Search This Blog

Showing posts with label tradisi. Show all posts
Showing posts with label tradisi. Show all posts

SKRIPSI TRADISI LAMARAN PERSPEKTIF MASYARAKAT PENGIKUT MADZHAB SYAFII

(KODE : HKM-ISLM-0003) : SKRIPSI TRADISI LAMARAN PERSPEKTIF MASYARAKAT PENGIKUT MADZHAB SYAFII

contoh skripsi hukum islam

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pertunangan adalah pernyataan seorang laki-laki tentang keinginan menikah dengan perempuan tertentu. Jika perempuan tersebut menerima pertunangan tersebut melalui walinya, pertunangan sudah sah antara keduanya.
Definisi lain dalam Al-Mughni Al-Muhtaj, menyebutkan bahwa pertunangan yaitu permohonan menikah dari pihak peminang laki-laki kepada pihak perempuan. Qalyubi mendefinisikan pertunangan sebagai permohonan menikah dari orang yang dianggap cocok.
Hukum pertunangan adalah istihbab (dianjurkan) karena Nabi Muhammad SAW. pernah bertunangan dengan Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq, juga dengan Hafsah binti Umar bin Khaththab r.a.
Tujuan perkawinan sebagaimana yang disyari'atkan oleh teks suci dan undang-undang dapat diwujudkan dengan baik dan sempurna jika perkawinan tersebut sejak proses pendahuluannya (muqaddimat al-zawaj) berjalan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan agama. di antara proses yang akan dilalui itu adalah peminangan atau disebut dengan khitbah.
Khitbah diartikan dengan suatu langkah pendahuluan untuk melangsungkan perkawinan. Ulama fikih mendefinisikannya dengan menyatakan keinginan pihak laki-laki kepada pihak wanita tertentu untuk mengawininya dan pihak wanita menyebarluaskan berita peminangan ini.
Di dalam kitab-kitab fikih, khitbah diterjemahkan dengan pernyataan keinginan untuk menikah terhadap seorang wanita yang telah jelas "izhar al-rughbat fi al-zawaj bi imraatin mu'ayyanaf atau memberitahukan keinginan untuk menikah kepada walinya. adakalanya pernyataan keinginan tersebut disampaikan dengan bahasa yang jelas dan tegas (sarih) dan dapat juga dilakukan dengan sindiran (kinayah).
Peminangan (lamaran) dilakukan sebagai permintaan secara resmi kepada wanita yang akan dijadikan calon istri atau melalui wali wanita itu. sesudah itu baru dipertimbangkan apakah lamaran itu dapat diterima atau tidak. adakalanya lamaran itu hanya sebagai formalitas saja, sebab sebelumnya antara pria dan wanita itu sudah saling mengenal atau menjajaki. Demikian juga, lamaran itu adakalanya sebagai langkah awal dan sebelumnya tidak pernah kenal secara dekat, atau hanya kenal melalui teman atau sanak keluarga.
Agaknya Islam mengajarkan sebelum terjadinya akad nikah, mempelai laki-laki dan perempuan mestilah saling mengenal. Mengenal di sini maksudnya bukan sekedar mengetahui tetapi juga memahami dan mengerti akan kepribadian masing-masing. Hal ini dipandang penting karena kedua mempelai akan mengikatkan diri dalam sebuah perkawinan dan membentuk keluarga yang semula dimaksudkan "kekal" tanpa adanya perceraian. Realitas di masyarakat menunjukkan perceraian sering kali terjadi karena tidak adanya saling pengertian, saling memahami dan menghargai masing-masing pihak.
Agaknya atas dasar inilah mengapa Rasulullah saw. dalam sebuah haditsnya menganjurkan setiap laki-laki untuk melakukan peminangan. Rasulullah menyatakan : 
"Apabila seseorang di antara kamu meminang seorang perempuan, jika ia dapat melihat apa yang dapat mendorongnya semakin kuat untuk menikahinya, maka laksanakanlah." (Riwayat Ahmad dan Abu Daud)
Sampai di sini terkesan ada anjuran, untuk tidak mengatakan sebuah perintah (sunnah) dari Rasul untuk melihat wanita yang akan dinikahi tersebut. mengenai apa yang perlu dilihat, telah dijelaskan Rasul dalam haditsnya yang lain.
