Search This Blog

SKRIPSI PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN MENULIS PUISI DG TEKNIK INVENTARISASI KESULITAN DAN PEMBERIAN MOTIVASI SERTA BELAJAR MANDIRI BERBASIS PORTOFOLIO

SKRIPSI PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN MENULIS PUISI DG TEKNIK INVENTARISASI KESULITAN DAN PEMBERIAN MOTIVASI SERTA BELAJAR MANDIRI BERBASIS PORTOFOLIO


(KODE : PEND-BSI-0063) : SKRIPSI PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN MENULIS PUISI DG TEKNIK INVENTARISASI KESULITAN DAN PEMBERIAN MOTIVASI SERTA BELAJAR MANDIRI BERBASIS PORTOFOLIO


BAB I 
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pembelajaran bahasa Indonesia dititikberatkan kepada empat keterampilan berbahasa. Keempat keterampilan itu adalah mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. Substansi dari keterampilan itu adalah bahasa dan sastra. Pemilahan bahasan antara substansi bahasa dengan sastra bukan dimaksudkan untuk membuat garis pemisah antara keduanya. Akan tetapi, pemilahan ini dimaksudkan supaya bahasan substansinya lebih spesifik. Bahasan substansi bahasa dititikberatkan kepada penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi. Bahasan substansi sastra selain untuk penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi, juga untuk meningkatkan kemampuan peserta didik mengapresiasi karya sastra.
Pembelajaran sastra tidaklah dapat disamakan dengan pembelajaran bahasa. Perbedaan hakiki keduanya terletak pada tujuan akhirnya. Oemarjati (1992) mengatakan bahwa pengajaran sastra pada dasarnya mengemban misi, yaitu memperkaya pengalaman siswa dan menjadikannya (lebih) tanggap terhadap peristiwa-peristiwa di sekelilingnya. Tujuan akhirnya adalah menanam, menumbuhkan, dan mengembangkan kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi, pengenalan dan rasa hormatnya terhadap tata nilai baik dalam konteks individual, maupun sosial. Berdasarkan uraian tersebut dapat diungkapkan bahwa pembelajaran sastra sangatlah diperlukan.
Pembelajaran menulis puisi merupakan salah satu keterampilan bidang ekspresi sastra yang harus dikuasai siswa SMP. Di dalam kurikulum bahasa Indonesia, kompetensi menulis kreatif puisi terdapat pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) kelas VIII, yakni mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam puisi bebas dengan kompetensi dasar menulis puisi bebas dengan menggunakan pilihan kata yang sesuai.
Pembelajaran menulis puisi ini banyak menemui hambatan sehingga cenderung dihindari atau tidak diajarkan. Mereka menganggap menulis puisi merupakan kegiatan yang sangat sulit karena mereka harus memperhatikan pilihan kata yang digunakan, irama, rima, dan ide. Minimnya kosakata dan pengalaman yang dimiliki siswa untuk juga menjadi penghambat dalam menulis puisi. Selain itu, rendahnya kemampuan siswa dalam menulis puisi juga disebabkan oleh ketidaktahuan siswa tentang manfaat yang akan mereka peroleh setelah mampu menulis puisi.
Sementara itu, di sekolah kurang efektifnya pembelajaran juga menjadi penyebab rendahnya kemampuan siswa menulis puisi. Ketidakefektifan ini disebabkan oleh kurang tepatnya model pembelajaran yang digunakan. Model pembelajaran yang diterapkan tidak mampu mengembangkan potensi yang dimiliki siswa. Situasi sekolah yang tidak menyenangkan. Cara guru mengajar yang membosankan juga ikut andil menyumbang terkuburnya potensi alami siswa. Suparno dan Nurjanah (2004) mengungkapkan bahwa para guru belum memahami benar arah pembelajaran bahasa Indonesia pada siswa SMP sehingga data menunjukkan (1) masih banyak guru yang dominan memberi penjelasan tentang bahasa dan penggunaannya, (2) sebagian besar guru kurang menguasai taksonomi kemahiran berbahasa Indonesia yang terlibat pada pembelajaran dan evaluasi belajar tidak menekankan atau memfokuskan pada aspek-aspeknya, (3) kreativitas guru dalam meyajikan materi pembelajaran rendah, guru hanya memanfaatkan materi di dalam buku ajar, (4) pembelajaran cenderung "gramatika sentris", (5) guru hanya membelajarkan materi yang sesuai soal ujian, (6) guru merasa kekurangan waktu karena kurikulum terlalu padat. Senada apa dengan apa yang diungkapkan di atas, pembelajaran menulis kreatif puisi cenderung bersifat teoretis informatif bukan apresiatif produktif. Belajar hanya sebatas memberikan informasi pengetahuan tentang sastra sehingga kemampuan siswa menciptakan dan mengapresiasi sastra kurang mendapat perhatian. Siswa kurang memperoleh kesempatan untuk melakukan konstruksi pengetahuan dan melakukan pengembangan pengetahuan itu menjadi sebuah produk pengetahuan baru.
Di sekolah, guru hanya mengajarkan materi atau melakukan pembelajaran tanpa memperhatikan siswa dan lingkungan. Guru hanya menjalankan perannya sebagai pengajar dan cenderung mengabaikan perannya sebagai pendidik. Guru tidak berusaha mencari tahu apa yang ada pada diri siswa, minat, dan bakat yang dimilikinya. Guru kurang dapat memberi motivasi pada siswa untuk aktif turut serta dalam pembelajaran. Hal demikian inilah yang membuat pembelajaran menjadi monoton dan membosankan.
Budiono (dalam Sutikno 2009 : 174) mengatakan bahwa salah satu usaha yang dapat dilakukan guru untuk memotivasi belajar siswa adalah menggunakan model pembelajaran inovatif sehingga siswa menikmati kegiatan pembelajaran. Guru dapat memberikan stimulus terlebih dahulu agar siswa lebih termotivasi dalam belajar menulis puisi karena motivasi merupakan unsur yang ikut menentukan keberhasilan seseorang dalam melakukan sesuatu. Intensitas motivasi seseorang siswa akan sangat menentukan tingkat pencapaian prestasi belajarnya.
Oleh karena itu, guru harus dapat mengupayakan optimalisasi unsur-unsur dinamis tersebut dengan jalan : (1) pemberian kesempatan pada siswa untuk mengungkapkan hambatan belajar yang dialaminya, memelihara minat, kemauan, dan semangat belajarnya sehingga terwujud tindak belajar; (2) meminta kesempatan pada orang tua atau wali agar memberi kesempatan kepada siswa unutk beraktualisasi diri dalam belajar dengan memanfaatkan unsur lingkungan yang mendorong belajar dan menggunakan waktu secara tertib; (3) guru selalu memberikan rangsangan dengan penguat dan terus membangkitkan rasa percaya diri siswa.
Para pendidik di sekolah harus mempunyai keyakinan bahwa tiap anak mempunyai kecepatan dan waktu tersendiri dalam mempelajari atau menguasai sesuatu. Dengan cara itu diharapkan kita akan mewariskan generasi pembelajar yang mampu untuk belajar dan mengembangkan diri mereka sendiri sepanjang hidup mereka. Hal itu bisa dicapai dengan cara menghindarkan setiap kondisi yang membuat mereka justru berhenti atau bahkan membenci proses pembelajaran itu sendiri.
Permasalahan lain yang dihadapi dalam pembelajaran menulis puisi adalah kurang tersedianya waktu. Siswa dituntut menulis puisi dalam waktu yang relatif singkat dan tema yang ditentukan dengan satu kali proses (sekali jadi). Tentunya ini bukan hal yang mudah bagi anak usia SMP. Padahal pembelajaran menulis puisi di SMP berkaitan erat dengan latihan-latihan mempertajam perasaan, penalaran, dan daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup. Dengan demikian, guru dan kurikulum telah membatasi kreativitas siswa. Akibatnya, siswa tidak menulis puisi secara maksimal, minat dan bakat yang dimiliki tidak berkembang. Bahkan mereka merasa bahwa kegiatan menulis puisi merupakan sebuah beban. Pada akhirnya kegiatan pembelajaran sastra itu bertentangan dengan tujuan pembelajaran sastra itu sendiri yakni membawa anak menikmati kraya sastra (mengapresiasi sastra). Akibat yang lebih fatal lagi adalah anak tidak suka dan cenderung menghindari pembelajaran sastra.
Bertolak dari kenyataan itulah perlu dikembangkan model pembelajaran penulisan puisi yang mampu mengatasi atau meminimalkan masalah-masalah yang selama ini melingkupi pembelajaran menulis puisi. Diperlukan model pembelajaran yang dapat memberi peluang kepada siswa untuk lebih aktif, kreatif, dan inovatif. Model pembelajaran tersebut diharapkan mampu membuat siswa mempunyai keyakinan bahwa dirinya mampu belajar dan dapat memanfaatkan potensi yang dimiliki seluas-luasnya. Maka, untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada dikembangkanlah model pembelajaran menulis puisi dengan teknik inventarisasi kesulitan dan pemberian motivasi serta belajar mandiri berbasis portofolio.
Pertama, teknik inventarisasi kesulitan dan pemberian motivasi. Teknik inventarisasi kesulitan merupakan sebuah teknik untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis puisi. Secara garis besar teknik inventarisasi kesulitan ini dilakukan dengan cara mendata kesulitan yang dialami siswa dalam menulis puisi. Pendataan kesulitan itu akan mempermudah guru membimbing siswa.
Sementara itu, Menurut Djaali (2008 : 103) motivasi merupakan kondisi fisiologis dan psikologis yang mendorong siswa untuk melakukan aktivitas tertentu guna mencapai suatu tujuan tertentu (berprestasi setinggi mungkin). Jadi motivasi ikut menentukan keberhasilan siswa dalam belajar. Motivasi ini diberikan melalui teknik pemberian motivasi untuk menumbuhkan rasa percaya diri siswa dan meyakinkan bahwa ia mampu menulis puisi. Melalui teknik ini anggapan menulis puisi merupakan kegiatan yang sulit sedikit demi sedikit dapat terkikis.
Kedua, belajar mandiri. Kemandirian belajar itu merupakan keharusan dalam pembelajaran dewasa ini sejauh pembelajaran itu diarahkan kepada hari depan pelajar yang dengan nyata dapat dilihat dalam keluarga dan masyarakat (Holstein 1986 : 1). Pelaksanaan belajar mandiri ini dilakukan berkaitan dengan perbedaan kemampuan yang dimiliki masing-masing siswa, perbedaan motivasi, dan keterbatasan waktu di sekolah. Kemampuan siswa dalam menulis antara yang satu dengan yang lain tentunya berbeda. Siswa yang tertarik dengan sastra dan memiliki pengetahuan luas tentunya akan lebih mudah jika disuruh menulis puisi.
Sebaliknya, siswa yang kurang tertarik dengan sastra dan kurang berpengetahuan akan mengalami kesulitan sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama. Teknik belajar mandiri juga digunakan untuk mengatasi keterbatasan waktu di sekolah karena kurikulum yang padat. Menulis puisi merupakan kegiatan yang membutuhkan latihan secara terus menerus. Berdianti (2008 : 19) mengatakan bahwa kemampuan menulis puisi akan semakin berkembang jika sering berlatih. Siswa perlu sering berlatih untuk dapat menulis puisi dengan baik. Namun, alokasi waktu di sekolah sangatlah terbatas. Maka, perlu diterapkan belajar mandiri agar siswa dapat terus berlatih. Dengan demikian siswa akan berlatih secara mandiri, menentukan sendiri kapan, bagaimana, dan dimana ia belajar. Keuntungan lain yang diperoleh dari pelaksanaan belajar mandiri ini adalah siswa akan berlatih bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, siswa menyadari tujuannya belajar, dan siswa mengetahui manfaat yang akan dia peroleh.
Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Keegan (1990) yang mengatakan bahwa derajat kemandirian belajar yang diberikan kepada pebelajar dapat dilihat dari tiga aspek (1) kemandirian dalam menentukan tujuan : apakah tujuan belajar ditentukan oleh guru atau pebelajar, (2) kemandirian dalam menentukan meto belajar : apakah pemilihan dan penggunaan sumber belajar dan media lain keputusannya ditentukan oleh guru atau pebelajar, (3) kemandirian dalam menentukan evaluasi. Belajar mandiri ini tidak tanpa campur tangan guru. Guru berfungsi sebagai pendamping, fasilitator, motivator, dan penilai. Penilaian ini dapat dilakukan melalui portofolio yang disusun siswa. Guru bisa mamantau sejauh mana perkembangan siswa dalam menguasai kompetensi menulis puisi.
Ketiga, portofolio. Model pembelajaran portofolio merupakan salah satu inovasi pembelajaran yang dirancang untuk membantu siswa memahami teori secara mendalam melalaui pengalaman praktik empirik. Model pembelajaran berbasis portofolio mengacu pada sejumlah prinsip dasar pembelajaran. Prinsip tersebut adalah prinsip belajar siswa aktif, kelompok belajar kooperatif, pembelajaran partisipatorik, dan mengajar yang reaktif (Budimansyah 2002 : 8).
Berdasarkan uraian di atas, pengembangan model pembelajaran diharapkan mampu mengatasi masalah kurangnya penghargaan atas hasil karya siswa dan terlaksananya penilaian proses. Penilaian proses dapat dilakukan karena portofolio berisi kumpulan pengetahuan, tugas-tugas, dan bukti belajar mandiri siswa. Jadi, melalui penerapan model pembelajaran ini guru dapat melakukan penilaian proses dan produk.
Pengembangan model pembelajaran menulis puisi dengan teknik inventarisasi kesulitan dan pemberian motivasi serta belajar mandiri berbasis portofolio diharapkan dapat menumbuhkan minat siswa dalam pembelajaran menulis puisi. Melalui model pembelajaran ini diharapkan siswa mampu mengembangkan minat dan bakat yang dimiliki dengan seluas-luasnya tanpa terhalang alokasi waktu belajar di sekolah. Selain itu, hasil karya mereka pun akan mendapatkan apresiasi. Bagi guru, mereka akan mendapatkan penilaian dalam proses maupun hasil (produk) dengan mudah. Dengan demikian penilaian akan lebih adil dan valid.

