Search This Blog

Showing posts with label contoh tesis kenotariatan. Show all posts
Showing posts with label contoh tesis kenotariatan. Show all posts

TESIS PELAKSANAAN GADAI EMAS PADA BANK SYARIAH MANDIRI MENURUT HUKUM ISLAM

(KODE : PASCSARJ-0554) : TESIS PELAKSANAAN GADAI EMAS PADA BANK SYARIAH MANDIRI MENURUT HUKUM ISLAM (PROGRAM STUDI : KENOTARIATAN)

contoh tesis kenotariatan

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keberhasilan pembangunan sangat ditentukan partisipasi dan kerjasama yang baik, antara pihak pemerintah, pengusaha (swasta) dan masyarakat. Masyarakat dapat berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi, tetapi seringkali dihadapkan pada masalah dana, baik untuk kebutuhan konsumtif maupun kebutuhan produktif. Kebutuhan konsumtif, misalnya anak sakit, uang sekolah, biaya kematian. Kebutuhan produktif, misalnya membeli pupuk/bibit (untuk petani), modal usaha atau memanfaatkan kesempatan usaha (untuk pedagang), beli bahan baku (untuk industri), dan masih banyak lagi.
Kegiatan pinjam-meminjam berupa uang telah lama beredar dan dikenal oleh masyarakat Indonesia. Pada zaman dahulu, jika memerlukan pinjaman uang kebanyakan masyarakat mendatangi lintah darat atau yang biasa dikenal dengan rentenir dengan memberikan harta benda yang mereka miliki sebagai jaminan, serta membayar bunga yang sangat tinggi (melampaui batas kewajaran). Sehingga tujuan mereka yang semula untuk mengatasi masalah keuangan yang sedang dihadapi akhirnya justru menimbulkan masalah yang baru, sebab disamping harus membayar uang pokok pinjaman, mereka juga harus membayar bunga uang pinjaman tersebut.
Pemerintah memberikan solusi dengan membentuk lembaga yang dapat memberikan pinjaman kepada masyarakat dengan bunga yang sepantasnya seperti misalnya lembaga keuangan perbankan yang sudah banyak mengorientasikan bidang/kegiatan usahanya dibidang perkreditan. Tetapi ruang lingkup perkreditan pada bank ini kebanyakan hanya dinikmati oleh masyarakat golongan ekonomi menengah ke atas. Hal ini tidak terlepas dari tujuan lembaga keuangan perbankan yang dalam memberikan kredit tersebut tentunya menginginkan adanya keuntungan. Keuntungan ini diperoleh pihak bank melalui penerapan suku bunga yang relatif tinggi, yang tentunya hanya mampu dipenuhi oleh masyarakat ekonomi menengah ke atas. Di samping itu, untuk melakukan pinjaman melalui lembaga keuangan perbankan ada kalanya melalui sistem birokrasi yang panjang dan rumit serta harus melakukan koordinasi dengan berbagai instansi lainnya, seperti Notaris, PPAT, Kantor Badan Pertanahan, dan berbagai instansi lainnya.
Untuk menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi, segala potensi, inisiatif dan kreasi masyarakat dikerahkan dan dikembangkan menjadi suatu kekuatan riil bagi peningkatan kemakmuran rakyat, pembinaan dan pengawasan perbankan serta landasan gerak perbankan didasarkan kepada ketentuan Undang-Undang perbankan yang selalu dikembangkan dan disempurnakan dari mulai Undang-Undang Nomor 14 tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan, kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 yang disempurnakan lagi menjadi Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan yang sampai sekarang masih berlaku. Dalam undang-undang tersebut belum diatur dengan rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah, kemudian dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah yang mengatur secara khusus mengenai perbankan yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 1 angka 12 UUPS yang berbunyi sebagai berikut : 
“Prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.”
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah, maka Bank Indonesia tetap sebagai pemegang otoritas perbankan dengan mengeluarkan beberapa ketentuan berkaitan dengan perbankan syariah, ketentuan itu antara lain : 
1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004 tertanggal 14 Oktober 2004 Tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Berdasarkan Prinsip Syariah.
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/1/PBI/2002 tanggal 27 Maret 2002 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan kantor Bank berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum Konvensional.
Sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, perkembangan lembaga perbankan syariah cukup pesat. Demikian pula lembaga keuangan lain, juga sudah membuka unit syariah, seperti berbagai maskapai asuransi syariah, penggadaian syariah, reksadana syariah, serta berbagai perusahaan besar mengeluarkan obligasi syariah guna mencari dana bagi usaha mereka.
Lembaga keuangan syariah sebagai bagi an dari si stem ekonomi syariah, dalam menjalankan bisnis dan usahanya juga tidak terlepas dari saringan syariah. Oleh karena itu, lembaga keuangan syariah tidak akan mungkin membiayai usaha-usaha yang di dalamnya terkandung hal-hal yang bertentangan prinsip-prinsip syariah, proyek yang menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat luas, berkaitan dengan perbuatan mesum/asusila, perjudian, peredaran narkoba, senjata ilegal serta proyek-proyek yang dapat merugikan syiar Islam. Untuk itu dalam struktur organisasi lembaga keuangan syariah harus terdapat Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang bertugas mengawasi produk dan operasional lembaga tersebut. Dalam operasionalnya, lembaga keuangan syariah berada dalam koridor-koridor prinsip : 
a. Keadilan, yakni berbagi keuntungan atas dasar penjualan riil sesuai kontribusi dan risiko masing-masing pihak;
b. Kemitraan, yang berarti posisi nasabah investor (penyimpan dana), dan pengguna dana, serta lembaga keuangan itu sendiri, sejajar sebagai mitra usaha yang saling bersinergi untuk memperoleh keuntungan;
c. Transparansi, lembaga keuangan syariah akan memberikan laporan keuangan secara terbuka dan berkesinambungan agar nasabah investor dapat mengetahui kondisi dananya;
d. Universal, yang artinya tidak membedakan suku, agama, ras, dan golongan dalam masyarakat sesuai prinsip islam sebagai rahmatan lil alamin.
Gadai yang ada saat ini, dalam praktiknya menunjukkan adanya beberapa hal yang dipandang memberatkan dan mengarahkan kepada suatu persoalan riba' yang dilarang oleh hukum syara'. Menurut A.A. Basyir, riba' terjadi apabila dalam akad gadai ditemukan bahwa peminjam harus memberi tambahan sejumlah uang atau persentase tertentu dari pokok utang, pada waktu membayar utang atau pada waktu lain yang telah ditentukan penerima gadai. Hal ini lebih sering disebut juga dengan 'bunga gadai', yang pembayarannya dilakukan setiap 15 hari sekali. Sebab apabila pembayarannya terlambat sehari saja, maka nasabah harus membayar 2 kali lipat dari kewajibannya, karena perhitungannya sehari sama dengan 15 hari. Hal ini jelas merugikan pihak nasabah, karena ia harus menambahkan sejumlah uang tertentu untuk melunasi hutangnya. 
Padahal biasanya orang yang menggadaikan barang itu untuk kebutuhan konsumtif. Namun, apabila dilihat dari segi komersil pihak Pegadaian dirugikan, misalnya karena inflasi, atau pelunasan yang tidak tepat waktu, sementara barang jaminan tidak laku dijual. Karena itu aktivitas akad gadai dalam Islam, tidak dibenarkan adanya praktik pemungutan bunga karena dilarang syara', dan pihak yang terbebani merasa dianiaya dan tertekan, karena selain harus susah payah mengembalikan hutangnya, penggadai juga masih berkewajiban untuk membayar bunganya.
Menurut Muhammad Akram Khan, bahwa pinjaman itu sebagai bagian dari faktor produksi dan memiliki potensi untuk berkembang dan menciptakan nilai, serta juga menciptakan adanya kerugian. Oleh karena itu, apabila menuntut adanya pengembalian yang pasti sebagai balasan uang (sebagai modal), maka yang demikian itu dapat dianggap bunga dan itu sama dengan riba '. Mengenai riba' itu, para ulama telah berbeda pendapat. Walaupun demikian, Afzalurrahman dalam Muhammad dan Solikhul Hadi, memberikan pedoman bahwa yang dikatakan riba' (bunga), di dalamnya terdapat 3 (tiga) unsur berikut : 
a. Kelebihan dari pokok pinjaman;
b. Kelebihan pembayaran itu sebagai imbalan tempo pembayaran; dan
c. Sejumlah tambahan itu disyaratkan dalam transaksi.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Keputusan Fatwa Nomor 1 Tahun 2004 tentang Bunga (Interest/Fa 'idah) berpendapat : 
  1. Bunga (Interest/fa'idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan persentase.
  2. Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya, dan inilah yang disebut Riba Nasi'ah.
  3. Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada jaman Rasulullah SAW, Ya ini Riba Nasi'ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk Riba, dan Riba Haram Hukumnya.
  4. Praktek Penggunaan tersebut hukumnya adalah haram, baik di lakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.
  5. Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan lembaga keuangan syari'ah dan mudah dijangkau, tidak diperbolehkan melakukan transaksi yang didasarkan kepada perhitungan bunga.
  6. Untuk wilayah yang belum ada kantor/jaringan lembaga keuangan syari'ah, diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip darurat/hajat.

