Search This Blog

Showing posts with label tesis studi pembangunan. Show all posts
Showing posts with label tesis studi pembangunan. Show all posts
TESIS PROSES PENENTUAN PENERIMA BANTUAN LANGSUNG TUNAI (BLT) : ANTARA KRITERIA FORMAL BPS DAN KETENTUAN MASYARAKAT

TESIS PROSES PENENTUAN PENERIMA BANTUAN LANGSUNG TUNAI (BLT) : ANTARA KRITERIA FORMAL BPS DAN KETENTUAN MASYARAKAT

(Kode : PASCSARJ-0011) : TESIS PROSES PENENTUAN PENERIMA BANTUAN LANGSUNG TUNAI (BLT) : ANTARA KRITERIA FORMAL BPS DAN KETENTUAN MASYARAKAT (PRODI : STUDI PEMBANGUNAN)

BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang
Pada tanggal 1 Oktober 2005, pemerintah mengambil kebijakan untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dalam negeri. Tingkat kenaikan harga BBM yang ditetapkan pemerintah tergolong tinggi dibandingkan dengan kenaikan-kenaikan harga BBM sebelumnya yaitu untuk bensin sebesar 87,5%, solar 104,8%, dan minyak tanah sebesar 185,7%.
Kenaikan harga tersebut berpengaruh langsung pada penurunan daya beli sebagian besar masyarakat, terutama rumah tangga yang berpendapatan rendah atau miskin. Untuk mengurangi beban tersebut, pemerintah mengeluarkan Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM (PKPS-BBM) berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada Rumah Tangga Miskin. Program ini ditetapkan dengan dikeluarakannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Bantuan Langsung Tunai kepada Rumah Tangga Miskin (RTM).
Tujuan pemerintah melalui program BLT ini, adalah:
1) membantu masyarakat miskin agar tetap dapat memenuhi kebutuhan dasarnya;
2) mencegah penurunan taraf kesejahteraan masyarakat miskin akibat kesulitan ekonomi; dan
3) meningkatkan tanggungjawab sosial bersama.
Untuk mendukung kelancaran program tersebut, diperlukan ketersediaan data kemiskinan yang bersifat mikro1 yang menunjukkan informasi tentang siapa dan dimana rumah tangga miskin tersebut berada, agar program dapat dilaksanakan dengan tepat sasaran. Untuk itu, Badan Pusat Statistik (BPS) melaksanakan pendataan rumah tangga miskin tahun 2005, yang disebut dengan Pendataan Sosial Ekonomi Penduduk 2005 (PSE05). Variabel yang digunakan BPS dalam menentukan ukuran kemiskinan sebanyak 14 variabel, seperti : kondisi perumahan, kemampuan daya beli, pendidikan, pekerjaan serta aset rumah tangga/keluarga.
Pada tahap awal pendataan, pemerintah mempertimbangkan agar tercipta efisiensi dalam waktu pendataan serta data yang diperoleh memiliki tingkat akurasi yang dapat diandalkan. Sehingga, dalam melakukan identifikasi awal pada penentuan rumah tangga miskin, dilibatkan ketua SLS2 (Satuan Lingkungan Setempat) atau ketua RT (Rukun Tetangga) sebagai key informan. Keterlibatan unsur masyarakat ini, karena adanya anggapan bahwa mereka ini adalah aktor di lapangan yang paling mengetahui kondisi sosial ekonomi warga yang berada di lingkungannya. Unsur masyarakat yang paling dekat dengan warga serta sebagai aparat yang menjembatani antara warga dengan aparat pemerintah. Pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah ini berupa pendekatan partisipatif (bottom-up), sebagai bentuk adanya keterlibatan aktif serta pembagian peran dan tanggung jawab di antara pelaku (Yeung and Me Gee, 1986).
Namun, yang terjadi justru diluar harapan pemerintah yaitu munculnya ketidakpuasan masyarakat setelah pencairan dana BLT pada tahap pertama. Bentuk ketidakpuasan masyarakat diungkapkan dalam berbagai bentuk mulai dari keluhan, protes atau demonstrasi, melakukan ancaman kepada aparat, hingga pengrusakan sarana yang terjadi hampir merata di seluruh Indonesia. Seperti konflik yang terjadi di Kabupaten X, masyarakat melakukan aksi protes dengan mendatangi rumah ketua RT, petugas pendata, dan kantor desa. Di kabupaten ini juga terjadi kasus pengrusakan rumah kepala desa dan kepala dusun. Di Kabupaten Bima terjadi penyegelan kantor desa selama dua hari. Di Kabupaten Tapanuli Tengah, aksi protes di salah satu desa menyebabkan terjadi penundaan pembagian kartu kompensasi BBM sampai tiga kali. Ini sebagai contoh bentuk-bentuk konflik yang terjadi di lapangan. Tindakan antisipasi pemerintah dalam meredakan gejolak sosial tersebut, dengan mengeluarkan kebijakan yaitu membuka dan menerima pendaftaran susulan (tahap kedua) bagi masyarakat yang belum terdaftar dengan membentuk posko-posko pengaduan.

1.2. Perumusan Masalah
Program BLT yang digulirkan pemerintah seharusnya dapat membantu meningkatkan kualitas hidup orang miskin, namun yang terjadi adalah konflik. Konflik dapat terjadi karena pendataan yang tidak akurat dan adanya penyimpangan dalam distribusi dana. Dalam hal pendataan, meskipun ketua SLS/RT dilibatkan sebagai key informan mengenai rumah tangga miskin, hasil pendataan tidak akurat, seperti misalnya rumah tangga miskin tidak semua tercakup dan rumah tangga yang tidak layak, masuk sebagai penerima BLT. Sedangkan penyimpangan distribusi terkait dengan kejujuran dan ketersediaan dana.
Dari permasalah tersebut, muncul pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana proses pemilihan rumah tangga miskin oleh ketua RT pada saat pendataan pertama :
a. kriteria apa yang digunakan dalam pemilihan rumah tangga miskin?
b. proses penentuan kriteria dan menentukan rumah tangga miskin?
2. Jenis dan penyebab konflik yang disebabkan oleh pendataan, serta upaya-upaya apa yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik tersebut?
3. Manfaat apa yang dapat dirasakan oleh rumah tangga sasaran dengan adanya program BLT?

1.3. Tujuan dan Sasaran Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengungkapkan kekeliruan dalam proses pendataan yang terjadi pada program BLT untuk mendapatkan pendataan yang lebih akurat. Namun secara spesifik tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui penentuan kriteria rumah tangga/keluarga yang diduga miskin oleh ketua RT serta proses penentuan rumah tangga/keluarga miskin.
2. Untuk mengidentifikasi konflik-konflik yang terjadi pada pencairan dana BLT tahap pertama, serta tindakan maupun upaya-upaya yang dilakuan oleh pelaku dalam menyelesaikan konflik.
3. Untuk mengetahui manfaat yang diperoleh oleh rumah tangga miskin (sasaran) dari pendistribusian dana BLT.
Sasaran penelitian sebagai berikut:
1. Memberikan masukan pada program yang serupa dalam hal penyusunan kriteria maupun proses pendataan.
2. Mengungkapkan manfaat program BLT terhadap masyarakat sebagai kompensasi pengurangan subsidi BBM.

1.4. Manfaat Penelitian
Bila tujuan penelitian dapat tercapai, maka hasil penelitian akan memiliki manfaat teoritis dan praktis :
A. Manfaat Teoritis
Bagi pengembangan Pengetahuan Studi Pembangunan, sebagai bahan kajian dalam upaya-upaya penanggulangan masyarakat miskin.
B. Manfaat Praktis
Bagi pengambil kebijakan (decision maker) :
• sebagai bahan informasi agar selalu mempertimbangkan segala aspek yang terkait dalam mengambil suatu keputusan/kebijakan, apalagi kebijakan yang dikeluarkan sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat luas, seperti kebijakan dengan menaikkan harga BBM yang secara otomatis mempengaruhi kenaikan barang/jasa lainnya.
• dalam menentukan batasan miskin agar relevan dengan kondisi masyarakat miskin. Perlu kajian lebih lanjut, dengan pengembangan program baru yang lebih mewakili dan nyata dalam penanggulangan kemiskinan.

1.5. Ruang Lingkup dan Lokasi Penelitian
Ruang lingkup Penelitian :
Konflik yang terjadi dapat ditimbulkan dari poses pendataan dan proses distribusi. Dalam hal ini, fokus penelitian pada proses pendataan sampai penentuan rumah tangga/keluarga miskin sebagai penerima BLT pada tahun 2005.
Lokasi Penelitian :
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten X, di 3 Kecamatan yaitu Kecamatan X, Kecamatan X dan Kecamatan X. Sebagai sampling unit terkecil adalah Rukun Tetangga (RT) yang menjadi area penelitian yang dilakukan. Tiga kecamatan ini dipilih berdasarkan tingkat konflik yang relatif lebih menonjol dibandingkan dengan kecamatan yang lainnya.

1.6. Metoda Pengumpulan dan Analisis Data
Menurut sifat data yang dikumpulkan dalam penelitian ini, digunakan pendekatan kualitatif terutama dalam pengumpulan data primer dikarenakan peneliti ingin mengetahui secara mendalam mengenai proses pelaksanaan BLT. Menurut Moleong (XXXX) penelitian kualitatif bermaksud memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, sehingga dapat digunakan untuk menggali persepsi, motivasi, penilaian, dan tindakan manusia secara holistik. Sugiyono, (XXXX) menyatakan pada penelitian kualitatif, peneliti memasuki situasi sosial tertentu, melakukan observasi dan wawancara kepada orang-orang yang dipandang tahu tentang situasi sosial tersebut. Penentuan sumber data pada orang yang diwawancarai dilakukan secara purposive, yaitu dipilih dengan pertimbangan dan tujuan tertentu.
1.6.1. Data Primer
Data primer dikumpulkan melalui wawancara mendalam {indepth interview) yang dilakukan terhadap beberapa informan kunci, 7 (tujuh) orang ketua RT, 6 (enam) orang KSK/PKSK3, 10 orang petugas pendata (PCL4), dan 1 (satu) orang tim pengolah BPS Pusat. Juga dilakukan wawancara terhadap 7 (tujuh) orang masyarakat/tokoh masyarakat, dan 30 orang penerima BLT. Wawancara dilakukan tanggal 1 - 4 Mei XXXX dan 22-30 Agustus XXXX,
1.6.2. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data pendukung yang diperoleh dari instansi BPS (Pusat, Propinsi Jawa Barat dan Kabupaten X), terkait dengan hasil pendataan PSE05 untuk menunjang analisis data primer. Data sekunder dikumpulkan minggu ke-2 dan 3 bulan Agustus XXXX.
1.6.3. Metoda Analisis Data
Metoda analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif-kualitatif dilakukan dengan menginterpretasikan dan membandingkan berbagai fenomena yang terjadi, dengan persyaratan program kompensasi BBM dan teori-teori yang ada. Dengan demikian dapat diketahui ada tidaknya perbedaan antara kondisi faktual dengan teori-teori yang ada dan yang disyaratkan program. Selanjutnya akan dirumuskan kebijakan-kebijakan bagi peningkatan pelaksanaan program dan manfaat yang dapat diperoleh.

1.7. Sistematika Penulisan
Laporan penelitian disusun dalam lima bab, yaitu :
Bab I merupakan Pendahuluan, yang didalamnya berisi tentang latar belakang munculnya fenomena-fenomena yang terjadi dalam penentuan penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT), tujuan penelitian, batasan-batasan penelitian, serta sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Pustaka, yang berisi tentang konsep-konsep teori yang mempunyai hubungan yang terkait dengan pendataan yang akurat, pendekatan kriteria kemiskinan, konsep kemiskinan, strategi penanggulangan kemiskinan, serta preseden penanggulangan kemiskinan. Teori-teori ini yang selanjutnya digunakan sebagai acuan dalam melakukan penelitian.
Bab III berisi tentang Gambaran Umum, yang memaparkan deskripsi objek penelitian yang memberikan gambaran umum tentang lokasi penelitian dan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) sampai penentuan rumah tangga/keluarga miskin sebagai penerima BLT serta pendistribusian kartu kompensasi BBM (KKB).
Bab IV tentang Analisis Penentuan Penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT)-studi kasus di Kabupaten X, yang berisi analisis tentang proses alir informasi yang terjadi pada saat pendataan di lapangan serta penentuan penerima BLT. Selain itu dianalisis juga mengenai munculnya konflik, penyebab dan upaya penyelesaiannya serta manfaat yang diperoleh rumah tangga miskin melalui program BLT. Dalam melakukan analisis, penulis menggunakan metode analisis deskriptif-kualitatif.
Bab V memuat Kesimpulan dan Rekomendasi, yang berisi tentang kesimpulan dari kasus yang diteliti, rekomendasi yang ditujukan kepada pemegang kebijakan, keterbatasan studi yang dilakukan serta saran studi lanjutan.
TESIS KAJIAN KEMISKINAN PADA KOMUNITAS NELAYAN DI X DENGAN PENDEKATAN PARTICIPATORY POVERTY ASSESSMENT