Rasulullah bersabda,
"Dari Abi Hurairah, Nabi saw, bersabda : wanita dikawini karena empat hal, karena martabatnya, karena hartanya, karena keturunannya, kecantikan dan karena hartanya. Maka pilihlah wanita karena agamanya, maka akan memelihara tanganmu." (muttafaq alaih)
Dalam perspektif Islam, peminangan itu lebih mengacu untuk melihat kepribadian calon mempelai wanita seperti ketakwaan, keluhuran budi pekerti, kelembutan dan ketulusannya. Kendati demikian bukan berarti masalah fisik tidak penting. Ajaran Islam ternyata menganjurkan untuk memperhatikan hal-hal yang bersifat lahiriyah seperti, kecantikan wajah, keserasian, kesuburan dan kesehatan tubuh, bahkan ada hadits Rasul yang memerintahkan untuk menikahi wanita yang  subur (al-walud).
Di masyarakat Desa X setelah melakukan peminangan, terdapat tradisi penyerahan perabot rumah tangga sehari sebelum akad nikah yang diberikan oleh calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita.
Seperangkat perabot rumah tangga mulai dari perabot ruang tamu, kamar tidur, pakaian, peralatan dapur, barang-barang elektronik seperti; televisi, kulkas, tape, dan Iain-lain, hingga pada barang otomotif seperti; sepeda motor, mobil yang harus diserahkan kepada pihak istri untuk memenuhi setiap ruangan rumah yang akan ditempati oleh kedua mempelai nantinya ketika sudah akad nikah diucapkan oleh pihak mempelai laki-laki (berumah tangga).
Hal ini terjadi apabila calon suami nantinya akan menempati rumah yang sudah disiapkan oleh pihak calon istri, dengan kata lain calon suami menyiapkan semua perabot rumah tangga yang diserahkan kepada calon istri sehari sebelum akad nikah, sedangkan calon istri hanya menyiapkan rumah yang berupa gedung belaka, tanpa adanya isi rumah. Kebiasaan masyarakat ini tidak berlaku apabila calon suami istri tersebut setelah melakukan akad mereka akan menempati rumah yang disiapkan oleh calon suami. Semua kebutuhan rumah tangga ditanggung oleh calon suami.
Uniknya, perabot tersebut berbeda dengan mahar yang akan diberikan oleh calon suami kepada calon istrinya yang disebutkan dalam akad pada acara perkawinan yang mengenai besar kecilnya mahar tersebut disepakati oleh kedua belah pihak.
Mahar telah disebutkan dalam Al-Quran dalam surat An-Nisa' ayat 4 sebagai suatu bagian penting dari perkawinan seorang Muslim. la diberikan oleh pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan sesuai dengan kesepakatan mereka dan khusus menjadi harta milik pengantin perempuan sendiri. Islam telah mengangkat derajat kaum wanita karena mahar itu diberikan sebagai suatu tanda penghormatan kepadanya. bahkan andaikata perkawinan itu berakhir dengan perceraian (Al-Thalaq) mahar itu tetap merupakan hak milik istri dan suami tidak berhak mengambilnya kembali.
Secara umum kata lain yang dipergunakan untuk "mahar" di dalam Al-Qur'an adalah "Ajr" berarti penghargaan serta hadiah yang diberikan kepada pengantin perempuan dan tak dapat hilang. Sedangkan kata "shadaqah" juga dipergunakan di dalam Al-Qur'an untuk menekankan pemberian nafkah dalam kehidupan keluarga.
"Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya." (QS. An-Nisa' : 4)
Makna harfiah dari kata "shadaqah" pada ayat di atas adalah nafkah yang diwajibkan atau suatu bagian yang telah ditekankan. Hadits Nabi juga memberikan kesimpulan yang sama bahwasanya mahar merupakan suatu hadiah sesuai dengan kerelaan suami kepada istrinya pada waktu berlangsungnya upacara perkawinan.
Umar bin Khattab dan Qodhi Syuraikh telah menetapkan bahwa bila seorang istri menunda (untuk menerima) seluruh atau sebagian hak maharnya namun kemudian memintanya, maka suaminya harus membayarnya sebab kenyataan bahwa dia membutuhkannya merupakan bukti yang jelas bahwa dia tidak membebaskannya sama sekali.
Pembayaran mahar merupakan hal yang wajib sekalipun mungkin jumlahnya sangat kecil. Dalam beberapa pengecualian perkawinan tetap sah sekalipun jumlah maharnya tidak ditentukan, namun ia wajib dan harus dibayar segera, baik pada waktu pelaksanaan pernikahan itu atau pun sesudahnya.
