Search This Blog

Showing posts with label pascasarjana. Show all posts
Showing posts with label pascasarjana. Show all posts

TESIS PENGARUH INDEPENDENSI AUDITOR INDEPENDEN TERHADAP KUALITAS LAPORAN AUDIT

(KODE : PASCSARJ-0538) : TESIS PENGARUH INDEPENDENSI AUDITOR INDEPENDEN TERHADAP KUALITAS LAPORAN AUDIT (PROGRAM STUDI : AKUNTANSI)

tesis akuntansi

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Laporan keuangan merupakan sarana untuk menyediakan berbagai informasi yang diperlukan sebagai pengambilan keputusan baik oleh pihak internal maupun eksternal perusahaan. Menurut Financial Accounting Standard Board (FASB),
dua karakteristik terpenting yang harus ada dalam laporan keuangan adalah relevan (relevance) dan dapat diandalkan (reliable). Kedua karakteristik tersebut sangatlah sulit untuk diukur, sehingga para pemakai informasi membutuhkan jasa pihak ketiga, yaitu auditor independen untuk memberi jaminan bahwa laporan keuangan tersebut relevan dan dapat diandalkan, Sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan kepercayaan dari semua pihak yang berkepentingan dengan perusahaan tersebut. Para pengguna laporan audit mengharapkan bahwa laporan keuangan yang telah diaudit oleh auditor independen (akuntan publik) bebas dari salah saji material, dapat dipercaya kebenarannya untuk dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan dan telah sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku di Indonesia.
Namun, di era persaingan yang sangat ketat seperti sekarang ini, perusahaan dan profesi auditor independen sama-sama dihadapkan dengan perusahaan kompetitor atau rekan seprofesinya. Perusahaan menginginkan Unqualified Opinion sebagai hasil dari laporan audit, agar performance-nya, terlihat bagus di mata publik sehingga ia dapat menjalankan operasinya dengan lancar.
Menurut Chow dan Rice (dalam Elisha dan Icuk 2010), manajemen perusahaan berusaha menghindari opini wajar dengan pengecualian karena bias mempengaruhi harga pasar saham perusahaan dan kompensasi yang diperoleh manajer. Sehingga laporan keuangan yang diaudit adalah hasil proses negosiasi antara auditor dengan klien (Antle dan Nalebuff dalam Elisha dan Icuk 2010).
Disinilah auditor independen berada dalam situasi yang dilematis, di satu sisi auditor independen harus bersikap independen dalam memberikan opini mengenai kewajaran laporan keuangan berkaitan dengan kepentingan banyak pihak, namun di sisi lain dia juga harus bisa memenuhi tuntutan yang diinginkan oleh klien yang membayar fee atas jasanya agar kliennya puas dengan pekerjaannya dan tetap menggunakan jasanya di waktu yang akan datang. Posisi yang unik seperti itulah yang menempatkan auditor pada situasi yang dilematis sehingga dapat mempengaruhi kualitas auditor independen
Kepercayaan yang besar dari pemakai laporan keuangan auditan yang diberikan oleh auditor independen (akuntan publik) inilah yang akhirnya mengharuskan auditor independen (akuntan publik) memperhatikan kualitas laporan auditor independen yang dihasilkan. Kualitas laporan auditor independen ini penting karena dengan kualitas audit yang tinggi maka akan dihasilkan laporan keuangan yang relevan (relevance) dan dapat diandalkan (reliable) sebagai dasar pengambilan keputusan.
Adanya kekhawatiran akan merebaknya skandal keuangan, sehingga dapat mengikis kepercayaan publik terhadap laporan keuangan auditan dan profesi auditor independen (akuntan publik). Ada pertanyaan dari masyarakat tentang kualitas laporan auditor independen yang dihasilkan oleh auditor independen (akuntan publik) yaitu terjadinya banyak kasus yang melibatkan auditor independen (akuntan publik) baik di luar negeri maupun di dalam negeri dalam beberapa tahun terakhir ini.
Yang menjadi pertanyaan besar dalam masyarakat adalah mengapa justru semua kasus tersebut melibatkan auditor independen (akuntan publik) dimana seharusnya mereka sebagai pihak ketiga yang independen yang memberikan jaminan atas relevansi dan keandalan sebuah laporan keuangan. 
Dari beberapa kasus tersebut, jika dilihat dari perspektif psikologi mengenai independensi auditor ini mengemukakan bahwa upaya mencapai independensi adalah mustahil dan pendekatan-pendekatan profesi auditing yang ada sekarang ini adalah dan kurang realistis (Bazerman et al. 1997:89-94). Kerangka audit yang ada mengimplikasikan tujuan independensi adalah mencoba menghilangkan bias oleh auditor sehingga dapat mencapai hasil yang baik. Padahal auditor menurut mereka, berdasarkan posisi pekerjaan dalam hubungannya dengan klien tidak mungkin luput dari bias yang tidak disadari (unconscious bias).
Menurut Bazerman et al. (2001) seringkali auditor independen bersifat subyektif dan ada hubungan yang erat antara auditor independen (kantor akuntan publik) dan kliennya, auditor independen yang paling jujur dan cermat sekalipun akan secara tidak sengaja mendistorsi angka-angka sehingga dapat menutupi keadaan keuangan yang sebenarnya dari suatu perusahaan yang dapat menyesatkan investor, regulator atau manajemen itu sendiri.
Argumen Bazerman et al. (2001), dilandasi oleh bukti-bukti penelitian psikologi yang menunjukkan bahwa keinginan kita dengan kuat mempengaruhi cara kita menginterpretasikan informasi, sekalipun cara kita mencoba untuk bersikap obyektif dan tidak memihak. Dikemukakan juga adanya self serving bias, yaitu meski diperlengkapi dengan informasi yang sama, orang yang berbeda akan mencapai kesimpulan yang berbeda, yaitu kesimpulan yang cenderung mendukung kepentingannya sendiri.
Kualitas audit seperti dikatakan oleh De Angelo (1981) dalam Alim dkk. (2007), yaitu sebagai probabilitas dimana seorang auditor menemukan dan melaporkan tentang adanya suatu pelanggaran dalam sistem akuntansi kliennya.
Probabilitas auditor untuk melaporkan penyelewengan yang terjadi dalam sistem akuntansi klien tergantung pada independensi auditor. Seorang auditor independen dituntut untuk dapat menghasilkan kualitas pekerjaan yang tinggi, karena auditor independen mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap pihak-pihak yang berkepentingan terhadap laporan keuangan suatu perusahaan termasuk masyarakat. Tidak hanya bergantung pada klien saja, auditor independen merupakan pihak yang mempunyai kualifikasi untuk memeriksa dan menguji apakah laporan keuangan telah disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum
Sedangkan Christiawan (2005) mengungkapkan, kualitas audit ditentukan oleh dua hal yaitu independensi dan kompetensi yang merupakan faktor penentu kualitas audit.
Philip Kotler (1994) dalam Ridwan Widagdo (2002:7) mendefinisikan kepuasan auditee sebagai tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja atau hasil yang dirasakan dengan harapannya. Kualitas laporan audit yang dirasakan auditee diperoleh melalui pengalaman diaudit atau diperiksa. Auditee akan terkesan dan merespon atas apa yang dialami termasuk dalam hal pengkomunikasian hasil pemeriksaan, yang kemudian menimbulkan kepuasan auditee.
Hall dan Elliot (1993) menyimpulkan bahwa kualitas jasa audit dalam menghasilkan laporan audit adalah kepuasan auditee yang merupakan sesuatu yang berdiri sendiri. Namun atribut kualitas laporan audit seharusnya memberikan penjelasan mengenai faktor-faktor yang menentukan kepuasan auditee.
Menurut Boynton dan Kell (Wahana, volume 2,1999:23), kualitas jasa sangat penting untuk meyakinkan bahwa profesi bertanggungjawab kepada klien, masyarakat umum, dan aturan-aturan.
Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), yang dikeluarkan oleh IAPI tahun 2008 dinyatakan bahwa kriteria atau ukuran mutu mencakup mutu profesional auditor. Kriteria mutu profesional auditor seperti yang diatur oleh standar umum auditing meliputi independensi, integritas dan objektivitas. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa kualitas jasa audit bertujuan meyakinkan bahwa profesi bertanggung jawab kepada klien dan masyarakat umum yang juga mencakup mengenai mutu profesional auditor.
Hasil penelitian menurut Behn (1997:7) ada 12 atribut kualitas laporan audit yaitu pengalaman melakukan audit (client experience), memahami industri klien (industry expertise), responsive atas kebutuhan klien (responsiveness), taat pada standar umum (technical competence), independensi (independence), sikap hati-hati (due care), komitmen yang kuat terhadap kualitas laporan audit (quality commitment report), keterlibatan pimpinan KAP, melakukan pekerjaan lapangan dengan tepat (field work conduct), standar etika yang tinggi (ethical standard), tidak mudah percaya, dan kualitas audit dan kepuasan Klien.
Agar laporan audit yang dihasilkan auditor independen berkualitas, maka auditor harus menjalankan pekerjaannya secara professional. Auditor harus bersikap independen terhadap klien dan mematuhi standar audit. Kemudian memperoleh bukti kompeten yang cukup untuk menyatakan pendapat atas laporan audit dan melakukan tahap-tahap proses audit secara lengkap.
Kemudian dari pada itu auditor independen juga harus memegang prinsip kode etik dari Prinsip Dasar Etik Profesi Akuntan Publik [Seksi 110 sampai dengan 150:5] yang dikeluarkan oleh Dewan Standar Profesional Akuntan Publik tahun 2008 yaitu, integritas, obyektivitas, kompetensi, kerahasiaan dan prilaku professional.
Hal inilah yang menarik untuk diperhatikan bahwa profesi auditor independen (KAP) ibarat pedang bermata dua. Disatu sisi auditor harus memperhatikan kredibilitas dan etika profesi, namun disisi lain auditor juga harus menghadapi tekanan dari klien dalam berbagai pengambilan keputusan. Jika auditor tidak mampu menolak tekanan dari klien seperti tekanan personal, emosional atau keuangan maka independensi auditor telah berkurang dan dapat mempengaruhi kualitas audit. Selain itu juga auditor independen memiliki posisi yang strategis baik di mata manajemen maupun di mata pemakai laporan keuangan. Sehingga pemakai laporan keuangan menaruh kepercayaan yang besar terhadap kualitas hasil pekerjaan auditor independen dalam mengaudit laporan keuangan.
Dalam penelitian ini penulis melakukan pengujian mengenai seberapa penting kualitas laporan audit. Sehingga dapat diketahui apa saja yang dapat mempengaruhi kualitas laporan auditor independen dan selanjutnya dapat meningkatkan kualitas laporan yang dihasilkan.
Dari uraian yang telah disebutkan diatas maka peneliti melakukan penelitian dengan mengangkat judul : “PENGARUH INDEPENDENSI AUDITOR INDEPENDEN TERHADAP KUALITAS LAPORAN AUDIT (STUDI EMPIRIS)”.

TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUALITAS AUDIT DENGAN ETIKA AUDITOR SEBAGAI MODERATING VARIABEL PADA AUDITOR YANG BEKERJA PADA KANTOR AKUNTAN PUBLIK

(KODE : PASCSARJ-0537) : TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUALITAS AUDIT DENGAN ETIKA AUDITOR SEBAGAI MODERATING VARIABEL PADA AUDITOR YANG BEKERJA PADA KANTOR AKUNTAN PUBLIK (PROGRAM STUDI : AKUNTANSI)

tesis akuntansi

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian
Profesi akuntan publik merupakan profesi kepercayaan masyarakat. Dari profesi akuntan publik, masyarakat mengharapkan penilaian yang bebas dan tidak memihak terhadap informasi yang disajikan oleh manajemen perusahaan dalam laporan keuangan (Mulyadi dan Puradiredja, 1998:3). Profesi akuntan publik bertanggungjawab untuk menaikkan tingkat keandalan laporan keuangan perusahaan, sehingga masyarakat memperoleh informasi laporan keuangan yang andal sebagai dasar pengambilan keputusan.
Profesi akuntan mempunyai peranan penting dalam penyediaan informasi keuangan yang handal bagi pemerintah, investor, kreditor, pemegang saham, karyawan, debitur, juga bagi masyarakat dan pihak-pihak lain yang berkepentingan. Guna menunjang profesionalisme nya sebagai akuntan publik maka auditor dalam melaksanakan tugas auditnya harus berpedoman pada standard audit yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia-Kompartemen Akuntan Publik (IAIKAP), 2001, Standar Profesional Akuntan Publik yakni standard umum, standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan. Dimana standard umum merupakan cerminan kualitas pribadi yang harus dimiliki oleh seorang auditor yang mengharuskan auditor untuk memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup dalam melaksanakan prosedur audit. Sedangkan standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan mengatur auditor dalam hal pengumpulan data dan kegiatan lainnya yang dilaksanakan selama melakukan audit serta mewajibkan auditor untuk menyusun suatu laporan atas laporan keuangan secara keseluruhan.
Para pengguna laporan keuangan akan lebih mempercayai informasi dalam laporan keuangan yang telah dibuat oleh agen setelah laporan tersebut diperiksa kebenarannya oleh auditor. Untuk itu, auditor harus memiliki kredibilitas dalam melakukan pekerjaannya sehingga auditor dapat menghasilkan laporan audit yang berkualitas.
Dewasa ini, publik semakin mempertanyakan kualitas audit yang dihasilkan oleh para auditor seiring dengan maraknya kasus-kasus yang terjadi baik di dalam negeri maupun di manca negara, dimana kasus-kasus tersebut berkaitan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh para auditor. Padahal kebutuhan akan jasa audit semakin hari semakin meningkat. Salah satu pihak yang sangat membutuhkan jasa audit adalah para stakeholders perusahaan. Hal ini dikarenakan, untuk membuat keputusan yang tepat dan benar, principal dan para pengguna laporan keuangan lainnya perlu memperoleh laporan yang berisikan data yang sesuai dengan kebenaran yang ada.
Kualitas audit ini penting karena dengan kualitas audit yang tinggi maka akan dihasilkan laporan keuangan yang dapat dipercaya sebagai dasar pengambilan keputusan. Selain itu adanya kekhawatiran akan merebaknya skandal keuangan, dapat mengikis kepercayaan publik terhadap laporan keuangan auditan dan profesi akuntan publik.
Kusharyanti (2003:25) mendefinisikan kualitas audit sebagai kemungkinan (joint probability) dimana seorang auditor akan menemukan dan melaporkan pelanggaran yang ada dalam sistem akuntansi kliennya. Kemungkinan dimana auditor akan menemukan salah saji tergantung pada kualitas pemahaman auditor (kompetensi) sementara tindakan melaporkan salah saji tergantung pada independensi auditor. Untuk menghasilkan kualitas audit yang tinggi, auditor memerlukan dua hal utama, yaitu kompetensi dan independensi (Christiawan 2002). Sedangkan Deis dan Groux (1992) dalam Alim et al. (2007) menjelaskan bahwa probabilitas untuk menemukan pelanggaran tergantung pada kemampuan teknis auditor dan probabilitas melaporkan pelanggaran tergantung pada independensi auditor.
Sementara itu AAA Financial Accounting Committee (2000) menyatakan bahwa "Kualitas audit ditentukan oleh dua hal yaitu kompetensi dan independensi. Kedua hal tersebut berpengaruh langsung terhadap kualitas audit". Berkenaan dengan hal tersebut, Trotter (1986) mendefinisikan bahwa seorang yang berkompeten adalah orang yang dengan keterampilannya mengerjakan pekerjaan dengan mudah, cepat, intuitif dan sangat jarang atau tidak pernah membuat kesalahan. Senada dengan itu Sri Lastanti (2005:88) mengartikan kompetensi sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan dan keterampilan prosedural yang luas yang ditunjukkan dalam pengalaman audit.
Adapun Kusharyanti (2003:3) mengatakan bahwa untuk melakukan tugas pengauditan, auditor memerlukan pengetahuan pengauditan (umum dan khusus), pengetahuan mengenai bidang auditing dan akuntansi serta memahami industri klien. Dalam melaksanakan audit, auditor harus bertindak sebagai seorang ahli dalam bidang akuntansi dan auditing. Pencapaian keahlian dimulai dengan pendidikan formal, yang selanjutnya melalui pengalaman dan praktek audit (SPAP, 2001). Selain itu auditor harus menjalani pelatihan teknis yang cukup yang mencakup aspek teknis maupun pendidikan umum.
Kusharyanti (2003:26) menemukan bahwa auditor yang berpengalaman mempunyai pemahaman yang lebih baik atas laporan keuangan. Mereka juga lebih mampu memberi penjelasan yang masuk akal atas kesalahan-kesalahan dalam laporan keuangan dan dapat mengelompokkan kesalahan berdasarkan pada tujuan audit dan struktur dari sistem akuntansi yang mendasari. Kemudian Tubbs (1990) dalam artikel yang sama berhasil menunjukkan bahwa semakin berpengalamannya auditor, mereka semakin peka dengan kesalahan penyajian laporan keuangan dan semakin memahami hal-hal yang terkait dengan kesalahan yang ditemukan tersebut.
Berbagai hasil penelitian yang sudah dilakukan dapat disimpulkan bahwa kompetensi auditor dapat dibentuk diantaranya melalui pengetahuan dan pengalaman. Namun sesuai dengan tanggungjawabnya untuk menaikkan tingkat keandalan laporan keuangan suatu perusahaan maka akuntan publik tidak hanya perlu memiliki kompetensi atau keahlian saja tetapi juga harus independen dalam pengauditan. Tanpa adanya independensi, auditor tidak berarti apa-apa. Masyarakat tidak percaya akan hasil auditan dari auditor sehingga masyarakat tidak akan meminta jasa pengauditan dari auditor. Atau dengan kata lain, keberadaan auditor ditentukan oleh independensinya (Supriyono, 1988).
Selain itu untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap independensi auditor maka pekerjaan akuntan dan operasi Kantor Akuntan Publik (KAP) perlu dimonitor dan di "audit" oleh sesama auditor (peer review) guna menilai kelayakan desain si stem pengendalian kualitas dan kesesuaiannya dengan standar kualitas yang diisyaratkan sehingga output yang dihasilkan dapat mencapai standar kualitas yang tinggi. Peer review sebagai mekanisme monitoring yang dipersiapkan oleh auditor dapat meningkatkan kualitas jasa akuntansi dan audit. Selain itu peer review dirasakan memberi manfaat baik bagi klien, kantor akuntan publik maupun akuntan yang terlibat dalam peer review. Manfaat tersebut antara lain mengurangi risiko litigation (tuntutan), memberikan pengalaman positif, mempertinggi moral pekerja, memberikan competitive edge dan lebih meyakinkan klien atas kualitas jasa yang diberikan (Harjanti, 2002:59).
Penelitian mengenai kualitas audit penting bagi KAP dan auditor agar mereka dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas audit dan selanjutnya dapat meningkatkannya kualitas audit yang dihasilkannya. Bagi pemakai jasa audit, penelitian ini penting yakni untuk menilai sejauh mana akuntan publik dapat konsisten dalam menjaga kualitas jasa audit yang diberikannya.
Meningkatnya persaingan saat ini membuat para akuntan publik menjadi lebih sulit berperilaku secara profesional, dan membuat banyak kantor akuntan publik lebih berkepentingan untuk mempertahankan klien dan laba yang besar. Karena itu banyak kantor akuntan publik telah menerapkan falsafah dan praktik yang sering disebut sebagai praktik bisnis yang disempurnakan.
Dalam pelaksanaan praktik jasa auditing yang dilakukan oleh Akuntan Publik, sebagian masyarakat masih ada yang meragukan tingkat skeptisisme professional yang dimiliki oleh para auditor KAP yang selanjutnya berdampak pada keraguan masyarakat terhadap kualitas audit.
Maraknya skandal keuangan yang terjadi baik di dalam maupun di luar negeri telah memberikan dampak besar kepada kepercayaan publik terhadap profesi akuntan publik. Dan yang menjadi pertanyaan besar dalam masyarakat adalah mengapa justru semua kasus tersebut melibatkan profesi akuntan publik yang seharusnya mereka sebagai pihak ketiga yang independen yang memberikan jaminan atas relevansi dan keandalan sebuah laporan keuangan.
Kurangnya independensi auditor dan maraknya manipulasi akuntansi korporat membuat kepercayaan para pemakai laporan keuangan auditan mulai menurun, sehingga para pemakai laporan keuangan seperti investor dan kreditur mempertanyakan eksistensi akuntan publik sebagai pihak independen. Krisis moral dalam dunia bisnis yang mengemuka akhir-akhir ini adalah kasus Enron Corporation. Laporan keuangan Enron sebelumnya dinyatakan wajar tanpa pengecualian oleh kantor akuntan Arthur Anderson, salah satu kantor akuntan publik (KAP) dalam jajaran big four, namun secara mengejutkan pada 2 Desember 2001 dinyatakan pailit. Kepailitan tersebut salah satunya karena Arthur Anderson memberikan dua jasa sekaligus, yaitu sebagai auditor dan konsultan bisnis (Santoso, 2002).
Akuntan publik yang mengaudit perusahaan yang terkena skandal akuntansi tersebut juga tergolong kantor akuntan publik (KAP) yang berukuran besar dan mempunyai reputasi di bidang keuangan, namun hal itu ternyata tidak menjamin bahwa laporan keuangan perusahaan mencerminkan nilai perusahaan yang sesungguhnya. Padahal di sisi lain informasi keuangan yang akurat merupakan pertimbangan utama untuk menilai harga wajar suatu sekuritas, misalnya saham atau obligasi di pasar modal. Kegagalan dalam pelaporan keuangan dalam bentuk kecurangan atau kesalahan yang tidak dapat diungkapkan oleh KAP saat melakukan audit mengakibatkan kerugian yang besar bagi investor dan kreditor.
DeAngelo (1981) menyatakan bahwa kualitas audit dari akuntan publik dapat dilihat dari Pengalaman kerja yang melakukan audit. KAP besar (Big 4 accounting firms) diyakini melakukan audit lebih berkualitas dibandingkan dengan KAP kecil (Non-Big 4 accounting firm). Namun pada tahun 2001, terjadi kasus financial statement fraud di Enron dan juga beberapa kasus lainnya. Dalam kasus-kasus tersebut akuntan publik yang mengaudit termasuk kantor akuntan publik yang berukuran besar dan memiliki reputasi yang baik. Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa tidak semua kantor akuntan publik yang berukuran besar melakukan audit yang berkualitas tinggi
Kompetensi dan independensi yang dimiliki auditor dalam penerapannya akan terkait dengan etika. Sesuai dengan PSA No. 02 (SPAP seksi 110, 2001), auditor memiliki tanggung jawab terhadap profesinya, tanggung jawab untuk mematuhi standar yang diterima oleh para praktisi rekan seprofesinya. Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) telah menetapkan aturan yang mendukung standar tersebut dan membuat basis penegakan kepatuhan tersebut sebagai bagian dari Kode Etik Ikatan Akuntan.
Penelitian tentang etika telah dilakukan oleh Payamta (2002) yang menyatakan bahwa berdasarkan "Pedoman Etika" IF AC, maka syarat-syarat etika suatu organisasi akuntan sebaiknya didasarkan pada prinsip-prinsip dasar yang mengatur tindakan/perilaku seorang akuntan dalam melaksanakan tugas profesionalnya. Prinsip tersebut adalah (1) integritas, (2) obyektifitas, (3) independen, (4) kepercayaan, (5) standar-standar teknis, (6) kemampuan profesional, dan (7) perilaku etika.
Berdasarkan uraian masalah tersebut di atas, maka peneliti ingin melakukan suatu kajian dengan judul "FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUALITAS AUDIT DENGAN ETIKA AUDITOR SEBAGAI MODERATING VARIABEL PADA AUDITOR YANG BEKERJA DI KANTOR AKUNTAN PUBLIK".

