Search This Blog

Showing posts with label skripsi pgtk. Show all posts
Showing posts with label skripsi pgtk. Show all posts
SKRIPSI KORELASI PENGARUH TAYANGAN TELEVISI TERHADAP PERKEMBANGAN PERILAKU NEGATIF ANAK USIA DINI

SKRIPSI KORELASI PENGARUH TAYANGAN TELEVISI TERHADAP PERKEMBANGAN PERILAKU NEGATIF ANAK USIA DINI

(KODE : PG-PAUD-0067) : SKRIPSI KORELASI PENGARUH TAYANGAN TELEVISI TERHADAP PERKEMBANGAN PERILAKU NEGATIF ANAK USIA DINI



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Era globalisasi informasi sekarang ini, Indonesia diramaikan oleh hadirnya beberapa televisi swasta seperti AN-TV, INDOSIAR, TRANSTV, MNC TV, Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), Surya Citra Televisi (SCTV), TV-Global, TV ONE, TRANS7, Metro-TV, Televisi Republik Indonesia (TVRI) yang sudah lebih lama beroperasi, sedangkan untuk X (Jawa Tengah) masih ada TV swasta yaitu Borobudur-TV dan Pro-TV. Apabila sampai akhir dekade 80-an masyarakat dihadapkan pada suatu pilihan mau tidak mau, suka tidak suka hanya TVRI, saat ini masyarakat lebih leluasa memindah saluran yang satu ke saluran yang lain sesuai dengan acara yang dinikmati. Semua televisi swasta tersebut berusaha menarik perhatian pemirsa sebanyak-banyaknya dan dapat menempati porsi tertinggi. Hal ini berarti masuknya dana meliputi iklan yang menopang dari televisi tersebut. Dalam situasi demikian sudah tentu televisi harus menyiarkan hal-hal atau film-film import, meskipun porsinya mulai dikurangi, tetapi tidak mungkin atau belum berhasil seluruhnya.
Kekhawatiran muncul karena diduga akan menjadi muntahan acara dari luar negeri tersebut, sebab isinya tidak sesuai dengan budaya, kepribadian bahkan falsafat bangsa Indonesia. Hal itu tidak sepenuhnya benar dan tidak semua keliru, karena pada kenyataannya masyarakat tidak bisa menolak masuknya segala hal yang "berbau" asing. Bahkan tidak hanya dalam bidang komunikasi, tetapi dalam hal mode busana, rambut dan makanan alternatif sama dengan yang ada di luar negeri.
Dengan banyaknya stasiun televisi yang ada di Indonesia (bandingkan dengan jaman dahulu) dengan berbagai macam acara yang lebih mengutamakan hiburan (kecuali TVRI), tentu membawa konsekuensi semakin berat bagi pemirsa, khususnya orang yang sudah tua harus mulai mengarahkan anak-anaknya dalam memanfaatkan hasil teknologi tersebut. Kondisi ini menantang para orang tua untuk lebih selektif dan berkompromi dengan anak-anaknya untuk menyaksikan tayangan yang patut dinikmati dan acara yang seharusnya tidak dilihat oleh anak. Apalagi usia anak-anak merupakan usia yang strategis dan lebih mudah terkena pengaruh, baik dari lingkungan dengan kontak langsung maupun media elektronik.
Penelitian pada film untuk anak-anak yang dilakukan oleh Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) bekerjasama dengan Balitbang Deppen tahun 1993 menunjukkan bahwa adegan antisosial (52%) lebih banyak dari pada adegan prososial (48%). Adegan prososial menurut Wispe adalah beberapa perilaku yang memiliki konsekuensi sosial positif sedangkan menurut Mussen dan Einsenberg perilaku prososial sebagai tindakan yang ditujukan untuk memberi bantuan atau kebaikan pada orang lain atau kelompok orang tanpa mengharapkan balasan, dengan cara-cara yang cenderung mentaati norma sosial, Contoh adegan prososial adalah mementingkan orang lain, mengalah dengan alasan yang masuk akal dan tanpa paksaan, aktivitas menolong, pemakaian bersama (share), kehangatan yang menggambarkan keakraban hubungan persahabatan atau persaudaraan termasuk romantisme dalam bekerjasama, simpati yang merupakan ungkapan perasaan dan perbuatan tertentu dari seorang kepada orang lain seperti yang dialami oleh orang tersebut, misalnya; turut sedih, turut bergembira, dan lain-lain. Sedangkan kategori adegan antisosial meliputi; berkata dan bertindak kasar, membunuh, berkelahi, pemaksaan, mencuri, berperang, memukul, melukai, mengganggu, menyerang, dan sejenisnya, seperti ungkapan kebencian atau mengejek (B. Gunarto, 1995 : 24).
Tayangan televisi berpengaruh negatif terhadap perkembangan perilaku anak tergantung dari penyesuaian anak, (Hurlock, 1978 : 344), "Anak yang penyesuaiannya baik kurang kemungkinannya terpengaruh secara negatif, apakah permanen atau temporer dibandingkan dengan anak yang buruk penyesuaiannya, dan anak yang sehat dibanding anak yang tidak sehat."
Kuatnya pengaruh tontonan televisi terhadap prilaku seseorang telah dibuktikan dengan penelitian ilmiah. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh American Psychological Association (APA) pada 1995, yang mengatakan bahwa tayangan yang bermutu akan mempengaruhi seseorang untuk berperilaku baik. Sedangkan tayangan kurang bermutu akan mendorong seseorang untuk berperilaku buruk, bahkan penelitian ini juga menyimpulkan bahwa hampir semua perilaku buruk yang dilakukan orang adalah hasil dari pelajaran yang mereka dapat dari media semenjak usia anak-anak. Pengaruh sinetron dapat kita saksikan setiap hari, diantaranya banyak anak-anak yang menirukan ucapan-ucapan nakal dari tokoh film animasi 'Shinchan' yang kasar dan jorok. Belum lagi beberapa contoh prilaku negatif lain seperti pergaulan bebas, merampok, memperkosa, bertengkar, dan lain-lain yang dilakukan remaja karena pengaruh tayangan televisi.
Dalam sebuah buku yang berjudul Sex Violence and The Media diungkapkan bahwa membaca dan melihat tayangan televisi yang berbau seks dan kekerasan dapat berpengaruh kepada perilaku seseorang. Media, televisi, majalah porno, dan juga iklan yang makin hari makin bebas menonjolkan seks dan kekerasan, sangat berpengaruh terhadap penyimpangan seks dan kekerasan di masyarakat, meningkatnya kejahatan, pemerkosaan dan lainnya. Yang paling menarik, dalam buku itu, juga memberikan kesimpulan bahwa mass media sebenarnya berpengaruh terhadap perilaku, penampilan, dan situasi mental para pemirsa dan pembacanya.
Pengaruh yang diingat seseorang melalui membaca ternyata hanya sekitar 15% saja, namun pengaruh terlihat semakin meningkat kalau disertai suara bahkan adegan visual yang ternyata berpengaruh 50% bagi yang menontonnya. Karena itulah televisi sangat besar pengaruhnya dalam mengubah perilaku penontonnya. Imitasi adalah tingkat pertama pengaruh yang kelihatan jelas, dimana pemirsa melihat secara berulang-ulang perilaku tokoh idolanya dan cenderung meniru perilaku tersebut. Ini bisa dimaklumi karena salah satu perkembangan perilaku seseorang dihasilkan dari contoh mereka yang lebih dewasa, orang tua, keluarga, guru, bahkan orang lain yang menjadi idola.
Berdasarkan kajian yang telah dikemukakan diatas, dapat ditarik kesimpulan, bahwa peran serta tayangan televisi sangat besar dalam perkembangan anak, terkhusus lagi terhadap pola pikir, sikap dan perilaku anak di sekolah. Dikhususkan pada anak usia 2-7 tahun (menurut konsep kognisi Piaget) dimana anak mengalami perkembangan pesat dalam bahasa, dan hanya bisa menyimpulkan sesuatu berdasarkan apa yang mereka lihat. Apabila anak pada usia ini selalu mendapatkan teman yang berupa tayangan televisi, maka hal tersebut akan sangat mempengaruhi perkembangan sikap dan perilaku anak tersebut. Mereka sedikit banyak akan meniru apa yang mereka lihat dari tayangan televisi tersebut. 
Menurut APA, berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, banyak bukti menunjukan bahwa tayangan televisi khususnya tayangan kekerasan dapat menyebabkan perilaku agresif, desensitisasi terhadap kekerasan, mimpi buruk, dan takut dirugikan. Menonton tayangan kekerasan juga dapat menyebabkan penontonnya kurang memiliki empati terhadap orang lain. Maka dari itu, apabila anak- anak terlalu sering didampingi oleh tayangan televisi, akan ada kemungkinan nantinya anak tersebut tidak sengaja menonton tayangan kekerasan tersebut. Disinilah diperlukan peran serta orang tua dan guru, yang mana sebelumnya sudah dikatakan bahwa guru dan orang tua merupakan pembimbing si anak dalam memanfaatkan tayangan yang ada di televisi tersebut.
Dikutip dari artikel Ningsih (2009), dibawah ini dicantumkan data mengenai fakta tentang pertelevisian Indonesia : 
1. Tahun 2002 jam tonton televisi anak-anak 30-35 jam/hari atau 1.560-1.820 jam/tahun, sedangkan jam belajar SD umumnya kurang dari 1.000 jam/tahun.
2. 85% acara televisi tidak aman untuk anak, karena banyak mengandung adegan kekerasan, seks dan mistis yang berlebihan dan terbuka.
3. saat ini ada 800 judul acara anak, dengan 300 kali tayang selama 170 jam/minggu padahal satu minggu hanya ada 24 jam X 7 hari = 168 jam.
4. 40% waktu tayang diisi iklan yang jumlahnya 1.200 iklan/minggu, jauh diatas rata-rata dunia 561 iklan/minggu.
Anak-anak dan televisi merupakan dua hal yang agak sulit untuk pisahkan, menurut Cooney (dikutip dalam Yonathan, 2010), anak-anak dan televisi adalah suatu perpaduan yang sangat kuat yang diketahui orangtua, pendidik, dan pemasang iklan. Televisi juga merupakan suatu alat yang melebihi budaya dalam mempengaruhi cara berpikir dan perilaku anak. Televisi dapat membantu anak mengetahui hak-hak dan kewajiban anak sebagai warga negara yang baik dan bisa membangkitkan semangat anak untuk melibatkan diri dalam perbaikan lingkungan masyarakat, yang disertai oleh panduan orang tua (Chen, 1996). Singkat kata, sedikit banyak tayangan televisi dapat mempengaruhi cara pikir serta sikap dan perilaku anak.
Berdasarkan konsep di atas dapat disimpulkan bahwa tayangan televisi dapat berpengaruh terhadap perkembangan perilaku anak. Untuk itu peneliti ingin melakukan penelitian dengan judul : KORELASI PENGARUH TAYANGAN TELEVISI TERHADAP PERKEMBANGAN PERILAKU NEGATIF ANAK USIA DINI PADA KELOMPOK B TAMAN KANAK-KANAK X.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan alasan pemilihan judul di atas dapat dirumuskan permasalahan yang menjadi pokok dalam penelitian ini yaitu : 
1) Apakah ada hubungan antara pengaruh tayangan televisi variabel sinetron dengan perkembangan perilaku negatif anak kelompok B TK X ?
2) Apakah ada hubungan antara pengaruh tayangan televisi variabel film kartun dengan perkembangan perilaku negatif anak kelompok B TK X ?
3) Apakah ada hubungan antara pengaruh tayangan televisi variabel hiburan musik dengan perkembangan perilaku negatif anak kelompok B TK X ?
4) Seberapa besar hubungan antara pengaruh tayangan televisi variabel sinetron dengan perkembangan perilaku negatif anak kelompok B Taman Kanak-kanak X ?
5) Seberapa besar hubungan antara pengaruh tayangan televisi variabel film kartun dengan perkembangan perilaku negatif anak kelompok B Taman Kanak-kanak X ?
6) Seberapa besar hubungan antara pengaruh tayangan televisi variabel hiburan musik dengan perkembangan perilaku negatif anak kelompok B Taman Kanak-kanak X ?

