Search This Blog

Showing posts with label pengentasan kemiskinan. Show all posts
Showing posts with label pengentasan kemiskinan. Show all posts

SKRIPSI ANALISIS DAMPAK BANTUAN PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT MISKIN (STUDI IMPLEMENTASI BLT)

(KODE : EKONPEMB-035) : SKRIPSI ANALISIS DAMPAK BANTUAN PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT MISKIN (STUDI IMPLEMENTASI BLT)

skripsi ekonomi pembangunan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kemiskinan bukanlah sesuatu yang bam di Indonesia. Sejarah memberikan informasi bahwa kemiskinan di Indonesia sudah eksis ada jauh-jauh sebelum kemerdekaan. Penjajahan Bangsa Indonesia oleh bangsa-bangsa Eropa, khususnya Belanda sesungguhnya lebih banyak dilatarbelakangi kepentingan ekonomi dibandingkan dengan kepentingan politik, pertahanan dan keamanan. Keunggulan sumber daya alam yang dimiliki wilayah Nusantara menjadi sangat menarik minat bangsa-bangsa Eropa dan memang memiliki arti yang sangat besar dalam upaya pembangunan negara penjajah. Sedangkan kehadiran kekuatan politik dan pertahanan hanya sekedar alat untuk mengamankan kepentingan ekonomi. (Matias Siagian, 2012 : 161)
Semangat membangun negara penjajah dengan menghalalkan segala cara merupakan awal malapetaka bagi Bangsa Indonesia, yang juga dialami oleh bangsa-bangsa lainnya pada masa jajahan Bangsa Eropa. Secara politik dan hukum, Nusantara pun dijadikan sebagai bagian dari wilayah negara jajahan sehingga disebut Hindia Belanda. Hukum yang berlaku di Belanda pun diberlakukan didaerah jajahannya, terutama Nusantara. Hal tersebut dilakukan negara penjajah untuk mempermudah penguasaan sumber daya alam yang ada di wilayah jajahan untuk dapat dipergunakan dalam membangun negara-negara Eropa khususnya Belanda.
Sistem tanam paksa merupakan kebijakan ekonomi penjajah yang sangat menyengsarakan. Pola perekonomian subsisten yang berarti bahwa aktivitas ekonomi, khususnya di saat itu pertanian hanya sekedar memenuhi kebutuhan dasar yang diterapkan secara turun-temurun, yang pada umumnya rakyat Indonesia pun terusik secara mendasar. Hal ini disebabkan, rakyat Indonesia dipaksa mengembangkan komoditi yang amat dibutuhkan dan sangat mahal harganya di Eropa. Kebijakan ekonomi tersebut tentu menyengsarakan rakyat Indonesia, kemiskinan mewabah, bahkan rakyat juga mengalami kelaparan dan kematian.
Upaya mempermudah penguasaan wilayah Indonesia yang demikian luas yang ditempuh melalui pembangunan jalan juga menjadi malapetaka bagi rakyat Indonesia. Pembangunan jalan yang dilakukan melalui sistem Rodi juga sangat menyengsarakan setiap rakyat. Dengan hanya mengkonsumsi makanan yang minim, rakyat dipaksa bekerja ekstra keras, mulai pagi hingga malam hari hingga mengakibatkan banyak rakyat yang lagi-lagi sengsara dan mengalami kematian. (Matias Siagian, 2012 : 162)
Ketidakseimbangan jumlah penduduk Indonesia dengan jumlah aparatur penjajah dijadikan dasar untuk melakukan pembeda-pembeda rakyat secara hukum. Penguasa-penguasa tradisional yang bertebaran di Indonesia pun dirangkul dan diberi kedudukan istimewa. Kebijakan penjajah ini mengakibatkan dualisme pada setiap masyarakat Indonesia, yang ditandai dengan perbedaan akses sehingga segelintir dari rakyat Indonesia berperilaku sebagai penjajah.
Kondisi dualisme yang diciptakan penjajah pun cenderung diwarisi hingga di era kemerdekaan. Akibatnya, segelintir dari masyarakat Indonesia mengalami kemajuan yang signifikan, sedangkan mayoritas masyarakat Indonesia terbelenggu dalam ketradisionalannya. Demikianlah masyarakat Indonesia terbelah secara sosial, dengan jarak bagaikan langit dan bumi. Keadaan seperti ini mengakibatkan kemiskinan yang cenderung berupa kemiskinan massa yang tetap eksis hingga saat ini. (Matias Siagian, 2012 : 163)
Kemiskinan terutama sebagai akibat ketimpangan ekonomi yang terjadi diantara masyarakat Indonesia merupakan fakta yang sudah sangat tua. Disebut ketimpangan, karena Indonesia dengan sumber daya alam yang cukup kaya dari zaman ke zaman senantiasa dihiasi oleh dualisme ekonomi. Sangat mudah bagi kita untuk menemukan keadaan kehidupan yang demikian mewah di Indonesia, seperti perumahan yang super mewah, kendaraan yang super mewah maupun pusat perbelanjaan yang juga tergolong mewah. Sebaliknya, sangat mudah pula bagi kita untuk menemukan kondisi hidup yang sangat miskin, seperti pemukiman kumuh di perkotaan, pemukiman liar di perkotaan, rumah-rumah tidak layak huni di kota-kota maupun di desa-desa, pengemis dan gelandangan yang senantiasa menghiasi seluruh kota-kota maupun di setiap daerah Indonesia. Bahkan akhir-akhir ini, istilah bunuh diri akibat tidak memiliki daya tahan atas himpitan ekonomi sudah mulai menggejala yang patut diwaspadai.
Sejak awal pembangunan, pemerintah Indonesia tentu sudah mengetahui fakta kemiskinan yang senantiasa eksis sejak dari zaman penjajahan. Berbagai kebijakan telah ditetapkan dan ditempuh, berbagai program pun telah pula ditetapkan dan dilaksanakan dalam rangka mengatasi masalah kemiskinan itu. Bahkan pemerintah juga telah membentuk Tim Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, namun masalah kemiskinan masih tetap saja eksis dan belum menunjukkan perbaikan total terhadap tingkat kemiskinan. (Matias Siagian, 2012 : 164)
Kemiskinan merupakan masalah kompleks tentang kesejahteraan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain tingkat pendapatan masyarakat, pengangguran, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi, geografis, gender dan lokasi lingkungan. Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Hak-hak dasar yang diakui secara umum meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam, lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik. Esensi kemiskinan adalah menyangkut kondisi kekurangan dari sebuah tuntutan kehidupan yang paling minimum, khususnya dari aspek konsumsi dan pendapatan. (Andika dan Hastarini, 2011 : 2)
Seperti halnya krisis ekonomi pada tahun 1997/1998 juga telah memberikan pelajaran yang pahit bagi Bangsa Indonesia. Pada periode Tahun 1996-1999 Badan Pusat Statistik merilis jumlah penduduk miskin yang meningkat sebesar 13,96 jutajiwa akibat krisis ekonomi, yaitu dari 34,01 juta jiwa pada tahun 1996 bertambah menjadi 47,97 juta pada tahun 1999. Sementara itu, persentase penduduk miskin meningkat dari 17,47 persen menjadi 23,43 persen pada periode tahun yang sama. Dan walaupun saat ini jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia sedang mengalami penurunan secara perlahan, namun jumlah penduduk miskin di Indonesia masih tetap tinggi yaitu masih terdapat 28,07 juta jiwa ataupun masih terdapat 11,37 persen yang diantaranya jumlah penduduk miskin di perkotaan yaitu terdapat 10,33 juta jiwa dan di desa sebesar 17,74 juta jiwa pada tahun 2013. (BPS 2008 : 41)
Masalah kemiskinan merupakan persoalan mendasar yang terus menjadi pusat perhatian pemerintah di seluruh negara. Seperti halnya kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami oleh masyarakat di kecamatan obyek penelitian yang sudah tidak asing lagi untuk dibahas, yang dimana hingga sampai saat ini masih memiliki 11.028 KK miskin yang diantaranya terdapat 8.222 KK Rumah Tangga Sasaran yang menerima salah satu program bantuan penanggulangan kemiskinan yaitu program Bantuan Langsung Tunai/BLSM.
Kemiskinan yang mereka alami seakan terus menjadi kemiskinan yang bersifat dari masa ke masa. Sebagian besar masyarakat di Kecamatan Medan Belawan tersebut merasa dihambat dan terbelenggu hidup sulit karena masih kurang terpenuhinya hak-hak dasar mereka seperti kebutuhan akan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, kondisi tempat tinggal, juga tidak tertinggal dampak yang mereka hadapi akibat dari kenaikan BBM yang bermula pada tahun 2008 hingga pada November 2014. Akibatnya tidak jarang anak-anak beserta keluarga mereka harus ikut terjebak untuk ikut memikul beban bekerja sebagaimana yang dialami oleh orang tua mereka masing-masing.