Gadai syariah tidak menganut sistem bunga, namun menggunakan biaya jasa (ijarah) sebagai penerimaan dan labanya, yang dengan pengenaan biaya jasa itu, dapat menutupi biaya yang dikeluarkan dalam operasionalnya. Oleh karena itu, untuk menghindari adanya unsur riba' (bunga) dalam gadai syariah dalam usahanya pembentukan laba, maka gadai syariah menggunakan mekanisme yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, seperti melalui akad qardhul hasan dan akad ijarah.
Menurut pendapat Muhammad Akram Khan, bahwa keberadaan gadai syariah tidak hanya digunakan untuk fungsi komersil (untuk mendapatkan keuntungan) saja, tetapi juga digunakan untuk fungsi sosial juga. Imbalan jasa yang masih digunakan oleh gadai yang dikenal dengan 'bunga gadai', sangat memberatkan dan merugikan pihak penggadai.
Hadirnya pegadaian sebuah lembaga keuangan formal di Indonesia, yang bertugas menyalurkan pembiayaan dengan bentuk pemberian uang pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkan berdasarkan hukum gadai merupakan suatu hal yang perlu disambut positif. Hadirnya lembaga tersebut diharapkan dapat membantu masyarakat agar tidak terjerat dalam praktik-praktik lintah darat, ijon dan/atau pelepas uang lainnya.
Lembaga pegadaian di Indonesia dewasa ini ternyata dalam prakteknya belum dapat terlepas dari berbagai persoalan. Maka diharapkan pegadaian yang selama ini sudah berlaku di tengah-tengah masyarakat dapat berjalan sesuai tujuan pokoknya, serta benar-benar akan dapat berfungsi sebagai lembaga keuangan non-Bank yang dapat memberikan Kemaslahatan sesuai yang diharapkan masyarakat.
Gadai syariah (rahn) merupakan salah satu alternatif pembiayaan dengan bentuk pemberian uang pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkan berdasarkan pada prinsip syariat islam dan terhindar dari praktek riba atau penambahan sejumlah uang atau persentase tertentu dari pokok utang pada waktu membayar utang.
Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Tujuan akad rahn adalah untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada Bank dalam memberikan pembiayaan. Secara sederhana rahn adalah jaminan hutang atau gadai. Biasanya akad yang digunakan adalah akad qardh wal ijarah, yaitu akad pemberian jaminan dari bank untuk nasabah yang disertai dengan penyerahan tugas agar Bank menjaga barang jaminan yang diserahkan.
Intinya adalah pihak bank tidak diperbolehkan untuk mengambil keuntungan dari akad gadai syariah. Karena pada dasarnya akad gadai adalah transaksi pinjam-meminjam (qardh) yang bersifat tabarru' yang berarti kebaikan atau tolong menolong. Sehingga tidak diperkenankan untuk mengambil keuntungan atau manfaat dari kegiatan pinjam-meminjam (qardh) karena sifatnya adalah tabarru'. Sedangkan biaya pemeliharaan atau penyimpanan merupakan biaya yang dibutuhkan untuk merawat barang gadaian selama jangka waktu pada akad gadai. Sesuai dengan pendapat para jumhur ulama biaya pemeliharaan atau penyimpanan menjadi tanggungan penggadai (rahin), karena pada dasarnya penggadai (rahin) masih menjadi pemilik dari barang gadaian tersebut, sehingga dia bertanggungjawab atas seluruh biaya yang dikeluarkan dari barang gadai miliknya.
Penggadai (rahin) menggunakan jasa bank untuk menyimpan atau memelihara barang gadainya hingga jangka waktu gadai berakhir. Biaya pemeliharaan/penyimpanan ataupun biaya sewa tersebut diperbolehkan oleh para ulama dengan merujuk kepada diperbolehkannya akad ijarah. Jadi, pada dasarnya gadai diberikan untuk menjamin suatu tagihan atau kredit, seperti yang diketahui kredit diberikan terutama atas dasar integritas atau kepribadian debitur, kepribadian yang menimbulkan rasa percaya pada diri kreditur bahwa debitur akan memenuhi kewajibannya untuk melakukan pelunasan dengan baik.
Jaminan yang diserahkan kepada pihak Bank tidak terbatas semata-mata atas dasar integritas nasabah saja, tetapi diperlukan untuk lebih meyakinkan Bank sekaligus menjadi pegangan bagi pihak Bank bila di kemudian hari nasabah ingkar janji (wanprestasi).
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penulis tertarik untuk membahas dan meneliti lebih lanjut mengenai “PELAKSANAAN GADAI EMAS PADA PT. BANK SYARIAH MANDIRI MENURUT HUKUM ISLAM”.