TESIS EVALUASI EFISIENSI REPRODUKSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG MELALUI INSEMINASI BUATAN DAN KAWIN ALAM

(KODE : PASCSARJ-0536) : TESIS EVALUASI EFISIENSI REPRODUKSI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG MELALUI INSEMINASI BUATAN DAN KAWIN ALAM (PROGRAM STUDI : AGRIBISNIS)

tesis agribisnis

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Populasi dan produktifitas sapi potong secara nasional selama beberapa tahun terakhir menunjukkan kecenderungan menurun dengan laju pertumbuhan sapi potong hanya mencapai 1,08% per tahun, sementara laju pertumbuhan penduduk meningkat dengan kisaran antara 1,5-5% per tahun. Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk maka permintaan terhadap daging akan terus meningkat (Dirjennak & Keswan, 2010). Bila tidak dilakukan upaya untuk meningkatkan populasi dan produksinya, maka populasi ternak potong lokal akan terkuras karena tingginya angka pemotongan ternak. Demikian halnya di Propinsi Sumatera Utara pada tahun 2008 tingkat pertumbuhan penduduk 1,57% per tahun dengan pertumbuhan konsumsi 17,82% dan tingkat konsumsi daging sapi sebesar 0,99 kg/kapita/tahun. Angka ini masih jauh dari rata-rata konsumsi nasional yaitu sebesar 1,84 kg/kapita/tahun. Siregar (2009) mengemukakan bahwa produksi sapi potong di Sumatera Utara berjalan sangat lambat rata-rata sebesar 0,24% per tahun, sedangkan kenaikan tingkat pemotongan mencapai 21,24%.
Untuk mengatasi masalah ini dalam j angka pendek dilakukan impor sapi potong dan jangka panjang meningkatkan populasi dan produktivitas sapi potong lokal. Salah satu upaya untuk meningkatkan produktifitas sapi potong lokal adalah dengan melakukan program seleksi keunggulan sapi lokal yang dapat dikembangkan sesuai harapan yang diinginkan serta persilangan sapi potong lokal dengan sapi unggul impor berupa bibit hidup atau teknologi reproduksi, seperti inseminasi buatan atau teknologi lainnya sehingga diperoleh keturunan yang lebih baik dibanding induknya.
Dalam sistem budidaya ternak, baik ternak sapi maupun kerbau di Indonesia dikenal 2 cara perkawinan yaitu melalui Inseminasi Buatan (IB) dan Kawin Alam (KA). Kawin alam merupakan salah satu pilihan dalam pengembangbiakan ternak karena akseptor pada sapi potong untuk IB ditargetkan berjumlah 2,5 juta ekor sehingga dari 4 juta betina produktif yang ada saat ini 1,5 juta ekor memakai teknologi kawin alam.
Banyak pertimbangan oleh para peternak yang menjadikan alasan kenapa kawin alam digunakan antara lain (1) secara alamiah ternak memiliki kebebasan hidup di alam bebas, sehingga dengan sikap alamiah ini perkembangbiakannya terjadi secara normal mendekati sempurna (2) secara alamiah ternak jantan mampu mengetahui ternak betinanya yang birahi, sehingga sedikit kemungkinan terjadinya keterlambatan perkawinan yang dapat merugikan dalam proses perbanyakan populasi (3) penanganan perkawinan secara kawin alam memerlukan biaya sangat murah karena manusia sebagai pelaku usaha budidaya tidak banyak lagi menangani proses perkawinan ini (4) metode kawin alam sangat efektif dan efisien digunakan pada pola usaha budidaya ternak baik secara semi intensif atau ekstensif dan tidak mungkin dilakukan metoda IB. KA dapat juga dilakukan di beberapa perusahaan yang melakukan budidaya dengan sistem penggembalaan (Dirjennak & Keswan, 2011).
Teknologi persilangan yang digunakan dengan harapan efisiensi tinggi adalah melalui teknologi inseminasi buatan (IB) yaitu dengan penggunaan semen beku dari sapi pejantan unggul import. Hal ini dilakukan agar peningkatan mutu genetik ternak diiringi dengan biaya murah, mudah dan cepat serta diharapkan dapat meningkatkan pendapatan para peternak. Di daerah-daerah pertanian intensif, IB semakin popular karena dengan jumlah sapi pejantan yang lebih sedikit dapat dikawinkan dengan jumlah betina yang lebih banyak dibanding kawin alam dan adanya pelayanan IB dari Dinas Peternakan setempat (Hadi & Ilham 2000; Hadi et al. 2002).
Perkembangbiakan sapi dapat ditingkatkan dengan menggunakan teknologi inseminasi buatan serta telah dibuktikan keunggulan teknologi reproduksi ini. Keberhasilan inseminasi dipengaruhi berbagai faktor, yaitu: fertilitas pejantan, keahlian pengumpulan dan pengolahan semen, penyimpanan, peralatan, inseminator dan lainnya (Toelihere 1993).
Evaluasi terhadap keberhasilan pelaksanaan IB adalah menghasilkan kebuntingan pada ternak sapi, yang dapat dilihat sebagai penunjuk keberhasilan pelaksanaan inseminasi buatan dari angka Non Return Rate; Conception Rate, Service per Conception (berapa kali inseminasi agar bunting). Laju pertambahan populasi ternak dari hasil inseminasi buatan dapat diukur dengan cara menghitung Calf Crop.
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka diperlukan suatu penelitian tentang pelaksanaan Inseminasi Buatan dan Kawin Alam dalam mengembangkan populasi ternak sapi potong.

TESIS PENGARUH MOTIVASI DAN GAYA KEPEMIMPINAN TERHADAP KINERJA PEGAWAI DI PDAM

(KODE : PASCSARJ-0535) : TESIS PENGARUH MOTIVASI DAN GAYA KEPEMIMPINAN TERHADAP KINERJA PEGAWAI DI PDAM (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN)

contoh tesis manajemen

BAB II 
URAIAN TEORITIS


A. Teori Tentang Motivasi
1. Pengertian dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi
Maslow (1994) menyatakan motivasi berhubungan dengan lima macam kebutuhan penting yang secara bersama-sama membentuk sebuah hierarki. Hierarki tersebut adalah kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan keamanan, kebutuhan sosial, kebutuhan akan penghargaan.
Flippo (1992), menyatakan bahwa “pada dasarnya motivasi adalah suatu ketrampilan dalam memadukan kepentingan karyawan dan kepentingan organisasi sehingga keinginan karyawan dipuaskan bersamaan dengan tercapainya sasaran organisasi”.
Sedangkan Robbins (2001), menyatakan bahwa “Motivasi adalah kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan organisasi yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu dalam memenuhi beberapa kebutuhan individual. Kebutuhan adalah suatu keadaan internal yang menyebabkan hasil tertentu tampak menarik, seperti kebutuhan aktualisasi diri : menggunakan kemampuan, skill, dan potensi dan kebutuhan penghargaan : status, titel.
Pemberian rangsangan motivasi kepada bawahan dapat dikelompokkan sebagai berikut (Heidjrahman, 1990) : 
a. Motivasi tidak langsung
Motivasi tidak langsung merupakan kegiatan manajemen yang secara implisit mengarahkan kepada upaya memenuhi motivasi internal serta kepuasan kebutuhan individu dalam organisasi.
b. Motivasi langsung
Motivasi langsung merupakan pengaruh kemauan karyawan yang secara langsung atau sengaja diarahkan kepada internal motif pegawai dengan jelas memberikan rangsangan yang lebih terarah.
c. Motivasi negatif
Motivasi negatif merupakan macam kegiatan yang disertai ancaman dan hukuman terhadap pegawai yang tidak mau atau tidak mampu melaksanakan perintah yang diberikan.
d. Motivasi positif
Motivasi positif merupakan kegiatan dalam mempengaruhi orang lain dengan cara memberikan penambahan kepuasan tertentu misalnya memberikan promosi, memberikan insentif dan kondisi kerja yang lebih baik dan sebagainya.
Sedangkan beberapa alternatif metode guna memotivasi seseorang adalah sebagai berikut : 
a. Ancaman
Ancaman bersikap baik merupakan metode pemberian motivasi sebagai usaha untuk meningkatkan semangat para pegawai dengan memberikan kondisi kerja yang baik, berbagai tunjangan, upah yang tinggi, dan pengawasan yang baik.
b. Tawar menawar
Tawar menawar secara impulsif dalam manajemen mendorong para pegawai menghasilkan sejumlah keluaran yang pantas, dengan membuat suatu persetujuan untuk memberikan sebagai imbalannya dan pengawasan yang pantas.
c. Persaingan
Persaingan untuk mendapatkan kenaikan upah, promosi yang diberikan kepada orang yang bekerja sangat baik, persaingan untuk memenuhi kepuasan beberapa bentuk kebutuhan.
d. Internalisasi motivasi
Internalisasi motivasi adalah pemberian rangsangan motivasi dengan cara memberikan peluang pemuasan kebutuhan melalui pekerjaan itu sendiri, sehingga pegawai akan senang melakukan pekerjaan dengan baik.
Setiap orang memerlukan 5 (lima) kebutuhan yang telah dikemukakan oleh Maslow sebagaimana diuraikan di atas sebagai sumber motivasi dalam rangka meningkatkan semangat kerja. Namun yang paling penting bagi seseorang adalah motivasi yang dimulai dari dalam dirinya sendiri (motivasi intrinsik), sesuai dengan pendapat Terry dalam Hasibuan (2003) bahwa “Motivasi yang paling berhasil adalah pengarahan diri sendiri oleh pekerja yang bersangkutan”. Keinginan atau dorongan tersebut harus datang dari individu itu sendiri dan bukanlah dari orang lain dalam bentuk kekuatan dari luar”.
Berdasarkan beberapa penjelasan diatas disimpulkan bahwa motivasi kerja adalah suatu perangsang keinginan dan daya gerak yang menyebabkan seseorang bersemangat dalam bekerja karena terpenuhi kebutuhannya. Pegawai yang bersemangat dalam bekerja disebabkan telah terpenuhinya kebutuhannya seperti gaji yang cukup, keamanan dalam bekerja, bebas dari tekanan dari pimpinan maupun rekan sekerja, dan kebutuhan lainnya, hal ini akan berdampak pada kepuasan kerja yang akhirnya mampu menciptakan kinerja yang baik.
Motivasi kerja adalah kekuatan yang mendorong semangat yang ada di dalam maupun di luar dirinya baik itu yang berupa reward maupun punishment, sehingga Herzberg dalam Luthans (2003) menyatakan bahwa pada manusia terdapat sepuluh faktor pemuas {motivation factor) yang disebut dengan satisfier atau intrinsic motivation, yang meliputi : 1) Prestasi yang diraih (achievement), 2) Pengakuan orang lain (recognition), 3) Tanggung jawab (responsibility), 4) Peluang untuk maju (advancement), 5) Kepuasan kerja itu sendiri (the work itself), dan 6) Pengembangan karir (the possibility of growth). Sedangkan faktor pemeliharaan (maintenance factor) yang disebut dengan dissatisfies atau extrinsic motivation meliputi : 1) Kompensasi, 2) Keamanan dan keselamatan kerja, 3) Kondisi kerja, 4) Status, 5) Prosedur perusahaan, 6) Mutu dari supervisi teknis dari hubungan interpersonal diantara teman sejawat, atasan, dan bawahan.

TESIS ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN DAN PEMASARAN OBJEK WISATA DALAM MENARIK KUNJUNGAN WISATAWAN

(KODE : PASCSARJ-0534) : TESIS ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN DAN PEMASARAN OBJEK WISATA DALAM MENARIK KUNJUNGAN WISATAWAN (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN)

contoh tesis manajemen

BAB II 
TINJAUAN TEORITIS

A. Teori Tentang Pariwisata 
1. Pengertian Pariwisata
Margenroth dalam Yoeti (1996) menyatakan bahwa pariwisata adalah lalu lintas orang-orang yang meninggalkan tempat tinggalnya untuk sementara waktu, untuk berpesiar ke tempat lain, semata-mata sebagai konsumen dari buah hasil perekonomian dan kebudayaan guna memenuhi kebutuhan hidup dan kebudayaan atau keinginan yang beranekaragam dari pribadinya.
McIntosh dan Gupta dalam Pendit (2002) menyatakan bahwa pariwisata adalah gabungan gejala dan hubungan yang timbul dari interaksi wisatawan, bisnis, pemerintah tuan rumah serta masyarakat tuan rumah dalam proses penarik dan melayani wisatawan-wisatawan serta para pengunjung lainnya.
Hunzieker dan Krapt dalam Yoeti (1996) menyatakan kepariwisataan adalah keseluruhan gejala-gejala yang ditimbulkan oleh perjalanan dan pendiaman orang-orang asing serta penyediaan tempat tinggal sementara, asalkan pendiaman itu tidak tinggal menetap dan tidak memperoleh penghasilan dari aktivitas yang bersifat sementara itu.
Berdasarkan defmisi pariwisata yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa pariwisata adalah suatu perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu, yang diselenggarakan dari satu tempat ke tempat lain, dengan maksud bukan untuk berusaha atau mencari nafkah di tempat yang dikunjungi, tetapi semata-mata hanya untuk menikmati perjalanan tersebut, bertamasya atau berekreasi atau memenuhi keinginan yang beraneka ragam. 

