Search This Blog

SKRIPSI UPAYA BADAN PERIZINAN TERPADU (BPT) KABUPATEN X DLM MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK

SKRIPSI UPAYA BADAN PERIZINAN TERPADU (BPT) KABUPATEN X DLM MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK


(KODE : FISIP-AN-0033) : SKRIPSI UPAYA BADAN PERIZINAN TERPADU (BPT) KABUPATEN X DLM MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK




BAB I 
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Kajian dan praktek administrasi publik di berbagai negara terus berkembang. Berbagai perubahan terjadi seiring dengan berkembangnya kompleksitas persoalan yang dihadapi oleh administrator publik. Kompleksitas ini ditanggapi oleh para teoritisi dengan terus mengembangkan Ilmu Administrasi Publik. Hal ini disebabkan karena pemilik kepentingan publik yang sebenarnya adalah masyarakat, maka administrator publik seharusnya memusatkan perhatiannya pada tanggung jawab melayani dan memberdayakan warga negara melalui pengelolaan organisasi publik dan implementasi kebijakan publik. Perubahan orientasi tentang posisi warga negara, nilai yang dikedepankan, dan peran pemerintah ini memunculkan perspektif baru administrasi publik yang disebut sebagai new public service.
Perspektif new public service menghendaki peran administrator publik untuk melibatkan masyarakat dalam pemerintahan dan bertugas untuk melayani masyarakat. Dalam menjalankan tugas tersebut, administrator publik menyadari adanya beberapa lapisan kompleks tanggung jawab, etika, dan akuntabilitas dalam suatu sistem demokrasi. Administrator yang bertanggung jawab harus melibatkan masyarakat tidak hanya dalam perencanaan dan pelaksanaan program guna mencapai tujuan-tujuan masyarakat. Hal ini harus dilakukan tidak saja karena untuk menciptakan pemerintahan yang lebih baik tetapi juga sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Dengan demikian, pekerjaan administrator publik tidak lagi mengarahkan atau memanipulasi insentif tetapi pelayanan kepada masyarakat.
Perwujudan paradigma diatas akhirnya akan sangat bergantung pada adanya komitmen dan keinginan yang kuat dari para aparat pemerintah sehingga dapat melaksanakan pelayanan publik dengan benar dan sungguh-sungguh. Untuk menyelenggarakan pelayanan publik berdasarkan paradigma tersebut dan yang sesuai dengan kebutuhan serta tuntutan masyarakat di era globalisasi ini, maka pemerintah memberikan keleluasaan pada pemerintah daerah untuk mengembangkan, memperbaiki dan mengelola sumberdaya yang dimilikinya, yang telah ditetapkan dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, adalah: Pertama, mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah. Kedua, bahwa efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan Negara.
Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penampilan birokrasi yang baik mensyaratkan otonomisasi, dan sebaliknya otonomisasi akan meningkatkan efektifitas dan daya tanggap administrasi terhadap kebutuhan lokal. Secara teoritis desentralisasi dan otonomi daerah dapat mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, antara lain melalui pemotongan jalur birokrasi pelayanan, sehingga masyarakat dapat lebih mudah mengakses pelayanan pemerintah, terutama pelayanan pemerintah daerah. Mayoritas dari warga negara hanya peduli pada pelayanan administrasi yang lebih baik, lebih cepat, lebih sederhana prosedurnya, lebih terbuka, dan dengan biaya yang murah.
Desentralisasi diyakini oleh banyak orang sebagai system pemerintahan yang lebih baik dari pada sentralisasi, terutama dalam pelayanan publik dilihat dari segi manajemen pemerintah desentralisasi dapat meningkatkan efektifitas, efisiensi dan akuntabilitas publik. Sedangkan dilihat dari segi percepatan pembangunan, desentralisasi dapat meningkatkan persaingan (perlombaan) antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya, dan ini mendorong pemerintah local untuk melakukan inovasi guna meningkatkan kualitas pelayanan publik kepada warganya.
Perbaikan pelayanan tersebut akan makin baik kalau didukung oleh sistem pemerintahan yang demokratis, terbuka, akuntabel dan memberi ruang partisipasi yang luas bagi masyarakat. Dengan sistem seperti itu maka tujuan akhir dari desentralisasi dan otonomi daerah berupa peningkatan kesejahteraan serta kemandirian masyarakat akan dapat tercapai. Sehingga kualitas layanan aparatur pemerintah kepada masyarakat menjadi salah satu indikator keberhasilan otonomi daerah.
Dan untuk memberikan kepastian hukum dalam hubungan antara masyarakat dan penyelenggara dalam pelayanan publik, maka pemerintah menetapkan Undang-undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang bertujuan:
1. terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pi hak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik;
2. terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik;
3. terpenuhinya penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
4. terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik
Komitmen untuk memberikan pelayanan yang berkualitas kepada para masyarakat sesuai dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2009 serta terselenggaranya otonomi daerah sesuai dengan tujuan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 disusun pada perencanaan strategis BPT Kab. X, Rencana strategis sangat terkait dengan BPT Kab. X, dalam upayanya utuk memaksimalkan semua potensi dan sumber daya yang dimilikinya, yaitu dengan mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang mungkin terjadi di masa depan. Kondisi lingkungan global yang penuh persaingan menuntut organisasi untuk lebih dinamis dengan perubahan lingkungannya. Sehingga setiap pegawai hams memandang, memelihara dan meningkatkan kualitas pelayanan.
Perencanaan strategis adalah suatu cara untuk membantu organisasi dan komunitas masyarakat dalam mengatasi lingkungan mereka yang telah berubah serta mampu berjalan seiring dengan ketidakpastian keadaan. Gejolak yang makin meningkat dan saling bertautan ini memerlukan tanggapan dari organisasi dan komunitas publik. Pertama, organisasi hams berpikir strategis yang tidak pernah dilakukan sebelumnya. Kedua, organisasi hams bisa menerjemahkan inputnya untuk strategi yang efektif guna menanggulangi lingkungan yang senantiasa bembah. Ketiga, organisasi hams mengembangkan alasan yang diperlukan untuk meletakkan landasan bagi pemakaian dan pelaksanaan strateginya. Perencanaan strategis dapat membantu organisasi dan komunitas untuk memmuskan dan memecahkan masalah terpenting yang mereka hadapi. Selain itu, perencanaan strategis dapat pula membantu organisasi dan komunitas membangun kekuatan dan mengambil keuntungan dari peluang penting, sembari organisasi dan komunitas mengatasi atau meminimalkan kelemahan dan ancaman serius, sehingga dapat membantu organisasi dan komunitas menjadi lebih efektif dalam dunia yang penuh persaingan.
Bryson (2007:3) menyebutkan bahwa para pemimpin pemerintahan, lembaga publik dari semua jenis, organisasi nirlaba, dan komunitas menghadapi banyak tantangan sulit dalam tahun-tahun mendatang. Pembahan-pembahan tersebut misalnya pembahan demografis, pembahan nilai, privatisasi pelayanan publik, pembahan ekonomi global dan sebagainya.
Jadi baik organisasi besar maupun kecil, tetap hams menyadari adanya pergeseran yang sangat penting di dalam fokus dan kegiatan organisasi di era globalisasi. Artinya, untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian, hal ini disebabkan tantangan-tantangan yang semakin sulit di tahun-tahun yang akan datang tidak bisa dipandang remeh. Oleh karena itu strategi diperlukan untuk menghadapi perubahan-perubahan tersebut. Dalam kondisi seperti itu maka setiap organisasi publik atau privat, maupun masyarakat sendiri bila ingin tetap survive dan bertahan hidup harus mampu merespon perubahan itu dengan langkah-langkah yang tepat, dengan berpikir dan bertindak makin strategis, mungkin dengan menigkatkan kualitas kegiatannya atau bahkan bila perlu melakukan perubahan fokus atau kegiatannya.
Kualitas pelayanan harus menjadi kepedulian seluruh pihak yang terlibat di BPT Kab. X baik yang berada ditingkat pelaksana maupun pimpinan sesuai dengan peranannya. Mengingat Kabupaten X merupakan Kabupaten Kota yang sedang berkembang, sehingga memerlukan penanganan secara terpadu dalam bidang administrasi pelayanan perijinan.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah antara lain ditegaskan bahwa tujuan pemberian otonomi adalah berupaya memberikan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang semakin baik kepada masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan. Maka Pemerintah Kabupaten X membentuk Badan Pelayanan Terpadu pada tanggal 20 Juli 2006 dengan Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2006. Badan Pelayanan Terpadu kemudian diubah menjadi Badan Perijinan Terpadu Kabupaten X dengan Peraturan Daerah No. 15 Tahun 2008. Sehingga semua proses perijinan dilaksanakan di BPT Kab X mulai dari penerimaan berkas, pemrosesan dokumen, penandatanganan ijin sampai dengan penyerahan dokumen ijin.
Badan Perijianan Terpadu telah menerapkan sistem pelayanan satu pintu (one stop service/OSS) sejak tahun 2002, yang dimaksudkan untuk mempermudah masyarakat dalam mengurus perijinan yaitu dengan memberikan perijinan secara terpadu pada satu tempat/lokasi sesuai dengan kewenangan masing-masing instansi. Hal ini mendorong upaya mengefektifkan sistem dan tata laksana pelayanan sehingga pelayanan perijinan dapat diselenggarakan secara berhasilguna dan berdayaguna serta untuk mendorong laju perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
Sebagai salah satu contoh bahwa dengan OSS pelayanan perijinan di BPT Kabupaten X efektif dan efisien dibandingkan dengan pelayanan sebelum OSS adalah misalnya pada perijinan 1MB (Ijin Mendirikan Bangunan). Jika dibandingkan dengan pelayanan sebelum OSS perijinan 1MB baru akan selesai hingga waktu 1 bulan dari awal permohonan diajukan, sedangkan dengan menggunakan sistem OSS Perijinan 1MB akan selesai dalam waktu 10 hari. Dilihat dari prosedur pelayanan OSS yang diawali dengan pemohon yang mengajukan berkas permohonan perijinan di loket pelayanan sesuai dengan bidang perijinan (1MB). Berkas permohonan perijinan tersebut disampaikan kepada masing-masing Instansi/Unit Kerja Teknis dan diproses dengan melalui tahap: pemeriksaan berkas, ceking lokasi, evaluasi, penetapan biaya, dan pengesahan surat perijinan oleh pejabat yang berwenang. Kemudian berkas yang telah disahkan diserahkan ke loket pengambilan yang selanjutnya dapat diambil oleh pemohon ijin setelah membayar bisya retribusi sebesar yang telah ditetapkan. Untuk penetapan biaya IMB telah ditentukan dalam Peraturan Daerah Kabupaten X Nomor 11 Tahun 1998 tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan. Saai ini di BPT Kabupaten X dalam setiap perijinan selalu memberikan perincian biaya yang jelas dan transparan. Selain itu, pemohon dapat melakukan tindakan seperti pengecekan, pemeriksaan, pengukuran dan complain kepada petugas jika biaya maupun pelayanannya tidak sesuai dengan peraturan yang ada.
Sebagai organisasi publik dalam pelayanan perijinan BPT harus mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat secara lebih efektif dan efisien jika dibandingkan dengan pelayanan perijinan yang dilakukan tidak satu pintu atau ketika ditangani oleh masing-masing instansi secara langsung. Efektif dan efisien ini baik dalam prosedur perijinan, waktu penyelesaian maupun biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat.
Berkembangnya arus informasi dan komunikasi yang saat ini hampir tidak terbatas oleh jarak dan waktu serta didukung pula dengan tingkat pendidikan dan ekonomi masyarakat yang semakin tinggi membuat masyarakat semakin menuntut agar pelayanan yang diberikan bisa lebih baik atau paling tidak seimbang dengan biaya atau kontribusi yang telah diberikan masyarakat. Dalam menghadapi berbagai tuntutan masyarakat atas pelayanan publik, bagi suatu organisasi diperlukan penerapan strategi yang sesuai dengan keadaan dan kendala yang dihadapi agar mampu meningkatkan kualitas pelayanannya. Begitu pula dengan BPT Kab. X memerlukan suatu upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan agar lebih baik dari yang selama ini diberikan yaitu dengan memberikan pelayanan sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat. Tanpa adanya penerapan strategi yang efisien dan efektif dalam upayanya meningkatkan kualitas pelayanan publik, maka pelayanan perijinan yang dilakukan oleh BPT Kab. X kepada masyarakat akan statis, tidak berkembang dalam arti tidak mampu menyesuaikan dengan kondisi saat ini. Pelayanan kepada masyarakat akan selalu terpaku pada kebiasaan yang terjadi sehari-hari tanpa memperhatikan perubahan-perubahan yang dihadapi oleh BPT Kab. X
Sehubungan dengan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mengetahui lebih jauh mengenai upaya apa saja yang telah dilakukan BPT Kab. X dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik serta hambatan-hambatannya.

B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah ini bertujuan untuk memberikan rumusan yang jelas dari permasalahan yang ada untuk memecahkan pembahasan dalam bentuk pertanyaan. Adapun perumusan masalah dari uraian latar belakang diatas adalah:
"Bagaimana Upaya Badan Perijinan Terpadu (BPT) Kabupaten X dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik ?"

C. Tujuan Penelitian
Dengan penelitian ini diharapkan penulis mampu mengetahui berbagai upaya yang diambil oleh Badan Perijinan Terpadu (BPT) Kabupaten X dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk :
1. Sebagai umpan balik yang dapat digunakan sebagai rekomendasi dalam rangka penyusunan rencana strategis yang lebih baik di masa yang akan datang.
2. Memberi masukan bagi pemerintah Kabupaten X khususnya BPT Kab. X dalam meningkatkan pelayanan publik.
3. Melatih kepekaan peneliti terhadap berbagai perubahan sosial dan lingkungan sekitarnya.
4. Bagi peneliti dapat menambah pengetahuan dan memperluas wawasan berkaitan dengan upaya dan strategi BPT Kab. X dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik beserta seluruh permasalahannya.

SKRIPSI STUDI DESKRIPTIF KUALITATIF TENTANG OPTIMALISASI KINERJA BAPPEDA DALAM PROSES PERENCANAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF DI KOTA X

SKRIPSI STUDI DESKRIPTIF KUALITATIF TENTANG OPTIMALISASI KINERJA BAPPEDA DALAM PROSES PERENCANAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF DI KOTA X


(KODE : FISIP-AN-0032) : SKRIPSI STUDI DESKRIPTIF KUALITATIF TENTANG OPTIMALISASI KINERJA BAPPEDA DALAM PROSES PERENCANAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF DI KOTA X




BAB I 
PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG MASALAH
Penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam era otonomi daerah seperti sekarang ini lebih menekankan pada prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Hal ini merupakan perwujudan pelaksanaan azas desentralisasi dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Agar mampu menjalankan perannya tersebut, daerah diberikan kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
Prinsip otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pada dasarnya menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dimana daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang tersebut. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut, dapatlah ditarik benang merah bahwa setiap daerah memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarasa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Penyelenggaraan otonomi daerah merupakan dasar perubahan paradigma dalam pelaksanaan pemerintahan, pengelolaan anggaran negara dan daerah serta sebagai perwujudan tuntutan agenda reformasi dalam upaya mencapai kesejahteraan masyarakat.
Adapun perubahan paradigma tersebut disikapi oleh daerah dengan menyesuaikan dan merubah berbagai mekanisme penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terutama dalam melaksanakan pembangunan yang demokratis guna mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance). Menurut J. Linz and Alfred Stephan dalam Journal of Democracy :
"...reinforcing and empowering civil society has become a common strategy for democratisation in many countries. In the context of political transition in asia, it also believed that empowering civil society is an important consolidating democracy.‘ governance' is a key concept in discussion about the state and civil society, the term 'governance' which essensially refers to political function and 'public administration' generally viewed in therms of more technocratic pursuits". (...penguatan dan pemberdayaan masyarakat sipil telah menjadi suatu strategi bersama dalam proses demokratisasi di banyak negara. Dalam konteks perkembangan perubahan politik di Asia, juga menjadi keniscayaan bahwa pemberdayaan masyarakat sipil adalah suatu landasan demokrasi yang solid. 'pemerintahan' adalah suatu konsep utama dalam diskusi tentang negara dan masyarakat sipil, istilah 'pemerintahan' yang secara esensi mengacu pada fungsi politis dan fungsi 'administrasi publik' pada umumnya dipandang dalam segi tujuan yang lebih teknis.)
Berbagai perubahan tersebut terwujud dalam pergeseran paradigma pembangunan di daerah, yakni perubahan dari paradigma yang sentralistik menuju paradigma yang desentralistik. Paradigma sentralistik dianggap terlalu mementingkan kedudukan pemerintah sebagai pusat perencana dan pelaksana pembangunan tanpa melibatkan masyarakat sebagai bagian penting dari pembangunan itu sendiri. Paradigma pembangunan yang lebih mementingkan kekuasaan pemerintah tersebut tidak lagi relevan untuk diterapkan. Pergeseran paradigma pembangunan tersebut, secara teoritis merupakan perwujudan dari perubahan pola perencanaan pembangunan dengan pola top down menjadi pola bottom up. Seperti yang diungkapkan oleh Hirtsune Kimura dalam Jurnal Ketahanan Nasional :
"More ever, changing the mindset of public officials who had been accustomed administration is not easy. After three decades of, new order rule, there still exist a strong tradition of centralize bearucracy, those the big trial of Indonesia decentralization on is still at the starting point." (Lebih lanjut, mengubah pola pikir para pejabat publik yang sudah terbiasa birokratis tidaklah mudah. Meskipun setelah tiga dekade, dengan pemerintahan yang baru, akan masih ada suatu tradisi yang kuat dalam birokrasi yang terpusat, namun hal itu merupakan sebuah langkah besar dari proses desentralisasi di Indonesia yang masih berada di titik awal).
Dalam era otonomi daerah yang menganut sistem pemerintahan yang demokratis, konsep partisipasi masyarakat merupakan salah satu konsep yang penting karena berkaitan langsung dengan hakekat demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang berfokus pada rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Sebagaimana termaktub dalam mukadimah UNDP (United Nation Development Program), salah satu ciri sistem pemerintahan yang baik (good governance) adalah pemerintahan yang bisa mengikutsertakan semua masyarakat, transparan dan bertanggung jawab, efektif dan adil, adanya supremasi hukum serta bisa menjamin bahwa prioritas-prioritas politik, sosial dan ekonomi didasarkan pada konsensus masyarakat. Di satu sisi, peningkatan kapasitas birokrat/aparat pemerintah diarahkan untuk merubah pola pikir, bahwa peranan birokrat/aparat pemerintah mengalami perubahan dari pelaku pembangunan menjadi fasilitator pembangunan. Dengan demikian peran pemerintah lebih bersifat memfasilitasi dan mengkatalisasi melalui peningkatan peran serta masyarakat dalam otonomi daerah.
Hal ini berarti perlu adanya komitmen terhadap penguatan keberadaan lembaga pemberdayaan masyarakat khususnya di tingkat bawah atau di tingkat kelurahan, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana salah satu fungsi Pemerintah di tingkat Desa/Kelurahan serta Kecamatan adalah pemberdayaan masyarakat. Hal ini sangat penting dalam rangka merumuskan solusi dalam mengidentifikasi berbagai fungsi dari lintas pelaku pemberdayaan masyarakat, agar sadar akan arti pentingnya suatu harmonisasi penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan, yang ditandai dengan berjalannya peran serta tugas pokok masing-masing. Keberhasilan Pemerintah Daerah dalam jangka panjang tidak hanya bergantung pada kepuasan masyarakat atas pelayanan yang diberikan, tetapi juga atas ketertarikan, keikutsertaan, dan dukungan dari masyarakat.
Munculnya perencanaan pembangunan partisipatif diharapkan akan menghantarkan masyarakat untuk dapat memahami masalah-masalah yang dihadapi, menganalisa akar-akar masalah tersebut, mendesain kegiatan-kegiatan terpilih, serta memberikan kerangka untuk pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pembangunan. Pengikutsertaan masyarakat dalam proses pembangunan merupakan salah satu cara yang efektif untuk menampung dan mengakomodasi berbagai kebutuhan yang beragam. Dengan kata lain, upaya peningkatan partisipasi masyarakat pada proses pembangunan dapat membawa keuntungan substantif, dimana pelaksanaan pembangunan akan lebih efektif dan efisien, disamping akan memberikan rasa kepuasan dan dukungan masyarakat yang kuat terhadap program-program Pemerintah Daerah itu sendiri.
Adanya pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah juga semakin menegaskan arti pentingnya kualitas pelayanan publik. Undang-Undang ini mengindikasikan bahwa penyelenggaraan otonomi daerah harus dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab pada daerah. Dengan kewenangan yang diberikan tersebut, maka pemerintah daerah akan lebih leluasa untuk menentukan kebijakan yang akan diambil, yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat di masing-masing daerah. Akan tetapi di satu sisi, pemberian keleluasaan kewenangan kepada daerah juga harus diimbangi dengan koordinasi dan perangkat aturan yang sinergis sehingga lebih mengharmoniskan dan menyelaraskan pembangunan, baik pembangunan nasional, pembangunan daerah maupun pembangunan antar daerah.
Keberhasilan pembangunan di suatu daerah tidak akan terlepas dari peran Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Bappeda adalah sebuah badan yang bertugas melakukan perencanaan pembangunan di daerah. Bappeda merupakan badan atau staf yang bertanggung jawab langsung kepada Walikota atau Bupati. Peran Bappeda pada pemerintahan yang telah lalu memang tidak terlalu signifikan di dalam pembangunan. Namun hal ini lebih dikarenakan sistem pemerintahan yang terlampau sentralistik, sehingga ruang gerak Bappeda menjadi terbatas karena begitu dominannya intervensi pemerintah pusat terhadap pembangunan di daerah. Akibatnya, perencanaan pembangunan yang disusun untuk suatu daerah, ketika diimplementasikan hasilnya sering tidak tepat sasaran karena tidak mampu merespon kebutuhan riil dari masyarakat. Hal ini membawa dampak dimana pembangunan yang telah ada tidak mampu mengangkat kesejahteraan rakyat.
Di tengah perkembangan perencanaan pembangunan partisipatif di Kota X yang sudah berjalan selama kurang lebih 8 tahun tentu sudah banyak dinamika yang berkembang. Perencanaan pembangunan di Kota X memang harus mengacu pada sistem perencanaan pembangunan nasional, yaitu satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat pusat dan daerah. Mekanisme Proses Perencanaan Pembangunan Partisipatif di Kota X dibangun melalui kegiatan tahunan dengan forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kelurahan (Musrenbangkel), Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kecamatan (Musrenbangcam), Forum Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), dan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kota (Musrenbangkot). Berdasarkan Peraturan Walikota X Nomor 51 Tahun 2008, Bappeda Kota X dalam Proses Perencanaan Pembangunan Partisipatif memiliki peran dalam melaksanakan fungsi pendampingan dalam Musrenbangkel dan Musrenbangcam serta memfasilitasi penyelenggaraan Forum Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan Musrenbangkot. Dalam kinerjanya tersebut, Bappeda Kota X hanya bertindak sebagai fasilitator dan melakukan monitoring pelaksanaan Musrenbangkel dan Musrenbangcam agar alur dan mekanismenya sesuai dengan pedoman.
Berikut ini peneliti sajikan sebuah contoh model hasil Musrenbangkel Kelurahan Y yang berisi tentang daftar skala prioritas permasalahan, potensi pemecahan masalah dan usulan kegiatan pembangunan di Kelurahan Y dalam sebuah tabel. Juga peneliti sajikan contoh instrumen yang menunjukkan adanya proses monitoring dari Bappeda terhadap pelaksanaan Musrenbangkel Kelurahan Y dan Musrenbangcam Kecamatan X tahun 2009.
Partisipasi masyarakat merupakan elemen yang penting untuk diwujudkan dalam kehidupan bernegara. Dari empat tahap pembangunan (perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil, dan evaluasi) pelibatan masyarakat dalam perencanaan memiliki bobot yang tinggi untuk memperbaiki kualitas pembangunan. Hal ini mengingat partisipasi masyarakat dalam pembangunan lebih sering dimaknai sebagai dukungan masyarakat dalam pelaksanaan proyek pembangunan, bukan dalam perumusan rencana. Lebih lanjut, perencanaan memiliki posisi yang strategis sebagai arahan dalam mengimplementasikan pembangunan. Perencanaan dalam pembangunan merupakan suatu mekanisme untuk merumuskan desain pembangunan yang akan dilaksanakan dan dirasakan oleh masyarakat.
Kehendak melibatkan masyarakat dalam perumusan perencanaan pembangunan sebenarnya sejak dari dulu telah termanifestasi dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 9 Tahun 1982 tentang pedoman penyusunan perencanaan dan pengendalian pembangunan daerah (P5D). Permendagri tersebut menggariskan pola perencanaan pembangunan yang memadukan pendekatan top down dan bottom up. Penyusunan perencanaan pembangunan dirancang mulai dari musyawarah pembangunan tingkat kelurahan, temu karya pembangunan tingkat kecamatan, rapat koordinasi pembangunan tingkat kabupaten atau kotamadya, rapat koordinasi pembangunan tingkat propinsi, dan rapat konsultasi nasional.
Namun mekanisme tersebut dalam implementasinya dinilai kurang aspiratif. Partisipasi masyarakat dalam penyusunan perencanaan pembangunan dirasakan sebagai hal yang semu belaka karena lebih banyak diwarnai dialog antar aparat yang diputuskan secara top down. Selanjutnya rencana pembangunan nasional tersebut disesuaikan dengan angka-angka sasaran daerah. Akan tetapi sering ditemukan bahwa angka-angka sasaran nasional tersebut dikutip begitu saja sebagai sasaran daerah tanpa menyadari kemampuan kemampuan dan sumber daya yang tersedia. Perencanaan daerah sering pula hanya merepresentasikan rencana sektoral dari instansi vertikal. Sehingga perencanaan pembangunan yang secara ideal diharapkan untuk dapat mewujudkan ciri khas daerah (keberanekaan kebutuhan dan potensi) tidak terwujud.
Perencanaan pembangunan ini tidak peka terhadap variasi daerah (mengesampingkan kenyataan akan heterogenitas kondisi dan tuntutan aspirasi daerah) sehingga solusi yang ditawarkan tidak mampu menjawab permasalahan daerah. Pada sisi lain mekanisme ini melemahkan kemampuan kreatif rakyat yang berkaitan dengan keberlangsungan pembangunan. Kondisi yang demikian bisa memunculkan sikap apatis (ketidakperdulian masyarakat pada pembangunan karena merasa bahwa proses pembangunan tidak menyentuh kebutuhan riil mereka) dan inersia (masyarakat menjadi kurang dapat mengembangkan potensi yang terpendam sehingga cenderung pasif menunggu perintah, dan tergantung pada bantuan) dalam masyarakat.
Walaupun pengertian partisipasi masyarakat sudah menjadi kepentingan bersama (common interest), akan tetapi dalam prakteknya masih terdapat pemahaman yang tidak sama. Hal ini ditunjukkan dimana Pemerintah sudah melakukan sosialisasi dan konsultasi dengan masyarakat, akan tetapi masyarakat merasa tidak cukup hanya dengan proses tersebut, karena semua proses keputusan yang diambil secara holistik harus melibatkan masyarakat. Mengingat partisipasi adalah salah satu elemen penting dalam governance maka untuk mendorong terciptanya good governance, banyak organisasi atau lembaga publik memilih isu partisipasi sebagai strategi awal mewujudkan good governance. Strategi yang diambil organisasi civil society umumnya dilandasi analisis situsasi yang mengemukakan adanya tiga hambatan utama menuju partisipasi yang baik (Hetifah. 2000), yaitu; Pertama, adalah hambatan struktural yang membuat iklim atau lingkungan menjadi kurang kondusif untuk terjadinya partisipasi. Di antaranya adalah kurangnya kesadaran berbagai pihak akan pentingnya partisipasi serta kebijakan maupun aturan yang kurang mendukung partisipasi termasuk kebijakan desentralisasi fiskal. Kedua, adalah hambatan internal masyarakat sendiri, diantaranya kurang inisiatif, tidak terorganisir dan tidak memiliki kapasitas memadai untuk terlibat secara produktif dalam proses pengambilan keputusan, dimana hal ini terjadi antara lain akibat kurangnya informasi. Dan yang ketiga, adalah hambatan akibat kurang terkuasainya metode dan teknik-teknik partisipasi.
Sedangkan salah satu persoalan lain yang dihadapi dalam perencanaan pembangunan partisipatif saat ini antara lain panjangnya proses pengambilan keputusan. Jarak antara penyampaian aspirasi hingga jadi keputusan relatif jauh. UU Nomor 32 Tahun 2004 (UU No. 22 Tahun 1999 dan PP No. 25 Tahun 2000) tentang Otonomi Daerah telah menggeser pemahaman dan pengertian banyak pihak tentang usaha pemanfaatan sumber daya alam, terutama aset yang selama ini diangap untuk kepentingan Pemerintahan Pusat dengan segala perizinan dan aturan yang menimbulkan perubahan kewenangan. Perubahan sebagai tanggapan dari ketidakadilan selama ini, seperti perubahan dalam pengelolaan sumber daya alam, tidak diikuti oleh aturan yang memadai serta tidak diikuti oleh batasan yang jelas dalam menjaga keseimbangan fungsi regional atau nasional. Persoalan lainnya yakni meskipun di dalam Undang-Undang tersebut desa juga dinyatakan sebagai daerah otonom, namun tidak memiliki kewenangan yang jelas. Dengan kata lain, sebagian besar kebijakan publik, paling rendah masih diputuskan di tingkat kabupaten. Padahal, mungkin masalah yang diputuskan sesunggguhnya cukup diselesaikan di tingkat lokal. Jauhnya rentang pengambilan keputusan tersebut merupakan potensi terjadinya deviasi, baik yang pada gilirannya menyebabkan banyak kebijakan publik yang tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian lebih mendalam mengenai sejauh mana optimalisasi kinerja Bappeda Kota X dalam proses perencanaan pembangunan partisipatif di era otonomi daerah di Kota X.

