Search This Blog

SKRIPSI PTK UPAYA MENINGKATKAN KOSAKATA ANAK TAMAN KANAK-KANAK MELALUI PEMANFAATAN MEDIA FOTO (PGTK)

SKRIPSI PTK UPAYA MENINGKATKAN KOSAKATA ANAK TAMAN KANAK-KANAK MELALUI PEMANFAATAN MEDIA FOTO (PGTK)

(KODE : PTK-0105) : SKRIPSI PTK UPAYA MENINGKATKAN KOSAKATA ANAK TAMAN KANAK-KANAK MELALUI PEMANFAATAN MEDIA FOTO (PGTK)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian
Era globalisasi yang disebut-sebut sebagai era kekuasaan ideologi kapitalisme-liberalisme dan era cyber-net telah menciptakan peluang dan harapan bam disamping tantangan-tantangan dan ancaman-ancaman bam bagi eksistensi kehidupan manusia. Saat sekarang perkembangan teknologi informasi dan komunikasi begitu cepat diantaranya perkembangan bidang cyber-net. Perkembangan pesat dibidang ini memungkinkan dilakukannya pengembangan hubungan dengan siapa saja, kapan saja, dan dimana saja, dalam berbagai bentuk, baik audio, visual, maupun audio-visual yang menyajikan informasi, data, dan peristiwa dalam waktu sekejap.
Salah satu pembahan paradigma dalam dunia pendidikan sebagai dampak positif dari era globalisasi adalah kesadaran tentang pentingnya penyelenggaraan pendidikan anak usia TK. TK merupakan salah satu lembaga yang menyelenggarakan pendidikan anak usia TK memegang peranan yang sangat fundamental dalam arti pengalaman pendidikan dini dapat memberikan pengaruh yang "membekas" sehingga melandasi proses pendidikan dan perkembangan anak selanjutnya. Pandangan ini didasarkan baik pada alasan keagamaan, kajian teoretik atau pandangan para ahli maupun temuan-temuan empirik.
Anak usia TK (sejak lahir hingga 6 tahun) adalah sosok individu mahkluk psikososiokultural yang sedang mengalami suatu proses perkembangan yang sangat fundamental bagi kehidupan selanjutnya dengan memiliki sejumlah potensi dan karakteristik tertentu. Sebagai individu, anak usia TK adalah suatu organisme yang merupakan suatu kesatuan jasmani dan rohani yang utuh dengan segala struktur dan perangkat biologis dan psikologisnya sehingga menjadi sosok yang unik, perlu tumbuh dan berkembang. Anak TK diasuh dan dididik sesuai dengan nilai-nilai sosiokultural yang sesuai dengan harapan masyarakatnya.
Energi anak adalah suatu totalitas kekuatan berkembang yang terpancarkan dalam energi fisik, intelektual, dan emosional. Salah satu bentuk energi anak usia TK yang sedang berkembang pesat dan sangat fundamental adalah perkembangan bahasa (language development) (Kartadinata, 2003 : 66; Hurlock, 1986; Desmita, 2007 : 127).
Esensi bahasa adalah berbicara dan berkomunikasi. Bahasa merupakan suatu alat komunikasi yang dapat dinikmati oleh semua mahluk di belahan muka bumi ini karena dengan bahasa akan diketahui berbagai macam informasi. Kosakata sebagai salah satu unsur bahasa memegang peranan penting dalam kegiatan komunikasi. Melalui kata-kata, anak dapat mengekspresikan pikiran, gagasan, serta perasaan terhadap orang lain. Semakin banyak perbendaharaan kata yang dimiliki anak didik, semakin mudah dia menyampaikan pikirannya baik dalam tulisan maupun lisan.
Pembinaan dan pengembangan keterampilan berbahasa cenderung dipengaruhi oleh kemampuan perbendaharaan dan penguasaan kosakatanya yang bersifat kuantitatif, tetapi mencakup kemampuan mengenai kualitasnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Tarigan (1993 : 2) yang menyatakan bahwa kualitas berbahasa seseorang jelas bergantung kepada kualitas dan kuantitas kosakata yang dimilikinya, maka semakin besar pula kemungkinan terampil berbahasa.
Kemungkinan lain dikemukakan oleh Badudu (1995 : 146) bahwa orang dapat menggunakan kata dalam kalimat secara tepat perlulah mengetahui benar arti kata itu serta bagaimana mengemukakan dalam kalimatnya.
Jumlah bahasa (kosakata) yang dipelajari anak TK selama bertahun-tahun awal kehidupannya adalah sesuatu yang sangat berarti. Pada usia tiga tahun anak sudah mampu menguasai sebagian besar kosakata yang akan digunakan dalam percakapan sehari-hari dalam kehidupan berikutnya. Keterampilan berbahasa pada anak usia TK memiliki daya dukung keterdidikan yang kuat bagi anak untuk mulai atau menunda memasuki sekolah formal pada jenjang yang lebih tinggi.
Anak usia TK belajar bahasa (kosakata) berawal dari sesuatu yang didengar, dilihat, dan dipraktekkan berpengaruh terhadap penguasaan kosakata anak. Proses belajar bahasa (kosakata) anak usia TK akan efektif jika dapat melibatkan seluruh indera, khususnya indera pendengaran dan penglihatan.
Media sangat berperan dalam meningkatkan kualitas pendidikan di TK termasuk untuk meningkatkan penguasaan kosakata pada anak usia TK. Media pendidikan dapat dipergunakan untuk membangun pemahaman dan penguasaan kosakata. Beberapa media pendidikan yang sering dipergunakan dalam pembelajaran diantaranya media cetak, elektronik, model dan peta (Kreyenhbuhl dalam Mujianto, 2007 : 4).
Media foto merupakan salah satu media yang dapat dipertimbangkan dan dipergunakan dalam pembelajaran kosakata untuk anak usia TK di TK. Media foto tersebut dapat dikembangkan dalam berbagai bentuk dan membantu dalam proses transfer pengetahuan anak (Suminar, 2007 : 1).
Media foto merupakan salah satu media pembelajaran yang diprediksi memiliki pengaruh yang signifikan pada peningkatan penguasaan kosakata anak didik di TK. Media foto dapat dimanfaatkan sebagai media untuk mengkomunikasikan informasi. Media foto merupakan media yang relatif murah jika dibandingkan dengan bahan visual yang diproyeksikan seperti transparansi, slide, dan film. Tujuan mengkomunikasikan pengetahuan dan informasi, media foto mudah diperoleh. Berbagai sumber seperti majalah, koran, jurnal, dan buku teks sering memuat media foto.
Berbagai kajian empirik seperti yang dilakukan oleh Hartini (2000) dan Sriningsih (2004) menunjukan bahwa media foto merupakan media yang efektif dalam peningkatan hasil pembelajaran. Hasil penelitian Mustolih (2007) menujukan bahwa kegiatan belajar mengajar akan lebih efektif dan mudah bila dibantu dengan sarana visual, yakni 11% dari yang dipelajari terjadi lewat indera pendengaran, sedangkan 83% lewat indera penglihatan. Di samping itu, dikemukakan bahwa individu hanya dapat mengingat 20% dari sesuatu yang didengar, namun dapat mengingat 50% dari sesuatu yang dilihat dan didengar.
Banyak jenis media grafts diantaranya adalah gambar/foto, sketsa, diagram, bagan/chart, grafik (graphs), kartun, poster, peta dan globe, papan flanel (Flannel Board) serta papan buletin (bulletin board). Sampai saat ini kebanyakan guru TK yang mempunyai kebiasaan tradisional dalam memberikan layanan pembelajaran bahasa (kosakata) berhadapan dengan sejumlah permasalahan belajar anak didik di TK dikarenakan minimnya sumber-sumber, media-media, atau materi-materi pembelajaran.
Mencermati pemaparan tersebut, pembelajaran kosakata pada berbagai jenjang pendidikan harus mendapat penilaian, lebih-lebih dalam kurikulum dalam mata pelajaran bahasa sebagaimana dimuat dalam rambu-rambu kosakata yang harus dikuasai oleh anak pada tiap jenjang kelas. Karena itu, penguasaan kosakata anak didik hendaknya terus dibina dan ditingkatkan. Hal ini dikarenakan perkembangan kemampuan berbahasa tidak akan datang dengan sendirinya, akan tetapi memerlukan latihan yang lebih banyak dan teratur dengan menggunakan media yang tepat dan menarik.
Berdasarkan pengalaman dan pengamatan peneliti sebagai salah satu tenaga pengajar di TK, kemampuan komunikasi anak sangat bergantung pada perbendaharaan kata (kosakata) yang dikuasainya disamping faktor-faktor lain yang mempengaruhinya seperti latar belakang kebahasaan (bahasa ibu), sosial ekonomi, kemampuan tingkat kecerdasan, serta gaya belajar.
Dalam kegiatan bercerita di TK salah satunya anak dituntut untuk dapat mengungkapkan isi cerita yang diceritakan oleh guru. Biasanya kata-kata yang hams diungkapkan adalah merupakan kata-kata yang terdapat dalam suatu cerita yang telah diceritakan terlebih dahulu. Agar anak dapat menjawab dengan tepat, maka anak perlu memiliki perbendaharaan kata yang kaya pula. Namun, pada kenyataannya banyak anak yang tidak dapat menunjukkannya. Kurangnya perbendaharaan, dalam menjawab pertanyaan guru merupakan masalah bagi anak dalam mengungkapkan gagasan ketika anak ditanya kembali apa isi cerita. Akhirnya anak sering membuat kesalahan-kesalahan, yang membuat guru merasa putus asa. Burhan (1971 : 11) mengatakan bahwa kegagalan itu bersumber pada guru, metode dan media pengajarannya.
Berdasarkan pengamatan dan pengalaman peneliti di TK X, diketahui bahwa guru lebih aktif dari pada anak terutama setiap kali anak dihadapkan pada masalah kosakata. Sebagian besar guru TK di lapangan menggunakan kosakata yang digunakan hanya dalam bentuk lisan dengan menggunakan metode ceramah. Selain hal tersebut guru justru jarang sekali menggunakan media yang menarik dan menyenangkan bagi anak. Hal ini dirasakan menghambat kegiatan pembelajaran bahasa dalam meningkatkan penguasaan kosakata anak didik.
Melalui stimulus yang diberikan dengan menggunakan gambar fotografi ini, diharapkan kemampuan kosakata anak meningkat dan mampu memberikan suasana yang menyenangkan di dalam pembelajaran bahasa di TK X. Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini di fokuskan pada "UPAYA MENINGKATKAN KOSAKATA ANAK KELOMPOK A DI TK X MELALUI PENGGUNAAN MEDIA FOTO".

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah "bagaimana upaya meningkatkan kosakata anak TK melalui penggunaan media foto ?". Secara rinci, rumusan masalah ini di tuangkan ke dalam pertanyaan sebagai berikut.
1. Bagaimana kondisi objektif pengembangan kosakata anak kelompok A di TK X ?
2. Bagaimana implementasi penggunaan media foto dalam meningkatkan kosakata anak kelompok A di TK X ?
3. Bagaimana perkembangan kosakata anak kelompok A di TK X setelah pembelajaran menggunakan media foto ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan kosakata anak kelompok A di X melalui penggunaan media foto.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 
a. Memperoleh informasi tentang kondisi objektif pengembangan kosakata anak kelompok A di TK X
b. Mengetahui implementasi penggunaan media foto dalam meningkatkan kosakata anak kelompok A di TK X.
c. Mengetahui perkembangan kosakata anak kelompok A di TK X setelah pembelajaran menggunakan media foto.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini di harapkan dapat menambah khazanah konseptual mengenai penggunaan media foto untuk meningkatkan penguasaan kosakata pada anak usia TK.
2. Manfaat Praktis
a. Manfaat untuk PG-PAUD/TK
Hasil penelitian ini di harapkan dapat di jadikan salah satu rujukan kerangka kerja (framework) konseptual dan praktis oleh para akademisi dan pakar dalam pengembangan kebijakan Program Guru Pendidikan Anak Usia Dini (PG-PAUD).
b. Manfaat untuk Guru PAUD/TK
Hasil penelitian ini di harapkan dapat di jadikan salah satu rujukan kerangka kerja (framework) konseptual dan praktis oleh para praktisi dan pelaksanaan Pendidikan Anak TK di lapangan dalam mempertimbangkan, memanfaatkan, dan mengembangkan media foto untuk meningkatkan kosakata anak usia TK.
c. Manfaat untuk Peneliti dan manfaat untuk penelitian selanjutnya
Penelitian ini memberikan pengalaman dan insight pribadi yang sangat mendalam dalam mengembangkan strategi dan media pembelajaran untuk meningkatkan kosakata anak usia TK, khususnya di TK X. Selain itu, di peroleh seperangkat implikasi untuk penelitian-penelitian selanjutnya. Berkenaan dengan penggunaan media dalam pembelajaran bahasa untuk meningkatkan kosakata anak usia TK. 