1.2 Identifikasi Masalah
Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah meliputi substansi bahasa dan sastra. Namun selama ini pembelajaran sastra cenderung diabaikan. Salah satu kompetensi sastra adalah menulis puisi. Menulis puisi merupakan salah satu kompetensi yang harus dikuasai siswa SMP. Namun dalam pembelajarannya di sekolah banyak menemui hambatan sehingga cenderung dihindari atau tidak diajarkan.
Pembelajaran menulis kreatif puisi cenderung bersifat teoretis informatif dan bukan apresitif produktif. Di sekolah-sekolah guru biasanya hanya mengajarkan teori atau pengetahuan tentang puisi. Misalnya, pengertian puisi, unsur-unsur puisi, dan cara menulis puisi. Siswa tidak diajak untuk berekspresi menulis puisi sehingga pembelajarannya tidak mencapai kompetensi yang diharapkan. Selain itu, sebagian siswa menganggap menulis puisi merupakan kegiatan yang sangat sulit karena siswa tidak terbiasa mengemukakan perasaan, pemikiran, dan imajinasinya ke dalam puisi.
Masalah lain yang muncul dalam pembelajaran menulis puisi adalah rendahnya minat siswa dalam belajar menulis puisi. Hal ini karena siswa belum mengetahui tujuan, manfaat menulis puisi, dan guru kurang kreatif dalam membelajarkan kompetensi ini. Model pembelajaran yang digunakan guru cenderung monoton dan tidak mengembangkan potensi yang dimiliki siswa.
Selain masalah-masalah di atas, masalah lain yang muncul adalah guru hanya mengajarkan materi atau melakukan pembelajaran tanpa memperhatikan siswa dan lingkungannya. Guru hanya menjalankan perannya sebagai pengajar dan cenderung mengabaikan perannya sebagai pendidik. Guru kurang dapat memberi motivasi pada siswa untuk aktif turut serta dalam pembelajaran. Padahal motivasi merupakan unsur penting yang menentukan keberhasilan seseorang dalam melakukan sesuatu.
Kurang tersedianya waktu juga menjadi masalah yang harus dihadapi guru dan siswa dalam pembelajaran menulis puisi. Siswa dituntut menulis puisi dalam waktu yang relatif singkat (sekali jadi) dengan tema yang sudah ditentukan. Tentunya ini bukan perkara mudah bagi anak usia SMP apalagi bagi anak yang belum terbiasa menulis puisi. Pada akhirnya mereka merasa terbebani dan cenderung malas berlatih menulis puisi.
Masalah-masalah dalam pembelajaran menulis puisi harus diatasi sehingga siswa dapat mencapai kompetensi sesuai yang diharapkan. Guru harus mampu menciptakan model pembelajaran yang dapat mengatasi masalah-masalah di atas. Model pembelajaran menulis puisi dengan teknik inventarisasi kesulitan dan pemberian motivasi serta belajar mandiri berbasis portofolio diharapkan mampu mengatasi masalah-masalah dalam pembelajaran menulis puisi.

1.3 Pembatasan Masalah
Berdasarkan uraian banyak terdapat permasalahan. Akan tetapi, peneliti hanya membatasi permasalahan pada model pembelajaran yang digunakan guru dalam pembelajaran menulis kreatif puisi pada siswa SMP kelas VIII, yaitu pengembangan model pembelajaran menulis puisi dengan teknik inventarisasi kesulitan dan pemberian motivasi serta belajar mandiri berbasis portofolio.

1.4 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut.
1. Bagaimana kebutuhan model pembelajaran menulis puisi dengan teknik inventarisasi kesulitan dan pemberian motivasi serta belajar mandiri berbasis portofolio yang dibutuhkan siswa dan guru di SMP kelas VIII ?
2. Bagaimana bentuk pengembangan model pembelajaran menulis puisi dengan teknik inventarisasi kesulitan dan pemberian motivasi serta belajar mandiri berbasis portofolio pada siswa SMP kelas VIII ?
3. Bagaimana hasil penilaian dan perbaikan prototipe buku model pembelajaran menulis puisi dengan teknik inventarisasi kesulitan dan pemberian motivasi serta belajar mandiri berbasis portofolio pada siswa SMP kelas VIII ?

1.5 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan kebutuhan model pembelajaran menulis puisi dengan teknik inventarisasi kesulitan dan pemberian motivasi serta belajar mandiri berbasis portofolio yang dibutuhkan siswa dan guru di SMP kelas VIII.
2. Mendeskripsikan bentuk model pembelajaran menulis puisi dengan teknik inventarisasi kesulitan dan pemberian motivasi serta belajar mandiri berbasis portofolio pada siswa SMP kelas VIII.
3. Mendeskripsikan hasil penilaian dan perbaikan prototipe buku model pembelajaran menulis puisi dengan teknik inventarisasi kesulitan dan pemberian motivasi serta belajar mandiri berbasis portofolio pada siswa SMP kelas VIII.

1.6 Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat teoretis dan manfaat praktis.
1.6.1 Manfaat teoretis
Penelitian ini dirancang untuk menghasilkan model pembelajaran yang dapat membantu siswa belajar mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam menulis puisi bebas menggunakan pilihan kata yang sesuai. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi model pembelajaran menulis puisi di sekolah-sekolah.
1.6.2 Manfaat Praktis
Melalui model pembelajaran ini diharapkan siswa mampu mengembangkan minat dan bakat yang dimiliki dengan seluas-luasnya tanpa terhalang alokasi waktu belajar di sekolah. Selain itu, hasil karya mereka pun akan mendapatkan apresiasi karena hasil karya mereka dikumpulkan dalam wujud portofolio yang nantinya akan menjadi salah satu bahan penilaian guru. Bagi guru, mereka dengan mudah akan mendapatkan penilaian dalam proses maupun hasil (produk). Dengan demikian penilaian akan lebih adil dan valid.
Pengembangan model pembelajaran ini juga diharapkan dapat menjembatani jarak yang tercipta antara guru dan siswa melalui kegiatan pemberian motivasi yang terus dilakukan guru dan siswa dalam kegiatan pembelajaran. Pemberian motivasi ini diharapkan dapat meningkatkan minat dan hasil belajar siswa.
Selain itu, model pembelajaran menulis puisi dengan teknik inventarisasi kesulitan dan pemberian motivasi serta belajar mandiri berbasis portofolio dapat dijadikan alternatif dalam mengembangkan kompetensi ranah afektif, kognitif, dan psikomotorik siswa dalam pembelajaran menulis puisi pada khususnya dan pembelajaran sastra pada umumnya.

SKRIPSI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KREATIF DAN PRODUKTIF DALAM PEMBELAJARAN MENULIS CERPEN

SKRIPSI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KREATIF DAN PRODUKTIF DALAM PEMBELAJARAN MENULIS CERPEN


(KODE : PEND-BSI-0062) : SKRIPSI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KREATIF DAN PRODUKTIF DALAM PEMBELAJARAN MENULIS CERPEN


BAB 1 
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupannya, manusia tidak terlepas dari penggunaan bahasa. Dalam dunia pendidikan bahasa memiliki peran yang sangat penting terutama dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional siswa. Pembelajaran bahasa diharapkan membantu siswa mengembangkan kemampuannya untuk mengenal dirinya, budayanya dan budaya orang lain, mengemukakan gagasan dan perasaan, serta berpartisipasi aktif dalam masyarakat pengguna bahasa tersebut. Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa untuk berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis, serta menumbuhkan apresiasi terhadap hasil karya kesusasteraan manusia Indonesia (Depdiknas, 2006 : 260). Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan adanya suatu layanan pendidikan yang mampu memberikan layanan yang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan lingkungannya. Soedijarto (1993) menyatakan pemberian layanan pendidikan tidak terlepas dari peran guru sebagai orang yang berpengaruh dalam kegiatan proses belajar mengajar. Oleh karena itu, guru dituntut untuk memiliki kemampuan profesional, di antaranya dapat merencanakan program belajar mengajar, melaksanakan dan memimpin kegiatan belajar dan mengajar, menilai kemajuan kegiatan belajar mengajar, dan menafsirkan atau memanfaatkan hasil penilaian kemajuan belajar mengajar serta informasi lainnya bagi penyempurnaan perencanaan kegiatan belajar mengajar.
Untuk mencapai keberhasilan dalam melaksanakan dan memimpin kegiatan belajar dan mengajar, diperlukan suatu model pembelajaran yang tepat agar materi yang disampaikan dapat diterima dengan baik oleh siswa. Subana (2009) mengatakan bahwa penggunaan model pembelajaran yang tepat akan membantu proses belajar mengajar dan memperbaiki ketepatgunaan pengajaran. Oleh karena itu, model pembelajaran yang tepat merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan proses kegiatan belajar mengajar.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tidak pernah menjabarkan model pembelajaran secara rinci. Oleh karena itu, guru dituntut untuk lebih kreatif menentukan model pembelajaran yang tepat sesuai dengan materi yang diajarkan. Dengan demikian, diharapkan tujuan pengajaran bahasa Indonesia dapat tercapai.
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, menulis merupakan salah satu keterampilan dari keempat keterampilan berbahasa. Berdasarkan hierarkinya, menulis menduduki urutan keempat setelah keterampilan menyimak, berbicara, dan membaca. Menurut Nurgiyantoro (1988 : 270) kemampuan menulis lebih sulit dikuasai dibandingkan dengan ketiga keterampilan berbahasa lain. Hal tersebut disebabkan dalam menulis dituntut sejumlah pengetahuan dan keterampilan yang kompleks baik yang berkenaan dengan persyaratan unsur kebahasaan maupun unsur di luar kebahasaan yang mendukung suatu tulisan, sebagaimana yang dikemukakan Suzanna Alwasilah (2007 : 43) bahwa menulis pada dasarnya bukan hanya sekadar menuangkan bahasa ujaran ke dalam sebuah tulisan, tetapi merupakan mekanisme curahan ide, gagasan atau ilmu yang dituliskan dengan struktur yang benar, berkoherensi dengan baik antarparagraf dan bebas dari kesalahan-kesalahan mekanik seperti ejaan dan tanda baca. Menulis adalah sebuah kemampuan, kemahiran, dan kepiawaian seseorang dalam menyampaikan gagasannya ke dalam sebuah wacana agar dapat diterima oleh pembaca yang heterogen baik secara intelektual maupun sosial.
Banyak sekali manfaat yang dapat diperoleh dari kegiatan menulis. Akhaidah (Vismaia, 1992 : 2) mengemukakan bahwa dengan menulis seseorang dapat mengenali potensi, mengembangkan gagasan, menguasai informasi, mengorganisasi gagasan, menilai gagasan secara objektif, mendorong seseorang belajar aktif, serta membiasakan berpikir dan berbahasa secara tertib.
Mengingat betapa pentingnya arti kemampuan menulis bagi masyarakat terutama siswa, maka pembelajaran menulis di sekolah-sekolah hendaknya diperhatikan dan dibina secara intensif. Kemampuan menulis bisa dikembangkan lewat latihan-latihan. Dengan latihan yang intensif, siswa berlatih dan terus berlatih dan tanpa mereka sadari mereka telah memiliki kemampuan menulis. Proses menulis lebih dititikberatkan pada pengembangan gagasan yang dicurahkan untuk mendapatkan hasil gagasan yang optimal.
Kenyataan di lapangan, guru seringkali mencekoki siswanya dengan berbagai teori menulis dibandingkan dengan latihan-latihan menulis. Padahal, menurut Tarigan (1994 : 4) bahwa keterampilan menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang diperoleh melalui proses praktik dan latihan secara teratur. Pembelajaran menulis bisa diawali dengan penggunaan bahasa secara ekspresif dan imajinatif seperti menulis karya sastra (cerpen). Siswa diberi kebebasan untuk menuangkan ide-ide yang diperoleh dari pengalamannya sendiri, lingkungan, fenomena sosial masyarakat, maupun dari hasil membaca karya-karya sastra yang sudah ada ke dalam bahasa tulisan.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh Syifa Amalia Fajari (2008), Rafika Nur Sugiharti (2002), dan Dra. Nunung Kuraesin menunjukkan bahwa kemampuan menulis siswa khususnya menulis cerpen masih tergolong rendah. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :
1) Faktor guru yang lebih menitikberatkan pada teori menulis dibandingkan denganaplikasinya dalam bentuk latihan-latihan yang intensif.
2) Minimnya ketersediaan buku-buku bacaan di sekolah terutama buku-buku kesusastraan.
3) Kurangnya motivasi membaca dari guru terhadap siswanya, padahal membaca dan menulis memiliki keterkaitan yang sangat kuat. Dengan banyak membaca akan melahirkan inspirasi yang cemerlang untuk kemudian dituangkan dalam tulisan.
4) Kegiatan Belajar Mengajar yang monoton. Selama ini guru hanya menggunakan metode ceramah dan penugasan dalam pembelajaran menulis. Guru hanya menugasi siswa untuk menulis dan mengumpulkannya sebagai bukti telah mengerjakan tugas.
5) Siswa mengalami kesulitan dalam menulis khususnya dalam mengawali tulisan, mencari ide cerita, mencari bahan kata yang tepat, dan mengembangkan cerita.
Berdasarkan hal tersebut, guru hendaknya memiliki teknik, metode, media/model pembelajaran yang tepat dan menarik untuk menumbuhkan minat dan kemampuan dalam menulis cerpen pada diri siswa. Hal ini dikarenakan proses pembelajaran pada hakekatnya adalah untuk mengembangkan aktivitas dan kreativitas siswa, melalui berbagai interaksi dan berbagai pengalaman belajar. Namun, dalam pelaksanaannya seringkali kita sebagai seorang guru tidak sadar, bahwa masih banyak kegiatan pembelajaran yang kita laksanakan justru menghambat aktivitas siswa. Kondisi ini dapat dilihat di dalam proses pembelajaran di kelas, umumnya guru lebih menekankan pada aspek kognitif. Kemampuan intelektual yang dipelajari sebagian besar berpusat pada materi pelajaran yang bersifat ingatan. Guru lebih sering menggunakan komunikasi satu arah, yakni dengan menggunakan metode ceramah. Dalam situasi yang demikian, biasanya siswa dituntut untuk menerima apa-apa yang dianggap penting oleh guru dan menghafalnya. Siswa diibaratkan sebagai kaset kosong yang siap dijejali dengan berbagai rekaman informasi, tanpa siswa banyak mengetahui tentang siapa, mengapa , bagaimana, dan untuk apa materi itu diberikan (Budiwati, 2010). Dengan kondisi yang demikian maka aktivitas dan kreativitas siswa terhambat atau tidak berkembang secara optimal.
Hal lain yang cukup penting yang perlu diperhatikan oleh guru adalah bagaimana menciptakan suatu kondisi belajar yang nyaman, santai dan menyenangkan ketika pembelajaran sedang berlangsung. Menurut Deporter (2007 : 68), suasana belajar yang nyaman, santai, dan menyenangkan dapat membuat siswa lebih berkonsentrasi dengan sangat baik dan mampu belajar dengan sangat mudah. Dengan demikian, siswa akan lebih leluasa untuk menuangkan ide dan gagasannya sehingga melahirkan suatu tulisan (cerpen) yang lebih kreatif dan produktif.
Maka dari itu, peneliti akan mencoba menerapkan Model pembelajaran Kreatif dan Produktif dalam pembelajaran menulis khususnya menulis cerpen. Pembelajaran Kreatif dan Produktif adalah model yang dikembangkan dengan mengacu kepada berbagai pendekatan pembelajaran yang diasumsikan mampu meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar, antara lain belajar aktif, kreatif, konstruktif, serta kolaboratif dan kooperatif. Pembelajaran ini berpijak kepada teori konstruktivistik yang menganggap bahwa belajar adalah usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya, dengan demikian dalam pembelajaran ini para siswa diharapkan dapat mengkonstruksi sendiri konsep atau materi yang mereka dapatkan. Menurut model ini, pembelajaran tidak harus selalu dilakukan di dalam kelas akan tetapi dapat pula dilakukan di luar kelas (out door learning) (Joko, 2010). Potensi siswa akan lebih berkembang dengan baik jika guru mampu menyiapkan kondisi dan tempat belajar yang kondusif.
Pembelajaran dengan model seperti ini diharapkan dapat menciptakan suasana belajar yang lebih santai dan menyenangkan, melahirkan ide-ide yang lebih banyak, kreatif, dan produktif yang bisa didapatkan dari lingkungan sekitar dibandingkan dengan pembelajaran yang terbatas pada lingkungan kelas. Namun, dalam hal ini pemilihan lokasi pembelajaran harus disesuaikan dengan materi pembelajaran agar tujuan pembelajaran menulis, khususnya menulis cerpen dapat terealisasi dengan baik.
Berdasarkan pertimbangan di atas, peneliti memberi judul penelitian ini Penerapan Model pembelajaran Kreatif dan Produktif dalam Pembelajaran Menulis Cerpen (Penelitian Eksperimen Semu terhadap Siswa Kelas IX SMPN X).