C. Tujuan Penelitian
Setiap kita melakukan kegiatan baik secara perorangan maupun secara kelompok, hal yang bisa dipastikan adalah pencapaian tujuan dari kegiatan itu, demikian pula dengan penelitian ini.
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 
(1) Untuk mengetahui hubungan antara pengaruh tayangan televisi variable sinetron dengan perkembangan perilaku negatif anak kelompok B TK X.
(2) Untuk mengetahui hubungan antara pengaruh tayangan televisi variabel film kartun dengan perkembangan perilaku negatif anak kelompok B TK X.
(3) Untuk mengetahui hubungan antara pengaruh tayangan televisi variabel hiburan musik dengan perkembangan perilaku negatif anak kelompok B TK X.
(4) Untuk mengetahui berapa besar hubungan antara tayangan televisi variabel sinetron dengan perkembangan perilaku negatif anak kelompok B Taman Kanak-kanak X.
(5) Untuk mengetahui berapa besar hubungan antara tayangan televisi variabel film kartun dengan perkembangan perilaku negatif anak kelompok B Taman X.
(6) Untuk mengetahui berapa besar hubungan antara tayangan televisi variabel hiburan musik dengan perkembangan perilaku negatif anak kelompok B Taman Kanak-kanak X.

D. Manfaat Penelitian
Selain tujuan yang ingin dicapai, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis. 
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi khasanah ilmu, terutama bagi jurusan Pendidikan Anak Usia Dini dalam memberikan gambaran jelas tentang pengaruh atau intervensi tayangan televisi terhadap perkembangan perilaku anak. Serta dapat memberikan informasi dan masukan pada teori yang telah ada, terutama berkaitan dengan pengaruh tayangan televisi dengan perkembangan perilaku negatif anak.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini dibagi menjadi 4, yakni untuk : 
(a) Guru
Guru sebagai seorang pendidik seyogyanya mampu memberikan arahan agar siswanya lebih banyak belajar dari pada nonton TV, dengan lebih banyak memberi berbagai tugas belajar di rumah.
(b) Orang tua
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada orang tua berkaitan dengan tayangan televisi, dan bila memungkinkan agar orang tua berkenan untuk selalu mendampingi anaknya dalam menyaksikan acara atau tayangan televisi.
(c) Peneliti
Sebagai aplikasi antara teori yang diperoleh dari bangku kuliah dengan pengalaman kongkrit di lapangan, dengan demikian penelitian akan memperoleh fakta kesesuaian atau ketidaksesuaian antara teori dan praktek. 

SKRIPSI INTEGRASI NILAI-NILAI KEWIRAUSAHAAN DALAM PRAKTIK PEMBELAJARAN DI TK

SKRIPSI INTEGRASI NILAI-NILAI KEWIRAUSAHAAN DALAM PRAKTIK PEMBELAJARAN DI TK

(KODE : PG-PAUD-0066) : SKRIPSI INTEGRASI NILAI-NILAI KEWIRAUSAHAAN DALAM PRAKTIK PEMBELAJARAN DI TK



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3, menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman, bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Fungsi dan tujuan diatas menunjukkan bahwa pendidikan di setiap satuan pendidikan harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. (dalam http://www.puskur.net). Yang menjadi permasalahan adalah apakah pendidikan di masing-masing satuan pendidikan telah diselenggarakan dengan baik, dan mencapai hasil yang diharapkan. Untuk melihat mutu penyelenggaraan pendidikan dapat dilihat dari beberapa indikator.
Beberapa indikator mutu hasil pendidikan yang selama ini digunakan cenderung bernuansa kuantitatif, mudah pengukurannya dan bersifat universal. Di samping kuantitatif, indikator mutu hasil pendidikan lainnya yang sangat penting untuk dicapai adalah indikator kualitatif yang meliputi : beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Indikator kualitatif tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik dan berkaitan dengan pembentukan sikap serta keterampilan/skill berwirausaha peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun, memiliki sikap dan keterampilan/skill berwirausaha.
Salah satu langkah yang dapat diambil guna tercapainya tujuan pendidikan nasional, terutama yang mengarah pada pembentukan karakter yang terkait dengan pembentukan sikap dan perilaku wirausaha peserta didik adalah dengan memberikan pendidikan karakter bangsa termasuk karakter kewirausahaan di lembaga-lembaga pendidikan termasuk di Taman Kanak-kanak. Pendidikan karakter bangsa termasuk karakter kewirausahaan dirasa sangat pen ting diberikan kepada peserta didik untuk membangun manusia yang berjiwa kreatif, inovatif, sportif dan wirausaha.
Dahulu ada pendapat bahwa kewirausahaan merupakan bakat bawaan sejak lahir, sehingga kewirausahaan dipandang bukan hal yang penting untuk dipelajari dan diajarkan. Namun dalam perkembangannya nyata bahwa kewirausahaan ternyata bukan hanya bawaan sejak lahir, atau bersifat praktik lapangan saja. Kewirausahaan merupakan disiplin ilmu yang perlu dipelajari. Kemampuan seseorang dalam berwirausaha dapat dimatangkan melalui proses pendidikan. Seseorang yang menjadi wirausahawan adalah mereka yang mengenal potensi dirinya dan belajar mengembangkan potensinya untuk menangkap peluang serta mengorganisir usahanya dalam mewujudkan cita-citanya. (dalam http://blog.uny.ac.id).
Meskipun pendidikan kewirausahaan sangat penting diberikan pada anak sejak dini, namun kenyataannya pendidikan kewirausahaan belum banyak diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan anak usia dini. Hal ini dapat disebabkan karena minimnya pengetahuan para pendidik tentang kewirausahaan dan juga kurangnya kreatifitas dalam memberikan pembelajaran pada anak didik. Memberikan pendidikan kewirausahaan pada anak sebenarnya bukan merupakan pekerjaan yang sulit.
Menumbuhkan sifat kewirausahaan pada anak memerlukan latihan yang bertahap namun bukan merupakan sesuatu yang rumit. Menumbuhkan sifat kewirausahaan pada anak bisa dimulai dari bentuk sederhana yang merupakan bagian dari keseharian anak. Misalnya membiasakan anak untuk makan di meja makan, kemudian melatih anak untuk selalu membereskan mainan setelah selesai bermain dan meletakkan mainan pada tempatnya. Tahap selanjutnya adalah mengajarkan anak untuk mengelola uang dengan baik. Setelah anak mampu mengelola uang dengan baik tahap selanjutnya kita bisa mengajarkan anak untuk melakukan bisnis kecil-kecilan.
Di lembaga pendidikan nilai-nilai kewirausahaan dapat diintegrasikan melalui berbagai mata pelajaran (dalam www.puskur.net). Adapun di Taman Kanak-kanak tidak ada istilah mata pelajaran, namun nilai-nilai kewirausahaan dapat diintegrasikan melalui berbagai bidang pengembangan yang ada di Taman Kanak-kanak, yaitu : moral dam nilai-nilai agama, sosial, emosional dan kemandirian, berbahasa, kognitif, fisik/motorik dan seni. Pembelajaran dilaksanakan melalui beberapa kegiatan yang menarik, aman, nyaman dan menyenangkan bagi anak, sehingga dapat mengembangkan kecakapan dan keterampilan dalam diri anak.
Bertolak dari uraian di atas, peneliti memilih judul : INTEGRASI NILAI-NILAI KEWIRAUSAHAAN DALAM PRAKTIK PEMBELAJARAN DI TK X dengan alasan : (1) Nilai-nilai kewirausahaan perlu diintegrasikan ke dalam pembelajaran di TK X; (2) Nilai-nilai kewirausahaan dapat diintegrasikan melalui berbagai bidang pengembangan yang ada di Taman Kanak-kanak, yaitu : moral dan nilai-nilai agama, sosial, emosional dan kemandirian, berbahasa, kognitif, fisik/motorik, dan seni; (3) Dengan mengintegrasikan nilai-nilai kewirausahaan dalam praktik pembelajaran diharapkan dapat membentuk karakter kewirausahaan pada anak didik sejak dini.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimana integrasi nilai-nilai kewirausahaan dalam praktik pembelajaran di TK X ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : Untuk mengetahui sejauh mana integrasi nilai-nilai kewirausahaan dalam praktik pembelajaran di TK X.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kontribusi secara praktis dan teoritis.
1) Manfaat praktis : 
a. Bagi siswa : 
Dengan mengintegrasikan nilai-nilai kewirausahaan dalam praktik pembelajaran diharapkan dapat membentuk karakter kewirausahaan sejak dini pada siswa.
b. Bagi guru : 
Membantu para pendidik PAUD untuk menemukan pembelajaran yang sesuai untuk menanamkan nilai-nilai kewirausahaan pada anak, serta memberikan motivasi kepada pendidik PAUD untuk dapat memberikan pembelajaran yang terintegrasi nilai-nilai kewirausahaan.
2) Manfaat teoritis : 
a. Memberikan pengetahuan bagi pendidik PAUD atau peneliti lain tentang praktik pembelajaran yang sesuai untuk mengintegrasikan nilai-nilai kewirausahaan.
b. Hasil penelitian dapat dipergunakan untuk bahan referensi penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan hal yang sama.

