Search This Blog

PENGARUH IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN PROJECT CITIZEN TERHADAP PENINGKATAN CIVIC KNOWLEDGE SISWA

PENGARUH IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN PROJECT CITIZEN TERHADAP PENINGKATAN CIVIC KNOWLEDGE SISWA

(KODE : PASCSARJ-0295) : TESIS PENGARUH IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN PROJECT CITIZEN TERHADAP PENINGKATAN CIVIC KNOWLEDGE SISWA (PROGRAM STUDI : TEKNOLOGI PENDIDIKAN)



BAB II
KERANGKA TEORI

A. Perspektif Pendidikan Kewarganegaraan


1. Sejarah dan Ruang Lingkup Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia
Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan, secara formal, diawali dengan munculnya mata pelajaran Civics dalam kurikulum SMA tahun 1962. Di dalam Kurikulum tahun 1968 dan 1969 istilah Civics dan Pendidikan Kewarganegaraan digunakan secara bertukar-pakai. Misalnya dalam kurikulum SD 1968 digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang digunakan sebagai nama mata pelajaran, yang di dalamnya tercakup sejarah Indonesia, geografi Indonesia, dan Civics. Di dalam kurikulum SMP 1968 digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang berisikan sejarah Indonesia dan konstitusi termasuk UUD NRI 1945, sedangkan di dalam kurikulum SMA 1968 mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara berisikan materi terutama berkenaan dengan UUD NRI 1945 (Somantri, 2001 : 285; Winataputra dan Budimansyah, 2007 : 70). Selanjutnya dalam kurikulum 1975 istilah Pendidikan Kewargaan Negara diubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang berisikan materi Pancasila sebagaimana diuraikan dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4. Mata pelajaran PMP ini terus dipertahankan baik istilah maupun isinya sampai dengan berlakunya Kurikulum 1984 yang pada dasarnya merupakan penyempurnaan kurikulum 1975 (Winataputra dan Budimansyah, 2007 : 70).
Jika melihat perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan di atas, maka substansi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pada periode-periode di atas bertumpu pada falsafah negara Pancasila dan doktrin-doktrin politik kontemporer. Namun demikian, apabila disimak lebih dalam terdapat perbedaan dalam cara mengejawantahkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar Pancasila sealur dengan orientasi dan kepentingan politik masing-masing rezim. Orientasi dan kepentingan politik rezim penguasa telah mewarnai arah, isi, misi, dan implementasi Pendidikan Kewarganegaraan pada zamannya masing-masing. Implikasinya dapat dilihat dari pendekatan pedagogisnya, yakni Pendidikan Kewarganegaraan yang cenderung bersifat dogmatis-doktriner dengan tekanan yang terlalu berlebihan pada proses penanaman nilai (Wahab, 2006 : 61; Winataputra dan Budimansyah, 2007 : 97).
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 pasal 37 dinyatakan bahwa : "Pendidikan Kewarganegaraan wajib dimuat dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah dan pendidikan tinggi". Penjelasan pasal 37 ayat (1) Pendidikan Kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Hal ini berarti bahwa Pendidikan Kewarganegaraan di berbagai jenjang pendidikan harus tetap ditingkatkan dan dikembangkan untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan mewujudkan warga negara yang berjiwa patriotisme dan dapat diandalkan oleh bangsa dan negara. Pendidikan Kewarganegaraan yang diajarkan pada tingkat persekolahan mempunyai peranan penting yang strategis, di antaranya adalah memberikan bekal kemampuan kepada peserta didik untuk dapat melaksanakan dengan baik apa yang menjadi hak-hak dan kewajibannya. 
Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi perubahan paradigma dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, seiring dengan munculnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 yang mencantumkan tujuan pendidikan nasional adalah untuk : "... berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."
Pendidikan Kewarganegaraan dalam paradigma baru mengusung tujuan utama mengembangkan "civic competences" yakni civic knowledge (pengetahuan dan wawasan kewarganegaraan), civic disposition (nilai, komitmen, dan sikap kewarganegaraan), dan civic skills (perangkat keterampilan intelektual, sosial, dan personal kewarganegaraan) yang seyogyanya dikuasai oleh setiap individu warga negara (Winataputra, 2001 : 317-318). Ketiga komponen tersebut secara konseptual dan teoretik sejak tahun 1994 telah diajukan oleh Center for Civic Education dalam National Standards for Civics and Government (Branson, 1999 : 8-25), akan tetapi baru lebih banyak terakomodir dalam Kurikulum 2006 yang berbasis kompetensi. Hal ini bisa dilihat pada pengertian, tujuan dan ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dalam perangkat Kurikulum 2006.
Berdasarkan Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah disebutkan bahwa mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD NRI 1945. Tujuan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dalam Depdiknas (2006 : 49) adalah untuk memberikan kompetensi sebagai berikut :
a. Berpikir kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu Kewarganegaraan.
b. Berpartisipasi secara cerdas dan tanggung jawab, serta bertindak secara sadar dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
c. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat di Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain.
d. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam peraturan dunia secara langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Ruang lingkup Civic Education (Sumantri, 1975 : 33), antara lain : (a) Civic Education meliputi seluruh program dari sekolah; (b) Civic Education meliputi berbagai macam kegiatan belajar mengajar, yang dapat menumbuhkan hidup dan tingkah laku yang lebih baik dalam masyarakat demokratis dan (c) Dalam Civic Education termasuk pula hal-hal yang menyangkut, pengalaman, kepentingan masyarakat, pribadi dan syarat-syarat objektif hidup bernegara. Sedangkan ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dalam Kurikulum 2006 meliputi aspek-aspek sebagai berikut.
a. Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi : Hidup rukun dalam perbedaan, cinta lingkungan, kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, partisipasi dalam pembelaan negara, sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keterbukaan dan jaminan keadilan.
b. Norma, hukum dan peraturan, meliputi : Tertib dalam kehidupan keluarga, tata tertib di sekolah, norma yang berlaku di masyarakat, peraturan- peraturan daerah, norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sistem hukum dan peradilan nasional, hukum dan peradilan internasional.
c. Hak asasi manusia meliputi : Hak dan kewajiban anak, hak dan kewajiban anggota masyarakat, instrumen nasional dan internasional HAM, pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM.
d. Kebutuhan warga negara meliputi : Hidup gotong royong, harga diri sebagai warga masyarakat, kebebasan berorganisasi, kemerdekaan mengeluarkan pendapat, menghargai keputusan bersama, prestasi diri, persamaan kedudukan warga negara.
e. Konstitusi negara meliputi : Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama, konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, hubungan dasar negara dengan konstitusi.
f. Kekuasaan dan Politik, meliputi : Pemerintahan desa dan kecamatan, pemerintahan daerah dan otonomi, pemerintah pusat, demokrasi dan sistem politik, budaya politik, budaya demokrasi menuju masyarakat madani, sistem pemerintahan, pers dalam masyarakat demokrasi.
g. Pancasila meliputi : Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka.
h. Globalisasi meliputi : Globalisasi di lingkungannya, politik luar negeri Indonesia di era globalisasi, dampak globalisasi, hubungan internasional dan organisasi internasional, dan mengevaluasi globalisasi.
Dari uraian di atas, nampak bahwa komponen yang hendak dikembangkan melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah komponen civic knowledge (pengetahuan kewarganegaraan), komponen civic skills (keterampilan berpikir kritis, rasional, kreatif dan keterampilan berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara), civic disposition (berkembang demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter masyarakat Indonesia, dan berinteraksi dengan bangsa lain di era globalisasi). Hal ini mengindikasikan bahwa mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan itu diharapkan bermakna bagi kehidupan siswa.
SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN SKABIES PADA SANTRI DI PONDOK PESANTREN

SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN SKABIES PADA SANTRI DI PONDOK PESANTREN

(KODE : KEPRAWTN-0080) : SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN SKABIES PADA SANTRI DI PONDOK PESANTREN



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pesantren atau Pondok Pesantren adalah sekolah Islam berasrama {Islamic boarding school) dan pendidikan umum yang persentase ajarannya lebih banyak ilmu-ilmu pendidikan agama Islam daripada ilmu umum. Para pelajar pesantren disebut sebagai santri belajar pada sekolah ini, sekaligus tinggal pada asrama yang disediakan oleh pesantren. Biasanya pesantren dipimpin oleh seorang kyai. Untuk mengatur kehidupan pondok pesantren, kyai menunjuk seorang santri senior untuk mengatur adik-adik kelasnya, mereka biasanya disebut Lurah Pondok (Ponpes, 2008).
Pendidikan di dalam pesantren bertujuan untuk memperdalam pengetahuan tentang al-Qur'an dan Sunnah Rasul, dengan mempelajari bahasa Arab dan kaidah-kaidah tata bahasa Arab. Sebagai institusi sosial, pesantren telah memainkan peranan yang penting dalam beberapa negara, khususnya beberapa negara yang banyak pemeluk agama Islam di dalamnya. Pesantren menekankan nilai-nilai dari kesederhanaan, keikhlasan, kemandirian, dan pengendalian diri. Para santri dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka, agar dapat meningkatkan hubungan dengan kyai dan juga Tuhan (Ponpes, 2008).
Selama tinggal berpisah dengan orang tua maka santri akan tinggal bersama-sama dengan teman-teman dalam satu asrama, kehidupan berkelompok yang akan dijalani dengan berbagai macam karakteristik para santri dan dalam kehidupan berkelompok masalah yang dihadapi adalah pemeliharaan kebersihan, yaitu kebersihan kulit, kebersihan tangan dan kuku, kebersihan genitalia, kebersihan kaki, kebersihan lingkungan dan kebersihan pakaian (Badri, 2008).
Perilaku hidup bersih dan sehat terutama kebersihan perseorangan di pondok pesantren pada umumnya kurang mendapatkan perhatian dari santri (Depkes, 2007). Tinggal bersama dengan sekelompok orang seperti di pesantren memang berisiko mudah tertular berbagai penyakit kulit, khususnya penyakit skabies. Penularan terjadi bila kebersihan pribadi dan lingkungan tidak terjaga dengan baik. Faktanya, sebagian pesantren tumbuh dalam lingkungan yang kumuh, tempat mandi dan WC yang kotor, lingkungan yang lembab, dan sanitasi buruk (Badri, 2008). Ditambah lagi dengan perilaku tidak sehat, seperti menggantung pakaian di kamar, tidak membolehkan pakaian santri wanita dijemur di bawah terik matahari, dan saling bertukar pakai benda pribadi, seperti sisir dan handuk (Depkes, 2007)
Hal inilah umumnya menjadi penyebab timbulnya penyakit skabies. Faktor yang mempengaruhi penularan penyakit skabies adalah sosial ekonomi yang rendah, kebersihan perseorangan yang buruk, , perilaku yang tidak mendukung kesehatan, hunian yang padat, tinggal satu kamar, ditambah kebiasaan saling bertukar pakaian, handuk, dan perlengkapan pribadi meningkatkan risiko penularan (Badri, 2008).
Survey yang diperoleh dari pesantren Poliklinik X tiap tahunnya angka kejadian penyakit scabies pada santri tetap terjadi dari tahun ke tahun (Ponpes, 2008). Terdapat kejadian penyakit scabies 85 kasus pada tahun 2006, dan 92 kasus pada tahun 2007, serta 78 kasus pada tahun 2008.
Kejadian penyakit skabies di sebuah pondok pesantren di Jakarta mencapai 78,70%, di kabupaten Pasuruan kejadian penyakit skabies sebesar 66,70% (Depkes, 2000). Kejadian penyakit skabies tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kejadian penyakit skabies di negara berkembang yang hanya 6-27% atau prevalensi penyakit skabies di Indonesia sebesar 4,60-12,95% saja (Kuspriyanto, 2002).
Kebanyakan santri yang terkena penyakit skabies adalah santri baru yang belum dapat beradaptasi dengan lingkungan, sebagai santri baru yang belum tahu kehidupan di pesantren membuat mereka luput dari kesehatan, mandi secara bersama-sama, saling tukar pakaian, handuk, dan sebagainya yang dapat menyebabkan tertularnya penyakit skabies (Ponpes, 2008). Berdasarkan pemaparan tersebut diatas, perlu dilakukan penelitian tentang "FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN SKABIES PADA SANTRI DI PONDOK PESANTREN X".

