Search This Blog

SKRIPSI PTK PENINGKATAN MOTIVASI BELAJAR MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN MODEL PAKEM

SKRIPSI PTK PENINGKATAN MOTIVASI BELAJAR MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN MODEL PAKEM


(KODE : PTK-0096) : SKRIPSI PTK PENINGKATAN MOTIVASI BELAJAR MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN MODEL PAKEM (MATEMATIKA KELAS IV)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sistem Pendidikan Nasional bertujuan untuk mewujudkan manusia seutuhnya, merujuk dari tujuan Sistem Pendidikan Nasional, betapa pentingnya kebutuhan akan pendidikan, pendidikan merupakan salah satu faktor penentu masa depan generasi penerus bangsa, dan menjadi tolok ukur sumber daya manusia suatu bangsa maka kebutuhan pendidikan harus dipenuhi dan ditingkatkan. Seiring dengan perkembangan zaman serta Pengetahuan dan Teknologi maka Sistem Pendidikan yang ada harus selalu diadakan pembaharuan ke arah yang positif apalagi pada era globalisasi teknologi modern semakin canggih sangat dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas, kreatif, mandiri, inovatif, dan demokratif bertumpu pada akhlak mulia seperti tertera pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 3 yang berbunyi :
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Untuk merealisasi hal tersebut di atas, pembelajaran matematika di Sekolah Dasar BSNP Standar Isi Kelas IV bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut :
a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antara konsep dan mengaplikasikan konsep atau alogaritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam memecahkan masalah.
b. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan gagasan dan pertanyaan matematika.
c. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
d. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media untuk menjelaskan keadaan dan masalah.
e. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika serta sikap ulet dan percaya diri dalam memecahkan masalah.
Dalam perkembangannya, matematika merupakan ilmu pengetahuan yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari-hari, nilai praktis dari matematika telah dirasa orang, penguasaan matematika semakin tidak bisa dihindarkan lagi, karena setiap interaksi dengan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi canggih selalu melibatkan matematika dari yang sederhana sampai kompleks, dalam pelaksanaan pendidikan pelajaran matematika merupakan mata pelajaran pokok, ini terlihat dari banyaknya porsi jam pelajaran matematika di sekolah.
Namun, kenyataan di lapangan justru matematika merupakan pelajaran yang kebanyakan siswa tidak senang, bahkan siswa bilang "momok" pelajaran yang menakutkan ini dapat dilihat pada hasil ujian akhir di kelas VI. Hasil ujian matematika masih rendah dibanding pelajaran yang lain. Hal ini juga dialami kelas IV, nilai matematikanya masih rendah dibanding pelajaran lain, ini tampak dari hasil ulangan harian, ulangan tengah semester, akhir semester yang mendapat nilai 65 ke atas lebih sedikit dibanding 60 ke bawah.
Perolehan nilai semester I sebagai perbandingan nilai matematika dengan bidang studi yang terdiri dari PKN, Bahasa Indonesia, IPS, IPA dan Matematika ternyata nilai matematika paling rendah. Rendahnya nilai yang dicapai siswa menjadikan petunjuk bahwa di dalam pembelajaran matematika belum maksimal. Ini berarti dalam belajar matematika ada kesulitan dan hambatan. Mengenai masalah kesulitan dan hambatan belajar matematika banyak faktor penyebab, misalnya terkait dengan "motivasi". Dari hasil pengamatan terhadap siswa didapat fakta bahwa siswa malas belajar matematika, belajar matematika menakutkan, belajar matematika tidak menarik, belajar matematika membutuhkan berpikir keras karena hitung-menghitung, bahkan ada siswa karena takutnya dengan pelajaran matematika sampai sakit pusing, mungkin ini terlalu tegang bahkan ada yang sampai tidak masuk jika ada jadwal mata pelajaran matematika karena siswa belum ada motivasi untuk belajar matematika. Dari hasil pengamatan, kebiasaan mengajar khususnya pembelajaran matematika yang masih menggunakan pengajaran konvensional atau pembelajaran yang berpusat pada guru : (1) Guru dalam menyampaikan materi kurang jelas, (2) Guru mengajar tanpa alat peraga, (3) Guru mengajar secara monoton (tidak ada variasi). (4) Guru menyampaikan pelajaran dengan ceramah dengan demikian siswa tidak tertarik untuk belajar karena tidak ada yang menarik dengan kata lain siswa tidak ada motivasi untuk belajar.
Dari nilai hasil pengamatan menunjukkan motivasi belajar matematika sangat rendah. Sehingga peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tentang motivasi belajar matematika di kelas IV sebelum mengadakan tindakan, untuk mengukur ketercapaian tujuan penelitian, maka peneliti menentukan standar batasan pencapaian target pada setiap siklus, yaitu :
1. Siklus Pertama, target yang diharapkan peneliti adalah nilai motivasi belajar matematika siswa kelas IV (empat) > 6,0 mencapai persentase 60% dengan nilai rata-rata 5,5.
2. Siklus Kedua, target yang diharapkan peneliti adalah nilai motivasi belajar matematika siswa kelas IV (empat) > 6,0 mencapai 70% dengan rata-rata 6,5.
3. Siklus Ketiga, target yang diharapkan peneliti adalah nilai motivasi belajar matematika siswa kelas IV > 6,0 mencapai 60% dengan rata-rata 7,5.
Di sinilah guru merupakan salah satu kunci dalam meningkatkan pendidikan, guru/pendidik berkewajiban menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis (UU No. 20 Tahun 2003).
Menciptakan suasana yang menarik, suasana menyenangkan sesuai dengan pendapat Herry Sukarman (dalam Karyati 2004 : 24) membangkitkan siswa untuk belajar, antara lain sebagai berikut :
1) Usahakan tujuan semakin jelas, karena semakin jelas tujuannya semakin kuat pula motivasinya,
2) Ciptakan suasana yang sejuk dan menyenangkan,
3) Libatkan siswa secara aktif dalam pembelajaran,
4) Hubungkan pembelajaran dengan kebutuhan siswa,
5) Usahakan banyak memberi pujian daripada menghukum,
6) Berikan PR sesuai kemampuan siswa,
7) Berikan kritik dengan senyuman,
8) Berikan penjelasan kerja siswa,
9) Berikan penghargaan hasil kerja siswa.
Maka peneliti berusaha untuk menemukan jalan keluar atau solusi dalam mengatasi kesulitan dan hambatan belajar siswa kelas IV dalam pembelajaran matematika sehingga siswa termotivasi, kemauan dan kemampuan belajarnya meningkat. Dengan model PAKEM sebagai alternatif untuk meningkatkan motivasi belajar matematika. Dengan demikian, model PAKEM merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan motivasi belajar matematika pada siswa kelas IV di SDN X.
Dari beberapa pernyataan di atas, dapat dijadikan alasan Peneliti memilih/menerapkan model PAKEM untuk meningkatkan motivasi belajar matematika di kelas IV Sekolah Dasar X Jebres Kota X. Diharapkan model PAKEM dapat menciptakan suasana yang efektif, kreatif, dan menyenangkan sehingga siswa meningkat untuk belajar matematika.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, timbul permasalahan yang dapat diidentifikasi sebagai berikut :
1. Adanya anggapan bahwa matematika adalah momok yang menakutkan.
2. Pembelajaran matematika yang kurang bervariasi, tanpa alat peraga sehingga siswa kurang tertarik dan mudah bosan.
3. Kurang tepatnya metode pembelajaran matematika sehingga siswa kurang termotivasi.
4. Adanya model PAKEM yang akan meningkatkan motivasi belajar siswa kepada pembelajaran Matematika.
5. Guru belum menggunakan model PAKEM.
6. Banyaknya siswa yang nilai matematikanya rendah.
7. Guru mengajar tanpa adanya alat peraga.
8. Kurangnya penguasaan siswa terhadap rumus-rumus matematika.

C. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Apakah model PAKEM dapat meningkatkan motivasi belajar matematika di kelas IV SDN X ?
2. Bagaimanakah langkah-langkah dalam menempuh model PAKEM yang ideal dalam pembelajaran matematika di kelas IV ?

D. Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk :
1. Meningkatkan motivasi belajar matematika siswa kelas IV, melalui model PAKEM.
2. Mendeskripsikan penerapan model PAKEM dalam pembelajaran matematika di kelas IV.

E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian secara teoritis diharapkan dapat memberikan solusi yang berarti bagi pengembang pendidikan dan ilmu pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan peningkatan motivasi belajar matematika menggunakan PAKEM untuk bahan acuan penelitian yang akan datang.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti
Bermanfaat menentukan solusi untuk meningkatkan motivasi belajar matematika. Menggunakan PAKEM sebagai tindakan untuk meningkatkan motivasi belajar matematika.
b. Bagi Siswa
Bermanfaat untuk meningkatkan motivasi dalam belajar matematika.
c. Bagi Sekolah
Sekolah dapat meningkatkan mutu dan prestasi siswa.

SKRIPSI PTK PENINGKATAN HASIL BELAJAR IPA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KUANTUM

SKRIPSI PTK PENINGKATAN HASIL BELAJAR IPA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KUANTUM


(KODE : PTK-0095) : SKRIPSI PTK PENINGKATAN HASIL BELAJAR IPA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KUANTUM (IPA KELAS IV)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di dalam kegiatan belajar-mengajar berlangsung suatu proses pembelajaran dan evaluasi. Untuk mendapat out-put belajar-mengajar yang berkualitas diharapkan kedua proses tersebut hendaknya dikelola dan dilaksanakan dengan baik dan berarti. Suatu proses pengajaran dikatakan berhasil bila terjadi strukturisasi situasi perubahan tingkah laku siswa. Perubahan tingkah laku siswa pada saat proses pembelajaran digunakan sebagai salah satu indikasi terselenggaranya proses pembelajaran dengan baik.
Tujuan setiap proses pembelajaran adalah diperolehnya hasil yang optimal. Hal ini akan dicapai apabila semua terlibat secara aktif baik fisik, mental, maupun emosional. Suatu tujuan pembelajaran menyatakan suatu hasil yang diharapkan dari pembelajaran itu dan bukan sekedar suatu proses dari pembelajaran itu sendiri.
Tujuan pembelajaran bidang pendidikan sebagaimana tercantum dalam SISDIKNAS 2003 yang menyebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berakhlak, berkeahlian, berdaya saing, maju dan sejahtera dalam wadah negara Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berdasarkan hukum dan lingkungannya, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi serta disiplin (BSPN, 2006 : 5).
Tuntutan manusia yang berkualitas hanya dapat dipenuhi oleh dunia pendidikan. Upaya pemenuhan tersebut merupakan suatu proses yang panjang yang dimulai sejak anak belajar di SD. Salah satu unsur yang turut menentukan kualitas Sumber Daya Manusia yaitu penguasaan IPA.
Salah satu mata pelajaran yang ada di SD yang perlu ditingkatkan kualitasnya adalah IPA dan SD merupakan tempat pertama siswa mengenal konsep-konsep dasar IPA, karena itu pengetahuan yang diterima siswa hendaknya menjadi dasar yang dapat dikembangkan di tingkat sekolah yang lebih tinggi di samping mempunyai kegiatan praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pada pembelajaran IPA sangat berkaitan dengan dunia nyata dalam kehidupan sehari-hari. Guru dapat membuka berbagai pikiran dari siswa yang bervariasi sehingga siswa dapat mempelajari konsep-konsep dalam penggunaannya pada aspek yang terkandung dalam mata pelajaran IPA untuk memecahkan suatu masalah atau persoalan serta mendorong siswa membuat hubungan antara materi IPA dan penerapannya yang berkaitan dalam kehidupan sehari-hari.
IPA merupakan konsep pembelajaran alam dan mempunyai hubungan yang sangat luas terkait dengan kehidupana manusia. Pembelajaran IPA sangat berperan dalam proses pendidikan dan juga perkembangan teknologi, karena IPA memiliki upaya untuk membangkitkan minat siswa serta kemampuan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pemahaman tentang alam semesta yang mempunyai banyak fakta yang belum terungkap dan masih bersifat rahasia sehingga fakta penemuannya dapat dikembangkan menjadi ilmu pengetahuan alam yang baru dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Abdullah (1998 : 18) IPA adalah pengetahuan khusus yaitu dengan melakukan observasi, eksperimentasi, penyimpulan, penyusunan teori dan demikian seterusnya kait mengkait antara cara yang satu dengan cara yang lain.
Tujuan pembelajaran IPA di Sekolah Dasar seperti yang diamanatkan dalam kurikulum KTSP tidaklah hanya sekedar siswa memiliki pemahaman tentang alam semesta saja. Melainkan melalui pendidikan IPA siswa juga diharapkan memiliki kemampuan, (1) Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, (2) Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan, (3) Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam. Oleh karena itu IPA merupakan salah satu mata pelajaran yang penting bagi siswa karena perannya sangat penting berguna dalam kehidupan sehari-hari.(Sri Sulistyorini,2007 : 42).
Kenyataan yang terjadi, mata pelajaran IPA tidak begitu diminati dan kurang disukai siswa. Bahkan siswa beranggapan mata pelajaran IPA sulit untuk dipelajari. Akibatnya rata-rata hasil belajar siswa cenderung lebih rendah dibanding mata pelajaran lainnya. Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan oleh peneliti di kelas IV SD X dan data hasil ulangan materi energi bunyi dan rambatannya, prestasi belajar siswa masih rendah. Persentasi siswa tuntas hanya 43,33% persen dari 30 siswa dan untuk siswa seluruhnya diperlukan remedial.
Rendahnya hasil belajar IPA siswa dibanding mata pelajaran lain karena hingga kini proses pembelajaran masih menggunakan paradigma absolutisme yaitu proses dimulai dari merancang kegiatan pembelajaran, mengajar, belajar, dan melakukan evaluasi yang mengalir secara linier. Guru lebih banyak berfungsi sebagai instruktur yang sangat aktif dan siswa sebagai penerima pengetahuan yang pasif. Siswa yang belajar tinggal datang ke sekolah duduk mendengarkan, mencatat, dan mengulang kembali di rumah serta menghafal untuk menghadapi ulangan. Pembelajaran seperti ini membuat siswa pasif karena siswa berada pada rutinitas yang membosankan sehingga pembelajaran kurang menarik. Pada umumnya pembelajaran lebih banyak memaparkan fakta, pengetahuan, hukum, kemudian biasa dihafalkan bukan berlatih berpikir memecahkan masalah dan mengaitkannya dengan pengalaman empiris dalam kehidupan nyata sehingga pembelajaran menjadi kurang bermakna.
Untuk menggali potensi anak agar selalu kreatif dan berkembang perlu diterapkan pembelajaran bermakna yang akan membawa siswa pada pengalaman belajar yang mengesankan. Pengalaman yang diperoleh siswa makin berkesan apabila proses pembelajaran yang diperoleh merupakan hasil dari pemahaman dan penemuannya sendiri yaitu proses yang melibatkan siswa sepenuhnya untuk merumuskan suatu konsep. Untuk itu sudah menjadi tugas guru dalam mengelola proses belajar-mengajar adalah memilih model pembelajaran yang sesuai, agar pembelajaran lebih menarik dan bermakna. Hal ini disebabkan adanya tuntutan pada dunia pendidikan bahwa proses pembelajaran tidak lagi hanya sekedar menstransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Guru harus mengubah paradigma tersebut dengan kegiatan pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.
Terkait belum optimalnya hasil belajar siswa kelas IV SDN X, maka penulis berupaya menerapkan model pembelajaran Kuantum sebagai salah satu alternatif pembelajaran yang bermakna yang bermuara pada pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.
Pembelajaran Kuantum adalah mengorganisasikan berbagai interaksi proses pembelajaran menjadi cahaya yang melejitkan prestasi siswa menyingkirkan hambatan belajar melalui penggunaan cara dan alat yang tepat. Seperti memanfaatkan ikon-ikon sugesti yang membangkitkan semangat belajar siswa, penyajian materi yang prima sehingga siswa belajar secara mudah dan alami (Bobbi De Porter dan Mark Reardon, 2005 : 5)
Pembelajaran Kuantum merupakan refleksi pentingnya guru mengelola proses pembelajaran melibatkan siswa secara aktif dan kreatif baik dari segi fisik, mental dan emosional.
Berdasarkan kondisi tersebut maka peneliti tergerak untuk melakukan penelitian tindakan kelas dengan judul "PENINGKATAN HASIL BELAJAR IPA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KUANTUM PADA SISWA KELAS IV SDN X".