E. Definisi Operasional
1. Definisi kosakata anak usia TK
Dalam Webster's Third New Internasional Dictionary (1981) dinyatakan bahwa "vocabulary is the total number of words in a language. It is also a collection of word a person knows and uses in speaking and writing". Kosakata atau perbendaharaan kata adalah jumlah seluruh kata dalam suatu bahasa. Kosakata juga dapat dimaknai sebagai kemampuan kata-kata yang diketahui dan digunakan seseorang dalam berbicara dan menulis.
Menurut Keraf (1985 : 69) kosakata atau perbendaharaan kata adalah daftar kata-kata yang segera kita ketahui artinya, bila kita mendengar kembali walaupun jarang atau tidak pernah digunakan dalam percakapan atau tulisan kita sendiri.
Sementara itu, Richards (1985 : 307) mendefinisikan kosakata sebagai "a set lexeme including single word, compound word and idiom". Dari pendapat ini, diketahui bahwa kosakata adalah sekumpulan kata, termasuk kata tunggal, kata majemuk, dan idiom.
Berdasarkan definisi tersebut, kosakata dalam penelitian ini didefinisikan sebagai sekumpulan kata yang dimiliki dan digunakan oleh anak usia TK untuk berkomunikasi dalam kehidupannya sehari-hari menyangkut kata abstrak, kata kongkret, kata umum, kata khusus, kata popular, kata sinonim, kata antonim, kata teknis atau istilah, kata tunggal, kata jamak, maupun kata idiom. 
2. Definisi Media Foto
Hamalik (1994 : 95) mendefinisikan media foto sebagai segala sesuatu yang diwujudkan secara visual ke dalam bentuk dua dimensi sebagai curahan maupun pikiran yang bermacam-macam seperti lukisan, potret, slide, filmstrip, buku cerita berbentuk gambar.
Sementara itu, Raharjo (2007) menyatakan bahwa media dalam arti yang terbatas, yaitu sebagai alat bantu pembelajaran. Hal ini berarti media sebagai alat bantu yang digunakan guru untuk : (a) memotivasi belajar peserta didik; (b) memperjelas informasi/pesan pengajaran; (c) memberikan tekanan pada bagian-bagian yang penting; (d) memberi variasi pengajaran; dan (e) memperjelas struktur pengajaran.
Berdasarkan definisi tersebut, media foto dalam penelitian ini adalah foto yang dijadikan sebagai media alat bantu yang digunakan guru dalam proses pembelajaran pengembangan kemampuan kosakata anak TK.

SKRIPSI PTK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENGENAL KONSEP BILANGAN ANAK MELAUI MEDIA KARTU ANGKA BERGAMBAR (PGTK)

SKRIPSI PTK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENGENAL KONSEP BILANGAN ANAK MELAUI MEDIA KARTU ANGKA BERGAMBAR (PGTK)

(KODE : PTK-0104) : SKRIPSI PTK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENGENAL KONSEP BILANGAN ANAK MELAUI MEDIA KARTU ANGKA BERGAMBAR (PGTK)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Taman Kanak-kanak (TK) adalah suatu bentuk pendidikan jalur formal yang menyediakan program pendidikan dini anak usia 4-6 tahun. Tugas utama TK sebagai lembaga pendidikan prasekolah adalah mempersiapkan anak dengan memperkenalkan berbagai pengetahuan, sikap dan perilaku, keterampilan dan intelektual agar dapat melakukan adaptasi dengan kegiatan belajar yang sesungguhnya di Sekolah Dasar. Pandangan ini mengisyaratkan bahwa TK merupakan lembaga pendidikan pra-akademik. TK tidak mengemban tanggung jawab utama dalam membina kemampuan akademik.
Salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh peserta didik TK adalah mampu mengikuti pendidikan selanjutnya dengan kesiapan yang optimal sesuai dengan tuntutan yang berkembang dalam masyarakat. Kemampuan dasar yang dikembangkan di TK meliputi kemampuan bahasa, fisik/motorik, seni dan kemampuan kognitif. Pengembangan kemampuan kognitif bertujuan meningkatkan kemampuan berpikir anak. Pada kemampuan kognitif tersebut, anak diharapkan dapat mengenal konsep sains dan matematika sederhana.
Matematika anak usia dini menurut Sriningsih, (2009 : 23) yaitu : "pembelajaran matematika terpadu yang merupakan sarana yang dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan berpikir, mendorong anak untuk mengembangkan berbagai potensi intelektual anak." Kegiatan pengembangan pembelajaran matematika untuk anak usia dini pada dasarnya bertujuan untuk menstimulasi kemampuan berpikir anak agar memiliki kesiapan untuk belajar matematika pada tahap selanjutnya.
Kegiatan pembelajaran matematika pada anak TK diorganisir secara terpadu melalui tema-tema pembelajaran yang paling dekat dengan konteks kehidupan anak dan pengalaman-pengalaman riil. Guru dapat menggunakan media permainan dalam pembelajaran yang memungkinkan anak bekerja dan belajar secara individual, kelompok dan juga klasikal. Penggunaan media pada kegiatan pembelajaran matematika anak usia dini, khususnya dalam pengenalan konsep bilangan bertujuan mengembangkan pemahaman anak terhadap bilangan dan operasi bilangan dengan benda-benda kongkrit sebagai pondasi yang kokoh pada anak untuk mengembangkan kemampuan matematika pada tahap selanjutnya. Sriningsih (2009 : 121) menyatakan bahwa, "guru secara bertahap memberikan pengalaman belajar yang dapat menggantikan benda-benda kongkrit dengan alat-alat yang dapat mengantarkan anak pada kemampuan membilang.
Berdasarkan observasi yang telah dilakukan penulis di lapangan ditemukan adanya permasalahan dalam kegiatan pengembangan di kelas yaitu rendahnya kemampuan mengenal konsep bilangan di RA X pada Kelompok B. Pada saat proses pembelajaran peneliti melihat peran guru masih menekankan pengajaran yang berpusat pada guru (teacher centered). Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya peran guru yang terlalu menguasai kelas. Guru dengan spontan memberikan tugas kepada anak tanpa memberikan pilihan kegiatan kepada anak. Kondisi ini ditengarai penyebabnya adalah dalam proses pembelajaran guru kurang memanfaatkan media pembelajaran dan permainan yang tepat yang dapat menumbuhkan motivasi belajar anak. Selain kurangnya media pembelajaran dan permainan yang tepat, hal ini lebih disebabkan oleh minimnya ruangan kelas yang dimiliki oleh RA X. Sehingga kepala RA beserta guru merasa kesulitan mencari tempat jika menambahkan media dan sumber belajar terlalu banyak.
Permasalahan lain yang terjadi di RA X adalah metode yang digunakan oleh guru masih menggunakan metode drill dan praktek-praktek paper-pencil test. Pada pengembangan kognitif khususnya pada pengenalan konsep bilangan, guru memberikan perintah kepada anak agar mengambil majalah dan pensil masing-masing. Selanjutnya guru memberikan contoh kepada anak untuk menghitung jumlah benda yang terdapat pada majalah dan mengisinya dengan angka yang sesuai dengan jumlah benda tersebut pada kolom yang telah disediakan. Setelah anak mengerti, guru menyuruh anak untuk mengerjakannya sendiri.
Adapun data kemampuan anak di RA X dalam membilang pada waktu observasi yaitu anak baru mampu membilang dari 1-20 secara berurutan yang dilakukan secara bersama-sama dengan cara membilang teman yang hadir di kelas. Diakui oleh guru di RA X, bahwa sampai saat ini para guru belum menemukan media yang tepat untuk membantu meningkatkan kemampuan mengenal konsep bilangan pada anak. Guru kurang memberikan media yang bervariasi dan juga masih menggunakan metode yang membuat anak merasa bosan dan tidak ada rasa antusias pada anak untuk aktif di dalam kelas. Sehingga dalam mengenalkan konsep bilangan yang diterapkan di RA X masih menggunakan metode konvensional atau pengerjaan latihan di buku tulis.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sriningsih (2009 : 2), beberapa lembaga pendidikan anak usia dini mengajarkan konsep-konsep matematika yang lebih menekankan pada penguasaan angka dan operasi melalui metode drill dan praktik-praktik paper-pencil test. Kalau pun ada media, hanya terbatas pada kertas kerja saja.
Hal tersebut bertentangan dengan prinsip kurikulum. Salah satu prinsip kurikulum pembelajaran matematika di TK adalah lingkungan dan media menurut Copley (2001 : 14). Lebih lanjut lingkungan yang efektif untuk belajar matematika adalah kaya dengan media yang dapat membantu anak mengekspresikan konsep inti. Karena itu dalam proses pembelajaran konsep-konsep matematika diperlukan dukungan media yang bervariasi. Dengan demikian dalam pembelajaran matematika untuk mengenalkan konsep bilangan diperlukan media pembelajaran yang sesuai.
Manfaat penggunaan media yang sesuai untuk anak usia dini dalam pengenalan matematika memiliki peranan yang besar, khususnya mengenai pengenalan konsep bilangan. Manfaat penggunaan media dalam pengenalan matematika untuk anak usia dini yaitu dapat membantu anak dalam memahami berbagai konsep matematika yang bersifat abstrak dalam matematika yang dapat disajikan dalam bentuk kongkrit. Sehingga mudah dipahami dan dimengerti anak-anak sesuai dengan karakteristik dan tahapan berpikirnya. Motivasi yang ditunjukkan dengan rasa senang, terangsang dan tertarik sehingga mendorong anak berfikir positif terhadap pembelajaran matematika khususnya kemampuan mengenal konsep bilangan.
Menurut National Council of Teachers Mathematic yang selanjutnya disebut NCTM (Copley, 2001 : 14) terdapat berbagai media yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika diantaranya pertama media nyata yang dapat dimanipulasi seperti balok, tangram dan lego. Kedua media simbol seperti kartu angka, dadu, garis angka dan media visual lainnya. Ketiga media yang bisa merepresentasikan secara abstrak seperti kalkulator, komputer dan lain sebagainya.
Komariyah dan Soeparno (2010 : 66) menjelaskan bahwa, media kartu angka bergambar adalah penggunaan suatu bentuk media pembelajaran yang berbasis permainan terdiri atas kartu-kartu untuk menyampaikan materi melalui pertanyaan-pertanyaan yang telah terkonsep. Media permainan kartu angka bergambar ini digunakan sebagai media penyampai pesan pada waktu pembelajaran matematika.
Berbagai penelitian yang telah dilakukan terhadap penggunaan media dalam pembelajaran matematika pada anak TK menunjukan hasil yang signifikan terhadap peningkatan kemampuan belajar anak. Diantaranya hasil penelitian yang dilakukan oleh Andari (2008 : 120-122) di Taman Kanak-Kanak Juwita hasilnya menunjukkan adanya peningkatan kualitas pembelajaran logika matematika melalui penggunaan balok. Respons anak terhadap materi pembelajaran logika matematika menjadi lebih antusias, hal ini karena sambil bermain balok, anak mampu mengenal dan menguasai materi pembelajaran logika matematika.
Penelitian yang dilakukan oleh Nurlaela (2009) menunjukan bahwa media pembelajaran dadu memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan anak dalam mengenal bilangan di TK B dengan hasil post tes kemampuan mengenal bilangan (BSH) berkembang sesuai harapan terdapat 93,35% dari awalnya hanya 33,3%. Selain itu penelitian tindakan kelas yang dilakukan oleh Erawati (2010) menunjukan bahwa penggunaan media lotto angka dapat meningkatkan kemampuan mengenal bilangan anak, hal ini terlihat pada semua anak dan semua indikator kemampuan mengenal bilangan mengalami peningkatan.
Berdasarkan permasalahan yang terjadi di RA X dan pendapat-pendapat yang telah dikemukakan di atas, penulis tertarik untuk meneliti secara langsung pemanfaatan media kartu angka bergambar di RA X sebagai salah satu cara meningkatkan kemampuan mengenal konsep bilangan anak TK dan dapat memperbaiki kondisi pembelajaran yang terjadi di RA X Penulis menggunakan metode penelitian tindakan kelas dengan judul “KEMAMPUAN MENGENAL KONSEP BILANGAN ANAK TK MELALUI MEDIA KARTU ANGKA BERGAMBAR”.

B. Rumusan Masalah
Permasalahan dalam penelitian ini adalah masih rendahnya pembelajaran mengenal konsep bilangan anak kelompok B di RA X dengan fokus rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 
1. Bagaimana kondisi objektif proses pembelajaran mengenal konsep bilangan anak Kelompok B sebelum diberikan tindakan di RA X ?
2. Bagaimana kondisi objektif kemampuan mengenal konsep bilangan anak sebelum digunakan media kartu angka bergambar di Kelompok B RA X ?
3. Bagaimana prosedur penggunaan media kartu angka bergambar dalam meningkatkan kemampuan mengenal konsep bilangan di Kelompok B RA X ?
4. Bagaimana kemampuan mengenal konsep bilangan di Kelompok B RA X setelah digunakannya media kartu angka bergambar ?
5. Apa kendala-kendala yang dihadapi dalam mengenalkan konsep bilangan di Kelompok B RA X dengan menggunakan media kartu angka bergambar ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dilaksanakan penelitian ini secara umum adalah untuk mengetahui upaya meningkatkan kemampuan mengenal konsep bilangan di RA X melalui media kartu angka bergambar. Sedangkan tujuan penelitian secara khusus adalah untuk : 
1. Mengetahui kondisi objektif proses pembelajaran pengenalan konsep bilangan anak Kelompok B di RA X.
2. Mengetahui kondisi objektif kemampuan mengenal konsep bilangan sebelum digunakannya media kartu angka bergambar di Kelompok B RA X.
3. Mengetahui prosedur penggunaan media kartu angka bergambar dalam meningkatkan kemampuan mengenal konsep bilangan di Kelompok B RA X.
4. Mengetahui kemampuan mengenal konsep bilangan di Kelompok B RA X setelah digunakannya media kartu angka bergambar.
5. Mengetahui kendala-kendala yang dihadapi dalam mengenalkan konsep bilangan di Kelompok B RA X dengan menggunakan media kartu angka bergambar.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai berikut : 
1. Bagi penulis, hasil penelitian ini dapat memperkaya wawasan dan pengetahuan tentang pelaksanaan proses pembelajaran dalam kemampuan mengenal konsep bilangan anak usia dini dan juga dapat digunakan sebagai acuan dalam proses pembelajaran pada Taman Kanak-kanak yang lainnya.
2. Bagi pengembang, perencana, penyelenggara, dan pelaksana lembaga pendidikan, hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai masukan dalam pengembangan, perencanaan, dan penyelenggaraan program pendidikan anak usia dini khususnya pada Taman Kanak-kanak.
3. Bagi pengelola dan guru RA X, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pengembangan Taman Kanak-kanak ke arah yang lebih baik lagi.
4. Bagi orang tua dan masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan dalam melaksanakan perannya masing-masing sehingga dapat mencapai hasil yang optimal sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan pada Taman Kanak-kanak tersebut.
5. Bagi lingkungan akademik, hasil penelitian ini mudah-mudahan dapat menambah khasanah keilmuan dan dapat dijadikan sebagai salah satu kajian literatur dalam membahas pendidikan anak usia dini.

SKRIPSI PTK PENERAPAN METODE PROYEK UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK (PGTK)

SKRIPSI PTK PENERAPAN METODE PROYEK UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK (PGTK)

(KODE : PTK-0103) : SKRIPSI PTK PENERAPAN METODE PROYEK UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK (PGTK)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Anak prasekolah merupakan sosok individu yang sedang mengalami proses tumbuh kembang dengan pesat di berbagai aspek perkembangan. Salah satunya adalah aspek perkembangan sosial. Kebutuhan sosial merupakan hal yang harus dipenuhi untuk mencapai kehidupan yang sehat, bergairah penuh semangat dan bebas dari rasa cemas. Anak membutuhkan kondisi-kondisi yang dapat membuat dirinya mampu menyalurkan kebutuhan sosialnya dan kebutuhan ini dapat dilakukan melalui bersosialisasi. Sebagaimana dikemukakan Bronfrenbrenner dan Crouter (Yusuf, 2007 : 35) bahwa lingkungan perkembangan merupakan berbagai peristiwa, situasi atau kondisi di luar organisme yang diduga mempengaruhi atau dipengaruhi oleh perkembangan individu.
Sosialisasi pertama dilakukan di lingkungan keluarga yang dimulai sejak masa bayi. Ketika bayi tersenyum terhadap ibunya, di hati ibunya tumbuh perasaan sayang dan mencintai bayi. Interaksi ibu dan bayi ini merupakan awal bagi tumbuh dan berkembangnya kemampuan sosial anak. Interaksi anak dengan orang lain selanjutnya akan diteruskan di luar lingkungan keluarga, salah satunya di lingkungan Taman Kanak-kanak.
Di Taman Kanak-kanak anak belajar bersosialisasi melalui interaksi dengan teman sebaya, guru dan orang dewasa lainnya. Interaksi tersebut dapat memberikan kesempatan kepada anak untuk belajar berbagi, membantu, saling menyayangi, menghormati, saling percaya dan mengerti perasaan masing-masing. Selain itu melalui interaksi anak belajar tentang perilaku yang disenangi dan tidak disenangi, yang dibolehkan dan tidak dibolehkan, sehingga dari pengalaman itu diharapkan pada akhirnya akan menghasilkan kesadaran sosial yakni perilaku-perilaku yang sesuai dengan aturan-aturan yang harus dipatuhi dan tidak berperilaku semaunya.
Aspek perkembangan sosial sangat penting untuk dikembangkan sejak dini agar anak segera memiliki keterampilan sosial yang optimal, sehingga anak mampu menyesuaikan diri dan berperilaku sesuai aturan yang ada, serta keberadaan anak dapat diterima lingkungannya. Combs dan Salby dalam Cartlede dan Milburn (Sarianti, 2008 : 6) menyatakan bahwa : "Keterampilan sosial sebagai kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain pada konteks sosial dalam cara-cara spesifik yang secara sosial diterima dan bernilai dalam waktu yang sama memiliki keuntungan untuk pribadi dan orang lain".
Memperhatikan pendapat di atas, dapat dikemukakan bahwa keterampilan sosial sangat perlu untuk dimiliki anak sebagai bekal dalam berinteraksi dengan orang lain baik di masa sekarang maupun di masa depan.
Keberhasilan dalam interaksi dengan teman sebaya membuat kepekaan sosial anak semakin terasah. Selain itu keinginan anak untuk diterima dalam kelompok sosial merupakan kebutuhan yang sangat kuat, sehingga anak akan berusaha menguasai keterampilan sosial sesuai dengan nilai-nilai yang ada di kelompok sosialnya. Ketercapaian keterampilan sosial bagi anak sangat penting, karena ketika anak menampilkan keterampilan sosial yang diharapkan oleh lingkungan, anak akan memperoleh penerimaan sosial dari orang-orang di sekitarnya. Hal ini diungkapkan Afiati (2006 : 5) bahwa penerimaan sosial terhadap diri anak akan menumbuhkan kenyamanan dan hubungan harmonis yang secara signifikan mampu meningkatkan motivasi belajar anak. Semua ini merupakan pengalaman sosial awal bagi anak.
Pengalaman sosial awal sangat menentukan kepribadian setelah anak menjadi dewasa (Hurlock alih bahasa Meitasari, 1997 : 256). Mengingat masa anak merupakan masa pembentukan, maka pola perilaku yang dipelajari pada usia dini cenderung menetap dan mempengaruhi perilaku dalam situasi sosial pada usia selanjutnya. Pola perilaku sosial menurut Hurlock alih bahasa Meitasari (1997 : 262) antara lain kerjasama, persaingan, kemurahan hati, hasrat akan penerimaan sosial, simpati, ketergantungan, empati, meniru, sikap ramah, sikap tidak mementingkan diri sendiri, dan perilaku kelekatan. Perilaku sosial yang baik ini tidak hanya ditunjukkan dalam hubungannya dengan teman sebaya tetapi dengan orang dewasa lainnya.
Sebaliknya apabila pengalaman sosial awal tidak dibina sejak dini anak akan memulai kehidupan sosial dengan awal yang buruk, yang dapat mendorong anak menjadi tidak sosial. Adapun pola perilaku tidak sosial menurut Hurlock alih bahasa Meitasari, 1997 : 263) yaitu negativisme, agresi, pertengkaran, mengejek dan menggertak, perilaku yang sok kuasa, egosentrisme, prasangka, dan antagonisme jenis kelamin. Ketidakmampuan anak dalam keterampilan sosial sesuai apa yang diharapkan akan menimbulkan kesulitan bagi anak untuk bergaul dengan temannya, sehingga anak akan dijauhi dan tidak mempunyai teman serta minimnya pengalaman bersosialisasi. Apabila ketidakmampuan bersosialisasi tidak segera diatasi dikhawatirkan perilaku-perilaku seperti itu akan terbentuk dan menjadi lebih sulit untuk diubah, yang tentunya akan berpengaruh pada perilakunya kelak.
Hasil penelitian Asher, et al. (Katz dan Chard, 1991 : 26) menunjukan bahwa anak-anak yang gagal mengembangkan keterampilan sosial pada umur 4 sampai 6 tahun memiliki kemungkinan akan memiliki masalah pada usianya kelak. Selanjutnya Parker dan Asher (Katz dan Chard, 1991 : 26) menyatakan bahwa masalah yang mungkin timbul adalah putus sekolah, antisosial dan memiliki masalah pada pernikahan dan kesehatan jiwanya. Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kegagalan anak dalam mengembangkan keterampilan sosialnya sejak dini akan berpengaruh negatif dalam menjalani kehidupannya di masa depan.
Tercapainya tugas-tugas perkembangan anak secara wajar dan optimal merupakan harapan setiap orang tua, guru bahkan masyarakat pada umumnya. Tugas perkembangan anak prasekolah yaitu harus sudah mampu menjalin hubungan dengan orang lain baik guru, teman sebaya atau orang dewasa lainnya. Namun kenyataan yang ada di lapangan ternyata tidak semua anak sudah memiliki keterampilan sosial.
Berdasarkan pengamatan awal di Taman Kanak-kanak X, keterampilan sosial anak belum berkembang dengan optimal. Hal ini terlihat masih ada anak yang tidak menghargai temannya, tidak mau menolong, sulit untuk berbagi, tidak mau membantu, tidak mau mengalah, susah untuk bekerjasama, tidak mau bersabar dalam menunggu giliran. Selain itu metode pembelajaran yang digunakan untuk mengembangkan keterampilan sosial kurang bervariasi dan masih berpusat pada guru.
Guru Taman Kanak-kanak memiliki peran yang sangat penting dalam mengimplementasikan pembelajaran, salah satunya harus mampu menerapkan berbagai metode pembelajaran yang dapat membawa anak pada kegiatan yang bermakna dan menyenangkan, sehingga melalui aktivitas yang menyenangkan diharapkan anak bisa memaknai perilaku serta mampu berperilaku sesuai aturan.
Salah satu metode yang dapat diterapkan oleh guru dalam mengembangkan keterampilan sosial adalah metode proyek. Hal ini sesuai dengan pendapat Katz dan Chard (1991 : 9) bahwa metode proyek adalah metode pembelajaran yang tepat untuk merangsang dan memantapkan perkembangan intelektual dan sosial anak. Lebih lanjut Moeslihatoen (1999 : 122) mengungkapkan bahwa metode proyek merupakan salah satu cara pemberian pengalaman belajar dengan menghadapkan anak pada persoalan sehari-hari yang harus dipecahkan secara kelompok.
Memperhatikan pendapat di atas, metode proyek dapat memberikan kesempatan bagi anak untuk berinteraksi sosial, oleh karena itu keterlibatan anak dalam suatu kegiatan bersama teman-temannya diharapkan keterampilan sosial anak berkembang optimal.
Metode proyek merupakan salah satu pendekatan yang berpusat pada anak, karena anak memiliki kesempatan untuk belajar mencari jalan keluar dari permasalahan yang mereka hadapi. Penggunaan metode proyek memberikan anak pengalaman belajar dalam berbagi pekerjaan dan tanggung jawab yang dilaksanakan secara terpadu dalam rangka mencapai tujuan akhir bersama. Adapun pelaksanaan metode proyek terdiri dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Mengingat metode proyek erat kaitannya dengan interaksi sosial, maka sebagai motivator, fasilitator dan evaluator guru mempunyai banyak kesempatan untuk membantu anak didik dalam meningkatkan keterampilan sosialnya.
Berdasarkan latar belakang di atas, dalam upaya memecahkan masalah keterampilan sosial anak diperlukan perbaikan proses dan hasil pembelajarannya, dengan harapan akan mengalami peningkatan dan perubahan ke arah yang lebih baik. Sehubungan dengan hal tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul "PENERAPAN METODE PROYEK UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN SOSIAL ANAK".

B. Batasan dan Rumusan Masalah
Secara umum yang menjadi rumusan masalah adalah "Bagaimana penerapan metode proyek untuk meningkatkan keterampilan sosial anak", yang secara rinci dijabarkan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut : 
1. Bagaimana kondisi awal pembelajaran di Taman Kanak-kanak X dalam rangka meningkatkan keterampilan sosial anak ?
2. Bagaimana pelaksanaan metode proyek dalam meningkatkan keterampilan sosial anak Taman Kanak-kanak X ?
3. Bagaimana keterampilan sosial anak Taman Kanak-kanak X setelah dilakukan pembelajaran melalui metode proyek ?
4. Kendala-kendala apa saja yang dihadapi dalam mengembangkan keterampilan sosial anak melalui penerapan metode proyek di Taman Kanak-kanak ?

C. Tujuan dan Manfaat 
1. Tujuan
Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk membahas penerapan metode proyek untuk meningkatkan keterampilan sosial anak di Taman Kanak-kanak, sedangkan secara khusus tujuannya adalah : 
a. Untuk memperoleh data, pemahaman dan wawasan mengenai kondisi awal pembelajaran dalam meningkatkan keterampilan sosial anak di Taman Kanak-kanak X.
b. Untuk memperoleh data, pemahaman dan wawasan mengenai pelaksanaan metode proyek untuk meningkatkan keterampilan sosial anak Taman Kanak-kanak X.
c. Untuk memperoleh data, pemahaman dan wawasan mengenai keterampilan sosial anak Taman Kanak-kanak X sesudah dilakukan pembelajaran melalui metode proyek.
d. Untuk memperoleh data, pemahaman dan wawasan mengenai kendala-kendala yang dihadapi untuk meningkatkan keterampilan sosial anak melalui penerapan metode proyek.
2. Manfaat
Secara umum manfaat penelitian ini yaitu untuk mengetahui penerapan metode proyek untuk meningkatkan keterampilan sosial anak, serta diharapkan metode proyek dapat menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan keterampilan sosial anak di Taman Kanak-kanak. Sedangkan secara khusus manfaatnya yaitu : 
a. Bagi Penulis
Sebagai bahan untuk menambah pengetahuan, wawasan dan pemahaman mengenai penerapan metode proyek untuk meningkatkan keterampilan sosial anak.
b. Bagi Guru
Untuk menambah wawasan dan pengetahuan dan pemahaman mengenai perkembangan sosial anak Taman Kanak-kanak, juga sebagai masukan dalam memfasilitasi aspek perkembangan sosial anak melalui metode proyek.
c. Bagi Orang tua
Sebagai referensi untuk menambah pengetahuan, wawasan dan pemahaman tentang perkembangan sosial anak usia Taman Kanak-kanak serta upaya yang dapat dilakukan dalam meningkatkan keterampilan sosial anak.

D. Definisi Operasional
Untuk memperjelas arah penelitian dan juga kemungkinan salah tafsir, maka perlu adanya definisi operasional terhadap beberapa istilah penting yang dipergunakan yaitu : 
1. Keterampilan sosial merupakan kemampuan seseorang dalam beradaptasi secara baik dengan lingkungannya dan menghindari konflik saat berkomunikasi secara fisik maupun verbal (Matson dan Ollendck, 1988 : 5).
Berdasarkan rujukan di atas maka yang dimaksud dengan keterampilan sosial dalam penelitian ini adalah kemampuan seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya melalui cara-cara yang sesuai dengan tuntutan sosial, yang indikatornya meliputi perilaku kerjasama, empati, tidak mementingkan diri sendiri dan kemurahan hati. Perilaku kerjasama pada anak dapat ditunjukkan dengan ikut serta dalam kegiatan bersama, bergantian menggunakan alat tanpa menimbulkan pertengkaran serta mau bersabar dalam menunggu giliran.
Perilaku empati dapat ditunjukkan anak dengan menunjukan keprihatinan pada teman yang lagi sedih dan menunjukan keceriaan pada teman yang sedang gembira. Perilaku tidak mementingkan diri sendiri dapat ditunjukkan anak dengan membantu orang lain mengerjakan tugas dan peduli dan membantu teman yang membutuhkan. Sedangkan kemurahan hati dapat ditunjukkan anak dengan berbagi sesuatu dengan orang lain dan memberi sesuatu pada orang lain.
2. Metode proyek adalah metode pembelajaran yang tepat untuk merangsang dan memantapkan perkembangan intelektual dan sosial anak (Katz dan Chard, 1991 : 26). Metode proyek pelaksanaannya memberikan kesempatan kepada anak untuk belajar dari pengalamannya sehari-hari, memberikan keseimbangan dalam beraktivitas serta diharapkan dapat mengembangkan aspek kognitif dan sosial anak. Metode proyek merupakan metode pembelajaran yang berpusat pada anak yang membutuhkan adanya partisipasi aktif dari anak itu sendiri. Metode proyek menekankan adanya peran guru untuk merangsang respon anak dalam berinteraksi dengan orang lain, benda-benda dan lingkungan keseharian yang dihadapi anak, sehingga dengan tingkat kemampuan yang berbeda, anak akan terlibat dalam kehidupan yang sebenarnya dan belajar untuk bekerjasama dalam kelompoknya.

SKRIPSI PTK PENGEMBANGAN MODEL OLAH GERAK UNTUK PENINGKATAN KECERDASAN KINESTETIK ANAK USIA DINI (PGTK)

SKRIPSI PTK PENGEMBANGAN MODEL OLAH GERAK UNTUK PENINGKATAN KECERDASAN KINESTETIK ANAK USIA DINI (PGTK)

(KODE : PTK-0102) : SKRIPSI PTK PENGEMBANGAN MODEL OLAH GERAK UNTUK PENINGKATAN KECERDASAN KINESTETIK ANAK USIA DINI (PGTK)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Tubuh manusia merupakan hal yang bisa dipelajari, baik bentuk maupun perilakunya (gerakan anggota tubuh). Tubuh manusia akan terlihat kelenturannya apabila sering melakukan olah tubuh. Hal tersebut sangatlah diperlukan oleh manusia pada umumnya supaya gerak tubuhnya tidak terlihat kaku. Perkembangan gerak tubuh manusia pada dasarnya akan meningkatkan kecerdasan kinestetik.
Jasmine, (2007 : 129) mengungkapkan pendapatnya mengenai kecerdasan kinestetik, bahwa kecerdasan badani-kinestetik dapat didiskusikan dan kemudian digambarkan dengan aktivitas-aktivitas yang melibatkan hal-hal sebagai berikut : 1) keterampilan otot besar dan otot kecil, 2) kegiatan fisik, 3) bahan-bahan rekayasa, 4) membuat dan membangun suatu benda, 5) peragaan, 6) modeling, 7) tarian, 8 olahraga, 9) berkeliling, 10) mengerjakan sesuatu secara fisik, 11) bahasa tubuh, 12) koordinasi mata-tangan. Tubuh manusia sebagai simbol yang kiranya sudah menjadi umum untuk semua orang. Oleh karena itu, harus ada suatu daya atau kekuatan penggerak di dalam tubuh dan dipertegas oleh perilaku fisik sehingga lebih mudah untuk mengungkapkan diri dan berkomunikasi dengan orang lain.
Perilaku fisik manusia akan menjelaskan pada orang lain yang mengamatinya tentang konsep diri. Oleh karena itu, potensi fisik tersebut harus terlatih agar dapat difungsikan secara optimal. Latihan-latihan anggota tubuh perlu dilakukan sejak usia dini, baik kekuatannya maupun kelenturannya. Kelenturan gerakan anggota tubuh akan mempertegas makna komunikasi supaya dapat dipahami. Semua itu akan terwujud melalui latihan dan kebiasaan sejak anak usia dini. Kebiasaan diperoleh melalui latihan-latihan menirukan dan melakukan ulangan-ulangan. Mula-mula, semua latihan peniruan ulangan itu berlangsung secara sadar dan disengaja. Lambat laun segalanya berlangsung secara otomatis.
Kebiasaan adalah salah satu proses pendidikan yang paling penting, terutama bagi anak-anak yang masih kecil. Penanaman kebiasaan sesuatu hal pada anak-anak adalah sukar dan proses pembelajarannya sangat lama. Maka dari itu, perlu adanya model pembelajaran bagi anak usia dini untuk lebih memfokuskan pada kebiasaan maupun latihan-latihan untuk mengembangkan, perilaku atau sikap, bahasa, serta gerak tubuhnya. Sejak dilahirkan anak harus dilatih kepada kebiasaan-kebiasaan untuk bergerak atau menggerakkan tubuhnya dengan baik dan anak juga harus dilatih pada perbuatan yang baik, seperti dalam hal makan, mandi, bermain-main, berbicara, belajar, bekerja, dan sebagainya.
Penguasaan fungsi seluruh anggota tubuh anak usia dini akan berdampak positif pada kecerdasan kinestetik. Sehingga apa yang dikatakan oleh pikiran kemudian dituangkan ke dalam sebuah gerakan-gerakan badan yang indah, kreatif dan mempunyai makna. Hal tersebut perlu dilakukan sejak usia dini. Dalam pelatihan olah tubuh ada beberapa gerak yang dapat mengembangkan kelenturan dan pembentukan tubuh secara optimal khususnya pada anak usia dini diantaranya koordinasi tubuh, kelincahan, kelenturan, kekuatan, keseimbangan, serta koordinasi mata dengan kaki. Gerak-gerak koordinasi tubuh apabila terus dipelajari dan dikembangkan pada anak usia dini, maka anak akan lebih paham mengenai makna gerak. Pada akhirnya gerak tersebut akan dikembangkan ke dalam sebuah bentuk olah gerak yang akan menjadi stimulus-stimulus bagi anak untuk mengekspresikan ide pikirannya kemudian dikemukakan ke dalam bentuk gerak tubuh yang mengandung makna.
Latihan gerak tubuh bagi manusia merupakan suatu kebiasaan dan tergolong kebutuhan dasar seperti halnya makan dan minum, karena dengan bergerak manusia mampu bertahan hidup. Melalui gerak itulah manusia mencapai beberapa tujuan seperti pertumbuhan fisik, perkembangan mental dan perkembangan sosial. Begitu pula dengan perkembangan gerak dan kurang berkembangnya pembelajaran dan pelatihan koordinasi tubuh terhadap anak usia dini apabila tidak dikembangkan sejak dini maka tidak menutup kemungkinan perkembangan dalam gerak tubuhnya akan terhambat dan menyebabkan anak menjadi pasif dalam bergerak. Anak usia dini merupakan masa-masa perkembangan gerak tubuhnya harus terlatih supaya kemampuan cerdas kinestetiknya berkembang.
Cerdas kinestetik sebagai kemampuan manusia menghubungkan dan menggunakan pikiran selaras dengan gerakan tubuh, termasuk kemampuan tubuh untuk memanipulasi benda dan membuat aneka gerakan. Anak yang cerdas kinestetik, mampu menggunakan dan menghubungkan antara pikiran dan tubuhnya secara bersamaan untuk mencapai tujuan tertentu. Karakteristik anak yang cerdas secara kinestetik dapat teramati dan dapat terlihat apabila anak sedang bergerak seperti berlari, berjalan, melompat, dan sebagainya. Meski terkadang jatuh, tapi keadaan ini masih normal bila anak berusia di bawah tiga tahun, maka dari itu jangan dibatasi geraknya, karena memang fisiknya sedang berkembang.
Bentuk kecerdasan kinestetik memungkinkan terjadinya hubungan antara pikiran dan tubuh yang diperlukan dalam aktivitas seperti menari, melakukan pantomim, berolahraga, seni bela diri dan memainkan drama. Kecerdasan kinestetik adalah kemampuan untuk mengolah tubuh serta melakukan pekerjaan yang membutuhkan keterampilan anggota tubuh tertentu, seperti keterampilan tangan dan kaki. Anak dengan kecerdasan kinestetik yang tinggi dalam hal motorik kasar umumnya adalah anak yang tidak bisa diam, selalu bergerak ke sana kemari. Biasanya anak tersebut memiliki keseimbangan dan koordinasi tubuh yang baik (bisa dalam hal olahraga, bisa juga dalam hal tarian, atau senam). Adapun anak dengan kecerdasan kinestetik motorik halus mungkin sudah mulai suka corat-coret, menggambar, memegang pensil, dengan benar, dan lain sebagainya. Barangkali ia juga terampil dalam beberapa aktivitas meronce dan lain-lain, yang membutuhkan keterampilan jari-jari tangan.
Pada hakekatnya sejak lahir seorang anak telah mempunyai kemampuan untuk bergerak. Oleh sebab itu, seorang pendidik haruslah memberikan stimulus-stimulus yang mampu mengembangkan aspek gerak yang lebih dikhususkan pada gerak anggota tubuh. Memberikan kebebasan kepada anak untuk bergerak sesuai dengan imajinasinya dan ide yang keluar dari pikirannya. Sehingga anak mampu mengungkapkannya ke dalam bentuk gerak. Oleh sebab itu, perlu adanya suatu pembelajaran yang khusus untuk mengatasi ketidakteraturan dalam proses pelatihan gerak pada anak supaya perkembangan olah gerak anak bisa mengarahkan anak untuk mengembangkan kecerdasan kinestetiknya.
Dunia anak adalah dunia bermain, karena selama rentang perkembangan usia dini anak melakukan kegiatan dengan bermain, mulai dari bayi, balita hingga masa kanak-kanak. Bermain merupakan suatu kegiatan yang dilakukan anak dengan atau tanpa mempergunakan alat yang menghasilkan pengertian dan memberikan informasi, memberi kesenangan dan mengembangkan imajinasi anak spontan dan tanpa beban. Kebutuhan atau dorongan internal (terutama tumbuhnya sel saraf di otak) sangat memungkinkan anak melakukan berbagai aktivitas bermain tanpa mengenal lelah. Selama ini jika anak sudah bersekolah di Taman Kanak-Kanak, orangtua kebanyakan membebani anak dengan tuntutan yang berat. Seperti anak harus pandai menulis, berhitung dan membaca. Padahal anak usia Taman Kanak-Kanak masih termasuk usia dini yaitu 0-6 tahun. Begitu juga dengan pihak sekolah, ada sebagian sekolah yang dalam kegiatan pembelajarannya tidak menggunakan konsep bermain dengan tepat, sehingga tujuan bermain bagi anak tidak tercapai. Seharusnya Taman Kanak-Kanak dalam aktivitas belajar benar-benar menerapkan "Bermain sambil belajar, belajar sambil bermain". Dengan demikian, anak benar-benar merasakan dunianya dengan sempurna, berkesempatan mengembangkan segala aspek kecerdasan yang ada pada dirinya. Ketika bermain, fisik anak juga belajar memahami bagaimana kerja tubuhnya, memperkuat dan mengembangkan otot dan koordinasinya melalui gerak, melatih motorik halusnya dengan cara berlatih menggunting kertas, menggambar, mengutak-atik benda, dan lain sebagainya. Begitu juga dengan motorik kasar dan keseimbangannya, seperti memanjat, berlari, melompat, berjalan dan lain-lain. Kegiatan tersebut mungkin saja akan tercipta pada anak usia Taman Kanak-Kanak apabila adanya suatu rangsangan atau pembelajaran khusus yang mengacu ke arah pengembangan kecerdasan kinestetik.
Cara mendidik dan mengajar anak-anak, baik di rumah, maupun di sekolah masih kurang efektif. Pada dasarnya kemauan dan perasaan anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh sebab itu, seorang anak harus dilatih dan dibiasakan melakukan segala sesuatu yang nantinya dapat dipergunakan sebagai bekal hidup di masa yang akan datang. Dengan demikian, pendidikan bagi anak usia dini harus dimulai dari dalam pikiran anak dan jiwa anak, dan harus berdasarkan kegiatan anak itu sendiri. Untuk itu, perlu motivasi bagi anak untuk berbuat sendiri dan bukan pasif hanya menerima saja.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti, walaupun pengembangan kecerdasan kinestetik khususnya dalam gerak tubuh di Taman Kanak-Kanak X sudah dilaksanakan, akan tetapi dalam pelaksanaannya kurang optimal. Guru lebih menekankan pada siswa untuk selalu mengikuti gerak yang diberikan dan dicontohkan guru saja melalui senam pagi, tanpa melakukan tindak lanjut pada olah gerak anak yang perlu untuk dikembangkan lagi seperti keterampilan tangan dan pembelajaran gerak tubuh sehingga aspek psikomotorik anak berkembang dengan optimal. Hal tersebut apabila dikembangkan mungkin saja dapat merangsang kreativitas, imajinasi, dan olah pikir anak yang nantinya akan diungkapkan dalam bentuk gerak.
Dari pemaparan di atas, peneliti merasa tertarik untuk lebih memahami gerak tubuh anak dalam mengembangkan kecerdasan kinestetik pada anak usia ini. Oleh sebab itu, peneliti merasa perlu untuk mengadakan penelitian melalui kegiatan pembelajaran yang berjudul "PENGEMBANGAN MODEL OLAH GERAK UNTUK PENINGKATAN KECERDASAN KINESTETIK ANAK USIA DINI (PENELITIAN TINDAKAN KELAS TERHADAP SISWA KELOMPOK B TAMAN KANAK-KANAK X)".

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan di atas, peneliti merumuskan masalah sebagai berikut : 
1. Bagaimana proses pengembangan model olah gerak untuk kecerdasan kinestetik anak usia dini bagi siswa Kelompok B Taman Kanak-kanak X ?
2. Bagaimana hasil dari pengembangan model olah gerak untuk kecerdasan kinestetik pada anak usia dini siswa Kelompok B Taman Kanak-Kanak X ?

C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 
1. Mengetahui dan mendeskripsikan proses pengembangan model olah gerak untuk peningkatan kecerdasan kinestetik anak usia dini bagi siswa Kelompok B Taman Kanak-kanak X ?
2. Mengetahui dan mendeskripsikan hasil dari pengembangan model olah gerak untuk peningkatan kecerdasan kinestetik anak usia dini pada siswa Kelompok B Taman Kanak-Kanak X ?

D. Asumsi
Anggapan dasar dalam suatu penelitian memegang peranan penting karena anggapan dasar merupakan suatu dasar untuk melakukan penelitian. Anggapan dasar menurut Arikunto (1996 : 96) adalah suatu yang diyakini kebenarannya oleh peneliti yang akan berfungsi sebagai hal-hal yang dipakai untuk berpijak bagi penelitian di dalam melaksanakan penelitiannya.
Adapun asumsi pada penelitian ini adalah melalui pembiasaan melakukan gerakan-gerakan anggota tubuh pada anak usia dini akan membentuk generasi cerdas secara kinestetik. Kecerdasan kinestetik merupakan penyelarasan pikiran ataupun ide yang diungkapkan ke dalam bentuk gerak yang kreatif dan indah.

E. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian diharapkan dapat memperoleh manfaat-manfaat sebagai berikut : 
1. Sekolah
Sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan kebijakan pada pembelajaran olah gerak melalui model pengembangan kecerdasan kinestetik.
2. Lembaga Pendidikan Perguruan Tinggi
- Dapat dijadikan bahan kajian bagi mahasiswa khususnya program pendidikan seni tari.
- Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan, pertimbangan dan sarana bagi berbagai pihak untuk dijadikan alternatif dalam pengembangan metodologi pendidikan seni tari.
3. Guru Taman Kanak-Kanak
- Sebagai bahan acuan dengan mempergunakan model pembelajaran bam dalam proses pembelajaran khususnya seni tari di sekolah.
- Memberikan masukan bagi guru dan calon guru mengenai model pembelajaran, salah satunya melalui model pembelajaran olah gerak. 
4. Peneliti
Berguna untuk menambah pengalaman langsung dalam proses belajar mengajar. Selain itu, penelitian ini dapat menambah pengalaman dalam memberikan alternatif pengajaran seni tari melalui penelitian tindakan kelas sebagai stimulus yang dapat memotivasi siswa untuk belajar kreatif dalam mencapai hasil yang diharapkan, khususnya pendidikan seni tari.

F. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Action Research Classroom (Penelitian Tindakan Kelas) dengan pendekatan kualitatif. Action Research Classroom (Penelitian Tindakan Kelas) adalah penelitian yang dilakukan oleh seseorang yang bekerja mengenai apa yang sedang ia laksanakan tanpa mengubah sistem pelaksanaannya (Suharsimi, 1998 : 2). Pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari perilaku yang dapat diamati. Pendekatan Kualitatif juga merupakan metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, analisis data induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.

SKRIPSI PTK STRATEGI PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN MEMANFAATKAN LINGKUNGAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR UNTUK MENINGKATKAN PERKEMBANGAN SOSIAL SISWA (PGTK)

SKRIPSI PTK STRATEGI PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN MEMANFAATKAN LINGKUNGAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR UNTUK MENINGKATKAN PERKEMBANGAN SOSIAL SISWA (PGTK)

(KODE : PTK-0101) : SKRIPSI PTK STRATEGI PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN MEMANFAATKAN LINGKUNGAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR UNTUK MENINGKATKAN PERKEMBANGAN SOSIAL SISWA (PGTK)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara umum di Indonesia perkembangan anak TK tengah mendapatkan perhatian serius terutama dari pemerintah, karena disadari benar bahwa merekalah yang akan menjadi penerus generasi yang ada sekarang. Untuk mewujudkan generasi penerus yang tangguh dan mampu berkompetisi diperlukan upaya pengembangan anak yang sesuai dengan masa pertumbuhan dan perkembangannya. Sebagaimana yang tertuang dalam hasil konferensi Jenewa tahun 1979 (Yudha, Saputra, dan Rudyanto, 2005 : 3) bahwa aspek-aspek yang perlu dikembangkan pada anak TK, yaitu : motorik, bahasa, kognitif, emosi, sosial, moral dan kepribadian. Agar semua aspek ini dapat berkembang dengan baik, maka diperlukan strategi pembelajaran khusus untuk anak.
Pembelajaran kooperatif yang memanfaatkan lingkungan dan disemaikan melalui dunia pendidikan tidak harus menjadi mata pelajaran tersendiri, tetapi disajikan lintas mata pelajaran melalui pokok-pokok bahasan yang relevan. Dengan kata lain, lingkungan alam tidak cukup hanya menjadi tanggung jawab guru Geografi atau IPA saja, tetapi harus menjadi tanggung jawab semua guru, termasuk guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Untuk menunjang peningkatan perkembangan sosial anak perlu adanya media yang nyata. Berdasarkan hal tersebut pembelajaran kooperatif dengan memanfaatkan lingkungan mutlak di perlukan untuk memberikan informasi dan merupakan modal besar untuk dapat dimanfaatkan dengan seoptimal mungkin. Ruang kelas bukan lagi menjadi satu-satunya pusat kegiatan belajar mengajar.
Hasil observasi awal terhadap perkembangan sosial siswa pada saat proses pembelajaran yang berlangsung di kelas B2 TK X menunjukkan bahwa perkembangan siswa masih banyak yang kurang dan siswa lebih banyak bersikap pasif pada saat pembelajaran berlangsung, kurang adanya interaksi antara siswa yang satu dengan siswa yang lain atau jarang bermain bersama-sama pada saat istirahat, kurang kerja sama antar siswa dalam menyelesaikan tugas, kurang saling membantu dan lebih nampak sikap individualisme siswa.
Pada saat kegiatan pembelajaran yang didalamnya terdapat kegiatan yang membutuhkan kerja sama hanya beberapa anak yang aktif bekerja sama melaksanakan tugas tersebut. Banyak anak yang terlihat diam dan bermain sendiri, bahkan pada saat ditanya "kenapa kalian tidak ikut bergabung dan mengerjakan tugas bersama ?". Mereka menjawab nggak mau, ada yang menggelengkan kepala, bahkan ada yang hanya diam saja. Hal ini menunjukkan adanya kurang keberhasilan dalam mencapai tujuan pendidikan yang tercantum dalam kurikulum Taman Kanak-Kanak 2009 pada aspek perkembangan sosial emosional dan kemandirian pada indikator no 1 yang berbunyi "bersedia bermain dengan teman sebaya dan orang dewasa", indikator no 2 yang berbunyi "mengajak teman untuk bermain dan belajar", indikator no 3 yang berbunyi "bekerja sama dalam menyelesaikan tugas".
Dari pokok permasalahan yang diuraikan di atas, dapat didefinisikan penyebab timbulnya masalah yang ada. Timbulnya masalah tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yaitu, pembelajaran yang dilakukan lebih banyak kegiatan di dalam kelas, kurang bervariasi dan kurang memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar sehingga pembelajaran kurang menarik minat siswa, selain itu interaksi di dalam kelas belum optimal, kerjasama antara siswa yang satu dengan siswa yang lain kurang, serta siswa kurang saling membantu dan lebih nampak sikap individualisme.
Strategi pembelajaran ada bermacam-macam, misalnya eksplorasi, pemecahan masalah, diskusi, demokrasi, kooperatif dan masih banyak lagi. Strategi pembelajaran identik dengan teknik penyajian. Pada dasarnya tidak ada strategi pembelajaran yang dianggap paling baik dibandingkan strategi pembelajaran yang lain. Setiap strategi pembelajaran mempunyai karakteristik tertentu dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Strategi pembelajaran dikatakan relevan jika dapat mengantarkan siswa mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan melalui pengajaran.
Pembelajaran kooperatif dengan memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar akan memberikan pengalaman nyata kepada anak. Dengan melihat dan mengalami secara langsung serta berinteraksi dengan makhluk hidup maupun benda mati, menjadikan anak memiliki kesadaran, berkreasi, memiliki rasa ingin tahu, dan selanjutnya dapat memberikan apresiasi yang semestinya terhadap benda dan makhluk yang dihadapinya.
Lingkungan secara alami mendorong anak untuk berinteraksi dan bekerja sama dengan siswa lain bahkan dengan orang-orang dewasa. Pada saat siswa mengamati objek-objek tertentu yang ada di lingkungan pasti siswa ingin menceritakan hasil penemuannya dengan yang lain. Agar hasil penemuannya tersebut diketahui oleh teman-temannya, siswa tersebut mencoba mendekati siswa yang lain sehingga terjadilah proses interaksi dan kerja sama di antara mereka.
Pembelajaran kooperatif banyak digunakan pada pembelajaran anak usia dini karena dianggap sesuai untuk melatih sosial dan kemampuan bekerja sama. Dalam konteks tanggung jawab kelompok, umpan balik dan komunikasi akan lebih realistik dan karakternya akan berbeda dari pola pembelajaran secara individual yang biasa diterapkan. Dalam pembelajaran kooperatif akan mendorong siswa untuk belajar lebih banyak materi pelajaran merasa lebih nyaman dan termotivasi untuk belajar, memiliki kemampuan yang baik untuk berpikir secara kritis, menunjukkan kemampuan yang lebih baik dalam bekerja sama dan mampu menerima perbedaan yang ada di antara teman satu kelompok.
Memperhatikan pentingnya strategi pembelajaran kooperatif untuk meningkatkan perkembangan sosial siswa, maka perlu dilaksanakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Penelitian Tindakan Kelas (PTK) adalah penelitian yang dilakukan oleh guru di kelasnya sendiri melalui refleksi diri dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya sehingga hasil belajar siswa meningkat (Zainal Aqib, dkk., 2009 : 3)
Pengertian kelas dalam penelitian tindakan kelas ini tidak hanya terbatas pada kelas yang sedang aktif melangsungkan pembelajaran di dalam sebuah ruangan tertutup saja, tetapi dapat juga ketika anak sedang tidak aktif belajar, yaitu ketika sedang melakukan karyawisata di obyek wisata, laboratorium, rumah, atau di tempat lain, ketika siswa sedang mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru, dan sebagainya. Dengan lokasi bukan kelas ini, yang diamati harus berupa kegiatan yang dilakukan oleh anak (Suharsimi Arikunto, 2006 : 101).
Dengan melihat paparan di atas, maka dilakukan penelitian pada kelas B2 di TK X dengan judul "STRATEGI PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN MEMANFAATKAN LINGKUNGAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR UNTUK MENINGKATKAN PERKEMBANGAN SOSIAL (STUDI PADA TK X)".

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan maka dapat diidentifikasikan masalah sebagai berikut : masih seringnya guru melaksanakan pembelajaran di dalam kelas dan tidak memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar sehingga tidak dapat meningkatkan perkembangan sosial siswa.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : apakah strategi pembelajaran kooperatif dengan memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar dapat meningkatkan perkembangan sosial siswa di TK X ?

D. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui strategi pembelajaran kooperatif dengan memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar dapat meningkatkan perkembangan sosial siswa di TK X.

E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan harapan hasil penelitian yang diperoleh dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 
1. Bagi Anak
Dapat membantu perkembangan anak didik dari biasa belajar pasif menjadi belajar aktif sehingga dapat bersosialisasi dengan teman-temannya.
2. Bagi Mahasiswa
Mahasiswa mampu memahami tentang hakikat pembelajaran kooperatif pada anak yang sedang menempuh pendidikan TK.
3. Bagi Guru
Diharapkan dapat membimbing guru dalam menerapkan strategi pembelajaran kooperatif dengan memanfaatkan lingkungan sebagai sumber belajar yang dapat melatih anak untuk berpikir lebih kreatif dan meningkatkan keterampilan hidup anak TK.

TESIS ANALISIS KINERJA UNIT GAWAT DARURAT PELAYANAN KESEHATAN RUMAH SAKIT DENGAN PENDEKATAN BALANCED SCORECARD

TESIS ANALISIS KINERJA UNIT GAWAT DARURAT PELAYANAN KESEHATAN RUMAH SAKIT DENGAN PENDEKATAN BALANCED SCORECARD

(KODE : PASCSARJ-0221) : TESIS ANALISIS KINERJA UNIT GAWAT DARURAT PELAYANAN KESEHATAN RUMAH SAKIT DENGAN PENDEKATAN BALANCED SCORECARD (PROGRAM STUDI : ADMINISTRASI RUMAH SAKIT)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan adalah hak asasi manusia dan sekaligus investasi untuk keberhasilan pembangunan bangsa. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. (Sistem Kesehatan Nasional, 2009).
Upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya pada mulanya berupa upaya penyembuhan penyakit, kemudian secara berangsur-angsur berkembang ke arah keterpaduan upaya kesehatan untuk seluruh masyarakat dengan mengikutsertakan masyarakat secara luas yang mencakup upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang bersifat menyeluruh terpadu dan berkesinambungan (UU No. 36 Tentang Kesehatan, 2009).
Memasuki abad ke-21, Indonesia menghadapi berbagai perubahan dan tantangan strategis, diantaranya yaitu telah terjadi pertumbuhan yang sangat pesat di berbagai sektor industri, tak terkecuali juga di bidang kesehatan. Pertumbuhan tersebut diiringi dengan semakin ketatnya persaingan antar pemberi layanan kesehatan. Pelayanan kesehatan telah berubah menjadi sesuatu yang bisa diperdagangkan. Rumah sakit berlomba-lomba untuk memberikan pelayanan yang terbaik kepada pasiennya, disertai dengan berbagai fasilitas dan peralatan kedokteran yang termodern dan terlengkap, guna menjadi rumah sakit yang terdepan dalam pemberi jasa pelayanan kesehatan.
Fasilitas kesehatan yang ada harus mampu mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Seiring dengan membaiknya tingkat pendidikan, meningkatnya keadaan sosial ekonomi masyarakat, serta adanya kemudahan di bidang transportasi dan komunikasi mengakibatkan sistem nilai dalam masyarakat berubah.
Akibatnya masyarakat cenderung menuntut pelayanan umum yang lebih bermutu termasuk pelayanan kesehatan (Jacobalis, 2000). Hal ini merupakan suatu tantangan, sehingga institusi pelayanan kesehatan membutuhkan strategi yang dapat menjawab perubahan-perubahan yang terjadi.
Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karakteristik tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang hams tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. (UU No. 44 Tentang Rumah Sakit, 2009). Berdirinya rumah sakit di tengah ketatnya kompetensi dalam globalisasi ekonomi sekarang rumah sakit ini, perlu peninjauan kembali sistem manajemen yang digunakan. Pada saat ini rumah sakit tidak lagi dipandang sebagai usaha sosial yang dapat dikelola dengan begitu saja, tetapi lebih merupakan suatu industri jasa (Kaplan dan Norton, 1996).
Selama ini para manajer rumah sakit hanya mengukur keberhasilan rumah sakit dengan keberhasilan finansial saja. Risiko yang timbul dengan menggunakan ukuran finansial saja adalah tidak selalu memberikan gambaran yang akurat tentang arah organisasi dan dapat memimpin organisasi ke arah jangka pendek bukan jangka panjang. Oleh karena itu, untuk mengukur kinerja di dalam rumah sakit diperlukan sistem pengukuran kinerja yang tidak hanya mengukur aspek keuangan saja, tetapi juga mempertimbangkan aspek non keuangan seperti kepuasan pelanggan, proses bisnis internal dan proses pembelajaran dan pertumbuhan. Ukuran kinerja ini disebut dengan balanced scorecard yang menawarkan suatu peta jalan yang sistematis dan komprehensif bagi organisasi-organisasi untuk menerjemahkan pernyataan visi dan misi mereka ke dalam sekumpulan ukuran kinerja yang saling berkaitan. Ukuran-ukuran ini tidak digunakan untuk mengendalikan perilaku tetapi untuk mengartikulasikan strategi organisasi, dan membantu menyesuaikan inisiatif individu, lintas departemen, organisasi, demi tercapainya sasaran bersama (Gaspersz, 2011).
Walaupun pengukuran kinerja dengan menggunakan balanced scorecard lebih banyak digunakan di perusahaan-perusahaan bisnis yang menghasilkan barang atau produk, tetapi dapat juga diterapkan pada rumah sakit yang bergerak dalam usaha jasa. John R Griffith & John G King dalam Journal of Healthcare Management edisi Jan/Feb 2000 dan Chee W. Chow et.al. dalam jurnal yang sama edisi Mei 1998 menganjurkan balanced scorecard untuk digunakan dalam organisasi kesehatan yaitu rumah sakit.
Pelayanan Kesehatan X merupakan institusi pelayanan kesehatan berbasis pelayanan mutu prima dan kepuasan pelanggan/pasien, menjadi tempat pilihan peneliti untuk melakukan analisis kinerja, khususnya di Unit Gawat Darurat. Unit Gawat Darurat merupakan pelayanan di depan yang harus dilayani dengan cepat dan profesional. Kegiatan pelayanan terhadap pasien berjalan terus menerus selama 24 jam dengan kedatangan pasien dan dengan berbagai tingkat kegawatan. Dalam penatalaksanaan rujukan di rumah sakit, seleksi dilakukan di Unit Gawat Darurat maupun di Unit Rawat Jalan, untuk selanjutnya penderita disalurkan ke instalasi yang dirujuk (Djojodibroto, 1997).
Data dari Pelayanan Kesehatan X pada tahun 2008-2010 menunjukkan bahwa terjadi penurunan jumlah kunjungan pasien ke Unit Gawat Darurat, dilihat berturut-turut dari tahun 2008, 2009 dan 2010 : 20667 pasien, 20515 pasien dan 18827 pasien, dimana hampir 50% pasien Rawat Inap berasal dari Unit Gawat Darurat. Dilihat dari perspektif pemasukan pasien, hal ini akan sangat berpengaruh terhadap penerimaan Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X. Pada tahun 2010, di Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X terjadi revisi tarif paket UGD dan selain itu dilakukan efisiensi ketenagaan untuk mengurangi pengeluaran biaya UGD, karena sumber pengeluaran terbesar adalah untuk sumber daya manusia yaitu mencapai 40% dari pengeluaran yang ada. Cost Recovery Rate (CRR) Unit Gawat Darurat dari tahun 2008-2010 mengalami penurunan, meskipun masih diatas 100%, hal ini menunjukkan bahwa perbandingan penerimaan dengan pengeluaran yang semakin menurun.
Pelayanan Kesehatan X termasuk rumah sakit non profit, namun demikian mereka tetap concern terhadap masalah keuangan, dimana profit yang diperoleh akan dapat merangsang peningkatan investasi sebagai pengembangan Pelayanan Kesehatan X. Di tengah maraknya dibangun Rumah Sakit-Rumah Sakit baru yang modern dan berorientasi profit di kota ini, tidaklah mudah bagi Pelayanan Kesehatan X untuk mempertahankan visi dan misinya. Masyarakat dihadapkan kepada berbagai pilihan alternatif untuk berobat. Oleh karena itu, untuk menjadikan Unit Gawat Darurat sebagai andalan sesuai dengan visi dan misi rumah sakit, diperlukan kinerja rumah sakit yang baik yang akan menuntun pada suatu kerangka kerja yang strategis yang tepat dan dapat memicu keunggulan berkompetisi secara sehat di era globalisasi ini, maka Unit Gawat Darurat sebagai suatu unit diukur kinerjanya dengan menggunakan pendekatan balanced scorecard.
Dengan memakai pendekatan balanced scorecard, maka kinerja Unit Gawat Darurat dapat dievaluasi dari empat perspektif, yaitu aspek keuangan, aspek pelanggan, aspek proses bisnis internal dan aspek pembelajaran dan pertumbuhan, yang selanjutnya dapat menjadi bahan masukan dalam perencanaan strategic Pelayanan Kesehatan X. Selain itu, belum pernah dilakukan evaluasi kinerja Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X dengan menggunakan konsep balanced scorecard.