B. Pertanyaan Penelitian

Faktor-faktor apa sajakah yang dapat mempengaruhi kejadian skabies pada santri di Pondok Pesantren X.

C. Tujuan Penelitian

Mengidentifikasi gambaran faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian skabies pada santri di pesantren.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Praktisi Keperawatan
Hasil penelitian ini merupakan fakta yang dapat digunakan sebagai informasi tambahan tentang perawatan diri dan dapat mendeteksi lebih dini faktor-faktor terjadinya skabies.
2. Bagi Santri
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi para santri dan pengelola pesantren X tentang adanya resiko kejadian skabies dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
SKRIPSI HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI

SKRIPSI HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI

(KODE : KEPRAWTN-0079) : SKRIPSI HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberi perawatan langsung pada setiap keadaan sehat-sakit klien (Yosep, 2007). Keluarga merupakan bagian dari manusia yang setiap hari selalu berhubungan dengan kita. Keadaan ini perlu kita sadari sepenuhnya bahwa setiap individu merupakan bagiannya dan keluarga juga semua dapat diekspresikan tanpa hambatan yang berarti (Suprajitno, 2004).
Kecemasan merupakan perasaan yang paling umum dialami oleh pasien yang dirawat di rumah sakit, kecemasan yang sering terjadi adalah apabila pasien yang dirawat di rumah sakit harus mengalami proses pembedahan. Pembahasan tentang reaksi-reaksi pasien terhadap pembedahan sebagian besar berfokus pada persiapan pembedahan dan proses penyembuhan. Pembedahan adalah tindakan pengobatan yang banyak menimbulkan kecemasan, sampai saat ini sebagian besar orang menganggap bahwa semua pembedahan yang dilakukan adalah pembedahan besar. Tindakan pembedahan merupakan ancaman potensial aktual terhadap integritas seseorang yang dapat membangkitkan reaksi stres fisiologis maupun psikologis (Long 1990).
Pandangan setiap orang dalam menghadapi pre operasi berbeda, sehingga respon pun berbeda. Setiap menghadapi pre operasi selalu menimbulkan ketakutan dan kecemasan pada pasien. (Stuart dan Sundeen, 1998). Seseorang yang sangat cemas sehingga tidak bisa berbicara dan mencoba menyesuaikan diri dengan kecemasan sebelum operasi, seringkali menjadi hambatan pada pasca operasi, pasien menjadi cepat marah, bingung, lebih mudah tersinggung akibat reaksi psikis, dibandingkan dengan orang yang cemas ringan (Long, 1996).
Menurut Brunner & Suddarth (1996) ansietas pre operasi merupakan suatu respons antisipasi terhadap suatu pengalaman yang dapat dianggap pasien sebagai suatu ancaman terhadap perannya dalam hidup, integritas tubuh, atau bahkan kehidupannya itu sendiri. Pasien yang menghadapi pembedahan dilingkupi oleh ketakutan akan ketidaktahuan, kematian, tentang anestesia, kekhawatiran mengenai kehilangan waktu kerja dan tanggung jawab mendukung keluarga.
Menurut Friedman (1998), dukungan yang diberikan keluarga untuk mengurangi kecemasan pasien itu sendiri adalah dukungan informasional, dimana keluarga memberikan nasehat, saran, dukungan jasmani maupun rohani. Dukungan emosional juga diberikan keluarga, yang meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan didengarkan. Dukungan lainnya adalah dukungan penilaian dan dukungan instrumental.
Pasien dapat mengekspresikan ketakutan dan kecemasannya pada keluarga dengan mengurangi kecemasan dan ketakutan yang berlebihan dan tidak beralasan, akan mempersiapkan pasien secara emosional. Selain itu, mempersiapkan keluarga terhadap kejadian yang akan dialami pasien dan diharapkan keluarga banyak memberi dukungan pada pasien dalam menghadapi operasi (Anderson dan Masur, 1990).
Dari survey awal yang dilakukan oleh peneliti di ruangan RB2 RS X, peneliti merasa hal ini penting untuk di teliti karena dari data yang diperoleh oleh peneliti di lapangan, masih banyak pasien pre operasi yang merasa cemas saat akan menghadapi operasi karena tidak mendapat dukungan dari keluarga. Untuk itu, dukungan keluarga sangat dibutuhkan oleh pasien yang akan menghadapi operasi.
Berdasarkan uraian diatas, maka perhatian terhadap hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan pasien pre operasi perlu ditingkatkan. Apabila dukungan keluarga tidak ada maka akan menyebabkan dampak psikologis terhadap pasien tersebut. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk melihat adakah hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan pasien pre operasi.

B. Rumusan Masalah

Dari berbagai uraian latar belakang tersebut diatas maka akan timbul masalah sebagai berikut : "Adakah hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan pasien pre operasi di ruangan RB 2 rumah sakit X ?"

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sejauh mana hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan pasien pre operasi.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi karakteristik responden.
b. Mengidentifikasi dukungan keluarga.
c. Mengidentifikasi tingkat kecemasan pasien pre operasi.
d. Mengkaji hubungan dukungan keluarga dan tingkat kecemasan pasien pre operasi.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Instansi Pendidikan
Mengoptimalkan fungsi perawat dalam penatalaksanaan asuhan keperawatan kepada pasien yang mengalami kecemasan, tanpa mengabaikan aspek-aspek psikologis, sehingga profesionalisme perawat dalam bekerja dapat ditingkatkan lagi dan operasi berjalan dengan lancar.
2. Bagi Rumah sakit
Dapat dipakai sebagai masukan untuk meningkatkan pelayanan keperawatan di rumah sakit khususnya pada pasien yang mengalami kecemasan pre operasi.
3. Penelitian Berikutnya
Sebagai sumber data dan informasi bagi pengembangan penelitian berikutnya dalam ruang lingkup yang sama.
SKRIPSI HUBUNGAN KARAKTERISTIK DAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG TERAPI DIET PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN KETERKENDALIAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA

SKRIPSI HUBUNGAN KARAKTERISTIK DAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG TERAPI DIET PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN KETERKENDALIAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA

(KODE : KEPRAWTN-0078) : SKRIPSI HUBUNGAN KARAKTERISTIK DAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG TERAPI DIET PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN KETERKENDALIAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Sedangkan menurut World Health Organization (WHO) secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin (Soegondo, 2008).
Meningkatnya prevalensi diabetes melitus di beberapa negara berkembang, disebabkan karena adanya peningkatan pendapatan perkapita dan perubahan gaya hidup terutama di kota-kota besar, menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung koroner (PJK), hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan lain-lain (Suyono, 2007).
Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), memprediksi kenaikan jumlah penderita DM dari 177 juta jiwa pada tahun 2000 menjadi 366 juta pada tahun 2030. Untuk Indonesia, WHO memprediksi kenaikan jumlah penderita dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Indonesia menempati urutan ke 4 di dunia sebagai negara dengan jumlah penderita diabetes melitus terbanyak setelah India, China dan Amerika Serikat (AS).
Sedangkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, diperoleh bahwa proporsi penyebab kematian akibat DM pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan menduduki ranking ke-2 yaitu 14,7% dan daerah pedesaan, DM menduduki ranking ke-6 yaitu 5,8%.
Melihat tendensi kenaikan kekerapan diabetes secara global, terutama disebabkan oleh karena peningkatan kemakmuran suatu populasi, maka dengan demikian dapat dimengerti bila dalam kurun waktu 1 atau 2 dekade yang akan datang kekerapan diabetes melitus di Indonesia akan meningkat dengan drastis (Suyono, 2007).
Hal ini harus mendapat perhatian dari berbagai pihak baik dokter, ahli gizi, perawat, pasien itu sendiri dan keluarga karena diabetes merupakan penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup, maka bila diabaikan akan menimbulkan berbagai komplikasi akut seperti ketoasidosis diabetik, hiperosmolar non ketotik, hipoglikemia dan komplikasi kronik seperti penyakit jantung koroner, retinopati diabetik, nefropati diabetik dan neuropati (Suyono, 2006).
Untuk mencegah terjadinya komplikasi tersebut di perlukan pencapaian keterkendalian kadar glukosa (gula) darah yaitu melalui pengaturan menu makanan yang diiringi dengan pengobatan secara medik, olahraga, dan pola hidup sehat (Krisnatuti, 2008). Ditemukan adanya hubungan antara faktor diet dan pola hidup dengan pengendalian diabetes. Gizi khususnya diet (perencanaan makan) diabetes melitus merupakan salah satu pilar utama pengelolaan diabetes melitus (Suyono, Syahbudin, dkk, 2007). Dengan mempertimbangkan jumlah kebutuhan kalori dan keteraturan makan yang dibutuhkan, tujuan pengaturan menu akan tercapai.
Pengelolaan diet diabetes secara holistik dan mandiri selama hidup melalui edukasi berupa penyuluhan dapat meningkatkan kualitas hidup dan mencegah komplikasi akut dan komplikasi kronik yang sering menyebabkan cacat bahkan kematian (Suyono, Syahbudin, dkk, 2007).
Setelah penderita diberikan penyuluhan diharapkan pengetahuan penderita terhadap penyakitnya dan pengelolaannya meningkat, sehingga diasumsikan penderita memiliki motivasi dan menunjukkan perilaku dalam menerapkan terapi diet dalam kehidupannya sehari-hari untuk mengontrol kadar glukosa darahnya agar tercapai keterkendalian kadar glukosa darah.
Berdasarkan hasil uraian diatas mendorong peneliti untuk mengetahui. "HUBUNGAN KARAKTERISTIK DAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG TERAPI DIET PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN KETERKENDALIAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA".

B. Perumusan Masalah

Angka kekerapan diabetes melitus semakin meningkat secara global dari tahun ke tahun, 90% merupakan diabetes melitus tipe 2 (DM tipe 2). Diabetes melitus merupakan penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup, maka bila diabaikan akan menimbulkan berbagai komplikasi akut maupun kronik. Untuk mencegah terjadinya komplikasi tersebut di perlukan pencapaian keterkendalian kadar glukosa (gula) darah, salah satu pilar penatalaksanaan DM yang utama yaitu melalui terapi diet (perencanaan makan). Pengetahuan yang baik terhadap perencanaan makan sangat diperlukan sehingga diharapkan penderita DM memiliki motivasi dan menunjukkan perilaku dalam menerapkan terapi diet dalam kehidupannya sehari-hari untuk mengontrol kadar glukosa darahnya agar tercapai keterkendalian kadar glukosa darah.

C. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka pertanyaan penelitian dalam penelitian ini, adalah "Adakah Hubungan Karakteristik dan Tingkat Pengetahuan Tentang Terapi Diet Pasien Diabetes Melitus tipe 2 dengan Keterkendalian Kadar Glukosa Darah Puasa".