TESIS KAJIAN KEMISKINAN PADA KOMUNITAS NELAYAN DI X DENGAN PENDEKATAN PARTICIPATORY POVERTY ASSESSMENT

(Kode : PASCSARJ-0010) : TESIS KAJIAN KEMISKINAN PADA KOMUNITAS NELAYAN DI X DENGAN PENDEKATAN PARTICIPATORY POVERTY ASSESSMENT (PRODI : STUDI PEMBANGUNAN)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Citra nelayan masih sangat identik dengan kemiskinan. Nelayan bahkan disebut sebagai masyarakat termiskin dari kelompok masyarakat lainnya (the poorest of the poor). Haeruman (1987) dalam Fachruddin (2005) menyebutkan bahwa kelompok nelayan merupakan golongan yang paling miskin di Indonesia. Hal senada dinyatakan oleh Winahyu dan Santiasih (1993) dalam Kusnadi (2000) yang menyebutkan bahwa dibandingkan dengan sektor pertanian sekalipun, nelayan, khususnya nelayan buruh dan kecil atau nelayan tradisional, dapat digolongkan sebagai lapisan sosial yang paling miskin.
Berbagai program telah dilakukan pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan nelayan. Program yang bersifat umum antara lain Program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Program Keluarga Sejahtera, Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), dan Program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Sedangkan program yang secara khusus ditujukan untuk kelompok sasaran masyarakat nelayan antara lain program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (PEMP) dan Program Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap Skala Kecil (PUPTSK).
Namun, secara umum program-program tersebut tidak membuat nasib nelayan menjadi lebih baik daripada sebelumnya (Fauzi, 2005). Salah satu penyebab kurang berhasilnya program-program pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan nelayan adalah formulasi kebijakan yang bersifat top down. Formula yang diberikan cenderung seragam padahal masalah yang dihadapi nelayan sangat beragam dan seringkali sangat spesifik lokal (Waluyanto, 2007). Di samping itu, upaya penanggulangan kemiskinan nelayan seringkali sangat bersifat teknis perikanan, yakni bagaimana upaya meningkatkan produksi hasil tangkapan, sementara kemiskinan harus dipandang secara holistik karena permasalahan yang dihadapi sesungguhnya jauh lebih kompleks dari itu.
Seiring dengan hal tersebut, sejak tahun 1990-an munculnya gagasan mengenai kesejahteraan (well-being) sebagai penjelmaan dari kondisi tidak adanya kemiskinan. Munculnya konsep ini diikuti dengan penekanan pada bagaimana masyarakat miskin sendiri memandang kondisi mereka, yang ditunjang dengan makin populernya analisis kemiskinan yang bersifat partisipatif yakni Participatory Poverty Assessment (PPA) atau Analisis Kemiskinan Partisipastif (AKP).
Tidak ada suatu definisi yang spesifik tentang AKP. Berbagai defmisi lebih banyak mengacu pada adanya proses interaktif dan dilibatkannya masyarakat miskin, tetapi bukan pada suatu cara tertentu dalam pengambilan data. Pendekatan ini dikembangkan atas dasar argumen bahwa "orang miskinlah yang lebih tahu tentang kemiskinan mereka" (Suharyo, 2006).

1.2 Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan hasil pengkajian BPS dan SMERU (2004), kemiskinan nelayan tersebar di seluruh pesisir Indonesia dengan persentase penduduk miskin mencapai 30,98%. Kemiskinan nelayan tersebut terjadi pula di Provinsi Jawa Barat, X, dan Lampung dengan persentase penduduk miskin masing-masing 27,20%, 18,83%, dan 25,24%. Dibandingkan dengan wilayah pesisir lainnya, khususnya Indonesia timur, ketiga provinsi tersebut sesungguhnya memiliki infrastruktur perikanan dan infrastruktur wilayah yang lebih lengkap.
Peneliti mencoba melakukan Analisis Kemiskinan Partisipastif (AKP) di ketiga provinsi tersebut, sebagai satu metode penting untuk menganalisis kemiskinan nelayan di Indonesia, di samping metode-metode lain yang telah digunakan selama ini. Lokasi yang diambil adalah komunitas nelayan di X (Jawa Barat), X (Lampung), dan X (X). X dan X mewakili WPP (Wilayah Pengelolaan Perikanan) III Laut Jawa yang berdasarkan hasil penelitian Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan) tahun 2006 teridentifikasi mengalami kondisi ketersediaan sumber daya ikan yang rata-rata telah lebih tangkap (over fishing). Sedangkan X (Provinsi X) mewakili WPP IX Samudera Hindia di mana tingkat pemanfaatan sumber daya ikannya relatif lebih rendah dibanding WPP III Laut Jawa. Sementara itu, dari segi karakteristik wilayah, X mewakili karakter kota (urban), X mewakili karakter perdesaan (rural), dan X mewakili karakter semi-urban.
Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut: "bagaimanakah gambaran kemiskinan nelayan di lokasi penelitian berdasarkan kajian secara partisipatif?"
Adapun sub pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah persepsi nelayan miskin dalam memandang kemiskinan?
2. Bagaimanakah karaktristik kehidupan nelayan miskin?
3. Bagaimanakah usulan program penanggulangan kemiskinan yang perlu dilakukan pemerintah yang sensitif terhadap pertisipasi nelayan?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan, penelitian ini bertujuan untuk memahami kemiskinan nelayan secara partisipatif sebagai sebagai bahan untuk merumuskan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang sensitif terhadap aspirasi nelayan dan permasalahan lokal.
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, dalam merumuskan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang sensitif terhadap aspirasi nelayan dan permasalahan lokal.
2. Sebagai bahan masukan bagi peneliti lainnya yang berminat untuk meneliti lebih lanjut kemiskinan nelayan, khususnya dengan menggunakan Analisis Kemiskinan Partisipatif (AKP).

1.4 Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penulisan penelitian ini disusun dengan urutan sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan, memaparkan latar belakang, pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Pustaka dan Kerangka Kerja Operasional, menyajikan kerangka teoritik terkait dengan penelitian dan kerangka kerja operasional yang dilakukan.
Bab III Metode Penelitian, membahas metode yang digunakan, sampel yang dipilih, cara-cara pengumpulan data, lokasi dan waktu penelitian.
Bab IV Gambaran Lokasi Penelitian, memaparkan gambaran umum dan gambaran usaha perikanan tangkap di lokasi penelitian.
Bab V Identifikasi Kemiskinan Nelayan secara Partisipatif merupakan bab utama yang membahas hasil-hasil penelitian terkait persepsi nelayan terhadap kemiskinan dan kareakteristik kemiskinan.
BAB VII Kesimpulan dan Rekomendasi, merupakan penutup tesis yang berisi kesimpulan dan rekomendasi yang diajukan.
Tesis Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan Di Perkotaan (P2KP) Di Kecamatan X

Tesis Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan Di Perkotaan (P2KP) Di Kecamatan X

(Kode STUDPEMBX0022) : Tesis Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan Di Perkotaan (P2KP) Di Kecamatan X

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Kemiskinan merupakan fenomena global yang sangat memprihatinkan, bagaimana tidak, dari tahun ke tahun masalah kemiskinan ini tidak kunjung surut bahkan cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat serta menurunnya kondisi perekonomian negara Indonesia.
Kemiskinan merupakan masalah yang pada umumnya dihadapi hampir di semua negara-negara berkembang, terutama negara yang padat penduduknya seperti Indonesia. Dari seminar ke simposium, dari lokakarya ke semiloka, dari model topdown ke model bottom-up, dan variasinya program intervensi, pada akhirnya tetap menyisakan persoalan sepertinya tidak mampu menekan drastis angka kemiskinan. Kemiskinan merupakan masalah bersama yang harus ditanggulangi secara serius, kemiskinan bukanlah masalah pribadi, golongan bahkan pemerintah saja, akan tetapi hal ini merupakan masalah setiap kita warga negara Indonesia. Kepedulian dan kesadaran antar sesama warga diharapkan dapat membantu menekan tingkat kemiskinan di Indonesia.
Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) hadir untuk melaksanakan amanah Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) yang menempatkan penanggulangan kemiskinan sebagai prioritas mendesak untuk segera ditangani.
Upaya menanggulangi kemiskinan merupakan usaha yang tidak dapat diselesaikan dalam waktu tertentu. Penanggulangan kemiskinan merupakan suatu proses yang tidak pernah boleh berhenti karena kemiskinan itu sendiri sangat dinamis. Dalam P2KP, masalah kemiskinan dipandang bukan suatu hal yang terjadi dengan sendirinya, melainkan karena sebagai akibat dari suatu kebijakan.
Masalah kemiskinan lebih cenderung merupakan suatu masalah kebijakan politik yang berkaitan dengan masalah kebijakan pembangunan pada umumnya (di segala bidang), baik di level atas maupun di level bawah. Dalam hal kebijakan pembangunan, tampak jelas lemahnya atau ketidakberdayaan posisi masyarakat terutama kelompok masyarakat miskin atau lapis bawah (grass roots) dalam proses pengambilan keputusan.
Bagaimana program pembangunan atau penanggulangan kemiskinan dapat berhasil apabila kebijakan atau sasarannya salah. Sering terlihat kurangnya koordinasi antar program pembangunan, tetapi justru menunjukkan indikasi adanya ego sektoral antar instansi, sehingga program-program tersebut terkesan kurang saling mendukung.
Berbagai program-program intervensi tersebut, dalam kenyataannya cenderung kurang terkoordinasi dan berjalan sendiri-sendiri. Keterkaitan secara keseluruhan sangat lemah, sehingga terkadang memancing terjadinya kebingungan hingga friksifriksi antar stakeholders di daerah. Kondisi ini bahkan dipicu dengan banyaknya program-program dengan jargon pemberdayaan masyarakat dan program sektoral pusat, yang “mem-by pass” (melompati dan tidak menganggap) peran penting pemerintah daerah. Pada masa otonomi daerah, sangat ironis apabila masalah tersebut terjadi, karena di daerah otonomlah sebagai terminal titik koordinasi bertemunya aspirasi dari bawah dan kebijakan dari atas dipertemukan.
Di Indonesia program-program penanggulangan kemiskinan sudah banyak pula dilaksanakan, seperti : pengembangan desa tertinggal, perbaikan kampung, gerakan terpadu pengentasan kemiskinan. Sekarang pemerintah menangani program tersebut secara menyeluruh, terutama sejak krisis moneter dan ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997, melalui program-program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Dalam JPS ini masyarakat sasaran ikut terlibat dalam berbagai kegiatan.
Sedangkan, P2KP sendiri sebagai program penanggulangan kemiskinan di perkotaan lebih mengutamakan pada peningkatan pendapatan masyarakat dengan mendudukan masyarakat sebagai pelaku utamanya melalui partisipasi aktif. Melalui partisipasi aktif ini dari masyarakat miskin sebagai kelompok sasaran tidak hanya berkedudukan menjadi obyek program, tetapi ikut serta menentukan program yang paling cocok bagi mereka. Mereka memutuskan, menjalankan, dan mengevaluasi hasil dari pelaksanaan program. Nasib dari program, apakah akan terus berlanjut atau berhenti, akan tergantung pada tekad dan komitmen masyarakat sendiri.
Sejak dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2005 mengenai program penanggulangan kemiskinan, pemerintah telah melakukan intervensi percepatan penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. Komponen intervensinya mencakup tiga hal yaitu bantuan modal, penyediaan prasarana/sarana, dan pendampingan masyarakat. Bantuan modal didistribusikan sebesar 20 juta rupiah per kelurahan IDT. Merasa tidak cukup, dilengkapi dengan bantuan pembangunan infrastruktur pekelurahanan melalui Pembangunan Prasarana Pendukung Kelurahan Tertinggal (P3DT) dan Program Pembangunan Jalan Poros Kelurahan (P2JPD). Penyediaan tenaga pendampingan disediakan baik untuk IDT maupun P3DT. Ini saja tidak cukup. Oleh karena itu, dengan mulai berakhirnya masa 3 tahun IDT, dikembangkanlah program yang lebih besar untuk mempercepat peningkatan sosial-ekonomi masyarakat di kelurahan (melalui Program Pengembangan Kecamatan atau PPK) dan di perkotaan (melalui P2KP).
Bersamaan dengan itu, dengan pola mirip, dilaksanakanlah program-program lain seperti P2MPD atau Community and Local Government Support, Program dalam Rangka Menanggulangi Dampak Krisis Ekonomi atau PDMDKE, dan yang terakhir adalah Jaring Pengamanan Sosial atau JPS khusus sebagai upaya penanggulangan krisis dan mencegah kemiskinan yang makin membengkak angkanya.
Belajar dari pengalaman pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan di masa lalu yang masih memberikan porsi yang sangat besar kepada birokrasi, maka digulirkan intervensi ekstrim Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) yang melompati jenjang birokrasi peran Pemda. Program ini merupakan kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan Bank Dunia melalui pinjaman Loan IDA credit yang merupakan salah satu program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat di perkotaan. Intervensinya ditekankan pada penciptaan lapangan kerja dan penyediaan dana pinjaman bergulir serta pengembangan prasarana dan sarana dasar lingkungan dengan penyediaan pendampingan pihak Konsultan Manajemen Wilayah dan Fasilitator Kelurahan (KMW dan Faskel).
Program ini memiliki beberapa tujuan, antara lain; pertama, P2KP adalah sebuah program pemberdayaan masyarakat. Utamanya ditujukan bagi masyarakat miskin di daerah perkotaan yang menerima dampak paling berat akibat krisis ekonomi. Dijelaskan pula bukan berarti masyarakat miskin pedesaan tidak diperhatikan. Tetapi masyarakat perkotaan menjadi skala prioritas utama program ini, karena mereka tidak memiliki pilihan lain selain sandaran ekonomi keluarganya. Di sisi lain menurut pemahaman penulis, masyarakat miskin perkotaan karena kondisi dan pengaruh kepentingan tertentu, memiliki peluang besar untuk melakukan gerakan massa guna memperoleh hak-hak dasar mereka. Bahkan yang paling ekstrim sekalipun. Seperti pernah terjadi, terprovokasinya gerakan anarki dalam bentuk penjarahan dan pengrusakan oleh sebagian massa daerah perkotaan sebagai akibat kecemburuan sosial dan ekonomi. Sementara masyarakat pedesaan meskipun memiliki peluang yang sama, tetapi karakter kepribadian dan lingkungan mereka yang saling berbeda, kemungkinan melakukan gerakan massa relatif sangat kecil. Kecuali provokasi bernuansa SARA, yang dilakukan secara sistematis untuk suatu kepentingan politik.
Kedua, program P2KP bukan sekedar program pemberdayaan ekonomi yang bersifat penyelamatan (rescue) atau pemulihan (recovery) yang berjangka pendek seperti program sejenis lainnya. Tetapi lebih merupakan pengentasan kemiskinan (poverty allviation) melalui pemberdayaan masyarakat (community empowerment) secara utuh, simultan, berkelanjutan dan berjangka panjang. Di dalam implementasinya, lebih diutamakan pemberdayaan dan perkuatan kelembagaan di tingkat paling bawah (kelurahan) melalui pendekatan tribina (bina lingkungan, ekonomi dan sosial). Artinya, menurut pemahaman penulis, melalui program P2KP akan digali dan dibangun kembali akan budaya serta kelembagaan tradisional yang kental akan nuansa kebersamaan dan gotong royong. Sebuah tata kehidupan yang penuh dengan nuansa silih asah, silih asih dan silih asuh (saling mendidik, mengasihi, dan membantu).
Ketiga, melalui pemberdayaan dan perkuatan kelembagaan masyarakat diharapkan bisa dikembangkan suatu proses pengorganisasian yang aspiratif, terbuka, adil dan demokratis yang mewakili kelompok usaha dari masyarakat di wilayah sasaran program. Perwujudannya adalah pembentukan kelompok-kelompok keswadayaan masyarakat di tingkat kelurahan dan kelurahan sebagai wadah usaha bersama baik di bidang ekonomi, sosial maupun untuk kegiatan lainnya. Keempat, sebagai stimulan, melalui program P2KP diupayakan dana pinjaman sebesar USD 100 juta (sekitar Rp 800 milyar) dari Bank Dunia guna membantu masyarakat miskin di daerah perkotaan yang tergabung di dalam organisasi Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dalam rangka memberdayakan kehidupan mereka baik di bidang ekonomi melalui pengembangan usaha kecil (small scale bussiness), pembangunan dan perbaikan sarana dan prasarana lingkungan serta penyelenggaraan pelatihan sumber daya manusia dan penciptaan lapangan kerja.
Artinya, sekali lagi menurut pemahaman penulis, bantuan dan pinjaman bagi masyarakat miskin bukanlah tujuan utama program P2KP. Dana hanyalah sekedar sarana untuk membangkitkan kesadaran masyarakat sasaran akan pentingnya membangun keberdayaan.
Kelurahan sasaran P2KP di Kecamatan X adalah Kelurahan X dan Kelurahan X, dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

** BAGIAN INI SENGAJA TIDAK DITAMPILKAN **

Kualitas lingkungan perumahan dan permukiman jauh dibawah standar, dan kelayakan mata pencarian yang tidak menentu. Kondisi ini diperlukan perbaikan di segala sektor kehidupan masyarakat. Hal ini ditunjang dengan kondisi masyarakat miskin Kelurahan X pada tahun 2006 dengan jumlah penduduk 9.624 jiwa, atau 279 rumah tangga miskin. Pada tahun yang sama, jumlah penduduk di Kelurahan X 23.342 jiwa atau 721 rumah tangga miskin.
Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk meneliti dan mengetahui implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) yang telah dilaksanakan di Kecamatan X.

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah, maka penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimana implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) di Kecamatan X.”

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui:
a. Implementasi P2KP pada daerah penerima program tersebut.
b. Manfaat dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan P2KP di Kecamatan X.

1.4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat :
a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap teori-teori dan konsep-konsep tentang efektivitas implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) dan kemiskinan.
b. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, maupun stakeholder lainnya terhadap implementasi P2KP pada keluarga miskin.
Tesis Hubungan Kemampuan Manajerial Aparat Pemerintah Desa Dengan Pembangunan Desa (Studi Pada Desa-Desa Di Kecamatan X Kabupaten X Propinsi X)

Tesis Hubungan Kemampuan Manajerial Aparat Pemerintah Desa Dengan Pembangunan Desa (Studi Pada Desa-Desa Di Kecamatan X Kabupaten X Propinsi X)

(Kode STUDPEMBX0021) : Tesis Hubungan Kemampuan Manajerial Aparat Pemerintah Desa Dengan Pembangunan Desa (Studi Pada Desa-Desa Di Kecamatan X Kabupaten X Propinsi X)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dengan memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Terbitnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, semakin menguatkan posisi daerah dalam upaya meningkatkan kemampuan di segala bidang, karena semua yang menyangkut kemajuan daerah diserahkan pengelolaan sepenuhnya kepada daerah, terutama Kabupaten dan Kota sebagai titik berat otonomi daerah.
UU No. 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah secara normatif mengatur tentang desa sebagai unit organisasi pemerintah terendah, yang sebelumnya pada UU No. 5 Tahun 1979 bercorak sentralistik. Pergeseran perubahan yang menonjol pada UU No. 22 Tahun 1999 maupun UU No. 32 Tahun 2004, terletak pada filosofi yang digunakan, yaitu keanekaragaman dalam kesatuan sebagai kontra konsep dari filosofi keseragaman yang digunakan dalam UU No. 5 Tahun 1979.
Dalam kerangka otonomi daerah, salah satu komponen yang masih perlu dikembangkan adalah wilayah pedesaan. Eksistensi desa memiliki arti penting dalam proses pembangunan pemerintahan dan kemasyarakatan, karena desa memiliki “hak otonomi”, yaitu hak untuk mengatur dan mengurus secara bebas rumah tangganya sendiri berdasarkan asal-usul dan adat istiadat masyarakat setempat. Dengan demikian, pembangunan pedesaan menuju terciptanya desa yang mandiri tidak dapat dilakukan secara uniform dan stereotifikal untuk seluruh bangsa/negara.
Merujuk pada konsep pengembangan development from bellow, yang menekankan proses penyelenggaraan pembangunan pada optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam dan keahlian setempat, maka konsepsi pembangunan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk. Hal ini berarti surplus wilayah dikembalikan ke wilayah untuk mendiversifikasi ekonomi wilayah. Meskipun konsep wilayah lebih luas maknanya dibanding definisi desa, pusat perhatian konsep ini tetap menekankan pada elemen terkecil suatu wilayah untuk mengembangkan ekonomi wilayah yang lebih luas, dimana desa merupakan elemen terkecil dari sistem wilayah. Salah satu bentuk dari aplikasi konsep development from bellow adalah agropolitan development, sebagai konsep pembangunan wilayah yang memiliki basis perekonomian pertanian. Prasyarat yang dibutuhkan dalam implementasi konsep pembangunan ini adalah sistem pemerintahan yang demokratis dan tidak terlalu sentralistik. Prasyarat tersebut sejalan dengan apa yang dilakukan oleh bangsa Indonesia, terutama di era otonomi daerah seiring dengan pemberlakuan UU No. 32 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Untuk mewujudkan kemandirian pelaksanaan pembangunan yang berbasis pada wilayah pedesaan, dituntut keterlibatan sosiokultural yang ada dalam masyarakat. Hal ini semakin membuka peluang bagi masyarakat desa untuk memanfaatkan nilai-nilai budaya serta pranata sosial setempat demi mewujudkan keberhasilan pembangunan di desanya masing-masing. Melalui otonomi desa, terbuka kesempatan yang luas untuk mengetahui sumber daya, masalah, kendala serta memperbesar akses setiap warga desa untuk berhubungan langsung dengan pemimpinnya, atau sebaliknya bagi pemimpin dapat mengetahui kebutuhan desa secara tepat. Pembangunan desa dengan demikian merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang dilaksanakan dari masyarakat, oleh masyarakat serta untuk masyarakat desa dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan taraf kehidupan yang layak.
Karakteristik pembangunan desa memiliki sifat yang multidimensional menyangkut seluruh aspek kehidupan masyarakat di desa. Dari sudut pemerintahan, pembangunan desa dioperasionalisasikan melalui berbagai sektor dan program yang saling terkait dan pelaksanaannya dilakukan oleh masyarakat dengan bantuan dan bimbingan pemerintah. Pada realitasnya, mayarakat desa sampai saat ini tetap memiliki berbagai keterbatasan sumber daya, baik sumber daya manusia, sumber daya alam, maupun sumber daya modal. Kerjasama yang dibangun antara pemerintah dengan mayarakat akan menciptakan pola hubungan yang serasi dalam proses pelaksanaan pembangunan di pedesaan.
Pembangunan pedesaan, identik dengan pembangunan di sektor pertanian, karena sebagian besar mata pencaharian penduduk bergerak di sektor pertanian, meskipun dalam prakteknya di lapangan, karakteristik budaya masyarakat pedesaan di Indonesia sangat beragam. Mubyarto (2000), membagi tipologi desa berdasarkan mata pencahariannya, yakni desa persawahan, desa perkebunan, desa perternakan, desa industri kecil dan menengah, desa jasa dan perdagangan, serta desa perladangan. Fenomena yang sama juga dijumpai di wilayah Kabupaten X. Berdasarkan data statistik, wilayah Kecamatan X yang menjadi lokasi penelitian, sebagian besar masyarakatnya bergerak di sektor pertanian, yakni terdapat sekitar 41,72% (BPS Kecamatan X dalam Angka, 2007:19).
Secara tradisional, peranan sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi dipandang pasif dan bahkan hanya dianggap sebagai unsur penunjang semata (Todaro, 1998:432). Fenomena ini dijumpai dalam sejarah pembangunan di Indonesia selama pemerintahan Orde Baru, yang menjadikan sektor pertanian sebagai sektor pendukung proses industrialisasi. Peranan sektor pertanian dianggap sebagai sumber tenaga kerja dan sumber bahan baku murah demi perkembangan sektor-sektor industri yang diharapkan mampu mengejar ketertinggalan ekonomi yang dialami oleh bangsa Indonesia. Akibat dari marginalisasi konsep pembangunan wilayah pedesaan selama pemerintahan Orde Baru, menimbulkan berbagai masalah bagi masyarakat desa yang sampai saat ini belum dapat diatasi secara tuntas.
Beberapa persoalan yang dihadapi masyarakat di pedesaan antara lain kurangnya sarana dan prasarana, banyaknya pengangguran, kualitas gizi yang masih rendah, aparatur desa belum berfungsi dengan baik, lokasi desa yang terisolisasi dan terpencar, keterampilan penduduk yang rendah, tidak seimbangnya antara jumlah penduduk dengan luas wilayah pertanian, kemiskinan, ketimpangan distribusi pendapatan, ketidakseimbangan struktural ataupun keterbalakangan pendidikan dan lain sebagainya.
Hal menonjol dilihat dari aspek pemerintahan adalah pelaksanaan organisasi pemerintahan desa yang belum secara optimal berjalan dengan baik, sehingga pertumbuhan dan perubahan sosial di desa relatif lambat, bahkan kemacetan sistem tidak dapat dihindarkan. Untuk melakukan perubahan sosial masyarakat desa, dibutuhkan perencanaan yang baik dalam pembangunan desa yang mampu mengangkat serta mengembangkan potensi lokal masyarakat di pedesaan.
Dalam perencanaan pembangunan desa, pemerintah desa dalam hal ini Kepala Desa mempunyai peran penting dan strategi dalam perencanaan bersama dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Dalam UU No. 32 Tahun 2004, memungkinkan setiap desa memiliki sebuah lembaga yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa. Lembaga ini bisa berupa lembaga adat atau lembaga kemasyarakatan desa yang ditetapkan dengan peraturan desa. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 64 Tahun 1999, disebutkan bahwa lembaga kemasyarakatan ini merupakan mitra pemerintah desa dalam aspek perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan yang bertumpu pada masyarakat.
Konsep perencanaan pembangunan di wilayah pedesaan menjadi demikian penting, karena akan menentukan arah pembangunan di suatu desa. Selain itu, menjadi kewajiban pemerintah desa untuk menampung aspirasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan desa. Aspirasi masyarakat dapat ditampung dengan cara melibatkan Badan Permusyawaratan Desa dalam proses perencanaan pembangunan desa bersama pemerintah desa, yaitu Kepala Desa beserta perangkatperangkatnya.
Untuk mencapai hasil maksimal pembangunan, dimulai dari proses perencanaan, pelaksanaan hingga selesainya pembangunan, yang kata kuncinya diperlukan pengelolaan secara sistematik. Dalam konteks ini, sistem manajemen pemerintahan sebagai perangkat integral dan melekat dengan pengelolaan pembangunan desa berfungsi untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat. Seiring dengan itu, aspek kemampuan aparat pemerintahan desa sebagai penentu dan penyelenggara menajemen pemerintahan desa harus dapat menciptakan nilai keadilan dalam proses pembangunan desa. Nilai keadilan itu berkaitan dengan pemenuhan hal-hak warga negara yang harus terlayani secara menyeluruh oleh pemerintah desa. Untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan dan pembangunan desa dibutuhkan kemampuan manajerial aparat pemerintah desa yang handal dalam usaha memberikan kepuasan bagi masyarakat melalui pelaksanaan pembangunan desa sesuai tujuan keberadaan institusi pemerintahan sebagai organisasi publik.
Secara empirik penerapan fungsi-fungsi manajemen pemerintahan pada desa-desa di wilayah Kecamatan X, belum berjalan secara optimal. Fenomena ini dapat dilihat dari pembuatan Daftar Usulan Rencana Proyek (DURP) yang seharusnya direncanakan oleh pemerintah desa dan BPD atas usul masyarakat desa, ternyata hanya dibuat oleh Kepala Desa dan aparat kecamatan. Proses pelaksanaan pembangunan juga tidak mengikutsertakan masyarakat. Pelaksana kegiatan dilakukan Kepala Desa dan aparat kecamatan tanpa mempertimbangkan aspek kepentingan masyarakat desa. Begitu pula pada aspek pengawasan hasil pembangunan, tidak pernah diperiksa oleh BPD, tetapi diperiksa oleh pihak kecamatan. Dengan demikian sejauh ini pelaksanaan pembangunan desa masih didasarkan atas kemauan dan keinginan Kepala Desa dan pihak kecamatan, belum atas dasar pertimbangan keinginan dan kemauan masyarakat desa.
Fenomena di atas menguatkan asumsi bahwa kemampuan manejerial aparat pemerintah desa dalam mengelola manajemen permintahan desa masih sangat rendah, bahkan aktivitas manajemen tidak dilaksanakan oleh aparat pemerintah desa. Kondisi ini, dapat menyebabkan kualitas pengelolaan manajemen pemerintah desa yang menunjang keberhasilan pembangunan desa menjadi rendah. Padahal pembangunan desa yang merupakan keterpaduan antar berbagai kebijakan pemerintah dengan partisipasi serta swadaya gotong-royong masyarakat, perlu didukung dengan kemampuan aparatur pemerintah dalam menciptakan iklim keterpaduan yang serasi dan berkesinambungan dalam memanfaatkan segala sumber daya di desa untuk didayagunakan dalam pelaksanaan program pembangunan desa.
Dalam kaitan itu, implikasi tingkat keberhasilan pembangunan desa, yang diukur dari tingkat taraf hidup masyarakat, ternyata masih sangat rendah. Tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa juga terlihat sangat rendah serta kurangnya kemampuan masyarakat untuk berkembang secara mandiri dalam menjaga dan melestarikan hasil-hasil pembangunan desa. Atas dasar kondisi objektif di atas, salah satu kunci keberhasilan organisasi pemerintah desa dalam melaksanakan pembangunan desa, terletak pada kemampuan manajerial aparat pemerintah desa. Untuk itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut seberapa besar hubungan kemampuan manajerial aparat pemerintah desa dengan pembangunan desa di Kecamatan X Kabupaten X.

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi masalah pokok penelitian ini adalah "apakah terdapat hubungan antara kemampuan manajerial aparat pemerintahan desa dengan pembangunan desa di Kecamatan X Kabupaten X?". Secara rinci yang menjadi masalah penelitian ini diuraikan dalam poin-poin pertanyaan berikut:
1. Bagaimana kemampuan manajerial aparat pemerintahan desa di Kecamatan X Kabupaten X?
2. Bagaimana tingkat pembangunan desa di Kecamatan X Kabupaten X?
3. Apakah terdapat hubungan kemampuan manajerial aparat pemerintahan desa dengan pembangunan desa di Kecamatan X Kabupaten X?

1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui, menjelaskan dan menganalisis hubungan antara kemampuan manajerial aparat pemerintahan desa dengan pembangunan desa di Kecamatan X Kabupaten X. Secara rinci tujuan penelitian ini dijabarkan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui tingkat kemampuan manajerial aparat pemerintahan desa di Kecamatan X Kabupaten X.
2. Untuk mendeskripsikan tingkat pembangunan desa di Kecamatan X Kabupaten X.
3. Untuk menjelaskan dan menganalisis hubungan kemampuan manajerial aparat pemerintahan desa dengan pembangunan desa di Kecamatan X Kabupaten X.

1.4 Kegunaan Penelitian
1. Secara akademis, hasil penelitian ini berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan, terutama dalam studi pembangunan dan pemerintahan di wilayah pedesaan yang mandiri dan mempertimbangkan kualitas taraf hidup masyarakat.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Daerah Kabupaten X, dalam meningkatkan kinerja aparatur pemerintahan desa melalui kemampuan manajerial dalam menunjang pembangunan desa.
3. Hasil penelitian ini juga berguna bagi para peneliti yang berminat pada kajian sejenis.
Tesis Kinerja Pemerintah Kelurahan Dalam Program Pemberdayaan Kelurahan (Studi Pada Kelurahan X Kecamatan X)

Tesis Kinerja Pemerintah Kelurahan Dalam Program Pemberdayaan Kelurahan (Studi Pada Kelurahan X Kecamatan X)

(Kode STUDPEMBX0020) : Tesis Kinerja Pemerintah Kelurahan Dalam Program Pemberdayaan Kelurahan (Studi Pada Kelurahan X Kecamatan X)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Otonomi Daerah yang sedang berlangsung saat ini merupakan suatu hal yang baru bagi setiap daerah di Indonesia, oleh karena otonomi yang dicanangkan melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut lebih memberikan keleluasaan bagi daerah untuk mengekspresikan dirinya menuju arah berkembang melalui pemberdayaan masyarakat daerah itu sendiri. Hal tersebut tentunya mengembalikan masyarakat daerah kepada penemuan dirinya masing-masing dengan ciri dan kemampuannya masing-masing, setelah terbelenggu dengan penyeragaman yang selama ini terjadi oleh rezim yang ada.
J. Kaloh (2002) menyatakan, pada dasarnya di era otonomi daerah fungsi pemerintahan meliputi tiga hal yaitu pelayan kepada masyarakat (service); membuat pedoman/arah atau ketentuan kepada masyarakat (regulation); dan pemberdayaan (empowering). Selanjutnya Sadu Wasistiono (2000) menyatakan salah satu tugas pokok pemerintah yang terpenting adalah memberikan pelayanan umum kepada masyarakat, oleh karena itu organisasi pemerintah sering pula disebut sebagai “pelayanan masyarakat” (public service).
Otonomi Daerah yang sarat dengan isu strategi berupa kelembagaan, sumber daya manusia berupa aparatur pelaksana, jaringan kerja serta lingkungan kondusif yang terus berubah merupakan sebuah tantangan bagi Kelurahan X untuk menanggapi serta mensiasatinya dengan tanggap dan cepat agar tidak ketinggalan dari kelurahankelurahan lainnya dalam memacu gerak pembangunan.
Dengan demikian diperlukan kinerja yang lebih intensif dan optimal dari bagian organisasi demi optimalisasi bidang tugas yang diembannya. Kinerja suatu organisasi sangat penting, oleh karena dengan adanya kinerja maka tingkat pencapaian hasil akan terlihat sehingga akan dapat diketahui seberapa jauh pula tugas yang telah dipikul melalui tugas dan wewenang yang diberikan dapat dilaksanakan secara nyata dan maksimal.
Kinerja organisasi yang telah dilaksanakan dengan tingkat pencapaian tertentu tersebut seharusnya sesuai dengan misi yang telah ditetapkan sebagai landasan untuk melakukan tugas yang diemban. Dengan demikian kinerja (performance) merupakan tingkat pencapaian hasil atau the degrees of accomplishment (Keban,1995). Sehubungan dengan tuntutan pembangunan di era otonomi, Pemerintah Kota X mengambil kebijakan “Program Pemberdayaan Kelurahan”. Hal ini diperkuat dengan dikeluarkannya Instruksi Walikota X Nomor:141/1417/INST, tentang Tugas dan Tanggung Jawab Camat dalam Membina dan Mengawasi Program Pemberdayaan Kelurahan di Kota X dan Instruksi Walikota X Nomor:141/079/INST, tentang Tugas dan Tanggung Jawab Kepala Kelurahan dalam Pemberdayaan Kelurahan di Kota X.
Kelurahan sebagai organisasi pemerintahan yang paling dekat dan berhubungan langsung dengan masyarakat merupakan ujung tombak keberhasilan pembangunan kota khususnya otonomi daerah, dimana kelurahan akan terlibat langsung dalam perencanaan dan pengendalian pembangunan serta pelayanan. Dikatakan sebagai ujung tombak karena kelurahan berhadapan langsung dengan masyarakat, oleh karena itu kelurahan harus mampu menjadi tempat bagi masyarakat untuk diselesaikan atau meneruskan aspirasi dan keinginan tersebut kepada pihak yang berkompeten untuk ditindak lanjuti. Disamping itu peran kelurahan di atas menjembatani program-program pemerintah untuk disosialisasikan kepada masyarakat sehingga dapat dipahami dan didukung oleh masyarakat.
Dengan begitu luas dan kompleksnya permasalahan yang ada di Kota X, seperti dalam usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ditambah dengan pembangunan yang harus dilakukan Pemerintah Kota X, untuk meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat. Maka baik visi, misi dan fungsi Kota X mengkondisikan perlunya suatu upaya Pemberdayaan Masyarakat, salah satunya adalah “Program Pemberdayaan Kelurahan”.
Dalam pelaksanaan “Program Pemberdayaan Kelurahan” di Kota X, kelurahan sebagai ujung tombak pemerintahan diberikan tugas dan tanggung jawab untuk mensukseskan program ini. Hal tersebut dapat dilihat dengan dikeluarkannya Instruksi Walikota X Nomor: 141/079/INST, tentang tugas dan tanggung jawab kepala kelurahan dalam Program Pemberdayaan Kelurahan di Kota X untuk melakukan kegiatan-kegiatan seperti:
1. Kebersihan
2. Keamanan
3. Ketertiban
4. Pembinaan Masyarakat
5. Pelayanan Masyarakat
Berangkat dari kondisi di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa aparat kelurahan memiliki tanggungjawab yang besar dalam pencapaian hasil maksimal dari program pemberdayaan ini. Dengan perkataan lain, untuk mewujudkan dan mencapai tujuan tersebut diperlukan kemampuan dan kinerja aparat yang maksimal. Kinerja aparat kelurahan menjadi faktor yang sangat penting bagi implementasi pelaksanaan pemberdayaan kelurahan ini. Hal ini sejalan dengan pendapat Orsbone dan Gaebler (1992) yang menyatakan bahwa persoalan utama yang dihadapi oleh pemerintah dewasa ini bukan terletak pada apa yang dikerjakan tetapi terletak pada bagaimana mengerjakan.
Dalam melaksanakan pemberdayaan pihak pemerintah kelurahan harus terlebih dahulu melihat semua faktor kemungkinan yang ada, baik itu kesempatan, peluang maupun tantangan serta hambatan apa yang ada dalam era otonomi ini serta pemberdayaan yang akan dibuat haruslah pula dapat menjawab serta memenuhi kehendak pelanggan yaitu masyarakat di kelurahan yang memerlukan pelayan secara optimal agar tercipta suatu keadaan yang menggambarkan good governance di kelurahan X. Untuk itu diperlukan pula aparat birokrasi pemerintah yang memiliki kemampuan dan responsif yang tinggi serta berdisiplin, komitmen dan bertanggungjawab serta accountability dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya sebagai unsur pelayananan terhadap organisasi publik. Ini sangat penting bagi birokrat dalam pelaksanaan misi tugasnya agar dapat terwujud tujuan ke arah keberhasilan, yaitu berupa pemenuhan kebutuhan dan keinginan masyarakat.
Berdasarkan kondisi di atas maka penulis tertarik melakukan sebuah penelitian dengan judul “Kinerja pemerintah kelurahan dalam program pemberdayaan kelurahan (Studi pada Kelurahan X, Kecamatan X)”.

1.2. Perumusan Masalah
Berangkat dari permasalahan dan identifikasi masalah yang menjadi latar belakang kajian ini, maka untuk menjawab permasalahan penelitian ini diperlukan pertanyaan yang akan berguna bagi arah dan langkah penelitian dalam bentuk pertanyaan. Adapun rumusan masalah yang diajukan adalah: “Bagaimanakah kinerja Pemerintah Kelurahan X dalam Program Pemberdayaan Kelurahan?”

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini secara umum adalah teridentifikasinya pelaksanaan program pemberdayaan kelurahan, dan secara khusus adalah untuk mengetahui: Kinerja Pemerintah Kelurahan dalam Program Pemberdayaan Kelurahan di Kelurahan X.