SKRIPSI IDENTIFIKASI KEBUTUHAN PENGEMBANGAN KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU

SKRIPSI IDENTIFIKASI KEBUTUHAN PENGEMBANGAN KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU

(KODE : PG-PAUD-0065) : SKRIPSI IDENTIFIKASI KEBUTUHAN PENGEMBANGAN KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan hal terpenting bagi kehidupan manusia. Pendidikan adalah suatu hal yang sangat diprioritaskan, karena pendidikan merupakan kewajiban yang berlangsung sepanjang hayat, selama seseorang masih hidup dan berakal sehat. Oleh karena itu dengan adanya pendidikan dapat menghasilkan manusia yang memiliki kemampuan berpikir logis, bersikap kritis, berinisiatif, unggul, dan kompetitif selain menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan dasar. Pendidikan bisa memberikan peluang yang besar bagi manusia untuk berkembang menjadi diri yang lebih baik lagi.
Masa kanak-kanak merupakan fase yang paling subur dalam menanamkan kreativitas yang mapan dan arahan yang bersih dalam jiwa dan sepak terjang anak. Potensi anak sudah tersedia dalam diri anak yang masih lugu dan polos yang belum terkontaminasi dengan lingkungan luar. Pada masa ini orang tua dapat memaksimalkan pendidikan anak dengan sebaik-baiknya, harapan besarnya untuk keberhasilan anak di masa mendatang. Menurut Nugraha (2006 : 62) anak akan berkembang menjadi remaja dan menjadi dewasa yang tahan dalam menghadapi berbagai macam tantangan. Seiring berjalannya waktu, pendidikan senantiasa mengalami dinamika yang membawa perubahan yang sangat signifikan, dengan berkembangnya pendidikan yang sangat luas maka perilaku anak juga harus diimbangi dengan sosial emosi yang baik, selain itu agama juga yang harus ditanamkan pada diri anak. Sehingga anak akan mempunyai pedoman untuk melangkah.
Dalam memudahkan pendidikan anak, maka diperlukan guru yang mempunyai kompetensi yang baik. Sosok guru yang ideal adalah guru yang mempunyai empat kompetensi dasar, kompetensi ini merupakan kompetensi yang paling utama bagi guru. Empat kompetensi yang paling dasar dan utama yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi pribadi, dan kompetensi sosial. Kompetensi sangat diperlukan untuk melaksanakan fungsi profesi. "Teacher Is The Heart Of Quality Education." Ungkapan ini mengisyaratkan bahwa guru merupakan salah satu indikator yang menentukan kualitas pendidikan. Bagus tidaknya kualitas pendidikan akan terlihat dari kinerja dan kompetensi guru sebagai pendidik yang melaksanakan proses pembelajaran.
Kompetensi pedagogik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari empat kompetensi utama yang harus dimiliki seorang guru. Kompetensi pedagogik yaitu kemampuan seorang guru dalam mengelola proses pembelajaran peserta didik. Selain itu kemampuan pedagogik juga ditunjukkan dalam membantu, membimbing dan memimpin peserta didik. Kompetensi pedagogik ini sangat penting yang berkenaan dengan pembelajaran. Menurut Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 : 62 kompetensi pedagogik guru terdiri atas 37 buah kompetensi yang dirangkum dalam 10 kompetensi inti seperti disajikan berikut ini; kemampuan menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual; menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik; mengembangkan kurikulum yang terkait dengan bidang pengembangan yang diampu; menyelenggarakan kegiatan pengembangan yang mendidik; memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang mendidik; memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki; berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik; menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar; memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran; serta melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran.
Kemampuan pedagogik menurut Suparno (2002 : 52) disebut juga kemampuan dalam pembelajaran atau pendidikan yang memuat pemahaman akan sifat, ciri anak didik dan perkembangannya, mengerti beberapa konsep pendidikan yang berguna untuk membantu siswa, menguasai beberapa metodologi mengajar yang sesuai dengan bahan dan perkembangan siswa, serta menguasai sistem evaluasi yang tepat dan baik yang pada gilirannya semakin meningkatkan kemampuan siswa. Dengan mengerti hal-hal itu guru akan mudah mengerti kesulitan dan kemudahan anak didik dalam belajar dan mengembangkan diri dan guru akan lebih mudah membantu anak didik untuk berkembang.
Untuk itu, guru perlu menguasai beberapa teori tentang pendidikan terlebih pendidikan di jaman modern ini. Oleh karena sistem pendidikan di Indonesia lebih dikembangkan ke arah pendidikan yang demokratis, maka teori dan filsafat pendidikan yang lebih bersifat demokratis perlu didalami dan dikuasai. Dengan mengerti bermacam-macam teori pendidikan, diharapkan guru dapat memilih mana yang paling baik untuk membantu perkembangan anak didik. Karena guru berperan untuk memberikan gambaran serta contoh yang nyata supaya para peserta didik tidak berfikir secara angan-angan yang ada di pikiran mereka saja, dan harapannya para peserta didik dapat memahami apa yang disampaikan oleh guru.
Guru dalam proses belajar mengajar merupakan faktor kesuksesan setiap usaha pendidikan, karena guru merupakan komponen yang paling terpenting. Guru mempunyai peranan dalam memberikan motivasi kepada siswa, karena motivasi berperan sangat penting dalam kegiatan utamanya dalam proses belajar. Guru merupakan sosok yang dapat digugu dan ditiru, dalam arti orang yang memiliki karisma atau wibawa hingga perlu untuk ditiru dan diteladani. Menurut Uno (2010 : 17) seseorang yang ingin menjadi guru yang baik maka sudah seharusnya dapat selalu meningkatkan wawasan pengetahuan akademis dan praktik melalui jalur berjenjang atau pelatihan yang bersifat in service training dengan rekan-rekan sejawatnya. Peran guru sangat dominan, dimana guru merupakan pengelola ruang, waktu, serta alat dan media pembelajaran sesuai dengan cara yang dikehendakinya.
Peran guru juga tidak bisa tergantikan dengan siapa pun atau apa pun, sekalipun dengan teknologi canggih. Keberhasilan ataupun kualitas faktor pendidikan tidaklah bisa terlepas dari peran guru. Menurut Hoyyima, 2010 : 58 peran guru yang berkualitas sangatlah dominan bagi terwujudnya pendidikan di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, faktor pendidikan tidak bisa dipandang sebelah mata dalam upaya meningkatkan perwujudan kesejahteraan dalam masyarakat di suatu daerah. Setiap anak mengharapkan guru mereka dapat menjadi contoh atau model baginya. Oleh karena itu tingkah laku pendidik baik guru, orang tua atau tokoh-tokoh masyarakat harus sesuai dengan norma-norma yang dianut oleh masyarakat, bangsa dan negara. Karena nilai-nilai dasar negara dan bangsa Indonesia adalah Pancasila, maka tingkah laku pendidik harus selalu diresapi oleh nilai-nilai Pancasila.
Menurut Uno (2010 : 22) guru dituntut untuk berperan aktif dalam merencanakan suatu pembelajaran dengan memerhatikan berbagai kompetensi dalam sistem pembelajaran yang meliputi; membuat dan merumuskan teknologi informasi dan teknologi; menyiapkan materi yang relevan dengan tujuan; merancang metode yang disesuaikan dengan siswa; menyediakan sumber belajar, media, dalam hal ini guru sebagai mediator. Jadi bisa disimpulkan bahwa guru diharapkan bisa merancang dan mempersiapkan semua komponen agar berjalan dengan efektif dan efisien.
Mutu pendidikan guru juga mempengaruhi dan menentukan mutu pendidikan. Peningkatan mutu pendidikan merupakan fokus perubahan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2009 Pasal 29 menyatakan bahwa pendidik pada Pendidikan Anak Usia Dini memiliki : (a) kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau Sarjana S1. (b) latar belakang pendidikan tinggi pendidikan anak usia dini, kependidikan lain, pendidikan Psikologi dan (c) sertifikasi pendidikan PAUD.
Menurut Hoyyima (2010 : 36) dalam melaksanakan tanggung jawab tersebut guru (pendidik) dan tenaga kependidikan mempunyai peranan menentukan dalam mencapai tujuan yang ditetapkan. Untuk itu kualitas pendidik dan tenaga kependidikan perlu terus ditingkatkan. Kompetensi guru tersebut perlu terus dikembangkan secara terprogram, berkelanjutan melalui suatu sistem pembinaan yang dapat meningkatkan kualitas profesional guru. Dalam pengertian yang lebih substantif kompetensi merupakan gambaran hakikat perilaku seseorang.
Identifikasi kebutuhan pengembangan guru saat ini sudah banyak mendapat perhatian, baik oleh para ahli pendidik maupun oleh para administrator pendidikan dalam berbagai tingkat wewenang dan tanggung jawab dalam sektor pendidikan. Perhatian itu wajar diberikan mengingat pentingnya peranan lembaga pendidikan guru, baik pre-service maupun in-service, dalam rangka mempersiapkan dan menyediakan calon-calon guru. Pemerintah juga memandang bahwa guru merupakan media yang sangat penting artinya dalam kerangka dan pengembangan bangsa. Oleh karena itu, pengembangan diri harus selalu dikembangkan untuk meningkatkan kualitas diri dalam mendidik putra-putri bangsa yang akan menjadi pemimpin negeri.
Guru memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan kuantitas dan kualitas pengajaran sehingga pada akhirnya guru berperan dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional. Guru berperan sebagai pengelola proses belajar mengajar, bertindak selaku fasilitator yang berusaha menciptakan proses belajar mengajar yang efektif, mengembangkan bahan pelajaran dengan baik dan meningkatkan kemampuan peserta didik untuk menyimak pelajaran dan menguasai tujuan-tujuan pendidikan yang harus mereka capai.
Namun, kenyataan di lapangan kompetensi pedagogik guru sering tidak dipahami dan dimengerti oleh sebagian guru, tidak sedikit guru yang hanya mengajar saja tanpa mau tahu apa itu kompetensi dasar yang harus dimiliki. Sehingga guru tidak maksimal dalam pengorganisasian kelas, pengelolaan kelas, penggunaan metode belajar mengajar, penggunaan teori-teori pembelajaran, strategi belajar mengajar, maupun sikap dan karakteristik guru dalam mengelola proses belajar mengajar. Selain itu, kenyataan yang ada pada saat ini banyak guru yang belum memenuhi kualifikasi dan banyak para guru yang tidak mendapatkan pendidikan, pendampingan serta pelatihan tentang bagaimana teknik kompetensi pedagogik. Akibatnya, dapat menurunkan mutu dan kualitas pembelajaran atau pendidikan, untuk itu guru harus segera mendapatkan berbagai pelatihan maupun pendampingan dengan menganalisis kebutuhan apa saja yang diperlukan guru untuk mengembangkan kompetensi pedagogik itu sendiri.
Selain itu, diperlukan analisis kebutuhan para guru tentang pengembangan kompetensi pedagogik guru yang meliputi kesadaran guru dalam dipahami kompetensi pedagogik guru tentang penguasaan terhadap materi perkembangan peserta didik, teori-teori belajar, pengembangan kurikulum, teknik evaluasi, penguasaan terhadap model-model dan metode pengajaran, adalah perlu, di samping penguasaan terhadap mata pelajaran dan iptek yang berkaitan dengan pengajaran. Untuk mendukung hal tersebut skripsi ini disusun untuk memetakan kebutuhan pengembangan kompetensi pedagogik para guru. Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk menyusun skripsi dengan judul : IDENTIFIKASI KEBUTUHAN PENGEMBANGAN KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU (STUDI DESKRIPTIF GURU TK).