Tidak ada batasan yang ditetapkan dalam Al-Qur'an mengenai jumlah mahar, mahar diberikan kepada istri pada hari perkawinan kecuali bila istri itu sendiri ingin mengambilnya kemudian.
Namun pada tradisi penyerahan perabot rumah tangga sehari sebelum akad nikah oleh calon suami tersebut besar kecil atau banyak sedikitnya perabot yang akan diberikan disesuaikan dengan kondisi perekonomian calon suami dan tidak ada kesepakatan diantara keduanya (calon suami istri). Apabila calon suami itu memiliki harta kekayaan yang berkecukupan, maka ia akan membawa harta perabot rumah tangga yang bermacam-macam (selengkap-lengkapnya). namun apabila calon suami itu berstatus perekonomiannya menengah ke bawah, maka ia akan membawa perabot rumah tangga sesuai dengan kemampuan calon suami tersebut. Tradisi ini banyak memakan biaya, bisa mencapai puluhan juta rupiah dengan berkembangnya barang-barang perabot rumah tangga yang dikemas secara modern.
Sampai di sini terkesan ada anjuran untuk melaksanakan tradisi lamaran bagi siapa saja yang hendak melangsungkan pernikahan, sedangkan tradisi lamaran itu sendiri membutuhkan kesiapan lahiriyah, dalam artian banyak membutuhkan biaya seiring dengan berkembangnya zaman. Ini menjadi salah satu hambatan bagi siapa saja yang hendak melangsungkan pernikahan, karena merupakan suatu keharusan untuk melaksanakan tradisi lamaran bagi pihak laki-laki. Sedangkan pada prosesi tradisi lamaran itu sendiri banyak membutuhkan biaya, sehingga mengakibatkan bagi para calon mempelai harus benar-benar mempersiapkan diri baik lahir maupun bathin.
Hal ini mengakibatkan adanya sebagian masyarakat dari pihak laki-laki yang enggan untuk melangsungkan pernikahan dikarenakan belum siap dari segi materi untuk melaksanakan tradisi lamaran, seolah-olah kesiapan materi menjadi hal yang utama dalam pembentukan sebuah keluarga. Dengan kata lain dalam hal pembentukan sebuah keluarga, masyarakat di sana mendahulukan untuk memenuhi kebutuhan tradisi lamaran dari pada mahar yang urgensinya menjadi kewajiban yang harus terpenuhi dalam pernikahan.
Di dalam tradisi lamaran tersebut, posisi laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan. Namun demikian, tak jarang dijumpai banyak laki-laki yang justru secara ekonomi bergantung kepada perempuan. Seorang perempuan dari keluarga kaya relatif lebih mudah mencari jodoh ketimbang yang tak berpunya. Demikian pula keluarga perempuan yang cantik jelita juga lebih mudah mencari jodoh meski tidak kaya dibanding perempuan yang rupanya tidak cantik, apalagi tidak kaya. Akan tetapi, meski pun tidak cantik jika memiliki harta banyak atau anak orang kaya maka akan lebih mudah menemukan jodohnya. Untuk itu, ada semacam diskriminasi perlakuan terhadap keluarga tidak mampu. Dengan demikian, status keluarga kaum perempuan turut serta berperan di dalam proses perkawinan.
Disamping itu, di kalangan masyarakat pedesaan juga terdapat semacam ketakutan jika anak perempuannya belum kawin. Fenomena di pedesaan menggambarkan keluarga perempuan terburu-buru untuk mengawinkan anaknya karena takut tidak laku tersebut. Di lapangan menunjukkan, banyak anak perempuan yang belum cukup umur untuk menikah "terpaksa" dikawinkan karena persoalan tersebut. Tak ayal lagi posisi atau status perempuan menjadi lebih rentan dibanding kaum laki-laki di dalam sebuah rumah tangga.
Nah, dua fenomena di atas yang bertolak belakang ini yang dijadikan dasar oleh peneliti, bahwa penelitian ini amatlah penting untuk dilakukan, yaitu antara pihak laki-laki yang enggan menikah terlebih dahulu karena disebabkan belum adanya kesiapan lahir dengan adanya tradisi lamaran, sedangkan pihak perempuan terdapat semacam kekhawatiran bahkan sampai ketakutan jika anak perempuannya belum menikah.
Yang menjadi permasalahan pada kasus ini adalah bagaimana pandangan tokoh masyarakat pengikut madzhab Syafii terhadap tradisi lamaran (penyerahan perabot rumah tangga yang diserahkan oleh calon mempelai laki-laki sehari sebelum akad nikah), mengingat bahwa pemberian tersebut bukanlah mahar yang akan diberikan kepada calon mempelai wanita yang disebut dalam akad nikah, karena permasalahan yang terjadi pada masyarakat Desa X terhadap tradisi lamaran sangat erat kaitannya dengan pembentukan keluarga sakinah.
