Search This Blog

TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MUZAKKI MENUNAIKAN ZAKAT PADA BAITUL MAAL MASJID

(KODE : PASCSARJ-0264) : TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MUZAKKI MENUNAIKAN ZAKAT PADA BAITUL MAAL MASJID (PROGRAM STUDI : EKONOMI ISLAM)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Zakat sebagai salah satu elemen dari rukun islam tidak hanya memiliki dimensi ibadah namun lebih dari itu, zakat memiliki dampak yang lebih luas terhadap kehidupan social dan ekonomi masyarakat. Zakat sebagai salah satu instrumen ibadah terlihat dari sejumlah perintah zakat dalam Al Quran yang selalu disandingkan dengan perintah sholat. Setidaknya, terdapat delapan puluh dua perintah zakat yang selalu dikaitkan dengan perintah sholat.
Dan dirikanlah sholat, bayarlah zakat. Dan rukuk lah bersama sama orang yang rukuk (QS, Al Qur'an 2 : 43)
Zakat dalam aspek sosial ekonomi merupakan suatu instrument yang dapat meredistribusikan pendapatan antara mereka yang kaya dengan mereka yang miskin. Dengan ini, maka kesenjangan pendapatan antara kelompok masyarakat kaya dengan masyarakat miskin dapat diminimalkan. Bagaimanapun, ukuran kaya dan miskin dalam Islam sangat jelas dilihat dari garis nisab nya. Jika kepemilikan seseorang berada di bawah garis nisab maka termasuk dalam kategori miskin (mustahik). Sebaliknya jika berada di atas garis nisab, maka termasuk dalam kelompok non miskin yang berarti wajib menunaikan zakat (muzakki).
Terlepas dari hal itu, dalam tataran individu, zakat akan merangsang individu untuk melakukan tabungan akherat dan bermakna pula menggugurkan kewajiban zakat sebagai salah satu rukun Islam yang harus dipenuhi. Selain itu zakat sebagaimana artinya membersihkan menyucikan dan menyuburkan, maka dengan zakat berarti telah memberikan bagian harta si miskin yang ada dalam hartanya. Lebih dari itu, zakat bisa menjadi motivasi bagi individu untuk meningkatkan kinerjanya sehingga selalu termotivasi untuk merubah dirinya dari mustahik menjadi muzakki..
Zakat sebagai salah satu instrumen redistribusi pendapatan telah dipraktikkan pada masa pemerintahan Rasulullah dan para sahabat dimana Zakat menjadi salah satu instrumen dalam kebijakan fiscal yang dialokasikan untuk menyantuni orang miskin dan juga menyediakan fasilitas dan segala kebutuhan bagi masyarakat miskin Praktik ini sejalan dengan perintah untuk mengumpulkan zakat oleh Negara sebagaimana yang termaktub dalam surat At Taubah ayat 103, dimana disebutkan bahwa : 
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
Perintah ambillah zakat dalam hal ini jelas ditujukan kepada Negara untuk mengambil zakat dari masyarakatnya. Hal ini berarti pula bahwa zakat merupakan satu satunya ibadah muamalah yang mempunyai petugas yaitu amil zakat. Cerita sukses zakat dalam upaya mengentaskan kemiskinan dapat kita lihat dari sejarah kejayaan masa pemerintahan Umar Bin Abdul Aziz. Pada masa pemerintahannya tidak lagi ditemukan masyarakat miskin yang berhak menerima zakat sehingga zakat dikirimkan ke negara tetangga yang membutuhkan.
Di Indonesia, negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Jika dilihat dari besaran jumlah penduduk, maka dengan jumlah penduduk sebanyak 220 juta, dan dengan asumsi penduduk yang beragama Islam sebesar 87 persen, dan dikalikan 20 persennya atau 38,54 juta orang berkewajiban menunaikan zakat sebesar minimal Rp. 170 ribu per tahun, sehingga dapat terkumpul dana zakat sebesar Rp. 6,21 triliun. Pihak Departemen Agama (Depag) memperkirakan potensi zakat hingga ke unit pengumpul zakat di tingkat kecamatan mencapai Rp. 12,7 triliun.
Berdasarkan hasil penelitian Pusat Bahasa dan Budaya (PPB) UIN Syarif Hidayatullah dan Ford Foundation yang mencakup 1.500 responden yang tersebar di 11 provinsi, 200 masjid, 50 lembaga ZIS pemerintah, dan 50 lembaga ZIS swasta mengungkapkan, jumlah filantropi (kedermawanan) umat Islam Indonesia mencapai Rp. 19,3 triliun. Nilai ini terdiri dari Rp. 5,1 triliun dalam bentuk barang dan Rp. 14,2 triliun dalam bentuk uang. Dari sejumlah dana yang terkumpul itu, sepertiganya masih berasal dari zakat fitrah, yaitu Rp 6,2 triliun, dan sisanya zakat harta Rp. 13,1 triliun.
Namun, jika data-data potensi zakat hasil perhitungan ini dibandingkan dengan data realisasinya, maka jumlah zakat yang terkumpul masih sangat kecil dibandingkan dengan data potensinya. 
Adanya kesenjangan antara potensi dengan realisasi ini tentunya mengindikasikan adanya suatu masalah dalam usaha-usaha proses pengumpulan zakat di tanah air. Penelitian ini akan mencoba untuk mengidentifikasi masalah-masalah terkait dengan pengorganisasian pengumpulan dan pendistribusian zakat dan selanjutnya merumuskan masalah penelitian yang relevan yang selengkapnya dibahas di sub bab berikutnya.

B. Perumusan Masalah
Rendahnya realisasi pengumpulan zakat di Indonesia tentunya merupakan suatu masalah tersendiri. Zakat, jika dikembalikan kepada perintahnya sebagaimana tertera pada surat At Taubah jelas perintah untuk mengumpulkan zakat oleh amil zakat dari orang-orang yang memiliki kemampuan. Pada masa pemerintahan Rasulullah dan juga para khalifah sesudahnya, perintah ini menjadi tanggung jawab negara untuk mengumpulkannya, ditempatkan di Baitul Maal sebagai salah satu sumber pendapatan negara, untuk kemudian didistribusikan ke masyarakat yang membutuhkan sesuai dengan 8 ashnaf sebagaimana digariskan oleh Al Quran, surat at Taubah ayat 60.
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Di Indonesia, zakat meskipun memiliki potensi yang besar namun bukan termasuk dalam salah satu sumber penerimaan negara. Akibatnya tidak ada kekuatan yang memaksa masyarakat untuk menunaikan zakat karena Undang-Undang tentang zakat Nomor 38 Tahun 1999 hanya mengatur perihal Badan dan Lembaga zakat saja tanpa mencantumkan sanksi hukum bagi muslimin yang tidak menunaikan kewajiban zakatnya. Dan potensi zakat yang mestinya dapat dimanfaatkan sebagai sumber penerimaan negara dan pengentasan kemiskinan akhirnya dikelola secara parsial, dan separatis. Saat ini, masalah pengumpulan zakat diserahkan kepada Badan amil zakat (BAZ) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). Dalam perkembangannya terdapat sejumlah LAZ/BAZ dan ada satu forum zakat (FOZ). Meski demikian belum ada suatu kekuatan sinergis yang dapat memberdayakan zakat di Indonesia.
Selain itu kelemahan dari keberagaman amil zakat dan juga lembaga zakat yang terpencar ini mengakibatkan efek dari dana zakat ini menjadi tidak dapat dilihat secara langsung. Meski pun saat ini telah terdapat sejumlah lembaga amil zakat (LAZ) atau BAZ yang dikelola secara profesional namun agaknya masih banyak masyarakat yang menyerahkan zakatnya secara langsung kepada pihak yang membutuhkan. Hal ini dikuatkan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Universitas Islam Nasional (UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta).
Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Bahasa dan Budaya (PPB) UIN (2001) menemukan suatu hal yang menarik terkait dengan kebiasaan masyarakat dalam menunaikan zakat. Dari penelitian itu diketahui bahwa 61 persen zakat fitrah dan 93 persen zakat maal diberikan langsung kepada penerima. Penerima zakat fitrah dan zakat maal terbesar (70 persen) adalah masjid-masjid, BAZ pemerintah hanya mendapatkan 5 persen zakat fitrah dan 3 persen zakat maal, serta LAZ swasta hanya 4 persen zakat maal. Selain itu, penelitian tentang besaran dan efektifitas dana ZIS di enam negara termasuk Indonesia dilakukan juga oleh Amelia (2000) Hasil penelitiannya menyebutkan kecenderungan masyarakat untuk memberikan ZIS hanya berdasarkan kewajiban dan keinginan untuk menyumbang saja, tanpa diiringi oleh manajemen yang profesional untuk mengelola dana tersebut menjadi lebih produktif dan berorientasi jangka panjang bagi umat.
Sebagai lembaga yang bergerak di sektor volunter, yang mengumpulkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kepada 8 ashnaf yang membutuhkan, pengelolaan ZIS membutuhkan profesionalitas. Hal ini terkait dengan masalah kredibilitas dan legalitas lembaga zakat. Ke-tidak-transparan-an dan tidak akuntabilitas pengelolaan zakat akan menjadi penyebab sehingga masyarakat mengurungkan niatnya untuk menunaikan zakat. Mengacu kepada hasil penelitian UIN (2001) dimana hampir 70 persen dana zakat masyarakat disalurkan melalui Masjid menggambarkan bahwa masyarakat masih menaruh kepercayaan yang besar kepada lembaga Masjid. Mestinya kepercayaan masyarakat yang besar ini diimbangi dengan upaya mengoptimalkan peran Masjid sebagai lembaga ekonomi sebagaimana peran Masjid di jaman Rasulullah yang tidak hanya menjadikan Masjid sebagai tempat ibadah namun juga sebagai basis dalam kegiatan perekonomian masyarakat.
Di Indonesia, masjid masih digunakan hanya sebatas tempat ibadah. Kalaupun digunakan untuk tempat pengumpulan zakat dan sedekah biasanya sifatnya hanya insidental, yaitu pada saat pembayaran zakat fitrah dan pada saat ada acara pengajian, selebihnya masjid tidak diberdayakan secara ekonomi. Hasil penelitian yang menyebutkan bahwa 98% motivasi masyarakat menyumbang dikarenakan melaksanakan ajaran agama mestinya diimbangi oleh keberadaan masjid yang mampu melakukan pengelolaan zakat dan memiliki fungsi sosial yang lebih luas. Selanjutnya jika fungsi tersebut telah dijalankan oleh Masjid, maka langkah selanjutnya adalah bagaimana mengkolaborasikan masjid dengan sikap transparansi dan juga profesional.
Salah satu model dalam memanfaatkan masjid sebagai lembaga ekonomi dan memadukan peran pemerintah dalam mengumpulkan zakat adalah dengan menjadikannya Baitul Mal pada Masjid sebagai Basis kegiatan penyelenggaraan Zakat pada tingkat RW. Model tersebut juga sekaligus dapat melihat lebih dekat seberapa besar dampak dan manfaat dana zakat bagi masyarakat yang membutuhkannya di RW tersebut. Seperti kita ketahui bahwa jajaran RW dengan populasi penduduk sekitar 2.500 sampai 3.000 orang dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) antara 350-400 (KK) maka dapat dipastikan bahwa terdapat tingkat distribusi pendapatan masyarakat yang heterogen. artinya pada masyarakat di lingkungan RW tersebut terdapat para muzakki yang secara langsung dapat mempercayakan kewajiban zakatnya kepada Baitul Maal yang berbasiskan Masjid, di sisi lain para muzakki dapat melihat dan mengontrol langsung serta melihat manfaat pendistribusian zakat tersebut yang di berikan kepada para mustahik yang ada dalam lingkungan RW tersebut. Pembentukan Masjid sebagai tempat Baitul Mal, yang bertujuan untuk mengumpulkan dan menyalurkan zakat, infak dan sedekah ini telah dilakukan di Baitul Maal Masjid X.
Setelah beroperasi selama sekitar 5 tahun memperlihatkan banyak kemajuan dalam Baitul Maal ini. Meski mengalami banyak kemajuan, namun saat ini dari sekitar 400 KK muslim yang menghuni RW 05 Kelurahan X, hanya 300 KK yang terdaftar sebagai muzakki. Dan dari 300 KK ini hanya 100 KK yang aktif menunaikan zakat setiap bulannya. Perumusan masalah dalam tesis ini adalah rendahnya partisipasi masyarakat diatas nisab, dalam menunaikan zakat Untuk meningkatkan keaktifan muzakki lainnya, tentunya perlu diketahui faktor-faktor apa yang mempengaruhi intensitas muzakki dalam menunaikan zakat, sehingga dengan hasil penelitian itu akan dapat dilakukan sejumlah kebijakan yang dapat meningkatkan keaktifan warga dalam menunaikan zakat. Dari perumusan masalah tersebut, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah : 
1. Faktor-faktor apa yang menjadi daya tarik bagi muzakki sehingga muzakki secara intensitas menunaikan zakat ke baitul maal yang ada di lingkungan RW 05
2. Bagaimana karakteristik responden yang menunaikan zakat di Baitul Maal Masjid X