B. Pembatasan Masalah
Berdasarkan berbagai masalah yang telah dikemukakan. Peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian terhadap kebutuhan pengembangan kompetensi pedagogik. Peneliti melakukan batasan masalah, agar pembahasan masalah tidak terlalu luas untuk diteliti.
Batasan masalah dalam skripsi ini yakni pada kebutuhan pengembangan kompetensi pedagogik yang berhubungan dengan guru dalam melaksanakan pembelajaran. Kompetensi pedagogik merupakan kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh guru. Oleh karena itu, setiap guru diharapkan mampu mengembangkan kompetensi pedagogik.

C. Penegasan Istilah
Berdasarkan pembahasan diatas, maka perlu adanya pembatasan masalah dalam judul penelitian ini agar tidak terjadi kesalahan dalam pembahasan selanjutnya dijelaskan sebagai berikut : 
1. Kebutuhan
Kebutuhan merupakan hal penting bagi kehidupan manusia untuk mempertahankan hidup serta untuk memperoleh kesejahteraan dan kenyamanan.
2. Kompetensi pedagogik guru
Kompetensi pedagogik guru merupakan kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban secara bertanggung jawab dan layak. Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kompetensi pedagogik guru merupakan kemampuan guru dalam melaksanakan tugas-tugas sebagai pengajar yang dilakukan secara bertanggung jawab dan layak.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang ada dan agar dalam penelitian ini tidak terjadi kerancuan, maka penulis dapat membatasi dan merumuskan permasalahan yang akan di angkat dalam penelitian ini. 
1. Bagaimana gambaran kompetensi pedagogik guru TK di Kecamatan Kota X ?
2. Apakah yang menjadi kebutuhan pengembangan kompetensi pedagogik guru TK di Kecamatan Kota X ?

E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk : 
1. Mengetahui tentang gambaran kompetensi pedagogik guru TK di Kecamatan Kota X.
2. Mengetahui kebutuhan pengembangan kompetensi pedagogik guru TK di Kecamatan Kota X.

F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan konsep dan teori mengenai pengembangan kompetensi pedagogik.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi sekolah
Memberikan sumbangan positif dalam mengembangkan kompetensi pedagogik guru untuk meningkatkan pembelajaran yang ada di TK.
b. Bagi guru
Sebagai masukan bagi para guru agar dapat mengembangkan kompetensi pedagogik guru dan disesuaikan dengan kebutuhan dari masing-masing guru.
c. Bagi penulis
Menambah pengalaman, wawasan, dan untuk bekal peneliti sebagai pendidik yang selalu mengamalkan ilmu pengetahuan. Sebagai bahan masukan berupa informasi kepada mahasiswa agar dapat menambah perbendaharaan kepustakaan tentang identifikasi kebutuhan untuk mengembangkan kompetensi pedagogik guru TK supaya diterapkan ketika mengajar nantinya dan mengaplikasikannya pada kehidupannya kelak.

SKRIPSI IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (STUDI DI TK X DAN Y)

SKRIPSI IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (STUDI DI TK X DAN Y)