Kebijakan pemerintah menaikkan harga dasar BBM tersebut mengakibatkan harga kebutuhan pokok terus meningkat dan bagi masyarakat kategori miskin tentu mengakibatkan daya beli mereka juga akan semakin menurun, karena mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan perkembangan harga di pasar. Masyarakat tersebut tentu akan terkena dampak sosial yaitu semakin menurunnya taraf kesejahteraan kehidupannya dan menjadi semakin sulit dan miskin. (Petunjuk Teknis Penyaluran BLT, 2008 : 1)
Untuk menyikapi hal tersebut, pemerintah dengan kebijakannya membentuk suatu program pengentasan kemiskinan seperti Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang termasuk dalam klaster-1 bersama program bantuan beras untuk orang miskin (Raskin), program keluarga harapan (PKH), program jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) atau yang sebelumnya dikenal dengan Askeskin untuk perawatan kesehatan gratis, program beasiswa untuk siswa miskin, serta program untuk kelompok rentan sosial lainnya. Dan program bantuan dan perlindungan sosial dengan sasaran rumah tangga miskin (program nasional pemberdayaan masyarakat PNPM) dengan sasaran pemberdayaan kelompok masyarakat dan program pemberdayaan usaha mikro dan kecil berupa bantuan permodalan dan bentuk kredit usaha rakyat. (Bimby Hidayat, 2008 : 7)
Dana tunai atau bantuan langsung tunai tak bersyarat yang dilakukan pemerintah pada tahun 2008 diperuntukkan bagi masyarakat miskin agar tidak terlalu merasakan dampak dari kenaikan harga BBM. Dasar pemerintah dalam membuat kebijakan program BLT ini adalah untuk membantu masyarakat miskin yang akan merasakan dampak dari kenaikan harga BBM. Selain itu BLT diberlakukan sebagai kompensasi dari pemotongan subsidi bahan bakar minyak kepada penduduk miskin. Tidak adanya lagi subsidi untuk BBM pada tahun 2008 dinilai pemerintah akan menambah jumlah APBN dan tidak akan terjadi defisit kas Negara. Maka dari itu BLT ini dicanangkan sebagai kompensasi bagi penduduk miskin.
Dalam pelaksanaannya cukup banyak kalangan masyarakat yang kurang setuju dengan program BLT/BLSM ini. Ada yang berpendapat bahwa Bantuan Langsung Tunai kepada Rumah Tangga Sasaran bersifat charity dan menimbulkan budaya malas, ketergantungan, dan meminta-minta belas kasihan pemerintah serta menumbuhkan budaya konsumtif sesaat, karena penggunaan uang tidak diarahkan oleh pemerintah (unconditional cash transfer). (Petunjuk Teknis Penyaluran BLT, 2008 : 4)
Namun ada juga masyarakat yg membutuhkan dan setuju dengan adanya program BLT ini walaupun jumlah dana yang mereka terima tidak begitu besar namun beberapa pengamat ataupun kalangan menilai positif dengan adanya program bantuan ini karena tentu akan menambah pendapatan atau pemasukan keluarga, yang selanjutnya dapat menambah pemenuhan kebutuhan pokok yang mereka perlukan sehari-hari. Dan namun tidak jarang juga ada masyarakat yg kurang setuju dengan dijalankannya program BLT ini, karena mereka justru lebih memilih dan membutuhkan program penanggulangan kemiskinan yang lebih bermanfaat untuk menunjang kelangsungan hidup mereka lewat penciptaan lapangan usaha, dan program mendidik lainnya.
Dengan melihat adanya permasalahan diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti sebuah fenomena yang terjadi di Kecamatan Medan Belawan, yang diberi judul “ANALISIS DAMPAK BANTUAN PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN (BLT) TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT MISKIN”.
TESIS ZAKAT DAN PENGENTASAN KEMISKINAN (KAJIAN ATAS LEMBAGA AMIL ZAKAT)

TESIS ZAKAT DAN PENGENTASAN KEMISKINAN (KAJIAN ATAS LEMBAGA AMIL ZAKAT)

(KODE : PASCSARJ-0219) : TESIS ZAKAT DAN PENGENTASAN KEMISKINAN (KAJIAN ATAS LEMBAGA AMIL ZAKAT) (PROGRAM STUDI : EKONOMI ISLAM)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir dan miskin, pengurus (amil) zakat para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang, untuk (usaha) di jalan Allah, dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ayat di atas jelas berbicara tentang kelompok yang ditetapkan oleh Allah sebagai yang berhak mendapat dana zakat. Zakat berdasarkan ayat di atas dapat dikatakan sebagai jaminan sosial bagi kelompok yang sangat membutuhkan bantuan materi. Jadi, zakat merupakan ibadah yang mempunyai peran strategis dalam konteks ekonomi keumatan yang akan memberikan dampak kesejahteraan dan kemakmuran bagi orang banyak.
Menurut al-Shaukani dalam kitab tafsirnya Fath al-Qadir, ayat di atas telah merinci pihak yang harus mendapat bantuan keuangan, yang berasal dari zakat berdasarkan skala prioritas, dari kelompok yang sangat membutuhkan, yaitu faqir dan seterusnya kelompok yang dikategorikan miskin dalam memenuhi kebutuhan asasi mereka. Apabila kebutuhan primer mereka telah terpenuhi, maka untuk selanjutnya zakat berperan untuk mengangkat dan meningkatkan taraf hidup mereka pada standar kehidupan yang layak, seperti yang dialami oleh kelompok muzakki. Sebagai mustahiq, tentunya mereka tidak ingin selamanya menjadi orang yang tangannya di bawah terus menerus, tetapi mereka berharap untuk menjadi kelompok muzakki di masa mendatang. Di sinilah peran zakat dalam konteks memberdayakan kelompok mustahiq) agar tercipta kemakmuran dan kesejahteraan yang merata.
Pembicaraan tentang zakat tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan tentang konsep harta menurut al-Qur'an, terutama kefahaman tentang konsep kepemilikan yang akan meringankan si pemilik harta untuk mengeluarkan sebagian hartanya sesuai dengan ketentuan pemilik hakiki yaitu Allah swt. sebagaimana firman-Nya : 
“Dan berikanlah kepada mereka dari harta Allah yang dikaruniakan kepadamu”
Kemudian Allah mengizinkan manusia untuk menguasai harta tersebut, dengan cara-cara yang telah ditetapkan. Jika manusia mendapatkan atau menguasai harta tersebut dengan mengabaikan aturan Allah, maka ia pada hakikatnya tidak berhak untuk memilikinya. Inilah konsep kepemilikan dalam Islam yang membedakan dengan konsep kepemilikan dalam aturan lain, sehingga harus disadari betul bahwa pada harta yang dimiliki seseorang, ada kewajiban yang ditetapkan oleh Allah, dan hak orang lain yang bersifat melekat pada harta tersebut.
Secara empiris, kesejahteraan sebuah negara karena zakat terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz. Meskipun beliau hanya memerintah selama 22 bulan karena meninggal dunia, negara menjadi sangat makmur, yaitu dengan pemerintahan yang bersih dan jujur, dan zakat ditangani dengan baik. Kala itu negara yang cukup luas hampir sepertiga dunia, tidak ada yang berhak menerima zakat, karena semua penduduk muslim sudah menjadi muzakki. Itulah pertama kali ada istilah zakat ditransfer ke negeri lain, karena tidak ada lagi yang patut disantuni.