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan karakteristik dan tingkat pengetahuan tentang terapi diet pasien diabetes melitus tipe 2 dengan keterkendalian kadar gula darah puasa.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui karakteristik (umur, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan) pasien diabetes melitus tipe 2.
b. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan pasien diabetes melitus tipe 2 tentang terapi diet diabetes.
c. Untuk mengetahui hubungan karakteristik pasien diabetes melitus tipe 2 dengan keterkendalian kadar glukosa darah puasa.
d. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan kebutuhan kalori terapi diet pasien diabetes melitus tipe 2 dengan keterkendalian kadar gula darah puasa.
e. Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan keteraturan makan terapi diet pasien diabetes melitus tipe 2 dengan keterkendalian kadar gula darah puasa.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara praktis sebagai berikut:
1. Bagi penderita, untuk menambah wawasan dan pengetahuan penderita diabetes melitus tipe 2 mengenai penyakit dan cara pengelolaan terapi diet, sehingga timbul dorongan dari penderita untuk melaksanakan terapi diet.
2. Bagi Institusi pendidikan, penelitian ini diharapkan menjadi penyediaan data dasar yang dapat digunakan untuk penelitian lebih lanjut khususnya mengenai penyakit diabetes melitus.
3. Bagi puskesmas untuk memberikan masukan perencanaan dan pengembangan pelayanan kesehatan pada penderita diabetes melitus tipe 2 dalam peningkatan kualitas pelayanan khususnya edukasi mengenai pengelolaan terapi diet di Puskesmas Kecamatan X.
4. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk belajar melakukan penelitian dan mengaplikasikan ilmu yang sudah di dapat khususnya dalam bidang CRP (Communication Research Program).
SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU TERHADAP PENYAKIT KECACINGAN PADA SISWA SD

SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU TERHADAP PENYAKIT KECACINGAN PADA SISWA SD

(KODE : KEPRAWTN-0077) : SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU TERHADAP PENYAKIT KECACINGAN PADA SISWA SD


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam rangka mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri serta sejahtera lahir batin, pembangunan kesehatan ditujukan untuk mewujudkan manusia yang sehat, produktif dan mempunyai daya saing yang tinggi. Salah satu ciri bangsa yang maju adalah bangsa yang mempunyai derajat kesehatan yang tinggi dengan mutu kehidupan yang tinggi pula. Pada Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PJP II) pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan kualitas sumber daya manusia (Depkes RI, 1998)
Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan, salah satu diantaranya ialah cacing perut yang ditularkan melalui tanah. Cacingan ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktifitas penderitanya sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian, karena menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah, sehingga menurunkan kualitas sumber daya manusia. Prevalensi cacingan di Indonesia pada umumnya masih sangat tinggi, terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu mempunyai resiko tinggi penyakit ini.
Penyakit kecacingan adalah penyakit yang disebabkan oleh karena masuknya parasit (berupa cacing) ke dalam tubuh manusia. Jenis cacing yang sering ditemukan menimbulkan infeksi adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura), dan cacing tambang (Necator americanus) yang ditularkan melalui tanah (Soil Transmitted Helminthiasis) (Srisasi Gandahusada, 2006).
Penyakit cacingan tersebar luas, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Angka infeksi tinggi, tetapi intensitas infeksi (jumlah cacing dalam perut) berbeda. Hasil survei Cacingan di Sekolah dasar di beberapa provinsi menunjukkan prevalensi sekitar 60%-80%, sedangkan untuk semua umur berkisar antara 40%-60%.
Penelitian epidemiologi telah dilakukan hampir di seluruh Indonesia, terutama pada anak-anak sekolah dan umumnya didapatkan angka prevalensi tinggi yang bervariasi. Prevalensi askariasis di propinsi DKI Jakarta adalah 4-91%, Jabar 20-90%, Yogyakarta 12-85%, Jatim 16-74%, Bali 40-95%, NTT 10-75%, Sumut 46-75%, Sumbar 2-71%, Sumsel 51-78%, Sulut 30-72%. Bila menurut golongan umur, askariasis lebih banyak ditemukan pada anak-anak, prevalensi kecacingan anak balita juga lebih rendah dibandingkan golongan umur lain, mungkin disebabkan anak balita relatif lebih sedikit tercemar infeksi.
Ascariasis pada manusia muncul di kedua lingkungan yang sedang dan tropis. Prevalensi rendah terdapat pada iklim yang kering, tetapi tinggi di kondisi yang basah dan hangat yang mana kondisi ini cocok untuk telur dan embrionisasi. Kepadatan, ekonomi lemah, rendah higienitas lingkungan dan suplai air dapat menyebabkan naiknya infeksi cacing ini. Prevalensi Ascaris lumbricoides adalah 16,5%. Paling tertinggi prevalensinya terutama pada golongan anak kecil antara 11-15 tahun sekitar 3,7%. Dan pada grup 15 tahun atau ke bawah bisa mencapai 5,3% . Pada rentang umur 6-10, 11-15 dan 16-20 tahun 3,5%, 5,4% dan 3,5% didapatkan menderita malnutrisi dari ringan sampai sedang.
Anak usia sekolah merupakan golongan masyarakat yang diharapkan dapat tumbuh menjadi sumber daya manusia yang potensial di masa akan datang sehingga perlu diperhatikan dan disiapkan untuk dapat tumbuh sempurna baik fisik dan intelektualnya. Dalam hubungan dengan infeksi kecacingan, beberapa penelitian ternyata menunjukkan bahwa anak usia sekolah merupakan golongan yang sering terkena infeksi kecacingan karena sering berhubungan dengan tanah (Depkes RI, 2004).
Perilaku seseorang dapat tumbuh dipengaruhi oleh pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman, sehingga hal tersebut dapat memunculkan sikap dan tindakan terhadap nilai-nilai yang baik dan salah satunya adalah nilai kesehatan. Kurangnya pengetahuan anak tentang infeksi cacingan merupakan faktor dasar seorang anak berperilaku. Keadaan sanitasi yang belum memadai, keadaan sosial ekonomi yang masih rendah dan kebiasaan manusia mencemari lingkungan dengan tinjanya sendiri, didukung oleh iklim yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan cacing merupakan beberapa faktor penyebab tingginya prevalensi infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah di Indonesia. Selain itu bahwa infeksi cacingan pada manusia dipengaruhi oleh perilaku, lingkungan tempat tinggal dan manipulasi terhadap lingkungan, misalnya tidak tersedianya air bersih dan tempat pembuangan faeces yang tidak memenuhi syarat kesehatan.
Berdasarkan permasalahan diatas maka peneliti tertarik melakukan penelitian tentang HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU TERHADAP PENYAKIT CACINGAN PADA SISWA SEKOLAH DASAR.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka penulis ingin mengetahui beberapa permasalahan, yaitu :
1. Adakah hubungan antara pengetahuan siswa kelas V terhadap penyakit kecacingan?
2. Adakah hubungan antara sikap siswa kelas V terhadap penyakit kecacingan?
3. Adakah hubungan antara perilaku siswa kelas V terhadap penyakit kecacingan?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan pengetahuan, sikap dan perilaku terhadap penyakit kecacingan pada siswa kelas V di SD X.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui hubungan antara pengetahuan siswa kelas V terhadap penyakit kecacingan
b. Mengetahui hubungan antara sikap siswa kelas V terhadap penyakit kecacingan.
c. Mengetahui hubungan antara perilaku siswa kelas V terhadap penyakit kecacingan.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Siswa Sekolah Dasar
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan tambahan kepada siswi sekolah dasar tentang penyakit cacingan dan cara pencegahannya sehingga dapat terhindar dari faktor resiko penyebab penyakit cacingan.
2. Bagi Institusi Sekolah
a. Bagi pihak guru penelitian ini dapat dijadikan sebagai media informasi tentang pentingnya pendidikan kesehatan diajarkan sejak dini pada anak usia sekolah.
b. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi pada pihak sekolah maupun staf pengajar di SD dalam pelaksanaan UKS yang berkaitan dengan perilaku anak yang beresiko untuk terpapar faktor penyebab penyakit terutama penyakit cacingan.
c. Penelitian ini nantinya akan memperkuat bukti bahwa pendidikan kesehatan yang diberikan sejak dini pada anak-anak dapat mencegah terjadinya penyakit terutama penyakit cacingan.
3. Bagi Dinas Kesehatan
a. Sebagai tambahan informasi dan bahan masukan dalam upaya pencegahan masalah kesehatan khususnya penyakit cacingan.
b. Dapat memberikan gambaran tentang masalah kesehatan yang terjadi pada anak usia sekolah khususnya tentang penyakit cacingan, sehingga pemerintah lebih tepat dalam mengambil kebijakan-kebijakan guna mengatasi permasalahan tersebut.
4. Bagi Peneliti
Penelitian ini dapat juga sebagai bahan penelitian selanjutnya, serta merupakan proses yang bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IBU DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN MEMILIH PENOLONG PERSALINAN

SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IBU DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN MEMILIH PENOLONG PERSALINAN

(KODE : KEPRAWTN-0076) : SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IBU DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN MEMILIH PENOLONG PERSALINAN




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mortalitas dan morbiditas pada wanita hamil dan bersalin merupakan masalah yang besar di negara miskin dan berkembang seperti Indonesia. Sebagian besar kematian perempuan disebabkan komplikasi karena hamil, bersalin dan nifas. Namun demikian banyak faktor yang membuat teknologi kesehatan kurang dapat diterapkan ditingkat masyarakat diantaranya ketidaktahuan, kemiskinan, rendahnya status sosial ekonomi perempuan, terbatasnya kesempatan memperoleh informasi dan kelangkaan pelayanan kesehatan yang peka terhadap kebutuhan perempuan juga berperan terhadap situasi ini, sedangkan pengetahuan baru, hambatan membuat keputusan, terbatasnya akses memperoleh pendidikan yang tidak memadai.
Persalinan dan kelahiran merupakan kejadian fisiologi yang normal dalam kehidupan. Kelahiran seorang bayi juga merupakan peristiwa sosial bagi ibu dan keluarga. Dimana peranan ibu adalah melahirkan bayinya, sedangkan peranan keluarga adalah memberikan bantuan dan dukungan pada ibu ketika terjadi proses persalinan. Dalam hal ini peranan petugas kesehatan tidak kalah penting dalam memberikan bantuan dan dukungan pada ibu agar seluruh rangkaian proses persalinan berlangsung dengan aman baik bagi ibu maupun bagi bayi yang dilahirkan (Sumarah, dkk, 2009).
Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk melihat derajat kesehatan perempuan. Angka kematian ibu juga merupakan salah satu target yang telah ditentukan untuk mencapai sasaran Millennium Development Goals (MDGs) yaitu Angka Kematian Ibu (AKI) sebesar 102/100.000 Kelahiran Hidup (KH) dan Angka Kematian Bayi (AKB) menjadi 23/1.000 Kelahiran Hidup (KH) pada 2015. Di negara miskin, sekitar 25-50% kematian wanita usia subur disebabkan oleh masalah yang berkaitan dengan kehamilan, persalinan, dan nifas. WHO memperkirakan diseluruh dunia setiap tahunnya lebih dari 585.000 meninggal saat hamil atau persalinan (Depkes RI, 2010).
Berdasarkan hasil SDKI Tahun 2007 derajat kesehatan ibu dan anak di Indonesia masih perlu ditingkatkan, ditandai oleh Angka Kematian Ibu (AKI) (KH) dan Tahun 2008, 4.692 jiwa ibu melayang di masa kehamilan, persalinan, dan nifas. Kementerian kesehatan telah melakukan berbagai upaya percepatan penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) antara lain mulai Tahun 2010 meluncurkan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) ke Puskesmas di Kabupaten Kota yang di fokuskan pada kegiatan preventif dan promotif dalam program kesehatan ibu dan anak. Kematian ibu disebabkan oleh perdarahan, tekanan darah yang tinggi saat hamil (Eklampsia), infeksi, persalinan macet dan komplikasi keguguran. Sedangkan penyebab langsung kematian bayi adalah Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan kekurangan Oksigen (asfiksia). Penyebab tidak langsung kematian ibu dan bayi baru lahir adalah karena kondisi masyarakat seperti pendidikan, sosial ekonomi, dan budaya. Kondisi geografi serta keadaan sarana pelayanan yang kurang siap ikut memperberat permasalahan ini. (Depkes RI, 2010).
Menteri kesehatan menambahkan salah satu upaya terobosan dan terbukti mampu meningkatkan indikator proksi (persalinan oleh tenaga kesehatan) dalam penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) adalah Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K). Sedangkan data Riskesdas 2010 memperlihatkan bahwa persalinan di fasilitas 55,4% dan masih ada persalinan yang dilakukan di rumah (43,2%). Pada kelompok ibu yang melahirkan di rumah ternyata baru 51,9% persalinan ditolong oleh bidan, sedangkan yang ditolong oleh dukun masih 40,2% (Depkes RI, 2010).
Beberapa hal tersebut mengakibatkan 3 kondisi terlambat yaitu (terlambat mengambil keputusan di tingkat keluarga, terlambat sampai ditempat pelayanan, dan terlambat mendapatkan pertolongan yang adekuat) dan 4 kondisi terlalu muda (dibawah 20 tahun), terlalu tua (diatas 35 tahun), terlalu dekat (jarak melahirkan kurang dari 2 tahun), terlalu banyak (lebih dari 4 kali). Keterlambatan pengambilan keputusan ditingkat keluarga dapat dihindari apabila ibu dan keluarga mengetahui tanda bahaya kehamilan dan persalinan serta tindakan yang perlu dilakukan untuk mengatasinya ditingkat keluarga (Menkes RI, 2011).

