Search This Blog

TESIS EFEKTIFITAS PEMBELAJARAN BERBASIS WEB UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK MAPEL TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI

TESIS EFEKTIFITAS PEMBELAJARAN BERBASIS WEB UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK MAPEL TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI

(KODE : PASCSARJ-0298) : TESIS EFEKTIFITAS PEMBELAJARAN BERBASIS WEB UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK MAPEL TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI (PROGRAM STUDI : PENGEMBANGAN KURIKULUM)



BAB II 
LANDASAN TEORITIS

Dalam Bab ini akan di bahas sejumlah teori yang berkaitan dengan pembelajaran berbasis web. Teori-teori tersebut bertujuan untuk menjelaskan konsep pembelajaran berbasis web yang akan diterapkan dalam proses pembelajaran TIK di SMP. Dengan mengetahui hal itu maka peneliti mengkaji hal-hal yang terkandung dalam pembelajaran seperti dibawah ini. 

A. Hakekat Pembelajaran 

1. Definisi Pembelajaran

Pembelajaran merupakan proses dasar dari pendidikan, dari sanalah lingkup terkecil secara formal yang menentukan dunia pendidikan berjalan baik atau tidak. Pembelajaran merupakan suatu proses menciptakan kondisi yang kondusif agar terjadi interaksi komunikasi belajar mengajar antara guru, peserta didik, dan komponen pembelajaran lainnya untuk mencapai tujuan pembelajaran. Hal tersebut sejalan dengan pandangan Hamalik (2003 : 30) mengatakan bahwa "Pembelajaran sebagai suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur manusia, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran". Kemudian Sudjana (2004 : 28) mengemukakan tentang pengertian pembelajaran bahwa : 
Pembelajaran dapat diartikan sebagai setiap upaya yang sistematik dan sengaja untuk menciptakan agar terjadi kegiatan interaksi edukatif antara dua pihak, yaitu antara peserta didik (warga belajar) dan pendidik (sumber belajar) yang melakukan kegiatan membelajarkan.
Dari pernyataan di atas, pembelajaran pada dasarnya merupakan suatu proses interaksi komunikasi antara sumber belajar, guru dan siswa. Interaksi komunikasi itu dilakukan baik secara langsung dalam kegiatan tatap muka maupun secara tidak langsung dengan menggunakan media, dimana sebelumnya telah menentukan model pembelajaran yang akan diterapkan tentunya. Hakikat pembelajaran di atas haruslah terdapat di dalam setiap komponen pembelajaran termasuk pembelajaran berbasis web yang akan diimplementasikan. Dalam Rusman dkk (2011 : 17) menyatakan bahwa : 
Siswa jangan selalu dianggap sebagai subjek belajar yang tidak tahu apa-apa. Ia memiliki latar belakang, minat, dan kebutuhan, serta kemampuan yang berbeda. Peranan guru tidak hanya terbatas sebagai pengajar (penyampai ilmu pengetahuan), tetapi juga sebagai pembimbing, pengembang, dan pengelola kegiatan pembelajaran yang dapat memfasilitasi kegiatan belajar siswa dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

2. Komponen Pembelajaran

Pelaksanaan pembelajaran merupakan hasil integrasi dari beberapa komponen yang memiliki fungsi tersendiri dengan maksud agar ketercapaian tujuan pembelajaran dapat terpenuhi. Kemudian Rusman dkk (2011 : 41) mengemukakan komponen pembelajaran sebagai berikut : 
ciri utama dari kegiatan pembelajaran adalah adanya interaksi. interaksi yang terjadi antara si belajar dengan lingkungan belajarnya, baik itu dengan guru, teman-temannya, tutor, media pembelajaran, dan atau sumber-sumber belajar yang lain. Sedangkan ciri-ciri lainnya dari pembelajaran ini berkaitan dengan komponen-komponen pembelajaran itu sendiri. Dimana di dalam pembelajaran akan terdapat komponen-komponen sebagai berikut; tujuan, materi/bahan ajar, metode dan media, evaluasi, anak didik/siswa, dan adanya pendidik/guru.
Sebagai sebuah sistem, masing-masing komponen tersebut membentuk sebuah integritas atau satu kesatuan yang utuh. Masing-masing komponen saling berinteraksi yaitu saling berhubungan secara aktif dan saling mempengaruhi. Misalnya dalam menentukan bahan pembelajaran merujuk pada tujuan yang telah ditentukan, serta bagaimana materi itu disampaikan akan menggunakan strategi yang tepat yang didukung oleh media yang sesuai. Dalam menentukan evaluasi pembelajaran akan merujuk pada tujuan pembelajaran, bahan yang disediakan media dan strategi yang digunakan, begitu juga dengan komponen yang lainnya saling bergantung (interdependensi) dan saling menerobos (interpenetrasi).
Penjelasan mengenai komponen-komponen pembelajaran di atas adalah sebagai berikut : 
a. Tujuan, tujuan pendidikan sendiri adalah untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Dengan kata lain, pendidikan merupakan peran sentral dalam upaya mengembangkan sumber daya manusia.
b. Sumber Belajar, diartikan segala bentuk atau segala sesuatu yang ada di luar diri seseorang yang bisa digunakan untuk membuat atau memudahkan terjadinya proses belajar pada diri sendiri atau peserta didik, apapun bentuknya, apapun bendanya, asal bisa digunakan untuk memudahkan proses belajar, maka benda itu bisa dikatakan sebagai sumber belajar.
c. Strategi Pembelajaran, adalah tipe pendekatan yang spesifik untuk menyampaikan informasi, dan kegiatan yang mendukung penyelesaian tujuan khusus. Strategi pembelajaran pada hakikatnya merupakan penerapan prinsip-prinsip psikologi dan prinsip-prinsip pendidikan bagi perkembangan siswa.
d. Media Pembelajaran, merupakan salah satu alat untuk mempertinggi proses interaksi guru dengan siswa dan interaksi siswa dengan lingkungan dan sebagai alat bantu mengajar dapat menunjang penggunaan metode mengajar yang digunakan oleh guru dalam proses belajar. 
e. Evaluasi Pembelajaran, merupakan alat indikator untuk menilai pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan serta menilai proses pelaksanaan mengajar secara keseluruhan. Evaluasi bukan hanya sekedar menilai suatu aktivitas secara spontan dan insidental, melainkan merupakan kegiatan untuk menilai sesuatu secara terencana, sistematik, dan terarah berdasarkan tujuan yang jelas. Komponen pembelajaran adalah penentu dari keberhasilan proses pembelajaran. Komponen-komponen tersebut memiliki fungsi masing-masing dalam setiap perannya dalam proses pembelajaran.

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN AKSELERASI UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN FIQH PADA MAPEL PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMP

TESIS PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN AKSELERASI UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN FIQH PADA MAPEL PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMP

(KODE : PASCSARJ-0297) : TESIS PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN AKSELERASI UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN FIQH PADA MAPEL PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SMP (PROGRAM STUDI : PENGEMBANGAN KURIKULUM)



BAB II
LANDASAN TEORI

A. Konsep Pembelajaran

Pembelajaran merupakan inti dari proses pendidikan. Di dalamnya terjadi interaksi antara berbagai komponen utama pembelajaran, yaitu, isi atau materi pelajaran dan siswa. Interaksi antara ketiga komponen utama melibatkan sarana dan prasarana, seperti metode, media, dan penataan lingkungan tempat belajar, sehingga tercipta suatu proses pembelajaran yang memungkinkan tercapainya tujuan yang telah direncanakan sebelumnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Donald, Mac (dalam Zais, 1976 : 10), bahwa pembelajaran merupakan subsistem dari sistem yang saling berinteraksi, yaitu mengajar, belajar, pembelajaran, dan kurikulum.
Dalam proses pembelajaran, terjadi kegiatan belajar dan mengajar. Menurut Ali (2000 : 13), mengajar pada hakekatnya merupakan upaya guru dalam memberikan kemungkinan kepada siswa agar terjadi proses belajar. Sebagaimana menurut Gagne, dalam Sanjaya, Wina (2008 : 213) : "Instruction is a set of even which affect learners in such a way that learning is facilitated". Maksudnya bahwa hal yang terpenting dalam mengajar bukan upaya guru menyampaikan bahan, tetapi bagaimana siswa secara aktif dapat mempelajari bahan sesuai tujuan.
Menurut Ramayulis (2001 : 72), terdapat unsur-unsur substansial kegiatan pengajaran, yakni meliputi : (a) Pengajaran adalah upaya pemindahan pengetahuan; (b) Pemindahan pengetahuan dilakukan seseorang yang mempunyai pengetahuan (pengajar) kepada orang lain yang belum mengetahui (pelajar) melalui suatu proses belajar dan mengajar.
Pengetahuan yang dipindahkan diperoleh dari dua sumber, sumber Ilahi dan sumber manusiawi. Kedua jenis pengetahuan ini saling melengkapi dan pada hakikatnya, keduanya berasal dari Allah yang menciptakan manusia dan memberinya berbagai potensi untuk bisa memahami dan memperoleh pengetahuan. Pengetahuan yang berasal dari sumber Ilahi ialah pengetahuan yang datang langsung dari Allah melalui wahyu-Nya. Adapun pengetahuan yang berasal dari sumber manusiawi ialah pengetahuan yang dipelajari manusia dari berbagai pengalaman pribadinya dalam kehidupan, juga dalam usahanya dalam menelaah dan memecahkan berbagi problem yang dihadapinya, atau melalui pendidikan dan pengajaran serta penelitian ilmiah (Usman Najati, 1986 : 30).
Belajar merupakan suatu aktivitas mental/psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai dan sikap. Perubahan itu bersifat konstan dan berbekas (Winkel, 1999 : 53), sedangkan menurut Gagne, dkk. (1992 : 6), belajar adalah suatu perubahan tingkah laku manusia atau kemampuan yang dapat dipelihara dari proses hubungan internal dan eksternal dalam situasi belajar yang bukan berasal dari proses pertumbuhan. Orang tidak belajar dalam arti umum tetapi selalu dalam arti perubahan tingkah laku khusus yang dapat diamati. Perubahan telah terjadi, apabila membandingkan tingkah laku individu sebelum ia tempatkan dalam situasi belajar dengan tingkah laku yang dapat diperlihatkan olehnya sesudah belajar.
Pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang melibatkan seseorang dalam memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai positif dengan memanfaatkan berbagai sumber untuk belajar Pembelajaran dapat melibatkan dua pihak yaitu siswa sebagai pembelajar dan guru sebagai fasilitator. Yang terpenting dalam kegiatan pembelajaran adalah terjadinya proses belajar (learning process), sebab sesuatu dikatakan hasil belajar kalau memenuhi beberapa ciri berikut : (1) Belajar sifatnya disadari, dalam hal ini siswa merasa bahwa dirinya sedang belajar, timbul dalam dirinya motivasi-motivasi untuk memiliki pengetahuan yang diharapkan sehingga tahapan-tahapan dalam belajar sampai pengetahuan itu dimiliki secara permanen (retensi) betul-betul disadari sepenuhnya. (2) Hasil belajar diperoleh dengan adanya proses. Dalam hal ini pengetahuan diperoleh tidak secara spontanitas, instant, namun bertahap (sequential). Seorang anak bisa membaca tentu tidak diperoleh hanya dalam waktu sesaat namun berproses cukup lama, kemampuan membaca diawali dengan kemampuan mengeja, mengenal huruf, kata dan kalimat. Seseorang yang tiba-tiba mampu memiliki kecakapan misalnya berlari dengan kecepatan tinggi akibat doping, bukanlah hasil dari kegiatan belajar, namun efek dari obat atau zat kimia yang dikonsumsinya. (3) Belajar membutuhkan interaksi, khususnya interaksi yang sifatnya manusiawi. Seorang siswa akan lebih cepat memiliki pengetahuan karena bantuan dari guru, pelatih atau instruktur. Dalam hal ini terjadi komunikasi dua arah antara siswa dan guru.