1.2 Identifikasi Masalah Penelitian
Identifikasi permasalahan yang akan menjadi bahan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1) Keterampilan menulis merupakan keterampilan yang paling kompleks. Oleh karena itu, memerlukan proses latihan yang intensif.
2) Pemilihan model/metode pembelajaran menulis selama ini kurang bervariasi sehingga kurang menarik motivasi siswa.
3) Penggunaan model/metode pembelajaran yang tepat dapat meningkatkan kualitas hasil belajar.

1.3 Pembatasan dan Perumusan Masalah Penelitian
1.3.1 Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dalam sebuah penelitian diperlukan untuk menentukan arah penelitian dan menetapkan langkah-langkah yang dibutuhkan dalam memecahkan masalah.
Berdasarkan latar belakang di atas, dalam penelitian ini peneliti memfokuskan pada penerapan Model pembelajaran Kreatif dan Produktif dalam pembelajaran menulis cerpen siswa kelas IX SMPN X.
1.3.2 Perumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang dan pembatasan masalah yang telah diuraikan di atas, maka peneliti merumuskan permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini sebagai berikut.
1) Apakah model pembelajaran Kreatif dan Produktif efektif digunakan dalam meningkatkan kemampuan menulis cerpen siswa ?
2) Apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil pembelajaran menulis cerpen dengan menggunakan Model pembelajaran Kreatif dan Produktif dan tanpa menggunakan model pembelajaran Kreatif dan Produktif ?

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 
1.4.1 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan :
1) keefektifan model pembelajaran Kreatif dan Produktif dalam pembelajaran menulis cerpen.
2) perbedaan tingkat kemampuan menulis cerpen dengan menggunakan Model pembelajaran Kreatif dan Produktif dan tanpa menggunakan model pembelajaran Kreatif dan Produktif ?
1.4.2 Manfaat Penelitian
Pelaksanaan penelitian eksperimen ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat, di antaranya :
1) Bagi Peneliti
Sebagai calon guru bahasa Indonesia peneliti menjadi lebih berwawasan dan peka terhadap permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam pembelajaran menulis, khususnya menulis cerpen, sehingga menuntut peneliti untuk terus meningkatkan kualitas pembelajaran dengan berbagai model metode pembelajaran yang lebih bervariatif, kreatif, inovatif, dan menyenangkan guna meningkatkan keterampilan berbahasa.
2) Bagi Guru
Penelitian ini memberikan kontribusi dalam menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan anak didiknya dalam bidang menulis, khususnya menulis cerpen dengan cara memilih model pembelajaran yang efektif dalam pembelajaran menulis cerpen yang lebih kreatif dan menyenangkan, serta dapat diaplikasikan dalam proses pembelajaran.
3) Bagi Siswa
Hasil penelitian ini sangat bermanfaat dalam menumbuhkan dan meningkatkan kreativitas, bakat, serta ide terhadap pembelajaran menulis cerpen. Selain itu, penelitian ini juga memberikan pengalaman kepada siswa untuk menulis cerita pendek dengan lebih kreatif dan produktif, sehingga mampu meningkatkan kemampuan menulis siswa.

SKRIPSI HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU DENGAN KELENGKAPAN IMUNISASI DASAR PADA BAYI

SKRIPSI HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU DENGAN KELENGKAPAN IMUNISASI DASAR PADA BAYI


(KODE : KEPRAWTN-0011) : SKRIPSI HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU DENGAN KELENGKAPAN IMUNISASI DASAR PADA BAYI


BAB 1 
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang
Imunisasi dalam sistem kesehatan nasional adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan yang sangat efektif dalam upaya menurunkan angka kematian bayi dan balita. Dasar utama pelayanan kesehatan, bidang preventif merupakan prioritas utama. Dengan melakukan imunisasi terhadap seorang anak atau balita, tidak hanya memberikan perlindungan pada anak tersebut tetapi juga berdampak kepada anak lainnya karena terjadi tingkat imunitas umum yang meningkat dan mengurangi penyebaran infeksi (Ranuh dkk, 2008).
Imunisasi merupakan pemberian kekebalan pada bayi dan anak terhadap berbagai penyakit, sehingga bayi dan anak tumbuh dalam keadaan sehat (Hidayat, 2008). Pemberian imunisasi merupakan tindakan pencegahan agar tubuh tidak terjangkit penyakit infeksi tertentu seperti tetanus, batuk rejan (pertusis), campak (measles), polio dan tubercoluse. atau seandainya terkenapun, tidak memberikan akibat yang fatal bagi tubuh (Rukiyah & Yulianti, 2010).
Pada tahun 1974 cakupan imunisasi baru mencapai 5% dan setelah dilaksanakannya imunisasi global yang disebeut dengan Extended Program on Immunization (EPI) cakupan terus meningkat (Ranuh dkk, 2008). Tanpa imunisasi kira-kira 3 dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena penyakit campak, sebanyak 2 dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena batuk rejan, satu dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena penyakit tetanus, dan dari setiap 200.000 anak, satu akan menderita penyakit polio (Proverawati & Andhini, 2010).
Dari tahun 1977, World Health Organization (WHO) mulai menetapkan program imunisasi sebagai upaya global dengan Expanded Program on Immunization (EPI), yang diresolusikan oleh World Health Assembly (WHA). Ini menempatkan EPI sebagai komponen penting pelayanan kesehatan. Pada tahun 1981 mulai dilakukan imunisasi polio, tahun 1982 imunisasi campak, dan tahun 1997 imunisasi hepatitis mulai dilaksanakan. Pada akhir tahun 1988 diperkirakan bahwa cakupan imunisasi di Indonesia cukup tinggi dibandingkan beberapa Negara berkembang lainnya (Proverawati & Andhini, 2010).
Di Indonesia, cakupan bayi di imunisasi pada tahun 2009 menunjukkan bahwa dari jumlah sasaran 4.851.942 jiwa bayi, cakupan imunisasi Hepatitis B (HB) usia O bulan atau kurang dari 7 hari (65,7%), imunisasi Bacillus Celmette Guerin (BCG) (90,3%), imunisasi Polio 1 (97,7%), imunisasi Difteri, Pertusis dan Tetanus/Hepatitis B (DPT/HB) 1 (96,1%), imunisasi Polio 2 (94,2%), imunisasi DPT/HB 2 (93,0%), imunisasi Polio 3 (92,8%), imunisasi DPT/HB 3 (91,8%), imunisasi Polio 4 (89,9%), dan imunisasi Campak (89,2%). Dari data tersebut cakupan yang paling rendah yaitu pada imunisasi campak (89%) (Buletin data surveilans PD3I & imunisasi, 2009).
Cakupan imunisasi pada bayi di provinsi ini pada tahun 2009 menunjukkan bahwa dari jumlah sasaran bayi sebanyak 323.846 jiwa, cakupan imunisasi (HB) usia 0 bulan atau kurang dari 7 hari (48,5%), imunisasi BCG (68,3%), imunisasi Polio 1 (91,2%), imunisai DPT/HB 1 (88,4%), imunisasi Polio 2 (86,9%), imunisasi DPT/HB 2 (85,6%), imunisasi Polio 3 (85,0%), imunisasi DPT/HB 3 (82,9%), imunisasi Polio 4 (82,0%), dan imunisasi campak (81,6%). Terlihat bahwa cakupan imunisasi yang paling rendah yaitu imunisasi hepatitis B (HB) usia O bulan atau kurang dari 7 hari dan imunisasi BCG (68,3%), dimana target cakupan untuk setiap imunisasi adalah 100% (Buletin data surveilans PD3I & imunisasi Provinsi Sumut, 2009).
Data di Puskesmas X pada November 2010, berdasarkan hasil survey peneliti bahwa sasaran imunisasi di daerah tersebut sebanyak 87 jiwa bayi, cakupan imunisasi Bacillus celmette Guerin (BCG) sebanyak 40 jiwa bayi (45,97%), imunisasi DPT 1 sebanyak 28 jiwa bayi (32,18%), imunisasi DPT 2 sebanyak 20 jiwa bayi (22,98%), imunisasi DPT 3 sebanyak 6 jiwa bayi (6,89%), imunisasi Polio 1 sebanyak 50 jiwa bayi (57,47%), imunisasi polio 2 sebanyak 44 jiwa bayi (50,57%), imunisasi Polio 3 sebanyak 30 jiwa bayi (34,48%), imunisasi Polio 4 sebanyak 15 jiwa bayi (17,28%), dan imunisasi campak sebanyak 33 jiwa bayi (37,93%). Dari data tersebut menunjukkan bahwa seluruh jenis imunisasi belum mencapai target cakupan, dan cakupan yang paling rendah adalah pada imunisasi DPT 3 sebanyak 6 jiwa bayi (6,89%) dan imunisasi polio 4 sebanyak 15 jiwa (17,24%) (Laporan Tahunan Puskesmas X, 2010).
Dari data diatas cakupan imunisasi belum memenuhi UCI (Universal Coverage Imunization) yaitu cakupan imunisasi lengkap minimal 80% secara merata pada bayi di 100% desa/kelurahan pada tahun 2010 (Proverawati & Andhini, 2010). Walaupun sudah diberikan gratis oleh pemerintah. Hal tersebut dikarenakan dengan berbagai alasan seperti pengetahuan ibu yang kurang tentang imunisasi dan rendahnya kesadaran ibu membawa anaknya ke Posyandu atau Puskesmas untuk mendapatkan imunisasi yang lengkap karena takut anaknya sakit, dan ada pula yang merasa bahwa imunisasi tidak diperlukan untuk bayinya, kurang informasi/penjelasan dari petugas kesehatan tentang manfaat imunisasi ,serta hambatan lainnya (Ranuh dkk, 2008).
Data dan uraian diatas menunjukkan bahwa cakupan pelayanan yang berdampak pada penurunan angka kesehatan bayi di Puskesmas X masih menunjukkan nilai yang masih rendah, salah satu penyebabnya adalah pengetahuan ibu tentang imunisasi yang masih kurang.
Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Hubungan Tingkat Pengetahuan ibu dengan Kelengkapan Imunisasi Dasar Pada anak di Kelurahan X.

1.2 Tujuan Umum
1.2.1.Mengidentifikasi hubungan tingkat pengetahuan ibu dengan kelengkapan imunisasi dasar pada anak di kelurahan X.

1.3 Tujuan Khusus
1.3.1 Mengidentifikasi pengetahuan ibu dengan kelengkapan imunisasi dasar pada anak di Kelurahan X.
1.3.2 Mengidentifikasi kelengkapan imunisasi dasar pada anak di Kelurahan X.

1.4 Manfaat penelitian
1.4.1 Pendidikan Keperawatan.
Diharapkan akan dapat menjadi sumber informasi tambahan bagi pendidikan keperawatan dalam meningkatkan Ilmu pengetahuan dan pendidikan khususnya yang berkaitan dengan kelengkapan imunisasi dasar pada anak.
1.4.2 Praktek Keperawatan.
Diharapkan akan dapat digunakan untuk praktek keperawatan dalam meningkatkan pelayanan kesehatan sehingga menjadi tambahan informasi dalam memahami kelengkapan imunisasi dasar pada anak.
1.4.3 Penelitian keperawatan.
Diharapkan akan dapat memberikan tambahan pengetahuan bagi peneliti, dan dapat digunakan sebagai informasi awal untuk penelitian selanjutnya.

SKRIPSI ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN PEMBIAYAAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH (STUDI KASUS PADA BMT X)

SKRIPSI ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN PEMBIAYAAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH (STUDI KASUS PADA BMT X)


(KODE : EKONPEMB-0019) : SKRIPSI ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN PEMBIAYAAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH (STUDI KASUS PADA BMT X)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Dengan semakin berkembangnya kegiatan perekonomian, maka akan dirasakan perlu adanya sumber-sumber penyediaan dana untuk membiayai segala macam kebutuhan yang dibutuhkan masyarakat. Sumber-sumber penyediaan dana masyarakat seperti perbankan pada umumnya dirasakan masih membebani masyarakat menengah ke bawah. Hal ini selain dikarenakan tingkat suku bunga yang relatif tinggi dan tidak stabil juga prosedur yang diajukan bank umum dalam memberikan pinjaman tergolong rumit.
Pembiayaan dibutuhkan masyarakat selain untuk konsumsi juga untuk mencukupi modal usaha. Salah satu ciri umum yang melekat pada masyarakat Indonesia adalah permodalan yang lemah. Padahal modal merupakan unsur pertama dalam mendukung peningkatan produksi dan taraf hidup masyarakat. Di daerah pedesaan banyak dijumpai pengusaha kecil yang mempunyai prospek bagus tetapi terhambat oleh modal sehingga kesulitan dalam mengembangkan usahanya. Untuk menghindari akan terdesaknya kebutuhan permodalan usaha tersebut masih banyak dijumpai pengusaha atau pedagang ekonomi lemah, khususnya pengusaha kecil di daerah mengambil jalan pragmatis yaitu mencari permodalan dari rentenir.
Melihat gambaran umum masyarakat yang sampai saat ini masih sangat membutuhkan pembiayaan sebagai tambahan dana baik untuk modal usaha, konsumsi, investasi maupun membeli barang-barang yang dibutuhkan, maka keberadaan lembaga keuangan sangat membantu masyarakat. Lembaga keuangan berbasis syariah diharapkan bisa menjadi pilihan utama masyarakat Indonesia yang sebagian besar beragama Islam. Karena lembaga keuangan syariah selain mampu menjangkau masyarakat menengah ke bawah yang membutuhkan pinjaman, lembaga keuangan syariah juga bebas dari bunga.
Dalam Widodo (1999) menjelaskan bahwa lahirnya lembaga keuangan syariah termasuk "Baitul Maal wa Tamwil” yang biasa disebut BMT, sesungguhnya dilatarbelakangi oleh pelarangan riba secara tegas dalam Al Qur'an. Sebagian besar umat Islam yang hati-hati dalam menjalankan perintah dan ajaran agamanya menolak menjalin hubungan bisnis dengan perbankan konvensial yang beroperasi dengan sistem bunga. Realita tersebut merupakan faktor penting yang melatarbelakangi lahirnya lembaga keuangan syariah seperti BMT. Tujuan yang ingin dicapai para penggagasnya tidak lain untuk menampung dana umat Islam yang begitu besar dan menyalurkannya kembali kepada umat Islam terutama pengusaha-pengusaha muslim yang membutuhkan bantuan modal untuk pengembangan bisnisnya dalam bentuk pemberian fasilitas pembiayaan kepada para nasabah berdasarkan prinsip syariah, seperti murabahah, mudharabah, musyarakah, qardl dan lain-lain.
BMT merupakan pengembangan dari konsep ekonomi dalam Islam terutama dalam keuangan. Istilah BMT adalah penggabungan dari Baitul Maal dan Baitul Tamwil. Baitul Maal adalah lembaga penerima zakat, infaq, sadaqoh dan menjalankannya sesuai dengan peraturan dan amanahnya. Sedangkan Baitul Tamwil adalah lembaga keuangan yang berorientasi bisnis dengan mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kehidupan ekonomi masyarakat terutama dengan usaha skala kecil. Dalam perkembangannya BMT juga diartikan sebagai Balai-usaha Mandiri Terpadu yang singkatannya juga BMT. (Sholahuddin, 2008 : 202-203)
Dengan terbitnya UU No. 10 Tahun 1998 sebagai penopang hukum perbankan dengan sistem syariah, menjadikan keberadaan perbankan syariah menjamur. Tumbuhnya perbankan syariah diikuti dengan tumbuhnya kesadaran umat Islam untuk membebaskan diri dari riba. Hal ini akan berimbas pada makin maraknya sektor moneter di tingkat bawah. Ini terbukti pada berkembangnya BPR Syariah dan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sampai di desa-desa. Pesatnya pekembangan lembaga keuangan mikro yang berlandaskan syariah seperti BMT menunjukkan bahwa keberadaan lembaga keuangan ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama masyarakat kalangan menengah ke bawah. (Awaly Rizki dalam Bambang sugeng 2007)
Belakangan ini Baitul Maal wa Tamwil (BMT) memang mulai popular diperbincangkan oleh insan perekonomian terutama dalam perekonomian Islam. Sejak krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia tahun 1997, BMT telah mulai tumbuh menjadi alternatif pemulihan kondisi perekonomian di Indonesia. Pada tahun 2000, BMT terdaftar sebanyak 2.938 di 26 provinsi.
Dari jumlah itu, 637 (21,68%) di Jawa Barat, 600 (20,42%) di Jawa Timur, 513 (17,46%) di Jawa Tengah, dan 165 (5,61%) di DKI Jakarta. Menurut data Asosiasi BMT seluruh Indonesia (ABSINDO), hingga akhir Desember 2006 ada 3500 BMT yang tersebar di seluruh Indonesia dengan jumlah aset mencapai 2 triliun rupiah. Bahkan PINBUK, ICMI dan ABSINDO punya target mengembangkan 10.000 BMT di tahun 2010. (Pikiran-Rakyat.com)
Keberadaan lembaga keuangan mikro seperti BMT ini sangat penting mengingat keterbatasan akses masyarakat pada sumber-sumber pembiayaan formal, seperti perbankan. Kehadiran BMT sebagai pendatang baru dalam dunia pemberdayaan masyarakat melalui system simpan-pinjam syariah dimaksudkan untuk menjadi alternatif yang lebih inovatif dalam jasa keuangan. kehadiran BMT di harapkan mampu menjadi sarana dalam menyalurkan dana untuk usaha bisnis kecil dengan mudah dan bersih, karena didasarkan pada kemudahan dan bebas riba. Selain itu mampu memperbaiki/meningkatkan taraf hidup masyarakat bawah. BMT merupakan lembaga keuangan alternatif yang mudah diakses oleh masyarakat bawah dan bebas riba/bunga, Lembaga untuk memberdayakan ekonomi ummat, mengentaskan kemiskinan, dan meningkatkan produktivitas
Salah satu aktivitas yang penting dalam manajemen dana BMT adalah pelemparan dana (lendingfinancing). Istilah ini dalam keuangan konvensional dikenal dengan sebutan kredit dan dalam keuangan syariah sering disebut pembiayaan. Pembiayaan sering digunakan untuk menunjukkan aktivitas utama BMT, karena berhubungan dengan rencana memperoleh pendapatan. Sebagai upaya memperoleh pendapatan yang semaksimal mungkin, aktivitas pembiayaan BMT juga menganut azas syariah, yakni dapat berupa bagi hasil, keuntungan maupun jasa manajemen. Upaya ini harus dikendalikan sedemikian rupa sehingga kebutuhan likuiditas dapat terjamin dan tidak banyak dana yang menganggur. (Ridwan, 2004 : 163-164)
Dalam Muhammad (2002) menjelaskan bahwa peran BMT dalam memberikan kontribusi kepada perekonomian nasional sangat jelas, sementara perbankan sulit untuk menyalurkan dana pihak ketiga kepada masyarakat menengah ke bawah, BMT dapat langsung menyentuh serta memfokuskan perhatiannya terhadap masyarakat menengah ke bawah. Nilai strategis BMT lainnya adalah lembaga ini mempunyai peran yang sangat vital dalam menjangkau transaksi syariah di daerah yang tidak bisa dilayani oleh bank umum maupun bank yang membuka unit syariah. BMT sebagai salah satu lembaga keuangan mikro tentu menjadi harapan baru bagi masyarakat untuk mendapatkan pembiayaan. Pembiayaan yang dimaksud adalah suatu fasilitas yang diberikan bank Islam kepada masyarakat yang membutuhkan untuk menggunakan dana yang telah dikumpulkan oleh bank Islam dari masyarakat yang surplus dana.
Sementara itu pemilihan BMT Y karena selain BMT ini merupakan bagian dari program pemerintah melalui kebijakan Departemen Sosial untuk menumbuhkembangkan lembaga keuangan mikro sebagai upaya menyediakan permodalan bagi masyarakat menengah ke bawah, BMT ini juga memiliki basis pada daerah pedesaan sehingga lebih mewakili masyarakat Jawa Tengah yang sebagian besar berada di daerah pedesaan. BMT Y yang mempunyai cukup banyak nasabah khususnya nasabah pembiayaan (1160 orang pada Maret 2009) dinilai mampu memberikan lebih banyak variasi responden sehingga hasil penelitian bisa lebih baik. Selain itu lokasi BMT Y di X yang relatif dapat dijangkau baik dari segi dana, waktu, tenaga dan sebagainya juga dijadikan pertimbangan dalam pemilihan objek penelitian.
Berawal dari kondisi tersebut, merupakan suatu hal yang menarik untuk diteliti dan dicermati faktor apa saja yang mempengaruhi para nasabah dalam meminta pembiayaan pada BMT Y di Kabupaten X. Berdasarkan dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penelitian ini merupakan suatu "ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN PEMBIAYAAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH (Studi Kasus Pada BMT Y di X)". Mengingat banyaknya faktor yang mempengaruhi permintaan pembiayaan, maka dalam penelitian ini faktor yang mempengaruhi permintaan pembiayaan dibatasi pada variabel pendapatan, pendidikan, serta persepsi anggota terhadap pelayanan BMT. Sedangkan untuk variable lain seperti : umur, jenis kelamin, jumlah tanggungan keluarga, maupun jenis pekerjaan akan dijelaskan dalam sebuah analisis deskriptif terkait pembiayaan yang responden minta.
Dari hasil penelitian ini diharapkan agar pengelola BMT mampu mengetahui preferensi nasabahnya dalam meminta pembiayaan sehingga diharapkan BMT sebagai lembaga keuangan mikro syariah mampu berupaya meningkatkan performa dan mengoptimalkan kinerjanya sebagai lembaga intermediasi dan mampu meningkatkan peranannya bagi perekonomian nasional.

B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka pokok permasalahannya dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Apakah variabel pendapatan anggota berpengaruh secara signifikan terhadap permintaan pembiayaan pada BMT Y di X ?
2. Apakah variabel pendidikan anggota berpengaruh secara signifikan terhadap permintaan pembiayaan pada BMT Y di X ?
3. Apakah variabel persepsi anggota terhadap pelayanan BMT berpengaruh secara signifikan terhadap permintaan pembiayaan pada BMT Y di X ?
4. Apakah tujuan anggota atas pembiayaan yang diperoleh dari BMT Y di X ?

C. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui pengaruh variabel pendapatan anggota terhadap permintaan pembiayaan pada BMT Y di X
2. Untuk mengetahui pengaruh variabel pendidikan anggota terhadap permintaan pembiayaan pada BMT Y di X
3. Untuk mengetahui pengaruh persepsi anggota terhadap pelayanan BMT terhadap permintaan pembiayaan pada BMT Y di X
4. Untuk mengetahui deskripsi dari tujuan pembiayaan masing-masing anggota BMT Y di X

D. MANFAAT PENELITIAN
1. Bagi penulis, untuk memperluas khasanah pemikiran mengenai ekonomi syariah, khususnya gambaran mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pemintaan pembiayaan pada lembaga keuangan mikro syariah seperti BMT
2. Bagi lembaga keuangan mikro syariah seperti BMT, dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan kebijakan dalam upaya pengembangan kinerja di kelak kemudian hari
3. Bagi pemerintah, sebagai referensi untuk pengambilan keputusan dalam peningkatan kinerja pengembangan lembaga keuangan syariah
4. Bagi kalangan akademisi, sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya khususnya penelitian mengenai ekonomi Islam
5. Bagi semua pihak, sebagai landasan dalam melakukan langkah perbaikan dan optimalisasi lembaga keuangan syariah sehingga dapat memberikan manfaat yang sebaik-baiknya bagi semua pihak.