Foster dan Anderson (1986) melukiskan tentang masalah klasik yang masih selalu ditemukan dalam kehidupan berbagai kelompok masyarakat, betapa sosial sering mengalahkan pemanfaatan optimal dari sarana kesehatan yang tersedia. Pasangan suami-istri lebih rela untuk memutuskan tidak menggunakan sarana pertolongan persalinan dari puskesmas atau rumah bersalin, atas pertimbangan bahwa konflik dengan kerabat tidak menggunakan jasanya dari pada biaya bersalin di rumah sakit atau puskesmas (Meutia, 1998).
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui dan meneliti tentang "FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IBU DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN MEMILIH PENOLONG PERSALINAN DI DUSUN X".

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian tersebut yaitu apakah Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ibu Dalam Pengambilan Keputusan Memilih Penolong Persalinan di Dusun x.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui "Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Ibu Dalam Pengambilan Keputusan Memilih Penolong Persalinan Di Dusun X".
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi sosial ekonomi ibu tentang memilih penolong persalinan.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi sosial budaya ibu tentang memilih penolong persalinan.
c. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan suami dan keluarga ibu tentang memilih penolong persalinan.
d. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi jarak pelayanan kesehatan ibu tentang memilih penolong persalinan.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi praktik keperawatan
Hasil penelitian di harapkan dapat menjadi masukan untuk peningkatan asuhan keperawatan maternitas, dalam mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam pengambilan keputusan memilih penolong persalinan di Dusun X.
2. Bagi pendidikan keperawatan
Hasil penelitian ini memberikan informasi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam pengambilan keputusan memilih penolong persalinan di Dusun X.
3. Bagi masyarakat
Hasil penelitian ini di harapkan pada masyarakat khususnya pada seorang ibu, dapat digunakan sebagai tambahan informasi, tentang apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam pengambilan keputusan memilih penolong persalinan.
TESIS KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM MEMBANGUN BUDAYA ORGANISASI BERBASIS ISLAM