B. Rumusan Masalah
Dilihat dari perspektif pemasukan pasien dan untuk menjadikan Unit Gawat Darurat sebagai andalan sesuai dengan visi dan misi rumah sakit, diperlukan kinerja rumah sakit yang baik yang akan menuntun pada suatu kerangka kerja yang strategis yang tepat dan dapat memicu keunggulan berkompetisi secara sehat di era globalisasi ini. Selain itu, berdasarkan fakta yang telah diuraikan dalam latar belakang, maka dapat ditemukan bahwa belum adanya bentuk penilaian analisis kinerja dengan menggunakan pendekatan balanced scorecard di Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X.

C. Pertanyaan Penelitian
a. Bagaimana kinerja Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X ditinjau dari perspektif keuangan ?
b. Bagaimana kinerja Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X ditinjau dari perspektif pelanggan ?
c. Bagaimana kinerja Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X ditinjau dari perspektif proses bisnis internal ?
d. Bagaimana kinerja Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X ditinjau dari perspektif pembelajaran dan pertumbuhan ?

D. Tujuan penelitian
a. Tujuan Umum
Mengetahui kinerja Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X dengan pendekatan balanced scorecard.
b. Tujuan Khusus
1. Memberikan gambaran kinerja dari perspektif keuangan di Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X
2. Memberikan gambaran kinerja dari perspektif pelanggan di Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X
3. Memberikan gambaran kinerja dari perspektif proses bisnis internal di Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X
4. Memberikan gambaran kinerja dari perspektif pembelajaran dan pertumbuhan di Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X

E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Aplikatif Bagi Rumah Sakit
Dapat mengetahui gambaran kinerja rumah sakit dengan pendekatan balanced scorecard sehingga diharapkan pihak manajemen rumah sakit mendapat masukan dan dapat sebagai indikator pemantauan rutin mutu pelayanan di Unit Gawat Darurat Pelayanan Kesehatan X.
2. Manfaat Aplikatif Bagi Institusi Pendidikan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu sumbangan ilmu dan wawasan, juga pengalaman dalam menerapkan ilmu yang didapat selama belajar di Program Studi Kajian Administrasi Rumah Sakit (KARS).
3. Manfaat Aplikatif Bagi Peneliti
Dapat memperoleh pengalaman penelitian yang dapat dipergunakan dalam melaksanakan pekerjaan di masa mendatang dan merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar Master Administrasi Rumah Sakit.

TESIS ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN PEMBIAYAAN PADA PERBANKAN SYARIAH INDONESIA

TESIS ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN PEMBIAYAAN PADA PERBANKAN SYARIAH INDONESIA

(KODE : PASCSARJ-0220) : TESIS ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN PEMBIAYAAN PADA PERBANKAN SYARIAH INDONESIA (PROGRAM STUDI : EKONOMI ISLAM)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bank berfungsi sebagai perantara keuangan atau financial intermediary dari dua pihak, yakni pihak yang kelebihan dana dan pihak yang kekurangan dana. Bank menghimpun simpanan uang masyarakat (dana pihak ketiga). Kemudian uang atau dana tersebut dikembalikan lagi kepada masyarakat dalam bentuk kredit dengan pengenaan suku bunga tertentu. Penyaluran kredit merupakan fungsi utama dari bank dan merupakan sumber pendapatan yang utama pada umumnya. Pendapatan ini diperoleh dari spread suku bunga simpanan dan kredit yang dikenakan oleh bank. Penentuan spread ini tergantung dari pihak bank dan target marketnya (Kurniawan, 2004).
Berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 pada BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat banyak.
Lembaga keuangan Islam termasuk perbankan menjadi intermediasi keuangan dengan cara yang sangat berbeda dari bank konvensional, karena ia sangat menonjolkan skema Profit and Loss Sharing (PLS) dalam pembiayaan dan investasi perdagangan.
Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir sejak diberlakukannya UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang memberikan peluang didirikannya bank syariah, perkembangan bank syariah, dipandang dari sisi jumlah jaringan kantor dan volume kegiatan usaha, masih belum memuaskan. Oleh karena itu pemerintah mempunyai keinginan untuk lebih mendorong perkembangan bank syariah di Indonesia.
Menurut laporan Bank Indonesia, jumlah bank syariah yang beroperasi sejak 1998 meningkat cukup signifikan. Pada 1998 bank umum syariah baru sebuah, kantor cabang 10, kantor cabang pembantu sebuah, dan kantor kas yang sudah beroperasi 19. Selama tahun 2008 jumlah bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah mengalami penambahan 2 Bank Umum Syariah (BUS) 1 Unit Usaha Syariah (UUS) dan 17 BPRS, sehingga pada akhir 2008 terdapat 5 BUS, 27 UUS dan 131 BPRS. Sejalan dengan hal tersebut, jaringan kantor bank syariah, termasuk layanan syariah juga menunjukkan peningkatan menjadi 953 kantor dan 1.470 layanan syariah.
Perkembangan kuantitas kelembagaan perbankan syariah dari tahun ke tahun terlihat sangat pesat dan diharapkan dengan perkembangan ini pelayanan perbankan syariah dalam berpartisipasi dalam perekonomian nasional akan makin besar.
Pertumbuhan Aset Bank Syariah. DPK Bank Syariah, DPK Bank Konvensional dan perkembangan tingkat suku bunga. Perkembangan di tahun 2007 semakin mempertegas korelasi negatif antara fluktuasi tingkat suku bunga perbankan dengan fluktuasi DPK perbankan syariah. Artinya kondisi suku bunga yang meningkat akan menekan pertumbuhan DPK (termasuk aset) perbankan syariah begitu pula sebaliknya, jika suku bunga cenderung turun DPK bank syariah akan meningkat karena nisbah bagi hasil yang lebih kompetitif dibandingkan suku bunga perbankan secara umum.
Kinerja ekonomi sektor riil mempengaruhi secara positif perkembangan industri perbankan syariah, misalnya kecenderungan penurunan inflasi mendorong peningkatan aset perbankan syariah.
Dalam hal penyaluran dana, tahun 2007 industri perbankan syariah mengalami pertumbuhan yang signifikan sebesar 36,7 persen) dibandingkan dengan perbankan nasional yang mengalami pertumbuhan sebesar 17,8 persen, dengan posisi pangsa pembiayaan terhadap perbankan secara nasional mencapai 2,8 persen. Pertumbuhan pembiayaan ini relatif masih mendekati angka proyeksi berdasarkan yang diperhitungkan pada akhir tahun lalu. Pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah pada dasarnya juga merupakan respon dari membaiknya sektor ekonomi riil yang didorong oleh semakin kondusifnya tingkat suku bunga. Namun kecenderungan turunnya suku bunga pembiayaan ini perlu dicermati. Dalam kondisi di mana profil nasabah pembiayaan bank syariah masih sensitif terhadap pergerakan suku bunga yang ditawarkan oleh bank konvensional, maka penurunan suku bunga kredit akan menimbulkan tekanan bagi perbankan syariah.
Pada semester kedua mengakhiri tahun 2008, pertumbuhan aset industri perbankan syariah cenderung mengalami perlambatan terutama sejak triwulan kedua, meskipun menunjukkan pertumbuhan aset yang positif. Terpuruknya ekonomi dunia akibat krisis keuangan global yang bermula dari Amerika Serikat dan ketatnya kredit/likuiditas global yang semakin serius pada semester akhir 2008 mempengaruhi indikator-indikator makro ekonomi Indonesia, seperti nilai tukar, suku bunga dan kinerja pasar modal. Kondisi tersebut ditengarai sebagai penyebab perlambatan aktifitas ekonomi riil domestik Indonesia. Selanjutnya pengaruh tersebut relatif menyebabkan perlambatan pertumbuhan di industri perbankan syariah di Indonesia, meskipun tidak separah industri keuangan secara umum.
Kondisi global tersebut mengakibatkan iklim investasi yang belum kondusif, meningkatnya inflasi, penurunan daya beli masyarakat dan biaya ekonomi yang cukup tinggi. Dengan adanya beberapa kondisi makro tersebut menyebabkan terjadinya perlambatan indikator secara mikro di perbankan, seperti pertumbuhan Dana Pihak Ketiga yang melambat, meningkatnya margin dan persentase nisbah pembiayaan seiring dengan meningkatnya laju inflasi, sehingga berdampak pula terhadap pengetatan penyaluran pembiayaan terutama sejak Triwulan ke tiga tahun 2008.
Sementara itu penyaluran pembiayaan oleh perbankan syariah selama tahun 2008 secara konsisten terus mengalami peningkatan dengan pertumbuhan sebesar 17,6 persen dari triwulan keempat tahun 2007 atau menjadi 42,05 persen pada triwulan keempat tahun 2008, meskipun kondisi di tahun 2008 tersebut mengalami perlambatan sejak posisi pada Triwulan ke II sebesar 51 persen. Sementara itu, nilai pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah mencapai Rp 38,19 triliun. Pertumbuhan jumlah pembiayaan yang tidak didukung dengan pertumbuhan DPK secara signifikan menyebabkan financing to deposit ratio (FDR) mencapai level diatas 104 persen pada tahun pelaporan.
Seiring dengan pertumbuhan pembiayaan, juga diikuti oleh peningkatan kualitas pembiayaan perbankan syariah dari seluruh portfolio pembiayaan pada tahun 2008. Peningkatan kualitas ini tercermin dari penurunan persentase non performing financing (NPF) gross pada tahun 2008, dimana pada posisi tahun 2007 NPF perbankan syariah mencapai 4,07 persen. Penurunan NPF tersebut disebabkan oleh proses restrukturisasi, write off dan pengambil alihan pembiayaan oleh Bank lain (take over). Prestasi tersebut harus selalu diupayakan untuk selalu dipertahankan dan terus ditingkatkan sejalan dengan perbaikan kualitas ekposur dalam sistem perbankan secara nasional.
Kualitas pembiayaan perbankan syariah mampu dijaga dalam rasio yang relatif rendah. Rasio pembiayaan bermasalah (NPF) pada tahun laporan turun menjadi 3,95 persen. Peningkatan pembiayaan pada produk berbasis bagi hasil, khususnya dengan akad musyarakah, yang berisiko lebih tinggi dan krisis keuangan global tidak banyak berpengaruh terhadap kualitas pembiayaan perbankan syariah. Rasio NPF dapat dijaga dalam kisaran yang rendah di bawah 5 persen.
Seiring penggantian SWBI dengan SBIS, posisi penempatan perbankan syariah pada OPT Syariah terus menurun. Terdapat 2 (dua) faktor penyebab fenomena tersebut yaitu penyesuaian (adjustment) yang dilakukan oleh perbankan syariah dalam pengelolaan likuiditas dan pola musiman pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah. Penutupan SWBI yang sebelumnya tersedia setiap hari menyebabkan berubahnya pola ketersediaan (pasokan) likuiditas harian dari SWBI jatuh tempo, sementara lelang SBIS hanya dilakukan secara mingguan dengan tenor 1 (satu) bulan. Hal ini mendorong perbankan syariah untuk memelihara excess reserve dengan jumlah lebih besar yang tercermin dari peningkatan jumlah excess reserve dari rata-rata Rp 276,7 miliar (sebelum penutupan SWBI) menjadi Rp 690,4 miliar (setelah penutupan SWBI). Selain itu, pola musiman pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah yang dimulai antara akhir kuartal I dan awal kuartal II menyebabkan pemeliharaan alat-alat likuid (termasuk SBIS) cenderung menurun.
Meski demikian, menyimak kondisi sekarang dengan share bank syariah masih relatif kecil dibandingkan bank konvensional, tentunya peran ideal bank dan lembaga keuangan syariah untuk mengatasi kelebihan likuiditas belum akan begitu terasa. Dalam kondisi seperti ini, salah satu elemen pokok dalam sistem ekonomi Islam, yaitu pemerintah (regulator), perlu mengambil alih dan memegang peranan kunci perekonomian dengan didukung oleh kalangan perbankan syariah itu sendiri.
Dari sisi lain prestasi yang perlu dicatat, selama ini bank syariah dapat menjalankan fungsi intermediasi perbankan yang lebih besar. Artinya, proses dan keterlibatan dalam pembiayaan dan pembinaan nasabah lebih intens dibanding dengan bank konvensional. Menurut data statistik BI di beberapa media menunjukkan peranan intermediasi bank konvensional lebih rendah. Ini bisa dilihat dari Loan to Deposit Ratio (LDR) bank konvensional yang hanya sekitar 50 persen, sedangkan rata-rata LDR atau FDR (Financing to Deposit Ratio) bank syariah melebihi 100 persen. Angka LDR bank syariah yang tinggi akhir-akhir ini bisa diartikan bahwa bank syariah lebih mampu mendorong angka percepatan perputaran uang dan investasi yang diharapkan dapat mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi masyarakat. Hanya dari segi jumlah pembiayaan masih rendah.
Di tahun 2008, Pemerintah telah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,4 persen (semula 6,8 persen). Pertumbuhan 6,4 persen tersebut terutama diharapkan dari pertumbuhan investasi. Berdasarkan prospek kondisi makroekonomi Indonesia tersebut, maka dapat diprediksikan pertumbuhan industri perbankan syariah pada tahun depan masih akan menikmati high-growth dibandingkan pertumbuhan perbankan secara nasional. Kondisi pertumbuhan ekonomi secara umum akan mempengaruhi pendapatan masyarakat dan kemampuannya dalam melakukan konsumsi dan saving (tabungan). Pada saat yang sama kapasitas perbankan untuk melakukan pembiayaan sektor riil banyak dipengaruhi oleh besarnya dana masyakat yang mampu diserap dalam bentuk tabungan.
Perbankan syariah sempat terhambat perkembangannya karena kebijakan BI Rate yang tinggi selama periode 2005-2006. Kebijakan office channeling menjadi andalan BI mengakselerasi perbankan syariah ke depan. Berbagai tantangan berat dihadapi industri perbankan syariah nasional sepanjang 2006, khususnya berkaitan dengan kondisi makro ekonomi yang ditandai oleh relatif tingginya tingkat suku bunga dan inflasi.
Meski demikian, perbankan syariah berhasil mempertahankan pertumbuhan asetnya 12,92 persen dari akhir 2005 hingga Agustus 2006 atau melebihi laju pertumbuhan industri perbankan nasional yang 5,55 persen. Namun, proyeksi pangsa aset perbankan syariah menjadi 1,70 persen pada akhir 2006 tampaknya tidak mudah tercapai. Pasalnya, hingga Agustus 2006 baru tercapai 1,55 persen atau senilai Rp 23,58 triliun. Artinya, sepanjang 2006, ruang gerak perbankan syariah dalam mengembangkan usahanya mengalami keterbatasan, terutama dalam pengumpulan dana pihak ketiga (DPK).
Faktor utama yang menyebabkan hal tersebut diatas adalah langkah Bank Indonesia (BI) yang terpaksa memperketat kebijakan moneternya ditandai dengan BI Rate yang tinggi sejak tahun lalu hingga saat ini. Akibat kebijakan tersebut, risiko displacement (pengalihan dana dari bank syariah ke bank konvensional) meningkat. Terbukti, DPK perbankan syariah sempat menurun pada Januari dan Februari 2006. Di sisi lain, sejak BI mengeluarkan kebijakan office channeling (OC), tampaknya DPK perbankan syariah juga mulai menggeliat kembali. Menurut data Statistik Perbankan Syariah (SPS) yang dikeluarkan Direktorat Perbankan Syariah BI per Agustus 2006, DPK perbankan syariah hingga Agustus 2006 meningkat menjadi Rp 17,11 triliun atau tumbuh 9,82% dari posisi DPK per Desember 2005.
Kebijakan dan strategi pengembangan perbankan syariah dari Bank Indonesia tahun 2007 difokuskan pada upaya mempercepat peningkatan kapasitas pelayanan perbankan syariah. Upaya ini akan dilakukan dari sisi penawaran dan permintaan guna mencapai target pangsa 5 persen dari total volume perbankan nasional diakhir tahun 2008 dengan tetap mempertahankan prinsip kehati-hatian dan kepatuhan terhadap prinsip syariah. Dari sisi penawaran, kebijakan perbankan syariah akan diarahkan untuk memperkuat struktur kelembagaan dan efisiensi perbankan syariah, sehingga dapat meningkatkan daya saing dan mampu meredam berbagai kejutan ekonomi yang terjadi. Dari sisi permintaan, kebijakan perbankan syariah akan diarahkan untuk dapat memperluas pangsa pasar perbankan syariah di tengah masyarakat, sehingga peran perbankan syariah dalam mendorong proses intermediasi perbankan dan penciptaan stabilitas sistematik semakin signifikan.
Melihat hal diatas maka faktor-faktor yang mempengaruhi penyaluran pembiayaan pada perbankan syariah di Indonesia yang perkembangannya makin cepat dengan demikian layak untuk diteliti. Jika tidak ada penelitian tentangnya dikhawatirkan pelaksanaan penyaluran pembiayaan pada perbankan syariah di Indonesia ke masyarakat yang sangat penting berkontribusi bagi perekonomian ini ketika terjadi problem, kendala yang menghambat penyaluran perbankan syariah tidak dapat diketahui apa penyebab sebenarnya, sehingga tidak mampu untuk mencari solusi terbaik dalam mengatasi masalah yang ada.
Berdasarkan kepentingan di atas maka perlu penelitian dan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penyaluran pembiayaan pada perbankan syariah di Indonesia. Diharapkan dengan penelitian ini semua pihak yang terkait dan berkepentingan dengannya dapat memanfaatkan hasil yang sebesar-besarnya. Penelitian ini dijadikan sebagai tesis dengan judul : "Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyaluran Pembiayaan pada Perbankan Syariah di Indonesia"

B. Perumusan Masalah
Banyak upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah dan Bank Indonesia dalam meningkatkan penyaluran pembiayaan syariah di Indonesia makin optimal sehingga dapat memberikan kontribusi yang lebih banyak pada pembangunan nasional diantaranya adalah : 
1. RUU perbankan syariah yang telah mengalami perubahan status menjadi UU perbankan syariah yaitu undang-undang No. 21 tahun 2008 yang berpengaruh pada Bank Indonesia yang melakukan beberapa revisi peraturan agar dapat disesuaikan dengan undang-undang sehingga kedudukan perbankan syariah lebih kuat secara legal (www.bi.go.id. 2008)
2. Dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.9/7/PBI/2007 tanggal 04 Mei 2007 tentang perubahan atas peraturan kegiatan usaha Bank Umum Konvensional menjadi Bank umum yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah di Bank umum dimana salah satunya mengatur tentang penyempurnaan pengembangan jaringan Bank syariah melalui Office Channeling sehingga perbankan konvensional dapat melayani transaksi syariah (www.bi.go.id. 2007)
3. Adanya dorongan dari Bank Indonesia yang mempermudah dan memperbanyak layanan syariah, memperbanyak pembukaan kantor cabang, termasuk konversi dari unit syariah menjadi bank syariah serta meringankan modal pendirian bank syariah (www.bi.go.id. 2008).
4. Akan adanya draf undang-undang mengenai perbankan syariah dimana kata-kata jual beli dihilangkan dan diganti dengan pembiayaan dengan aset murabahah sehingga efek pengenaan PPN dapat dihilangkan. Hal ini akan memberikan manfaat bagi para nasabah agar terhindar dari pajak berganda dimana posisi ini secara tidak langsung akan kembali meningkatkan pembiayaan yang akan diberikan oleh perbankan syariah (www.pajakonline.com, tanggal 27 Oktober 2008).
5. (Annual Meeting DPS, 14 Agustus 2007) Kebijakan dan inisiatif strategis untuk pengembangan jangka panjang industri perbankan syariah secara sistematis telah dijabarkan dalam 'Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia' dan Kebijakan dan Program Akselerasi 2007-2008 lebih difokuskan pada pencapaian target kuantitatif melalui terobosan paket kebijakan dan program inisiatif yang dapat memberikan perubahan pertumbuhan aset secara signifikan (lompatan besar) dalam jangka pendek. Sasaran kebijakan dan program akselerasi 2007-2008 itu adalah : 
a) Mendorong pertumbuhan dari sisi supply dan demand secara seimbang
b) Memperkuat permodalan, manajemen dan SDM bank syariah
c) Mengoptimalkan peranan pemerintah (otoritas fiskal) dan BI (otoritas perbankan & moneter) sebagai penggerak pertumbuhan
d) Melibatkan seluruh stakeholder perbankan syariah untuk berpartisipasi aktif dalam program akselerasi sesuai dengan kompetensinya masing-masing.
Berdasarkan berbagai upaya yang telah dilakukan tersebut diatas pemerintah dan Bank Indonesia telah menetapkan program akselerasi perbankan syariah dengan menargetkan penyaluran pembiayaan Perbankan Syariah sebesar Rp. 68,95 Triliun di tahun 2008 namun pembiayaan yang mampu disalurkan realisasinya hanya mencapai Rp. 38,195 Triliun
Berdasarkan uraian diatas, rumusan masalah dalam tesis ini adalah belum mampunya perbankan syariah mencapai target penyaluran pembiayaan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia di tahun 2008. Sehingga perlu penelitian faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penyaluran pembiayaan perbankan syariah di Indonesia agar bisa dipakai oleh pihak yang berwenang sebagai pertimbangan dalam mengambil kebijakan guna mendorong perbankan syariah khususnya dalam penyaluran pembiayaan agar lebih optimal dan sesuai target yang ditetapkan.
Berdasarkan rumusan masalah di atas, dalam tesis ini disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut : 
1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi penyaluran pembiayaan pada Perbankan Syariah di Indonesia ?
2. Bagaimana pengaruh faktor-faktor tersebut mempengaruhi penyaluran pembiayaan pada perbankan syariah ?

C. Batasan Masalah
Dalam penelitian ini pengambilan data di lakukan hanya untuk kurun waktu Maret 2004-April 2009.
Variabel yang diteliti pun hanya dibatasi pada variabel : indikator kebijakan perbankan syariah secara nasional, indikator kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia, yang diduga memiliki pengaruh terhadap penyaluran pembiayaan pada perbankan syariah di Indonesia di luar BPRS.

D. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah : 
1. Untuk mengetahui variabel-variabel apa saja yang mempengaruhi penyaluran pembiayaan pada perbankan Syariah di Indonesia.
2. Untuk mengetahui pengaruh variabel-variabel tersebut terhadap pelaksanaan penyaluran pembiayaan pada perbankan syariah di Indonesia.