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka identifikasi masalah penelitian ini adalah :
1. Hasil belajar IPA siswa rendah.
2. Siswa pasif dalam pembelajaran IPA.
3. Mata pelajaran IPA tidak disukai dan kurang diminati siswa bahkan dianggap mata pelajaran yang sulit dipelajari.
4. Dalam pembelajaran IPA guru masih menggunakan metode ceramah.
5. Guru masih mendominasi pembelajaran tanpa memberi kesempatan kepada siswa berlatih memecahkan masalah.
6. Pembelajaran lebih banyak memaparkan fakta, pengetahuan, hukum kemudian dihafalkan bukan mengaitkan dalam pengalaman empiris dalam kehidupan nyata

C. Pembatasan Masalah
Batasan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Yang dimaksud hasil belajar dalam penelitian ini adalah hasil yang dicapai oleh siswa setelah melakukan proses pembelajaran dan mengerjakan tes IPA sehingga mengakibatkan siswa mengalami perubahan yang dilihat dari aspek kognitif, afektif dan psimotorik.
2. Hasil belajar yang dimaksud dibatasi pada ketuntasan nilai yang diperoleh siswa dari hasil tes awal, tes siklus 1 dan 2 pada siswa.
3. Pembelajaran Kuantum adalah pembelajaran yang mengorkestrasi interaksi dalam proses pembelajaran dan merefleksi pentingnya guru mengelola proses pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif dan kreatif baik dari segi fisik, mental dan emosional melalui pendekatan TANDUR.

D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Apakah model pembelajaran Kuantum dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas IV SDN X ?
2. Bagaimana cara pelaksanaan model pembelajaran Kuantum dalam meningkatkan hasil belajar IPA dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas IV SDN X ?

E. Tujuan Penelitian
Penelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui apakah penerapan model pembelajaran Kuantum dapat meningkatkan hasil belajar IPA siswa kelas IV SDN X.
2. Memaparkan cara pelaksanaan model pembelajaran Kuantum dalam meningkatkan hasil belajar IPA di kelas IV SDN X.

F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik bersifat praktis maupun teoretis.
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan untuk kegiatan-kegiatan penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan pembelajaran IPA.
2. Manfaat praktis
a. Bagi siswa
1) Sebagai sarana meningkatkan aktivitas dalam pembelajaran IPA.
2) Meningkatkan hasil belajar IPA.
b. Bagi guru
Untuk menambah pengalaman guru dalam meningkatkan hasil belajar IPA dengan menerapkan model pembelajaran Kuantum.
c. Bagi sekolah
Sebagai sumbangan yang bermanfaat dalam rangka perbaikan pembelajaran IPA pada khususnya dan pembelajaran lain pada umumnya.

SKRIPSI PTK PENERAPAN METODE PEMBELAJARAN TUTOR SEBAYA UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR

SKRIPSI PTK PENERAPAN METODE PEMBELAJARAN TUTOR SEBAYA UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR


(KODE : PTK-0094) : SKRIPSI PTK PENERAPAN METODE PEMBELAJARAN TUTOR SEBAYA UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR (AKUNTANSI KELAS X)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Bidang pendidikan merupakan salah satu bidang yang sangat penting dan memerlukan perhatian khusus dari semua lapisan masyarakat, bukan hanya pemerintah yang bertanggung jawab atas keberhasilan dan kemajuan pendidikan di Indonesia akan tetapi semua pihak baik guru, orang tua, maupun siswa sendiri ikut bertanggung jawab. Pendidikan Nasional sedang mengalami perubahan yang cukup mendasar yang diharapkan dapat memecahkan berbagai masalah pendidikan. Masalah pokok yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia adalah masalah yang berhubungan dengan mutu atau kualitas pendidikan yang masih rendah. Rendahnya kualitas pendidikan ini terlihat dari capaian daya serap siswa terhadap materi pelajaran yang masih rendah pula.
Paradigma lama dalam kegiatan belajar mengajar menyatakan bahwa guru memberikan pengetahuan kepada siswa yang pasif, sekarang ini telah banyak berubah karena tuntutan perkembangan jaman (globalisasi). Saat ini paradigma yang baru mulai mengembangkan strategi belajar mengajar siswa aktif. Sekolah sebagai suatu institusi atau lembaga pendidikan seharusnya mampu berperan dalam proses edukasi (proses pendidikan yang menekankan pada kegiatan mendidik dan mengajar), proses sosialisasi (proses bermasyarakat khususnya bagi anak didik), dan proses transformasi (proses perubahan tingkah laku ke arah yang lebih baik). Oleh karena itu dalam proses pembelajaran diharapkan dapat terjadi aktivitas siswa, yaitu siswa mau dan mampu mengungkapkan pendapat sesuai dengan apa yang dipahami. Selain itu diharapkan pula siswa mampu berinteraksi dengan orang lain secara positif, misalnya antara siswa dengan siswa sendiri maupun antara siswa dengan guru apabila ada kesulitan-kesulitan yang terkait dengan materi pelajaran.
Cara guru dalam menyampaikan materi pelajaran sangat mempengaruhi proses pembelajaran dan motivasi siswa terhadap suatu materi pelajaran, sehingga proses pembelajaran menuntut guru untuk menekankan pada penguasaan siswa akan konsep materi pelajaran yang diajarkan. Hal tersebut disebabkan penguasaan konsep yang optimal oleh siswa juga akan berdampak pada hasil belajar yang dicapai siswa. Dilain pihak perolehan hasil belajar sangat ditentukan oleh baik tidaknya kegiatan dan pembelajaran selama program pendidikan yang dilaksanakan di kelas yang pada kenyataannya tidak pernah lepas dari masalah.
Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang bertujuan mencetak Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan membentuk manusia yang berkepribadian. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 pasal 18 mengenai Pendidikan Menengah (2003 : 2) menyatakan bahwa pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat.
Dewasa ini, sekolah kejuruan (SMK) mulai menjadi prioritas bagi pemerintah sebagai salah satu lembaga formal pendidikan yang diharapkan dan dikembangkan sebagai lembaga pencetak lulusan yang siap kerja. Sekolah menengah kejuruan (SMK) merupakan lembaga pendidikan yang memberikan bekal keterampilan kepada lulusannya untuk terjun langsung ke dunia kerja, namun tidak mengesampingkan memberikan pengetahuan kepada lulusan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Oleh karena itu, pembelajaran di SMK X tidak hanya menekankan pada keterampilan kognitif semata tetapi juga memperhatikan keterampilan afektif dan psikomotorik. Hal ini dimaksudkan agar lulusan yang nantinya akan melanjutkan ke perguruan tinggi ataupun langsung terjun ke dunia kerja memiliki kualitas keterampilan serta pengetahuan yang memadai.
Salah satu mata pelajaran yang diberikan sesuai dengan kurikulum pendidikan adalah akuntansi. Butuh ketelitian dan keuletan yang lebih tinggi untuk mempelajari akuntansi, jadi tidak jarang siswa kurang berminat terhadap mata pelajaran akuntansi karena jika tidak konsentrasi dan memahami dari awal maka akan ketinggalan. Dalam hal ini, guru haruslah pandai dan kreatif dalam membelajarkan konsep dasar, sedangkan peserta didik sendiri dituntut kritis dan kreatif sehingga bisa memahami dengan baik ketika menerima pengetahuan baru dari guru. Tugas guru dalam hal ini adalah menciptakan suasana yang hidup atau proses belajar yang efektif untuk memotivasi siswa selama proses belajar mengajar.
Untuk siswa kelas X, akuntansi mempakan mata pelajaran baru maka dimungkinkan mereka akan mengalami kesulitan dalam belajar akuntansi, di mana mereka harus benar-benar memahami konsep yang ada secara bertahap dan proses tersebut harus berjalan sedikit demi sedikit. Sedangkan akuntansi sendiri mempakan mata pelajaran yang membutuhkan pemahaman yang sangat mendalam dan prosesnya secara bertahap dari materi ke materi berikutnya. Siswa akan dihadapkan pada soal-soal yang memerlukan pemahaman tentang prosedur/langkah-langkah penyelesaian yang panjang, perhitungan yang mmit dan kompleks dan semua itu tidak cukup dipahami hanya dengan metode menghapal. Oleh karena itu perlu diletakkan dasar-dasar atau konsep yang kuat mengenai materi akuntansi, misalnya pada pokok bahasan siklus akuntansi pemsahaan dagang.
Ilmu akuntansi adalah bagian dari Ilmu Pengetahuan Social (IPS) yang mempunyai peranan penting dalam masyarakat. Akuntansi mempakan bahasa bisnis yang dapat memberikan gambaran tentang kondisi financial suatu organisasi atau pemsahaan pada periode tertentu. Definisi akuntansi oleh A Statement of Basic Accounting Theory (ASOBAT), "bahwa akuntansi mempakan proses mengidentifikasikan, mengukur, dan menyampaikan informasi ekonomi sebagai bahan informasi dalam hal mempertimbangkan berbagai alternative dalam mengambil kesimpulan oleh para pemakainya". (Sofyan Safri Harahap, 2002 : 8).
Memahami dasar ilmu akuntansi berarti memahami serangkaian konsep yang berkaitan dimana penguasaan awal mempakan pendukung bagi penguasaan tahap selanjutnya. Proses akuntansi adalah konsep yang utuh sehingga untuk menguasainya dibutuhkan pemahaman secara menyelumh dari tahap awal hingga pelaporan. Pemahaman yang salah pada salah satu tahap akan mengakibatkan kesalahan pada tahap selanjutnya.
Salah satu upaya untuk memperbaiki proses pembelajaran akuntansi serta untuk meningkatkan prestasi belajar siswa, yakni dengan menggunakan metode pembelajaran kooperatif yang bisa memenuhi kebutuhan belajar siswa, dan membuat siswa berperan aktif dalam pembelajaran. Metode yang dapat digunakan adalah metode tutor sebaya. Penjelasan tutor sebaya kepada temannya lebih memungkinkan berhasil dibandingkan guru. Peserta didik melihat masalah dengan cara yang berbeda dibandingkan orang dewasa dan mereka menggunakan bahasa yang lebih akrab. Tutor sebaya yang pada dasarnya sama dengan program bimbingan, bertujuan memberikan bantuan kepada siswa, untuk mencapai prestasi belajar yang optimal. Kelebihan metode tutor sebaya dibanding dengan metode yang lain, yaitu tutor sebaya dalam menyampaikan informasi lebih mudah dipahami oleh tutee (siswa yang di ajar)sebab bahasanya sama dengan teman sebayanya, siswa dalam mengemukakan kesulitan kepada tutor lebih terbuka karena temanya sendiri, suasana pembelajaran yang rileks bisa menghilangkan rasa takut, mempererat persahabatan, ada perhatian terhadap perbedaan karakteristik, konsep mudah dipahami, siswa tertarik untuk bertanggung jawab yaitu melatih belajar mandiri.
Penelitian tindakan kelas dengan metode tutor sebaya, akan peneliti aplikasikan dalam menyusun laporan keuangan sebuah perusahaan yang terlebih dahulu siswa harus mengerti proses penyusunan dan pengkonstruksian data transaksi yang ada serta disiplin diri dalam pengerjaan tugas sehingga apabila hanya dikaji oleh siswa secara individu terasa sulit selain itu menuntut siswa untuk berpikir kritis dan kreatif. Hal tersebut, menjadi dasar guru untuk menyampaikan bahan ajar tersebut, dalam bentuk diskusi antar siswa. Karena akan lebih mudah dipahami oleh siswa apabila dilakukan dalam suatu kelompok belajar dengan dipimpin oleh tutor sebaya yaitu teman sebayanya yang lebih pandai dalam menerima dan memahami pembelajaran akuntansi, disertai oleh pengarahan dari guru mata pelajaran akuntansi di kelas tersebut. Dengan menggunakan metode tutor sebaya diharapkan setiap anggota lebih mudah dan leluasa dalam menyampaikan masalah yang dihadapi sehingga siswa yang bersangkutan terpacu semangatnya untuk mempelajari materi ajar dengan baik.
Pembelajaran akuntansi di SMK X saat ini masih belum menunjukkan proses pembelajaran yang kondusif. Dalam pembelajaran yang biasa dilakukan, terdapat berbagai permasalahan yang mengakibatkan tujuan dari pembelajaran tidak berjalan seperti apa yang diharapkan. Dalam pembelajaran akuntansi di SMK X ini hanya didukung dengan modul 3A keuangan (Akuntansi) semacam LKS (lembar kerja siswa) sebagai buku pegangan yang menampilkan rangkuman materi pokok dengan sajian kompetensi, ditampilkan tugas kepada siswa dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman siswa tentang pokok-pokok materi yang telah dipelajari. Selain itu kondisi kelas yang kurang nyaman, pengaturan jadwal yang alokasi waktu pertemuan terlalu lama (dalam sehari di jumpai sampai 4 jam yang menyebabkan siswa merasa jenuh, cepat bosan dalam pembelajaran)juga jadwal yang kurang mendukung (sebagian ada jadwal siang untuk mata pelajaran akuntansi), dan media pembelajaran yang masih kurang menyebabkan siswa kurang semangat terhadap mata pelajaran akuntansi. Guru sudah mencoba membangkitkan minat siswa dengan memberikan pendekatan secara langsung dengan memotivasi dan menegur siswa yang tidak mau memperhatikan pelajaran. Namun, cara ini ternyata belum mampu membangkitkan semangat dan minat belajar siswa.
Sebagian besar siswa menerima materi pelajaran dengan cukup baik tetapi pemahaman tentang konsep materi yang telah diberikan masih kurang. Hal ini bisa dilihat dari proses evaluasi secara lisan. Siswa membutuhkan waktu yang lama untuk bisa menjelaskan konsep dasar tentang materi yang telah diberikan oleh guru. Diperlukan perhatian khusus/ekstra dari guru dalam memancing pengetahuan dasar siswa agar bisa menjelaskan kembali materi yang telah dibahas. Pada Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) guru masih menerapkan metode pembelajaran konvensional yang monoton, yaitu metode ceramah dan demonstrasi. Hal ini mengakibatkan siswa mudah merasa jenuh, sehingga motivasi siswa mengikuti pembelajaran akuntansi rendah. Selama proses belajar mengajarpun masih terlihat beberapa anak yang kurang antusias, masih rendahnya partisipasi siswa selama proses pembelajaran juga kurangnya pemahaman terhadap materi yang telah diberikan. Hal ini dilihat dari sikap siswa yang cenderung malu untuk mengungkapkan pendapatnya jika diadakan tanya jawab. Mereka memilih diam tidak bertanya meskipun sebenarnya mereka belum paham masih merasa kesulitan tentang materi yang sedang dibahas. Sebagian siswa juga masih malu,enggan untuk maju ke depan jika diminta guru secara suka rela untuk menjelaskan kembali apa yang mereka terima setelah mendengarkan penjelasan guru. Dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk membujuk siswa agar mau mempresentasikan hasil pekerjaannya. Faktor psikologi siswa terhadap guru di duga melatar belakangi perilaku siswa saat pembelajaran akuntansi. Dari hasil wawancara peneliti dengan beberapa siswa kelas X Ak 1 bahwa sebagian besar siswa memiliki persepsi yang kurang positif kepada guru, siswa takut pada reaksi guru. Kondisi ini membuat siswa sulit menyerap materi pelajaran karena siswa belajar disertai rasa takut,sungkan kondisi atau suasana belajar terkesan tegang tidak adanya kedekatan emosional antara siswa dengan gurunya, sehingga tercipta adanya suatu jarak.
Menurut survey awal yang dilakukan peneliti, nilai rata-rata kelas 65,58. Angka ini belum memenuhi nilai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) mata pelajaran akuntansi, yaitu 70 masih ada beberapa siswa yang belum memenuhi standar nilai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) mata pelajaran akuntansi, yaitu 70. Dari hasil ulangan (untuk materi jurnal khusus), nilai terendah yang diperoleh siswa adalah 40, sedangkan nilai tertinggi 90. Siswa yang mendapat nilai 70 ke atas sebanyak 62% dari keseluruhannya, 38% sisanya masih di bawah standar ketuntasan minimal. Dari hasil tersebut bisa dilihat prestasi belajar siswa yang tidak merata dan terjadi ketimpangan, sedangkan untuk tugas-tugas rumah yang diberikan oleh guru, sebagian siswa masih mengerjakan di kelas sebelum pelajaran akuntansi dimulai. Beberapa siswa masih mengandalkan kemampuan siswa yang kemampuannya di atas rata-rata dalam mengerjakan ulangan atau latihan soal (mencontek). Ini menunjukkan rendahnya keaktifan dan tanggung jawab siswa dalam mengikuti pelajaran akuntansi.
Berdasarkan pandangan di atas, permasalahan yang muncul adalah bagaimana guru bisa menciptakan proses pembelajaran yang mampu menanamkan konsep materi dengan baik dan menggugah minat siswa serta mampu meningkatkan prestasi belajar siswa dengan metode yang tepat pada saat siswa sudah mulai jenuh mengikuti jalannya pelajaran. Dengan metode tutor sebaya, siswa yang ditunjuk sebagai tutor dapat memberikan bimbingan belajar bagi temannya yang mengalami kesulitan belajar. Dalam hal ini, guru ditekankan bisa mengatur waktu secara optimal dengan cara yang menyenangkan untuk menyiasati kejenuhan siswa selama proses belajar mengajar. Melihat hal tersebut, maka perlu dilakukan suatu penelitian ilmiah untuk menemukan sebuah alternative pemecahan masalah dalam upaya meningkatkan prestasi belajar siswa. Salah satu solusinya yaitu dengan mengembangkan suatu metode yang membuat siswa lebih berminat dan termotivasi untuk belajar.
"Metode tutor sebaya yaitu sebuah prosedur siswa mengajar siswa lainnya" (Akrom, 2007, http : //smkswadayatmgwordpress.com/2007/09/). Melalui metode tutor sebaya, siswa bukan dijadikan sebagai objek pembelajaran tetapi menjadi subjek pembelajaran, yaitu siswa diajak untuk menjadi tutor atau sumber belajar dan tempat bertanya bagi temannya. Dengan cara demikian siswa yang menjadi tutor dapat mengulang dan menjelaskan kembali materi sehingga menjadi lebih memahaminya. Fungsi lainnya adalah dengan adanya tutor sebaya siswa yang kurang aktif menjadi aktif karena tidak malu lagi untuk bertanya, dan mengeluarkan pendapat secara bebas sehingga berdampak pada peningkatan prestasi belajar siswa. Jadi, sistem pengajaran dengan metode tutor sebaya akan membantu siswa yang kurang mampu atau kurang cepat menerima pelajaran dari gurunya. Kegiatan tutor sebaya bagi siswa merupakan kegiatan yang kaya akan pengalaman, yang sebenarnya merupakan kebutuhan siswa itu sendiri. Tutor maupun yang ditutori sama-sama diuntungkan, bagi tutor akan mendapat pengalaman dengan mengajar temannya, sedang yang ditutori akan mengembangkan kemampuan yang lebih baik untuk mendengarkan, berkonsentrasi, dan memahami apa yang dipelajari dengan cara yang bermakna, sehingga dapat meningkatkan prestasi belajarnya.
Pemahaman siswa pada mata pelajaran akuntansi , terjadi apabila seorang siswa dapat menjelaskan pengetahuan yang mereka dapat kepada siswa yang lain. Oleh karena itu, untuk memanfaatkan potensi-potensi yang ada, pada diri pribadi siswa yang memiliki prestasi belajar yang lebih tinggi dari siswa lain dalam mata pelajaran akuntansi, maka dapat dilakukan dengan penggunaan Metode Tutor Sebaya. Tutor sebaya dapat membantu teman sebayanya yang berprestasi rendah, dalam kegiatan belajar. Serta membantu kinerja guru dalam memperbaiki dan meningkatkan prestasi belajar siswa.
Melalui penerapan metode ini dalam pembalajaran akuntansi, diharapkan minat belajar akuntansi siswa akan lebih tinggi dan pemahaman mereka akan meningkat serta meningkatkan prestasi belajar siswa. Selain itu metode ini juga dapat menumbuhkan tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya sendiri dan membuat siswa menjadi lebih aktif. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul : "Penerapan Metode Pembelajaran Tutor Sebaya untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Akuntansi pada Siswa Kelas X AK 1 SMK X".

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut :
1. Apakah penyebab siswa kurang berminat memperhatikan pelajaran ?
2. Bagaimana keaktifan partisipasi siswa dalam proses pembalajaran mata pelajaran akuntansi ?
3. Apakah sarana dan prasarana dalam pembelajaran akuntansi di sekolah sudah memadai ?
4. Apakah prestasi belajar akuntansi siswa yang rendah disebabkan karena pembelajaran yang konvensional ?
5. Bagaimana antusias siswa terhadap pelajaran akuntansi ?
6. Apakah penerapan pembelajaran tutor sebaya dapat meningkatkan prestasi belajar akuntansi siswa ?

C. Pembatasan Masalah
Agar masalah yang teridentifikasi dapat dikaji secara mendalam, maka perlu adanya pembatasan masalah. Dalam penelitian ini, peneliti membatasi masalah pada peningkatan prestasi belajar siswa dengan penerapan metode tutor sebaya pada mata pelajaran akuntansi. Beberapa hal yang terkait dengan peningkatan prestasi belajar dalam penelitian ini adalah :
1. Prestasi belajar adalah tingkat pencapaian hasil belajar yang meliputi beberapa indikator, antara lain : (1) keaktifan siswa selama apersepsi, (2) keaktifan siswa dalam kelompok saat mengikuti pembelajaran, (3) ketelitian dan ketepatan siswa dalam menyelesaikan persoalan/soal, (4) ketuntasan hasil belajar (standar nilai KKM 70).
2. Metode tutor sebaya merupakan metode pembelajaran bahwa siswa bukan dijadikan sebagai objek pembelajaran tetapi menjadi subjek pembelajaran, yaitu siswa diajak untuk menjadi tutor atau sumber belajar dan tempat bertanya bagi temannya.
3. Mata pelajaran akuntansi yang dijadikan sebagai objek penelitian dikhususkan pada pokok bahasan "Penyusunan Laporan Keuangan Perusahaan Dagang" di SMK X kelas X Ak 1.

D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Apakah penerapan metode tutor sebaya dapat meningkatkan prestasi belajar Akuntansi di Kelas X AK 1 SMK X ?

E. Tujuan Penelitian
Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan Metode Pembelajaran Tutor Sebaya dalam meningkatkan prestasi belajar akuntansi pada siswa kelas X AK 1 SMK X.

F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat teoretis
a. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi keilmuan yang bermafaat mengenai penerapan metode tutor sebaya terhadap peningkatan prestasi belajar siswa.
b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pembanding, pertimbangan, dan pengembangan bagi penelitian di masa yang akan datang di bidang dan permasalahan sejenis atau bersangkutan.
2. Manfaat praktis
a. Bagi Guru
Sebagai alternatif pembelajaran dengan menerapkan metode pembelajaran baru untuk meningkatkan prestasi belajar siswa terhadap mata pelajaran akuntansi.
b. Bagi Siswa
Memotivasi siswa belajar akuntansi dengan cara yang menyenangkan dan bervariasi serta dapat memperoleh pengalaman belajar.

