Search This Blog

MAKALAH PEMILU DI INDONESIA

MAKALAH PEMILU DI INDONESIA

MAKALAH PEMILU DI INDONESIA



Pemilu 1955
Pemilu pertama dilangsungkan pada tahun 1955 dan bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Pemilu ini seringkali disebut dengan Pemilu 1955, dan dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan pada saat pemungutan suara, kepala pemerintahan telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.
Lima besar dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia, Masyumi, Nahdlatul Ulama, Partai Komunis Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.

Pemilu 1971
Pemilu berikutnya diselenggarakan pada tahun 1971, tepatnya pada tanggal 5 Juli 1971. Pemilu ini adalah Pemilu pertama setelah orde baru, dan diikuti oleh 9 Partai politik dan 1 organisasi masyarakat.
Lima besar dalam Pemilu ini adalah Golongan Karya, Nahdlatul Ulama, Parmusi, Partai Nasional Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.
Pada tahun 1975, melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, diadakanlah fusi (penggabungan) partai-partai politik, menjadi hanya dua partai politik (yaitu Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia) dan satu Golongan Karya.

Pemilu 1977-1997
Pemilu-Pemilu berikutnya dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Pemilu-Pemilu ini diselenggarakan dibawah pemerintahan Presiden Soeharto. Pemilu-Pemilu ini seringkali disebut dengan "Pemilu Orde Baru". Sesuai peraturan Fusi Partai Politik tahun 1975, Pemilu-Pemilu tersebut hanya diikuti dua partai politik dan satu Golongan Karya. Pemilu-Pemilu tersebut kesemuanya dimenangkan oleh Golongan Karya.

Pemilu 1999
Pemilu berikutnya, sekaligus Pemilu pertama setelah runtuhnya orde baru, yaitu Pemilu 1999 dilangsungkan pada tahun 1999 (tepatnya pada tanggal 7 Juni 1999) di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik.
Lima besar Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional.
Walaupun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meraih suara terbanyak (dengan perolehan suara sekitar 35 persen), yang diangkat menjadi presiden bukanlah calon dari partai itu, yaitu Megawati Soekarnoputri, melainkan dari Partai Kebangkitan Bangsa, yaitu Abdurrahman Wahid (Pada saat itu, Megawati hanya menjadi calon presiden). Hal ini dimungkinkan untuk terjadi karena Pemilu 1999 hanya bertujuan untuk memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD, sementara pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan oleh anggota MPR.
Pemilihan Umum ini seharusnya diselenggarakan pada tahun 2002, namun atas desakan publik untuk mengadakan reformasi serta mengganti anggota-anggota parlemen yang berkaitan dengan Orde Baru, maka pemilihan umum dipercepat dari tahun 2002 ke tahun 1999 oleh pemerintah waktu itu.

No

No.

Partai

Jumlah Suara

Persentase

Jumlah Kursi

Persentase

1.

Partai Indonesia Baru

192.712

0,18%

0

0,00%

2.

Partai Kristen Nasional Indonesia

369.719

0,35%

0

0,00%

3.

Partai Nasional Indonesia

377.137

0,36%

0

0,00%

4.

Partai Aliansi Demokrat Indonesia

85.838

0,08%

0

0,00%

5.

Partai Kebangkitan Muslim Indonesia

289.489

0,27%

0

0,00%

6.

Partai Ummat Islam

269.309

0,25%

0

0,00%

7.

Partai Kebangkitan Ummat

300.064

0,28%

1

0,22%

8.

Partai Masyumi Baru

152.589

0,14%

0

0,00%

9.

Partai Persatuan Pembangunan

11.329.905

10,71%

58

12,55%

10.

Partai Syarikat Islam Indonesia

375.920

0,36%

1

0,22%

11.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

35.689.073

33,74%

153

33,12%

12.

Partai Abul Yatama

213.979

0,20%

0

0,00%

13.

Partai Kebangsaan Merdeka

104.385

0,10%

0

0,00%

14.

Partai Demokrasi Kasih Bangsa

550.846

0,52%

5

1,08%

15.

Partai Amanat Nasional

7.528.956

7,12%

34

7,36%

16.

Partai Rakyat Demokratik

78.730

0,07%

0

0,00%

17.

Partai Syarikat Islam Indonesia 1905

152.820

0,14%

0

0,00%

18.

Partai Katolik Demokrat

216.675

0,20%

0

0,00%

19.

Partai Pilihan Rakyat

40.517

0,04%

0

0,00%

20.

Partai Rakyat Indonesia

54.790

0,05%

0

0,00%

21.

Partai Politik Islam Indonesia Masyumi

456.718

0,43%

1

0,22%

22.

Partai Bulan Bintang

2.049.708

1,94%

13

2,81%

23.

Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia

61.105

0,06%

0

0,00%

24.

Partai Keadilan

1.436.565

1,36%

7

1,51%

25.

Partai Nahdlatul Ummat

679.179

0,64%

5

1,08%

26.

Partai Nasional Indonesia - Front Marhaenis

365.176

0,35%

1

0,22%

27.

Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia

328.654

0,31%

1

0,22%

28.

Partai Republik

328.564

0,31%

0

0,00%

29.

Partai Islam Demokrat

62.901

0,06%

0

0,00%

30.

Partai Nasional Indonesia - Massa Marhaen

345.629

0,33%

1

0,22%

31.

Partai Musyawarah Rakyat Banyak

62.006

0,06%

0

0,00%

32.

Partai Demokrasi Indonesia

345.720

0,33%

2

0,43%

33.

Partai Golongan Karya

23.741.749

22,44%

120

25,97%

34.

Partai Persatuan

655.052

0,62%

1

0,22%

35.

Partai Kebangkitan Bangsa

13.336.982

12,61%

51

11,03%

36.

Partai Uni Demokrasi Indonesia

140.980

0,13%

0

0,00%

37.

Partai Buruh Nasional

140.980

0,13%

0

0,00%

38.

Partai Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong

204.204

0,19%

0

0,00%

39.

Partai Daulat Rakyat

427.854

0,40%

2

0,43%

40.

Partai Cinta Damai

168.087

0,16%

0

0,00%

41.

Partai Keadilan dan Persatuan

1.065.686

1,01%

4

0,87%

42.

Partai Solidaritas Pekerja

49.807

0,05%

0

0,00%

43.

Partai Nasional Bangsa Indonesia

149.136

0,14%

0

0,00%

44.

Partai Bhinneka Tunggal Ika Indonesia

364.291

0,34%

1

0,22%

45.

Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia

180.167

0,17%

0

0,00%

46.

Partai Nasional Demokrat

96.984

0,09%

0

0,00%

47.

Partai Ummat Muslimin Indonesia

49.839

0,05%

0

0,00%

48.

Partai Pekerja Indonesia

63.934

0,06%

0

0,00%

 

Jumlah

105.786.661

100,00%

462

100,00%

 


Pemilu 2004
Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 2004 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 5 April 2004 untuk memilih 550 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 128 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2004-2009.
Hasil akhir pemilu menunjukan bahwa Golkar mendapat suara terbanyak. Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dua partai terbaru dalam pemilu ini, mendapat 7,45% dan 7,34% suara.
Pemilihan umum 2004 dinyatakan sebagai pemilu paling rumit dalam sejarah demokrasi.

No

No.

Partai

Jumlah Suara

Persentase

Jumlah Kursi

Persentase

1.

Partai Golongan Karya

24.480.757

21,58%

128

23,27%

2.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

21.026.629

18,53%

109

19,82%

3.

Partai Kebangkitan Bangsa

11.989.564

10,57%

52

9,45%

4.

Partai Persatuan Pembangunan

9.248.764

8,15%

58

10,55%

5.

Partai Demokrat

8.455.225

7,45%

55*

10,00%

6.

Partai Keadilan Sejahtera

8.325.020

7,34%

45

8,18%

7.

Partai Amanat Nasional

7.303.324

6,44%

53*

9,64%

8.

Partai Bulan Bintang

2.970.487

2,62%

11

2,00%

9.

Partai Bintang Reformasi

2.764.998

2,44%

14*

2,55%

10.

Partai Damai Sejahtera

2.414.254

2,13%

13*

2,36%

11.

Partai Karya Peduli Bangsa

2.399.290

2,11%

2

0,36%

12.

Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia

1.424.240

1,26%

1

0,18%

13.

Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan

1.313.654

1,16%

4*

0,73%

14.

Partai Nasional Banteng Kemerdekaan

1.230.455

1,08%

0*

0,00%

15.

Partai Patriot Pancasila

1.073.139

0,95%

0

0,00%

16.

Partai Nasional Indonesia Marhaenisme

923.159

0,81%

1

0,18%

17.

Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia

895.610

0,79%

0

0,00%

18.

Partai Pelopor

878.932

0,77%

3*

0,55%

19.

Partai Penegak Demokrasi Indonesia

855.811

0,75%

1

0,18%

20.

Partai Merdeka

842.541

0,74%

0

0,00%

21.

