Search This Blog

Showing posts with label penyidik PNS. Show all posts
Showing posts with label penyidik PNS. Show all posts
TESIS ANALISIS PELAKSANAAN REKRUTMEN SELEKSI DAN PENGEMBANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DITJEN PAJAK

TESIS ANALISIS PELAKSANAAN REKRUTMEN SELEKSI DAN PENGEMBANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DITJEN PAJAK

(KODE : PASCSARJ-0253) : TESIS ANALISIS PELAKSANAAN REKRUTMEN SELEKSI DAN PENGEMBANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DITJEN PAJAK (PROGRAM STUDI : ADMINISTRASI PUBLIK)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sistem pemungutan pajak yang dianut Indonesia sejak tahun 1983 adalah self assessment system yang ditandai dengan dikeluarkannya undang-undang pajak baru sebagai awal era baru reformasi perpajakan. Secara umum self assessment system diartikan sebagai suatu sistem pemungutan pajak yang memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menjalankan kewajiban pajaknya secara mandiri, mulai dari menghitung hutang pajak, menyetor, dan melaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Dalam self assessment system Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bertugas mengawasi pelaksanaan perpajakan, artinya DJP harus dapat memastikan Wajib Pajak melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan benar.
Beralihnya sistem perpajakan dari official assessment system menjadi self assessment system terbukti memberikan dampak positif bagi penerimaan pajak. Hal tersebut dapat dilihat dari makin besar kontribusi penerimaan pajak terhadap penerimaan APBN setiap tahun. 
Negara yang sehat adalah negara yang pembiayaannya datang dari rakyat. Partisipasi aktif masyarakat dalam pembiayaan negara akan menghindari ketergantungan yang berlebihan dari negara kepada bantuan luar negeri. Disamping itu dengan pembiayaan yang cukup pembangunan dapat dilaksanakan dengan lebih cepat. Perekonomian suatu negara semakin maju dan berkembang seyogianya ditandai semakin banyaknya warga masyarakat yang masuk golongan mampu serta diikuti juga dengan peningkatan penerimaan pajak.
Partisipasi masyarakat dalam membayar pajak tidak tumbuh begitu saja. Diperlukan berbagai cara untuk membuat masyarakat sadar akan hak dan kewajibannya membantu pemerintah dalam pembiayaan pemerintahan dan pembangunan. Sementara itu sistem self assessment yang dianut perpajakan Indonesia, keberhasilannya sangat dipengaruhi oleh kesadaran Wajib Pajak. Jadi, tugas besar bagi DJP untuk dapat menumbuhkan kesadaran tersebut pada Wajib Pajak.
Tugas besar DJP tersebut umumnya dirumuskan dalam tiga tindakan, yaitu pertama, sebagai tindakan preventif, DJP melakukan persuasi kepada Wajib Pajak dengan memberikan penyuluhan dan pembinaan sehingga tumbuh kesadaran Wajib Pajak untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sebagaimana seharusnya yang ditentukan peraturan perpajakan. Kedua, DJP melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP) berusaha memberikan pelayanan terbaik kepada Wajib Pajak, sehingga Wajib Pajak merasa nyaman menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya. Pelayanan itu dapat berupa kemudahan administrasi, kejelasan peraturan dan lain sebagainya. Tugas yang berikutnya adalah menjalankan peran sebagai pengawas pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan.
Tugas sebagai pengawas dijalankan melalui pemeriksaan dengan berbagai bentuk. Tugas sebagai pengawas ini bukan pekerjaan tunggal, melainkan serangkaian kegiatan yang harus dijalankan secara bertahap, sistematis, dan berkesinambungan mengikuti perkembangan Wajib Pajak. Pemeriksaan dimulai dari pemeriksaan sederhana kantor sampai dengan pemeriksaan di lapangan. Berbagai teknik digunakan agar pemeriksaan berhasil mengungkapkan kecurangan jika memang dilakukan Wajib Pajak. Untuk kegiatan pemeriksaan ini, semakin patuh Wajib pajak semestinya tidak banyak hasil yang diperoleh, namun jika Wajib Pajak banyak yang tidak patuh akan ditemukan banyak penyelewengan.
Hasil pemeriksaan dapat berupa dua kemungkinan, jika indikasinya adalah pelanggaran ketentuan pajak maka diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP). Ada kalanya hasil pemeriksaan menunjukkan adanya indikasi tindak pidana perpajakan yang dapat menimbulkan kerugian negara, maka pemeriksaan dapat ditingkatkan pada pemeriksaan bukti permulaan. Jika indikasi tindak pidana lemah, maka pemeriksaan bukti permulaan dapat diakhiri dengan menerbitkan SKP. Jika indikasi tindak pidana perpajakan semakin kuat, maka ditingkatkan menjadi penyidikan.
Menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) Pasal 1 angka 31 yang dimaksud dengan penyidikan adalah : “Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya”.
Dari bunyi ketentuan tersebut, dapat dinyatakan bahwa penyidikan hanya dapat dilakukan oleh penyidik, artinya tidak semua pegawai pajak dapat menjadi penyidik.
Mendengar kata penyidik yang lebih dikenal luas adalah polisi, bukan pegawai pajak. Dalam perpajakan penjelasan tentang penyidik baru dijumpai dalam UU KUP tahun 2007, UU KUP sebelumnya tidak menegaskan tentang penyidik dalam penjelasan yang terpisah. Dalam Pasal 1 angka 32 UU KUP yang dimaksud dengan penyidik adalah : “Penyidik adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Dalam bidang perpajakan dapat ditunjuk pegawai pajak yang jelas adalah Pegawai Negeri Sipil, untuk diberikan wewenang khusus menjadi penyidik tindak pidana dibidang perpajakan.
Penegasan tentang penyidikan pajak diatur dalam UU KUP Pasal 44 ayat (1) yang menyatakan : “Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan”.
Penjelasan Pasal 44 Ayat (1) adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diangkat sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan oleh pejabat yang berwenang adalah penyidik tindak pidana di bidang perpajakan. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dilaksanakan menurut ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
Dari penjelasan tersebut di atas, jelas bahwa Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) memiliki kewenangan yang berbeda dibandingkan dengan pegawai pajak yang lain. Wewenang tersebut diatur dalam Pasal 44 ayat (2) UU KUP sebagai berikut : 
a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
d. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan;
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan; 
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; 
j. menghentikan penyidikan; dan/atau 
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan 11 wewenang yang diatur UU tersebut, tampak bahwa PPNS memiliki kewenangan yang sangat besar. Hal ini terasa wajar karena jika diamati dengan seksama, peran penyidik melalui serangkaian kegiatan penyidikan merupakan penghadang terakhir bagi penjagaan pelaksanaan kewajiban perpajakan yang dijalankan Wajib Pajak. Jika penyidik tidak berhasil mengidentifikasi adanya tindak pidana perpajakan, dapat saja negara dirugikan secara material, artinya kerugian sumber kas negara, dan kerugian lain, misalnya lemahnya pengawasan oleh pemerintah dapat menurunkan kepatuhan Wajib Pajak.
Mengingat pentingnya peran penyidikan bagi DJP dalam menjalankan fungsinya sebagai pengawas, pemerintah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kinerja di bidang perpajakan. Salah satunya adalah melakukan reorganisasi di lingkungan DJP. Mulai tahun 2006 dibentuk lah beberapa direktorat baru, salah satunya adalah Direktorat Intelijen dan Penyidikan.
Sebelum 2007, unit yang menangani penyidikan adalah unit setingkat eselon III yaitu Subdirektorat Penyidikan yang merupakan bagian dari Direktorat Pemeriksaan Penyidikan dan Penagihan Pajak. Sekarang ini, unit tersebut ditingkatkan menjadi unit setingkat eselon II yaitu Direktorat Intelijen dan Penyidikan (Dit Inteldik) yang membawahi empat Subdit yaitu Subdit Intelijen, Subdit Rekayasa Keuangan, Subdit Pemeriksaan Bukti Permulaan, dan Subdit Penyidikan.
Keempat Subdit tersebut merupakan satu rangkaian pekerjaan untuk membina dan menindak Wajib Pajak yang terindikasi melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, mengajukannya ke pihak penuntut umum yaitu kejaksaan melalui kepolisian untuk dilakukan penuntutan hingga keluarnya vonis pengadilan terhadap tersangka. Adapun kasus pelanggaran administratif akan ditangani Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan. Penggunaan nama intelijen pada Direktorat Intelijen dan Penyidikan karena selain melakukan tugas penegakan hukum perpajakan, Dit Inteldik juga melakukan tugas-tugas intelijen yang berlangsung secara terbuka maupun tertutup guna mendukung penyidikan. Proses penyidikan pajak dilakukan penyidik, baik yang berada di Kantor Pusat DJP maupun di Kanwil masing-masing yang bertujuan mengumpulkan bukti dan saksi untuk mengungkap tindak pidana pajak serta menemukan dan menahan tersangkanya.
Tugas Pokok Direktorat Intelijen dan Penyidikan (Dit Inteldik) adalah menyiapkan kebijakan, standarisasi, bimbingan teknis pelaksanaan dan evaluasi di bidang intelijen dan penyidikan pajak berdasarkan kebijakan teknis yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak. Sementara itu, fungsinya adalah penyiapan bahan penelaahan dan penyusunan kebijakan teknis operasional di bidang pengumpulan dan penelaahan bukti permulaan tentang adanya tindak pidana di bidang perpajakan, intelijen, penyidikan, dan rekayasa keuangan. Dari uraian tugas dan fungsi tersebut, Dit Inteldik dapat mengajukan wajib pajak yang tidak menunaikan kewajiban perpajakan ke pengadilan, baik karena alpa atau sengaja, sebagaimana diatur dalam Pasal 38 dan 39 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan serta sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 melalui proses penyidikan yang bekerja sama dengan Polri dan Kejaksaan. Dasar pemikiran pembentukan Dit Inteldik adalah untuk menjamin penegakan hukum dilaksanakan secara konsisten dan professional untuk mengawal penilaian diri.
Dari uraian panjang tentang peran penyidikan dalam pengawasan yang dijalankan DJP dalam self assessment system, sedangkan penyidikan tindak pidana perpajakan hanya dapat dijalankan oleh penyidik yaitu PPNS, maka perlu dilakukan beberapa langkah untuk mendapatkan PPNS yang berkualitas, professional dan handal dalam menjalankan tugasnya. Jika upaya mendapatkan PPNS tidak seperti yang diharapkan karena pegawai pajak memang bukan polisi yang terlatih khusus untuk melakukan penyidikan, masih dapat dilakukan upaya pengembangan yang merupakan salah satu cara peningkatan kinerja PPNS. Disadari atau tidak peran PPNS dalam melakukan penyidikan pajak sangat sentral. Oleh karenanya perlu diteliti bagaimana latar belakang pengetahuan dan tingkat kemampuan PPNS agar dapat menyelesaikan tugas yang diembannya dan kinerjanya dapat mencapai tingkat yang diharapkan.
Keberhasilan dalam menjalankan tugas tentulah harus didukung dengan berbagai kemampuan, namun hal yang tidak kalah penting adalah dimulai dari memilih calon yang terbaik dalam proses seleksi kemudian dikembangkan melalui pendidikan dan latihan. Proses seleksi PPNS yang dilakukan DJP selama ini diperoleh dari sumber internal yaitu pegawai pajak yang diseleksi ulang untuk menjadi PPNS. Kenyataan ini menuntut beberapa hal, yaitu seleksi harus dilakukan dengan ketat karena Pegawai pajak direkrut dengan pertimbangan tertentu dan perlu dikaji apakah salah satu pertimbangannya adalah kemampuan untuk menjadi penyidik. Kegagalan dalam proses rekrutmen berarti masalah dalam proses kerja lainnya. Jika kesalahan tidak fatal, artinya karyawan yang menjadi PPNS masih sesuai keahliannya dengan tugas penyidik, maka dapat dilakukan pengembangan untuk meningkatkan pengetahuan pegawai.