SKRIPSI PTK PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN METODE JIGSAW UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP

SKRIPSI PTK PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN METODE JIGSAW UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP


(KODE : PTK-0093) : SKRIPSI PTK PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN METODE JIGSAW UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP (AKUNTANSI KELAS XI)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Bidang pendidikan merupakan salah satu bidang yang sangat penting dan memerlukan perhatian khusus dari semua lapisan masyarakat, bukan hanya pemerintah yang bertanggung jawab atas keberhasilan dan kemajuan pendidikan di Indonesia akan tetapi semua pihak baik guru, orang tua, maupun siswa sendiri ikut bertanggung jawab. Pendidikan Nasional sedang mengalami perubahan yang cukup mendasar yang diharapkan dapat memecahkan berbagai masalah pendidikan. Masalah pokok yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia adalah masalah yang berhubungan dengan mutu atau kualitas pendidikan yang masih rendah. Rendahnya kualitas pendidikan ini terlihat dari capaian daya serap siswa terhadap materi pelajaran yang masih rendah pula.
Paradigma lama dalam kegiatan belajar mengajar menyatakan bahwa guru memberikan pengetahuan kepada siswa yang pasif, sekarang ini telah banyak berubah karena tuntutan perkembangan jaman (globalisasi). Saat ini paradigma yang baru mulai mengembangkan strategi belajar mengajar siswa aktif. Sekolah sebagai suatu institusi atau lembaga pendidikan seharusnya mampu berperan dalam proses edukasi (proses pendidikan yang menekankan pada kegiatan mendidik dan mengajar), proses sosialisasi (proses bermasyarakat khususnya bagi anak didik), dan proses transformasi (proses perubahan tingkah laku ke arah yang lebih baik). Oleh karena itu dalam proses pembelajaran diharapkan dapat terjadi aktivitas siswa, yaitu siswa mau dan mampu mengungkapkan pendapat sesuai dengan apa yang dipahami. Selain itu diharapkan pula siswa mampu berinteraksi dengan orang lain secara positif, misalnya antara siswa dengan siswa sendiri maupun antara siswa dengan guru apabila ada kesulitan-kesulitan yang terkait dengan materi pelajaran.
Cara guru dalam menyampaikan materi pelajaran sangat mempengaruhi proses pembelajaran dan motivasi siswa terhadap suatu materi pelajaran, sehingga proses pembelajaran menuntut guru untuk menekankan pada penguasaan siswa akan konsep materi pelajaran yang diajarkan. Hal tersebut disebabkan penguasaan konsep yang optimal oleh siswa juga akan berdampak pada hasil belajar yang dicapai siswa. Dilain pihak perolehan hasil belajar sangat ditentukan oleh baik tidaknya kegiatan dan pembelajaran selama program pendidikan yang dilaksanakan di kelas yang pada kenyataannya tidak pernah lepas dari masalah.
SMA X merupakan salah satu sekolah negeri yang mempunyai input atau masukan siswa yang memiliki prestasi belajar yang bervariasi sehingga penguasaan materi oleh siswa dalam kegiatan belajar mengajar juga beraneka ragam. Salah satunya pada mata pelajaran yang diberikan kepada siswa kelas XI IS yaitu Akuntansi. Akuntansi berkaitan erat dengan kemampuan berpikir dan nalar seseorang. Berdasarkan hasil pengamatan pelaksanaan pembelajaran Akuntansi di kelas, terdapat berbagai permasalahan yang terjadi adalah sebagai berikut : siswa kurang aktif di kelas cenderung tidak pernah mengajukan pertanyaan dan mengemukakan pendapat di dalam kegiatan pembelajaran, siswa kurang fokus pada saat menerima pelajaran dan lebih banyak melakukan aktivitas di luar aspek pembelajaran (seperti gaduh,berbicara dengan teman sebangku, dan bermain HP). Guru sering memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya tetapi hampir tidak ada siswa yang bertanya.
Tingkat penguasaan konsep yang masih rendah terhadap mata pelajaran akuntansi di SMA X ditunjukkan dengan adanya nilai ulangan harian akuntansi sebagian besar siswa yang berada di bawah batas ketuntasan yaitu 65. Berdasar pengamatan awal peneliti rendahnya penguasaan konsep siswa terhadap mata pelajaran akuntansi tersebut berasal dari minat yang kurang untuk belajar akuntansi, kondisi kelas yang kurang kondusif untuk pembelajaran akuntansi karena para siswa cenderung lebih banyak melakukan aktivitas di luar aspek pembelajaran seperti yang telah diungkapkan di atas, serta rasa bosan dari siswa itu sendiri karena model pembelajaran yang diterapkan oleh guru. Di SMA ini, selama proses pembelajaran akuntansi masih menggunakan metode ceramah sehingga minat siswa untuk belajar akuntansi masih kurang, akibatnya penguasaan konsep siswa akan materi pelajaran akuntansi masih rendah pula. Penguasaan konsep yang masih rendah akan berpengaruh pada pencapaian hasil belajar yang belum maksimal. Aktivitas umum yang terjadi saat dimulainya proses pembelajaran yaitu siswa masih sebatas menyiapkan buku dan pena untuk mencatat. Selanjutnya siswa mendengarkan penjelasan teoritis dari guru, memahami kemudian menjawab pertanyaan dari guru jika ada. Guru memberikan ceramah secara teoritis kepada siswa, memberikan tugas kemudian memberikan tes akhir, begitulah aktivitas ini berjalan terus-menerus. Rutinitas model pembelajaran seperti itu yang kemudian menimbulkan rasa bosan dan sungkan untuk memperhatikan guru yang sedang mengajar, akibatnya ada beberapa siswa yang meninggalkan kelas pada jam pelajaran akuntansi.
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, perlu adanya peningkatan mutu proses pembelajaran melalui sistem belajar siswa aktif. Menurut Anita Lie (2008 : 12), banyak penelitian menunjukkan bahwa pengajaran oleh rekan sebaya (peer teaching) ternyata lebih efektif daripada pengajaran oleh guru. Seperti lebih dari 2400 tahun silam Konfusius dalam Melvin L. Siberman (2006 : 23) menyatakan : “Yang saya dengar, saya lupa; Yang saya lihat, saya ingat; Yang saya kerjakan, saya pahami”.
Tiga pernyataan sederhana tersebut berbicara tentang perlunya cara belajar aktif. Tetapi kemudian Melvin L. Siberman (2006 : 23) telah memodifikasi dan memperluas kata-kata bijak Konfusius tersebut menjadi apa yang disebut paham belajar aktif yaitu :
- Yang saya dengar, saya lupa
- Yang saya dengar dan saya lihat, saya sedikit ingat
- Yang saya dengar, lihat, dan pertanyakan atau diskusikan dengan orang lain, saya mulai pahami
- Dari yang saya dengar, lihat, bahas, dan terapkan, saya dapatkan pengetahuan dan ketrampilan
- Yang saya ajarkan kepada orang lain, saya kuasai
Pernyataan tersebut muncul karena belajar tidaklah cukup hanya dengan mendengarkan atau melihat saja melainkan membutuhkan gaya atau sistem pembelajaran yang baru.
Sistem pembelajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur disebut sistem "pembelajaran gotong royong" atau cooperative learning. Dalam sistem ini guru bertindak sebagai fasilitator. Kegiatan belajar bersama seperti ini dapat memacu belajar aktif. Diharapkan dalam proses belajar mengajar dapat terjadi aktivitas dari siswa yaitu siswa mau dan mampu mengemukakan pendapat sesuai dengan apa yang telah dipahami. Selain itu diharapkan pula mampu berinteraksi secara positif antara siswa dengan siswa sendiri maupun antara siswa dengan guru apabila ada kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam belajar dengan demikian penggunaan ketrampilan-ketrampilan kooperatif menjadi semakin penting.
Pembelajaran kooperatif dengan metode jigsaw dikembangkan agar dapat membangun kelas sebagai komunitas belajar yang menghargai semua kemampuan siswa. Dalam metode ini siswa secara individual berkembang dan berbagi kemampuan dalam berbagai aspek kerja yang berbeda. Selama pelaksanaan metode jigsaw, siswa dituntut untuk menjadi aktif sedangkan guru tidak banyak menjelaskan materi kepada siswa sebagaimana yang terjadi dalam proses belajar mengajar metode konvensional. Metode jigsaw dapat membuat siswa untuk berusaha memahami materi yang menjadi tanggung jawabnya dalam kelompok ahli karena mau tidak mau setiap siswa harus menjelaskan materi tersebut kepada teman dalam kelompok asalnya. Metode jigsaw juga mampu membuat siswa untuk berusaha memahami materi dari kelompok ahli lain karena dalam metode ini setiap siswa diberi kuis mengenai materi dari semua kelompok ahli. Hasil dari kuis akan menentukan skor kelompok sehingga dalam kelompok asal siswa akan saling menyemangati dan membantu temannya untuk memahami semua materi. Dengan demikian, pengalaman belajar siswa akan semakin banyak dan bervariasi yang akhirnya dapat mengoptimalkan potensi yang ada pada diri siswa sehingga penguasaan konsep materi akuntansi akan meningkat. Dalam metode jigsaw peranan guru sangat kompleks,di samping sebagai fasilitator, guru juga berperan sebagai manajer dan konsultan dalam memberdayakan kelompok siswa.
Konsep merupakan suatu kelas atau kategori stimuli/objek yang memiliki ciri-ciri umum. Menurut Gagne dalam Winkel (2005 : 362) menyatakan bahwa "Penguasaan konsep termasuk dalam kategori hasil belajar kemahiran intelektual". Hal tersebut dikarenakan pengajaran konsep menyajikan usaha-usaha manusia untuk mengklasifikasikan pengalaman belajar manusia. Jadi dapat disimpulkan bahwa konsep merupakan sesuatu yang sangat luas. Pengajaran konsep mendorong siswa untuk lebih kreatif dalam memahami materi pelajaran yang dihadapinya, karena dengan konsep-konsep dapat mengurangi kerumitan suatu materi atau objek yang dipelajari. Oleh karena itu metode pembelajaran jigsaw sangat sesuai diterapkan sebagai upaya untuk meningkatkan penguasaan konsep dalam pembelajaran akuntansi.
Dari uraian di atas, penulis bermaksud untuk mengadakan penelitian dengan judul : "Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Dengan Metode Jigsaw Untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep Dalam Pembelajaran Akuntansi Siswa Kelas XI IS 5 SMA X"

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut :
1. Apakah model dan metode pembelajaran yang diterapkan dalam proses pembelajaran akuntansi selama ini mampu mengaktifkan siswa di dalam kelas ?
2. Apakah model pembelajaran yang diterapkan dalam pembelajaran akuntansi selama ini telah mampu meningkatkan penguasaan konsep siswa jurusan Ilmu Sosial (IS) di SMA X ?

C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan diteliti dibatasi pada :
1. Subjek penelitian
Subyek penelitian ini adalah siswa kelas XI IS 5 SMA X.
2. Objek penelitian
Obyek penelitian meliputi :
a. Penguasaan konsep dibatasi pada konsep mengenai pokok bahasan Buku Besar yang meliputi konsep bentuk, jenis dan cara pengisiannya. Yang dinilai dari : 1) kemampuan menyebutkan nama contoh buku besar, 2) kemampuan menyebutkan ciri-ciri buku besar, 3) kemampuan membedakan contoh buku besar serta 4) kemampuan menyelesaikan persoalan yang berhubungan dengan buku besar.
b. Materi pelajaran yang digunakan dibatasi pada pembelajaran akuntansi pokok bahasan Buku Besar.
c. Model pembelajaran yang digunakan adalah model pembelajaran kooperatif dengan metode jigsaw.

D. Perumusan Masalah
Sesuai dengan identifikasi masalah dan pembatasan masalah yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : "Apakah penerapan model pembelajaran kooperatif dengan metode jigsaw dapat meningkatkan penguasaan konsep dalam pembelajaran akuntansi siswa kelas XI IS 5 semester genap SMA X ?"

E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penerapan model pembelajaran kooperatif dengan metode jigsaw dalam meningkatkan penguasaan konsep pada pembelajaran akuntansi siswa kelas XI IS 5 semester genap SMA X.
F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi Guru
a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi guru sebagai alternatif teknik pembelajaran yang lebih menyenangkan dan mudah dipahami.
b. Sebagai bahan kajian dan acuan dalam meningkatkan kualitas pembelajaran dan mengembangkan metode pembelajaran yang sesuai dengan kondisi siswa.
2. Bagi Siswa
a. Mengaktifkan daya pikir siswa dalam penguasaan konsep mata pelajaran akuntansi.
b. Memberikan suasana baru dalam pembelajaran akuntansi sehingga siswa lebih tertarik dalam belajar akuntansi.
3. Bagi Sekolah
a. Sebagai bahan untuk pengembangan kurikulum di tingkat sekolah terutama di dalam kelas.
b. Hasil penelitian yang diperoleh dapat digunakan untuk perbaikan pada proses pembelajaran.

SKRIPSI PTK PENDEKATAN KONSELING REALITA DLM MENGUBAH KONSEP DIRI NEGATIF SISWA BROKEN HOME

SKRIPSI PTK PENDEKATAN KONSELING REALITA DLM MENGUBAH KONSEP DIRI NEGATIF SISWA BROKEN HOME


(KODE : PTK-0092) : SKRIPSI PTK PENDEKATAN KONSELING REALITA DLM MENGUBAH KONSEP DIRI NEGATIF SISWA BROKEN HOME (BIMBINGAN KONSELING SMP)



BAB I 
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Keluarga memiliki peran yang penting dalam mempengaruhi kehidupan seorang anak. Interaksi awal dan yang paling kuat adalah dengan keluarganya, terutama orang tuanya, yang berguna sebagai modal bersosialisasi dengan lingkungan diluar keluarganya. Keluarga berfungsi sebagai pendidikan dasar pada anak. Pendidikan dalam keluarga merupakan pendidikan kodrati. Adanya ikatan antara anak dengan orang tuanya terjalin dari lahir bahkan sejak anak masih dalam kandungan. Di dalam lingkungan keluarga segala sikap dan tingkah laku kedua orang tuanya sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak, karena ayah dan ibu merupakan pendidik dalam kehidupan yang nyata, sehingga sikap dan tingkah laku orang tua akan diamati oleh anak tidak sebagai teori mempengaruhi sikap dan tingkah laku anak (Pujosuwarno,1994 : 22-23). Menurut Vembriarto dalam Pujosuwarno (1994 : 22) yang menyebabkan pentingnya peranan keluarga dalam proses sosialisasi anak adalah keluarga merupakan kelompok kecil yang anggota-anggotanya berinteraksi langsung secara tetap, dalam kelompok yang demikian perkembangan anak dapat diikuti dengan seksama oleh orang tuanya dan penyesuaian secara pribadi dalam hubungan sosial lebih mudah terjadi. Kondisi keluarga yang kondusif adalah terciptanya kebersamaan dan kasih sayang dalam lingkungan pribadi setiap anggotanya, terutama bagi pertumbuhan dan perkembangan dalam hal pembentukan sikap dan perilakunya sehari-hari. Sebab dalam pembentukan dan perkembangan kepribadian masa kanak-kanak dilingkungan keluarga mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembentukan dasar kepribadian dan identitas, pribadi seseorang. Sehingga diperlukan kondisi keluarga yang harmonis untuk menciptakan pribadi yang baik pada anak.
Kondisi di dalam keluarga yang dirasakan anak, akan di munculkan dalam perilakunya di lingkungan luar keluarganya. Di dalam keluarga, anak dihadapkan pada tuntutan dan harapan orang tuanya untuk menjadi individu yang mandiri dan bertanggung jawab. Tetapi terkadang anak merasa tidak mampu memenuhi tuntutan tersebut, karena kondisi keluarga yang tidak nyaman atau kurang mendukung anak untuk menjadi individu yang mandiri sesuai yang diharapkan orang tuanya. Sehingga Perlakuan dan suasana yang terjadi di dalam keluarga akan membentuk gambaran diri atau konsep diri pada anak dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Konsep diri merupakan pandangan menyeluruh individu tentang totalitas dari diri sendiri mengenai karakteristik kepribadian, nilai-nilai kehidupan, prinsip kehidupan, moralitas, kelemahan dan segala yang terbentuk dari segala pengalaman dan interaksinya dengan orang lain (Burns, 1993 : 50). Brooks dalam Rahmat (2005 : 105) menyatakan bahwa konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita yang bersifat psikologis, sosial, dan fisik. Jadi konsep diri mempunyai peranan penting dalam menentukan perilaku individu. Perilaku individu akan sesuai dengan cara individu memandang dirinya. Jika ia merasa sebagai orang yang tidak mempunyai cukup kemampuan untuk melakukan suatu tugas, maka seluruh perilakunya akan menunjukkan ketidakmampuan tersebut. Sebaliknya, jika individu merasa memiliki cukup kemampuan untuk melakukan suatu tugas, maka seluruh perilakunya akan menunjukkan kemampuannya tersebut. Sehingga individu dapat memperoleh tingkat kepuasan yang diperoleh dalam hidupnya.
Setiap individu pasti memiliki konsep diri, tetapi mereka tidak tahu apakah konsep diri yang dimiliki itu negatif atau positif. Individu yang memiliki konsep diri positif akan memiliki dorongan mandiri lebih baik, dapat mengenal serta memahami dirinya sendiri, dapat memahami dan menerima sejumlah factor yang sangat bermacam-macam tentang dirinya sendiri, sehingga dapat berperilaku efektif dalam berbagai situasi. Konsep diri positif bukanlah suatu kebanggaan yang besar tentang diri tetapi berupa penerimaan diri terhadap apa yang ada pada diri sendiri. Dalam hal ini individu dapat menerima dirinya secara apa adanya dan akan mampu mengintrospeksi diri atau lebih mengenal dirinya, serta kelemahan dan kelebihan yang dimiliki. Namun individu yang memiliki konsep diri negatif, tidak memiliki perasaan kestabilan dan keutuhan diri, juga tidak mengenal diri baik dari segi kelebihan maupun kekurangannya atau sesuatu yang dia hargai dalam hidupnya.
Menurut Baldwin & Holmes dalam Calhoun & Acocella (1995 : 77) konsep diri merupakan ciptaan social, hasil belajar kita melalui hubungan kita dengan orang lain. Interaksi yang terjadi paling awal dan paling kuat adalah dengan orang tua kita dalam keluarga. Sehingga dari hasil interaksi dengan keluarga itulah yang akan membentuk konsep diri pada individu tersebut. Suasana yang tercipta dalam keluarga berperan penting dalam pembentukan dasar kepribadian, dan identitas pribadi. Apabila suasana yang tercipta adalah suasana yang kondusif, maka akan membentuk konsep diri yang positif pada anak. Dan apabila suasana yang tercipta adalah suasana yang tidak kondusif, maka akan membentuk konsep diri yang negatif.
Kondisi keluarga yang kurang baik biasanya terdapat pada keluarga yang mengalami banyak masalah yang tidak dapat terselesaikan sampai mengakibatkan broken home, yaitu keretakan di dalam keluarga yang berarti rusaknya hubungan satu dengan yang lain diantara anggota keluarga tersebut (Pujosuwarno, 1994 : 7). Di dalam suasana keluarga yang retak, sudah tidak ada keharmonisan antara ayah dan ibu, tidak ada kesatuan pendapat, sikap dan pandangan terhadap sesuatu yang dihadapinya. Akibatnya anak-anak akan merasa terlantar, terutama pendidikannya dalam keluarga, karena tidak jarang anak-anak terpaksa ikut ayah atau ibu tiri sehingga akan merasa kurang mendapat kasih sayang dari orang tuanya. Selain itu, anak akan merasa malu dan minder terhadap orang di sekitarnya, menjadi gunjingan teman sekitar, proses belajarnya juga terganggu karena pikirannya tidak terkonsentrasi pada pelajaran. Memiliki pikiran-pikiran dan bayangan-bayangan negatif seperti menyalahkan takdir yang seolah membuat keluarganya seperti itu. Tidak bisa menerima takdirnya atau kenyataan yang harus dia jalani. Tekanan mental itu mempengaruhi kejiwaannya sehingga dapat mengakibatkan stress dan frustrasi bahkan seorang anak bisa mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Selain itu anak-anak dapat saja terjerumus dalam hal-hal negatif, seperti merokok, minum minuman keras (alkohol), obat-obat terlarang (narkoba) bahkan pergaulan bebas yang menyesatkan.
Seperti halnya fenomena yang terjadi pada beberapa siswa di SMP Negeri X. Dari hasil observasi peneliti, diketahui ada beberapa siswa yang mengalami broken home menunjukkan perilaku yang negatif, seperti membolos, sering bertengkar, mudah tersinggung, membawa film porno ke sekolah, merokok, tidak memperhatikan saat pelajaran sehingga prestasi belajarnya menurun. Hal ini juga diketahui dari hasil wawancara dengan guru pembimbing bahwa memang terdapat dua siswa broken home yang memiliki perilaku negatif. Perilaku tersebut muncul sebagai wujud pelampiasan perasaan yang dirasakan siswa dalam keluarga yang kurang harmonis. Siswa kurang mendapat perhatian dari orang tuanya, sehingga siswa mencari perhatian dari orang lain. Pada dasarnya siswa belum bisa memahami tugas pekembangannya dengan baik dan belum bisa menerima kenyataan apapun yang sedang mereka alami termasuk masalah yang terjadi di dalam keluarganya, sehingga mereka perlu dapat mengontrol emosi dan menjalankan tugas perkembangannya dengan baik.
Dari fenomena tersebut dapat diketahui bahwa keretakan rumah tangga atau broken home dapat mempengaruhi konsep diri pada anak yang menjadikan anak berperilaku negatif. Munculnya keyakinan irrasional dan wacana diri atau pemahaman diri yang negatif. Konsep diri negatif tersebut perlu diubah menjadi konsep diri positif, agar siswa menemukan identitas diri yang sukses dan bisa menerima takdir hidupnya. Salah satunya dengan konseling individu menggunakan pendekatan realita.
Pendekatan realita merupakan pendekatan yang menganggap bahwa realisasi untuk tumbuh dalam rangka memuaskan kebutuhan harus di landasi oleh prinsip 3 R, (Right, Responsibility, dan Reality). Terapi realitas adalah suatu sistem yang difokuskan pada tingkah laku sekarang. Terapis berfungsi sebagai guru dan model serta mengkonfrontasikan klien dengan cara-cara yang bisa membantu klien menghadapi kenyataan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar tanpa merugikan dirinya sendiri ataupun orang lain. Inti dari terapi realitas adalah penerimaan tanggung jawab pribadi, yang dipersamakan dengan kesehatan mental (Corey, 2003 : 267). Menurut Latipun (2006 : 155) konseling realita adalah pendekatan yang berdasarkan pada anggapan tentang adanya suatu kebutuhan psikologis pada seluruh kehidupannya; kebutuhan akan identitas diri, yaitu kebutuhan untuk merasa unik, terpisah, dan berbeda dengan orang lain. Secara umum tujuan konseling Reality Therapy sama dengan tujuan hidup, yaitu individu mencapai kehidupan dengan success identity, untuk itu dia harus bertanggung jawab memiliki kemampuan mencapai kepuasan terhadap kebutuhan personalnya (Latipun, 2005 : 129). Oleh karena itu diharapkan dengan diberikannya konseling individu dengan pendekatan realita, siswa broken home yang memiliki konsep diri negatif dapat menjadi siswa yang realistis, bertanggung jawab dan dapat menyusun rencana perilaku baru yang tepat.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti ingin mengadakan penelitian dengan judul "Pendekatan Konseling Realita dalam Mengubah Konsep Diri Negatif Siswa Broken Home", untuk mengetahui sejauh mana konseling dengan pendekatan realita dapat mengubah konsep diri negatif menjadi konsep diri positif pada siswa broken home.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah gambaran konsep diri dari siswa yang memiliki latar belakang keluarga broken home ?
2. Apakah pendekatan konseling realita efektif untuk mengubah konsep diri siswa broken home ?

1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang akan dicapai adalah :
1. Mengetahui bagaimanakah gambaran konsep diri dari siswa yang memiliki latar belakang keluarga broken home
2. Mengetahui efektifitas pendekatan konseling realita untuk mengubah konsep diri negatif siswa broken home

1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoretis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk memperkaya khasanah penelitian di bidang Bimbingan dan Konseling individu.
b. Sebagai bahan masukan dan sumbangan pemikiran yang akan menambah perbendaharaan di bidang Bimbingan dan Konseling, guna meningkatkan pelayanan Bimbingan dan Konseling.
1.4.2 Manfaat Praktis
a. Konselor
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi para konselor untuk membantu mengubah konsep diri negatif menjadi konsep diri positif dengan menggunakan konseling individu dengan pendekatan konseling realita.
b. Siswa broken home
Memberikan pemahaman kepada siswa dalam memahami konsep diri yang ada pada dirinya, dan mengetahui bagaimana mengubah konsep diri negatif yang dimiliki menjadi konsep diri positif.

1.5 Sistematika Skripsi
Dalam penelitian ini disusun sistematika penulisan skripsi sebanyak 5 bab dan uraiannya sebagai berikut :
BAB I, Merupakan Pendahuluan yang mencakup : Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, dan Sistematika Skripsi.
BAB II, Berupa Landasan Teori yang memuat teori-teori tentang Pendekatan Konseling Realita dalam Mengubah Konsep Diri Negatif Siswa Broken Home, mencakup : Penelitian Terdahulu, Pengertian konsep diri, asal konsep diri, jenis-jenis konsep diri, faktor-faktor konsep diri, faktor-faktor konsep diri masa akhir kanak-kanak, komponen konsep diri, unsur umum konsep diri, pola konsep diri, pola konsep diri ideal, mencari identitas dan proses mengubah konsep diri, Broken Home meliputi pengertian broken home, penyebab broken home, ciri-ciri broken home, sikap negatif anak broken home, dampak-dampak keluarga broken home, Konseling realita, meliputi konsep dasar konseling realita, pandangan tentang manusia, pemenuhan kebutuhan dasar, perilaku menyimpang, tujuan konseling realita, teknik konseling, dan prosedur konseling, Mengubah konsep diri negatif siswa broken home melalui konseling realita serta Hipotesis.
BAB III, Metode Penelitian, yang meliputi Jenis penelitian, Desain penelitian, Fokus penelitian, Subyek penelitian, Metode pengumpulan data, Keabsahan data dan Analisis data.
BAB IV, Hasil Penelitian dan Pembahasan, bab ini berisi tentang penyajian data secara garis besar kemudian dianalisis, sehingga data yang ada mempunyai arti.
BAB V, Simpulan dan Saran, bab ini memuat tentang kesimpulan secara keseluruhan dari pembahasan skripsi, disamping itu juga berisi saran-saran yang berhubungan dengan masalah skripsi ini.
Bagian akhir skripsi berisi daftar pustaka dan lampiran-lampiran yang mendukung.

SKRIPSI PTK PENERAPAN LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK DENGAN TEKNIK SIMULASI UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI SISWA

SKRIPSI PTK PENERAPAN LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK DENGAN TEKNIK SIMULASI UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI SISWA


(KODE : PTK-0091) : SKRIPSI PTK PENERAPAN LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK DENGAN TEKNIK SIMULASI UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI SISWA (BIMBINGAN KONSELING KELAS XI)


BAB I
PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang Masalah
Berkomunikasi antar pribadi dalam kehidupan sehari-hari merupakan keharusan bagi manusia. Manusia membutuhkan dan berusaha menjalin komunikasi atau hubungan dengan sesamanya. Selain itu, ada sejumlah kebutuhan di dalam diri manusia yang hanya dapat dipenuhi lewat komunikasi dengan sesamanya. Oleh karena itu terampil berkomunikasi dengan sesama manusia diperlukan oleh setiap individu manusia.
Proses belajar mengajar di sekolah merupakan bentuk komunikasi antara peserta didik dengan pendidik di sekolah. Dalam proses belajar mengajar, guru dituntut untuk menciptakan suasana belajar dan proses pembelajaran yang efektif dan kondusif agar guru dapat melaksanakan tugasnya sebagai pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (UU. No. 14/2005 Bab 1, 1 : 1). Lebih lanjut ditegaskan pula oleh Slameto (1995 : 97), bahwa guru mempunyai tugas sebagai berikut (1) mendidik dengan titik berat dengan memberikan arah dan motivasi pencapaian tujuan, baik jangka pendek maupun jangka panjang, (2) memberi fasilitas pencapaian tujuan melalui pengalaman belajar yang memadai, (3) membantu perkembangan aspek -aspek pribadi seperti sikap, nilai-nilai dan penyesuaian diri. Demikian juga, dalam proses belajar mengajar guru tidak terbatas sebagai penyampai ilmu pengetahuan akan tetapi lebih dari itu, ia bertanggung jawab akan keseluruhan perkembangan kepribadian siswa. Ia harus mampu menciptakan proses belajar yang sedemikian rupa sehingga dapat merangsang siswa untuk belajar secara aktif dan dinamis dalam memenuhi kebutuhan dan menciptakan tujuan.
Untuk dapat melaksanakan tugas-tugasnya tersebut guru dituntut untuk menguasai ketrampilan berkomunikasi, demikian pula bagi siswa yang setiap hari melakukan komunikasi dengan guru maupun sesama siswa yang lain, maka diperlukan ketrampilan komunikasi, khususnya komunikasi antar pribadi.
Komunikasi antar pribadi sangat penting bagi hidup manusia. Johnson (dalam Supratiknya, 1995 : 9) menunjuk beberapa peranan yang disumbangkan oleh komunikasi antar pribadi dalam rangka menciptakan kebahagiaan hidup manusia, yaitu (1) komunikasi antar pribadi membantu perkembangan intelektual dan sosial kita. (2) identitas atau jati diri kita terbentuk dalam dan lewat komunikasi dengan orang lain. (3) dalam rangka memahami realitas di sekeliling kita serta menguji kebenaran kesan-kesan dan pengertian yang kita miliki tentang dunia di sekitar kita, kita perlu membandingkannya dengan kesan-kesan dan pengertian orang lain tentang realitas yang sama. (4) kesehatan mental kita sebagian besar juga ditentukan oleh kualitas komunikasi atau hubungan kita dengan orang lain, lebih-lebih orang-orang yang merupakan tokoh-tokoh signifikan (significant figure) dalam hidup kita.
Kenyataan menunjukkan bahwa banyak siswa yang mengalami kesulitan berkomunikasi antar pribadi, hal ini dapat terlihat pada prilaku siswa SMA X pada umumnya dan pada khususnya siswa kelas XI.
Berdasarkan pernyataan di atas bila para siswa tidak memiliki ketrampilan berkomunikasi antar pribadi maka dapat berakibat siswa menngalami kesulitan dalam menerima dan menyampaikan pesan yang diterimanya kepada teman-temannya maupun kepada gurunya.
Ketrampilan komunikasi antar pribadi dapat dilatih melalui beberapa cara antara lain : wawancara, permainan, bimbingan, diskusi, berpidato, menulis. Bennett (dalam Chasiyah dkk, 2001 : 22) menjelaskan bahwa "group prosedur yang lebih intensif dan lebih mendalam adalah group therapy". Sedangkan Warters (dalam Chasiyah dkk, 2001 : 22) lebih menekankan group guidance sebagai group work,yang merupakan penggunaan pengalaman kelompok untuk membantu perkembangan individu dalam kelompok mencapai tujuan yang diinginkan.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, dalam rangka upaya meningkatkan komunikasi antar pribadi bagi siswa SMA X, penelitian ini difokuskan pada pelaksanaan layanan bimbingan kelompok, yaitu layanan bimbingan yang memungkinkan beberapa individu siswa dapat melakukan dinamika kelompok memecahkan masalahnya. Layanan bimbingan kelompok tersebut dilakukan dengan teknik simulasi yang dapat memberikan stimulus kepada individu dalam upaya mengatasi kesulitan berkomunikasi antar pribadi. Beberapa ketrampilan komunikasi antar pribadi meliputi (1) ketrampilan memberikan tanggapan, (2) ketrampilan memberikan informasi, (3) ketrampilan memberikan nasihat, (4) ketrampilan bertanya, (5) ketrampilan merefleksikan, (6) ketrampilan menyimpulkan (Hamzah B Uno, 2008 : 29).

B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pada latar belakang tersebut di atas, dapat diidentifikasikan permasalahan komunikasi antar pribadi sebagai berikut :
a. Masih banyak siswa SMA X yang mengalami kesulitan dalam berkomunikasi antar pribadi b. Kurangnya pemahaman akan pentimgnya komunikasi antar pribadi siswa SMA X
c. Kurangnya ketrampilan menanggapi dalam berkomunikasi antar pribadi siswa SMA X
d. Masih banyaknya siswa SMA X yang tidak mempunyai ketrampilan bertanya dalam komunikasi antar pribadi
e. Kurangnya ketrampilan mengungkapkan ide-ide serta menyimpulkan dan merefleksikan dalam komunikasi antar pribadi siswa SMA X.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pada identifikasi masalah diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
Apakah Layanan Bimbingan Kelompok Dengan Teknik Simulasi Mampu Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Antar Pribadi Siswa Kelas XI SMA X ?

C. Tujuan Penelitian
Suatu penelitian tanpa adanya tujuan yang jelas, tidak akan memberikan manfaat dalam bidang yang ditelitinya. Tujuan penelitian ini adalah : "Untuk mengefektifkan pelaksanaan layanan bimbingan kelompok dengan teknik simulasi guna meningkatkan kemampuan berkomunikasi antar pribadi siswa kelas XI SMA X"

D. Manfaat Penelitian
Setelah perumusan masalah dan tujuan masalah maka berdasarkan hal-hal tersebut maka dapat dikemukakan manfaat penelitian sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis.
a. Memberikan bukti empiris kepada guru BK bahwa penerapan layanan bimbingan kelompok dengan teknik simulasi dapat membantu meningkatkan kemampuan berkomunikasi antar pribadi.
b. Memberi masukan kepada kepala sekolah dan guru BK tentang cara yang tepat untuk mengatasi siswa yang mengalami kesulitan dalam berkomunikasi antar pribadi dengan teknik simulasi dalam layanan bimbingan kelompok.
2. Manfaat Praktis.
a. Meningkatkan komunikasi antar pribadi siswa melalui Layanan bimbingan kelompok dengan teknik simulasi.
b. Membantu siswa agar dapat trampil berkomunikasi antar pribadi.
c. Menjadikan siswa terbiasa berkomunikasi antar pribadi
d. Membantu kelancaran proses belajar mengajar di sekolah dengan trampil berkomunikasi antar pribadi.

TESIS ANALISIS PENGELOLAAN PEMBELAJARAN MULTIMEDIA DI SMAN X

TESIS ANALISIS PENGELOLAAN PEMBELAJARAN MULTIMEDIA DI SMAN X


(KODE : PASCSARJ-0166) : TESIS ANALISIS PENGELOLAAN PEMBELAJARAN MULTIMEDIA DI SMAN X (PROGRAM STUDI : TEKNOLOGI PENDIDIKAN)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Peningkatan kompetensi dan kualitas sumber daya manusia Indonesia merupakan kebutuhan mutlak, terutama menghadapi perubahan dan perkembangan yang demikian pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kebutuhan tersebut akan lebih terasa lagi dalam memasuki era pasar bebas. Pada era pasar bebas semua aspek kehidupan mempersyaratkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang memadai.
Kenyataan menunjukkan bahwa kualitas sumber daya manusia Indonesia relatif jauh tertinggal dibanding dengan Malaysia, Philipina, Tailand dan Singapura. Dalam suatu penelitian oleh suatu badan internasional yang dipublikasikan oleh UNDP (United Nation Development Programme) tahun 2000 menyebutkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke 109 dari 174 negara. Dalam hal indeks pembangunan SDM (Human Development Index) seperti yang dilaporkan oleh UNDP dalam Human Development Report 2003 menempatkan Indonesia diurutan ke 112 dari 174 negara. Laporan yang sama pada tahun 2005 melorot ke urutan 117 dari 177 negara. Di sisi lain dari laporan WEF (World Economy Forum) tahun 2000 Indonesia hanya berada diurutan 44 dari 59 negara dalam daya saing ekonomi (Rosyada, 2004 : 3).
Demikian pula peringkat daya saing sumber daya manusia Indonesia menempati nomor paling buncit di arena internasional. Masyarakat dunia, terutama Indonesia saat ini dihadapkan pada masalah semakin melebarnya kesenjangan antara kelompok negara maju yang memiliki penguasaan IPTEK dan kelompok negara yang masih tertinggal dalam penguasaan IPTEK. Bagi Indonesia, salah satu upaya untuk mengantisipasinya adalah melalui pembangunan di bidang pendidikan, yakni melalui peningkatan kualitas pendidikan, yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Upaya peningkatan kualitas pendidikan bukan merupakan masalah yang sederhana, tetapi memerlukan penanganan yang multidimensi dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait. Dalam konteks ini, kualitas pendidikan bukan hanya terpusat pada pencapaian target kurikulum semata, akan tetapi menyangkut semua aspek yang secara langsung maupun tidak langsung turut menunjang terciptanya manusia Indonesia yang berkualitas.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh sekolah khususnya dalam pembelajaran IPA yang menjadi pusat perhatian penelitian adalah dengan menggunakan media pembelajaran multimedia, dengan penggunaan media pembelajaran dengan multimedia, diharapkan peserta didik dapat termotivasi dalam mengikuti proses pembelajaran, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.
Penggunaan media pembelajaran multimedia di sekolah hingga saat ini telah banyak digunakan, namun tentunya hal tersebut tidak berarti semua sekolah telah menggunakan media tersebut untuk pelajaran IPA. Berbagai permasalahan dalam penggunaan media antara lain : guru belum siap sebagai pengguna, sebagian sekolah belum memiliki sarana untuk penggunaan media tersebut, dan kemampuan guru dalam membuat aplikasi yang menarik masih perlu ditingkatkan. 
Dengan hadirnya perangkat komputer sebagai sarana pembelajaran multimedia, tentunya hal tersebut dapat meningkatkan motivasi siswa untuk mengikuti pembelajaran, namun pada kenyataan sebagian siswa justru tidak termotivasi untuk mengikuti isi pelajaran, lebih tertarik dengan proses pembuatan animasi, dan penggunaan animasi dari media yang digunakan oleh guru.
SMAN X, merupakan Sekolah Ketegori Mandiri (SKM) yang saat ini dipersiapkan untuk Rintisan Sekolah Berstandart Internasional (RSBI) telah dilengkapi dengan media pembelajaran multimedia, sehingga setiap guru diharapkan dapat menggunakan media pebelajaran multimedia untuk membantu proses pembelajaran. Dikarenakan adanya perbedaan pembekalan yang dimiliki oleh guru, khususnya guru yang senior dan yunior, maka tidak semua guru menyambut baik multimedia tersebut, bahka beberapa guru hal tersebut merepotkan bagi guru.
Kenyataan tersebut di atas mendorong peneliti untuk melakukan penelitian tentang penggunaan multimedia di SMAN X dalam usaha meningkatkan prestasi belajar siswa khususnya dalam pembelajaran IPA.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penggunaan multimedia oleh guru IPA yunior dan Senior di SMAN X ?
2. Bagaimana perencanaan pembelajaran IPA dengan menggunakan multimedia di SMAN X ?
3. Bagaimana pelaksanaan pembelajaran IP A dengan menggunakan multimedia di SMAN X ?
4. Faktor apa yang menjadi hambatan dan cara mengatasi dalam pembelajaran IPA dengan menggunakan multimedia di SMAN X ?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui penggunaan multimedia oleh guru IPA yunior dan Senior di SMAN X.
2. Untuk mengetahui perencanaan pembelajaran IPA dengan menggunakan multimedia di SMAN X.
3. Untuk mengetahui pelaksanaan pembelajaran IPA dengan menggunakan multimedia di SMAN X.
4. Untuk mengetahui Faktor yang menjadi hambatan dan mengatasi dalam pembelajaran IPA dengan menggunakan multimedia di SMAN X.

D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
Sebagai bahan referensi bagi pihak-pihak atau instansi yang terkait pada dunia pendidikan dalam pengambilan kebijakan dalam rangka peningkatan mutu atau kualitas pendidikan melalui penggunaan media pembelajaran multimedia.
2. Secara Praktis
Bagi sekolah penyelenggara dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk peningkatan prestasi belajar IPA melalui penggunaan media pembelajaran multimedia.