B. PERUMUSAN MASALAH
Dengan mengacu pada latar belakang masalah yang telah dikemukakan oleh peneliti diatas, maka perumusan permasalahan yang akan diteliti adalah : "Bagaimanakah optimalisasi kinerja Bappeda Kota X dalam proses perencanaan pembangunan partisipatif?"

C. TUJUAN PENELITIAN
a. Mendapatkan gambaran tentang kinerja Bappeda Kota X dalam Proses Perencanaan Pembangunan Partisipatif di Kota X.
b. Mengetahui bagaimana Bappeda Kota X dalam mengoptimalkan kinerjanya tersebut.

D. MANFAAT PENELITIAN
a. Hasil penelitian ini dapat menambah masukan bagi khasanah Ilmu Pengetahuan Sosial pada umumnya dan Ilmu Administrasi Negara pada khususnya.
b. Dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi Bappeda Kota X dalam usaha optimalisasi kinerja dan kompetensinya di era otonomi daerah.
c. Manfaat pribadi bagi penulis yakni untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar sarjana bidang Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas X.
d. Dapat bermanfaat bagi peneliti selanjutnya yang akan mengadakan penelitian.
SKRIPSI PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF

SKRIPSI PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF

(KODE : FISIP-AN-0031) : SKRIPSI PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN PARTISIPATIF

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Gerakan reformasi yang terjadi pertengahan tahun 1998 telah membawa banyak perubahan pada kehidupan di Indonesia. Salah satu bidang yang mengalami perubahan cukup nyata adalah politik dan pemerintahan. Perubahan tersebut tampak dari amandemen UUD 1945, yang merupakan landasan konstitusional pelaksanaan pemerintahan di Indonesia. Amandemen UUD 1945 kemudian diikuti dengan serangkaian perubahan-perubahan kebijakan yang dibuat pemerintah. Dengan berlandaskan semangat reformasi Pemerintah Pusat mulai melakukan serangkaian perbaikan. Pemerintah Pusat yang selama ini memonopoli perumusan dan penentuan suatu kebijakan baik itu lingkup nasional maupun lingkup lokal, mulai membagi peran tersebut pada Pemerintah Daerah. Kebijakan yang selama ini mayoritas bersifat top down perlahan mulai tergantikan dengan model perumusan kebijakan yang bersifat bottom up.
Kebijakan yang bersifat top down bisa diartikan secara umum bahwa kebijakan tersebut diturunkan dari pemerintah kepada masyarakat tanpa melibatkan secara langsung masyarakat yang menjadi sasaran. Dalam hal ini masyarakat hanya dijadikan objek suatu kebijakan. Pada akhirnya kebijakan yang dibuat seringkali tidak menyentuh kebutuhan-kebutuhan praktis yang dirasakan masyarakat, sehingga masyarakat tidak merasa sebagai bagian dari program bersangkutan.
Pelaksanaan kebijakan yang bersifat top down tidak sesuai dengan konsep pemberdayaan masyarakat khususnya pemberdayaan dalam pelaksanaan pembangunan. Konsep pemberdayaan masyarakat selama ini relatif tidak berjalan sama sekali karena yang berkembang adalah mekanisme kekuasaan dari pusat ke daerah. Hal ini berimbas pada ketidaktahuan masyarakat dan tumbuhnya sikap acuh tak acuh tentang pembangunan di wilayah mereka sendiri.
Sejarah orde baru memberikan gambaran atas minimnya partisipasi masyarakat dalam kehidupan bernegara. Mekanisme yang dijalankan pemerintah saat itu bersifat sentralis. Negara menjadi sosok omnipoten (maha kuasa) dan omnipresent (hadir dimana-mana) yang berpengaruh besar terhadap masyarakat, sehingga mampu menciptakan pengendalian melalui lembaga-lembaga politik formal. Pengendalian lembaga politik tersebut bahkan terjadi dari dari tingkat pusat sampai tingkat terbawah, dalam hal ini desa Di level desa lembaga-lembaga asli desa dikooptasi sedemikian rupa sehingga terjadi kemandegan partisipasi masyarakat. Apa yang dilakukan oleh lembaga tersebut hampir bisa dikatakan lebih membawa kepentingan negara daripada membawa aspirasi dan kepentingan dari masyarakat desa sendiri. Lembaga-lembaga yang seharusnya bisa menjadi saluran suara desa ke negara berubah menjadi saluran perintah dari negara terhadap warga desa. (Loekman Soetrisno, 2003:68)
Secara umum masyarakat relatif lemah baik dalam proses pembuatan kebijakan lokal maupun untuk mengatur aktifitasnya sendiri. Partisipasi lebih banyak dimaknai sebagai sebuah proses mobilisasi masyarakat untuk suatu kepentingan pembangunan dengan mengatasnamakan "kesukarelaan berkorban demi nusa dan bangsa". Bahkan seringkali disebutkan partisipasi masyarakat dibatasi pada makna pelaksana rencana pembangunan yang sudah dibuat oleh pemerintah. Lebih jauh Lukman Soetrisno menegaskan bahwa definisi partisipasi yang berlaku di kalangan lingkungan aparat perencana dan pelaksana pembangunan adalah kemauan rakyat untuk mendukung secara mutlak program-program pemerintah yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh pemerintah.
Minimnya akses masyarakat untuk mengaktualisasikan partisipasinya dalam pembuatan kebijakan berdampak pada lemahnya kontrol masyarakat terhadap proses pembuatan kebijakan. Secara tidak langsung minimnya akses menyebabkan rendahnya kapasitas masyarakat dalam hal pembuatan kebijakan karena tidak memahami secara jelas latar belakang atau dasar pemikiran suatu kebijakan.
Untuk menanggulangi hal tersebut, manajemen pemberdayaan masyarakat menjadi satu hal penting yang harus dan dilakukan secara bersama oleh beberapa pihak dalam hal ini adalah kelompok strategis masyarakat, kelompok sasaran sendiri serta dengan pemerintah dalam hal ini adalah institusi perencanaan pembangunan. Kegiatan tersebut mulai dikembangkan seiring dengan mengemukanya wacana otonomi daerah yang diperkuat dengan keluarnya Undang-Undang no 34 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Beberapa Pemerintah Daerah menanggapi keluarnya Undang-Undang Pemerintahan Daerah ini dengan cara beragam. Dalam tataran implementasi terhadap Undang-Undang tentang pemerintahan Daerah dan wacana otonomi daerah tersebut Kota X mencoba melaksanakan otonomi daerah yang diselaraskan dengan sistem perencanaan pembangunan partisipatif dengan mengeluarkan Keputusan Walikota No. 3 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Perencanaan Pembangunan Partisipatif.
Manajemen pemberdayaan masyarakat atau komunitas menjadi sangat penting dalam proses pembangunan partisipatif ini. Proses pemberdayaan masyarakat ditekankan pada pelaksanaan Perencanaan Pembangunan Partisipatif. Terkait dengan hal itu maka digulirkanlah suatu model perencanaan pembangunan partisipatif yang kemudian dikenal dengan istilah Muskelbang (Musyawarah Kelurahan Membangun), Muscambang (Musyawarah Kecamatan Membangun), dan Muskotbang (Musyawarah Kota Membangun), yang kemudian seiring perjalanan waktu dan pergantian walikota diganti istilahnya menjadi Musrenbangkel (Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kelurahan) di tingkat kelurahan, Musrenbangcam (Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kecamatan) pada tingkat kecamatan, dan Musrenbangkot (Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kota) pada tingkat kota, yang diatur dalam Peraturan Walikota X Nomor 17 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan dan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kelurahan, Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kecamatan, Forum Satuan Kerja Perangkat Daerah dan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kota. Musrenbangkel maupun Musrenbangcam mengutamakan partisipasi dan peran serta warga daerah dalam proses perencanaan dan penetapan suatu rancangan pembangunan di daerah mereka. Dengan adanya musyawarah-musyawarah yang melibatkan partisipasi aktif warga daerah tersebut diharapkan selain pembangunan yang akan dilaksanakan benar-benar merupakan aspirasi warga dan aparat daerah, selain itu masyarakat juga mendapat pendidikan politik di tingkat dasar dan lebih diberdayakan dalam artian ikut berpartisipasi aktif tidak hanya sebagai pelaksana saja.
Musyawarah penentuan arah pembangunan tersebut bisa dikatakan sangat penting bagi warga daerah terkait. Tetapi fakta di lapangan partisipasi warga daerah sangat kecil. Faktor kurangnya sosialisasi dan keacuhan dari warga adalah dua hal utama yang menyebabkan hal tersebut. Partisipasi yang kecil tersebut semakin diperparah dengan tidak seimbangnya proporsi antara warga laki-laki dan perempuan dalam mengikuti Musrenbangkel tersebut.
Selain melihat dari sisi daftar hadir peserta Musrenbangkel, kesan kesenjangan gender cukup tampak dari keterwakilan perempuan dalam susunan panitia dalam penyelenggaraan Musrenbangkel di beberapa kelurahan dalam wilayah Kecamatan Y. Laki-laki terkesan mendominasi separuh lebih jabatan atau posisi yang stategis, sedangkan perempuan seakan-akan hanya menjadi pelengkap saja.
Partisipasi dan keterwakilan perempuan yang sangat minim tersebut sangat memprihatinkan. Padahal dilihat tingkat kepentingannya, partisipasi perempuan dalam Musrenbangkel ini sangat diharapkan Partisipasi aktif kelompok perempuan mayoritas hanya diambil oleh PKK dan belum muncul kelompok lain. Kebanyakan keterlibatan perempuan di forum-forum publik seperti Musrenbangkel ini hampir semua mendapat posisi yang kurang strategis. Kalaupun menempati suatu bidang perempuan biasanya hanya mengelompok di satu bidang saja yaitu sosial budaya.
Kurang aktifnya perempuan dan partisipasi yang minim dalam Musrenbangkel di wilayah X sungguh suatu hal yang memperihatinkan. Padahal banyak hal yang bisa didapat dari keikutsertaan mereka dalam musyawarah tersebut. Apalagi bisa dikatakan perempuan, dalam hal ini ibu rumah tangga adalah sosok yang paling dekat dengan keadaan dan kondisi lingkungan yang akan menjadi sasaran dari pembangunan tersebut. Bisa dikatakan karena interaksi mereka yang lebih lama dengan daerah lingkungan sekitarnya, perempuan sangat mengerti kebutuhan dari lingkungan mereka. Ditambah lagi dilihat dari sisi gender, kehadiran dan peran aktif perempuan sangat diperlukan untuk menyampaikan aspirasi mereka sebagai perempuan yang terkadang dikesampingkan. Diharapkan pembangunan yang bersifat diskriminatif dan manfaatnya kurang dirasakan oleh perempuan menjadi hilang.
Partisipasi perempuan dalam Musrenbangkel ini bisa dijadikan salah satu cerminan fenomena yang masih melekat di dalam masyarakat Indonesia saat ini. Saat didengung-dengungkannya partisipasi perempuan atau yang lebih mengemuka saat ini yaitu istilah persamaan gender, ternyata hal tersebut masih jauh dari keadaan yang diinginkan. Perempuan Indonesia masih saja mengalami kesenjangan dalam kaitannya dengan keberadaan mereka ketika akan memasuki area-area publik. Bila dilihat dari sisi peran, akses, manfaat, maupun kontrol, perempuan tidak mendapat porsi yang sama dengan laki-laki.
Bila melihat fenomena ini secara umum kesenjangan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia tersebut bisa dikatakan diakibatkan oleh beberapa faktor yang ada dan sudah mengakar di dalam masyarakat. Faktor tersebut antara lain budaya patriarki yang masih kental di masyarakat Indonesia, budaya ini sangat mengagungkan laki-laki di atas perempuan. Selain itu pemerintah juga sedikit banyak punya andil, kebijakan-kebijakan pemerintah selama ini juga seringkali masih terkesan netral bahkan masih banyak yang buta gender, hal tersebut ikut serta menjadi faktor penyebab kesenjangan gender. Pola pendidikan dan pengajaran baik itu di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat juga masih kental sekali dengan nuansa menomorduakan perempuan ataupun melabelkan perempuan dengan stereotipe negatif saja.
Persoalan pembedaan laki-laki dan perempuan berdasarkan gender ini dalam perkembangannya banyak menjadi persoalan sosial yang serius. Karena dalam penerapannya telah melahirkan praktek-praktek ketidakadilan (gender inqualities) yang termanifestasikan dalam berbagai bentuk seperti proses pemiskinan ekonomi, sub ordinasi, anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotip dengan label negatif, kekerasan, beban kerja lebih panjang, dan lebih banyak serta sosialisasi ideologi nilai peran gender. Bentuk-bentuk manifestasi ketidak adilan itu sebenarnya saling mengkait dan tidak mungkin dipisahkan satu sama lain. (Mansour Fakih, 2004: 12-13)
Keterkaitan antara ketidakadilan gender dan partisipasi perempuan bisa dikatakan sangat erat. Persoalan pembedaan peran perempuan dalam lingkup ruang publik dan ruang domestik bisa dikatakan adalah faktor utama dalam hal ini kaitannya dengan minimnya partisipasi mereka dalam Musrenbangkel. Faktor bias gender yang disebabkan budaya patriarki yang sudah mengakar di lingkungan masyarakat kita bisa dijadikan analisis awal untuk menjawab mengapa partisipasi perempuan sangat minim khususnya dalam proses Musrenbangkel dan umumnya dengan berbagai aktifitas dalam lingkup ruang publik yang berkaitan dengan masyarakat luas.
Fenomena minimnya partisipasi perempuan dalam Musrenbangkel, dan dampak langsung dari fenomena tersebut dengan pembangunan yang akan di lakukan di daerah terkait adalah bahan yang sangat menarik untuk dikaji lebih dalam. Dengan mengambil sampel Kelurahan X secara sempit, diharapkan muncul penyebab-penyebab yang bersifat dasar mengenai minimnya partisipasi perempuan dalam proses Musrenbangkel tersebut. Kelurahan X menjadi bahan yang menarik dijadikan sampel karena pemimpin tertinggi dalam wilayah ini dalam hal ini adalah Lurah Kelurahan X adalah perempuan. Dengan dipimpin oleh perempuan apakah aspirasi perempuan bisa mengemuka dan menjadi pertimbangan utama dalam perencanaan pembangunan Kelurahan X. Oleh karena hal tersebut penulis mengangkat fenomena ini sebagai bahan penelitian, karena langsung ataupun tidak langsung dampak dari fenomena ini akan dirasakan oleh perempuan itu sendiri secara khusus dan semua warga Kelurahan X umumnya.