(KODE : PG-PAUD-0064) : SKRIPSI IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (STUDI DI TK X DAN Y)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pada masa orde lama pengelolaan pendidikan yang dianut dan dijalankan di Indonesia bersifat sentralistik, pusat menjadi sangat dominan dalam pengambilan kebijakan. Sebaliknya, daerah dan sekolah bersifat pasif, hanya sebagai penerima dan pelaksana perintah pusat saja. Pola kerja sentralistik tersebut sering mengakibatkan adanya kesenjangan antara kebutuhan riil sekolah dengan perintah atau apa yang digariskan oleh pusat. Hal ini dapat terlihat dari ketatnya pengaturan dalam pelaksanaan kurikulum, pengadaan, pemanfaatan prasarana dan sarana, pengaturan dan pemanfaatan anggaran, pembinaan guru, dan lain-lain. Selain itu manajemen pendidikan di sekolah juga kurang memanfaatkan peran serta masyarakat untuk kemajuan pendidikan di sekolah.
Sekolah merupakan salah satu dari pusat pendidikan yang dituntut untuk mampu menjadikan output yang unggul, dimana sekolah adalah suatu sistem organisasi, yang didalamnya terdapat sejumlah orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan sekolah yang dikenal sebagai tujuan instruksional.
Manajemen pendidikan menuntut dukungan tenaga kerja yang terampil dan berkualitas agar dapat membangkitkan motivasi kerja yang lebih produktif dan memberdayakan otoritas daerah setempat, serta mengefisienkan sistem dan menghilangkan birokrasi yang tumpang tindih. Oleh karena itu, dituntut kemandirian dan kreativitas sekolah dalam mengelola pendidikan dan pembelajaran di balik otonomi yang dimilikinya. Sekolah juga harus mampu mencermati kebutuhan peserta didik yang bervariasi, keinginan staff yang berbeda, kondisi lingkungan yang beragam, harapan masyarakat yang menitipkan anaknya pada sekolah agar kelak bisa menjadi anak yang mandiri, serta tuntutan dunia kerja untuk memperoleh tenaga yang produktif, potensial dan berkualitas.
Manajemen Berbasis Sekolah terlahir dengan beberapa nama yang berbeda, yaitu tata kelola berbasis sekolah (school-based governance), manajemen mandiri sekolah (school self-management), dan bahkan juga dikenal dengan school site management atau manajemen yang bermarkas di sekolah.
Tujuan utama adalah untuk mengembangkan prosedur kebijakan sekolah, memecahkan masalah-masalah umum, memanfaatkan semua potensi individu yang tergabung dalam tim tersebut. Sehingga sekolah selain dapat mencetak orang yang cerdas serta emosional tinggi, juga dapat mempersiapkan tenaga-tenaga pembangunan. Oleh karena itu perlu diketahui pandangan filosofis tentang hakekat sekolah dan masyarakat dalam kehidupan kita. Sekolah adalah bagian yang integral dari masyarakat, ia bukan merupakan lembaga yang terpisah dari masyarakat, hak hidup dan kelangsungan hidup sekolah bergantung pada masyarakat, sekolah adalah lembaga sosial yang berfungsi untuk melayani anggota-anggota masyarakat dalam bidang pendidikan, kemajuan sekolah dan masyarakat saling berkorelasi, keduanya saling membutuhkan. Masyarakat adalah pemilik sekolah, sekolah ada karena masyarakat memerlukannya.
Kemajuan suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh kualitas SDM bangsa tersebut. Kualitas SDM tergantung pada tingkat pendidikan masing-masing individu pembentuk bangsa. Pendidikan yang visioner, memiliki misi yang jelas akan menghasilkan keluaran yang berkualitas. Dari sanalah pentingnya manajemen pendidikan diterapkan.
Manajemen pendidikan merupakan hal yang harus diprioritaskan untuk kelangsungan pendidikan, sehingga menghasilkan keluaran yang diinginkan. Kenyataannya, banyak institusi pendidikan yang belum memiliki manajemen yang bagus dalam pengelolaan pendidikannya. Manajemen yang digunakan masih konvensional, sehingga kurang bisa menjawab tantangan zaman dan terkesan tertinggal dari modernitas. Hal ini mengakibatkan sasaran-sasaran ideal pendidikan yang seharusnya bisa dipenuhi ternyata tidak bisa diwujudkan. Parahnya, terkadang para pengelola pendidikan tidak menyadari akan hal itu.
Manajemen pendidikan merupakan suatu proses untuk mengkoordinasikan berbagai sumber daya pendidikan seperti guru, sarana dan prasarana pendidikan seperti perpustakaan, laboratorium, dan sebagainya untuk mencapai tujuan dan sasaran pendidikan, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Dalam perkembangannya, manajemen pendidikan memerlukan Good Management Practice untuk pengelolaannya. Tetapi pada prakteknya, ini masih merupakan suatu hal yang elusif. Banyak penyelenggara pendidikan yang beranggapan bahwa hal tersebut bukanlah suatu hal yang penting.
Tuntutan akan lulusan lembaga pendidikan yang bermutu semakin mendesak karena semakin ketatnya persaingan dalam lapangan kerja. Salah satu implikasi globalisasi dalam pendidikan yaitu adanya deregulasi yang membuka peluang lembaga pendidikan (termasuk perguruan tinggi asing) membuka sekolahnya di Indonesia. Oleh karena itu persaingan di pasar kerja akan semakin berat.
Mengantisipasi perubahan-perubahan yang begitu cepat serta tantangan yang semakin besar dan kompleks, tiada jalan lain bagi lembaga pendidikan untuk mengupayakan segala cara untuk meningkatkan daya saing lulusan serta produk-produk akademik lainnya, yang antara lain dicapai melalui peningkatan mutu pendidikan, dalam hal ini tentang paradigma baru dalam pendidikan, bagaimana menghasilkan mutu bisa berlangsung dalam pendidikan, dan bagaimana peran sistem manajemen untuk mendukung berlangsungnya pencapaian mutu pendidikan tersebut.
Sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai ciri khas Islam, madrasah memegang peran penting dalam proses pembentukan kepribadian anak didik, karena melalui pendidikan madrasah ini para orang tua berharap agar anak-anaknya memiliki dua kemampuan sekaligus, tidak hanya pengetahuan umum (IPTEK) tetapi juga memiliki kepribadian dan komitmen yang tinggi terhadap agamanya (IMTAQ). Oleh sebab itu jika kita memahami benar harapan orang tua ini maka sebenarnya madrasah memiliki prospek yang cerah.
Di sisi lain, jika dilihat dari sejarahnya, madrasah memiliki akar budaya yang kuat di tengah-tengah masyarakat, sebab itu madrasah sudah menjadi milik masyarakat. Apabila dewasa ini banyak ahli berbicara tentang inovasi pendidikan nasional untuk melahirkan pendidikan yang dikelola masyarakat (community based management), maka madrasah dan termasuk juga pesantren merupakan model dari pendidikan tersebut.
Persoalan madrasah menurut Fadjar (1998 : 35) dari sekian puluh ribu madrasah yang tersebar di seluruh pelosok tanah air ini sebagian besar masih bergumul dengan persoalan berat yang sangat menentukan hidup dan matinya madrasah, sehingga nilai tawar semakin rendah dan semakin termarginalkan.
Fenomena di atas setidaknya disebabkan dan dipengaruhi oleh dua hal, yaitu kaitannya dengan problem internal kelembagaan dan parental choice of education, bahwa popularitas dan marginalitas lembaga pendidikan sangat ditentukan oleh sejauh mana lembaga pendidikan bersangkutan mampu merespon dan mengakomodasi aspirasi masyarakat dan seberapa jauh lembaga bersangkutan dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan internal kelembagaan ke arah profesionalitas penyelenggaraan pendidikan.
Kaitannya dengan problem internal kelembagaan, bahwa problem internal madrasah yang selama ini dirasakan, seperti dikatakan Fadjar (1998 : 41) meliputi seluruh sistem kependidikannya, terutama sistem manajemen dan etos kerja madrasah, kualitas dan kuantitas guru, kurikulum, dan sarana fisik dan fasilitasnya. Problem semacam itu karena posisi madrasah berada dalam lingkaran yang membingungkan, sebuah problem yang bersifat causal relationship.
Selanjutnya parental choice of education, menurut Fadjar (1999 : 76) bahwa dalam masyarakat akhir-akhir ini terjadi adanya pergeseran pandangan terhadap pendidikan seiring dengan tuntutan masyarakat (social demand) yang berkembang dalam skala yang lebih makro. sekarang masyarakat melihat pendidikan tidak lagi dipandang hanya sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan terhadap perolehan pengetahuan dan keterampilan dalam konteks waktu sekarang. Di sisi lain, pendidikan dipandang sebagai bentuk investasi, baik modal maupun manusia (human and capital investment) untuk membantu meningkatkan keterampilan dan pengetahuan sekaligus mempunyai kemampuan produktif di masa depan yang diukur dari tingkat penghasilan yang diperolehnya (Suryadi, dan Tilaar, 1993). Pergeseran tersebut menurut Praktiknya (dalam Fadjar, 1999 : 77) mengarah pada; Pertama, terjadinya teknologisasi kehidupan sebagai akibat adanya loncatan revolusi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, kecenderungan perilaku masyarakat yang lebih fungsional, dimana hubungan sosial hanya dilihat dari sudut kegunaan dan kepentingan semata, ketiga, masyarakat padat informasi, dan keempat, kehidupan yang makin sistemik dan terbuka, yakni masyarakat yang sepenuhnya berjalan dan diatur oleh sistem yang terbuka (open system).
Sesuai dengan ciri masyarakat tersebut, maka pendidikan yang akan dipilih oleh masyarakat adalah pendidikan yang dapat memberikan kemampuan secara teknologis, fungsional, individual, informatif dan terbuka. Dan yang lebih penting lagi, kemampuan secara etik dan moral yang dapat dikembangkan melalui agama.
Dengan melihat problem internal kelembagaan madrasah seperti dijelaskan di atas, dikaitkan dengan parental choice of education, dimana masyarakat semakin kritis, prakmatis, terbuka dan berpikir jauh ke depan dalam melakukan pilihan pendidikan bagi anak-anaknya, maka pendidikan madrasah akan tetap berada pada posisinya sebagai lembaga pendidikan "kelas dua", "marginal” yang hanya diminati masyarakat bawah dan tidak atau kurang dilirik oleh masyarakat menengah atas (upper middle class), sebaliknya jika madrasah secara internal dikelola dengan sistem manajemen profesional dan mampu memahami dan merespon tuntutan dan aspirasi masyarakat tersebut, maka madrasah akan memperoleh peluang yang lebih besar untuk menjadi pilihan utama dan pertama bagi masyarakat.
Sejalan dengan hal tersebut bahwa semakin terpelajar masyarakat semakin banyak aspek yang menjadi pertimbangan masyarakat dalam memilih suatu lembaga pendidikan. Dan sebaliknya, semakin awam masyarakat semakin sederhana pertimbangannya dalam memilih lembaga pendidikan atau barangkali, bahkan hanya sekadar menjadi makmum dengan kepercayaannya. Menurutnya, ada tiga hal yang paling tidak menjadi pertimbangan masyarakat terpelajar dalam memilih suatu lembaga pendidikan bagi anak-anak mereka, yaitu cita-cita dan gambaran hidup masa depan, posisi dan status sosial, serta agama. Dalam kaitan ini, jika madrasah atau lembaga pendidikan islam lainnya memenuhi ketiga kriteria di atas, maka akan semakin diminati oleh masyarakat terutama masyarakat terpelajar, tetapi sebaliknya, banyak lembaga pendidikan Islam yang akan semakin meminggir posisinya karena tidak menjanjikan apa-apa.
Kesan marginalitas madrasah, sebenarnya lebih banyak disebabkan karena sebagian besar madrasah lebih berorientasi pada kerakyatan (populis), pendidikan hanya dijadikan sebagai fungsi "cagar budaya" dan pada saat bersamaan ia mengabaikan kualitas dan prestasi, sebab itu penyelenggaraan pendidikan cenderung dilakukan secara konvensional, apa adanya, manajemen non-profesional, stagnan dan status quo, dan pada akhirnya pendidikan semacam ini ditinggalkan oleh masyarakat dan hanya diminati kelompok masyarakat bawah.
Akan tetapi dewasa ini persepsi atau pemahaman masyarakat tentang madrasah sudah mengalami pergeseran sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi secara makro yang dilakukan pemerintah dengan kebijakan-kebijakan barunya. Pada awalnya madrasah dipahami sebagai sekolah yang hanya mengajarkan agama tetapi sekarang ini persepsi masyarakat sudah berubah bahwa ternyata madrasah pada dasarnya sama dengan sekolah umum lainnya karena memiliki kurikulum yang sama, di sisi lain madrasah dianggap sebagai sekolah umum plus agama. Perubahan persepsi dan pemahaman tersebut seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi secara makro, madrasah dianggap sebagai sekolah agama ketika kurikulum madrasah masih berbanding 70% agama dan 30% umum, tetapi ketika terjadi perubahan dimana madrasah adalah sekolah umum yang berciri khas Islam yang memiliki kurikulum sama dengan sekolah umum dan memiliki kelebihan yakni "identitas keislaman", maka madrasah kemudian dianggap sebagai sekolah umum plus yang memiliki nilai lebih dibanding dengan sekolah umum.
Berikutnya muncul kesadaran baru dalam beragama (santrinisasi), terutama pada masyarakat perkotaan kelompok masyarakat menengah atas, sebagai akibat dari proses re-Islamisasi yang dilakukan secara intens oleh organisasi-organisasi keagamaan, lembaga-lembaga dakwah atau yang dilakukan secara perorangan. Terjadinya santrinisasi masyarakat elit tersebut akan berimplikasi pada tuntutan dan harapan akan pendidikan yang mengaspirasikan status sosial dan keagamaannya. Sebab itu pemilihan lembaga pendidikan didasarkan minimal pada dua hal tersebut, yakni status sosial dan agama.
Kecenderungan di atas harus segera direspon oleh madrasah jika lembaga ini tidak ingin ditinggalkan oleh masyarakat. Disamping itu Madrasah juga harus dapat membaca alasan-alasan dan pertimbangan orang tua dalam memilih lembaga pendidikan baik yang bersifat internal maupun eksternal.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, tentunya persoalan pendidikan harus seiring berjalan atas standar minimal manajemen yang baik, manajemen berbasis sekolah bertujuan untuk memandirikan atau memperdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada sekolah, pemberian fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumber daya sekolah, dan mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan.
TK di Kabupaten X dan TK Kota Y juga didukung oleh Kepala TK yang bertanggung jawab sebagai manajer yaitu dapat mengelola atau mengatur manajemen yang ada di sekolahnya, pendidik dan tenaga kependidikan yang profesional dalam mengoperasikan sekolahnya, serta orang tua murid yang mendukung program TK. Selain itu, sarana dan prasarana yang cukup memadai untuk proses belajar mengajar. Dalam hal sarana dan prasarana di TK Kabupaten X dan TK Kota Y, selain didukung oleh orang tua murid juga didukung oleh pemerintah pada setiap tahunnya. Berdasarkan hasil observasi tersebut di atas TK Kabupaten X dan TK Kota Y menggunakan manajemen berbasis sekolah.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan suatu permasalahan yaitu : 
1. Bagaimanakah perencanaan implementasi manajemen berbasis sekolah pada TK Kabupaten X dan TK Kota Y ?
2. Bagaimanakah pelaksanaan implementasi manajemen berbasis sekolah pada TK Kabupaten X dan TK Kota Y ?
3. Bagaimanakah evaluasi implementasi manajemen berbasis sekolah pada TK Kabupaten X dan TK Kota Y ?