Proses rekrutmen dan seleksi PPNS telah dilakukan dan menghasilkan PPNS yang ada saat ini sejumlah 564 orang. Proses rekrutmen pada awal tahun 1983 sejak berlakunya self assessment system dilakukan dengan cara penunjukkan langsung oleh atasan calon PPNS. Proses seleksi tidak ada karena sifatnya sangat subyektif, artinya pimpinan lah yang melakukan seleksi tanpa dasar yang jelas, sehingga sangat memungkinkan berperannya perasaan suka atau tidak suka dari seorang pimpinan dalam menyeleksi calon PPNS.
Proses rekrutmen yang dilakukan dengan cara tertutup (penunjukan langsung) juga tidak dapat menjangkau seluruh pegawai DJP karena informasi tentang peluang menjadi PPNS tidak dapat diakses oleh seluruh pegawai DJP. Hal itu juga rawan kesalahan karena dapat saja terjadi pegawai yang dinilai atasan layak menjadi PPNS tidak berminat dan berdampak pada aspek psikologis dalam menjalankan penyidikan. Proses seleksi yang tidak memiliki standar tertentu dapat juga menjadi suatu kesalahan karena PPNS yang dihasilkan dari seleksi tersebut sangat bervariasi keahlian yang dimiliki.
Dalam berbagai teori tentang rekrutmen, diperlukan setidaknya analisis pekerjaan dan analisis beban kerja sehingga dapat diketahui kualifikasi orang yang sesuai untuk suatu pekerjaan dan berapa jumlah yang ideal untuk jabatan tersebut. Menarik untuk dikaji apakah PPNS yang ada telah sesuai dengan kebutuhan DJP baik mutu maupun jumlahnya. Kelebihan atau kekurangan jumlah PPNS akan berdampak pada kinerja. Apalagi jika kualitas PPNS yang dihasilkan tidak sesuai dengan kebutuhan, maka diperlukan berbagai langkah pengembangan agar kemampuan PPNS sebanding dengan kebutuhan dalam menjalankan tugasnya sebagai penyidik.
Selain proses rekrutmen dan seleksi yang belum terencana, DJP juga mengalami masalah dalam pengembangan PPNS karena pengembangan yang dilakukan lebih banyak diikutsertakan dalam pelatihan dengan instansi lain yang khusus bertugas menjadi penyidik dan Intelijen, misalnya Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) dan Badan Intelijen Negara (BIN). Pelatihan bersama instansi yang competence memang bagus, namun untuk DJP, tugas yang dipegang lebih khusus karena ada unsur penerimaan pajak yang harus dipertimbangkan sebagai prioritas dan UU yang mengatur penyidikan pajak juga masih setengah-setengah. Artinya sebagian ketentuan penyidikan tunduk pada Hukum Acara Pidana dan sebagian harus taat pada ketentuan pajak yang berlaku.
