.
Berdasarkan pernyataan di atas, peneliti akan mencoba memberi satu solusi untuk mengatasi masalah tersebut. Peneliti akan mencoba membantu dengan mengembangkan sebuah produk berupa bahan ajar Kurikulum 2013 yang mengintegrasikan semua mata pelajaran menjadi satu tema pelajaran. Bahan ajar yang dikembangkan adalah subtema bahan-bahan makanan dengan spesifikasi produk menggunakan pendekatan tematik integratif, pendekatan saintifik, penilaian otentik, dan pendidikan karakter berbasis budaya lokal. Dengan begitu, bahan ajar kurikulum 2013 yang dikembangkan ini diharapkan dapat membantu para guru dalam mengembangkan kegiatan belajar mengajar yang mengacu pada Kurikulum 2013.

SKRIPSI PENGEMBANGAN MODUL PEMBELAJARAN TEMATIK KELAS IV BERBASIS MULTIPLE INTELLIGENCE

(KODE : PENDPGSD-0023) : SKRIPSI PENGEMBANGAN MODUL PEMBELAJARAN TEMATIK KELAS IV BERBASIS MULTIPLE INTELLIGENCE

contoh skripsi pgsd

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dunia pendidikan erat hubungannya dengan kurikulum. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 (Sisdiknas) pasal 1 ayat (9), menyatakan bahwa "kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu". Di Indonesia, kurikulum telah mengalami beberapa kali perubahan, ini berarti setiap ada perubahan kurikulum juga diikuti dengan perubahan tujuan, isi dan bahan pelajaran, tidak terkecuali pada kurikulum 2013 sekarang ini. Perubahan atau pengembangan kurikulum menunjukkan bahwa sistem pendidikan itu dinamis (Hidayat, 2013 : 111). 
Pada awal pelajaran 2013/2014 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) telah berganti menjadi Kurikulum 2013. Pembelajaran Kurikulum 2013 menggunakan pembelajaran tematik, berbeda dengan pembelajaran KTSP yang pembelajarannya terpisah-pisah. Pembelajaran tematik merupakan salah satu model dalam pembelajaran terpadu yang merupakan suatu sistem pembelajaran yang memungkinkan siswa, baik secara individual maupun kelompok, aktif menggali dan menemukan konsep serta prinsip-prinsip keilmuan secara holistik, bermakna, dan autentik (Rusman, 2011 : 254). Peserta didik mendapatkan pembelajaran yang bermakna melalui pembelajaran tematik, melalui pembelajaran tematik dapat dihasilkan standar kelulusan yang mencakup ranah sikap, keterampilan dan pengetahuan seperti yang dipaparkan dalam kurikulum 2013.
Berbicara mengenai standar kelulusan kurikulum 2013, yang bisa menghasilkan standar kelulusan tersebut adalah para guru yang mengajar di sekolah. Namun pada kenyataannya, sebagian besar guru di sekolah dasar masih merasa kebingungan dalam mengimplementasikan Kurikulum 2013. 
Berdasarkan data analisis kebutuhan yang diperoleh dari keenam sekolah dasar menyatakan bahwa 2 kepala sekolah sudah mengikuti pelatihan Kurikulum 2013, 4 kepala sekolah belum mengikuti pelatihan Kurikulum 2013; semua guru pada keenam sekolah dasar belum mengikuti pelatihan kurikulum 2013; baik guru maupun kepala sekolah dari keenam sekolah juga belum memahami model pembelajaran berbasis multiple intelligence; data yang diperoleh juga menunjukkan bahwa keenam sekolah dasar tersebut belum memiliki fasilitas pembelajaran seperti silabus, RPP, media, LKS, perangkat penilaian dan modul pembelajaran tematik berdasarkan Kurikulum 2013 berbasis multiple intelligence. Pembaharuan kurikulum ini berakibat pada terbatasnya fasilitas pembelajaran yang menunjang keberhasilan para peserta didik. Selain guru, perangkat belajar juga merupakan sesuatu yang penting untuk menunjang keberhasilan siswa dalam belajar dan menghasilkan standar kelulusan kurikulum 2013.
Kurikulum 2013 berusaha untuk menanamkan nilai karakter pada peserta didik, ini terlihat dari standar kelulusan yang terbagi dalam 3 domain, yakni domain sikap (beriman, berakhlak mulia (jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, santun), rasa ingin tahu, estetika, percaya diri, motivasi internal, toleransi, gotong royong, kerjasama, musyawarah, pola hidup sehat, ramah lingkungan, patriotik, dan cinta perdamaian), domain keterampilan (membaca, menulis, menghitung, menggambar, mengarang, menggunakan, mengurai, merangkai, memodifikasi, membuat, mencipta) dan domain pengetahuan (obyek : ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya; subyek : manusia, bangsa, negara, tanah air, dan dunia.). Domain-domain tersebut dapat dikembangkan melalui sembilan kecerdasan manusia seperti teori Howard Gardner mengenai Multiple intelligence.
Domain sikap dapat dikembangkan melalui kecerdasan linguistik, kecerdasan intrapersonal dan interpersonal, kecerdasan naturalis, dan kecerdasan eksistensial; domain keterampilan dapat dikembangkan melalui kecerdasan matematika, spasial, kecerdasan kinestetik, sedangkan domain pengetahuan bisa dikembangkan melalui kecerdasan musik. Multiple intelligence atau kecerdasan ganda adalah kemampuan untuk memecahkan persoalan dan menghasilkan produk dalam suatu setting yang bermacam-macam dan dalam situasi nyata, sehingga dengan multiple intelligence atau kecerdasan ganda yang dimiliki maka anak akan bisa memecahkan masalah yang dihadapi dalam situasi yang bermacam-macam. Multiple intelligence tersebut meliputi kecerdasan linguistik, kecerdasan matematis-logis, kecerdasan ruang-spasial, kecerdasan kinestetik-badani, kecerdasan musik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan lingkungan/naturalis, kecerdasan eksistensial (Suparno, 2008 : 17,19).
Berdasarkan hubungan antara standar kelulusan kurikulum 2013 yang bisa dikembangkan dengan kesembilan kecerdasan ganda dan analisis kebutuhan, maka peneliti mencoba mendapatkan solusi untuk memberikan suatu modul pembelajaran tematik yang layak dan sesuai dengan Kurikulum 2013 yang berbasis Multiple intelligence yang dapat mewadahi kecerdasan-kecerdasan yang ada dalam setiap individu.