1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:
a. Secara praktis sebagai masukan bagi Pemerintah dalam upaya peningkatan kinerja pemerintah dalam melaksanakan pelayanan dan pemberdayaan.
b. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan menambah khasanah pengetahuan di bidang pemberdayaan dan menjadi acuan oleh penelitian lain yang berhubungan dengan pemberdayaan dan kinerja pemerintah.
Tesis Pengelolaan Keuangan Daerah Perspektif Permendagri No. 13 Tahun 2006 Pada Pemerintah Kota X

Tesis Pengelolaan Keuangan Daerah Perspektif Permendagri No. 13 Tahun 2006 Pada Pemerintah Kota X

(Kode STUDPEMBX0019) : Tesis Pengelolaan Keuangan Daerah Perspektif Permendagri No. 13 Tahun 2006 Pada Pemerintah Kota X

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Kebijakan-kebijakan pemerintah pusat terutama kebijakan dalam keuangan negara haruslah melibatkan pemerintah daerah. Sebab, kinerja dan pengelolaan keuangan daerah saat ini menduduki posisi penting dalam strategi pemberdayaan pemerintah daerah terlebih lagi dalam mewujudkan pelaksanaan otonomi daerah dan mewujudkan desentralisasi yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Tuntutan terhadap pengelolaan keuangan rakyat (publik money) secara baik merupakan issue utama yang harus dilakukan pemerintah daerah dalam mewujudkan tujuan pemerintahan yang bersih (clean goverment), dimana pengelolaan keuangan daerah yang baik adalah kemampuan mengontrol kebijakan keuangan daerah secara ekonomis, efisien, transparan dan akuntabel.
Dalam pengelolaan keuangan daerah telah diatur dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 sebagai pengganti Kepmen No. 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Regulasi aturan-aturan tersebut dirasakan sangat menyulitkan dalam hal pelaksanaannya karena di samping butuh waktu untuk mempelajari sekaligus memahami, kendala berikutnya adalah adanya aturan-aturan pelaksanaan yang belum dikeluarkan, baik itu turunan dari undang-undang maupun peraturan-peraturan pemerintah itu sendiri sampai sekarang belum diwujudkan, tapi pemerintah tentunya tidak boleh hanya menunggu dengan tidak melaksanakan aturan yang ada. Kalau hal ini dilakukan sudah pasti apabila ada pemeriksaaan, maka akan menjadi temuan tentunya. Perubahan-perubahan aturan yang demikian cepat akan banyak menimbulkan masalah-masalah dalam hal pengelolaan keuangan daerah terutama pada pertanggungjawaban akhir kegiatan.
Akhirnya yang sangat merasakan dampaknya adalah masyarakat di daerah pada khususnya dan rakyat Indonesia pada umumnya, akibat dari banyaknya peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh regulator tapi kemudian diperbaharui, dicabut, diganti kembali sehingga tidak ada kepastian hukum. Hal ini juga mengakibatkan resiko bisnis di Indonesia dan khususnya di daerah-daerah, menimbulkan banyak problem, salah satunya adalah problem institusi-institusi kunci lemah dalam memberikan kepastian hukum.
Perubahan-perubahan pada aturan pelaksanaan inilah yang sangat merepotkan pada tatanan implementasi di Pemerintah Kota X karena perubahan-perubahan aturan tersebut. Namun, upaya untuk itu Pemerintah Kota X melakukan pelatihan-pelatihan dan menghadirkan para ahli keuangan untuk mengatasi ketidak pahaman aparatur pemerintah di masing-masing unit kerja yang ada.
Regulasi yang baik adalah penting, sebab diharapkan dapat menciptakan pelaksanaan pemerintahan yang baik (good governance), sehingga dalam pembuatan aturan-aturan pelaksanaan harus juga professional dan bertanggung jawab, jadi tidak hanya pihak-pihak yang akan melaksanakan saja yang harus mematuhi atau mengikuti aturan-aturan tapi pihak regulator atau pembuat aturan tidak mau mendengar, melihat dan memperhatikan best practice sekaligus diadakan uji publik dahulu, setelah itu baru diimplementasikan. Sehingga tidak membuat aparatur di daerah menjadi bingung. Hal ini dapat dimaklumi karena aparatur pemerintah daerah baru memahami dan melaksanakan aturan yang diberlakukan tahun anggaran 2003 (Kepmendagri No. 29 Tahun 2002) kemudian pada tahun anggaran 2004 harus berubah total mengikuti aturan Permendagri No. 13 tahun 2006.
Masih banyaknya daerah, termasuk aparatur Pemerintahan Kota X, yang belum memahami Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permedagri) No. 13 Tahun 2006 yang menjadi salah satu kendala implementasi penyusunan anggaran tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Tetapi masalah ini tidak akan berlangsung lama, asalkan setiap daerah memiliki komitmen untuk segera mengimplementasikannya.
Berbicara mengenai kebijakan pengelolaan keuangan daerah tidak terlepas dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang dilakukan dengan menekankan pada konsekuensi hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Terbitnya Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagai pengganti Undang-undang No. 22 tahun 1999 memberikan warna baru landasan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pengelolaan keuangan daerah berdasarkan pada Undang-undang No. 32 tahun 2004 tersebut bertumpu pada upaya peningkatan efisiensi, efektifitas, akuntabilitas, dan transparansi pengelolaan keuangan publik baik dari sisi pendapatan maupun belanja. Inti perubahan yang akan dilakukan antara lain mempertajam esensi pengelolaan keuangan daerah dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menyangkut penjabaran terhadap hak dan kewajiban daerah dalam mengelola keuangan publik, meliputi mekanisme penyusunan, pelaksanaan dan penatausahaan, pengendalian dan pengawasan, serta pertanggungjawaban keuangan daerah.
Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance, pengelolaan keuangan daerah Pemerintah Kota X dilakukan secara profesional, terbuka, dan bertanggungjawab sesuai dengan perudang-undangan yang berlaku. Pengelolaan keuangan daerah meliputi seluruh kegiatan perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan dan pertanggung jawaban. Keuangan daerah harus dikelola secara tertib, taat perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Dengan memperhatikan Undang-undang No. 17 Tahun 2003 dan Permendagri No. 13 Tahun 2006 pengelolaan keuangan daerah dapat dibagi menjadi:
1. Penyusunan dan Penetapan APBD
Anggaran sebagai perencanaan dan perwujudan pengelolaan keuangan daerah merupakan alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Penyusunan dan penetapan APBD dimaksudkan sebagai pedoman tercapainya tujuan penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai instrumen kebijakan ekonomi, anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka pencapaian tujuan.
2. Pelaksanaan APBD
Pelaksanaan APBD merupakan tindak lanjut dari perencanaan APBD yang ditetapkan dengan keputusan kepala daerah. Realisasi pelaksanaan APBD selama semester pertama harus dilaporkan dan dibuat kembali untuk pelaksanaan semester selanjutnya. Perubahan dan penyesuaian dalam pelaksanaan APBD dapat dilakukan apabila terjadi hal-hal berikut : perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan umum daerah, keadaan yang mengharuskan terjadinya pergeseran anggaran, serta keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran berjalan.
3. Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD
Pertanggungjawaban pelaksanaan APBD disampaikan dalam bentuk Laporan Keuangan yang sekurang-kurangnya meliputi Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan. Laporan keuangan tersebut Rencana Pembangunan Jangka Menengah Pemerintah Kota X merupakan salah satu upaya konkrit pemerintah daerah dalam mewujudkan asas transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah. Laporan keuangan disusun dan disajikan tepat waktu dengan bentuk dan isi yang sesuai standar akuntansi pemerintahan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005.
Sebagai perwujudan akuntabilitas laporan maka Laporan Keuangan diaudit oleh lembaga independen (dalam hal ini adalah BPK) sebelum disampaikan kepada DPRD dan pihak yang memerlukan.
Dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah Pemerintah Kota X nyatanya masih dijumpai kendala-kendala sebagai berikut :
1. Peraturan pemerintah sebagai tindak lanjut pelaksanaan undang-undang belum seluruhnya diterbitkan.
2. Masih belum tersedianya sumber daya manusia yang memadai.
3. Belum optimalnya sinkronisasi jadwal penyusunan antara APBN, APBD Propinsi, dan APBD Kabupaten/Kota.
4. Transparansi penetapan formula pengalokasian dana-dana di luar DAU belum nyata (daerah kesulitan menentukan asumsi penerimaan untuk tahun yang akan datang).
5. Banyaknya dana dari pusat yang langsung diberikan kepada berbagai instansi sementara pemerintah Kabupaten/Kota tidak diberitahu berapa alokasi dana yang diberikan maupun peruntukannya.
Dengan melihat kendala di atas Pemerintah Kota X melakukan upayaupaya sebagai berikut :
1. Membentuk kerjasama dengan instansi terkait untuk mengadakan pelatihan pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah.
2. Mengikuti pelatihan dan workshop mengenai perkembangan peraturan pengelolaan keuangan yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat maupun lembaga keuangan lainnya.
3. Mengupayakan adanya informasi sedini mungkin dari Pemerintah Pusat agar prediksi penerimaan daerah yang masuk ke dalam APBD makin realistis.
4. Meningkatkan koordinasi antar instansi untuk memonitor dan melaporkan pengelolaan keuangan yang menjadi tanggungjawabnya.
Melihat pentingnya pengelolaan keuangan daerah dalam penyelenggaraan pembangunan daerah, serta untuk mengetahui lebih lanjut mengenai pengelolaan keuangan yang dilakukan pada Pemerintah Kota X tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan suatu penelitian yang berjudul : Pengelolaan Keuangan Daerah Perspektif Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permedagri) No. 13 Tahun 2006 pada Pemerintah Kota X.”

1.2 Perumusan Masalah
Dari uraian di atas, sehubungan terjadinya permasalaha-permasalahan dalam mengimplementasikan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permedagri) No. 13 Tahun 2006, maka permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah:”Bagaimana Pengelolaan Keuangan Daerah Perspektif Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permedagri) No. 13 Tahun 2006 pada Pemerintah Kota X.”

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian adalah :
a. Untuk mengetahui bagaimana Pengelolaan Keuangan Daerah Menurut Perspektif Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permedagri) No. 13 Tahun 2006 pada Pemerintah Kota X.
b. Untuk melihat apa saja yang terjadi sehubungan dengan Pengelolaan Keuangan Daerah Menurut Perspektif Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permedagri) No. 13 Tahun 2006 pada Pemerintah Kota X.
Adapun manfaat penelitian adalah :
a. Sebagai wahana untuk menambah dan pengembangan pegetahuan dalam membuat suatu karya tulis ilmiah.
b. Sebagai bahan informasi dan masukan bagi Pemerintahn Kota X dalam mengimplementasikan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permedagri) No. 13 Tahun 2006.
c. Sebagai bahan informasi bagi peneliti selanjutnya dalam meneliti permasalahan yang sama dimasa yang akan datang.
Tesis Hubungan Antara Pendidikan, Motivasi Dan Budaya Kerja Dengan Kinerja Pegawai Badan Pengawasan Kota X

Tesis Hubungan Antara Pendidikan, Motivasi Dan Budaya Kerja Dengan Kinerja Pegawai Badan Pengawasan Kota X

(Kode STUDPEMBX0018) : Tesis Hubungan Antara Pendidikan, Motivasi Dan Budaya Kerja Dengan Kinerja Pegawai Badan Pengawasan Kota X