Oleh karena itu menarik untuk diteliti bagaimana DJP melaksanakan proses rekrutmen dan seleksi untuk mendapatkan PPNS yang berkualitas yang akan ditempatkan sebagai penyidik tindak pidana perpajakan. Bagaimana juga pelaksanaan pengembangan kemampuan PPNS untuk mencapai tingkat tertentu yang diharapkan. Berdasarkan pemikiran tersebut, penelitian ini mengambil judul "ANALISIS PELAKSANAAN REKRUTMEN, SELEKSI, DAN PENGEMBANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) PADA DIREKTORAT INTELIJEN DAN PENYIDIKAN DIREKTORAT JENDERAL PAJAK"

B. Perumusan Masalah Pokok
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan yang diangkat dalam tesis ini adalah bagaimanakah upaya yang dilakukan DJP untuk meningkatkan kinerja PPNS. Adapun masalah pokok tersebut dapat dirinci menjadi pertanyaan penelitian sebagai berikut : 
1. Bagaimana proses rekrutmen dan seleksi PPNS pada Direktorat Intelijen dan Penyidikan Direktorat Jenderal Pajak ?
2. Bagaimana program pengembangan PPNS yang dilakukan oleh Direktorat Intelijen dan Penyidikan Direktorat Jenderal Pajak ?
3. Bagaimanakah cara mengatasi masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan rekrutmen, seleksi, dan pengembangan PPNS pada Direktorat Intelijen dan Penyidikan Direktorat Jenderal Pajak ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dirumuskan dari masalah pokok penelitian. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 
1. Untuk mengetahui dan menganalisis proses rekrutmen dan seleksi PPNS pada Direktorat Intelijen dan Penyidikan DJP.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis program pengembangan PPNS yang dilakukan oleh Direktorat Intelijen dan Penyidikan DJP.
3. Untuk menganalisis cara mengatasi masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan rekrutmen, seleksi, dan pengembangan PPNS pada Direktorat Intelijen dan Penyidikan DJP.

D. Sistematika Penulisan
Penyusunan tesis ini dilakukan dengan sistematis agar memudahkan peneliti dan pembaca memahami isi penelitian. Tesis terbagi menjadi lima bab dengan perincian sebagai berikut : 
Bab I Pendahuluan
Bab pendahuluan ini berisi fenomena, data, dan fakta yang menjadi latar belakang munculnya masalah dalam penelitian ini. Berdasarkan latar belakang tersebut, dirumuskan lah masalah pokok penelitian. Tujuan penelitian disusun setelah merumuskan masalah pokok penelitian dan selanjutnya dapat diidentifikasi signifikansi penelitian ini bagi perkembangan ilmu dan untuk kepentingan praktis. Terakhir berisi sistematika penulisan yang menggambarkan susunan penulisan laporan penelitian.
Bab II Tinjauan Pustaka
Untuk membantu menganalisis masalah pokok, maka disusun teori-teori yang relevan yaitu tentang Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM), Proses Rekrutmen, Seleksi, dan Penempatan. Pengembangan SDM, manfaat pengembangan SDM dan lain sebagainya sehingga dapat disusun kerangka teori yang sistematis, logis, dan tepat untuk menjadi dasar analisis.
Bab III Metode Penelitian dan Gambaran Umum Obyek Penelitian
Bab ini diawali dengan metode penelitian yang meliputi, pendekatan penelitian, metode pengumpulan data, dan metode analisis data. Gambaran umum yang dikemukakan adalah seputar masalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang berkaitan dengan siapa yang bisa menjadi PPNS, bagaimana perekrutannya, kualifikasi yang harus dipenuhi dan lain sebagainya. Gambaran kondisi PPNS yang saat ini ada dengan dukungan data yang akurat juga dijabarkan sehingga diperoleh gambaran menyeluruh tentang obyek penelitian.
Bab IV Analisis dan Pembahasan
Data yang diperoleh dari penelitian di lapangan dianalisis dan diuraikan dalam bab ini. Analisis dilakukan untuk setiap masalah yang dirumuskan dalam penelitian sehingga diperoleh pembahasan yang detail dan komprehensif.
Bab V Penutup
Bab penutup berisi simpulan yang diperoleh dari hasil analisis masalah penelitian berdasarkan data dan temuan di lapangan. Berdasarkan simpulan yang diambil direkomendasikan saran yang dapat dijadikan pertimbangan bagi pihak-pihak yang berkepentingan khususnya di bidang sumber daya manusia.