Search This Blog

TESIS PELAKSANAAN GADAI EMAS PADA BANK SYARIAH MANDIRI MENURUT HUKUM ISLAM

(KODE : PASCSARJ-0554) : TESIS PELAKSANAAN GADAI EMAS PADA BANK SYARIAH MANDIRI MENURUT HUKUM ISLAM (PROGRAM STUDI : KENOTARIATAN)

contoh tesis kenotariatan

BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keberhasilan pembangunan sangat ditentukan partisipasi dan kerjasama yang baik, antara pihak pemerintah, pengusaha (swasta) dan masyarakat. Masyarakat dapat berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi, tetapi seringkali dihadapkan pada masalah dana, baik untuk kebutuhan konsumtif maupun kebutuhan produktif. Kebutuhan konsumtif, misalnya anak sakit, uang sekolah, biaya kematian. Kebutuhan produktif, misalnya membeli pupuk/bibit (untuk petani), modal usaha atau memanfaatkan kesempatan usaha (untuk pedagang), beli bahan baku (untuk industri), dan masih banyak lagi.
Kegiatan pinjam-meminjam berupa uang telah lama beredar dan dikenal oleh masyarakat Indonesia. Pada zaman dahulu, jika memerlukan pinjaman uang kebanyakan masyarakat mendatangi lintah darat atau yang biasa dikenal dengan rentenir dengan memberikan harta benda yang mereka miliki sebagai jaminan, serta membayar bunga yang sangat tinggi (melampaui batas kewajaran). Sehingga tujuan mereka yang semula untuk mengatasi masalah keuangan yang sedang dihadapi akhirnya justru menimbulkan masalah yang baru, sebab disamping harus membayar uang pokok pinjaman, mereka juga harus membayar bunga uang pinjaman tersebut.
Pemerintah memberikan solusi dengan membentuk lembaga yang dapat memberikan pinjaman kepada masyarakat dengan bunga yang sepantasnya seperti misalnya lembaga keuangan perbankan yang sudah banyak mengorientasikan bidang/kegiatan usahanya dibidang perkreditan. Tetapi ruang lingkup perkreditan pada bank ini kebanyakan hanya dinikmati oleh masyarakat golongan ekonomi menengah ke atas. Hal ini tidak terlepas dari tujuan lembaga keuangan perbankan yang dalam memberikan kredit tersebut tentunya menginginkan adanya keuntungan. Keuntungan ini diperoleh pihak bank melalui penerapan suku bunga yang relatif tinggi, yang tentunya hanya mampu dipenuhi oleh masyarakat ekonomi menengah ke atas. Di samping itu, untuk melakukan pinjaman melalui lembaga keuangan perbankan ada kalanya melalui sistem birokrasi yang panjang dan rumit serta harus melakukan koordinasi dengan berbagai instansi lainnya, seperti Notaris, PPAT, Kantor Badan Pertanahan, dan berbagai instansi lainnya.
Untuk menjamin berlangsungnya demokrasi ekonomi, segala potensi, inisiatif dan kreasi masyarakat dikerahkan dan dikembangkan menjadi suatu kekuatan riil bagi peningkatan kemakmuran rakyat, pembinaan dan pengawasan perbankan serta landasan gerak perbankan didasarkan kepada ketentuan Undang-Undang perbankan yang selalu dikembangkan dan disempurnakan dari mulai Undang-Undang Nomor 14 tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan, kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 yang disempurnakan lagi menjadi Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perbankan yang sampai sekarang masih berlaku. Dalam undang-undang tersebut belum diatur dengan rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah, kemudian dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah yang mengatur secara khusus mengenai perbankan yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 1 angka 12 UUPS yang berbunyi sebagai berikut : 
“Prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.”
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah, maka Bank Indonesia tetap sebagai pemegang otoritas perbankan dengan mengeluarkan beberapa ketentuan berkaitan dengan perbankan syariah, ketentuan itu antara lain : 
1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004 tertanggal 14 Oktober 2004 Tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Berdasarkan Prinsip Syariah.
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/1/PBI/2002 tanggal 27 Maret 2002 tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan kantor Bank berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Umum Konvensional.
Sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, perkembangan lembaga perbankan syariah cukup pesat. Demikian pula lembaga keuangan lain, juga sudah membuka unit syariah, seperti berbagai maskapai asuransi syariah, penggadaian syariah, reksadana syariah, serta berbagai perusahaan besar mengeluarkan obligasi syariah guna mencari dana bagi usaha mereka.