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah telah memberikan arah perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Setiap daerah diberi kewenangan dan dituntut untuk meningkatkan kemandirian daerah baik dalam hal keuangan maupun kualitas sumber daya manusianya. Kewenangan ini juga diberikan pada Daerah X yang mempunyai Undang-Undang No. 11 Tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah, yang mempunyai konsekwensi kemandirian dalam pengaturan sumber-sumber daya daerah untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat madani yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Pemerintah daerah berupaya untuk lebih meningkatkan kualitas sumber daya aparatur disegala bidang karena peran sumber daya manusia pada masa kini akan menjadi penentu bagi keberhasilan pembangunan. Peningkatan sumber daya manusia diharapkan dapat meningkatkan kinerja organisasi dalam memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Lembaga Administrasi Negara (2000:3) mendifinisikan kinerja sebagai gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, visi organisasi.
Kinerja merupakan kondisi yang harus diketahui dan diinformasikan kepada pihak-pihak tertentu sehingga dapat diperoleh informasi tentang tingkat pencapaian hasil suatu instansi dihubungkan dengan visi yang diemban suatu organisasi serta mengetahui dampak positif dan negatif dari suatu kebijakan operasional yang diambil. Dengan adanya informasi mengenai kinerja suatu instansi pemerintah, akan dapat diambil tindakan yang diperlukan seperti koreksi atas kebijakan, meluruskan kegiatan-kegiatan utama dan tugas pokok instansi sebagai bahan untuk perencanaan serta untuk menentukan tingkat keberhasilan (persentasi pencapaian misi) instansi.
Berdasarkan konsep perubahan, suatu organisasi yang mengadakan perubahan akan membawa organisasi pada situasi yang lain dari sebelumnya. Perubahan yang terjadi dapat memperkuat atau memperlemah kehidupan organisasi, perubahan dalam organisasi ini melibatkan sumber daya manusia yang berperan dalam peningkatan kinerja organisasi (Alford, 1998). Kinerja dipergunakan manajemen untuk melakukan penilaian secara periodik mengenai efektifitas operasional suatu organisasi berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Peningkatan kinerja dalam suatu organisasi juga sangat dipengaruhi oleh motivasi kerja. Menurut Siagian (1997:7) motivasi adalah keseluruhan proses pemberian motif bekerja kepada bawahan sedemikian rupa sehingga mereka mau bekerja dengan iklas untuk mencapai tujuan. Timbulnya motivasi pada diri seseorang ditentukan oleh adanya kebutuhan hidup baik kebutuhan primer maupun kehidupan sekundernya. Jika kebutuhan tersebut dapat terpenuhi, maka seseorang akan giat bekerja dan dapat meningkatkan kinerjanya.
Kinerja juga sangat dipengaruhi oleh pendidikan yang dimiliki oleh pegawai/karyawan. Pengertian pendidikan menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya yang akan datang. Tingkat pendidikan yang tinggi menunjang dalam pencapaian kinerja pegawai karena pendidikan yang rendah menyebabkan pegawai sulit menyerap berbagai informasi yang berhubungan dengan kegiatannya, semakin tinggi pendidikan maka semakin efisien ia dalam bekerja (Sedarmayanti 2003:33).
Selain motivasi dan pendidikan, kinerja pegawai atau karyawan juga sangat dipengaruhi budaya kerja. Budaya kerja adalah cara kerja sehari-hari yang bermutu dan selalu mendasari nilai-nilai yang penuh makna, sehingga menjadi motivasi, memberi inspirasi, untuk senantiasa bekerja lebih baik dan memuaskan bagi masyarakat yang dilayani (Kepmenpan Nomor : 25/KEP/M.PAN/04/2002). Kuatnya budaya kerja akan terlihat dari bagaimana pegawai memandang budaya kerja sehingga berpengaruh terhadap perilaku yang digambarkan antara lain memiliki motivasi, dedikasi, kreatifitas, kemampuan dan komitmen yang tinggi. Semakin kuat budaya kerja, semakin tinggi komitmen dan kemampuan yang dirasakan pegawai. Makin banyak pegawai yang menerima nilai-nilai makin tinggi kemampuan dan komitmen mereka pada nilai-nilai itu dan semakin kuat budaya tersebut (Robbins, 1996 : 292).
Tantangan yang cukup komplek adalah bagaimana mengubah budaya kerja lama yang sudah tidak sesuai lagi dengan nilai-nilai budaya kerja baru pada seluruh pegawai atas dasar keinginannya secara sukarela. Orang tidak akan berubah dengan sendirinya kalau tidak secara sukarela karena selama ini banyak para pemimpin dan aparatur negara bukan hanya sulit berubah tapi juga sering mengabaikan nilai-nilai moral dan budaya kerjanya. Menurut pakar ekonomi dari Unsyiah X, Dr. Islahuddin dan Dr. Nazamuddin bahwa Budaya kerja yang ditampilkan dinas dan badan ditingkat Provinsi X dalam beberapa tahun ini belum baik. Perubahan fundamental disegala sektor yang menjadi visi dan misi Gubernur hanya bisa tercapai apabila dinas dan badan mengubah budaya kerja yang lama menjadi budaya yang berdisiplin tinggi, cepat tanggap dalam bertindak, serta tidak KKN.
Kota X merupakan daerah yang sedang tumbuh dan berkembang di Provinsi X yang terbentuk dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2001 pada tanggal 01 Juni 2001. Badan pengawasan merupakan salah satu instansi yang berada di bawah Pemerintahan Daerah Kota X. Pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen yang dapat diartikan sebagai kegiatan untuk meyakinkan dan menjamin bahwa pekerjaan dilakukan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.
Pegawai Badan Pengawasan Kota X sebagai aparat pengawas internal pemerintah mempunyai tugas pokok melakukan pengawasan dan pembinaan diseluruh instansi dilingkungan pemerintah Kota X. Institusi pengawasan diharapkan dapat menjadi detektor dini untuk mengetahui terjadinya penyimpangan dilingkungan pemerintah Kota X.
Walaupun Badan Pengawasan tidak secara langsung melayani masyarakat namun peran Bawasda sangat diharapkan didalam melakukan pembinaan dan usaha mengurangi praktek-praktek KKN dilingkungan pemerintah Kota X.
Dalam melaksanakan fungsinya Badan Pengawasan Kota X melakukan pemeriksaan yang terdiri dari beberapa jenis antara lain:
1. Pemeriksaan Reguler
Pemeriksaan yang dilaksanakan secara berkala sesuai dengan program kerja pemeriksaan tahunan (PKPT) yang telah disahkan oleh Walikota.
2. Pemeriksaan Khusus.
Pemeriksaan yang dilakukan atas dasar perintah Kepala Daerah terhadap unit kerja yang dianggap perlu dilakukan pemeriksaan karena diduga ada penyimpangan.
3. Pemeriksaan Kasus
Pemeriksaan yang dilakukan atas dasar laporan dan pengaduan masyarakat terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh aparatur atau pemerintah. Visi Badan Pengawasan Kota X adalah menjadi Badan Pengawasan dengan aparatur yang profesional dalam melaksanakan tugas. Sedangkan misi Bawasko X dalam DASK Bawasda Kota X tahun XXXX adalah :
1. Meningkatkan kinerja dan kualitas serta sumber daya aparatur di bidang pengawasan.
2. Menyusun dan melaksanakan program kerja pemeriksaan reguler, pemeriksaan khusus dan kasus.
3. Meningkatkan prasarana dan sarana untuk mendukung pelaksanaan pengawasan dalam rangka pelayanan prima.
4. Meningkatkan koordinasi pelayanan dengan instansi terkait.
Dari visi dan misi Badan Pengawasan Kota X terlihat harapan Bawasda untuk meningkatkan kinerja dan kualitas sumber daya aparaturnya di bidang pengawasan. Permasalahan yang terjadi pada Badan Pengawasan Kota X adalah sebagai berikut :
1. Program Kerja Pemeriksaan Tahunan (PKPT) tidak tercapai sejak tahun XXXX sampai dengan tahun XXXX. PKPT merupakan pemeriksaan reguler/tugas pokok Bawasda Kota X yang telah disahkan Walikota setiap tahunnya. Pencapaian PKPT dalam empat tahun terakhir dapat dilihat pada tabel berikut :

** BAGIAN INI SENGAJA TIDAK DITAMPILKAN **

PKPT yang tidak tercapai mengakibatkan program pengawasan pada instansi yang telah ditargetkan tidak terlaksana dan memungkinkan adanya instansi yang luput dari pemeriksaan.
2. Pembuatan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) tidak tepat waktu. Waktu yang ditargetkan untuk menyelesaikan LHP adalah 15 hari setelah melakukan pemeriksaan namun kenyataannya penyelesaian LHP membutuhkan waktu 6 sampai dengan 7 minggu setelah pemeriksaan.

Keterlambatan penyelesaian laporan akan mengurangi nilai atau mamfaat dari laporan, seperti yang tercantum dalam Norma Pemeriksaan Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah No. SE-117/K/1985 bagian kedua yang menyatakan “Laporan pemeriksaan harus dibuat segera setelah pekerjaan pemeriksaan dan disampaikan kepada yang berkepentingan tepat pada waktunya”. Laporan pemeriksaan harus diselesaikan dan disampaikan tepat waktu agar informasi yang terkandung didalamnya dapat bermamfaat sepenuhnya dan dapat menghindari dari kejadian yang merugikan seperti tidak hemat, tidak taat dan sebagainya.
3. Pelaksanaan monitoring hasil pemeriksaan tidak tepat waktu Rendahnya kinerja pegawai Bawasda berdampak pada tidak tercapainya tujuan organisasi. Kondisi tersebut mendorong peneliti untuk mengadakan penelitian tentang apa yang menyebabkan pencapaian kinerja pegawai Bawasda rendah dengan mengangkat judul “Hubungan antara pendidikan, motivasi dan budaya kerja dengan Kinerja Pegawai Badan Pengawasan Kota X”. Dalam penelitian ini menjelaskan apakah terdapat hubungan antara pendidikan, motivasi dan budaya kerja terhadap rendahnya kinerja pegawai Bawasda Kota X, sehingga diharapkan dapat dilakukan perubahan untuk meningkatkan produktifitas kerja pegawai dan tercapainya visi Bawasda.

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka rumusan penelitian ini adalah :
1. Apakah ada hubungan yang positif dan signifikan antara pendidikan dengan kinerja pegawai Badan Pengawasan Kota X.
2. Apakah ada hubungan yang positif dan signifikan antara motivasi dengan kinerja pegawai Badan Pengawasan Kota X.
3. Apakah ada hubungan yang positif dan signifikan antara budaya kerja dengan kinerja pegawai Badan Pengawasan Kota X
4. Apakah ada hubungan positif dan signifikan antara pendidikan, motivasi dan budaya kerja secara bersama-sama terhadap kinerja pegawai Badan Pengawasan Kota X.

1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada perumusan masalah tersebut di atas, maka penelitian ini mempunyai tujuan :
1. Untuk mengetahui hubungan yang positif dan signifikan antara pendidikan dengan kinerja pegawai Badan Pengawasan Kota X.
2. Untuk mengetahui hubungan yang positif dan signifikan antara motivasi dengan kinerja pegawai Badan Pengawasan Kota X.
3. Untuk mengetahui hubungan yang positif dan signifikan antara budaya kerja dengan kinerja pegawai Badan Pengawasan Kota X
4. Untuk mengetahui hubungan positif dan signifikan antara pendidikan, motivasi dan budaya kerja secara bersama-sama terhadap kinerja pegawai Badan Pengawasan Kota X.

1.4. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran khususnya yang berkaitan dengan peningkatan kinerja pegawai Badan Pengawasan Kota X pada Program Studi Pembangunan Universitas Sumatera Utara.
2. Manfaat Praktis.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi Pemerintah Kota X dalam meningkatkan kinerja pegawai Badan Pengawasan Kota X dalam melaksanakan tugas pengawasan.
Tesis Perencanaan Pembangunan Partisipatif (Studi Tentang Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota X)

Tesis Perencanaan Pembangunan Partisipatif (Studi Tentang Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota X)