B. Model-Model Pembelajaran Pendidikan Agama Islam

Model pembelajaran merupakan suatu rencana mengajar yang memperhatikan pola pembelajaran tertentu, hal ini sesuai dengan pendapat Briggs (1978 : 23) yang menjelaskan model adalah "Seperangkat prosedur dan berurutan untuk mewujudkan suatu proses", dengan demikian model pembelajaran adalah seperangkat prosedur yang berurutan untuk melaksanakan proses pembelajaran. Sedangkan yang dimaksud dengan pembelajaran pada hakekatnya merupakan proses komunikasi transaksional yang bersifat timbal balik, baik antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Komunikasi transaksional adalah bentuk komunikasi yang dapat diterima, dipahami dan disepakati oleh pihak-pihak yang terkait dalam proses pembelajaran sehingga menunjukkan adanya perolehan, penguasaan, hasil, proses atau fungsi belajar bagi peserta belajar.
Joyce (2000 : 28) mengemukakan ada empat rumpun model pembelajaran yakni : (1) rumpun model interaksi sosial, yang lebih berorientasi pada kemampuan memecahkan berbagai persoalan sosial kemasyarakatan. (2) Model pemprosesan informasi, yakni rumpun pembelajaran yang lebih berorientasi pada penguasaan disiplin ilmu. (3) Model pengembangan pribadi, rumpun model ini lebih berorientasi pada pengembangan kepribadian peserta belajar, dan (4) Model behaviorisme yakni model yang berorientasi pada perubahan perilaku.
Berdasarkan kajian yang penulis lakukan terhadap beberapa model pembelajaran yang dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran pendidikan agama Islam, diantaranya adalah : model classroom meeting, cooperative learning, integrated learning, constructive learning, inquiry learning, quantum learning, dan pembelajaran akselerasi (accelerated learning). Pembahasan lebih lanjut terhadap model-model tersebut, disajikan pada bagian berikut ini : 

a. Model Classroom Meeting

Ahli yang menyusun model ini adalah William Glasser. Menurut Glasser dalam Moejiono (1991/1992 : 155) sekolah umumnya berhasil membina prilaku ilmiah, meskipun demikian adakalanya sekolah gagal membina kehangatan hubungan antar pribadi. Kehangatan hubungan pribadi bermanfaat bagi keberhasilan belajar, agar sekolah dapat membina kehangatan hubungan antar pribadi, maka dipersyaratkan : (a) guru memiliki rasa keterlibatan yang mendalam, (b) guru dan siswa harus berani menghadapi realitas, dan berani menolak prilaku yang tidak bertanggung jawab, dan (c) siswa mau belajar cara-cara berperilaku yang lebih baik. Agar siswa dapat membina kehangatan hubungan antara pribadi, guru perlu menggunakan strategi mengajar yang khusus. Karakteristik PAI salah satunya adalah untuk menghantarkan peserta didik agar memiliki kepribadian yang hangat, tegas dan santun, maka model pembelajaran ini dapat dipertimbangkan.

TESIS PENGEMBANGAN MULTIMEDIA BERBASIS KOMPUTER MODEL SIMULASI UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MAPEL TIK SISWA SMP

TESIS PENGEMBANGAN MULTIMEDIA BERBASIS KOMPUTER MODEL SIMULASI UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MAPEL TIK SISWA SMP

(KODE : PASCSARJ-0296) : TESIS PENGEMBANGAN MULTIMEDIA BERBASIS KOMPUTER MODEL SIMULASI UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MAPEL TIK SISWA SMP (PROGRAM STUDI : PENGEMBANGAN KURIKULUM)



BAB II 
KAJIAN TEORITIS

A. Media Pembelajaran

Media pembelajaran memberikan manfaat yang besar bagi dunia pendidikan. Namun demikian, sebagian orang masih bertanya-tanya tentang definisi, kedudukan, manfaat, dan berbagai hal tentang media tersebut. Untuk itu, berikut ini akan dijelaskan tentang definisi, kedudukan, klasifikasi manfaat, prinsip penggunaan media dalam pembelajaran.

1. Pengertian Media Pembelajaran

Sanjaya dalam buku "Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan" (2009 : 163) menjelaskan kata media berlaku untuk berbagai kegiatan atau usaha, seperti media dalam menyampaikan pesan, media pengantar magnet atau panas dalam bidang teknik. Istilah media digunakan juga dalam bidang pengajaran atau pendidikan sehingga istilahnya menjadi media pendidikan atau media pembelajaran.
Media pembelajaran adalah sarana komunikasi dalam proses belajar mengajar yang berupa perangkat keras maupun perangkat lunak untuk mencapai proses dan hasil pembelajaran secara efektif dan efisien, serta tujuan pembelajaran tersebut dapat tercapai dengan mudah (Rohana, 1997 : 4).
Munadi (2008 : 7) mengungkapkan bahwa media pembelajaran dapat dipahami sebagai segala sesuatu yang dapat menyampaikan dan menyalurkan pesan dari sumber secara terencana sehingga tercipta lingkungan belajar yang kondusif di mana penerimanya dapat melakukan proses belajar secara efisien dan efektif.
Secara umum, ada dua konsep atau definisi media pendidikan atau media pembelajaran. Rossi dan Bridle (1966 : 3) mengemukakan bahwa media pembelajaran adalah seluruh alat dan bahan yang dapat dipakai untuk mencapai tujuan pendidikan seperti radio, televisi, buku, koran, majalah buku dan sebagainya. Menurut Rossi alat-alat seperti radio dan televisi kalau digunakan dan diprogramkan untuk pendidikan maka merupakan media pembelajaran.
Namun demikian media bukan hanya berupa alat dan bahan saja, akan tetapi hal-hal yang memungkinkan siswa dapat memperoleh pengetahuan. Gerlach dan Ely (1980 : 244) menyatakan "A medium, conceived is any person, material or even that establish condition which enable the learner to acquire knowledge, skill and attitude." Menurut Gerlach secara umum media itu meliputi orang, bahan, peralatan, atau kegiatan yang menciptakan kondisi yang memungkinkan siswa memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Jadi dalam pengertian ini media bukan hanya alat perantara seperti TV, radio, slide, bahan cetakan tetapi meliputi orang atau manusia sebagai sumber belajar atau juga berupa kegiatan semacam diskusi, seminar, karya wisata, simulasi dan lain sebagainya yang dikondisikan untuk menambah pengetahuan dan wawasan, mengubah sikap siswa, simulasi untuk menambah ketrampilan.
Dari dua pengertian di atas, Sanjaya (2009) menyimpulkan bahwa tampak pengertian kedua yang di kemukakan Gerlach lebih luas dibandingkan dengan pengertian yang pertama.
Pendapat lain mengemukakan bahwa media pengajaran meliputi perangkat keras atau (hardware) dan perangkat lunak (software). Hardware adalah alat yang dapat mengantarkan pesan seperti overhead projector, radio, televisi, dan sebagainya. Sedangkan software adalah isi program yang mengandung pesan seperti informasi yang terdapat pada transparansi atau buku dan bahan-bahan cetakan lainnya, cerita yang terkandung dalam film atau materi yang disuguhkan dalam bentuk bagan, grafik, diagram dan lain sebagainya.
Menurut Heinick, dkk. (1986) mendefinisikan media adalah sesuatu yang membawa informasi antara sumber (source) dan penerima (receiver) informasi. Sedangkan Hamalik (2007) mendefinisikan media sebagai teknik yang digunakan dalam rangka mengefektifkan komunikasi antara guru dan murid dalam proses pendidikan dan pengajaran di sekolah.
Dengan demikian yang dimaksud dengan media pembelajaran adalah suatu "alat, sarana" (cetak elektronik) yang dipergunakan untuk menghubungkan siswa dengan substansi bahan ajar yang bertujuan mengoptimalkan pencapaian kompetensi hasil belajar.