TESIS KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM MEMBANGUN BUDAYA ORGANISASI BERBASIS ISLAM

(KODE : PASCSARJ-0294) : TESIS KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM MEMBANGUN BUDAYA ORGANISASI BERBASIS ISLAM (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kepemimpinan adalah termasuk dalam kajian konsep kebutuhan manusia. Karena proses kepemimpinan berlangsung di mana saja dan kapan saja dalam hubungan timbal balik antar individu dan kelompok manusia. Overton dalam Syafaruddin dalam bukunya Kepemimpinan Pendidikan menjelaskan : "leadership is the ability to get done with and through others while gaining their confidence and cooperation ". Dipahami dari pendapat ini bahwa kepemimpinan adalah kemampuan untuk memperoleh tindakan dengan dan melalui orang lain dengan kepercayaan dan kerjasama.
Kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang sangat berperan dalam organisasi, baik buruknya organisasi sering kali sebagian besar tergantung pada faktor pemimpin. Berbagai riset juga telah membuktikan bahwa faktor pemimpin memegang peranan penting dalam pengembangan organisasi. Faktor pemimpin yang sangat penting adalah karakter dari orang yang menjadi pemimpin tersebut sebagaimana dikatakan oleh Covey (dalam Muhaimin, dkk) dalam bukunya Manajemen Pendidikan, bahwa 90 persen dari semua kegagalan kepemimpinan adalah kegagalan pada karakter.
Lembaga pendidikan membutuhkan seorang pemimpin. Sebab, pemimpin itulah penggerak dan inspirator dalam merancang dan mengerjakan kegiatan. Pemimpin tidak hanya seorang manajer, ia juga harus pembangun mental, moral, spirit, dan kolektivitas kepada jajaran bawahannya. Seorang pemimpin seyogyanya tidak hanya menggunakan aturan tertulis, tapi juga sikap perilaku, sepak terjang, dan keteladanan dalam melakukan agenda transformasi ke arah yang lebih baik.
Di dalam kepemimpinan ada tiga unsur yang saling berkaitan, yaitu unsur manusia, unsur sarana, dan unsur tujuan. Untuk dapat memperlakukan ketiga unsur tersebut secara seimbang, seorang pemimpin harus memiliki pengetahuan atau kecakapan dan keterampilan yang diperlukan dalam melaksanakan kepemimpinannya. Pengetahuan dan keterampilan ini dapat diperoleh dari pengalaman belajar secara teori ataupun dari pengalamannya di dalam praktek selama jadi pemimpin. Namun, secara tidak disadari seorang pemimpin dalam memperlakukan ketiga unsur tersebut dalam rangka menjalankan kepemimpinannya menurut caranya sendiri. Dan cara-cara yang digunakannya merupakan pencerminan dari sifat-sifat dasar kepribadian seorang pemimpin walaupun pengertian ini tidak mutlak. Cara atau teknik seseorang dalam menjalankan suatu kepemimpinan disebut tipe atau gaya kepemimpinan.
Adapun gaya-gaya kepemimpinan yang pokok, atau dapat juga disebut ekstrim, ada tiga, yaitu (1) Otokrasi. Dalam kepemimpinan yang otokrasi, pemimpin bertindak sebagai diktator terhadap anggota-anggota kelompoknya. Baginya, pemimpin adalah menggerakkan dan memaksa kelompok. Kekuasaan pemimpin yang otokrasi hanya dibatasi oleh undang-undang; (2) Laissez Faire. Tipe ini diartikan sebagai membiarkan orang-orang berbuat sekehendaknya. Pemimpin yang termasuk tipe ini sama sekali tidak memberikan kontrol dan koreksi terhadap pekerjaan anggota-anggotanya; dan (3) Demokratis. Pemimpin yang demokratis menafsirkan kepemimpinannya bukan sebagai diktator, melainkan sebagai pemimpin di tengah-tengah anggota kelompoknya. Pemimpin yang demokratis selalu berusaha menstimulasi anggota-anggotanya agar pekerja secara kooperatif untuk mencapai tujuan bersama. Dalam tindakan atau usaha-usahanya, ia selalu berpangkal pada kepentingan dan kebutuhan kelompoknya, dan mempertimbangkan kesanggupan serta kemampuan kelompoknya.
Adapun karakteristik dari beberapa gaya kepemimpinan tersebut antara lain : 1) Otokrasi memiliki sifat yaitu a) menganggap organisasi yang dipimpinnya sebagai milik pribadi, b) mengidentifikasikan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi, c) menganggap bawahan sebagai alat semata-mata, tidak mau menerima pendapat, saran, dan kritik dari anggotanya, d) terlalu bergantung pada kekuasaan formalnya, e) caranya menggerakkan bawahan dengan pendekatan paksaan dan bersifat mencari kesalahan/menghukum; 2) Laissez Faire memiliki sifat yaitu a) menyerahkan sepenuhnya pada para bawahannya untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya, setelah tujuan diterangkan kepadanya, b) ia hanya akan menerima laporan-laporan hasilnya tidak terlampau turut campur tangan atau tidak terlalu mau ambil inisiatif, c) semua pekerjaan tergantung pada inisiatif dan prakarsa dari para bawahannya; 3) Demokratis memiliki sifat yaitu a) dalam menggerakkan bawahan bertitik tolak dari pendapat bahwa manusia itu makhluk yang termulia di dunia, b) selalu berusaha untuk menyinkronkan kepentingan dan tujuan organisasi dengan kepentingan dan tujuan pribadi bawahan, c) senang menerima saran, pendapat, dan kritik dari bawahan, d) mengutamakan kerja sama dalam mencapai tujuan, e) memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada bawahan, dan membimbingnya.
Tannenbaum dan Schmidt (dalam Boone dan Kurtz) mengatakan bahwa pemilihan gaya kepemimpinan yang tepat tergantung pada faktor : 1) pemimpin yakni sistem nilai dan keyakinan pada bawahan, 2) bawahan yakni harapannya terhadap prilaku kepemimpinan, 3) situasi yakni nilai dan tradisi organisasi. Debutts (dalam Boone dan Kurtz) menambahkan pula faktor tersebut sebagai berikut : 1) orang yang dipimpin dalam hal ini bawahan, 2) pekerjaan itu sendiri menyangkut keterlibatan bawahan dalam melaksanakan pekerjaan tentang kapan, di mana dan bagaimana dikerjakan, 3) dukungan manajemen menyangkut sistem penghargaan yang diberikan untuk manajer, 4) karakteristik pribadi yang menyangkut kesenangan, pengetahuan, dan kebutuhan yang diterima oleh pemimpin.
Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti lakukan, gaya kepemimpinan kepala sekolah di SMAN X dan SMAN Y cenderung lebih menerapkan kepemimpinan demokratis, walaupun tidak sepenuhnya menerapkan gaya kepemimpinan tersebut dan masih didukung dengan gaya kepemimpinan yang lain. Karena sebagai pimpinan di lembaga pendidikan kepala sekolah tidak bisa menerapkan hanya satu gay a kepemimpinan saja, akan tetapi sebaiknya mengkombinasikan beberapa gaya tersebut dalam kepemimpinannya. Karena gaya kepemimpinan yang satu dan lainnya saling mendukung.
Dalam memberdayakan masyarakat dan lingkungan sekitar, kepala sekolah merupakan kunci keberhasilan yang harus menaruh perhatian tentang apa yang terjadi pada peserta didik di sekolah dan apa yang dipikirkan orang tua dan masyarakat tentang sekolah. Kepala sekolah dituntut untuk senantiasa berusaha membina dan mengembangkan hubungan kerjasama yang baik antara sekolah dan masyarakat guna mewujudkan sekolah yang efektif dan efisien. Pelaksanaan manajemen berbasis sekolah memerlukan sosok kepala sekolah yang memiliki kemampuan manajerial dan integritas yang tinggi, serta demokratis dalam pengambilan keputusan-keputusan mendasar. Kepala sekolah adalah "The Key Person" keberhasilan pelaksanaan otonomi sekolah. Kepala sekolah adalah orang yang di beri tanggung jawab untuk mengelola dan memberdayakan berbagai sumber yang tersedia dan dapat menggali lagi untuk mewujudkan visi, misi, dan tujuan sekolah. Oleh karena itu dalam implementasi manajemen berbasis sekolah, kepala sekolah dituntut memiliki visi dan wawasan yang luas tentang sekolah yang efektif serta kemampuan profesional yang memadai dalam bidang perencanaan, kepemimpinan, manajerial dan supervisi pendidikan. Ia juga harus memiliki kemampuan untuk membangun kerjasama yang harmonis dengan berbagai pihak yang terkait dengan program pendidikan di sekolah. Dalam implementasi manajemen berbasis sekolah, kepala sekolah harus mampu berperan sebagai educator, manager, administrator, supervisor, leader, innovator, dan motivator pendidikan. Dalam melaksanakan fungsinya kepala sekolah dituntut untuk melakukan (action) perubahan-perubahan dan pengembangan dalam pendidikan di sekolah yang dipimpinnya yang dapat berupa ide, program, layanan, proses atau teknologi yang diimplementasikan dalam sistem pendidikan.
Begitu besarnya peranan sekolah dalam proses pencapaian tujuan pendidikan, sehingga dapat dikatakan bahwa sukses tidaknya inovasi pendidikan dan kegiatan sekolah sebagian besar ditentukan oleh kualitas kepemimpinan yang dimiliki oleh kepala sekolah. Namun, perlu dicatat bahwa keberhasilan seorang pemimpin dalam melaksanakan tugasnya, tidak ditentukan oleh tingkat keahliannya dibidang konsep dan teknik kepemimpinan semata, melainkan lebih banyak ditentukan oleh kemampuannya dalam memilih dan menggunakan teknik atau gaya kepemimpinan yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang dipimpin.
Wahjosumidjo mengemukakan bahwa penampilan kepemimpinan kepala sekolah adalah prestasi atau sumbangan yang diberikan oleh kepemimpinan seorang kepala sekolah baik secara kualitatif maupun kuantitatif yang terukur dalam rangka membantu tercapainya tujuan sekolah. Penampilan kepemimpinan kepala sekolah ditentukan oleh faktor kewibawaan, sifat dan keterampilan, prilaku maupun fleksibilitas pemimpin. Agar fungsi kepemimpinan kepala sekolah berhasil memberdayakan segala sumber daya sekolah untuk mencapai tujuan sesuai dengan situasi, diperlukan seorang kepala sekolah yang memiliki kemampuan profesional yaitu : kepribadian, keahlian dasar, pengalaman, pelatihan dan pengetahuan.
Kepala sekolah profesional tidak saja dituntut untuk melaksanakan berbagai tugasnya di sekolah, tetapi ia juga harus mampu menjalin hubungan/kerja sama dengan masyarakat dalam rangka membina pribadi peserta didik secara optimal. Kerja sama ini penting karena banyak persoalan yang tidak dapat diselesaikan sekolah secara sepihak, atau sering terjadi kesalahpahaman, perbedaan persepsi antara pihak sekolah dengan masyarakat. Dalam hal ini kepala sekolah harus mampu mencari jalan keluar untuk mencairkan hubungan sekolah dengan masyarakat yang selama ini terjadi, agar masyarakat khususnya orang tua peserta didik bisa mengerti, memahami dan maklum dengan ide-ide serta visi yang sedang berkembang di sekolah.
Menurut Robbins (dalam R.A. Sri Isminingsih) untuk menduduki posisi kepala sekolah tentunya menuntut dipenuhinya persyaratan, baik unjuk kerja, administratif, akademik maupun kepribadian. Terpenuhinya, persyaratan mengandung arti, bahwa kepala sekolah telah memiliki kelebihan sehingga mampu berperan sebagai pemimpin sekolah. Kemampuan yang dimiliki telah terseleksi baik seleksi diri, karier dan seleksi organisasi. Sedangkan Wiles dan Bondi (dalam R.A. Sri Isminingsih) mengatakan bahwa seseorang terseleksi untuk menjadi kepala sekolah antara lain mengacu pada tanggung jawab kualifikasi dan pengalaman.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 Tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah, seorang kepala sekolah sebagai pimpinan dari lembaga pendidikan harus memiliki lima kompetensi antara lain : kompetensi kepribadian, kompetensi manajerial, kompetensi kewirausahaan, kompetensi supervisi, dan kompetensi sosial.
Pentingnya kedudukan budaya dalam sebuah organisasi yang di dalamnya terdapat pemaknaan bersama antar anggota, sebagaimana diungkapkan oleh Robbins, pada dasarnya merupakan fenomena yang relatif baru. Hal ini dikarenakan selama ini organisasi hanya dilihat sebagai alat yang paling rasional untuk mengendalikan dan mengatur sekelompok orang. Owens mengatakan bahwa, bahkan secara ekstrim organisasi dipandang sebagai mesin yang menekankan pada otoritas formal dan legitimasi perintah. Simon dan Barnard dengan asumsi dasar mengatakan bahwa, manusia sebagai economic man dengan fokus utamanya adalah tercapainya kekuasaan (wealth power). Namun akhir-akhir ini, pandangan tersebut telah mengalami perubahan, di mana dalam sebuah organisasi ternyata terdapat pemaknaan bersama seluruh anggotanya yang di dalamnya ada nilai, norma, keyakinan, dan tradisi yang membentuk satu kesatuan sistem dalam organisasi sehingga itu menjadi kekuatan yang walaupun tidak terlihat tetapi memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pikiran, perasaan dan tindakan anggota organisasi.
Pentingnya kedudukan budaya ini juga mulai menarik perhatian kalangan pendidikan. Peterson mengatakan bahwa budaya ternyata memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap motivasi anggota organisasi dan motivasi itu sendiri sangat berpengaruh terhadap produktivitas dan keberhasilan sebuah organisasi. Begitu pentingnya kedudukan budaya ini dalam sebuah institusi pendidikan sampai-sampai membuat Edward Redalen membuat pernyataan bahwa, jika seorang pimpinan atau kepala sekolah ingin melakukan perubahan maka starting pointnya adalah melalui budaya. Jika tidak, sebaik apapun upaya perubahan yang dilakukan itu tidak akan pernah membawa hasil yang maksimal.
Pendidikan sebagai investasi dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM) melakukan upaya dilakukan dalam konteks organisasi, apakah keluarga, masyarakat, sekolah, atau jenis organisasi lainnya. Penyelenggaraan pendidikan dalam sebuah organisasi menunjukkan bahwa keberadaan organisasi pendidikan tersebut ditujukan untuk mencapai tujuan pendidikan secara lebih efektif dan efisien. Tujuan pendidikan dan tujuan sekolah sebagai organisasi pendidikan formal tidaklah terpisah.
Dalam setiap organisasi terdapat pola mengenai kepercayaan, ritual, mitos serta praktik-praktik yang berkembang sejak beberapa lama. Ke semua itu pada gilirannya, menciptakan pemahaman yang sama di antara para anggota mengenai bagaimana sebenarnya organisasi itu dan bagaimana anggotanya berperilaku.
Konteks eksternal organisasi yang sangat cepat berubah merupakan sebuah tantangan utama dari organisasi untuk dapat hidup terus. Sebagaimana makhluk hidup, organisasi juga harus pandai menyesuaikan diri dengan lingkungannya jika menginginkan untuk hidup dalam usia yang lebih panjang. Ketidakmampuan organisasi menyesuaikan diri dengan lingkungannya akan dapat menyebabkan organisasi tersebut mengalami masalah serius bahkan dapat mengakibatkan kematian (kebangkrutan).
Organisasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Setiap manusia hidup dalam sebuah organisasi. Gibson, Ivancevich, dan Donnelly (dalam Daman Hermawan dan Cepi Triatna) mendefinisikan organisasi sebagai "wadah yang memungkinkan masyarakat dapat meraih hasil yang sebelumnya tidak dapat dicapai oleh individu secara sendiri-sendiri". Lebih jauh ketiganya menyebutkan bahwa organisasi adalah suatu unit terkoordinasi terdiri setidaknya dua orang berfungsi mencapai satu sasaran tertentu atau serangkaian sasaran. Definisi ini menekankan pada upaya peningkatan pencapaian tujuan bersama secara lebih efektif dan efisien melalui koordinasi antar unit organisasi.
Setiap individu yang memasuki organisasi melakukan proses interaksi (adaptasi) dengan kebiasaan pada masing-masing individu dan dengan budaya organisasi. Proses ini merupakan aktifitas sumber kehidupan dalam struktur organisasi. Proses yang umum meliputi komunikasi, pengambilan keputusan, sosialisasi dan pengembangan basis. Budaya organisasi dapat menjadi positif atau negatif. Budaya organisasi yang positif akan membantu meningkatkan produktifitas, budaya yang negatif akan menghambat efektifitas kelompok dan desain organisasi yang lebih baik.
Budaya organisasi berbasis Islam dalam hal ini nilai-nilai Islami di sekolah. Pengembangan nilai Islami adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga mengimani, bertaqwa, dan berakhlaq mulia dalam mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci al-Qur'an dan hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman. Nilai adalah patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya diantara cara-cara tindakan alternatif.
Nilai-nilai budaya Islami yang dijadikan pilar dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di sekolah antara lain : 1) Nilai akhlakul karimah. Etika atau akhlakul karimah adalah tata aturan untuk bisa hidup bersama dengan orang lain; 2) Nilai kejujuran. Yaitu jujur kepada dirinya sendiri, jujur kepada Tuhan, jujur kepada orang lain; 3) Nilai kasih sayang; 4) Nilai menghormati hukum dan peraturan; 5) Nilai tepat waktu/kedisiplinan; 6) Nilai bekerja sama; 7) Nilai jihad. Adapun karakteristik bentuk pembangunan budaya organisasi Islam yang dilakukan oleh kepala sekolah adalah sebagai berikut : 1) keadilan; 2) senyum, salam, sapa; 3) berjabat tangan; 4) doa bersama; 5) shalat dzuhur dan Jum'at berjamaah; 6) pendistribusian zakat fitrah; 7) pondok Ramadhan, untuk mewujudkan budaya tersebut melalui pembiasaan, keteladanan dan internalisasi.
Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti lakukan, sesuai dengan pendapat yang diungkapkan oleh Aan Komariah dan Cepi Triatna bahwa organisasi selalu unik dan selalu tampil khas, masing-masing memiliki budayanya sendiri-sendiri, hal ini dipengaruhi oleh visi dan misi serta tujuan. Walaupun organisasi itu sejenis, namun budayanya akan berbeda. Adapun budaya organisasi yang terdapat di SMAN X adalah budaya organisasi berbasis Islam yang tercantum dalam daftar kegiatan ekstrakurikuler yaitu Kerohanian Islam (Rohis), dan di SMAN Y adalah budaya organisasi berbasis Islam yang tercantum dalam visi dan misi sekolah.
Adapun alasan mengapa penulis mengambil judul "KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM MEMBANGUN BUDAYA ORGANISASI BERBASIS ISLAM (STUDI MULTI SITUS DI SMAN X DAN SMAN Y)" karena peneliti ingin mengetahui bagaimana kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam, budaya yang sudah menjadi karakteristik atau identitas suatu organisasi/lembaga pendidikan tersebut serta apa latar belakang kepala sekolah membangun budaya organisasi berbasis Islam, serta dampak yang dihasilkan dari kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di kedua SMAN tersebut, merupakan rumusan masalah penelitian.
Sedangkan tempat yang menjadi sasaran peneliti untuk mengadakan penelitian adalah SMAN X dan SMAN Y. Peneliti memilih tempat tersebut karena seperti yang peneliti pernah ketahui bahwa di sekolah tersebut memiliki budaya yang khas yang mungkin belum pernah dimiliki oleh sekolah-sekolah umum yang lain yaitu kepemimpinan kepala sekolah yang didasari oleh nilai-nilai Islami dalam kepemimpinannya, serta adanya budaya organisasi berbasis Islam. 