Partai Sarikat Indonesia

679.296

0,60%

0

0,00%

22.

Partai Perhimpunan Indonesia Baru

672.952

0,59%

0

0,00%

23.

Partai Persatuan Daerah

657.916

0,58%

0

0,00%

24.

Partai Buruh Sosial Demokrat

636.397

0,56%

0

0,00%

 

Jumlah

113.462.414

100,00%

550

100,00%

 


Pemilu 2009
Pemilihan umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 2009 (biasa disingkat Pemilu Legislatif 2009 atau Pileg 2009) diselenggarakan untuk memilih 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 132 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2009-2014. Pemungutan suara diselenggarakan secara serentak di hampir seluruh wilayah Indonesia pada tanggal 9 April 2009 (sebelumnya dijadwalkan berlangsung pada 5 April, namun kemudian diundur).
38 partai memenuhi kriteria untuk ikut serta dalam pemilu 2009. Partai Demokrat memenangkan suara terbanyak, diikuti dengan Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).

No

No.

Partai

Jumlah suara

Persentase suara

Jumlah kursi

Persentase kursi

1

Partai Hati Nurani Rakyat

3.922.870

3,77%

18

3,21%

2

Partai Karya Peduli Bangsa

1.461.182

1,40%

0

0,00%

3

Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia

745.625

0,72%

0

0,00%

4

Partai Peduli Rakyat Nasional

1.260.794

1,21%

0

0,00%

5

Partai Gerakan Indonesia Raya

4.646.406

4,46%

26

4,64%

6

Partai Barisan Nasional

761.086

0,73%

0

0,00%

7

Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia

934.892

0,90%

0

0,00%

8

Partai Keadilan Sejahtera

8.206.955

7,88%

57

10,18%

9

Partai Amanat Nasional

6.254.580

6,01%

43

7,68%

10

Partai Perjuangan Indonesia Baru

197.371

0,19%

0

0,00%

11

Partai Kedaulatan

437.121

0,42%

0

0,00%

12

Partai Persatuan Daerah

550.581

0,53%

0

0,00%

13

Partai Kebangkitan Bangsa

5.146.122

4,94%

27

4,82%

14

Partai Pemuda Indonesia

414.043

0,40%

0

0,00%

15

Partai Nasional Indonesia Marhaenisme

316.752

0,30%

0

0,00%

16

Partai Demokrasi Pembaruan

896.660

0,86%

0

0,00%

17

Partai Karya Perjuangan

351.440

0,34%

0

0,00%

18

Partai Matahari Bangsa

414.750

0,40%

0

0,00%

19

Partai Penegak Demokrasi Indonesia

137.727

0,13%

0

0,00%

20

Partai Demokrasi Kebangsaan

671.244

0,64%

0

0,00%

21

Partai Republika Nusantara

630.780

0,61%

0

0,00%

22

Partai Pelopor

342.914

0,33%

0

0,00%

23

Partai Golongan Karya

15.037.757

14,45%

107

19,11%

24

Partai Persatuan Pembangunan

5.533.214

5,32%

37

6,61%

25

Partai Damai Sejahtera

1.541.592

1,48%

0

0,00%

26

Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia

468.696

0,45%

0

0,00%

27

Partai Bulan Bintang

1.864.752

1,79%

0

0,00%

28

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

14.600.091

14,03%

95

16,96%

29

Partai Bintang Reformasi

1.264.333

1,21%

0

0,00%

30

Partai Patriot

547.351

0,53%

0

0,00%

31

Partai Demokrat

21.703.137

20,85%

150

26,79%

32

Partai Kasih Demokrasi Indonesia

324.553

0,31%

0

0,00%

33

Partai Indonesia Sejahtera

320.665

0,31%

0

0,00%

34

Partai Kebangkitan Nasional Ulama

1.527.593

1,47%

0

0,00%

41

Partai Merdeka

111.623

0,11%

0

0,00%

42

Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia

146.779

0,14%

0

0,00%

43

Partai Sarikat Indonesia

140.551

0,14%

0

0,00%

44

Partai Buruh

265.203

0,25%

0

0,00%

 

Jumlah

104.099.785

100,00%

560

100,00%

 


Pemilu 2014
Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 2014 (biasa disingkat Pemilu Legislatif 2014) diselenggarakan pada 9 April 2014 untuk memilih 560 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 132 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2014-2019.
Pemilihan ini dilaksanakan pada tanggal 9 April 2014 serentak di seluruh wilayah Indonesia. Namun untuk warga negara Indonesia di luar negeri, hari pemilihan ditetapkan oleh panitia pemilihan setempat di masing-masing negara domisili pemilih sebelum tanggal 9 April 2014. Pemilihan di luar negeri hanya terbatas untuk anggota DPR di daerah pemilihan DKI Jakarta II, dan tidak ada pemilihan anggota perwakilan daerah.


No

No.

Partai

Jumlah suara

Persentase suara

Jumlah kursi

Persentase kursi

1

Partai NasDem

8.402.812

6,72

35

6,3

2

Partai Kebangkitan Bangsa

11.298.957

9,04

47

8,4

3

Partai Keadilan Sejahtera

8.480.204

6,79

40

7,1

4

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

23.681.471

18,95

109

19,5

5

Partai Golongan Karya

18.432.312

14,75

91

16,3

6

Partai Gerakan Indonesia Raya

14.760.371

11,81

73

13,0

7

Partai Demokrat

12.728.913

10,19

61

10,9

8

Partai Amanat Nasional

9.481.621

7,59

49

8,8

9

Partai Persatuan Pembangunan

8.157.488

6,53

39

7,0

10

Partai Hati Nurani Rakyat

6.579.498

5,26

16

2,9

14

Partai Bulan Bintang

1.825.750

1,46

0

0

15

Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia

1.143.094

0,91

0

0

 

Jumlah

124.972.491

100,00%

560

100,00%

 

TESIS PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING DAN EKSPOSITORI TERHADAP PRESTASI BELAJAR PKN SMA

TESIS PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING DAN EKSPOSITORI TERHADAP PRESTASI BELAJAR PKN SMA

(KODE : PASCSARJ-0272) : TESIS PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING DAN EKSPOSITORI TERHADAP PRESTASI BELAJAR PKN SMA (PROGRAM STUDI : TEKNOLOGI PENDIDIKAN)



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan adalah untuk memungkinkan peserta didik mengembangkan potensi kecerdasan dan bakatnya secara maksimal. Untuk merealisasikannya pemerintah telah mengatur melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebagai pelaksanaan dari amanat pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dimana visi sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memperdayakan semua warga Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Sedangkan di dalam standar proses menyangkut strategi pembelajaran serta proses pengelolaan peserta didik agar menjadi manusia yang berkualitas serta memiliki daya saing.
Pendidikan Kewarganegaraan memegang peran yang sangat strategis dalam upaya mewujudkan fungsi dan tujuan Pendidikan Nasional. Sebab visi Pendidikan Kewarganegaraan adalah terwujudnya suatu mata pelajaran yang berfungsi sebagai sarana pembinaan watak bangsa (nation and character building) dan pemberdayaan warga negara. Misi mata pelajaran PKn adalah membentuk warga negara yang baik, yakni warga negara yang sanggup melaksanakan hak dan kewajibannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sesuai Undang-Undang Dasar 1945.
Pendidikan adalah kehidupan, untuk itu kegiatan belajar harus dapat membekali peserta didik dengan kecakapan hidup (life skill/life competency) yang sesuai dengan lingkungan kehidupan dan kebutuhan peserta didik. Pendidikan harus diarahkan pada usaha dasar untuk menumbuh kembangkan potensi sumber daya manusia melalui kegiatan pembelajaran. Unesco (1994) mengemukakan dua prinsip pendidikan yang sangat sesuai dengan system pendidikan di Indonesia, yaitu : Pertama; pendidikan harus meletakkan pada empat pilar, (1) belajar mengetahui (learning to know), (2) belajar melakukan (learning to do), (3) belajar menjadi diri sendiri (learning to be), (4) belajar hidup dalam kebersamaan (learning to live together). Kedua; belajar seumur hidup (life long learning).
Permasalahan yang sering diabaikan oleh guru Pendidikan Kewarganegaraan adalah hakekat dari pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan itu sendiri. Guru selama ini lebih menekankan aspek kognitif saja dalam cakupan materi maupun dalam proses pembelajarannya. Padahal karakteristik Pendidikan Kewarganegaraan tidak hanya mengembangkan aspek kognitif saja, tetapi harus mampu membentuk sikap dan karakter bangsa, sehingga visi pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan sendiri tidak terwujud. Akibatnya prestasi belajar siswa Pendidikan Kewarganegaraan rendah dan belum sesuai dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Indikasi rendahnya prestasi belajar Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek penguasaan konsep dan aspek sikap, serta penerapannya. Aspek penguasaan konsep ditunjukkan pada hasil ujian sekolah, dimana tingkat ketuntasan belajar siswa rata-rata masih dibawah batas tuntas nasional. Sedangkan aspek sikap dan penerapan secara normative dapat dilihat dari rendahnya kedisiplinan, sopan santun, banyaknya pelanggaran terhadap tata tertib sekolah dan kenakalan siswa.
Ada banyak faktor dalam upaya peningkatan mutu pendidikan yang mempengaruhinya. Salah satu yang paling mendasar adalah penyempurnaan kegiatan belajar mengajar (KBM) dengan mengimplementasikan inovasi pembelajaran . Dimana dalam menerapkan inovasi agar berhasil haruslah bersikap bijaksana untuk meluangkan waktu dan upaya mengatasi proses evaluasi menyeluruh untuk memaksimalkan kemungkinan keberhasilannya. Seperti dalam proses pembelajaran haruslah mampu untuk membangkitkan minat dan motivasi, mengembangkan bakat, meningkatkan partisipasi serta memacu daya pikir peserta didik untuk terlibat aktif dalam pembelajaran.
Motivasi itu sendiri berpangkal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai daya penggerak yang ada di dalam diri seseorang, untuk dapat melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi tercapainya tujuan. Motivasi juga dapat dikatakan serangkaian usaha untuk menyediakan kondisi-kondisi tertentu, sehingga seseorang mau dan ingin melakukan sesuatu, dan bila tidak suka maka akan berusaha untuk meniadakan atau mengelakkan perasaan tidak suka itu (Sardiman A.M, 2007 : 75).
Jadi motivasi dapat dirangsang oleh faktor dari luar tetapi motivasi itu adalah tumbuh di dalam diri seseorang. Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan, menjamin kelangsungan dan memberikan arah kegiatan belajar, sehingga diharapkan tujuan yang dikehendaki oleh pembelajar dapat tercapai.
Dalam kegiatan belajar, motivasi sangat diperlukan, sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar, tidak mungkin melakukan aktivitas belajar Keberhasilan siswa dalam belajar juga dipengaruhi oleh guru, model pembelajaran yang berorientasi pada pembelajar. Oleh sebab itu pendidikan bertugas untuk menyiapkan peserta didik agar dapat mencapai peradaban yang maju melalui perwujudan suasana belajar yang kondusif, aktivitas pembelajaran yang menarik dan menyenangkan, serta proses pembelajaran yang kreatif. Menurut Martinis Yamin (2007 : 27) dalam proses pembelajaran siswa sebagai titik sentral belajar, siswa yang lebih aktif, mencari dan memecahkan permasalahan belajar dan guru membantu kesulitan siswa-siswa yang mendapat kendala, kesulitan dalam memahami, dan memecahkan permasalahan. Sesuai dengan pendapat tersebut maka dalam hal ini pendidik harus merancang proses pembelajaran agar materi pembelajaran menjadi bermakna. Karena pembelajaran pada dasarnya merupakan upaya pendidik untuk membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar. Pembelajaran harus memberi kompetensi berupa kecakapan hidup pada peserta didik sehingga mampu memberi bekal untuk memecahkan berbagai permasalahan kehidupan di kemudian hari, bila tiba saatnya mereka terjun dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Maka dalam hal ini bagaimana pendidik merancang pembelajaran agar dapat dikuasai oleh siswa dan mampu untuk memberi bekal kecakapan hidupnya ?
Mel Silberman dalam bukunya Active Learning, 101 Strategi pembelajaran Aktif 2002, mengembangkan pernyataan Confucius sebagai landasan belajar aktif : Apa yang saya dengar saya lupa, apa yang saya lihat ingat sedikit, Apa yang saya dengar, lihat, dan diskusikan saya mulai mengerti, Apa yang saya dengar, lihat, diskusikan dan kerjakan saya dapat pengetahuan dan ketrampilan, Apa yang saya ajarkan saya kuasi. Belajar akan lebih bermakna bila siswa mengalami apa yang dipelajarinya bukan sekedar mengetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi ternyata hanya berhasil dalam kompetisi mengingat dalam jangka pendek (short tern memory) dan kurang berhasil dalam membekali peserta didik memecahkan persoalan- persoalan dalam kehidupannya.
Dengan adanya hal tersebut di atas maka diperlukan inovasi pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran yang bervariasi, menarik, melibatkan siswa secara aktif, menyenangkan, dengan meningkatkan aktivitas dan tanggung jawab siswa baik secara individual maupun secara kelompok. Sejalan dengan hal tersebut lebih lanjut E. Mulyasa (2007 : 86) mengemukakan bahwa secara umum guru diharapkan menciptakan kondisi yang baik, yang memungkinkan setiap peserta didik dapat mengembangkan kreativitasnya, antara lain dengan teknik kerja kelompok kecil, penugasan dan mensponsori pelaksanaan proyek. Model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) merupakan alternative tindakan untuk memecahkan masalah yang diterapkan dalam upaya meningkatkan keefektifan pembelajaran sekaligus peningkatan prestasi belajar.
Pembelajaran berbasis masalah dikenal dengan istilah Problem Based Learning (PBL), pada awalnya dirancang untuk program gradate bidang kesehatan oleh Barrows yang kemudian diadaptasi untuk program akademik kependidikan oleh Stepein Gallager. Problem Based Learning ini dikembangkan berdasarkan teori psikologi kognitif modern yang menyatakan bahwa belajar adalah suatu proses yang mana pembelajar secara aktif mengkonstruksikan pengetahuannya melalui interaksinya dengan lingkungan belajar yang dirancang oleh fasilitator pembelajaran. Pembelajaran berbasis masalah diturunkan dari teori bahwa belajar adalah proses dimana pembelajar secara aktif mengkonstruksikan pengetahuan dan Problem Based Learning (PBL) sebagai suatu pendekatan yang dipandang dapat memenuhi keperluan ini, yaitu pembelajar dihadapkan pada situasi pemecahan masalah, dan guru hanya berperan memfasilitasi terjadinya proses belajar, memotivasi siswa dan memonitor proses pemecahan masalah.
Penelitian ini akan membuktikan pengaruh model pembelajaran Problem Based Learning (PBL), dan Ekspositori terhadap prestasi belajar Pendidikan Kewarganegaraan ditinjau dari motivasi siswa. Pertimbangan mengangkat model pembelajaran ini adalah bahwa 1) Problem Based Learning merupakan model pembelajaran yang secara teoritis mampu mengembangkan berbagai aspek kompetensi siswa guna meningkatkan prestasi belajarnya, namun model ini belum diterapkan secara konsisten oleh sebagian besar guru PKn SMA di Kecamatan X. Sedangkan Ekspositori merupakan model konvensional yang sudah mendarah daging dalam pembelajaran guru-guru PKn namun demikian implementasinya juga belum memenuhi standar ekspositori. Penelitian ini mengeksperimenkan model pembelajaran tersebut sehingga diperoleh kesimpulan efek masing-masing model pembelajaran terhadap prestasi belajar siswa, yang pada akhirnya memberi referensi kepada guru PKn dalam mendesain pembelajaran

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka dapat diidentifikasi permasalahan sebagai berikut : 
1. Prestasi belajar Pendidikan Kewarganegaraan belum sebagaimana tertuang dalam standar kompetensi ketuntasan minimal (KKM), disamping prestasi belajarnya rendah juga belum seimbang cakupan isi aspek-aspek Pendidikan Kewarganegaraan.
2. Masih banyak guru-guru yang menggunakan model pembelajaran konvensional, memberi konsep-konsep abstrak dengan ceramah sehingga kurang mendukung partisipasi peserta didik dalam pembelajaran.
3. Sebagian guru Pendidikan Kewarganegaraan telah menerapkan inovasi pembelajaran dengan variasi model pembelajaran namun karena keterbatasan referensi model pembelajaran para pendidik, sehingga kurang mampu mengimplementasikan model-model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik bidang studi Pendidikan Kewarganegaraan. 
4. Prestasi belajar Pendidikan Kewarganegaraan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor baik faktor intern maupun faktor ekstern. Faktor intern meliputi tingkat intelegensi, emosi, bakat, minat, dan motivasi. Sedang faktor ekstern meliputi sarana, lingkungan dan gaya mengajar guru. Dan masih banyak guru yang kurang memperhatikan motivasi siswa sehingga kurang tepat dalam menerapkan model pembelajaran.