2. Kedudukan Media Dalam Pembelajaran

Kedudukan media dalam pembelajaran sangatlah penting bahkan sejajar dengan metode pembelajaran, karena metode yang digunakan dalam proses pembelajaran akan menuntut media yang disesuaikan dengan kondisi dalam pembelajaran, baik materi, karakteristik siswa dan bahkan jumlah siswa (kelompok besar, kecil atau individual).
PENGARUH IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN PROJECT CITIZEN TERHADAP PENINGKATAN CIVIC KNOWLEDGE SISWA

PENGARUH IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN PROJECT CITIZEN TERHADAP PENINGKATAN CIVIC KNOWLEDGE SISWA

(KODE : PASCSARJ-0295) : TESIS PENGARUH IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN PROJECT CITIZEN TERHADAP PENINGKATAN CIVIC KNOWLEDGE SISWA (PROGRAM STUDI : TEKNOLOGI PENDIDIKAN)



BAB II
KERANGKA TEORI

A. Perspektif Pendidikan Kewarganegaraan


1. Sejarah dan Ruang Lingkup Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia
Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan, secara formal, diawali dengan munculnya mata pelajaran Civics dalam kurikulum SMA tahun 1962. Di dalam Kurikulum tahun 1968 dan 1969 istilah Civics dan Pendidikan Kewarganegaraan digunakan secara bertukar-pakai. Misalnya dalam kurikulum SD 1968 digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang digunakan sebagai nama mata pelajaran, yang di dalamnya tercakup sejarah Indonesia, geografi Indonesia, dan Civics. Di dalam kurikulum SMP 1968 digunakan istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang berisikan sejarah Indonesia dan konstitusi termasuk UUD NRI 1945, sedangkan di dalam kurikulum SMA 1968 mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara berisikan materi terutama berkenaan dengan UUD NRI 1945 (Somantri, 2001 : 285; Winataputra dan Budimansyah, 2007 : 70). Selanjutnya dalam kurikulum 1975 istilah Pendidikan Kewargaan Negara diubah menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang berisikan materi Pancasila sebagaimana diuraikan dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila atau P4. Mata pelajaran PMP ini terus dipertahankan baik istilah maupun isinya sampai dengan berlakunya Kurikulum 1984 yang pada dasarnya merupakan penyempurnaan kurikulum 1975 (Winataputra dan Budimansyah, 2007 : 70).
Jika melihat perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan di atas, maka substansi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan pada periode-periode di atas bertumpu pada falsafah negara Pancasila dan doktrin-doktrin politik kontemporer. Namun demikian, apabila disimak lebih dalam terdapat perbedaan dalam cara mengejawantahkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar Pancasila sealur dengan orientasi dan kepentingan politik masing-masing rezim. Orientasi dan kepentingan politik rezim penguasa telah mewarnai arah, isi, misi, dan implementasi Pendidikan Kewarganegaraan pada zamannya masing-masing. Implikasinya dapat dilihat dari pendekatan pedagogisnya, yakni Pendidikan Kewarganegaraan yang cenderung bersifat dogmatis-doktriner dengan tekanan yang terlalu berlebihan pada proses penanaman nilai (Wahab, 2006 : 61; Winataputra dan Budimansyah, 2007 : 97).
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 pasal 37 dinyatakan bahwa : "Pendidikan Kewarganegaraan wajib dimuat dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah dan pendidikan tinggi". Penjelasan pasal 37 ayat (1) Pendidikan Kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Hal ini berarti bahwa Pendidikan Kewarganegaraan di berbagai jenjang pendidikan harus tetap ditingkatkan dan dikembangkan untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan mewujudkan warga negara yang berjiwa patriotisme dan dapat diandalkan oleh bangsa dan negara. Pendidikan Kewarganegaraan yang diajarkan pada tingkat persekolahan mempunyai peranan penting yang strategis, di antaranya adalah memberikan bekal kemampuan kepada peserta didik untuk dapat melaksanakan dengan baik apa yang menjadi hak-hak dan kewajibannya. 
Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi perubahan paradigma dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, seiring dengan munculnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 yang mencantumkan tujuan pendidikan nasional adalah untuk : "... berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."
Pendidikan Kewarganegaraan dalam paradigma baru mengusung tujuan utama mengembangkan "civic competences" yakni civic knowledge (pengetahuan dan wawasan kewarganegaraan), civic disposition (nilai, komitmen, dan sikap kewarganegaraan), dan civic skills (perangkat keterampilan intelektual, sosial, dan personal kewarganegaraan) yang seyogyanya dikuasai oleh setiap individu warga negara (Winataputra, 2001 : 317-318). Ketiga komponen tersebut secara konseptual dan teoretik sejak tahun 1994 telah diajukan oleh Center for Civic Education dalam National Standards for Civics and Government (Branson, 1999 : 8-25), akan tetapi baru lebih banyak terakomodir dalam Kurikulum 2006 yang berbasis kompetensi. Hal ini bisa dilihat pada pengertian, tujuan dan ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dalam perangkat Kurikulum 2006.
Berdasarkan Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah disebutkan bahwa mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD NRI 1945. Tujuan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dalam Depdiknas (2006 : 49) adalah untuk memberikan kompetensi sebagai berikut :
a. Berpikir kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu Kewarganegaraan.
b. Berpartisipasi secara cerdas dan tanggung jawab, serta bertindak secara sadar dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
c. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat di Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain.
d. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam peraturan dunia secara langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Ruang lingkup Civic Education (Sumantri, 1975 : 33), antara lain : (a) Civic Education meliputi seluruh program dari sekolah; (b) Civic Education meliputi berbagai macam kegiatan belajar mengajar, yang dapat menumbuhkan hidup dan tingkah laku yang lebih baik dalam masyarakat demokratis dan (c) Dalam Civic Education termasuk pula hal-hal yang menyangkut, pengalaman, kepentingan masyarakat, pribadi dan syarat-syarat objektif hidup bernegara. Sedangkan ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dalam Kurikulum 2006 meliputi aspek-aspek sebagai berikut.
a. Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi : Hidup rukun dalam perbedaan, cinta lingkungan, kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, partisipasi dalam pembelaan negara, sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keterbukaan dan jaminan keadilan.
b. Norma, hukum dan peraturan, meliputi : Tertib dalam kehidupan keluarga, tata tertib di sekolah, norma yang berlaku di masyarakat, peraturan- peraturan daerah, norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sistem hukum dan peradilan nasional, hukum dan peradilan internasional.
c. Hak asasi manusia meliputi : Hak dan kewajiban anak, hak dan kewajiban anggota masyarakat, instrumen nasional dan internasional HAM, pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM.
d. Kebutuhan warga negara meliputi : Hidup gotong royong, harga diri sebagai warga masyarakat, kebebasan berorganisasi, kemerdekaan mengeluarkan pendapat, menghargai keputusan bersama, prestasi diri, persamaan kedudukan warga negara.
e. Konstitusi negara meliputi : Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama, konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, hubungan dasar negara dengan konstitusi.
f. Kekuasaan dan Politik, meliputi : Pemerintahan desa dan kecamatan, pemerintahan daerah dan otonomi, pemerintah pusat, demokrasi dan sistem politik, budaya politik, budaya demokrasi menuju masyarakat madani, sistem pemerintahan, pers dalam masyarakat demokrasi.
g. Pancasila meliputi : Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka.
h. Globalisasi meliputi : Globalisasi di lingkungannya, politik luar negeri Indonesia di era globalisasi, dampak globalisasi, hubungan internasional dan organisasi internasional, dan mengevaluasi globalisasi.
Dari uraian di atas, nampak bahwa komponen yang hendak dikembangkan melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah komponen civic knowledge (pengetahuan kewarganegaraan), komponen civic skills (keterampilan berpikir kritis, rasional, kreatif dan keterampilan berpartisipasi dan bertanggung jawab dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara), civic disposition (berkembang demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter masyarakat Indonesia, dan berinteraksi dengan bangsa lain di era globalisasi). Hal ini mengindikasikan bahwa mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan itu diharapkan bermakna bagi kehidupan siswa.
SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN SKABIES PADA SANTRI DI PONDOK PESANTREN

SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN SKABIES PADA SANTRI DI PONDOK PESANTREN

(KODE : KEPRAWTN-0080) : SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN SKABIES PADA SANTRI DI PONDOK PESANTREN



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pesantren atau Pondok Pesantren adalah sekolah Islam berasrama {Islamic boarding school) dan pendidikan umum yang persentase ajarannya lebih banyak ilmu-ilmu pendidikan agama Islam daripada ilmu umum. Para pelajar pesantren disebut sebagai santri belajar pada sekolah ini, sekaligus tinggal pada asrama yang disediakan oleh pesantren. Biasanya pesantren dipimpin oleh seorang kyai. Untuk mengatur kehidupan pondok pesantren, kyai menunjuk seorang santri senior untuk mengatur adik-adik kelasnya, mereka biasanya disebut Lurah Pondok (Ponpes, 2008).
Pendidikan di dalam pesantren bertujuan untuk memperdalam pengetahuan tentang al-Qur'an dan Sunnah Rasul, dengan mempelajari bahasa Arab dan kaidah-kaidah tata bahasa Arab. Sebagai institusi sosial, pesantren telah memainkan peranan yang penting dalam beberapa negara, khususnya beberapa negara yang banyak pemeluk agama Islam di dalamnya. Pesantren menekankan nilai-nilai dari kesederhanaan, keikhlasan, kemandirian, dan pengendalian diri. Para santri dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka, agar dapat meningkatkan hubungan dengan kyai dan juga Tuhan (Ponpes, 2008).
Selama tinggal berpisah dengan orang tua maka santri akan tinggal bersama-sama dengan teman-teman dalam satu asrama, kehidupan berkelompok yang akan dijalani dengan berbagai macam karakteristik para santri dan dalam kehidupan berkelompok masalah yang dihadapi adalah pemeliharaan kebersihan, yaitu kebersihan kulit, kebersihan tangan dan kuku, kebersihan genitalia, kebersihan kaki, kebersihan lingkungan dan kebersihan pakaian (Badri, 2008).
Perilaku hidup bersih dan sehat terutama kebersihan perseorangan di pondok pesantren pada umumnya kurang mendapatkan perhatian dari santri (Depkes, 2007). Tinggal bersama dengan sekelompok orang seperti di pesantren memang berisiko mudah tertular berbagai penyakit kulit, khususnya penyakit skabies. Penularan terjadi bila kebersihan pribadi dan lingkungan tidak terjaga dengan baik. Faktanya, sebagian pesantren tumbuh dalam lingkungan yang kumuh, tempat mandi dan WC yang kotor, lingkungan yang lembab, dan sanitasi buruk (Badri, 2008). Ditambah lagi dengan perilaku tidak sehat, seperti menggantung pakaian di kamar, tidak membolehkan pakaian santri wanita dijemur di bawah terik matahari, dan saling bertukar pakai benda pribadi, seperti sisir dan handuk (Depkes, 2007)
Hal inilah umumnya menjadi penyebab timbulnya penyakit skabies. Faktor yang mempengaruhi penularan penyakit skabies adalah sosial ekonomi yang rendah, kebersihan perseorangan yang buruk, , perilaku yang tidak mendukung kesehatan, hunian yang padat, tinggal satu kamar, ditambah kebiasaan saling bertukar pakaian, handuk, dan perlengkapan pribadi meningkatkan risiko penularan (Badri, 2008).
Survey yang diperoleh dari pesantren Poliklinik X tiap tahunnya angka kejadian penyakit scabies pada santri tetap terjadi dari tahun ke tahun (Ponpes, 2008). Terdapat kejadian penyakit scabies 85 kasus pada tahun 2006, dan 92 kasus pada tahun 2007, serta 78 kasus pada tahun 2008.
Kejadian penyakit skabies di sebuah pondok pesantren di Jakarta mencapai 78,70%, di kabupaten Pasuruan kejadian penyakit skabies sebesar 66,70% (Depkes, 2000). Kejadian penyakit skabies tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kejadian penyakit skabies di negara berkembang yang hanya 6-27% atau prevalensi penyakit skabies di Indonesia sebesar 4,60-12,95% saja (Kuspriyanto, 2002).
Kebanyakan santri yang terkena penyakit skabies adalah santri baru yang belum dapat beradaptasi dengan lingkungan, sebagai santri baru yang belum tahu kehidupan di pesantren membuat mereka luput dari kesehatan, mandi secara bersama-sama, saling tukar pakaian, handuk, dan sebagainya yang dapat menyebabkan tertularnya penyakit skabies (Ponpes, 2008). Berdasarkan pemaparan tersebut diatas, perlu dilakukan penelitian tentang "FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN SKABIES PADA SANTRI DI PONDOK PESANTREN X".

B. Pertanyaan Penelitian

Faktor-faktor apa sajakah yang dapat mempengaruhi kejadian skabies pada santri di Pondok Pesantren X.

C. Tujuan Penelitian

Mengidentifikasi gambaran faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kejadian skabies pada santri di pesantren.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Praktisi Keperawatan
Hasil penelitian ini merupakan fakta yang dapat digunakan sebagai informasi tambahan tentang perawatan diri dan dapat mendeteksi lebih dini faktor-faktor terjadinya skabies.
2. Bagi Santri
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi para santri dan pengelola pesantren X tentang adanya resiko kejadian skabies dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
SKRIPSI HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI

SKRIPSI HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI

(KODE : KEPRAWTN-0079) : SKRIPSI HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberi perawatan langsung pada setiap keadaan sehat-sakit klien (Yosep, 2007). Keluarga merupakan bagian dari manusia yang setiap hari selalu berhubungan dengan kita. Keadaan ini perlu kita sadari sepenuhnya bahwa setiap individu merupakan bagiannya dan keluarga juga semua dapat diekspresikan tanpa hambatan yang berarti (Suprajitno, 2004).
Kecemasan merupakan perasaan yang paling umum dialami oleh pasien yang dirawat di rumah sakit, kecemasan yang sering terjadi adalah apabila pasien yang dirawat di rumah sakit harus mengalami proses pembedahan. Pembahasan tentang reaksi-reaksi pasien terhadap pembedahan sebagian besar berfokus pada persiapan pembedahan dan proses penyembuhan. Pembedahan adalah tindakan pengobatan yang banyak menimbulkan kecemasan, sampai saat ini sebagian besar orang menganggap bahwa semua pembedahan yang dilakukan adalah pembedahan besar. Tindakan pembedahan merupakan ancaman potensial aktual terhadap integritas seseorang yang dapat membangkitkan reaksi stres fisiologis maupun psikologis (Long 1990).
Pandangan setiap orang dalam menghadapi pre operasi berbeda, sehingga respon pun berbeda. Setiap menghadapi pre operasi selalu menimbulkan ketakutan dan kecemasan pada pasien. (Stuart dan Sundeen, 1998). Seseorang yang sangat cemas sehingga tidak bisa berbicara dan mencoba menyesuaikan diri dengan kecemasan sebelum operasi, seringkali menjadi hambatan pada pasca operasi, pasien menjadi cepat marah, bingung, lebih mudah tersinggung akibat reaksi psikis, dibandingkan dengan orang yang cemas ringan (Long, 1996).
Menurut Brunner & Suddarth (1996) ansietas pre operasi merupakan suatu respons antisipasi terhadap suatu pengalaman yang dapat dianggap pasien sebagai suatu ancaman terhadap perannya dalam hidup, integritas tubuh, atau bahkan kehidupannya itu sendiri. Pasien yang menghadapi pembedahan dilingkupi oleh ketakutan akan ketidaktahuan, kematian, tentang anestesia, kekhawatiran mengenai kehilangan waktu kerja dan tanggung jawab mendukung keluarga.
Menurut Friedman (1998), dukungan yang diberikan keluarga untuk mengurangi kecemasan pasien itu sendiri adalah dukungan informasional, dimana keluarga memberikan nasehat, saran, dukungan jasmani maupun rohani. Dukungan emosional juga diberikan keluarga, yang meliputi dukungan yang diwujudkan dalam bentuk afeksi, adanya kepercayaan, perhatian, mendengarkan dan didengarkan. Dukungan lainnya adalah dukungan penilaian dan dukungan instrumental.
Pasien dapat mengekspresikan ketakutan dan kecemasannya pada keluarga dengan mengurangi kecemasan dan ketakutan yang berlebihan dan tidak beralasan, akan mempersiapkan pasien secara emosional. Selain itu, mempersiapkan keluarga terhadap kejadian yang akan dialami pasien dan diharapkan keluarga banyak memberi dukungan pada pasien dalam menghadapi operasi (Anderson dan Masur, 1990).
Dari survey awal yang dilakukan oleh peneliti di ruangan RB2 RS X, peneliti merasa hal ini penting untuk di teliti karena dari data yang diperoleh oleh peneliti di lapangan, masih banyak pasien pre operasi yang merasa cemas saat akan menghadapi operasi karena tidak mendapat dukungan dari keluarga. Untuk itu, dukungan keluarga sangat dibutuhkan oleh pasien yang akan menghadapi operasi.
Berdasarkan uraian diatas, maka perhatian terhadap hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan pasien pre operasi perlu ditingkatkan. Apabila dukungan keluarga tidak ada maka akan menyebabkan dampak psikologis terhadap pasien tersebut. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk melihat adakah hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan pasien pre operasi.

B. Rumusan Masalah

Dari berbagai uraian latar belakang tersebut diatas maka akan timbul masalah sebagai berikut : "Adakah hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan pasien pre operasi di ruangan RB 2 rumah sakit X ?"

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi sejauh mana hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan pasien pre operasi.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi karakteristik responden.
b. Mengidentifikasi dukungan keluarga.
c. Mengidentifikasi tingkat kecemasan pasien pre operasi.
d. Mengkaji hubungan dukungan keluarga dan tingkat kecemasan pasien pre operasi.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Instansi Pendidikan
Mengoptimalkan fungsi perawat dalam penatalaksanaan asuhan keperawatan kepada pasien yang mengalami kecemasan, tanpa mengabaikan aspek-aspek psikologis, sehingga profesionalisme perawat dalam bekerja dapat ditingkatkan lagi dan operasi berjalan dengan lancar.
2. Bagi Rumah sakit
Dapat dipakai sebagai masukan untuk meningkatkan pelayanan keperawatan di rumah sakit khususnya pada pasien yang mengalami kecemasan pre operasi.
3. Penelitian Berikutnya
Sebagai sumber data dan informasi bagi pengembangan penelitian berikutnya dalam ruang lingkup yang sama.
SKRIPSI HUBUNGAN KARAKTERISTIK DAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG TERAPI DIET PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN KETERKENDALIAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA

SKRIPSI HUBUNGAN KARAKTERISTIK DAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG TERAPI DIET PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN KETERKENDALIAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA

(KODE : KEPRAWTN-0078) : SKRIPSI HUBUNGAN KARAKTERISTIK DAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG TERAPI DIET PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN KETERKENDALIAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Sedangkan menurut World Health Organization (WHO) secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin (Soegondo, 2008).
Meningkatnya prevalensi diabetes melitus di beberapa negara berkembang, disebabkan karena adanya peningkatan pendapatan perkapita dan perubahan gaya hidup terutama di kota-kota besar, menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung koroner (PJK), hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan lain-lain (Suyono, 2007).
Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), memprediksi kenaikan jumlah penderita DM dari 177 juta jiwa pada tahun 2000 menjadi 366 juta pada tahun 2030. Untuk Indonesia, WHO memprediksi kenaikan jumlah penderita dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Indonesia menempati urutan ke 4 di dunia sebagai negara dengan jumlah penderita diabetes melitus terbanyak setelah India, China dan Amerika Serikat (AS).
Sedangkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, diperoleh bahwa proporsi penyebab kematian akibat DM pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan menduduki ranking ke-2 yaitu 14,7% dan daerah pedesaan, DM menduduki ranking ke-6 yaitu 5,8%.
Melihat tendensi kenaikan kekerapan diabetes secara global, terutama disebabkan oleh karena peningkatan kemakmuran suatu populasi, maka dengan demikian dapat dimengerti bila dalam kurun waktu 1 atau 2 dekade yang akan datang kekerapan diabetes melitus di Indonesia akan meningkat dengan drastis (Suyono, 2007).
Hal ini harus mendapat perhatian dari berbagai pihak baik dokter, ahli gizi, perawat, pasien itu sendiri dan keluarga karena diabetes merupakan penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup, maka bila diabaikan akan menimbulkan berbagai komplikasi akut seperti ketoasidosis diabetik, hiperosmolar non ketotik, hipoglikemia dan komplikasi kronik seperti penyakit jantung koroner, retinopati diabetik, nefropati diabetik dan neuropati (Suyono, 2006).
Untuk mencegah terjadinya komplikasi tersebut di perlukan pencapaian keterkendalian kadar glukosa (gula) darah yaitu melalui pengaturan menu makanan yang diiringi dengan pengobatan secara medik, olahraga, dan pola hidup sehat (Krisnatuti, 2008). Ditemukan adanya hubungan antara faktor diet dan pola hidup dengan pengendalian diabetes. Gizi khususnya diet (perencanaan makan) diabetes melitus merupakan salah satu pilar utama pengelolaan diabetes melitus (Suyono, Syahbudin, dkk, 2007). Dengan mempertimbangkan jumlah kebutuhan kalori dan keteraturan makan yang dibutuhkan, tujuan pengaturan menu akan tercapai.
Pengelolaan diet diabetes secara holistik dan mandiri selama hidup melalui edukasi berupa penyuluhan dapat meningkatkan kualitas hidup dan mencegah komplikasi akut dan komplikasi kronik yang sering menyebabkan cacat bahkan kematian (Suyono, Syahbudin, dkk, 2007).
Setelah penderita diberikan penyuluhan diharapkan pengetahuan penderita terhadap penyakitnya dan pengelolaannya meningkat, sehingga diasumsikan penderita memiliki motivasi dan menunjukkan perilaku dalam menerapkan terapi diet dalam kehidupannya sehari-hari untuk mengontrol kadar glukosa darahnya agar tercapai keterkendalian kadar glukosa darah.
Berdasarkan hasil uraian diatas mendorong peneliti untuk mengetahui. "HUBUNGAN KARAKTERISTIK DAN TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG TERAPI DIET PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 DENGAN KETERKENDALIAN KADAR GLUKOSA DARAH PUASA".

B. Perumusan Masalah

Angka kekerapan diabetes melitus semakin meningkat secara global dari tahun ke tahun, 90% merupakan diabetes melitus tipe 2 (DM tipe 2). Diabetes melitus merupakan penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup, maka bila diabaikan akan menimbulkan berbagai komplikasi akut maupun kronik. Untuk mencegah terjadinya komplikasi tersebut di perlukan pencapaian keterkendalian kadar glukosa (gula) darah, salah satu pilar penatalaksanaan DM yang utama yaitu melalui terapi diet (perencanaan makan). Pengetahuan yang baik terhadap perencanaan makan sangat diperlukan sehingga diharapkan penderita DM memiliki motivasi dan menunjukkan perilaku dalam menerapkan terapi diet dalam kehidupannya sehari-hari untuk mengontrol kadar glukosa darahnya agar tercapai keterkendalian kadar glukosa darah.

C. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka pertanyaan penelitian dalam penelitian ini, adalah "Adakah Hubungan Karakteristik dan Tingkat Pengetahuan Tentang Terapi Diet Pasien Diabetes Melitus tipe 2 dengan Keterkendalian Kadar Glukosa Darah Puasa".

D. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan karakteristik dan tingkat pengetahuan tentang terapi diet pasien diabetes melitus tipe 2 dengan keterkendalian kadar gula darah puasa.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui karakteristik (umur, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan) pasien diabetes melitus tipe 2.
b. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan pasien diabetes melitus tipe 2 tentang terapi diet diabetes.
c. Untuk mengetahui hubungan karakteristik pasien diabetes melitus tipe 2 dengan keterkendalian kadar glukosa darah puasa.
d. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan kebutuhan kalori terapi diet pasien diabetes melitus tipe 2 dengan keterkendalian kadar gula darah puasa.
e. Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan keteraturan makan terapi diet pasien diabetes melitus tipe 2 dengan keterkendalian kadar gula darah puasa.

E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara praktis sebagai berikut:
1. Bagi penderita, untuk menambah wawasan dan pengetahuan penderita diabetes melitus tipe 2 mengenai penyakit dan cara pengelolaan terapi diet, sehingga timbul dorongan dari penderita untuk melaksanakan terapi diet.
2. Bagi Institusi pendidikan, penelitian ini diharapkan menjadi penyediaan data dasar yang dapat digunakan untuk penelitian lebih lanjut khususnya mengenai penyakit diabetes melitus.
3. Bagi puskesmas untuk memberikan masukan perencanaan dan pengembangan pelayanan kesehatan pada penderita diabetes melitus tipe 2 dalam peningkatan kualitas pelayanan khususnya edukasi mengenai pengelolaan terapi diet di Puskesmas Kecamatan X.
4. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk belajar melakukan penelitian dan mengaplikasikan ilmu yang sudah di dapat khususnya dalam bidang CRP (Communication Research Program).
SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU TERHADAP PENYAKIT KECACINGAN PADA SISWA SD

SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU TERHADAP PENYAKIT KECACINGAN PADA SISWA SD

(KODE : KEPRAWTN-0077) : SKRIPSI HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU TERHADAP PENYAKIT KECACINGAN PADA SISWA SD


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam rangka mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri serta sejahtera lahir batin, pembangunan kesehatan ditujukan untuk mewujudkan manusia yang sehat, produktif dan mempunyai daya saing yang tinggi. Salah satu ciri bangsa yang maju adalah bangsa yang mempunyai derajat kesehatan yang tinggi dengan mutu kehidupan yang tinggi pula. Pada Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PJP II) pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan kualitas sumber daya manusia (Depkes RI, 1998)
Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan, salah satu diantaranya ialah cacing perut yang ditularkan melalui tanah. Cacingan ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktifitas penderitanya sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian, karena menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah, sehingga menurunkan kualitas sumber daya manusia. Prevalensi cacingan di Indonesia pada umumnya masih sangat tinggi, terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu mempunyai resiko tinggi penyakit ini.
Penyakit kecacingan adalah penyakit yang disebabkan oleh karena masuknya parasit (berupa cacing) ke dalam tubuh manusia. Jenis cacing yang sering ditemukan menimbulkan infeksi adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura), dan cacing tambang (Necator americanus) yang ditularkan melalui tanah (Soil Transmitted Helminthiasis) (Srisasi Gandahusada, 2006).
Penyakit cacingan tersebar luas, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Angka infeksi tinggi, tetapi intensitas infeksi (jumlah cacing dalam perut) berbeda. Hasil survei Cacingan di Sekolah dasar di beberapa provinsi menunjukkan prevalensi sekitar 60%-80%, sedangkan untuk semua umur berkisar antara 40%-60%.
Penelitian epidemiologi telah dilakukan hampir di seluruh Indonesia, terutama pada anak-anak sekolah dan umumnya didapatkan angka prevalensi tinggi yang bervariasi. Prevalensi askariasis di propinsi DKI Jakarta adalah 4-91%, Jabar 20-90%, Yogyakarta 12-85%, Jatim 16-74%, Bali 40-95%, NTT 10-75%, Sumut 46-75%, Sumbar 2-71%, Sumsel 51-78%, Sulut 30-72%. Bila menurut golongan umur, askariasis lebih banyak ditemukan pada anak-anak, prevalensi kecacingan anak balita juga lebih rendah dibandingkan golongan umur lain, mungkin disebabkan anak balita relatif lebih sedikit tercemar infeksi.
Ascariasis pada manusia muncul di kedua lingkungan yang sedang dan tropis. Prevalensi rendah terdapat pada iklim yang kering, tetapi tinggi di kondisi yang basah dan hangat yang mana kondisi ini cocok untuk telur dan embrionisasi. Kepadatan, ekonomi lemah, rendah higienitas lingkungan dan suplai air dapat menyebabkan naiknya infeksi cacing ini. Prevalensi Ascaris lumbricoides adalah 16,5%. Paling tertinggi prevalensinya terutama pada golongan anak kecil antara 11-15 tahun sekitar 3,7%. Dan pada grup 15 tahun atau ke bawah bisa mencapai 5,3% . Pada rentang umur 6-10, 11-15 dan 16-20 tahun 3,5%, 5,4% dan 3,5% didapatkan menderita malnutrisi dari ringan sampai sedang.
Anak usia sekolah merupakan golongan masyarakat yang diharapkan dapat tumbuh menjadi sumber daya manusia yang potensial di masa akan datang sehingga perlu diperhatikan dan disiapkan untuk dapat tumbuh sempurna baik fisik dan intelektualnya. Dalam hubungan dengan infeksi kecacingan, beberapa penelitian ternyata menunjukkan bahwa anak usia sekolah merupakan golongan yang sering terkena infeksi kecacingan karena sering berhubungan dengan tanah (Depkes RI, 2004).
Perilaku seseorang dapat tumbuh dipengaruhi oleh pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman, sehingga hal tersebut dapat memunculkan sikap dan tindakan terhadap nilai-nilai yang baik dan salah satunya adalah nilai kesehatan. Kurangnya pengetahuan anak tentang infeksi cacingan merupakan faktor dasar seorang anak berperilaku. Keadaan sanitasi yang belum memadai, keadaan sosial ekonomi yang masih rendah dan kebiasaan manusia mencemari lingkungan dengan tinjanya sendiri, didukung oleh iklim yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan cacing merupakan beberapa faktor penyebab tingginya prevalensi infeksi cacing usus yang ditularkan melalui tanah di Indonesia. Selain itu bahwa infeksi cacingan pada manusia dipengaruhi oleh perilaku, lingkungan tempat tinggal dan manipulasi terhadap lingkungan, misalnya tidak tersedianya air bersih dan tempat pembuangan faeces yang tidak memenuhi syarat kesehatan.
Berdasarkan permasalahan diatas maka peneliti tertarik melakukan penelitian tentang HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU TERHADAP PENYAKIT CACINGAN PADA SISWA SEKOLAH DASAR.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka penulis ingin mengetahui beberapa permasalahan, yaitu :
1. Adakah hubungan antara pengetahuan siswa kelas V terhadap penyakit kecacingan?
2. Adakah hubungan antara sikap siswa kelas V terhadap penyakit kecacingan?
3. Adakah hubungan antara perilaku siswa kelas V terhadap penyakit kecacingan?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan pengetahuan, sikap dan perilaku terhadap penyakit kecacingan pada siswa kelas V di SD X.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui hubungan antara pengetahuan siswa kelas V terhadap penyakit kecacingan
b. Mengetahui hubungan antara sikap siswa kelas V terhadap penyakit kecacingan.
c. Mengetahui hubungan antara perilaku siswa kelas V terhadap penyakit kecacingan.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Siswa Sekolah Dasar
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan tambahan kepada siswi sekolah dasar tentang penyakit cacingan dan cara pencegahannya sehingga dapat terhindar dari faktor resiko penyebab penyakit cacingan.
2. Bagi Institusi Sekolah
a. Bagi pihak guru penelitian ini dapat dijadikan sebagai media informasi tentang pentingnya pendidikan kesehatan diajarkan sejak dini pada anak usia sekolah.
b. Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi pada pihak sekolah maupun staf pengajar di SD dalam pelaksanaan UKS yang berkaitan dengan perilaku anak yang beresiko untuk terpapar faktor penyebab penyakit terutama penyakit cacingan.
c. Penelitian ini nantinya akan memperkuat bukti bahwa pendidikan kesehatan yang diberikan sejak dini pada anak-anak dapat mencegah terjadinya penyakit terutama penyakit cacingan.
3. Bagi Dinas Kesehatan
a. Sebagai tambahan informasi dan bahan masukan dalam upaya pencegahan masalah kesehatan khususnya penyakit cacingan.
b. Dapat memberikan gambaran tentang masalah kesehatan yang terjadi pada anak usia sekolah khususnya tentang penyakit cacingan, sehingga pemerintah lebih tepat dalam mengambil kebijakan-kebijakan guna mengatasi permasalahan tersebut.
4. Bagi Peneliti
Penelitian ini dapat juga sebagai bahan penelitian selanjutnya, serta merupakan proses yang bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IBU DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN MEMILIH PENOLONG PERSALINAN

SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IBU DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN MEMILIH PENOLONG PERSALINAN

(KODE : KEPRAWTN-0076) : SKRIPSI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IBU DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN MEMILIH PENOLONG PERSALINAN




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mortalitas dan morbiditas pada wanita hamil dan bersalin merupakan masalah yang besar di negara miskin dan berkembang seperti Indonesia. Sebagian besar kematian perempuan disebabkan komplikasi karena hamil, bersalin dan nifas. Namun demikian banyak faktor yang membuat teknologi kesehatan kurang dapat diterapkan ditingkat masyarakat diantaranya ketidaktahuan, kemiskinan, rendahnya status sosial ekonomi perempuan, terbatasnya kesempatan memperoleh informasi dan kelangkaan pelayanan kesehatan yang peka terhadap kebutuhan perempuan juga berperan terhadap situasi ini, sedangkan pengetahuan baru, hambatan membuat keputusan, terbatasnya akses memperoleh pendidikan yang tidak memadai.
Persalinan dan kelahiran merupakan kejadian fisiologi yang normal dalam kehidupan. Kelahiran seorang bayi juga merupakan peristiwa sosial bagi ibu dan keluarga. Dimana peranan ibu adalah melahirkan bayinya, sedangkan peranan keluarga adalah memberikan bantuan dan dukungan pada ibu ketika terjadi proses persalinan. Dalam hal ini peranan petugas kesehatan tidak kalah penting dalam memberikan bantuan dan dukungan pada ibu agar seluruh rangkaian proses persalinan berlangsung dengan aman baik bagi ibu maupun bagi bayi yang dilahirkan (Sumarah, dkk, 2009).
Angka kematian ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk melihat derajat kesehatan perempuan. Angka kematian ibu juga merupakan salah satu target yang telah ditentukan untuk mencapai sasaran Millennium Development Goals (MDGs) yaitu Angka Kematian Ibu (AKI) sebesar 102/100.000 Kelahiran Hidup (KH) dan Angka Kematian Bayi (AKB) menjadi 23/1.000 Kelahiran Hidup (KH) pada 2015. Di negara miskin, sekitar 25-50% kematian wanita usia subur disebabkan oleh masalah yang berkaitan dengan kehamilan, persalinan, dan nifas. WHO memperkirakan diseluruh dunia setiap tahunnya lebih dari 585.000 meninggal saat hamil atau persalinan (Depkes RI, 2010).
Berdasarkan hasil SDKI Tahun 2007 derajat kesehatan ibu dan anak di Indonesia masih perlu ditingkatkan, ditandai oleh Angka Kematian Ibu (AKI) (KH) dan Tahun 2008, 4.692 jiwa ibu melayang di masa kehamilan, persalinan, dan nifas. Kementerian kesehatan telah melakukan berbagai upaya percepatan penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) antara lain mulai Tahun 2010 meluncurkan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) ke Puskesmas di Kabupaten Kota yang di fokuskan pada kegiatan preventif dan promotif dalam program kesehatan ibu dan anak. Kematian ibu disebabkan oleh perdarahan, tekanan darah yang tinggi saat hamil (Eklampsia), infeksi, persalinan macet dan komplikasi keguguran. Sedangkan penyebab langsung kematian bayi adalah Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan kekurangan Oksigen (asfiksia). Penyebab tidak langsung kematian ibu dan bayi baru lahir adalah karena kondisi masyarakat seperti pendidikan, sosial ekonomi, dan budaya. Kondisi geografi serta keadaan sarana pelayanan yang kurang siap ikut memperberat permasalahan ini. (Depkes RI, 2010).
Menteri kesehatan menambahkan salah satu upaya terobosan dan terbukti mampu meningkatkan indikator proksi (persalinan oleh tenaga kesehatan) dalam penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) adalah Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K). Sedangkan data Riskesdas 2010 memperlihatkan bahwa persalinan di fasilitas 55,4% dan masih ada persalinan yang dilakukan di rumah (43,2%). Pada kelompok ibu yang melahirkan di rumah ternyata baru 51,9% persalinan ditolong oleh bidan, sedangkan yang ditolong oleh dukun masih 40,2% (Depkes RI, 2010).
Beberapa hal tersebut mengakibatkan 3 kondisi terlambat yaitu (terlambat mengambil keputusan di tingkat keluarga, terlambat sampai ditempat pelayanan, dan terlambat mendapatkan pertolongan yang adekuat) dan 4 kondisi terlalu muda (dibawah 20 tahun), terlalu tua (diatas 35 tahun), terlalu dekat (jarak melahirkan kurang dari 2 tahun), terlalu banyak (lebih dari 4 kali). Keterlambatan pengambilan keputusan ditingkat keluarga dapat dihindari apabila ibu dan keluarga mengetahui tanda bahaya kehamilan dan persalinan serta tindakan yang perlu dilakukan untuk mengatasinya ditingkat keluarga (Menkes RI, 2011).

Foster dan Anderson (1986) melukiskan tentang masalah klasik yang masih selalu ditemukan dalam kehidupan berbagai kelompok masyarakat, betapa sosial sering mengalahkan pemanfaatan optimal dari sarana kesehatan yang tersedia. Pasangan suami-istri lebih rela untuk memutuskan tidak menggunakan sarana pertolongan persalinan dari puskesmas atau rumah bersalin, atas pertimbangan bahwa konflik dengan kerabat tidak menggunakan jasanya dari pada biaya bersalin di rumah sakit atau puskesmas (Meutia, 1998).
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui dan meneliti tentang "FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IBU DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN MEMILIH PENOLONG PERSALINAN DI DUSUN X".

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian tersebut yaitu apakah Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ibu Dalam Pengambilan Keputusan Memilih Penolong Persalinan di Dusun x.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui "Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Ibu Dalam Pengambilan Keputusan Memilih Penolong Persalinan Di Dusun X".
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi sosial ekonomi ibu tentang memilih penolong persalinan.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi sosial budaya ibu tentang memilih penolong persalinan.
c. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan suami dan keluarga ibu tentang memilih penolong persalinan.
d. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi jarak pelayanan kesehatan ibu tentang memilih penolong persalinan.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi praktik keperawatan
Hasil penelitian di harapkan dapat menjadi masukan untuk peningkatan asuhan keperawatan maternitas, dalam mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam pengambilan keputusan memilih penolong persalinan di Dusun X.
2. Bagi pendidikan keperawatan
Hasil penelitian ini memberikan informasi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam pengambilan keputusan memilih penolong persalinan di Dusun X.
3. Bagi masyarakat
Hasil penelitian ini di harapkan pada masyarakat khususnya pada seorang ibu, dapat digunakan sebagai tambahan informasi, tentang apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi ibu dalam pengambilan keputusan memilih penolong persalinan.
TESIS KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM MEMBANGUN BUDAYA ORGANISASI BERBASIS ISLAM

TESIS KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM MEMBANGUN BUDAYA ORGANISASI BERBASIS ISLAM

(KODE : PASCSARJ-0294) : TESIS KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM MEMBANGUN BUDAYA ORGANISASI BERBASIS ISLAM (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kepemimpinan adalah termasuk dalam kajian konsep kebutuhan manusia. Karena proses kepemimpinan berlangsung di mana saja dan kapan saja dalam hubungan timbal balik antar individu dan kelompok manusia. Overton dalam Syafaruddin dalam bukunya Kepemimpinan Pendidikan menjelaskan : "leadership is the ability to get done with and through others while gaining their confidence and cooperation ". Dipahami dari pendapat ini bahwa kepemimpinan adalah kemampuan untuk memperoleh tindakan dengan dan melalui orang lain dengan kepercayaan dan kerjasama.
Kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang sangat berperan dalam organisasi, baik buruknya organisasi sering kali sebagian besar tergantung pada faktor pemimpin. Berbagai riset juga telah membuktikan bahwa faktor pemimpin memegang peranan penting dalam pengembangan organisasi. Faktor pemimpin yang sangat penting adalah karakter dari orang yang menjadi pemimpin tersebut sebagaimana dikatakan oleh Covey (dalam Muhaimin, dkk) dalam bukunya Manajemen Pendidikan, bahwa 90 persen dari semua kegagalan kepemimpinan adalah kegagalan pada karakter.
Lembaga pendidikan membutuhkan seorang pemimpin. Sebab, pemimpin itulah penggerak dan inspirator dalam merancang dan mengerjakan kegiatan. Pemimpin tidak hanya seorang manajer, ia juga harus pembangun mental, moral, spirit, dan kolektivitas kepada jajaran bawahannya. Seorang pemimpin seyogyanya tidak hanya menggunakan aturan tertulis, tapi juga sikap perilaku, sepak terjang, dan keteladanan dalam melakukan agenda transformasi ke arah yang lebih baik.
Di dalam kepemimpinan ada tiga unsur yang saling berkaitan, yaitu unsur manusia, unsur sarana, dan unsur tujuan. Untuk dapat memperlakukan ketiga unsur tersebut secara seimbang, seorang pemimpin harus memiliki pengetahuan atau kecakapan dan keterampilan yang diperlukan dalam melaksanakan kepemimpinannya. Pengetahuan dan keterampilan ini dapat diperoleh dari pengalaman belajar secara teori ataupun dari pengalamannya di dalam praktek selama jadi pemimpin. Namun, secara tidak disadari seorang pemimpin dalam memperlakukan ketiga unsur tersebut dalam rangka menjalankan kepemimpinannya menurut caranya sendiri. Dan cara-cara yang digunakannya merupakan pencerminan dari sifat-sifat dasar kepribadian seorang pemimpin walaupun pengertian ini tidak mutlak. Cara atau teknik seseorang dalam menjalankan suatu kepemimpinan disebut tipe atau gaya kepemimpinan.
Adapun gaya-gaya kepemimpinan yang pokok, atau dapat juga disebut ekstrim, ada tiga, yaitu (1) Otokrasi. Dalam kepemimpinan yang otokrasi, pemimpin bertindak sebagai diktator terhadap anggota-anggota kelompoknya. Baginya, pemimpin adalah menggerakkan dan memaksa kelompok. Kekuasaan pemimpin yang otokrasi hanya dibatasi oleh undang-undang; (2) Laissez Faire. Tipe ini diartikan sebagai membiarkan orang-orang berbuat sekehendaknya. Pemimpin yang termasuk tipe ini sama sekali tidak memberikan kontrol dan koreksi terhadap pekerjaan anggota-anggotanya; dan (3) Demokratis. Pemimpin yang demokratis menafsirkan kepemimpinannya bukan sebagai diktator, melainkan sebagai pemimpin di tengah-tengah anggota kelompoknya. Pemimpin yang demokratis selalu berusaha menstimulasi anggota-anggotanya agar pekerja secara kooperatif untuk mencapai tujuan bersama. Dalam tindakan atau usaha-usahanya, ia selalu berpangkal pada kepentingan dan kebutuhan kelompoknya, dan mempertimbangkan kesanggupan serta kemampuan kelompoknya.
Adapun karakteristik dari beberapa gaya kepemimpinan tersebut antara lain : 1) Otokrasi memiliki sifat yaitu a) menganggap organisasi yang dipimpinnya sebagai milik pribadi, b) mengidentifikasikan tujuan pribadi dengan tujuan organisasi, c) menganggap bawahan sebagai alat semata-mata, tidak mau menerima pendapat, saran, dan kritik dari anggotanya, d) terlalu bergantung pada kekuasaan formalnya, e) caranya menggerakkan bawahan dengan pendekatan paksaan dan bersifat mencari kesalahan/menghukum; 2) Laissez Faire memiliki sifat yaitu a) menyerahkan sepenuhnya pada para bawahannya untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya, setelah tujuan diterangkan kepadanya, b) ia hanya akan menerima laporan-laporan hasilnya tidak terlampau turut campur tangan atau tidak terlalu mau ambil inisiatif, c) semua pekerjaan tergantung pada inisiatif dan prakarsa dari para bawahannya; 3) Demokratis memiliki sifat yaitu a) dalam menggerakkan bawahan bertitik tolak dari pendapat bahwa manusia itu makhluk yang termulia di dunia, b) selalu berusaha untuk menyinkronkan kepentingan dan tujuan organisasi dengan kepentingan dan tujuan pribadi bawahan, c) senang menerima saran, pendapat, dan kritik dari bawahan, d) mengutamakan kerja sama dalam mencapai tujuan, e) memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada bawahan, dan membimbingnya.
Tannenbaum dan Schmidt (dalam Boone dan Kurtz) mengatakan bahwa pemilihan gaya kepemimpinan yang tepat tergantung pada faktor : 1) pemimpin yakni sistem nilai dan keyakinan pada bawahan, 2) bawahan yakni harapannya terhadap prilaku kepemimpinan, 3) situasi yakni nilai dan tradisi organisasi. Debutts (dalam Boone dan Kurtz) menambahkan pula faktor tersebut sebagai berikut : 1) orang yang dipimpin dalam hal ini bawahan, 2) pekerjaan itu sendiri menyangkut keterlibatan bawahan dalam melaksanakan pekerjaan tentang kapan, di mana dan bagaimana dikerjakan, 3) dukungan manajemen menyangkut sistem penghargaan yang diberikan untuk manajer, 4) karakteristik pribadi yang menyangkut kesenangan, pengetahuan, dan kebutuhan yang diterima oleh pemimpin.
Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti lakukan, gaya kepemimpinan kepala sekolah di SMAN X dan SMAN Y cenderung lebih menerapkan kepemimpinan demokratis, walaupun tidak sepenuhnya menerapkan gaya kepemimpinan tersebut dan masih didukung dengan gaya kepemimpinan yang lain. Karena sebagai pimpinan di lembaga pendidikan kepala sekolah tidak bisa menerapkan hanya satu gay a kepemimpinan saja, akan tetapi sebaiknya mengkombinasikan beberapa gaya tersebut dalam kepemimpinannya. Karena gaya kepemimpinan yang satu dan lainnya saling mendukung.
Dalam memberdayakan masyarakat dan lingkungan sekitar, kepala sekolah merupakan kunci keberhasilan yang harus menaruh perhatian tentang apa yang terjadi pada peserta didik di sekolah dan apa yang dipikirkan orang tua dan masyarakat tentang sekolah. Kepala sekolah dituntut untuk senantiasa berusaha membina dan mengembangkan hubungan kerjasama yang baik antara sekolah dan masyarakat guna mewujudkan sekolah yang efektif dan efisien. Pelaksanaan manajemen berbasis sekolah memerlukan sosok kepala sekolah yang memiliki kemampuan manajerial dan integritas yang tinggi, serta demokratis dalam pengambilan keputusan-keputusan mendasar. Kepala sekolah adalah "The Key Person" keberhasilan pelaksanaan otonomi sekolah. Kepala sekolah adalah orang yang di beri tanggung jawab untuk mengelola dan memberdayakan berbagai sumber yang tersedia dan dapat menggali lagi untuk mewujudkan visi, misi, dan tujuan sekolah. Oleh karena itu dalam implementasi manajemen berbasis sekolah, kepala sekolah dituntut memiliki visi dan wawasan yang luas tentang sekolah yang efektif serta kemampuan profesional yang memadai dalam bidang perencanaan, kepemimpinan, manajerial dan supervisi pendidikan. Ia juga harus memiliki kemampuan untuk membangun kerjasama yang harmonis dengan berbagai pihak yang terkait dengan program pendidikan di sekolah. Dalam implementasi manajemen berbasis sekolah, kepala sekolah harus mampu berperan sebagai educator, manager, administrator, supervisor, leader, innovator, dan motivator pendidikan. Dalam melaksanakan fungsinya kepala sekolah dituntut untuk melakukan (action) perubahan-perubahan dan pengembangan dalam pendidikan di sekolah yang dipimpinnya yang dapat berupa ide, program, layanan, proses atau teknologi yang diimplementasikan dalam sistem pendidikan.
Begitu besarnya peranan sekolah dalam proses pencapaian tujuan pendidikan, sehingga dapat dikatakan bahwa sukses tidaknya inovasi pendidikan dan kegiatan sekolah sebagian besar ditentukan oleh kualitas kepemimpinan yang dimiliki oleh kepala sekolah. Namun, perlu dicatat bahwa keberhasilan seorang pemimpin dalam melaksanakan tugasnya, tidak ditentukan oleh tingkat keahliannya dibidang konsep dan teknik kepemimpinan semata, melainkan lebih banyak ditentukan oleh kemampuannya dalam memilih dan menggunakan teknik atau gaya kepemimpinan yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang dipimpin.
Wahjosumidjo mengemukakan bahwa penampilan kepemimpinan kepala sekolah adalah prestasi atau sumbangan yang diberikan oleh kepemimpinan seorang kepala sekolah baik secara kualitatif maupun kuantitatif yang terukur dalam rangka membantu tercapainya tujuan sekolah. Penampilan kepemimpinan kepala sekolah ditentukan oleh faktor kewibawaan, sifat dan keterampilan, prilaku maupun fleksibilitas pemimpin. Agar fungsi kepemimpinan kepala sekolah berhasil memberdayakan segala sumber daya sekolah untuk mencapai tujuan sesuai dengan situasi, diperlukan seorang kepala sekolah yang memiliki kemampuan profesional yaitu : kepribadian, keahlian dasar, pengalaman, pelatihan dan pengetahuan.
Kepala sekolah profesional tidak saja dituntut untuk melaksanakan berbagai tugasnya di sekolah, tetapi ia juga harus mampu menjalin hubungan/kerja sama dengan masyarakat dalam rangka membina pribadi peserta didik secara optimal. Kerja sama ini penting karena banyak persoalan yang tidak dapat diselesaikan sekolah secara sepihak, atau sering terjadi kesalahpahaman, perbedaan persepsi antara pihak sekolah dengan masyarakat. Dalam hal ini kepala sekolah harus mampu mencari jalan keluar untuk mencairkan hubungan sekolah dengan masyarakat yang selama ini terjadi, agar masyarakat khususnya orang tua peserta didik bisa mengerti, memahami dan maklum dengan ide-ide serta visi yang sedang berkembang di sekolah.
Menurut Robbins (dalam R.A. Sri Isminingsih) untuk menduduki posisi kepala sekolah tentunya menuntut dipenuhinya persyaratan, baik unjuk kerja, administratif, akademik maupun kepribadian. Terpenuhinya, persyaratan mengandung arti, bahwa kepala sekolah telah memiliki kelebihan sehingga mampu berperan sebagai pemimpin sekolah. Kemampuan yang dimiliki telah terseleksi baik seleksi diri, karier dan seleksi organisasi. Sedangkan Wiles dan Bondi (dalam R.A. Sri Isminingsih) mengatakan bahwa seseorang terseleksi untuk menjadi kepala sekolah antara lain mengacu pada tanggung jawab kualifikasi dan pengalaman.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 Tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah, seorang kepala sekolah sebagai pimpinan dari lembaga pendidikan harus memiliki lima kompetensi antara lain : kompetensi kepribadian, kompetensi manajerial, kompetensi kewirausahaan, kompetensi supervisi, dan kompetensi sosial.
Pentingnya kedudukan budaya dalam sebuah organisasi yang di dalamnya terdapat pemaknaan bersama antar anggota, sebagaimana diungkapkan oleh Robbins, pada dasarnya merupakan fenomena yang relatif baru. Hal ini dikarenakan selama ini organisasi hanya dilihat sebagai alat yang paling rasional untuk mengendalikan dan mengatur sekelompok orang. Owens mengatakan bahwa, bahkan secara ekstrim organisasi dipandang sebagai mesin yang menekankan pada otoritas formal dan legitimasi perintah. Simon dan Barnard dengan asumsi dasar mengatakan bahwa, manusia sebagai economic man dengan fokus utamanya adalah tercapainya kekuasaan (wealth power). Namun akhir-akhir ini, pandangan tersebut telah mengalami perubahan, di mana dalam sebuah organisasi ternyata terdapat pemaknaan bersama seluruh anggotanya yang di dalamnya ada nilai, norma, keyakinan, dan tradisi yang membentuk satu kesatuan sistem dalam organisasi sehingga itu menjadi kekuatan yang walaupun tidak terlihat tetapi memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pikiran, perasaan dan tindakan anggota organisasi.
Pentingnya kedudukan budaya ini juga mulai menarik perhatian kalangan pendidikan. Peterson mengatakan bahwa budaya ternyata memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap motivasi anggota organisasi dan motivasi itu sendiri sangat berpengaruh terhadap produktivitas dan keberhasilan sebuah organisasi. Begitu pentingnya kedudukan budaya ini dalam sebuah institusi pendidikan sampai-sampai membuat Edward Redalen membuat pernyataan bahwa, jika seorang pimpinan atau kepala sekolah ingin melakukan perubahan maka starting pointnya adalah melalui budaya. Jika tidak, sebaik apapun upaya perubahan yang dilakukan itu tidak akan pernah membawa hasil yang maksimal.
Pendidikan sebagai investasi dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM) melakukan upaya dilakukan dalam konteks organisasi, apakah keluarga, masyarakat, sekolah, atau jenis organisasi lainnya. Penyelenggaraan pendidikan dalam sebuah organisasi menunjukkan bahwa keberadaan organisasi pendidikan tersebut ditujukan untuk mencapai tujuan pendidikan secara lebih efektif dan efisien. Tujuan pendidikan dan tujuan sekolah sebagai organisasi pendidikan formal tidaklah terpisah.
Dalam setiap organisasi terdapat pola mengenai kepercayaan, ritual, mitos serta praktik-praktik yang berkembang sejak beberapa lama. Ke semua itu pada gilirannya, menciptakan pemahaman yang sama di antara para anggota mengenai bagaimana sebenarnya organisasi itu dan bagaimana anggotanya berperilaku.
Konteks eksternal organisasi yang sangat cepat berubah merupakan sebuah tantangan utama dari organisasi untuk dapat hidup terus. Sebagaimana makhluk hidup, organisasi juga harus pandai menyesuaikan diri dengan lingkungannya jika menginginkan untuk hidup dalam usia yang lebih panjang. Ketidakmampuan organisasi menyesuaikan diri dengan lingkungannya akan dapat menyebabkan organisasi tersebut mengalami masalah serius bahkan dapat mengakibatkan kematian (kebangkrutan).
Organisasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Setiap manusia hidup dalam sebuah organisasi. Gibson, Ivancevich, dan Donnelly (dalam Daman Hermawan dan Cepi Triatna) mendefinisikan organisasi sebagai "wadah yang memungkinkan masyarakat dapat meraih hasil yang sebelumnya tidak dapat dicapai oleh individu secara sendiri-sendiri". Lebih jauh ketiganya menyebutkan bahwa organisasi adalah suatu unit terkoordinasi terdiri setidaknya dua orang berfungsi mencapai satu sasaran tertentu atau serangkaian sasaran. Definisi ini menekankan pada upaya peningkatan pencapaian tujuan bersama secara lebih efektif dan efisien melalui koordinasi antar unit organisasi.
Setiap individu yang memasuki organisasi melakukan proses interaksi (adaptasi) dengan kebiasaan pada masing-masing individu dan dengan budaya organisasi. Proses ini merupakan aktifitas sumber kehidupan dalam struktur organisasi. Proses yang umum meliputi komunikasi, pengambilan keputusan, sosialisasi dan pengembangan basis. Budaya organisasi dapat menjadi positif atau negatif. Budaya organisasi yang positif akan membantu meningkatkan produktifitas, budaya yang negatif akan menghambat efektifitas kelompok dan desain organisasi yang lebih baik.
Budaya organisasi berbasis Islam dalam hal ini nilai-nilai Islami di sekolah. Pengembangan nilai Islami adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga mengimani, bertaqwa, dan berakhlaq mulia dalam mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci al-Qur'an dan hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman. Nilai adalah patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya diantara cara-cara tindakan alternatif.
Nilai-nilai budaya Islami yang dijadikan pilar dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di sekolah antara lain : 1) Nilai akhlakul karimah. Etika atau akhlakul karimah adalah tata aturan untuk bisa hidup bersama dengan orang lain; 2) Nilai kejujuran. Yaitu jujur kepada dirinya sendiri, jujur kepada Tuhan, jujur kepada orang lain; 3) Nilai kasih sayang; 4) Nilai menghormati hukum dan peraturan; 5) Nilai tepat waktu/kedisiplinan; 6) Nilai bekerja sama; 7) Nilai jihad. Adapun karakteristik bentuk pembangunan budaya organisasi Islam yang dilakukan oleh kepala sekolah adalah sebagai berikut : 1) keadilan; 2) senyum, salam, sapa; 3) berjabat tangan; 4) doa bersama; 5) shalat dzuhur dan Jum'at berjamaah; 6) pendistribusian zakat fitrah; 7) pondok Ramadhan, untuk mewujudkan budaya tersebut melalui pembiasaan, keteladanan dan internalisasi.
Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti lakukan, sesuai dengan pendapat yang diungkapkan oleh Aan Komariah dan Cepi Triatna bahwa organisasi selalu unik dan selalu tampil khas, masing-masing memiliki budayanya sendiri-sendiri, hal ini dipengaruhi oleh visi dan misi serta tujuan. Walaupun organisasi itu sejenis, namun budayanya akan berbeda. Adapun budaya organisasi yang terdapat di SMAN X adalah budaya organisasi berbasis Islam yang tercantum dalam daftar kegiatan ekstrakurikuler yaitu Kerohanian Islam (Rohis), dan di SMAN Y adalah budaya organisasi berbasis Islam yang tercantum dalam visi dan misi sekolah.
Adapun alasan mengapa penulis mengambil judul "KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM MEMBANGUN BUDAYA ORGANISASI BERBASIS ISLAM (STUDI MULTI SITUS DI SMAN X DAN SMAN Y)" karena peneliti ingin mengetahui bagaimana kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam, budaya yang sudah menjadi karakteristik atau identitas suatu organisasi/lembaga pendidikan tersebut serta apa latar belakang kepala sekolah membangun budaya organisasi berbasis Islam, serta dampak yang dihasilkan dari kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di kedua SMAN tersebut, merupakan rumusan masalah penelitian.
Sedangkan tempat yang menjadi sasaran peneliti untuk mengadakan penelitian adalah SMAN X dan SMAN Y. Peneliti memilih tempat tersebut karena seperti yang peneliti pernah ketahui bahwa di sekolah tersebut memiliki budaya yang khas yang mungkin belum pernah dimiliki oleh sekolah-sekolah umum yang lain yaitu kepemimpinan kepala sekolah yang didasari oleh nilai-nilai Islami dalam kepemimpinannya, serta adanya budaya organisasi berbasis Islam. 

