BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perdagangan manusia (human trafficking) merupakan masalah yang cukup kompleks, baik di tingkat nasional maupun internasional. Berbagai upaya telah dilakukan guna mencegah terjadinya praktek perdagangan manusia. Secara normatif, aturan hukum telah diciptakan guna mencegah dan mengatasi perdagangan manusia. Akan tetapi perdagangan manusia masih tetap berlangsung khususnya yang berkaitan dengan anak-anak. Permasalahan yang berkaitan dengan anak tidak lepas dari perhatian masyarakat internasional. Isu-isu seperti tenaga kerja anak, perdagangan anak, dan pornografi anak, merupakan masalah yang dikategorikan sebagai eksploitasi. Convention on the Rights of the Child (CRC) adalah merupakan salah satu konvensi yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perlindungan hak-hak anak. Article 1 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan child adalah every human being below the age of eighteen years unless under the law applicable to the child, majority is attained earlier. Berdasarkan ketentuan ini selanjutnya ditentukan bahwa adanya keharusan bagi negara untuk memperhatikan segala bentuk kekerasan terhadap anak.
Sedangkan khusus untuk perdagangan anak terdapat di dalam Article 35 yang menyatakan states parties shall take all appropriate national, bilateral and multilateral measures to prevent the abduction of the sale of or traffic in children for
any aspects of the child's welfare?2 Oleh karena itu anak memerlukan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang.33
Pemberitaan tentang perdagangan manusia khususnya anak, di Indonesia kian marak baik dalam lingkup domestik maupun yang telah bersifat lintas batas negara. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kejahatan yang dilakukan oleh orang perorangan maupun oleh korporasi dalam batas wilayah suatu negara maupun yang dilakukan melintasi batas wilayah negara lain yang semakin meningkat. Kejahatan tersebut juga termasuk antara lain berupa penyeludupan tenaga kerja, penyeludupan imigran, perdagangan budak, wanita dan anak.
Salah satu persoalan serius dan sangat meresahkan adalah dampak yang ditimbulkan dan berhubungan langsung terhadap nasib anak, yaitu berkaitan dengan perdagangan anak (child trafficking). Perdagangan anak yang terjadi di Indonesia telah mengancam eksistensi dan martabat kemanusiaan yang membahayakan masa depan anak. Sisi global, perdagangan anak merupakan suatu kejahatan terorganisasi yang melampaui batas-batas negara, sehingga dikenal sebagai kejahatan transnasional. Indonesia tercatat dan dinyatakan sebagai salah satu negara sumber dan transit perdagangan anak internasional, khususnya untuk tujuan seks komersial dan buruh anak di dunia.
Komitmen penghapusan perdagangan anak ini dikenal sebagai Kesepakatan Palermo Italia tahun 2001. Kesepakatan penghapusan perdagangan anak sebagai isu global, sejalan dengan lingkup kesepakatan menghapus terorisme, penyeludupan senjata (arm smugling), peredaran gelap narkotika dan psikotropika, pencucian uang (money laundry), penyeludupan orang (people smugling) dan perdagangan orang termasuk anak (child trafficking). Indonesia telah meratifikasi dan mengundangkan protokol Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk penghapusan kejahatan transnasional tersebut. Saat ini sedang dalam proses ratifikasi protokol Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menghapus dan mencegah perdagangan orang termasuk anak.
Penguatan komitmen pemerintah Republik Indonesia dalam penghapusan perdagangan orang tercermin dari Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 88
Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN-P3A) dan adanya Undang-Undang Penghapusan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO).
Program Legislasi Nasional 2005-2009 menegaskan RUU Tindak Pidana Perdagangan Orang berada diurutan 22 dari 55 prioritas RUU yang akan dibahas pada tahun 2005. Penindakan hukum kepada pelaku (trafficker) digiatkan melalui peningkatan kapasitas penegak hukum serta peningkatan kerjasama dengan pemangku kepentingan yang lain dan pihak penegak hukum negara sahabat sehingga Kepolisian Republik Indonesia berhasil memproses 23 kasus dari 43 kasus yang terungkap. Pada tahun 2004-2005 (Maret), sebanyak 53 terdakwa telah mendapat vonis Pengadilan dengan putusan: bebas, dan hukuman penjara 6 bulan sampai yang terberat 13 tahun penjara atau rata-rata hukuman 3 tahun 3 bulan. Sosialisasi dan advokasi dari berbagai pihak kepada aparat penegak hukum telah membuahkan dijatuhkannya vonis hukuman yang cukup berat kepada trafficker.
Peningkatan perlindungan kepada korban perdagangan orang dilaksanakan dengan meningkatkan aksesibilitas layanan melalui pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu di Rumah Sakit Umum milik Pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota serta Rumah Sakit Kepolisian Pusat dan Rumah Sakit Bhayangkara di daerah. Ruang Pelayanan Khusus Kepolisian yang dikelola oleh Polisi Wanita semakin ditambah yang kini jumlahnya mencapai 226 unit di 26 Kepolisian Daerah (Propinsi) dan masih akan terus diperluas ke Kepolisian Daerah yang lain dan
Kepolisian Resort (Kabupaten/Kota) seluruh Indonesia. Di samping itu juga semakin banyak Lembaga Swadaya Masyarakat dan organisasi masyarakat yang mendirikan women's crisis centre, Drop In Center, atau shelter yang kini jumlahnya 23 unit yang tersebar di 15 propinsi. Di samping itu, untuk pengungsi di X telah didirikan sedikitnya 20 unit Children Center bekerjasama dengan UNICEF dan Departemen Sosial. Beberapa pihak berpendapat bahwa para TKI tersebut banyak di antaranya yang terjebak dalam praktek-praktek perdagangan orang. Mereka dikirim ke Malaysia menggunakan paspor dan visa kunjungan atau wisata untuk bekerja di sana.
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Adanya peningkatan jumlah korban perdagangan anak di Indonesia, telah menempatkan Indonesia ke dalam kelompok negara yang dikategorikan tidak berbuat maksimal. Menyadari hal ini, Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 telah menetapkan suatu kebijakan yang bersifat akseleratif tentang penghapusan perdagangan anak. Berdasarkan Keputusan
Presiden tersebut, maka penghapusan perdagangan anak dilakukan secara terorganisir, komprehensif, dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dengan prinsip utama, anak adalah korban.
Untuk menterjemahkan formulasi tersebut dalam bentuk implementasi, maka dikembangkan jejaring kelembagaan peduli anak. Demikian pula secara yuridis dimunculkan norma hukuman berat terhadap pelaku perdagangan anak. Adapun materi Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2002 antara lain, berisi:
1) Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak yang selanjutnya disebut dengan RAN-P3A sebagai aspek konseptual atau formulasi.
2) Pembentukan Gugus Tugas Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak yang selanjutnya disebut dengan GT-P3A pada lingkup nasional, propinsi, dan kabupaten/kota, sebagai aspek operasional atau implementasi.
RAN-P3A bertujuan untuk menghapus segala bentuk perdagangan anak melalui pencapaian 4 (empat) tujuan khusus yaitu:
1) Penetapan norma hukum dan tindakan hukum terhadap pelaku perdagangan anak.
2) Terlaksananya rehabilitasi dan reintegrasi sosial korban perdagangan anak.
3) Terlaksananya pencegahan perdagangan anak di keluarga dan masyarakat.
4) Terciptanya kerjasama dan koordinasi penghapusan perdagangan anak lingkup internasional, regional, nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Office of The High Commisioner of Human Rights telah mengeluarkan Fact Sheet No. 14 dengan judul Contemporary
Forms of Slavery. Perilaku yang termasuk dalam kategori bentuk-bentuk perbudakan kontemporer (contemporary forms of slavery) adalah:
1) Perdagangan anak.
2) Prostitusi anak.
3) Pornografi anak.
4) Eksploitasi pekerja anak.
5) Mutilasi seksual terhadap anak perempuan.
6) Pelibatan anak dalam konflik bersenjata.
7) Penghambaan.
8) Perdagangan manusia.
9) Perdagangan organ tubuh manusia.
10) Eksploitasi untuk pelacuran, dan
11) Sejumlah kegiatan di bawah rezim apartheid dan penjajahan.
Berdasarkan informasi yang diterbitkan oleh United States Departement of Justice, diperoleh data yang berkenaan dengan perdagangan manusia, antara lain:
1) 700 ribu (tujuh ratus ribu) sampai dengan 4.000.000 (empat juta) orang setiap tahun diperjualbelikan (dijual, dikirim, dipaksa, dan bekerja di luar kemauan) di seluruh dunia;
2) Sebagian besar manusia yang diperdagangkan berasal dari negara-negara berkembang yang rendah tingkat ekonominya, untuk dibawa ke negara-negara maju;
3) Sebagian besar dari korban tersebut adalah perempuan dan anak-anak;
4) Para korban pada umumnya dijanjikan kehidupan yang lebih baik, pekerjaan dengan imbalan yang menarik, oleh sang pedagang;
5) Umumnya mereka dipaksa bekerja sebagai pelacur, pekerja paksa, pembantu rumah tangga, bahkan pengemis;
6) Untuk mengendalikan mereka biasanya dipakai upaya kekerasan atau ancaman kekerasan;
7) Lebih dari dua juta perempuan bekerja di industri seks di luar keinginan mereka, dan diperkirakan sekitar 40% (empat puluh persen) adalah anak di bawah umur.
Akan tetapi dalam banyak hal, kerap kali terdapat perbedaan dalam menentukan batasan, pengertian, dan sumber dapat mengakibatkan perbedaan hasil yang menimbulkan tafsiran serta implikasi yang berbeda. Dalam situasi yang demikian, maka isu undocument migrant workers (pekerja pembantu rumah tangga anak) apabila ditafsirkan dengan tanpa batasan dapat mengakibatkan perbedaan persepsi tentang perdagangan anak.
Untuk memberikan batasan yang pasti, maka dapat mengacu kepada Protocol to Prevent, Suppres and Punish Trafficking in Person Especially Women and Children. Protokol ini telah ditandatangani oleh pemerintah Indonesia. Di luar dari batasan dari protokol itu, pengertian perdagangan anak masih beragam. Hingga saat ini belum ada kesatuan yang bisa menggambarkan kejahatan perdagangan anak. Hal ini disebabkan semakin meluasnya dimensi kriminal dari perdagangan manusia sehingga batasan tradisional perdagangan manusia menjadi usang.
Helge Konrad mengemukan bahwa human trafficking merupakan suatu masalah yang disebabkan adanya beberapa dorongan. Ia menyatakan:
The cause of trafficking are complex. While there are numerous contributing factors, which have to be analysed and taken into account in political decision making-the unequal economic development of different countries, mass unemployment in many countries of origin, but also inequality, discrimination and gender-based violence in our societies, the prevailing market mechanisms; the patriarchal structures in the source and destination countries; the demand side including the promotion of sex tourism in many countries of the world, the mindsets of men, etc.- the primary root cause is poverty, most particularly among women.
Indonesia dikategorikan sebagai negara yang tidak memenuhi standar dalam upaya memerangi kejahatan terorganisir sebagai upaya penghapusan perdagangan manusia secara serius, bahkan data akurat mengenai kejahatan ini sulit diperoleh. Hal ini terkait dengan beberapa hal yaitu berupa defenisi perdagangan manusia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terbatas pada perdagangan perempuan dan anak; dan berbagai perbuatan yang dapat dimasukkan ke dalam perdagangan manusia ditangani oleh berbagai instansi yang berbeda sehingga menyulitkan dalam pertanggungjawaban.
Sebagai contohnya masalah pengiriman buruh migran secara ilegal pada umumnya ditangani oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang melibatkan Penyedia Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) ke luar negeri, sedangkan perdagangan anak ditangani oleh Dinas Sosial. Faktor lainnya berupa lingkup wilayah Indonesia yang amat luas dan terbuka yang memungkinkan perdagangan manusia terjadi di beberapa tempat namun sulit dipantau.
Keterkaitan kejahatan perdagangan anak dengan tindak pidana pencucian uang adalah bahwa kejahatan anak predicate crimes yaitu kejahatan yang merupakan kejahatan transnasional. Salah satu predicate crime dari tindak pidana money laundering adalah trafficking.
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002 mendefinisikan pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-seolah menjadi harta kekayaan yang sah. Pendefmisian di atas mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1) Pelaku
Dalam UU No. 15 Tahun 2002 maupun perubahannya dalam UU No. 25 Tahun 2003, digunakan kata "setiap orang", di mana dalam Pasal 1 angka 2 dinyatakan bahwa setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi. Sementara pengertian korporasi terdapat dalam Pasal 1 angka 3 yang menyatakan bahwa korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
2) Transaksi keuangan atau alat keuangan atau finansial untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.
Istilah transaksi jarang atau hampir tidak dikenal dalam sisi hukum pidana tetapi lebih banyak dikenal pada sisi hukum perdata, sehingga Undang-undang tindak pidana pencucian uang mempunyai ciri kekhususan yaitu di dalam isinya mempunyai unsur-unsur yang mengandung sisi hukum pidana maupun perdata. UU No. 25 Tahun 2003 mendefinisikan transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, termasuk kegiatan pentransferan dan/atau pemindahbukuan dana yang dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan. Transaksi keuangan yang menjadi unsur pencucian uang adalah transaksi keuangan mencurigakan dan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai yang belum dilaporkan dan mendapat persetujuan dari Kepala PPATK.
3) Merupakan hasil tindak pidana
Penyebutan tindak pidana pencucian uang salah satunya harus memenuhi unsur adanya perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU No. 25 Tahun 2003, di mana perbuatan melawan hukum tersebut terjadi karena pelaku melakukan tindakan pengelolaan atas harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana. Pengertian hasil tindak pidana dinyatakan pada Pasal 2 UU No. 25 Tahun 2003 yang telah mengubah UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang dalam pembuktian nantinya hasil tindakan pidana akan merupakan unsur-unsur delik yang harus dibuktikan. Pembuktian apakah benar harta kekayaan tersebut merupakan hasil tindak pidana adalah dengan membuktikan ada atau terjadi tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan tersebut pembuktian
di sini bukan untuk membuktikan apakah benar telah terjadi tindak pidana asal (predicate crime) yang menghasilkan harta kekayaan.
Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 yang berbunyi: 1) Hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana:
a) korupsi;
b) penyuapan;
c) penyeludupan barang;
d) penyeludupan tenaga kerja;
e) penyeludupan imigran;
f) di bidang perbankan;
g) di bidang pasar modal;
h) di bidang asuransi;
i) narkotika;
j) psikotropika;
k) perdagangan manusia;
l) perdagangan senjata gelap;
m) penculikan;
n) terorisme;
o) pencurian;
p) penggelapan;
q) penipuan;
r) pemalsuan uang;
s) perjudian;
t) prostitusi;
u) di bidang perpajakan;
v) di bidang kehutanan;
w) di bidang lingkungan hidup;
x) di bidang kelautan; atau
2) Tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
3) Harta kekayaan yang dipergunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme dipersamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.
Istilah tindak pidana pencucian uang mulai terkenal sejak tahun 1930 di Amerika Serikat. Pada saat itu tindak pidana ini dilakukan oleh organisasi mafia melalui pembelian perusahaan pencucian pakaian (laundry) yang kemudian digunakan oleh organisasi tersebut sebagai tempat pencucian uang yang dihasilkan dari bisnis ilegal seperti perjudian, pelacuran, dan perdagangan minuman keras. Money laundering sebagai salah satu jenis kejahatan kerah putih (white collar crime) sebenarnya sudah ada sejak tahun 1967. Pada saat itu, seorang perompak di laut bernama Henry Every dalam perompakannya terakhir merompak kapal Portugis berupa berlian senilai £325.000 poundsterling (setara Rp5.671.250.000). Harta rampokan tersebut kemudian dibagi bersama anak buahnya, dan bagian Henry Every ditanamkan pada transaksi perdagangan berlian di mana ternyata perusahaan berlian tersebut juga merupakan perusahaan pencucian uang milik perompak lain di darat.
Berdasarkan hasil konvensi, artikel, kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah bahwa aktivitas pencucian uang dapat menimbulkan dampak-dampak yang negatif, seperti yang disampaikan oleh Departement of Justice Canada dalam makalahnya yang berjudul Electronic Money Laundering: An Enviromental Scan Money Laundering, yaitu:
Pencucian uang memungkinkan para penjual dan pengedar narkoba, para penyeludup dan para penjahat lainnya untuk dapat memperluas kegiatan operasinya. Hal ini akan meningkatkan biaya penegakan hukum untuk memberantasnya dan biaya pengobatan dan perawatan serta pengobatan kesehatan bagi para korban atau para pecandu narkoba.
Di Amerika Serikat, sebelum lahirnya United Nations Convention on Against Illict Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtances 1988 (Vienna Drug Convension 1988) 47, telah diatur beberapa ketentuan anti pencucian uang, seperti The Bank Secrecy Act 1970 dan Money Laundering Central Act 1986. Kemudian setelah tahun 1988, diterbitkan The Annunzio Wylie Act dan Money Laundering Suppression Act 1994. Tahun 2001 terbit lagi suatu aturan hukum anti pencucian uang di Amerika Serikat yang disebut USA Patriot Act 2001.48
Sebagaimana halnya dengan negara-negara lain, Indonesia juga memberi perhatian terhadap tindak pidana lintas negara yang terorganisir (transnational organized crime) seperti pencucian uang (money laundering). Pada tingkat internasional, upaya melawan kejahatan pencucian uang dilakukan dengan adanya pembentukan Financial Action Task Force (FATF) On Money Laundering oleh G-7 dalam salahsatu konferensi bulan Mi 1989 di Paris, di mana peran penting dari FAFT adalah menetapkan kebijakan dan langkah yang diperlukan dalam bentuk rekomendasi untuk mencegah dan memberantas kejahatan pencucian uang dengan mengeluarkan 40 (empat puluh) rekomendasi pencegahan dan pemberantasan pencucian uang serta 8 (delapan) rekomendasi khusus untuk memberantas pendanaan terorisme.
Oleh karena itu, dalam seminar internasional tentang pencucian uang di Jakarta pada tanggal 13 September 2000, pemerintah Indonesia mengumumkan adanya konsep Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Pencucian Uang, yang secara resmi disampaikan pada Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 18 Juni 2001 sehingga disahkan sebagai Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003.
Menurut Guy Stessen terdapat beberapa alasan pencucian uang harus diberantas dan dinyatakan sebagai tindak pidana, yaitu:
Pengaruh pencucian uang pada sistem keuangan dan ekonomi diyakini berdampak negatif bagi perekonomian dunia. Sebagai contoh banyak dana yang bersumber dari kegiatan yang tidak sah dan dapat merugikan masyarakat kurang dimanfaatkan secara optimal. Contoh: dengan membelanjakan uang tersebut dalam bentuk property mewah atau perhiasan yang mahal. Pencucian uang juga dapat mempengaruhi kepercayaan publik terhadap sistem keuangan internasional karena dampak dari pencucian uang tersebut dapat mengurangi kepercayaan publik.
Pengertian lebih terperinci mengenai pencucian uang ini dapat dilihat pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 yaitu:
Pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 mengandung beberapa pembaharuan yang merupakan kerangka hukum baru (a new legal framework) untuk mengatasi sifat khusus kejahatan pencucian uang, diantaranya adalah:
Kejahatan ini merupakan proses lanjutan dari kejahatan lain (dana yang diketahui atau patut diduga berasal dari tindak pidana, korupsi, penyuapan, penyeludupan, perbankan, narkotika, psikotropika, perdagangan budak wanita dan anak, perjudian, dan terorisme.52
Cara menyembunyikan atau menyamarkan dana tersebut akan menyangkut bank dan lembaga keuangan non bank serta akan mempergunakan internet yang merupakan jaringan informasi yang melewati batas-batas negara (the global connection of interconnected computer network spanning state and national
borders); Hal ini mengakibatkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 disahkan sebagai syarat agar investasi luar negeri masuk ke Indonesia.
Implikasi negatif lainnya dari adanya pencucian uang, yaitu:
Membiarkan masyarakat menikmati uang haram, berarti mengizinkan organized crime membangun pondasi usaha yang ilegal dan membiarkan mereke menikmati hasil aktivitasnya. Praktek ini menciptakan kondisi persaingan tidak jujur. Dengan perlakuan yang permisif terhadap pencucian uang, bukankah berarti turut membangun etos persaingan tidak jujur pula? moral bisnis menurun, wibawa hukum merosot drastis. Orientasi materialistik menguat, dan lain sebagainya. Perkembangan praktek ini akan melemahkan kekuatan finansial masyarakat pada umumnya. Angka-angka yang mencerminkan indikator ekonomi makro masyarakat menjadi turun tingkat keterandalannya mengingat semakin banyaknya uang yang berjalan di luar kendali sistem perekonomian pada umumnya.
Permasalahan terletak pada pembuktian unsur keempat dari Pasal 3 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, yaitu unsur" yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana kejahatan". Hakim berpendapat bahwa untuk membuktikan terjadinya tindak pidana pencucian uang harus terlebih dahulu membuktikan unsur keempat termasuk tindak pidana asalnya (predicate crime) dengan disertai 2 (dua) alat bukti karena tidak mungkin mengetahui terjadinya tindak pidana pencucian uang tanpa mengetahui asal-usul uang sebagai suatu hasil kejahatan. Akan tetapi penyidik berpendapat bahwa unsur keempat mengenai tindak pidana asalnya (predicate crime) tidak perlu dibuktikan, cukup hanya membuktikan bahwa uang seseorang tersebut tidak jelas asal-usulnya dan patut diduga hasil kejahatan sehingga tidak diperlukan 2 (dua) alat bukti untuk membuktikannya.
Permasalahan tersebut di atas mendorong peneliti untuk melakukan penelitian tentang "Kejahatan Perdagangan Anak Sebagai Predicate Crime Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang".
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan, yaitu:
1. Bagaimanakah pengaturan praktek kejahatan perdagangan anak sebagai Predicate Crime dalam TPPU?
2. Bagaimanakah penanggulangan kejahatan perdagangan anak?
3. Bagaimanakah bentuk pembaharuan hukum tentang perdagangan anak?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan peneliti dalam penelitian tesis ini adalah:
1. Mengetahui pengaturan praktek kejahatan perdagangan anak sebagai predicate crime dalam TPPU.
2. Mengetahui penanggulangan kejahatan perdagangan anak.
3. Mengetahui bentuk pembaharuan hukum tentang perdagangan anak.
D. Manfaat Penelitian
Secara garis besar manfaat penelitian tesis dapat dilihat secara teoritis dan secara praktis, yaitu:
1. Manfaat Teoritis
a. Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademisi dalam upaya menambah
wawasan ilmu pengetahuan kebijakan kriminal dalam menanggulangi
kejahatan perdagangan anak.
b. Sebagai bahan masukan bagi peradilan jika menghadapi kasus perdagangan
anak di Indonesia, khususnya di X.
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian tesis ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan
dalam menanggulangi kejahatan perdagangan anak.
b. Penelitian tesis ini diharapkan memberikan masukan bagi penyempumaan
perangkat peraturan yang berkaitan dengan perdagangan anak di Indonesia.
E. Keaslian Penelitian
Permasalahan dalam penelitian ini tentang perdagangan anak dan pencucian uanng adalah suatu topik yang relatif berkembang untuk dibahas oleh peneliti.55 Agar tidak terjadi pengulangan suatu penelitian terhadap masalah yang sama, peneliti biasanya akan mengumpulkan data tentang masalah tersebut sebelum melakukan kegiatan ilmiah tersebut.
Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan (library research) terdapat beberapa penelitian khususnya di lingkungan Universitas X X yang membahas tentang tindak pidana pencucian uang, yaitu:
1. Pertanggungjawaban Bank pada Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Transaksi
Mencurigakan.
2. Analisis Yuridis Peran Criminal Justice System terhadap Penanggulangan Tindak
Pidana Pencucian Uang.
3. Peran POLRI Sebagai Penyidik Tindak Pidana Pencucian Uang.
4. Kegagalan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) di Indonesia Ditinjau dari Sistem Pembuktian.
5. Pengaturan Rahasia Bank dalam Penanganan Kejahatan Money Laundering (Pencucian Uang) di Indonesia.
6. Kebijakan Kriminal terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagai Proteksi Peredaran Rupiah dari dalam/Ke Luar Daerah Pabean Republik Indonesia.
Akan tetapi judul tesis berupa "Kejahatan Perdagangan Anak Sebagai Predicate Crime dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang" dengan permasalahannya belum pernah dilakukan oleh peneliti lainnya. Dengan demikian penelitian ini dapat dijamin keasliannya serta dapat dipertanggungj awabkan secara ilmiah.
F. Metode Penelitian
1. Spesifikasi dan Sifat Penelitian
Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, maka sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu mendeskripsikan, menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara analitis permasalahan yang dikemukakan.
Penelitian bersifat deskriptif analisis adalah suatu penelitian yang berusaha menggambarkan fakta dan data-data mengenai praktek kejahatan perdagangan anak, proses terjadinya kejahatan tindak pidana pencucian uang berdasarkan kejahatan asalnya atau predicate crimes, dan pencegahan tindak pidana pencucian uang, kemudian melakukan penyusunan, pengolahan dan penilaian terhadap data-data yang ditemukan sehingga diperoleh gambaran lengkap dan menyeluruh mengenai permasalahan yang diteliti.
Materi penelitian diperoleh melalui pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan hukum dengan melihat peraturan-peraturan, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder atau pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku, buku-buku, literatur, karya ilmiah dan pendapat para ahli dan lain sebagainya.
2. Metode Pengumpulan Data
Pengambilan data skunder dilakukan dengan penelitian kepustakaan (library research).
Adapun data sekunder mencakup:
a) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, terdiri dari Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Penghapusan
Tindak Pidana Perdagangan Orang, KUHP, Peraturan Pemerintah dan lain sebagainya.
b) Bahan hukum skunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku teks, hasil-hasil penelitian dan sebagainya.
c) Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya: kamus, ensiklopedi dan sebagainya.
Sedangkan pengambilan data primer oleh peneliti berupa:
a) Wawancara dengan narasumber, yaitu Staff Lembaga Swadaya Masyarakat Pusat Kajian Perlindungan Anak Kota X.
b) Observasi lapangan.
3. Analisis Data
Salah satu ciri dari penelitian hukum normatif adalah menganalisis data secara kualitatif Pada tahap awal dilakukan pengumpulan data primer dan sekunder, kemudian data dikelompokkan sesuai dengan rumusan masalah yang ditetapkan.