TESIS RELEVANSI KURIKULUM PONDOK PESANTREN DENGAN ERA GLOBALISASI

TESIS RELEVANSI KURIKULUM PONDOK PESANTREN DENGAN ERA GLOBALISASI


(KODE : PASCSARJ-0165) : TESIS RELEVANSI KURIKULUM PONDOK PESANTREN DENGAN ERA GLOBALISASI (STUDI DI PONDOK PESANTREN X) (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)


BAB I
PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang
Perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, telah membuat perubahan yang cukup signifikan dalam kehidupan manusia. Beberapa kemudahan telah dapat dirasakan oleh manusia, baik itu dalam bidang transportasi, komunikasi serta kemudahan mengakses berbagai informasi dari segala penjuru dunia dengan berbagai fasilitas teknologi yang canggih. Fenomena tersebut merupakan beberapa ciri dari era globalisasi yang telah menghilangkan sekat pemisah bagi umat manusia di segala penjuru dunia.
Globalisasi merupakan sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan antar manusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa era globalisai merupakan suatu masa dimana terjadi pengglobalan dalam segala aspek kehidupan baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya sehingga interaksi antar belahan dunia menjadi semakin mudah.
Kondisi ini telah mengubah pola pikir dan gaya hidup masyarakat dunia, termasuk masyarakat Indonesia. Perubahan masyarakat Indonesia terjadi dari masyarakat agraris menjadi masyarakat informatif yang bertumpu pada teknologi informatika.
Masyarakat muslim di Indonesia, mau tidak mau juga merasakan dampak dari globalisasi ini, walaupun sebenarnya fenomena ini menurut Azyumardi Azra bukanlah fenomena baru sama sekali. Jika pada akhir abad 19 dan awal abad 20 globalisasi yang bersifat religio-intelektual telah dirasakan oleh bangsa Indonesia yaitu bersumber dari Timur Tengah, maka proses globalisasi dewasa ini, bersumber dari Barat, yang terus memegang supremasi dan hegemoni dalam berbagai lapangan kehidupan masyarakat dunia umumnya. Dengan melihat sumber globalisasi saat ini, maka bisa dipastikan bahwa dalam proses globalisasi ini ada nilai-nilai yang tidak sesuai dengan nilai-nilai bangsa Indonesia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya.
Dalam era ini, kehebatan suatu negara-bangsa tidak lagi didasarkan atas sumber daya alam yang melimpah dan alat-alat produksi masal, tetapi sandaran terpenting yang akan menentukan keberlangsungan hidup dan kemajuan negara-bangsa adalah mutu sumber daya manusia yang dimiliki. Dari sini dapat dilihat betapa pentingnya pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas. Allah SWT. Berfirman : bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang saleh. (al-Anbiya' : 105)
Kata ash-Shalihuun juga bisa diartikan sebagai SDM yang berkualitas. Ayat di atas menunjukkan bahwasnya Allah mewariskan dunia ini kepada hamba-hambanya yang saleh (SDM yang berkualitas), karena pada realitasnya yang memakmurkan bumi ini adalah manusia-manusia yang mempunyai kualitas yang baik. Sebagaimana di ungkapkan di atas, bahwasanya kehebatan suatu bangsa adalah ditentukan oleh kualitas SDM yang dimilikinya. Dan perlu juga di garis bawahi kualitas SDM yang dimiliki harus mampu menyeimbangkan kemampuan IPTEK dan IMTAQ-nya, sehingga benar-benar siap dalam menghadapi berbagai tantangan termasuk tantangan dari era globalisasi ini.
Pondok pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam yang ada di Indonesia sebenarnya mempunyai peluang dalam menciptakan SDM yang berkualitas dengan catatan pondok pesantren mampu beradaptasi dengan globalisasi yang sedang terjadi dengan tanpa meninggalkan watak kepesantrenannya. Menurut Edy Supriyono, minimal ada tiga alasan mengapa pesantren peluangnya lebih besar dibandingkan lembaga pendidikan yang lain.
Pertama, pesantren yang ditempati generasi bangsa (mulai anak-anak hinggga pemuda), dengan pendidikan yang tidak terbatas oleh waktu sebagaimana pendidikan umum. Kedua, pendidikan pesantren yang mencoba memberikan keseimbangan antara pemenuhan lahir dan batin, Ketiga, paparan Nur Cholish Madjid yang memberikan contoh masyarakat yang terkena "dislokasi", yaitu kaum marginal atau pinggiran di kota-kota besar, seharusnya menyadarkan pesantren.
Adapula pendapat yang mengatakan bahwa pondok pesantren yang ada saat ini kurang dapat memainkan peran dengan apik, baik peran sosial di tengah masyarakat, maupun perannya dalam bidang pendidikan, dengan artian alumni yang dihasilkan oleh pondok pesantren kurang mampu bersaing dengan lembaga penidikan non pesantren dalam era globalisasi. Pendapat tersebut tampak dalam pernyataan yang dikutip dari situs sidogiri.com yang mengatakan bahwa banyak yang menaruh rasa kecewa atas eksistensi pendidikan pesantren. Mencuatnya opini keterkungkungan kultural maupun pemikiran untuk kalangan pesantren merupakan penilaian publik yang sebetulnya tidak terlalu jauh dengan kondisi nyatanya. Hal ini diperkuat oleh Azyumardi Azra yang menyatakan bahwa :
Reputasi pesantren tampaknya dipertanyakan oleh sebagian masyarakat Muslim Indonesia. Mayoritas pesantren masa kini terkesan berada di menara gading, elitis, jauh dari realitas sosial. Problem sosialisasi dan aktualisasi ini ditambah lagi dengan problem keilmuan, yaitu terjadi kesenjangan, alienasi (keterasingan) dan differensiasi (pembedaan) antara dunia pesantren dengan dunia modern. Sehinggga kadang-kadang lulusan pesantren kalah bersaing atau tidak siap berkompetisi dengan lulusan umum dalam urusan profesionalisme di dunia kerja. Dunia pesantren dihadapkan kepada masalah-masalah globalisasi, yang dapat dipastikan mengandung beban tanggung jawab yang tidak ringan bagi pesantren.
Pendapat senada juga diungkapkan oleh Nurcholish Madjid yang menyatakan :
Kalau kita tinjau secara agak mendalam anatara dunia pesantren dengan pangggung dunia global abad ke XX, sebenarnya terjadi kesenjanagan atau "gap". Di satu sisi dunia global sekarang ini masih di dominasi oleh pola budaya Barat dan sedang di atur mengikuti pola-pola itu. Sedang di sisi lain pesantren-pesantren kita, disebabkan faktor-faktor historisnya, belum sepenuhnya menguasai pola budaya itu (yang sering dikatakan sebagai budaya "modern"), sehingga kurang memiliki kemampuan dalam mengimbangi dan menguasai kehidupan dunia global. Bahkan untuk memberikan responsi saja sudah mengalami kesulitan.
Namun sejak dasawarsa terakhir sebagian pondok pesantren mulai mengambil langkah-langkah tertentu guna meningkatkan kualitas SDM yang mampu menjawab tuntutan kebutuhan masyarakat yang terus berubah seiring perkembangan zaman. Dalam hal ini Imam Suprayogo mendeskripsikan sebagai berikut :
1. Masa lampau, keinginan masyarakat terhadap pendidikan pesantren adalah sebagai wahana membina ruh/praktek keagamaan/keislaman, sehingga kegiatan pendidikan yang ada di pesantren lebih banyak di dominasi dengan kegiatan-kegiatan mengaji al-Qur'an, al-Hadits, kitab-kitab kuning, dan praktek-praktek keagamaan.
2. Masa kini, keinginan masyarakat terhadap pendidikan pesantren adalah memperkokoh keberadaannya sebagai lembaga pendidikan jalur pesantren (kurikulum pesantren) dan pendidikan jalur sekolah (mengikuti kurikulum pemerintah Depag dan Depdikbud). Pada jalur pendidikan pesantren dituntut untuk menghasilkan lulusan yang mampu memahami dan mengkaji kitab-kitab keagamaan terutama yang berbahasa Arab dan memiliki kedalaman spiritual dan keagungan akhlak.
3. Masa yang akan datang, keinginan masyarakat terhadap pendidikan pesantren adalah mampu menjawab tantangan masa depan. Sehingga masyarakat berharap agar pendidikan pesantren membuat kurikulum muatan lokal atau kegiatan ekstra kurikuler yang relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan zaman.
Jika melihat realitas yang ada, tampaknya masyarakat saat ini telah sampai pada masa yang oleh Suprayogo disebut masa yang akan datang, sehingga pondok pesantren pada saat ini dituntut untuk mampu mengadakan berbagai inovasi pendidikan. Menurut Sulthon dan Khusnuridlo, inovasi pendidikan tersebut diperlukan agar pelayanan yang diberikan pesantren tetap up-to-date. Allah berfirman dalam surat ar-Ra'du : "Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri."
Dari ayat di atas dapat dilihat bahwa perubahan ke arah perbaikan (inovasi) merupakan salah satu perintah Allah, dimana manusia memiliki potensi yang dinamis dalam memperbaiki keadaannya sebaik mungkin. Tentunya jika pesantren melakukan inovasi pendidikan maka pada hakikatnya pesantren telah konsisten dengan ajaran Islam.
Inovasi pendidikan dapat menyangkut berbagai bidang baik itu hardware maupun software pondok pesantren. Kurikulum sebagai salah satu bagian dari software merupakan salah satu aspek yang cukup urgen untuk di perbaharui agar sesuai dengan perkembangan zaman.
Kurikulum merupakan salah satu instrumen pendidikan yang penting keberadaannya, karena dengan kurikulum segala bentuk aktivitas pendidikan akan terarah dalam rangka pencapain tujuan pendidikan. Dalam UU SISDIKNAS di jelaskan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Dalam Islam, kurikulum dipandang sebagai alat untuk mendidik generasi muda dengan baik dan menolong mereka untuk membuka dan mengembangkan kesediaan-kesediaan, bakat-bakat, kekuatan-kekuatan dan keterampilan mereka yang bermacam-macam dan menyiapkan mereka dengan baik untuk menjalankan hak-hak dan kewajiban, memikul tanggung jawab terhadap diri, keluarga, masyarakat dan bangsanya.
Adapun karakteristik kurikulum Islami, menurut Abdurrahman An-Nahlawi adalah :
1) Kurikulum islami harus memiliki sistem pengajaran dan materi yang selaras dengan fitrah manusia serta bertujuan untuk menyucikan manusia, memeliharanya dari penyimpangan, dan menjaga keselamatan fitrah manusia sebagaimana di isyratkanhadits qudsi berikut ini :
"Hamba-hambaku diciptakan dngan kecenderungan (pada kebenaran). Lalu setan menyesatkannya."
"Setiap anak dilahirkan secara fitrah. Maka orangtuanyalah yang menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi."
2) Kurikulum islami harus dapt mewujudkan tujuan pendidikan Islam yang fundamental : memurnikan ketaatan dan peribadatan hanya kepada Allah.
3) Tingkatan setiap kurikulum islami harus sesuai dengan tingkatan pendidikan, baik dalam hal karakteristik, usia, tingkat pemahaman, jenis kelamin, serta tugas-tugas kemasyarakatan yang telah dicanangkan dalam kurikulum.
4) Aplikasi, kegiatan, contoh, atau teks kurikulum islami harus memperhatikan tujuan-tujuan masyarakat yang realistis, menyangkut kehidupan dan bertitik tolak dari keislaman yang ideal, seperti merasa bangga menjadi umat Islam dan lain-lain.
5) Sistem kurikulum islami harus terbebas dari kontradiksi, mengacu kepada kesatuan Islam, dan selaras dengan integritas psikologis yang telah Allah ciptakan untuk manusia serta selaras dengan kesatuan pengalaman yang hendak diberikan kepada anak didik, baik yang berhubungan dengan sunnah, kaidah, sistem, maupun realitas alam semesta.
6) Kurikulum islami harus realistis sehingga dapat diterpkan selaras dengan kesanggupan negara yang hendak menerapkannya sesuai dengan kondisi dan tuntutan negara itu sendiri.
7) Kurikulum islami harus memilih metode yang elastis sehingga dapat diadaptasikan ke dalam berbagai kondisi, lingkungan, dan keadaan tempat ketika kurikulum itu diterapkan.
8) Kurikulum islami harus efektif, dapat memberikan hasil pendidikan yang bersifat behavioristik, dan tidak meninggalkan dampak emosional yang meledak-ledak dalam diri generasi muda.
9) Setiap kurikulum islami harus sesuai dengan berbagai tigkatan usia anak didik.
10) Kurikulum islami harus herus memperhatikan pendidikan tentang segi-segi perilaku islami yang bersifat aktivitas langsung, seperti berjihad, dakwah Islam serta pembangunan masyarakat muslim dalam lingkungan persekolahan sehingga kegiatan itu dapat mewujudkan rukun Islam dan syiarnya, metode pendidikan dan pengajarannya, srta etika dalam kehidupan siswa secara individual dan sosial.
Dari paparan di atas dapat dilihat betapa pentingnya fungsi kurikulum dalam pendidikan, sehinggga dari sinilah peneliti tertarik untuk meneliti penerapan kurikulum pondok pesantren dalam era globalisasi. Adapun alasan pemilihan lokasi di Pondok Pesantren X karena setelah melakukan survey pendahuluan, pondok pesantren yang telah berdiri pada tahun 1948 ini, sejak masa-masa awal berdirinya tampak telah mampu menjawab tuntutan masyarakat pada zaman tersebut. Fakta ini diperoleh dari dokumen yang menyatakan bahwa selain melaksanakan kurikulum salafiyah seperti model bandongan, sorogan dan takhassus, pesantren ini juga melaksanakan kurikulum khalafiyah yaitu dengan berdirinya lembaga formal yaitu MIA (Madrasah Ibtidaiyah Agama) yang menggunakan sistem klasikal.