C. Pembatasan Masalah
Mengingat berbagai keterbatasan kemampuan yang ada pada peneliti, dan agar penelitian ini lebih mendalam, maka dalam penelitian ini permasalahan pokok yang akan diteliti adalah sejumlah variabel yang berdasarkan beberapa kajian pustaka memiliki relevansi dan diduga mempunyai hubungan dengan prestasi belajar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), adalah sebagai berikut : 
1. Pengaruh model pembelajaran Problem Based Learning dan Ekspositori yang diterapkan pada pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan SMA kelas XI pada kompetensi dasar Menganalisis Hubungan Internasional dan Organisasi Internasional.
2. Motivasi siswa dalam penelitian ini berdasar dokumen hasil angket yang diselenggarakan oleh sekolah yang diteliti. Dalam penelitian ini kategori tingkatan motivasi dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu tingkat motivasi tinggi dan kelompok tingkat motivasi rendah.
3. Prestasi belajar Pendidikan Kewarganegaraan dalam penelitian ini dibatasi pada hasil belajar siswa yang dicapai melalui proses pembelajaran. Dalam hal ini berdasarkan hasil penilaian kelas atau kompetensi dasar "Menganalisis Hubungan Internasional dan Organisasi Internasional" siswa kelas XI.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan permasalahan yang dilakukan diatas, maka permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : 
1. Apakah ada perbedaan pengaruh yang signifikan antara model pembelajaran Problem Based Learning dan model pembelajaran Ekspositori terhadap prestasi belajar Pendidikan Kewarganegaraan ?
2. Apakah ada perbedaan pengaruh yang signifikan antara tingkat motivasi tinggi dan rendah terhadap prestasi belajar pendidikan Kewarganegaraan ? 
3. Apakah ada interaksi pengaruh yang signifikan antara model pembelajaran dan tingkat motivasi belajar siswa terhadap prestasi belajar Pendidikan Kewarganegaraan ?

E. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah yang diajukan di atas tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah untuk : 
1. Mengetahui signifikansi perbedaan pengaruh model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dan model pembelajaran Ekspositori (PE) terhadap prestasi belajar Pendidikan Kewarganegaraan.
2. Mengetahui signifikansi perbedaan pengaruh tingkat motivasi tinggi dan tingkat motivasi rendah terhadap prestasi belajar Pendidikan Kewarganegaraan.
3. Mengetahui signifikansi interaksi pengaruh antara model pembelajaran dan motivasi siswa terhadap prestasi belajar Pendidikan Kewarganegaraan.

F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut : 
1. Dari segi praktis
a. Bagi Kepala Sekolah untuk mengambil kebijakan yang dimiliki untuk mendukung setiap upaya kondusif dalam menumbuhkan sikap profesional guru dalam proses pembelajaran.
b. Bagi sekolah dapat dijadikan masukan guna menyelenggarakan proses pembelajaran secara efektif, aktif, kreatif dan menyenangkan.
c. Bagi guru; (1) memperbaiki kinerja dalam melaksanakan tugasnya, (2) melaksanakan struktur pembelajaran yang lengkap, (3) dapat digunakan sebagai salah satu upaya meningkatkan prestasi belajar Pendidikan Kewarganegaraan (4) memperhatikan dalam memilih dan menentukan strategi pembelajaran yang sesuai dan dapat menciptakan belajar yang aktif (5) memperhatikan kemampuan siswa untuk berkomunikasi dengan jelas, spesifik dan tidak multi-tafsir.
2. Dari segi teoritis
a. Untuk menambah pengetahuan dan mengembangkan ilmu pengetahuan guna mendukung teori-teori yang telah ada sehubungan dengan masalah yang diteliti.
b. Sebagai bahan masukan dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran. 
c. Sebagai dasar untuk mengadakan penelitian lebih lanjut bagi peneliti lain yang relevan.

TESIS PENGEMBANGAN BAHAN AJAR APRESIASI PROSA FIKSI DI SMP DENGAN PENDEKATAN QUANTUM LEARNING

TESIS PENGEMBANGAN BAHAN AJAR APRESIASI PROSA FIKSI DI SMP DENGAN PENDEKATAN QUANTUM LEARNING

(KODE : PASCSARJ-0271) : TESIS PENGEMBANGAN BAHAN AJAR APRESIASI PROSA FIKSI DI SMP DENGAN PENDEKATAN QUANTUM LEARNING (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang representatif, bersifat apresiatif, dan memberikan kemungkinan untuk peningkatan daya apresiasi siswa kiranya belum ada di khasanah sastra dan khasanah pendidikan di Indonesia hingga saat ini. Yang ada adalah bahan ajar dalam pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang di dalamnya hanya memasukkan sangat sedikit materi tentang prosa fiksi. Bahan ajar apresiasi prosa fiksi itu belum mencukupi dari segi keluasan dan kedalaman materi apresiasi, baik secara kognitif, afektif, terlebih-lebih untuk maksud psikomotor berupa pembacaan dan penulisan karya sastra berbentuk prosa fiksi. Karena itu, melalui bahan-bahan ajar apresiasi yang dipakai di SMP saat ini, belum dapat dilaksanakan penghayatan terhadap prosa fiksi khususnya dan sastra pada umumnya. Dengan menggunakan bahan ajar semacam itu, belum terpenuhi persyaratan untuk membentuk "the educated person" seperti yang dikemukakan oleh Moody (1989). Pengenalan secara memadai tentang bahan ajar apresiasi prosa fiksi belum dapat dipenuhi melalui bahan-bahan ajar tersebut.
Bahan ajar apresiasi prosa fiksi hendaknya dapat membantu pencapaian tujuan pembelajaran apresiasi prosa fiksi yang oleh Moody (1989 : 59) untuk (1) membantu keterampilan berbahasa; (2) meningkatkan pengetahuan budaya; (3) mengembangkan cipta dan rasa; dan (4) menunjang pembentukan watak. Melalui membaca dan mendengarkan cerita pendek, membaca ringkasan novel, menulis sinopsis dari novel yang dibaca, menceritakan kembali isi ringkasan novel yang dibaca dapat ditingkatkan daya apresiasi siswa. Bahan ajar apresiasi prosa fiksi hendaknya memungkinkan siswa tidak hanya mengapresiasi naskah (teks) cerpen atau novel, namun juga mampu membuat dialog-dialog yang ada dalam prosa fiksi tersebut ke dalam tes naskah drama yang siap untuk diperankan atau dipentaskan di atas panggung. Pembacaan dan penulisan karya sastra berbentuk prosa fiksi dapat dijadikan media aktualisasi diri bagi siswa. Dengan diberlakukannya pendekatan humanistic Maslow dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi termasuk juga KTSP, aktualisasi diri yang dianggap sebagai proses belajar yang cukup penting itu, dapat dilatihkan melalui pembacaan, penulisan, hingga pementasan atau pagelaran drama (Sunardi, 2003 : 21).
Hasil penelitian dari Depdiknas (2004 : 27) menyatakan bahwa pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia bagi murid-murid merupakan mata pelajaran yang sukar dan bukan merupakan mata pelajaran yang menyenangkan. Salah satu penyebabnya adalah bahan ajar yang disampaikan oleh guru kurang menarik bagi siswa.
Kurikulum 2004 maupun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) SMP menandaskan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah dengan filsafat konstruktivisme yang menggunakan proses belajar sebagai suatu proses aktif dalam mengkonstruksi sesuatu (Pannen, dkk., 2005 : 3). Di samping itu, konstruktivisme berpandangan bahwa subjek utama dalam pembelajaran di kelas adalah siswa dan bukan guru. Guru adalah fasilitator, dan manajer dalam proses pembelajaran.
Konstruktivisme menyatakan bahwa setiap orang membangun sendiri konstruksi pemikirannya, informasi yang diperolehnya, afeksi yang dihayati, dan gerak motorik (tingkah laku) yang akan dilaksanakan (Pannen, dkk., 2005 : 5). Lebih lanjut Suparno mengutip Henley (2000 : 17) menyatakan bahwa metode atau model yang baik dalam mengajar harus memberikan kesempatan siswa secara bebas dan seluas-luasnya untuk membangun sendiri pengetahuan, sikap, dan tingkah lakunya.
Interaksi yang efektif antara siswa dan guru merupakan cara penting bagi keberhasilan belajar, seperti yang dikemukakan oleh Lozanov (1978 : 189). Quantum teaching menciptakan lingkungan yang menyenangkan dan terbuka untuk interaksi guru dan siswa seperti yang dituntut Lozanov tersebut. Menurut De Potter (2003 : 4), interaksi antara guru dan siswa dan antara siswa dan siswa merupakan proses yang mengubah energi menjadi cahaya yang menyebabkan proses pengajaran menarik dan menyenangkan bagi siswa. Energi di sini yang dimaksud adalah model, sarana, dan prasarana yang menyebabkan situasi pembelajaran kondusif bagi pengembangan diri siswa.
Pendekatan Quantum Teaching oleh De Potter (Degeng, 2005) dinyatakan sebagai orkestra yaitu penciptaan suasana menyenangkan seperti orkes yang menumbuhkan motivasi dan pencapaian hasil belajar secara optimal.
Karena di masa depan semua mata pelajaran termasuk mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia harus diarahkan kepada kompetensi dalam bidangnya, yang membentuk kemampuan life-skills pada siswa seperti halnya ketentuan dalam kurikulum (KBK maupun KTSP), maka pendekatan atau basis yang digunakan dalam penyusunan bahan ajar haruslah berlandaskan pada basis kompetensi (Mulyasa, 2002 : 71). Basis kompetensi mengarahkan siswa untuk dapat memiliki life skills. Pembentukan kemampuan life skills dalam pengajaran apresiasi prosa fiksi berarti memungkinkan siswa mampu mencari nafkah melalui antara lain : menulis cerpen, menulis novel, membuat sinopsis ringkasan novel terkenal, menulis resensi novel, berakting, mendramatisasikan cerita dalam cerpen atau novel, dan jika dikembangkan lebih lanjut dapat memungkinkan siswa kelak menjadi penulis naskah cerpen dan novel yang andal.
Cerita pendek (cerpen), novel adalah karya sastra dan karya seni (Bakdi Sumanto, 2001). Sebagai karya sastra, naskah cerpen atau novel dalam sastra Indonesia sangat digemari untuk dibaca oleh siswa. Dalam penelitiannya di daerah Jawa Barat, Yus Rusyana (1989) mendapatkan hasil bahwa perbandingan pembacaan/apresiasi prosa : puisi : drama adalah 6 : 3 : 1. Hal ini menunjukkan bahwa keterlibatan siswa dalam prosa termasuk prosa fiksi sangat sering. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan cerpen atau novel yang dimuat di koran.
Berdasarkan pandangan di atas, pendekatan quantum learning dalam pengembangan bahan ajar prosa fiksi kiranya merupakan pendekatan yang dapat membantu meningkatkan daya tarik, minat, dan sikap positif siswa kepada seni sastra, khususnya prosa fiksi. Dalam penelitian ini, pendekatan quantum learning dijadikan pendekatan di dalam memberikan variasi pemilihan bahan ajar prosa fiksi di SMP, khususnya SMPN X. Melalui pendekatan tersebut, bahan ajar prosa fiksi yang berbentuk cerpen maupun novel dapat disajikan secara lebih menarik, dan memotivasi siswa karena bahan-bahan ajar tersebut disajikan dengan iringan musik.
Penelitian ini bermaksud menghasilkan bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang dikemas dengan pendekatan quantum learning, yang khususnya digunakan untuk bahan ajar apresiasi prosa fiksi di SMPN X. Penelitian dilaksanakan melalui tahapan atau prosedur : (1) studi pendahuluan atau eksplorasi untuk mengetahui kebutuhan para siswa maupun guru bahasa Indonesia di SMPN X akan bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang perlu diajarkan; (2) pengembangan produk awal (prototype) bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang sesuai dengan kebutuhan siswa maupun guru atau stakeholders; (3) penyajian model bahan ajar apresiasi prosa fiksi melalui uji coba terbatas dan luas untuk mengetahui tingkat efektivitas bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang dihasilkan; (4) mengetahui tanggapan para siswa atau guru maupun stakeholders yang lain tentang kelayakan bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang sudah diuji efektifitasnya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana dikemukakan di atas, masalah penelitian pengembangan bahan ajar apresiasi prosa fiksi ini dirumuskan sebagai berikut : 
1. Bagaimanakah bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang dibutuhkan siswa dan guru bahasa Indonesia di SMPN X ?
2. Bagaimanakah pengembangan produk awal (prototype) bahan ajar apresiasi prosa fiksi menjadi bahan ajar apresiasi prosa fiksi dengan pendekatan quantum learning di SMPN X ?
3. Bagaimanakah hasil uji keefektifan bahan ajar prosa fiksi yang dikembangkan dengan pendekatan quantum learning diajarkan untuk meningkatkan kemampuan apresiasi prosa fiksi siswa di SMPN X ?
4. Bagaimanakah tanggapan siswa, guru, maupun stakeholders lain terhadap kelayakan bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang dikembangkan dengan pendekatan quantum learning di SMPN X ?

C. Tujuan Penelitian
Mengacu kepada rumusan masalah di atas, tujuan penelitian pengembangan bahan ajar ini adalah untuk : 
1. Mendeskripsikan kebutuhan guru dan siswa SMPN X akan bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang perlu diajarkan.
2. Mengembangkan produk awal (prototype) bahan ajar apresiasi prosa fiksi menjadi bahan ajar yang dikembangkan dengan pendekatan quantum learning di SMPN X.
3. Menguji keefektifan bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang dikembangkan dengan pendekatan quantum learning untuk meningkatkan kemampuan apresiasi prosa fiksi siswa di SMPN X.
4. Mendeskripsikan tanggapan siswa, guru, dan stakeholders yang lain terhadap kelayakan bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang dikembangkan dengan pendekatan quantum learning di SMPN X.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian yang berupa tersusunnya model bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang dikembangkan dengan pendekatan quantum learning untuk siswa SMPN X ini akan mendatangkan manfaat baik secara teoretis maupun praktis. 
1. Manfaat Teoretis
Dengan dihasilkannya model bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang dikembangkan dengan pendekatan quantum learning untuk siswa SMPN X ini, penelitian pengembangan ini dapat memberikan sumbangan terhadap teori pengajaran apresiasi sastra Indonesia, khususnya pengajaran apresiasi prosa fiksi (mendengarkan, berbicara, membaca, menulis cerpen atau novel). Dengan memanfaatkan bahan ajar apresiasi prosa fiksi tersebut, diharapkan dapat dipakai sebagai pendukung terwujudnya apresiasi prosa fiksi siswa, yaitu dengan meningkatnya kemampuan apresiasi prosa fiksi siswa tersebut. Dengan demikian, hasil penelitian ini akan memperkaya khasanah keilmuan khususnya dalam bidang pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dan mendorong peneliti lain untuk melaksanakan penelitian sejenis yang lebih luas pada masa-masa mendatang.
2. Manfaat Praktis
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diperoleh informasi tentang model bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang dikembangkan dengan pendekatan quantum learning. Dari temuan ini secara praktis dapat digunakan acuan bagi : 
a. Para Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMPN X
Dengan model bahan ajar apresiasi prosa fiksi tersebut, guru dapat meningkatkan kemampuan apresiasi prosa fiksi siswa.
b. Pimpinan Sekolah dan Pengawas
Dengan model bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang dikembangkan dengan pendekatan quantum learning, pimpinan sekolah dan pengawas mendapatkan pencerahan konsep orientasi pengajaran apresiasi sastra yang baru, khususnya apresiasi prosa fiksi sehingga kemampuan apresiasi siswa terhadap prosa fiksi (cerpen, novel) dapat ditingkatkan. Dengan temuan tersebut, maka pihak pimpinan sekolah dan pengawas perlu memberi dukungan pada perubahan cara dalam memilih atau menentukan bahan ajar apresiasi yang akan diajarkan pada siswa yang betul-betul apresiatif, menyenangkan dan menggembirakan.
c. Siswa-siswa SMPN X
Dengan model bahan ajar apresiasi prosa fiksi yang dikembangkan dengan pendekatan quantum learning menuntut siswa untuk berapresiasi sambil diiringi musik sehingga antusias, semangat, gairah, dan motivasi belajar siswa dalam mengikuti pembelajaran apresiasi prosa fiksi bisa terwujud.

TESIS STRATEGI PEMENUHAN PEMBIAYAAN PENDIDIKAN (STUDI KASUS DI MA)

TESIS STRATEGI PEMENUHAN PEMBIAYAAN PENDIDIKAN (STUDI KASUS DI MA)