C. Fokus Penelitian
Fokus dari penelitian ini adalah perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi implementasi manajemen berbasis sekolah pada TK Kabupaten X dan TK Kota Y.

D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah : 
1. Untuk mengetahui perencanaan implementasi manajemen berbasis sekolah pada TK Kabupaten X dan TK Kota Y.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan implementasi manajemen berbasis sekolah pada TK Kabupaten X dan TK Kota Y.
3. Untuk mengetahui evaluasi implementasi manajemen berbasis sekolah pada TK Kabupaten X dan TK Kota Y.

E. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yang berarti bagi perorangan/institusi sebagai berikut : 
1. Manfaat Teoritis
Dengan penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi taman kanak-kanak se-Kabupaten X dalam mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah di taman kanak-kanak.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini bermanfaat bagi : 
a. Bagi Kepala Sekolah
Memberi pengetahuan tentang peran dan fungsi sebagai Kepala Sekolah dalam melaksanakan manajemen berbasis sekolah.
b. Bagi Penulis
Memberi pengalaman, mendapatkan informasi-informasi, menambah wawasan dan kajian tentang implementasi manajemen berbasis sekolah pada TK Kabupaten X dan TK Kota Y.
c. Bagi Dinas Pendidikan Kabupaten X dan Kota Y
Memberi masukan dan gambaran pelaksanaan manajemen berbasis sekolah di TK Kabupaten X dan TK Kota Y.

SKRIPSI PERAN GURU DAN ORANG TUA DALAM MENANAMKAN BUDI PEKERTI PADA ANAK USIA DINI

SKRIPSI PERAN GURU DAN ORANG TUA DALAM MENANAMKAN BUDI PEKERTI PADA ANAK USIA DINI

(KODE : PG-PAUD-0063) : SKRIPSI PERAN GURU DAN ORANG TUA DALAM MENANAMKAN BUDI PEKERTI PADA ANAK USIA DINI



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan proses tiada henti sejak manusia dilahirkan hingga akhir hayat. Bahkan banyak pendapat mengatakan bahwa pendidikan sudah dimulai sejak manusia masih berada dalam kandungan (pre-natal). Pastinya proses pendidikan akan dan harus dialami dan dijalani oleh setiap manusia di setiap waktu.
Masa anak usia dini adalah salah satu fase yang dijalani oleh manusia. Masa ini merupakan masa pendidikan yang terfokus pada psikomotorik anak serta penanaman akhlak dan sikap hidup anak didik. Di masa kanak-kanak, anak belum memiliki kemampuan untuk berpikir dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Untuk itu, peranan orang tua dengan memberikan teladan berupa budi pekerti yang baik akan membantu proses belajar anak. Kesan-kesan yang baik, yang diberikan orang tua kepada anak akan membantu mendorong berkembangnya kepribadian anak ke arah yang baik.
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Sekolah adalah fase kedua dari pendidikan pertama dalam keluarga, karena pendidikan pertama dan utama diperoleh anak dari keluarganya. Pada masa inilah peletakan pondasi belajar harus tepat dan benar.
Dalam perkembangannya, seorang anak selain membutuhkan perhatian dari keluarga dan sekolah juga membutuhkan perhatian dari lingkungan masyarakat. Lingkungan ini nantinya akan memberi pengaruh terhadap perkembangan jiwa anak. Seperti yang diungkapkan oleh Suhartono (2008 : 50) bahwa lingkungan masyarakat adalah kegiatan pendidikannya berpusat pada bimbingan potensi moral. Masyarakat secara kodrat bertanggung jawab atas pencerdasan emosional. Peran masyarakat terhadap pendidikan amat menentukan. Tanpa pelibatan masyarakat, pendidikan sekolah tidak bisa berlangsung. Oleh sebab itu, agar peran masyarakat terhadap pendidikan lebih efektif, setiap faksi sosial perlu membangun kembali visinya dengan menanamkan kependidikan sebagai landasan dasar kemajuan. Bahwa kemajuan kehidupan masyarakat tanpa spirit pendidikan tidaklah mungkin. Karena pendidikan pada hakikatnya adalah upaya mempertumbuhkan nilai kemanusiaan. Jika nilai kemanusiaan tumbuh, maka tidak mungkin terjadi kerusakan moral, kerusakan alam, dam kerusakan spiritual (Suhartono, 2008 : 52).
Pendidikan anak usia dini perlu dilakukan dengan terarah ke pengembangan segenap aspek pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak serta dilaksanakan secara terintegrasi dalam suatu kesatuan program yang utuh dan proporsional. Secara makro, prinsip ini juga memiliki makna bahwa penyelenggaraan pendidikan anak usia dini (PAUD) dilakukan secara terintegrasi dengan si stem sosial yang ada di masyarakat dan menyertakan segenap komponen masyarakat sesuai dengan tanggung jawab dan kewenangannya. Hal ini memerlukan keselarasan antara pendidikan yang dilakukan dalam berbagai lembaga; keluarga, sekolah dan masyarakat (Siti Aisyah, dkk., 2008 : 1.23).
Penyelenggaraan pendidikan anak usia dini di negara maju telah berlangsung lama sebagai bentuk yang berbasis masyarakat (community based education), akan tetapi gerakan untuk menggalakkan pendidikan ini di Indonesia baru muncul beberapa tahun terakhir. Hal ini didasarkan akan pentingnya pendidikan untuk anak usia dini dalam menyiapkan manusia Indonesia seutuhnya (MANIS) serta membangun masa depan anak-anak dan masyarakat Indonesia seluruhnya (MASIS). Namun sejauh ini jangkauan pendidikan anak usia dini masih terbatas dari segi jumlah maupun eksistensinya, misalnya; penitipan anak dan kelompok bermain masih terkonsentrasi di kota-kota. Padahal bila dilihat dari tingkat kebutuhannya akan perlakuan sejak dini, anak-anak usia dini di pedesaan dan dari keluarga miskin jauh lebih tinggi guna mengimbangi miskinnya rangsangan intelektual, sosial dan moral dari keluarga dan orang tua.
Pemerintah telah menunjukkan kemauan politiknya dalam membangun sumber daya manusia sejak dini. Seperti yang disampaikan Ibu Megawati Soekarno Putri (Wakil Presiden saat itu) saat membuka Konferensi Pusat I Masa Bakti VII Ikatan Guru Taman Kanak-kanak Indonesia. Beliau menegaskan pentingnya pendidikan anak usia dini dalam konsep pembinaan dan pengembangan anak dihubungkan pembentukan karakter manusia seutuhnya. Lebih jauh lagi beliau menyatakan sudah tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pendidikan bagi anak usia dini merupakan basis penentu pembentukan karakter manusia Indonesia di dalam kehidupan berbangsa.
Pernyataan ini menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini sangat penting bagi kelangsungan bangsa dan perlu menjadi perhatian serius dari pemerintah. Pendidikan anak usia dini merupakan strategi pembangunan sumber daya manusia harus dipandang sebagai titik sentral mengingat pembentukan karakter bangsa dan kehandalan SDM (sumber daya manusia) ditentukan sebagaimana penanaman sejak usia dini. Pentingnya pendidikan pada masa ini sehingga sering disebut dengan masa usia emas (the golden age).
Dalam merealisasikan upaya tersebut pemerintah berupaya keras untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, pemerintah telah menerapkan 8 (delapan) standar nasional pendidikan, salah satunya standar nasional pendidikan yang dinilai paling berperan terhadap peningkatan mutu pendidikan adalah standar pendidik dan standar kependidikan. Standar pendidik dan tenaga kependidikan mencakup jalur pendidikan formal dan pendidikan non formal. Semua upaya pemerintah tersebut dimaksudkan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional.
Adapun tujuan pendidikan nasional adalah menciptakan manusia Indonesia seutuhnya. Dalam hal ini menekankan pada peningkatan kualitas manusia. Ngalim Purwanto (2006 : 37), menegaskan bahwa hal tersebut didasarkan atas tuntutan perkembangan kehidupan masyarakat dan negara dalam pengembangan ilmu dan teknologi yang sangat diperlukan dalam kehidupan dunia yang sedang mengalami era industrialisasi, informasi dan globalisasi. Dalam mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut, maka diupayakanlah suatu penyelenggaraan pendidikan yang bersifat formal mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Segala aktivitas yang berlangsung di dalamnya memerlukan sarana dan prasarana yang memadai seperti pendidik yang kompeten, laboratorium dan perpustakaan yang baik.
Ki Hajar Dewantara, selaku Bapak Pendidikan Indonesia menegaskan bahwa : "Pendidikan harus dilakukan secara kooperatif antara keluarga, terpenting, karena kelurga lah pondasi utama pembentukan Intelligence Quotient (IQ) dan Emotional Quotient (EQ)”.
Bertolak dari latar belakang tersebut, peneliti bermaksud untuk mengupas lebih lanjut pokok persoalan tentang "PERAN GURU DAN ORANG TUA DALAM MENANAMKAN BUDI PEKERTI PADA ANAK USIA DINI (STUDI PADA TAMAN KANAK-KANAK X)".

B. Rumusan Masalah
Untuk membuat permasalahan menjadi lebih spesifik dan sesuai dengan titik tekan kajian, maka harus ada rumusan masalah yang benar-benar fokus. Hal ini dimaksudkan agar pembahasan dalam penelitian ini, tidak melebar dari apa yang dikehendaki. Dari latar belakang yang telah disampaikan di atas, ada beberapa rumusan yang bisa diambil : 
1. Sejauh mana peran guru dan orang tua dalam menanamkan budi pekerti pada anak usia dini di Taman Kanak-kanak X serta di lingkungan keluarga ?
2. Faktor-faktor apakah yang mendorong dan menghambat guru dalam menanamkan budi pekerti pada anak usia dini di Taman Kanak-kanak X ?
3. Faktor-faktor apakah yang mendorong dan menghambat orang tua dalam menanamkan budi pekerti pada anak usia dini di lingkungan keluarga ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan penelitian di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 
1. Untuk mengetahui sejauh mana peran guru dan orang tua dalam menanamkan budi pekerti pada anak usia dini di Taman Kanak-kanak X serta di lingkungan keluarga.
2. Untuk mengetahui faktor pendorong dan penghambat guru dalam menanamkan budi pekerti pada anak usia dini di Taman Kanak-kanak X.
3. Untuk mengetahui faktor pendorong dan penghambat orang tua dalam menanamkan budi pekerti pada anak usia dini di lingkungan keluarga.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian kualitatif ini meliputi dua, yaitu : 
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi khasanah ilmu, terutama bagi jurusan Pendidikan Anak Usia Dini dalam memberikan gambaran yang jelas mengenai peran guru dan orang tua dalam mendidik budi pekerti anak usia dini Taman Kanak-kanak.
2. Manfaat Praktis
Bagi orang tua dan guru di Taman Kanak-kanak X, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang dapat digunakan dalam upaya peningkatan pembinaan budi pekerti pada anak usia dini.

SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN ORANG TUA DENGAN ORIENTASI POLA ASUH ANAK USIA DINI

SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN ORANG TUA DENGAN ORIENTASI POLA ASUH ANAK USIA DINI

(KODE : PG-PAUD-0062) : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN ORANG TUA DENGAN ORIENTASI POLA ASUH ANAK USIA DINI



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Usia Prasekolah adalah usia yang rentan bagi anak, usia dini (0-6 tahun) adalah masa (Golden Age) dimana pada masa ini anak perlu dasar pengasuhan, ini tercermin dalam ungkapan "Belajar di masa kecil, bagai mengukir di atas batu" para ahli menyatakan bahwa mereka yang mendapatkan stimuli dan pengasuhan yang baik selama masa usia dini akan memiliki resiko rendah terkena stres dan gangguan mental. Pada masa ini anak mempunyai sifat meniru atau imitasi terhadap apapun yang dilihatnya, kenyataan yang terjadi di masyarakat tanpa disadari anak semua perilaku serta kepribadian orang tua yang baik dan tidak baik akan ditiru dan direkam oleh anak. Anak tidak tahu bahwa yang dilakukannya baik atau tidak bagi perkembangan selanjutnya bagi dirinya, karena anak Prasekolah belajar dari apa yang dia lihat, keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak yang berpengaruh sangat besar bagi kelanjutan perkembangannya. Haryoko (1997 : 54) berpendapat bahwa lingkungan sangat besar pengaruhnya sebagai stimulus dalam perkembangan anak, orang tua adalah guru ataupun orang yang pertama dalam memberikan pengasuhan dasar tentang semua perkembangan baik yang berhubungan dengan peletakan dasar moral, psikomotor, bahasa, seni serta keterampilan yang telah dimiliki anak.
Setiap anak pada dasarnya dilahirkan dengan membawa sejumlah potensi yang diwarisi dari kedua orang tua biologisnya, potensi bawaan adalah berbagai kemampuan yang dimiliki anak, potensi tersebut dapat berkembang secara alamiah (by natural) bila diberikan rangsangan melalui stimulus orang tua sedari dini secara tepat sehingga potensi fisik, meliputi kekuatan, ketahanan, daya ledak, kecepatan, koordinasi, kelenturan, keseimbangan, ketepatan, kelincahan dan potensi fisik meliputi berbagai aspek kecerdasan intelektual, emosional, mental, sosial, moral dan spiritual yang berkembang terhadap pembentukan pribadi anak di masa datang (Sujiono, 2004 : 32). Dalam memberikan pembelajaran tentang semua potensi yang dimiliki anak sejak usia dini tak lepas hubungannya dengan faktor pola asuh orang tua. Pengasuhan yang diberikan orang tua sangat menjadi dasar bagi perkembangan anak yang akan menjadikannya kelak sebagai pribadi yang berkarakter baik bagi dirinya dan bagi lingkungan sosialnya. Pengasuhan yang diberikan orang tua pada anaknya sangat berbeda cara dan metodenya, sehingga kualitas pengasuhannya pun akan berpengaruh pada anak secara berbeda pula. Hal ini berhubungan dengan bagaimana kedekatan anak dan orang tuanya dalam keseharian dan faktor latar belakang yang mewarnai kehidupan orang tua itu sendiri, baik yang berhubungan dengan lingkungan keluarganya, agama, kebudayaan, ekonomi maupun latar belakang pendidikan orang tua itu sendiri.
Pengasuhan orang tua yang diberikan pada anaknya bukanlah pengasuhan yang sifatnya sementara dan singkat, akan tetapi pengasuhan yang sifatnya interaksi antara orang tua dan anak secara langsung, sesuai pendapat Riyanto (2002 : 67) dalam mengasuh orang tua bukanlah hanya mampu mengkomunikasikan fakta, gagasan dan pengetahuannya saja, melainkan langsung membantu menumbuh kembangkan anak secara maksimal.
Dalam pelaksanaan pemberian pengasuhan seyogyanya orang tua tidak memaksakan kehendaknya, tetapi harus mengetahui apa yang dibutuhkan anak dan sesuai dengan usia perkembangan anak. Semua itu dimengerti oleh orang tua bila mereka mengerti dan peduli terhadap proses pengasuhan anak dalam keluarga. Kepedulian orang tua terhadap pengasuhan selain didasari faktor alami juga karena faktor latar belakang pendidikannya, peranan pendidikan masing-masing orang tua sangatlah berpengaruh pada pemberian pengasuhan. Anak akan menjadi tumbuh dan berkarakter karena peranan pengasuhan orang tua yang mendasarinya. Perbedaan pendidikan yang dimiliki orang tua akan dapat terlihat pada kualitas hasil proses pengasuhan.
Seiring dengan perkembangan kecerdasan emosional, seorang anak juga akan mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Hal ini terbukti dengan bertambahnya tinggi dan berat badan, untuk pertumbuhan anak secara pesat dibutuhkan nutrisi dan gizi yang cukup namun untuk perkembangan kecerdasan emosional membutuhkan berbagai pengalaman dalam berhubungan sosial dengan lingkungan serta pemahaman tentang perasaan. Kecerdasan emosional itu sendiri terkait dengan faktor-faktor pemberian pola asuh terhadap anak oleh orang tua.
Bagi anak yang masih dalam rentang usia 0 hingga 6 tahun, biasanya sangat memiliki kedekatan dengan orang tua karenanya pada masa inilah bimbingan dan pola asuh orang tua sangat menentukan perkembangan anak baik untuk berhubungan sosial, perkembangan tingkah laku secara maksimal maupun penumbuhan rasa percaya diri yang sangat berguna untuk masa depannya.
Ketika anak masih dalam usia batita (bawah tiga tahun) kecenderungan kelekatan dengan ibunya begitu kuat hal ini karena pada masa itu seorang anak masih membutuhkan ASI dari ibunya, sementara dalam kemampuan motoriknya belumlah sempurna sehingga ia juga membutuhkan bantuan orang tua ketika hendak melakukan sesuatu.
Pada usia di bawah tiga tahun, seorang anak memiliki ciri tak berdaya dalam menghadapi sesuatu, mencoba sesuatu yang baru menyenangi sesuatu yang menarik, sampai kadang bersikap egois dan bandel dari ciri sikap yang menonjol tersebut, sebenarnya anak sudah memerlukan adanya dukungan, penghargaan, pengertian dan dorongan dan bisa juga pujian dari orang tuanya.
Sebagai orang tua, kita dapat mewujudkan perhatian pada anak tersebut melalui pemberian hadiah seperti contohnya ketika buah hati terampil menggunakan alat makan maka kita orang tua harus jeli, bagaimana bisa menempatkan posisi buah hati sebagai anggota baru dalam meja makan. Target yang diharapkan dalam pembelajaran ini adalah melatih kemandirian atau menumbuhkan rasa percaya diri bagi buah hati kita.
Dalam kondisi yang serba terampil dan mulai adanya kekritisan pada fokus perhatiannya inilah kita sebagai orang tua mulai memberikan batasan yang konsisten berupa hal yang dapat dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Kebutuhan anak yang utama adalah pujian pendampingan dan perhatian dimana semua kebutuhan itulah yang nantinya dapat diterapkan ketika berhubungan sosial dengan orang lain. Seorang anak tidak akan mengetahui perilaku sesuai dengan kelompok sosial dan memiliki sumber motivasi untuk mendorongnya berbuat sesuka hati.
Dalam hal ini jelas awalnya jalan sosial diperoleh dalam lingkungan keluarga anak belajar dari orang tua, saudara kandung dan anggota keluarga yang lain apa yang dianggap benar dan salah dalam hubungan bagi perilaku yang salah dan dari penerimaan sosial atau penghargaan bagi perilaku yang benar, seorang anak akan memperoleh motivasi yang diperlukan untuk mengikuti standar perilaku yang diterapkan anggota keluarga.
Dengan memahami hal tersebut, sebaiknya orang tua memberikan pendidik terbaik kepada anak tanamkanlah nilai-nilai kehidupan yang baik pada masa ini kepada anak, tanamkanlah nila-nilai kehidupan yang baik pada masa ini kepada anak. Perilaku, sikap dan komitmen orang tua akan menjadi teladan dan sumber yang akan ditiru oleh anak-anak.
Stimulasi dini adalah rangsangan-rangsangan atau stimulus yang diberikan kepada anak oleh lingkungan sekitarnya, terutama orang tuanya agar anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dengan stimulasi dini ini diharapkan perkembangan motorik anak berjalan baik sehingga dapat mengikuti pendidikan berikutnya.
Peranan orang tua di sini sangatlah penting pada aktifitas pemberian pola asuh pada anaknya pada dasarnya orang tua adalah pembentuk akhlak dan dasar tingkah laku yang nantinya akan berperan pada fase perkembangan selanjutnya, sehingga sangatlah penting wawasan dan pendidikan orang tua dalam upaya peletakan pola asuh di dalam keluarga. Adapun pendidikan tersebut, tidaklah harus dilihat dari pendidikan formal yang di peroleh, pendidikan non formal pun (pendidikan agama) sangatlah diperlukan dalam pemberian pola asuh yang sesuai dengan kebutuhannya pada masa fase perkembangannya.
Betapa banyak orang tua yang ingin anak-anaknya menjadi anak yang cerdas otak rasionalnya, cerdas emosionalnya juga kecerdasan jamak lainnya. Semua kecerdasan bisa didapat bila diasuh oleh orang tua yang pintar dalam membentuk semua itu, walaupun unsur kesiapan menerima kehadiran anak juga tak kalah pentingnya berperan dalam pengasuhan anak.
Kriteria untuk berperan sebagai orang tua ideal memang tidak sederhana baik bagi mereka yang berpendidikan rendah ataupun yang berpendidikan tinggi orang tua yang berperan ganda seperti ibu misalnya, tentu saja memiliki keterbatasan waktu dan tenaga untuk memberikan sentuhan fisik maupun psikologis bagi anak-anaknya sekalipun demikian ibu yang ideal untuk mencapai kriteria ideal, paling tidak, orang tua menunjukan semangat dan upaya untuk berusaha lebih baik dalam memenuhi kebutuhan anaknya di berbagai sisi, baik fisik, psikologis maupun sosial anak.
Erikson (1993 : 98), seorang ahli dalam bidang perkembangan menjelaskan pentingnya peran orang tua dalam mengembangkan aspek psikososial anak orang tua yang memberikan kehangatan, kenyamanan, cinta dan kasih sayang pada anak sejak usia dini, akan memungkinkan anak mengembangkan rasa percaya pada lingkungannya bila bisa melalui tahap-tahap ini dengan baik, anak akan lebih mudah mengembangkan percaya diri dan inisiatif pada dirinya dengan kata lain anak tidak akan di dominasi oleh rasa ragu ataupun cemas dalam mengeksploitasi lingkungannya.
Uraian di atas fokusnya ada pada orang tua sebagai sentralnya dalam keluarga, hal ini menjadi suatu rujukan dari beberapa pemikiran yang mendasari penelitian tentang pola asuh dan pendidikan orang tua.
Dari segi ini jelaslah pula adanya perbedaan pola asuh yang diberikan pada anaknya kita tahu pada umumnya jelaslah bisa dilihat bagaimanakah peranan seorang suami/istri yang pendidikannya lebih tinggi dari pasangannya, betapa akan sangat terlihat mereka lebih tertata dalam penanaman pola asuh pada anaknya baik dari segi bahasa ataupun teladan yang lain dalam penerapan dalam peletakan pengasuhan berwawasan lebih luas akan lebih terarah pola asuh dalam penerapan keseharian, mereka yang berpendidikan lebih tinggi pastinya akan menggunakan pola asuh yang penuh dengan keakraban (demokratis) orang tua dan anaknya, mereka sadar akan pentingnya pemberian pola asuh yang tepat akan berdampak positif pada belahan jiwanya. Hal ini pun tak lepas dari faktor karakter dari masing-masing orang tua, hanya saja suami atau istri yang lebih tinggi pendidikannya akan lebih dominan dalam mewarnai pola asuh yang diterima anak-anak pada umumnya.
Wujud kasih sayang seseorang memang beragam bentuknya ada yang dinyatakan secara lisan, tulisan. Adapula yang terlihat dalam sikap dan perilaku, demikian pula wujud kasih sayang orang tua kepada anak bisa di nyatakan dengan cara yang berbeda, sesuai dengan keyakinan atau prinsip, wawasan atau pengetahuan yang sedikit banyak dipengaruhi oleh faktor kondisi atau situasi.
Namun demikian, penerimaan anak tentang sayang tidaknya orang tua terhadap mereka tentu saja berbeda jika di lihat dari segi usia. Kualitas dan kuantitas interaksi yang diberikan orang tua akan sangat berpengaruh terhadap ikatan emosi yang terjalin diantara mereka. Dengan demikian untuk anak usia dini, kuantitas pertemuan tidaklah cukup sebagai bukti kasih sayang.
Kualitas harus diiringi dengan kuantitas anak usia dini perlu sentuhan baik fisik maupun psikologis yang intensif. Kebersamaan dengan orang tua dalam rumah sangat memungkinkan anak bisa mengungkapkan perasaannya di kala sedih dan suka. Mendapatkan jawaban tentang berbagai hal yang ingin diketahuinya, mendapatkan perhatian dan pujian serta, serta hal positif lainnya di saat yang dibutuhkan kebersamaan anak dengan orang tuanya selama sekian waktu dalam sehari tentu saja menumbuhkan ikatan emosi mereka akan merasa saling kehilangan jika tidak bersama. Berkaitan dengan hal ini tentu saja ekstra tenaga dan kesabaran orang diperlukan untuk meminimalkan masalah yang mungkin terjadi. Green (2005 : 89) mengatakan jika para ibu yang ingin bekerja atau harus bekerja di luar rumah menjalankan segala kehidupannya dan berhenti merasa bersalah, tetapi hidup mereka akan lebih bahagia walaupun secara kuantitas waktu ibu bekerja tidak bisa memberikan terbaik untuk anak, paling tidak mereka bisa mengoptimalkan kualitas kebersamaan dengan anak dalam waktu yang terbatas untuk meminimalkan masalah yang mungkin terjadi.
Hal ini seharusnya disadari lawan pasangan masing-masing karena sudah ada kesepakatan diantara keduanya. Anak tumbuh dan berkembang di bawah asuhan orang tua. Melalui orang tua, anak beradaptasi dengan lingkungannya dan mengenal dunia sekitarnya serta pola pergaulannya hidup yang berlaku di lingkungannya. Ini disebabkan oleh orang tua merupakan dasar pertama bagi pembentukan pribadi anak.
Masing-masing orang tua tentu saja memiliki pola asuh tersendiri dalam mengarahkan perilaku anak. Semua jelas sangatlah dipengaruhi oleh faktor latar belakang pendidikan orang tua, orang tua dalam memberikan pengasuhan tentang pendidikan, sopan santun, membentuk latihan-latihan tanggung jawab, yang semua penerapannya pun pasti dari pengalamannya dalam keluarganya ataupun lingkungannya, baik lingkungan sosial lingkungan pendidikan maupun lingkungan budayanya. Manakala suami istri di masa kalanya menerima penerapan pola arah yang baik niscaya mereka pun akan memberikan pelayanan pola asuh yang lebih baik pula ke anaknya ataupun generasi selanjutnya, secara sadar pun bilamana dulu orang tua mendapatkan pengalaman pola asuh yang kurang baik pun, dengan sendirinya orang tua akan membuangnya jauh-jauh dan tidak ingin semuanya terulang pada anak-anaknya.
Pengasuhan sosial yang diberikan orang lain akan sangat bermanfaat bagi anak kita, karena dengan pengasuhan etika dan moral pada anak, anak akan memiliki keterampilan ber sosial dan juga akan lebih bisa menahan diri, mengontrol emosi dan menghargai peraturan yang berlaku dalam masyarakat. Etika dan sistem nilai adalah sesuatu yang dipandang paling dan di junjung tinggi (Guhardja, Harroyo, Puspitawati & Hastuti, 1994).
Dari semua fenomena tentang pengasuhan orang tua diatas, membuka inisiatif peneliti untuk lebih jelas dalam memahami dan mendalami tentang hubungan perbedaan pendidikan orang tua dengan pola pengasuhan. Peneliti mengambil sampel langsung dari masyarakat desa X yang mempunyai anak usia dini dengan mengambil batasan pendidikan orang tua dari SMP sampai dengan yang berpendidikan sarjana.

B. Identifikasi Masalah
Pendidikan orang tua merupakan pondasi bagi pendidikan anak di kemudian hari, semakin baik pendidikan orang tua maka dimungkinkan akan lebih memberikan peluang pendidikan, peluang orientasi, peluang ketahanan dan kekebalan hidup. Selanjutnya Tingkat pendidikan orang tua akan saling melengkapi dalam menata kehidupan di keluarganya, asumsi kemanusiaan seorang yang berpendidikan tinggi maka akan mencari pasangan yang minimal pendidikannya setara atau satu tingkat diatas atau di bawahnya, walaupun masih bisa ditemukan Tingkat pendidikan yang jauh tetapi dalam prosentase sedikit.
Selanjutnya bahwa tingkat pendidikan tetap saja memberikan pengaruh yang besar terhadap pola asuh yang dilakukan dan diberikan kepada anak di keluarganya, hal ini tentunya akan memberikan gambaran tentang pengaruh perbedaan tingkat pendidikan orang tua terhadap pola asuh anak.

C. Batasan Masalah
Dalam penelitian ini membatasi masalah sangat penting untuk memberikan arah yang jelas terhadap masalah yang akan diteliti. Peneliti menjadi terarah dan dapat memberikan nilai praktis bagi peneliti. Hal penting dalam keluarga adalah pola asuh bagi anak yang dilatarbelakangi berbagai faktor, diantaranya lingkungan, sosial budaya serta pendidikan orang tua. Dalam penelitian ini yang di kaji adalah pola asuh yang didasari oleh pendidikan orang tua.
Salah satu cara untuk mencapai kemajuan pada suatu sekolah adalah adanya gaya kepemimpinan kepala sekolah. Penulis membatasi masalah dalam penelitian ini yaitu sejauh mana Tingkat pendidikan orang tua terhadap pola asuh.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah diatas peneliti berkeinginan melaksanakan penelitian yang berjudul hubungan antara tingkat pendidikan orang tua terhadap orientasi pola asuh, selanjutnya untuk mengetahui : 
(1) Menganalisis dan mendeskripsikan hubungan tingkat pendidikan orang tua terhadap pola asuh anak usia dini ?
(2) Apa dampak dari perbedaan tingkat pendidikan orang tua terhadap pola Asuh anak usia dini ?

E. Tujuan Penelitian
(1) Untuk mengetahui pengaruh perbedaan tingkat pendidikan orang tua terhadap pola asuh anak usia dini.
(2) Untuk mengetahui dampak dari adanya perbedaan tingkat pendidikan keluarga terhadap pola asuh anak usia dini.

F. Manfaat
(1) Manfaat Teoritis.
Diharapkan dapat memberikan manfaat dan untuk menambah dan mengembangkan dalam kecakapan pengetahuan terutama mengenai pola asuh.
(2) Manfaat Praktis.
1) Bagi orang tua.
Dapat digunakan sebagai acuan atau masukan dalam pendidikan pola asuh anak di keluarga.
2) Bagi sekolah.
Dapat digunakan sebagai masukan dalam penanganan pola asuh di lingkungan pendidikan.
3) Bagi Peneliti.
Dapat menerapkan pola asuh yang benar khususnya bagi anak sendiri dan bagi lingkungan masyarakat pada umumnya.