B. Kajian Terdahulu
Untuk mengetahui posisi dari penelitian ini maka perlu dipaparkan beberapa kajian terdahulu, baik itu berupa penelitian lapangan maupun kajian literatur. Ada beberapa kajian yang telah membahas tentang pondok pesantren X ini antara lain :
1. Umi Mahmuda, Kepemimpinan Kyai Zaini dalam Pengembangan Pondok Pesantren X, (Skripsi; 1994).
2. Nur Ali, Strategi Pembelajaran Kitab-kitab Islam Klasik di Pesantren (Studi Kasus Pondok Pesantren X) (Tesis; 1996).
3. Eni Halimiyah, Peranan K.H. Zaini Mun'im dalam Pembinaan Masyarakat X. (Skripsi; 1997)
4. M. Irfan, Pengelolaan Pendidikan Keterampilan di Pondok Pesantren X. (Tesis; 1997)
Adapun penelitian yang berkaitan dengan tema, penulis menemukan antara lain :
1. Mujamil Qomar, Politik Pendidikan Pesantren Melacak Transformasi Institusi, dan Metode (Tesis; 1996) kemudian dicetak menjadi buku dengan judul Pesantren : Dari Transformasi metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. Dalam penelitian ini dikemukakan bahwa kurikulum pesantren itu jika diamati dengan melihat kondisi pada dua kutub secara ekstrim (masa permulaan dan keadaan sekarang) memang menunjukkan perubahan yang sangat fundamental, tetapi ketika perubahan itu dilihat secara setahap demi setahap, ternyata hanya terjadi perubahan yang amat lamban. Perubahan yang terjadi lebih imitatif daripada upaya pembuatan model sendiri.
2. Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren : Suatu Kajian Tentang Unsusr dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren (Desertasi; 1983) kemudian oleh INIS diterbitkan pada tahun 1994. Penelitian yang mengambil 6 pesantren sebagai situsnya mengemukakan bahwa jenis pendidikan di pesantren ada yang bersifat formal dan non formal. Untuk yang bersifat non formal, hanya mempelajari agama yang bersumber dari kitab-kitab klasik. Kurikulum pada jenis pendidikan ini berdasarkan tingkat kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam kitab. Sedangkan untuk pendidikan formal (madrasah dan sekolah umum) berlaku kurikulum yang ditentukan oleh pemerintah (Depag dan Depdikbud).
Dari beberapa penelitian di atas, dapat dilihat bahwa penelitian yang mengkaji kurikulum pondok pesantren secara khusus masih belum peneliti temukan, terutama jika dikaitkan dengan era globalisasi.

C. Rumusan Masalah
Dari latar belakang dan kajian terdahulu di atas, maka akan diuraikan beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana struktur kurikulum pondok pesantren X ?
2. Apa landasan pengembangan kurikulum di pondok pesantren X ?
3. Apakah kurikulum yang diterapkan di pondok pesantren X relevan dengan era globalisasi ?

D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui struktur kurikulum di pondok pesantren X.
2. Mengetahui landasan pengembangan kurikulum di pondok pesantren X
3. Mengetahui relevansi kurikulum di pondok pesantren X dengan era globalisasi.

E. Manfaat Penelitian
Diharapkan dari penelitian ini, dapat memberikan manfaat kepada dua hal :
1. Teoritis
a. Diperoleh pemikiran tentang model kurikulum yang baik bagi pendidikan di Indonesia umumnya dan pendidikan di pondok pesantren pada khususnya dalam menghadapi era globalisasi.
b. Sebagai bahan kajian dan rujukan bagi penelitian di bidang yang serupa.
2. Praktis
a. Sebagai bahan perbandingan bagi Pondok Pesantren X dalam mengembangkan kurikulum yang lebih baik.
b. Sebagai salah satu model percontohan bagi lembaga pendidikan lain khususnya pondok pesantren.

F. Definisi Operasional
Kurikulum : rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, metode dan evaluasi yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Pondok Pesantren : lembaga pendidikan Islam yang mempunyai ciri-ciri antara lain : masjid/mushala, pondok, kyai, santri, dan literatur yang khas. Era globalisasi : suatu masa dimana terjadi pengglobalan seluruh aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, iptek, sosial dan budaya.

TESIS POLA PENGAMBILAN KEPUTUSAN KEPALA SEKOLAH DI SMPN X

TESIS POLA PENGAMBILAN KEPUTUSAN KEPALA SEKOLAH DI SMPN X


(KODE : PASCSARJ-0164) : TESIS POLA PENGAMBILAN KEPUTUSAN KEPALA SEKOLAH DI SMPN X (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Penyelenggarakan pendidikan secara baik, tertata dan sistimatis hingga proses yang terjadi didalamnya dapat menjadi suatu sumbangan besar bagi kehidupan sosial masyarakat. Dalam hal ini sekolah sebagai suatu institusi yang melaksanakan proses pendidikan dalam tataran mikro menempati posisi penting, karena di lembaga inilah setiap anggota masyarakat dapat mengikuti proses pendidikan dengan tujuan mempersiapkan mereka dengan berbagai ilmu dan keterampilan agar lebih mampu berperan dalam kehidupan masyarakat. Kedudukan sekolah sangat penting dalam kehidupan masyarakat pada dasarnya tidak terlepas dari fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan bagi masyarakat memiliki peran penting dan menentukan dalam perkembangan masyarakat.
Kepala sekolah sebagai top manajer di sekolah diharapkan dapat memainkan perannya dalam mempengaruhi bawahannya, khususnya para guru dalam meningkatkan kinerja atau prestasi kerjannya. Untuk melaksanakan pekerjaan seperti ini tidaklah mudah karena pekerjaan itu menuntut adanya sejumlah kompetensi yang harus dimiliki. Kepala sekolah dituntut memiliki kemampuan/pengetahuan, keterampilan mengendalikan emosi untuk dapat memahami diri sendiri dan orang lain. Berdasarkan hasil studi pendekatan sifat (the trait approach), ada tiga macam sifat pribadi yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin agar dapat berhasil dalam memimpinnya, yakni : 1) ciri-ciri fisik (physical characteristics), seperti tinggi badan dan penampilan; 2) kepribadian (personality), seperti menjunjung tinggi harga diri (self esteem); berpengaruh (dominant), dan stabilitas emosi; dan 3) kemampuan atau kecakapan (ability), seperti kecerdasan umum (general intelegence), keaslian (originality), dan wawancara sosial (social insght).
Jika dilihat dari sudut kewenangannya dalam organisasi sekolah, maka kepala sekolah mempunyai kemampuan yang lebih besar dalam proses penciptaan iklim sekolah yang baik dan kondusif bagi proses kegiatan pendidikan di sekolah, oleh karena itu, dalam menjalankan fungsinya, Kepala Sekolah harus mampu menguasai tugas-tugasnya serta melaksanakannya dengan baik. Kepala Sekolah bertanggungjawab terhadap seluruh aktivitas Sekolah, mengelola sumber-sumber daya yang ada baik sumber daya manusia, maupun sumber daya lainnya agar semua itu dapat menunjang terciptanya efektivitas kerja dalam proses pencapaian tujuan pendidikan di Sekolah, selain itu Kepala Sekolah juga adalah pemimpin pendidikan yang tugas utamanya adalah membantu guru mengembangkan daya kesanggupannya untuk menciptakan iklim sekolah yang menyenangkan dan untuk mendorong guru, murid dan orang tua murid supaya mempersatukan kehendak, pikiran dan tindakan dalam kegiatan-kegiatan bersama secara efektif bagi tercapainya maksud-maksud sekolah.
Kinerja kepala sekolah merupakan faktor yang signifikan dalam proses pencapaian tujuan-tujuan pendidikan sekolah, sehingga apabila kinerja kepala sekolah baik maka kemajuan sekolah akan tercapai, demikian juga sebaliknya. Sebagai pemimpin pendidikan, Kepala Sekolah dituntut untuk berupaya keras mengelola seluruh kegiatan di sekolah seefektif dan seefisien mungkin agar proses pendidikan di sekolah sesuai dengan yang diharapkan.
Kepala sekolah perlu meningkatkan kemampuannya dalam pengetahuan dan wawasan serta sikap antisipatif terhadap perubahan sosial masyarakat, hal ini tentu saja dimaksudkan agar pelaksanaan tugas sebagai kepala sekolah dapat berjalan dengan baik sehingga pencapaian tujuan pendidikan dapat berjalan secara efektif dan efisien, namun demikian kondisi tersebut nampaknya masih memerlukan proses. Masih rendahnya kemampuan kepala sekolah dianggap gagal di mana "sebab" utama dari kegagalan kepala sekolah ini terletak pada organisasi intern sekolah lanjutan itu sendiri. Keadaan tersebut tidak jauh berbeda dengan kondisi di SMP X Kabupaten X.
Kinerja Kepala Sekolah bukan sesuatu yang berdiri sendiri, dia dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor eksternal berkaitan dengan supra sistem sekolah yakni otoritas yang secara hirarkhis berada di atasnya seperti Dinas Pendidikan Kecamatan, Dinas Pendidikan Kabupaten serta Pemerintah Daerah Setempat. Supra sistem ini jelas akan berpengaruh pada kinerja Kepala Sekolah sebab Dinas Pendidikan punya peran koordinasi, pengawasan dan Pembinaan terhadap sekolah-sekolah, termasuk kinerja kepala sekolah, sedangkan faktor internal berkaitan dengan kemampuan atau ketrampilan kepala sekolah, serta kualitas individu kepala sekolah itu sendiri seperti sikap, minat, persepsi, kebutuhan, kompensasi serta kepribadian yang semua ini akan berpengaruh terhadap kepala sekolah dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan peran dan fungsinya dalam proses pendidikan di sekolah. Seorang kepala sekolah perlu memiliki kemampuan atau ketrampilan dalam hal konsep, teknis dan kemanusiaan (Conceptual Skill, technical Skill, Human Skill).
Keterampilan itu disebut keterampilan manajer, dan kemampuan tersebut pada dasarnya berkaitan dengan dimensi intelektual dan dimensi emosional, sehingga kedua dimensi kemampuan ini dari sudut internal akan mempengaruhi terhadap kinerja Kepala Sekolah, disamping faktor-faktor internal lainnya seperti bakat, pengalaman dan latar belakang pendidikan.
Kinerja kepala Sekolah Menengah Pertama (SMP) X masih perlu dioptimalkan, banyak faktor yang menyebabkanya diantaranya adalah motivasi kerjanya masih rendah, lingkungan, sistem pembagian insentif, kepemimpinan kepala sekolah, sarana-prasarana, hubungan interpersonal, komunikasi antar pribadi guru dengan guru, guru dengan kepala sekolah, guru dengan murid perlu ditingkatkan. Berbagai faktor tersebut yang penulis anggap penting dan merupakan solusi dalam peningkatan kinerja kepala sekolah melalui pola pengambilan keputusan kepala sekolah di SMP X Kabupaten X.

B. Fokus dan Pertanyaan Penelitian
Banyak faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan kepala sekolah, antara lain pendidikan, fasilitas mengajar, pelatihan, penataran, pengalaman kerja, motivasi kerja, tingkat kesejahteraan, lingkungan kerja, kepuasan kerja, dan kepemimpinan sekolah. Oleh karena berbagai keterbatasan yang ada pada peneliti, dalam penelitian ini memfokuskan permasalahan
1. Bagaimanakah pola pengambilan keputusan tentang input dalam sistem pendidikan di SMP X Kabupaten X ?
2. Bagaimanakah pola pengambilan keputusan tentang proses dalam sistem pendidikan di SMP X Kabupaten X ?
3. Bagaimanakah pola pengambilan keputusan tentang output dalam sistem pendidikan di SMP X Kabupaten X ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini ingin mendeskripsikan pola pengambilan keputusan kepala sekolah di SMP X Kabupaten X.
2. Tujuan Khusus
a. Pola pengambilan keputusan tentang input dalam sistem pendidikan di SMP X Kabupaten X
b. Pola pengambilan keputusan tentang proses dalam sistem pendidikan di SMP X Kabupaten X
c. Pola pengambilan keputusan tentang output dalam sistem pendidikan di SMP X Kabupaten X

D. Manfaat Penelitian
Manfaat teoritis penelitian ini adalah dapat menambah referensi dan pengembangan penelitian berikutnya yang sejenis. Sedangkan manfaat praktisnya, bagi kepala sekolah, hasil penelitian ini sebagai bahan masukan dalam rangka meningkatkan pola pengambilan keputusan kepala sekolah yang diharapkan mampu meningkatkan kualitas pendidikan dalam sekolah yang dipimpinnya. Bagi para guru, hasil penelitian ini sebagai masukan dalam rangka memotivasi diri dan pengembangan diri untuk meningkatkan kinerja sehingga mutu pendidikan yang diharapkan dapat terwujud, dan bagi para pembaca, dapat menambah pengetahuan sehingga dapat memberikan sumbang saran kepala sekolah dalam rangka ikut mendukung usaha peningkatan mutu pendidikan.