Search This Blog

SKRIPSI PENGARUH KOMPETENSI DAN INDEPENDENSI AUDITOR TERHADAP KUALITAS AUDIT

SKRIPSI PENGARUH KOMPETENSI DAN INDEPENDENSI AUDITOR TERHADAP KUALITAS AUDIT

(KODE EKONAKUN-0065) : SKRIPSI PENGARUH KOMPETENSI DAN INDEPENDENSI AUDITOR TERHADAP KUALITAS AUDIT


BAB I
PENDAHULUAN


I.1 Latar Belakang Masalah
Profesi akuntan publik merupakan profesi kepercayaan masyarakat. Dari profesi akuntan publik, masyarakat mengharapkan penilaian yang bebas dan tidak memihak terhadap informasi yang disajikan oleh manajemen perusahaan dalam laporan keuangan (Mulyadi dan Puradiredja, 1998:3). Profesi akuntan publik bertanggungjawab untuk menaikkan tingkat keandalan laporan keuangan perusahaan, sehingga masyarakat memperoleh informasi keuangan yang andal sebagai dasar pengambilan keputusan.
Guna menunjang profesionalismenya sebagai akuntan publik maka auditor dalam melaksanakan tugas auditnya harus berpedoman pada standar audit yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), yakni standar umum, standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan. Dimana standar umum merupakan cerminan kualitas pribadi yang harus dimiliki oleh seorang auditor yang mengharuskan auditor untuk memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup dalam melaksanakan prosedur audit. Sedangkan standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan mengatur auditor dalam hal pengumpulan data dan kegiatan lainnya yang dilaksanakan selama melakukan audit serta mewajibkan auditor untuk menyusun suatu laporan atas laporan keuangan yang diauditnya secara keseluruhan.
Namun selain standar audit, akuntan publik juga harus mematuhi kode etik profesi yang mengatur perilaku akuntan publik dalam menjalankan praktik profesinya baik dengan sesama anggota maupun dengan masyarakat umum. Kode etik ini mengatur tentang tanggung jawab profesi, kompetensi dan kehati-hatian profesional, kerahasiaan, perilaku profesional serta standar teknis bagi seorang auditor dalam menjalankan profesinya.
Akuntan publik atau auditor independen dalam tugasnya mengaudit perusahaan klien memiliki posisi yang strategis sebagai pihak ketiga dalam lingkungan perusahaan klien yakni ketika akuntan publik mengemban tugas dan tanggung jawab dari manajemen (Agen) untuk mengaudit laporan keuangan perusahaan yang dikelolanya. Dalam hal ini manajemen ingin supaya kinerjanya terlihat selalu baik dimata pihak eksternal perusahaan terutama pemilik (prinsipal). Akan tetapi disisi lain, pemilik (prinsipal) menginginkan supaya auditor melaporkan dengan sejujurnya keadaan yang ada pada perusahaan yang telah dibiayainya. Dari uraian di atas terlihat adanya suatu kepentingan yang berbeda antara manajemen dan pemakai laporan keuangan.
Kepercayaan yang besar dari pemakai laporan keuangan auditan dan jasa lainnya yang diberikan oleh akuntan publik inilah yang akhirnya mengharuskan akuntan publik memperhatikan kualitas audit yang dihasilkannya. Adapun pertanyaan dari masyarakat tentang kualitas audit yang dihasilkan oleh akuntan publik semakin besar setelah terjadi banyak skandal yang melibatkan akuntan publik baik diluar negeri maupun didalam negeri. Skandal didalam negeri terlihat dari akan diambilnya tindakan oleh Majelis Kehormatan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) terhadap 10 Kantor Akuntan Publik yang diindikasikan melakukan pelanggaran berat saat mengaudit bank-bank yang dilikuidasi pada tahun 1998. Selain itu terdapat kasus keuangan dan manajerial perusahaan publik yang tidak bisa terdeteksi oleh akuntan publik yang menyebabkan perusahaan didenda oleh Bapepam (Winarto, 2002 dalam Christiawan 2003:82).
Selain fenomena di atas, kualitas audit yang dihasilkan akuntan publik juga tengah mendapat sorotan dari masyarakat banyak yakni seperti kasus yang menimpa akuntan publik Justinus Aditya Sidharta yang diindikasi melakukan kesalahan dalam mengaudit laporan keuangan PT. Great River Internasional,Tbk. Kasus tersebut muncul setelah adanya temuan auditor investigasi dari Bapepam yang menemukan indikasi penggelembungan account penjualan, piutang dan asset hingga ratusan milyar rupiah pada laporan keuangan Great River yang mengakibatkan perusahaan tersebut akhirnya kesulitan arus kas dan gagal dalam membayar utang. Sehingga berdasarkan investigasi tersebut Bapepam menyatakan bahwa akuntan publik yang memeriksa laporan keuangan Great River ikut menjadi tersangka. Oleh karenanya Menteri Keuangan RI terhitung sejak tanggal 28 November 2006 telah membekukan izin akuntan publik Justinus Aditya Sidharta selama dua tahun karena terbukti melakukan pelanggaran terhadap Standar Profesi Akuntan Publik (SPAP) berkaitan dengan laporan Audit atas Laporan Keuangan Konsolidasi PT. Great River tahun 2003.
Dalam konteks skandal keuangan di atas, memunculkan pertanyaan apakah trik-trik rekayasa tersebut mampu terdeteksi oleh akuntan publik yang mengaudit laporan keuangan tersebut atau sebenarnya telah terdeteksi namun auditor justru ikut mengamankan praktik kejahatan tersebut. Tentu saja jika yang terjadi adalah auditor tidak mampu mendeteksi trik rekayasa laporan keuangan, maka yang menjadi inti permasalahannya adalah kompetensi atau keahlian auditor tersebut. Namun jika yang terjadi justru akuntan publik ikut mengamankan praktik rekayasa tersebut, seperti yang terungkap juga pada skandal yang menimpa Enron, Andersen, Xerox, WorldCom, Tyco, Global Crossing, Adelphia dan Walt Disney (Sunarsip 2002 dalam Christiawan 2003:83) maka inti permasalahannya adalah independensi auditor tersebut. Terkait dengan konteks inilah, muncul pertanyaan seberapa tinggi tingkat kompetensi dan independensi auditor saat ini dan apakah kompetensi dan independensi auditor tersebut berpengaruh terhadap kualitas audit yang dihasilkan oleh akuntan publik.
Kualitas audit ini penting karena dengan kualitas audit yang tinggi maka akan dihasilkan laporan keuangan yang dapat dipercaya sebagai dasar pengambilan keputusan. Selain itu adanya kekhwatiran akan merebaknya skandal keuangan, dapat mengikis kepercayaan publik terhadap laporan keuangan auditan dan profesi akuntan publik.
De Angelo dalam Kusharyanti (2003:25) mendefinisikan kualitas audit sebagai kemungkinan (joint probability) dimana seorang auditor akan menemukan dan melaporkan pelanggaran yang ada dalam sistem akuntansi kliennya. Kemungkinan dimana auditor akan menemukan salah saji tergantung pada kualitas pemahaman auditor (kompetensi) sementara tindakan melaporkan salah saji tergantung pada independensi auditor. Sementara itu AAA Financial Accounting Commite (2000) dalam Christiawan (2002:83) menyatakan bahwa "Kualitas audit ditentukan oleh 2 hal yaitu kompetensi dan independensi. Kedua hal tersebut berpengaruh langsung terhadap kualitas audit.
Berkenaan dengan hal tersebut, Trotter(1986) dalam Saifuddin (2004:23) mendefinisikan bahwa seorang yang berkompeten adalah orang yang dengan ketrampilannya mengerjakan pekerjaan dengan mudah, cepat, intuitif dan sangat jarang atau tidak pernah membuat kesalahan. Senada dengan pendapat Trotter, selanjutnya Bedard (1986) dalam Sri Lastanti (2005:88) mengartikan kompetensi sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan prosedural yang luas yang ditunjukkan dalam pengalaman audit.
Adapun Kusharyanti (2003:3) mengatakan bahwa untuk melakukan tugas pengauditan, auditor memerlukan pengetahuan pengauditan (umum dan khusus), pengetahuan mengenai bidang auditing dan akuntansi serta memahami industri klien.
Dalam melaksanakan audit, auditor harus bertindak sebagai seorang ahli dalam bidang akuntansi dan auditing. Pencapaian keahlian dimulai dengan pendidikan formal, yang selanjutnya melalui pengalaman dan praktek audit (SPAP, 2001). Selain itu auditor harus menjalani pelatihan teknis yang cukup yang mencakup aspek teknis maupun pendidikan umum.
Penelitian yang dilakukan oleh Libby dan Frederick (1990) dalam Kusharyanti (2003:26) menemukan bahwa auditor yang berpengalaman mempunyai pemahaman yang lebih baik atas laporan keuangan. Mereka juga lebih mampu memberi penjelasan yang masuk akal atas kesalahan-kesalahan dalam laporan keuangan dan dapat mengelompokkan kesalahan berdasarkan pada tujuan audit dan struktur dari si stem akuntansi yang mendasari. Kemudian Tubbs (1990) dalam artikel yang sama berhasil menunjukkan bahwa semakin berpengalamannya auditor, mereka semakin peka dengan kesalahan penyajian laporan keuangan dan semakin memahami hal-hal yang terkait dengan kesalahan yang ditemukan tersebut.
Sehingga berdasarkan uraian di atas dan dari penelitian yang terdahulu dapat disimpulkan bahwa kompetensi auditor dapat dibentuk diantaranya melalui pengetahuan dan pengalaman.
Namun sesuai dengan tanggungjawabnya untuk menaikkan tingkat keandalan laporan keuangan suatu perusahaan maka akuntan publik tidak hanya perlu memiliki kompetensi atau keahlian saja tetapi juga harus independen dalam pengauditan. Tanpa adanya independensi, auditor tidak berarti apa-apa. Masyarakat tidak percaya akan hasil auditan dari auditor sehingga masyarakat tidak akan meminta jasa pengauditan dari auditor. Atau dengan kata lain, keberadaan auditor ditentukan oleh independensinya (Supriyono, 1988).
Standar umum kedua (SA seksi 220 dalam SPAP, 2001) menyebutkan bahwa "Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor". Standar ini mengharuskan bahwa auditor harus bersikap independen (tidak mudah dipengaruhi), karena ia melaksanakan pekerjaannya untuk kepentingan umum. Dengan demikian ia tidak dibenarkan untuk memihak. Auditor harus melaksanakan kewajiban untuk bersikap jujur tidak hanya kepada manajemen dan pemilik perusahaan, namun juga kepada kreditor dan pihak lain yang meletakkan kepercayaan atas laporan keuangan auditan.
Hal inilah yang menarik untuk diperhatikan bahwa profesi akuntan publik ibarat pedang bermata dua. Disatu sisi auditor harus memperhatikan kredibilitas dan etika profesi, namun disisi lain auditor juga harus menghadapi tekanan dari klien dalam berbagai pengambilan keputusan. Jika auditor tidak mampu menolak tekanan dari klien seperti tekanan personal, emosional atau keuangan maka independensi auditor telah berkurang dan dapat mempengaruhi kualitas audit. Salah satu faktor lain yang mempengaruhi independensi tersebut adalah jangka waktu dimana auditor memberikan jasa kepada klien (auditor tenure).
Selain itu untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap independensi auditor maka pekerjaan akuntan dan operasi Kantor Akuntan Publik (KAP) perlu dimonitor dan di "audit" oleh sesama auditor (peer review) guna menilai kelayakan desain sistem pengendalian kualitas dan kesesuaiannya dengan standar kualitas yang diisyaratkan sehingga output yang dihasilkan dapat mencapai standar kualitas yang tinggi. Peer review sebagai mekanisme monitoring yang dipersiapkan oleh auditor dapat meningkatkan kualitas jasa akuntansi dan audit. Selain itu peer review dirasakan memberi manfaat baik bagi klien, kantor akuntan publik maupun akuntan yang terlibat dalam peer review. Manfaat tersebut antara lain mengurangi risiko litigation (tuntutan), memberikan pengalaman positif, mempertinggi moral pekerja, memberikan competitive edge dan lebih meyakinkan klien atas kualitas jasa yang diberikan (Harjanti, 2002:59)
Ada beberapa penelitian tentang kualitas audit yang telah dilakukan baik dari segi topik maupun metode penelitian (Kusharyanti, 2003). Dari segi topik antara lain: Besaran KAP (De Angelo,1981; Palmrose, 1986 ;Deis dan Giroux, 1992), audit tenure (Aldhizer dan Lampe, 1997), audit fee (Jansen dan Payne, 2003), jasa non audit (Standards dan Poor, 2000 ; Wooten, 2003).
Sedangkan dari segi metode penelitian, saat ini masih sedikit penelitian yang difokuskan pada pengembangan rerangka konseptual yang bisa menangkap konstruk kualitas audit. Pengembangan model yang komprehensip mengenai kualitas audit perlu dilakukan sehingga model tersebut dapat menangkap kompleksitas yang ditemukan dalam penelitian kualitas audit. Salah satu model kualitas audit yang dikembangkan adalah model De Angelo (1981). Dimana fokusnya ada pada dua dimensi kualitas audit yaitu kompetensi dan independensi. Selanjutnya, kompetensi diproksikan dengan pengalaman dan pengetahuan. Sedangkan independensi diproksikan dengan lama hubungan dengan klien (audit tenure), tekanan dari klien, telaah dari rekan auditor (peer review) dan jasa non audit. Adapun model kualitas audit lain yang dikembangkan adalah model kualitas audit menurut Catanach dan Walker (1999), dimana mereka memfokuskan pada dimensi kemampuan auditor, professional conduct, dampak insentif ekonomi dan struktur pasar.
Namun dalam penelitian ini akan menggunakan model De Angelo. Hal ini berkaitan dengan adanya penelitian-penelitian terdahulu yang ternyata belum menemukan kesepakatan sehingga perlu diteliti lebih lanjut. Selain itu, lingkungan audit yang juga berubah terus memicu penelitian dari lingkup yang lebih luas. Dari segi metoda penelitian, pengembangan model kualitas audit yang dapat menangkap kompleksitas kualitas audit masih sedikit sehingga perlu digali lagi. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan menguji kembali model De Angelo dengan menggunakan dimensi kompetensi yang diproksikan menjadi dua sub variabel yakni pengetahuan dan pengalaman. Sedangkan dimensi independensi dikembangkan proksi antara lain lama hubungan dengan klien (audit tenure), tekanan dari klien, telaah dari rekan auditor (peer review), dan jasa non audit.
Penelitian mengenai kualitas audit penting bagi KAP dan auditor agar mereka dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas audit dan selanjutnya dapat meningkatkannya kualitas audit yang dihasilkannya. Bagi pemakai jasa audit, penelitian ini penting yakni untuk menilai sejauh mana akuntan publik dapat konsisten dalam menjaga kualitas jasa audit yang diberikannya.
Atas dasar latar belakang di atas, maka peneliti mengangkat judul "Pengaruh kompetensi dan independensi auditor terhadap kualitas audit (Studi empiris pada Kantor Akuntan Publik di X)"

I.2. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini antara lain :
1. Apakah kompetensi dan independensi auditor secara simultan berpengaruh terhadap kualitas audit ?
2. Apakah kompetensi dan independensi auditor secara parsial berpengaruh terhadap kualitas audit ?

I.3 Penegasan Istilah
Untuk menghindari salah pengertian dalam penelitian ini maka perlu diberikan penjelasan terhadap istilah-istilah berikut ini :
I.3.1 Kompetensi
Bedard (1986) dalam Sri Lastanti (2005:88) mengartikan kompetensi sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan prosedural yang luas yang ditunjukkan dalam pengalaman audit.
Dalam standar pengauditan, khususnya standar umum disebutkan bahwa audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis cukup sebagai auditor serta dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama. De Angelo(1981) dalam Kartika Widhi (2005:7) memproksikan kompetensi kedalam 2 (dua) komponen yaitu pengetahuan dan pengalaman.
I.3.1.1 Pengetahuan
Pengetahuan diukur dari seberapa tinggi pendidikan seorang auditor karena dengan demikian auditor akan mempunyai semakin banyak pengetahuan (pandangan) mengenai bidang yang digelutinya sehingga dapat mengetahui berbagai masalah secara lebih mendalam, selain itu auditor akan lebih mudah dalam mengikuti perkembangan yang semakin kompleks (Meinhard et.al, 1987 dalam Harhinto, 2004:35).
Untuk melakukan tugas pengauditan, auditor memerlukan pengetahuan pengauditan (umum dan khusus) dan pengetahuan mengenai bidang pengauditan, akuntansi dan industri klien. Secara umum ada lima jenis pengetahuan yang harus dimiliki auditor yaitu (1.) pengetahuan umum, (2.) area fungsional, (3.) isu akuntansi, (4.) industri khusus, dan (5.) pengetahuan bisnis umum serta penyelesaian masalah.
I.3.1.2 Pengalaman
Menurut Loeher (2002) Pengalaman merupakan akumulasi gabungan dari semua yang diperoleh melalui berhadapan dan berinteraksi secara berulang-ulang dengan sesama benda alam, keadaan, gagasan, dan penginderaan.
I.3.2 Independensi
Kode Etik Akuntan Publik menyebutkan bahwa independensi adalah sikap yang diharapkan dari seorang akuntan publik untuk tidak mempunyai kepentingan pribadi dalam melaksanakan tugasnya, yang bertentangan dengan prinsip integritas dan objektivitas. Penelitian mengenai independensi sudah cukup banyak dilakukan baik itu dalam negeri maupun luar negeri dengan menggunakan berbagai ukuran. Namun dalam penelitian ini independensi auditor diukur melalui : Lama hubungan dengan klien (audit tenure), tekanan dari klien, telaah dari rekan auditor (peer review), dan jasa non audit.
I.3.2.1 Lama hubungan dengan klien (audit tenure).
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No.423/KMK.06/2002 tentang jasa akuntan publik, membatasi masa kerja auditor paling lama 3 tahun untuk klien yang sama, sementara untuk Kantor Akuntan Publik (KAP) boleh sampai 5 tahun.
Pembatasan ini dimaksudkan agar auditor tidak terlalu dekat dengan klien sehingga dapat mencegah terjadinya skandal akuntansi.
I..3.2.2 Tekanan dari klien.
Tekanan dari klien dapat timbul pada situasi konflik antara auditor dengan klien. Situasi konflik terjadi ketika antara auditor dengan manajemen atau klien tidak sependapat dengan beberapa aspek hasil pelaksanaan pengujian laporan keuangan (atestasi).
Tekanan dari klien seperti tekanan personal, emosional atau keuangan dapat mengakibatkan independensi auditor berkurang dan dapat mempengaruhi kualitas audit (Kusharyanti 2002:29). Dengan menerima fee audit yang besar dan pemberian fasilitas dari klien, auditor dapat mengalami tekanan dari klien.Tekanan dari klien tersebut dapat berupa tekanan untuk memberikan pernyataan wajar tanpa pengecualian pada laporan audit atas laporan keuangan yang disajikan oleh pihak manajemen.
I.3.2.3 Telaah dari rekan auditor (peer review).
Telaah dari rekan auditor (peer review) merupakan mekanisme monitoring yang dipersiapkan oleh auditor dapat meningkatkan kualitas jasa akuntansi dan audit (Harjanti, 2002:59)
I.3.2.4 Jasa non audit.
Jasa yang diberikan oleh KAP bukan hanya jasa atestasi melainkan juga jasa non atestasi yang berupa jasa konsultasi manajemen dan perpajakan serta jasa akuntansi seperti jasa penyusunan laporan keuangan.(Kusharyanti, 2002:29)
I.3.3 Kualitas Audit
De Angelo (1981) dalam Kusharyanti (2003:25) mendefinisikan kualitas audit sebagai kemungkinan (joint probability) dimana seorang auditor akan menemukan dan melaporkan pelanggaran yang ada dalam sistem akuntansi kliennya. Kemungkinan dimana auditor akan menemukan salah saji tergantung pada kualitas pemahaman auditor (kompetensi) sementara tindakan melaporkan salah saji tergantung pada independensi auditor. Kualitas audit ini sangat penting karena kualitas audit yang tinggi akan menghasilkan laporan keuangan yang dapat dipercaya sebagai dasar pengambilan keputusan.

I.4 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.4.1 Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui secara empiris pengaruh kompetensi dan independensi secara simultan terhadap kualitas audit.
2. Untuk mengetahui secara empiris pengaruh kompetensi dan independensi secara parsial terhadap kualitas audit.
1.4.2 Kegunaan dari penelitian ini adalah :
1. Kegunaan Teoritis
a. Melalui penelitian ini, peneliti mencoba memberikan bukti empiris tentang pengaruh kompetensi dan independensi terhadap kualitas audit.
b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan memberikan sumbangan konseptual bagi peneliti sejenis maupun civitas akademika lainnya dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan untuk perkembangan dan kemajuan dunia pendidikan.
2. Kegunaan Praktis
a. Dapat digunakan sebagai masukan bagi pimpinan Kantor Akuntan Publik dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas kerjanya.
b. Sebagai bahan evaluasi bagi para auditor sehingga dapat meningkatkan kualitas auditnya.
SKRIPSI PENGARUH MANAGERIAL OWNERSHIP TERHADAP INTELLECTUAL CAPITAL DISCLOSURE