Dari permasalahan yang telah peneliti kemukakan, maka peneliti menganggap perlunya masalah ini untuk diteliti, karena nantinya akan tampak terlihat tradisi penyerahan perabot rumah tangga sehari sebelum akad nikah oleh calon mempelai laki-laki pada masyarakat desa X. Di samping itu pula akan terlihat nilai-nilai Islam murni pada masyarakat di sana khususnya pada masalah perkawinan (Nikah). Sehingga hasil dari penelitian ini dapat menambah kepustakaan tentang tradisi yang melekat pada masyarakat khususnya pada masalah perkawinan (Nikah).
Dalam penelitian ini, peneliti akan mencoba menonjolkan pada aspek nilai-nilai Islamnya yang dihubungkan dengan tradisi penyerahan perabot rumah tangga sehari sebelum akad nikah yang terjadi pada masyarakat desa X. Oleh karena itu, peneliti akan memberi judul pada skripsi ini dengan judul : TRADISI LAMARAN PERSPEKTIF MASYARAKAT PENGIKUT MADZHAB SYAFII (STUDI DI DESA X).

SKRIPSI TRADISI PENYERAHAN PERABOT RUMAH TANGGA DALAM PERKAWINAN

(KODE : HKM-ISLM-0002) : SKRIPSI TRADISI PENYERAHAN PERABOT RUMAH TANGGA DALAM PERKAWINAN

contoh skripsi hukum islam

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tradisi masyarakat Desa X Setiap pernikahan identik dengan Bhaghibha (barang bawaan) dari mempelai pria ke rumah mempelai wanitanya. Barang-barang Bhaghibha ini dianggap sebagai bagian dari mahar. selain mas kawin yang diserahkan langsung di hadapan penghulu pada saat akad nikah. Barang-barang bhaghibha ini dibawa dalam rombongan besar lamaran dari pihak pengantin pria.
Tradisi membawa barang bawaan ini menjadi sebuah keharusan bagi seorang mempelai pria, meskipun tidak ada permintaan khusus dari mempelai wanita. Sehingga dengan adanya tradisi tersebut, keluarga dari mempelai pria tetap berusaha mengikut sertakan barang bawaannya pada saat akad nikah. walaupun mempelai pria berasal dari keluarga tidak mampu akan tetapi Sanak saudara dari mempelai pria akan tetap membantu menyumbang untuk membeli seperangkat barang bawaan demi berlangsungnya pernikahan antara mempelai pria dan wanita. Tidak banyak dari para mempelai pria yang dengan mudahnya melangsungkan pernikahan ini, ada sebagian dari mereka yang harus bekerja terlebih dahulu untuk mengumpulkan dana pembelian barang-barang bawaan pada saat pernikahan, sehingga pernikahannya ditunda beberapa tahun sampai dia mampu membeli barang-barang tersebut.
Memang pernikahan dalam islam itu tidak memberatkan mempelai. lakan tetapi dengan adanya tradisi seperti ini yang melekat dan sudah turun temurun dan masih bertahan sampai sekarang. Walaupun tradisi tersebut merupakan beban bagi mempelai pria tapi mereka semua sadar, bahwa setiap makhluk diciptakan dengan cara berpasang-pasangan. Begitu juga manusia, Jika pada makhluk lain dalam berpasangan tidak memerlukan tata cara dan peraturan tertentu, maka lain halnya dengan manusia. Pada manusia terdapat beberapa ketentuan yang merupakan peraturan dalam memilih pasangan dan untuk hidup bersama pasangan. Baik itu peraturan agama, adat-istiadat, tradisi. maupun sosial kemasyarakatan.
Setiap makhluk diciptakan saling berpasang-pasangan. Begitu juga manusia. Jika pada makhluk lain untuk berpasangan tak memerlukan tata cara dan peraturan tertentu, tidak demikian dengan manusia. Pada manusia terdapat beberapa ketentuan yang merupakan peraturan dalam memilih pasangan dan untuk hidup bersama pasangan. Baik itu peraturan agama, adat-istiadat maupun sosial kemasyarakatan.
Dalam hal dan tujuan untuk hidup berpasangan inilah istilah perkawinan atau pernikahan disebutkan. Perkawinan merupakan sebuah upacara penyatuan dua jiwa manusia, menjadi sebuah keluarga melalui akad perjanjian yang diatur oleh agama. Karena itulah penyatuan antara dua manusia menjadi sakral dan agung oleh sebab adanya tata cara khusus ini. setiap agama memiliki tata cara peraturan tersendiri. Tetapi kesemuanya mengacu pada satu hal ini, yaitu bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang mulia, mempunyai karunia akal budi sehingga dalam banyak perilaku kehidupannya tidak sama dengan makhluk lain seperti halnya binatang.
Khusus dalam pandangan agama Islam, pernikahan dianggap sebagai ibadah, jejak sunnah Nabi Muhammad S.A.W. Sekalipun sebenarnya pernikahan ini sudah ditetapkan oleh Allah sejak zaman manusia pertama yaitu Adam, yang dinikahkan langsung oleh Allah dengan pasangannya yaitu Siti Hawa, di surga.
Maka jelaslah bahwa menikah merupakan sesuatu yang dianjurkan Rasulullah. Bukan semata untuk meneruskan keturunan dan menciptakan generasi melainkan terutama untuk mengatur kehidupan agar selaras dengan ajaran agama yang memuliakan manusia di atas makhluk lainnya. Tentang kemuliaan manusia sebagai makhluk ini Allah berfirman dalam Al-Qur'an surat At-Tin, ayat 4 : 
"Sungguh telah Aku ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik baiknya"
Ayat di atas semakin memperjelas perbedaan kemuliaan manusia di atas makhluk lainnya. Tidak saja secara lahiriah, yang sempurna, cantik dan gagah serta memiliki bentuk yang begitu berbeda dengan hewan, melainkan terutama secara ruhani-nya. Sehingga manusia disebut sebagai Hayawanun Nathiq atau hewan yang berpikir. Terlepas dari teori evolusi Darwin tentang asal mula manusia adalah seekor Kera. Karena bagaimanapun, karunia akal-lah yang membuat manusia memiliki tata cara yang berbeda dalam menjalankan hidupnya, di antaranya adalah tata cara pemikahan.
Dalam Islam, disebutkan pula bahwa pemikahan adalah ibadah yang menyempurnakan agama seseorang. Karena pemikahan dua orang anak manusia berarti menyatukan dua keluarga, seringkali juga berarti penyatuan dua masyarakat jika pemikahan itu terjadi antara dua golongan masyarakat yang berbeda. Karena itulah dalam proses pemikahan banyak hal yang perlu diperhatikan sebagai peraturan bagi kedua manusia yang akan berpasangan.
Pemikahan diselenggarakan dalam sebuah prosesi khusus dengan tata cara yang khusus yang disesuaikan dengan ketentuan dalam agama maupun dalam tradisi masyarakat dimana prosesi itu akan dilaksanakan. Terkhusus ketentuan dalam agama Islam, terdapat beberapa hal yang menjadi rukun dan syarat dalam pemikahan. Rukun dan syarat ini sama-sama harus dipenuhi, baik proses sebelum akad nikah maupun pada saat pelaksanaan akad nikah. Dalam hal ini adanya kedua mempelai adalah yang terpenting dari syarat dan rukun pernikahan. Adanya kedua mempelai merupakan hal primer baik sebelum maupun pada saat pelaksanaan pernikahan. Karena keduanya-lah yang akan menjalani pernikahan.
Akan tetapi ada beberapa hal lain yang juga penting dalam pernikahan. yaitu adanya mahar. Mahar dalam bahasa Arab adalah shadaq. Asalnya isim mashdar dari kata ashdaqa, mashdarnya ishdaq diambil dari kata shidqin (benar). Dinamakan shadaq karena memberikan arti benar-benar cinta nikah dan inilah yang pokok dalam kewajiban mahar atau mas kawin.
Secara etimologi mahar juga berarti mas kawin. Sedangkan pengertian mahar menurut istilah ilmu Fiqih adalah pemberian yang wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami, untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya.
Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita dengan memberi hak kepadanya, di antaranya adalah hak untuk menerima mahar. Mahar hanya diberikan oleh calon suami kepada calon istri. bukan kepada wanita lainnya atau siapapun, walaupun sangat dekat dengannya. Orang lain tidak boleh menjamah apalagi menggunakannya meskipun oleh suaminya sendiri, kecuali dengan rida dan kerelaan istri.
Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa' ayat 4 : 
"Berikanlah mas kawin atau (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makan) yang sedap lagi baik akibatnya." (Q.S. An-Nisa : 4)
Maka jelaslah bahwa ketika mahar telah diserahterimakan dari pihak suami pada pihak istri, maka sepenuhnya mahar itu menjadi miliki si istri dan hak penggunaannya berada dalam wewenang istri.
Para Fuqaha' bersepakat bahwa tidak ada batasan mengenai pemberian mahar. Ukuran mahar disesuaikan dengan kemampuan si calon suami untuk memberi. Akan tetapi seyogyanya juga tidak berlebihan karena hal itu akan mendatangkan sikap berpaling dari pernikahan yang akan diikuti orang secara umum.
Allah berfirman : 
"...dan berilah maskawin mereka menurut yang patut... " (Q.S. An-Nisa' : 25) Segala sesuatu yang dapat dinilai secara material dapat dijadikan mahar. Para ahli Fiqih bersepakat bahwa harta yang berharga dan patut dapat dijadikan mahar. Oleh karena itu emas, perak, uang, takaran, timbangan, uang kertas dan lain-lain sah dijadikan mahar karena bernilai material dalam pandangan syara'. Dan sebaliknya, sesuatu yang tidak dapat dinilai dengan material dan bukan merupakan harta benda yang layak tidak dapat dijadikan mahar. Seperti kata-kata atau janji untuk setia, khamar, bangkai dan sebagainya.
Akan tetapi ada pendapat lain bahwa sesuatu yang bermanfaat dapat dijadikan mahar sekalipun tidak dapat dinilai dengan material, seperti pengabdian, pengajaran Al-Qur'an yang juga bermanfaat. 4 Pendapat ini dikemukakan oleh Asy-Syairazi, berdasarkan firman Allah : 
"Berkatalah ia (Syu'aib) : "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun... " (Q.S. Al-Qashash : 27)
Berdasarkan hal-hal di atas, syarat sah mahar adalah sebagai berikut : 
1. Mahar tidak berupa barang haram, tidak sah mahar berupa khamar atau babi dan sejenisnya yang jelas barang haram.
2. Tidak ada kesamaran, jika terdapat unsur ketidakjelasan maka tidak sah dijadikan mahar, seperti mahar berupa hasil panen kebun pada tahun yang akan datang atau sesuatu yang tidak jelas, seperti mahar rumah yang tidak ditentukan.
3. Mahar dimiliki dengan pemilikan sempurna. Syarat ini mengecualikan pemilikan yang kurang atau tidak sempurna, seperti mahar sesuatu yang dibeli tetapi belum diterima, pemilikan yang kurang atau tidak sempurna tidak sah dijadikan mahar. 
4. Mahar mampu diserahkan. Dengan syarat ini mengecualikan yang tidak ada kemampuan menyerahkan seperti burung di awang-awang atau ikan di laut.
Adalah Desa X yang memiliki tradisi penyerahan perabot rumah tangga. Perabot-perabot ini berbentuk lemari, satu set kursi dan meja untuk ruang tamu, perangkat tempat tidur lengkap dengan kasur, bantal, guling, seprai dan sarung bantal serta selimut, barang-barang pecah belah dan lemari sebagai tempatnya, alat-alat kecantikan/kosmetik dengan lemari hiasnya. Ini di luar mas kawin yang disebutkan secara terang-terangan saat akad nikah berlangsung di hadapan penghulu dan para saksi dari kedua belah pihak.
Ketetapan perabot ini menjadi tradisi dalam hampir setiap pernikahan masyarakat Desa X. Sehingga untuk sampai pada hari pernikahan dibutuhkan banyak persiapan. Keluarga calon mempelai pria harus memiliki persiapan materi yang tidak sedikit. Sedangkan mas kawin biasanya akan ditentukan oleh calon pengantin wanita dengan jumlah standar atau barang standar seperti emas dengan jumlah gram yang tidak besar, yaitu dua hingga lima gram.
Sebelumnya tidak pernah dilakukan penelitian serupa di Desa X, baik dengan perspektif hukum Islam ataupun disiplin ilmu Sosiologi Antropologi. Karena itulah penelitian ini merupakan penelitian pertama yang dilakukan di lokasi penelitian, yaitu Desa X. Penelitian tentang tradisi pemberian mahar berbentuk perlengkapan rumah tangga ini dilakukan sebagai studi kasus dalam penelitian ini mengambil judul "TRADISI PENYERAHAN PERABOT RUMAH TANGGA DALAM PERKAWINAN (STUDI KASUS DI DESA X)”.