SKRIPSI ANALISIS PENGARUH PEMEKARAN WILAYAH INDUK TERHADAP SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT

SKRIPSI ANALISIS PENGARUH PEMEKARAN WILAYAH INDUK TERHADAP SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT


(KODE : EKONPEMB-0018) : SKRIPSI ANALISIS PENGARUH PEMEKARAN WILAYAH INDUK TERHADAP SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Sejak masa orde lama, orde bam hingga era reformasi sekarang ini, pemerintah selalu melaksanakan pembangunan di segala bidang kehidupan guna meningkatkan taraf hidup masyarakatnya agar menjadi manusia seutuhnya yang berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Karena pada dasarnya pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ini dilaksanakan secara berkesinambungan dan berencana untuk mendapatkan kondisi masyarakat yang lebih baik dari sebelumnya. Pembangunan yang digalakkan ini diartikan sebagai proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar, baik terhadap struktur ekonomi, perubahan sosial, mengurangi atau menghapuskan kemiskinan, mengurangi ketimpangan, dan pengangguran dalam konteks pertumbuhan ekonomi (Todaro dalam Sirojuzilam, 2008). Oleh karena itu, pembangunan tersebut harus mampu mengakomodasi berbagai aspek kehidupan manusia baik material maupun spiritual dan dilakukan secara merata sehingga dapat dirasakan oleh seluruh kalangan masyarakat.
Wilayah Negara Indonesia yang sangat besar dengan rentang geografis yang luas berupa kepulauan, kondisi sosial-budaya yang beragam, jumlah penduduk yang besar, hal ini berpengaruh terhadap proses pengalokasian pembangunan itu dan mekanisme pelaksanaan pemerintahan Negara Indonesia. Dengan kondisi seperti ini menyebabkan pemerintah sulit mengkoordinasi pemerintahan yang ada di daerah. Untuk memudahkan pengaturan atau penataan pemerintahan maka diperlukan adanya suatu sistem pemerintahan yang dapat berjalan secara efisien dan mandiri tetapi tetap terawasi dari pusat.
Pada era reformasi sekarang ini sangat dibutuhkan sistem pemerintahan yang memungkinkan cepatnya penyaluran aspirasi rakyat, alokasi kewajiban negara kepada rakyat secara merata, namun tetap berada di bawah pengawasan pemerintah pusat. Hal tersebut diperlukan agar tidak terjadi lagi ancaman-ancaman terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), seperti yang pernah munculnya gerakan-gerakan separatisme di daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), antara lain GAM di Aceh dan RMS di Maluku.
Sumber daya alam daerah di Indonesia yang tidak meratajuga merupakan salah satu penyebab diperlukannya suatu sistem pemerintahan yang memudahkan pengelolaan sumber daya alam yang merupakan sumber pendapatan daerah sekaligus menjadi pendapatan nasional. Sebab seperti yang kita ketahui bahwa terdapat beberapa daerah yang pembangunannya memang harus lebih cepat daripada daerah lain.
Disisi lain, dorongan yang kuat dari masyarakat setempat (lokal) itu sendiri untuk melakukan perubahan ke arah pensejahteraan juga merupakan suatu faktor yang semakin mendesak pemerintah untuk menciptakan satu formula pemerintahan yang pada akhirnya mendukung pembangunan itu. Dari uraian diatas, maka lahirlah sistem pemekaran wilayah yang merupakan implikasi dari desentralisasi dan otonomi daerah yang sampai sekarang masing tetap dilaksanakan.
Wacana tentang sistem pemekaran wilayah ini, tentu saja tidak terlepas dari wacana desentralisasi politik. Jika kita mencoba mengulang belajar tentang sejarah perkembangannya, pemekaran wilayah di Indonesia sesungguhnya telah terjadi sejak lama ketika zaman kerajaan-kerajaan di nusantara bermunculan. Pada zaman itu, wilayah kekuasaan suatu kerajaan akan terpecah atau dimekarkan apabila terjadi perseteruan ditubuh kerajaan atau yang biasa disebut konflik antar keluarga karajaan maupun kalah peperangan. Pemekaran wilayah semakin marak tatkala penjajahan kolonial mulai masuk ke Indonesia.
Pada masa pra-kemerdekaan, Belanda dan Jepang telah membawa dan menanamkan "virus kolonialisme" ke Indonesia. Belanda sebagai penjajah pada waktu itu telah menerapkan sistem desentralisasi yang bersifat sentralistik, birokratis, dan feodalistis untuk kepentingan mereka. Sistem desentralisasi ini mengarah kepada sisttem pemekaran. Penjajah Belanda menyusun suatu hirearki Pangreh Praja Bumiputra dan Pangreh Praja Eropa yang harus tunduk kepada Gubernur Jenderal. Dikeluarkannya Decentralisatie Wet pada tahun 1903, yang ditindaklanjuti dengan Bestuurshervorming Wet pada tahun 1922, menetapkan daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri melalui pembentukan dan pembagian daerah-daerah menjadi daerah otonom yang dikuasai Belanda menjadi gewest (identik dengan propinsi saat ini), regentschap (kabupaaten saat ini) dan staatsgemeente (kotamadya sekarang). Sedangkan pada Pemerintah pendudukan Jepang pada dasarnya melanjutkan sistem pemerintahan daerah seperti zaman Belanda, dengan perubahan ke dalam bahasa Jepang. Pembagian wilayah-wilayah tersebut umumnya terjadi di Jawa dan sekitarnya yang ditujukan sebagai alat kontrol kekuasaan sekaligus memperkecil ruang gerak rakyat Indonesia dalam melakukan pemberontakan.
Pemekaran wilayah yang terjadi pada saat ini merupakan implikasi berlakunya otonomi daerah, yakni UU No. 5 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah yang ditetapkan pada masa Presiden BJ. Habibie yang menggantikan Soeharto. Beliau membuat kebijakan politik bam yang mengubah hubungan kekuasaan pusat dan daerah. Wilayah pusat tidak sepenuhnya lagi mempunyai wewenang terhadap daerah, tetapi sebagian kekuasaan pemerintahan diserahkan kepada daerah. UU tersebut kemudian melahirkan UU No.22 Tahun 1999 tentang Penerintahan Daerah dan seiring waktu berubah menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah.
Semangat otonomi daerah dan desentralisasi diatas akhirnya bermuara kepada keinginan daerah untuk memekarkan diri yang kemudian diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan, dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah. Namun dalam prakteknya, pemekaran daerah jauh lebih mendapat perhatian dibandingkan penghapusan ataupun penggabungan daerah. Dalam PP tersebut, daerah berhak mengajukan usulan pemekaran terhadap daerahnya selama telah memenuhi syarat teknis, administratif, dan fisik.
Desentralisasi banyak dijadikan sebagai sebuah konsep penyelenggaraan pemerintahan dan menjadi panduan utama akibat ketidakmungkinan sebuah negara seperti Indonesia yang wilayah geografisnya luas dan jumlah penduduknya yang besar untuk mengelola manajemen pemerintah secara sentralistik. Di dalam desentralisasi juga terkandung semangat demokrasi untuk mendekatkan parti sipasi masyarakat dalam menjalankan pembangunan. Desentralisasi di Indonesia adalah sebuah peluang bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan wacana politik lokal. Selain memberikan pengelolaan kewenangan pada bidang tertentu, desentralisasi telah memberikan ruang bagi suatu daerah untuk pembentukan wilayah/daerah baru.
Sepertinya, pemekaran wilayah telah menghasilkan trend baru dalam struktur kewilayahan di Indonesia. Dalam kurun waktu sepuluh tahun saja sejak era reformasi bergulir dan dengan memanfaatkan momen euforia otonomi daerah, telah terbentuk 203 daerah otonom baru, diantaranya terdiri atas 7 provinsi, 163 kabupaten, dan 33 kota. Fenomena pemekaran daerah yang begitu cepat ini pastilah memiliki implikasi yang sangat besar dalam konteks ekonomi, sosial, politik, dan pemerintahan. Pemekaran wilayah merupakan pilihan yang diambil oleh pemerintah dan pihak yang terkait dibanding melakukan penggabungan wilayah.
Oleh karena itu, fenomena pembentukan daerah melalui pemekaran wilayah tampaknya sangat menarik untuk dibahas, khususnya yang menyangkut motif pemekaran itu sendiri. Akan tetapi, hal lain yang jauh lebih menarik adalah apakah melalui trend pemekaran wilayah ini akan mampu membawa harapan masyarakat untuk mendorong kepada peningkatan sosial ekonominya, yakni melalui percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi serta mampu menghindari kesenjangan ekonomi masyarakat di daerahnya masing-masing ?
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk mencoba melakukan penelitian dengan menganalisa sudah sejauh mana pemekaran yang terjadi di Kabupaten X yang merupakan daerah induk memberikan pengaruh terhadap tingkat sosial ekonomi masyarakatnya. Dalam hal ini Penulis mencoba menuangkannya melalui penulisan skripsi dengan judul "Analisis Pengaruh Pemekaran Wilayah Induk Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat (Studi Kasus : Kabupaten X)".

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini, yaitu :
1. Apakah ada perbedaan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebelum dan sesudah pemekaran wilayah induk di Kabupaten X ?
2. Apakah ada perbedaan pertumbuhan ekonomi sebelum dan sesudah pemekaran wilayah induk di Kabupaten X ?
3. Apakah ada perbedaan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebelum dan sesudah pemekaran wilayah induk di Kabupaten X ?
4. Apakah ada perbedaan tingkat pengangguran sebelum dan sesudah pemekaran wilayah induk di Kabupaten X ?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini ialah :
1. Untuk mengetahui perbedaan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebelum dan sesudah pemekaran wilayah induk di Kabupaten X.
2. Untuk mengetahui perbedaan pertumbuhan ekonomi sebelum dan sesudah pemekaran wilayah induk di Kabupaten X.
3. Untuk mengetahui perbedaan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebelum dan sesudah pemekaran wilayah induk di Kabupaten X.
4. Untuk mengetahui perbedaan tingkat pengangguran sebelum dan sesudah pemekaran wilayah induk di Kabupaten X.
Adapun manfaat dari penelitian ini, yaitu :
1. Sebagai bahan studi, literatur dan tambahan informasi bagi kalangan akademisi, peneliti dan mahasiswa Fakultas Ekonomi terutama mahasiswa Departemen Ekonomi Pembangunan yang ingin melakukan penelitian selanjutnya.
2. Untuk menambah dan melengkapi dan sebagai pembanding hasil-hasil penelitian yang sudah ada menyangkut topik yang sama.
3. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi para pembuat kebijakan yang berhubungan dengan perencanaaan dan pembangunan wilayah di Kabupaten X.

SKRIPSI PTK PENGGUNAAN MEDIA GAMBAR UNTUK MENGATASI KESULILTAN BELAJAR MEMBACA PERMULAAN

SKRIPSI PTK PENGGUNAAN MEDIA GAMBAR UNTUK MENGATASI KESULILTAN BELAJAR MEMBACA PERMULAAN


(KODE : PTK-0100) : SKRIPSI PTK PENGGUNAAN MEDIA GAMBAR UNTUK MENGATASI KESULILTAN BELAJAR MEMBACA PERMULAAN (BAHASA INDONESIA KELAS I)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam perkembangan ilmu dan teknologi yang sangat cepat seperti sekarang ini terasa sekali bahwa kegiatan membaca boleh dikatakan tidak terlepas dari kehidupan manusia. Berbagai informasi sebagian besar disampaikan melalui media cetak, dan bahkan yang melalui lisan pun bisa dilengkapi dengan tulisan, atau sebaliknya. Di sisi lain keterbatasan waktu selalu dihadapi oleh manusia itu sendiri. Hal itu didasarkan pada adanya kenyataan arus informasi berjalan begitu cepat, kesibukan manusia sangat banyak, sehingga waktu yang tersedia untuk membaca sangat terbatas. Kegiatan membaca untuk dapat mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi tersebut mutlak diperlukan.
Oleh karena itu, sebenarnya kini manusia dihadapkan pada problema bagaimana mengatasi keterbatasan waktu tersebut. Sehingga pada akhirnya dapat membaca dalam waktu yang relatif singkat, namun dapat memperoleh informasi yang maksimal. Dengan pernyataan lain, persoalannya adalah bagaimana melakukan kegiatan membaca secara efektif, sehingga tidak mengganggu aktivitas yang lain.
Membaca merupakan salah satu jenis kemampuan berbahasa tulis yang bersifat reseptif. Disebut reseptif karena dengan membaca seseorang akan memperoleh informasi, ilmu pengetahuan, dan pengalaman-pengalaman baru. Semua yang diperoleh melalui bacaan itu akan memungkinkan orang tersebut mampu mempertinggi daya pikirannya, mempertajam pandangannya, dan memperluas wawasannya. Dengan demikian maka kegiatan membaca merupakan kegiatan yang sangat diperlukan oleh siapa saja yang ingin maju dan meningkatkan diri. Oleh karena itu, pembelajaran membaca di sekolah mempunyai peranan yang penting. Pembelajaran membaca memang benar-benar mempunyai peranan yang sangat penting. Sebab selain bermanfaat seperti yang telah disebutkan di atas, melalui pembelajaran membaca, guru dapat berbuat banyak dalam proses pengindonesiaan anak-anak Indonesia. Dalam pembelajaran membaca, guru dapat memilih wacana-wacana yang berkaitan dengan tokoh nasional, kepahlawanan, kenusantaraan, dan kepariwisataan. Selain itu melalui contoh pembelajaran membaca, guru dapat mengembangkan nilai-nilai moral, kemampuan bernalar, dan kreativitas anak didik.
Pembelajaran membaca permulaan di kelas I SD merupakan pembelajaran membaca tahap awal. Kemampuan membaca yang diperoleh pada membaca permulaan akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan membaca berikutnya. Kemampuan membaca permulaan benar-benar memerlukan perhatian dari guru, karena jika dasar itu tidak kuat maka akan berpengaruh pada tahap membaca lanjut, sebab siswa akan mengalami kesulitan untuk dapat memiliki kemampuan membaca yang mahir. Oleh sebab itu, bagaimanapun guru kelas I SD harus berusaha sungguh-sungguh agar ia dapat memberikan dasar kemampuan yang baik kepada anak didiknya. Hal itu akan terwujud jika melalui pelaksanaan yang baik. Sebelum mengajar guru harus ada perencanaan, baik mengenai materi, media, metode, dan yang lainnya.
Membaca permulaan sebagai salah satu keterampilan berbahasa yang memungkinkan mampu menghasilkan siswa memiliki : (1) pengetahuan dasar yang dapat digunakan sebagai dasar mendengarkan bahasa Indonesia; (2) pengetahuan dasar untuk bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia; (3) pengetahuan dasar untuk membaca bahasa Indonesia; (4) pengetahuan dasar untuk menulis bahasa Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa membaca permulaan adalah hal yang sangat penting. Jelas bahwa membaca permulaan itu sangat penting dan mutlak ada dalam kurikulum sekolah dasar.
Untuk meningkatkan prestasi belajar membaca permulaan siswa di kelas I SD, guru diharapkan mempunyai kemampuan dan keterampilan dalam memilih serta menggunakan pendekatan pembelajaran secara tepat. Pendekatan pembelajaran bahasa lebih ditekankan pada pendekatan komunikatif, yaitu keterampilan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar untuk berkomunikasi. Pendekatan komunikatif sepenuhnya dapat diterapkan dalam proses belajar mengajar di kelas apabila siswa terlibat aktif. Siswa tidak saja dilibatkan sejak awal dalam tahap memilih tema dan menentukan topik sajian bahan pengajaran. Dengan demikian siswa dapat merasakan bahwa kegiatan belajar yang dilakukan menjadi milik dan tanggungjawabnya. Tingkat keaktifan siswa yang paling tinggi adalah kemandirian siswa dalam belajar, keingintahuan yang tinggi, kehausan mencari informasi baru, dan kelincahan dalam mencari pemecahan masalah.
Membaca permulaan sebagai kemampuan dasar membaca siswa merupakan alat bagi siswa untuk mengetahui makna dari isi mata pelajaran yang dipelajari di sekolah. Makin cepat siswa dapat membaca makin besar peluang untuk memahami makna isi pelajaran di sekolah. Meskipun guru sudah bekerja keras mengajar membaca permulaan pada siswa, namun pada akhir tahun pelajaran masih juga terdapat siswa yang belum dapat membaca.
Masalah yang terjadi di kelas 1 SD Negeri X ini adalah siswa sulit membaca ditahap permulaan. Penyebabnya adalah siswa kesulitam membedakan bentuk huruf dan sulit membaca huruf konsonan yang ada di belakang. Siswa sering terbalik membedakan antara huruf "n" dan huruf "m", huruf "b" dan huruf "d", dan seterusnya.
Tahap awal sebelum melaksanakan penelitian, peneliti melakukan observasi di kelas 1. Hasil dari observasi sebelum diadakan penelitian adalah : keaktifan siswasedang, nilai yang dicapai siswa rendah, tingkat ketertarikan siswa terhadap pelajaran rendah, tingkat keantusiasan rendah, keaktifan membaca permulaan rendah, kemampuan membedakan huruf sedang, dan kemampuan membaca permulaan rendah.
Untuk mengatasi masalah kesulitan membaca permulaan dalam belajar mengajar, sangat berhubungan dengan faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses pembelajaran. Faktor-faktor yang berpengaruh yaitu faktor dari dalam diri siswa dan faktor yang diperoleh dari luar diri siswa. Faktor yang berasal dari dalam diri siswa di antaranya adalah motivasi belajar. Faktor yang berasal dari luar diri siswa di antaranya adalah kelengkapan peralatan/media dalam pembelajaran.
Media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan anak didik sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar pada diri siswa (Miraso dalam Asep Herry Hernawan, 2008 : 11). Perbedaan gaya belajar, minat, intelegensi, keterbatasan daya indra, hambatan jarak geografis dapat diatasi dengan pemanfaatan media pembelajaran.
Berbagai cara yang dapat digunakan guru dalam mengatasi kesulitan belajar membaca permulaan yaitu menggunakan media gambar. Proses pembelajaran dengan menggunakan media gambar, perhatian siswa akan terfokus dan tertarik pada mata pelajaran, dan juga akan memberikan pengalaman yang nyata. Sehingga dapat membantu para siswa untuk lebih mudah dan cepat dalam belajar membaca permulaan.
Kemampuan membaca permulaan merupakan dasar untuk menguasai berbagai bidang studi. Jika anak pada usia sekolah permulaan tidak segera memiliki kemampuan membaca, maka ia akan mengalami banyak kesulitan dalam mempelajari berbagai bidang studi pada kelas-kelas selanjutnya. Oleh karena itu, untuk meningkatkan prestasi belajar membaca permulaan, (dalam hal ini mata pelajaran bahasa Indonesia) diperlukan suatu bantuan media. Menurut peneliti media yang paling tepat digunakan adalah media gambar. Media gambar merupakan media pandang dua dimensi yang dirancang secara khusus untuk mengkomunikasikan pesan pembelajaran (Udin S. Winataputra, 2006 : 5.3). Penggunaan media ini diharapkan dapat membantu siswa agar lebih mudah dan berhasil dalam belajar membaca permulaan di kelas I SD.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian supaya memperoleh data yang akurat, yang berguna untuk memberikan solusi yang terbaik untuk mengatasi kesulitan belajar membaca permulaan siswa pada mata pelajaran bahasa Indonesia. Untuk itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul "Penggunaan Media Gambar untuk Mengatasi Kesulitan Belajar Membaca Permulaan di Kelas I SD Negeri X"

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapatlah diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Banyak guru sekolah dasar yang kurang tepat dalam menentukan strategi pembelajaran bahasa Indonesia khususnya dalam membaca permulaan sehingga anak kurang tertarik.
2. Kurang tepatnya pengguanaan metode dalam pembelajaran bahasa Indonesia, sehingga tidak tercapai tujuan yang diharapkan.
3. Kurang tepatnya pengguanaan media dalam pembelajaran bahasa Indonesia, sehingga tujuan yang diharapkan tidak tercapai.
4. Adanya siswa yang berkesulitan belajar membaca permulaan.

C. Pembatasan Masalah
Masalah yang diidentifikasi di atas tidak dapat diteliti secara keseluruhan. Penelitian ini hanya dibatasi pada masalah penggunaan media gambar untuk mengatasi kesulitan belajar membaca permulaan siswa kelas I SD Negeri X.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat disusun suatu rumusan masalah sebagai berikut :
Apakah penggunaan media gambar dapat mengatasi kesulitan belajar membaca permulaan di kelas I SD Negeri X ?

E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
Mengatasi kesulitan belajar membaca permulaan di kelas I SD Negeri X dengan menggunakan media gambar.

F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan dapat digunakan sebagai alternatif dalam mengembangkan kemampuan bahasa Indonesia, khususnya membaca permulaan. Secara rinci manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoretis
a. Penelitian ini disusun dengan harapan dapat menjadi acuan bagi penelitian yang akan datang yang terkait dengan penelitian ini.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, khususnya yang berhubungan dengan masalah peningkatan prestasi bahasa Indonesia (membaca permulaan) dengan penggunaan alat peraga gambar.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi siswa, yaitu :
1) Dapat meminimalkan kesulitan belajar membaca, sehingga dapat meningkatkan kemampuan membaca permulaan siswa
2) Meningkatkan hasil belajar bahasa Indonesia siswa, terutama dalam keterampilan membaca permulaan
3) Meningkatka motivasi belajar membaca siswa
b. Bagi guru yaitu :
1) Dapat meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan menghadapi dan mengatasi siswa kelas I SD yang mengalami kesulitan belajar membaca permulaan, sehingga tercipta suatu proses pembelajaran yang kondusif untuk membantu perkembangan siswa yang optimal.
2) Dapat mendorong guru dalam memberikan materi pelajaran dengan memperhatikan kemampuan para siswa sebelumnya.
3) Dapat memberikan alternatif kepada guru dalam menggunakan media gambar sebagai sarana untuk mengatasi masalah kesulitan belajar membaca permulaan siswa, khususnya pelajaran bahasa Indonesia (Membaca Menulis Permulaan), bagi siswa berkesulitan belajar.
4) Dapat memberikan wawasan bagi guru dalam menyiapkan media gambar yang sesuai dengan kebutuhan/materi pelajaran bahasa Indonesia.
c. Bagi sekolah, yaitu :
Hasil penelitian ini sebagai sumbangan yang bermanfaat dalam rangka perbaikan pembelajaran bahasa Indonesia.

SKRIPSI PTK PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA MENULIS PERMULAAN DENGAN METODE KATA LEMBAGA

SKRIPSI PTK PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA MENULIS PERMULAAN DENGAN METODE KATA LEMBAGA


(KODE : PTK-0099) : SKRIPSI PTK PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA MENULIS PERMULAAN DENGAN METODE KATA LEMBAGA (BAHASA INDONESIA KELAS II)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pembelajaran bahasa Indonesia memang memiliki kedudukan yang sangat penting. Keterampilan berbahasa yang perlu ditekankan adalah mendengarkan, membaca, berbicara dan menulis. Pembelajaran Bahasa Indonesia dapat menjadi media menanamkan nilai-nilai keIndonesiaan pada anak didik, misalnya : wacana yang berkaitan dengan Tokoh Nasional, Kepahlawanan, Kesusastraan dan Kepariwisataan. Setelah itu, melalui pembelajaran membaca, guna dapat mengembangkan nilai-nilai moral, kemampuan, penalaran dan kreatifitas anak didik.
Membaca dan menulis merupakan jenis kemampuan berbahasa tulis, seseorang dapat memperoleh ilmu dan pengetahuan serta pengalaman-pengalaman baru. Semua yang diperoleh melalui bacaan dan tulisan akan memungkinkan orang mampu mempertinggi daya pikirnya, mempertajam pandangannya dan memperluas wawasannya. Kegiatan membaca merupakan kegiatan yang diperlukan oleh siapapun yang ingin maju dan meningkatkan diri.
Kemampuan membaca menulis merupakan salah satu kunci keberhasilan siswa dalam meraih kemajuan dengan kemampuan yang memadai siswa akan lebih mudah menggali informasi dari berbagai sumber tertulis. Upaya pengembangan dan peningkatan kemampuan membaca diantaranya dilakukan melalui pembelajaran di sekolah-sekolah dasar sebagai penggalan pertama pendidikan dasar yang harus mampu membekali dengan dasar-dasar kemampuan membaca dan menulis yang diperlukan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Betapa pentingnya di Sekolah Dasar, karena memiliki fungsi setrategis dalam usaha peningkatan sumberdaya manusia.
Membaca permulaan sebagai kemampuan dasar membaca siswa dan alat bagi siswa untuk mengetahui makna dari isi mata pelajaran yang dipelajarinya di sekolah. Makin cepat siswa dapat membaca makin besar peluang untuk memahami isi makna mata pelajaran di sekolah. Namun pada akhir tahun pelajaran masih juga terdapat siswa yang tidak dapat membaca dan menulis. Keadaan ini terjadi pada siswa kelas I maupun siswa yang lebih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran membaca di sekolah dasar belum optimal. Masih dalam menguasai huruf. Dengan demikian akan sangat mempengaruhi keberhasilan siswa tersebut dalam belajar atau menerima mata pelajaran yang dipelajari di sekolah. Faktor-faktor penyebab belum berhasilnya pembelajaran membaca dan menulis permulaan dan menulis permulaan di kelas satu sangat kompleks. Faktor ini berasal dari berbagai dimensi, yaitu : pesan, orang, bahan peralatan, teknik, serta latar belakang siswa. Secara khusus faktor yang diduga paling dominan mempengaruhi pembelajaran membaca dan menulis permulaan adalah yang menyangkut pelaksanaan pembelajaran di sekolah.
Kemampuan menulis merupakan salah satu jenis kemampuan berbahasa tulis yang bersifat produktif : artinya kemampuan menulis ini merupakan kemampuan yang menghasilkan tulisan. Menulis merupakan kegiatan yang memerlukan kemampuan yang bersifat kompleks. Kemampuan-kemampuan yang diperlukan itu dapat diperoleh melalui proses yang panjang. Sebelum sampai pada tingkat mampu menulis, siswa harus mulai dari tingkat awal, tingkat permulaan, mulai dari pengenalan lambang-lambang bunyi. Pengetahuan dan kemampuan yang diperoleh pada tingkat permulaan pada pembelajaran menulis permulaan itu, akan menjadi dasar peningkatan dan kemampuan siswa selanjutnya. Apabila dasar itu baik, kuat, maka dapat diharapkan hasil pengembangannya pun akan baik pula, dan apabila dasar itu kurang baik atau lemah, maka dapat diperkirakan hasil pengembanganya akan kurang baik juga.
Sebagaimana diketahui bahwa masalah kemajuan pendidikan dan peningkatan mutu pendidikan diperoleh dari berbagai segi diantaranya lewat membaca dan menulis. Awalnya membaca permulaan yang diajarkan di bangku sekolah dasar. Namun demikian tidak semudah membalikkan telapak tangan. Untuk mengajari siswa dapat lancar membaca dan menulis konsonan rangkap.
Banyak saya jumpai di kelas II SDN X dari 50 siswa yang belum lancar membaca 42% dan yang belum lancar menulis 58%. Padahal untuk menuju keberhasilan belajar yang maksimal diantaranya harus lewat membaca, baik membaca buku-buku pelajaran, membaca buku-buku perpustakaan, membaca surat kabar, membaca karya ilmiah dan lain-lain
Belajar membaca dengan menggunakan kata lembaga anak mudah memahami dan mencerna materi yang disajikan guru. Anak mudah menghafal huruf à suku kata à kata atau sebaliknya. Anak mudah mengingat materi pelajaran yang disajikan guru.
Bertolak dari permasalahan di atas, peneliti tertarik untuk meningkatkaan kemampauan membaca permulaan dengan mengadakan penelitian dengan mengangkat judul "PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA MENULIS PERMULAAN DENGAN METODE KATA LEMBAGA DI KELAS II SDN X".

B. IDENTIFIKASI MASALAH
Ada beberapa faktor yang menyebabkan siswa belum lancar membaca kalimat dan belum lancar menulis kata yang berkonsonan rangkap diantaranya siswa belum hafal betul tentang abjad, sehingga pada waktu membaca sesekali masih mengingat-ingat huruf apa yang sedang dibaca bahkan sesekali masih mengeja.
Ada pula yang disebabkan kurangnya latihan membaca yang dikarenakan anak malas belajar karena pengaruh lingkungan, misalnya waktunya belajar ada beberapa teman yang sedang bermain maka ikutlah anak tersebut ikut bermain sehingga lupa belajar.
Pembelajaran membaca menulis permulaan sebenarnya lebih banyak dipelajari ketika duduk di bangku kelas I, namun masih ada siswa siswi yang belum lancar membaca menulis. Dengan demikian peneliti memberi pembelajaran membaca menulis permulaan dengan metode eja. Ternyata dengan metode eja kurang efektif, karena siswa menjadi terbiasa mengeja di saat membaca. Akhirnya peneliti memilih menggunakan metode kata lembaga. Diharapkan dengan metode kata lembaga siswa siswi lebih semangat belajar dan lebih mudah memahaminya, sehingga lebih lancar dalam membaca menulis.