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini lebih ditujukan untuk menjawab bagaimana kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di SMAN X dan SMAN Y tersebut. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam maka peneliti akan memfokuskan penelitian ini pada : 
1. Bagaimana kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di SMAN X dan SMAN Y ?
2. Faktor apa yang melatarbelakangi kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di SMAN X dan SMAN Y ?
3. Dampak apa saja yang dihasilkan dari kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di SMAN X dan SMAN Y ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini pada dasarnya bertujuan untuk memahami, mendeskripsikan, dan menganalisa tentang : 
1. Mendeskripsikan dan menganalisa tentang kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di SMAN X dan SMAN Y.
2. Mendeskripsikan dan menganalisa tentang faktor apa yang melatarbelakangi kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di SMAN X dan SMAN Y.
3. Mendeskripsikan dan menganalisa tentang dampak apa saja yang dihasilkan dari kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di SMAN X dan SMAN Y.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi baik secara teoritis maupun praktis bagi pengembangan lembaga pendidikan di Indonesia. Adapun manfaat dan kegunaan dari penelitian ini yaitu : 
1. Manfaat teoritis ilmu Manajemen Pendidikan Islam yaitu : dihasilkan kesimpulan-kesimpulan substantif yang berkaitan dengan gaya kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di SMAN X dan SMAN Y sebagai wujud pengembangan teori-teori gaya kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi sebelumnya. Memberikan sumbangan pemikiran terkait "Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Membangun Budaya Organisasi berbasis Islam (Studi Multi Situs di SMAN X dan SMAN Y)" sehingga terbuka peluang dilakukannya penelitian yang lebih besar dan luas dari segi biaya maupun jangkauan lokasi yang relevan. 
2. Manfaat praktis : dapat memberikan pengetahuan tentang proses dibangunnya budaya organisasi berbasis Islam serta faktor pendukung dan kendala yang dihadapi sekolah dalam pembangunan budaya organisasi tersebut sehingga dapat dijadikan dasar kebijakan untuk pengembangan sekolah ditinjau dari segi fungsi-fungsi manajemen. Dapat digunakan sebagai sumber informasi tentang kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di SMAN X dan SMAN Y. Tidak menutup kemungkinan gaya kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam yang dikembangkan di SMAN X dan SMAN Y bisa diterapkan oleh lembaga pendidikan lain secara lebih luas.

TESIS MANAJEMEN PENGEMBANGAN PROGRAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMPN

TESIS MANAJEMEN PENGEMBANGAN PROGRAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMPN

(KODE : PASCSARJ-0293) : TESIS MANAJEMEN PENGEMBANGAN PROGRAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMPN (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Suatu kenyataan yang dihadapi dunia pendidikan khususnya Pendidikan Agama Islam di lembaga pendidikan formal saat ini, adalah rendahnya kualitas pembelajaran yang dilakukan oleh guru dan siswa di dalam kelas. Permasalahannya adalah proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam kurang berhasil dalam pembentukan perilaku positif siswa. Lemahnya aspek metodologi yang dikuasai oleh guru juga merupakan penyebab rendahnya kualitas pembelajaran. Metode yang banyak dipakai adalah model konvensional yang kurang menarik.
Apabila kualitas pembelajaran tidak dapat ditingkatkan, tidak menutup kemungkinan tujuan Pendidikan Agama Islam pun tidak akan sesuai dengan yang diharapkan. Secara umum tujuan Pendidikan Agama Islam adalah membentuk pribadi taqwa. Di samping itu ada juga yang merumuskan bahwa tujuan Pendidikan Agama Islam adalah membentuk peserta didik yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, memiliki pengetahuan yang luas tentang Islam dan berakhlakul karimah.
Permasalahan nyata yang tampak dan diakui pula oleh para ahli pendidikan dewasa ini adalah pendidikan agama yang diajarkan di sekolah umum ternyata kurang berhasil untuk mengembangkan pribadi-pribadi yang taat dan berakhlak mulia. Bukti-bukti yang diajukan untuk memperkuat pernyataan tersebut antara lain kenyataan adanya siswa yang tidak mampu membaca Al-Qur'an dengan baik meski sudah duduk di bangku SMP, belum dapat melaksanakan shalat dengan baik, tidak puasa di bulan Ramadhan, tidak menunjukkan perilaku yang terpuji, banyaknya perilaku asusila dan penggunaan obat terlarang dan minum minuman keras di kalangan pelajar. Kesimpulannya, pendidikan agama belum mampu untuk menumbuhkan sikap positif dalam diri anak yang berguna bagi kemaslahatan masyarakat.
Untuk mencapai tujuan pendidikan, dalam Proses Belajar Mengajar, paling tidak ada dua aspek yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu : didaktik dan metodik. Didaktik adalah ilmu menanamkan pengetahuan kepada murid dengan cara yang cepat dan tepat, sehingga anak dapat dengan mudah menangkapnya. Atau dengan istilah lain ilmu yang memberi uraian tentang kegiatan proses mengajar yang menimbulkan proses belajar. Sedangkan metodik adalah bagian dari didaktik yang membicarakan tentang pelaksanaan cara mengajar, atau cara guru menyajikan bahan pelajaran kepada murid.
Kenyataan di lapangan bahwa guru-guru agama (Islam), jarang yang mau mencermati efektivitas penggunaan metode mengajar, perhatiannya lebih terfokus pada buku pegangan (teks book) yang dipergunakan. Disamping itu, dalam mengajar kebanyakan guru agama, lebih dominan menggunakan metode ceramah, belum mampu mengembangkan program-program pembelajaran yang efektif dan aplikatif. Guru Agama belum banyak menggunakan manajemen pembelajaran yang profesional, masih banyak menggunakan paradigma lama yaitu pendidikan sebagai transfer ilmu saja belum pada pencapaian tiga ranah (kognitif, afektif, dan psikomotorik).
Dalam Islam, penggunaan metodologi yang tepat dalam rangka mempermudah proses belajar-mengajar adalah suatu yang niscaya sehingga keberadaannya sangat dinanti baik dari kalangan siswa maupun dari pemerhati dan pengguna lulusan keguruan. Ismail mengatakan bahwa metode sebagai seni dalam mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswa dianggap lebih signifikan dibanding dari materi itu sendiri. Sebuah adagium mengatakan bahwa "At-Thariqat Ahamm min al-Maddah" (metode jauh lebih penting dibanding materi). Ini adalah sebuah realita bahwa cara penyampaian yang komunikatif lebih disenangi oleh siswa, walaupun sebenarnya materi yang disampaikan sesungguhnya tidak terlalu menarik. Sebaliknya materi yang cukup menarik, karena disampaikan dengan cara yang kurang menarik maka materi itu kurang dapat dicerna oleh siswa.
Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam telah memerintahkan untuk memilih metode yang tepat dalam proses pembelajaran, seperti yang terdapat dalam surah an-Nahl : 125.
"Serulah (manusia) kepada Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk". Dalam Surat Ali Imran 159 Allah SWT menjelaskan : 
"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka dan bermusyawarah lah dengan mereka dalam urusan ini . Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa kepada-Nya".
Selama ini, metodologi pembelajaran agama Islam yang diterapkan masih mempertahankan cara-cara lama (tradisional) seperti ceramah, menghafal dan demonstrasi praktik-praktik ibadah yang tampak kering. Seperti halnya pada materi ilmu tajwid dari masa ke masa selalu menggunakan cara-cara lama dengan ceramah dan membaca al-Qur'an sehingga cara-cara seperti itu diakui atau tidak, membuat siswa tampak bosan, jenuh dan kurang bersemangat dalam belajar agama.
Oleh karenanya secara umum seluruh praktisi pendidikan, khususnya pendidikan agama Islam perlu melakukan inovasi, kreatifitas sehingga tujuan pendidikan Islam dapat tercapai. Strategi PAIKEM merupakan pendekatan dalam proses belajar mengajar yang bila diterapkan secara tepat berpeluang dalam meningkatkan tiga hal, pertama, maksimalisasi pengaruh fisik terhadap jiwa, kedua, maksimalisasi pengaruh jiwa terhadap proses psiko fisik dan psikososial, dan ketiga, bimbingan ke arah pengalaman kehidupan spiritual.
Hal ini memang merupakan masalah pendidikan secara umum, namun dilihat dari aspek psikologis bahwa dalam praktek pembelajaran Agama kurang dapat memobilisasikan seluruh potensi yang ada pada diri siswa : berfikir, sikap dan keterampilan anak didik. Dengan kata lain bila pengajaran agama (Islam) menggunakan metode ceramah, berarti hanya menyentuh aspek kognitif saja (menghafal dan mengetahui). Padahal inti Pendidikan Agama Islam adalah keimanan yang lebih berdimensi afektif dengan sasaran utama hati nurani (conscience) yang harus diterapkan (psikomotor) dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu pengajaran Pendidikan Agama Islam hendaknya bersifat integralistik yang menyentuh semua ranah.
Untuk itulah dibutuhkan suatu program pengembangan pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang didalamnya diarahkan bukan hanya sekedar menyuruh siswa untuk menghafal nilai-nilai normatif, disampaikan lewat ceramah dan diakhiri dengan ulangan, tetapi program pengembangan Pendidikan Agama Islam yang mengarahkan siswa tidak hanya memahami berbagai konsep, tetapi mereka mampu menguasai ketrampilan berpikir, karena memang seharusnya learning itu berisi thinking dan juga values. Disamping itu seorang guru agama harus pandai membuat perencanaan yang mengarah pada pengembangan ke arah yang lebih baik.
Atas dasar itulah dipilih program-program pengembangan yang tepat dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam dengan maksud sebagai suatu upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Dalam upaya pencapaian tujuan Pendidikan Agama Islam secara sempurna dan diharapkan dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari maka dipandang perlu untuk mengkaji sebuah program pembelajaran Pendidikan Agama Islam selanjutnya disingkat PAI. Dalam hal ini, penulis akan mengadakan penelitian mengenai Manajemen Pengembangan program pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMPN X.
Salah satu masalah pendidikan agama Islam yang dihadapi di SMPN X adalah lemahnya manajemen (pengelolaan) program-program pembelajaran mulai dari proses perencanaan program pembelajaran, pelaksanaan program pembelajaran baik di kelas atau di luar kelas (Intra maupun ekstrakurikuler), dan proses pengendalian program pembelajaran, baik lewat penilaian program yang dikembangkan maupun proses pengawasan dari pihak-pihak terkait dengan penilaian Pendidikan Agama Islam (PAI).
Dalam proses pelaksanaan program pembelajaran PAI di kelas, anak kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Proses pelaksanaan program pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang dilakukan di SMPN X hanya diarahkan pada kemampuan anak untuk meniru program yang selama ini diterapkan tanpa meneliti sejauhmana program pembelajaran itu benar-benar dapat dijalankan. Seringkali anak-anak hanya disuruh untuk menghafal informasi; otak anak dipaksa untuk mengingat dan menimbun berbagai informasi tanpa dituntut untuk memahami informasi yang diingatnya itu untuk menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari. Akibatnya ? Ketika anak didik lulus dari sekolah tersebut, mereka pintar secara teoritis, tetapi mereka miskin aplikasi.
Kegagalan institusi pendidikan dalam menjalankan fungsi pendidikannya itu lebih terlihat ketika sekolah gagal melakukan penanaman atau internalisasi nilai kepada para peserta didik. Kegagalan ini dipandang sebagai kekurangberdayaan pendidikan agama yang diterapkan. Ketidakberdayaan itu dirasakan pada aspek pengembangan internalisasi nilai moral agama ke dalam diri peserta didik. 
Oleh karena itu tidak berlebihan jika Roem Topatimasang, seorang aktivis LSM pendidikan, menganggap sekolah sudah mati. Sebab sekolah dipandang tidak sanggup lagi menggarap tiga wilayah kepribadian manusia (taksonomi pendidikan) yang merupakan fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan : membentuk watak dan sikap (affective domain) mengembangkan pengetahuan (cognitive domain) serta melatih ketrampilan (psikomotorik atau cognitive domain). Sudarsono, mengatakan bahwa banyak indikasi yang membuktikan bahwa anak-anak remaja yang memasuki sekolah hanya sebagian saja yang benar-benar berwatak soleh, sedangkan sebagian yang lain adalah pemabuk, peminum, pengisap ganja dan pecandu narkotik.
Fenomena yang memprihatinkan itu, menuntut kita untuk lebih berbuat dalam menyediakan alternatif dan menyediakan persiapan-persiapan lembaga pendidikan yang matang dengan berbagai metodologi yang cocok serta sarana pendukung lainnya yang dirasa lebih pas dalam mengantisipasi kehidupan masyarakat umumnya dan pelajar khususnya yang serba dilematis.
Sekolah sebagai institusi yang mengemban misi publik, seharusnya dapat mempertanggungjawabkan pembentukan moralitas siswa. Ketika kondisi moralitas masyarakat makin tidak terbentuk, sekolah-sekolah harus melakukan prakarsa reformatif untuk membenahi moral bangsa ini. Misalnya dengan memperbaiki pola manajerial pembelajaran yang efektif dan efisien dengan lebih menyentuh pada totalitas aspek kesadaran IQ, EQ dan SQ serta RQ (kecerdasan religius), termasuk didalamnya merevisi secara holistik metode pendidikan agama yang selama ini cenderung mengindoktrinasi ajaran agama dari pada membuat siswa memahami dan menghayati makna ajaran tersebut.
Oleh karenanya institusi pendidikan dengan wajah apapun (madrasah, sekolah umum atau pesantren) secara bersama harus dapat mengembangkan human dignity (harkat dan martabat manusia) atau humanizing human (yaitu memanusiakan manusia) sehingga benar-benar mampu menjadi khalifah di muka bumi. Juga yang tak kalah pentingnya adalah pengelolaan secara manajerial terhadap beberapa program pengembangan pembelajaran pendidikan sehingga antara mengedepankan fungsi-fungsi pembelajaran dengan meningkatkan mutu pembelajaran akan dapat tercapai bersama-sama.
SMPN X, sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai tugas setara dengan sekolah lain yaitu mempelopori penyempurnaan proses dan tujuan pembelajaran melalui perbaikan pengembangan program-program pembelajaran khususnya pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) dengan cara pengintegrasian dan internalisasi nilai-nilai pendidikan di dalam hidup dan kehidupan para pelajar, yang pada gilirannya merupakan bekal yang berharga baginya untuk membangun diri sendiri dan bangsa sesuai dengan yang kita harapkan bersama sebagaimana yang tercantum dalam salah satu visinya yakni Unggul dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta Seni (IPTEKS) yang berlandaskan Iman dan Taqwa (IMTAQ) dan Berbudi pekerti yang luhur.
Untuk mencapai tujuan tersebut, SMPN X banyak melakukan berbagai terobosan program sekolah diantaranya : Pertama, penyiasatan kurikulum pendidikan yang dipercaya akan mampu menjawab tantangan kebutuhan di masa depan yang disusun oleh sekolah bersama dengan seluruh stakeholder yang ada. Kedua, penyelenggaraan program pembelajaran yang lebih diorientasikan pada pengembangan nilai-nilai yang benar-benar dapat terinternalisasi dalam kepribadian dan kehidupan siswa sehingga berkemampuan nyata untuk mengidentifikasi masalah serta mencari solusi untuk pemecahan masalah-masalah kemasyarakatan dalam lingkungannya, tanpa mengabaikan penyiapan kemampuan akademik untuk berhasil menapaki jenjang pendidikan tinggi. Begitupun dengan sistem seleksi calon siswa, penambahan wawasan profesionalisme tenaga edukasi dan program-program unggulan lainnya. Sehingga dengan program ini, menjadikan sekolah ini meraih image dalam masyarakat sebagai salah satu sekolah favorit yang mengembangkan disamping seni juga nilai-nilai agama di Kota X.
Dipilihnya SMPN X sebagai setting penelitian karena peneliti menganggap masih belum maksimalnya kegiatan-kegiatan keagamaan termasuk program pembelajaran PAI yang dikembangkan Baik intra maupun ekstrakurikuler, sementara sekolah tersebut termasuk sekolah SSN yang sudah memasuki tahap II bahkan sudah membuka kelas bilingual sebagai persyaratan menuju Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Disamping itu sekolah ini telah mengembangkan program unggulannya di bidang Seni yang mana prestasinya sudah mencapai tingkat nasional, karena itu untuk mengimbanginya, perlu ditingkatkan dan dikembangkan program-program keagamaan dalam membekali siswa-siswinya dalam even-even di luar pantauan orang tua dan guru-gurunya di sekolah.
Yang lebih penting dari alasan di atas, adalah karena sekolah ini mencapai prestasi akademik dan non akademik yang luar biasa. Dalam lomba Penelitian Ilmiah Remaja/PIR masuk nominasi finalis Tingkat Nasional, dalam perolehan rata-rata nilai ujian nasional (NUN) masuk 6 besar tingkat Kota, juara olimpiade Biologi tingkat kota dan masuk nominasi finalis tingkat nasional. Dalam kelulusan Ujian Nasional sejak tiga tahun terakhir ini 100 % meluluskan siswanya. Sedangkan prestasi non akademis yang diraih dari kegiatan ekstrakurikuler terutama Seni jauh melampaui sekolah-sekolah lain, karena itu SMPN X adalah satu-satunya di Kota X yang dipercaya Depdiknas untuk bergabung dalam Paguyuban Peminat Seni Tradisi (PPST) dan dipercaya menjadi pilot project sekolah Seni di Kota X.
Di samping itu pula, dipilihnya lokasi ini sebagai tempat penelitian karena peneliti ingin mengetahui sejauhmana program-program pembelajaran yang dilaksanakan hingga mampu menjadi sekolah unggulan di Kota X termasuk ingin mengetahui program-program pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang diterapkan. Karena menurut observasi peneliti terdapat 19 ekstrakurikuler yang dikembangkan termasuk ekstrakurikuler Pendidikan Agama Islam dan Budaya religius yang kondusif. Hal inilah yang menjadi alasan tersendiri bagi peneliti untuk menjadikan lembaga tersebut sebagai lokasi penelitian.
Sebagai sekolah yang telah mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, SMPN X diharapkan bisa dijadikan figur sentral atau lembaga yang representatif untuk mewakili standar percontohan kualitas pendidikan seluruh SMP baik negeri maupun swasta di Kota X, dan bahkan mungkin bisa diadopsi dan dicontoh oleh SMP di daerah lain, baik dari segi manajerial pengelolaan kelembagaan ataupun dari segi pembelajaran, sehingga bisa menghasilkan output yang berkualitas sekaligus unggul, termasuk pola pembelajaran pendidikan Agama Islam di sekolah tersebut.
Kegiatan pengembangan program pembelajaran pendidikan agama Islam merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam pendidikan di SMPN X, tentunya juga memiliki karakteristik manajemen yang bernilai lebih dibanding sekolah lain. Akan tetapi SMPN X juga tidak lepas dari tantangan dan ancaman besar yang tidak jarang dihadapi oleh sekolah umum lainnya seperti kasus tawuran, narkoba, pacaran, pergaulan bebas dan perilaku negatif lainnya, apalagi jika pelakunya didominasi oleh siswa muslim. Sehingga itu, dituntut peran pendidikan agama untuk tampil di garda depan menjadi tameng atau "dokter" dalam mengatasi semua problematika tersebut.
Problematika pendidikan yang sangat kompleks tersebut menjadi beban dan tanggung jawab pendidikan agama secara khusus dengan mengupayakan berbagai cara dengan segala keterbatasan dalam pendidikan agama Islam itu sendiri mulai dari segi kurikulum, metodologi pembelajaran, fasilitas sarana belajar sampai pada alokasi waktu proses belajar mengajar yang sedikit (2 jam pelajaran). Namun, sebagai sekolah yang menyandang SSN menuju RSBN, SMPN X tentunya mempunyai strategi atau model manajemen untuk mengembangkan program-program pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang jitu sehingga dapat memposisikan diri sebagai satu kesatuan lembaga unggulan diantara sekolah-sekolah lainnya. 

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan konteks penelitian di atas, maka peneliti memfokuskan penelitian ini pada "manajemen pengembangan program pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMPN X". Fokus penelitian ini selanjutnya dijabarkan dalam beberapa sub fokus sebagai berikut : 
1. Bagaimana proses perencanaan pengembangan program pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMPN X ?
2. Bagaimana proses pelaksanaan pengembangan program pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMPN X ?
3. Bagaimana proses pengendalian pengembangan program pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMPN X ?

C. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk : 
1. Mendeskripsikan proses perencanaan pengembangan program pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMPN X.
2. Mendeskripsikan proses pelaksanaan pengembangan program pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMPN X.
3. Mendeskripsikan proses pengendalian pengembangan program pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMPN X.

D. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan yaitu : Pertama, sebagai bahan percontohan untuk sekolah lainnya di Kota X dan atau sekolah-sekolah di daerah lain terkhusus di lokasi peneliti yaitu SMPN X, tentang bagaimana proses manajemen pengembangan program pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI).
Kedua, memberikan informasi kepada instansi terkait yang dalam hal ini adalah Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama, serta Institusi SMPN X sendiri agar lebih mengembangkan dan mempertahankan program-program unggulan dan sesegera mungkin dapat mengadakan pembenahan jika terdapat kekurangan atau kelemahan yang terjadi dalam kaitannya dengan Proses pengembangan Program Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI).
Ketiga, hasil penelitian ini bisa digunakan bagi peneliti lain untuk mengkaji secara mendalam konsep-konsep teoretik manajemen dalam pengembangan program pembelajaran pendidikan Agama Islam (PAI) yang berkualitas dan lebih luas.

