Search This Blog

SKRIPSI PTK UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN PKN MELALUI METODE TEAM GAME TOURNAMENT (TGT) PADA SISWA KELAS VII SMPN X

SKRIPSI PTK UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN PKN MELALUI METODE TEAM GAME TOURNAMENT (TGT) PADA SISWA KELAS VII SMPN X

(KODE PTK-0039) : SKRIPSI PTK UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN PKN MELALUI METODE TEAM GAME TOURNAMENT (TGT) PADA SISWA KELAS VII SMPN X (MATA PELAJARAN : PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN)




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Visi reformasi pembangunan yang terdapat dalam garis-garis besar haluan negara adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang berkualitas (E. Mulyasa, 2005: 3). Apalagi dalam menghadapi era globalisasi dan pasar bebas yang menghadapkan manusia pada perubahan-perubahan yang tidak menentu. Perwujudan masyarakat berkualitas tersebut menjadi tanggung jawab pendidikan, terutama dalam mempersiapkan peserta didik menjadi subyek yang makin berperan menampilkan keunggulan dirinya yang tangguh, kreatif, mandiri dan profesional pada bidangnya masing-masing.
Kualitas sumber daya manusia yang baik sangat ditentukan oleh kualitas pendidikan. Sedangkan kualitas pendidikan sangat dipengaruhi oleh kualitas pembelajaran karena proses pembelajaran merupakan bagian yang paling pokok dalam kegiatan pendidikan di sekolah. Pembelajaran adalah suatu proses mengatur dan mengorganisasikan lingkungan sekitar sehingga siswa memperoleh perubahan tingkah laku secara keseluruhan. Dalam proses pembelajaran diperlukan adanya hubungan timbal balik antara guru dan siswa sehingga terjalin komunikasi dua arah yang menjadikan pembelajaran terarah pada pencapaian kompetensi. Guru harus mampu memahami beberapa hal dari peserta didik seperti kemampuan, potensi, minat, hobi, sikap, kepribadian, kebiasaan, catatan kesehatan, latar belakang keluarga, dan kegiatannya di sekolah.
Disamping pelaksanaan proses pembelajaran dalam suasana komunikasi dua arah, diharapkan siswa juga dapat melakukannya dalam suasana komunikasi multi arah. Dalam proses pembelajaran seperti ini hubungan tidak hanya terjadi antara seorang guru dengan siswa dan sebaliknya, tetapi juga antara siswa-siswa lainnya (Muhibbin Syah, 2005: 238). Secara umum keberhasilan proses pembelajaran sangat ditentukan oleh beberapa komponen. Komponen tersebut antara lain: siswa, lingkungan, kurikulum, guru, metode dan media mengajar dengan tujuan untuk mencapai tujuan pendidikan.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas:
a. kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia;
b. kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian;
c. kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi;
d. kelompok mata pelajaran estetika;
e. kelompok mata pelaj aran j asmani, olahraga dan kesehatan.
(Anonim, 2005, http://www.presidenri.go.id/DokumenUU.php/104.pdf)
Sedangkan cakupan kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian yaitu bahwa kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dimaksudkan untuk peningkatan kesadaran dan wawasan peserta didik akan status, hak, dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia.
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan ilmu pengetahuan yang bersifat abstrak dan verbal yang berbeda dengan ilmu-ilmu terapan yang bersifat pasti. Hal ini akan menjadikan siswa terkadang merasa kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran. Akibatnya, sering terdapat siswa yang menampakkan sikap acuh dan malas dalam proses belajar mengajar sehingga hasil belajar kurang memuaskan karena siswa banyak melakukan kekeliruan dan kesalahan. Kekeliruan dan kesalahan yang dilakukan siswa ini tidak mutlak disebabkan oleh kurangnya kemampuan siswa dalam pembelajaran PKn tetapi juga karena faktor lain seperti gaya atau metode mengajar guru, lingkungan, sarana dan prasarana belajar, motivasi siswa dan lain-lain.
Guru harus mampu membangkitkan motivasi belajar peserta didik dengan memperhatikan prinsip-prinsip bahwa peserta didik akan bekerja keras kalau ia punya minat dan perhatian terhadap pekerjaannya, memberikan tugas yang jelas dan dapat dimengerti, memberikan penghargaan terhadap hasil kerja dan prestasi peserta didik, menggunakan hadiah dan hukuman secara efektif dan tepat guna. Lingkungan serta sarana dan prasarana belajar juga perlu diperhatikan untuk mendukung berlangsungnya proses belajar mengajar di kelas yang nyaman. Hal tersebut menjadikan guru harus mampu memilih dan menerapkan metode mengajar yang tepat sehingga dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap PKn.
Pemilihan metode mengajar yang tepat akan menciptakan situasi belajar yang menyenangkan dan mendukung kelancaran proses belajar mengajar sehingga siswa akan lebih termotivasi untuk belajar. Pemilihan metode perlu memperhatikan beberapa hal seperti materi yang disampaikan, tujuannya, waktu yang tersedia, dan banyaknya siswa serta hal-hal yang berkaitan dengan proses belajar mengajar. Adapun metode-metode yang dapat dipakai guru dalam mengajar antara lain metode ceramah, metode tanya jawab, metode pemberian tugas (resitasi), metode demonstrasi, metode kerja kelompok, metode inkuiri, metode eksperimen, metode simulasi dan sebagainya. Guru yang baik harus mampu menguasai bermacam-macam metode mengajar sehingga dapat memilih dan menentukan metode yang tepat untuk diterapkan pada materi pembelajaran tertentu.
Metode mengajar yang diterapkan oleh guru PKn pada umumnya adalah metode konvensional. Guru dianggap sebagai gudang ilmu, otoriter dan mendominasi kelas, mengajarkan ilmu, langsung membuktikan dalil-dalil dan memberikan contoh. Sedangkan siswa harus duduk rapi mendengarkan, meniru dan mencontoh cara-cara yang diterapkan guru serta menyelesaikan soal-soal atau tugas-tugas yang diberikan guru tanpa ada tindakan lebih lanjut mengenai tugas tersebut.
Sedangkan upaya menyiapkan peserta didik yang berkualitas tidak pernah berhenti pada suatu titik tertentu karena terus berkembangnya tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Instansi-instansi sekolah terutama guru selalu berusaha mengupayakan yang terbaik untuk meningkatkan kualitas pembelajaran siswanya sehingga dihasilkan siswa-siswa yang berkualitas dan mampu bertahan dalam perkembangan jaman. Hal ini menuntut para guru untuk mengupayakan suatu cara atau metode pembelajaran yang tepat bagi siswanya sehingga pengetahuan dan ketrampilan pada siswa dapat berkembang secara menyeluruh dan maksimal. Demikian pula halnya yang terdapat pada SMPN X, selalu diusahakan upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran bagi siswanya sehingga potensi siswa dapat termanfaatkan secara maksimal.
SMPN X merupakan bangunan peninggalan bangsa Belanda yang telah mengalami banyak perubahan dan perbaikan baik pada kondisi maupun fungsi dari bangunannya. Termasuk juga perubahan kepengurusan. Lokasi sekolah yang dekat sekali dengan jalan raya menjadikan sekolah ini letaknya sangat strategis. Demikian halnya, letaknya yang strategis ini juga mempunyai akibat buruk bagi keberlangsungan proses belajar mengajar. Suasana yang bising dan panas akibat begitu ramainya kendaraan yang lalu-lalang menjadikan proses belajar mengajar sedikit terganggu. Sehingga diperlukan suatu kondisi dimana siswa maupun guru tidak merasakan adanya gangguan tersebut dan tercipta suatu pembelajaran yang menyenangkan.
Siswa di SMPN khususnya siswa kelas VII, cenderung kurang aktif dalam kegiatan pembelajaran hampir pada semua mata pelajaran terutama pada mata pelajaran PKn dan prestasi belajar PKn siswa tergolong rendah. Hasil ujian mid semester 2 tahun ajaran XXXX/XXXX menunjukkan bahwa siswa kelas VII memperoleh nilai rata-rata kelas yang berada di bawah batas tuntas yaitu 55,05. Sedangkan nilai batas tuntas klasikal mata pelajaran PKn di SMPN X untuk siswa kelas VII adalah 60. Penyebab lain rendahnya prestasi belajar siswa adalah sarana dan prasarana yang kurang memadai seperti tidak semua siswa mempunyai buku paket atau Lembar Kerja Siswa (LKS) sehingga siswa kesulitan mencari sumber belajar untuk mempelajari dan memahami pelajaran PKn.
Penggunaan metode yang kurang tepat juga masih terjadi dan menjadi salah satu faktor utama penyebab rendahnya prestasi siswa, dimana guru masih sering menggunakan metode konvensional sehingga pembelajaran kurang menarik, siswa mudah bosan dan tidak aktif dalam pembelajaran karena kurang diberi kesempatan untuk mengapresiasikan pengetahuannya. Siswa hanya mengikuti apa yang diperintahkan guru, diam, mendengarkan dan mencatat apa yang diajarkan guru. Guru menjadi satu-satunya sumber belajar bagi siswa. Hal ini mengakibatkan siswa tidak bisa berkembang sesuai dengan tingkat kemampuannya.
Melihat kondisi tersebut di atas, maka dirasa perlu adanya suatu perubahan baru dalam pelaksanaan pembelajaran PKn di SMPN X agar siswa lebih aktif dan kreatif sehingga bisa berkembang sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing. Dalam usaha untuk meningkatkan keaktifan dan kekreatifan siswa dalam proses pembelajaran bisa dengan menggunakan salah satu model dari pembelajaran gotong royong atau cooperative learning. Model pembelajaran yang diterapkan adalah model pembelajaran team game tournament (TGT), yaitu "Suatu tipe atau model pembelajaran kooperatif yang mudah diterapkan, melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur permainan dan reinforcement.” (Nadhirin, XXXX, http://nadhirin.blogspot.com/XXXX/08/ metode-pembelajaran-efektif.html).
Model pembelajaran team game tournament (TGT) yang merupakan salah satu model dalam pembelajaran cooperative learning merupakan suatu model pembelajaran yang memungkinkan terjadinya hubungan multi arah yaitu hubungan antara siswa dengan guru dan siswa dengan siswa lain di dalam kelompoknya. Oleh karenanya dengan adanya interaksi ini dapat membantu siswa dalam memahami materi yang diberikan dan siswa lebih aktif serta partisipatif dalam proses pembelajaran yang nantinya akan berpengaruh juga dalam hasil belajar mereka.
Model pembelajaran TGT ini sesuai bila diterapkan pada siswa sekolah menengah yang merupakan anak didik usia remaja yang memiliki kecenderungan suka berkelompok dan memiliki kebutuhan akan aktualisasi diri yang tinggi. Hal ini dikarenakan dalam model pembelajaran TGT siswa mempunyai kesempatan untuk bekerja secara berkelompok dan semua siswa dari semua tingkatan kemampuan awal memiliki kesempatan yang sama untuk dapat menyumbangkan nilai maksimum bagi timnya. Selain itu, dalam pembelajaran dengan metode TGT ini latihan-latihan soal yang diberikan dikemas dalam bentuk game yang dikompetisikan agar siswa dapat menyumbangkan nilai maksimal bagi kelompoknya agar dapat memenangkan turnamen.
Melalui metode pembelajaran kooperatif model TGT ini diharapkan siswa akan termotivasi dalam mengikuti proses pembelajaran PKn. Siswa dituntut untuk aktif dalam kegiatan bermain sambil belajar. Penggunaan model pembelajaran TGT dimaksudkan untuk mempermudah siswa dalam mengikuti pembelajaran sehingga siswa termotivasi untuk terlibat secara aktif dan tidak merasa cepat bosan dalam mengikuti proses pembelajaran.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka penulis ingin melakukan penelitian tindakan kelas dengan judul "Upaya Meningkatkan Kualitas Pembelajaran PKn Melalui Metode Team Game Tournament (TGT) pada Siswa Kelas VII SMPN X Tahun Ajaran XXXX/XXXX".

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka masalah dapat di identifikasikan sebagai berikut:
1. Kualitas pembelajaran PKn siswa kelas VII SMPN X masih rendah
2. Proses belajar mengajar masih terfokus pada guru, karena guru masih menggunakan metode konvensional
3. Pengelolaan kelas kurang kondusif

C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang serta identifikasi masalah di atas maka masalah di atas dapat dibatasi agar lebih jelas, berikut pembatasan masalahnya: "Masalah dalam penelitian ini adalah tentang kualitas pembelajaran PKn siswa kelas VII SMPN X tahun ajaran XXXX/XXXX yang rendah. Rendahnya kualitas pembelajaran akan ditingkatkan melalui penerapan metode team game tournament (TGT)".

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi dan pembatasan masalah yang telah disampaikan di atas, diajukan rumusan masalah sebagai berikut : "Apakah metode team game tournament (TGT) dapat meningkatkan kualitas pembelajaran PKn siswa kelas VII SMPN X tahun ajaran XXXX/XXXX?"

E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah serta perumusan masalah di atas maka penulis mempunyai tujuan sebagai berikut :
"Untuk mengetahui peningkatan kualitas pembelajaran PKn siswa kelas VII SMPN X tahun ajaran XXXX/XXXX melalui metode team game tournament (TGT)".

F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Dapat menemukan teori atau pengetahuan baru tentang peningkatan kualitas pembelajaran PKn melalui penggunaan metode team game tournament (TGT)
b. Sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya
2. Manfaat Praktis
a. Manfaat bagi siswa
1) Memberikan suasana pembelajaran yang berbeda dengan yang selama ini dialami sehingga dapat menghilangkan rasa bosan dan jenuh pada diri siswa
2) Siswa terlatih untuk dapat berperan aktif dan berpartisipasi dalam pembelajaran di kelas baik dengan sesama siswa maupun dengan guru
3) Menghilangkan anggapan bahwa belajar kelompok itu cukup dikerjakan oleh satu atau dua orang saja sehingga memupuk tanggungjawab individu maupun kelompok
b. Manfaat bagi sekolah
Dapat mengetahui karakteristik siswa sehingga mampu mengupayakan tindakan yang relevan dengan kondisi siswa
c. Manfaat bagi peneliti
Memberikan masukan bagi calon guru dalam memilih dan menggunakan metode TGT sebagai metode yang tepat untuk meningkatkan kualitas pembelajaran PKn.
SKRIPSI PTK PENGGUNAAN MODEL PORTOFOLIO SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN DAYA KRITIS SISWA PADA MATA PELAJARAN PKN DI KELAS VIII E SMPN X

SKRIPSI PTK PENGGUNAAN MODEL PORTOFOLIO SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN DAYA KRITIS SISWA PADA MATA PELAJARAN PKN DI KELAS VIII E SMPN X

(KODE PTK-0038) : SKRIPSI PTK PENGGUNAAN MODEL PORTOFOLIO SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN DAYA KRITIS SISWA PADA MATA PELAJARAN PKN DI KELAS VIII E SMPN X (MATA PELAJARAN : PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN)




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan diri sebagai warga negara Indonesia yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannnya untuk menjadi warga Negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.
Pendidikan Kewarganegaraan sangat penting untuk mendidik generasi bangsa untuk secara sukarela mengikatkan pada norma atau nilai-nilai moral. Sebagai bidang studi ilmiah, pendidikan kewarganegaraan bersifat interdisipliner (antar-bidang) bukan monodisipliner, karena kumpulan pengetahuan yang membangun ilmu kewarganegaan ini diambil dari berbagai disiplin ilmu, seperti ilmu politik, ilmu hukum, ekonomi, psikologi, sosiologi, administrasi negara, tata negara, sejarah, filsafat dan berbagai bahan kajian lainnya yang berasal dari nilai budi pekerti, hak-hak asasi manusia dengan penekanaan kepada hubungan antar warga-negara, warga dengan pemerintahan, serta hubungan antar negara (Arnie Fajar, 2005:144).
Kegiatan pembelajaran merupakan proses interaksi antara siswa dengan guru dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Metode pembelajaran merupakan strategi yang digunakan guru dalam melaksanakan pembelajaran. Metode pembelajaran yang dipilih guru harus sesuai dengan rencana dan tidak boleh asal-asalan. Guru berperan penting dalam proses pembelajaran.
Berdasarkan karakteristik dan tujuan mata pelajaran tersebut di atas, jelas bahwa mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan bukan merupakan mata pelajaran hafalan, para siswa harus diajak untuk ikut menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu cara yang yang ditempuh adalah menggunakan model yang inovatif, yakni model pembelajaran yang mampu menempatkan siswa sebagai subyek belajar, peristiwa dan masalah sosial sebagai sumber belajar, sedangkan guru bertindak sebagai director of learning, yakni pihak yang mengkondisikan dan memotivasi siswa untuk belajar.Hal ini siswa dituntut untuk lebih aktif dalam kegiatan belajar mengajar agar dapat menumbuhkembangkan pemikiran dalam menyelesaikan masalah.
Kamii dalam Arnie Fajar (2005:43) menyebutkan ada beberapa pembelajaran menurut beberapa aliran. Pembelajaran menurut aliran behavioristik, pembelajaran menurut aliran kognitif, humanistic serta kontemporer. Pembelajaran menurut aliran kontemporer yang dimaksud adalah berdasarkan teori belajar kontruktivisme. Model pembelajaran portofolio merupakan teori belajar kontruktivisme yang pada prinsipnya menggambarkan bahwa si belajar membentuk atau membangun pengetahuannya melalui interaksinya dengan lingkungannya.
Prinsip yang paling umum dan paling essensial yang dapat diturunkan dari konstruktivisme bahwa dalam merancang suatu pembelajaran adalah anak-anak(siswa) memperoleh banyak pengetahuan diluar sekolah (kelas). Pemberian pengalaman belajar yang beragam memberikan kesempatan siswa untuk mengelaborasikanya. (Arnie Fajar, 2005:43)
Bapak Suwadi, guru mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan SMPN X menyampaikan bahwa sebagian besar siswa kelas VIII E dapat dikatakan memiliki daya kritis rendah dibanding dengan kelas lain hal ini dibuktikan dengan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan kurang mendapatkan perhatian yang baik dari siswa, kurangnya respon dari siswa apabila guru sedang memberikan materi di kelas, jarang sekali ada feedback dari siswa. Kebanyakan siswa menganggap materi dalam pendidikan kewarganegaaraan cenderung menghafal saja sehingga siswa merasa bosan. Saat guru menerangkan tidak ada umpan balik dari para siswa kadang siswa malah ramai sendiri dan membuat suasana gaduh dikelas, mereka cenderung pasif, motivasi belajar rendah, saat diberi pertanyaan hanya ada beberapa siswa saja yang menjawab.
Wina Sanjaya (2006: 216) menjelaskan bahwa "Metode Pembelajaran Portofolio dianggap dapat meningkatkan daya kritis siswa yang dalam hal ini terlihat dari keterampilan intelektual siswa dalam berfikir kritis pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan seperti keterampilan dalam memecahkan masalah sosial."
Sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan minat siswa terhadap pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah dengan menggunakn model portofolio. Melalui model pembelajaran portofolio, siswa dapat meningkatkan daya kritisnya yang hal ini terlihat dari seberapa dalam siswa mampu memecahkan masalah sosial yang dilakukan melalui analisis ilmiah terhadap isu-isu strategis yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara seperti norma hukum dan peraturan, sistem hukum dan peradilan nasional dan internasional kemudian hak dan kewajiban warga negara serta kekuasaan dan politik dalam pemerintahan yang terkait dengan penyelesaian masalah sosial budaya yang berkembang dimasyarakat.
Isu-isu masyarakat sosial yang berkembang dimasyarakat tersebut perlu dianalisis dan hasil analisis ini merupakan alternatif tindakan dan atau kebijakan baru yang lebih baik. Siswa dalam proses ini ditempatkan dan diperlakukan sebagai subyek, yang harus secara aktif berperan dalam proses pembejaran, sehingga siswa akan menemukan kebermaknaan belajar. Kebermaknaan belajar akan diperoleh apabila siswa mencari, menemukan dan mengalami sendiri berbagai hal yang berkaitan dengan materi pembelajaran.
Portofolio dalam pembelajaran berarti menempatkan siswa pada posisi sentral dalam pembelajaran. Pembelajaran dengan menerapkan metode portofolio sangat memperhatikan dan melakukan suatu pemecahan masalah dengan cara isu atau masalah sosial yang muncul dalam lingkungan sekitar atau yang sedang menjadi sorotan digunakan sebagai dasar pembahasan, diskusi dan investigasi kegiatan di dalam atau di luar kelas. (Yager dalam Arnie Fajar, 2005: 16)
Dari uraian diatas maka peneliti tertarik untuk megadakan penelitian tindakan kelas dengan model pembelajaran portofolio karena portofolio menempatkan siswa pada posisi sentral dalam pembelajaran sehingga diharapkan kemampuan daya kritis siswa akan meningkat karena siswa sebagai sentral dalam proses pembelajaran. Sehubungan dengan uraian tersebut, penulis bermaksud mengangkat permasalahan ini dalam penelitian berjudul "Penggunaan Model Portofolio Sebagai Upaya Meningkatkan Daya Kritis Siswa Pada Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Kelas VIII SMPN X Tahun XXXX".

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas maka penulis dapat memberikan rumusan masalah dalam penelitian sebagai berikut:
Apakah penerapan model pembelajaran portofolio dapat meningkatkan daya kritis siswa dalam proses pembelajaran pendidikan kewarganegaraan?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian diatas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk:
Mengetahui apakah model pembelajaran portofolio dapat meningkatkan day a kritis siswa dalam proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian yang dapat diambil dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini secara teoritik akan memperkaya khasanah pengetahuan mengenai model pembelajaran portofolio sehingga model pembelajaran lebih inovatif.
2. Manfaat Praktis
1. Bagi peneliti, penelitian ini akan meningkatkan pengetahuan dan pengalaman kongkrit dalam mengembangkan model pembelajaran portofolio yang inovatif.
2. Meningkatkan kemampuan dan ketrampilan guru dalam mengajar secara lebih professional.
3. Sebagai masukan sekolah untuk mengadakan variasi model pembelajaran guna meningkatkan kualitas pembelajaran dan prestasi belajar.
4. Sebagai bahan pertimbangan untuk pembuatan kebijakan-kebijakan baru dalam dunia pendidikan.
SKRIPSI PTK PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN TERPADU SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN PRESTASI SISWA PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN KELAS VIII SMP X

SKRIPSI PTK PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN TERPADU SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN PRESTASI SISWA PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN KELAS VIII SMP X

(KODE PTK-0037) : SKRIPSI PTK PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN TERPADU SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN PRESTASI SISWA PADA MATA PELAJARAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN KELAS VIII SMP X (MATA PELAJARAN : PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN)




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat mengakibatkan perubahan di segala bidang kehidupan. Kemajuan ini tentu memberi dampak pada lembaga pendidikan salah satunya, dimana lembaga pendidikan dituntut untuk dapat menyelenggarakan proses pendidikan secara optimal dan aktif sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan itu sendiri. Peningkatan kualitas dan mutu pendidikan yang baik diharapkan mampu melahirkan lulusan-lulusan yang mempunyai daya saing tinggi untuk menghadapi ketatnya tantangan dan persaingan di dunia kerja. Oleh sebab itu, perbaikan-perbaikan yang membangun di bidang pendidikan harus terus dilaksanakan guna mencapai kualitas dan mutu pendidikan yang sesuai dengan harapan.
Upaya melakukan perbaikan di bidang pendidikan menjadi tanggung jawab semua pihak, salah satunya yaitu guru. Sebagaimana dijelaskan oleh Oemar Hamalik (1991:44) yang mengatakan bahwa "Guru bertanggung jawab melaksanakan kegiatan pendidikan di sekolah dalam arti memberikan bimbingan dan pengajaran kepada para siswa". Guru harus dapat melakukan suatu inovasi yang menyangkut tugasnya sebagai pendidik yang berkaitan dengan tugas mengajar siswa. Inovasi-inovasi yang dilakukan guru dalam tugasnya sebagai pendidik diharapkan mampu meningkatkan prestasi belajar siswa. Mengingat bahwa guru juga memberi pengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Sebagaimana dikemukakan oleh Hamzah B. Uno (2008:17) bahwa "Seorang guru sangat berpengaruh terhadap hasil belajar yang dapat ditunjukkan oleh peserta didiknya". Oleh karena itu perubahan-perubahan berkaitan dengan tugas mengajar guru harus selalu ditingkatkan.
Salah satu cara yang dapat ditempuh berkaitan dengan inovasi tugas mengajar guru adalah guru hendaknya mempunyai kemampuan dalam mengembangkan metode mengajarnya. Metode mengajar diartikan sebagai suatu cara atau teknik yang dipakai oleh gum dalam menyajikan bahan ajar kepada siswa untuk mencapai tujuan pengajaran. Khususnya dalam hal ini adalah metode untuk menunjang proses belajar mengajar Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Pemilihan metode mengajar ini juga perlu diperhatikan karena tidak semua mated dapat diajarkan dengan hanya satu metode mengajar. Guru hendaknya dapat memilih metode mengajar yang dianggap sesuai dengan mated yang hendak diajarkan. Hal ini dimaksudkan agar pengajaran khususnya mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dapat berlangsung secara efektif, efisien dan tidak membosankan.
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan mata pelajaran yang diwajibkan untuk kurikulum di jenjang pendidikan dasar, menengah, dan mata kuliah wajib untuk kurikulum pendidikan tinggi, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 37. Berdasarkan hal tersebut PKn tidak bisa dianggap remeh karena merupakan mata pelajaran yang diwajibkan, sehingga upaya-upaya untuk memperbaiki proses pembelajaran PKn di sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi harus terus ditingkatkan.
Kenyataan di lapangan pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) masih dianggap sebagai pelajaran nomor dua atau dianggap sepele oleh sebagian besar siswa. Kenyataan ini semakin diperburuk dengan metode mengajar yang dipakai oleh sebagian besar guru PKn masih memakai metode konvensional atau tradisional. Metode konvensional merupakan metode dimana guru memegang peranan utama dalam menentukan isi dan langkah-langkah dalam menyampaikan materi kepada siswa. Sehingga keaktifan siswa dalam mengikuti kegiatan belajar dan mengajar berkurang dan hanya bergantung pada guru. Metode ini berkisar pada pemberian ceramah, tanya jawab, diskusi, dan penugasan. Akibatnya dalam mempelajari materi PKn siswa cenderung kurang semangat dan dianggap sebagai pelajaran yang membosankan. Hal tersebut terjadi pula di Sekolah Menengah Pertama X.
SMP X terdiri dari enam kelas, meliputi kelas VII A dan B, kelas VIII A, dan B, dan kelas IX A dan B. Peneliti memfokuskan perhatian pada kelas VIII, yang terdiri dari dua kelas. Permasalahan yang akan diteliti, peneliti temukan di kelas VIIIA SMP X. Kelas tersebut memiliki permasalahan prestasi belajar rata-rata kelas pada mata pelajaran PKn yang rendah. Hal ini dapat dilihat berdasarkan nilai rata-rata PKn kelas VIII A Mid semester gasal yaitu 58,2 dengan batas ketuntasan minimalnya (KKM) yaitu 70. Berdasar data tersebut siswa yang mampu mencapai nilai > 70 hanya 40%, sedangkan sisanya memperoleh nilai di bawah batas ketuntasan minimal tersebut. Data ini peneliti dapatkan setelah melakukan wawancara dengan guru PKn di sekolah tersebut. Rendahnya prestasi belajar siswa tersebut antara lain disebabkan oleh kurangnya semangat siswa dalam belajar PKn, tidak semua siswa mempunyai buku pegangan atau buku paket PKn, dan metode mengajar guru yang masih berkisar pada ceramah, tanya jawab serta penugasan.
Berdasarkan sebab-sebab tersebut peneliti memfokuskan pada metode mengajar guru yang masih bersifat konvensional. Salah satu cara yang dapat ditempuh oleh guru berkaitan dengan pengembangan metode mengajar agar tidak terpaku pada metode mengajar konvensional adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Hamzah B. Uno (2008:17) yaitu dengan mengubah dari sekedar metode ceramah dengan berbagai variasi metode yang lebih relevan dengan tujuan pembelajaran, memperkecil kebiasaan cara belajar peserta yang baru merasa belajar dan puas kalau banyak mendengarkan dan menerima informasi (diceramahi) guru, atau baru belajar kalau ada guru.
Oleh karena itu metode konvensional dalam pengajaran PKn harus diubah. Hal ini dilakukan supaya siswa tidak lagi merasa bosan dalam mengikuti pelajaran PKn. Sebaliknya dengan metode baru siswa diharapkan lebih aktif tidak lagi hanya sekedar menerima informasi atau diceramahi guru, tetapi bisa memberikan informasi kepada teman-temannya.
Berdasarkan uraian di atas peneliti bermaksud menggunakan model pembelajaran terpadu. Model ini dipilih karena melalui pembelajaran terpadu peserta didik dapat memperoleh pengalaman langsung, sehingga dapat menambah kekuatan untuk menerima, menyimpan, dan memproduksi kesan-kesan tentang hal-hal yang dipelajarinya. Dengan demikian, peserta didik terlatih untuk dapat menemukan sendiri berbagai konsep yang dipelajari secara holistik, bermakna, otentik, dan aktif. Cara pengemasan pengalaman belajar yang dirancang gum sangat berpengaruh terhadap kebermaknaan pengalaman bagi para peserta didik. Pengalaman belajar lebih menunjukkan kaitan unsur-unsur konseptual menjadikan proses pembelajaran lebih efektif.
Berdasarkan observasi awal yang dilakukan peneliti dengan mengadakan tes kemampuan awal dan wawancara dengan guru PKn kelas VIII, maka penelitian ini akan dilaksanakan di kelas VIIIA SMP X.
Oleh karena itu untuk meningkatkan prestasi belajar khususnya pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), peneliti bermaksud mencobakan model pembekajaran terpadu pada kelas VIII A SMP X. Metode ini diterapkan agar dapat membantu guru khusunya dalam meningkatkan prestasi belajar siswa. Selain itu agar penyajian bahan ajar PKn tidak lagi terbatas hanya ceramah dan membaca isi buku, sehingga diharapkan siswa tidak lagi merasa bosan dan jenuh dengan materi pelajaran.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti terdorong untuk mengadakan penelitian dengan judul "Penggunaan Model Pembalajaran Terpadu Sebagai Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) Kelas VIII A SMP X tahun XXXX/XXXX".

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah dapat di identifikasikan sebagai berikut:
1. Guru masih memakai metode konvensional dalam melaksanakan pembelajaran, padahal ada beberapa kompetensi dasar di mana metode tersebut kurang tepat untuk diterapkan.
2. Siswa kurang aktif mengikuti proses belajar dan hanya mengorganisir sendiri apa yang diperolehnya tanpa mengkomunikasikan dengan siswa lain.
3. Prestasi belajar rata-rata kelas yang rendah.

C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah serta identifikasi masalah di atas, maka permasalahan difokuskan pada prestasi rata-rata kelas VIII A pada mata pelajaran PKn yang rendah, salah satunya disebabkan oleh penggunaan metode pembelajaran yang masih bersifat konvensional. Untuk mengatasinya akan dicobakan Model pembelajaran terpadu.

D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka dapat dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut:
"Apakah melalui model pembelajaran terpadu, dapat meningkatkan prestasi belajar PKn pada siswa kelas VIII A SMP X tahun ajaran XXXX/XXXX?"

E. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: "Untuk mengetahui pengaruh penggunaan model pembelajaran terpadu terhadap prestasi belajar PKn pada siswa kelas VIII A SMP X tahun ajaran XXXX/XXXX".

F. Manfaat Penelitian
Berdasarkan permasalahan diatas, maka diharapkan penelitian ini mempunyai manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi keilmuan yang bermanfaat dalam dunia pendidikan mengenai penerapan model pembelajaran terpadu terhadap peningkatan prestasi belajar siswa.
b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pembanding, pertimbangan, dan pengembangan bagi penelitian di masa yang akan datang di bidang dan permasalahan sejenis atau bersangkutan.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Siswa
1) Siswa memperoleh kemudahan dalam mempelajari mated PKn yang sifatnya teoritis.
2) Melalui metode ini siswa tidak lagi merasa bosan dan jenuh dengan pelajaran PKn.
3) Siswa diharapkan mempunyai semangat yang tinggi dalam mempelajari PKn sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan prestasi belajar siswa yang bersangkutan.
b. Bagi Guru
1) Sebagai masukan bagi guru di bidang studi PKn dalam menentukan metode mengajar yang tepat sesuai dengan kemampuan tiap kelas, pada mata pelajaran yang bersangkutan, dalam rangka peningkatan prestasi belajar siswanya.
2) Sumbangan dalam rangka perbaikan pembelajaran dan peningkatan mutu proses pembelajaran, khususnya mata pelajaran PKn.
c Bagi Peneliti
1) Untuk menerapkan ilmu yang telah diperoleh selama belajar di bangku perkuliahan.
2) Sebagai bekal bagi peneliti kelak ketika menjadi guru supaya memperhatikan metode mengajar yang tepat khususnya model pembelajaran terpadu.
SKRIPSI PTK PENERAPAN REMEDIAL TEACHING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA LANCAR SISWA KELAS II SDN X

SKRIPSI PTK PENERAPAN REMEDIAL TEACHING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA LANCAR SISWA KELAS II SDN X

(KODE PTK-0036) : SKRIPSI PTK PENERAPAN REMEDIAL TEACHING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA LANCAR SISWA KELAS II SDN X (MATA PELAJARAN : BAHASA INDONESIA)




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Dengan memperhatikan arah dan prioritas pendidikan nasional dinyatakan bahwa penguasaan kemampuan membaca dikenal sebagai kunci pembuka untuk memasuki dunia yang lebih luas dan penguasaan kemampuan membaca sejak dini dipandang sebagai salah satu upaya peningkatan kemampuan membaca. Melalui pembelajaran membaca yang baik akan dapat memacu penguasaan kemampuan membaca dan perkembangan dimensi afektif anak dapat dioptimalkan.
Kemampuan membaca merupakan salah satu standar kemampuan Bahasa dan Sastra Indonesia yang harus dicapai pada semua jenjang, termasuk di jenjang Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (MI). Melalui kemampuan membaca tersebut diharapkan siswa mampu membaca dan memahami teks bacaan dengan kecepatan yang memadai (Depdiknas, 2003). Tanpa memiliki kemampuan membaca yang memadai sejak dini, anak akan mengalami kesulitan belajar di kemudian hari. Dengan terbatasnya kemampuan membaca siswa sangat mengganggu aktifitas belajar mengajar, tidak hanya pada guru sendiri melainkan juga pada siswa. Kemampuan membaca menjadi dasar utama tidak saja bagi pengajaran bahasa sendiri, tetapi juga bagi pengajaran mata pelajaran lain (Depdikbud, 1991/1992).
Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar bertujuan meningkatkan kemampuan siswa berkomunikasi secara efektif, baik lisan maupun tertulis. Kemampuan membaca sebagai salah satu kemampuan berbahasa tulis yang bersifat reseptif perlu dimiliki siswa SD agar mampu berkomunikasi secara tertulis. Oleh karena itu, peranan pengajaran Bahasa Indonesia, khususnya pembelajaran membaca di SD menjadi sangat penting.
Pembelajaran Bahasa Indonesia diawali dengan pengajaran keterampilan reseptif sedangkan keterampilan produktif dapat turut tertingkatkan pada tahap-tahap selanjutnya. Membaca merupakan salah satu jenis kemampuan bahasa tulis yang reseptif. Dengan membaca, seorang akan dapat memperoleh informasi, ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan, dan pengalaman baru. Semua yang diperoleh melalui bacaan akan memungkinkan seseorang mampu mempertinggi daya pikirannya, mempertajam pandangannya dan memperluas wawasannya.
Kemampuan membaca harus segera dikuasai oleh para siswa di SD karena kemampuan ini secara langsung berkaitan dengan seluruh proses belajar siswa di SD. Keberhasilan belajar siswa dalam mengikuti proses kegiatan belajar mengajar di sekolah sangat ditentukan oleh penguasaan kemampuan membaca mereka. Siswa yang tidak mampu membaca dengan lancar akan mengalami kesulitan dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Siswa akan mengalami kesulitan dalam menangkap dan memahami informasi yang disajikan dalam berbagai buku pelajaran, buku-buku penunjang dan sumber-sumber belajar tertulis yang lain. Akibatnya, kemajuan belajar juga lamban jika dibandingkan dengan teman-temannya yang lancar dalam membaca.
Ketidakmampuan membaca lancar ini juga dialami dan terjadi di kelas II SDN X terutama pada awal semester II. Ini tercermin dari hasil tes kemampuan membaca secara individual yang dilakukan guru. Dari 18 siswa, ada sebanyak 6 anak yang belum lancar membaca sehingga materi bacaan yang dibaca harus dieja. Materi yang seharusnya terselesaikan tidak dapat terselesaikan karena harus diulang-ulang.
Selain harus mengeja kata demi kata pengucapan lafal dan intonasi kalimat belum benar. Selain itu siswa belum bisa memahami isi bacaan. Tuntutan dalam kurikulum KTSP kelas II siswa harus dapat membaca teks atau kalimat dengan lafal dan intonasi yang tepat dan dapat menceritakan isi bacaan. Standar kemampuan yang tertuang dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006 dalam standar isi pelajaran Bahasa Indonesia kelas II, khususnya aspek membaca disebutkan bahwa siswa mampu membaca nyaring teks (15-20 kalimat) dengan memperhatikan lafal dan intonasi yang tepat dan menyebutkan teks agak panjang (20-25 kalimat) yang dibaca dalam hati.
Sebagai bagian dari standar kemampuan yang akan dicapai dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, kemampuan membaca mempunyai peranan yang sangat penting dalam peningkatan kualitas hidup seseorang. Melalui kemampuan membaca tidak hanya memungkinkan seseorang meningkatkan keterampilan kerja dan pengusaan berbagai bidang akademik, tetapi juga memungkinkan berpartisipasi dalam kehidupan sosial-budaya, politik dan memenuhi kebutuhan emosional. (Mulyono Abdurrahman, 2003: 200).
Pengajaran membaca pada dasarnya memberi bekal pengetahuan kepada siswa untuk menguasai teknik-teknik membaca yang baik dan benar. Betapa besar manfaat membaca dalam rangka menambah pengetahuan siswa. Membaca juga bermanfaat untuk rekreasi atau untuk memperoleh kesenangan. Oleh karena itu guru perlu merancang pembelajaran membaca yang baik sehingga mampu menumbuhkan kebiasaan membaca sebagai sesuatu yang menyenangkan.
Kebiasaan membaca dapat dibiasakan sejak anak berada pada Sekolah Dasar atau Madrasah Ibtidaiyah. Pembelajaran membaca pada siswa sekolah dasar dimulai dari hal yang paling dasar yaitu kelancaran membaca. Salah satu tujuan pengajaran membaca di sekolah dasar adalah agar siswa dapat menggunakan Bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual serta kematangan emosional dan sosial.
Walaupun pengajaran membaca banyak dilatihkan tetapi kenyataan menunjukkan kemampuan membaca siswa masih memprihatinkan. Masalah kesulitan membaca lancar ini merupakan masalah yang perlu dicari penyebab dan cara pemecahannya.
Faktor-faktor penyebab dari permasalahan rendahnya kemampuan membaca siswa antara lain sebagai berikut: (1) Penguasaan gramatika Bahasa Indonesia yang kurang (2) Sikap siswa terhadap Bahasa Indonesia masih kurang (3) Rendahnya kemampuan kebahasaan para siswa (4) Kemandirian belajar siswa (5) Status sosial siswa (6) Ketidakmampuan guru dalam memilih dan menerapkan pendekatan yang kurang tepat (7) Penekanan bahan pengajaran yang teortis (8) Kurangnya kegiatan praktis dalam meningkatkan kemampuan membaca siswa (9)Sistem penilaian yang kurang tepat (10) Ketersediaan waktu yang kurang memadai dan sebagainya.
Siswa berkesulitan membaca lancar harus memperoleh perhatian yang cukup dari para guru dan secepatnya harus segera ditangani. Kenyataan tersebut tidaklah mustahil apabila ada siswa yang belum dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Hal ini menunjukkan bahwa siswa belum tuntas dalam pembelajaran Bahasa Indonesia.
Mengacu kenyataan di atas, maka untuk meningkatkan kemampuan membaca lancar perlu kiranya guru memberikan program pengajaran yang tepat, yaitu memberikan remedial teaching. Proses remedial teaching merupakan salah satu bentuk pelayanan khusus karena disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik kesulitan belajar yang dihadapi siswa. Proses bantuan lebih ditekankan pada usaha perbaikan cara belajar, cara mengajar, menyesuaikan materi pelajaran, penyembuhan hambatan-hambatan yang dihadapi. Jadi dalam remedial teaching yang diperbaiki adalah keseluruhan proses belajar.
Dari uraian di atas, penulis bermaksud mengadakan penelitian dengan judul "Penerapan Remidial Teaching Untuk Meningkatkan Kemampuan Membaca Lancar Siswa Kelas II SDN X Kabupaten X Tahun Pelajaran XXXX/XXXX ".

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti rumuskan masalah sebagai berikut : Apakah penerapan model remedial teaching dapat meningkatkan kemampuan membaca lancar siswa kelas II SDN X Kabupaten X ?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan membaca lancar siswa kelas II SDN X Kabupaten X dengan menerapkan remedial teaching.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat bermanfaat :
1. Manfaat Teoretis
a. Dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada guru dalam meningkatkan kemampuan membaca lancar.
b. Dapat memberikan arah para guru dalam proses pembelajaran dengan memperhatikan perbedaan siswa.
c. Dapat meningkatkan kualitas pembelajaran membaca lancar.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi siswa
Penerapan remedial teaching dalam pembelajaran Bahasa Indonesia khususnya kemampuan membaca lancar memungkinkan siswa melakukan aktivitas pembelajaran melalui proses yang tepat dan memudahkan siswa memahami dan mengikuti pelajaran berikutnya serta dapat meningkatkan prestasi belajar Bahasa Indonesia.
b. Bagi guru
Hasil penelitian ini dapat memberikan pengalaman langsung pada guru khususnya peneliti yang terlibat dalam memperoleh pengalaman baru untuk menerapkan metode yang lebih inovasi dalam pembelajaran Bahasa Indonesia dan menjadi acuan dalam penerapan strategi pembelajaran Bahasa Indonesia yang tepat dan sesuai dalam mengatasi masalah pembelajaran.
c. Bagi sekolah
Hasil penelitian ini dapat memberikan pengalaman pada guru-guru lain sehingga memperoleh pengalaman baru untuk menerapkan remidial teaching dalam pembelajaran Bahasa Indonesia serta dapat menumbuhkan pembelajaran yang aktif, efektif dan menyenangkan. Selain itu sebagai masukan untuk program sekolah agar dapat membimbing dan mendidik siswa yang berkesulitan belajar, disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik kesulitan belajar yang dihadapi untuk meningkatkan prestasi belajar siswa.
SKRIPSI PTK PENERAPAN METODE PEMBELAJARAN KOOPERATIF STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DIVISIONS (STAD) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENULIS TEKS BERITA PADA SISWA KELAS VIII B SMP X

SKRIPSI PTK PENERAPAN METODE PEMBELAJARAN KOOPERATIF STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DIVISIONS (STAD) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENULIS TEKS BERITA PADA SISWA KELAS VIII B SMP X

(KODE PTK-0035) : SKRIPSI PTK PENERAPAN METODE PEMBELAJARAN KOOPERATIF STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DIVISIONS (STAD) UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENULIS TEKS BERITA PADA SISWA KELAS VIII B SMP X (MATA PELAJARAN : BAHASA INDONESIA)




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Setiap lembaga pendidikan pasti mempunyai tujuan yang sama dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Salah satunya yaitu dengan senantiasa meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan masing-masing lembaga pendidikan tersebut. Begitu pula yang dilakukan oleh SMP X yang terus berusaha menerobos dalam peningkatan mutu dan kualitas sekolah. Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi kendala-kendala yang timbul dalam kaitannya dengan mutu pendidikan. Termasuk bersikap terbuka dan bekerjasama dengan peneliti untuk menemukan inovasi-inovasi baru di dalam pembelajaran. Inovasi-inovasi baru ini diharapkan bisa diterapkan dengan baik sehingga bisa mengatasi kendala-kendala yang selama ini timbul dan perlu segera ditangani.
Salah satu kendala yang kini sedang dihadapi SMP X terkait dengan keterampilan berbahasa adalah rendahnya kemampuan menulis siswa. Hal ini bisa diketahui dan diidentifikasi dari beberapa hal. Pertama, hasil wawancara peneliti dengan guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia (Dian Perdani, S. Pd) yang mengajar di sekolah tersebut tertanggal 7 Januari XXXX. Guru menjelaskan bahwa kemampuan menulis siswa kelas VIII masih sangat rendah, terutama menulis teks berita. Siswa masih bingung dengan pengemasan bahasa berita yang singkat, padat dan jelas. Mereka pun terkadang tidak memperhatikan kelengkapan data pokok berita. Selain itu aspek ejaan dan tanda baca juga masih rendah. Beliau menambahkan, "Jadi siswa itu kalau diterangkan, kalau ditanya, sudah paham atau belum, jawabannya itu sudah, tapi kalau disuruh mengerjakan itu masih banyak kesalahannya." Lebih lanjut, ditambahkan juga dari kelima kelas, kelas VIII B lah yang memiliki kemampuan menulis paling rendah.
Bertolak dari pernyataan tersebut, peneliti pun mengadakan observasi awal prasiklus (12 Januari XXXX) untuk memastikan kebenaran informasi yang diberikan guru sebelumnya.
Dari hasil observasi prasiklus dapat disimpulkan bahwa kualitas hasil kemampuan menulis teks berita siswa di kelas VIII B rendah. Berikut disajikan data hasil nilai kemampuan awal menulis teks berita siswa kelas VIII B.

** tabel sengaja tidak ditampilkan **

Kedua, dari hasil survei dan observasi prasiklus di kelas VIII B (Senin, 12 Januari XXXX) diperoleh gambaran awal kondisi pembelajaran menulis teks berita yang menunjukkan bahwa siswa kurang antusias dalam mengikuti pembelajaran menulis. Pada saat pemberian materi terlihat sekali dominasi guru. Guru menerapkan metode ceramah dan siswanya hanya disuruh mendengarkan dan mencatat jika memang diperlukan. Selesai menerangkan materi, guru meminta siswa membaca contoh teks berita yang ada di buku panduan mereka. Sedangkan guru hanya duduk di bangku depan. Kondisi ini berlangsung sekitar 15 sampai 20 menit. Waktu yang cukup lama dan terkesan tidak efektif. Siswa terlihat bosan dan sibuk dengan aktivitas mereka sendiri (mengobrol dengan teman sebangkunya, memandang ke langit-langit dan terlihat melamun, memain-mainkan alat tulis, dst). Keadaan ini menunjukkan kurangnya kualitas proses pembelajaran.
Sejauh ini pembelajaran menulis di SMP X berlangsung dengan menggunakan metode dan cara yang sama dari waktu ke waktu, yaitu hanya dengan memberikan tugas menulis dan dikerjakan di rumah kemudian dikumpulkan pada batas waktu yang telah ditentukan. Dalam hal ini guru tidak pernah mengetahui bagaimana proses pengerjaan siswa. Guru hanya mengetahui hasil akhirnya sebagai bahan penilaian. Dengan kata lain, pembelajaran lebih berorientasi pada produk. Penggunaan media serta sarana prasarana yang ada juga belum dimanfaatkan secara optimal.
Dari hasil wawancara dengan siswa (12 Januari XXXX) mengindikasikan bahwa minat siswa terhadap pembelajaran menulis rendah, minat membaca siswa pun rendah, padahal minat baca sangat bertalian erat dengan kemampuan menulis. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Semi (1995: 5) bahwa semakin banyak siswa membaca, cenderung semakin lancar dia menulis. Saat diwawancara beberapa siswa mengatakan kesulitan dalam menuangkan ide mereka sehingga mereka merasa malas, takut dan bosan ketika ada pelajaran menulis. Mereka juga menilai guru mereka kurang kreatif dalam menyampaikan materi, sehingga saat pembelajaran tidak bisa menumbuhkan motivasi dan minat mereka. Selain itu, siswa juga mengeluhkan tidak adanya penghargaan lebih terhadap karya mereka.
Rendahnya kemampuan menulis siswa (baik dari proses maupun hasil) menunjukkan adanya ketidakberhasilan di dalam pembelajaran menulis. Kesulitan siswa melakukan aktivitas menulis di sekolah maupun kekurangtepatan guru memilih strategi pembelajaran menulis menjadi faktor penyebab ketidakberhasilan sekolah menjadikan menulis sebagai suatu budaya/tradisi baik bagi siswa ataupun guru tersebut. Hal ini memungkinkan pelajaran menulis menjadi kegiatan yang membosankan bagi siswa.
Untuk mengoptimalkan hasil belajar, terutama bidang keterampilan seperti menulis, sudah selayaknyalah diperlukan sebuah teknik atau cara pengajaran yang lebih memudahkan siswa dalam melewati proses kreatif, yaitu dari mulai menemukan ide sampai menuangkannya. Usia anak SMP amerupakan usia transisi menuju dewasa. Sebagaimana yang dinyatakan Hoover (1964: 29) bahwa adolescent is seen as a dynamic individual caught in all the stresses and strains of transitions from childhood to a young adult. Selain itu, karakteristik dari remaja pada umumnya adalah mereka senang berkelompok dengan teman sebayanya. Hal ini dikemukakan oleh Warkitri (2002: 49) bahwa hampir setiap remaja memiliki teman-teman sebaya dalam bentuk kelompok. Berangkat dari hal tersebut peneliti menetapkan sebuah teknik pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan psikologi siswa remaja yaitu Metode Cooperative Learning dengan tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD).
Menurut Slavin (2008: 10) siswa yang bekerjasama dalam belajar dan bertanggung jawab terhadap teman satu timnya mampu membuat diri mereka belajar sama baiknya. Dalam hal ini penerapan pembelajaran kooperatif dilaksanakan, atas dasar teori bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling mendiskusikan konsep-konsep itu dengan temannya. Sementara itu Student Teams Achievement Divisions (STAD) merupakan salah satu metode yang sangat mengutamakan kerja sama yang baik di dalam tim. Sebagaimana yang tertuang dalam Slavin (2008: 144) bahwa tim adalah fitur yang paling penting dalam STAD. Jika para siswa ingin agar timnya mendapatkan penghargaan tim, mereka harus membantu teman satu timnya untuk mempelajari materinya. Mereka harus mendukung teman satu timnya untuk melakukan yang terbaik, menunjukkan norma bahwa belajar itu penting, berharga, dan menyenangkan.
Penelitian tentang peningkatan keterampilan menulis teks berita dengan metode Student Teams Achievement Divisions (STAD) belum pernah diteliti oleh orang lain di SMP X. Selain itu, pembelajaran menulis teks berita yang berlangsung di SMP X hanya berkisar tentang pemberian materi dan tugas menulis teks berita dengan penugasan pekerjaan rumah. Guru tidak menerapkan sebuah teknik ataupun media yang bisa digunakan agar anak lebih tertarik dan tertantang. Atas dasar itu, maka peneliti merasa perlu melakukan penelitian terhadap permasalahanyang dihadapi di kelas VIII B SMP X. Penelitian ini diharapakan bisa membawa dampak positif bagi guru dan siswa dalam rangka peningkatan kualitas proses dan hasil pembelajaran menulis teks berita di sekolah tersebut.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diungkapkan di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. apakah penerapan metode pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD) dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran menulis teks berita siswa?
2. apakah metode pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD) dapat meningkatkan kualitas hasil pembelajaran menulis teks berita siswa?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk :
1. meningkatkan kualitas proses pembelajaran menulis teks berita siswa melalui penerapan metode pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD).
2. meningkatkan kualitas hasil pembelajaran menulis teks berita siswa melalui penerapan metode pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD).

D. Indikator Keberhasilan
Untuk mengukur ketercapaian tujuan tersebut dirumuskan indikator-indikator keberhasilan tindakan baik proses maupun hasil sebagai berikut.

** tabel sengaja tidak ditampilkan

E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan bisa memberikan kontribusi dalam pembelajaran bahasa yang berkaitan dengan teori keterampilan menulis, khususnya keterampilan menulis teks berita. Lebih lanjut dikaitkan dengan metode pembelajaran kooperatif Student Teams Achievement Divisions (STAD).
2. Manfaat Praktis
a. Bagi siswa
Dapat melakukan aktivitas menulis dengan lebih mudah dan menyenangkan, karena siswa merasa terbantu dengan metode pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD) yang mengutamakan kerja kelompok. Akan tetapi tanggung jawab individupun tetap menjadi prioritas.
b. Bagi guru
Dapat mengembangkan pembelajaran menulis dengan berorientasi pada proses dan bukan hanya hasil, serta secara kreatif dan inovatif menggunakan cara yang lebih bisa memudahkan siswanya dalam mencapai keberhasilan pembelajaran.
c. Bagi sekolah
Sekolah bisa mendapatkan masukan strategi dan cara yang bagus tentang sistem pembelajaran, terutama pembelajaran menulis, sehingga sekolah bisa menerapkan cara yang efektif dan inovatif dalam sistem pembelajarnnya, sekaligus dapat dijadikan acuan dalam menemukan inovasi-inovasi baru lainnya.
d. Bagi peneliti
Menambah wawasan dan memperoleh pengalaman langsung tentang penerapan metode pembelajaran kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD), pada pembelajaran menulis teks berita pada siswa SMP.
SKRIPSI DAMPAK PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) PT. X TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT KABUPATEN X

SKRIPSI DAMPAK PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) PT. X TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT KABUPATEN X

(KODE EKONPEMB-0001) : SKRIPSI DAMPAK PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) PT. X TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT KABUPATEN X




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Dewasa ini, para pemimpin perusahaan menghadapi tugas yang menantang dalam menerapkan standar-standar etis terhadap praktik bisnis yang bertanggungjawab. Perusahaan berusaha meningkatkan kinerjanya untuk mendapatkan keuntungan yang optimal supaya dapat bersaing dengan perusahaan lainnya. Namun dalam usaha untuk mencapai keuntungan yang optimal ini perusahaan juga harus memperhatikan lingkungan sekitar perusahaan yaitu masyarakat setempat dan pemerintah.
Perusahaan sebagai sebuah sistem, dalam keberlanjutan dan keseimbangannya tidak bisa berdiri sendiri. Eksistensi suatu perusahaan tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat sebagai lingkungan eksternalnya. Ada hubungan resiprokal (timbal balik) antara perusahaan dengan masyarakat. Perusahaan dan masyarakat adalah pasangan hidup yang saling memberi dan membutuhkan. Perusahaan selain mengejar keuntungan ekonomi untuk kesejahteraan dirinya, juga memerlukan alam untuk sumber daya olahannya dan stakeholders lain untuk mencapai tujuannya. Dengan menggunakan pendekatan tanggung jawab sosial perusahaan, perusahaan tidak hanya mendapatkan keuntungan ekonomi, tetapi juga keuntungan secara sosial. Dengan demikian keberlangsungan usaha tersebut dapat berlangsung dengan baik dan secara tidak langsung akan mencegah konflik yang merugikan.
CSR (Corporate Social Responsibility) adalah suatu tindakan atau konsep yang dilakukan oleh perusahaan (sesuai kemampuan perusahaan tersebut) sebagai bentuk tanggungjawab mereka terhadap sosial/lingkungan sekitar dimana perusahaan itu berada. Contoh bentuk tanggungjawab itu bermacam-macam, mulai dari melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perbaikan lingkungan, pemberian beasiswa untuk anak tidak mampu, pemberian dana untuk pemeliharaan fasilitas umum, sumbangan untuk desa/fasilitas masyarakat yang bersifat sosial dan berguna untuk masyarakat banyak, khususnya masyarakat yang berada di sekitar perusahaan tersebut berada. Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan fenomena strategi perusahaan yang mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan stakeholder-nya.
CSR timbul sejak era dimana kesadaran akan sustainability perusahaan jangka panjang adalah lebih penting daripada sekedar profitability. Dalam menerapkan CSR, umumnya perusahaan akan melibatkan partisipasi masyarakat, baik sebagai objek maupun sebagai subjek program CSR. Hal ini dikarenakan masyarakat adalah salah satu pihak yang cukup berpengaruh dalam menjaga eksistensi suatu perusahaan. Masyarakat adalah pihak yang paling merasakan dampak dari kegiatan produksi suatu perusahaan, baik itu dampak positif ataupun negatif. Dampak ini dapat terjadi dalam bidang sosial, ekonomi, politik maupun lingkungan.
Di Indonesia, istilah CSR semakin populer digunakan sejak tahun 1990-an. Beberapa perusahaan sebenarnya telah lama melakukan CSA (Corporate Social Activity) atau "aktivitas sosial perusahaan". Walaupun tidak menamainya sebagai CSR, secara faktual aksinya mendekati konsep CSR yang merepresentasikan bentuk "peran serta" dan "kepedulian" perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan. Melalui konsep investasi sosial perusahaan "seat belf, sejak tahun 2003 Departemen Sosial tercatat sebagai lembaga pemerintah yang aktif dalam mengembangkan konsep CSR dan melakukan advokasi kepada berbagai perusahaan nasional.
Perihal penerapan CSR di Indonesia telah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan dan keputusan menteri, yaitu UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal LNNo.67 TLN No.4274, UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Keputusan Menteri BUMN Nomor: Kep-236/MBU/2003 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha kecil dan Program Bina Lingkungan (PKBL). Mewajibkan CSR merupakan salah satu upaya pemerintah dan menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan ekonomi.
Setelah sepuluh tahun terakhir ini CSR telah menjadi salah satu isyu sosial maupun isyu pembangunan, yang menggelilitik begitu banyak pihak di Indonesia, kemudian negara memutuskan untuk mengaturnya melalui UU No. 40 mengenai Perseroan Terbatas pada tahun 2007. Melalui undang-undang tersebut CSR lebih difokuskan kepada kewajiban perusahaan untuk melaksankan Tanggung Jawab sosial dan Lingkungan (TSL) yaitu perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam ataupun kegiatannya terkait dengan sumber daya alam sehingga undang-undang tersebut dirasakan diskriminatif sementara di lain pihak, hal ini membahagian bagi perusahaan-perusahaan yang merasa bahwa bidang usahanya tidak terkena kewajiban untuk melakukan CSR
Beberapa contoh kasus Perusahaan lain yang memiliki masalah dengan tanggung jawab perusahaan lingkungan (CSR) yakni: Kasus pemblokiran jalan oleh warga di Papua terhadap kendaraan-kendaraan milik Freeport, kasus gugatan warga terhadap Newmont di Buyat dan yang mengalami konflik dengan masyarakat sekitar sehingga operasi pabrik sempat dihentikan, menggambarkan bagaimana kekecewaan warga terhadap ketidakpekaan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah-wilayah tersebut. Dalam bahasa praksis, kepekaan sosial ini diwujudkan melalui program Corporate Social Responsibilities (CSR). Program sejatinya merupakan manifestasi dari kepedulian perusahaan terhadap lingkungan dimana ia melaksanakan usaha. Hanya sayangnya, kepedulian ini kerap baru muncul setelah timbul masalah dengan masyarakat. Jadi, ada preseden buruk yang secara umum terjadi bahwa CSR dijadikan senjata untuk memadamkan keresahan sosial akibat keberadaan suatu perusahaan. Hal ini mengakibatkan antara masyarakat dan perusahaan seolah terdikotomi. Pada akhirnya program CSR akan menjadi tidak efektif. Terbukti akibat lemahnya program CSR yang dimiliki oleh PT Freeport Indonesia, operasi perusahaan sempat terhenti. Kalau sudah begitu, perusahaan juga yang rugi. Padahal, dari sisi korporat sebenarnya Freeport sudah menjalankan program CSR ke masyarakat, hanya saja berjalan tidak efektif.
Kondisi pendidikan masyarakat yang dikaitkan dengan penyerapan tenaga kerja juga masih sangat memprihatinkan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi perusahaan. Penduduk lokal yang menjadi tenaga kerja langsung di PT. X semua masih bekerja pada level/jabatan paling rendah yaitu tingkat operator di perusahaan meski masyarakat yang ingin bekerja dan melamar di perusahaan tersebut sudah memiliki pendidikan yang memadai (setingkat SLTA). PT. X saat ini telah memberi makna implementasi tanggung jawab sosial perusahaan sebagai suatu bentuk tanggung jawab perusahaan untuk mempertemukan berbagai kepentingan yang terkait dengan aktivitas perusahaan. Tidak saja bagi kepentingan internal, tetapi juga kepentingan eksternal (sesuai dengan pendekatan stakeholders).
Tanggung jawab sosial PT. X bagi masyarakat sekitar dalam bentuk kemitraan, pengembangan komunitas, dan pelayanan publik, memiliki makna ekonomi berupa besarnya dana yang mengalir secara langsung dari perusahaan, atau tidak langsung sebagai efek multiplier dari perputaran roda ekonomi masyarakat sekitar itu sendiri. Terbukanya berbagai jenis lapangan kerja baru, berbagai bentuk program mitra kerja perusahan, dan juga berkembangnya sektor informal, adalah sebagai bukti menggeliatnya perekonomian masyarakat sekitar. Pembangunan sarana fisik bagi lingkugan masyarakat, sumbangan di bidang pendidikan dan kesehatan masyarakat, secara tidak langsung juga telah memberi pengaruh peningkatan kualitas SDM dan potensi ekonomi masyarakat.
Mengingat Peranan CSR apakah berjalan efektif dan tepat pada sasaran untuk mensejahterakan masyarakat kecamatan X. Selain itu untuk mengetahui apa yang dilakukan PT. X pada CSR perusahaannya sekaligus untuk mengetahui bagaimana peran CSR terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di Kecamatan X, Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul "Peranan Corporate Social Responsibility (CSR) PT. X terhadap kesejahteraan masyarakat Kabupaten Toba Samosir (Studi kasus : kecamatan X)".

1.2. Perumusan Masalah
1. Bagaimanakah format dan konsep CSR yang telah diimplementasikan PT. X di Kecamatan X?
2. Bagaimanakah dampak program CSR terhadap peningkatan pendapatan masyarakat di Kecamatan X?
3. Bagaimanakah dampak program CSR terhadap peningkatan pendidikan masyarakat di Kecamatan X?

1.3. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dampak program CSR PT. X yang telah diimplementasikan pada masyarakat Kecamatan X.
2. Untuk mengetahui dampak program CSR PT. X terhadap peningkatan pendapatan masyarakat Kecamatan X.
3. Untuk mengetahui dampak program CSR PT. X terhadap peningkatan pendidikan masyarakat Kecamatan X.

1.4. Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan yang menjadi objek penelitian, yang kebenarannya masih perlu dibuktikan atau diuji secara empiris. Berdasarkan perumusan masalah maka hipotesis yang akan menjadi pedoman awal dalam penelitian adalah Peranan CSR PT. X.
Adapun hipotesis penelitian ini adalah:
1. CSR PT. X Berperan dalam Meningkatkan Pendapatan Masyarakat di Kecamatan X
2. CSR PT. X Berperan dalam Meningkatkan Pendidikan Masyarakat di Kecamatan X.
3. CSR PT. X Berperan dalam mengurangi pengangguran bagi masyarakat di kecamatan X

1.5. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini adalah:
1. Bagi penulis, sebagai tambahan wawasan untuk mengetahui apakah dampak Program CSR PT. X terhadap kesejahteraan masyarakat kecamatan X.
2. Sebagai bahan referensi dan informasi bagi penelitian selanjutnya, sekaligus untuk menambah pengalaman dan ilmu pengetahuan dalam hal penelitian bagi penulis.
3. Sebagai bahan perbandingan untuk penelitian yang relevan yang telah ada dan sebagai acuan kepeda peneliti yang hendak melakaukan penelitian yang bahannya sama di masa mendatang.
4. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan sebagai bahan masukan bagi penelitian lebih lanjut untuk meneliti topik yang sama.
5. Bagi para pengambil kebijakan pada manajemen PT. X, penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi dalam menghasilkan perencanaan yang lebih baik dalam Penerapan CSR Perusahaan.
SKRIPSI EFEKTIVITAS SOSIALISASI PROGRAM KONVERSI MINYAK TANAH KE LPG

SKRIPSI EFEKTIVITAS SOSIALISASI PROGRAM KONVERSI MINYAK TANAH KE LPG

(KODE ILMU-KOM-0029) : SKRIPSI EFEKTIVITAS SOSIALISASI PROGRAM KONVERSI MINYAK TANAH KE LPG




BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Dalam menyelesaikan masalah yang terkait dengan kebijakan subsidi menjadi polemik di masyarakat, terkait dengan bagaimana perhitungan subsidi dilaksanakan, berapa besaran yang perlu ditetapkan, siapa yang menjadi target subsidi tersebut, dan apakah subsidi akan benar-benar dinikmati oleh masyarakat yang menjadi target sasaran. Hal ini akan menjadi rumit ketika subsidi diterapkan pada komoditi yang vital bagi masyarakat seperti minyak tanah. Perbedaan harga yang tajam antara minyak tanah yang bersubsidi dengan tidak bersubsidi dapat menimbulkan kerawanan penyimpangan yang berupa penyelewengan distribusi, penimbunan dan bahan penyelundupan.
Penyuluhan atau sosialisasi merupakan jenis khusus pendidikan pemecahan masalah (problem solving) yang berorientasi pada tindakan, yang mengajarkan sesuatu, mendemonstrasikan, dan memotivasi, tapi tidak melakukan pengaturan (regulating) dan juga tidak melaksanakan program yang non-edukatif (Nasution, 1990:7).
Persoalan tersebut bertambah rumit ketika minyak mentah dunia naik melambung tinggi dan kenaikan tersebut diperkirakan rata-rata diatas US$100 per barel. Kondisi ini jelas berdampak besar terhadap beban subsidi yang khususnya subsidi BBM dan listik. Dilain pihak, Pemerintah dituntut untuk melakukan beberapa penghematan, namun harus menjaga momentum pertumbuhan agar semua kegiatan ekonomi terselenggara dengan baik. Salah satu langkah yang dimungkinkan dapat dilaksanakan Pemerintah untuk pengamanan APBN adalah program hemat energi dan efisiensi di Pertamina dan PLN (Anggitto & Andie, 8 November 2007).
Berawal dari kondisi di atas, Pemerintah berusaha mengurangi subsidi yang tidak dapat sasaran misalnya program konversi minyak tanah ke LPG, dengan membagikan paket LPG 3 kilogram beserta isi, kompor, regulator dan selang secara gratis kepada masyarakat yang memenuhi kriteria yang telah ditentukan. Adapun target sasaranya adalah rumah tangga dengan ketentuan yaitu ibu rumah tangga, pengguna minyak tanah murni, pengeluaran kurang dari 1,5 juta per bulan, dan penduduk legal setempat dan usaha mikro yaitu pengguna minyak tanah untuk bahan bakar memasak dalam usahanya.
Program tersebut pertama kali dilaksanakan pada pertengahan tahun 2007 di daerah Jakarta Timur dan dilanjutkan dengan daerah lain di Pulau Jawa, Sumatera diperkirakan pada tahun 2008 ini baru bisa dilaksanakan. Program tersebut mengalami beberapa tantangan dan hambatan yang akhirnya tidak sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya. Target dari enam juta tabung yang akan didistribusikan hanya terealisasi sebesar 3 .975.789 (6 6,26%) sampai akhir tahun 2007.
Sosailaisai yang yang merupakan senjata ampuh, namun dalam pelaksanaanya tidak efektif dan berjalan lambat. Disamping itu, resistensi masyarakat dengan penggalihan minyak tanah ke LPG ikut menyulitkan pelaksanaanya. Dalam beberapa kasus banyak masyarakat menerima program tersebut ternyata bukan pengguna minyak tanah. Penentuan siapa yang berhak mendapatkan tabung dan kompor gas tidak melalui seleksi yang telah ditetapkan.
Hasil penemuan sementara menunjukkan bahwa pemberian tabung LPG 3 kilogram dan kompor tesebut diserahkan sepenuhnya oleh Ketua RT. Untuk mendistribusikan paket tersebut berdasarkan instusi dan nepotisme.
Sosialisasi dilakukan kepada ibu-ibu rumah tangga yang merupakan target program konversi minyak taban ke gas LPG. Ada pun sosialisai yang dilakukan oleh pihak Pertamina dengan mengunjuk konsultan setiap daerahnya. Di dalam sosialisasi ini dilakukan 3 (tiga) tahapan yaitu pertama tahap pencacahan, dimana konsultan mesurvei masyarakat yaitu ibu-ibu rumah tangga yang layak untuk menerima kompor gas gratis dengan memenuhi prasyarat yang telah ditentukan oleh Pertamina. Tahapa satu ini dilakukan dengan cara door to door. Tahap kedua yaitu pemebelajaran, yaitu ibu-ibu rumah tangga dikumpulkan di suatu tempat misalnya kantor kelurahan untuk menerima pembelajaran menegenai program tersebut baik itu keuntungan menggunakan kompor gas dan cara-cara penggunaanya. Tahap pembelajaran ini dilakukan juga kepada ibu-ibu rumah tangga secara langsung oleh konsultan yang telah di unjuk Pertamina. Konsultan dan petugas lingkungan berfungsi memberikan sosialisasi yang meliputi cara penggunaan kompor gas LPG, kehematan yang diperoleh dengan mengunakan gas LPG dimana 1 liter minyak tanah sama dengan 0,57 kilogram energi gas LPG, penggunaan gas LPG akan lebih efisien, bersih dan masakan akan lebih cepat masak. Kemudian terakhir pada tahap ketiga yaitu pembagian kompor gas, tabung gas dan regulator. Pada tahap ini ibu-ibu rumah tangga mengambil seperangkat kompor gas gratis tersebut di setiap posko-posko yang telah ditentukan oleh pihak konsultan dan petugas lingkungan.
Setelah membagikan kompor gas gratis sosialisasi dilanjutkan dimana konsultan akan berada di wilayah tersebut kurang lebih 1 (satu) minggu untuk menerima keluhan-keluhan masyarakat. Keluhan-keluhan tersebut dapat berupa pemahaman akan cara-cara penggunaanya dan keluhan akan infrastruktur yang diberikan secara gratis tersebut.
Dengan adanya konversi minyak tanah ke LPG, terjadi penghematan 1 liter minyak tanah sama dengan 0,57 kilogram setara energi. dengan demikian besarnya rata-rata penghematan penggunaan energi Rp. 16,420 per bulan. Besarnya penghematan yang terjadi dengan adanya program tersebut subsidi APBN P 2007 adalah Rp. 391 milyar. Angka ini lebih tinggi dibandingkan penghematan yang dilakukan oleh Pertamina sebesar Rp.277 milyar. Dengan demikian, pelaksanaan program tersebut banyak mengalami hambatan, penggunaan LPG jelas mengurangi subsidi BBM. Namun demikian, program ini tetap layak untuk dilanjutkan dengan memperbaiki sosialisasi dan penyiapan infrastruktur seperti peralatan tabung, kompor gas serta kemudahan untuk membeli dan mengisi ulang gas yang telah habis terpakai.
Mengingat beban subsidi yang semakin berat sebagai akibat tingginya harga minyak internasional yang telah melampaui US$ 80 per barel, maka sudah sepatutnya program penghematan melalui pengalihan penggunaan minyak tanah ke LPG perlu dikembangkan ke daerah-daerah lain di Indonesia. Merubah kebiasaan menggunakan kompor minyak tanah sejak turun temurun bukanlah pekerjaan yang mudah, apalagi hal ini menyangkut kebutuhan pokok. Kemudian membeli minyak tanah dengan sistem eceran 1 atau 2 liter minyak tanah juga menjadi hambatan bagi rumah tangga untuk beralih ke LPG 3 kilogram. Namun, dengan perbaikan sosialisasi dengan melibatkan semua unsur masyarakat seperti Pemda, Instansi Pemerintah, Wakil Rakyat dan LSM. Sosialisasi tersebut perlu disampaikan kepada masyarakat bahwa menggunakan gas LPG memiliki kelebihan dibandingkan minyak tanah. Disamping itu, minyak tanah mempunyai porsi terbesar dibandingkan premium dan solar. Hasil survei BKF, Depkeu sangat besar dalam APBN. Oleh karena itu, subsidi yang tidak tepat sasaran dapat dialihkan kepada subsidi yang tidak tepat sasaran dapat dialihkan kepada subsidi yang lebih bermanfaat seperti ketahanan pangan, pendidikan dan kesehatan.
Hal yang tidak kalah penting adalah sosialisasi kepada agen dan pangkalan minyak tanah yang selama ini mengandalkan usahanya dari penjualan minyak tanah. Mereka perlu diberikan bimbingan bagaimana untuk beralih kepada penjualan LPG. Mengingat usaha tersebut juga menghidupi banyak orang, maka insentif dapat diberikan kepada distributor, agen atau pengecer gas LPG yang telah beralih dari bisnis minyak tanah. Program konversi bukanlah milik Pertamina, namun program bersama yang bermanfaat bagi APBN dan pembangunan masyarakat.
Keberhasilan program pemerintah mengenai konversi minyak tanah ke LPG dilanjutkan ke berbagai daerah di Indonesia. Walaupun ketika ada beberapa faktor-faktor lain yang menghambat pelaksanaanya program tersebut adalah peraturan pelaksanaan yang terlambat, tidak tertampungnaya anggaran pengadaan sarana seperti kompor dan tabung, serta proses lelang yang tidak dapat memenuhi Keppes 80 tahun 2003. Selain itu faktor lain yaitu mengubah suatu kebudayaan dalam penggunaan minyak tanah ke budaya menggunakan gas LPG. Kebudayaan tersebut dimana ketika menggunakan minyak tanah menggunakan pentilasi udara yang sedikit sedangkan menggunakan bahan bakar LPG harus memiliki pentilasi udara yang banyak.
Pertamina Pemasaran Region I merencanakan menjalankan program pemerintah, dalam upaya penghematan energi melalui konversi minyak tanah ke LPG tahun 2009. Direncanakan program ini akan dilaksanakan di 4 provinsi.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang sejauh manakah efektifitas sosialisasi konversi minyak tanah ke LPG kepada masyarakat dalam rangka mengubah keputusan penggunaan bahan bakar di Kecamatan X.

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
"Sejauh manakah efektivitas sosialisasi program konversi minyak tanah ke LPG kepada ibu-ibu rumah tangga dalam rangka mengubah keputusan penggunaan bahan bakar di Kecamatan X?"

1.3 Pembatasan Masalah
Untuk menghindari lingkup penelitian yang terlalu luas sehingga dapat mengaburkan penelitian, maka peneliti menetapkan batasan masalah yang lebih jelas dan spesifik mengenai hal-hal yang diteliti.
Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Penelitian bersifat korelasional yang menjelaskan hubungan antara efektivitas sosialisasi konversi minyak tanah ke LPG terhadap perubahan keputusan penggunaan bahan bakar.
b. Objek penelitian adalah ibu rumah tangga penerima konversi minyak tanah ke LPG di Kecamatan X.
c. Penelitian sosialisasi dilakukan pada tahap pemebelajaran dan penerimaan keluhan dari ibu-ibu rumah tangga.
d. Penelitian dilakukan pada bulan November 2009.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui proses sosialisasi konversi minyak tanah ke LPG yang dilakukan oleh Pertamina.
b. Untuk mengetahui penerimaan informasi konversi minyak tanah ke gas di Kecamatan X.
c. Untuk mengetahui pengaruh sosialisasi konversi minyak tanah ke LPG terhadap perubahan keputusan penggunaan bahan bakar
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menguji pelbagai teori yang digunakan untuk mengukur efektivitas sosialisasi.
b. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah penelitian serta menambah bahan referensi dan sumber bacaan di lingkungan FISIP Universitas X.
c. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi kepada Pertamina dan pihak-pihak yang membutuhkan pengetahuan berkenaan dengan penelitian ini.
SKRIPSI KARAKTERISTIK PERAWATAN LANSIA TERHADAP PEMENUHAN KEBUTUHAN GIZI DI PANTI WERDHA X

SKRIPSI KARAKTERISTIK PERAWATAN LANSIA TERHADAP PEMENUHAN KEBUTUHAN GIZI DI PANTI WERDHA X

(KODE KEPRAWTN-0003) : SKRIPSI KARAKTERISTIK PERAWATAN LANSIA TERHADAP PEMENUHAN KEBUTUHAN GIZI DI PANTI WERDHA X




BAB 1
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Lanjut usia atau usia tua adalah suatu periode penutup dalam rentang hidup seseorang, yaitu suatu periode dimana seseorang telah beranjak jauh dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh bermanfaat (Hurlock, 1999). Sedangkan menurut pasal 1 ayat (2), (3), (4) UUNo. 13 Tahun 1998 tentang Kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam, Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, dan Batubara, 2008).
Kemajuan di bidang kesehatan dan peningkatan pengetahuan masyarakat berdampak pada semakin meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Dengan peningkatan ini maka usia harapan hidup juga akan bertambah, sehingga menyebabkan jumlah penduduk lanjut usia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Indonesia merupakan negara yang memasuki era penduduk berstruktur lanjut usia/aging structured (UNICEF, 2007). Selanjutnya hasil survey United Nation International Children Found (UNICEF), mengemukakan bahwa pertambahan jumlah lanjut usia di Indonesia dalam kurun waktu tahun 1990-2025 tergolong tercepat di dunia. Pada tahun 2006, jumlah lansia di Indonesia 20 juta dan diproyeksi akan bertambah menjadi 28, 8 juta atau sebesar 11, 34 % penduduk pada tahun 2020. Sedangkan umur harapan hidup berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh kementrian koordinator bidang kesejahteraan rakyat tahun 2006 masing-masing untuk pria adalah 66 tahun dan untuk wanita 69 tahun.
Bersamaan dengan bertambahnya usia lansia terjadi pula penurunan fiingsi organ tubuh dan berbagai perubahan fisiologis tubuh.
Menurut data Badan Pusat Statistik pada tahun 2000 dilaporkan bahwa jumlah penduduk Kota Madya Medan sebesar 2.064.900 jiwa dan 13, 5% (278.895 jiwa penduduk) adalah lanjut usia (Suryadi dan Nugroho, (1999) didalam Darmojo, 2004)
Pada tahap perkembangan lansia, terjadi proses penuaan yang ditandai dengan menurunnya cadangan pada sebagian besar sistem fisiologis dan disertai dengan meningkatnya kerentangan terhadap penyakit dan kematian. Proses penuaan ini juga mengubah metabolisme tubuh yang diikuti oleh perubahan komposisi tubuh dan perubahan pola makan. Perubahan fisiologis di atas dapat juga menghalangi asupan diet, diantaranya : akuitas rasa dapat menurun sesuai usia, gigi palsu dapat meningkatkan rasa pahit dan asam, penurunan normal pada sekresi lambung menyebabkan kurang efisiensi pencernaan. Oleh karena itu lansia memiliki resiko cukup besar terhadap masalah nutrisi (Potter & Perry, 2005).
Semakin meningkatnya umur harapan hidup sebagai akibat dari keberhasilan pembangunan nasional sekarang ini, maka akan meningkatnya jumlah lansia. Pada saat sekarang ini lansia kurang sekali mendapat perhatian yang kurang serius di tengah masyarakat terutama mengenai kecukupan gizi pada mereka. Padahal kalau hal ini dibiarkan terus menerus, lansia itu dapat menjadi beban bagi keluarganya, masyarakat, bahkan bagi negara (Riyadi, 2001).
Panti werdha atau panti jompo adalah suatu institusi hunian bersama dari pada lanjut usia dari para lanjut usia yang secara fisik dan kesehatan masih mandiri dimana kebutuhan harian dari para penghuni biasanya disediakan oleh pengurus panti (Darmodjo & Martono, 1999). Sedangkan menurut Jhon (2008), panti jompa adalah tempat dimana tempat berkumpulnya orang - orang lanjut usia yang baik secara sukarela ataupun diserahkan oleh pihak keluarga untuk diurus segala keperluannya, dimana tempat ini ada yang dikelola oleh pemerintah maupun pihak swasta.
Peningkatan dalam tingkat harapan hidup manusia memang patut untuk disyukuri, namun disisilain kondisi ini menimbulkan polemik baru dalam kehidupan bermasyarakat maupun berkeluarga. Ketika seseorang sudah mencapai usia tua dimana fungsi-fungsi tubuhnya tidak dapat lagi berfungsi dengan baik maka lansia membutuhkan banyak bantuan dalam menjalani aktivitas-aktivitas kehidupannya. Belum lagi berbagai penyakit degeneratif yang menyertai keadaan lansia membuat mereka memerlukan perhatian ekstra dari orang-orang disekelilingnya.
Merawat lansia tidak hanya terbatas pada perawatan kesehatan fisik saja namun juga pada faktor psikologis dan sosiologis. Perlu diingat bahwa kualitas hidup lansia terus menurun seiring dengan semakin bertambahnya usia. Penurunan kapasitas mental, perubahan peran sosial, dementia (kepikunan), juga depresi yang sering diderita oleh lansia ikut memperburuk kondisi mereka. Hal ini masih ditambah dengan manifestasi yang kompleks dari depresi.
Pertanyaan selanjutnya adalah "Bagaimana cara untuk merawat lansia agar mereka dapat melalui kehidupannya dengan lebih baik?" Terdapat dua pilihan bagaimana untuk merawat lansia. Lansia dapat dirawat di rumah sendiri oleh keluarganya atau dapat juga dirawat di tempat yang kita kenal sebagai rumah jompo.
Nilai kekeluargaan yang sangat dipegang erat oleh sebagian besar masyarakat Indonesia mungkin menjadi salah satu alasan mengapa rumah jompo bukan menjadi suatu pilihan dalam perawatan lansia. Mengirim keluarga yang sudah berumur dan memerlukan perawatan ekstra ke rumah jompo dianggap sebagai perbuatan yang tidak terpuji. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan ekstra lansia tersebut mereka mempekerjakan seorang perawat untuk merawat orangtuanya di rumah.
Melalui cara ini memang terdapat keuntungan maupun kerugiannya. Lansia dapat tetap tinggal di rumah sehingga ia mendapatkan rasa nyaman dan aman. Namun juga banyak hal yang harus diperhatikan secara seksama. Perlu diingat bahwa lansia memerlukan berbagai hal lain untuk dapat mempertahankan kualitas hidupnya seperti latihan-latihan yang dapat melatih kekuatan tubuhnya agar tidak terus menurun, ataupun bagaimana untuk mempertahankan fiingsi kognitifnya. Tak lupa bahwa lansia juga membutuhkan sosialisasi. Hal ini menuntut perhatian khusus dari keluarga yang menjaga lansia tersebut. Jangan sampai lansia merasa sendirian yang akan berdampak pada depresi walaupun berada di rumahnya sendiri.
Pada keadaan dimana keluarga dari lansia mempunyai keterbatasan waktu, dana, tenaga, dan kemampuan untuk merawat lansia maka rumah jompo dapat menjadi pilihan. Rumah jompo sekarang ini bukan merupakan tempat yang kumuh, reot ataupun jelek tetapi kini telah banyak rumah jompo yang baik dan tertata rapih juga menyediakan perawatan serta fasilitas yang baik dan lengkap untuk merawat lansia.
Di rumah jompo para lansia akan menemukan banyak teman, dimana selain mereka mendapatkan perawatan yang maksimal, juga telah diadakan berbagai kegiatan dan aktifitas yang dapat membantu mereka dalam mempertahankan fungsi motorik dan kognitifnya, seperti permainan, olahraga, keterampilan, juga terdapat hiburan. Makanannya pun telah diatur sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan nutrisi dengan baik. Pengukuran tanda-tanda vital seperti pengukuran tekanan darah, pengecekan gula darah, dll menjadi salah satu rutinitas di rumah jompo.
Namun patut diperhitungkan bahwa lansia kadang sukar beradaptasi terhadap lingkungan maupun suasana baru dan kadang lebih menyukai tinggal di rumahnya sendiri. Menjadi tua dan lemah adalah proses yang tidak terelakkan. Perawatan lansia harus dilakukan dengan teliti, sabar, dan penuh cinta. Perawatan lansia diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup lansia sehingga mereka tetap merasa bahagia dan dapat menjalani kehidupan masa tuanya dengan lebih baik. (Versayanti, 2008).
Berdasarkan paparan di atas, penulis ingin mengkaji tentang "Karakteristik perawatan lansia terhadap kebutuhan pemenuhan gizi di Panti Werdha X".

1.2 Tujuan Penelitian
Mengidentifikasi karakteristik perawatan lansia terhadap pemenuhan kebutuhan gizi di Panti Werdha X.

1.3 Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan dalam penelitian ini adalah :
Bagaimana karakteristik perawatan lansia terhadap pemenuhan kebutuhan gizi di Panti Werdha X.

1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini bermanfaat untuk praktek keperawatan, pendidikan keperawatan, dan penelitian keperawatan yang akan datang. Secara rinci manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.4.1 Praktek Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang karakteristik perawatan lansia terhadap pemenuhan gizi di Panti Werdha X, sehingga diharapkan akan dapat membantu perawat dalam meningkatkan pelayanan keperawatan yang berhubungan dengan masalah gizi lansia khususnya di Panti Werdha X.
1.4.2 Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar informasi bagi institusi pendidikan keperawatan tentang karakteristik perawatan lansia terhadap pemenuhan gizi di Panti Werdha X, dalam meningkatkan dan memperbaiki pendidikan keperawatan komunitas.
1.4.3 Penelitian Keperawatan yang akan datang
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan bagi pengembangan penelitian keperawatan selanjutnya yang berhubungan dengan pemenuhan gizi lansia yang dilakukan di berbagai tempat lainnya.
SKRIPSI GAMBARAN PERILAKU ORANGTUA TERHADAP ANAK BALITA PENDERITA GIZI BURUK DI KABUPATEN X

SKRIPSI GAMBARAN PERILAKU ORANGTUA TERHADAP ANAK BALITA PENDERITA GIZI BURUK DI KABUPATEN X

(KODE KES-MASY-0034) : SKRIPSI GAMBARAN PERILAKU ORANGTUA TERHADAP ANAK BALITA PENDERITA GIZI BURUK DI KABUPATEN X




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Tujuan Pembangunan Kesehatan sebagaimana yang tercantum didalam Sistem Ketahanan Nasional (SKN) adalah untuk tercapainya hidup sehat bagi setiap penduduk Indonesia sehingga mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Untuk itu, perlu ditingkatkan upaya memperluas pelayanan kesehatan pada masyarakat secara menyeluruh, terpadu, merata, dengan mutu yang baik dan biaya yang terjangkau. Keberhasilan pembangunan kesehatan berperan penting dalam meningkatkan mutu daya saing generasi yang mempunyai Sumber Daya Manusia (DepkesRI, 1999).
Salah satu hal yang penting diupayakan dalam peningkatan sumber daya manusia oleh pemerintah adalah memperbaiki gizi anak balita. Pada usia 0 sampai dengan 59 bulan (Balita) atau dengan istilah lain pada usia anak prasekolah, merupakan pola dasar dalam menciptakan tumbuh kembangnya anak. Karena pada masa ini pertumbuhan anak dipengaruhi oleh aspek ketahanan makanan (Food Security) dan aspek lain, adanya keamanan makanan (Food Safety) yang di konsumsi untuk anak (Soetjiningsih, 2003).
Memiliki anak yang sehat, cerdas dengan gizi yang seimbang adalah dambaan semua orangtua. Untuk mewujudkannya tentu orangtua harus selalu memperhatikan, mengawasi dan merawat anak pada umur balita. Proses alamiah dalam pertumbuhan anak tergantung pada perilaku orangtua. Apalagi pada masa usia balita merupakan periode penting dalam perkembangan yang akan menentukan pembentukan fisik, psikis maupun intelegensianya (Sulistijan, 2001).
Umumnya anak pada usia balita, yang mempengaruhi proses pertumbuhan anak adalah masalah gizinya. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa Indonesia tergolong sebagai negara dengan status kekurangan gizi yang tinggi pada tahun 2004. Sehingga mengelompokkan berdasarkan prevalensi gizi kurang, kedalam 4 kelompok yaitu rendah (dibawah 10%), sedang (10-19%), tinggi (20-29%) dan sangat tinggi (30%). Dengan menggunakan pengelompokkan gizi kurang berdasarkan WHO, Indonesia tahun 2004 tergolong negara dengan status kekurangan gizi yang tinggi karena 5.119.935 (atau 28,47%) dari 17.983.244 balita di Indonesia termasuk kelompok gizi kurang dan gizi buruk. Angka ini cenderung meningkat pada tahun 2005-2006 (Nurasiyah, 2007).
Selanjutnya, data dari Departemen Kesehatan RI menyebutkan, pada tahun 2004 masalah gizi masih terjadi di 77,3 % kabupaten dan 56 % kota di Indonesia. Data tersebut juga menyebutkan bahwa pada tahun 2003 sebanyak 5 juta anak balita (27,5%) kurang gizi dimana 3,5 juta (19,2 %) termasuk kelompok gizi kurang dan buruk. (www.Depkes.go.id, 2006). Demikian juga data dari laporan Dinas Kesehatan Provinsi X tahun 2007 bahwa terdapat 18 % (7.002) balita di X masih menderita gizi kurang dan buruk, dari jumlah 38.900 balita (Dinkes X, 2007).
Munculnya kasus gizi buruk pada anak-anak balita dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait. Secara langsung dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang pada usia balita, anak tidak mendapatkan asuhan gizi yang memadai dan anak menderita penyakit infeksi. Kemiskinan juga merupakan salah satu penyebab munculnya kasus gizi buruk terkait ketersediaan dan konsumsi pangan keluarga (Depkes RI, 2000).
Masalah gizi buruk bila tidak ditangani secara serius akan mengakibatkan bangsa Indonesia mengalami lost generation. Dampak lain yang ditimbulkan dari anak penderita gizi buruk adalah kesakitan, kematian, dan penurunan produktivitas yang diperkirakan antara 20-30% (Depkes RI, 2006). Anak yang kekurangan gizi pada usia balita akan tumbuh pendek, dan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan otak yang berpengaruh pada rendahnya tingkat kecerdasan, karena tumbuh kembang otak 80% terjadi pada masa balita yakni dalam kandungan sampai usia 2 tahun (www. gizi net).
Pemerintah Republik Indonesia melalui Departemen Kesehatan RI (2004) yang disalurkan lewat seluruh kabupaten dan kota, telah berupaya menanggulangi masalah gizi buruk dengan melakukan pemanfaatan kembali Posyandu, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam memantau tumbuh kembang balita, meningkatkan kemampuan petugas kesehatan, mewujudkan keluarga sadar gizi dan memberikan makanan tambahan, MP ASI dan pemberian kapsul vitamin A, menggalang kerjasama lintas sektoral dan kemitraan serta mengaktifkan kembali Si stem Kewaspadaan Dini Gizi Buruk.
Semua upaya-upaya pemerintah diatas, terkadang dalam melaksanakan programnya dilapangan sering terkendala oleh dana, perubahan perilaku kesehatan masyarakat yang dibatasi oleh faktor ekonomi, pengetahuan, sikap tidak mendukung program kesehatan dan kurangnya sosialisasi program perbaikan gizi. Demikian juga posyandu yang ada di desa-desa banyak tidak berfungsi, partisipasi masyarakat yang kurang pada dibidang kesehatan apalagi masalah gizi anak balita, sehingga semakin sulit berjalannya program penyuluhan kesehatan dan pemberian makanan tambahan (Www. Gizi. net).
Demikian juga data yang dilaporkan oleh Lembaga PBB Unicef tahun 2008, yang dijaring dari berbagai Kabupaten di Provinsi X. Ratusan Anak Balita ditemukan umumnya gizi kurang, bahkan lebih disayangkan lagi anak-anak tersebut ada yang taraf gizinya menderita gizi buruk. Ardi (2008) "Communication officer UNICEF" Kabupaten X, mengungkapkan bahwa hasil jaringan UNICEF dari ribuan posyandu di Provinsi X, diantaranya ada 3 kabupaten di X yang terdapat balita gizi kurang bahkan ada yang gizi buruk.
Unicef juga melakukan penanganan bagi para balita yang menderita gizi buruk di Provinsi X dengan cara anak balita yang mempunyai status gizi buruk diberikan terapi dengan pemberian Plumpy Nut, dan untuk mengetahui perkembangan selanjutnya dilakukan pengukuran perkembangan status gizi anak pada setiap bulannya di puskesmas terhadap semua balita yang terjaring.
Hasil survei awal (2009) berdasarkan laporan Unicef dan laporan tahunan Dinkes X bahwa Kabupaten X pada tahun 2007 dan 2008 merupakan Kabupaten paling banyak anak yang menderita gizi buruk dibandingkan dengan kabupaten lain di Provinsi X. Padahal kabupaten ini mempunyai sumber daya alam laut cukup luas, panjang pantainya 60 km dan lahan pertanian seluas 14.000 hektar serta perkebunan sawit seluas 15.000 hektar, sementara jumlah penduduknya baru 120.000 orang pada tahun 2008 (Disbun X, 2008).
Pemerintah Kabupaten X melalui Dinas Kesehatan mengumpulkan data anak penderita gizi buruk dari 10 puskesmas, bahwa terdapat balita yang gizi buruk laki-laki berjumlah 130 orang, gizi kurang balita laki-laki 353 orang, sedangkan balita yang gizi buruk perempuan berjumlah 147 orang, gizi kurang balita perempuan sebanyak 343 orang. Sehingga balita yang mengalami gizi buruk di X berjumlah 277 orang yang tersebar di 8 kecamatan dalam Kabupaten X (Dinkes X, 2008).
Untuk mengatasi gizi kurang dan gizi buruk di Kabupaten X, upaya yang sudah pernah dilakukan pemerintah daerah, antara lain membuat tim Operasi Sadar Gizi (OSG) yang di ketuai oleh Ibu PKK, melaksanakan sistim kewaspadaan dini yang intensif dilakukan oleh Dinas Kesehatan, memberikan makanan tambahan balita selama enam bulan berturut-turut MP ASI berupa susu, kacang hijau, memberikan penyuluhan gizi dan kesehatan melalui 132 posyandu. Disamping itu, Ibu PKK dan Dinkes X terus mengamati perkembangan anak-anak yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk dari minggu ke minggu, sehingga diharapkan anak-anak balita mengalami pemulihan pertumbuhan fisik dan berat badannya (Dinkes X,2007).
Selanjutnya laporan Dinas Kesehatan X (2008), umumnya anak-anak mengalami gizi buruk di X disebabkan oleh faktor keterbatasan pengetahuan orangtua, faktor kemampuan ekonomi rumah tangga yang tidak memadai dan ada faktor penyakit infeksi serta faktor tradisi/kebiasaan orangtua di daerah pedesaan X, bahwa adanya budaya karena terdesak oleh ketidak mampuan untuk membeli ikan, membatasi anak-anak untuk mengkonsumsi ikan berlebihan diyakini dapat mengakibatkan perut buncit dan cacingan, padahal ikan mempunyai protein yang tinggi. Namun diantara 4 faktor tersebut yang dominan adalah faktor perilaku yaitu keterbatasan pengetahuan, sikap dan tindakan orangtua terhadap anak-anak balita penderita gizi buruk yang belum sesuai dengan apa yang diharapkan.
Dari uraian diatas, ternyata di Kabupaten X masih banyak terdapat anak balita penderita gizi buruk, walaupun berbagai upaya sudah dilakukan, dan ini merupakan tantangan dalam bidang kesehatan, sehingga tertarik untuk meneliti "Gambaran perilaku orangtua terhadap anak balita penderita gizi buruk di Kabupaten X tahun 2009".

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi perumusan masalah adalah bagaimanakah gambaran perilaku orangtua terhadap anak balita penderita gizi buruk di Kabupaten X tahun 2009.

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran perilaku orangtua terhadap anak balita penderita gizi buruk di Kabupaten X tahun 2009.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui gambaran pengetahuan orangtua terhadap anak balita penderita gizi buruk di Kabupaten X.
2. Untuk mengetahui gambaran sikap orangtua terhadap anak balita penderita gizi buruk di kabupaten X.
3. Untuk mengetahui gambaran tindakan orangtua terhadap anak balita penderita gizi buruk di Kabupaten X.

1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat:
1. Sebagai masukan bagi Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kabupaten X dalam membuat program kebijakan kesehatan untuk mengatasi anak balita penderita gizi buruk.
2. Untuk memberikan informasi mengenai gambaran perilaku orangtua terhadap anak balita penderita gizi buruk di Kabupaten X.
3. Sebagai bahan masukan bagi pihak yang melanjutkan penelitian ini ataupun melakukan penelitian yang ada hubungannya dengan penelitian ini.
SKRIPSI PERUBAHAN BERAT BADAN ANAK BALITA GIZI BURUK YANG DIRAWAT DI RS X

SKRIPSI PERUBAHAN BERAT BADAN ANAK BALITA GIZI BURUK YANG DIRAWAT DI RS X

(KODE KES-MASY-0033) : SKRIPSI PERUBAHAN BERAT BADAN ANAK BALITA GIZI BURUK YANG DIRAWAT DI RS X




BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Masalah gizi pada hakekatnya adalah masalah kesehatan masyarakat, namun penanggulangannya tidak dapat dilakukan dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan saja. Penyebab timbulnya masalah gizi adalah multifaktor, oleh karena itu pendekatan penanggulangannya hams melibatkan berbagai sektor yang terkait. Masalah gizi di Indonesia dan di negara berkembang masih didominasi oleh masalah kurang energi protein (KEP), masalah anemia besi, masalah gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY), masalah kurang vitamin A (KVA) dan masalah obesitas terutama di kota-kota besar yang perlu ditanggulangi. Disamping masalah tersebut, diduga ada masalah gizi mikro lainnya seperti defisiensi zink yang sampai saat ini belum terungkapkan, karena adanya keterbatasan iptek gizi. Secara umum masalah gizi di Indonesia, terutama KEP masih lebih tinggi dari pada negara ASEAN lainnya (Supariasa,dkk 2002).
Kekurangan energi protein (KEP) adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi. Orang yang mengidap gejala klinis KEP ringan dan sedang pada pemeriksaan hanya nampak kurus. Namun gejala klinis KEP berat secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga, adalah marasmus, kwashiorkor, dan marasmic kwashiorkor.
Kwashiorkor disebabkan karena kurang protein. Marasmus disebabkan kurang energi dan marasmic kwashiorkor disebabkan karena kurang energi dan protein.
KEP umumnya diderita oleh balita dengan gejala hepatomegali (hati membesar). Tanda-tanda anak yang mengalami kwashiorkor adalah badan gemuk berisi cairan, depigmentasi kulit, rambut jagung dan muka bulan (moon face). Tanda-tanda anak yang mengalami marasmus adalah badan kurus kering, rambut rontok dan flek hitam pada kulit (Aritonang, E, 2000).
Pudjiadi (1990) juga menyatakan bahwa penyakit KEP merupakan bentuk malnutrisi yang terdapat terutama pada anak-anak di bawah umur lima tahun dan kebanyakan di negara-negara yang sedang berkembang. Sedangkan mortalitas yang tinggi terdapat pada penderita KEP berat, hal tersebut dapat terjadi karena pada umumnya penderita KEP berat menderita pula penyakit infeksi seperti tuberkulosa paru, radang paru lain, disentri, dan sebagainya. Pada penderita KEP berat, tidak jarang pula ditemukan tanda-tanda penyakit kekurangan zat gizi lain, misalnya xeroftalmia, stomatis angularis, dan Iain-lain.
Anak yang mengalami gizi buruk disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut penyebab langsung yaitu tidak mendapat makanan bergizi seimbang pada usia balita dan penyakit infeksi dan penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan keluarga, pola pengasuhan anak serta pelayanan kesehatan dan lingkungan (Dinkes Propsu, 2006).
Berdasarkan data Depkes RI (2004), pada tahun 2003 terdapat sekitar 5 juta anak (27,5%) kurang gizi. 3,5 juta anak (19,2%) dalam tingkat gizi kurang, dan 1,5 juta anak gizi buruk (8,3%). WHO (1999) mengelompokkan wilayah berdasarkan prevalensi gizi kurang ke dalam 4 kelompok adalah: rendah (di bawah 10%), sedang (10-19%), tinggi (20-29%), sangat tinggi (30%). Gizi buruk merupakan kondisi kurang gizi yang disebabkan rendahnya konsumsi energi dan protein (KEP) dalam makanan sehari-hari (Arifin, 2007).
Data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi X (2009), ditemukan gizi buruk sebanyak 447 balita (0,6%), sementara balita yang gizi kurang sebanyak 6.545 balita (8,9%). Kasus gizi buruk tertinggi di kota X terdapat di Kecamatan X yang mencapai 55 balita dan gizi kurang sebanyak 174 balita. Sementara di daerah X Timur ada 7 balita gizi buruk dan gizi kurang sebanyak 16 balita.
Anak balita gizi buruk umumnya akan di rawat di rumah sakit, karena di rumah sakit terdapat upaya untuk mengobati penyakit penderita (kuratif), disamping upaya-upaya lain seperti promotif, preventif dan rehabilitatif. Dalam melakukan perawatan anak balita gizi buruk, RS X merupakan rumah sakit rujuk tertinggi di wilayah X, baik bagi pengunjung rawat inap maupun rawat jalan. Berdasarkan data RS X tahun 2009, ditemukan sebanyak 34 anak balita gizi buruk yang di rawat inap dan 16 balita gizi buruk rawat jalan pada bulan Januari sampai dengan Desember tahun 2009.
Anak balita gizi buruk yang menjalani perawatan dari pelayanan kesehatan rumah sakit, status gizi anak balita gizi buruk tersebut setidaknya akan mengalami peningkatan. Perubahan tersebut dapat berupa perubahan dari gizi buruk menjadi gizi kurang atau bahkan bisa berubah menjadi normal. Namun demikian juga tidak menutup kemungkinan adanya penumnan status gizi yang lebih parah lagi dalam kumn waktu beberapa minggu atau bulan karena pada kumn waktu tersebut adanya perubahan status gizi akan dapat dilihat kembali. Perubahan status gizi tersebut disebabkan oleh faktor tertentu seperti komplikasi penyakit dan pemberian makanan.

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat disusun perumusan masalah sebagai berikut: bagaimana perubahan berat badan anak balita gizi buruk tahun 2009 yang dirawat di RS X.

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan berat badan anak balita gizi buruk yang dirawat di RS X.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui status gizi anak balita gizi buruk pada awal rawat dan akhir dirawat di RS X.
2. Mengetahui komplikasi penyakit anak balita gizi buruk pada awal rawat dan akhir dirawat di RS X.
3. Mengetahui jumlah pemberian energi dan protein anak balita gizi buruk pada awal rawat dan akhir dirawat di RS X.
4. Mengetahui terapi diet dan penyakit anak balita gizi buruk.

1.4. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan informasi kepada pihak mmah sakit tentang perubahan berat badan anak balita gizi buruk.
2. Untuk memberikan informasi kepada pihak rumah sakit mengenai status gizi anak balita gizi buruk pada awal dan akhir rawat inap.
3. Sebagai bahan masukan dan informasi bagi semua pihak yang terkait dalam meningkatkan pelayanan terhadap anak balita gizi buruk yang dirawat di RS X.