TESIS PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA OUTSOURCING

TESIS PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA OUTSOURCING

(KODE : PASCSARJ-0260) : TESIS PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA OUTSOURCING (PROGRAM STUDI : KENOTARIATAN)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian
Dalam pelaksanaan pembangunan di Indonesia sekarang yang menitikberatkan pada pembangunan dalam bidang ekonomi, hukum mempunyai fungsi yang sangat penting dalam menunjang kemajuan perekonomian di Indonesia. Pelaksanaan Pembangunan dengan penekanan yang lebih menonjol kepada segi pemerataan.
Pembangunan adalah usaha untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu hasil-hasil pembangunan harus dapat dinikmati seluruh rakyat sebagai peningkatan kesejahteraan lahir dan batin secara adil dan merata. Sebaliknya, berhasilnya pembangunan tergantung partisipasi seluruh rakyat, yang berarti pembangunan harus dilaksanakan secara merata oleh segenap lapisan masyarakat.
Pembangunan dapat dilaksanakan dan berhasil jika situasi Nasional mantap. Makin mantap stabilitas Nasional, makin lancar usaha pembangunan. Pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas adalah unsur yang saling berkaitan, karena itu dalam pelaksanaan pembangunan harus senantiasa diusahakan keseimbangan yang serasi antara ketiga unsur tersebut.
Hampir setiap bidang kehidupan sekarang ini diatur oleh peraturan-peraturan hukum. Melalui penormaan terhadap tingkah laku manusia ini hukum menelusuri hampir semua bidang kehidupan manusia. Campur tangan hukum yang semakin meluas ke dalam bidang kehidupan masyarakat menyebabkan masalah efektivitas penerapan hukum menjadi semakin penting untuk diperhitungkan. Itu artinya hukum harus bisa menjadi institusi yang bekerja secara efektif di dalam masyarakat.
Bagi suatu masyarakat yang sedang membangun, hukum selalu dikaitkan dengan usaha-usaha untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik, sebab melalui norma hukum yang dimaksud maka diharapkan ketertiban dan kepastian dapat terpenuhi sehingga mampu mewujudkan apa yang dicita-citakan dalam kehidupan masyarakat.
Demikian juga apa yang telah dilakukan oleh PT. PERTAMINA (Persero) selaku BUMN dalam perkembangannya untuk melaksanakan pembangunan telah banyak melakukan aktivitas bisnis, sehingga harus ada ketentuan-ketentuan hukum yang dapat dijadikan payung agar apa yang dilakukan sebagai suatu bentuk usaha yang memberikan rasa aman (baca : norma tertib dan kepastian) sebab selaku pelaku bisnis ketertiban dan kepastian hukum harus mampu mengemban misi dengan sebaik-baiknya, apalagi bila perhatian yang tertuju pada persoalan globalisasi perdagangan yang merupakan persaingan pasar terbuka yang menjadi kata kunci yang paling krusial.
Dalam rangka PT. PERTAMINA (Persero) mempersiapkan diri menghadapi pasar dari globalisasi, maka PT. PERTAMINA (Persero) sebagai unit bisnis memerlukan rumusan Visi, Misi, Tata nilai dan Motto yang berwawasan ke masa depan yang lebih baik.
Rumusan-rumusan tersebut dituangkan dalam suatu pedoman yang dapat dijadikan acuan dalam penjabaran aktifitas dari PT. PERTAMINA (Persero), dengan rumusan yang dapat diuraikan sebagai berikut : 
1. Visi Pertamina
“Menjadi Perusahaan Unggul, maju dan Terpandang"
2. Misi Pertamina
a. Melakukan usaha dibidang energi dan petrokimia.
b. Merupakan entitas bisnis yang dikelola secara professional kompetitif dan berdasarkan tata nilai unggulan.
c. Memberikan nilai tambah lebih bagi pemegang saham, pelanggan, pekerja dan masyarakat, serta mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. 
Dalam melaksanakan tugas-tugas untuk mencapai Visi, misi dan sasaran PT. PERTAMINA (Persero), merumuskan Tata Nilai yang menjadi landasan bertindak yang dituangkan dalam konsep FIVE-M yaitu : 
1) F = Focus, menggunakan secara optimum berbagai kompetensi perusahaan untuk meningkatkan nilai tambah perusahaan.
2) I = Integrity, mampu mewujudkan komitmen ke dalam tindakan nyata.
3) V = Visionary, mengantisipasi lingkungan usaha yang berkembang saat ini maupun yang akan datang untuk dapat tumbuh dan berkembang.
4) E = Excellent, menampilkan yang terbaik dalam semua aspek pengelolaan usaha.
5) M = Mutual Respect, menempatkan seluruh pihak yang terkait sederajat dalam kegiatan usaha.
3. Motto Pertamina
"Meraih keunggulan komparatif dan kompetitif”.
Untuk menunjang terciptanya Visi, Misi tersebut diatas maka sasaran PT. PERTAMINA (Persero) mempersiapkan sarana dan fasilitas yang memadai agar dapat berjalan lebih lancar, sehingga diperlukan pekerjaan yang salah satunya adalah pekerjaan Penyediaan Tenaga Kerja Pemeriksaan Rutin NDT Peralatan Kilang PT. PERTAMINA (Persero), yang meliputi kegiatan untuk membantu Inspector menyiapkan dokumen peralatan dalam rangka pelaksanaan assessment pemeriksaan peralatan Kilang (Column, Vessel, Heat Exchanger, Fin-Fan, Rotating Equipment, Instrument/listrik, dan lain-lain) pada kegiatan rutin maupun Turn Around untuk seluruh peralatan kilang, mengumpulkan data hasil assessment pemeriksaan untuk dimasukan ke dalam History Card masing-masing peralatan, melaksanakan pemeriksaan Non Destructive Testing (NDT) secara rutin pada peralatan di Kilang Pertamina, Produksi LPG Mundu dan WTP Salamdarma, yang pelaksanaan pekerjaannya melalui Pemilihan Langsung pengadaan pekerjaan jasa pemborongan (Outsourcing) yang dilakukan oleh PT. PERTAMINA (Persero) .
Pelaksanaan pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja yang dilakukan oleh PT. PERTAMINA (Persero) tersebut diatas, menjadi suatu bukti nyata bahwa harus ada norma hukum yang mampu memberikan rasa ketertiban dan kepastian sehingga dapat memberikan rasa aman dalam melaksanakan prestasinya dari masing-masing pihak yang melaksanakan pemborongan pekerjaan, mengingat bisnis outsourcing berkaitan erat dengan praktek ketenagakerjaan.
Berkenaan dengan hal itu maka norma hukum telah memberikan pedoman sebagai dasar hukum dari Pemborongan Pekerjaan Outsourcing sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 (Pasal 64, 65 dan 66) dan keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. Kep. 101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh (Kepmen 101/2004 serta Dalam Inpres No. 3 Tahun 2006 tentang paket Kebijakan Iklim Investasi.
Dengan memenuhi persyaratan sebagai Penyedia Barang/Jasa di PT. PERTAMINA (Persero) dengan mengikuti evaluasi dan verifikasi terhadap keabsahan kelengkapan persyaratan dokumen sertifikasi serta pemenuhan persyaratan tertentu lainnya oleh Panitia Sertifikasi, PT. X sejak tahun 1996 merupakan salah satu perusahaan yang terdaftar di PERTAMINA sebagai perusahaan yang dapat mengikuti kegiatan pengadaan barang/jasa di PT. PERTAMINA (Persero) dengan dikeluarkannya Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari PERTAMINA sebagai rekanan.
Salah satu kerja sama antara PT. PERTAMINA (Persero) dengan PT. X adalah Pekerjaan Penyediaan Tenaga Kerja Pemeriksaan Rutin NDT Peralatan Kilang PT. PERTAMINA (Persero), yang dilakukan dengan Pemilihan Langsung melalui surat No. 6500037487 tanggal 19 September 2006, Surat Penunjukan Pemenang Pemilihan Langsung dari Manajer Unit Reliabilitas PT Pertamina (Persero) Unit Pengolahan VI No. 0517/E16120/2006-S5 tanggal 28 September 2006 dengan dikeluarkannya Surat Perjanjian Kerja (SPK) antara PT. PERTAMINA (Persero) dengan PT. X, tertanggal 29 September 2006, Nomor 3900053099. Jangka Waktu Pelaksanaan pekerjaan adalah selama 12 (dua belas) bulan kalender terhitung mulai tanggal 01 Oktober 2006 sampai dengan tanggal 30 September 2007, dengan harga borongan seluruh pekerjaan adalah sebesar Rp. 194.416.000,00 (seratus sembilanpuluh empat juta empat ratus enambelas ribu rupiah).
Perkembangan ekonomi global dan kemajuan teknologi yang demikian cepat membawa dampak timbulnya persaingan usaha yang begitu ketat, lingkungan yang sangat kompetitif menuntut PERTAMINA sebagai pelaku usaha untuk menyesuaikan dengan tuntutan pasar yang memerlukan respons yang cepat dan fleksibel dalam meningkatkan pelayanan terhadap pelanggan. Untuk itu PERTAMINA (Persero) melakukan suatu perubahan struktural dalam pengelolaan usaha dengan memperkecil rentang kendali manajemen, dengan memangkas sedemikian rupa sehingga dapat menjadi lebih efektif, efisien dan produktif. Itu merupakan salah satu penyebab PERTAMINA melakukan outsourcing terhadap pekerjaannya.
Praktek sehari-hari outsourcing yang lebih menguntungkan bagi perusahaan tetapi tidak demikian dengan pekerja/buruh yang selama ini lebih banyak merugikan pekerja/buruh, karena hubungan kerja selalu dalam bentuk tidak tetap/kontrak (PKWT), upah lebih rendah, jaminan sosial kalaupun ada hanya sebatas minimal, tidak adanya job security serta tidak adanya jaminan pengembangan karir, sehingga dalam keadaan seperti itu pelaksanaan outsourcing akan menyengsarakan pekerja/buruh dan membuat kaburnya hubungan industrial. Pelaksanaan outsourcing banyak dilakukan untuk menekan biaya pekerja/buruh (labour cost) dengan perlindungan dan syarat kerja yang diberikan jauh dibawah dari yang seharusnya diberikan sehingga sangat merugikan pekerja/buruh.
Dari uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakukan kajian ilmiah melalui penelitian dan selanjutnya dituangkan dalam bentuk Tesis, untuk itu maka penulis memilih judul : "PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA KERJA OUTSOURCING DI PT. PERTAMINA (PERSERO)".

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis membatasi masalah yang akan diteliti lebih lanjut dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut : 
1. Bagaimanakah Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Outsourcing PT. X yang bekerja di PT. PERTAMINA (Persero) ?
2. Hambatan-hambatan apa yang dihadapi PT. X sebagai Penyedia Tenaga Kerja Outsourcing dalam memberikan perlindungan terhadap tenaga kerjanya ?
3. Upaya-Upaya apa yang dilakukan untuk menghadapi hambatan-hambatan dalam memberikan perlindungan tersebut ?

C. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian yang dilakukan ini mengindikasikan pada suatu tujuan yang diharapkan mampu dicapai yaitu : 
1. Untuk Mengetahui penerapan dalam Praktek Pelaksanaan Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Outsourcing PT. X yang bekerja di PT. PERTAMINA (Persero) .
2. Untuk mengetahui Hambatan-hambatan yang dihadapi PT. X sebagai Penyedia Tenaga Kerja Outsourcing dalam memberikan perlindungan terhadap tenaga kerjanya yang ditempatkan di PT. PERTAMINA (Persero) .
3. Untuk Mengetahui Upaya-upaya yang dilakukan untuk menghadapi hambatan-hambatan dalam memberikan perlindungan tersebut.

D. Kegunaan Penelitian
Penekanan yang dilakukan dalam penelitian ini diharapkan mampu memberikan kegunaan yang positif yaitu : 
1. Kegunaan Akademis
Kegunaan akademis dari hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan bagi pendalaman kajian sehubungan dengan fungsi hukum sebagai alat pembaharuan masyarakat dan memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum Perjanjian Pemborongan Outsourcing pada khususnya. Hasil penelitian in juga diharapkan dapat memberikan referensi bagi dilakukannya penelitian lanjutan dengan obyek yang sama.
2. Kegunaan Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi kepada pendidikan ilmu hukum mengenai pelaksanaan kaidah-kaidah hukum terutama hukum Perjanjian Pemborongan Pekerjaan (Outsourcing).
b. Untuk memberikan sarana tambahan informasi terhadap pihak-pihak pelaku bisnis yang terkait dengan aktivitas Outsourcing dan membutuhkan pengetahuan tentang norma hukum yang mengaturnya, sehingga mampu memahami segala aspek-aspek yuridis yang menyangkut dengan pelaksanaan Outsourcing, 
c. Memberikan manfaat kepada para praktisi hukum khususnya yang bergerak dalam bidang Pemborongan Pekerjaan Outsourcing.

TESIS ANALISA YURIDIS MENGENAI SANKSI YANG DIATUR DALAM UU NO 30 TH 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS TERHADAP NOTARIS YANG TIDAK MEMENUHI KETENTUAN MENGENAI KEWAJIBAN PEMBACAAN AKTA

TESIS ANALISA YURIDIS MENGENAI SANKSI YANG DIATUR DALAM UU NO 30 TH 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS TERHADAP NOTARIS YANG TIDAK MEMENUHI KETENTUAN MENGENAI KEWAJIBAN PEMBACAAN AKTA