TESIS PENGARUH SUPERVISI AKADEMIK KEPALA SEKOLAH DAN MOTIVASI KERJA GURU TERHADAP KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU SD

TESIS PENGARUH SUPERVISI AKADEMIK KEPALA SEKOLAH DAN MOTIVASI KERJA GURU TERHADAP KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU SD

(KODE : PASCSARJ-0292) : TESIS PENGARUH SUPERVISI AKADEMIK KEPALA SEKOLAH DAN MOTIVASI KERJA GURU TERHADAP KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU SD (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mutu pendidikan bukan ditentukan oleh megahnya bangunan sekolah, akan tetapi oleh bagaimana pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan guru di depan kelas, apakah guru sudah melaksanakan pembelajaran yang bermutu atau belum. Kegiatan pembelajaran yang bermutu sangat dipengaruhi oleh guru dalam penguasaan kompetensi pedagogik. Kompetensi pedagogik yang harus dikuasai guru meliputi (1) pemahaman wawasan atau landasan kependidikan; (2) pemahaman terhadap peserta didik; (3) pengembangan kurikulum atau silabus; (4) perancangan pembelajaran; (5) pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; (6) pemanfaatan teknologi pembelajaran; (7) evaluasi hasil belajar; dan (8) pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
Kompetensi lain yang juga harus dikuasai guru adalah kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional sebagaimana tersebut dalam pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Keempat kompetensi tersebut diperoleh melalui pendidikan profesi.
Pembinaan secara terus menerus dan berkesinambungan perlu diadakan untuk menjadikan guru sebagai tenaga profesional, salah satunya melalui kegiatan supervisi akademik oleh Kepala Sekolah. Supervisi akademik berfungsi untuk membantu guru dalam mengembangkan kemampuannya dalam mengelola proses pembelajaran. Untuk membuat mereka menjadi profesional tidak hanya meningkatkan kompetensinya, melalui penataran, pelatihan maupun memperoleh kesempatan untuk belajar lagi, namun perlu juga memperhatikan guru dari segi lain seperti peningkatan disiplin, pemberian motivasi, pemberian bimbingan melalui supervisi, serta pemberian insentif dan gaji yang layak. Dengan demikian guru menjadi puas dalam bekerja sebagai pendidik.
Kompetensi guru masih menjadi salah satu permasalahan dasar dari para guru di Indonesia. Masih banyak guru terutama di daerah-daerah, yang tidak lulus uji kompetensi dan sertifikasi akibat rendahnya kualitas. Hasil uji kompetensi selama tiga tahun terakhir menunjukkan kualitas guru di Indonesia sangat rendah. Banyak guru yang tidak memahami substansi keilmuan yang dimiliki maupun pola pembelajaran yang tepat untuk diterapkan kepada anak didik. 
Realita yang ada menunjukkan masih banyak guru di Kecamatan X yang dalam melaksanakan tugasnya belum menunjukkan kompetensi pedagogik yang optimal. Indikasinya antara lain dalam penyusunan Rencana Pembelajaran yang masih copy paste, penggunaan metode pembelajaran yang kurang bervariasi serta kurangnya pemanfaatan teknologi pembelajaran. Selain itu, hasil ujian kompetensi guru (UKG) juga masih rendah. 
Penguasaan kompetensi pedagogik guru SD belum sesuai harapan. Hasil UKG yang kurang memuaskan tersebut tidak hanya terjadi pada guru di Kecamatan X, namun juga berlaku umum secara nasional. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengatakan hasil nilai uji kompetensi guru jauh dari standar. Dari penilaian pada tiga hari pelaksanaan UKG, nilai rata-rata bertengger pada angka 44,5. Nilai itu masih di bawah standar yang ditentukan sebesar 70. 
Kompetensi pedagogik guru SD di Kecamatan X yang belum sesuai harapan juga tercermin dari prestasi belajar siswa. Nilai rata-rata dari 10 sekolah adalah 69,7 yang berarti daya serap materi yang dikuasai siswa adalah 69,7%. Kriteria ketuntasan minimal (KKM) tiap-tiap sekolah berbeda sesuai dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang disusun masing-masing sekolah. Jika dikaitkan dengan konsep belajar tuntas nilai rata-rata di atas masih kurang, karena dalam penerapan konsep belajar tuntas, peserta didik menguasai sekurang-kurangnya 75% dari kompetensi yang ditetapkan.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi capaian nilai siswa SD di Kecamatan X, salah satunya adalah guru. Guru mempunyai andil yang sangat penting dalam mengelola proses pembelajaran. Capaian nilai yang belum sesuai harapan dapat menjadi cermin bahwa kompetensi pedagogik guru SD di Kecamatan X belum optimal dan perlu ditingkatkan.
Kompetensi pedagogik guru di Kecamatan X yang belum optimal dapat dipengaruhi oleh pelaksanaan supervisi yang kurang intensif dari Kepala Sekolah. Sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 tahun 2007 tanggal 17 April 2007 tentang Standar Kepala Sekolah, salah satu dimensi kompetensi yang hams dimiliki seorang Kepala Sekolah adalah kompetensi supervisi. Supervisi tersebut mengarah pada perencanaan dan pelaksanaan supervisi akademik dalam rangka peningkatan profesionalisme guru. Supervisi yang diberikan oleh Kepala Sekolah melalui pelaksanaan pembinaan dan bimbingan kepada guru dapat berdampak positif terhadap kompetensi pedagogik guru.
Permasalahan yang ada menyangkut supervisi akademik oleh Kepala Sekolah antara lain adalah pelaksanaan supervisi akademik yang kurang intensif. Hasil wawancara informal dengan beberapa orang kepala SD di Kecamatan X menunjukkan bahwa 8 orang kepala SD di Kecamatan X yang diwawancarai oleh peneliti secara informal menyatakan melakukan supervisi akademik pada kegiatan belajar mengajar antara 1 s/d 3 kali tiap semester. Data tersebut memang bukan data keseluruhan Kepala Sekolah di Kecamatan X, namun setidaknya dapat menjadi cermin bahwa frekuensi supervisi akademik masih rendah, karena idealnya supervisi akademik dilakukan 1 kali tiap semester untuk tiap kelas. Jadi, apabila dalam satu sekolah terdapat 6 kelas, maka idealnya supervisi akademik dilakukan 6 kali tiap semester. Rendahnya pelaksanaan supervisi akademik khususnya disebabkan oleh banyaknya tugas-tugas yang diemban Kepala Sekolah sehingga sulit meluangkan waktu untuk melakukan supervisi akademik secara intensif. Kondisi demikian jika terus berlanjut kurang memberikan iklim yang kondusif terhadap peningkatan kompetensi pedagogik para guru.
Faktor lain yang dapat pula mempengaruhi kompetensi pedagogik guru di Kecamatan X adalah motivasi kerja guru. Hal tersebut disebabkan motivasi merupakan landasan dan energi penggerak bagi seseorang dalam melakukan berbagai macam aktivitas, termasuk di dalamnya upaya guru untuk mewujudkan atau mencapai kompetensi pedagogik yang memadai. Menurut Gerungan (2002 : 141) semua pekerjaan selain membutuhkan kecakapan-kecakapan pribadi, juga membutuhkan adanya motivasi yang cukup kuat pada pribadi tersebut untuk melaksanakan pekerjaan itu dengan berhasil. Tanpa motivasi orang tidak akan berbuat apa-apa, tidak akan bergerak. Pekerjaan kerapkali dapat diselesaikan oleh orang yang bermotivasi kuat dan kecakapan sedang-sedang saja, sedangkan orang dengan kecakapan tinggi tanpa motivasi yang cukup kuat tak akan menyelesaikan pekerjaan tersebut.
Menurut Syah (2008 : 63) motivasi merupakan pemasok daya untuk bertingkah laku secara terarah. Jadi apabila, seorang guru mempunyai motivasi kerja yang baik atau tinggi, maka ia akan bemsaha dengan sungguh-sungguh untuk dapat mewujudkan kompetensi pedagogik. Terlebih lagi, kompetensi pedagogik merupakan salah satu kompetensi yang hams dipenuhi untuk dapat menjadi seorang guru yang profesional.
Permasalahan menyangkut motivasi yang peneliti jumpai dari observasi di lapangan adalah masih adanya sebagian guru yang kurang memiliki motivasi yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya. Hal itu diindikasikan dari kurangnya kedisiplinan. Hasil pengamatan menunjukkan ada sebagian guru yang datang terlambat (datang di atas jam pukul 07.00 WIB), pulang dari tempat kerja sebelum pukul 14.00 WIB, sehingga secara keseluruhan jam kerja masih di bawah ketentuan menurut PP No. 53 Tahun 2010 yang menentukan jam kerja sebanyak 37,5 jam per minggu. guru juga cenderung melaksanakan tugas mengajar sebagai sebuah rutinitas dan tidak berorientasi pada upaya mewujudkan proses pembelajaran yang bermutu tinggi. Atas dasar uraian tersebut di atas, peneliti melakukan penelitian tentang PENGARUH SUPERVISI AKADEMIK DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU SD DI KECAMATAN X.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang, dapat diidentifikasikan beberapa masalah yang terkait dengan penelitian ini, yaitu sebagai berikut : 
a. Masih banyak guru di Kecamatan X yang dalam melaksanakan tugasnya belum menunjukkan kompetensi pedagogik yang optimal, yang dibuktikan dengan rendahnya hasil uji kompetensi guru.
b. Supervisi akademik oleh Kepala Sekolah belum sepenuhnya dilakukan secara optimal akibat banyaknya tugas Kepala Sekolah. Frekuensi supervisi hanya berkisar 1 s/d 3 kali tiap semester.
c. guru kurang menunjukkan motivasi yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya, misalnya cenderung melaksanakan tugas mengajar sebagai sebuah rutinitas, kurang inovatif dan termotivasi untuk mewujudkan proses pembelajaran yang berkualitas.
2. Pembatasan Masalah
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kompetensi pedagogik guru SD di Kecamatan X, sehingga perlu dibuat pembatasan masalah agar kajian penelitian dapat lebih fokus dan sistematis. Penelitian ini dibatasi pada variabel supervisi akademik dan motivasi kerja guru. Kedua variabel tersebut akan dikaji pengaruhnya terhadap kompetensi pedagogik, baik secara parsial maupun simultan.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 
1. Apakah supervisi akademik berpengaruh terhadap kompetensi pedagogik guru SD di Kecamatan X ?
2. Apakah motivasi kerja berpengaruh terhadap kompetensi pedagogik guru ?
3. Apakah supervisi akademik dan motivasi kerja secara bersama-sama berpengaruh terhadap kompetensi pedagogik guru SD ?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk : 
1. mengetahui pengaruh supervisi akademik terhadap kompetensi pedagogik guru SD di Kecamatan X;
2. mengetahui pengaruh motivasi kerja terhadap kompetensi pedagogik guru SD;
3. mengetahui pengaruh supervisi akademik dan motivasi kerja secara bersama-sama terhadap kompetensi pedagogik guru.

E. Manfaat Penelitian

1. Secara teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan kajian teoritis tentang pengaruh supervisi akademik dan motivasi kerja terhadap kompetensi pedagogik guru SD dan menjadi bahan referensi bagi penelitian selanjutnya.
2. Secara Praktis
a) Bagi UPT Dinas Pendidikan Kecamatan X, dapat digunakan sebagai acuan dalam mengambil langkah kebijakan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di wilayah kerjanya.
b) Bagi Kepala Sekolah, dapat digunakan sebagai masukan tentang pentingnya pelaksanaan supervisi akademik di kelas untuk menentukan langkah apa yang harus ditempuh setelah ada temuan dari hasil supervisi.
c) Bagi guru, dapat digunakan sebagai informasi mengenai pentingnya motivasi kerja sehingga mendorong guru untuk termotivasi dalam peningkatan kompetensinya, khususnya kompetensi pedagogik.