Jelas keberhasilan khalifah Umar bin Abdul Aziz pada saat itu tidak hanya dengan menggunakan zakat dalam arti harfiah materiil semata, tetapi merupakan kebijakan yang memberikan perhatian yang tinggi pada pengelolaan zakat. Zakat pada kepemimpinan beliau dijadikan tolok ukur akan kesejahteraan masyarakat, baik jumlah orang yang berzakat, besar zakat yang dibayarkan, maupun jumlah penerima zakat. Berbeda dengan tolok ukur lain yang cenderung bias. Tolak ukur zakat sebagai pengatur kesejahteraan benar-benar bisa dijadikan pedoman standar, baik dalam konteks ekonomi mikro maupun makro. Disinilah zakat berperan sebagai ibadah harta berdimensi sosial yang memiliki posisi penting, strategis dan menentukan, baik dari sisi pelaksanaan ajaran Islam, maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat.
Khalifah Abu Bakar mengultimatum perang terhadap kelompok yang hanya salat, namun tidak mau berzakat sepeninggal Rasulullah. Atas dasar kepentingan inilah, sampai sahabat Abdullah bin Mas'ud menegaskan bahwa orang yang tidak berzakat, maka tidak ada salat baginya.
Beranjak pada potensi zakat di Indonesia, menurut perhitungan yang dibuat oleh Asian Development Bank potensi zakat di Indonesia bisa mencapai Rp 100 Triliun. Sebuah angka yang sangat besar, potensi zakat yang besar ini harus digali secara serius agar menjadi kekuatan ekonomi masyarakat yang nyata.
Potensi zakat yang sangat besar ini, tidak terlepas dari pembangunan ekonomi Indonesia. Pembangunan ekonomi telah mampu meningkatkan pendapatan penduduk Indonesia secara berarti. Peningkatan pendapatan dan taraf hidup sebagian besar masyarakat Islam Indonesia, tentu telah membuat potensi pembayaran zakat semakin besar pula.
Jika pemasukan zakat di Indonesia sangat tinggi kemudian dikelola dengan profesional dalam bentuk program-program pengentasan kemiskinan, seperti pendirian perusahaan sebagai lapangan kerja, pemberian modal usaha, pelatihan peningkatan ketrampilan kerja dan lain sebagainya, Maka zakat dapat membantu mengatasi berbagai masalah sosial, terutama kemiskinan dan keterbelakangan di kalangan masyarakat Muslim. Jika potensi riil ini kemudian dipadukan dengan upaya-upaya pemerintah dalam pengentasan kemiskinan, maka insya Allah kemiskinan di Indonesia akan dapat lebih cepat teratasi.
Terdapat sebuah kenyataan di desa X, penghuninya 100% muslim, banyak penduduknya yang kaya dengan indikasi mereka memiliki perusahaan-perusahaan, kendaraan mewah dan lain sebagainya, hal ini menunjukkan potensi zakat pada desa ini cukup besar. 
selain itu, di desa ini terdapat sebuah Lembaga Amil Zakat (LAZ). Namun belum ditemukan adanya pengentasan kemiskinan pada penduduk yang miskin melalui zakat. Padahal secara teori zakat dapat mengentaskan kemiskinan dan sejarah sudah membuktikannya sebagaimana tertera di atas.
Data awal yang diperoleh peneliti dari LAZ yang ada di desa tersebut, yakni LAZ Masjid Y, Jumlah zakat mal yang terkumpul dalam satu tahun dari 104 orang muzakki mencapai Rp. 113.050.000 (Seratus tiga belas juta lima puluh ribu rupiah) dan data yang dimiliki oleh LAZ tersebut, Jumlah mustahiq) zakat yang masuk kategori miskin terdapat 117 orang.
Menurut keterangan dari pengurus LAZ dan warga sekitar masih banyak orang yang dipandang kaya namun tidak mengeluarkan zakatnya, dan ini dimungkinkan karena kurangnya kesadaran mereka dalam memperhatikan masalah zakat.
Dari data yang diperoleh peneliti, baik berupa data tertulis maupun keterangan-keterangan hasil wawancara tentang keadaan zakat di desa tersebut, peneliti punya asumsi bahwa daerah tersebut sebenarnya memiliki potensi besar dalam mengembangkan LAZ sehingga dapat dilakukan pengentasan kemiskinan. Oleh karena itu, peneliti memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadap LAZ dan perannya dalam pengentasan kemiskinan pada desa tersebut, dengan harapan dapat ditemukan sejumlah penyebab ketidakmampuannya dalam mengentaskan kemiskinan yang kemudian dapat dicarikan solusi-solusi terbaik.

B. Identifikasi Masalah
Dalam mengidentifikasi masalah, peneliti menggunakan teori penetapan fokus, karena dengan penetapan fokus, masalah dapat lebih mudah diidentifikasi dan tepat dalam memberikan batasan masalah. Dalam penelitian ini, berdasarkan topik di atas, fokus penelitiannya adalah upaya LAZ dalam pengentasan kemiskinan serta kendala-kendala serta solusi dalam mengatasinya.
Berbagai kemungkinan faktor yang ada kaitan dengan fokus tersebut subfokusnya adalah : 
1. Tingkat kemaksimalan LAZ dalam beroperasi.
2. Porsi bagi fakir miskin diantara delapan asnaf zakat yang berhak menerimanya.
3. Kurang tepatnya LAZ dalam mendistribusikan zakat.
4. Sistem yang dipakai dalam mendistribusikan zakat.
5. Kesadaran masyarakat terhadap kewajiban zakat.
6. Tingkat kepercayaan masyarakat dalam menitipkan zakat pada LAZ.
7. Kurangnya perhatian pemerintah setempat dalam menangani zakat
8. Kurangnya sosialisasi tokoh agama dalam menyerukan zakat
9. Minimnya muzakki dikarenakan kondisi ekonomi

C. Batasan Masalah
Dari faktor atau subfokus tersebut di atas, semuanya sangat menarik untuk diteliti. Namun agar penelitian bisa lebih fokus dan tidak terlalu melebar pembahasannya, serta terkendali dalam ruang lingkup yang lebih jelas dan terukur, maka penulis membatasi masalah pada : 
1. Pola pengumpulan dana zakat yang dilakukan oleh LAZ Masjid Y
2. Pola pendistribusian dana zakat yang dilakukan oleh LAZ Masjid Y
3. Tindakan yang dilakukan LAZ Masjid Y dalam upaya pengentasan kemiskinan

D. Rumusan Masalah
Mengacu pada identifikasi dan batasan masalah tersebut di atas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut : 
1. Bagaimana pola pengumpulan zakat yang dilakukan LAZ Masjid Y ?
2. Bagaimana pola pendistribusian dana zakat yang dilakukan LAZ Masjid Y ?
3. Apa saja tindakan pengelola LAZ Masjid Y dalam upaya pengentasan kemiskinan ?

E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa tujuan diantaranya adalah : 
1. Untuk mengetahui pola pengumpulan dana zakat yang dilakukan LAZ Masjid Y
2. Untuk mengetahui pola pendistribusian dana zakat yang dilakukan LAZ Masjid Y
3. Untuk mengetahui apa saja tindakan pengelola LAZ Masjid Y dalam upaya pengentasan kemiskinan

F. Kegunaan Penelitian
Dari penulisan penelitian ini penulis mengharapkan adanya manfaat-manfaat sebagai berikut : 
1. Kegunaan secara teoritis : 
a. Memberikan kontribusi dalam khazanah keilmuan tentang zakat dan LAZ
b. Diketahuinya pola pengumpulan dana zakat yang dilakukan oleh LAZ Masjid Y
c. Diketahuinya pola pendistribusian dana zakat yang dilakukan oleh LAZ Masjid Y
d. Diketahuinya porsi zakat yang dialokasikan untuk fakir miskin oleh LAZ Masjid Y
e. Diketahuinya wujud zakat dalam mengentaskan kemiskinan
f. Ditemukannya solusi-solusi maksimalisasi zakat dalam upaya pengentasan kemiskinan
2. Kegunaan secara praktis : 
a. Sebagai acuan kebijakan pemerintah setempat dalam memberikan perhatiannya pada pengembangan LAZ yang memiliki peran besar dalam ekonomi masyarakat
b. Sebagai acuan bagi LAZ akan pentingnya peran LAZ dalam keberhasilan program zakat
c. Kontribusi dalam rangka syi'ar penggalakan zakat