(KODE : PASCSARJ-0239) : TESIS ANALISA YURIDIS MENGENAI SANKSI YANG DIATUR DALAM UU NO 30 TH 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS TERHADAP NOTARIS YANG TIDAK MEMENUHI KETENTUAN MENGENAI KEWAJIBAN PEMBACAAN AKTA (PROGRAM STUDI : KENOTARIATAN)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan
Indonesia adalah Negara Hukum, hal ini dinyatakan secara tegas dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Prinsip Negara hukum menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Menurut Jimly Asshiddiqie, agar terdapat perlindungan, kepastian, dan ketertiban, harus terdapat kegiatan pengadministrasian hukum yang tepat dan tertib. Hal ini juga diperlukan untuk menghindari terjadinya hubungan hukum yang cacat dan dapat merugikan subjek hukum maupun masyarakat. Kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum menuntut, antara lain bahwa, lalu lintas hukum dalam kehidupan bermasyarakat memerlukan adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat.
Dalam sistem hukum pembuktian di Indonesia untuk peradilan perdata, sebagaimana tercantum dalam pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya dalam tesis ini disingkat dengan KUH Perdata) terdapat alat bukti tulisan sebagai salah satu alat bukti yang dapat diajukan dalam persidangan. Selanjutnya dalam pasal 1867 KUH Perdata ditentukan bahwa pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan yang otentik atau dengan tulisan di bawah tangan. Lebih lanjut mengenai definisi akta otentik terdapat dalam pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi "Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya."
Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuhi mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat. Akta otentik menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa. Ketentuan mengenai akta otentik yang terdapat dalam pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, tidak menjelaskan siapa yang dimaksud dengan pejabat umum, namun hal tersebut dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (untuk selanjutnya dalam tesis ini disingkat dengan UUJN). Pasal 1 angka 1 UUJN menyebutkan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Kemudian kedudukan akta notaris sebagai akta otentik dirumuskan dalam pasal 1 angka 7 UUJN yang menyatakan bahwa akta notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Adapun akta otentik itu menurut pasal 1870 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan kepada pihak-pihak yang membuatnya suatu pembuktian yang sempurna, artinya bahwa apa yang tersebut dalam akta otentik itu pada pokoknya dianggap benar.
Kewenangan notaris untuk membuat akta otentik lebih lanjut diatur dalam pasal 15 UUJN, dalam pasal 15 ayat (1) ditentukan bahwa : 
Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
Dari definisi Notaris yang terdapat dalam pasal 1 dan kewenangan Notaris dalam pasal 15 ayat (1) UUJN tersebut dapat disimpulkan bahwa tugas pokok dari Notaris adalah membuat akta-akta otentik kecuali untuk akta-akta tertentu yang secara tegas disebut dalam undang-undang ditugaskan kepada pejabat lain yang berwenang, misalnya pejabat pada catatan sipil yang berwenang membuat akta kelahiran, akta perkawinan, dan akta kematian. Dengan demikian wewenang Notaris untuk membuat akta otentik merupakan wewenang yang bersifat umum, sedangkan wewenang pejabat lain yang bukan Notaris dalam membuat akta otentik adalah bersifat khusus.
Demikian kewenangan Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik yang merupakan alat bukti terkuat dan terpenuhi dan mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu tidak semua orang dapat diangkat menjadi Notaris, hanya orang yang telah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan dalam UUJN yang dapat diangkat sebagai Notaris, hal ini diatur dalam pasal 3 UUJN. Berdasarkan pasal tersebut, syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris adalah : 
a. Warga Negara Indonesia;
b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. Berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun;
d. Sehat jasmani dan rohani;
e. Berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan;
f. Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan; dan
g. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap jabatan dengan jabatan Notaris.
Apabila persyaratan tersebut diatas telah terpenuhi, maka layaklah orang tersebut untuk diangkat sebagai Notaris dan dalam menjalankan tugas jabatannya sebagai Notaris harus memenuhi ketentuan mengenai kewajiban-kewajiban dan memperhatikan larangan-larangan yang diatur dalam Undang-Undang agar akta yang dibuatnya menjadi otentik. Mengenai kewajiban-kewajiban Notaris dalam menjalankan jabatannya diatur dalam pasal 16 UUJN. Salah satu kewajiban Notaris dalam menjalankan jabatannya adalah membacakan akta yang dirumuskan dalam pasal 16 ayat (1) huruf l UUJN yang menyebutkan bahwa dalam menjalankan jabatannya Notaris berkewajiban membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh Penghadap, saksi, Notaris." Kemudian UUJN mengatur bahwa kewajiban pembacaan akta oleh Notaris dapat dikecualikan apabila penghadap menghendaki tidak mau dibacakan, karena telah membaca sendiri dan mengetahui serta memahami isi akta. Hal ini diatur dalam pasal 16 ayat (7) UUJN yang berbunyi : 
Pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l tidak wajib dilakukan, jika penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
Kemudian dalam pasal 16 ayat (8) ditentukan bahwa jika syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak dipenuhi maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan sebagai akta dibawah tangan. Dari rumusan pasal 16 ayat (1) huruf l, pasal 16 ayat (7), dan pasal 16 ayat (8) UUJN tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat pengecualian mengenai kewajiban Notaris untuk membacakan akta, yaitu dalam hal jika penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena telah dibaca sendiri dan mengetahui serta paham mengenai isi akta tersebut, maka Notaris tidak wajib membacakannya asalkan dinyatakan dalam penutup akta, serta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris pada setiap halaman minuta akta.
Pembacaan akta merupakan bagian terpenting dalam proses pembuatan akta Notaris, seperti yang dijelaskan dalam penjelasan umum UUJN, yaitu : 
Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Namun, Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam Akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi Akta Notaris, serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penandatangan akta. Dengan demikian, para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi Akta Notaris yang akan ditandatanganinya.
Sejalan dengan hal tersebut diatas, Tan Thong Kie memberikan pendapatnya tentang manfaat pembacaan akta, diantaranya : 
1. Pada saat-saat terakhir dalam proses meresmikan (verlijden) akta, Notaris masih diberi kesempatan memperbaiki kesalahan-kesalahannya sendiri yang sebelumnya tidak terlihat, karena bisa saja terdapat kesalahan-kesalahan fatal atau yang memalukan.
2. Para penghadap diberi kesempatan untuk bertanya apa yang kurang jelas bagi mereka.
3. Memberi kesempatan kepada Notaris dan para penghadap pada detik-detik terakhir sebelum akta selesai diresmikan dengan tanda tangan mereka, para saksi, dan Notaris, mengadakan pemikiran ulang, bertanya, dan jika perlu mengubah bunyi akta.
Menurut Penulis, kewajiban Notaris untuk membacakan akta merupakan suatu keharusan, mengingat Notaris merupakan jabatan kepercayaan, kepercayaan masyarakat terhadap Notaris adalah salah satu bentuk wujud nyata kepercayaan masyarakat terhadap hukum, oleh sebab itu notaris dalam melaksanakan tugasnya harus tunduk dan terikat dengan peraturan-peraturan yang ada yakni Undang-undang Jabatan Notaris, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kode Etik Notaris dan Peraturan Hukum lainnya. Janganlah pernah sekalipun menodai kepercayaan yang diberikan oleh Undang-Undang kepada jabatan Notaris.
Pasal 16 ayat (1) huruf l dan pasal 16 ayat (7) UUJN terdapat dalam bab III, bagian kedua yang mengatur mengenai kewajiban Notaris dalam menjalankan jabatannya. Menurut Penulis, kewajiban merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan dan apabila dilanggar akan dikenakan sanksi. Sanksi-sanksi merupakan bagian yang penting di dalam hukum. Menurut Habib Adjie dalam bukunya Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, adanya sanksi-sanksi tersebut dimaksudkan agar Notaris dapat bertindak benar sehingga produk Notaris berupa akta otentik dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada para pihak yang membutuhkannya.
Ketentuan yang mengatur mengenai sanksi dalam UUJN diatur dalam bab tersendiri, yaitu bab XI mengenai ketentuan sanksi, yang terdiri dari 2 (dua) pasal yaitu pasal 84 dan pasal 85. Sanksi yang terdapat dalam pasal 84 dan pasal 85 UUJN ini, merupakan sanksi terhadap Notaris berkaitan dengan akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris. Artinya ada persyaratan tertentu atau tindakan tertentu yang tidak dilakukan atau tidak dipenuhi oleh Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya, berupa kewajiban dan larangan yang tercantum dalam UUJN, Kode Etik Notaris, perilaku Notaris yang dapat merendahkan kehormatan dan martabat jabatan Notaris. 
Tindakan pelanggaran atas kewajiban dan larangan bagi Notaris tersebut dapat mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau suatu akta batal demi hukum yang dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris sebagaimana diatur dalam pasal 84, serta pada pasal 85 UUJN disebutkan bahwa tindakan pelanggaran atas sejumlah pasal dapat dikenai sanksi berupa teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat, atau pemberhentian dengan tidak hormat. Apabila masyarakat yang menggunakan jasa Notaris merasa dirugikan atas suatu tindakan dari Notaris tersebut melapor pada Majelis Pengawas yang kemudian atas tindakan pelanggaran tersebut dikenai sanksi oleh Majelis Pengawas berupa teguran lisan atau teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat, atau pemberhentian dengan tidak hormat.
Akan tetapi, dari ketentuan dalam pasal 84 dan pasal 85 UUJN tidak ditemukan adanya sanksi apabila ketentuan mengenai pembacaan akta yang diatur dalam UUJN tidak dipenuhi. Ketentuan pembacaan akta ini diatur dalam Bab III, bagian kedua UUJN yang mengatur mengenai kewajiban, yaitu dalam pasal 16 ayat (1) huruf l, pasal 16 ayat (7), dan pasal 16 ayat (8) UUJN. Padahal, menurut ketentuan dalam pasal 16 ayat (8), apabila salah satu syarat dalam pasal 16 ayat (1) huruf l dan 16 ayat (7) tidak dipenuhi, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Hal tersebut merupakan sanksi perdata terhadap akta yang telah dibuat oleh Notaris. Sedangkan sanksi terhadap Notaris sendiri apabila tidak memenuhi ketentuan dalam pasal 16 ayat (1) huruf l ataupun pasal 16 ayat (7) UUJN, tidak diatur dalam pasal 85 UUJN. Hal ini dapat memunculkan anggapan bahwa apabila Notaris tidak memenuhi ketentuan pembacaan akta yang diatur dalam pasal 16 ayat (1) huruf l ataupun pasal 16 ayat (7) UUJN, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan (pasal 16 ayat (8) UUJN), sedangkan terhadap Notaris yang bersangkutan tidak dikenakan sanksi apapun, karena tidak diatur dalam pasal 84 dan pasal 85 UUJN.
Degradasi akta otentik menjadi akta dibawah tangan seperti yang dimaksud dalam pasal 16 ayat (8) UUJN tentu dapat menimbulkan kerugian terhadap masyarakat pengguna jasa Notaris. Sedangkan dalam pasal 84 dan pasal 85 UUJN tidak diatur mengenai sanksi terhadap Notaris yang tidak memenuhi ketentuan pembacaan akta yang diatur dalam pasal 16 ayat (1) dan pasal 16 ayat (7) UUJN. Namun ternyata dalam prakteknya terdapat Notaris yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang diatur dalam pasal 16 ayat (1) huruf l dan pasal 16 ayat (8) UUJN, seperti kasus yang terdapat dalam putusan Majelis Pengawas Pusat Notaris Nomor : 01/B/Mj.PPN/VIII/2010, dan terhadap Notaris tersebut oleh Majelis Pengawas Notaris dikenakan sanksi pemberhentian sementara. Oleh karena itu Penulis merasa tertarik untuk membahasnya dalam tesis ini mengenai bagaimana sebenarnya pelaksanaan pembacaan akta yang diatur dalam UUJN, apa akibatnya jika akta Notaris tidak dibacakan, serta bagaimana sebenarnya UUJN mengatur mengenai sanksi terhadap Notaris yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pembacaan akta tersebut.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka Penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Analisa Yuridis Mengenai Sanksi yang Diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris terhadap Notaris yang Tidak Memenuhi Ketentuan Mengenai Kewajiban Pembacaan Akta

B. Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka dirumuskan beberapa masalah yang berkaitan dengan judul penelitian, yaitu : 
1. Bagaimanakah pelaksanaan pasal 16 ayat (1) huruf l dan pasal 16 ayat (7) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris mengenai pembacaan akta ?
2. Apa akibat jika akta Notaris tidak dibacakan ?
3. Apa sanksi bagi Notaris yang melakukan pelanggaran terhadap pasal 16 ayat (1) huruf l dan pasal 16 ayat (7) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris ?

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menemukan jawaban dari permasalahan yang diajukan, yaitu : 
1. Untuk mengetahui pelaksanaan pasal 16 ayat (1) huruf l dan pasal 16 ayat (7) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris mengenai pembacaan akta.
2. Untuk mengetahui akibat jika akta Notaris tidak dibacakan.
3. Untuk mengetahui sanksi bagi Notaris yang melakukan pelanggaran terhadap pasal 16 ayat (1) huruf l dan pasal 16 ayat (7) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

D. Metode Penelitian
Untuk memudahkan pelaksanaan penelitian ini agar didapat hasil yang memuaskan diperlukan suatu metode. Bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk meneliti asas-asas hukum umum dengan menggunakan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Penelitian yuridis normatif ini merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Penelitian yuridis normatif dilakukan dengan menggunakan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, yaitu UUJN dan didukung oleh data yang diperoleh dari kepustakaan.
Adapun tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian yang bersifat evaluatif, artinya penelitian yang memberikan penilaian atas kegiatan atau program yang telah dilaksanakan. Berdasarkan tipe penelitian evaluatif ini Penulis memberikan penilaian dan pendapat hukum mengenai ketentuan pembacaan akta yang diatur dalam UUJN.
Metode penelitian yuridis normatif ini menggunakan data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari kepustakaan. Data sekunder yang digunakan adalah yang memiliki relevansi dengan masalah penelitian. Alat pengumpul data dalam penelitian ini adalah studi dokumen yaitu mengumpulkan data untuk memperoleh data sekunder dengan cara menggali sumber-sumber tertulis baik dari perpustakaan, maupun literatur yang relevan dengan materi penelitian..
Adapun jenis bahan hukum yang digunakan sebagai sumber untuk memperoleh data sekunder adalah berupa : 
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat bagi individu dan masyarakat yang dapat membantu dalam penelitian yang dilakukan, seperti : 
1) UUJN tentang Jabatan Notaris;
2) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris
3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
4) Kode Etik Notaris;
5) Putusan Majelis Pengawas Pusat Notaris.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan informasi atau hal-hal yang berkaitan dengan isi bahan hukum primer serta implementasinya, misalnya : 
1) Artikel Ilmiah;
2) Buku yang berkaitan dengan masalah yang diteliti;
3) Makalah pertemuan ilmiah;
4) Tesis dan Disertasi.
c. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus.
Setelah semua data yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh maka akan ditarik suatu kesimpulan dari semua data dan bahan-bahan tersebut, yang kemudian akan disusun, dianalisa secara kualitatif yakni analisa yang dilakukan tidak menggunakan uji statistik, tetapi dengan melakukan penilaian terhadap data-data yang ada dengan bantuan literatur atau bahan-bahan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