SKRIPSI PENGARUH MANAGERIAL OWNERSHIP TERHADAP INTELLECTUAL CAPITAL DISCLOSURE

(KODE EKONAKUN-0064) : SKRIPSI PENGARUH MANAGERIAL OWNERSHIP TERHADAP INTELLECTUAL CAPITAL DISCLOSURE


BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Revolusi dalam bidang ekonomi membawa dampak perubahan yang cukup radikal dalam cara pengelolaan suatu bisnis dan penentuan strategi bersaing. Hal ini dipicu dengan munculnya virtual company dan bisnis "dot com", dimana informasi menjadi suatu hal yang vital bagi kemajuan bisnis, yang kemudian disebut oleh Toffler sebagai era informasi (Information Age). Para pelaku bisnis mulai menyadari bahwa kemampuan bersaing tidak hanya terletak pada kepemilikan mesin-mesin industri, tetapi lebih pada inovasi, informasi, dan knowledge sumber daya manusia yang dimilikinya, dengan kata lain, aktiva tak berwujud (intagible assets) mendapat perhatian yang lebih serius jika dibandingkan dengan aktiva berwujud (tangible assets). Istilah-istilah seperti knowledge management, intellectual capital, knowledge organization, human capital banyak bermunculan seiring dengan perubahan atas nilai ekonomis suatu organisasi. Istilah-istilah tersebut juga mewakili perubahan paradigma atas keunggulan kompetitif organisasi yang sekarang ini menitikberatkan pada kemampuan individu dalam suatu organisasi. Munculnya teknologi informasi juga ikut memicu pertumbuhan organisasi yang berbasis knowledge, dimana knowledge menjadi senjata untuk memenangkan persaingan bisnis. Organisasi semakin menyadari akan pentingnya knowledge asset sebagai salah satu bentuk aset takberwujud. Standfield (1999) dalam Widyaningdyah (2006) percaya akan dampak yang sangat nyata atas asset tak berwujud ini, bahkan dari hasil studinya dia mengambil kesimpulan bahwa eksekutif mulai kehilangan kepercayaan atas data historis laporan keuangan dan mulai menggunakan informasi tambahan untuk keperluan pengambilan keputusan strategis. Dengan kata lain, akuntansi tradisional yang sudah 500 tahun digunakan sebagai dasar pembuatan laporan keuangan saat ini gagal dalam mengadaptasi perubahan ekonomi yang cukup radikal.
Dewasa ini, masyarakat sedang mengalami perubahan yang sangat besar. Kita bisa menyebutnya the new of economy, the knowledge economy atau the knowledge society (Danish, 2000). Ada banyak penjelasan yang akan digunakan untuk apa konsep ini dan akan digunakan untuk apa dalam pengembangan manusia, perusahaan dan masyarakat. Sekarang pertumbuhan perusahaan yang sadar akan kondisi baru ekonomi dunia dimana masing-masing perusahaan menjalankan roda bisnisnya secara kompetitif mengalami perubahan yag sangat cepat. Hal ini melahirkan pula banyaknya perusahaan yang membuat inovasi produk baru yang didalamnya terdapat knowledge resources.Banyak dari perusahaan-perusahaan tersebut yang mengembangkan juga knowledge resources yang dimilikinya. Seperti tenaga kerja, pelanggan, proses dan teknologinya. Munculnya industri-industri baru yang berbasis pengetahuan (knowledge-based-industries) menandai adanya perkembangan ekonomi global. Contoh industri berbasis pengetahuan tersebut adalah industri komputer, industri software, industri yang bergerak di bidang penelitian dan industri lainnya dibidang jasa (Widyaningrum, 2004). Industri jasa merupakan industri yang memperoleh pendapatannya dari aktivitas pemberian jasa atau pelayanan yang merupakan produknya. Dengan kata lain knowlegde yang dimiliki oleh industri jasa mendapatkan sebagian besar pendapatannya dari aktivitas menggunakan knowledge-nya. Oleh sebab itu, knowlegde merupakan aset penting bagi industri jasa yang harus dilaporkan kepada baik pemegang saham maupun stakeholder-nya. Namun, knowlegde yang merupakan komponen penting yang dimiliki oleh industri-industri tersebut tidak dapat ditemukan dalam pelaporan aset perusahaan di dalam laporan keuangan menurut akuntansi tradisional. Disisi lain knowlegde dalam jenis industri tersebut merupakan aset yang penting, sehingga terjadi ketidakmampuan laporan keuangan melaporkan semua aset yang dimiliki perusahaan di dalam konsep dan praktik akuntansi tradisional. Laporan keuangan diakui gagal dalam menggambarkan cakupan luas pengkreasian nilai intangible asset (Lev dan Zarowin, 1999), memunculkan peningkatan informasi asimetri antara perusahaan dengan user (Barth,, Kasznik, dan McNichols, 2001), dan menciptakan ketidakefisienan dalam proses alokasi sumber daya dalam pasar modal (Li, Pike, dan Haniffa, 2008).
Akuntansi dalam dunia nyata telah membantu manajemen dan pihak lainnya dalam organisasi untuk melihat secara jelas fenomena konseptual dan abstrak yang belum pernah dipikirkan sebelumnya, seperti biaya (cost), dan laba (profit), yang dalam praktek akuntansi sekarang dikenal sebagai simbol yang telah diterima secara umum. Hal ini tentu akan berkembang seiring dengan berjalannya waktu, akan ada simbol-simbol baru yang dimungkinkan akan diekspresikan di kemudian hari. Hal ini tercermin dalam semakin maraknya praktek voluntary disclosure yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar yang sebelumnya dirasa tabu untuk diungkapkan. Salah satu informasi yang dipandang perlu diungakap adalah pengetahuan, inovasi, dan keterampilan yang dimiliki oleh perusahaan yang merupakan komponen yang termasuk dalam intellectual capital (IC). Menurut Cerbioni dan Parbonetti (2007), intellectual capital disclosure merupakan bagian dari voluntary disclosure. Di Indonesia, fenomena IC mulai berkembang terutama setelah munculnya PSAK No. 19 (revisi 2000) tentang aktiva tidak berwujud. Menurut PSAK No. 19, aktiva tidak berwujud adalah aktiva non moneter yang dapat diidentifikasi dan tidak mempunyai serta dimiliki untuk digunakan dalam menghasilkan atau menyerakan barang atau jasa, disewakan kepada pihak lainnya atau untuk tujuan administratif.
Beberapa bentuk pengungkapan intellectual capital merupakan informasi yang bernilai bagi investor, yang dapat membantu mereka mengurangi ketidakpastian mengenai prospek ke depan dan memfasilitasi ketepatan penilaian terhadap perusahaan (Bukh, 2003). Intellectual capital disclosure juga dapat menunjukkan kinerja keuangan yang lebih baik (Saleh, Rahman, dan Hasan., 2007). Saat ini, pengakuan terhadap pengaruh intellectual capital dalam menciptakan dan mempertahankan keuntungan kompetitif dan shareholder value, naik secara signifikan (Tayles, Pike, dan Sofian, 2007).
Perkembangan ekonomi dunia ditunjukkan dengan cara kerja perusahaan di dunia yang diiringi dengan peningkatan penggunaan teknologi. Peningkatan kualitas teknologi yang digunakan oleh perusahaan mengindikasikan adanya value added bagi perusahaan tersebut (Saleh, Faisal, 2008). Beberapa peneliti telah menemukan adanya gap yang besar antara nilai pasar dan nilai buku yang diungkapkan oleh perusahaan yang disebabkan karena perusahaan-perusahaan gagal melaporkan "hidden value' dalam laporan tahunannya (Brenan dan Cornell, 2000, dan Mouritsen, 2004). Sebagai contoh, di Amerika rasio market value to book value yang dilaporkan oleh Standard & Poor adalah 1:1 di tahun 1970 tetapi rasio ini telah melebar sampai 1:6 di tahun 2000 (Robert, 2000). Dalam berbagai pendapat, hal ini merefleksikan spekulasi yang berlebihan oleh para pemain pasar. Meskipun demikian, dalam waktu yang lama pertentangan market value and book value bias menjadi lebih baik dengan perubahandari sumber penciptaan nilai sebagai nilai ekonomis yang berubah dari aktiva tak berwujud ke intellectual capital (IC).
Salah satu industri yang menggunakan knowledge di dalam upayanya mendapatkan pendapatan usahanya adalah perusahaan asuransi. Asuransi adalah suatu perjanjian, dengan mana seseorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tentu (pasal 246 KUHD). Definisi Asuransi menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian Bab 1, Pasal 1 menyebutkan asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Selain pengertian ini masih banyak definisi yang lain, seperti dalam konsep Islam, asuransi bukan semata profit oriented, tetapi ia mengandung nilai social oriented (Khalil, 2006). Asuransi syariah, adalah saling menanggung, atau juga diartikan tanggungjawab sosial. Tanggung menanggung dalam hal-hal yang bersifat bisnis seperti yang dilakukan oleh berbagai perusahaan asuransi syariah atau saling tanggung menanggung dalam tangungjawab hukum seperti seseorang yang menjamin orang lain dalam membayar utangnya dll. Asuransi syariah juga disinonimkan dengan saling tolong menolong, dengan demikian arti daripada asuransi syariah itu semakin kaya tidak tertumpu kepada satu kata takaful saja. Pengertian-pengertian asuransi syariah di atas diperkaya lagi oleh pendapat para pakar perundangan Islam. Asuransi syariah ialah dimana masyarakat hidup saling menjamin atau tolong menolong diantara sesama mereka, hal ini didorong oleh perasaan hati yang ikhlas karena naluri keimanan dalam rangka mewujudkan kehidupan masyarakat yang adil dan sejahtera (Abdullah, 2006).
Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam proses penerapan good corporate governance ada masalah yang muncul didalamnya. Permasalahan yang muncul pada suatu perusahaan asuransi dapat menimbulkan masalah kepada nasabah, investor, ataupun pihak-pihak lainnya yang bersinggungan dengan asuransi. Dalam hal ini karena asuransi selalu dikaitkan dengan resiko, seperti dinyatakan bahwa pengalihan resiko (transfer of risk) disebut asuransi (Robert Mehr, Emmerson Cammack, 2005). Dalam pernyataan yang lain asuransi selalu berkaitan dengan resiko (Insurance is To Do with Risk) (Hansell, 2005). Demikian kompleksnya asuransi merupakan suatu alasan pentingnya pemberian informasi mengenai kejadian-kejadian di dalam asuransi baik kejadian ekonomis maupun kejadian non-ekonomis kepada stakeholder-nya. Di dalam hal ini, nasabah merupakan stakeholder yang memiliki power paling tinggi karena operasional perusahaan asuransi berasal dari dana nasabah. Dan memberikan informasi sedetil-detilnya akan meningkatkan kepercayaan nasabah kepada perusahaan asuransi.
Fakta perkembangan asuransi syariah di dunia juga mengindikasikan bahwa dalam berbagai hal asuransi syariah memiliki prospek yang cerah di masa yang akan datang. Hingga saat ini, perusahaan asuransi syariah tersebar di seluruh dunia. Perkembangan asuransi dibilang cukup pesat. Dari asset $550 juta pada tahun 2000, $193 juta diantaranya berada di Asia Pasifik, meningkat menjadi $1,7 milyar. Angka ini terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah asuransi syariah di dunia. Pada tahun 2004 asetnya sudah mencapai $2 milyar. Angka-angka di atas merupakan akumulasi untuk asuransi jiwa dan selain jiwa. Asuransi keluarga syariah mendominasi perkembangan asuransi dunia, mencapai 75%, di mana 60%nya berasal dari asuransi jiwa syariah. Premi asuransi syariah di dunia saat ini diestimasi berjumlah antara 1,7 hingga 2,3 miliar dolar AS. Dari jumlah tersebut, sekitar 46 persen premi berada di pasar asuransi syariah Timur Tengah. berdasarkan pengkajian Solidarity, pada 2015, pasar asuransi syariah diprediksi meningkat beberapa kali lipat dibandingkan saat ini. Pada tahun tersebut, pasar asuransi syariah diprediksi meningkat menjadi antara 7,4 miliar hingga 14 miliar. Dari jumlah tersebut, sekitar 27 persen berada di Eropa dan AS (Saleh, 2008). Dan dengan perkembangan asuransi syariah yang pesat ini, asuransi syariah juga semakin dituntut untuk memberikan informasi secara lebih profesional sesuai dengan perkembangannya. Intellectual capital pada berbagai perusahaan jasa, termasuk asuransi, di beberapa negara telah terbukti merupakan bagian penting dalam mekanisme corporate governance. Appuhami (2007) meneliti pengaruh value creation efficiency terhadap keuntungan investor pada sektor asuransi dan keuangan di Thailand Stock Market. Penelitian ini menggunakan Vallue added Intelllectual Capital Coeficient (VAIC) untuk mengukur intelllectual capital. Salah satu hasil penelitian menemukan bahwa intelllectual capital perusahaan mempunyai hubungan positif yang signifikan dengan capital gain. Zhu (2005) meneliti pengaruh human capital terhadap asset allocation dan permintaan life insurance. Hasilnya, human capital mempengaruhi asset allocation dan permintaan life insurance dengan optimal. Mengacu pada penelitian Saleh (2008) yang menggunakan variabel independen managerial ownership (family ownership, management ownership, government ownership, foreign ownership), variabel independen intelektual capital performance dan dengan variabel kontrol leverage, profitability dan market performance.
Sedangkan penelitian ini menggunakan variabel independen managerial ownership, variabel independen intellectual capital disclosure dan variabel kontrol profitability, earning per share, leverage, productivity dan auditor type. Oleh sebab itu, peneliti memilih topik tersebut dalam penelitian ini. Adapun judul penelitian ini adalah " Pengaruh Managerial Ownership terhadap Intellectual Capital Disclosure: Studi pada Perusahaan Asuransi Syariah di Asia". Penelitian ini menguji pengaruh managerial ownership terhadap intellectual capital disclosure pada perusahaan asuransi syariah di Asia.

B. Perumusan Masalah
1. Apakah terdapat pengaruh antara managerial ownership terhadap Intellectual Capital Disclosure pada perusahaan asuransi syariah di Asia?
2. Apakah terdapat pengaruh antara profitability terhadap Intellectual Capital Disclosure pada perusahaan asuransi syariah di Asia?
3. Apakah terdapat pengaruh antara earning per share terhadap Intellectual Capital Disclosure pada perusahaan asuransi syariah di Asia?
4. Apakah terdapat pengaruh antara leverage terhadap Intellectual Capital Disclosure pada perusahaan asuransi syariah di Asia?
5. Apakah terdapat pengaruh antara productivity terhadap Intellectual Capital Disclosure pada perusahaan asuransi syariah di Asia?
6. Apakah terdapat pengaruh antara auditor type terhadap Intellectual Capital Disclosure pada perusahaan asuransi syariah di Asia?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk menemukan bukti empiris tentang pengaruh managerial ownership terhadap Intellectual Capital Disclosure pada perusahaan asuransi syariah di Asia.
2. Untuk menemukan bukti empiris tentang pengaruh profitability terhadap Intellectual Capital Disclosure pada perusahaan asuransi syariah di Asia.
3. Untuk menemukan bukti empiris tentang pengaruh earning per share terhadap Intellectual Capital Disclosure pada perusahaan asuransi syariah di Asia.
4. Untuk menemukan bukti empiris tentang pengaruh leverage terhadap Intellectual Capital Disclosure pada perusahaan asuransi syariah di Asia.
5. Untuk menemukan bukti empiris tentang pengaruh productivity terhadap Intellectual Capital Disclosure pada perusahaan asuransi syariah di Asia.
6. Untuk menemukan bukti empiris tentang pengaruh auditor type terhadap Intellectual Capital Disclosure pada perusahaan asuransi syariah di Asia.

D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
D.1 Bagi Akademisi
Bagi akademisi, penelitian ini bermanfaat untuk:
a. menjadi referensi dan memberikan kontribusi penelitian tentang intellectual capital pada perusahaan asuransi syariah,
b. dari hasil penelitian, keterbatasan, dan rekomendasi peneliti, diharapkan dapat memunculkan penelitian yang berupaya untuk mengembangkan penelitian ini, karena penelitian dengan objek asuransi syariah dengan topik intellectual capital masih jarang ditemui.
D.2 Bagi Industri Asuransi Syariah
Bagi industri asuransi syariah dan praktisinya, penelitian ini bermanfaat untuk
a. memberikan pengetahuan tentang praktik intellectual capital disclosure (ICD) pada masing-masing perusahaan asuransi yang dijadikan sampel, sehingga perusahaan dapat membandingkan praktik ICD, serta dapat digunakan untuk bahan pertimbangan manajemen dalam praktik ICD.
b. Departemen Research and Development (R&D) masing-masing perusahaan asuransi syariah dapat menggunakan penelitian ini untuk dikembangkan dalam penelitian lembaga masing-masing perusahaan asuransi untuk tujuan kepentingan stakeholder-nya.
D.3 Bagi Regulator
Bagi regulator yang meliputi menteri keuangan, bursa efek, dan ikatan akuntan pada masing-masing negara sampel dapat menggunakan penelitian ini untuk:
a. menteri keuangan di negara bekerjasama dengan bursa efek dan instistusi lain yang berkepentingan dapat melakukan penelitian lebih lanjut dari hasil penelitian ini untuk mengetahui praktik ICD terhadap variabel lain yang dapat digunakan untuk mengambil kebijakan,
b. menetapkan kebijakan pengungkapan baik untuk perusahaan asuransi maupun sektor lainnya dalam hal praktik ICD.
SKRIPSI PENGARUH PERSEPSI PROFESI DAN KESADARAN ETIS TERHADAP KOMITMEN PROFESI AKUNTAN PUBLIK

SKRIPSI PENGARUH PERSEPSI PROFESI DAN KESADARAN ETIS TERHADAP KOMITMEN PROFESI AKUNTAN PUBLIK

(KODE EKONAKUN-0063) : SKRIPSI PENGARUH PERSEPSI PROFESI DAN KESADARAN ETIS TERHADAP KOMITMEN PROFESI AKUNTAN PUBLIK


BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Di Indonesia, profesi auditor mengalami perkembangan yang signifikan sejak awal tahun 1970-an dengan adanya perluasan kredit-kredit perbankan kepada perusahaan. Bank-bank ini mewajibkan nasabah yang menerima kredit dalam jumlah tertentu untuk menyerahkan secara periodik laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik (auditor). Umumnya perusahaan-perusahaan di Indonesia baru memerlukan jasa audit oleh profesi auditor jika kreditur mewajibkan mereka menyerahkan laporan keuangan yang telah diaudit oleh auditor sehingga keandalan atas laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen dapat dipertanggungjawabkan. Profesi Akuntan Publik diperlukan untuk dapat memberikan penilaian dan bertanggungjawab atas kewajaran laporan keuangan agar laporan keuangan tersebut tidak memberikan informasi yang menyesatkan kepada masyarakat dan pemakainya. Masyarakat dan pemakai laporan keuangan mengharapkan agar auditor dapat memberikan jaminan mutlak (Absolute Assurance) mengenai hasil akhir proses audit yaitu laporan auditor (Efendi dan Sujiono, 2004).
Untuk mengetahui tingkat suatu keberhasilan dan kinerja seseorang dalam suatu bidang pekerjaaan, yaitu dengan menentukan besarnya tingkat kompetensi, profesionalisme, dan juga komitmen terhadap bidang yang ditekuninya. Suatu persepsi terhadap profesi menunjukkan suatu daya dari seseorang dalam mengidentifikasikan keterlibatannya dalam suatu bagian profesi.
Oleh karena itu persepsi profesi akan menimbulkan rasa ikut memiliki (Sense of Belonging) bagi pekerja tehadap profesinya (Trisnaningsih, 2003).
Komitmen organisasi dan komitmen profesi dalam profesi akuntansi ditelaah sejak lama. Konsep-konsep ini menunjukkan adanya hubungan antara konflik internal yang dihadapi oleh para professional, kepuasan kerja dan tingkat turnover auditor. Komitmen orangisasi dan komitmen profesi dapat didefinisikan sebagai intensitas seseorang untuk mengidentifikasikan dirinya, serta tingkat keterlibatannya dalam organisasi atau profesi (Mowday dalam Khomsiyan dan Indriantoro, 1993: 148). Identifikasi ini memerlukan beberapa tingkat persetujuan dengan tujuan dan nilai dalam organisasi dan profesi, termasuk didalamnya nilai-nilai moral dan etika. Aranya dan Ferris (1984: 2) mendefinisikan komitmen sebagai suatu kepercayaan dan penerimaan pada tujuan dan nilai dalam suatu organisasi dan/atau profesi, kemauan untuk melakukan usaha yang dibutuhkan bagi organisasi dan/atau profesi, keinginan untuk menjaga anggota, dengan organisasi dan/atau profesi.
Ford Dan Richardson (1994) dalam telaah empiris pengambilan keputusan etis menyatakan bahwa salah satu determinan penting perilaku pengambilan keputusan etis adalah factor-faktor yang secara unik berhubungan dengan individu pembuat keputusan. Faktor-faktor individual tersebut meliputi variabel-variabel yang merupakan ciri pembawaan lahir (sex, umur, kebangsaan, dan sebagainya) dan variabel yang merupakan hasil dari proses sosialisasi dan pengembangan manusia. Variabel terakhir ini termasuk di dalamnya adalah komitmen profesi. Maka dapat dikatakan komitmen profesi merupakan determinan yang penting dalam proses pengambilan keputusan dalam dilema etis.
Jeffrey dan Weatherholt (1996) menguji hubungan antara komitmen profesi pemahaman etika dan sikap ketaatan pada aturan. Hasilnya menunjukkan bahwa akuntan dengan profesi yang kuat, perilakunya lebih pengarah pada aturan dibandingkan akuntan dengan komitmen profesi yang rendah. Selanjutnya komitmen profesi yang kuat berhubungan conventional level pengembangan moral.
Dalam melaksanakan profesinya, seorang auditor diatur oleh suatu kode etik akuntan. Kode Etik Akuntan adalah norma perilaku yang mengatur hubungan antara akuntan dengan klien, antara akuntan dengan teman sejawatnya dan antara profesi dengan masyarakat (Sihwahjoeni dan Gudono, 2000). Dalam pasal 1 (ayat 2) Kode Etik Akuntan Indonesia: "Setiap anggota harus mempertahankan integritas dan obyektifitas dalam melaksanakan tugas-tugasnya". Dengan mempertahankan obyektifitas dia akan bertindak adil tanpa dipengaruhi tekanan atau permintaan pihak tertentu atau kepentingan pribadi. Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sebagai organisasi profesi akuntan yang berpraktik sebagai akuntan Publik bertanggung jawab melaksanakan pasal-pasal yang tercantum dalam Kode Etik Akuntan Indonesia (Harahap, 1991). Etika profesi bagi praktik akuntan di Indonesia diatur oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) yang mengatur perilaku semua anggotanya yang berpraktik dalam berbagai tipe profesi auditor, diantaranya auditor pemerintah, auditor intern, auditor independent dan profesi akuntan lain yaitu akuntan manajemen, dan akuntan sebagai pendidik (Mulyadi, 1998).
Profesi auditor akan selalu berhadapan dengan dilema yang mengakibatkan seorang auditor berada pada dua pilihan yang bertentangan. Sebagai contoh dalam proses auditing, seorang auditor akan mengalami suatu dilema ketika tidak terjadi kesepakatan dengan klien mengenai beberapa aspek dan tujuan pemeriksaan. Apabila auditor memenuhi tuntutan klien berarti akan melanggar standar pemeriksaan, etika profesi dan komitmen auditor tersebut terhadap profesinya, tetapi apabila tidak memenuhi tuntutan klien maka dikhawatirkan akan berakibat pada penghentian penugasan oleh klien. Berbagai pelanggaran etika yang terjadi pada perusahaan go public di Indonesia juga sering terjadi padahal semestinya hal ini tidak perlu terjadi apabila setiap akuntan mempunyai pemahaman, kemampuan dan kemauan untuk menerapkan nilai-nilai moral dan etika secara memadai dalam melaksanakan profesinya (Ludigdo, 1999).
Dikarenakan auditor selalu berada pada posisi seperti tersebut diatas, maka diperlukan adanya suatu tanggapan (penerimaan) seseorang terhadap suatu peristiwa moral tertentu yang didasarkan pada pengalaman dan pembelajaran dari masing-masing individu sehingga dapat memutuskan tentang apa yang harus dilakukan dalam situasi tertentu atau yang biasa disebut dengan persepsi (Sihwajoeni dan Gudono, 2000). Dalam menjalankan profesinya, seorang akuntan harus mengedepankan sikap dan tindakan yang mencerminkan profesionalisme dimana hal tersebut telah diatur dalam kode etik profesinya. Karena pertimbangan profesional berlandaskan pada nilai dan keyakinan individu, kesadaran moral memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan akhir (Harahap, 1991).
Namun pada kenyataannya seorang auditor dalam menjalankan tugasnya masih banyak melakukan kesalahan yang melanggar kode etik profesi yang berlaku. Hal ini dapat dilihat dari beberapa contoh kasus yang terjadi di beberapa perusahaan di X yang diaudit oleh KAP dengan pendapat auditor wajar tanpa pengecualian tetapi pada kenyataannya perusahaan tersebut mengalami "kredit macet" (Yazid, 2006). Contoh kasus ini menunjukkan bahwa kompetensi dari seorang auditor telah mengalami penurunan dikarenakan kurangnya kesadaran akan etika profesi yang dimiliki oleh auditor tersebut. Apabila hal ini dibiarkan terus berlanjut maka akan berdampak buruk bagi investor pada khususnya dan masyarakat luas pengguna laporan keuangan auditan pada umumnya.
Bersamaan dengan munculnya kesadaran tentang pentingnya pengembangan dan kesadaran etik auditor, muncul sejumlah penelitain akademis yang mencurahkan perhatiannya pada masalah ini. Seperti yang dikutip Muawanah dan Nur (2001) dari penelitian Louwers et. al. (1997) yang berusaha menguraikan dan mengevaluasi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku etik akuntan (auditor). Dalam literatur Behavioral Accounting disebutkan bahwa variabel personalitas dapat berinteraksi dengan cognitive style untuk mempengaruhi pengambilan keputusan (Siegel dan Marconi, 1989: 344). Variabel personalitas (komitmen profesi) mengacu pada sikap dan keyakinan individual, sedangkan cognitive style (kesadaran etik) mengacu pada cara atau metoda dengan mana individu menerima, menyimpan, memproses dan mentransformasikan informasi kedalam tindakanya. Individu dengan tipe personalitas yang sama bias memiliki cognitive style yang berbeda, sehingga perilakunya juga bisa berbeda. Selanjutnya juga disebutkan bahwa kedua aspek ini berhubungan dekat dengan keberhasilan maupun kegagalan auditor dalam menjalankan tugasnya.
Menurut Gibson (1996: 134), persepsi sebagai proses seseorang untuk memahami lingkungan yang meliputi orang, objek, symbol, dan sebagainya yang melibatkan proses kognitif. Proses kognitif merupakan proses pemberian arti yang melibatkan tafsiran pribadi terhadap rangsangan yang muncul dari objek tertentu. Oleh karena tiap-tiap individu memberikan makna yang melibatkan tafsiran pribadinya pada objek tertentu, maka masing-masing individu akan memiliki persepsi yang berbeda meskipun melihat objek yang sama.
Bagi profesi akuntan publik, persepsi profesi merupakan pemahaman seorang auditor terhadap apa yang digelutinya. Pemahaman ini berkaitan dengan faktor kognitif masing-masing individu auditor tersebut sehingga persepsi auditor satu dengan yang lain akan berbeda. Apabila seorang auditor memiliki persepsi atau pandangan positif terhadap profesinya, maka auditor tersebut akan memahami segala sesuatu yang berkaitan dengan profesi yang digelutinya dan beranggapan bahwa profesinya merupakan profesi yang sangat penting bagi pihak lain sehingga mereka akan melakukan apa yang harus dilakukan secara proporsional. Sementara itu, apabila seorang auditor memiliki persepsi negatif terhadap profesinya maka auditor tersebut akan beranggapan bahwa profesi yang digelutinya harus menghasilkan bagi dirinya sendiri tanpa memikirkan dampaknya bagi pihak lain apabila tidak dilaksanakan sesuai dengan kode etik yang berlaku.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka penulis mengambil judul penelitian "PENGARUH PERSEPSI PROFESI DAN KESADARAN ETIS TERHADAP KOMITMEN PROFESI AKUNTAN PUBLIK (Survey pada Kantor Akuntan Publik Wilayah X)", karena sebelumnya Trisnaningsih (2003) telah melakukan penelitian dengan objek yang sama dan menggunakan populasi auditor yang bekerja pada KAP di wilayah Jawa Timur. Alasan lain mengapa diambil responden dari KAP di wilayah X dikarenakan banyaknya perusahaan di X yang merupakan perusahaan keluarga sehingga berakibat pada pengelolaan managemen perusahaan yang masih sederhana. Dengan semakin berkembangnya sebuah perusahaan, otomatis harus diikuti pula dengan penambahan modal perusahaan yang menuntut perusahaan untuk berhubungan dengan pihak investor. Atas dasar inilah maka perusahaan membutuhkan jasa auditor independen untuk menilai kewajaran laporan keuangan yang disyaratkan oleh investor. Atas dasar inilah maka sangatlah penting untuk dapat mengetahui seberapa besar kompetensi dari auditor independen yang bekerja pada Kantor Akuntan Publik (KAP) di X dalam menjalankan profesinya sebagai akuntan publik dimana profesi ini selalu dihadapkan pada dilema etis antara kepentingan profesi dengan kepentingan klien.

1.2 Rumusan Masalah
Sebagai suatu profesi, para akuntan publik (auditor) harus selalu mengerti dengan apa yang seharusnya dilakukan dalam menjalankan profesinya sehingga tidak melanggar kode etik yang ditetapkan oleh organisasi profesi Ikatan Akuntan Indonesia (IAI).
Dari uraian diatas, maka secara lebih rinci masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah persepsi profesi dan kesadaran etis secara simultan mempunyai pengaruh positif yang signifikan terhadap komitmen profesi?.
2. Apakah persepsi profesi dan kesadaran etis secara parsial mempunyai pengaruh positif yang signifikan terhadap komitmen profesi?.

1.3 Penegasan Istilah
Untuk membatasi ruang lingkup permasalahan yang diteliti serta untuk menyamakan persepsi terhadap judul ini, perlu dijelaskan pengertian dari istilah-istilah yang akan digunakan yaitu:
1. Komitmen profesi akuntan publik menurut Aranya dan Ferris (1984: 2) mendefinisikan komitmen sebagai suatu kepercayaan dan penerimaan pada tujuan dan nilai dalam suatu organisasi dan/atau profesi, kemauan untuk melakukan usaha yang dibutuhkan bagi organisasi dan/atau profesi, keinginan untuk menjaga anggota, dengan organisasi dan/atau profesi.
2. Persepsi sebagai proses seseorang untuk memahami lingkungan yang meliputi orang, objek, symbol, dan sebagainya yang melibatkan proses kognitif. Proses kognitif merupakan proses pemberian arti yang melibatkan tafsiran pribadi terhadap rangsangan yang muncul dari objek tertentu. Oleh karena tiap-tiap individu memberikan makna yang melibatkan tafsiran pribadinya pada objek tertentu, maka masing-masing individu akan memiliki persepsi yang berbeda meskipun melihat objek yang sama Menurut Gibson (1996: 134).
3. Kesadaran Etis secara umum, etika atau moral adalah filsafat, ilmu atau disiplin tentang tingkah laku manusia atau konstansi-konstansi tindakan manusia (Ludigdo dan machfoeds, 1999). Dalam banyak hal, pembahasan mengenai etika tidak terlepas dari pembahasan mengenai moralitas. Muawanah dan Nur (2001) menyatakan bahwa kesadaran etik adalah tanggapan atau penerimaan seseorang terhadap suatu peristiwa moral tertentu melalui suatu proses penentuan yang kompleks sehingga dia dapat memutuskan apa yang harus dia lakukan pada situasi tertentu. Namun sebenarnya variabel kognitif kesadaran etis sendiri belum bisa sepenuhnya digunakan untuk memprediksi perilaku pengambilan keputusan, karena sebenarnya ada variabel lain yang berinteraksi dengan kesadaran etis yang mempengaruhi perilaku.
Dalam literatur behavioral accounting (Siegel dan Marconi, 1989) mengatakan bahwa variabel personalitas dapat berinteraksi dengan cognitive style untuk mempengaruhi pengambilan keputusan. Variabel personalitas mengacu pada sikap dan keyakinan individual, sedangkan cognitive style mengacu pada cara atau metoda dengan mana individu menerima, menyimpan, memproses, dan mentransformasikan informasi kedalam tindakannya. Selain itu, disebutkan juga bahwa kedua aspek ini berhubungan dekat dengan keberhasilan maupun kegagalan auditor dalam menjalankan tugasnya. Banyak penelitian mengulas etika dari sudut pandang yang berbeda.

1.4 Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
1.4.1 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
1. Untuk mengetahui pengaruh antara persepsi profesi dan kesadaran etik terhadap komitmen profesi akuntan publik secara simultan.
2. Untuk mengetahui pengaruh antara persepsi profesi dan kesadaran etik terhadap komitmen profesi akuntan publik secara parsial.
1.4.2 Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian adalah:
1. Manfaat Akademik
a. Bagi dunia pendidikan, penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan data empiris bagi pembangunan ilmu pengetahuan terutama ilmu ekonomi dan manfaatnya bagi lembaga akademik.
b. Sebagai informasi bagi rekan-rekan mahasiswa dalam mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai kecerdasan emposional.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti empiris ada tidaknya pengaruh persepsi profesi dan kesadaran etis terhadap komitmen profesi akuntan public di wilayah X, sehingga pada hakekatnya penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi auditor independen dalam meningkatkan komitmen profesinya. Dimana factor persepsi profesi dan kesadaran etis merupakan hal yang harus diperhatikan dalam menekuni profesinya sebagai auditor. Penelitian ini juga diharapkan kontribusi praktisnya untuk organisasi terutama Kantor Akuntan Publik dalam mengelola sumber daya manusia yang professional.
SKRIPSI PERBANDINGAN KINERJA REKSADANA SYARIAH DENGAN REKSADANA KONVENSIONAL

SKRIPSI PERBANDINGAN KINERJA REKSADANA SYARIAH DENGAN REKSADANA KONVENSIONAL

(KODE EKONAKUN-0062) : SKRIPSI PERBANDINGAN KINERJA REKSADANA SYARIAH DENGAN REKSADANA KONVENSIONAL

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Pasar modal merupakan salah satu media yang mempertemukan antara pihak yang memerlukan dana (investee) dengan pihak yang kelebihan dana (investor). Investee menjual surat berharga yang dimilikinya, sedangkan investor akan melakukan pembelian surat berharga tersebut dengan tujuan untuk melakukan investasi yang akan menghasilkan keuntungan di kemudian hari.
Keberadaan pasar modal sampai dengan saat ini telah memberikan banyak manfaat bagi berbagai pihak yang berkepentingan terhadapnya. Menurut Darmadji dan Fakhruddin (2001) dalam Irmawati (2008), ada beberapa manfaat pasar modal, diantaranya: (1) menyediakan sumber pembiayaan jangka panjang bagi dunia usaha sekaligus memungkinkan alokasi sumber daya secara optimal, (2) memberikan wahana investasi bagi investor sekaligus memungkinkan upaya diversifikasi, (3) menyediakan leading indicator bagi trend ekonomi negara, (4) penyebaran kepemilikan perusahaan sampai lapisan masyarakat menengah, (5) keterbukaan dan profesionalisme serta menciptakan iklim usaha yang sehat, (6) menciptakan lapangan kerja dan profesi yang menarik, (7) memberikan kesempatan memiliki perusahaan yang sehat dan mempunyai prospek, (8) menyediakan alternatif investasi yang memberikan potensi keuntungan dengan risiko yang dapat diperhitungkan melalui keterbukaan, likuiditas dan diversifikasi investasi, (9) membina iklim keterbukaan dengan dunia usaha, (10) mendorong pemanfaatan manajemen profesional.
Selain manfaat tersebut di atas, pasar modal juga memberikan berbagai macam alternatif pilihan investasi bagi investor sesuai dengan tujuan dan kepentingan yang hendak dicapai. Salah satu alternatif investasi yang tersedia bagi masyarakat investor adalah reksadana.
Reksadana berasal dari kata "reksa" yang berarti jaga atau pelihara dan kata "dana" berarti uang, sehingga reksadana dapat diartikan sebagai kumpulan uang yang dipelihara. Reksadana pada umumnya diartikan sebagai wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek (saham, obligasi, valas atau deposito) oleh manajer investasi. Reksadana juga dapat diartikan sebagai instrumen keuangan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal secara kolektif untuk selanjutnya dikelola dan siinvestasikan oleh seorang manajer investasi.
Dari uraian di atas dapat diartikan bahwa reksadana dirancang untuk menghimpun dana dari masyarakat yang memiliki modal, mempunyai keinginan untuk melakukan investasi namun hanya memiliki waktu dan pengetahuan yang terbatas. Portofolio investasi dari reksadana berupa instrumen surat berharga seperti saham dan obligasi, instrumen pasar uang maupun campuran instrumen surat berharga dan pasar uang (Pratomo dan Nugroho, 2005). Manajer investasi merupakan pihak yang kegiatan usahanya mengelola portofolio efek untuk para investor atau mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok investor.
Reksadana dalam perkembangannya berhasil menarik minat banyak investor karena beberapa keunggulan yang dimilikinya (Darmadji dan Fakhruddin, 2001 dalam Irmawati, 2008), seperti terbukanya kesempatan bagi pemodal kecil untuk melakukan diversifikasi investasi dalam efek sehingga memperkecil risiko yang dihadapi, mempermudah pemodal kecil untuk melakukan investasi di pasar modal, dan efisiensi waktu. Selain itu, keuntungan yang diperoleh dari reksadana bisa melebihi keuntungan yang diperoleh dari tingkat bunga deposito. Dari aspek perpajakan, kewajiban pajak menjadi tanggung jawab perusahaan reksadana (Pratomo dan Nugroho, 2005).
Di Indonesia, reksadana muncul 103 tahun berselang dari pertama kali terciptanya reksadana di dunia pada tahun 1873 yaitu pada saat pemerintah mendirikan PT Danareksa pada tahun 1976. Pada waktu itu PT Danareksa menerbitkan reksadana yang disebut dengan sertifikat Danareksa. Pada tahun 1995, pemerintah mengeluarkan peraturan tentang pasar modal yang mencakup pula peraturan mengenai reksadana melalui UU No. 8 tahun 1995 mengenai pasar modal. Adanya UU tersebut menjadi momentum berkembangnya reksadana secara efektif di Indonesia yang diawali dengan diterbitkannya reksadana tertutup oleh PT BDNI Reksadana. Reksadana yang kemudian tumbuh pesat adalah reksadana terbuka. Jika pada tahun 1995 tumbuh 1 reksadana dengan dana yang dikelola sebesar Rp 356 miliar, maka pada tahun 1996 tercatat ada 25 reksadana. Dari jumlah ini, 24 reksadana di antaranya merupakan reksadana terbuka, atau reksadana yang berupa KIK (Kontrak Investasi Kolektif) dengan total dana yang dikelola sebesar Rp 5,02 miliar.
Bangkitnya ekonomi Islam menjadi fenomena yang menarik dan menggembirakan terutama bagi penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam, sehingga pengembangan produk pasar modal yang berbasis syariah perlu ditingkatkan. Pada tahun 1990-an Indonesia baru mengenal kegiatan perbankan syariah. Tujuh tahun kemudian, produk syariah di pasar modal mulai diperkenalkan dengan ditandai munculnya produk reksadana syariah. Menurut Subagia (2003) pesatnya perkembangan reksadana baik konvensional maupun syariah, tidak terlepas dari kehadiran Undang-Undang tentang Pasar Modal Indonesia (No. 8 tahun 1995) berisi 116 pasalnya yang diberlakukan pada awal tahun 1996 dan juga telah diluncurkannya Pasar Modal Syariah tanggal 5 Mei 2000 oleh BAPEPAM yang bekerja sama dengan Dewan Syariah Nasional (DSN) yang diawasi langsung oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS).
Pasar reksadana syariah adalah salah satu segmen yang cepat berkembang di dalam sistem keuangan Islam. Meskipun begitu, ketika dibandingkan dengan industri reksadana secara keseluruhan, reksadana syariah masih dalam tahap infansi pertumbuhan dan perkembangan dalam kurun waktu kurang dari satu dekade. Menurut laporan Mc Kinsey Management Consulting Firm dalam Hassan dan Girard (2005), "Keuangan syariah adalah kekuatan baru dalam pasar keuangan." Jumlah muslim yang sebesar seperlima dari populasi dunia memiliki dana lebih dari $800 milyar untuk diinvestasikan dan jumlah ini bertambah 15 % per tahun. Adanya sedikit bagian dari jumlah dana yang tersedia yang diinvestasikan dalam produk syariah mengindikasikan bahwa pasar ini pada kebanyakan bagian belum dieksploitasi (Hassan, 2002 dalam Hassan dan Girard, 2005).
Tujuan utama reksadana syariah adalah untuk memenuhi kebutuhan investor yang tidak menginginkan modalnya diinvestasikan dalam bisnis yang dinilai bertentangan dengan prinsip syariah Islam, sehingga sebuah reksadana syariah akan berusaha menawarkan kepada investornya tingkat pengembalian yang tinggi tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip yang mereka yakini.
Reksadana syariah dapat mengambil sifat seperti reksadana konvensional yaitu close-end fund maupun open-end fund. Dana yang diperoleh juga akan dikelola oleh manajer investasi profesional. Keuntungan yang didapatkan dengan berinvestasi pada reksadana syariah tidak jauh berbeda dengan reksadana konvensional. Perbedaan reksadana syariah dan reksadana konvensional adalah dalam hal operasionalnya, yang paling jelas adalah proses penyaringan (screening) dalam menyusun portofolionya dan proses pemurnian pendapatan non halal. Proses penyaringan menurut prinsip syariah akan mengeluarkan saham yang memiliki aktivitas haram seperti riba, gharar, minuman keras, judi, daging babi, pornografi dan senjata. Proses pemurnian dilakukan terhadap pendapatan dari perusahaan yang halal akan tetapi terdapat keraguan atas pendapatan non halal. Proses pemurnian dilakukan dengan mengeluarkan pendapatan non halal dari perusahaan halal sebagai amal (charity). Proses penyaringan dan pemurnian ini dianggap sebagai ciri khas dari reksadana syariah.
Investor learning model menyatakan bahwa investor reksadana cenderung chase return, artinya mereka akan menyalurkan dananya dalam reksadana yang memiliki kinerja yang lebih baik. Menurut Pratomo dan Nugroho (2005), kinerja reksadana menjadi pertimbangan utama investor dalam memilih reksadana dan 70% investor memilih reksadana berdasarkan kinerja yang telah dihasilkan. Sebagaimana investor lainnya, investor muslim juga membandingkan alternatif-alternatif yang ada untuk dapat memperoleh tingkat pengembalian yang relatif tinggi dengan memperhatikan risiko yang harus dihadapi dalam mencapai tingkat pengembalian tersebut.
Dengan demikian, hal ini akan membawa tuntutan kepada reksadana syariah untuk meningkatkan kinerjanya. Tentu saja hal ini bukan hanya tuntutan investor muslim semata, tetapi juga investor lain secara umum yang ingin melihat reksadana syariah dapat memiliki kinerja yang lebih baik dari reksadana konvensional.
Hasil penelitian kinerja reksadana, kinerja indeks syariah, dan konvensional terdahulu dapat disimpulkan bahwa terdapat hasil yang berbeda-beda, yaitu kinerja reksadana dan indeks syariah maupun konvensional dapat mengungguli kinerja pasarnya maupun tidak dapat mengungguli kinerja pasarnya. Achsien (2003) telah melakukan penelitian mengenai kinerja syariah fund di Malaysia, dengan hasil menunjukkan bahwa kinerja syariah fund lebih baik daripada kinerja conventional fund. Hassan dan Girard (2005) menemukan bahwa tidak ada perbedaan hasil antara Islamic dan Non-islamic Index. Dennis dkk., (2004) menemukan bahwa reksadana pendapatan tetap tidak bisa melebihi kinerja pasarnya. Haruman dan Hasbi (2005) menemukan bahwa reksadana saham syariah berkinerja baik dibandingkan kinerja pasarnya (JII).
Permasalahan dalam penelitian sebelumnya adalah evaluasi kinerja portofolio hanya dilakukan secara parsial saja misalnya melakukan evaluasi kinerja portofolio yang melalui sharia screening process dengan portofolio konvensional; yaitu (1) membandingkan kinerja Islamic unit trust dengan indeks pasar atau (2) membandingkan kinerja Islamic unit trust dengan unit trust konvensional atau tradisional. Peneliti menggunakan kedua metode tersebut dalam melakukan evaluasi kinerja portofolio yang melalui sharia screening process dengan portofolio konvensional di BEJ tahun 2005-2007, supaya dapat memberikan hasil evaluasi kinerja portofolio yang komprehensif guna mendukung pembuatan keputusan investor maupun investor potensial untuk berinvestasi atau tidak berinvestasi pada suatu portofolio reksadana.
Perbedaan penelitian ini terdapat pada beberapa hal, yaitu:
1. Penelitian mengenai perbandingan kinerja reksadana syariah maupun konvensional belum secara luas diuji. Haruman dan Hasbi (2005) hanya meneliti kinerja reksadana saham syariah pada BEJ tahun 2002-2003 tanpa membandingkan dengan kinerja reksadana saham konvensional. Rachmayanti (2006) hanya melakukan analisis kinerja portofolio saham syariah dengan portofolio saham konvensional pada BEJ tahun 2001-2002.
2. Penelitian ini dilakukan dengan memperpanjang tahun pengamatan yaitu tiga tahun (tahun 2005-2007) untuk mempertinggi daya uji empiris (Gujarati, 2000). Pertimbangan peneliti memilih periode ini karena Rachmayanti (2006) telah melakukan penelitian dalam periode 2001-2002, sedangkan Haruman dan Hasbi (2005) telah melakukan penelitian dalam periode 2002-2003. Pemilihan periode penelitian tahun 2005-2007 bersangkutan dengan ketersediaan data penelitian, karena sejak tahun 2008 sampai dengan batas waktu yang belum ditentukan, situs BAPEPAM berkaitan dengan reksadana mengalami kolaps, sehingga tidak bisa menyediakan data yang up to date.
3. Penelitian ini dibatasi dengan melakukan perbandingan antara reksadana syariah dan reksadana konvensional yang berada pada satu perusahaan manajemen pengelola, yaitu PT Danareksa Investment Management. Hal ini dikarenakan reksadana syariah dan reksadana konvensional yang berada pada satu manajemen pengelola akan menganut strategi investasi yang sama.
4. Penelitian Imran (1999) tentang evaluasi kinerja indeks Islam dan indeks konvensional di Malaysia dalam Achsien (2003: 133) menyebutkan bahwa terdapat tiga metode dalam melakukan evaluasi kinerja portofolio yang melalui sharia screening process dengan portofolio konvensional; yaitu (1) membandingkan kinerja Islamic unit trust dengan indeks pasar, (2) membandingkan kinerj a Islamic unit trust dengan unit trust konvensional atau tradisional, (3) evaluasi Islamic index dengan indeks konvensional. Penelitian Haruman dan Hasbi (2005) dan Hayat (2006) menggunakan metode satu, Achsien (2003) menggunakan metode dua, serta Imran (1999) dalam Achsien (2003) menggunakan metode tiga, dalam melakukan evaluasi kinerja portofolio yang melalui sharia screening process dengan portofolio konvensional. Peneliti menggunakan metode satu dan dua dalam melakukan evaluasi kinerja reksadana syariah dan reksadana konvensional pada tahun 2005-2007.

B. Perumusan Masalah
Pertanyaan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut ini:
1. Apakah terdapat perbedaan kinerja reksadana syariah dengan kinerja indeks syariah (indeks JII)?
2. Apakah terdapat perbedaan kinerja reksadana konvensional dengan kinerja indeks konvensional (indeks LQ45)?
3. Apakah terdapat perbedaan kinerja reksadana syariah dengan kinerja reksadana konvensional?

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah, maka tujuan penelitian akan dijelaskan sebagai berikut ini:
1. Memberikan bukti empiris bahwa terdapat perbedaan kinerja reksadana syariah dengan kinerja indeks syariah (indeks JII).
2. Memberikan bukti empiris bahwa terdapat perbedaan kinerja reksadana konvensional dengan kinerja indeks konvensional (indeks LQ45).
3. Memberikan bukti empiris bahwa terdapat perbedaan kinerja reksadana syariah dengan kinerja reksadana konvensional.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang bisa diambil dari penelitian ini:
1. Bagi praktisi:
a. Investor dan investor potensial diharapkan dapat memperoleh informasi mengenai perbandingan kinerja dan prospek reksadana syariah dan reksadana konvensional terkait dengan keputusan untuk berinvestasi atau tidak berinvestasi pada reksadana syariah dan reksadana konvensional.
b. Manajer investasi, dalam hal ini adalah PT Danareksa Investment Management, diharapkan dapat meningkatkan kinerja reksadana, melalui pengembangan strategi yang baik dalam melakukan seleksi saham yang efisien dan alokasi dana yang efektif supaya kinerja reksadana melebihi kinerja pasarnya.
c. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK) diharapkan semakin meningkatkan peranannya selaku otoritas pasar modal dalam pengembangan kebijakan pasar modal konvensional serta meningkatkan peranannya bersama dengan DSN dan DPS dalam menangani pasar modal syariah dan pengembangan kebijakan pasar modal syariah di Indonesia. Hal tersebut sangat penting untuk mengantisipasi fenomena disintermediasi pasar keuangan, yaitu bergesernya peran bank komersial ke pasar modal dalam mobilisasi dana ke sektor produktif.
2. Bagi akademisi:
a. Memberikan dukungan teori yang berkaitan dengan perbandingan kinerja reksadana syariah dan reksadana konvensional.
b. Menjadikan sebagai bahan acuan dan bertimbangan untuk mengkaji dan meneliti lebih jauh lagi berkaitan dengan reksadana.

E. Sistematika Pelaporan Hasil Penelitian
Skripsi ini terdiri dari lima bab dan setiap bab berisi:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan tentang latar belakang, perumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : KERANGKA TEORITIS
Bab ini berisi tinjauan pustaka yang menjadi acuan pemahaman teoritis dalam penelitian ini yaitu mengenai reksadana syariah dan reksadana konvensional, dan berisi tinjauan penelitian terdahulu dan pengembangan hipotesis, serta kerangka teoritis untuk memudahkan memahami penelitian ini.
BAB III : METODA PENELITIAN
Bab ini mengulas metoda penelitian yang mencakup ruang lingkup penelitian, desain penelitian, pemilihan populasi dan sampel, penentuan periode penelitian, sumber data dan tehnik pengumpulan data, definisi operasional dan pengukuran variabel, tehnik pengujian hipotesis, serta tehnik pengujian asumsi model regresi linier normal klasik.
BAB IV : ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
Bab ini membahas hasil pengolahan data, pengujian asumsi normal klasik, pengujian hipotesis, dan penjelasan pendukung dalam rangka menyusun kesimpulan penelitian.
BAB V : PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan, keterbatasan, saran, serta implikasi dari hasil penelitian ini.
SKRIPSI HUBUNGAN PERAN ORANG TUA DALAM PENCEGAHAN ISPA DENGAN KEKAMBUHAN ISPA PADA BALITA DI PUSKESMAS X

SKRIPSI HUBUNGAN PERAN ORANG TUA DALAM PENCEGAHAN ISPA DENGAN KEKAMBUHAN ISPA PADA BALITA DI PUSKESMAS X

(KODE KEPRAWTN-0002) : SKRIPSI HUBUNGAN PERAN ORANG TUA DALAM PENCEGAHAN ISPA DENGAN KEKAMBUHAN ISPA PADA BALITA DI PUSKESMAS X

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Penyakit infeksi dan kurang gizi merupakan penyebab kematian balita di negara maju maupun di negara berkembang. Penyakit infeksi yang sering terjadi pada balita adalah Diare, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), Infeksi telinga, Radang tenggorokan, dan Tetanus. Dari antara penyakit ini, kasus ISPA adalah kasus yang paling tinggi. Kasus ISPA merupakan 50% dari seluruh penyakit pada anak berusia dibawah 5 tahun, dan 30% pada anak 5-12 tahun. Kasus ISPA di negara berkembang 2-10 kali lebih banyak dari pada di negara maju. Perbedaan ini berhubungan dengan etiologi dan faktor resiko. Dinegara maju, ISPA di dominasi oleh virus, sedangkan dinegara berkembang ISPA sering disebabkan oleh bakteri seperti S. Pneumonia dan H. Influenza. Di negara berkembang, ISPA dapat menyebabkan 10%-25% kematian dan bertanggung jawab terhadap 1/3-1/2 kematian pada balita (Raharjoe, 2008; WHO, 2003).
Di Indonesia, ISPA sering disebut sebagai "pembunuh utama". Kasus ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien kesarana kesehatan yaitu 40%-60% dari seluruh kunjungan ke Puskesmas dan 15%-30% dari seluruh kunjungan rawat jalan dan rawat inap Rumah Sakit. Diperkirakan kematian akibat ISPA khususnya Pneumonia mencapai 5 kasus diantara 1000 balita. Ini berarti ISPA mengakibatkan 150.000 balita meninggal tiap tahunnya, atau 12.500 korban perbulan, atau 416 kasus perhari, atau 17 anak perjam atau seorang bayi tiap 5 menit (Depkes, 2004).
Kematian pada penderita ISPA terjadi jika penyakit telah mencapai derajat ISPA yang berat. Paling sering kematian terjadi karena infeksi telah mencapai paru-paru. Keadaan ini disebut sebagai radang paru mendadak atau pneumonia. Sebagian besar keadaan ini terjadi karena penyakit ringan (ISPA ringan) yang diabaikan. Sering kali penyakit dimulai dengan batuk pilek biasa, tetapi karena daya tahan tubuh anak lemah maka penyakit dengan cepat menjalar ke paru-paru. Jika penyakitnya telah menjalar ke paru-paru dan anak tidak mendapat pengobatan serta perawatan yang tepat, anak dapat meninggal. Perawatan yang dimaksud adalah perawatan dalam pengaturan pola makan balita, menciptakan lingkungan yang nyaman sehingga tidak mengganggu kesehatan, menghindari faktor pencetus seperti asap dan debu serta menjaga kebersihan diri balita. (Depkes, 2002).
Angka kejadian ISPA yang masih tinggi pada balita disebabkan oleh tingginya frekuensi kejadian ISPA pada balita. Dalam satu tahun rata-rata seorang anak di pedesaan dapat terserang ISPA 3-5 kali, sedangkan di daerah perkotaan sampai 6-8 kali. Penyebab tingginya kekambuhan ISPA pada balita terkait dengan banyaknya faktor yang berhubungan dengan ISPA. Beberapa faktor yang berkaitan dengan ISPA pada balita antara lain usia, keadaan gizi yang buruk, status imunisasi yang tidak lengkap serta kondisi lingkungan yang buruk seperti ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat, kepadatan hunian rumah yang terlalu padat, pencemaran udara (asap dan debu) di dalam rumah maupun di luar rumah (Arsyad, 2000; Raharjoe, 2008; Yuwono, 2007; Warouw, 2002). Pencemaran udara di dalam rumah berasal dari dari asap rokok, asap dapur dan asap dari obat nyamuk yang digunakan di dalam rumah, sementara polusi udara di luar rumah berasal dari gas buangan trasportasi, asap dari pembakaran sampah dan asap dari pabrik (Astuti, 2006).
Thamrin (2001) mengatakan bahwa ISPA pada balita berhubungan dengan status gizi balita yang buruk. Balita yang memiliki status gizi yang buruk sekitar 71,50% mengalami ISPA, hal ini berhubungan dengan daya tahan tubuh yang berkurang. Penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian Arsyad (2003) yang menyatakan bahwa status gizi merupakan faktor resiko yang paling dominan mempengaruhi ISPA pada balita. Keadaan lingkungan balita juga behubungan dengan ISPA pada balita. Peluang balita yang tinggal dalam rumah dengan pencemaran dalam ruangan akan terkena ISPA sebesar 6,09 kali dibandingkan dengan balita tanpa pencemaran ruangan. Balita yang tinggal dilingkungan rumah dengan penggunaan bahan bakar biomassa mempunyai resiko 10,9 kali menderita ISPA dibandingkan dengan anak yang tinggal di lingkungan rumah tanpa menggunakan bahan bakar biomassa (Chin, 2000 dalam Agustama, 2005). Disamping itu paparan asap rokok juga sangat mempengaruhi timbulnya ISPA pada balita. Dewa (2001) mengatakan balita yang terpapar asap rokok mempunyai resiko 7,1 kali lebih besar untuk terkena ISPA. disamping itu, keadaan sanitasi fisik rumah (suhu, kelembaban penerangan, ventilasi dan kepadatan hunian) berhubungan dengan ISPA pada balita. Balita yang tinggal di dalam lingkungan rumah dengan keadaaan sanitasi fisik rumah yang buruk mempunyai resiko terkena ISPA 1,23 kali dibandingkan dengan balita yang tinggal dilingkungan rumah dengan sanitasi fisik rumah yang baik.
Untuk menghilangkan atau mengurangi kemungkinan yang dapat meningkatkan potensi anak terkena ISPA, maka diperlukan upaya pencegahan. Upaya pencegahan yang dapat dilakukan adalah meningkatkan pengetahuan mengenai penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), mengatur pola makan dengan tujuan memenuhi nutrisi balita, menciptakan lingkungan yang nyaman serta menghindari faktor pencetus.
Keluarga atau rumah tangga adalah unit masyarakat terkecil. Oleh sebab itu untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang baik harus dimulai dari keluarga. Orang tua (ayah dan ibu) merupakan sasaran utama dalam pencegahan suatu penyakit. Orang tua yang memiliki peran yang buruk dalam menjaga kesehatan keluarga akan mempengaruhi angka kesehatan anggota keluarga terutama anggota keluarga yang masih balita (Notoadmojo, 2003).
Salah satu periode pertumbuhan dan perkembangan yang cukup mendapat perhatian bidang kesehatan adalah usia balita. Upaya pembangunan dan pembinaan kesehatan pada usia balita merupakan periode transisi tumbuh kembang. Secara fisik usia balita merupakan usia pertumbuhan dimana usia ini semua sel termasuk sel-sel yang sangat penting seperti sel otak mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Sedangkan secara psikologis usia balita merupakan usia perkembangan mental, emosional dan intelektual yang pesat juga. Pertumbuhan dan perkembangan pada usia balita ini akan berjalan secara optimal dan serasi jika kondisi kesehatan balita dalam keadaan optimal pula (Depkes, 2005).
Anak adalah aset bagi orang tua dan ditangan orang tua anak dapat tumbuh dan berkembang secara sehat baik fisik maupun mental. Secara sosiologis anak balita sangat tergantung pada lingkungan, karena itu keterlibatan orang tua diperlukan sebagai mekanisme untuk menurunkan dampak masalah kesehatan pada anak dan keluarganya (Nelson, 2003). Anak adalah individu yang masih bergantung pada orang dewasa dan lingkungannya, artinya membutuhkan lingkungan yang dapat memfasilitasi dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk belajar mandiri, lingkungan yang dimaksud adalah orang tua (Supartini, 2004)
Dari survei awal yang dilakukan pada tanggal 7 Mei 2009 di Puskesmas X menunjukkan angka kejadian ISPA pada tahun 2008 di wilayah kerja puskesmas ini terjadi sebanyak 10.735 kasus (57,90%) dan sebanyak 4849 kasus terdiri dari balita (Laporan tahunan puskesmas X, 2008)
Berdasarkan data yang di dapat dan pentingnya peran orang tua dalam pencegahan kejadian ISPA maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan kekambuhan ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas X.

1.2 Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan judul penelitian, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana peran orang tua dalam pencegahan ISPA di wilayah kerja Puskesmas X.
2. Bagaimana kekambuhan ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas X.
3. Apakah ada hubungan peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan kekambuhan ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas X

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan kekambuhan ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas X.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui peran orang tua dalam pencegahan ISPA di wilayah kerja puskesmas X
2. Mengetahui kekambuhan ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas X
3. Menguji hubungan peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan kekambuhan ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas X

1.4 Hipotesis Penelitian
Hipotesa yang digunakan dalam penelitian ini adalah Hipotesa Alternatif (Ha) yaitu ada hubungan peran orang tua dalam pencegahan ISPA dengan kekambuhan ISPA pada balita di wilayah kerja puskesmas Marubung X

1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:
1.5.1 Praktek Keperawatan
Sebagai masukan dan informasi bagi tenaga kesehatan khususnya perawat dalam pemberian penyuluhan dan asuhan keperawatan terhadap upaya pencegahan ISPA.
1.5.2 Pendidikan Keperawatan
Sebagai bahan masukan dan informasi bagi pendidikan keperawatan khususnya keperawatan anak dalam memberikan asuhan keperawatan yang terkait dengan peran orang tua terhadap pencegahan ISPA pada balita dan sebagai informasi bagi mahasiswa untuk mengetahui pentingnya peran orang tua terhadap upaya pencegahan ISPA.
1.5.3 Peneliti Keperawatan
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data dan bahan perbandingan bagi penelitian sejenis seperti hubungan karakteristik balita dan orang tua terhadap kejadian ISPA pada balita.
SKRIPSI A DESCRIPTIVE STUDY ON CLASSROOM INTERACTION OF ENGLISH TEACHING-LEARNING PROCESS IN THE LARGE CLASSES OF THE FIRST YEAR STUDENTS IN SMAN X

SKRIPSI A DESCRIPTIVE STUDY ON CLASSROOM INTERACTION OF ENGLISH TEACHING-LEARNING PROCESS IN THE LARGE CLASSES OF THE FIRST YEAR STUDENTS IN SMAN X

(KODE BHS-INGG-0001) : SKRIPSI A DESCRIPTIVE STUDY ON CLASSROOM INTERACTION OF ENGLISH TEACHING-LEARNING PROCESS IN THE LARGE CLASSES OF THE FIRST YEAR STUDENTS IN SMAN X


CHAPTER I
INTRODUCTION


A. Background of the Study
Language teaching is a complex activity, and that this complexity derives primarily from the diversity of perceptions and the goals of the various participants who play a role in the teaching learning process (Tudor, 2001:43). Indeed, if all participants have the same perceptions about the nature and the goal of language teaching, teaching would be much clearer and easier to be undertaken than it generally is. By so doing, there would be no gap between the teacher and students. Thus, language teaching can be understood in term of interactions of different rationalities of the teacher and students rather than enactment of a single rationality.
In the classroom, the place where the teaching-learning process is undertaken, there are a variety of different potential perspectives of the nature and the goals of language teaching meet and interact. Hence, it can be an important factor to reach the goal of the instruction (Tudor, 2001:47). Besides, Val Lier also stated that there are greater attentions in educational teaching that language learners should have effective involvement to practice their communicative skill because language is a means of communication and self-expression. That is a medium by which members of a speech community express concepts, perceptions, expectations, and values which have significance to them as members of a speech community. In other word, classroom can be a place where students can express their personal problems and concerns. Within this perception, the classroom is conceptualized to create a condition where students can improve their ability in learning English that is for using the English for the real communication. And even, classroom itself is a part of the real world of students as individuals and social actors. Then, communication is not just something that happens "out there" but also process which occurs in the social environment, which we call the classroom (p. 115).
In adition, William Littlewood (1981: 93) also states that:
"The development of communicative skills can only take place if learners have motivation and opportunity to express their own identity and to relate with the people around them. It therefore,+ requires a learning atmosphere which gives them a sense of security and valves as individuals. In turn, this atmosphere depends to a large extent on the existence of interpersonal relation slips which do not create inhibition, but are supportive and accepting".
With these visions of the classroom, there should be an effective interaction between teacher and students, and among students themselves in improving their knowledge and skills for the use at some stage in the future. Coleman (1996:88) also states that language teaching needs improvement of using English as the target language. Therefore, the successful realization of the language for communication depends on the genuine students' involvement in the relevant teaching learning activity.
For achieving the visions as the writer states above, good atmosphere of teaching-learning process is very required, especially in the English classroom where the dynamic interaction of teacher and students in the class is implemented, where the network of shared meaningfulness, which binds together in the mind of teacher and students emerges (Tudor, 2001: 45).
In the large class, however, where the number of students and a range of factors such as the rapport of the classroom's participants, physical condition and seating become a problem, to get dynamic conditions of teaching-learning process is far from the ideal. Therefore, it is a big challenge to organize the classroom in order to create an effective language classroom interaction for the teaching-learning process.
Wagner (p.234), then also says "I should get every learner to talk much more, but that is impossible with 30 learners in my class". Therefore, for creating an interactive learning process between teacher and her/his students, innovations in teaching English are very much needed.
In such classes too, it will be unrealistic to expect more than a blackboard and a supply of chalk. The rows of heavy desk would be a constraint on group work, and coping with the noise, persuading the class to use English, managing the introduction and setting up of activities, making limited resources go a long way, and monitoring the work of individual within the class will also be management problems (David Cross, 1995:5).
Hence, the writer tends to know whether there is a dynamic process of teaching and learning in the classroom or not. Thus, as a place of communication, language classroom should become a place which would allow all students to practice the communicative skills that they would need to use in the real interactive situations outside the classroom. Besides, the real students' involvement in the relevant learning activities / the assumptions that students should be more active and participatory is the parameter of successful realization of an experiential approach to language learning. Therefore, it becomes a big attention to the writer (Tudor, 2001: 113).
To the classroom, students will come with certain expectations as to what a good classroom should be, and of the role the teacher plays within it. They also expect the teacher to have something solid to offer them the terms of professional knowledge and experience of language learning options (p. 110). Here, the teacher does play an important role. A good teacher therefore, is one who can breathe life into methodological procedures in pursuit of the learning objectives set out in the curriculum. Whereas the student role is defined as the nature of students' participation in the classroom: their participation is therefore channeled through the assumptions about the nature of language and of language learning found in the methodological being used (p. 106). In addition, the relationship between the teacher and the students also becomes the light for the writer to conduct the research.
In order to know more about classroom interaction of English teaching-learning process in the large classes, a descriptive method is suitable to be conducted because it looks deep at the relationship between teacher and students in the form of classroom interaction, that is when the teacher asks question, give explanation, feedback, error treatment and when the students listen to the teacher's instruction and explanations, when they express their views, answer questions and carry out the tasks and activities, etc. Besides that, it is also aimed to know the opportunities of the students' involvement for practicing their knowledge and skills in the teaching-learning process, the role of the teacher and the students in the classroom, and also to know the effectiveness of English teaching-learning process. In addition, its qualitative, interpretive nature helps the writer to realize this complexity in perspective. In short, a descriptive research is very important to help the writer understand the view of those problems and find route through it.
From the description above, the writer is interested in carrying out the study on "A Descriptive Study on Classroom Interaction of English Teaching-Learning Process in the Large Classes of The First Year Students in SMAN X".

B. Identification of The Problem
Having given the background of the study, the writer would like to identify the problems as follows:
1. How is the form of classroom interaction in the large classes?
2. How are the teacher talk and the students talk in the large classes?
3. How are the opportunities of the students in the front zone and in the back zone of large classes?
4. How is the atmosphere of English teaching-learning process in the large classes?
5. Does the teacher encourage the students to engage in the English teaching learning process?
6. Are the students actively involved in the English teaching-learning process?
7. How is the rapport between the teacher and the students in the classroom interaction in large classes?
8. How are the teacher and the student role in the classroom interaction of large classes?

C. Limitation of The Problem
The study has a broad scope and it is impossible for the writer to handle all of the problems. Therefore, the writer limits the study as follows:
1. The form of Classroom Interaction in large classes of the first students in SMAN X.
2. The opportunity of the students in the front zone and in the back zone of large classes of the first students in SMAN X.
3. The rapport between teacher and students in the classroom interaction in large classes of the first students in SMA N I X.
4. The teacher and students role in the classroom interaction of large classes of the first students in SMAN X.

D. Problem Statement
Based on the problem limitation above, the problem statement in "a Descriptive Study on The Classroom Interaction of English Teaching Learning Process in Large Classes of The First Year Students SMAN X" is as follows:
1. How is the form of Classroom Interaction in large classes of the first students in SMAN X?
2. How are the opportunities of the students in the front zone and in the back zone of large classes of the first students in SMAN X?
3. How is the rapport between teacher and students in the classroom interaction in large classes of the first students in SMAN X?
4. How are the teacher and students role in the classroom interaction of large classes of the first students in SMAN X?

E. The Purpose of The Study
The research is conducted to describe the classroom interaction of English teaching-learning process in large classes of the first year students in SMAN X. The implication in this research includes the form of classroom interaction, the students' opportunity in teaching-learning process, the rapport between teacher and students, and also the student and teacher role in the process of teaching-learning process. Furthermore, it is also aimed to know more about the effectiveness of English teaching-learning process in the large classes, that is by describing the weakness and the strength of the classroom activities.

F. The Benefit of The Study
From this study, it is expected that the results of the research can give contribution to the improvement of the effective English teaching-learning process in general.
For the English teacher, especially the teacher of SMAN X, the results of this research can be used as a reflection about all his/her duties that have been done as long. As everybody knows, the daily hard work of the teacher often becomes an obstacle to make a reflection to what they have been taught in the class. By so doing, the teacher would become more responsible to improve their teaching skills in term of being more creative, innovative, and skillful in conducting the classroom. Moreover, it is also hoped that the teacher would be able to create a very convenient classroom to study. Within these efforts, they would be escaped from the "daily mechanics" activities.
Besides, for the writer, some benefits, which can be reached from this research is that it may give many new valuable experiences in English teaching-learning process for the preparation of the future ideal. In addition, it can give deep understanding about the nature of English teaching-learning process in the large classes like what have been conducted in Indonesia as long.
SKRIPSI HUBUNGAN KEPADATAN LALAT DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA YANG BERMUKIM SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR

SKRIPSI HUBUNGAN KEPADATAN LALAT DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA YANG BERMUKIM SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR

(KODE KES-MASY-0032) : SKRIPSI HUBUNGAN KEPADATAN LALAT DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BALITA YANG BERMUKIM SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR




BAB 1
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Penyakit diare adalah penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi buang air besar lebih dari biasanya (3 atau lebih per hari) dan berlangsung kurang dari 14 hari yang disertai perubahan bentuk dan konsistensi tinja dari penderita. Penyakit diare merupakan penyakit yang paling sering terjadi pada anak balita dengan disertai muntah dan mencret, penyakit diare apabila tidak segera diberi pertolongan pada anak dapat mengakibatkan dehidrasi (Depkes RI, 2002).
Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO), diare adalah penyebab nomor satu kematian balita di seluruh dunia. Di Indonesia, diare adalah pembunuh balita nomor dua setelah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut). Sementara UNICEF (Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk urusan anak) memperkirakan bahwa setiap 30 detik ada satu anak yang meninggal dunia karena diare. Di Indonesia, setiap tahun 100.000 balita meninggal karena diare (www.esp.or.id).
Berdasarkan data profil Kota X Tahun 2007, jumlah balita yang terkena diare sebanyak 26.888 jiwa sedangkan untuk wilayah Kecamatan X ada 1.434 balita yang terkena diare. Jumlah penderita balita diare di Kecamatan X termasuk urutan ketiga tinggi dari 12 Kecamatan yang ada di Kota X. Berdasarkan data profil Puskesmas X Tahun 2006-2008 bahwa jumlah penderita balita diare meningkat, yaitu sebanyak 1.547 menjadi 2.980 kasus.
Salah satu penyebab diare adalah tercemarnya makanan dan minuman oleh bakteri yang dibawa oleh lalat. Lalat dianggap mengganggu karena kesukaannya hinggap di tempat-tempat yang lembab dan kotor, seperti sampah. Selain hinggap, lalat juga menghisap bahan-bahan kotor dan memuntahkan kembali dari mulutnya ketika hinggap di tempat berbeda. Jika makanan yang dihinggapi lalat akan tercemar oleh mikroorganisme baik bakteri, protozoa, telur/larva cacing atau bahkan virus yang dibawa dan dikeluarkan dari mulut lalat-lalat dan bila dimakan oleh manusia, maka dapat menyebabkan penyakit diare (Andriani, 2007).
Pada pola hidup lalat, tempat yang disenangi lalat adalah tempat yang basah, benda-benda organik, tinja, kotoran binatang. Selain itu, tempat yang disenangi oleh lalat adalah timbunan sampah yang sebagai tempat untuk bersarang dan berkembangbiak.
Sampah merupakan suatu bahan atau benda padat yang sudah tidak dipakai lagi oleh manusia atau benda-benda padat yang sudah tidak digunakan lagi dalam suatu kegiatan manusia dan dibuang (Notoatmodjo, 2007). Volume timbulan sampah yang dihasilkan dari aktivitas manusia dapat meningkat terus sehingga terjadi penumpukan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Timbulan sampah dapat memburuk bila pengelolaan di masing-masing daerah masih kurang efektif, efisien, dan berwawasan lingkungan. Keberadaan sampah dapat juga mengganggu kesehatan masyarakat karena sampah merupakan salah satu sumber penularan penyakit. Sampah juga menjadi tempat yang ideal untuk sarang dan tempat berkembangbiaknya vektor penyakit.
Kota X sebagai salah satu kota yang berkembang dengan pesat juga tak luput dari permasalahan penanganan sampah. Timbulan sampah yang terdapat di Kota X merupakan sampah domestik yaitu sampah yang berasal dari pemukiman dengan jumlah 3.408 ton/hari, sampah pasar/pertokoan 438 m3/hari, dan jumlah sampah lain-lain 719 m3.
Penanganan akhir dari sampah Kota X yaitu dibuang di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah X yang berdekatan dengan pemukiman penduduk Kelurahan Sumur Batu. TPA X mempunyai luas area 12 ha dengan kapasitas 3408 m3/hari.
Sistem penanganan sampah yang digunakan pada TPA X adalah sistem control landfill yang merupakan pengembangan dari pengeolahan open land dumping. Sistem control landfill sampah memiliki kelemahan, salah satunya menjadi tempat berkembangbiaknya lalat.
Menurut hasil pencatatan pengukuran tingkat kepadatan lalat yang dilakukan oleh Sie Penyehatan Lingkungan Dinkes X tahun 2004 di lingkungan TPA X dan sekitarnya adalah sangat padat.
Pengukuran rata-rata yang dilakukan seperti pada jarak 100 meter dari kantor masuk TPA berjumlah 22,6 ekor/grill, pemukiman RT 04/04 kelurahan Sumur Batu berjumlah 18,6 ekor/grill, dan pemukiman pemulung berjumlah 31,4 ekor/grill.
Jarak lokasi penanganan sampah akhir dengan pemukiman rumah penduduk ± 200 meter sedangkan jarak terbang lalat efektif adalah 450-900 meter sehingga mempermudahkan lalat untuk hinggap dimana saja, terutama di pemukiman penduduk.

1.2 Rumusan Masalah
Salah satu penyebab diare adalah tercemarnya makanan dan minuman oleh bakteri yang dibawa oleh lalat. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Kota X terletak berdekatan dengan rumah penduduk di Kelurahan Sumur Batu Kecamatan X. Dari observasi pendahuluan di rumah penduduk di sekitar lokasi TPA terlihat masih banyak lalat dan beradasarkan data Dinkes Kota X kepadatan lalat pada sekitar lokasi TPA termasuk kategori padat. Disisi lain, Kecamatan X merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kota X dimana kasus diare menjadi masalah karena jumlah kasusnya yang cukup tinggi, yaitu sebanyak 2.890 kasus

1.3 Pertanyaan Penelitian
Apakah ada hubungan kepadatan lalat dengan kejadian diare pada balita?

1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Diketahuinya hubungan kepadatan lalat dengan kejadian diare pada balita.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya angka gambaran kepadatan lalat di rumah penduduk balita yang bermukim di sekitar TPA X Kota X tahun XXXX
2. Diketahuinya gambaran kejadian diare pada balita yang bermukim di sekitar TPA X Kota X tahun XXXX
3. Diketahuinya hubungan kepadatan lalat dengan kejadian diare pada balita yang bermukim di sekitar TPA X Kota X tahun XXXX
4. Diketahuinya faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi kejadian diare pada balita yang bermukim di sekitar TPA, meliputi: karakteristik balita (status gizi, imunisasi campak, dan pemberian ASI eksklusif), perilaku ibu balita (mencuci tangan dan menutup makanan), dan sumber air (air bersih dan air minum)

1.5 Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan dalam perencanaan dan penyusunan program lintas sektoral dalam hal pemeliharaan dan pemanfaatan TPA X.
2. Berguna dalam perencanaan dan penyusunan program pemberantasan penyakit diare dan antisipasi terhadap kejadian penyakit diare pada balita sekitar TPA X.
3. Sebagai wahana dalam pengembangan intelektual serta menambah pengalaman penulis

1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di TPA X, Kecamatan X Kota X. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-Juni tahun XXXX dengan populasi penelitian adalah balita yang tinggal di Kelurahan Sumur Batu Kecamatan X Kota X. Penelitian ini menggunakan pendekatan cross-sectional, dimana pengukuran tingkat kepadatan lalat dan penyakit diare diukur secara bersamaan. Pengukuran dalam penelitian ini menggunakan wawancara kepada responden dan pengukuran tingkat kepadatan lalat.
SKRIPSI HUBUNGAN JENIS SUMBER AIR BERSIH DAN KONDISI FISIK AIR BERSIH DENGAN KEJADIAN DIARE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS X

SKRIPSI HUBUNGAN JENIS SUMBER AIR BERSIH DAN KONDISI FISIK AIR BERSIH DENGAN KEJADIAN DIARE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS X

(KODE KES-MASY-0031) : SKRIPSI HUBUNGAN JENIS SUMBER AIR BERSIH DAN KONDISI FISIK AIR BERSIH DENGAN KEJADIAN DIARE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS X




BAB 1
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Dalam GBHN 1993 disebutkan bahwa pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan dalam rangka memperbaiki kualitas hidupnya. Pada Repelita VI tercantum bahwa tujuan pokok dari pembangunan kesehatan antara lain pengurangan angka kesakitan, kecacatan dan kematian serta peningkatan dan pemerataan pelayanan kesehatan yang lebih bermutu, terjangkau dan dapat diterima masyarakat. Salah satu target yang ingin dicapai dengan pembangunan kesehatan adalah penurunan angka kesakitan dan kematian pada kelompok rentan, salah satunya pada kelompok anak-anak di bawah lima tahun. Berdasarkan kajian dan analisis dari beberapa survey yang dilakukan, angka kesakitan diare pada semua golongan umur adalah 280/1000 penduduk dan pada golongan balita adalah 1,5 kali pertahun (Depkes RI. 2000).
Dengan adanya rumusan tersebut, maka lingkungan yang diharapkan pada masa depan adalah lingkungan yang konduksif bagi terwujudnya keadaan sehat yaitu lingkungan yang bebas dari polusi, tersedianya air bersih, sanitasi lingkungan yang memadai, perumahan dan permukiman yang sehat serta terwujudnya kehidupan masyarakat yang saling tolong menolong dengan memelihara nilai-nilai budaya bangsa dan agama (Depkes RI, 1999).
Lingkungan yang tidak sehat akan sangat berpengaruh terhadap kesehatan, baik kesehatan individu maupun kesehatan masyarakat. Lingkungan juga sangat berperan terhadap tersedianya air bersih yang digunakan oleh masyarakat untuk berbagai kebutuhan dalam hidupnya. Air bersih yang dipergunakan oleh masyarakat harus memenuhi kualitas air yang diatur dalam Permenkes No. 416 Tahun1990 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air dan Kepmenkes No. 907 Tahun 2002 Tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum.
Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) tahun 2001, diare menduduki peringkat pertama penyebab kematian anak dengan persentase sebesar 35%. Di Indonesia sendiri dapat ditemukan sekitar 60 juta penderita diare setiap tahunnya dimana 70-80% dari penderitanya adalah anak dibawah lima tahun dengan masih tingginya angka kesakitan yang dilaporkan, yaitu 23,35 per 1000 penduduk pada tahun 1998 meningkat menjadi 26,13 per 1000 penduduk pada tahun 1999. (Profil Kesehatan Indonesia, 2004).
Secara proposional diare lebih banyak terjadi pada golongan balita yaitu 55%. Berdasarkan kajian dan analisis dari beberapa survey yang dilakukan, angka kesakitan diare pada semua golongan umur pada tahun 2000 adalah 301/1000 atau 3,01%, cenderung meningkat dibanding angka kesakitan diare pada tahun 1996 sebesar 280 per 1000 penduduk (Depkes RI, 2002).
Berdasarkan hasil penelitian Bedasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Alidan (2002) yang meunjukan bahwa cakupan air bersih dan insiden diare mempunyai hubungan yang sedang r = 0,365 dan berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan adanya hubungan yang signifikan pValue < α (0,048) dan berdasarkan hasil penelitian Sutomo (1986) yang mengemukakan bahwa penggunaan air tidak tercemar dan penggunaan fasilitas sanitasi yang memenuhi syarat dapat mengurangi angka kejadian diare dan kematian diare.
Berdasarakan data Kecamatan X pada tahun XXXX-XXXX mengenai cakupan program kesehatan lingkungan di Wilayah Kerja Puskesmas X sebagai berikut :

* tabel sengaja tidak ditampilkan *

Berdasarkan Profil Kesehatan Puskesmas X kasus diare tahun XXXX pada golongan semua umur sebanyak 2.629 kasus dengan jumlah prevalensi 5,12% dan pada tahun XXXX pada golongan semua umur sebanyak 3.265 kasus dengan jumlah prevalensi sebesar 5,36%.

1.2 Perumusan Masalah
Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan. Dua faktor yang dominan, yaitu sarana air bersih dan pembuangan tinja (jamban), apabila kedua faktor tersebut tidak sehat atau tidak memenuhi syarat kesehatan, maka dapat menimbulkan kejadian diare. Puskesmas X sebagai institusi yang berperan penting dalam deteksi dini kejadian penyakit dan pencegahan kejadian penyakit diwilayah kerjanya, telah melakukan berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit diare sesuai peraturan atau sesuai dengan syarat kesehatan, namun kejadian diare yang terjadi pada golongan semua umur sebesar 5,12% pada tahun XXXX dan 5,36% di Puskesmas X tahun XXXX. Karena itu diperlukan suatu identifikasi mengenai hubungan jenis sumber air bersih, kondisi fisik air bersih dan jamban dengan kejadian diare agar upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit diare dapat berlangsung dengan baik.

1.3 Pertanyaan Penelitian
Apakah ada hubungan antara jenis sumber air bersih dan kondisi fisik air bersih dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX ?

1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Diketahuinya hubungan antara jenis sumber air bersih dan kondisi fisik air bersih dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
2. Diketahuinya jenis sumber air bersih di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
3. Diketahuinya kondisi fisik air bersih di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
4. Diketahuinya karakteristik responden (umur, pendidikan) di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
5. Diketahuinya perilaku responden tentang kebiasaan mencuci tangan (sebelum dan sesudah makan, setelah BAB) menggunakan sabun di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
6. Diketahuinya perilaku responden tentang mencuci peralatan makan menggunakan sabun di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
7. Diketahuinya jenis jamban di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
8. Diketahuinya hubungan antara jenis sumber air bersih dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX
9. Diketahuinya hubungan antara kondisi fisik air bersih dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX
10. Diketahuinya hubungan antara karakteristik responden (umur, pendidikan) di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
11. Diketahuinya hubungan antara perilaku responden tentang mencuci tangan sebelum dan sesudah makan dan setelah BAB dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.
12. Diketahuinya hubungan antara jenis jamban dengan kejadian diare di Wilayah Kerja Puskesmas X tahun XXXX.

1.5 Manfaat Penelitian
Dengan melakukan penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat, terutama untuk :
1. Didapatnya informasi tentang jenis sumber air bersih, kondisi fisik air bersih dan kejadian diare sebagai bahan evaluasi bagi Puskesmas dan sebagai bahan intervensi dalam pencegahan diare dan sebagai dasar pengambilan kebijakan pada tahun yang akan datang.
2. Sumber literatur bagi mahasiswa yang membutuhkan dan dapat menambah wacana penelitian dalam bidang kesehatan masyarakat dan tentang jenis dan kondisi air bersih dan kejadian diare.
3. Peneliti dapat menerapkan ilmu pengetahuan yang di dapat selama pendidikan, menambah pengalaman dalam bidang penelitian dan mengetahui kondisi sanitasi dasar yang merupakan salah satu faktor untuk mencapai derajat kesehatan.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah analisa data primer dan analisa data sekunder pada jenis sumber air bersih dan kondisi fisik air bersih serta kejadian diare. Data primer diperoleh dari wawancara dengan menggunakan kuesioner dan data sekunder diperoleh dari data yang ada pada laporan Program Kesehatan Lingkungan dan Laporan Tahunan Diare Puskesmas X dan kejadian diare yang terjadi pada golongan semua umur.
Penelitian ini dilakukan pada bulan November-Desember XXXX dengan desain penelitian Cross Sectional dan analisa yang digunakan adalah analisa Univariat dan analisa Bivariat.