C. PEMBATASAN MASALAH
Membaca permulaan merupakan tahapan proses belajar membaca bagi siswa sekolah dasar kelas awal. Siswa belajar untuk memperoleh kemampuan dan menguasai teknik-teknik membaca dan menangkap isi bacaan dengan baik. Oleh karena itu guru perlu merancang pembelajaran membaca dengan baik.sehingga mampu menumbuhkan kebiasaan membaca sebagai suatu yang menyenangkan.
Kegiatan membaca permulaan tidak dapat dipisahkan dengan kegiatan menulis permulaan. Artinya, kedua macam keterampilan berbahasa tersebut dapat dilatihkan secara bersamaan. Ketika siswa belajar membaca, siswa juga belajar mengenal tulisan yakni berupa huruf, sukukata, kata, kalimat yang dibaca. Setelah belajar membaca satuan unit bahasa tersebut, siswa perlu belajar bagaimana menuliskannya. Demikian pula sebaliknya, ketika siswa belajar menulis huruf-suku kata-kata-kalimat, siswa juga belajar bagaimana cara membaca satuan unit bahasa tersebut.
Metode kata lembaga memulai mengajar membaca dan menulis permulaan dengan mengenalkan kata, menguraikan kata menjadi suku kata, suku kata menjadi huruf, kemudian menggabungkan huruf menjadi suku kata, dan suku kata menjadi kata, dan selanjutnya memvariasikan huruf yang sudah dikenal menjadi suku kata dan kata lain.
Untuk meningkatkan kemampuan membaca menulis permulaan siswa kelas II SDN X, maka peneliti mengadakan pembelajaran membaca menulisa permulaan dengan menggunakan metode kata lembaga.
Dengan penelitian ini peneliti memberi batasan yaitu sampai pada siswa dapat membaca menulis kalimat dengan lancar. Cara peneliti untuk mengetahui dan memperoleh hasilnya, peneliti mengadakan tes pra perbaikan dan tes setelah perbaikan.

D. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah metode kata lembaga dapat meningkatkan kemampuan membaca permulaan di kelas II SDN X ?
2. Apakah metode kata lembaga dapat meningkatkan kemampuan menulis permulaan di kelas II SDN X ?
3. Bagaimana cara menggunakan metode kata lembaga dalam meningkatkan kemampuan membaca menulis permulaan di kelas II SDN X ?

E. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui keefektifan metode kata lembaga di kelas II SDN X.
2. Memaparkan cara menggunakan metode kata lembaga untuk meningkatkan kemampuan membaca menulis permulaan di kelas II SDN X.

F. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan penelitian selanjutnya.
2. Manfaat praktis
a. Bagi peneliti, bermanfaat menemukan solusi untuk meningkatkan kemampuan membaca menulis permulaan.
b. Bagi siswa dapat meningkatkan kemampuan membaca menulis sehingga prestasinya meningkat.
c. Bagi guru sebagai tindakan untuk meningkatkan kemampuan membaca menulis permulaan.
d. Bagi sekolah penelitian ini merupakan sumbangan yang bermanfaat dalam rangka perbaikan pembelajaran membaca menulis permulaan.

SKRIPSI PTK PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS NARASI DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA GAMBAR BERSERI

SKRIPSI PTK PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS NARASI DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA GAMBAR BERSERI


(KODE : PTK-0098) : SKRIPSI PTK PENINGKATAN KEMAMPUAN MENULIS NARASI DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA GAMBAR BERSERI (BAHASA INDONESIA KELAS IV)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Di dalam masyarakat modern seperti sekarang ini dikenal dua macam cara berkomunikasi, yaitu komunikasi secara langsung dan komunikasi secara tidak langsung. Kegiatan berbicara dan mendengarkan (menyimak), merupakan komunikasi secara langsung, sedangkan kegiatan menulis dan membaca merupakan komunikasi tidak langsung. Keterampilan menulis sebagai salah satu cara dari empat keterampilan berbahasa, mempunyai peranan yang penting di dalam kehidupan manusia.
Keterampilan berbahasa yang dapat dihubungkan dengan media gambar diam adalah menulis dan berbicara. Menulis selain sebagai kegiatan kreativitas juga merupakan kegiatan produktif dan ekspresif. Dalam kegiatan menulis, penulis juga harus bisa memanfaatkan bahasa dan kosakata yang diperolehnya. Penulis juga harus memahirkan kegiatan menulis tersebut dalam latihan-latihan tertentu sehingga dapat benar-benar menguasai keterampilan menulis tersebut. Menulis selain dapat menjadi ajang sebuah kreativitas juga dapat menjadikannya sebagai penyampai gagasan tentang suatu hal.
Salah satu cara untuk meningkatkan proses belajar mengajar menulis karangan adalah dengan mengubah media atau pola ajar yang digunakan oleh guru. Dalam hal ini pola ajar yang dilakukan adalah dengan menggunakan media gambar sebagai media pembelajaran untuk membantu dalam pembelajaran. Permasalahan pun muncul seperti yang sudah penulis alami ketika melakukan observasi di kelas IV SDN X. Berdasarkan wawancara dengan guru mata pelajaran Bahasa Indonesia di kelas IV di SDN X diperoleh fakta bahwa masih terdapat siswa yang kemampuan menulis di bawah rata-rata. Hal ini disebabkan para siswa mengalami kesulitan menuangkan ide ketika mendapat tugas dari guru untuk membuat tulisan atau sejenisnya. Pada umumnya mereka mengalami kesulitan dalam menentukan tema, menyusun kalimat, kurang menguasai kaidah bahasa, dan sebagainya.
Kesulitan seperti inilah yang dihadapi para siswa sehingga menyebabkan mereka tidak bisa menyampaikan ide dan gagasan dengan baik, bahkan mereka menjadi enggan untuk menulis. Hal ini tidak terlepas dari peran guru sebagai penyampai materi pelajaran. Pembelajaran keterampilan menulis yang selama ini disampaikan oleh guru hanya berorientasi pada penyampaian teori dan pengetahuan bahasa, sedang proses pembelajaran keterampilan menulis sering kali diabaikan oleh guru. Pembelajaran demikian menyebabkan siswa jenuh dan bosan.
Bertolak dari hasil observasi itu penulis menemukan masalah, masih banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam pembelajaran mengarang. Kesulitan yang dihadapi oleh siswa kelas IV SDN X ketika dalam mengajarkan pelajaran mengarang antara lain :
1. Siswa kurang mampu menggunakan dan memilih kata dalam menuangkan buah pikirnya, sering mengulang kata "lalu" dan "terus".
2. Isi kalimat relatif tidak menggambarkan topik.
3. Kalimat yang satu dengan kalimat yang lain tidak sinambung, paragraf yang satu dengan paragraf yang lain tidak koheren.
Rendahnya keterampilan menulis narasi siswa diindikasikan oleh kurangnya kemampuan siswa dalam mengorganisasikan ide dengan baik, pengembangan kerangka karangan, dan penyusunan kalimat serta kosakata yang digunakan masih terbatas. Mereka masih belum memahami penggunaan ejaan yang benar. Selain itu, masalah rendahnya keterampilan menulis narasi siswa juga dipengaruhi oleh beberapa hal, misalnya : (1) kurangnya media yang digunakan, (2) siswa masih kurang memanfaatkan media pembelajaran sebagai sarana menuangkan ide, gagasan, atau pendapat mereka, (3) masih digunakannya model pembelajaran yang konvensional (ceramah), dan (4) siswa membutuhkan waktu yang lama untuk memproduksi sebuah tulisan. Akibatnya, kemampuan menulis anak hanya sekitar 20% siswa yang menulis dengan baik sisanya hanya mengerjakan asal-asalan saja. Jadi, nilai sebagian siswa masih tergolong rendah dari nilai rata-rata yang harus dicapai dalam mata pelajaran bahasa Indonesia adalah 6,5.
Hal ini dapat mematikan kreativitas mereka dalam mengungkapkan ide. Padahal, kreativitas ini sangat diperlukan dalam kegiatan menulis narasi. Pembelajaran yang membosankan ini tidak membuat siswa merasa senang sehingga tidak dapat menghasilkan ide-ide yang kreatif dan imajinatif untuk merangkai sebuah cerita dalam menulis narasi. Beberapa kendala yang dialami siswa dalam proses pembelajaran di atas berdampak pada kualitas proses dan hasil pembelajaran yang kurang maksimal sehingga keterampilan menulis narasi siswa tidak maksimal.
Data tersebut menunjukkan bahwa siswa kurang terampil dalam menulis narasi. Setelah ditelaah anak didik harus dibantu dengan menggunakan alat bantu dalam pembelajaran. Sebuah media atau alat bantu dapat dijadikan sebagai alat untuk membantu dan membenahi serta menggali potensi anak tersebut dalam keterampilan berbahasa. Selain itu, peneliti berpendapat bahwa guru di SDN X masih belum ada yang menggunakan media pembelajaran. Maka dari itu, peneliti mengajukan suatu media pembelajaran yang mudah ditemukan dan dipergunakan berupa media gambar berseri. Selain hal di atas, ada pula hal lain yang mendorong penelitian ini yakni kemungkinan pada saat di sekolah dasar materi yang diajarkan kurang tentang jenis-jenis paragraf, buku-buku di perpustakaan yang kurang lengkap, kurangnya minat membaca siswa, serta kurangnya minat belajar siswa terhadap pelajaran Bahasa Indonesia terutama keterampilan menulis.
Keterampilan menulis juga digunakan untuk mencatat, merekam, meyakinkan, menginformasikan, dan mempengaruhi pembaca. Hal ini dapat dicapai dengan baik jika pembelajar mampu menyusun dan merangkai jalan pikiran serta mengemukakannya secara tertulis dengan jelas, lancar, dan komunikatif (Syarkawi, 2008 : 2). Menulis pada prinsipnya adalah bercerita tentang sesuatu yang ada di angan-angan pencerita dan dapat menuangkan dalam bentuk tulisan. Namun, menuangkan buah pikiran secara teratur dan terorganisasi ke dalam tulisan tidak mudah.
Banyak orang yang pandai berbicara atau berpidato, tetapi mereka masih kurang mampu menuangkan gagasannya ke dalam bentuk bahasa tulisan. Oleh karena itu, untuk bisa menulis narasi dengan baik, seseorang harus mempunyai kemampuan menulis yang juga baik. Kemampuan menulis dapat dicapai melalui proses belajar dan berlatih.
Penelitian mengenai keterampilan menulis banyak dilakukan dengan menawarkan media yang bermacam-macam sebagai upaya untuk meningkatkan keterampilan menulis siswa. Penelitian tentang menulis narasi sudah mulai banyak dilakukan meskipun masih terbatas. Beberapa penelitian tentang menulis narasi yang telah ada selalu menunjukkan adanya peningkatan. Masing-masing penelitian menggunakan media dan teknik yang berbeda-beda dan menghasilkan peningkatan yang berbeda-beda pula. Akan tetapi, upaya peningkatan menulis narasi masih perlu dikembangkan dan dilakukan melalui berbagai cara.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, peneliti berusaha untuk memberikan alternatif media pembelajaran menulis yang mudah dan baik dengan memanfaatkan fasilitas yang ada. Media pembelajaran yang ditawarkan adalah media gambar berseri. Ide ini diperkuat pendapat bahwa media gambar berseri adalah media pembelajaran yang dekat dengan calon penulis terutama calon penulis narasi atau dalam hal ini adalah siswa. Adanya media yang dekat dengan siswa berarti memudahkan siswa untuk memulai kegiatan menulis narasi. Berdasarkan latar belakang di atas, penulis akan melakukan penelitian yang berjudul "Peningkatkan Kemampuan Menulis Narasi dengan Menggunaan Media Gambar Berseri pada Siswa Kelas IV SDN X".

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apakah penggunaan gambar berseri dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran menulis narasi pada siswa kelas IV SDN X ?
2. Apakah dengan menggunakan media gambar seri dapat meningkatkan kualitas hasil pembelajaran siswa dalam penulisan narasi pada siswa kelas IV SDN X ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk :
1. Meningkatkan proses pembelajaran menulis narasi dengan menggunakan media gambar berseri di kelas IV SDN X.
2. Meningkatkan kualitas hasil pembelajaran menulis narasi dengan menggunakan media Gambar berseri di kelas IV SDN X.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai :
a. Bahan kajian dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran menulis narasi.
b. Memberikan sumbangan wawasan dan pengetahuan mengenai pembelajaran menulis narasi.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi siswa
1. Memberi kemudahan bagi siswa dalam menuangkan ide maupun gagasan ke dalam bentuk tulisan narasi.
2. Meningkatkan kemampuan menulis narasi siswa dengan menjadikan suasana pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa.
b. Bagi guru
1. Mengatasi kesulitan pembelajaran menulis narasi yang dialami guru.
2. Sebagai bahan acuan untuk membuat pembelajaran menulis narasi lebih kreatif dan inovatif.
c. Bagi peneliti
1. Mengaplikasikan teori yang diperoleh.
2. Menambah pengalaman peneliti dalam penelitian yang terkait dengan pembelajaran menulis.