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini lebih ditujukan untuk menjawab bagaimana kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di SMAN X dan SMAN Y tersebut. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam maka peneliti akan memfokuskan penelitian ini pada : 
1. Bagaimana kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di SMAN X dan SMAN Y ?
2. Faktor apa yang melatarbelakangi kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di SMAN X dan SMAN Y ?
3. Dampak apa saja yang dihasilkan dari kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di SMAN X dan SMAN Y ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini pada dasarnya bertujuan untuk memahami, mendeskripsikan, dan menganalisa tentang : 
1. Mendeskripsikan dan menganalisa tentang kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di SMAN X dan SMAN Y.
2. Mendeskripsikan dan menganalisa tentang faktor apa yang melatarbelakangi kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di SMAN X dan SMAN Y.
3. Mendeskripsikan dan menganalisa tentang dampak apa saja yang dihasilkan dari kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di SMAN X dan SMAN Y.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi baik secara teoritis maupun praktis bagi pengembangan lembaga pendidikan di Indonesia. Adapun manfaat dan kegunaan dari penelitian ini yaitu : 
1. Manfaat teoritis ilmu Manajemen Pendidikan Islam yaitu : dihasilkan kesimpulan-kesimpulan substantif yang berkaitan dengan gaya kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di SMAN X dan SMAN Y sebagai wujud pengembangan teori-teori gaya kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi sebelumnya. Memberikan sumbangan pemikiran terkait "Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Membangun Budaya Organisasi berbasis Islam (Studi Multi Situs di SMAN X dan SMAN Y)" sehingga terbuka peluang dilakukannya penelitian yang lebih besar dan luas dari segi biaya maupun jangkauan lokasi yang relevan. 
2. Manfaat praktis : dapat memberikan pengetahuan tentang proses dibangunnya budaya organisasi berbasis Islam serta faktor pendukung dan kendala yang dihadapi sekolah dalam pembangunan budaya organisasi tersebut sehingga dapat dijadikan dasar kebijakan untuk pengembangan sekolah ditinjau dari segi fungsi-fungsi manajemen. Dapat digunakan sebagai sumber informasi tentang kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam di SMAN X dan SMAN Y. Tidak menutup kemungkinan gaya kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya organisasi berbasis Islam yang dikembangkan di SMAN X dan SMAN Y bisa diterapkan oleh lembaga pendidikan lain secara lebih luas.