(Kode STUDPEMBX0017) : Tesis Perencanaan Pembangunan Partisipatif (Studi Tentang Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota X)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Pembangunan adalah sebagai sebuah proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping, tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan (Todaro, 2000 : 20). Pembangunan juga diartikan sebagai suatu proses kperubahan sosial dengan partisipatori yang luas dalam suatu masyarakat yang dimaksudkan untuk mencapai kemajuan sosial dan material (termasuk bertambah besarnya keadilan, kebebasan dan kualitas lainnya yang dihargai) untuk mayoritas rakyat melalui kontrol yang lebih besar yang mereka peroleh terhadap lingkungan mereka. (Rogers,1983 : 25). Pada hakekatnya pembangunan harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan, tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya, untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang lebih serba baik, secara material maupun spritual (Todaro, 2000 : 20).
Untuk mencapai keberhasilan pembangunan tersebut maka banyak aspek atau hal-hal yang harus diperhatikan, yang diantaranya adalah keterlibatan masyarakat di dalam pembangunan. Asumsi para pakar yang berpendapat bahwa semakin tinggi kepedulian atau partisipasi masyarakat pada proses-proses perencanaan akan memberikan output yang lebih optimal. Semangkin tinggi tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan, maka semakin tinggi pula tingkat keberhasilan yang akan dicapai. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat merupakan indikator utama dan menentukan keberhasilan pembangunan. Hal ini menunjukkan partisipasi masyarakat dan pembangunan berencana merupakan dua terminologi yang tidak dapat dipisahkan. Pendapat atau teori tersebut secara rasional dapat diterima, karena secara ideal tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, oleh karena itu sangatlah pantas masyarakat terlibat di dalamnya.
Korten dalam Supriatna (2000 : 65) mengatakan bahwa pembangunan yang berorientasi pada pembangunan manusia, dalam pelaksanaannya sangat mensyaratkan keterlibatan langsung pada masyarakat penerima program pembangunan (partisipasi pembangunan). Karena hanya dengan partisipasi masyarakat penerima program, maka hasil pembangunan ini akan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Dengan adanya kesesuaian ini maka hasil pembangunan akan memberikan manfaat yang optimal bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat. Oleh karenanya salah satu indikator keberhasilan pembangunan adalah adanya partisipasi masyarakat penerima program. Begitu juga Menurut Conyers (1991 : 154), yang mengatakan terdapat tiga alasan utama mengapa partisipasi masyarakat menjadi sangat penting dalam pembangunan, yaitu: Pertama, partisipasi merupakan suatu alat guna memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal.
Alasan kedua, yaitu bahwa masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, karena mereka akan lebih mengetahui seluk beluk proyek tersebut. Ketiga, adanya anggapan bahwa merupakan suatu hak demokrasi bila masyarakat dilibatkan dalam pembangunan masyarakat sendiri.
Gagasan tentang pelibatan peran warga dalam kajian masalah pembangunan, terutama melalui model pemberdayaan masyarakat guna peningkatan partisipasi sesungguhnya bukanlah topik yang baru. Semenjak timbulnya kesadaran bahwa perspektif pertumbuhan ekonomi (Economic Growth) meninggalkan permasalahan kesenjangan ketidakadilan dan ketidakmerataan dalam pembagian manfaat pembangunan, maka berkembanglah berbagai pandangan yang ingin memberikan alternatif kepada pandangan yang hanya mengandalkan pertumbuhan, diantaranya teori-teori Redistribution With Growth yang dikembangkan oleh Chenery (1974), Human Development oleh Justin Pikunas (1976), dan People centre Development oleh David C. Korten (1986).
Perbedaan pandangan tentang pendekatan pembangunan tersebut berlangsung cukup lama, yang mana tujuannya adalah mengakhiri era Delivered Development dimana pembangunan direncanakan sepenuhnya dari atas dan menempatkan warga sebagai obyek pembangunan dan kemudian ingin diganti denga era Partisipatory Development dimana pembangunan direncanakan dari bawah dengan melibatkan warga, dan menempatkan mereka sebagai subyek dalam proses pembangunan.(Ponna Wignaraja dalam David C Korten, 1986 : 60).
Namun tidak dapat juga di sangkal bahwa perencanaan dengan melibatkan masyarakat diangap tidak efektif dan cenderung menghambat pencapaian tujuan pembangunan. Ada beberapa pertimbangan untuk kemudian tidak melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan yaitu waktu yang lebih lama, serta kemungkinan besar akan banyak sekali pihak-pihak yang menentang pembangunan itu. Menurut Soetrisno (1995 : 48) hambatan-hambatan yang dihadapi dalam melaksanakan proses pembangunan yang partisipatif adalah belum dipahaminya makna sebenarnya dari konsep partisipasi oleh pihak perencana dan pelaksanaan pembangunan. Defenisi partisipasi yang berlaku di kalangan lingkungan aparat perencanaan dan pelaksanaan pembangunan adalah kemauan rakyat untuk mendukung secara mutlak program-program pemerintah yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh pemerintah.
Para perencana dan pelaksana menggunakan suatu konsep hirarkis dalam menyeleksi pembangunan pedesaan pada prakteknya. Di dalam proses pembangunan itu terlihat ada satu hal yang terjadi dalam interaksi antara para pelaksana pembangunan dan rakyat, yaitu tentang bagaimana para aparat pembangunan melihat usulan-usulan pembangunan. Dalam pikiran para aparat pelaksana terdapat “hierarki proyek pembangunan” tersebut, dimana proyek yang datang dari pemerintahan dan proyek yang direncakanan pemerintahan adalah benar-benar proyek yang mencerminkan “kebutuhan rakyat”, dan karena merupakan kebutuhan maka proyek pemerintah itu harus dilaksanakan. Sedangkan apa yang diusulkan oleh rakyat hanya merupakan “keinginan”, bukan mencerminkan hal yang benar-benar harus ada. Karena merupakan keinginan, maka pada umumnya proyek-proyek yang diusulkan oleh rakyat selalu akan diganti dengan usulan-usulan proyek yang digolongkan sebagai proyek “kebutuhan” dan memperoleh prioritas rendah. Kemudian menurut Soetrisno (1995: 55) yang menjadi permasalahan dari segi sosial politik dalam pelaksanaan pembangunannya pada negara sedang berkembang termasuk Indonesia, adalah munculnya suatu gejala dimana pemerintah menempatkan pembangunan bukan lagi sebagai pekerjaan rutin suatu pemerintah, melainkan telah diangkat kedudukannya sebagai suatu ideologi baru dalam negara. Perubahan ini mempunyai segi positif dan negatif. Aspek positifnya adalah dengan dijadikannya pembangunan sebagai suatu ideologi dalam suatu negara, maka pembangunan akan menjadi sesuatu yang harus dilakukan oleh pemerintahan dan pelestariannya harus dijaga oleh semua warga negara. Dengan kata lain, pembangunan harus dihayati oleh semua warga negara, seperti kita menghayati ideologi negara. Akan tetapi karena pembangunan telah menjadi sebuah ideologi, maka pembangunan itu telah menjadi sesuatu yang suci sehingga tidak bebas untuk dikritik, lebih-lebih untuk dikaji ulang guna mencari alternatifnya.
Di Indonesia pendekatan pembangunan dengan mengikutsertakan warga mulai tumbuh pada awal pelita VI yang ditandai dengan munculnya program-program penanggulangan kemiskinan yang menggunakan pola atau skema tindakan serangan langsung yang lebih subtansial terhadap permasalahan. (Vidhyandika Moeljarto, 1994 : 8). Contoh skema tindakan yang dimaksud antara lain kegiatan–kegiatan seperti pemetaan kantong kemiskinan dan penerapan Inpres Desa Tertinggal. Ada beberapa tujuan dari keikutsertaan warga secara langsung dalam tindakan program yaitu, Pertama, agar bantuan efektif karena sungguh-sungguh sesuai dengan kehendak, kemampuan dan kebutuhan sendiri. Kedua, meningkatkan keberdayaan mereka dengan pengalaman dalam melakukan perencanaan, melaksanakan, dan mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan ekonominya. (Kartasasmita, 1996 : 54).
Begitu juga setelah desentralisasi menjadi sebuah keputusan pemerintah, yang artinya peluang potensi daerah membuat semakin besarnya kesempatan masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan. Otonomi daerah harus dipandang sebagai peluang untuk keberdayaan masyarakat. Pemerintah daerah sebaiknya menjadikan momentum ini sebagai peluang untuk dapat memperkuat jaringan dan dapat mengintegrasikan seluruh jaringan dan kelompok sosial yang ada dalam masyarakat ke dalam sebuah wujud kerjasama yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme).
Sesuai dengan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, daerah mempunyai wewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana menurut pasal 14 UU No. 32 Tahun 2004 Kabupaten/Kota pada disebutkan bahwa lingkup kewenangan Pemerintah Daeraeh terdiri atas:
a. Perencanaan dan Pengendalian Pemerintahan dan Pembangunan
b. Penyelenggaraan Ketertiban Umum
c. Penanggulangan Masalah Sosial
d. Pelayanan Bidang Ketenagakerjaan
e. Pengembangan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah
f. Pengendalian Lingkungan Hidup
g. Pelayanan Lingkungan dan Tata Ruang
h. Pelayanan Pertahanan dan Catatan Sipil
i. Pelayanan Dalam Penanaman Modal
j. Penyelenggaraan Pelayanan Dasar Lainnya
k. Pengembangan dan Pelestarian Budaya
l. Hubungan Harmonis Antara Pemerintah : Induk, Tetangga, Propinsi dan Pusat
Kecenderungan untuk menerapkan prinsip desentralisasi membuat daerah-daerah lebih memperhatikan aspirasi masyarakat lokal dalam pembangunan daerah. Fokus perhatian pemerintah (eksekutif) pun mulai memberikan peluang yang sangat besar untuk munculnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Secara eksplisit ditegaskan bahwa penerapan otonomi daerah secara mendasar adalah mendorong pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas serta meningkatkan peran masyarakat. Dalam kajian mengenai partisipasi masyarakat dalam otonomi daerah mengungkapkan bahwa partisipasi masyarakat merupakan hal yang krusial dan penting dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Sejalan dengan hal tersebut, dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Bab II pasal 2 ayat 4 disebutkan bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bertujuan untuk :
1. Mendukung koordinasi antar pelaku pembangunan.
2. Menjamin tercipatanya integrasi, sinkroniasasi, dan sinergi baik antar daerah, antar ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah maupun antar pusat dan daerah.
3. Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan
4. Mengoptimalkan partisipasi masyarakat
5. Menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan.
Undang-undang tersebut secara jelas menyatakan bahwa salah satu tujuan dari sistem perencanaan pembangunan nasional adalah dapat mengoptimalkan partisipasi masyarakat dan menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan. Artinya adalah bahwa sistem perencanaan pembangunan menekankan pendekatan partisipatif masyarakat atau yang biasa disebut perencanaan partisipatif.
Dalam UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, bagi daerah terdapat 5 ruang lingkup perencanaan daerah, yaitu : Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah, Rencana Kerja Pemerintah Daerah dan Rencana Kerja Satuan Perangkat Daerah, yang mana dari masing-masing rencana mensinergikan proses top down-bottom up guna terjadinya sinkronisasi antara masing-masing proses perencanaan.
Sesuai dengan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, bahwa pemerintah daerah yang sudah menyelenggarakan pemilihan kepala daerah secara langsung harus memiliki dokumen rencana pembangunan mulai dari pembangunan jangka panjang hingga rencana pembangunan tahunan. Namun prioritas utama adalah menyiapkan dokumen pembangunan jangka menengah yang mengadopsi visi, misi kepala daerah terpilih melalui serangkaian proses, sebagai panduan dalam menyelenggarkan pembangunan selama 5 tahun masa periode kepala daerah terpilih.
Pemerintah Kota X, telah membuat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah. Adapun mekanisme pembuatan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah ini diatur melalui SE Mendagri 050/2020/Sj tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan RPJP daerah dan RPJM daerah. Dalam peraturan tersebut, sebagaimana juga yang diatur oleh UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, bahwa dalam penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah tersebut haruslah melibatkan partisipasi masyarakat. Mengacu pada masalah tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian secara mendalam dengan mengajukan judul tesis sebagai berikut: “PERENCANAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF” (Studi Tentang Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota X)”

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan pada latar belakang diatas, maka perlu kiranya untuk mencari tahu bagaimana partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan di Kota X, khususnya partisipasi masyarakat dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kota X.
Sehingga yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana partisipasi masyarakat dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota X ”.

1.3. Tujuan Penelitian
1. Untuk mendeskripsikan bagaimana mekanisme penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota X .
2. Untuk mengetahui bagaimana partisipasi masyarakat dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota X .

1.4. Manfaat Penelitian
1. Bagi penulis, penelitian ini merupakan usaha untuk meningkatkan kemampuan berfikir melalui penulisan karya ilmiah dan untuk menerapkan teori-teori yang penulis peroleh selama perkuliahan di Magister Studi Pembangunan Sekolah Pasca Sarjana Universitas X.
2. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumbangan pemikiran kepada Pemerintah Kota X, sebagai masukan dalam penyusunan perencanaan pembangunan di daerah demi meningkatkan peran serta masyarakat sebagi objek dan subjek pembangunan guna peningkatan kesejahteraan rakyat.
3. Bagi Program Studi Magister Studi Pembangunan Sekolah Pasca Sarjana Universitas X, akan melengkapi ragam penelitian yang telah dibuat oleh para mahasiswa dan dapat menambah bahan bacaan dan referensi bahan bacaan dan referensi dari satu karya ilmiah.
Tesis Respons Kultural Dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan Di Kota X

Tesis Respons Kultural Dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan Di Kota X

(Kode STUDPEMBX0016) : Tesis Respons Kultural Dan Struktural Masyarakat Tionghoa Terhadap Pembangunan Di Kota X