2. Bentuk-Bentuk Pariwisata
Menurut Pendit (2002)bentuk-bentuk pariwisata dapat dibagi menurut : 
a. Asal wisatawan
Perlu diketahui apakah wisatawan itu berasal dari dalam atau luar negeri. Kalau asalnya dari dalam negeri berarti wisatawan hanya pindah tempat sementara di dalam lingkungan wilayah negerinya sendiri dan selama ia mengadakan perjalanan, maka disebut pariwisata domestik, sedangkan ia datang dari luar negeri disebut pariwisata internasional.
b. Akibatnya terhadap neraca pembayaran
Kedatangan wisatawan luar dari luar negeri adalah membawa mata uang asing. Pemasukan valuta asing ini berarti memberi dampak positif terhadap neraca pembayaran luar negeri suatu negara yang dikunjunginya, yang ini disebut pariwisata aktif. Sedangkan kepergian seorang warga negara keluar negeri memberikan dampak negatif terhadap neraca pembayaran luar negeri nya, disebut pariwisata pasif.
c. Jangka waktu
Kedatangan seorang wisatawan di suatu tempat atau negara diperhitungkan pula menurut waktu lamanya ia tinggal di tempat atau negara yang bersangkutan. Hal ini menimbulkan istilah-istilah pariwisata jangka pendek dan pariwisata jangka panjang, yang mana tergantung kepada ketentuan-ketentuan yang diberlakukan oleh suatu negara untuk mengukur pendek atau panjangnya waktu yang dimaksudkan.
d. Jumlah wisatawan
Perbedaan ini diperhitungkan atas jumlah wisatawan yang datang, apakah sang wisatawan datang sendiri atau rombongan. Maka timbullah istilah-istilah pariwisata tunggal dan pariwisata rombongan.
e. Alat angkut yang digunakan
Dilihat dari segi penggunaan alat angkutan oleh wisatawan, maka kategori ini dapat dibagi menjadi pariwisata udara, pariwisata laut, pariwisata kereta api, pariwisata mobil, tergantung apakah sang wisatawan tiba dengan pesawat udara, kapal laut, kereta api atau mobil. 

3. Objek Wisata dan Daya Tarik Wisata
Objek dan daya tarik wisata merupakan salah satu unsur penting dalam dunia kepariwisataan. Dimana objek dan daya tarik wisata dapat menyukseskan program pemerintah dalam melestarikan adat dan budaya bangsa sebagai asset yang dapat dijual kepada wisatawan. Objek dan daya tarik wisata dapat berupa alam, budaya, tata hidup, dan sebagainya yang memiliki daya tarik dan nilai jual untuk dikunjungi ataupun dinikmati oleh wisatawan. Dalam arti luas, apa saja yang mempunyai daya tarik wisata atau menarik wisatawan dapat disebut sebagai objek dan daya tarik wisata. Dalam kepariwisataan faktor manfaat dan kepuasan wisatawan berkaitan dengan “tourism resourch dan tourist service”. Objek dan atraksi wisata adalah segala sesuatu yang ada di daerah tujuan wisata yang mempunyai daya tarik tersendiri yang mampu mengajak wisatawan berkunjung. Hal-hal yang dapat menarik wisatawan untuk berkunjung ke daerah tujuan wisata, antara lain : 
a. Natural Amenities, adalah benda-benda yang sudah tersedia dan sudah ada di alam. Contoh : iklim, bentuk tanah, pemandangan alam, flora dan fauna.
b. Man Made Supply, adalah hasil karya manusia seperti benda-benda bersejarah, kebudayaan, dan religi.
c. Way of Life, adalah tata cara hidup tradisional, kebiasaan hidup, adat-istiadat.
d. Culture, adalah kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat yang tinggal di daerah objek wisata.
Untuk dapat menjadi suatu daerah tujuan wisata yang baik, maka kita harus mengembangkan tiga hal yaitu : 
a. Something to see, adalah segala sesuatu yang menarik untuk dilihat
b. Something to buy, adalah segala sesuatu yang menarik atau mempunyai ciri khas tersendiri untuk dibeli
c. Something to do, yaitu suatu aktifitas yang dapat dilakukan di tempat tersebut.
Ketiga hal tersebut merupakan unsur-unsur yang kuat untuk suatu daerah tujuan wisata sedangkan untuk pengembangan suatu daerah tujuan wisata ada beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain : 
a. Harus mampu bersaing dengan objek wisata yang ada di daerah lain
b. Memiliki sarana pendukung yang memiliki ciri khas tersendiri
c. Harus tetap tidak berubah dan tidak berpindah-pindah kecuali di bidang pembangunan dan pengembangan
d. Harus menarik

TESIS ANALISIS PENGARUH BAURAN PEMASARAN TERHADAP KEPUTUSAN KONSUMEN MEMILIH MAKAN DI RUMAH MAKAN MIE AYAM

(KODE : PASCSARJ-0533) : TESIS ANALISIS PENGARUH BAURAN PEMASARAN TERHADAP KEPUTUSAN KONSUMEN MEMILIH MAKAN DI RUMAH MAKAN MIE AYAM (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN)