(KODE : PASCSARJ-0270) : TESIS STRATEGI PEMENUHAN PEMBIAYAAN PENDIDIKAN (STUDI KASUS DI MA) (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Selanjutnya, pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang, (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional, dan (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Pendidikan mempunyai peranan penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi suatu bangsa, karena pendidikan berpengaruh terhadap produktivitas dan juga berpengaruh terhadap fertilitas masyarakat. Melalui pendidikan manusia menjadi cerdas, memiliki skill, sikap hidup yang baik sehingga dapat bergaul dengan baik di masyarakat dan dapat menolong dirinya sendiri, keluarga, dan masyarakat. Pendidikan menjadi investasi yang memberi keuntungan sosial dan pribadi yang menjadikan bangsa bermartabat dan menjadikan individualnya manusia yang memiliki derajat.
Pendidikan merupakan sumber-kunci pembangunan ekonomi suatu bangsa sebagai outcome proses pembangunan, investasi pendidikan di suatu negara dalam menyelenggarakan sekolah dapat diarahkan untuk menumbuhkan ekonomi suatu bangsa. Johns dan Morphet memiliki pandangan yang sama, bahwa pada negara tertentu pendidikan merupakan penyumbang utama bagi pertumbuhan ekonomi. Suatu hal yang menarik bagaimana negara (pemerintah) membuat kebijakan pendidikan, sehingga pendidikan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Studi yang dilakukan oleh Psacharopulus dan Woodall menunjukkan kontribusi pendidikan secara relatif terhadap pertumbuhan ekonomi dengan tingkat variasi yang beragam. Di kawasan Amerika Utara, presentasi kontribusi per tahun cukup tinggi, yakni 25,0% di Amerika Serikat dan 15% di Kanada. Sementara di kawasan Eropa yang tertinggi mencapai 14,0% di Belgia dan 12,0% di Inggris. Namun, ada juga yang pertumbuhannya relatif kecil, seperti di Jerman dan Yunani masing-masing memiliki persentase 2,0% dan 3,0%.
Sementara itu, di kawasan Asia juga terbilang relatif tinggi, yakni 15,9% di Korea Selatan, 14,7% di Malaysia, dan 10,5% di Filipina, kecuali di Jepang hanya 3,3%. Demikian pula di kawasan Afrika seperti Ghana, Nigeria, dan Kenya Masing-masing 23,2%, 16,0%, dan 12,4%. Psacharopulus dan Woodall yang keduanya merupakan konsultan pendidikan Bank Dunia juga menunjukkan bahwa investasi dibidang pendidikan dapat memberi keuntungan ekonomi yang relatif tinggi sebagaimana terlihat dalam social rate of return, hasil yang diperoleh atau keuntungan ekonomi yang didapat lebih besar dibandingkan ongkos yang dikeluarkan.
Gerakan reformasi di Indonesia secara umum menuntut diterapkannya prinsip demokrasi, desentralisasi, keadilan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Gerakan reformasi ini juga ditandai dengan lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah, dengan adanya otonomi daerah ini, memberikan kewenangan terhadap daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini juga berimbas pada bidang pendidikan, karena pendidikan merupakan kewenangan pada daerah kabupaten/kota, sesuai dengan pasal 11 ayat 2 yang mengisyaratkan bahwa bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah otonomi meliputi : pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertahanan, koperasi, dan tenaga kerja, dengan demikian, jelas bahwa pengelolaan pendidikan secara luas menjadi kewenangan daerah.
Perubahan pola sentralistik menjadi desentralisasi dalam bidang pendidikan merupakan dampak dari adanya otonomi daerah, pengelolaan pendidikan dengan pola desentralisasi menuntut partisipasi masyarakat secara aktif untuk merealisasikan otonomi daerah, karena itu perlu kesiapan sekolah sebagai ujung tombak pelaksanaan operasional pendidikan, pada garis bawah. Sistem pendidikan yang dapat mengakomodasi seluruh elemen esensial diharapkan muncul dari pemerintah kabupaten dan kota sebagai penerima wewenang otonomi. Pendidikan yang selama ini dikelola secara terpusat (sentralistik) harus diubah untuk mengikuti irama yang sedang berkembang. Otonomi daerah sebagai kebijakan politik ditingkat makro akan memberi imbas terhadap otonomi sekolah sebagai subsistem pendidikan nasional.
Secara substantif pembahasan Undang-Undang diatas berkaitan erat dengan Undang-Undang tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Hal ini menunjukkan bahwa daerah atau kabupaten dan kota memegang peranan penting dalam kewenangan dan pembiayaan. Demikian halnya dengan pengembangan pendidikan, sangat bergantung atas kebijakan pemerintah daerah sebagai bagian dari kewenangan yang dilimpahkan. Melalui otonomi pengelolaan pendidikan diharapkan pemenuhan kebutuhan masyarakat lebih cepat, tepat, efektif, dan efisien.
Masalah keuangan erat hubungannya dengan pembiayaan, sedangkan masalah pembiayaan itu sendiri merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan kehidupan suatu organisasi seperti halnya lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga-lembaga yang lainnya. Biaya pendidikan merupakan sal ah satu komponen masukan instrumental (instrumental input) yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan (di sekolah). Dalam setiap upaya pencapaian tujuan pendidikan, baik tujuan-tujuan yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif, biaya pendidikan memiliki peranan yang sangat menentukan.
Biaya pendidikan di sekolah merupakan potensi yang sangat menentukan keberhasilan implementasi kurikulum dan peningkatan kualitas pembelajaran, sehingga nantinya akan berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Hal ini sejalan dengan hasil studi kepustakaan dari tim Universitas Maryland yang dipimpin oleh Dr. James Greenberg menyimpulkan bahwa salah satu indikator sekolah efektif ialah sekolah yang memiliki sumber dana kuat, melakukan investasi berkelanjutan, dan mengalokasikan dana secara efektif. Kekuatan sumber dana terletak pada kepastian dan kecukupan sesuai dengan kebutuhan sekolah, agar sekolah dapat berkembang dan adaptif terhadap perubahan zaman sehingga menjamin lulusan untuk dapat bersaing dalam kehidupan lokal, nasional, dan global.
Persoalan dana merupakan persoalan yang paling krusial dalam perbaikan dan pembangunan sistem pendidikan di Indonesia, yang mana dana merupakan salah satu syarat atau unsur yang sangat menentukan keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Berdasarkan hasil kajian, banyak permasalahan yang dihadapi oleh lembaga pendidikan terkait dengan pembiayaan pendidikan, diantaranya : (1) Tersedianya sumber dana yang terbatas, (2) Pembiayaan program yang serampangan, tidak mendukung visi, misi, dan kebijakan sebagaimana yang tertulis di dalam rencana strategis lembaga pendidikan, (3) Kurangnya bantuan pemerintah akibat otonomi daerah, dengan diberlakukannya otonomi daerah maka kewenangan pengelolaan pendidikan dengan segera mengubah pola pembiayaan sektor pendidikan. Sebelum otonomi daerah, praktis hanya pembiayaan Sekolah Dasar (SD) yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah (Pemda), sedangkan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dan juga Perguruan Tinggi menjadi tanggung jawab Pusat. Pembiayaan SLTP dan SLTA dilakukan melalui Kanwil Depdiknas (di tingkat propinsi) dan Kandepdiknas (di tingkat kabupaten/kota). Setelah diberlakukannya otonomi daerah, maka seluruh pengelolaan sekolah dari SD hingga SLTA menjadi tanggung jawab Pemda, padahal besarnya potensi yang di miliki setiap daerah berbeda.
(4) Rendahnya anggaran pendidikan yang ditujukan untuk pendidikan, dapat dibuktikan dari berbagai data perbandingan antar negara dalam hal anggaran pendidikan yang diterbitkan oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) dan Bank Dunia dalam "The World Bank (2004) : Education in Indonesia : Managing the Transition to Decentralization (Indonesia Education Sector Review), Indonesia adalah negara yang terendah dalam hal pembiayaan pendidikan. Pada tahun 1992, menurut UNESCO, pada saat Pemerintah India menanggung pembiayaan pendidikan 89% dari keperluan, Indonesia hanya menyediakan 62,8% dari keperluan dana bagi penyelenggaraan pendidikan nasionalnya. Sementara itu, dibandingkan dengan negara lain, persentase anggaran yang disediakan oleh pemerintah Indonesia masih merupakan yang terendah, termasuk jika dibandingkan dengan Sri Langka sebagai salah satu negara yang terbelakang.
(5) Rendahnya akuntabilitas publik (public accountability), (6) Belum adanya keterbukaan dalam manajemen keuangan, (7) Keterbatasan dana berpengaruh terhadap kesejahteraan guru, (8) Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji setiap bulannya sebesar Rp 3 juta rupiah, tapi kenyataannya pendapatan guru sebesar Rp 1,5 juta, serta guru bantu bergaji Rp 460 ribu, dan guru honorer Rp 10 ribu per jam.
Masalah pembiayaan harus dipecahkan secara bersama, jika ingin mendapatkan peluang yang maksimal bagi semua penyelenggara pendidikan agar dapat berkembang. Kepala sekolah dituntut untuk memahami prinsip kewirausahaan dan kemudian menerapkannya dalam mengelola sekolah. Permasalahan ini dapat diminimalisir dengan adanya usaha mandiri dari sekolah dalam meningkatkan sumber pembiayaannya untuk pemenuhan pembiayaan pendidikan.
Kebutuhan dana untuk kegiatan operasional secara rutin dan pengembangan program sekolah secara berkelanjutan sangat dirasakan setiap pengelola lembaga pendidikan. Semakin banyak kegiatan yang dilakukan sekolah semakin banyak dana yang dibutuhkan. Untuk itu kreativitas setiap pengelola sekolah dalam menggali dana dari berbagai sumber akan sangat membantu kelancaran pelaksanaan program sekolah, baik rutin maupun pengembangan di lembaga yang bersangkutan.
Sekolah dituntut untuk memiliki kemampuan dalam mengelola dan mengalokasikan dana pendidikan sehingga sumber daya yang berupa uang dapat diberdayakan secara optimal. Sumber pembiayaan merupakan ketersediaan sejumlah uang atau barang dan jasa yang dinyatakan dalam bentuk uang bagi penyelenggara pendidikan, program yang telah direncanakan harus dijalankan sesuai dengan rencana, semakin banyak kegiatan yang dilakukan maka semakin banyak dana yang dibutuhkan, sehingga sekolah harus berupaya untuk memenuhi anggaran biaya yang telah direncanakan. Agar kebutuhan biaya dapat terpenuhi, maka penggunaan strategi diperlukan, karena strategi adalah suatu garis-garis besar suatu haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan, dengan menggunakan strategi pemenuhan pembiayaan pendidikan, maka kebutuhan dana dalam melaksanakan program dapat direncanakan dan dilaksanakan dengan baik.
Sekolah dan madrasah swasta dalam konteks pembiayaan pendidikan mendapat bagian yang kecil dari pemerintah, karena pembiayaan atau pendanaan bagi satuan pendidikan yang didirikan dan dikelola oleh masyarakat menjadi tanggung jawab satuan pendidikan yang bersangkutan. MA X merupakan salah satu madrasah swasta yang ada di kota X, yang dalam perjalanan sejarahnya mengalami perkembangannya yang signifikan.
Berdasarkan hasil survei/observasi awal yang dilakukan oleh peneliti, MA X merupakan madrasah swasta yang sejak berdirinya mengalami perkembangan yang signifikan salah satunya dapat dilihat dari bangunan fisik sekolah yang semakin baik, ruangan kelas semakin bertambah banyak, sarana dan prasarana (saspras) yang mulai terlengkapi, dll. Pengembangan ini tidak akan dapat terpenuhi jika tidak memiliki biaya yang memadahi.
Selain itu juga sebagai madrasah yang didirikan oleh yayasan X, pada awal pendiriannya berkomitmen untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan dan juga mengurangi angka putus sekolah dikarenakan keterbatasan dana, komitmen ini dilakukan dengan menggratiskan biaya sumbangan pembiayaan pendidikan (SPP) bagi siswa yang kurang mampu dalam hal perekonomian. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan akan biaya pendidikan lebih difokuskan pada usaha menggali dana dari berbagai sumber.
Fakta yang terjadi di atas sangat menarik untuk diungkap lebih jauh melalui penelitian ini, dan hal ini memang sangat sesuai dengan judul penelitian, yaitu “STRATEGI PEMENUHAN PEMBIAYAAN PENDIDIKAN DI MA X”. Pada akhirnya, melalui penelitian ini, diharapkan dapat menghasilkan solusi tentang Strategi Pemenuhan Pembiayaan Pendidikan di Sekolah baik swasta ataupun sekolah negeri.

B. Fokus Penelitian
1. Bagaimana kebutuhan dan pemenuhan pembiayaan pendidikan di MA X ?
2. Bagaimana strategi pemenuhan pembiayaan Pendidikan di MA X ?

C. Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian ini adalah ditemukannya strategi pemenuhan pembiayaan pendidikan di MA X, sedangkan tujuan lebih khusus sesuai dengan fokus penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk : 
1. Mendeskripsikan dan mengkaji tentang kebutuhan dan pemenuhan pembiayaan pendidikan di MA X.
2. Mendeskripsikan dan merumuskan alternatif strategi dalam rangka pemenuhan pembiayaan pendidikan di MA X.

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 
1. Secara teoritis : penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi keilmuan untuk menjadi bahan kajian dan bahan penelitian selanjutnya. Terutama yang berkaitan dengan pembiayaan pendidikan, bagaimana strategi yang diterapkan untuk pemenuhan pembiayaan pendidikan, karena pelaksanaan strategi ini tidak bisa diseragamkan antara satu sekolah dengan sekolah lainnya, sehingga hal ini bisa bermanfaat bagi praktisi pendidikan terutama kepala sekolah. 
2. Secara praktis : untuk memberikan gambaran tentang potret ideal bagaimana strategi pemenuhan pembiayaan dalam usaha untuk pemenuhan anggaran pembiayaan pendidikan dan sebagai sumber pemasukan bagi satuan pendidikan.

TESIS PROBLEMATIKA MANAJEMEN PENDIDIKAN (STUDI KASUS DI MIN)

TESIS PROBLEMATIKA MANAJEMEN PENDIDIKAN (STUDI KASUS DI MIN)

(KODE : PASCSARJ-0269) : TESIS PROBLEMATIKA MANAJEMEN PENDIDIKAN (STUDI KASUS DI MIN) (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Keberadaan madrasah di Indonesia merupakan fenomena budaya yang telah berusia satu abad lebih. Sebagai bagian dari budaya, Madrasah dengan sendirinya menjadi proses sosialisasi yang relatif sangat cepat dan intensif.
Secara teknis Madrasah tidak berbeda dengan Sekolah, hanya dengan lingkup kultur Madrasah mempunyai spesialisasi. Di lembaga ini siswa memperoleh pembelajaran hal ihwal atau seluk beluk Agama dan keagamaan, sehingga dalam penggunaan kata Madrasah sering dikonotasikan dengan sekolah Agama.
Madrasah dalam perjalanannya mengalami realitas yang cukup panjang. Transisi perubahan Madrasah disebabkan fenomena yang ada yaitu pendudukan kolonial Belanda yang mendiskreditkan Islam, yang kemudian menimbulkan dikotomi ilmu umum dan ilmu Agama.
Dalam pengembangan dan inovasi Madrasah, secara formal dirintis oleh Menteri Agama Prof. Dr. Mukti Ali 1971-1978 dengan terobosan SKB iga Menteri yang mewajibkan kurikulum di Madrasah Mata pelajaran umum 70% dan Agama 30%. Inovasi tersebut untuk meningkatkan kualitas pendidikan, iklim belajar mengajar yang tepat sebagaimana layaknya pendidikan modern. 
Dalam implementasi inovasi di atas masih banyak kendala yang dihadapi, baik dari segi kelembagaan, tenaga guru, kurikulum, maupun sarana dan prasarana. Dalam pada itu kehadiran Madrasah masih sangat dibutuhkan karena Madrasah mampu melahirkan peserta didik yang memiliki budi pekerti luhur serta kesadaran beragama yang lebih tinggi. Keunggulan Madrasah tersebut dirasa sangan sesuai dan relevan untuk mengantisipasi sebagai akses dan pengaruh pendidikan modern seperti sikap sekularistik, materialistic, dan cenderung mengabaikan persoalan moral.
Bagi remaja usia sekolah mengabaikan masalah moral dan spiritual mengakibatkan banyak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti perkelahian antar pelajar, penggunaan obat terlarang yang sering terjadi akhir-akhir ini. Dengan keunggulan Madrasah tersebut, orang tua merasa tenang jika anaknya belajar di Madrasah.
Dari fenomena di atas, yang terpenting adalah membentuk Madrasah yang berkualitas yang mampu bersaing dengan sekolah umum. Adapun gagasan mengenai pembentukan Madrasah yang berkualitas memiliki landasan yang cukup kuat, diantaranya : 
1. Dengan keluarnya UU No 20/2003 tentang USPN yang menyatakan tidak ada pembedaan antara Madrasah dan sekolah
2. UU No 20/2003 Pasal 8 ayat 2 yang menyebutkan bahwa warga Negara Indonesia yang memiliki kemampuan dan kecerdasan berhak memperoleh perhatian khusus.
Meski demikian madrasah oleh sebagian masyarakat masih dipandang sebelah mata atau dianggap sebagai lembaga pendidikan "kelas dua", faktanya walaupun secara yuridis diakui dan sejajar dengan formal lainnya, Madrasah hanya diminati oleh siswa-siswa yang kemampuan intelegensi dan tingkat ekonomi orang tua yang pas-pasan, sehingga upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan di Madrasah selalu mengalami hambatan.
Di sisi lain, kebijakan yang dibuat pemerintah justru terasa mempersulit upaya-upaya pengembangan madrasah. Kualitas pendidikan relative kurang didukung disbanding dengan sekolah formal lainnya, karena kebanyakan bidang studi yang diajarkan sementara kualitas tenaga didik masih rendah, manajemen kurang professional, sarana dan prasarana pas-pasan, serta jumlah siswa yang sedikit dan kebanyakan berasal dari keluarga tidak mampu (Fajar : 1999 : 18).
Kita menyadari dalam dinamika dan peradaban global saat ini, Madrasah menghadapi tantangan yang sangat berat, yakni masyarakat kita mulai terjebak oleh pandangan hidup yang positivism dan kapitalisme, sehingga segala sesuatu yang dianggap tidak mempunyai keuntungan, manfaat dan peluang akan ditinggalkan. Bertolak dari pandangan di atas bahwa Madrasah dianggap marjinal oleh sebagian masyarakat memang cukup beralasan. Masyarakat berpersepsi bahwa Madrasah kurang professional, tidak berkualitas, NEM dibawah rata-rata, out put tidak mampu berkompetisi, serta lemah dalam sisi manajemen.
Menurut Mastuhu (1999 : 59) ada lima kelemahan system pendidikan madrasah, yakni 1) mementingkan materi disbanding metodologi, 2) mementingkan memori di atas analisis dan dialog, 3) mementingkan otak ‘kiri' dibandingkan otak 'kanan', 4) materi pelajaran agama yang diberikan tidak menyentuh aspek social karena bercorak tradisional, 5) mementingkan orientasi 'memiliki' daripada 'menjadi'.
Akibat mendirikan madrasah yang hanya mementingkan kuantitas bukan kualitas, dengan pengelolaan yang asal-asalan, Madrasah swasta khususnya, tidak mampu memberikan pembaharuan dan pencerahan bagi pendidikan Islam.
Dalam hal ini faktor kepemimpinan menjadi sorotan utama, ketidak mampuan pemimpin untuk menggerakkan, mempengaruhi dan mendorong serta memanfaatkan sumberdaya manusia yang ada kelemahan manajemen inilah yang menyebabkan Madrasah sulit berkembang.
Dalam teori sosial (Adam Ibrahim. 1989 : 19) dikatakan, bahwa suatu organisasi yang tidak mampu berinovasi, berperan dan ber konteks dengan lingkungannya, maka cepat atau lambat organisasi tersebut akan ditinggalkan lingkungannya. Lembaga pendidikan dalam hal ini Madrasah sebagai lembaga social harus mampu merespon tuntutan masyarakat yang selalu berubah yang disebabkan oleh perubahan dan tuntutan zaman.
Hal-hal yang perlu dilakukan inovasi dalam pengelolaan Madrasah dapat dikelompokkan sebagai berikut : (1) pembinaan tenaga guru (2) pembinaan staf (3) prilaku dan kedisiplinan (4) melakukan kerjasama dengan pihak-pihak terkait (stake holders) (5) hubungan dan komunikasi serta iklim Madrasah (6) strategi pembelajaran (7) pembelajaran/media pembelajaran (8) keuangan (9) sarana dan prasarana. Yang menjadi pertanyaan besar adalah mengapa upaya inovasi yang telah dirintis sejak dulu, utamanya peningkatan kualitas pendidikan Madrasah tidak sesuai dengan harapan ?.
Inovasi menurut Adam Ibrahim (1989 : 21) adalah upaya pemecahan masalah-masalah yang dihadapi. Dan apabila dikaitkan dengan fungsinya sebagai institusi social terbuka, maka Madrasah dituntut untuk melakukan inovasi sebagai bentuk kepedulian terhadap tuntutan masyarakat yang selalu berubah jika tidak maka Madrasah akan ditinggalkan masyarakatnya. Hal ini diperkuat oleh Ibrahim Bafadhol (1988; 16) bahwa inovasi Madrasah adalah suatu keharusan untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme pendidikan dalam menatap masa depan. Aspek-aspek yang perlu di inovasi menurutnya adalah (1) pembinaan personalia (2) banyaknya personal dan wilayah kerja (3) fasilitas fisik (4) penggunaan waktu (5) perumusan tujuan (6) prosedur (7) peran yang dimiliki (8) bentuk hubungan antar bagian (9) hubungan dengan system yang lain dan strategi : desain, kesadaran, dan perhatian, evaluasi, percobaan. Dari sinilah inovasi pendidikan Madrasah harus dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan. Meski demikian sudah ada Madrasah yang mampu mengaktualkan diri sebagai sekolah unggulan dan favorit yang dapat memberi nuansa baru terhadap pendidikan Islam ke depan.
H.A. R. Tilaar (1999; 33) berpendapat bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih memiliki berbagai problem yang harus dipecahkan : Distribusi pendidikan belum merata, mutu pendidikan masih rendah diberbagai jenjang dan jenis pendidikan, efisiensi internal dan eksternal system pendidikan masih rendah, aplikasi manajemen masih kurang professional dan lemahnya sumberdaya manusia, serta menurunnya akhlak dan moral. Permasalahan tersebut disebabkan karena system pendidikan yang dilakukan selama ini masih bersifat missal dan cenderung memberikan perlakuan yang standar dan merata kepada semua peserta didik, sehingga kurang memberikan perhatian kepada peserta didik yang memiliki kemampuan, kecerdasan, minat dan bakat yang lebih dalam. Oleh karena itu, system tersebut tidak akan menunjang upaya pengoptimalan pengembangan potensi sumberdaya manusia secara tepat.
Menurut Mukti Ali (dalam Maksum, 1999l : 40), realitas pendidikan Islam dari sejak munculnya lembaga pendidikan Islam sampai dengan sekarang masih diliputi oleh problema-problema yang seakan tidak pernah selesai.
Dalam pengembangan madrasah yang merupakan lembaga yang berciri khas Islam sampai saat ini masih dipertanyakan kualitas pendidikannya. Secara jujur harus diakui keberadaan Madrasah masih belum mampu mencapai kualitas yang diharapkan dan perannya di tengah masyarakat masih perlu diadakan pembenahan. Dari sisi kualitas, pendidikan di Madrasah jelas masih jauh dari yang kita harapkan, baik dari faktor profesionalisme tenaga pengajar, sarana dan prasarananya, maupun input dan outputnya serta faktor finansialnya. Masyarakat Indonesia yang sebagian besar memeluk Agama Islam, tentu menaruh harapan besar pada Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang diharapkan mampu menjawab pelbagai tantangan zaman di era global ini. Bukan hal yang berlebihan apabila masyarakat mengharapkan generasi yang memiliki tingkat moralitas yang tinggi yang memiliki konsistensi terhadap Agamanya atau kesolehan spiritual sekaligus kesolehan social.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Mukti Ali (1999 : 41) "sudah saatnya pemerintah dan umat Islam memberi perhatian serius terhadap lembaga pendidikan keagamaan seperti Madrasah, pondok pesantren ataupun lembaga keagamaan lainnya. Menurut Bukhori (dalam Muhaimin, 2005; 41) bahwa kegagalan lembaga pendidikan Agama Islam disebabkan karena praktek pendidikannya hanya memperhatikan faktor kognitif dan mengabaikan faktor afektif dan kognatif, yakni kemauan dan tekat yang kuat untuk mengamalkan nilai-nilai Agama, akibatnya terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan pengamalan. Madrasah masih sibuk dengan berputar-putar pada masalah tenaga pengajar dan sumber dana. Sering laki para pengajar di Madrasah merasa kebingungan dengan inovasi pendidikan terutama dalam bidang kurikulum (Muhaimin, 2005 : VI). Jika hal ini dibiarkan tidak mustahil Madrasah akan ditinggalkan oleh masyarakat Islam sendiri.
Dari pelbagai problematika pendidikan khususnya Madrasah. MIN X sebagai obyek penelitian ini yang apabila dibandingkan dengan lembaga pendidikan Islam lain masih jauh kalah bersaing. Akan tetapi MIN X jika di bandingkan dengan Madrasah-Madrasah yang ada di X, terutama di Kecamatan X dari segi sarana-prasarananya, financial dan sumberdaya manusianya masih lebih baik. Tetapi, dengan pelbagai keunggulan yang ada di MIN X tidak mampu menempatkan diri sebagai Madrasah yang diminati atau menjadi pilihan masyarakat, masih kalah dengan Madrasah atau sekolah swasta yang notabene sumberdaya manusianya dan sisi finansialnya jauh di bawahnya.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk memperbaiki kualitas dan meraih kembali simpati masyarakat, dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh besar di daerah X, namun semua masih jauh dari harapan. MIN X yang dulu menjadi kebanggaan masyarakat, kini nasibnya sangat memilukan. Dari fenomena yang terjadi di MIN X tersebut, menarik peneliti untuk mengungkap apa yang sebenarnya terjadi serta apa makna dari kajian tersebut.

B. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini mengungkap penyebab utama terjadinya kemunduran drastic lembaga pendidikan MIN X. Adapun pertanyaan yang peneliti ajukan untuk mengungkap hal tersebut adalah : 
1. Mengapa MIN tersebut mengalami kemunduran ?
2. Apa saja problem yang dihadapi oleh MIN X tersebut ?
3. Upaya apa yang dilakukan MIN X untuk mengatasi problemnya ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan dan batasan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 
1. Untuk mengetahui penyebab utama dari kemunduran MIN X
2. Untuk mengetahui problem yang dihadapi MIN X
3. Upaya apa yang dilakukan oleh Min X untuk mengatasi problemnya ?

D. Manfaat penelitian
Penelitian tentang problematika manajemen pendidikan diajukan dari aspek manajemen dan kepemimpinan tentu sangat banyak, namun tetap memiliki daya tarik tersendiri. Sebab dari beberapa penelitian tentang kepemimpinan Kepala Madrasah tentu ada perbedaan dalam pendekatan settingnya oleh karena itu, penelitian ini diharapkan menemukan hal-hal baru dalam bidang kepemimpinan dan manajemen untuk lembaga pendidikan.
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi berharga bagi inovasi aspek fisik dan non fisik bidang manajemen dan kepemimpinan. Kedua hal di atas diperlukan dalam rangka untuk pemberdayaan Madrasah dan mempersiapkan Madrasah sebagai lembaga alternative yang inovatif dan berkualitas. Di samping itu juga sebagai sumbangan pemikiran kepada Departemen Agama Kabupaten X khususnya dalam rangka mengembangkan inovasi pendidikan Madrasah di masa yang akan dating.
Hasil penelitian juga akan bermanfaat bagi MIN X dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikannya. Manfaat lain dari penelitian ini diharapkan dapat memberdayakan Madrasah pada khususnya dan dunia pendidikan pada umumnya.