Lembaga keuangan syariah sebagai bagi an dari si stem ekonomi syariah, dalam menjalankan bisnis dan usahanya juga tidak terlepas dari saringan syariah. Oleh karena itu, lembaga keuangan syariah tidak akan mungkin membiayai usaha-usaha yang di dalamnya terkandung hal-hal yang bertentangan prinsip-prinsip syariah, proyek yang menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat luas, berkaitan dengan perbuatan mesum/asusila, perjudian, peredaran narkoba, senjata ilegal serta proyek-proyek yang dapat merugikan syiar Islam. Untuk itu dalam struktur organisasi lembaga keuangan syariah harus terdapat Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang bertugas mengawasi produk dan operasional lembaga tersebut. Dalam operasionalnya, lembaga keuangan syariah berada dalam koridor-koridor prinsip : 
a. Keadilan, yakni berbagi keuntungan atas dasar penjualan riil sesuai kontribusi dan risiko masing-masing pihak;
b. Kemitraan, yang berarti posisi nasabah investor (penyimpan dana), dan pengguna dana, serta lembaga keuangan itu sendiri, sejajar sebagai mitra usaha yang saling bersinergi untuk memperoleh keuntungan;
c. Transparansi, lembaga keuangan syariah akan memberikan laporan keuangan secara terbuka dan berkesinambungan agar nasabah investor dapat mengetahui kondisi dananya;
d. Universal, yang artinya tidak membedakan suku, agama, ras, dan golongan dalam masyarakat sesuai prinsip islam sebagai rahmatan lil alamin.
Gadai yang ada saat ini, dalam praktiknya menunjukkan adanya beberapa hal yang dipandang memberatkan dan mengarahkan kepada suatu persoalan riba' yang dilarang oleh hukum syara'. Menurut A.A. Basyir, riba' terjadi apabila dalam akad gadai ditemukan bahwa peminjam harus memberi tambahan sejumlah uang atau persentase tertentu dari pokok utang, pada waktu membayar utang atau pada waktu lain yang telah ditentukan penerima gadai. Hal ini lebih sering disebut juga dengan 'bunga gadai', yang pembayarannya dilakukan setiap 15 hari sekali. Sebab apabila pembayarannya terlambat sehari saja, maka nasabah harus membayar 2 kali lipat dari kewajibannya, karena perhitungannya sehari sama dengan 15 hari. Hal ini jelas merugikan pihak nasabah, karena ia harus menambahkan sejumlah uang tertentu untuk melunasi hutangnya. 
Padahal biasanya orang yang menggadaikan barang itu untuk kebutuhan konsumtif. Namun, apabila dilihat dari segi komersil pihak Pegadaian dirugikan, misalnya karena inflasi, atau pelunasan yang tidak tepat waktu, sementara barang jaminan tidak laku dijual. Karena itu aktivitas akad gadai dalam Islam, tidak dibenarkan adanya praktik pemungutan bunga karena dilarang syara', dan pihak yang terbebani merasa dianiaya dan tertekan, karena selain harus susah payah mengembalikan hutangnya, penggadai juga masih berkewajiban untuk membayar bunganya.
Menurut Muhammad Akram Khan, bahwa pinjaman itu sebagai bagian dari faktor produksi dan memiliki potensi untuk berkembang dan menciptakan nilai, serta juga menciptakan adanya kerugian. Oleh karena itu, apabila menuntut adanya pengembalian yang pasti sebagai balasan uang (sebagai modal), maka yang demikian itu dapat dianggap bunga dan itu sama dengan riba '. Mengenai riba' itu, para ulama telah berbeda pendapat. Walaupun demikian, Afzalurrahman dalam Muhammad dan Solikhul Hadi, memberikan pedoman bahwa yang dikatakan riba' (bunga), di dalamnya terdapat 3 (tiga) unsur berikut : 
a. Kelebihan dari pokok pinjaman;
b. Kelebihan pembayaran itu sebagai imbalan tempo pembayaran; dan
c. Sejumlah tambahan itu disyaratkan dalam transaksi.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Keputusan Fatwa Nomor 1 Tahun 2004 tentang Bunga (Interest/Fa 'idah) berpendapat : 
  1. Bunga (Interest/fa'idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (al-qardh) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan persentase.
  2. Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya, dan inilah yang disebut Riba Nasi'ah.
  3. Praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada jaman Rasulullah SAW, Ya ini Riba Nasi'ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk Riba, dan Riba Haram Hukumnya.
  4. Praktek Penggunaan tersebut hukumnya adalah haram, baik di lakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu.
  5. Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan lembaga keuangan syari'ah dan mudah dijangkau, tidak diperbolehkan melakukan transaksi yang didasarkan kepada perhitungan bunga.
  6. Untuk wilayah yang belum ada kantor/jaringan lembaga keuangan syari'ah, diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip darurat/hajat.