B. Perumusan Masalah
Melihat latar belakang diatas, maka secara umum dapat ditarik perumusan masalah yang akan diteliti yaitu:
1. Bagaimana peran dan partisipasi perempuan dibandingkan laki-laki dalam proses Musrenbangkel (Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kelurahan) di Kelurahan X ?
2. Apa yang menjadi faktor penghambat partisipasi perempuan dibandingkan laki-laki dalam Musrenbangkel (Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kelurahan) di Kelurahan X ?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan yang dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Menganalisis peran dan partisipasi aktif perempuan dibandingkan laki-laki dalam proses Musrenbangkel (Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kelurahan) di Kelurahan X.
2. Menganalisis faktor penghambat partisipasi perempuan dibandingkan laki-laki dalam proses Musrenbangkel (Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kelurahan) di Kelurahan X.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:
1. Menjadi bahan masukan agar pelaksanaan Musrenbangkel di masa yang akan datang berjalan jauh lebih baik dengan peningkatan partisipasi aktif masyarakat luas baik laki-laki maupun perempuan.
2. Menjadi salah satu alat sosialisasi untuk lebih mengenalkan proses Musrenbangkel ini pada masyarakat luas. Sehingga proses Musrenbangkel ini di masa depan bisa menjadi salah satu alat penyalur aspirasi masyarakat yang efektif dalam upaya pembangunan di daerahnya dan sebagai salah satu satu proses pembelajaran politik bagi masyarakat di tingkat bawah.
3. Mengoptimalkan pelaksanaan Inpres No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional yaitu melalui Program Musrenbangkel (Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kelurahan) yang responsif gender
SKRIPSI PENGARUH PEMEKARAN WILAYAH TERHADAP PERTUMBUHAN PDRB PERKAPITA

SKRIPSI PENGARUH PEMEKARAN WILAYAH TERHADAP PERTUMBUHAN PDRB PERKAPITA


(KODE : EKONPEMB-0017) : SKRIPSI PENGARUH PEMEKARAN WILAYAH TERHADAP PERTUMBUHAN PDRB PERKAPITA




BAB I 
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Sejak diberlakukannya UU No. 5 tahun 1974, pembangunan Indonesia dituntut untuk memperhatikan istilah desentralisasi, yang dimaksudkan untuk memberi kewenangan kepada pemerintah daerah dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat di daerah menurut prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi sesuai dengan undang-undang.
Namun masih ditemukan banyak kelemahan yang terjadi di dalam umdang-undang ini yaitu tidak secara tegas mengatur sampai seberapa jauh tingkat otonomi yang dimiliki daerah atau yang diberikan pusat ke daerah. Undang-undang ini hanya mencantumkan prinsip saja "pelaksanaan otonomi yang bersifat nyata dan bertanggung jawab." Sampai seberapa jauh nyata-nya dan batas-batas tanggung jawab seperti apa tidak ditegaskan. Hal ini mengakibatkan pembangunan tetap berjalan secara sentralistis yang tetap ditandai dengan peraturan dan kebijakan yang diterapkan oleh pusat, dan pemerintah di tingkat daerah praktis sekedar perpanjangan tangan dari pusat.
Sejalan dengan pembangunan dalam mencapai peningkatan kesejahteraan masyarakat yang adil dan merata dengan kondisi yang ada pembangunan Indonesia mengalami kesenjangan kesejahteraan itu, ditengah arus globalisasi yang membuat batas-batas Negara semakin tipis, mobilitas faktor produksi semakin tinggi, arus informasi yang tidak terbendung, menurut sistem pemerintahan yang sentralistik harus diganti mengingat daerah di Indonesia memiliki keunikan sendiri, baik dari demografi maupun potensi ekonominya. Melihat inilah maka pemerintah menetapkan UU No. 22 tahun 1999 dalam memberi acuan dasar yang cukup tegas bagi pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten untuk mengatur dan mengurus daerah sendiri.
Dalam acuan dasar tersebut setiap daerah harus membentuk suatu paket otonomi yang konsisten dengan kapasitas dan kebutuhannya.
Dalam Negara majemuk seperti Indonesia, satu ukuran belum tentu cocok untuk semua daerah. Dalam proses ini komunitas-komunitas lokal perlu dilibatkan oleh masing-masing pemerintah kabupaten/kota, termasuk DPR untuk menjamin proses desentralisasi secara lebih baik dan bertanggung jawab dimana mereka sebagai salah satu stakeholder yang memiliki kepentingan mendalam untuk mensukseskan otonomi daerah (Widjaja, 2004 : 2). 
Perjalanan desentralisasi inipun terus mengalami perkembangan diberbagai daerah dan dalam pelaksanaannya banyak ditemukan kelemahan terkhusus dari segi undang-undang yang mengaturnya sehingga dimunculkan beberapa undang-undang seperti dengan berlakunya UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan UU No 33 tahun 2004 tentang hubungan keuangan pusat-daerah. Kedua undang-undang ini semakin memberikan kemudahan dalam melihat pencapaian pengelolaan daerah dimana pemerintah daerah. Hal ini yang berekaitan erat dengan kemandirian pelaksanaan pemerintah daerah adalah kebijakan fiscal daerah, termasuk pengelolaan keuangan daerah dan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, ada tiga kriteria harus dipenuhi dalam rencana dan usul pemekaran daerah yakni syarat administratif, teknis dan kewilayahan. Secara administratif pemekaran antara lain ialah persetujuan dari DPRD, Bupati/Walikota dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri, sementara syarat teknis antara lain ialah kemampuan ekonomi, sosial, budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan dan keamanan. Sedangkan persyaratan kewilayahan antara lain adalah 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kabupaten/kota, dan minimal 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi, serta didukung oleh ketersediaan sarana dan prasarana pemerintahaan.
Berdasarkan ketentuan tersebut nyatalah bahwa tujuan pemekaran daerah adalah untuk melancarkan pembangunan yang tersebar diseluruh wilayah dan membina kestabilan politik dan kesatuan bangsa. Dengan kata lain, bertujuan untuk menjamin perkembangan dan pembangunan daerah yang dilaksanakan dengan azas dekonsentrasi. Lebih terperinci tujuan tersebut seperti dijelaskan dalam Undang-Undang No 32 tahun 2004 adalah :
1. Mempercepat laju pertumbuhan pembangunan
2. Upaya pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya.
3. Upaya untuk lebih mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat.
4. Mempertinggi daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah di daerah.
5. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dan pembangunan.
6. Terbinanya stabilitas politik dan kesatuan bangsa.
Namun seperti diketahui bahwa meskipun sudah ada otonomi daerah, pembangunan di daerah tidak hanya berasal dari program regional, tetapi berasal dari program pembangunan sektoral yang dilaksanakan oleh Departemen teknis. Artinya program pembangunan daerah tersebut merupakan kombinasi dari asas desentralisasi dan asas dekonsentrasi. Dengan cara demikian diharapkan disparitas kemajuan akibat pembangunan antar daerah dapat dikurangi. Keadaan seperti ini merupakan suatu ciri negara sedang berkembang, yaitu masih tingginya peranan pemerintah pusat dalam memperoleh dan menyalurkan dana kepada daerah (Majidi, 1991 : 4)
Dalam kenyataan pelaksanaan pembangunan sektoral di daerah sering menimbulkan masalah. Hal ini disebabkan proyek pembangunan sektoral tersebut tidak sesuai dengan keinginan(aspirasi) daerah seiring perencanaan pembanugnan sektoral lebih bersifat top-down.
Pemekaran wilayah berakibat langsung terhadap terjadinya pembatasan wilayah dengan luasan yang lebih kecil, persebaran penduduk lebih konsentrasi, keuangan (PAD), dan perencanaan pembangunan yang lebih terarah dan berkelanjutan. Hal ini merupakan konsekuensi, karena walaupun diadakan pemekaran wilayah namun potensi wilayah yang bersifat alamiah dan sarana prasarana wilayah yang sudah terbangun tidak akan dapat dibagi. Demikian juga distribusi penduduk dan aktivitasnya yang sudah tersebar dengan keadaan saat ini juga sangat sulit diubah. 
Tolak ukur keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari tingkat pertumbuhan ekonomi, struktur ekonomi, dan semakin kecilnya ketimpangan pendapatan antar daerah dan antar sektor. pertumbuhan ekonomi merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan dan hasil pertumbuhan ekonomi dapat dinikmati semua lapisan masyarakat.
Menurut pandangan ekonomi klasik (Adam Smith) pada dasarnya ada 4 faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yaitu jumlah pendudukjumlah stok barang modal, luas tanah dan kekayaan alam serta tingkat teknologi yang digunakan.
Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan atau berkembang apabila tingkat kegiatan ekonominya lebih tinggi dari pada apa yang dicapai pada masa sebelumnya. Menurut Boediono (2001) pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output perkapita dalam jangka panjang. Proses pertumbuhan ekonomi bersifat dinamis yang berarti berkembang terus-menerus.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) salah satu indikator untuk melihat pertumbuhan ekonomi di suatu daerah dan sangat dibutuhkan dalam pengambilan keputusan. PDRB merupakan keseluruhan nilai tambah yang dasar pengukurannya timbul akibat adanya aktivitas ekonomi dalam suatu daerah atau wilayah. Data PDRB menngambarkan kemampuan suatu daerah dalam mengelola sumber daya alam yang dimilikinya. PDRB perkapita merupakan hasil dari pembagian PDRB dengan jumlah penduduk, dengan kata lain pembentukan PDRB perkapita dapat dilihat dari meningkatnya nilai tambah sektor-sektor ekonomi yang ada dalam wilayah tersebut. Penelitian ini terfokus pada pemekaran wilayah kabupaten/kota.
Berdasarkan uraian di atas, penulis mencoba menganalisis sejauh mana pelaksanaan pemekaran wilayah terhadap peningkatan pertumbuhan PDRB perkapita. Untuk itu penulis mengambil judul "Pengaruh pemekaran wilayah terhadap pertumbuhan PDRB perkapita (studi kasus Kabupaten X)”.

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah yang dapat diambil sebagai berikut :
1. Apakah pemekaran kabupaten akan menyebabkan perubahan aktivitas basis ekonomi Kabupaten X ?
2. Bagaimana pengaruh pemekaran wilayah terhadap pertumbuhan(peningkatan) PDRB perkapita di Kabupaten X ?
3. Apakah ada perbedaan PDRB perkapita sebelum dan sesudah pemekaran wilayah ?

1.3. Hipotesis
Dari perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka penulis membuat hipotesis sebagai berikut :
1. Terdapat perubahan aktivitas basis ekonomi sebelum dan sesudah pemekaran wilayah.
2. Dengan adanya pemekaran wilayah pertumbuhan PBRD perkapita di Kabupaten X mengalami peningkatan.
3. Dengan adanya pemekaran wilayah, terdapat perbedaan PDRB perkapita sebelum dan sesudah pemekaran.

1.4. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui perubahan aktivitas basis ekonomi di kabupaten X.
2. Untuk mengetahui pengaruh pemekaran wilayah terhadap pertumbuhan (peningkatan) PDRB perkapita di Kabupaten X.
3. Untuk melihat perbedaan PDRB perkapita sebelum dan sesudah Pemekaran wilayah.
Adapun manfaat penelitian ini adalah :
1. Sebagai bahan masukan atau kajian untuk melakukan penelitian selanjutnya atau sebagai bahan perbandingan bagi pengambilan keputusan oleh pihak yang berwenang.
2. Sebagai bahan studi dan tambahan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa, terutama bagi mahasiswa departemen Ekonomi Pembangunan yang ingin melakukan penelitian selanjutnya.
3. Untuk memperkaya wawasan ilmiah dan non ilmiah penulis dalam displin ilmu yang penulis tekuni serta mengaplikasikannya secara konseptual dan tekstual dan masukan bagi penelitian lain.

SKRIPSI ANALISIS PERIMBANGAN KEUANGAN PUSAT DAERAH DALAM KONSEP DESENTRALISASI FISKAL SEBELUM DAN SELAMA OTONOMI DAERAH

SKRIPSI ANALISIS PERIMBANGAN KEUANGAN PUSAT DAERAH DALAM KONSEP DESENTRALISASI FISKAL SEBELUM DAN SELAMA OTONOMI DAERAH


(KODE : EKONPEMB-0016) : SKRIPSI ANALISIS PERIMBANGAN KEUANGAN PUSAT DAERAH DALAM KONSEP DESENTRALISASI FISKAL SEBELUM DAN SELAMA OTONOMI DAERAH




BAB I 
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perwujudan dari asas desentralisasi adalah berlakunya otonomi daerah.
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah pusat. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab, diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri yang didukung oleh perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, serta antara provinsi dan kabupaten/kota yang merupakan prasyarat dalam sistem pemerintah daerah (Bratakusumah dan Solihin, 2001 : 169).
Fenomena yang muncul pada pelaksanaan otonomi daerah dari hubungan antara sistem pemerintah daerah dengan pembangunan adalah ketergantungan pemerintah daerah yang tinggi terhadap pemerintah pusat. Ketergantungan ini terlihat jelas dari aspek keuangan, dimana pemerintah daerah kehilangan keleluasaan bertindak untuk mengambil keputusan-keputusan yang penting, dan adanya campurtangan pemerintah pusat yang tinggi terhadap pemerintah daerah. Pembangunan daerah terutama fisik memang cukup pesat, tetapi tingkat ketergantungan fiskal daerah terhadap pusat sebagai akibat dari pembangunan juga semakin besar. Ketergantungan terlihat dari relatif rendahnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan dominannya transfer dari pusat. Ironisnya, kendati pelaksanaan otonomi menitikberatkan pada kabupaten/kota sebagai ujung tombak, namun justru kabupaten/kota-lah yang mengalami tingkat ketergantungan yang lebih tinggi dibanding propinsi (Kuncoro, 2004 : 18).
Di Seminar Nasionalnya, Machfud Sidik Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Departemen Keuangan RI berpendapat bahwa desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, khususnya dalam rangka memberikan pelayanan umum yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Desentralisasi dapat diwujudkan dengan pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan dibawahnya untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat. Desentralisasi tidaklah mudah untuk didefinisikan, karena menyangkut berbagai bentuk dan dimensi yang beragam, terutama menyangkut aspek fiskal, politik, perubahan administrasi dan sistem pemerintahan dan pembangunan sosial dan ekonomi. Secara umum, desentralisasi mencakup aspek-aspek politik (political decentralization), administratif (administrative decentralization), fiskal (fiscal decentralization) dan ekonomi (economic or market decentralization).
Desentralisasi administratif merupakan pelimpahan wewenang untuk mendistribusikan kewenangan, tanggung jawab, dan sumber-sumber keuangan dalam penyediaan pelayanan umum. Pelimpahan tanggung jawab tersebut terutama menyangkut perencanaan, pendanaan, dan manajemen fungsi-fungsi pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada aparatnya di Daerah, tingkat pemerintahan yang lebih rendah, badan otoritas tertentu, atau perusahaan tertentu.
Desentralisasi administratif pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi 3 bentuk, yaitu :
1. Dekonsentrasi (deconcentration), yaitu pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada pejabat di daerah yang berada dalam garis hierarkinya.
2. Devolusi (devolution), yaitu pelimpahan wewenang kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah dalam bidang keuangan atau tugas pemerintahan dan pihak Pemerintah Daerah mendapat discretion yang tidak dikontrol oleh Pemerintah Pusat. Dalam hal tertentu dimana Pemerintah Daerah belum sepenuhnya mampu melaksanakan tugasnya, Pemerintah Pusat akan memberikan supervisi secara tidak langsung atas pelaksanaan tugas tersebut. Pemerintah Daerah memiliki wilayah administratif yang jelas dan legal dan diberikan kewenangan sepenuhnya untuk melaksanakan fungsi publik, menggali sumber-sumber penerimaan serta mengatur penggunaannya. Dekonsentrasi dan devolusi dilihat dari sudut konsepsi pemikiran hierarki organisasi dikenal sebagai distributed institutional monopoly of administrative decentralization.
3. Pendelegasian (delegation or institutional pluralism) yaitu pelimpahan wewenang untuk tugas tertentu kepada organisasi yang berada di luar struktur birokrasi reguler yang dikontrol secara tidak langsung oleh Pemerintah Pusat.
Pendelegasian wewenang ini biasanya diatur dengan ketentuan perundang-undangan. Pihak yang menerima wewenang mempunyai keleluasaan (discretion) dalam penyelenggaraan pendelegasian tersebut, walaupun wewenang terakhir tetap pada pihak pemberi wewenang (sovereign-authority).
Desentralisasi fiskal merupakan komponen utama dari desentralisasi. Apabila Pemerintah Daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan mendapat kebebasan dalam pengambilan keputusan pengeluaran di sektor publik, maka mereka harus mendapat dukungan sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak, Pinjaman, maupun Subsidi/Bantuan dari Pemerintah Pusat. Pelaksanaan desentralisasi fiskal akan berjalan dengan baik kalau didukung faktor-faktor (Sidiq, 2002 : 4), yaitu :
1. Pemerintah Pusat yang mampu melakukan pengawasan dan enforcement. 2. SDM yang kuat pada Pemerintah Daerah guna menggantikan peran Pemerintah Pusat.
3. Keseimbangan dan kejelasan dalam pembagian tanggung jawab dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi daerah.
Desentralisasi fiskal implikasi langsung dari kewenangan/fungsi yang diserahkan kepada daerah adalah kebutuhan dana yang cukup besar. Untuk itu, perlu diatur perimbangan keuangan (hubungan keuangan) antara pusat dan daerah yang dimaksudkan untuk membiayai tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Kebijaksanaan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dilakukan dengan mengikuti pembagian kewenangan atau money follows function. Hal ini berarti bahwa hubungan keuangan antara pusat dan daerah perlu diberikan pengaturan sedemikian rupa, sehingga kebutuhan pengeluaran yang akan menjadi tanggung jawab daerah, dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan yang ada.
Penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat yang berdasarkan azas desentralisasi, Kepala Daerah diberikan kewenangan untuk memungut pajak/retribusi (tax assignment) dan pemberian bagi hasil penerimaan (revenue sharing) serta bantuan keuangan (grant) atau dikenal sebagai dana perimbangan sebagai sumber dana bagi APBD. Secara umum, sumber dana bagi daerah terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan (dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus) dan pinjaman daerah, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Tiga sumber pertama langsung dikelola oleh Pemerintah Daerah melalui APBD, sedangkan yang lainnya dikelola oleh Pemerintah Pusat melalui kerjasama dengan Pemerintah Daerah. Setidaknya ada empat penyebab utama tingginya ketergantungan terhadap transfer dari pusat (Kuncoro, 2004 : 13), yaitu :
1. Kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah.
2. Tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan.
3. Kendati pajak daerah cukup beragam, ternyata hanya hanya sedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber penerimaan.
4. Ada yang khawatir bila daerah mempunyai sumber keuangan yang tinggi akan mendorong terjadinya disintegrasi dan separatisme.
Oleh karena itu, alternatif solusi yang ditawarkan adalah (Kuncoro, 2004 : 15) :
1. Meningkatkan peran BUMD.
2. Meningkatkan penerimaan daerah.
3. Meningkatkan pinj aman daerah.
Pembangunan daerah adalah suatu proses yang berdimensi banyak yang melibatkan perubahan besar dalam struktur sosial, sikap masyarakat dan kelembagaan daerah, semisal percepatan pertumbuhan ekonomi daerah dan faktor penentu lainnya. Tujuan pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dengan cara memperluas kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, peningkatan hubungan antar daerah serta terus diupayakan adanya proses pergeseran struktur kegiatan ekonomi. Secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan pembangunan daerah adalah : (i) mendorong mengupayakan pekerjaan yang berkualitas tinggi bagi penduduk dengan mengupayakan peningkatan sumber daya yang berkualitas, sehingga mampu berperan dalam aktivitas yang lebih produktif (ii) menciptakan stabilitas ekonomi dengan cara menyiapkan sarana prasarana yang dibutuhkan bagi pengembangan aktivitas ekonomi daerah (Mulyanto, 2004).  
Masalah pokok dalam pembangunan daerah sering terletak pada penekanan kebijakan-kebij akan yang didasarkan pada kekhasan yang dimiliki oleh suatu daerah. Berdasarkan asas ekonomi daerah, hal-hal yang berhubungan dengan kebij aksanaan, perencanaan, pengawasan maupun pembiayaan kegiatan pemerintah daerah menjadi wewenang dan tugas pemerintah daerah. Melihat keadaan tersebut, maka untuk mencapai tujuan dari suatu pembangunan daerah yaitu meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja untuk masyarakat daerah, pemerintah dan masyarakat harus secara bersama-sama mengambil inisiatif untuk berperan dalam pembangunan daerah.
Selain mengerahkan segala potensi yang ada untuk lebih mendorong pembangunan dalam rangka pengembangan wilayah dan masyarakat, pembangunan ekonomi regional juga sudah mulai ditekankan pada kerjasama dan sinergisitas antar sektor dan antar daerah. Pembangunan ekonomi regional yang diiringi dengan pengembangan kerjasama antar wilayah menjadi alternatif bagi suatu daerah yang pembangunannya sudah pesat. Selain itu, kerjasama juga diharapkan dapat membantu percepatan pembangunan bagi daerah yang proses pembangunannya tergolong lambat dibandingkan dengan daerah di sekitar yang lebih pesat. Daerah yang pertumbuhannya lebih tinggi akan memberikan peluang atau membantu daerah tetangga untuk mengejar ketertinggalan misalnya dengan kerjasama pengembangan jaringan investasi.
Dimulainya beberapa kerjasama antar beberapa pemerintah daerah dalam lingkup regional atau yang disebut dengan Regional Management ini tidak lain bertujuan untuk secara bersama mengoptimalkan pemanfaatan berbagai sumber daya secara khusus dalam bidang ekonomi, kemudian juga bidang investasi sehingga akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang signifikan dan merata antar daerah dan juga dapat menciptakan daya saing antar daerah (Efiawan dalam Adi Tri, 2009). Untuk daerah Jawa Tengah ada kerjasama antar daerah dengan dasar kerjasama ekonomi regional yaitu Kawasan X yang merupakan Kawasan Strategis Pertumbuhan di wilayah Provinsi Jawa Tengah dan merupakan Wilayah Pembangunan II di Provinsi Jawa Tengah (Mulyanto, 2002). Kawasan ini pusat pertumbuhannya adalah Kota X karena pembangunan ekonominya cukup bagus dibandingkan dengan daerah tetangga, terlihat dari iklim investasi yang kondusif dan berkembang ditandai dengan pesatnya pertumbuhan sentra-sentra ekonomi baik itu yang tradisional maupun modern.
Dari paparan diatas tampak jelas bahwa faktor kemampuan mengelola keuangan daerah merupakan faktor yang sangat menentukan bagi keberhasilan pemerintah daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah. Maka diharapkan kemampuan mengelola keuangan daerah yang lebih baik dapat mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan Otonomi Daerah.
PDRB atas dasar harga berlaku daerah kabupaten/kota di X menunjukkan harga yang berlaku pada tahun tersebut yang digunakan untuk menilai barang dan jasa pada tahun tersebut. Dalam hal ini nilai barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksi di dalam suatu daerah dalam satu tahun tertentu. Dalam kurun waktu lima tahun menunjukkan penerimaan daerah di setiap Kabupaten/Kota di X selalu meningkat, ini berarti menunjukkan adanya pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut.
Dalam masalah keuangan daerah, perimbangan pembiayaan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan pendapatan yang secara leluasa digali sendiri untuk mencukupi kebutuhan sendiri masih mempunyai kelemahan sehingga keterbatasan dalam potensi penerimaan daerah tersebut bisa menjadikan ketergantungan terhadap transfer pusat. Pemerintah Daerah selama ini memiliki keterbatasan pembiayaan dari potensi sendiri (PAD). Selama ini komponen pembiayaan terbesar berasal dari dana transfer dari pusat yaitu Dana Alokasi Umum dan hanya sebagian kecil dari PAD, potensi pembiayaan lain yang belum dikelola yaitu dari pinjaman daerah (Santoso, 2003 : 148).
Penelitian ini, peneliti akan mencoba menganalisis tentang bagaimana perimbangan keuangan pusat-daerah di Kabupaten dan kota di X, dimana diketahui sumber-sumber keuangan daerah yang berbeda-beda, pertumbuhan ekonomi, keadaan penduduk, keadaan geografi, PDRB perkapita yang berbeda-beda pula sehingga Pemerintah Daerah dalam menjalankan konsep desentralisasi juga berbeda, dalam alokasi keuangannya. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka dipilih judul Analisis Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah dalam Konsep Desentralisasi Fiskal di X Sebelum dan Selama Otonomi Daerah.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tentang latar belakang masalah diatas, dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi perkembangan Keuangan Daerah Kabupaten/Kota di X sebelum dan selama Otonomi tahun Daerah 1997-2008 ditinjau dari Derajad Desentralisasi Fiskal, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal, UpayaFiskal, Derajad Otonomi Fiskal ?
2. Bagaimana tingkat kemandirian keuangan daerah Kabupaten/kota di X terhadap penyelenggaraan otonomi daerah jika diukur dengan menggunakan Rasio kemandirian daerah dan pola hubungan dan tingkat kemandirian keuangan daerah ?
3. Bagaimana perbandingan pada masing-masing Kabupaten/kota di X dalam kesiapannya menghadapi otonomi daerah dari sisi kemampuan keuangan daerah ?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah Kabupaten/Kota di X sebelum dan selama otonomi daerah pada tahun 1997-2008 ditinjau dari Derajat Desentralisasi Fiskal, Kebutuhan Fiskal, Kapasitas Fiskal, Upaya Fiskal, Derajat Otonomi Fiskal.
2. Untuk mengetahui tingkat kemandirian keuangan daerah Kabupaten/kota di X terhadap penyelenggaraan otonomi daerah jika diukur dengan menggunakan Rasio kemandirian daerah dan pola hubungan dan tingkat kemandirian keuangan daerah.
3. Untuk mengetahui perbandingan pada masing-masing Kabupaten/kota di X dalam kesiapannya menghadapi otonomi daerah dari sisi kemampuan keuangan daerah, sehingga diketahui Kabupaten/kota tersebut apakah tergantung pada transfer pusat atau tidak.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat, yaitu :
1. Dapat mengetahui hubungan keuangan pusat-daerah dalam konsep desentralisasi fiskal di X, sehingga dapat menjadi tambahan pembelajaran bagi pembaca dalam membandingkan antara Kabupaten/ Kota di kawasan X, bagaimana kemandirian setiap kabupaten tersebut dan dapat mengetahui seberapa besar ketergantungan pemerintah daerah setiap Kabupaten.
2. Bagi peneliti menambah pengetahuan yang selama ini di dapat di bangku kuliah yang kemudian dikembangkan dalam bentuk penelitian.
3. Sebagai masukan bagi pembuat kebijakan pemerintah daerah setempat, dan lembaga-lembaga terkait dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.
SKRIPSI ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN

SKRIPSI ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN


(KODE : EKONPEMB-0015) : SKRIPSI ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN




BAB I 
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah
Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah meningkatkan kinerja perekonomian agar mampu menciptakan lapangan kerja dan menata kehidupan yang layak bagi seluruh rakyat yang pada gilirannya akan mewujudkan kesejahteraan penduduk Indonesia. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah menurunkan tingkat kemiskinan. Kemiskinan merupakan salah satu penyakit dalam ekonomi, sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Permasalahan kemiskinan memang merupakan permasalahan yang kompleks dan bersifat multidimensional. Oleh karena itu, upaya pengentasan kemiskinan harus dilakukan secara komprehensif, mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat, dan dilaksanakan secara terpadu (M. Nasir, dkk 2008).
Istilah kemiskinan muncul ketika seseorang atau sekelompok orang tidak mampu mencukupi tingkat kemakmuran ekonomi yang dianggap sebagai kebutuhan minimal dari standar hidup tertentu. Dalam arti proper, kemiskinan dipahami sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup. Dalam arti luas, Chambers (dalam Chriswardani Suryawati, 2005) mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu intergrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu : 1) kemiskinan (proper), 2) ketidakberdayaan (powerless), 3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency), 4) ketergantungan (dependence), dan 5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis. Menurut BPS (2007), seseorang masuk dalam kriteria miskin jika pendapatannya berada dibawah garis kemiskinan.
Usaha pemerintah dalam penanggulangan masalah kemiskinan sangatlah serius, bahkan merupakan salah satu program prioritas, termasuk bagi pemerintah provinsi Jawa Tengah. Upaya penanggulangan kemiskinan di Jawa Tengah dilaksanakan melalui lima pilar yang disebut "Grand Strategy". Pertama, perluasan kesempatan kerja, ditujukan untuk menciptakan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik, dan sosial yang memungkinkan masyarakat miskin dapat memperoleh kesempatan dalam pemenuhan hak-hak dasar dan peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan. Kedua, pemberdayaan masyarakat, dilakukan untuk mempercepat kelembagaan sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat dan memperluas partisipasi masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan kebijakan publik yang menjamin kehormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar. Ketiga, peningkatan kapasitas, dilakukan untuk pengembangan kemampuan dasar dan kemampuan berusaha masyarakat miskin agar dapat memanfaatkan perkembangan lingkungan. Keempat, perlindungan sosial, dilakukan untuk memberikan perlindungan dan rasa aman bagi kelomnpok rentan dan masyarakat miskin baik laki-laki maupun perempuan yang disebabkan antara lain oleh bencana alam, dampak negatif krisis ekonomi, dan konflik sosial. Kelima, kemitraan regional, dilakukan untuk pengembangan dan menata ulang hubungan dan kerjasama lokal, regional, nasional, dan internasional guna mendukung pelaksanaan ke empat strategi diatas (Bappeda Jateng, 2007).
Hasil dari upaya penanggulangan kemiskinan di Jawa Tengah memperlihatkan pengaruh yang positif. Hal ini terlihat dari tingkat kemiskinan yang mengalami pola yang menurun. Kecenderungan penurunan tingkat kemiskin di Jawa Tengah dari tahun ke tahun. Pada tahun 2003 tingkat kemiskinan sebesar 21,78 persen dan turun menjadi 20,49 persen di tahun 2005, tetapi di tahun 2006 meningkat menjadi 22,19 persen, kemudian turun menjadi 20,43 persen di tahun 2007 dan 19,23 persen di yahun 2008.
Tingkat kemiskinan di Jawa Tengah merupakan tingkat kemiskinan agregat dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah. Tingkat kemiskinan di 35 kabupaten di Jawa Tengah masih tidak merata, dan sebagian besar tingkat kemiskinannya masih tinggi. Ada empat kota yang memiliki tingkat kemiskinan dibawah 10 persen, yaitu Kota Semarang, Kota Pekalongan, Kota Tegal, Kota Salatiga, sedangkan yang lainya diatas 10 persen. Ini mengindikasikan usaha pemerintah dalam menurunkan tingkat kemiskinan belum merata ke seluruh kabupaten/kota. Untuk itu perlu dicari faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kemiskinan di seluruh kabupaten/kota, sehingga dapat digunakan sebagai acuan bagi tiap kabupaten/kota dalam usaha mengatasi kemiskinan.
Proses pembangunan memerlukan pendapatan nasional yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang cepat. Di banyak negara syarat utama bagi terciptanya penurunan kemiskinan yang tetap adalah pertumbuhan ekonomi. pertumbuhan ekonomi memang tidak cukup untuk mengentaskan kemiskinan tetapi biasanya pertumbuhan ekonomi merupakan sesuatu yang dibutuhkan, walaupun begitu pertumbuhan ekonomi yang bagus pun menjadi tidak akan berarti bagi penurunan masyarakat miskin jika tidak diiringi dengan pemerataan pendapatan (Wongdesmiwati, 2009). 
Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator untuk melihat keberhasilan pembangunan dan merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi pengurangan tingkat kemiskinan. Adapun syarat kecukupannya ialah bahwa pertumbuhan ekonomi tersebut efektif dalam mengurangi tingkat kemiskinan. Artinya, pertumbuhan tersebut hendaklah menyebar disetiap golongan pendapatan, termasuk di golongan penduduk miskin. Secara langsung, hal ini berarti pertumbuhan itu perlu dipastikan terjadi di sektor-sektor dimana penduduk miskin bekerja yaitu sektor pertanian atau sektor yang padat karja. Adapun secara tidak langsung, diperlukan pemerintah yang yang cukup efektif mendistribusikan manfaat pertumbuhan yang mungkin didapatkan dari sektor modern seperti jasa yang padat modal (Hermanto Siregar dan Dwi Wahyuniarti, 2008).
Penelitian yang dilakukan Wongdesmiwati menemukan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kemiskinan. Untuk menurunkan tingkat kemiskinan maka pertumbuhan ekonomi harus ditingkatkan.
Kebijakan upah minimum juga berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan. Gagasan upah minimum yang sudah dimulai dan dikembangkan sejak awal tahun 1970-an bertujuan untuk mengusahakan agar dalam jangka panjang besarnya upah minimum paling sedikit dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum (KHM), sehingga diharapkan dapat menjamin tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan hidup beserta keluarga dan sekaligus dapat mendorong peningkatan produktivitas kerja dan kesejahteraan buruh (Sonny Sumarsono, 2003).
Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : Per-01/Men/1999, Upah minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap. Yang dimaksud dengan tunjangan tetap adalah suatu jumlah imbalan yang diterima pekerja secara tetap dan teratur pembayarannya, yang tidak dikaitkan dengan kehadiran ataupun pencapaian prestasi tertentu. Kebijakan penetapan upah minimum oleh pemerintah adalah kebijakan yang diterapkan dengan tujuan sebagai jaring pengaman terhadap pekerja atau buruh agar tidak diekspolitasi dalam bekerja dan mendapat upah yang dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum (KHM). Jika kebutuhan hidaup minimum dapat terpenuhi, maka kesejahteraan pekerja meningkatkan dan terbebas dari masalah kemiskinan.
Peraturan Menteri Nomor 17, tahun 2005 (Per-17/Men/VIII/2005), KHL merupakan standar kebutuhan yang harus dipenuhi seorang pekerja atau buruh lajang untuk dapat hidup layak, baik fisik, non fisik, dan sosial selama satu bulan. Seorang pekerja dianggap hidup layak jika upahnya mampu memenuhi kebutuhan 3000 kalori per hari. Oleh karena itu, KHL menjadi salah satu pertimbangan dalam penetapan upah minimum. Ada 7 komponen KHL yang selalu dihitung, yaitu makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi, serta rekreasi dan tabungan.
Faktor lain yang berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan adalah pendidikan. Teori pertumbuhan baru menekankan pentingnya peranan pemerintah terutama dalam meningkatkan pembangunan modal manusia (human capital) dan mendorong penelitian dan pengembangan untuk meningkatkan produktivitas manusia. Kenyataannya dapat dilihat dengan melakukan investasi pendidikan akan mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang diperlihatkan dengan meningkatnya pengetahuan dan keterampilan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka pengetahuan dan keahlian juga akan meningkat sehingga akan mendorong peningkatan produktivitas kerjanya. Perusahaan akan memperoleh hasil yang lebih banyak dengan memperkerjakan tenaga kerja dengan produktivitas yang tinggi, sehingga perusahaan juga akan bersedia memberikan gaji yang lebih tinggi bagi yang bersangkutan. Di sektor informal seperti pertanian, peningkatan ketrampilan dan keahlian tenaga kerja akan mampu meningkatkan hasil pertanian, karena tenaga kerja yang terampil mampu bekerja lebih efisien. Pada akhirnya seseorang yang memiliki produktivitas yang tinggi akan memperoleh kesejahteraan yang lebih baik, yang diperlihatkan melalui peningkatan pendapatan maupun konsumsinya. Rendahnya produktivitas kaum miskin dapat disebabkan oleh rendahnya akses mereka untuk memperoleh pendidikan (Rasidin K. Sitepu dan Bonar M. Sinaga, 2004).
Undang-Undang Dasar RI 1945 Pasal 31 ayat 2 menyebutkan bahwa setiap warga Negara wajib mengikuti pendidkan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Pasal 34 ayat 2 menyebutkan bahwa pemerintah pusat dan daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, sedangkan dalam ayat 3 menyebutkan bahwa wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat. Konsekuensinya, pemerintah pusat dan daerah wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruh peserta didik pada tingkat pendidikan dasar (SD dan SMP) serta satuan pendidikan lain yang sederajat, agar mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Keterkaitan kemiskinan dan pendidikan sangat besar karena pendidikan memberikan kemampuan untuk berkembang lewat penguasaan ilmu dan keterampilan. Pendidikan juga menanamkan kesadaran akan pentingnya martabat manusia. Mendidik dan memberikan pengetahuan berarti menggapai masa depan. Hal tersebut harusnya menjadi semangat untuk terus melakukan upaya mencerdaskan bangsa (Criswardani Suryawati, 2005).
Penelitian yang dilakukan oleh Hermanto Siregar dan Dwi Wahyuniarti menemukan bahwa pendidikan berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan sangat penting dalam menuninkan tingkat kemiskinan.
Pembangunan bidang pendidikan di Jawa Tengah selama ini telah dilakukan melalui upaya pengembangan dan relevansi pendidikan sesuai dengan tujuan perkembangan iptek dan kebutuhan pasar kerja, dengan memperhatikan sistem pendidikan nasional yang berjalan dan juga sasaran komitmen-komitmen Internasional di bidang pendidikan. Akses masyarakat terhadap fasilitas-fasilitas pendidikan dapat dilihat dari angka partisipasi kasar (APK) SD/MI 107, 17 % menjadi 109, 12 %, SMP/MTS meningkat dari 71, 55 % menjadi 77, 68 % dan proporsi penduduk buta huruf dari 13, 27 % menjadi 10, 46 % masing-masing pada tahun 2003 dan tahun 2007 (Bappeda Jateng, 2008).
Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan adalah pengangguran. Salah satu unsur yang menentukan kemakmuran suatu masyarakat adalah tingkat pendapatan. Pendapatan masyarakat mencapai maksimum apabila kondisi tingkat penggunaan tenaga kerja penuh (full employment) dapat terwujud. Pengangguran akan menimbulkan efek mengurangi pendapatan masyarakat, dan itu akan mengurangi tingkat kemakmuran yang telah tercapai. Semakin turunya tingkat kemakmuran akan menimbulkan masalah lain yaitu kemiskinan (Sadono Sukirno, 2003). 
Tingkat pengangguran di Jawa Tengah tergolong masih tinggi, dimana masih dalam kisaran diatas 5 persen. Tingkat pengangguran di Jawa Tengah tidak stabil, mengalami beberapa kali fase naik turun. Pada tahun 2003, tingkat pengangguran sebesar 5,66 persen, kemudian naik menjadi 6,54 persen di tahun 2004. Peningkatan tingkat penggangguran terjadi secara beruntun dari tahun 2006 dan tahun 2007, dari 5,88 di tahun 2005 menjadi 7,29 di tahun 2006 dan 7,7 di tahun 2007.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, di Provinsi Jawa Tengah dalam peri ode 2003-2007 terjadi fenomena penurunan tingkat kemiskinan, tetapi rata-rata tingkat kemiskinannya dibanding provinsi-provinsi lain di pulau Jawa adalah yang paling tinggi. Belum meratanya hasil usaha pemerintah dalam mengatasi masalah kemiskinan ke seluruh kabupaten/kota menjadi penyebabnya, padahal dampak kemiskinan sangat buruk terhadap perekonomian. Untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kemiskinan di seluruh kabupaten/kota, sehingga dapat digunakan sebagai dasar kebijakan bagi tiap kabupaten/kota dalam usaha mengatasi kemiskinan.

1.2 Rumusan Masalah
Tingkat kemiskinan di Jawa Tengah tahun 2003 hingga tahun 2008 mengalami periode yang relatif baik karena mengalami trend yang menurun dari 21,78 persen di tahun 2003 menjadi 19,23 persen di tahun 2008, meskipun sempat mengalami kenaikan di tahun 2006 menjadi 22,16. Rata-rata tingkat kemiskinan Jawa Tengah masih yang paling tinggi dibanding dengan provinsi lain di pulau Jawa. Penyebabnya adalah belum meratanya hasil dari usaha pemerintah dalam mengatasi masalah kemiskinan keseluruh kabupaten/kota. Untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang dapat berpenganih terhadap tingkat kemiskinan di seluruh kabupaten/kota agar dapat diketahui faktor-faktor yang perlu dipacu untuk mengatasi masalah kemiskinan.
Faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan adalah pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan disertai pemerataan hasil pertumbuhan keseluruh sektor usaha sangat dibutuhkan dalam upaya menurunkan tingkat kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi Maka untuk mempercepat penurunkan tingkat kemiskinan, pertumbuhan ekonomi harus ditingkatkan.
Faktor lain yang mempengaruhi tingkat kemiskinan adalah upah minimum. Upah minimum ditetapkan berdasarkan kebutuhan hidup layak yang dibutuhkan pekerja dengan harapan dapat mendorong peningkatan kesejahteraan pekerja sehingga tingkat kemiskinan akan berkurang.
Selain itu, pendidikan dan pengangguran juga berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan. Keterkaitan kemiskinan dan pendidikan sangat besar karena pendidikan memberikan kemampuan untuk berkembang lewat penguasaan ilmu dan keterampilan yang pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas kerja dan memperbesar peluang kesempatan memperoleh pekerjaan yang lebih layak dan memperoleh kemakmuran. Pendapatan masyarakat maksimum tercapai saat perekonomian mencapai kesempatan kerja penuh. Semakin meningkatnya tingkat pengangguran akan semakin mengurangi pendapatan masyarakat yang berakibat naiknya tingkat kemiskinan.
Atas dasar permasalahan diatas maka persoalan penelitian yang ingin dipecahkan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan ?
2. Bagaimana pengaruh upah minimum terhadap tingkat kemiskinan ?
3. Bagaimana pengaruh pendidikan terhadap tingkat kemiskinan ?
4. Bagaimana pengaruh tingkat pengangguran terhadap tingkat kemiskinan ?
5. Bagaimana perbedaan kondisi tingkat kemiskinan di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah ?

1.3 Tujuan dan Kegunaan Tujuan Penelitian 
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas maka tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi, upah minimum, pendidikan, dan pengangguran terhadap tingkat kemiskinan.
2. Menganalisis perbedaan kondisi tingkat kemiskinan di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah.
Kegunaan penelitian :
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada :
1. Pengambil Kebijakan
Bagi pengambil kebijakan, penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi yang berguna di dalam memahami faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan sehingga dapat diketahui faktor-faktor yang perlu dipacu untuk mengatasi masalah kemiskinan.
2. Ilmu Pengetahuan
Secara umum hasil penelitian ini diharapkan menambah khasanah ilmu ekonomi khususnya ekonomi pembangunan. Manfaat khusus bagi ilmu pengetahuan yakni dapat melengkapi kajian mengenai tingkat kemiskinan dengan mengungkap secara empiris faktor-faktor yang mempengaruhinya.

1.4 Sistematika Penulisan 
Bab I Pendahuluan
Merupakan pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang masalah yang terdiri dari tingkat kemiskinan di Indonesia serta fenomena tingkat kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Pustaka
Menyajikan landasan teori tentang, teori kemiskinan, pengertian pertumbuhan ekonomi, hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan, teori upah minimum, hubungan antara upah minimum dan tingkat kemiskinan, teori pendidikan, hubungan antara pendidikan dan tingkat kemiskinan, teori penganguran, hubungan antara penganguran dan tingkat kemiskinan. Disamping itu pada bab ini juga terdapat penelitian terdahulu, kerangka pemikiran dan hipotesis yang dapat diambil.
Bab III Metode Penelitian
Pada bab ini dipaparkan tentang metode penelitian yang meliputi variabel penelitian dan definisi operasional, jenis dan sumber data, dan metode analisis.
Bab IV Hasil dan Pembahasan
Pada bab ini dipaparkan tentang deskripsi obyek penelitian, yaitu kondisi tingkat kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, upah minimum, pendidikan, dan pengangguran di Jawa Tengah, analisis data dan pembahasan.
Bab V Penutup
Pada bab ini disampaikan kesimpulan dan saran yang dapat diambil dari penelitian yang dilakukan.
TESIS PENGARUH MODEL QUANTUM LEARNING TERHADAP PENCAPAIAN KOMPETENSI BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKN) DENGAN MEMPERHATIKAN MINAT BELAJAR

TESIS PENGARUH MODEL QUANTUM LEARNING TERHADAP PENCAPAIAN KOMPETENSI BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKN) DENGAN MEMPERHATIKAN MINAT BELAJAR


(KODE : PASCSARJ-0150) : TESIS PENGARUH MODEL QUANTUM LEARNING TERHADAP PENCAPAIAN KOMPETENSI BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKN) DENGAN MEMPERHATIKAN MINAT BELAJAR (PROGRAM STUDI : TEKNOLOGI PENDIDIKAN)