contoh tesis manajemen

BAB II 
TINJAUAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu
Wijaya (2004) melakukan penelitian yang berjudul “Studi Eksploratif Perilaku Mahasiswa Universitas Kristen Petra dalam Memilih Fast Food Restaurant dan Non Fast Food di Surabaya”. Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif deskriptif, di mana penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana preferensi mahasiswa Universitas Kristen Petra Surabaya dalam mengkonsumsi makanan dan minuman di rumah makan.
Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa aktif studi dibagi dalam kelompok-kelompok sesuai dengan jurusan di mana mereka menempuh studi. Besarnya sampel ditetapkan sebanyak 200 orang. Penyebaran kuesioner dilaksanakan selama 3 minggu, mulai akhir November 2004 sampai dengan awal Desember 2004. Metode analisis yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan sehubungan dengan frekuensi kunjungan dan dengan siapa responden berkunjung ke sebuah restoran. Selain itu, keputusan makan di fast food restaurant lebih dipengaruhi oleh faktor kualitas makanan, kecepatan layanan, dan harga yang relatif terjangkau. Sedangkan kualitas makanan, keramahan layanan dan kenyamanan restoran merupakan faktor yang lebih mempengaruhi pembelian di non fast food restaurant.
Penelitian lain dilakukan oleh Priyono (2004) dengan judul “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsumen dalam Memilih Kafe di Kota Surakarta”. Penelitian dilakukan dengan pendekatan survei dengan penentuan sampel secara acak.
Metode analisis data yang digunakan dalam studi ini adalah analisis regresi berganda. Dari analisis yang dilakukan diperoleh bahwa : iklan, hiburan live, suasana, kencan dan lokasi paling berpengaruh terhadap keputusan pemilihan kafe. Sedangkan secara simultan keseluruhan faktor (iklan, tata suara, hiburan live, suasana, keamanan, harga makanan dan minuman, variasi makanan dan minuman, kencan, lokasi dan meeting) berpengaruh terhadap keputusan pemilihan kafe. Dengan menggunakan uji determinasi keseluruhan faktor yang diajukan dapat menjelaskan alasan pemilihan kafe oleh konsumen.

B. Teori tentang Pemasaran dan Bauran Pemasaran 
1. Pengertian Pemasaran
Setiap perusahaan tidak lepas dari kegiatan pemasaran yang dilakukan untuk dapat memasarkan produk yang dijualnya. Kegiatan pemasaran berhubungan dengan mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan manusia. Sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai dengan baik.
Kotler dan Keller (2006), menyatakan bahwa “Pemasaran adalah suatu proses sosial yang di dalamnya individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain”.
Selanjutnya Lamb, Hair, dan Me Daniel (2001), menyatakan bahwa “Pemasaran merupakan suatu proses perencanaan dan menjalankan konsep, harga, promosi dan distribusi sejumlah ide, barang dan jasa untuk menciptakan pertukaran yang mampu memuaskan tujuan individu dan organisasi”.
Secara filosofis, pemasaran bertujuan untuk menciptakan hubungan-hubungan pertukaran yang saling menguntungkan bagi semua pihak yang terlibat pertukaran. Pertukaran nilai tersebut bukan hanya dengan para konsumen. Kegiatan ini merupakan bagian dari masyarakat yang berkembang karena pertukaran nilai antara berbagai anggota masyarakat sangat penting bagi kelangsungan hidup mereka. 

2. Pengertian Bauran Pemasaran
Kotler (2005), menyatakan bahwa “Bauran Pemasaran (marketing mix) adalah seperangkat alat pemasaran yang digunakan perusahaan untuk terus-menerus mencapai tujuan pemasarannya di pasar sasaran, alat-alat pemasaran tersebut diklasifikasikan menjadi empat kelompok yang luas yang disebut “empat P” : Produk (product), harga (price), tempat (place), dan promosi (promotion)”.
Lamb, Hair dan McDaniel (2001) menyatakan bahwa, “Bauran pemasaran adalah paduan strategi produk, promosi, tempat dan harga yang bersifat unik yang dirancang untuk menghasilkan pertukaran yang saling memuaskan dengan pasar yang dituju”. Namun menurut Lupiyoadi (2001), definisi di atas menggambarkan pengertian bauran pemasaran untuk produk barang nyata. Bauran pemasaran untuk produk barang mencakup 4P; Product, Price, Place, Promotion. Namun untuk bauran pemasaran jasa para ahli pemasaran menambah tiga unsur lagi, yaitu : People, Process dan Customer Service. Ketiga hal ini terkait dengan sifat jasa di mana produksi/operasi hingga konsumsi merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan dan mengikutsertakan konsumen dan pemberian jasa secara langsung.
Pendekatan pemasaran 4P berhasil dengan baik untuk barang, tetapi elemen-elemen tambahan perlu diperhatikan dalam bisnis jasa. Booms dan Bitmer (dalam Kotler, 2005) mengusulkan 3P tambahan untuk pemasaran jasa yaitu : orang (people), bukti fisik (physical evidence), dan proses (process). Karena sebagian besar jasa diberikan oleh orang, pemilihan, pelatihan, dan motivasi karyawan dapat menghasilkan perbedaan yang sangat besar dalam kepuasan pelanggan. Perusahan-perusahan juga mencoba memperlihatkan mutu jasanya melalui bukti fisik dan dapat memilih diantara berbagai proses yang berbeda-beda untuk menyerahkan jasanya.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, maka variabel bauran pemasaran jasa adalah sebagai berikut : 
1. Produk (Product)
Menurut Kotler (2005), “Produk merupakan segala sesuatu yang dapat ditawarkan kepada pasar untuk diperhatikan, dimiliki, digunakan atau dikonsumsi yang dapat memuaskan keinginan atau kebutuhan pasarnya. Yang dimaksud dengan produk dalam kaitan ini adalah seperangkat sifat-sifat yang nyata dan tidak nyata yang meliputi bahan-bahan yang dipergunakan, mutu, harga, kemasan, warna, merek, jasa, dan reputasi penjual”.
Lupiyoadi (2001), menyatakan bahwa “Produk merupakan keseluruhan konsep obyek atau proses yang memberikan sejumlah nilai manfaat kepada konsumen. Yang perlu diperhatikan dalam produk adalah konsumen tidak hanya membeli fisik dari produk tetapi membeli benefit dan value dari produk tersebut”.
Stanton (1996), menyatakan “Produk adalah sekumpulan atribut yang nyata (tangible) dan tidak nyata (intangible) di dalamnya sudah tercakup warna, harga, kemasan, prestise pabrik, prestise pengecer, dan pelayanan dari pabrik serta pengecer yang mungkin diterima oleh pembeli sebagai sesuatu yang bisa memuaskan keinginannya”.