Gadai syariah tidak menganut sistem bunga, namun menggunakan biaya jasa (ijarah) sebagai penerimaan dan labanya, yang dengan pengenaan biaya jasa itu, dapat menutupi biaya yang dikeluarkan dalam operasionalnya. Oleh karena itu, untuk menghindari adanya unsur riba' (bunga) dalam gadai syariah dalam usahanya pembentukan laba, maka gadai syariah menggunakan mekanisme yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, seperti melalui akad qardhul hasan dan akad ijarah.
Menurut pendapat Muhammad Akram Khan, bahwa keberadaan gadai syariah tidak hanya digunakan untuk fungsi komersil (untuk mendapatkan keuntungan) saja, tetapi juga digunakan untuk fungsi sosial juga. Imbalan jasa yang masih digunakan oleh gadai yang dikenal dengan 'bunga gadai', sangat memberatkan dan merugikan pihak penggadai.
Hadirnya pegadaian sebuah lembaga keuangan formal di Indonesia, yang bertugas menyalurkan pembiayaan dengan bentuk pemberian uang pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkan berdasarkan hukum gadai merupakan suatu hal yang perlu disambut positif. Hadirnya lembaga tersebut diharapkan dapat membantu masyarakat agar tidak terjerat dalam praktik-praktik lintah darat, ijon dan/atau pelepas uang lainnya.
Lembaga pegadaian di Indonesia dewasa ini ternyata dalam prakteknya belum dapat terlepas dari berbagai persoalan. Maka diharapkan pegadaian yang selama ini sudah berlaku di tengah-tengah masyarakat dapat berjalan sesuai tujuan pokoknya, serta benar-benar akan dapat berfungsi sebagai lembaga keuangan non-Bank yang dapat memberikan Kemaslahatan sesuai yang diharapkan masyarakat.
Gadai syariah (rahn) merupakan salah satu alternatif pembiayaan dengan bentuk pemberian uang pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkan berdasarkan pada prinsip syariat islam dan terhindar dari praktek riba atau penambahan sejumlah uang atau persentase tertentu dari pokok utang pada waktu membayar utang.
Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Tujuan akad rahn adalah untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada Bank dalam memberikan pembiayaan. Secara sederhana rahn adalah jaminan hutang atau gadai. Biasanya akad yang digunakan adalah akad qardh wal ijarah, yaitu akad pemberian jaminan dari bank untuk nasabah yang disertai dengan penyerahan tugas agar Bank menjaga barang jaminan yang diserahkan.
Intinya adalah pihak bank tidak diperbolehkan untuk mengambil keuntungan dari akad gadai syariah. Karena pada dasarnya akad gadai adalah transaksi pinjam-meminjam (qardh) yang bersifat tabarru' yang berarti kebaikan atau tolong menolong. Sehingga tidak diperkenankan untuk mengambil keuntungan atau manfaat dari kegiatan pinjam-meminjam (qardh) karena sifatnya adalah tabarru'. Sedangkan biaya pemeliharaan atau penyimpanan merupakan biaya yang dibutuhkan untuk merawat barang gadaian selama jangka waktu pada akad gadai. Sesuai dengan pendapat para jumhur ulama biaya pemeliharaan atau penyimpanan menjadi tanggungan penggadai (rahin), karena pada dasarnya penggadai (rahin) masih menjadi pemilik dari barang gadaian tersebut, sehingga dia bertanggungjawab atas seluruh biaya yang dikeluarkan dari barang gadai miliknya.
Penggadai (rahin) menggunakan jasa bank untuk menyimpan atau memelihara barang gadainya hingga jangka waktu gadai berakhir. Biaya pemeliharaan/penyimpanan ataupun biaya sewa tersebut diperbolehkan oleh para ulama dengan merujuk kepada diperbolehkannya akad ijarah. Jadi, pada dasarnya gadai diberikan untuk menjamin suatu tagihan atau kredit, seperti yang diketahui kredit diberikan terutama atas dasar integritas atau kepribadian debitur, kepribadian yang menimbulkan rasa percaya pada diri kreditur bahwa debitur akan memenuhi kewajibannya untuk melakukan pelunasan dengan baik.
Jaminan yang diserahkan kepada pihak Bank tidak terbatas semata-mata atas dasar integritas nasabah saja, tetapi diperlukan untuk lebih meyakinkan Bank sekaligus menjadi pegangan bagi pihak Bank bila di kemudian hari nasabah ingkar janji (wanprestasi).
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penulis tertarik untuk membahas dan meneliti lebih lanjut mengenai “PELAKSANAAN GADAI EMAS PADA PT. BANK SYARIAH MANDIRI MENURUT HUKUM ISLAM”.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »