Search This Blog

SKRIPSI STUDI DRAMATURGI MENGENAI PRESENTASI DIRI PRAMURIA DI KALANGAN MAHASISWI

SKRIPSI STUDI DRAMATURGI MENGENAI PRESENTASI DIRI PRAMURIA DI KALANGAN MAHASISWI

(KODE : ILMU-KOM-0070) : SKRIPSI STUDI DRAMATURGI MENGENAI PRESENTASI DIRI PRAMURIA DI KALANGAN MAHASISWI



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dibalik suatu citra kehidupan kampus sebagai sarana dan prasarana dalam membina dan pembentukan identitas, ternyata kampus juga menyembunyikan sisi gelap dari dinamikanya. Lebih dari yang dibayangkan oleh masyarakat, sisi gelap tersebut hadir dari kehidupan mahasiswi yang berprofesi sebagai pramuria atau ayam kampus.
Banyak sebab yang melatarbelakangi seorang wanita atau dalam hal ini seorang mahasiswi yang menjadi seorang Pramuria atau 'ayam kampus', antara lain adalah pengaruh lingkungan sosial, dan keluarga. Lingkungan sosial memegang peranan penting terhadap pembentukan perilaku/sikap seseorang. Faktor lain yaitu Keluarga, sangat mempengaruhi kehidupan seseorang karena intensitas dan frekuensinya yang cenderung tetap dan rutin.
Salah satu realita keanekaragaman kehidupan mahasiswi. Selain berstatus sebagai mahasiswi, wanita tersebut juga berstatus sebagai Pramuria atau kata lain 'ayam kampus'. Bagi masyarakat luas, keberadaan kaum Pramuria ini sudah diketahui secara luas, namun keberadaan pramuria ditengah-tengah kaum pelajar ini belum diketahui secara luas. Keadaan ini tentu saja sangat mengkhawatirkan. Entah sejak kapan hal ini bermula, namun kehadiran kaum ini di lingkungan terpelajar semakin hari semakin bertambah.
Dalam kenyataannya, dengan bertambahnya penduduk yang demikian pesat, khususnya di kota-kota besar, mengakibatkan ruang hidup dan ruang lingkup kehidupan menjadi bertambah sempit. Urbanisasi yang terus-menerus terjadi sulit dikendalikan, apalagi ditahan, menyebabkan laju kepadatan penduduk di kota besar sulit dicegah. Dinamika hubungan menjadi lebih besar, sekaligus menjadi lebih longgar, kurang intensif, dan kurang akrab. Dalam kondisi seperti ini, sikap yang menjadi ciri dari kehidupan masyarakat yang padat: individualistis, kompetitif, dan materialistis, amat mudah timbul.
Pengaruh pribadi terhadap pribadi lain di rumah, di kampus, dan di mana saja yang memungkinkan hubungan yang cukup sering terjadi, akan mempengaruhi kehidupan pribadi, kehidupan dalam keluarga, dan kehidupan sosialnya. Banyak kota yang sedang berkembang menjadi tempat pertemuan, percampuran antara berbagai corak kebudayaan, adat istiadat, termasuk bahasa dan sistem nilai sikap. Tidak mustahil dalam keadaan seperti itu, muncul ketidakserasian dan ketegangan yang berdampak pada sikap, perlakuan negatif orang tua terhadap anak, dan lebih lanjut dalam lingkungan pergaulan.
Pramuria bagi masyarakat lebih dikenal dengan sebutan WTS (Wanita Tuna Susila), PSK (Pekerja Seks Komersial), atau pelacur.
Dalam penelitian ini peneliti lebih memfokuskan pada 'ayam kampus' yang terdapat di lingkungan perkuliahan. Dalam lingkungan perkuliahan pramuria lebih dikenal dengan sebutan ayam kampus, Dimana mahasiswi-mahasiswi yang melakukan penyimpangan ini, mereka menjalankan perannya di lingkungan mereka. Mereka berusaha mengontrol diri seperti penampilan, keadaan fisik, perilaku actual dan gerak agar perilaku menyimpang yang mereka jalani ini tidak dapat diketahui oleh lingkungan mereka. Karena mereka tahu bahwa menjadi ayam kampus akan merusak nama mereka.
Mahasiswi yang diistilahkan ayam kampus bukan hanya semacam sinyalemen, tapi prakteknya memang ada. Mereka selalu memberikan sebuah pertunjukan yang mengesankan sikap di luar topeng dirinya. Bergaul dengan teman-teman sesama jurusan ataupun dari jurusan dan universitas lain, penampilan yang hampir sama dengan mahasiswi kebanyakan, serta tingkah laku yang bisa dibilang alim merupakan cover yang biasa para ayam kampus perlihatkan ke tengah-tengah lingkungan pergaulan mereka.
Seperti kita ketahui bersama bahwa orang lain menilai kita berdasarkan petunjuk-petunjuk yang kita berikan dan dari penampilan itu mereka memperlakukan kita. Bila mereka menilai diri kita berstatus rendah kita tidak mendapatkan pelayanan istimewa. Bila kita dianggap bodoh, mereka akan mengatur kita. Untuk itu kita sengaja menampilkan diri kita (self presentation) seperti yang kita kehendaki (Rakhmat, 2012:95)
Istilah ayam kampus itu sendiri dapat diartikan sebagai pelayan kepuasan, dimana kepuasan ini hanya dibatasi oleh kepuasan seksual semata. Sengaja atau tidak, seakan-akan Pramuria dapat dianggap legal di mata hukum dan telah menjadi hal yang lumrah di sekitar masyarakat. Walaupun telah kita ketahui bersama, pemerintah telah mengupayakan untuk menghukum aktivitas prostitusi tersebut. Sekali lagi kenyataan telah membuktikan bahwa mereka dan aktivitasnya tetap eksis hingga saat ini. Bahkan di jejaring sosial Facebook terdapat komunitas ayam kampus.
Pasar mereka pun lebih modern dengan memanfaatkan dunia online dalam menjajakan kenikmatan seks mereka. Prostitusi dunia online yang sangat terbuka menjadi ladang bagi ayam-ayam kampus menjajakan diri. Ada yang lewat Chat ataupun membuat Profil di Friendster maupun Facebook agar si calon pemakai jasa persetubuhan mereka dapat langsung melihat foto maupun jati diri si ayam kampus. Harga yang dipatok pun pasti lebih mahal dibanding dengan kupu-kupu malan didaerah pelacuran. Entah apa yang menjadi alasan utama beberapa mahasiswi memutuskan untuk terlibat di dunia pelacuran ini.
Seseorang yang masih dalam masa mencari jati diri selalu berusaha mencoba-coba hal-hal yang baru. Apabila tidak adanya kontrol dari keluarga ataupun masyarakat maka seseorang tersebut akan terjerumus dalam perbuatan yang bersifat negatif Jati diri sendiri menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah ciri atau keadaan khusus yang ada pada seseorang. Adapun menurut sumber lain, jati diri memiliki arti sebuah pribadi atau realitas pada diri yang melekat erat menyatu tak terpisahkan.
Prostitusi dalam dunia pendidikan bukanlah menjadi hal yang bam, akan tetapi hal tersebut masih menjadi hal yang tabu karena praktek prostitusi tersebut masih tertutup atau terselubung, juga minim dari ekspose media massa, tidak vulgar seperti praktek prostitusi pada umumnya.
Dunia pendidikan merupakan suatu gambaran dunia yang penuh dengan ilmu, melatih keterampilan, dan pengetahuan yang outputnya diharapkan dapat menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dan siap menghadapi tantangan perubahan zaman yang terus berkembang. Hal tersebut meyakinkan kita bahwa pendidikan itu penting, seolah-olah tidak ada lagi nilai tawar untuk satu kata yakni 'pendidikan'. Akan tetapi kita tidak selamanya akan hidup dalam dunia ide, atau kita sadar bahwa kita ada dalam realita, yakni hitam putihnya kehidupan.
Kita juga harus mengakui bahwasanya apa pun bisa terjadi karena kita hidup dalam ruang dan waktu, manusia bukan malaikat dan juga bukan setan, manusia tetaplah manusia sesuai kodratnya, yang artinya sesuatu yang baik dan sesuatu yang buruk itu ada dalam diri kita. Begitu juga dengan dunia pendidikan, tidak selalu seperti apa yang kita pikirkan bahwa dunia pendidikan itu kita hanya berbicara tentang kuliah, kuliah, dan kuliah. Akan tetapi, ada fenomena lain di dalamnya yakni prostitusi yang dilakukan oleh mahasiswi dari suatu lembaga pendidikan yang umumnya disebut ayam kampus. Istilah ayam kampus, ini diberikan kepada pelacur-pelacur yang merajalela di area sekitar Kampus. Yang pertama kali mencetuskan istilah ini tidak diketahui siapa orangnya, tetapi istilah ini mulai menjulang di kalangan para mahasiswa. Mengapa harus ayam kampus bukan memakai binatang jalang lainnya. Oleh karena ayam lebih mudah ditangkap dan lebih mudah menurut atau lebih tepatnya mudah untuk didekati.
Bagi para ayam kampus yang sudah saling kenal dan terbuka satu sama lain, barangkali tidak ada persoalan dalam hal berkomunikasi. Ciri-ciri ayam kampus sulit untuk dideteksi, karena karakter mereka bermacam-macam. Tapi bagi yang belum kenal, tentu saja banyak persoalan yang muncul. Misalnya bagaimana si X yang berstatus sebagai calon pengguna jasa layanan bisa mengetahui kalau si Y, wanita yang duduk di seberangnya sebuah kafe mall itu adalah seorang ayam kampus.
Dalam kaitannya dengan ini, kaum penikmat ayam kampus memiliki cara lain untuk mengenali targetnya, yaitu dengan komunikasi non verbal. Penggunaan bahasa tubuh ini dilatarbelakangi oleh pengalaman masa lalu dan budaya, Hal serupa terjadi pada ayam kampus, dimana mereka menggunakan gerakan tubuhnya untuk menunjukkan orientasi status pekerjaan mereka. Para ayam kampus ini tidak berdandan secara berlebihan, memamerkan lekuk tubuh mereka ataupun bertingkah murahan layaknya pelacur di tempat prostitusi. Terdapat banyak komunikasi non verbal yang digunakan si ayam kampus yang harus si calon pengguna jasa layanan tahu bahwa mereka adalah pihak yang akan saling berbisnis.
Jika diperhatikan dengan sungguh-sungguh maka setiap hari sebenarnya setiap orang dalam berkomunikasi antar pribadi telah melaksanakan pengiriman pesan-pesan yang bersifat verbal maupun nonverbal. Dalam komunikasi tanda-tanda verbal diwakili dalam penyebutan kata-kata, pengungkapannya baik yang lisan maupun tertulis. Sedangkan tanda-tanda nonverbal terlihat dalam ekspresi wajah, gerakan tangan. Dan hal demikian setiap saat dilakukan oleh siapa saja tanpa kecuali.
Perkembangan kebutuhan hidup manusia yang dipicu oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terns mengalami perkembangan dari zaman ke zaman. Semakin banyaknya kebutuhan hidup manusia, semakin menuntut pula terjadinya peningkatan gaya hidup (lifestyle). Sebagai dampaknya, hal ini menuntut setiap orang untuk selalu up to date. Kehidupan di zaman modern ini, membuat setiap orang ingin merasakan kehidupan yang serba ada. Perekonomian yang kurang, mampu memaksa seseorang melakukan suatu hal yang menurut beberapa orang tidak baik, demi memenuhi kebutuhan. Manusia mempunyai kebutuhan untuk berhubungan dengan sesamanya. Untuk itu dia menempuh jalan bertemu dengan orang lain yang melakukan pertunjukan dan memproyeksikan diri dengan peranan-peranan yang melakonkan hidup dan kehidupan di atas pentas secara khayali untuk menyajikan gambaran ideal yang diinginkan (RMA. Harymawan, 1986: 194), dalam ilmu komunikasi hal tersebut dinamakan dramaturgi.
Sebagaimana ditulis oleh RMA Harymawan (1986) dalam bukunya Dramaturgi, Dramaturgi adalah ilmu yang mempelajari tentang hukum dan konvensi drama. Hukum-hukum drama tersebut mencakup tema, alur (plot), karakter (penokohan), dan latar (setting). Namun demikian, pemahaman dramaturgi itu tidak berhenti pada hukum-hukum dan konvensi yang telah menjadi klasik tersebut. Karena, perkembangan yang cukup besar dari dunia drama itu sendiri, maka tentu sejumlah hukum dan konvensi itu memiliki upaya pula untuk melakukan beberapa penyesuaian yang selaras dengan kehidupan dan jalan pemikiran manusia. Meskipun perkembangan tersebut memiliki beberapa kritik, namun tetap memiliki kemungkinan dalam mengapresiasi kenyataan yang berubah di tengah-tengah masyarakat penggunanya.
Dengan konsep dramaturgis dan permainan peran yang dilakukan oleh manusia, terciptalah suasana-suasana dan kondisi interaksi yang kemudian memberikan makna tersendiri. Munculnya pemaknaan ini sangat tergantung pada latar belakang sosial masyarakat itu sendiri.
Dramaturgis dianggap masuk ke dalam perspektif obyektif karena teori ini cenderung melihat manusia sebagai makhluk pasif (berserah). Meskipun, pada awal ingin memasuki peran tertentu manusia memiliki kemampuan untuk menjadi subyektif (kemampuan untuk memilih) namun pada saat menjalankan peran tersebut manusia berlaku objektif, berlaku natural, mengikuti alur. Misalnya, pada kasus ayam kampus dimana saat mahasiswi tersebut harus menjalani hidup dengan biaya kiriman dari orangtua yang sangat minim namun ingin mengikuti alur kehidupan kota yang notabene diperlukan biaya yang sangat besar, ia pun memilih untuk terjun ke dunia tersebut dimana menjadi ayam kampus adalah jalan untuk mendapatkan biaya hidup dengan cepat, singkat dan tepat. Namun ia sudah pasti tahu, bahwa menjadi seorang ayam kampus akan mencoreng nama dirinya dan terutama keluarganya.
Pandangan atas kehidupan social sebagai serangkaian pertunjukan drama hampir selalu mirip dengan pertunjukan di atas panggung. Begitu juga dengan dinamika social yang terjadi di kalangan mahasiswi. Universitas-universitas di seluruh Indonesia membuat mereka seperti mempunyai peran ganda pada saat datang ke tempat perkuliahan dan ketika keluar dari lingkungan kampus yang menjadi tempat mereka menimba ilmu.
Dalam dramaturgi, panggung depan dan panggung belakang dikenal dengan istilah konsep kehidupan manusia, yang di ibaratkan sebagai pemain drama dalam proses pelaksanaannya dipengaruhi oleh keinginan yang terpendam. lebih lanjut dapat dilihat seperti berikut:
a. Front Stage adalah istilah untuk menjelaskan Manusia ketika berada di lingkungan sosial, maka disebut sebagai bagian panggung depan.
b. Back Stage adalah istilah untuk menjelaskan Manusia ketika berada di lingkungan Pribadi, maka disebut sebagai bagian panggung belakang
Teori dramaturgi menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan merupakan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang mandiri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Disinilah dramaturgis masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut. Dalam dramaturgis, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui "pertunjukan dramanya sendiri".
Dalam konsep dramaturgi, Goffman mengawalinya dengan penafsiran "konsep-diri", dimana Goffman menggambarkan pengertian diri yang lebih luas daripada Mead (menurut Mead, konsep-diri seorang individu bersifat stabil dan sinambung selagi membentuk dan dibentuk masyarakat berdasarkan basis jangka panjang).
Presentasi diri Menurut Goffman, presentasi diri merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh individu tertentu untuk memproduksi definisi situasi dan identitas sosial bagi para aktor dan definisi situasi tersebut mempengaruhi ragam interaksi yang layak dan tidak layak bagi para aktor dalam situasi yang ada (Mulyana, 2008: 110).
Lebih jauh presentasi diri merupakan upaya individu untuk menumbuhkan kesan tertentu di depan orang lain dengan cara menata perilaku agar orang lain memaknai identitas dirinya sesuai dengan apa yang ia inginkan. Dalam proses produksi identitas tersebut, ada suatu pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan mengenai atribut simbol yang hendak digunakan sesuai dan mampu mendukung identitas yang ditampilkan secara menyeluruh.
Menurut Goffman, kebanyakan atribut, milik atau aktivitas manusia digunakan untuk presentasi diri, termasuk busana yang kita kenakan, tempat kita tinggal, rumah yang kita huni berikut cara kita melengkapinya (furnitur dan perabotan rumah), cara kita berjalan dan berbicara, pekerjaan yang kita lakukan dan cara kita menghabiskan waktu luang kita. Lebih jauh lagi, dengan mengelola informasi yang kita berikan kepada orang lain, maka kita akan mengendalikan pemaknaan orang lain terhadap diri kita. Hal itu digunakan untuk memberi tahu kepada orang lain mengenai siapa kita.
Dalam lingkungan sosialnya objek atau orang yang diteliti pada penelitian ini merupakan individu yang menjalani kehidupan layaknya seperti makhluk social lainnya, bergaul dengan orang lain, bekerjasama dalam sebuah team, bahkan mereka terlihat seperti orang alim, pendiam dan berperilaku baik.
Sungguh suatu pertunjukan yang dilematis ketika tubuh dibalut oleh pakaian bagus sehingga terkesan sopan, feminine dan elegan seketika harus dilepas dan diganti yang lebih wild guna menjalankan misinya sebagai ayam kampus. Bagaikan dua sisi mata uang yang berbeda digunakan oleh para ayam kampus itu untuk memupuk sebuah kesan tertentu dalam situasi tertentu guna mencapai tujuan tertentu pula.
Fenomena ayam kampus merupakan suatu gejala di masyarakat yang cukup menarik untuk diteliti, walaupun belum banyak orang yang mengetahuinya, peneliti berharap penelitian ini nantinya berguna dan sekaligus menjadi suatu informasi bagi masyarakat, maka untuk mengkaji lebih dalam mengenai ayam kampus ini akan di teliti melalui pendekatan dramaturgi.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang penelitian di atas, maka peneliti merumuskan judul penelitian sebagai berikut: 
Makro :
"Presentasi Diri Seorang Pramuria (Ayam Kampus) di kalangan Mahasiswi di Kota X (Studi Dramaturgi mengenai Presentasi Diri seorang Pramuria (Ayam Kampus) di kalangan Mahasiswi di Kota X)".
Mikro :
1. Bagaimana kehidupan front stage (panggung depan) seorang pramuria (Ayam Kampus) di kalangan mahasiswi di kota X?
2. Bagaimana kehidupan Back stage (panggung belakang) seorang pramuria (Ayam Kampus) di kalangan mahasiswi di kota X?

C. Maksud dan Tujuan Penelitian
1. Maksud Penelitian
Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menggambarkan bagaimana presentasi diri seorang pramuria (ayam kampus) di kalangan mahasiswi di kota X (studi dramaturgi mengenai presentasi diri seorang pramuria di kalangan mahasiswi di kota X) dilihat dari front stage (panggung depan) dan back stage (panggung belakang).
2. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini agar mencapai hasil yang optimal adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui kehidupan front stage (panggung depan) seorang pramuria (Ayam Kampus) di kalangan mahasiswi di kota X.
b. Untuk mengetahui kehidupan back stage (panggung belakang) seorang pramuria (Ayam Kampus) di kalangan mahasiswi di kota X.
c. Untuk mengetahui Presentasi diri seorang pramuria (Ayam Kampus) di kalangan mahasiswi di kota X.

D. Kegunaan Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berguna baik secara teoritis maupun praktis yaitu sebagai berikut. 
1. Kegunaan Teoritis
Kegiatan penelitian ini berguna untuk mengembangkan kajian keilmuan yang berhubungan dengan masalah penelitian tentang Ilmu Komunikasi secara umum, untuk pengembangan Ilmu Komunikasi antar pribadi dan interaksional simbolik secara khusus.
2. Kegunaan Praktis
a. Kegunaan peneliti
Penelitian ini berguna bagi peneliti sebagai aplikasi ilmu tentang komunikasi nonverbal, melalui kajian Dramaturgi (2 panggung) yang dimiliki oleh pramuria (Ayam Kampus), dan kajian tentang presentasi diri.
b. Untuk Akademik (Literatur)
Penelitian ini berguna bagi mahasiswa Universitas secara umum, program Ilmu Komunikasi secara khusus sebagai literatur atau untuk sumber tambahan dalam memperoleh informasi tentang Presentasi Diri Pramuria (Ayam Kampus), khususnya yang akan melaksanakan penelitian pada kajian yang sama.
c. Kegunaan Untuk Masyarakat
Kegunaan penelitian ini bagi masyarakat umum adalah memberikan informasi tentang Presentasi Diri Pramuria (Ayam Kampus) di kalangan mahasiswi dan menjadikan evaluasi agar masyarakat terutama keluarga lebih mengawasi putrinya supaya tidak ikut terjerumus.

SKRIPSI STUDI KORELASIONAL ANTARA PENGARUH KOMUNIKASI ORGANISASI FORMAL DENGAN KEPUASAN KERJA KARYAWAN PT X

SKRIPSI STUDI KORELASIONAL ANTARA PENGARUH KOMUNIKASI ORGANISASI FORMAL DENGAN KEPUASAN KERJA KARYAWAN PT X

(KODE : ILMU-KOM-0069) : SKRIPSI STUDI KORELASIONAL ANTARA PENGARUH KOMUNIKASI ORGANISASI FORMAL DENGAN KEPUASAN KERJA KARYAWAN PT X



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sebagai makhluk sosial manusia senantiasa ingin berhubungan dengan manusia lainnya. la ingin mengetahui lingkungan sekitarnya, bahkan ingin mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya. Rasa ingin tahu ini memaksa manusia perlu berkomunikasi.
Komunikasi adalah salah satu aktivitas yang sangat fundamental dalam kehidupan umat manusia. Pentingnya komunikasi bagi manusia tidaklah dapat dipungkiri, begitu juga halnya bagi suatu organisasi. Dalam mencapai suatu organisasi yang efektif salah satu faktor penentu dan sangat diperlukan adalah proses komunikasi. Komunikasi merupakan proses yang tidak dapat dihindari oleh setiap anggota organisasi.
Komunikasi penting bagi suatu organisasi karena komunikasi merupakan alat utama bagi anggota organisasi untuk dapat bekerja sama dalam melakukan aktivitas manajemen, yaitu untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Sumberdaya manusia merupakan salah satu sumberdaya yang terpenting, manusia sebagai tenaga kerja mempunyai peranan yang sangat menentukan terhadap keberhasilan untuk mencapai tujuan organisasi.
Karyawan atau pegawai suatu organisasi sudah mendapatkan imbalan materi dari tempatnya bekerja, namun belum tentu merupakan jaminan untuk mencapai kepuasan kerja yang baik untuk pencapaian tujuan organisasi tersebut, karena hubungan kerja memiliki banyak sisi dan lingkup yang terjadi dalam berbagai bidang. Di samping itu juga situasi kerja dapat mempengaruhi sikap dan cara kerja karyawan, karena karyawan itu datang dari berbagai latar belakang yang mempunyai motif dan tujuan yang beraneka ragam.
Seringkali suatu organisasi mengalami beragam kesulitan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Padahal, organisasi tersebut ditunjang sumberdaya yang handal. Hal ini dikarenakan banyak faktor yang berpengaruh terhadap pencapaian tujuan organisasi, antara lain kelancaran komunikasi.
Komunikasi-komunikasi yang terjadi dalam organisasi berpengaruh dalam kepuasan kerja dari karyawan-karyawan yang terlibat dalam organisasi tersebut. Kepuasan kerja merupakan respon seseorang (sebagai pengaruh) terhadap bermacam-macam lingkungan kerja yang dihadapinya. Termasuk ke dalam hal ini respon terhadap komunikasi organisasi, supervisor, kompensasi, promosi, teman sekerja, kebijaksanaan organisasi dan hubungan interpersonal dalam organisasi. Semua variabel komunikasi berhubungan dengan bermacam-macam aspek kepuasan kerja.
Kepuasan kerja berbeda-beda bagi setiap karyawan. Banyak perusahaan berkeyakinan bahwa pendapatan, gaji atau salary merupakan faktor utama yang mempengaruhi kepuasan karyawan. Sehingga ketika perusahaan merasa sudah memberikan gaji yang cukup, perusahaan merasa bahwa karyawannya sudah puas. Sebenarnya kepuasan kerja karyawan tidak mutlak dipengaruhi oleh gaji semata. Banyak faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan, diantaranya adalah kesesuaian pekerjaan, kebijakan organisasi termasuk kesempatan untuk berkembang, lingkungan kerja dan perilaku atasan.
Biasanya karyawan yang puas dengan apa yang diperolehnya dari perusahaan akan memberikan lebih dari apa yang diharapkan dan ia akan terus berusaha memperbaiki kinerjanya. Sebaliknya karyawan yang kepuasan kerjanya rendah, cenderung melihat pekerjaan sebagai hal yang menjemukan dan membosankan, sehingga ia bekerja dengan terpaksa, asal-asalan dan dapat merugikan perusahaan. Dengan tercapainya kepuasan kerja karyawan, produktivitas pun akan meningkat, kinerja lebih baik, dan suasana lingkungan kerja akan menyenangkan. Suasana lingkungan kerja yang menyenangkan akan menciptakan komunikasi yang baik antar karyawan sehingga tujuan dan target perusahaan dapat tercapai.
PT. X adalah salah satu perusahaan outsource yang menjadi pilihan banyak perusahaan dalam menyediakan tenaga kerja. PT. X memiliki sebuah paket layanan yang disebut Integrated Business Supporting Service Management yang sudah dipercaya oleh banyak perusahaan BUMN maupun swasta untuk mendukung departemen Pelayanan Pelanggan perusahaan-perusahaan mulai dari penyediaan tenaga kerja, pengelolaannya, sampai dengan menjaga kualitas pelayanan yang diberikan kepada pelanggan mereka. Dan sejak tahun 2003 salah satu klien terbesar PT. X adalah PT. PLN (Persero) yang sudah memberikan kepercayaan penuh untuk penyediaan dan pengelolaan bagian Customer Service PT. PLN (Persero) di 35 area pelayanan.
Saat ini PT. Telkomsel juga mempercayakan PT. X untuk menyediakan tenaga kerja yang di tempatkan di Call Center PT. Telkomsel. PT. Telkomsel sebagai salah satu perusahaan telekomunikasi yang tetap eksis dan berkembang berdiri pada 26 Mei 1995. PT. Telkomsel memiliki jaringan network terbesar di seluruh Indonesia yang meliputi propinsi, kabupaten dan sudah mencapai kecamatan di seluruh Sumatera, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.
Layaknya suatu organisasi, komunikasi yang terjadi dalam lingkungan kerja karyawan PT. X, khususnya karyawan PT. X yang ditempatkan di Call Center Telkomsel X, meliputi komunikasi vertikal dan komunikasi horizontal yang terjadi dalam setiap meeting group yang dilaksanakan setiap sebulan sekali antara team leader dengan Caroline officer. Dalam meeting tersebut, team leader melakukan komunikasi vertikal ke bawah. Komunikasi vertikal ke bawah yang digunakan adalah metode lisan dan tulisan. Untuk metode tulisan, disampaikan melalui memo, dan panduan pelaksanaan pekerjaan.
Komunikasi vertikal ke atas yang terjadi dalam meeting group oleh Caroline officer adalah dengan menyampaikan keluhan yang dialaminya sendiri dalam lingkungan kerja maupun menyampaikan keluhan yang diterima Caroline officer dari costumer. Dalam meeting group tersebut, juga terjadi komunikasi horizontal antar Caroline officer dengan Caroline officer dan antara team leader dengan team leader. Dalam meeting group tersebut juga dibahas mengenai kepuasan kerja antara lain mengenai gaji, jaminan pekerjaan, kondisi kerja, kebijakan perusahaan, kualitas supervisi, kualitas hubungan antar pribadi dengan atasan, bawahan dan sesama serta jaminan sosial
Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk meneliti tentang bagaimana pengaruh komunikasi organisasi formal, baik komunikasi vertikal maupun komunikasi horizontal pada kegiatan meeting group dalam meningkatkan kepuasan kerja di kalangan karyawan PT. X.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut:
"Sejauh manakah komunikasi organisasi formal berpengaruh dalam meningkatkan kepuasan kerja karyawan di PT. X ?"

C. Pembatasan Masalah
Untuk menghindari ruang lingkup penelitian terlalu luas sehingga menghasilkan uraian yang sistematis, maka penulis membatasi masalah yang akan diteliti. Pembatasan masalah ditujukan agar ruang lingkup penelitian dapat lebih jelas, terarah, sehingga tidak mengaburkan penelitian.
Adapun pembatasan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut:
a. Penelitian difokuskan pada jaringan komunikasi formal dalam organisasi yang mencakup komunikasi vertikal (komunikasi ke bawah dan komunikasi ke atas) dan komunikasi horizontal yang berlangsung antara karyawan di PT. X.
b. Komunikasi organisasi formal yang dimaksud adalah komunikasi yang berlangsung pada kegiatan meeting group yang dilaksanakan setiap bulan oleh karyawan PT. X.
c. Kepuasan kerja yang dimaksud adalah kepuasan kerja dari segi faktor hygiene
d. Objek penelitian adalah karyawan PT. X yang di tempatkan X sebagai Caroline officer dan team leader.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan arah pelaksanaan penelitian yang akan menguraikan apa yang akan dicapai, disesuaikan dengan kebutuhan peneliti dan pihak lain yang berhubungan dengan penelitian tersebut.
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah
a. Untuk mengetahui kegiatan komunikasi organisasi formal dalam kegiatan meeting group karyawan PT. X.
b. Untuk mengetahui kepuasan kerja karyawan PT. X.
c. Untuk mengetahui hubungan antara pengaruh komunikasi organisasi formal terhadap peningkatan kepuasan kerja karyawan di PT. X.
2. Manfaat Penelitian Beberapa manfaat dalam penelitian ini adalah :
a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah penelitian dan pengetahuan mengenai Ilmu Komunikasi, khususnya jaringan komunikasi formal dalam organisasi.
b. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif kepada Departemen Ilmu Komunikasi untuk menambah dan memperkaya bahan referensi dan bahan penelitian serta sumber bacaan.
c. Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan berupa pengukuran terhadap kinerja karyawan, khususnya dalam pelaksanaan komunikasi organisasi formal dalam meningkatkan kepuasan kerja karyawan yang diharapkan dapat bermanfaat bagi kemajuan PT. X.

SKRIPSI PTK PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THE POWER OF TWO UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN MATEMATIKA

SKRIPSI PTK PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THE POWER OF TWO UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN MATEMATIKA

(KODE : PTK-0141) : SKRIPSI PTK PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THE POWER OF TWO UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN (MATEMATIKA KELAS III)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 24 Tahun 2006 tentang pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah atau yang dikenal dengan nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan langkah konkret dalam rangka mewujudkan pencapaian tujuan pendidikan nasional. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing -masing satuan pendidikan (Muslich, 2007 : 4)
Sebagai pedoman penyelenggaraan pendidikan, kurikulum merupakan acuan dalam menyelenggarakan pendidikan dan sebagai tolok ukur dalam pencapaian tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan tersebut meliputi tujuan pendidikan nasional yang sesuai dengan kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan siswa. Dengan demikian, diharapkan pendidikan yang diselenggarakan dapat disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan peserta didik serta kondisi masing-masing daerah.
Matematika merupakan ilmu pasti yang semuanya berkaitan dengan penalaran. Matematika menjadi salah satu bidang studi yang mempunyai peranan penting dalam pendidikan. Tujuan mata pelajaran matematika adalah membantu peserta didik untuk membekali dan meningkatkan kemampuan berpikir logis, sistematis, analitis, dan kreatif serta kemampuan bekerja sama (Chamisijatin, 2008 : 6.18)
Adapun tujuan utama pembelajaran matematika adalah meningkatkan kemampuan memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. Ruang lingkup dalam pembelajaran matematika mencakup bilangan, geometri dan pengukuran, serta pengolahan data. Pengukuran adalah salah satu konsep matematika yang mempunyai peranan penting dan erat kaitannya dengan manusia dalam kehidupan sehari-hari untuk memecahkan dan menyelesaikan suatu masalah (Depdiknas, 2006).
Proses pembelajaran merupakan komponen pendidikan. Kegiatan tersebut melibatkan peserta didik dan guru. Pada proses pembelajaran terdapat interaksi antara guru dan siswa sebagai peserta didik. Guru mempunyai peran penting saat berlangsungnya pembelajaran. Tugas guru tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan, tidak menjadikan siswa sebagai objek pembelajaran melainkan sebagai subyek pembelajaran, sehingga siswa tidak pasif dan dapat mengembangkan pengetahuan sesuai dengan bidang studi yang dipelajari. Oleh karena itu, guru harus memahami materi yang akan disampaikan kepada siswa serta dapat memilih model pembelajaran yang tepat untuk menyampaikan suatu materi.
Pada dasarnya belajar matematika merupakan belajar konsep. Konsep-konsep pada matematika menjadi kesatuan yang bulat dan berkesinambungan, dari konsep sederhana menuju konsep yang lebih sukar, dari hal yang konkret menuju semi konkret kemudian ke semi abstrak dan berakhir pada abstrak. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran guru harus dapat menyampaikan konsep tersebut kepada siswa dan bagaimana siswa dapat memahaminya. Pengajaran pada matematika dilakukan dengan memperhatikan urutan konsep dimulai dari yang konkret ke abstrak.
Namun sampai saat ini di sekolah-sekolah dasar, matematika masih menjadi masalah bagi siswa dan menjadikan matematika sebagai mata pelajaran yang sulit. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Abdul Hanif (2009) menunjukkan bahwa masih banyak permasalahan dalam proses pembelajaran. Siswa cenderung pasif dalam proses pembelajaran matematika, sehingga hasil belajar matematika siswa cenderung tidak maksimal.
Berdasarkan pengamatan yang peneliti lakukan bahwa pelaksanaan pembelajaran matematika kelas III SDN X masih belum maksimal. Rendahnya hasil belajar matematika siswa disebabkan karena kurangnya pemahaman siswa terhadap pembelajaran matematika yang selama ini terlalu dipengaruhi pandangan bahwa matematika adalah alat yang siap pakai. Pada pembelajaran kelas III guru melakukan pembelajaran secara terpisah, belum menggunakan pembelajaran tematik yaitu mengaitkan mata pelajaran lain dengan menggabungkan pada suatu jaringan tema. Selanjutnya, guru cenderung mentransfer pengetahuan yang dimiliki ke pikiran anak dan anak menerimanya secara pasif dan tidak kritis. Siswa cenderung pasif dan kurang tertarik dalam proses pembelajaran matematika. Adakalanya siswa menjawab soal dengan benar namun mereka tidak dapat mengungkapkan alasan atas jawaban mereka. Siswa dapat menggunakan rumus tetapi tidak tahu dari mana asalnya rumus itu dan mengapa rumus itu digunakan. Keadaan demikian terjadi karena di dalam proses pembelajaran tersebut siswa kurang diberi kesempatan dalam mengungkapkan ide-ide dan alasan jawaban mereka sehingga kurang terbiasa untuk mengungkapkan ide-ide atau alasan dari jawabannya.
Selain itu penyebab lain rendahnya hasil belajar matematika siswa yaitu disebabkan karena selama ini guru masih menggunakan model pembelajaran konvensional atau dapat dikatakan ketinggalan jaman jika diterapkan pada proses pembelajaran di sekolah saat ini. Guru menyampaikan pembelajaran dengan membacakan atau membawakan bahan yang disiapkan sedangkan siswa mendengarkan, mencatat dengan teliti dan mencoba menyelesaikan soal sesuai contoh dari guru. Dalam pembelajaran guru masih kurang dalam mengkondisikan kelas. Selain itu media yang digunakan guru kurang bervariasi sehingga proses pembelajaran kurang menarik perhatian siswa.
Hal itu didukung data dari hasil belajar matematika pada siswa kelas III SDN X. Pada pembelajaran matematika, hasil belajar siswa kelas III kurang maksimal atau masih dibawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yaitu 60, sehingga pembelajaran masih belum optimal. Hal itu didukung data hasil belajar yaitu, dari 38 sebanyak 25 siswa atau sebesar 65,78% tidak mencapai ketuntasan hasil belajar, sedangkan sebanyak 13 siswa atau sebesar 34,22% sudah mencapai ketuntasan hasil belajar. Data hasil belajar ditunjukkan dengan nilai terendah 10 dan nilai tertinggi 100 dengan rerata kelas 41,57. Dengan melihat hal tersebut, perlu sekali untuk meningkatkan proses pembelajaran agar siswa sekolah dasar tersebut mampu meningkatkan aktivitas dan hasil belajar serta guru dapat meningkatkan aktivitas dalam mengajar sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran matematika. Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran matematika, maka dilaksanakan perbaikan pembelajaran melalui Penelitian Tindakan Kelas (PTK).
Di sisi lain kenyataan saat ini menunjukkan bahwa siswa mempunyai cara belajar yang variasi. Kebiasaan tersebut perlu diperhatikan oleh guru supaya dapat membantu siswa belajar maksimal. Berdasarkan diskusi peneliti dengan guru kelas III, untuk memecahkan masalah tersebut tim kolaborasi menetapkan alternatif tindakan yang diharapkan dapat meningkatkan aktivitas siswa dan aktivitas guru serta hasil belajar siswa dalam proses pembelajaran. Maka peneliti menggunakan salah satu model pembelajaran kooperatif tipe the power of two, dimana dalam pembelajaran tersebut siswa dituntut untuk saling bekerja sama antar teman sehingga memudahkan pemahaman siswa terhadap materi yang disampaikan.
Model pembelajaran kooperatif tipe the power of two ini terdiri dari dua orang sehingga kerjasama dan komunikasi lebih terjalin dengan baik menurut Mafatih (dalam Ramadhan, 2009) menambahkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe The Power of Two termasuk bagian dari belajar kooperatif adalah belajar dalam kelompok kecil dengan menumbuhkan kerjasama secara maksimal melalui kegiatan pembelajaran teman sendiri dengan anggota dua orang di dalamnya untuk mencapai kompetensi dasar. Kelebihan model pembelajaran kooperatif tipe The Power of Two ini antara lain siswa tidak terlalu bergantung kepada guru, akan tetapi dapat menambah kepercayaan dan kemampuan berfikir siswa, meningkatkan partisipasi dan berkesempatan memberi kontribusi masing-masing anggota kelompok sehingga interaksi lebih mudah.
Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran matematika, dimana siswa lebih aktif, kreatif, dan termotivasi dalam proses pembelajaran. Selain itu bagi guru juga dapat meningkatkan aktivitasnya dalam proses pembelajaran dan cara mengajar lebih bervariasi lagi serta hasil belajar siswa dapat meningkat.
Dari ulasan latar belakang tersebut diatas maka peneliti akan mengkaji melalui penelitian tindakan kelas dengan judul “PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THE POWER OF TWO UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN MATEMATIKA PADA SISWA KELAS III SDN X”.

B. Perumusan Masalah dan Pemecahan Masalah
1. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : Bagaimanakah cara meningkatkan kualitas pembelajaran matematika pada siswa kelas III SDN X ?
Adapun rumusan masalah tersebut dapat dirinci sebagai berikut : 
a. Apakah model pembelajaran kooperatif tipe The Power of Two dapat meningkatkan aktivitas siswa kelas III SDN X dalam pembelajaran matematika ?
b. Apakah model pembelajaran kooperatif tipe The Power of Two dapat meningkatkan aktivitas guru dalam proses pembelajaran ?
c. Apakah model pembelajaran kooperatif tipe The Power of Two dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas III SDN X dalam pembelajaran matematika ?
2. Pemecahan Masalah
Untuk memecahkan masalah di atas dapat diterapkan model pembelajaran kooperatif tipe The Power of Two. Model pembelajaran kooperatif tipe The Power of Two adalah kegiatan dilakukan untuk meningkatkan belajar kolaboratif dan mendorong munculnya keuntungan yang dilakukan oleh dua orang.
Langkah-langkah model pembelajaran kooperatif tipe The Power Of Two sebagai berikut : 
a. Guru memberikan satu atau lebih pertanyaan kepada peserta didik yang membutuhkan renungan dalam menentukan jawaban.
b. Guru meminta siswa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan secara individual.
c. Setelah semua siswa menjawab dengan lengkap semua pertanyaan, siswa diminta untuk berpasangan dan saling bertukar jawaban satu sama lain dan membahasnya. Pasangan kelompok ditentukan menurut daftar urutan absen atau bisa juga diacak
d. Guru meminta pasangan untuk berdiskusi membuat jawaban baru untuk setiap pertanyaan, sekaligus memperbaiki jawaban individual mereka.
e. Guru meminta siswa untuk mendiskusikan hasil diskusi atau jawaban baru. Dalam proses pembelajaran, siswa berdiskusi secara klasikal untuk membahas permasalahan yang belum jelas atau yang kurang dimengerti. Semua pasangan membandingkan jawaban dari masing-masing pasangan ke pasangan yang lain.
f. Guru bersama-sama dengan siswa menyimpulkan materi pembelajaran. 

C. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah : 
- Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran matematika pada siswa kelas III SDN X.
Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah : 
1. Meningkatkan aktivitas siswa dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe The Power of Two.
2. Meningkatkan aktivitas guru dalam pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe The Power of Two.
3. Meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe The Power of Two.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian yang dilaksanakan diharapkan dapat memberikan manfaat kepada banyak pihak. Adapun manfaat yang ingin dicapai yaitu : 
1. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan pembelajaran matematika supaya kualitas pembelajaran matematika dapat meningkat.
2. Manfaat praktis
a. Bagi siswa
Dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe The Power of Two siswa dapat menerima pengalaman belajar yang bervariasi sehingga dapat meningkatkan keaktifan dalam pembelajaran matematika, serta siswa lebih termotivasi dan berminat pada proses pembelajaran.
b. Bagi guru
Mengembangkan kreativitas dalam usaha pembenahan proses pembelajaran serta memberikan wawasan tentang model dan strategi pembelajaran sesuai materi yang diberikan sehingga guru dapat menciptakan suasana belajar yang bervariasi.
c. Bagi sekolah
Dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe The Power of Two dapat meningkatkan mutu pendidikan suatu sekolah serta dapat menciptakan suasana belajar yang lebih menarik dan bervariasi.

SKRIPSI PTK PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN IPS MELALUI COOPERATIVE LEARNING TIPE TEAMS GAMES TOURNAMENT (TGT) PADA SISWA

SKRIPSI PTK PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN IPS MELALUI COOPERATIVE LEARNING TIPE TEAMS GAMES TOURNAMENT (TGT) PADA SISWA

(KODE : PTK-0140) : SKRIPSI PTK PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN IPS MELALUI COOPERATIVE LEARNING TIPE TEAMS GAMES TOURNAMENT (TGT) PADA SISWA (IPS KELAS III)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Berdasarkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar tingkat SD/MI dalam peraturan menteri pendidikan nasional nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah bahwa standar kompetensi ilmu pengetahuan sosial dirancang untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis terhadap kondisi sosial masyarakat dalam memasuki kehidupan bermasyarakat yang dinamis. Hal ini dikarenakan di masa yang akan datang peserta didik akan menghadapi tantangan berat akibat kehidupan masyarakat global yang selalu mengalami perubahan setiap saat. Mata pelajaran IPS bertujuan untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan sosial dan juga berupaya membina dan mengembangkan peserta didik menjadi sumber daya manusia yang berketerampilan sosial dan intelektual sebagai warga masyarakat dan warga negara yang memiliki perhatian, kepedulian sosial yang bertanggung jawab.
Tujuan pembelajaran IPS menurut Nursid Sumaatmadja dalam Hidayati (2008 : 24) adalah untuk membina anak didik menjadi warga negara yang baik yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kepedulian sosial yang berguna bagi dirinya serta bagi masyarakat. Dan Ruang lingkup mata pelajaran ilmu pengetahuan sosial meliputi aspek-aspek di antaranya 1) Manusia, tempat, dan lingkungan. 2) Waktu, keberlanjutan, dan perubahan. 3) Sistem, sosial dan budaya. 4) Perilaku ekonomi dan kesejahteraan (Depdiknas, 2006 : 575).
Berdasarkan tujuan dari pendidikan IPS, dibutuhkan suatu pola pembelajaran yang mampu menjembatani tercapainya tujuan-tujuan tersebut. Menurut Azis Wahab (1986) dalam Trianto, kemampuan dan keterampilan guru dalam memilih dan menggunakan berbagai model, metode dan strategi pembelajaran senantiasa terus ditingkatkan agar pembelajaran IPS benar-benar mampu mengkondisikan upaya pembekalan kemampuan dan keterampilan dasar siswa untuk menjadi manusia dan warga negara yang baik. Hal ini dikarenakan pengkondisian iklim belajar merupakan aspek penting bagi tercapainya tujuan pendidikan (2010 : 174).
Dan hasil observasi yang dilakukan pada PPL 1 dan PPL 2 di SDN X pada bulan September dan Oktober menunjukkan bahwa pembelajaran IPS siswa kelas 3 SDN X masih kurang optimal. Hal ini disebabkan karena minimnya strategi yang dilakukan guru saat mengajar. Cara mengajar guru menggunakan metode ceramah dan tanya jawab. Sedangkan pada saat tanya jawab hanya siswa-siswa yang pandai saja yang mau menunjukkan jari untuk menjawab pertanyaan dari guru. Selain itu guru kurang memanfaatkan media, sehingga mengakibatkan minat belajar siswa rendah. Hal tersebut menyebabkan nilai hasil belajar siswa masih kurang. Hal ini ditunjukkan dengan 63,6% siswa atau 7 dari 11 siswa mengalami ketidaktuntasan belajar, sedangkan 36,4% atau 4 dari 11 siswa mengalami ketuntasan belajar. Nilai ketuntasan minimal mata pelajaran IPS di SDN X adalah 60. Dan rata-rata kelas sebesar 53,6 dengan nilai terendah adalah 15 dan tertinggi adalah 95.
Dengan melihat data hasil belajar dan pelaksanaan mata pelajaran IPS pada kelas tiga SDN X maka perlu sekali adanya peningkatan kualitas pembelajarannya, agar hasil belajar IPS pada kelas tiga dapat meningkat. Hal ini senada dengan pendapat Soewarsono yang menyebutkan bahwa perbaikan pengajaran sangat penting bagi guru untuk meningkatkan hasil belajar yang baik bagi siswa (Sugiarti, 2009 : 4). Dan setelah melihat permasalahan yang ada pada pembelajaran IPS di kelas tiga SDN X maka peneliti menetapkan alternatif pemecahan masalah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran yaitu dengan model cooperative learning (pembelajaran kooperatif) tipe Teams Games Tournament (TGT). Dan pelaksanaan pembelajaran IPS dalam kelas III tersebut dilakukan secara tematik bersama dengan mata pelajaran lain yang masih berkaitan. Hal ini sesuai dengan Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 bahwa pembelajaran untuk kelas I, II dan III dilaksanakan dengan pendekatan tematik (Trianto, 2010 : 78).
Teams Games Tournament (TGT) merupakan salah satu model pembelajaran dalam pendekatan pembelajaran kooperatif (cooperative learning) yang menempatkan siswa dalam kelompok-kelompok belajar yang beranggotakan 5 sampai 6 orang yang memiliki kemampuan, jenis kelamin dan suku ras yang berbeda. TGT menggunakan turnamen akademik, dan menggunakan kuis-kuis dan si stem skor kemajuan individu, di mana para siswa berlomba sebagai wakil tim mereka dengan anggota tim lain yang kinerja akademik mereka setara (Slavin, 2009 : 163-165).
Adapun manfaat dari penelitian tindakan kelas ini adalah untuk meningkatkan dan mengembangkan pembelajaran IPS agar lebih bermakna bagi siswa dalam pengalaman belajarnya. Selain itu guru juga dapat mengasah kreativitasnya untuk menemukan hal-hal yang baru sehingga anak tidak merasa bosan dalam belajar dengan pola pengajaran yang sama. Dari ulasan latar belakang tersebut, maka peneliti akan mengkaji dengan judul "PENINGKATAN KUALITAS PEMBELAJARAN IPS MELALUI COOPERATIVE LEARNING TIPE TEAMS GAMES TOURNAMENT (TGT) PADA SISWA KELAS III SDN X".

B. Perumusan Masalah dan Rencana Pemecahan Masalah
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dapat dirumuskan sebagai berikut : Bagaimana cara meningkatkan kualitas pembelajaran IPS pada siswa kelas 3 SDN X ?
Adapun rumusan masalah tersebut dapat diperinci sebagai berikut : 
a. Apakah melalui Pendekatan Kooperatif Tipe Teams Games Tournament (TGT) dapat meningkatkan keterampilan guru dalam pembelajaran IPS dengan materi jual beli dan uang di kelas 3 SDN X ?
b. Apakah melalui Pendekatan Kooperatif Tipe Teams Games Tournament (TGT) dapat meningkatkan aktivitas siswa dalam pembelajaran IPS dengan materi jual beli dan uang di kelas 3 SDN X ?
c. Apakah melalui Pendekatan Kooperatif Tipe Teams Games Tournament (TGT) dapat meningkatkan hasil belajar dalam pembelajaran IPS dengan materi jual beli dan uang di kelas 3 SDN X ?
2. Pemecahan Masalah
Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan dengan beberapa tahap siklus, setiap siklus terdiri dari empat tahapan yaitu perencanaan, pelaksanaan, observasi dan refleksi. Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah pembelajaran IPS dengan Pendekatan Kooperatif Tipe Teams Games Tournament (TGT). Adapun langkah-langkah pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Kooperatif Tipe Teams Games Tournament (TGT) meliputi : 
a. Guru menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran.
b. Guru menyajikan informasi kepada siswa.
c. Guru membentuk kelompok belajar untuk mendiskusikan materi dan membantu setiap kelompok yang belum mampu menguasai materi.
d. Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan lembar kerja.
e. Guru menjelaskan peraturan turnamen dan mengatur penempatan meja untuk turnamen
f. Guru mengawasi jalannya turnamen
g. Penghitungan perolehan skor dari tiap siswa dan kelompok belajar
h. Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.

C. Tujuan Penelitian
Bertolak dari rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai sehubungan dengan tindakan yang akan dilakukan adalah : 
1. Tujuan umum
Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran IPS pada siswa kelas 3 SDN X.
2. Tujuan khusus
a. Meningkatkan keterampilan guru dalam pembelajaran IPS materi uang pada kelas 3 SDN X.
b. Meningkatkan aktivitas siswa dalam mata pelajaran IPS materi uang pada kelas 3 SDN X.
c. Meningkatkan hasil belajar IPS materi jual uang pada siswa kelas 3 SDN X.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini dapat dikemukakan
sebagai berikut : 
1. Manfaat Praktis 
a. Siswa
Melalui Pendekatan Kooperatif Tipe Teams Games Tournament (TGT) dapat menciptakan suasana belajar yang menyenangkan sehingga meningkatkan aktivitas siswa dalam pembelajaran IPS. Selanjutnya diharapkan hasil belajar akan meningkat.
b. Guru
Memberikan wawasan pengetahuan dan pengalaman tentang model pembelajaran yang inovatif sehingga guru dapat menciptakan suasana belajar yang bervariasi.
c. Sekolah
Dengan menerapkan Pendekatan Kooperatif Tipe Teams Games Tournament (TGT), kita dapat memberikan masukan bagi kepala sekolah dalam usaha perbaikan proses pembelajaran para guru. Selain itu dengan peningkatan hasil belajar siswa, sekolah dapat menaikkan KKM mata pelajaran IPS. 
2. Manfaat Teoritis 
a. Peneliti
Berguna untuk menambah wawasan tentang pembelajaran dengan Pendekatan Kooperatif Tipe Teams Games Tournament (TGT) khususnya mata pelajaran IPS.

SKRIPSI PTK APLIKASI MODEL PEMBELAJARAN TERPADU DENGAN MEDIA AUDIO VISUAL TERHADAP PENINGKATAN KETERAMPILAN MEMBACA SISWA

SKRIPSI PTK APLIKASI MODEL PEMBELAJARAN TERPADU DENGAN MEDIA AUDIO VISUAL TERHADAP PENINGKATAN KETERAMPILAN MEMBACA SISWA

(KODE : PTK-0139) : SKRIPSI PTK APLIKASI MODEL PEMBELAJARAN TERPADU DENGAN MEDIA AUDIO VISUAL TERHADAP PENINGKATAN KETERAMPILAN MEMBACA SISWA (BAHASA INDONESIA KELAS I)



BAB I
PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang Masalah
Berdasarkan isi yang tertuang dalam pasal 1 dan 2 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 24 tahun 2006 dalam Muslich (2009 : 15) tentang pelaksanaan peraturan menteri pendidikan nasional tentang Standar isi dan standar kompetensi, mulai tahun 2006 semua tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah harus mengembangkan dan menerapkan kurikulum berbasis kompetensi yang telah ditetapkan pemerintah secara kreatif dan sesuai dengan kebutuhan dengan memperhatikan panduan yang disusun Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (Chasmijatin 2008 : 6-8). Dalam kurikulum 2006, terdapat tugas guru sebagai pembuat tujuan pembelajaran. Tugas guru dalam membuat tujuan pembelajaran adalah menjabarkan kompetensi yang ada dalam kurikulum ke dalam indikator, yang diperkirakan dapat membawa siswa mencapai kompetensi dasar tersebut. Hal ini tidaklah mudah karena setiap mata pelajaran memiliki karakteristik yang berbeda. Karakteristik mata pelajaran merupakan pertimbangan dalam penentuan tujuan pembelajaran, karena masing-masing mata pelajaran memiliki ciri-ciri yang berbeda satu sama lain (Chasmijatin 2008 : 7-9).
Karakteristik bahasa Indonesia adalah mata pelajaran yang menekankan pada keterampilan berbahasa dan belajar sastra. Belajar berbahasa adalah berkomunikasi. Sedangkan belajar sastra adalah belajar menghargai manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Berdasarkan fungsi dan tujuannya maka pembelajaran bahasa diarahkan dalam ruang lingkup mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis (Chasmijatin 2008 : 7-9).
Menurut Zuchdhi dan Budiasih (2001 : 56) membaca merupakan salah satu keterampilan berbahasa tulis yang reseptif. Disebut reseptif karena dengan membaca, seseorang akan dapat memperoleh informasi, memperoleh ilmu pengetahuan dan pengalaman-pengalaman baru. Pembelajaran membaca mempunyai peranan penting dalam meningkatkan diri. Pembelajaran membaca di kelas I dan II merupakan pembelajaran membaca tahap awal. Keterampilan membaca ini disebut membaca permulaan. Keterampilan membaca yang diperoleh pada membaca permulaan akan sangat berpengaruh terhadap keterampilan membaca selanjutnya dan juga sangat berpengaruh dalam keberhasilan pembelajaran.
Keberhasilan pembelajaran selain ditentukan oleh faktor kemampuan, motivasi dan keaktifan peserta didik serta fasilitas belajar juga sangat tergantung dari keterampilan-keterampilan yang dimiliki oleh seorang guru sebagai fasilitator bagi siswa. Keterampilan mengajar yang dimaksud meliputi keterampilan menjelaskan, bertanya, menggunakan variasi, memberi penguatan, membentuk kelompok kecil dan besar, membuka dan menutup pelajaran, mengelola kelas dan keterampilan memimpin diskusi (Sumantri dan Permana 2001 : 229).
Salah satu keterampilan guru adalah keterampilan penggunaan variasi. Keterampilan penggunaan variasi adalah kemampuan guru menggunakan bermacam kemampuan untuk mewujudkan tujuan belajar peserta didik sehingga mengatasi kebosanan dan menimbulkan minat, gairah serta aktivitas belajar yang efektif. Salah satu contoh keterampilan penggunaan variasi adalah variasi dalam penggunaan media dan penggunaan model pembelajaran yang sesuai dengan siswa (Sumantri dan Permana 2001 : 237).
Dalam proses belajar mengajar di kelas terdapat keterkaitan yang erat antara guru, siswa, sarana dan prasarana. Guru mempunyai tugas untuk memilih model dan media yang tepat sesuai dengan materi yang disampaikan (Muslich 2009 : 221). Menurut Rifa'i dan Anni (2010 : 238) menyatakan bahwa salah satu landasan pemikiran dari pendekatan kontekstual adalah pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta yang tak terpisah, namun menerapkan keterampilan yang dapat diterapkan.
Menurut Joys (dalam Trianto 2007 : 5) setiap model pembelajaran mengarahkan kita ke dalam mendesain pembelajaran untuk membantu peserta didik sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran tercapai. Dengan menguasai berbagai model pembelajaran maka seorang guru mendapat kemudahan dalam pelaksanaan pembelajaran sehingga tujuan yang akan dicapai sesuai dengan yang diharapkan (Trianto 2007 : 10).
Adanya keterbatasan-keterbatasan seperti keterbatasan fisik, psikologis, kultural maupun lingkungan dapat menyebabkan proses pembelajaran menjadi tidak maksimal. Untuk meredam, memperkecil, mengatasi atau menghilangkan beragam keterbatasan tersebut dapat digunakan alat perantara yang disebut media pengajaran (Sumantri dan Permana 2001 : 156).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dantes, dkk. tahun 2004 (dalam Muslich 2009 : 6) menunjukkan bahwa pemahaman guru tentang kurikulum berbasis kompetensi masih rendah. Hanya 1,2 % sekolah yang menyatakan bahwa guru sudah sangat paham dengan kurikulum berbasis kompetensi. Hal tersebut berdampak pada tataran operasional. Selain itu ada penelitian dari Drost (2005) yang menyatakan bahwa di berbagai sekolah guru tidak siap dengan penerapan KBK. Dalam praktiknya, guru masih bingung mengajar dengan model KBK. Salah satu kesalahan adalah guru hanya mengartikan dengan apa adanya isi materi dari standar isi. Padahal seharusnya guru tersebut mengkaji terlebih dahulu isi materi dari standar isi mata pelajaran bahasa Indonesia. 
Guru melaksanakan materi dari standar isi tanpa mengembangkannya berdasarkan pembelajaran dan standar kompetensi selanjutnya. Pada akhirnya pula guru hanya menggunakan model yang menekankan keaktifan guru, sehingga pembelajaran tersebut menjadi kurang variatif, kreatif, dan inovatif. Pembelajaran yang dilakukan guru juga terkotak-kotak dalam mata pelajaran, padahal anak pada usia 7-11 yang masih belum bisa memisah-misahkan suatu mata pelajaran. Siswa menjadi kurang tertarik materi pada membaca, sehingga murid tidak tertarik pada pembelajaran secara keseluruhan.
Contoh pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia di atas, merupakan gambaran yang sedang terjadi di SDN X. Berdasarkan refleksi awal yaitu dari observasi peneliti tentang keterampilan guru di SDN X, guru masih belum menggunakan 8 keterampilan mengajar dengan maksimal. Keterampilan yang sudah mereka terapkan adalah keterampilan menjelaskan berupa ceramah yang menuntut siswa diam dan mendengarkan penjelasan dari guru. Guru juga kurang dalam keterampilan menggunakan variasi dalam pembelajaran. Terlihat saat pembelajaran, siswa menjadi cepat bosan karena guru tersebut tidak menggunakan media atau model pembelajaran lain selain ceramah. Selain itu guru juga kurang dalam menggunakan keterampilan memberi penguatan, baik verbal maupun nonverbal. Lebih banyak memberikan hukuman terhadap siswa.
Ketidakmaksimalan penggunaan 8 keterampilan guru tersebut membuat aktivitas siswa menjadi tidak maksimal pula. Lebih dari 50% siswa melakukan aktivitas yang tidak sesuai dengan pembelajaran. Ada siswa yang berbicara dengan temannya dengan topik yang tidak sesuai pelajaran, ada siswa yang bermain sendiri di bangku belakang, ada siswa yang memperhatikan pada hal-hal yang di luar pembelajaran, ada siswa yang mengganggu siswa lain sehingga memecah konsentrasi siswa lainnya. Selain itu terdapat siswa yang memperhatikan namun saat diberikan pertanyaan yang sesuai pembelajaran tidak bisa menjawab.
Hal di atas yang akhirnya membuat nilai pembelajaran pada umumnya dan nilai pembelajaran bahasa Indonesia pada khususnya terutama keterampilan membaca menjadi kurang. Berdasarkan pengambilan nilai awal dari 39 siswa terdapat 57% siswa yaitu 22 siswa mendapat nilai di bawah KKM (Kriteria Ketuntasan Minimum). Yang dapat dirinci 33,6% yaitu 17 siswa nilainya di bawah 50, 6 siswa yaitu 15,4% mendapat nilai 50-64. Terdapat 5% yaitu 2 siswa yang mendapat nilai 65-85. Dan siswa yang mendapat nilai 86-100 ada 36% yaitu 16 siswa. Selain nilai awal juga terdapat data-data dokumen yang dimiliki guru sebelum dilakukan penelitian. Setelah dianalisis dari hasil penilaian membaca tersebut siswa sulit mengucapkan r, q, j, y, v, z. Ada pula yang tidak bisa membedakan huruf n dan m, huruf b, p, d,. Serta sering salah mengucapkan f, p, v.
Melalui diskusi serta pembahasan bersama bahwa keterampilan membaca siswa sangatlah kurang hal ini disebabkan media yang menarik serta kurang inovatifnya guru, sehingga siswa kurang aktif dan malas mendengarkan. Hal ini didukung dari data pencapaian hasil observasi dan evaluasi keterampilan membaca siswa kelas 1 masih di bawah KKM (Kriteria Ketuntasan Minimum) yang ditetapkan sekolah yaitu 65. Dengan melihat data hasil belajar dan pelaksanaan mata pelajaran bahasa Indonesia serta pembelajaran lainnya yang diadakan secara terpisah-pisah dan terkotak-kotak, maka perlu diadakan peningkatan kualitas proses pembelajarannya, agar siswa sekolah dasar dapat meningkatkan keterampilan membaca, sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
Berdasarkan hasil observasi dan evaluasi pembelajaran bahasa Indonesia sebelumnya dari SDN X yang lebih dari 50% siswanya belum memenuhi KKM (Kriteria Ketuntasan Minimum). Untuk memecahkan masalah pembelajaran tersebut, tim kolaboratif menetapkan alternatif tindakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, yang dapat mendorong keterlibatan siswa dalam pembelajaran dan meningkatkan kreativitas guru. Maka tim kolaboratif menetapkan salah satu model pembelajaran yang holistik. Yaitu dengan model pembelajaran terpadu dengan media audio visual. Pada pendekatan ini menekankan bahwa pembelajaran harus disajikan secara utuh atau tidak terpisah-pisah. Pembelajaran terpadu merupakan pendekatan pembelajaran yang memperhatikan dan menyesuaikan pemberian konsep sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Pendekatan ini menolak teori drill system sebagai dasar pembentukan pengetahuan dan struktur intelektual anak (Depdikbud dalam Trianto 2009 : 7). Pembelajaran terpadu dapat dilaksanakan dengan cara mengajarkan beberapa materi pelajaran disajikan tiap pertemuan. Pembelajaran terpadu sebagai suatu konsep dapat dikatakan sebagai suatu pendekatan yang melibatkan beberapa bidang studi untuk memberikan pengalaman bermakna kepada anak didik. Anak akan memahami konsep-konsep yang mereka pelajari melalui pengamatan langsung dan menghubungkannya dengan konsep lain yang mereka pahami (Trianto 2009 : 7).
Selain model pembelajaran yang sesuai harus pula memilih media yang dapat mengaktifkan siswa. Media Audio Visual adalah media yang bukan hanya dapat dipandang ataupun diamati namun juga dapat didengar (Sumantri dan Permana 2001 : 161). Media ini memberikan pengalaman belajar secara visual dan audio sehingga daya tangkap siswa menjadi lebih tinggi.

B. Rumusan Masalah dan Pemecahan Masalah
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : Bagaimanakah cara meningkatkan keterampilan membaca siswa kelas 1 SDN X ?
Adapun rumusan masalah tersebut dapat dirinci sebagai berikut : 
a. Apakah aplikasi model pembelajaran terpadu dengan media audio visual dapat meningkatkan keterampilan guru dalam pembelajaran ?
b. Apakah aplikasi model pembelajaran terpadu dengan media audio visual dapat meningkatkan aktivitas siswa dalam pembelajaran ?
c. Apakah aplikasi model pembelajaran terpadu dengan media audio visual dapat meningkatkan keterampilan membaca siswa kelas 1 SDN X ?
2. Pemecahan Masalah
Untuk memecahkan masalah pembelajaran pada siswa kelas 1 SDN X maka dapat diterapkan model pembelajaran terpadu dengan media audio visual. Karena dalam merencanakan dan melaksanakan program pembelajaran, guru sekolah dasar perlu menekankan pada prinsip keterpaduan atau integrasi. Hal ini disebabkan anak-anak lebih mudah menguasai keseluruhan lebih dulu, baru kemudian memahami detail atau rincian. Keterpaduan tersebut meliputi keterpaduan dalam bidang studi itu sendiri ataupun keterpaduan antara bidang studi satu dengan yang lain (Sumantri dan Permana 2001 : 161).
Pada dasarnya langkah-langkah (sintaks) pembelajaran terpadu mengikuti tahap-tahap yang dilalui dalam setiap model pembelajaran yang meliputi tiga tahap yaitu tahap perencanaan, pelaksanaan, tahap evaluasi (Prabowo dalam Trianto 2009 : 15). Menurut Prabowo (Trianto 2009 : 17), langkah-langkah (sintaks) pembelajaran terpadu secara khusus dapat dibuat tersendiri berupa langkah-langkah baru dengan ada sedikit perbedaan sebagai berikut : 
a. Tahap Perencanaan
1) Menentukan Kompetensi Dasar
2) Menentukan Indikator dan Hasil Belajar
b. Langkah yang ditempuh Guru
1) Menyampaikan konsep pendukung yang harus dikuasai siswa.
2) Menyampaikan konsep-konsep pokok yang akan dikuasai oleh siswa.
3) Menyampaikan keterampilan proses yang akan dikembangkan.
4) Menyampaikan alat dan bahan yang dibutuhkan
5) Menyampaikan pertanyaan kunci
c. Tahap Pelaksanaan
1) Pengelolaan kelas
2) Kegiatan proses
3) Kegiatan pencatatan data
4) Diskusi
d. Evaluasi
1) Evaluasi proses
2) Evaluasi hasil
3) Evaluasi psikomotorik

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum penelitian ini adalah : 
- Untuk meningkatkan keterampilan berbahasa siswa kelas I SDN X.
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah : 
a. Meningkatkan keterampilan guru dengan aplikasi model pembelajaran terpadu dengan media audio visual dalam pembelajaran
b. Meningkatkan aktivitas siswa dalam pembelajaran dengan aplikasi model pembelajaran terpadu dengan media audio visual
c. Meningkatkan keterampilan membaca melalui aplikasi model pembelajaran terpadu dengan media audio visual

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan
b. Dijadikan sebagai salah satu acuan dalam kegiatan pembelajaran membaca permulaan
2. Manfaat Praktis
a. Siswa
Dengan penerapan model pembelajaran terpadu dengan media audio visual siswa dapat menerima pembelajaran bahasa yang utuh. Serta menerima pembelajaran yang bervariasi sehingga dapat meningkatkan keterampilan membaca siswa, meningkatkan aktivitas belajar siswa, meningkatkan hasil belajar siswa.
b. Guru
Dengan menerapkan model pembelajaran terpadu dan media audio visual adalah meningkatkan kreativitas guru, meningkatkan kemampuan guru dalam merancang pembelajaran dan meminimalisasi hambatan dalam pembelajaran, serta memberikan acuan terhadap masalah yang sama dengan yang dihadapi.
c. Lembaga
Dengan menerapkan model pembelajaran terpadu dengan media audio visual maka keterampilan membaca permulaan siswa meningkat dan juga dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Maka lembaga tersebut akan meningkat pula kredibilitasnya.

SKRIPSI PTK MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN TEMATIK MELALUI LESSON STUDY

SKRIPSI PTK MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN TEMATIK MELALUI LESSON STUDY

(KODE : PTK-0138) : SKRIPSI PTK MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN TEMATIK MELALUI LESSON STUDY (MATEMATIKA KELAS II)



BAB I
PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang
Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran, (UU RI no. 14 2005 : 8). Dunia pendidikan di negeri ini mengalami krisis tentang mutu pembelajaran yang rendah dan output dan outcome yang kualitasnya rendah, Sa'dun Akbar & Luluk Faridatuz Z (2009 : 2). Masalah tersebut merupakan sebagian masalah yang memicu dikembangkannya kurikulum dari behavioristik dan kognitivistik ke arah konstruktivistik. Agar siswa-siswa dapat belajar secara konstruktivistik maka pada KTSP mengarahkan praktik pembelajaran di kelas rendah dilakukan secara tematik dengan pemanfaatan situasi kehidupan real.
Krisis pembelajaran yang melanda dunia pendidikan saat ini membuat kekhawatiran tersendiri bagi perkembangan kualitas generasi penerus di negeri ini. Lemahnya tingkat berfikir siswa menjadi sebuah tantangan besar bagi para pendidik. Oleh karena itu guru dituntut untuk mampu merancang dan melaksanakan program pengalaman belajar dengan tepat agar siswa memperoleh pengetahuan secara utuh sehingga pembelajaran menjadi bermakna bagi siswa. Bermakna disini berarti bahwa siswa akan dapat memahami konsep-konsep yang mereka pelajari melalui pengalaman langsung dan nyata.
Guru memegang peranan penting dalam kegiatan pembelajaran guna menentukan dan mengarahkan segala kegiatan belajar mengajar. Kegiatan belajar mengajar tersebut diarahkan dan diupayakan untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah direncanakan, bukan sekedar formalitas saja akan tetapi harus diikuti dengan kemampuan pendidik itu sendiri sesuai tugas-tugasnya. Seorang guru yang berinteraksi dengan anak didik di sekolah tidak hanya menyampaikan ilmu pengetahuan melainkan juga menanamkan sikap serta nilai-nilai moral dan keterampilan yang baik. Keberhasilan suatu proses belajar mengajar erat kaitannya dengan pola dan strategi pendidikan yang diterapkan oleh guru dalam mengorganisasikan dan mengelola kelas. Sehubungan dengan hal tersebut maka wawasan, pengetahuan serta keterampilan mengajar guru harus terus ditingkatkan. Melalui kolaborasi antara guru dengan dosen dalam melakukan penelitian dimungkinkan dapat meningkatkan wawasan, pengetahuan serta keterampilan mengajar guru.
Kenyataan di lapangan menunjukkan pembelajaran yang dilakukan masih berpusat pada guru dan berorientasi pada materi dan disajikan tanpa konteks. Materi pembelajaran seolah-olah berdiri sendiri tidak berhubungan dengan konteks kehidupan siswa. Dengan demikian, materi pembelajaran dipelajari siswa bukan menjadi wahana untuk pencapaian kompetensi, namun lebih sebagai sesuatu yang dihafal, diingat sebanyak mungkin. Hal ini menjadikan pembelajaran tidak menarik bagi siswa dan siswa menjadi tidak mampu menerapkan ilmu yang dipelajarinya untuk memecahkan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari.
Selama ini proses pembelajaran tematik di Kelas II SDN X guru dalam mengajar belum menerapkan pembelajaran tematik ataupun membuat RPP tematik dan guru juga tidak menggunakan alat peraga untuk mengaktifkan siswa, guru hanya menjelaskan materi kepada siswa setelah itu memberikan tugas sebagai kegiatan akhir pembelajaran, sehingga keaktifan siswa selama proses pembelajaran kurang tampak. Selain hal di atas didapati strategi pembelajaran kurang bervariasi tidak melibatkan partisipasi aktif siswa. Dengan metode pembelajaran tersebut terlihat aktivitas pada saat proses belajar sedang berlangsung kurang dan rendahnya tingkat pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan sehingga berdampak pada kualitas pembelajaran rendah. Kondisi seperti itu tidak akan meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami pelajaran yang diajarkan dan tidak akan meningkatkan hasil belajar. Akibatnya pencapaian nilai akhir siswa tidak seperti yang diharapkan. 
Dalam Permendiknas No.22 Tahun 2006 (2006 : 845) disebutkan bahwa pembelajaran pada kelas I sd. III dilaksanakan melalui pendekatan Tematik, sedangkan pada kelas IV sd. VI dilaksanakan melalui pendekatan mata pelajaran. Oleh karena itu para guru khususnya di kelas rendah harus melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan tematik.
Beberapa ciri khas dari pembelajaran tematik antara lain : 1) Pengalaman dan kegiatan belajar sangat relevan dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan anak usia sekolah dasar; 2) Kegiatan-kegiatan yang dipilih dalam pelaksanaan pembelajaran tematik bertolak dari minat dan kebutuhan siswa; 3) Kegiatan belajar akan lebih bermakna dan berkesan bagi siswa sehingga hasil belajar dapat bertahan lebih lama; 4) Membantu mengembangkan keterampilan berpikir siswa; 5) Menyajikan kegiatan belajar yang bersifat pragmatis sesuai dengan permasalahan yang sering ditemui siswa dalam lingkungannya; dan 6) Mengembangkan keterampilan sosial siswa, seperti kerjasama, toleransi, komunikasi, dan tanggap terhadap gagasan orang lain (Puskur dalam Wahyuningsih, 2010 : 1).
Dengan pelaksanaan pembelajaran dengan memanfaatkan tema ini, diharapkan akan memberikan banyak keuntungan, di antaranya : 1). Siswa mudah memusatkan perhatian pada suatu tema tertentu, 2). Siswa mampu mempelajari pengetahuan dan mengembangkan berbagai kompetensi dasar antar mata pelajaran dalam tema yang sama; 3). pemahaman terhadap materi pelajaran lebih mendalam dan berkesan; 4). kompetensi dasar dapat dikembangkan lebih baik dengan mengkaitkan mata pelajaran lain dengan pengalaman pribadi siswa; 5). Siswa mampu lebih merasakan manfaat dan makna belajar karena materi disajikan dalam konteks tema yang jelas; 6) Siswa lebih bergairah belajar karena dapat berkomunikasi dalam situasi nyata, untuk mengembangkan suatu kemampuan dalam satu mata pelajaran sekaligus mempelajari mata pelajaran lain; 7). Guru dapat menghemat waktu karena mata pelajaran yang disajikan secara tematik dapat dipersiapkan sekaligus dan diberikan dalam dua atau tiga pertemuan, waktu selebihnya dapat digunakan untuk kegiatan remedial, pemantapan, atau pengayaan (Depdiknas, 2007 : 37).
Di sisi lain untuk mengatasi dan meningkatkan mutu pendidikan matematika yang selama ini sangat rendah. Guru merupakan salah satu faktor penentu tinggi rendahnya mutu pendidikan. Keberhasilan penyelenggaraan pendidikan sangat ditentukan oleh guru dalam mempersiapkan siswa dalam kegiatan pembelajaran di sekolah. Khususnya pembelajaran matematika dapat ditunjukkan melalui kemampuan guru dalam merencanakan pembelajaran, mulai dari pemahaman terhadap landasan kurikulum, pengembangan silabus, penyusunan rencana, pelaksanaan pembelajaran dan LKS, sampai pada penyusunan adalah evaluasi pembelajaran yang berorientasi pada permasalahan tersebut. Dalam rangka mewujudkan kondisi ideal guru dan pembelajaran, maka melalui kegiatan pembinaan profesi guru diharapkan dapat mengatasi hal-hal tersebut. Salah satu upaya pembinaan profesi guru melalui pengkajian pembelajaran yang berfokus pada upaya pemberdayaan guru sesuai dengan kapasitas serta permasalahan yang dihadapi. Hal ini sesuai dengan proses-proses guru bekerja sama untuk merencanakan, mengajar, dan mengamati suatu pembelajaran yang dikembangkan secara kooperatif. Sementara itu, seorang guru mengimplementasikan pembelajaran dalam kelas, yang lain mengamati, dan mencatat pertanyaan dan pemahaman siswa. Penggunaan proses LS dengan program-program pengembangan yang profesional tersebut merupakan wahana untuk mengembalikan guru kepada budaya mengajar yang proporsional, Lewis & Tsuchida dalam Santyasa, I Wayan (2009 : 3).
Adapun pendapat menurut Mulyana, Slamet dalam Sudrajat, Akhmad (2010 : 1) memberikan rumusan tentang Lesson Study sebagai salah satu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan pada prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar. Lewis, Caterine dalam Sudrajat, Akhmad (2010 : 3-4) mengemukakan bahwa Lesson Study sangat efektif bagi guru karena telah memberikan keuntungan dan kesempatan kepada para guru untuk dapat : (1) memikirkan secara lebih teliti lagi tentang tujuan, materi tertentu yang akan dibelajarkan kepada siswa, (2) memikirkan secara mendalam tentang tujuan-tujuan pembelajaran untuk kepentingan masa depan siswa, misalnya tentang arti penting sebuah persahabatan, pengembangan perspektif dan cara berfikir siswa, serta kegandrungan siswa terhadap ilmu pengetahuan, (3) mengkaji tentang hal-hal terbaik yang dapat digunakan dalam pembelajaran melalui belajar dari para guru lain (peserta atau partisipan Lesson Study), (4) belajar tentang isi atau materi pelajaran dari guru lain sehingga dapat menambah pengetahuan tentang apa yang harus diberikan kepada siswa, (5) mengembangkan keahlian dalam mengajar, baik pada saat merencanakan pembelajaran maupun selama berlangsungnya kegiatan pembelajaran, (6) membangun kemampuan melalui pembelajaran kolegial, dalam arti para guru bisa saling belajar tentang apa-apa yang dirasakan masih kurang, baik tentang pengetahuan maupun keterampilannya dalam membelajarkan siswa, dan (7) mengembangkan "The Eyes to See Students" (kodomo wo miru me), dalam arti dengan dihadirkannya para pengamat (observer), pengamatan tentang perilaku belajar siswa bisa semakin detail dan jelas.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa pembelajaran tematik melalui Lesson Study dapat meningkatkan kualitas pembelajaran. Diantaranya pada penelitian yang dilakukan oleh Suherneti, Nita memperoleh hasil bahwa Pelaksanaan tahapan Lesson Study menunjukkan peningkatan karena sudah memahami makna sebagai observer dan penyempurnaan kekurangan siklus ke 1 tahapan Lesson Study. Pelaksanaan Lesson Study berbasis KKG dapat menumbuhsuburkan kegiatan gugus sekolah, dan ditindaklanjuti untuk menjadi Lesson Study berbasis sekolah dan dapat melaksanakan Penelitian Tindakan Kelas, sehingga pada akhirnya setiap guru dapat melaksanakan Open Lesson. Selain itu penelitian yang juga dilakukan oleh Sudrajat, Akhmad memperoleh hasil bahwa Lesson Study merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan proses dan hasil pembelajaran yang dilaksanakan secara kolaboratif dan berkelanjutan oleh sekelompok guru. Sedangkan penelitian yang lain oleh Akbar, Sa'dun & Z, Luluk Faridatuz mendapatkan hasil bahwa Penerapan pembelajaran tematik dengan tema lingkungan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran, meningkatkan aktivitas belajar siswa, meningkatkan kreativitas siswa, menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, meningkatkan kualitas interaksi dalam proses pembelajaran, dan meningkatkan pemahaman konsep tentang lingkungan di kelas 3 SDN X.
Berdasarkan permasalahan tersebut diketahui bahwa faktor utama penyebab rendahnya kualitas pembelajaran adalah guru kesulitan merancang strategi pembelajaran untuk mengaktifkan siswa. Untuk mengatasi permasalahan kesulitan belajar siswa dalam mempelajari materi guru harus memberikan pengajaran lebih mudah dan menggunakan metode yang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran sehingga siswa dapat menerima, mengerti dan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Oleh karena itu, peneliti merasa penting untuk melakukan Penelitian dengan judul “MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN TEMATIK MELALUI LESSON STUDY PADA SISWA KELAS II SDN X”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti merumuskan masalah penelitian yaitu : 
1. Apakah pembelajaran tematik melalui Lesson Study dapat meningkatkan aktivitas guru SDN X ?
2. Apakah pembelajaran tematik melalui Lesson Study dapat meningkatkan aktivitas siswa SDN X ?
3. Apakah pembelajaran tematik melalui Lesson Study dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas II SDN X ?

C. Pemecahan masalah
Untuk mengatasi masalah tersebut di atas, maka peneliti menerapkan Lesson Study dalam pembelajaran tematik.
Berkenaan dengan masalah tersebut menurut Mulyana, Slamet dalam Sudrajat, Akhmad (2010 : 4) mengemukakan tiga tahapan dalam Lesson Study, yaitu : (1) Perencanaan (Plan); (2) Pelaksanaan (Do) dan (3) Refleksi (See).
Dalam penelitian ini juga mempersiapkan instrument pengumpulan data. Seperti : lembar pengamatan, alat tes, catatan lapangan, dan dokumentasi.

D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang akan di capai dalam PTK ini adalah : 
1. Untuk meningkatkan aktivitas guru dalam pembelajaran tematik melalui Lesson Study pada SDN X.
2. Untuk meningkatkan aktivitas siswa dalam pembelajaran tematik melalui Lesson Study pada SDN X.
3. Untuk meningkatkan hasil belajar dalam pembelajaran tematik melalui Lesson Study pada siswa kelas II SDN X.

E. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang dapat diperoleh melalui penelitian ini adalah sebagai berikut : 
1. Manfaat Praktis
a. Bagi Guru
Sebagai umpan balik atau bahan masukan bagi guru agar dapat meningkatkan kreatifitas dan mengadakan perbaikan.
b. Bagi Siswa
Melalui penelitian ini siswa dapat meningkatkan hasil belajar.
c. Bagi Kepala Sekolah
Sebagai masukan bagi sebuah instansi yang dipimpinnya untuk menyelenggarakan pembelajaran yang lebih baik.
2. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini bermanfaat untuk mendapatkan teori baru guna menunjang peningkatan kualitas pembelajaran tematik melalui Lesson Study pada siswa kelas II.

SKRIPSI PTK PENERAPAN PENDEKATAN PAKEM DENGAN METODE DEMONSTRASI DALAM PEMBELAJARAN IPS UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR

SKRIPSI PTK PENERAPAN PENDEKATAN PAKEM DENGAN METODE DEMONSTRASI DALAM PEMBELAJARAN IPS UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR

(KODE : PTK-0137) : SKRIPSI PTK PENERAPAN PENDEKATAN PAKEM DENGAN METODE DEMONSTRASI DALAM PEMBELAJARAN IPS UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR (IPS KLS IV)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia yang memikirkan bagaimana menjalani kehidupan ini untuk mempertahankan hidup yang mengemban tugas dari Sang Khaliq untuk beribadah. Manusia merupakan makhluk yang diberi kelebihan dari Allah SWT dalam bentuk akal. Untuk mengolah akal pikirannya diperlukan suatu pola pendidikan melalui proses pembelajaran.
Berdasarkan Undang-undang RI No. 19 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada pasal 1 disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, Bangsa dan Negara.
Selain itu pada peraturan pemerintah RI No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pada pasal 19 ayat 1, disebutkan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. (Rosdijati,2010 : 30-31)
Mata Pelajaran IPS di SD mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial. Pada jenjang SD/MI mata pelajaran IPS memuat materi Geografi, Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi. Melalui mata pelajaran IPS, peserta didik diarahkan untuk dapat menjadi warga Negara Indonesia yang demokratis, dan bertanggung jawab serta warga dunia yang cinta damai. Selain itu pelajaran IPS juga berfungsi untuk pembangunan jati diri bangsa pada peserta didik yang menuju tercapainya integrasi bangsa (Supriatna, 2007 : 10)
Tujuan Pembelajaran IPS adalah agar siswa mampu mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis terhadap kondisi sosial masyarakat dalam memasuki kehidupan bermasyarakat yang dinamis. Kurikulum tahun 2006 di tingkat SD menyatakan bahwa pengetahuan sosial bertujuan untuk : (1) mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya. (2) memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial. (3) memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan. (4) memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama, dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional dan global. (BSNP 2006 : 82)
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan menitik beratkan proses pembelajaran pada upaya mengembangkan kompetensi para siswa. Keberhasilan siswa ditentukan dari ketercapaian kompetensi-kompetensi yang disyaratkan sebagai mata pelajaran. Untuk mencapai itu, model pembelajaran yang monologis dan cenderung hanya ceramah menjadi tidak cukup memadai lagi. Sekolah dituntut mengembangkan pembelajaran aktif yang bisa menumbuh kembangkan kompetensi para siswanya. Salah satu pendekatan pembelajaran aktif yang banyak dikembangkan di tingkat SD dan MI adalah pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM).
Strategi pembelajaran aktif seperti PAKEM tidak menjadikan metode ceramah menjadi tidak penting lagi. Ceramah hanya menjadi salah satu metode, bukan satu-satunya. Metode ceramah tetap dibutuhkan, namun porsinya dikurangi. Titik tolak untuk penentuan strategi atau metode belajar yang dipakai oleh setiap guru tetaplah harus didasarkan pada tujuan pembelajarannya. Seperti halnya metode demonstrasi yang akan digunakan untuk pembelajaran IPS dalam penelitian ini.
Metode demonstrasi merupakan metode mengajar dengan cara memperagakan barang, kejadian, aturan, dan urutan melakukan sesuatu kegiatan, baik secara langsung maupun melalui penggunaan media pengajaran yang relevan dengan pokok bahasan atau materi yang sedang diajarkan. (Muhibbin, 2000 : 230)
Dengan metode demonstrasi siswa diajak untuk aktif dalam pembelajaran yang sudah dirancang oleh guru mulai dari kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup. Metode ini dirancang agar siswa dapat melihat secara langsung kegiatan pembelajaran yang akan mereka lalui. Selain itu agar siswa dapat mempraktikkannya secara langsung sehingga mereka tidak hanya belajar secara abstrak tetapi mengalaminya sendiri. Hal ini akan membangun pengetahuan siswa secara kongkrit dan siswa tidak akan cepat lupa terhadap materi yang sudah dipelajari.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada saat praktik mengajar di kelas IV SDN X khususnya pada saat pembelajaran IPS berlangsung terlihat bahwa guru dalam memberikan penjelasan materi sangatlah singkat, siswa disuruh untuk membaca yang lebih lengkap dalam lembar kerja siswa dengan pembatasan waktu 15 menit tanpa adanya bimbingan yang lebih intensif dari guru. Setelah siswa selesai membaca materi guru memberikan tugas untuk mengerjakan soal-soal dalam lembar kerja siswa tersebut. Setelah itu guru mencocokkannya dengan cara menukar lembar kerja siswa satu bangku dengan bangku yang lain.
Dengan kondisi tersebut siswa kelas IV SDN X mengalami penurunan prestasi belajar khususnya mata pelajaran IPS yang pencapaian nilainya dibawah kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang ditetapkan sekolah 60. Data hasil belajar diperoleh nilai terendah 30 dan nilai tertinggi 70. Dengan persentase yang tuntas hanya 23% sedangkan yang tidak tuntas mencapai 77% dengan jumlah siswa 13 orang.
Dari paparan hasil penelitian tersebut memperkuat peneliti untuk mengkaji permasalahan yang ada di kelas IV SDN X menggunakan pendekatan PAKEM dengan metode demonstrasi dalam pembelajaran IPS. Dengan pendekatan PAKEM yang dapat dilakukan di dalam kelas dan di luar kelas akan membuat siswa lebih antusias dalam mengikuti pelajaran, karena pendekatan PAKEM menekankan pada 4 aspek dalam pembelajaran yang sesuai dengan karakter anak SD.
Pendekatan PAKEM mengajak siswa untuk aktif dan kreatif dalam pembelajaran, guru dapat merancang pembelajaran yang sederhana tetapi efektif bagi siswa sehingga pembelajaran akan menyenangkan. Melalui demonstrasi siswa dapat melihat secara langsung praktik yang dilakukan oleh guru dan siswa dapat melakukannya secara langsung. Sehingga penekanan aspek yang menjadi kesulitan siswa dapat dilakukan dengan berulang dan bervariasi sehingga pengertian siswa menjadi jelas.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat diajukan judul penelitian sebagai berikut : “PEMBELAJARAN IPS UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR SISWA KELAS IV SDN X”.

B. Rumusan Masalah dan Pemecahan Masalah 
1. Rumusan Masalah
a. Apakah penerapan Pendekatan PAKEM dengan Metode Demonstrasi dalam pembelajaran IPS dapat meningkatkan keterampilan guru kelas IV SDN X ?
b. Apakah penerapan Pendekatan PAKEM dengan Metode Demonstrasi dalam pembelajaran IPS dapat meningkatkan aktivitas siswa kelas IV SDN X ?
c. Apakah penerapan Pendekatan PAKEM dengan Metode Demonstrasi dalam pembelajaran IPS dapat meningkatkan prestasi belajar siswa kelas IV SDN X ? 
2. Pemecahan Masalah
Dari rumusan masalah diatas, maka peneliti merencanakan pemecahan masalah untuk meningkatkan prestasi belajar IPS Melalui Pendekatan PAKEM dengan Metode Demonstrasi dalam Kompetensi Dasar 2.1 mengenal aktivitas ekonomi yang berkaitan dengan sumber daya alam dan potensi lain di daerahnya.
Langkah-langkah pemecahan masalah tersebut direncanakan sebagai berikut : 
1) Merencanakan Pembelajaran
2) Jam datang siswa
3) Sarapan Pagi
4) Kartu kata hasil dari sumber daya alam
5) Kotak sumber daya alam
Pada rencana pembelajaran melalui Pendekatan PAKEM dengan metode Demonstrasi langkah-langkahnya antara lain : 
a) Guru menjelaskan dan mendemonstrasikan cara menempelkan potongan-potongan tempat dari sumber daya alam pada stereo foam.
b) Setelah potongan-potongan tersusun guru mengambil kartu kata dalam kardus, kartu kata yang sesuai dengan nama tempat tersebut dipasang pada bagian atas tempat tersebut.
c) Guru membagi siswa ke dalam kelompok-kelompok, setiap kelompok terdiri dari 3 siswa.
d) Guru membagikan potongan-potongan tempat sumber daya alam kepada masing-masing kelompok.
e) Tempat sumber daya alam yang didapat menjadi nama kelompok
f) Guru meminta tiap kelompok untuk berlomba memasangkan potongan-potongan tempat sumber daya alam ke dalam stereo foam.
g) Setelah selesai barulah mencari kartu kata tersebut dalam kotak sumber daya alam dan menempelkannya dibawah tempat sumber daya alam.

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan, maka tujuan penelitian antara lain : 
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui kualitas pembelajaran IPS pada siswa kelas IV SDN X.
2. Tujuan khusus
a) Meningkatkan keterampilan guru melalui pendekatan PAKEM dengan Metode Demonstrasi pada siswa kelas IV SDN X.
b) Meningkatkan aktivitas siswa melalui pendekatan PAKEM dengan Metode Demonstrasi pada siswa kelas IV SDN X.
c) Meningkatkan prestasi belajar melalui pendekatan PAKEM dengan Metode Demonstrasi pada siswa kelas IV SDN X.

D. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan akan memberikan kontribusi pada ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya. Selain itu dapat memberikan manfaat bagi : 
1) Bagi Guru
a. Meningkatkan penggunaan pendekatan pembelajaran yang lebih menarik dan menyenangkan.
b. Guru dapat memilih metode dan media yang cocok untuk pembelajaran yang dapat meningkatkan prestasi belajar IPS.
2) Bagi Siswa
a. Melatih siswa untuk belajar bekerja sama dalam kelompok dengan teman sebayanya.
b. Meningkatkan aktivitas belajar siswa.
c. Meningkatkan prestasi belajar siswa.
3) Bagi Sekolah
a. Menambah pendekatan dan model-model pembelajaran yang inovatif.
b. Meningkatkan kreativitas pembelajaran.
c. Meningkatkan kualitas hasil belajar.