SKRIPSI PTK PENINGKATAN PEMAHAMAN MEMBACA INTENSIF DENGAN MENGGUNAKAN METODE DEMONSTRASI

SKRIPSI PTK PENINGKATAN PEMAHAMAN MEMBACA INTENSIF DENGAN MENGGUNAKAN METODE DEMONSTRASI


(KODE : PTK-0097) : SKRIPSI PTK PENINGKATAN PEMAHAMAN MEMBACA INTENSIF DENGAN MENGGUNAKAN METODE DEMONSTRASI (BAHASA INDONESIA KELAS III)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi setiap manusia. Dengan pendidikan akan diperoleh hal-hal baru yang dapat digunakan dalam proses kelangsungan hidup manusia. Semakin berkembangnya jaman maka semakin bertambah pula usaha-usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Demi terwujudnya tujuan pendidikan nasional seperti yang tertera dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Guru dan Dosen (2007) bahwa. "Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa".
Upaya peningkatan kualitas manusia tersebut dapat ditempuh melalui bidang pembangunan yang salah satunya adalah pembangunan di bidang pendidikan. Pengertian pendidikan menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Guru dan Dosen (2007), "Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara". Menurut Ngalimin Purwanto (2007 : 10), "Pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohani kearah kedewasaan".
Di Indonesia pendidikan mendapat perhatian yang utama dari pemerintah. Berbagai upaya pemerintah telah banyak dilakukan dengan meningkatkan sarana dan prasarana yang menunjang proses belajar mengajar termasuk pembangunan gedung dan fasilitas lain. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Dari kualitas pendidikan dan pengajaran yang bermutu maka, akan menghasilkan sumber daya manusia yang bermutu tinggi. Apabila suatu negara dihuni oleh penduduk yang memiliki SDM yang tinggi maka negara tersebut akan maju. Oleh karena itu pendidikan dan pengajaran haruslah ditingkatkan.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di SDN X. Ternyata dalam proses pembalajaran Bahasa Indonesia khususnya membaca intensif, guru masih menggunakan metode pembelajaran ceramah, dimana metode pembelajaran tersebut kurang efektif didalam menyampaikan materi pembelajaran membaca intensif. Sehingga proses pembelajaran pun kurang efisien. Siswa yang merasa bosan dan kurang memperhatikan guru. Dan tujuan pembelajaran tidak dapat dicapai secara maksimal. Yang ditandai dengan prestasi belajar mata pelajaran membaca intensif yang rendah. Dalam pelajaran Bahasa Indonesia banyak sekali jenis-jenis membaca antara lain membaca kritis, membaca pemahaman, membaca cepat, membaca indah, membaca teknik, membaca praktis, membaca untuk keperluan studi.
Membaca merupakan hal yang paling penting dalam proses pembelajaran. Tujuan pengajaran membaca adalah agar siswa mampu memahami pesan-pesan komunikasi yang disampaikan dengan medium bahasa tulis dengan cermat, tepat dan cepat secara kritis dan kreatif. Sedangkan intensif adalah sesuatu yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh untuk memperoleh hasil yang semaksimal mungkin. Membaca Intensif, yaitu jenis membaca yang dilakukan dengan titik tekan pada pemahaman isi bacaan sampai pada hal-hal kecil. Karena didalam proses pembelajaran, guru harus memiliki strategi agar siswa dapat belajar membaca intensif secara efektif dan efisien, sesuai tujuan yang diharapkan. Salah satu cara untuk memilih strategi itu adalah guru harus menguasai metode mengajar membaca intensif tersebut.
Pembelajaran Bahasa Indonesia dengan membaca intensif dapat diperbaiki dengan menggunakan metode pembelajaran dengan metode demonstrasi. Menurut Mulyadi Sumantri (2001 : 133) metode demonstrasi adalah cara penyajian pelajaran dngan memperagakan dan mempertunjukkan kepada peserta didik suatu proses, situasi atau benda tertentu yang sedang dipelajari baik dalam bentuk tiruan yang dipertunjukkan oleh guru atau sumber belajar lain yang memahami atau ahli dalam topik bahasan yan harus didemonstrasikan. Karena dalam membaca intensif harus siswa yang aktif dan tidak mendengarkan ceramah dari guru secara terus menerus.
Dengan guru menggunakan metode demonstrasi dalam membaca intensif, guru dituntut melibatkan siswanya berpartisipasi aktif untuk menentukan pengetahuan dalam membaca intensif. Dengan ditunjang media-media pembelajaran sebagai sumber belajar. Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar perlu mendapat perhatian. Pada saat ini prestasi siswa yang diperoleh oleh proses pembelajaran Bahasa Indonesia dengan metode ceramah di SDN X, masih belum menampakkan hasil optimal. Berdasarkan data yang diperoleh lebih dari setengah jumlah siswa kelas III dalam membaca intensif masih mendapat nilai dibawah rata-rata. Hal ini ditunjukkan dengan masih adanya 16 siswa atau 50% siswa yang nilainya belum dapat memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yaitu 70. Untuk mengantisipasi hal tersebut maka peneliti mengadakan penelitian di kelas III dengan menerapkan Metode Demonstrasi yang dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam kompetensi membaca, khususnya membaca intensif.
Dengan mempertimbangkan hal tersebut di atas maka penulis menyusun skripsi yang berjudul "Peningkatan Pemahaman Membaca Intensif Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Dengan Menggunakan Metode Demonstrasi Pada Siswa Kelas III SDN X"

B. Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah "Apakah dengan penerapan metode demonstrasi dapat meningkatkan pemahaman membaca intensif pada siswa kelas III SDN X ?"

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang terdapat dalam penelitian ini, maka tujuan yang hendak digunakan adalah meningkatkan pemahaman membaca intensif mata pelajaran bahasa indonesia pada siswa kelas III SDN X dengan penerapan metode demonstrasi.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapakan mempunyai manfaat sebagai berikut.
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini, diharapkan dapat digunakan sebagai dasar dan acuan bagi peneliti di tempat yang berbeda dan pada pelajaran yang berbeda, sehingga dapat mengembangkan metode-metode dengan dasar penelitian ini. Pada akhirnya dapat ditemukannya teknik yang paling efektif dalam pengajaran membaca intensif.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Sekolah
Untuk memberi suatu gambaran mengenai kompetensi guru dalam menerapkan metode mengajar dalam membaca intensif, sehingga diharapkan pemahaman membaca intensif dapat ditingkatkan.
b. Bagi Guru
Untuk membantu mengembangkan kemampuan dan merancang dan melaksanakan pembelajaran ketrampilan membaca intensif yang efektif dengan jalan penerapan metode demonstrasi sehingga hasilnya akan lebih baik serta menambah pengalaman guru untuk melaksanakan PTK.
c. Bagi Siswa
Untuk menambah pemahaman mereka bahwa dengan aktif mengikuti pembelajaran ketrampilan membaca intensif dengan metode demonstrasi ini akan membantu mereka dalam pemahaman materi sehingga pemahaman membaca intensif akan meningkat.

SKRIPSI PTK PENINGKATAN MOTIVASI BELAJAR MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN MODEL PAKEM

SKRIPSI PTK PENINGKATAN MOTIVASI BELAJAR MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN MODEL PAKEM


(KODE : PTK-0096) : SKRIPSI PTK PENINGKATAN MOTIVASI BELAJAR MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN MODEL PAKEM (MATEMATIKA KELAS IV)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sistem Pendidikan Nasional bertujuan untuk mewujudkan manusia seutuhnya, merujuk dari tujuan Sistem Pendidikan Nasional, betapa pentingnya kebutuhan akan pendidikan, pendidikan merupakan salah satu faktor penentu masa depan generasi penerus bangsa, dan menjadi tolok ukur sumber daya manusia suatu bangsa maka kebutuhan pendidikan harus dipenuhi dan ditingkatkan. Seiring dengan perkembangan zaman serta Pengetahuan dan Teknologi maka Sistem Pendidikan yang ada harus selalu diadakan pembaharuan ke arah yang positif apalagi pada era globalisasi teknologi modern semakin canggih sangat dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas, kreatif, mandiri, inovatif, dan demokratif bertumpu pada akhlak mulia seperti tertera pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 3 yang berbunyi :
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Untuk merealisasi hal tersebut di atas, pembelajaran matematika di Sekolah Dasar BSNP Standar Isi Kelas IV bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut :
a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antara konsep dan mengaplikasikan konsep atau alogaritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam memecahkan masalah.
b. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan gagasan dan pertanyaan matematika.
c. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
d. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media untuk menjelaskan keadaan dan masalah.
e. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika serta sikap ulet dan percaya diri dalam memecahkan masalah.
Dalam perkembangannya, matematika merupakan ilmu pengetahuan yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari-hari, nilai praktis dari matematika telah dirasa orang, penguasaan matematika semakin tidak bisa dihindarkan lagi, karena setiap interaksi dengan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi canggih selalu melibatkan matematika dari yang sederhana sampai kompleks, dalam pelaksanaan pendidikan pelajaran matematika merupakan mata pelajaran pokok, ini terlihat dari banyaknya porsi jam pelajaran matematika di sekolah.
Namun, kenyataan di lapangan justru matematika merupakan pelajaran yang kebanyakan siswa tidak senang, bahkan siswa bilang "momok" pelajaran yang menakutkan ini dapat dilihat pada hasil ujian akhir di kelas VI. Hasil ujian matematika masih rendah dibanding pelajaran yang lain. Hal ini juga dialami kelas IV, nilai matematikanya masih rendah dibanding pelajaran lain, ini tampak dari hasil ulangan harian, ulangan tengah semester, akhir semester yang mendapat nilai 65 ke atas lebih sedikit dibanding 60 ke bawah.
Perolehan nilai semester I sebagai perbandingan nilai matematika dengan bidang studi yang terdiri dari PKN, Bahasa Indonesia, IPS, IPA dan Matematika ternyata nilai matematika paling rendah. Rendahnya nilai yang dicapai siswa menjadikan petunjuk bahwa di dalam pembelajaran matematika belum maksimal. Ini berarti dalam belajar matematika ada kesulitan dan hambatan. Mengenai masalah kesulitan dan hambatan belajar matematika banyak faktor penyebab, misalnya terkait dengan "motivasi". Dari hasil pengamatan terhadap siswa didapat fakta bahwa siswa malas belajar matematika, belajar matematika menakutkan, belajar matematika tidak menarik, belajar matematika membutuhkan berpikir keras karena hitung-menghitung, bahkan ada siswa karena takutnya dengan pelajaran matematika sampai sakit pusing, mungkin ini terlalu tegang bahkan ada yang sampai tidak masuk jika ada jadwal mata pelajaran matematika karena siswa belum ada motivasi untuk belajar matematika. Dari hasil pengamatan, kebiasaan mengajar khususnya pembelajaran matematika yang masih menggunakan pengajaran konvensional atau pembelajaran yang berpusat pada guru : (1) Guru dalam menyampaikan materi kurang jelas, (2) Guru mengajar tanpa alat peraga, (3) Guru mengajar secara monoton (tidak ada variasi). (4) Guru menyampaikan pelajaran dengan ceramah dengan demikian siswa tidak tertarik untuk belajar karena tidak ada yang menarik dengan kata lain siswa tidak ada motivasi untuk belajar.
Dari nilai hasil pengamatan menunjukkan motivasi belajar matematika sangat rendah. Sehingga peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tentang motivasi belajar matematika di kelas IV sebelum mengadakan tindakan, untuk mengukur ketercapaian tujuan penelitian, maka peneliti menentukan standar batasan pencapaian target pada setiap siklus, yaitu :
1. Siklus Pertama, target yang diharapkan peneliti adalah nilai motivasi belajar matematika siswa kelas IV (empat) > 6,0 mencapai persentase 60% dengan nilai rata-rata 5,5.
2. Siklus Kedua, target yang diharapkan peneliti adalah nilai motivasi belajar matematika siswa kelas IV (empat) > 6,0 mencapai 70% dengan rata-rata 6,5.
3. Siklus Ketiga, target yang diharapkan peneliti adalah nilai motivasi belajar matematika siswa kelas IV > 6,0 mencapai 60% dengan rata-rata 7,5.
Di sinilah guru merupakan salah satu kunci dalam meningkatkan pendidikan, guru/pendidik berkewajiban menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis (UU No. 20 Tahun 2003).
Menciptakan suasana yang menarik, suasana menyenangkan sesuai dengan pendapat Herry Sukarman (dalam Karyati 2004 : 24) membangkitkan siswa untuk belajar, antara lain sebagai berikut :
1) Usahakan tujuan semakin jelas, karena semakin jelas tujuannya semakin kuat pula motivasinya,
2) Ciptakan suasana yang sejuk dan menyenangkan,
3) Libatkan siswa secara aktif dalam pembelajaran,
4) Hubungkan pembelajaran dengan kebutuhan siswa,
5) Usahakan banyak memberi pujian daripada menghukum,
6) Berikan PR sesuai kemampuan siswa,
7) Berikan kritik dengan senyuman,
8) Berikan penjelasan kerja siswa,
9) Berikan penghargaan hasil kerja siswa.
Maka peneliti berusaha untuk menemukan jalan keluar atau solusi dalam mengatasi kesulitan dan hambatan belajar siswa kelas IV dalam pembelajaran matematika sehingga siswa termotivasi, kemauan dan kemampuan belajarnya meningkat. Dengan model PAKEM sebagai alternatif untuk meningkatkan motivasi belajar matematika. Dengan demikian, model PAKEM merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan motivasi belajar matematika pada siswa kelas IV di SDN X.
Dari beberapa pernyataan di atas, dapat dijadikan alasan Peneliti memilih/menerapkan model PAKEM untuk meningkatkan motivasi belajar matematika di kelas IV Sekolah Dasar X Jebres Kota X. Diharapkan model PAKEM dapat menciptakan suasana yang efektif, kreatif, dan menyenangkan sehingga siswa meningkat untuk belajar matematika.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, timbul permasalahan yang dapat diidentifikasi sebagai berikut :
1. Adanya anggapan bahwa matematika adalah momok yang menakutkan.
2. Pembelajaran matematika yang kurang bervariasi, tanpa alat peraga sehingga siswa kurang tertarik dan mudah bosan.
3. Kurang tepatnya metode pembelajaran matematika sehingga siswa kurang termotivasi.
4. Adanya model PAKEM yang akan meningkatkan motivasi belajar siswa kepada pembelajaran Matematika.
5. Guru belum menggunakan model PAKEM.
6. Banyaknya siswa yang nilai matematikanya rendah.
7. Guru mengajar tanpa adanya alat peraga.
8. Kurangnya penguasaan siswa terhadap rumus-rumus matematika.

C. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Apakah model PAKEM dapat meningkatkan motivasi belajar matematika di kelas IV SDN X ?
2. Bagaimanakah langkah-langkah dalam menempuh model PAKEM yang ideal dalam pembelajaran matematika di kelas IV ?

D. Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk :
1. Meningkatkan motivasi belajar matematika siswa kelas IV, melalui model PAKEM.
2. Mendeskripsikan penerapan model PAKEM dalam pembelajaran matematika di kelas IV.

E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian secara teoritis diharapkan dapat memberikan solusi yang berarti bagi pengembang pendidikan dan ilmu pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan peningkatan motivasi belajar matematika menggunakan PAKEM untuk bahan acuan penelitian yang akan datang.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti
Bermanfaat menentukan solusi untuk meningkatkan motivasi belajar matematika. Menggunakan PAKEM sebagai tindakan untuk meningkatkan motivasi belajar matematika.
b. Bagi Siswa
Bermanfaat untuk meningkatkan motivasi dalam belajar matematika.
c. Bagi Sekolah
Sekolah dapat meningkatkan mutu dan prestasi siswa.