C. Batasan Penelitian
Penelitian ini hanya merupakan sebuah studi kasus di salah satu Masjid yang telah memiliki baitul mal yaitu Baitul Mal Masjid X. Fokus penelitian adalah untuk melihat bagaimana efektifitas kebijakan yang diambil oleh Baitul Mal dan juga apa saja yang mempengaruhi Intensitas minat masyarakat untuk menunaikan zakat, serta bagaimana pemanfaatan zakat yang dirasakan oleh mustahik.

D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas, setidaknya ada 2 tujuan yang ingin dijawab dalam penelitian ini, yaitu : 
1. Melihat faktor apa saja yang mempengaruhi minat muzakki untuk menunaikan zakat ke baitul mal sehingga semakin intens dalam menunaikan zakat yang dilakukan Baitul Mal berbasiskan Masjid setingkat RW. Faktor-faktor ini menjadi penting untuk diketahui terutama jika dikaitkan dengan usaha replikasi model ini di tempat lain.
2. Untuk melihat karakteristik responden yang menunaikan zakat di Baitul Mal Masjid X

E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat kepada : 
1. Penulis untuk melengkapi pemahaman teori ekonomi yang berkaitan dengan zakat yang didapat selama kuliah, dan ingin membuktikan secara ilmiah tentang pengalaman empiris dalam pengelolaan Zakat berbasiskan masjid pada tingkat RW.
2. Penulis, sebagai syarat kelulusan pada Program Pasca Sarjana.
3. Bagi akademisi lain sebagai bahan kajian untuk penelitian selanjutnya.
4. Bagi pengambil kebijakan untuk dapat dijadikan alternatif menerapkan model pengelolaan zakat melalui Baitul Mal berbasiskan Masjid pada tingkat RW guna mendukung perkembangan syariah islam.
5. Bagi pengelola Masjid dan masyarakat umum, sebagai wacana dan wahana untuk meningkatkan wawasan dan pemahaman tentang model dalam pengelolaan zakat.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »