Search This Blog

Showing posts with label skripsi hukum islam. Show all posts
Showing posts with label skripsi hukum islam. Show all posts

SKRIPSI TRADISI LAMARAN PERSPEKTIF MASYARAKAT PENGIKUT MADZHAB SYAFII

(KODE : HKM-ISLM-0003) : SKRIPSI TRADISI LAMARAN PERSPEKTIF MASYARAKAT PENGIKUT MADZHAB SYAFII

contoh skripsi hukum islam

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pertunangan adalah pernyataan seorang laki-laki tentang keinginan menikah dengan perempuan tertentu. Jika perempuan tersebut menerima pertunangan tersebut melalui walinya, pertunangan sudah sah antara keduanya.
Definisi lain dalam Al-Mughni Al-Muhtaj, menyebutkan bahwa pertunangan yaitu permohonan menikah dari pihak peminang laki-laki kepada pihak perempuan. Qalyubi mendefinisikan pertunangan sebagai permohonan menikah dari orang yang dianggap cocok.
Hukum pertunangan adalah istihbab (dianjurkan) karena Nabi Muhammad SAW. pernah bertunangan dengan Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq, juga dengan Hafsah binti Umar bin Khaththab r.a.
Tujuan perkawinan sebagaimana yang disyari'atkan oleh teks suci dan undang-undang dapat diwujudkan dengan baik dan sempurna jika perkawinan tersebut sejak proses pendahuluannya (muqaddimat al-zawaj) berjalan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan agama. di antara proses yang akan dilalui itu adalah peminangan atau disebut dengan khitbah.
Khitbah diartikan dengan suatu langkah pendahuluan untuk melangsungkan perkawinan. Ulama fikih mendefinisikannya dengan menyatakan keinginan pihak laki-laki kepada pihak wanita tertentu untuk mengawininya dan pihak wanita menyebarluaskan berita peminangan ini.
Di dalam kitab-kitab fikih, khitbah diterjemahkan dengan pernyataan keinginan untuk menikah terhadap seorang wanita yang telah jelas "izhar al-rughbat fi al-zawaj bi imraatin mu'ayyanaf atau memberitahukan keinginan untuk menikah kepada walinya. adakalanya pernyataan keinginan tersebut disampaikan dengan bahasa yang jelas dan tegas (sarih) dan dapat juga dilakukan dengan sindiran (kinayah).
Peminangan (lamaran) dilakukan sebagai permintaan secara resmi kepada wanita yang akan dijadikan calon istri atau melalui wali wanita itu. sesudah itu baru dipertimbangkan apakah lamaran itu dapat diterima atau tidak. adakalanya lamaran itu hanya sebagai formalitas saja, sebab sebelumnya antara pria dan wanita itu sudah saling mengenal atau menjajaki. Demikian juga, lamaran itu adakalanya sebagai langkah awal dan sebelumnya tidak pernah kenal secara dekat, atau hanya kenal melalui teman atau sanak keluarga.
Agaknya Islam mengajarkan sebelum terjadinya akad nikah, mempelai laki-laki dan perempuan mestilah saling mengenal. Mengenal di sini maksudnya bukan sekedar mengetahui tetapi juga memahami dan mengerti akan kepribadian masing-masing. Hal ini dipandang penting karena kedua mempelai akan mengikatkan diri dalam sebuah perkawinan dan membentuk keluarga yang semula dimaksudkan "kekal" tanpa adanya perceraian. Realitas di masyarakat menunjukkan perceraian sering kali terjadi karena tidak adanya saling pengertian, saling memahami dan menghargai masing-masing pihak.
Agaknya atas dasar inilah mengapa Rasulullah saw. dalam sebuah haditsnya menganjurkan setiap laki-laki untuk melakukan peminangan. Rasulullah menyatakan : 
"Apabila seseorang di antara kamu meminang seorang perempuan, jika ia dapat melihat apa yang dapat mendorongnya semakin kuat untuk menikahinya, maka laksanakanlah." (Riwayat Ahmad dan Abu Daud)
Sampai di sini terkesan ada anjuran, untuk tidak mengatakan sebuah perintah (sunnah) dari Rasul untuk melihat wanita yang akan dinikahi tersebut. mengenai apa yang perlu dilihat, telah dijelaskan Rasul dalam haditsnya yang lain.
Rasulullah bersabda,
"Dari Abi Hurairah, Nabi saw, bersabda : wanita dikawini karena empat hal, karena martabatnya, karena hartanya, karena keturunannya, kecantikan dan karena hartanya. Maka pilihlah wanita karena agamanya, maka akan memelihara tanganmu." (muttafaq alaih)
Dalam perspektif Islam, peminangan itu lebih mengacu untuk melihat kepribadian calon mempelai wanita seperti ketakwaan, keluhuran budi pekerti, kelembutan dan ketulusannya. Kendati demikian bukan berarti masalah fisik tidak penting. Ajaran Islam ternyata menganjurkan untuk memperhatikan hal-hal yang bersifat lahiriyah seperti, kecantikan wajah, keserasian, kesuburan dan kesehatan tubuh, bahkan ada hadits Rasul yang memerintahkan untuk menikahi wanita yang  subur (al-walud).
Di masyarakat Desa X setelah melakukan peminangan, terdapat tradisi penyerahan perabot rumah tangga sehari sebelum akad nikah yang diberikan oleh calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita.
Seperangkat perabot rumah tangga mulai dari perabot ruang tamu, kamar tidur, pakaian, peralatan dapur, barang-barang elektronik seperti; televisi, kulkas, tape, dan Iain-lain, hingga pada barang otomotif seperti; sepeda motor, mobil yang harus diserahkan kepada pihak istri untuk memenuhi setiap ruangan rumah yang akan ditempati oleh kedua mempelai nantinya ketika sudah akad nikah diucapkan oleh pihak mempelai laki-laki (berumah tangga).
Hal ini terjadi apabila calon suami nantinya akan menempati rumah yang sudah disiapkan oleh pihak calon istri, dengan kata lain calon suami menyiapkan semua perabot rumah tangga yang diserahkan kepada calon istri sehari sebelum akad nikah, sedangkan calon istri hanya menyiapkan rumah yang berupa gedung belaka, tanpa adanya isi rumah. Kebiasaan masyarakat ini tidak berlaku apabila calon suami istri tersebut setelah melakukan akad mereka akan menempati rumah yang disiapkan oleh calon suami. Semua kebutuhan rumah tangga ditanggung oleh calon suami.
Uniknya, perabot tersebut berbeda dengan mahar yang akan diberikan oleh calon suami kepada calon istrinya yang disebutkan dalam akad pada acara perkawinan yang mengenai besar kecilnya mahar tersebut disepakati oleh kedua belah pihak.
Mahar telah disebutkan dalam Al-Quran dalam surat An-Nisa' ayat 4 sebagai suatu bagian penting dari perkawinan seorang Muslim. la diberikan oleh pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan sesuai dengan kesepakatan mereka dan khusus menjadi harta milik pengantin perempuan sendiri. Islam telah mengangkat derajat kaum wanita karena mahar itu diberikan sebagai suatu tanda penghormatan kepadanya. bahkan andaikata perkawinan itu berakhir dengan perceraian (Al-Thalaq) mahar itu tetap merupakan hak milik istri dan suami tidak berhak mengambilnya kembali.
Secara umum kata lain yang dipergunakan untuk "mahar" di dalam Al-Qur'an adalah "Ajr" berarti penghargaan serta hadiah yang diberikan kepada pengantin perempuan dan tak dapat hilang. Sedangkan kata "shadaqah" juga dipergunakan di dalam Al-Qur'an untuk menekankan pemberian nafkah dalam kehidupan keluarga.
"Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya." (QS. An-Nisa' : 4)
Makna harfiah dari kata "shadaqah" pada ayat di atas adalah nafkah yang diwajibkan atau suatu bagian yang telah ditekankan. Hadits Nabi juga memberikan kesimpulan yang sama bahwasanya mahar merupakan suatu hadiah sesuai dengan kerelaan suami kepada istrinya pada waktu berlangsungnya upacara perkawinan.
Umar bin Khattab dan Qodhi Syuraikh telah menetapkan bahwa bila seorang istri menunda (untuk menerima) seluruh atau sebagian hak maharnya namun kemudian memintanya, maka suaminya harus membayarnya sebab kenyataan bahwa dia membutuhkannya merupakan bukti yang jelas bahwa dia tidak membebaskannya sama sekali.
Pembayaran mahar merupakan hal yang wajib sekalipun mungkin jumlahnya sangat kecil. Dalam beberapa pengecualian perkawinan tetap sah sekalipun jumlah maharnya tidak ditentukan, namun ia wajib dan harus dibayar segera, baik pada waktu pelaksanaan pernikahan itu atau pun sesudahnya.
Tidak ada batasan yang ditetapkan dalam Al-Qur'an mengenai jumlah mahar, mahar diberikan kepada istri pada hari perkawinan kecuali bila istri itu sendiri ingin mengambilnya kemudian.
Namun pada tradisi penyerahan perabot rumah tangga sehari sebelum akad nikah oleh calon suami tersebut besar kecil atau banyak sedikitnya perabot yang akan diberikan disesuaikan dengan kondisi perekonomian calon suami dan tidak ada kesepakatan diantara keduanya (calon suami istri). Apabila calon suami itu memiliki harta kekayaan yang berkecukupan, maka ia akan membawa harta perabot rumah tangga yang bermacam-macam (selengkap-lengkapnya). namun apabila calon suami itu berstatus perekonomiannya menengah ke bawah, maka ia akan membawa perabot rumah tangga sesuai dengan kemampuan calon suami tersebut. Tradisi ini banyak memakan biaya, bisa mencapai puluhan juta rupiah dengan berkembangnya barang-barang perabot rumah tangga yang dikemas secara modern.
Sampai di sini terkesan ada anjuran untuk melaksanakan tradisi lamaran bagi siapa saja yang hendak melangsungkan pernikahan, sedangkan tradisi lamaran itu sendiri membutuhkan kesiapan lahiriyah, dalam artian banyak membutuhkan biaya seiring dengan berkembangnya zaman. Ini menjadi salah satu hambatan bagi siapa saja yang hendak melangsungkan pernikahan, karena merupakan suatu keharusan untuk melaksanakan tradisi lamaran bagi pihak laki-laki. Sedangkan pada prosesi tradisi lamaran itu sendiri banyak membutuhkan biaya, sehingga mengakibatkan bagi para calon mempelai harus benar-benar mempersiapkan diri baik lahir maupun bathin.
Hal ini mengakibatkan adanya sebagian masyarakat dari pihak laki-laki yang enggan untuk melangsungkan pernikahan dikarenakan belum siap dari segi materi untuk melaksanakan tradisi lamaran, seolah-olah kesiapan materi menjadi hal yang utama dalam pembentukan sebuah keluarga. Dengan kata lain dalam hal pembentukan sebuah keluarga, masyarakat di sana mendahulukan untuk memenuhi kebutuhan tradisi lamaran dari pada mahar yang urgensinya menjadi kewajiban yang harus terpenuhi dalam pernikahan.
Di dalam tradisi lamaran tersebut, posisi laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan. Namun demikian, tak jarang dijumpai banyak laki-laki yang justru secara ekonomi bergantung kepada perempuan. Seorang perempuan dari keluarga kaya relatif lebih mudah mencari jodoh ketimbang yang tak berpunya. Demikian pula keluarga perempuan yang cantik jelita juga lebih mudah mencari jodoh meski tidak kaya dibanding perempuan yang rupanya tidak cantik, apalagi tidak kaya. Akan tetapi, meski pun tidak cantik jika memiliki harta banyak atau anak orang kaya maka akan lebih mudah menemukan jodohnya. Untuk itu, ada semacam diskriminasi perlakuan terhadap keluarga tidak mampu. Dengan demikian, status keluarga kaum perempuan turut serta berperan di dalam proses perkawinan.
Disamping itu, di kalangan masyarakat pedesaan juga terdapat semacam ketakutan jika anak perempuannya belum kawin. Fenomena di pedesaan menggambarkan keluarga perempuan terburu-buru untuk mengawinkan anaknya karena takut tidak laku tersebut. Di lapangan menunjukkan, banyak anak perempuan yang belum cukup umur untuk menikah "terpaksa" dikawinkan karena persoalan tersebut. Tak ayal lagi posisi atau status perempuan menjadi lebih rentan dibanding kaum laki-laki di dalam sebuah rumah tangga.
Nah, dua fenomena di atas yang bertolak belakang ini yang dijadikan dasar oleh peneliti, bahwa penelitian ini amatlah penting untuk dilakukan, yaitu antara pihak laki-laki yang enggan menikah terlebih dahulu karena disebabkan belum adanya kesiapan lahir dengan adanya tradisi lamaran, sedangkan pihak perempuan terdapat semacam kekhawatiran bahkan sampai ketakutan jika anak perempuannya belum menikah.
Yang menjadi permasalahan pada kasus ini adalah bagaimana pandangan tokoh masyarakat pengikut madzhab Syafii terhadap tradisi lamaran (penyerahan perabot rumah tangga yang diserahkan oleh calon mempelai laki-laki sehari sebelum akad nikah), mengingat bahwa pemberian tersebut bukanlah mahar yang akan diberikan kepada calon mempelai wanita yang disebut dalam akad nikah, karena permasalahan yang terjadi pada masyarakat Desa X terhadap tradisi lamaran sangat erat kaitannya dengan pembentukan keluarga sakinah.
Dari permasalahan yang telah peneliti kemukakan, maka peneliti menganggap perlunya masalah ini untuk diteliti, karena nantinya akan tampak terlihat tradisi penyerahan perabot rumah tangga sehari sebelum akad nikah oleh calon mempelai laki-laki pada masyarakat desa X. Di samping itu pula akan terlihat nilai-nilai Islam murni pada masyarakat di sana khususnya pada masalah perkawinan (Nikah). Sehingga hasil dari penelitian ini dapat menambah kepustakaan tentang tradisi yang melekat pada masyarakat khususnya pada masalah perkawinan (Nikah).
Dalam penelitian ini, peneliti akan mencoba menonjolkan pada aspek nilai-nilai Islamnya yang dihubungkan dengan tradisi penyerahan perabot rumah tangga sehari sebelum akad nikah yang terjadi pada masyarakat desa X. Oleh karena itu, peneliti akan memberi judul pada skripsi ini dengan judul : TRADISI LAMARAN PERSPEKTIF MASYARAKAT PENGIKUT MADZHAB SYAFII (STUDI DI DESA X).

SKRIPSI TRADISI PENYERAHAN PERABOT RUMAH TANGGA DALAM PERKAWINAN

(KODE : HKM-ISLM-0002) : SKRIPSI TRADISI PENYERAHAN PERABOT RUMAH TANGGA DALAM PERKAWINAN

contoh skripsi hukum islam

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tradisi masyarakat Desa X Setiap pernikahan identik dengan Bhaghibha (barang bawaan) dari mempelai pria ke rumah mempelai wanitanya. Barang-barang Bhaghibha ini dianggap sebagai bagian dari mahar. selain mas kawin yang diserahkan langsung di hadapan penghulu pada saat akad nikah. Barang-barang bhaghibha ini dibawa dalam rombongan besar lamaran dari pihak pengantin pria.
Tradisi membawa barang bawaan ini menjadi sebuah keharusan bagi seorang mempelai pria, meskipun tidak ada permintaan khusus dari mempelai wanita. Sehingga dengan adanya tradisi tersebut, keluarga dari mempelai pria tetap berusaha mengikut sertakan barang bawaannya pada saat akad nikah. walaupun mempelai pria berasal dari keluarga tidak mampu akan tetapi Sanak saudara dari mempelai pria akan tetap membantu menyumbang untuk membeli seperangkat barang bawaan demi berlangsungnya pernikahan antara mempelai pria dan wanita. Tidak banyak dari para mempelai pria yang dengan mudahnya melangsungkan pernikahan ini, ada sebagian dari mereka yang harus bekerja terlebih dahulu untuk mengumpulkan dana pembelian barang-barang bawaan pada saat pernikahan, sehingga pernikahannya ditunda beberapa tahun sampai dia mampu membeli barang-barang tersebut.
Memang pernikahan dalam islam itu tidak memberatkan mempelai. lakan tetapi dengan adanya tradisi seperti ini yang melekat dan sudah turun temurun dan masih bertahan sampai sekarang. Walaupun tradisi tersebut merupakan beban bagi mempelai pria tapi mereka semua sadar, bahwa setiap makhluk diciptakan dengan cara berpasang-pasangan. Begitu juga manusia, Jika pada makhluk lain dalam berpasangan tidak memerlukan tata cara dan peraturan tertentu, maka lain halnya dengan manusia. Pada manusia terdapat beberapa ketentuan yang merupakan peraturan dalam memilih pasangan dan untuk hidup bersama pasangan. Baik itu peraturan agama, adat-istiadat, tradisi. maupun sosial kemasyarakatan.
Setiap makhluk diciptakan saling berpasang-pasangan. Begitu juga manusia. Jika pada makhluk lain untuk berpasangan tak memerlukan tata cara dan peraturan tertentu, tidak demikian dengan manusia. Pada manusia terdapat beberapa ketentuan yang merupakan peraturan dalam memilih pasangan dan untuk hidup bersama pasangan. Baik itu peraturan agama, adat-istiadat maupun sosial kemasyarakatan.
Dalam hal dan tujuan untuk hidup berpasangan inilah istilah perkawinan atau pernikahan disebutkan. Perkawinan merupakan sebuah upacara penyatuan dua jiwa manusia, menjadi sebuah keluarga melalui akad perjanjian yang diatur oleh agama. Karena itulah penyatuan antara dua manusia menjadi sakral dan agung oleh sebab adanya tata cara khusus ini. setiap agama memiliki tata cara peraturan tersendiri. Tetapi kesemuanya mengacu pada satu hal ini, yaitu bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang mulia, mempunyai karunia akal budi sehingga dalam banyak perilaku kehidupannya tidak sama dengan makhluk lain seperti halnya binatang.
Khusus dalam pandangan agama Islam, pernikahan dianggap sebagai ibadah, jejak sunnah Nabi Muhammad S.A.W. Sekalipun sebenarnya pernikahan ini sudah ditetapkan oleh Allah sejak zaman manusia pertama yaitu Adam, yang dinikahkan langsung oleh Allah dengan pasangannya yaitu Siti Hawa, di surga.
Maka jelaslah bahwa menikah merupakan sesuatu yang dianjurkan Rasulullah. Bukan semata untuk meneruskan keturunan dan menciptakan generasi melainkan terutama untuk mengatur kehidupan agar selaras dengan ajaran agama yang memuliakan manusia di atas makhluk lainnya. Tentang kemuliaan manusia sebagai makhluk ini Allah berfirman dalam Al-Qur'an surat At-Tin, ayat 4 : 
"Sungguh telah Aku ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik baiknya"
Ayat di atas semakin memperjelas perbedaan kemuliaan manusia di atas makhluk lainnya. Tidak saja secara lahiriah, yang sempurna, cantik dan gagah serta memiliki bentuk yang begitu berbeda dengan hewan, melainkan terutama secara ruhani-nya. Sehingga manusia disebut sebagai Hayawanun Nathiq atau hewan yang berpikir. Terlepas dari teori evolusi Darwin tentang asal mula manusia adalah seekor Kera. Karena bagaimanapun, karunia akal-lah yang membuat manusia memiliki tata cara yang berbeda dalam menjalankan hidupnya, di antaranya adalah tata cara pemikahan.
Dalam Islam, disebutkan pula bahwa pemikahan adalah ibadah yang menyempurnakan agama seseorang. Karena pemikahan dua orang anak manusia berarti menyatukan dua keluarga, seringkali juga berarti penyatuan dua masyarakat jika pemikahan itu terjadi antara dua golongan masyarakat yang berbeda. Karena itulah dalam proses pemikahan banyak hal yang perlu diperhatikan sebagai peraturan bagi kedua manusia yang akan berpasangan.
Pemikahan diselenggarakan dalam sebuah prosesi khusus dengan tata cara yang khusus yang disesuaikan dengan ketentuan dalam agama maupun dalam tradisi masyarakat dimana prosesi itu akan dilaksanakan. Terkhusus ketentuan dalam agama Islam, terdapat beberapa hal yang menjadi rukun dan syarat dalam pemikahan. Rukun dan syarat ini sama-sama harus dipenuhi, baik proses sebelum akad nikah maupun pada saat pelaksanaan akad nikah. Dalam hal ini adanya kedua mempelai adalah yang terpenting dari syarat dan rukun pernikahan. Adanya kedua mempelai merupakan hal primer baik sebelum maupun pada saat pelaksanaan pernikahan. Karena keduanya-lah yang akan menjalani pernikahan.
Akan tetapi ada beberapa hal lain yang juga penting dalam pernikahan. yaitu adanya mahar. Mahar dalam bahasa Arab adalah shadaq. Asalnya isim mashdar dari kata ashdaqa, mashdarnya ishdaq diambil dari kata shidqin (benar). Dinamakan shadaq karena memberikan arti benar-benar cinta nikah dan inilah yang pokok dalam kewajiban mahar atau mas kawin.
Secara etimologi mahar juga berarti mas kawin. Sedangkan pengertian mahar menurut istilah ilmu Fiqih adalah pemberian yang wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami, untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya.
Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita dengan memberi hak kepadanya, di antaranya adalah hak untuk menerima mahar. Mahar hanya diberikan oleh calon suami kepada calon istri. bukan kepada wanita lainnya atau siapapun, walaupun sangat dekat dengannya. Orang lain tidak boleh menjamah apalagi menggunakannya meskipun oleh suaminya sendiri, kecuali dengan rida dan kerelaan istri.
Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa' ayat 4 : 
"Berikanlah mas kawin atau (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makan) yang sedap lagi baik akibatnya." (Q.S. An-Nisa : 4)
Maka jelaslah bahwa ketika mahar telah diserahterimakan dari pihak suami pada pihak istri, maka sepenuhnya mahar itu menjadi miliki si istri dan hak penggunaannya berada dalam wewenang istri.
Para Fuqaha' bersepakat bahwa tidak ada batasan mengenai pemberian mahar. Ukuran mahar disesuaikan dengan kemampuan si calon suami untuk memberi. Akan tetapi seyogyanya juga tidak berlebihan karena hal itu akan mendatangkan sikap berpaling dari pernikahan yang akan diikuti orang secara umum.
Allah berfirman : 
"...dan berilah maskawin mereka menurut yang patut... " (Q.S. An-Nisa' : 25) Segala sesuatu yang dapat dinilai secara material dapat dijadikan mahar. Para ahli Fiqih bersepakat bahwa harta yang berharga dan patut dapat dijadikan mahar. Oleh karena itu emas, perak, uang, takaran, timbangan, uang kertas dan lain-lain sah dijadikan mahar karena bernilai material dalam pandangan syara'. Dan sebaliknya, sesuatu yang tidak dapat dinilai dengan material dan bukan merupakan harta benda yang layak tidak dapat dijadikan mahar. Seperti kata-kata atau janji untuk setia, khamar, bangkai dan sebagainya.
Akan tetapi ada pendapat lain bahwa sesuatu yang bermanfaat dapat dijadikan mahar sekalipun tidak dapat dinilai dengan material, seperti pengabdian, pengajaran Al-Qur'an yang juga bermanfaat. 4 Pendapat ini dikemukakan oleh Asy-Syairazi, berdasarkan firman Allah : 
"Berkatalah ia (Syu'aib) : "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun... " (Q.S. Al-Qashash : 27)
Berdasarkan hal-hal di atas, syarat sah mahar adalah sebagai berikut : 
1. Mahar tidak berupa barang haram, tidak sah mahar berupa khamar atau babi dan sejenisnya yang jelas barang haram.
2. Tidak ada kesamaran, jika terdapat unsur ketidakjelasan maka tidak sah dijadikan mahar, seperti mahar berupa hasil panen kebun pada tahun yang akan datang atau sesuatu yang tidak jelas, seperti mahar rumah yang tidak ditentukan.
3. Mahar dimiliki dengan pemilikan sempurna. Syarat ini mengecualikan pemilikan yang kurang atau tidak sempurna, seperti mahar sesuatu yang dibeli tetapi belum diterima, pemilikan yang kurang atau tidak sempurna tidak sah dijadikan mahar. 
4. Mahar mampu diserahkan. Dengan syarat ini mengecualikan yang tidak ada kemampuan menyerahkan seperti burung di awang-awang atau ikan di laut.
Adalah Desa X yang memiliki tradisi penyerahan perabot rumah tangga. Perabot-perabot ini berbentuk lemari, satu set kursi dan meja untuk ruang tamu, perangkat tempat tidur lengkap dengan kasur, bantal, guling, seprai dan sarung bantal serta selimut, barang-barang pecah belah dan lemari sebagai tempatnya, alat-alat kecantikan/kosmetik dengan lemari hiasnya. Ini di luar mas kawin yang disebutkan secara terang-terangan saat akad nikah berlangsung di hadapan penghulu dan para saksi dari kedua belah pihak.
Ketetapan perabot ini menjadi tradisi dalam hampir setiap pernikahan masyarakat Desa X. Sehingga untuk sampai pada hari pernikahan dibutuhkan banyak persiapan. Keluarga calon mempelai pria harus memiliki persiapan materi yang tidak sedikit. Sedangkan mas kawin biasanya akan ditentukan oleh calon pengantin wanita dengan jumlah standar atau barang standar seperti emas dengan jumlah gram yang tidak besar, yaitu dua hingga lima gram.
Sebelumnya tidak pernah dilakukan penelitian serupa di Desa X, baik dengan perspektif hukum Islam ataupun disiplin ilmu Sosiologi Antropologi. Karena itulah penelitian ini merupakan penelitian pertama yang dilakukan di lokasi penelitian, yaitu Desa X. Penelitian tentang tradisi pemberian mahar berbentuk perlengkapan rumah tangga ini dilakukan sebagai studi kasus dalam penelitian ini mengambil judul "TRADISI PENYERAHAN PERABOT RUMAH TANGGA DALAM PERKAWINAN (STUDI KASUS DI DESA X)”.

JUDUL SKRIPSI HUKUM ISLAM 1

JUDUL SKRIPSI HUKUM ISLAM (1)

JUDUL SKRIPSI HUKUM ISLAM

  • (KODE : HKM-ISLM-0001) : SKRIPSI URGENSI PEMERIKSAAN KESEHATAN PRANIKAH BAGI PEMBENTUKAN KELUARGA SAKINAH [[ LIHAT BAB I ]]
  • (KODE : HKM-ISLM-0002) : SKRIPSI TRADISI PENYERAHAN PERABOT RUMAH TANGGA DALAM PERKAWINAN [[ LIHAT BAB I ]]
  • (KODE : HKM-ISLM-0003) : SKRIPSI TRADISI LAMARAN PERSPEKTIF MASYARAKAT PENGIKUT MADZHAB SYAFII [[ LIHAT BAB I ]]
  • (KODE : HKM-ISLM-0004) : SKRIPSI TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP IMPLEMENTASI PEMBIAYAAN IJARAH [[ LIHAT BAB I ]]
  • (KODE : HKM-ISLM-0005) : SKRIPSI TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP APLIKASI PEMBIAYAAN PLAY STATION DI BPRS [[ LIHAT BAB I ]]
  • (KODE : HKM-ISLM-0006) : SKRIPSI TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN PERDA KAB KEDIRI NO. 6 TH 2006 TENTANG SEWA TUNGGU TANAH BENGKOK [[ LIHAT BAB I ]]
  • (KODE : HKM-ISLM-0007) : SKRIPSI TINJAUAN FIQIH MUAMALAH TERHADAP PELAKSANAAN JUAL-BELI HASIL PERTANIAN DENGAN CARA BORONGAN [[ LIHAT BAB I ]]
  • (KODE : HKM-ISLM-0008) : SKRIPSI TATA CARA PENGURUSAN JENAZAH MUTILASI DI RS DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM [[ LIHAT BAB I ]]
  • (KODE : HKM-ISLM-00010) : SKRIPSI STATUS KEPERDATAAN ANAK DI LUAR NIKAH DARI NIKAH SIRRI MELALUI PENETAPAN ASAL USUL ANAK [[ LIHAT BAB I ]]
  • (KODE : HKM-ISLM-00011) : SKRIPSI NIKAH SIRRI PERSPEKTIF PARA PELAKU (STUDI SOSIOLOGI HUKUM) [[ LIHAT BAB I ]]
  • (KODE : HKM-ISLM-00012) : SKRIPSI MODEL PENYELESAIAN PERKARA PERCERAIAN DI KALANGAN TOKOH MASYARAKAT (STUDI KASUS) [[ LIHAT BAB I ]]
  • (KODE : HKM-ISLM-00013) : SKRIPSI IDDAH DAN IHDAD WANITA KARIER PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF [[ LIHAT BAB I ]]
  • (KODE : HKM-ISLM-00014) : SKRIPSI HUKUM WARIS ANAK DARI PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT FIQH DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM [[ LIHAT BAB I ]]
  • (KODE : HKM-ISLM-00015) : SKRIPSI ANALISIS KEKUATAN HUKUM AKTA NOTARIS TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN PADA PENETAPAN PERKARA PERDATA [[ LIHAT BAB I ]]
  • (KODE : HKM-ISLM-00016) : SKRIPSI ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN AKAD JUAL BELI MELALUI MEDIA TELEPON DI RESTORAN MCDONALD [[ LIHAT BAB I ]]
  • (KODE : HKM-ISLM-00017) : SKRIPSI ADAT MAROBBHU BHATAH DALAM PERKAWINAN (PROBOLINGGO)
  • (KODE : HKM-ISLM-00018) : SKRIPSI AKURASI PENGGUNAAN POLYGRAPH SEBAGAI ALAT BANTU PEMBUKTIAN MENURUT HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
  • (KODE : HKM-ISLM-00019) : SKRIPSI ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN GADAI DI PERUM PEGADAIAN SYARIAH
  • (KODE : HKM-ISLM-00020) : SKRIPSI ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBIAYAAN MUSYARAKAH UNTUK PETANI TAMBAK
  • (KODE : HKM-ISLM-00021) : SKRIPSI ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PEMIKIRAN IMAM AHMAD IBN HANBAL TENTANG MUHRIM MUSHAHARAH SEBAB LIWATH (SODOMI)
  • (KODE : HKM-ISLM-00022) : SKRIPSI ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PENETAPAN PA TENTANG AHLI WARIS ZAWI AL-ARHAM
  • (KODE : HKM-ISLM-00023) : SKRIPSI ANALISIS TERHADAP DOKUMEN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
  • (KODE : HKM-ISLM-00024) : SKRIPSI ANALISIS USUL FIKIH TERHADAP FATWA MUI DAN PEMIKIRAN M. QURAISH SHIHAB TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA
  • (KODE : HKM-ISLM-00025) : SKRIPSI ASAS TUNGGAL PANCASILA DALAM PANDANGAN SYARIKAT ISLAM MASA ORDE BARU
  • (KODE : HKM-ISLM-00026) : SKRIPSI COK BAKAL DALAM PERKAWINAN ADAT MASYARAKAT WONOSALAM
  • (KODE : HKM-ISLM-00027) : SKRIPSI DILEMA PRAKTEK IHDAD (STUDI SOSIOLOGI HUKUM)
  • (KODE : HKM-ISLM-00028) : SKRIPSI EFEKTIVITAS MEDIASI DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA
  • (KODE : HKM-ISLM-00029) : SKRIPSI EFEKTIVITAS MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA SETELAH DIKELUARKANNYA PERMA NO 1 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR MEDIASI PERCERAIAN
  • (KODE : HKM-ISLM-00030) : SKRIPSI HOMOSEKSUAL SEBAGAI PEMICU PERCERAIAN (STUDI PUTUSAN PERKARA)
  • (KODE : HKM-ISLM-00031) : SKRIPSI KAWIN BEDA AGAMA (KAJIAN TERHADAP BUKU FIKIH LINTAS AGAMA MEMBANGUN MASYARAKAT INKLUSIF-PLURALIS)
  • (KODE : HKM-ISLM-00032) : SKRIPSI KEWARISAN ANAK HASIL INSEMINASI BUATAN DAN AKIBAT HUKUM TERHADAP KEWARISAN ANAKNYA (KAJIAN ANTARA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF)
  • (KODE : HKM-ISLM-00033) : SKRIPSI KONSEP ISLAM LIBERAL TENTANG PERNIKAHAN BEDA AGAMA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
  • (KODE : HKM-ISLM-00034) : SKRIPSI KONTRAK WARALABA DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM SYARIAH
  • (KODE : HKM-ISLM-00035) : SKRIPSI PANDANGAN MASYARAKAT ISLAM TERHADAP TRADISI MATTUNDA WENNI PAMMULANG DALAM PERKAWINAN ADAT BUGIS
  • (KODE : HKM-ISLM-00036) : SKRIPSI PANDANGAN MASYARAKAT TENTANG PERKAWINAN ADAT GANTI SUAMI
  • (KODE : HKM-ISLM-00037) : SKRIPSI PANDANGAN TOKOH AGAMA, ADAT DAN PEMERINTAH TERHADAP WALI ADHOL ADAT KAWIN LARI
  • (KODE : HKM-ISLM-00038) : SKRIPSI PEMAHAMAN MASYARAKAT MUSLIM TERHADAP PRAKTIK ABORSI DI DUSUN X
  • (KODE : HKM-ISLM-00039) : SKRIPSI PENAFSIRAN AL-SYARAWI TERHADAP AL-QURAN TENTANG WANITA KARIR
  • (KODE : HKM-ISLM-00040) : SKRIPSI PENDIRIAN MINIMARKET DITINJAU DARI PERDA DAN ETIKA BISNIS ISLAM
  • (KODE : HKM-ISLM-00041) : SKRIPSI PENELANTARAN TERHADAP ANAK PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
  • (KODE : HKM-ISLM-00042) : SKRIPSI PENYELESAIAN HUTANG YANG DIALIHKAN SECARA TAKE OVER DENGAN AKAD MUSYARAKAH
  • (KODE : HKM-ISLM-00043) : SKRIPSI PERAN MEDIATOR DI PENGADILAN AGAMA KENDAL DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PERKAWINAN KARENA SYIQAQ
  • (KODE : HKM-ISLM-00044) : SKRIPSI PERAN PEGAWAI PENCATAT NIKAH (PPN) DALAM MENGATASI PERKAWINAN DI BAWAH UMUR
  • (KODE : HKM-ISLM-00045) : SKRIPSI PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
  • (KODE : HKM-ISLM-00046) : SKRIPSI RESIKO PENULARAN PENYAKIT SEKSUAL MENULAR BAKTERIAL TERHADAP BAYI SEBAGAI ALASAN MELAKUKAN ABORSI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO 36 TH 2009 TENTANG KESEHATAN
  • (KODE : HKM-ISLM-00047) : SKRIPSI RESIKO TINGGI BAGI IBU HAMIL SEBAGAI ALASAN MELAKUKAN ABORSI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
  • (KODE : HKM-ISLM-00048) : SKRIPSI RITUAL SRAH-SRAHAN DALAM PERKAWINAN ADAT JAWA (MOJOKERTO)
  • (KODE : HKM-ISLM-00049) : SKRIPSI STUDI ATAS PELAKSANAAN PERATURAN WAKAF PP NO. 28 TAHUN 1977 DAN SESUDAH BERLAKUNYA UU NO. 41 TAHUN 2004
  • (KODE : HKM-ISLM-00050) : SKRIPSI STUDI KOMPARATIF PEMIKIRAN MASJFUK ZUHDI DAN NURCHOLIS MADJID TENTANG NIKAH BEDA AGAMA
  • (KODE : HKM-ISLM-00051) : SKRIPSI TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN UU NO. 14 TH 1992 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN MENGENAI TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN SEBAGAI PENGANGKUT TERHADAP PIHAK KETIGA
  • (KODE : HKM-ISLM-00052) : SKRIPSI TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PEMBERIAN GANTI RUGI TERHADAP PEMILIK BARANG OLEH PENGUSAHA ANGKUTAN DI PT.POS
  • (KODE : HKM-ISLM-00053) : SKRIPSI TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG STATUS ANAK YANG LAHIR SETELAH PERCERAIAN LIAN (ANALISIS TERHADAP UU NO.1 TAHUN 1974)
  • (KODE : HKM-ISLM-00054) : SKRIPSI TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PUTUSAN PN TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN DALAM KEADAAN MEMBERATKAN
  • (KODE : HKM-ISLM-00055) : SKRIPSI TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBERIAN POTONGAN HARGA DG KARTU MEMBER DALAM TRANSAKSI JUAL BELI DAN RELEVANSINYA DG UU NO. 8 TH 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (STUDI DI ALFAMART)
  • (KODE : HKM-ISLM-00056) : SKRIPSI TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN PN TENTANG PENCURIAN KOTAK AMAL MASJID
  • (KODE : HKM-ISLM-00057) : SKRIPSI TRADISI UPACARA PERKAWINAN ADAT KERATON SURAKARTA (PANDANGAN ULAMA DAN MASYARAKAT)
  • (KODE : HKM-ISLM-00058) : SKRIPSI WAKAF WASIAT DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM (STUDI ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF)
  • (KODE : HKM-ISLM-00059) : SKRIPSI WANITA KARIR DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (STUDI PANDANGAN K.H. HUSEIN MUHAMMAD)
  • (KODE : HKM-ISLM-00060) : SKRIPSI ZAKAT SEBAGAI PENGURANG PENGHASILAN KENA PAJAK-STUDI PELAKSANAAN UU ZAKAT


SKRIPSI URGENSI PEMERIKSAAN KESEHATAN PRANIKAH BAGI PEMBENTUKAN KELUARGA SAKINAH

(KODE : HKM-ISLM-0001) : SKRIPSI URGENSI PEMERIKSAAN KESEHATAN PRANIKAH BAGI PEMBENTUKAN KELUARGA SAKINAH

skripsi hukum islam

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dalam Islam, menikah merupakan perbuatan yang sangat dianjurkan. Sebab, pernikahan merupakan sarana untuk mendapatkan ketenangan, melestarikan jenis manusia, memperbanyak jumlah kaum muslimin dan pintu berbagai jenis kebaikan. Lebih dari itu, bila pintu kebaikan yang bernama pernikahan ini dimaksimalkan, maka separuh agama seseorang akan selamat. Untuk itu suami istri ditugaskan untuk mengaturnya. 
Firman Allah : 
Artinya : "Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya, dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak".
Mengingat fungsi rumah tangga begitu besar pengaruhnya terhadap kehidupan, maka tidak layak melangkah ke dalam dunia pernikahan, sebelum mengkaji dan memahami tata cara memilih calon pasangan, oleh karena itu mereka harus membuat persiapan-persiapan pernikahan. Pada tingkat berikutnya, perlu bagi pria dan wanita untuk merencanakan pernikahan demi menghindari masing-masing pihak memiliki harapan-harapan yang tak pantas.
Dalam menentukan pilihan terhadap calon istri atau calon suami, masing-masing pihak termasuk para wali, yang akan bertindak sebagai wakil calon istri, harus berpegang teguh pada kriteria-kriteria yang telah ditentukan oleh syariat. Penyimpangan dari kriteria-kriteria ini, bukan saja berarti pelanggaran terhadap ketentuan Allah swt yang berarti akan mendapat sanksi hukum baik di dunia maupun di akhirat, tetapi juga akan membawa akibat yang fatal, yang sangat merugikan bagi kehidupan suami istri beserta keturunannya. Sebab sebagaimana diketahui bahwa bentuk gen bapak dan ibu akan sangat mempengaruhi baik secara biologis maupun psikologis terhadap anak-anak yang akan dilahirkan.
Dalam kaitannya dengan penentuan calon pasangan, terdapat fenomena yang perlu dikaji yakni seringkali ketika menentukan pilihan jodoh, di kalangan masyarakat mengabaikan pentingnya untuk mengetahui riwayat kesehatan diri atau calon pasangannya sejak dini. Hal ini sering terjadi di masyarakat terutama di kalangan pedesaan.
Hal lain yang menjadi gejala atau fenomena terhadap berlangsungnya pernikahan adalah adanya pemahaman bahwa jika diantara mereka sudah mampu atau baligh, hal itu merupakan modal untuk bisa melangsungkan pernikahan, tanpa melihat faktor-faktor yang lain. Di kalangan masyarakat pun, berkembang pemahaman bahwa dalam pembentukan keluarga umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti agama, kekayaan, maupun kecantikan. Hal ini memang sesuai dengan anjuran Rasulullah, sehingga dalam mencari jodoh ukuran-ukuran tersebutlah yang sangat dipertimbangkan, namun sangat disayangkan bahwa hadist tersebut seringkali hanya dipahami secara tekstual.
Memang, setiap unsur yang dikemukakan diatas mengandung kebenaran, baik dalam hal harta benda, kecantikan wajahnya, saling cinta mencintai, terpelajar, beragama, dan sebagainya merupakan hal yang amat bermanfaat dalam usaha mendapatkan kebahagiaan dan kesejahteraan dalam kehidupan berkeluarga. Namun masih banyak hal-hal yang cukup penting perlu diusahakan pemiliknya oleh setiap warga masyarakat yang berkeinginan melangsungkan perkawinannya. Salah satu syarat lain yang tidak kurang pentingnya dari pemilikan unsur-unsur yang telah dikemukakan diatas adalah permasalahan kesehatan. Sejauh manakah faktor kesehatan seseorang menjadi ukuran bagi mereka?
Mengutip perkataan dr. Sugi Iskandar, SpOG sebaiknya setiap pasangan yang memutuskan akan menikah, memeriksakan kesehatannya terlebih dahulu. Mengetahui kondisi kesehatan pasangan sedini mungkin lewat pemeriksaan kesehatan pranikah amat dianjurkan, untuk mengetahui penyakit-penyakit yang bisa ditularkan atau diturunkan kepada pasangan dan anak, sedini mungkin.
Karena menurut Ilmu Genetika, kebanyakan penyakit jasmaniah itu berpindah kepada anak dari garis keturunan. Seperti juling mata, gagap, buta warna, sipilis dan Iain-lain. Disamping itu penyakit moral sering pengaruhnya dari keturunan, seperti sikap tak senonoh, homo seks dan Iain-lain.
Hasil penelitian yang lain juga mendapatkan bahwa adanya penyakit dalam diri salah seorang pasangan dalam sebuah keluarga dapat menyebabkan perceraian. Karena apabila ternyata salah satu pasangan mengidap penyakit seperti AIDS, impotensi atau penyakit yang lainnya yang belum di ketahui sebelumnya oleh mereka dapat mengancam kelangsungan perkawinan. Hal tersebut disebabkan karena dalam perkawinan bila keadaan kesehatan pada umumnya terganggu, akan dapat menimbulkan permasalahan dalam keluarga dan dapat berakibat cukup jauh sehingga memberikan pemahaman kepada peneliti bahwa kesehatan dalam perkawinan merupakan hal yang penting.
Artinya mencegah agar tak terjadi itu lebih mudah daripada menghilangkan seperti sebelum terjadi, menjaga diri agar tidak sakit, lebih utama daripada mengobati setelah sakit. Mengobati dan menyembuhkan penyakit setelah diderita, diibaratkan baru membuat senjata setelah di serang oleh musuh. Bukankah lebih baik kita membuat perisainya lebih dahulu sebelum penyakit menyerang kita. Ibaratkan kata pepatah sedia payung sebelum hujan.
Nilai sehat saat ini dirasakan sangat mahal apalagi setelah kita terserang penyakit, maka tidaklah sedikit biaya yang harus kita keluarkan untuk biaya pengobatan, guna menyembuhkan penyakit yang telah bersarang di badan. Oleh karena itulah kalimat "lebih baik mencegah daripada mengobati" sangat tepat untuk dilaksanakan, sebuah kalimat yang sering terdengar tanpa kita menyadari secara mendalam apa makna kalimat tersebut.
Hasil penelitian yang lain juga mendapatkan bahwa adanya penyakit dalam diri salah seorang pasangan dalam sebuah keluarga dapat menyebabkan perceraian. Karena apabila ternyata salah satu pasangan mengidap penyakit seperti AIDS, impotensi atau penyakit yang lainnya belum diketahui sebelumnya oleh mereka dapat mengancam kelangsungan perkawinan. Hal tersebut disebabkan karena dalam perkawinan bila keadaan kesehatan pada umumnya terganggu, akan dapat menimbulkan permasalahan dalam keluarga dan dapat berakibat cukup jauh. Hal ini memberikan pemahaman kepada penulis bahwa kesehatan dalam perkawinan merupakan hal yang penting.
Sayang sekali kebanyakan orang baru menyadari hal ini setelah jatuh sakit. Kita harus menyadari betapa banyaknya ancaman yang akan mengganggu kesehatan kita. Dan ancaman yang paling berbahaya adalah kedunguan, yaitu ketidaktahuan atau tahu tapi tetap tidak mau melaksanakannya.
Itulah yang menarik perhatian peneliti. Munculnya pengertian dan pemahaman masyarakat terhadap pemeriksaan kesehatan pranikah sangat dibutuhkan dewasa ini, sehingga pemeriksaan kesehatan pranikah yang pada awalnya hanya sekedar formalitas dalam menjalankan sebuah persyaratan administrasi KUA saja, kemudian dapat direspon sebagai salah satu upaya untuk mengenal pasangan antar satu sama lain yang sehingga tidak adanya sikap menyesali pernikahan lantaran merasa keliru memilih pasangan.
Betapa banyak orang yang sesungguhnya mampu menggapai sumber-sumber kebahagiaan. Namun lantaran kebodohan dan kezaliman yang dilakukan, mereka pun akhirnya menjauh dari jalan yang benar; jalan yang menghantarkan keduanya menggapai kehidupan yang diselimuti cinta, kasih sayang dan ketulusan untuk kemudian terhempas ke jurang penderitaan dan kesengsaraan hidup.
Dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang dianggap oleh peneliti sangat penting dalam melakukan penelitian antara lain pencarian data, biaya, tenaga dan Iain-lain serta sebagai salah satu bentuk upaya pengabdian peneliti terhadap daerah tercinta, peneliti mengangkat judul "URGENSI PEMERIKSAAN KESEHATAN PRANIKAH BAGI PEMBENTUKAN KELUARGA SAKINAH (STUDI DI KUA)" ini sebagai gambaran yang dapat dijadikan rujukan dan tawaran solusi dalam menjalankan sebuah pernikahan. Permasalahannya adalah bagaimana pemeriksaan kesehatan pranikah turut berperan dalam upaya membentuk keluarga yang sakinah.