TESIS PEMBACAAN AKTA OLEH NOTARIS SEBAGAI SYARAT OTENTISITAS AKTA

TESIS PEMBACAAN AKTA OLEH NOTARIS SEBAGAI SYARAT OTENTISITAS AKTA

(KODE : PASCSARJ-0238) : TESIS PEMBACAAN AKTA OLEH NOTARIS SEBAGAI SYARAT OTENTISITAS AKTA (PROGRAM STUDI : KENOTARIATAN)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pembacaan akta oleh Notaris merupakan suatu syarat dari otentisitas suatu akta. Pembacaan akta juga merupakan salah satu dari syarat verlijden dari suatu akta (Pasal 28 Peraturan Jabatan Notaris), serta merupakan kewajiban dari Notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf 1 Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004. Pembacaan akta yang merupakan kewajiban ini ternyata menimbulkan persepsi bukan menjadi sesuatu yang wajib. Hal ini disebabkan karena adanya aturan pada Pasal 16 ayat (7) Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf 1 tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi dan Notaris. Adanya kelonggaran pada kewajiban Notaris dalam pembacaan akta inilah yang melatarbelakangi penelitian ini.
Telah dipahami bersama bahwa peran dan tanggung jawab Notaris sangat besar dalam kehidupan masyarakat. Notaris dan produk aktanya dapat dimaknai sebagai upaya Negara dalam menciptakan kepastian dan perlindungan hukum bagi anggota masyarakat, demikian sebagaimana ternyata dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang berbunyi : 
“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.”
Profesi Notaris adalah pekerjaan yang unik. Kewenangannya untuk membuat akta otentik diberikan oleh Undang-Undang. Oleh karena itu, Notaris dianggap menjalankan sebagian kekuasaan Negara. Oleh karena itu sudah sepatutnyalah seorang Notaris harus melaksanakan tugasnya secara bertanggung jawab sebagai pejabat Negara.
Akta otentik, sebagai alat bukti yang terkuat dan terpenuhi, berperan penting dalam setiap hubungan hukum dalam masyarakat. Dalam berbagai hubungan bisnis, perbankan, kegiatan sosial dan lain sebagainya, kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa akta otentik semakin meningkat, seiring dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian hukum di berbagai sektor. Akta otentik juga menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum, yang diharapkan dapat menghindari terjadinya sengketa.
Pembacaan akta oleh Notaris merupakan keharusan dalam setiap pembuatan akta otentik. Menurut Pasal 28 Staadblad Nomor 3 Tahun 1860 dan Pasal 16 ayat (1) huruf 1 Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Pembacaan ini merupakan bagian dari verlijden atau peresmian akta (pembacaan dan penandatanganan). Oleh karena akta tersebut dibuat oleh Notaris, maka harus dibacakan juga oleh Notaris yang bersangkutan. Tidak dilakukan oleh orang lain seperti asisten atau pegawai Notaris.
Apabila notaris sendiri melakukan pembacaan dari akta itu, para penghadap di satu pihak mempunyai jaminan, bahwa mereka menandatangani apa yang mereka dengar sebelumnya dibacakan oleh Notaris dan di lain pihak para penghadap dan juga Notaris memperoleh keyakinan, bahwa akta itu benar-benar berisikan apa yang dikehendaki oleh para penghadap.
Jika dihubungkan dengan fungsi akta otentik tersebut dalam pembuktian, maka terlihatlah bahwa memang sesungguhnya dalam pembuatan akta oleh Notaris yang merupakan akta otentik harus demikian. Hal ini juga untuk melindungi para pihak yang terkait dalam pembuatan akta tersebut, termasuk Notaris sendiri, apabila terjadi sengketa atau gugatan atas perbuatan hukum dalam akta tersebut di kemudian hari.
Pelanggaran terhadap tidak dibacakannya akta oleh Notaris sendiri kepada para penghadap akan dikenakan sanksi seperti yang tercantum pada Pasal 28 ayat (5) Staadblad Nomor 3 Tahun 1860 yaitu akta tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian seperti akta di bawah tangan, atau dengan kata lain akta akan kehilangan otentisitasnya. Sedangkan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004, hal ini tercantum dalam Pasal 84 yang menyatakan bahwa tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris termasuk tidak membacakan aktanya sendiri akan mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada Notaris tersebut.
Pengaturan kewajiban pembacaan akta oleh Notaris dalam Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) dapat menimbulkan persepsi seakan-akan pembacaan akta oleh Notaris sudah tidak menjadi wajib karena adanya aturan dalam Pasal 16 ayat (7) UUJN, yang bunyinya sebagai berikut : 
Pembacaan akta sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) huruf 1 tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membacanya sendiri, mengetahui dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
Jika dilihat dari bunyi pasal tersebut di atas, tidak berlebihan kiranya dikhawatirkan menjadi celah bagi Notaris untuk tidak melakukan kewajibannya dalam membacakan akta. Dengan demikian apabila Notaris dalam menjalankan tugasnya membuat akta otentik, tidak membacakan akta tersebut dengan berdasarkan Pasal 16 ayat (7) UUJN tersebut, apa yang terjadi dengan keotentikan aktanya ? Sedangkan sudah diketahui bahwa Undang-Undang mengatur bahwa apabila dalam pembuatan akta tersebut tidak dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku, kekuatan pembuktiannya akan menjadi akta di bawah tangan.
Pentingnya aturan yang jelas dalam Undang-Undang kenotariatan sangat diperlukan demi terciptanya kepastian dan tidak menimbulkan salah penafsiran dan keraguan dalam pelaksanaannya. Sehingga diharapkan tidak menjadi celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang beritikad tidak baik dan tidak bertanggung jawab.

B. Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, pokok-pokok permasalahan yang akan diteliti dalam tesis ini adalah sebagai berikut : 
1. Bagaimana seharusnya para Notaris mengartikan dan menyikapi aturan pembacaan akta yang terdapat dalam Pasal 16 ayat (7) UUJN ?
2. Bagaimana tanggung jawab Notaris terhadap akta yang dibuatnya apabila tidak dibacakan ?

C. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.
Dalam penulisan tesis ini, penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang bertujuan untuk menelaah asas-asas hukum dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat preskriptif.
Sedangkan pendekatan penelitian yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan, dikarenakan pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan yang lebih banyak dilakukan pada data sekunder yang terdapat di perpustakaan.
Adapun alat pengumpulan data yang dipergunakan adalah meliputi : 
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat khususnya di bidang kenotariatan.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu buku, artikel-artikel dari berbagai majalah dan media berita lainnya tentang kenotariatan.
3. Bahan hukum tersier, yaitu kamus mengenai istilah-istilah hukum sebagai penunjang untuk mendapatkan data mengenai masalah yang akan dibahas.
Untuk menganalisis data dan menarik kesimpulan dari hasil penelitian, penulis menggunakan pendekatan kualitatif yang disajikan dalam bentuk penelitian deskriptif analisis yaitu mencari jawaban atau solusi dari permasalahan yang diteliti.

D. Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan
Bab ini merupakan pengantar untuk memasuki bab-bab selanjutnya yang menerangkan hal-hal yang berkaitan dengan masalah pokok. Bab ini dibagi menjadi empat sub bab, yaitu pertama latar belakang yang merupakan latar belakang penulis membahas hal tersebut. Kedua pokok, Ketiga metode penelitian yang digunakan, Keempat sistematika penulisan.
BAB II Pembahasan
Bab ini meliputi tiga sub bab yaitu landasan teori, analisa pembahasan hukum.
BAB III Penutup
Bab ini berisi simpulan dan saran.