BAB I
PENDAHULUAN 


A. Latar Belakang
Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya. Sumber daya manusia yang berkualitas akan bisa mengatasi keterbatasan yang ada dengan pemikiran dan inovasi yang dikembangkannya. Lebih-lebih di era globalisasi dewasa ini yang serba maju dibidang teknologi dan informasi, membutuhkan keberadaan sumber daya manusia yang memiliki kualitas yang baik, sehingga mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan Sumber Daya Manusia (SDM) memegang peranan yang sangat penting dan strategis guna menghadapi tantangan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju dan canggih. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut telah membawa kita dalam era dengan masyarakat yang tidak dapat berkembang tanpa ilmu pengetahuan, karena setiap upaya peningkatan kesejahteraan hidup memerlukan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tuntutan globalisasi secara bersama-sama telah mengakibatkan persaingan yang semakin ketat tentang perlunya penyediaan SDM yang berkualitas, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kualitas SDM tidak bisa terlepas dari dunia pendidikan, dan pendidikan dapat dikatakan sebagai usaha sadar memanusiakan manusia atau membudayakan manusia. Pendidikan adalah proses sosialisasi menuju kedewasaan intelektual, sosial, moral, sesuai dengan kemampuan dan martabatnya sebagai manusia. Bahkan pendidikan diyakini sebagai kunci keberhasilan kompetisi masa depan.
UU RI No 20 Tahun 2003 pasal 1 menjelaskan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Lebih lanjut dalam pasal 3 diamanatkan mengenai fungsi dan tujuan pendidikan, bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Depdiknas, 2003 : 6-11).
Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan khususnya pendidikan dasar dan menengah (Depdiknas, 2001 : 1). Disamping permasalahan tersebut, permasalahan klasik di dunia pendidikan yang sampai saat ini belum ada langkah-langkah strategis dari pemerintah untuk mengatasinya antara lain adalah kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan, rendahnya tingkat relevansi pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja. Sebagian besar masyarakat merasa hanya memperoleh kesempatan pendidikan masih terbatas di tingkat sekolah dasar. Program pendidikan dasar masih belum merata di wilayah Indonesia, kurikulum pendidikan yang belum menyentuh pada kebutuhan dunia kerja, sarana prasarana pendidikan banyak yang kurang memadai bahkan sudah ketinggalan jaman, kualitas guru yang rendah, Dengan kondisi yang seperti ini maka harapan untuk dimilikinya sumber daya manusia yang berkualitas masih jauh dari kenyataan.
Kegiatan pendidikan adalah suatu proses sosial yang tidak dapat terjadi tanpa interaksi antar pribadi. Belajar adalah suatu proses pribadi, tetapi juga proses sosial yang terjadi ketika masing-masing orang berhubungan dengan yang lain dan membangun pengertian dan pengetahuan bersama. Pengetahuan ditemukan, dibentuk, dan dikembangkan oleh siswa. Guru menciptakan kondisi dan situasi yang memungkinkan siswa membentuk makna dari bahan-bahan pelajaran melalui suatu proses belajar dan menyimpannya dalam ingatan yang sewaktu-waktu dapat diproses dan dikembangkan lebih lanjut.
Cara pengemasan pengalaman belajar yang dirancang guru sangat berpengaruh terhadap kebermaknaan pengalaman bagi para siswa. Pengalaman belajar lebih menunjukkan kaitan unsur-unsur konseptual menjadikan proses pembelajaran lebih efektif. Kaitan konseptual yang dipelajari dengan sisi bidang kajian yang relevan akan membentuk skema (konsep), sehingga siswa akan memperoleh keutuhan dan kebulatan pengetahuan (Williams, 1976 : 116).
Mengajar tidak lagi dipahami sebagai proses menyampaikan ilmu pengetahuan dari guru ke peserta didik, melainkan lebih sebagai tugas mengatur aktivitas-aktivitas dan lingkungan yang bersifat kompleks dari peserta didik dalam usahanya mencapai tujuan pembelajaran. Guru bukanlah satu-satunya sumber belajar. Penerapan pembelajaran yang berpusat pada guru, dimana peserta didik terbiasa menerima ilmu pengetahuan secara instan, menjadikannya kurang aktif dalam menggali ilmu pengetahuan dari berbagai sumber belajar. Sehingga untuk menyiasati perlu membuat strategi pembelajaran yang disesuaikan dengan materi pelajaran dan kemampuan dasar peserta didik (siswa). Strategi pembelajaran yang tepat akan membina siswa untuk berpikir mandiri dan menumbuhkan daya kreatifitas, dan sekaligus adaptif terhadap berbagai situasi.
Guru perlu berusaha mengembangkan kompetensi dan kemampuan siswa. Kegiatan belajar mengajar harus lebih menekankan pada proses daripada hasil. Setiap orang pasti mempunyai potensi. Paradigma lama mengklasifikasikan siswa dalam kategori prestasi belajar seperti dalam penilaian ranking dan hasil-hasil tes. Paradigma lama ini menganggap kemampuan sebagai sesuatu yang sudah mapan dan tidak dipengaruhi oleh usaha dan pendidikan. Paradigma baru mengembangkan kompetensi dan potensi siswa berdasarkan asumsi bahwa usaha dan pendidikan bisa meningkatkan kemampuan mereka. Tujuan pendidikan adalah meningkatkan kemampuan siswa sampai setinggi yang dia bisa.
Penerapan sistem pengajaran dengan menggunakan model atau metode yang tepat akan memberikan suatu motivasi belajar yang lebih baik bagi anak didik, sehingga lebih berminat dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Dalam meningkatkan kualitas proses belajar mengajar tersebut selain pendidiknya harus kreatif, dituntut pula adanya partisipasi aktif dari siswa dalam mengikuti proses belajar mengajar. Suasana kelas perlu direncanakan dan dibangun sedemikian rupa sehingga siswa mendapatkan kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain. Dalam interaksi ini, siswa akan membentuk komunitas yang memungkinkan mereka untuk mencintai proses belajar dan mencintai satu sama lain. Dalam suasana belajar yang penuh dengan persaingan dan pengisolasian siswa, sikap dan hubungan yang negatif akan terbentuk dan mematikan semangat siswa. Suasana seperti ini akan menghambat pembentukan pengetahuan secara aktif. Oleh karena itu, pengajar perlu menciptakan suasana belajar sedemikian rupa sehingga siswa bekerja sama secara gotong royong.
Dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas melalui jalur pendidikan khususnya kelompok mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan kepribadian dimaksudkan untuk peningkatan kesadaran dan wawasan peserta didik akan status, hak, dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia. Kesadaran dan wawasan termasuk wawasan kebangsaan, jiwa dan patriotisme bela negara, penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, kemajemukan bangsa, pelestarian lingkungan hidup, kesetaraan gender, demokrasi, tanggung jawab sosial, ketaatan pada hukum, ketaatan membayar pajak, dan sikap serta perilaku anti korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Dilihat dari cakupan pembelajaran mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang begitu strategis bagi penyiapan sumber daya manusia pembangunan dimasa depan, sudah seharusnya pihak-pihak yang terkait dengan hal ini memberikan perhatian lebih, namun kenyataan dilapangan sungguh berbeda, karena seringkali mata pelajaran ini dianggap tidak begitu penting dibandingkan dengan mata pelajaran yang diujikan secara nasional, siswa kurang begitu berminat dalam mengikuti pembelajaran mata pelajaran ini, sehingga pencapaian kompetensi belajarnya kurang bisa memenuhi harapan.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 tahun 2005 pasal 6 ayat 5 mengamanatkan bahwa, semua kelompok mata pelajaran sama pentingnya dalam menentukan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah. Oleh karenanya perlu dicarikan jalan keluar bagaimana agar siswa memiliki minat dalam mengikuti pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang pada akhirnya bisa meningkatkan pencapaian kompetensi belajarnya.
Tugas guru disamping menyampaikan materi juga menciptakan suasana dan lingkungan belajar yang kondusif serta menarik bagi siswa untuk lebih giat belajar dan dapat memotivasi siswa untuk terlibat aktif dalam proses belajarnya. Sehingga diharapkan dengan rancangan pembelajaran yang tepat yang dibuat oleh guru maka siswa akan memiliki prestasi belajar yang maksimal. Untuk itu guru perlu menguasai dan dapat menerapkan berbagai model pembelajaran, agar dapat mencapai tujuan pembelajaran yang sangat beranekaragam dan kompleks. Tidaklah cukup bagi guru hanya menggantungkan diri pada satu pendekatan atau model pembelajaran. Bermodalkan kemampuan melaksanakan berbagai model pembelajaran, guru dapat memilih model yang sangat baik dan tepat untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu atau yang sangat sesuai dengan lingkungan belajar atau sekelompok siswa tertentu serta dapat melibatkan secara aktif dalam proses belajar mengajar. Karena pada hakekatnya belajar adalah suatu kegiatan yang dilakukan siswa, bukan sesuatu yang dilakukan terhadap siswa.
Model Quantum Learning merupakan salah satu model pembelajaran yang dilakukan dengan adanya penggubahan bermacam-macam interaksi yang ada di dalam dan di sekitar situasi belajar, antara lain dengan menerapkan metode pembelajaran bervariasi serta pengkondisian suasana pembelajaran yang menyenangkan sehingga dapat merangsang minat siswa. Dengan demikian siswa yang tadinya tidak berminat dengan sebuah mata pelajaran akan menjadi berminat untuk mempelajarinya. Manfaat lainnya adalah siswa akan mudah mempelajari konsep sesuai dengan tujuan pembelajaran. Dunne & Wragg dalam Anwar Jasin (1996 : 12-13) menjelaskan bahwa pembelajaran efektif mempunyai beberapa karakteristik antara lain memudahkan murid belajar dan merupakan sesuatu yang bermanfaat seperti fakta, ketrampilan, nilai dan konsep bagaimana hidup serasi dengan sesama, atau sesuatu hasil belajar yang diinginkan.
Quantum Learning berakar dari upaya Dr. Georgi Lozanov, seorang pendidik berkebangsaan Bulgaria yang bereksperimen dengan apa yang disebutnya sebagai "suggestology" atau "suggestopodia". Prinsipnya adalah bahwa sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar, dan setiap detail apapun memberi sugesti positip dan negatip. Beberapa tekhnik yang digunakan adalah mendudukkan murid dengan nyaman, memasang musik latar dalam kelas, meningkatkan partisipasi individu, menggunakan poster untuk memberi kesan menonjolkan informasi dan menyediakan guru-guru yang terlatih baik dalam seni pengajaran sugestif.
Quantum Learning mencakup aspek-aspek penting dalam menyeimbangkan otak kanan dan otak kiri, pelayanan pada gaya belajar visual, auditorial dan kinestik, belajar berdasar pengalaman serta simulasi/permainan. Sejalan dengan itu guru (pengajar) diharapkan mempunyai kemampuan dan ketrampilan dalam pembelajaran mata pelajaran termasuk mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
Dengan penggunaan model Quantum Learning yang memadukan metode pembelajaran yang variatif serta pengkondisian suasana belajar yang menyenangkan, dengan mendudukkan murid dengan nyaman, memasang musik latar dalam kelas, meningkatkan partisipasi individu, menggunakan poster untuk memberi kesan menonjolkan informasi, dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan diperkirakan akan dapat merangsang minat dan kecerdasan emosi siswa. Dengan demikian siswa yang tadinya tidak berminat mengikuti pembelajaran mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan akan menjadi berminat untuk mengikutinya. Manfaat lainnya adalah siswa akan mudah mempelajari konsep sesuai dengan tujuan pembelajaran yang pada gilirannya akan dapat mendorong peningkatan pencapaian kompetensi belajar siswa, karena dengan model quantum learning siswa akan mudah mempelajari konsep sesuai dengan tujuan pembelajaran, dan memudahkan siswa belajar serta merupakan sesuatu yang bermanfaat seperti fakta, ketrampilan, nilai dan konsep bagaimana hidup serasi dengan sesama, atau sesuatu hasil belajar yang diinginkan. (Dunne & Wragg dalam Anwar Jasin, 1996 : 12-13).
Disamping itu untuk mencapai tujuan pembelajaran, diperlukan adanya minat siswa untuk mengikuti pembelajaran. S.C. Utami Munandar (1992 : 11) menyatakan bahwa prestasi seseorang selalu dipengaruhi macam dan intensitas minatnya, anak yang berminat terhadap matematika akan bekerja keras untuk mencapai nilai yang tinggi dalam matematika. Minat belajar adalah keseluruhan daya penggerak psikis dari dalam siswa yang mampu membangkitkan atau menimbulkan kegiatan belajar, menjamin kelangsungan kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar itu demi mencapai tujuan belajar, yang terwujud dalam perilaku (1) ketertarikan pada suatu objek tertentu, (2) respon terhadap suatu objek tertentu, dan (3) keinginan terhadap sesuatu hal.
Ketertarikan, respon dan keinginan terhadap suatu hal, misalnya terhadap kegiatan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan akan dapat mendorong siswa dengan sungguh-sungguh mengikuti proses pembelajaran, dan mempelajari materi pelajaran yang disampaikan oleh guru, sehingga akan dapat meningkatkan pencapaian kompetensi belajar Pendidikan Kewarganegaraan.
Kenyataan dilapangan masih banyak guru mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang masih belum beranjak dari model pembelajaran lama, seperti ekspositori yang cenderung teacher centered learning, siswa lebih banyak bersikap pasif, mereka lebih banyak menerima informasi dari guru dalam bentuk ceramah, dan tanya jawab, kemudian melakukan peningkatan pemahaman melalui pemberian tugas yang di berikan oleh guru. Pada model ekspositori ini keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran sangatlah sedikit. Semua rancangan pembelajaran sudah dipersiapkan sepenuhnya oleh guru, dan siswa tinggal menerima dan mengikuti saja dan menurut apa yang diperintahkan guru, kondisi ini sangat tidak menguntungkan karena sering menimbulkan rasa bosan, masa bodoh, dan rasa malas siswa dalam mengikuti pelajaran bahkan cenderung sekedarnya, tidak berminat mengikuti pelajaran dan bahkan merasa tertekan yang akibatnya pencapaian kompetensinya kurang baik., guru belum berani mencobakan model pembelajaran lain seperti model quantum learning yang lebih mengedepankan kepentingan perkembangan pribadi siswa, dan kebebasan berpikir dan berkreasi serta memberikan rasa senang dan nyaman mengikuti proses pembelajaran, yang menjadikan pencapaian kompetensi belajar siswa meningkat.
Berdasar latar belakang dan perkiraan-perkiraan yang penulis kemukakan perlu diuji kebenarannya, untuk itulah kiranya perlu adanya penelitian mengenai pendekatan pembelajaran quantum, dan minat belajar serta pengaruhnya terhadap pencapaian kompetensi belajar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan siswa SMA Negeri di Kabupaten X.

B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang di atas dapat diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut ;
1. Masih rendahnya mutu sumber daya manusia Indonesia sehingga tidak mampu bersaing untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang ada di masyarakat. Bagaimanakah langkah yang dapat diambil dalam rangka peningkatan mutu sumber daya manusia di Indonesia ?
2. Pencapaian kompetensi belajar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang rendah, jauh dari kriteria kelulusan yang ideal membuktikan bahwa banyak siswa yang kurang menguasai materi pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Bagaimanakah langkah yang dapat diterapkan untuk meningkatkan pencapaian kompetensi belajar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan ?
3. Proses pembelajaran mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan belum terlaksana dengan nyaman dan menyenangkan, sehingga siswa kurang berminat dalam mengikuti pembelajaran mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Bagaimanakan proses pembelajaran yang tepat agar siswa dapat merasa nyaman dan senang mengikuti pembelajan Pendidikan Kewarganegaraan ?
4. Belum digunakannya model pembelajaran yang dapat mempermudah pemahaman siswa terhadap materi pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan yang mampu meningkatkan keaktifan siswa. Bagaimanakah model pembelajaran yang tepat sehingga dapat mempermudah pemahaman siswa terhadap materi pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan mampu meningkatkan keaktifan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran ?
5. Belum tersentuhnya faktor-faktor lain seperti minat belajar yang pada kenyataannya sangat berpengaruh terhadap peningkatan prestasi dan hasil belajar siswa. Bagaimanakah cara yang dapat ditempuh untuk mengoptimalkan faktor minat belajar ?

C. Pembatasan Masalah
Agar permasalahan yang diteliti tidak terlalu luas, maka peneliti dalam hal ini membatasi permasalahan sebagai berikut ;
1. Usaha peningkatan pencapaian kompetensi belajar siswa pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
2. Masalah model pembelajaran yang tepat diterapkan. Model quantum learning diharapkan mampu menciptakan suasana nyaman dan menyenangkan, serta mampu meningkatkan keaktifan siswa.
3. Memperhatikan faktor minat belajar siswa yang diperkirakan juga berperan penting dalam usaha peningkatan pencapaian kompetensi belajar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.

D. Perumusan Masalah
Permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut ;
1. Apakah terdapat perbedaan pencapaian kompetensi belajar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan antara penerapan model quantum learning dengan model pembelajaran ekspositori ?
2. Apakah terdapat perbedaan pencapaian kompetensi belajar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan antara siswa yang memiliki minat belajar tinggi dan rendah ?
3. Apakah terdapat interaksi pengaruh terhadap pencapaian kompetensi belajar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan antara model pembelajaran dan minat belajar siswa ?

E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :
1. Perbedaan pencapaian kompetensi belajar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan antara penerapan model quantum learning dengan model pembelajaran ekspositori
2. Perbedaan pencapaian kompetensi belajar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan antara siswa yang memiliki minat belajar tinggi dan rendah.
3. Interaksi pengaruh terhadap pencapaian kompetensi belajar Pendidikan Kewarganegaraan antara model pembelajaran dan minat belajar.

F. Manfaat Penelitian
Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Segi Teoritis
Sebagai sumbangan ilmu pengetahuan mengenai upaya peningkatan pencapaian kompetensi belajar siswa dengan digunakannya beberapa alternative model pembelajaran, antara lain model pembelajaran quantum learning, terutama dari segi peningkatan minat belajar siswa.
2, Segi Praktis
a. Bagi Guru
1) Menawarkan alternatif model pembelajaran yang mampu untuk meningkatkan minat belajar pada siswa, sehingga akan tercipta proses pembelajaran yang aktif, kreatif dan efektif.
2) Meningkatkan kualitas komunikasi dengan siswa dalam proses pembelajaran.
b. Bagi siswa :
Menumbuhkan minat siswa sehingga diharapkan dapat meningkatkan pencapaian kompetensi belajarnya.
c. Bahan pertimbangan bagi dinas pendidikan dan pihak terkait dengan peningkatan mutu pendidikan dalam mengambil kebijakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran melalui penggunaan model quantum learning.