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Sejak pemerintah kolonial Belanda berupaya membuka areal perkebunan di tanah Deli dan sekitarnya, yang dipelopori oleh Jacob Nienhuys pada tahun 1863 dengan menyewa tanah seluas 4.000 bau dari Sultan Mahmud untuk jangka waktu selama 20 tahun (O’Malley, 1983:30-49). Kemudian areal ditambah lagi seluas 26.000 bau, pada tahun 1869 dengan tenaga kerja sebanyak 1.525 orang, yang kebanyakan didatangkan dari Cina. Sehingga daerah ini menjadi ramai dan terkenal (Said, 1990). Dikalangan para investor lain pun banyak yang tertarik perhatiannya untuk datang ke tanah Deli. Tanaman kebun yang terpenting dan sangat dikenal pada waktu itu adalah tembakau. Daun tembakau yang dihasilkan dari daerah ini merupakan daun tembakau yang mutunya dianggap terbaik. Sebab, daun tembakau dari tanah Deli ini dapat dijadikan sebagai bahan baku pembalut cerutu dan dikenal sebagai “tembakau Deli” (Sinar, 1994: 25). “Tembakau Deli pada akhir abad ke-19 dan ketiga dasawarsa pertama dari abad ke20 menjadi suatu komoditi ekspor yang amat penting dan yang menjadi sangat terkenal di pasaran dunia” (Koentjaraningrat, 1982: 246).
Untuk pusat kegiatan administrasi perkatoran perkebunan, pada mulanya Jacob Nienhuys memusatkannya di kampung Labuhan, pusat perkantoran itu dinamakan Deli Maatschappij (Deli Mij). Karena kampung Labuhan mudah dilanda banjir bila dimusim penghujan, maka pusat perkantoran perkebunan dipindahkan di kampung X pada tahun 1869. Lambat-laun kampung X akhirannya lebih dikenal dengan sebutan X saja.
Sejak adanya pusat perkantoran perkebunan tembakau inilah, ramai orang-orang berdatangan. Ternyata mereka tidak hanya melakukan aktivitas berbisnis saja, tetapi juga membuat daerah ini sebagai tempat-tempat pemukiman. Berangsur-angsur semakin banyaklah kelompok-kelompok pemukiman dan akhirnya tumbuh menjadi perkampungan-perkampungan baru, seperti: kampung Petisah Hulu, kampung Petisah Hilir, kampung Sungai Rengas, kampung Aur, kampung Keling, kampung Baru dan lain sebagainya. Masing-masing wilayah kampung biasanya dipimpin oleh seorang Kepala kampung. Bangunan kantor-kantor yang lainnya pun didirikan, seperti bangunan emplasmen stasiun kereta-api yang dinamai Deli Spoorweg Maatschappij pada tahun 1883,1 bangunan hotel—Grand Hotel—pada tahun 1884. Bangunan bank—Javasche Bank—pada tahun 1909.2 Bangunan pertokoan di sekitarnya yang disebut Kesawan. Bangunan Kantor Pos pada tahun 1909. Bangunan gedung bioskop, dan berbagai sarana umum lainnya (Passchier, 1995: 56).
Perubahan dan kemajuan zaman tak bisa dibendung, X telah menjadi sebuah kota yang semakin besar dan semakin ramai. Gedung-gedung, sarana jalan dan kantor-kantor, beserta toko-toko tempat perbelanjaan, semakin banyak menghiasi kota X. X terus berkembang cepat dengan mengalirnya para pendatang yang berasal dari berbagai wilayah, juga dari India, Pakistan, Cina, dan Eropa. Oleh karena itu, pemerintah Belanda memberikan status pemerintahan yang otonom untuk wilayah X pada tanggal 4 April 1918. Sejak saat itulah X menjadi sebuah kota yang sepenuhnya berada dalam pengelolaan pemerintahan kotapraja. Untuk menambah prasarana dan sarana perkotaan, pemerintah menambah lagi jaringan jalan-jalan baru, membangun berbagai gedung, jembatan, rumah sakit, saluran pipa air minum, fasilitas jaringan listerik, dan lain-lain sebagainya. Perkembangan kota X yang demikian pesatnya, sehingga dirasakan oleh orang-orang dari Eropa sebagai “Parijs van Sumatera” pada awal abad ke-18 (Breman, 1997).
Kalau dahulunya kota X, hanyalah sebuah perkampungan kecil saja di tanah Deli, dan hanya berfungsi sebagai lokasi tempat pemukiman penduduk asli setempat (suku-bangsa Melayu), yaitu kampung X. Letak kampung X ini dahulu berada di pertemuan antara delta sungai Deli dan delta sungai Babura, yakni sekitar 10 km di sebelah Selatan kampung Labuhan. Namun kini wilayah kampung X sudah berubah menjadi kota X, menjadi mekar dan menjadi lebih luas. X berkembang menjadi sebuah kota yang besar, bukan disebabkan oleh kegiatan perdagangan, tetapi justeru dipicu oleh pengaruh bekas areal perkebunan yang terdapat di sekitarnya.
Berbeda dengan kota-kota di Indonesia yang lainnya, yang pada umumnya timbul sebuah kota pra-sejarah bermula disebabkan oleh pusat-pusat istana, seperti: Gianyar dan Klungkung di Bali, Yogya dan Solo di Jawa Tengah; atau pusat keagamaan, seperti: kota Gede dekat Yogyakarta; dan pelabuhan, seperti: Banten, Demak, Gresik, dan Ujung Pandang (Koentjaraningrat, 1982: 251)). Kota X merupakan kota bentukkan baru, yang bermula sebagai pusat administarai yang timbul berkat pengaruh kolonial Belanda guna penyaluran investasi ke daerah ini. Proses perkotaan di sini disebabkan oleh perkembangan di bidang demografi, pertambahan penduduk yang besar dengan mendatangkan para migran untuk pengelolaan perkebunan (Nas, 1979: 97-98).
Pada saat ini perluasan kota X sudah sampai pada daerah-daerah di sekitarnya. X sedang menuju menjadi sebuah kota metropolitan yang terletak di wilayah bagian Barat Indonesia dan dikenal sebagai daerah MMA (Sirojuzilam, 2005). Pesatnya pertumbuhan dan perkembangan kota X dipercepat lagi oleh pengaruh kemajuan teknologi, yakni: transportasi, telekomunikasi, dan travel/tourism. X kini bukan hanya perkampungan kecil dan bekas pusat perkebunan, tetapi juga telah menjadi kota industri dan perdagangan yang bertaraf internasional. X merupakan salah satu dari lima kota di Indonesia yang berprioritas menuju kota metropolitan, selain Jakarta, Surabaya, Bandung dan Semarang (Wahid, dkk., 2005: 7-8). Kendatipun perkembangan kota X telah dipicu bekas areal perkebunan yang terdapat di sekitarnya, namun pertumbuhan dan perkembangannya yang demikian pesat, tidaklah terlepas dari proses sejarah dan peristiwa kultural kehidupan masyarakatnya sendiri. “Orang tidak dapat menutup mata terhadap kenyataan bahwa sejarah pertumbuhan dan perkembangan suatu masyarakat juga turut mempengaruhi dan menentukan perkembangan kota-kota” (Menno, 1992: 13)
Proses sejarah dan peristiwa kultural diantaranya, yang dapat diduga menjadi salah satu faktor pendorong lajunya pertumbuhan dan perkembangan di kota X, tidaklah luput dari upaya kreativitas warga masyarakat keturunan Tionghoa yang ada di X. Kedatangan mereka ke tanah Deli—khususnya di X dengan jumlah yang relatif cukup besar—adalah upaya Jacob Nienhuys. Pada mulanya mereka didatangkan untuk menjadi kuli di perkebunan yang ada di sekitarnya. Gelombang pertama di datangkan dari Singapura, sebanyak 300 orang menurut catatan yang terdaftar dibagian arsip kedatangan di pelabuhan Belawan, kemudian menyusul sebanyak 100 orang lagi. Sebagian besar orang-orang Tionghoa yang didatangkan ke daerah ini berasal dari Penang, yang dahulunya adalah orang Tionghoa yang berasal dari suku Teo Chiu (dari propinsi Kwantung, Cina Selatan). Mereka dikumpulkan oleh broker-broker (Keh tau), dan sekaligus merupakan kepala gerombolan Kongsi Toh Pe Kong yang ada di sana (Sinar, 1994:58). Ada pula yang langsung didatangkan dari daratan Cina bagian Selatan yaitu dari Propinsi Fukien dan Kwantung. Jumlah mereka, pada tahun 1874, sudah mencapai 4.476 orang, dan dalam tahun 1890 meningkat menjadi 53.806 orang. Selanjutnya pada tahun 1900 jumlah mereka sudah sebanyak 58.516 orang. Namun dalam proses perkembangan selanjutnya, kedatangan orang-orang Tionghoa ini tidak hanya sebagai kuli saja, tetapi ada juga yang melakukan aktivitas untuk perniagaan. Menurut sensus pada tahun 1920, migran Tionghoa jumlahnya sudah mencapai 121.716 orang, yang terdiri dari 92.985 orang pria dan hanya 18.731 orang saja yang wanita (Vleming Jr, 1989:185).
Dapat diperkirakan tidak sedikit diantara warga penduduk asli pribumi lainnya di kota X, yang kebutuhan hidupnya juga sangat bergantung pada kesuksesan bisnis orang Tionghoa ini. Warga penduduk asli pribumi ada yang menjadi pekerja sebagai karyawan/karyawati di pabrik-pabrik milik pengusaha Tionghoa, bahkan ada pula yang menjadi pekerja sebagai pelayan di pertokoan maupun sebagai pembantu rumah tangga di rumah-rumah keluarga orang-orang Tionghoa. Secara tidak disadari keberhasilan masyarakat Tionghoa di kota X dalam merespons pembangunan telah menimbulkan sebuah rangkaian rantai pekerjaan baru bagi penduduk X yang lainnya. Keberadaan dan keberhasilan mereka di kota X tidaklah sedikit membuat motivasi yang kuat terhadap masyarakat non-Tionghoa yang lainnya, sehingga tanpa disadari sudah menjadi suatu masyarakat yang kreatif (a creative society) dalam membangun kota X itu sendiri.
Namun di sisi lain dengan adanya “dominasi-ekonomi” orang-orang Tionghoa terhadap jaringan-jaringan perdagangan di kota X, yang telah memberikan keuntungan yang besar bagi mereka, dan sulit untuk diterobos, ternyata hal ini memberikan kesan yang bersifat ekslusif. Kenyataan semacam itu, menjadi pemicu pula terhadap peristiwa-peristiwa rasialis yang cukup serius. Terbukti dengan adanya sejumlah tindakan-tindakan kekerasan, bentrokan-bentrokan fisik, serta serangkaian tindakan ekstrim lainnya. Peristiwa ini tidak hanya pernah terjadi di kota X saja tetapi hampir semua kota di Indonesia. Sebagai contoh peristiwa-peristiwa yang terjadi sebagai berikut (Husodo: 1985, hal.42):
* Kegiatan anti Tionghoa pada tahun 1911, pada masa sekitar berdirinya Sarekat Dagang Islam untuk menandingi penguasaan ekonomi oleh orang-orang Tionghoa.
* Pada masa-masa revolusi kemerdekaan, telah timbul di beberapa tempat, akibat adanya kesan bahwa di antara golongan non-pribumi Tionghoa telah ikut membantu penjajahan Belanda.
* 10 Mei 1963 di Jawa Barat, serangkaian peristiwa-peristiwa yang telah terjadi dibeberapa kota mulai dari kota Cirebon, menjalar ke kota-kota lain di Jawa Barat, Jawa Timur dan berakhir di Yogya pada tanggal 21-22 Mei 1963.
* Peristiwa Aceh tahun 1966.
* 5 Agustus 1973 di Bandung.7
* November 1980 di Solo-Semarang dan sekitarnya yang bermula di Solo dan seminggu kemudian nyaris menjalar ke kota-kota di Jawa Timur.
* Peristiwa di Tanjung Periok pada tahun 1984.
* Puncaknya, pada tragedi 13-14 Mei 1998 di Jakarta.
Penyebab kerusuhan yang terjadi sebagian besar adalah berkisar pada masalah ekonomi. Golongan pribumi merasa pemerataan kegiatan usaha di bidang ekonomi belum diperolehnya. Sedangkan golongan orang-orang Tionghoa dianggap telah menguasai perekonomian. Oleh karena itu golongan pribumi (non-Tionghoa) menganggap, kehidupan orang-orang Tionghoa bisa menjadi lebih kaya dari pada golongan pribumi. Kecemburuan sosial tersebut dijadikan alasan kemarahan kaum pribumi terhadap golongan non-pribumi keturunan Tionghoa ini. Sasaran-sasaran dari kemarahan kaum pribumi adalah pusat-pusat perdagangan dan pertokoan, yang sebagian besar dikuasai oleh golongan masyarakat Tionghoa, ataupun tempat-tempat tinggal yang sejak dari dahulu sudah merupakan tempat-tempat bermukimnya orang-orang Tionghoa secara eksklusif (Husodo: 1985, hal. 43).
Menurut hasil penelitian yang di lakukan oleh Haida Jasin dan Alan W. Smith pada tahun 1976, di X, dijelaskan bahwa: orang-orang Tionghoa yang jumlahnya hanya 8% dari jumlah penduduk di kota X, namun mereka dapat menguasai 58% sektor perekonomian daerah ini. Sedangkan penduduk pribumi yang jumlahnya mencapai 84% dari jumlah penduduk di kota X, hanya 40% saja yang dapat bergerak di sektor ekonomi (Jasin, 1978: 165-173). Demikian pula pendapat Usman Pelly; di kota X masyarakat Tionghoa merupakan kelompok yang penting dan berarti, terutama karena dapat menguasai kehidupan disektor ekonomi, baik perdagangan maupun industri tingkat menengah dan atas (Pelly, 1983:6). Pemukiman etnis Tionghoa pada umumnya berada di kawasan elite strategis dan bergengsi (Bergerak, 1994: 4)

1.2. Perumusan Masalah.
Pengalaman kultural dan struktural yang dimiliki masyarakat Tionghoa di X merupakan sumber pembelajaran bagi mereka, yang telah membentuk pandangan teleologis dalam hidupnya. Pandangan teleologis itu sendiri merupakan daya pendorong ataupun faktor penyebab untuk bertindak hidup dengan berprinsip hemat, ulet, tekun, rajin, gigih, luwes, cepat dan tangguh, serta semangat wira usaha yang tinggi. Yang menjadi masalah dan hal yang perlu diungkapkan dalam penelitian ini adalah, apa dan bagaimana pandangan teleologis atau futurologis mereka itu dalam menghadapi kehidupan ini ?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini berupaya mengkaji pandangan teleologis yang dimiliki masyarakat Tionghoa X dalam rangka merespons fenomena kehidupan yang mungkin ada dan terjadi di kota X. Peristiwa-peristiwa apa atau perobahan-perobahan apa yang bakal ada dan terjadi di kota X. Bagaimana mereka membuat prediksi, bereaksi, membuat strategi, berprinsip dan sekaligus mempersiapkan diri terhadap kemungkinan-kemungkinan yang ada dan bakal terjadi tersebut. Secara rinci ada tiga hal yang ingin dikaji dalam penelitian ini:
1. Kemungkinan-kemungkinan apa, yang ada dan bakal terjadi dalam kehidupan di kota X
2. Bidang usaha apa kiranya, yang dianggap mempunyai peluang keberhasilan/keuntungan yang cukup besar nantinya.
3. Persiapan-persiapan yang bagaimana harus dilakukan untuk menghadapi hal tersebut.
Ke-piawai-an semacam itu sungguh suatu pelajaran yang tak terhingga nilainya. Mana kala potensi pengalaman hidup berbudaya semacam itu dapat terungkap dan terbukti dalam penelitian ini, dapatlah dipetik untuk dijadikan pelajaran bagi masyarakat yang lainnya. Dengan kata lain, belajar dari pengalaman budaya orang lain dalam merespons kehidupan yang berupa pandangan teleologis, tidaklah mengurangi nilai dan makna kehidupan itu sendiri. Bahkan dapat dijadikan sebagai alat untuk mengkoreksi, introspeksi, dan mengevaluasi diri terhadap kekurangan-kekurangan maupun kelemahan-kelemahan yang kita miliki selama ini. Nilai-nilai budaya yang tidak lagi relevan dalam membuat pandangan teleologis atau memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang ada dan yang bakal terjadi, seperti perobahan-perobahan, peristiwa-peristiwa yang mungkin timbul, sebaiknya diperbaiki. Pada gilirannya nanti, selain dapat memperkaya khazanah nilai-nilai budaya yang selama ini sudah kita dimiliki, juga dapat memperkecil kesenjangan-kesenjangan sosial yang sering kali, justeru menimbulkan kecemburuan sosial di antara sesama warga di dalam masyarakat.