Search This Blog

SKRIPSI PTK PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN METODE JIGSAW UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP

SKRIPSI PTK PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN METODE JIGSAW UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP


(KODE : PTK-0093) : SKRIPSI PTK PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN METODE JIGSAW UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP (AKUNTANSI KELAS XI)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Bidang pendidikan merupakan salah satu bidang yang sangat penting dan memerlukan perhatian khusus dari semua lapisan masyarakat, bukan hanya pemerintah yang bertanggung jawab atas keberhasilan dan kemajuan pendidikan di Indonesia akan tetapi semua pihak baik guru, orang tua, maupun siswa sendiri ikut bertanggung jawab. Pendidikan Nasional sedang mengalami perubahan yang cukup mendasar yang diharapkan dapat memecahkan berbagai masalah pendidikan. Masalah pokok yang dihadapi dunia pendidikan di Indonesia adalah masalah yang berhubungan dengan mutu atau kualitas pendidikan yang masih rendah. Rendahnya kualitas pendidikan ini terlihat dari capaian daya serap siswa terhadap materi pelajaran yang masih rendah pula.
Paradigma lama dalam kegiatan belajar mengajar menyatakan bahwa guru memberikan pengetahuan kepada siswa yang pasif, sekarang ini telah banyak berubah karena tuntutan perkembangan jaman (globalisasi). Saat ini paradigma yang baru mulai mengembangkan strategi belajar mengajar siswa aktif. Sekolah sebagai suatu institusi atau lembaga pendidikan seharusnya mampu berperan dalam proses edukasi (proses pendidikan yang menekankan pada kegiatan mendidik dan mengajar), proses sosialisasi (proses bermasyarakat khususnya bagi anak didik), dan proses transformasi (proses perubahan tingkah laku ke arah yang lebih baik). Oleh karena itu dalam proses pembelajaran diharapkan dapat terjadi aktivitas siswa, yaitu siswa mau dan mampu mengungkapkan pendapat sesuai dengan apa yang dipahami. Selain itu diharapkan pula siswa mampu berinteraksi dengan orang lain secara positif, misalnya antara siswa dengan siswa sendiri maupun antara siswa dengan guru apabila ada kesulitan-kesulitan yang terkait dengan materi pelajaran.
Cara guru dalam menyampaikan materi pelajaran sangat mempengaruhi proses pembelajaran dan motivasi siswa terhadap suatu materi pelajaran, sehingga proses pembelajaran menuntut guru untuk menekankan pada penguasaan siswa akan konsep materi pelajaran yang diajarkan. Hal tersebut disebabkan penguasaan konsep yang optimal oleh siswa juga akan berdampak pada hasil belajar yang dicapai siswa. Dilain pihak perolehan hasil belajar sangat ditentukan oleh baik tidaknya kegiatan dan pembelajaran selama program pendidikan yang dilaksanakan di kelas yang pada kenyataannya tidak pernah lepas dari masalah.
SMA X merupakan salah satu sekolah negeri yang mempunyai input atau masukan siswa yang memiliki prestasi belajar yang bervariasi sehingga penguasaan materi oleh siswa dalam kegiatan belajar mengajar juga beraneka ragam. Salah satunya pada mata pelajaran yang diberikan kepada siswa kelas XI IS yaitu Akuntansi. Akuntansi berkaitan erat dengan kemampuan berpikir dan nalar seseorang. Berdasarkan hasil pengamatan pelaksanaan pembelajaran Akuntansi di kelas, terdapat berbagai permasalahan yang terjadi adalah sebagai berikut : siswa kurang aktif di kelas cenderung tidak pernah mengajukan pertanyaan dan mengemukakan pendapat di dalam kegiatan pembelajaran, siswa kurang fokus pada saat menerima pelajaran dan lebih banyak melakukan aktivitas di luar aspek pembelajaran (seperti gaduh,berbicara dengan teman sebangku, dan bermain HP). Guru sering memberi kesempatan kepada siswa untuk bertanya tetapi hampir tidak ada siswa yang bertanya.
Tingkat penguasaan konsep yang masih rendah terhadap mata pelajaran akuntansi di SMA X ditunjukkan dengan adanya nilai ulangan harian akuntansi sebagian besar siswa yang berada di bawah batas ketuntasan yaitu 65. Berdasar pengamatan awal peneliti rendahnya penguasaan konsep siswa terhadap mata pelajaran akuntansi tersebut berasal dari minat yang kurang untuk belajar akuntansi, kondisi kelas yang kurang kondusif untuk pembelajaran akuntansi karena para siswa cenderung lebih banyak melakukan aktivitas di luar aspek pembelajaran seperti yang telah diungkapkan di atas, serta rasa bosan dari siswa itu sendiri karena model pembelajaran yang diterapkan oleh guru. Di SMA ini, selama proses pembelajaran akuntansi masih menggunakan metode ceramah sehingga minat siswa untuk belajar akuntansi masih kurang, akibatnya penguasaan konsep siswa akan materi pelajaran akuntansi masih rendah pula. Penguasaan konsep yang masih rendah akan berpengaruh pada pencapaian hasil belajar yang belum maksimal. Aktivitas umum yang terjadi saat dimulainya proses pembelajaran yaitu siswa masih sebatas menyiapkan buku dan pena untuk mencatat. Selanjutnya siswa mendengarkan penjelasan teoritis dari guru, memahami kemudian menjawab pertanyaan dari guru jika ada. Guru memberikan ceramah secara teoritis kepada siswa, memberikan tugas kemudian memberikan tes akhir, begitulah aktivitas ini berjalan terus-menerus. Rutinitas model pembelajaran seperti itu yang kemudian menimbulkan rasa bosan dan sungkan untuk memperhatikan guru yang sedang mengajar, akibatnya ada beberapa siswa yang meninggalkan kelas pada jam pelajaran akuntansi.
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, perlu adanya peningkatan mutu proses pembelajaran melalui sistem belajar siswa aktif. Menurut Anita Lie (2008 : 12), banyak penelitian menunjukkan bahwa pengajaran oleh rekan sebaya (peer teaching) ternyata lebih efektif daripada pengajaran oleh guru. Seperti lebih dari 2400 tahun silam Konfusius dalam Melvin L. Siberman (2006 : 23) menyatakan : “Yang saya dengar, saya lupa; Yang saya lihat, saya ingat; Yang saya kerjakan, saya pahami”.
Tiga pernyataan sederhana tersebut berbicara tentang perlunya cara belajar aktif. Tetapi kemudian Melvin L. Siberman (2006 : 23) telah memodifikasi dan memperluas kata-kata bijak Konfusius tersebut menjadi apa yang disebut paham belajar aktif yaitu :
- Yang saya dengar, saya lupa
- Yang saya dengar dan saya lihat, saya sedikit ingat
- Yang saya dengar, lihat, dan pertanyakan atau diskusikan dengan orang lain, saya mulai pahami
- Dari yang saya dengar, lihat, bahas, dan terapkan, saya dapatkan pengetahuan dan ketrampilan
- Yang saya ajarkan kepada orang lain, saya kuasai
Pernyataan tersebut muncul karena belajar tidaklah cukup hanya dengan mendengarkan atau melihat saja melainkan membutuhkan gaya atau sistem pembelajaran yang baru.
Sistem pembelajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur disebut sistem "pembelajaran gotong royong" atau cooperative learning. Dalam sistem ini guru bertindak sebagai fasilitator. Kegiatan belajar bersama seperti ini dapat memacu belajar aktif. Diharapkan dalam proses belajar mengajar dapat terjadi aktivitas dari siswa yaitu siswa mau dan mampu mengemukakan pendapat sesuai dengan apa yang telah dipahami. Selain itu diharapkan pula mampu berinteraksi secara positif antara siswa dengan siswa sendiri maupun antara siswa dengan guru apabila ada kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam belajar dengan demikian penggunaan ketrampilan-ketrampilan kooperatif menjadi semakin penting.
Pembelajaran kooperatif dengan metode jigsaw dikembangkan agar dapat membangun kelas sebagai komunitas belajar yang menghargai semua kemampuan siswa. Dalam metode ini siswa secara individual berkembang dan berbagi kemampuan dalam berbagai aspek kerja yang berbeda. Selama pelaksanaan metode jigsaw, siswa dituntut untuk menjadi aktif sedangkan guru tidak banyak menjelaskan materi kepada siswa sebagaimana yang terjadi dalam proses belajar mengajar metode konvensional. Metode jigsaw dapat membuat siswa untuk berusaha memahami materi yang menjadi tanggung jawabnya dalam kelompok ahli karena mau tidak mau setiap siswa harus menjelaskan materi tersebut kepada teman dalam kelompok asalnya. Metode jigsaw juga mampu membuat siswa untuk berusaha memahami materi dari kelompok ahli lain karena dalam metode ini setiap siswa diberi kuis mengenai materi dari semua kelompok ahli. Hasil dari kuis akan menentukan skor kelompok sehingga dalam kelompok asal siswa akan saling menyemangati dan membantu temannya untuk memahami semua materi. Dengan demikian, pengalaman belajar siswa akan semakin banyak dan bervariasi yang akhirnya dapat mengoptimalkan potensi yang ada pada diri siswa sehingga penguasaan konsep materi akuntansi akan meningkat. Dalam metode jigsaw peranan guru sangat kompleks,di samping sebagai fasilitator, guru juga berperan sebagai manajer dan konsultan dalam memberdayakan kelompok siswa.
Konsep merupakan suatu kelas atau kategori stimuli/objek yang memiliki ciri-ciri umum. Menurut Gagne dalam Winkel (2005 : 362) menyatakan bahwa "Penguasaan konsep termasuk dalam kategori hasil belajar kemahiran intelektual". Hal tersebut dikarenakan pengajaran konsep menyajikan usaha-usaha manusia untuk mengklasifikasikan pengalaman belajar manusia. Jadi dapat disimpulkan bahwa konsep merupakan sesuatu yang sangat luas. Pengajaran konsep mendorong siswa untuk lebih kreatif dalam memahami materi pelajaran yang dihadapinya, karena dengan konsep-konsep dapat mengurangi kerumitan suatu materi atau objek yang dipelajari. Oleh karena itu metode pembelajaran jigsaw sangat sesuai diterapkan sebagai upaya untuk meningkatkan penguasaan konsep dalam pembelajaran akuntansi.
Dari uraian di atas, penulis bermaksud untuk mengadakan penelitian dengan judul : "Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Dengan Metode Jigsaw Untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep Dalam Pembelajaran Akuntansi Siswa Kelas XI IS 5 SMA X"

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut :
1. Apakah model dan metode pembelajaran yang diterapkan dalam proses pembelajaran akuntansi selama ini mampu mengaktifkan siswa di dalam kelas ?
2. Apakah model pembelajaran yang diterapkan dalam pembelajaran akuntansi selama ini telah mampu meningkatkan penguasaan konsep siswa jurusan Ilmu Sosial (IS) di SMA X ?

C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan diteliti dibatasi pada :
1. Subjek penelitian
Subyek penelitian ini adalah siswa kelas XI IS 5 SMA X.
2. Objek penelitian
Obyek penelitian meliputi :
a. Penguasaan konsep dibatasi pada konsep mengenai pokok bahasan Buku Besar yang meliputi konsep bentuk, jenis dan cara pengisiannya. Yang dinilai dari : 1) kemampuan menyebutkan nama contoh buku besar, 2) kemampuan menyebutkan ciri-ciri buku besar, 3) kemampuan membedakan contoh buku besar serta 4) kemampuan menyelesaikan persoalan yang berhubungan dengan buku besar.
b. Materi pelajaran yang digunakan dibatasi pada pembelajaran akuntansi pokok bahasan Buku Besar.
c. Model pembelajaran yang digunakan adalah model pembelajaran kooperatif dengan metode jigsaw.

D. Perumusan Masalah
Sesuai dengan identifikasi masalah dan pembatasan masalah yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : "Apakah penerapan model pembelajaran kooperatif dengan metode jigsaw dapat meningkatkan penguasaan konsep dalam pembelajaran akuntansi siswa kelas XI IS 5 semester genap SMA X ?"

E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penerapan model pembelajaran kooperatif dengan metode jigsaw dalam meningkatkan penguasaan konsep pada pembelajaran akuntansi siswa kelas XI IS 5 semester genap SMA X.
F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung. Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi Guru
a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi guru sebagai alternatif teknik pembelajaran yang lebih menyenangkan dan mudah dipahami.
b. Sebagai bahan kajian dan acuan dalam meningkatkan kualitas pembelajaran dan mengembangkan metode pembelajaran yang sesuai dengan kondisi siswa.
2. Bagi Siswa
a. Mengaktifkan daya pikir siswa dalam penguasaan konsep mata pelajaran akuntansi.
b. Memberikan suasana baru dalam pembelajaran akuntansi sehingga siswa lebih tertarik dalam belajar akuntansi.
3. Bagi Sekolah
a. Sebagai bahan untuk pengembangan kurikulum di tingkat sekolah terutama di dalam kelas.
b. Hasil penelitian yang diperoleh dapat digunakan untuk perbaikan pada proses pembelajaran.

SKRIPSI PTK PENDEKATAN KONSELING REALITA DLM MENGUBAH KONSEP DIRI NEGATIF SISWA BROKEN HOME

SKRIPSI PTK PENDEKATAN KONSELING REALITA DLM MENGUBAH KONSEP DIRI NEGATIF SISWA BROKEN HOME


(KODE : PTK-0092) : SKRIPSI PTK PENDEKATAN KONSELING REALITA DLM MENGUBAH KONSEP DIRI NEGATIF SISWA BROKEN HOME (BIMBINGAN KONSELING SMP)



BAB I 
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Keluarga memiliki peran yang penting dalam mempengaruhi kehidupan seorang anak. Interaksi awal dan yang paling kuat adalah dengan keluarganya, terutama orang tuanya, yang berguna sebagai modal bersosialisasi dengan lingkungan diluar keluarganya. Keluarga berfungsi sebagai pendidikan dasar pada anak. Pendidikan dalam keluarga merupakan pendidikan kodrati. Adanya ikatan antara anak dengan orang tuanya terjalin dari lahir bahkan sejak anak masih dalam kandungan. Di dalam lingkungan keluarga segala sikap dan tingkah laku kedua orang tuanya sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak, karena ayah dan ibu merupakan pendidik dalam kehidupan yang nyata, sehingga sikap dan tingkah laku orang tua akan diamati oleh anak tidak sebagai teori mempengaruhi sikap dan tingkah laku anak (Pujosuwarno,1994 : 22-23). Menurut Vembriarto dalam Pujosuwarno (1994 : 22) yang menyebabkan pentingnya peranan keluarga dalam proses sosialisasi anak adalah keluarga merupakan kelompok kecil yang anggota-anggotanya berinteraksi langsung secara tetap, dalam kelompok yang demikian perkembangan anak dapat diikuti dengan seksama oleh orang tuanya dan penyesuaian secara pribadi dalam hubungan sosial lebih mudah terjadi. Kondisi keluarga yang kondusif adalah terciptanya kebersamaan dan kasih sayang dalam lingkungan pribadi setiap anggotanya, terutama bagi pertumbuhan dan perkembangan dalam hal pembentukan sikap dan perilakunya sehari-hari. Sebab dalam pembentukan dan perkembangan kepribadian masa kanak-kanak dilingkungan keluarga mempunyai peranan yang sangat penting dalam pembentukan dasar kepribadian dan identitas, pribadi seseorang. Sehingga diperlukan kondisi keluarga yang harmonis untuk menciptakan pribadi yang baik pada anak.
Kondisi di dalam keluarga yang dirasakan anak, akan di munculkan dalam perilakunya di lingkungan luar keluarganya. Di dalam keluarga, anak dihadapkan pada tuntutan dan harapan orang tuanya untuk menjadi individu yang mandiri dan bertanggung jawab. Tetapi terkadang anak merasa tidak mampu memenuhi tuntutan tersebut, karena kondisi keluarga yang tidak nyaman atau kurang mendukung anak untuk menjadi individu yang mandiri sesuai yang diharapkan orang tuanya. Sehingga Perlakuan dan suasana yang terjadi di dalam keluarga akan membentuk gambaran diri atau konsep diri pada anak dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Konsep diri merupakan pandangan menyeluruh individu tentang totalitas dari diri sendiri mengenai karakteristik kepribadian, nilai-nilai kehidupan, prinsip kehidupan, moralitas, kelemahan dan segala yang terbentuk dari segala pengalaman dan interaksinya dengan orang lain (Burns, 1993 : 50). Brooks dalam Rahmat (2005 : 105) menyatakan bahwa konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita yang bersifat psikologis, sosial, dan fisik. Jadi konsep diri mempunyai peranan penting dalam menentukan perilaku individu. Perilaku individu akan sesuai dengan cara individu memandang dirinya. Jika ia merasa sebagai orang yang tidak mempunyai cukup kemampuan untuk melakukan suatu tugas, maka seluruh perilakunya akan menunjukkan ketidakmampuan tersebut. Sebaliknya, jika individu merasa memiliki cukup kemampuan untuk melakukan suatu tugas, maka seluruh perilakunya akan menunjukkan kemampuannya tersebut. Sehingga individu dapat memperoleh tingkat kepuasan yang diperoleh dalam hidupnya.
Setiap individu pasti memiliki konsep diri, tetapi mereka tidak tahu apakah konsep diri yang dimiliki itu negatif atau positif. Individu yang memiliki konsep diri positif akan memiliki dorongan mandiri lebih baik, dapat mengenal serta memahami dirinya sendiri, dapat memahami dan menerima sejumlah factor yang sangat bermacam-macam tentang dirinya sendiri, sehingga dapat berperilaku efektif dalam berbagai situasi. Konsep diri positif bukanlah suatu kebanggaan yang besar tentang diri tetapi berupa penerimaan diri terhadap apa yang ada pada diri sendiri. Dalam hal ini individu dapat menerima dirinya secara apa adanya dan akan mampu mengintrospeksi diri atau lebih mengenal dirinya, serta kelemahan dan kelebihan yang dimiliki. Namun individu yang memiliki konsep diri negatif, tidak memiliki perasaan kestabilan dan keutuhan diri, juga tidak mengenal diri baik dari segi kelebihan maupun kekurangannya atau sesuatu yang dia hargai dalam hidupnya.
Menurut Baldwin & Holmes dalam Calhoun & Acocella (1995 : 77) konsep diri merupakan ciptaan social, hasil belajar kita melalui hubungan kita dengan orang lain. Interaksi yang terjadi paling awal dan paling kuat adalah dengan orang tua kita dalam keluarga. Sehingga dari hasil interaksi dengan keluarga itulah yang akan membentuk konsep diri pada individu tersebut. Suasana yang tercipta dalam keluarga berperan penting dalam pembentukan dasar kepribadian, dan identitas pribadi. Apabila suasana yang tercipta adalah suasana yang kondusif, maka akan membentuk konsep diri yang positif pada anak. Dan apabila suasana yang tercipta adalah suasana yang tidak kondusif, maka akan membentuk konsep diri yang negatif.
Kondisi keluarga yang kurang baik biasanya terdapat pada keluarga yang mengalami banyak masalah yang tidak dapat terselesaikan sampai mengakibatkan broken home, yaitu keretakan di dalam keluarga yang berarti rusaknya hubungan satu dengan yang lain diantara anggota keluarga tersebut (Pujosuwarno, 1994 : 7). Di dalam suasana keluarga yang retak, sudah tidak ada keharmonisan antara ayah dan ibu, tidak ada kesatuan pendapat, sikap dan pandangan terhadap sesuatu yang dihadapinya. Akibatnya anak-anak akan merasa terlantar, terutama pendidikannya dalam keluarga, karena tidak jarang anak-anak terpaksa ikut ayah atau ibu tiri sehingga akan merasa kurang mendapat kasih sayang dari orang tuanya. Selain itu, anak akan merasa malu dan minder terhadap orang di sekitarnya, menjadi gunjingan teman sekitar, proses belajarnya juga terganggu karena pikirannya tidak terkonsentrasi pada pelajaran. Memiliki pikiran-pikiran dan bayangan-bayangan negatif seperti menyalahkan takdir yang seolah membuat keluarganya seperti itu. Tidak bisa menerima takdirnya atau kenyataan yang harus dia jalani. Tekanan mental itu mempengaruhi kejiwaannya sehingga dapat mengakibatkan stress dan frustrasi bahkan seorang anak bisa mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Selain itu anak-anak dapat saja terjerumus dalam hal-hal negatif, seperti merokok, minum minuman keras (alkohol), obat-obat terlarang (narkoba) bahkan pergaulan bebas yang menyesatkan.
Seperti halnya fenomena yang terjadi pada beberapa siswa di SMP Negeri X. Dari hasil observasi peneliti, diketahui ada beberapa siswa yang mengalami broken home menunjukkan perilaku yang negatif, seperti membolos, sering bertengkar, mudah tersinggung, membawa film porno ke sekolah, merokok, tidak memperhatikan saat pelajaran sehingga prestasi belajarnya menurun. Hal ini juga diketahui dari hasil wawancara dengan guru pembimbing bahwa memang terdapat dua siswa broken home yang memiliki perilaku negatif. Perilaku tersebut muncul sebagai wujud pelampiasan perasaan yang dirasakan siswa dalam keluarga yang kurang harmonis. Siswa kurang mendapat perhatian dari orang tuanya, sehingga siswa mencari perhatian dari orang lain. Pada dasarnya siswa belum bisa memahami tugas pekembangannya dengan baik dan belum bisa menerima kenyataan apapun yang sedang mereka alami termasuk masalah yang terjadi di dalam keluarganya, sehingga mereka perlu dapat mengontrol emosi dan menjalankan tugas perkembangannya dengan baik.
Dari fenomena tersebut dapat diketahui bahwa keretakan rumah tangga atau broken home dapat mempengaruhi konsep diri pada anak yang menjadikan anak berperilaku negatif. Munculnya keyakinan irrasional dan wacana diri atau pemahaman diri yang negatif. Konsep diri negatif tersebut perlu diubah menjadi konsep diri positif, agar siswa menemukan identitas diri yang sukses dan bisa menerima takdir hidupnya. Salah satunya dengan konseling individu menggunakan pendekatan realita.
Pendekatan realita merupakan pendekatan yang menganggap bahwa realisasi untuk tumbuh dalam rangka memuaskan kebutuhan harus di landasi oleh prinsip 3 R, (Right, Responsibility, dan Reality). Terapi realitas adalah suatu sistem yang difokuskan pada tingkah laku sekarang. Terapis berfungsi sebagai guru dan model serta mengkonfrontasikan klien dengan cara-cara yang bisa membantu klien menghadapi kenyataan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar tanpa merugikan dirinya sendiri ataupun orang lain. Inti dari terapi realitas adalah penerimaan tanggung jawab pribadi, yang dipersamakan dengan kesehatan mental (Corey, 2003 : 267). Menurut Latipun (2006 : 155) konseling realita adalah pendekatan yang berdasarkan pada anggapan tentang adanya suatu kebutuhan psikologis pada seluruh kehidupannya; kebutuhan akan identitas diri, yaitu kebutuhan untuk merasa unik, terpisah, dan berbeda dengan orang lain. Secara umum tujuan konseling Reality Therapy sama dengan tujuan hidup, yaitu individu mencapai kehidupan dengan success identity, untuk itu dia harus bertanggung jawab memiliki kemampuan mencapai kepuasan terhadap kebutuhan personalnya (Latipun, 2005 : 129). Oleh karena itu diharapkan dengan diberikannya konseling individu dengan pendekatan realita, siswa broken home yang memiliki konsep diri negatif dapat menjadi siswa yang realistis, bertanggung jawab dan dapat menyusun rencana perilaku baru yang tepat.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka peneliti ingin mengadakan penelitian dengan judul "Pendekatan Konseling Realita dalam Mengubah Konsep Diri Negatif Siswa Broken Home", untuk mengetahui sejauh mana konseling dengan pendekatan realita dapat mengubah konsep diri negatif menjadi konsep diri positif pada siswa broken home.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah gambaran konsep diri dari siswa yang memiliki latar belakang keluarga broken home ?
2. Apakah pendekatan konseling realita efektif untuk mengubah konsep diri siswa broken home ?

1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang akan dicapai adalah :
1. Mengetahui bagaimanakah gambaran konsep diri dari siswa yang memiliki latar belakang keluarga broken home
2. Mengetahui efektifitas pendekatan konseling realita untuk mengubah konsep diri negatif siswa broken home

1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoretis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk memperkaya khasanah penelitian di bidang Bimbingan dan Konseling individu.
b. Sebagai bahan masukan dan sumbangan pemikiran yang akan menambah perbendaharaan di bidang Bimbingan dan Konseling, guna meningkatkan pelayanan Bimbingan dan Konseling.
1.4.2 Manfaat Praktis
a. Konselor
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi para konselor untuk membantu mengubah konsep diri negatif menjadi konsep diri positif dengan menggunakan konseling individu dengan pendekatan konseling realita.
b. Siswa broken home
Memberikan pemahaman kepada siswa dalam memahami konsep diri yang ada pada dirinya, dan mengetahui bagaimana mengubah konsep diri negatif yang dimiliki menjadi konsep diri positif.

1.5 Sistematika Skripsi
Dalam penelitian ini disusun sistematika penulisan skripsi sebanyak 5 bab dan uraiannya sebagai berikut :
BAB I, Merupakan Pendahuluan yang mencakup : Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, dan Sistematika Skripsi.
BAB II, Berupa Landasan Teori yang memuat teori-teori tentang Pendekatan Konseling Realita dalam Mengubah Konsep Diri Negatif Siswa Broken Home, mencakup : Penelitian Terdahulu, Pengertian konsep diri, asal konsep diri, jenis-jenis konsep diri, faktor-faktor konsep diri, faktor-faktor konsep diri masa akhir kanak-kanak, komponen konsep diri, unsur umum konsep diri, pola konsep diri, pola konsep diri ideal, mencari identitas dan proses mengubah konsep diri, Broken Home meliputi pengertian broken home, penyebab broken home, ciri-ciri broken home, sikap negatif anak broken home, dampak-dampak keluarga broken home, Konseling realita, meliputi konsep dasar konseling realita, pandangan tentang manusia, pemenuhan kebutuhan dasar, perilaku menyimpang, tujuan konseling realita, teknik konseling, dan prosedur konseling, Mengubah konsep diri negatif siswa broken home melalui konseling realita serta Hipotesis.
BAB III, Metode Penelitian, yang meliputi Jenis penelitian, Desain penelitian, Fokus penelitian, Subyek penelitian, Metode pengumpulan data, Keabsahan data dan Analisis data.
BAB IV, Hasil Penelitian dan Pembahasan, bab ini berisi tentang penyajian data secara garis besar kemudian dianalisis, sehingga data yang ada mempunyai arti.
BAB V, Simpulan dan Saran, bab ini memuat tentang kesimpulan secara keseluruhan dari pembahasan skripsi, disamping itu juga berisi saran-saran yang berhubungan dengan masalah skripsi ini.
Bagian akhir skripsi berisi daftar pustaka dan lampiran-lampiran yang mendukung.

SKRIPSI PTK PENERAPAN LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK DENGAN TEKNIK SIMULASI UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI SISWA

SKRIPSI PTK PENERAPAN LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK DENGAN TEKNIK SIMULASI UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI SISWA


(KODE : PTK-0091) : SKRIPSI PTK PENERAPAN LAYANAN BIMBINGAN KELOMPOK DENGAN TEKNIK SIMULASI UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI SISWA (BIMBINGAN KONSELING KELAS XI)


BAB I
PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang Masalah
Berkomunikasi antar pribadi dalam kehidupan sehari-hari merupakan keharusan bagi manusia. Manusia membutuhkan dan berusaha menjalin komunikasi atau hubungan dengan sesamanya. Selain itu, ada sejumlah kebutuhan di dalam diri manusia yang hanya dapat dipenuhi lewat komunikasi dengan sesamanya. Oleh karena itu terampil berkomunikasi dengan sesama manusia diperlukan oleh setiap individu manusia.
Proses belajar mengajar di sekolah merupakan bentuk komunikasi antara peserta didik dengan pendidik di sekolah. Dalam proses belajar mengajar, guru dituntut untuk menciptakan suasana belajar dan proses pembelajaran yang efektif dan kondusif agar guru dapat melaksanakan tugasnya sebagai pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (UU. No. 14/2005 Bab 1, 1 : 1). Lebih lanjut ditegaskan pula oleh Slameto (1995 : 97), bahwa guru mempunyai tugas sebagai berikut (1) mendidik dengan titik berat dengan memberikan arah dan motivasi pencapaian tujuan, baik jangka pendek maupun jangka panjang, (2) memberi fasilitas pencapaian tujuan melalui pengalaman belajar yang memadai, (3) membantu perkembangan aspek -aspek pribadi seperti sikap, nilai-nilai dan penyesuaian diri. Demikian juga, dalam proses belajar mengajar guru tidak terbatas sebagai penyampai ilmu pengetahuan akan tetapi lebih dari itu, ia bertanggung jawab akan keseluruhan perkembangan kepribadian siswa. Ia harus mampu menciptakan proses belajar yang sedemikian rupa sehingga dapat merangsang siswa untuk belajar secara aktif dan dinamis dalam memenuhi kebutuhan dan menciptakan tujuan.
Untuk dapat melaksanakan tugas-tugasnya tersebut guru dituntut untuk menguasai ketrampilan berkomunikasi, demikian pula bagi siswa yang setiap hari melakukan komunikasi dengan guru maupun sesama siswa yang lain, maka diperlukan ketrampilan komunikasi, khususnya komunikasi antar pribadi.
Komunikasi antar pribadi sangat penting bagi hidup manusia. Johnson (dalam Supratiknya, 1995 : 9) menunjuk beberapa peranan yang disumbangkan oleh komunikasi antar pribadi dalam rangka menciptakan kebahagiaan hidup manusia, yaitu (1) komunikasi antar pribadi membantu perkembangan intelektual dan sosial kita. (2) identitas atau jati diri kita terbentuk dalam dan lewat komunikasi dengan orang lain. (3) dalam rangka memahami realitas di sekeliling kita serta menguji kebenaran kesan-kesan dan pengertian yang kita miliki tentang dunia di sekitar kita, kita perlu membandingkannya dengan kesan-kesan dan pengertian orang lain tentang realitas yang sama. (4) kesehatan mental kita sebagian besar juga ditentukan oleh kualitas komunikasi atau hubungan kita dengan orang lain, lebih-lebih orang-orang yang merupakan tokoh-tokoh signifikan (significant figure) dalam hidup kita.
Kenyataan menunjukkan bahwa banyak siswa yang mengalami kesulitan berkomunikasi antar pribadi, hal ini dapat terlihat pada prilaku siswa SMA X pada umumnya dan pada khususnya siswa kelas XI.
Berdasarkan pernyataan di atas bila para siswa tidak memiliki ketrampilan berkomunikasi antar pribadi maka dapat berakibat siswa menngalami kesulitan dalam menerima dan menyampaikan pesan yang diterimanya kepada teman-temannya maupun kepada gurunya.
Ketrampilan komunikasi antar pribadi dapat dilatih melalui beberapa cara antara lain : wawancara, permainan, bimbingan, diskusi, berpidato, menulis. Bennett (dalam Chasiyah dkk, 2001 : 22) menjelaskan bahwa "group prosedur yang lebih intensif dan lebih mendalam adalah group therapy". Sedangkan Warters (dalam Chasiyah dkk, 2001 : 22) lebih menekankan group guidance sebagai group work,yang merupakan penggunaan pengalaman kelompok untuk membantu perkembangan individu dalam kelompok mencapai tujuan yang diinginkan.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas, dalam rangka upaya meningkatkan komunikasi antar pribadi bagi siswa SMA X, penelitian ini difokuskan pada pelaksanaan layanan bimbingan kelompok, yaitu layanan bimbingan yang memungkinkan beberapa individu siswa dapat melakukan dinamika kelompok memecahkan masalahnya. Layanan bimbingan kelompok tersebut dilakukan dengan teknik simulasi yang dapat memberikan stimulus kepada individu dalam upaya mengatasi kesulitan berkomunikasi antar pribadi. Beberapa ketrampilan komunikasi antar pribadi meliputi (1) ketrampilan memberikan tanggapan, (2) ketrampilan memberikan informasi, (3) ketrampilan memberikan nasihat, (4) ketrampilan bertanya, (5) ketrampilan merefleksikan, (6) ketrampilan menyimpulkan (Hamzah B Uno, 2008 : 29).

B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pada latar belakang tersebut di atas, dapat diidentifikasikan permasalahan komunikasi antar pribadi sebagai berikut :
a. Masih banyak siswa SMA X yang mengalami kesulitan dalam berkomunikasi antar pribadi b. Kurangnya pemahaman akan pentimgnya komunikasi antar pribadi siswa SMA X
c. Kurangnya ketrampilan menanggapi dalam berkomunikasi antar pribadi siswa SMA X
d. Masih banyaknya siswa SMA X yang tidak mempunyai ketrampilan bertanya dalam komunikasi antar pribadi
e. Kurangnya ketrampilan mengungkapkan ide-ide serta menyimpulkan dan merefleksikan dalam komunikasi antar pribadi siswa SMA X.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan pada identifikasi masalah diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
Apakah Layanan Bimbingan Kelompok Dengan Teknik Simulasi Mampu Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Antar Pribadi Siswa Kelas XI SMA X ?

C. Tujuan Penelitian
Suatu penelitian tanpa adanya tujuan yang jelas, tidak akan memberikan manfaat dalam bidang yang ditelitinya. Tujuan penelitian ini adalah : "Untuk mengefektifkan pelaksanaan layanan bimbingan kelompok dengan teknik simulasi guna meningkatkan kemampuan berkomunikasi antar pribadi siswa kelas XI SMA X"

D. Manfaat Penelitian
Setelah perumusan masalah dan tujuan masalah maka berdasarkan hal-hal tersebut maka dapat dikemukakan manfaat penelitian sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis.
a. Memberikan bukti empiris kepada guru BK bahwa penerapan layanan bimbingan kelompok dengan teknik simulasi dapat membantu meningkatkan kemampuan berkomunikasi antar pribadi.
b. Memberi masukan kepada kepala sekolah dan guru BK tentang cara yang tepat untuk mengatasi siswa yang mengalami kesulitan dalam berkomunikasi antar pribadi dengan teknik simulasi dalam layanan bimbingan kelompok.
2. Manfaat Praktis.
a. Meningkatkan komunikasi antar pribadi siswa melalui Layanan bimbingan kelompok dengan teknik simulasi.
b. Membantu siswa agar dapat trampil berkomunikasi antar pribadi.
c. Menjadikan siswa terbiasa berkomunikasi antar pribadi
d. Membantu kelancaran proses belajar mengajar di sekolah dengan trampil berkomunikasi antar pribadi.

TESIS ANALISIS PENGELOLAAN PEMBELAJARAN MULTIMEDIA DI SMAN X

TESIS ANALISIS PENGELOLAAN PEMBELAJARAN MULTIMEDIA DI SMAN X


(KODE : PASCSARJ-0166) : TESIS ANALISIS PENGELOLAAN PEMBELAJARAN MULTIMEDIA DI SMAN X (PROGRAM STUDI : TEKNOLOGI PENDIDIKAN)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Peningkatan kompetensi dan kualitas sumber daya manusia Indonesia merupakan kebutuhan mutlak, terutama menghadapi perubahan dan perkembangan yang demikian pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kebutuhan tersebut akan lebih terasa lagi dalam memasuki era pasar bebas. Pada era pasar bebas semua aspek kehidupan mempersyaratkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang memadai.
Kenyataan menunjukkan bahwa kualitas sumber daya manusia Indonesia relatif jauh tertinggal dibanding dengan Malaysia, Philipina, Tailand dan Singapura. Dalam suatu penelitian oleh suatu badan internasional yang dipublikasikan oleh UNDP (United Nation Development Programme) tahun 2000 menyebutkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke 109 dari 174 negara. Dalam hal indeks pembangunan SDM (Human Development Index) seperti yang dilaporkan oleh UNDP dalam Human Development Report 2003 menempatkan Indonesia diurutan ke 112 dari 174 negara. Laporan yang sama pada tahun 2005 melorot ke urutan 117 dari 177 negara. Di sisi lain dari laporan WEF (World Economy Forum) tahun 2000 Indonesia hanya berada diurutan 44 dari 59 negara dalam daya saing ekonomi (Rosyada, 2004 : 3).
Demikian pula peringkat daya saing sumber daya manusia Indonesia menempati nomor paling buncit di arena internasional. Masyarakat dunia, terutama Indonesia saat ini dihadapkan pada masalah semakin melebarnya kesenjangan antara kelompok negara maju yang memiliki penguasaan IPTEK dan kelompok negara yang masih tertinggal dalam penguasaan IPTEK. Bagi Indonesia, salah satu upaya untuk mengantisipasinya adalah melalui pembangunan di bidang pendidikan, yakni melalui peningkatan kualitas pendidikan, yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Upaya peningkatan kualitas pendidikan bukan merupakan masalah yang sederhana, tetapi memerlukan penanganan yang multidimensi dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait. Dalam konteks ini, kualitas pendidikan bukan hanya terpusat pada pencapaian target kurikulum semata, akan tetapi menyangkut semua aspek yang secara langsung maupun tidak langsung turut menunjang terciptanya manusia Indonesia yang berkualitas.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh sekolah khususnya dalam pembelajaran IPA yang menjadi pusat perhatian penelitian adalah dengan menggunakan media pembelajaran multimedia, dengan penggunaan media pembelajaran dengan multimedia, diharapkan peserta didik dapat termotivasi dalam mengikuti proses pembelajaran, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.
Penggunaan media pembelajaran multimedia di sekolah hingga saat ini telah banyak digunakan, namun tentunya hal tersebut tidak berarti semua sekolah telah menggunakan media tersebut untuk pelajaran IPA. Berbagai permasalahan dalam penggunaan media antara lain : guru belum siap sebagai pengguna, sebagian sekolah belum memiliki sarana untuk penggunaan media tersebut, dan kemampuan guru dalam membuat aplikasi yang menarik masih perlu ditingkatkan. 
Dengan hadirnya perangkat komputer sebagai sarana pembelajaran multimedia, tentunya hal tersebut dapat meningkatkan motivasi siswa untuk mengikuti pembelajaran, namun pada kenyataan sebagian siswa justru tidak termotivasi untuk mengikuti isi pelajaran, lebih tertarik dengan proses pembuatan animasi, dan penggunaan animasi dari media yang digunakan oleh guru.
SMAN X, merupakan Sekolah Ketegori Mandiri (SKM) yang saat ini dipersiapkan untuk Rintisan Sekolah Berstandart Internasional (RSBI) telah dilengkapi dengan media pembelajaran multimedia, sehingga setiap guru diharapkan dapat menggunakan media pebelajaran multimedia untuk membantu proses pembelajaran. Dikarenakan adanya perbedaan pembekalan yang dimiliki oleh guru, khususnya guru yang senior dan yunior, maka tidak semua guru menyambut baik multimedia tersebut, bahka beberapa guru hal tersebut merepotkan bagi guru.
Kenyataan tersebut di atas mendorong peneliti untuk melakukan penelitian tentang penggunaan multimedia di SMAN X dalam usaha meningkatkan prestasi belajar siswa khususnya dalam pembelajaran IPA.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana penggunaan multimedia oleh guru IPA yunior dan Senior di SMAN X ?
2. Bagaimana perencanaan pembelajaran IPA dengan menggunakan multimedia di SMAN X ?
3. Bagaimana pelaksanaan pembelajaran IP A dengan menggunakan multimedia di SMAN X ?
4. Faktor apa yang menjadi hambatan dan cara mengatasi dalam pembelajaran IPA dengan menggunakan multimedia di SMAN X ?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui penggunaan multimedia oleh guru IPA yunior dan Senior di SMAN X.
2. Untuk mengetahui perencanaan pembelajaran IPA dengan menggunakan multimedia di SMAN X.
3. Untuk mengetahui pelaksanaan pembelajaran IPA dengan menggunakan multimedia di SMAN X.
4. Untuk mengetahui Faktor yang menjadi hambatan dan mengatasi dalam pembelajaran IPA dengan menggunakan multimedia di SMAN X.

D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
Sebagai bahan referensi bagi pihak-pihak atau instansi yang terkait pada dunia pendidikan dalam pengambilan kebijakan dalam rangka peningkatan mutu atau kualitas pendidikan melalui penggunaan media pembelajaran multimedia.
2. Secara Praktis
Bagi sekolah penyelenggara dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk peningkatan prestasi belajar IPA melalui penggunaan media pembelajaran multimedia.

TESIS RELEVANSI KURIKULUM PONDOK PESANTREN DENGAN ERA GLOBALISASI

TESIS RELEVANSI KURIKULUM PONDOK PESANTREN DENGAN ERA GLOBALISASI


(KODE : PASCSARJ-0165) : TESIS RELEVANSI KURIKULUM PONDOK PESANTREN DENGAN ERA GLOBALISASI (STUDI DI PONDOK PESANTREN X) (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)


BAB I
PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang
Perkembangan Ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, telah membuat perubahan yang cukup signifikan dalam kehidupan manusia. Beberapa kemudahan telah dapat dirasakan oleh manusia, baik itu dalam bidang transportasi, komunikasi serta kemudahan mengakses berbagai informasi dari segala penjuru dunia dengan berbagai fasilitas teknologi yang canggih. Fenomena tersebut merupakan beberapa ciri dari era globalisasi yang telah menghilangkan sekat pemisah bagi umat manusia di segala penjuru dunia.
Globalisasi merupakan sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan antar manusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa era globalisai merupakan suatu masa dimana terjadi pengglobalan dalam segala aspek kehidupan baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya sehingga interaksi antar belahan dunia menjadi semakin mudah.
Kondisi ini telah mengubah pola pikir dan gaya hidup masyarakat dunia, termasuk masyarakat Indonesia. Perubahan masyarakat Indonesia terjadi dari masyarakat agraris menjadi masyarakat informatif yang bertumpu pada teknologi informatika.
Masyarakat muslim di Indonesia, mau tidak mau juga merasakan dampak dari globalisasi ini, walaupun sebenarnya fenomena ini menurut Azyumardi Azra bukanlah fenomena baru sama sekali. Jika pada akhir abad 19 dan awal abad 20 globalisasi yang bersifat religio-intelektual telah dirasakan oleh bangsa Indonesia yaitu bersumber dari Timur Tengah, maka proses globalisasi dewasa ini, bersumber dari Barat, yang terus memegang supremasi dan hegemoni dalam berbagai lapangan kehidupan masyarakat dunia umumnya. Dengan melihat sumber globalisasi saat ini, maka bisa dipastikan bahwa dalam proses globalisasi ini ada nilai-nilai yang tidak sesuai dengan nilai-nilai bangsa Indonesia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya.
Dalam era ini, kehebatan suatu negara-bangsa tidak lagi didasarkan atas sumber daya alam yang melimpah dan alat-alat produksi masal, tetapi sandaran terpenting yang akan menentukan keberlangsungan hidup dan kemajuan negara-bangsa adalah mutu sumber daya manusia yang dimiliki. Dari sini dapat dilihat betapa pentingnya pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas. Allah SWT. Berfirman : bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang saleh. (al-Anbiya' : 105)
Kata ash-Shalihuun juga bisa diartikan sebagai SDM yang berkualitas. Ayat di atas menunjukkan bahwasnya Allah mewariskan dunia ini kepada hamba-hambanya yang saleh (SDM yang berkualitas), karena pada realitasnya yang memakmurkan bumi ini adalah manusia-manusia yang mempunyai kualitas yang baik. Sebagaimana di ungkapkan di atas, bahwasanya kehebatan suatu bangsa adalah ditentukan oleh kualitas SDM yang dimilikinya. Dan perlu juga di garis bawahi kualitas SDM yang dimiliki harus mampu menyeimbangkan kemampuan IPTEK dan IMTAQ-nya, sehingga benar-benar siap dalam menghadapi berbagai tantangan termasuk tantangan dari era globalisasi ini.
Pondok pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam yang ada di Indonesia sebenarnya mempunyai peluang dalam menciptakan SDM yang berkualitas dengan catatan pondok pesantren mampu beradaptasi dengan globalisasi yang sedang terjadi dengan tanpa meninggalkan watak kepesantrenannya. Menurut Edy Supriyono, minimal ada tiga alasan mengapa pesantren peluangnya lebih besar dibandingkan lembaga pendidikan yang lain.
Pertama, pesantren yang ditempati generasi bangsa (mulai anak-anak hinggga pemuda), dengan pendidikan yang tidak terbatas oleh waktu sebagaimana pendidikan umum. Kedua, pendidikan pesantren yang mencoba memberikan keseimbangan antara pemenuhan lahir dan batin, Ketiga, paparan Nur Cholish Madjid yang memberikan contoh masyarakat yang terkena "dislokasi", yaitu kaum marginal atau pinggiran di kota-kota besar, seharusnya menyadarkan pesantren.
Adapula pendapat yang mengatakan bahwa pondok pesantren yang ada saat ini kurang dapat memainkan peran dengan apik, baik peran sosial di tengah masyarakat, maupun perannya dalam bidang pendidikan, dengan artian alumni yang dihasilkan oleh pondok pesantren kurang mampu bersaing dengan lembaga penidikan non pesantren dalam era globalisasi. Pendapat tersebut tampak dalam pernyataan yang dikutip dari situs sidogiri.com yang mengatakan bahwa banyak yang menaruh rasa kecewa atas eksistensi pendidikan pesantren. Mencuatnya opini keterkungkungan kultural maupun pemikiran untuk kalangan pesantren merupakan penilaian publik yang sebetulnya tidak terlalu jauh dengan kondisi nyatanya. Hal ini diperkuat oleh Azyumardi Azra yang menyatakan bahwa :
Reputasi pesantren tampaknya dipertanyakan oleh sebagian masyarakat Muslim Indonesia. Mayoritas pesantren masa kini terkesan berada di menara gading, elitis, jauh dari realitas sosial. Problem sosialisasi dan aktualisasi ini ditambah lagi dengan problem keilmuan, yaitu terjadi kesenjangan, alienasi (keterasingan) dan differensiasi (pembedaan) antara dunia pesantren dengan dunia modern. Sehinggga kadang-kadang lulusan pesantren kalah bersaing atau tidak siap berkompetisi dengan lulusan umum dalam urusan profesionalisme di dunia kerja. Dunia pesantren dihadapkan kepada masalah-masalah globalisasi, yang dapat dipastikan mengandung beban tanggung jawab yang tidak ringan bagi pesantren.
Pendapat senada juga diungkapkan oleh Nurcholish Madjid yang menyatakan :
Kalau kita tinjau secara agak mendalam anatara dunia pesantren dengan pangggung dunia global abad ke XX, sebenarnya terjadi kesenjanagan atau "gap". Di satu sisi dunia global sekarang ini masih di dominasi oleh pola budaya Barat dan sedang di atur mengikuti pola-pola itu. Sedang di sisi lain pesantren-pesantren kita, disebabkan faktor-faktor historisnya, belum sepenuhnya menguasai pola budaya itu (yang sering dikatakan sebagai budaya "modern"), sehingga kurang memiliki kemampuan dalam mengimbangi dan menguasai kehidupan dunia global. Bahkan untuk memberikan responsi saja sudah mengalami kesulitan.
Namun sejak dasawarsa terakhir sebagian pondok pesantren mulai mengambil langkah-langkah tertentu guna meningkatkan kualitas SDM yang mampu menjawab tuntutan kebutuhan masyarakat yang terus berubah seiring perkembangan zaman. Dalam hal ini Imam Suprayogo mendeskripsikan sebagai berikut :
1. Masa lampau, keinginan masyarakat terhadap pendidikan pesantren adalah sebagai wahana membina ruh/praktek keagamaan/keislaman, sehingga kegiatan pendidikan yang ada di pesantren lebih banyak di dominasi dengan kegiatan-kegiatan mengaji al-Qur'an, al-Hadits, kitab-kitab kuning, dan praktek-praktek keagamaan.
2. Masa kini, keinginan masyarakat terhadap pendidikan pesantren adalah memperkokoh keberadaannya sebagai lembaga pendidikan jalur pesantren (kurikulum pesantren) dan pendidikan jalur sekolah (mengikuti kurikulum pemerintah Depag dan Depdikbud). Pada jalur pendidikan pesantren dituntut untuk menghasilkan lulusan yang mampu memahami dan mengkaji kitab-kitab keagamaan terutama yang berbahasa Arab dan memiliki kedalaman spiritual dan keagungan akhlak.
3. Masa yang akan datang, keinginan masyarakat terhadap pendidikan pesantren adalah mampu menjawab tantangan masa depan. Sehingga masyarakat berharap agar pendidikan pesantren membuat kurikulum muatan lokal atau kegiatan ekstra kurikuler yang relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan zaman.
Jika melihat realitas yang ada, tampaknya masyarakat saat ini telah sampai pada masa yang oleh Suprayogo disebut masa yang akan datang, sehingga pondok pesantren pada saat ini dituntut untuk mampu mengadakan berbagai inovasi pendidikan. Menurut Sulthon dan Khusnuridlo, inovasi pendidikan tersebut diperlukan agar pelayanan yang diberikan pesantren tetap up-to-date. Allah berfirman dalam surat ar-Ra'du : "Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri."
Dari ayat di atas dapat dilihat bahwa perubahan ke arah perbaikan (inovasi) merupakan salah satu perintah Allah, dimana manusia memiliki potensi yang dinamis dalam memperbaiki keadaannya sebaik mungkin. Tentunya jika pesantren melakukan inovasi pendidikan maka pada hakikatnya pesantren telah konsisten dengan ajaran Islam.
Inovasi pendidikan dapat menyangkut berbagai bidang baik itu hardware maupun software pondok pesantren. Kurikulum sebagai salah satu bagian dari software merupakan salah satu aspek yang cukup urgen untuk di perbaharui agar sesuai dengan perkembangan zaman.
Kurikulum merupakan salah satu instrumen pendidikan yang penting keberadaannya, karena dengan kurikulum segala bentuk aktivitas pendidikan akan terarah dalam rangka pencapain tujuan pendidikan. Dalam UU SISDIKNAS di jelaskan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Dalam Islam, kurikulum dipandang sebagai alat untuk mendidik generasi muda dengan baik dan menolong mereka untuk membuka dan mengembangkan kesediaan-kesediaan, bakat-bakat, kekuatan-kekuatan dan keterampilan mereka yang bermacam-macam dan menyiapkan mereka dengan baik untuk menjalankan hak-hak dan kewajiban, memikul tanggung jawab terhadap diri, keluarga, masyarakat dan bangsanya.
Adapun karakteristik kurikulum Islami, menurut Abdurrahman An-Nahlawi adalah :
1) Kurikulum islami harus memiliki sistem pengajaran dan materi yang selaras dengan fitrah manusia serta bertujuan untuk menyucikan manusia, memeliharanya dari penyimpangan, dan menjaga keselamatan fitrah manusia sebagaimana di isyratkanhadits qudsi berikut ini :
"Hamba-hambaku diciptakan dngan kecenderungan (pada kebenaran). Lalu setan menyesatkannya."
"Setiap anak dilahirkan secara fitrah. Maka orangtuanyalah yang menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi."
2) Kurikulum islami harus dapt mewujudkan tujuan pendidikan Islam yang fundamental : memurnikan ketaatan dan peribadatan hanya kepada Allah.
3) Tingkatan setiap kurikulum islami harus sesuai dengan tingkatan pendidikan, baik dalam hal karakteristik, usia, tingkat pemahaman, jenis kelamin, serta tugas-tugas kemasyarakatan yang telah dicanangkan dalam kurikulum.
4) Aplikasi, kegiatan, contoh, atau teks kurikulum islami harus memperhatikan tujuan-tujuan masyarakat yang realistis, menyangkut kehidupan dan bertitik tolak dari keislaman yang ideal, seperti merasa bangga menjadi umat Islam dan lain-lain.
5) Sistem kurikulum islami harus terbebas dari kontradiksi, mengacu kepada kesatuan Islam, dan selaras dengan integritas psikologis yang telah Allah ciptakan untuk manusia serta selaras dengan kesatuan pengalaman yang hendak diberikan kepada anak didik, baik yang berhubungan dengan sunnah, kaidah, sistem, maupun realitas alam semesta.
6) Kurikulum islami harus realistis sehingga dapat diterpkan selaras dengan kesanggupan negara yang hendak menerapkannya sesuai dengan kondisi dan tuntutan negara itu sendiri.
7) Kurikulum islami harus memilih metode yang elastis sehingga dapat diadaptasikan ke dalam berbagai kondisi, lingkungan, dan keadaan tempat ketika kurikulum itu diterapkan.
8) Kurikulum islami harus efektif, dapat memberikan hasil pendidikan yang bersifat behavioristik, dan tidak meninggalkan dampak emosional yang meledak-ledak dalam diri generasi muda.
9) Setiap kurikulum islami harus sesuai dengan berbagai tigkatan usia anak didik.
10) Kurikulum islami harus herus memperhatikan pendidikan tentang segi-segi perilaku islami yang bersifat aktivitas langsung, seperti berjihad, dakwah Islam serta pembangunan masyarakat muslim dalam lingkungan persekolahan sehingga kegiatan itu dapat mewujudkan rukun Islam dan syiarnya, metode pendidikan dan pengajarannya, srta etika dalam kehidupan siswa secara individual dan sosial.
Dari paparan di atas dapat dilihat betapa pentingnya fungsi kurikulum dalam pendidikan, sehinggga dari sinilah peneliti tertarik untuk meneliti penerapan kurikulum pondok pesantren dalam era globalisasi. Adapun alasan pemilihan lokasi di Pondok Pesantren X karena setelah melakukan survey pendahuluan, pondok pesantren yang telah berdiri pada tahun 1948 ini, sejak masa-masa awal berdirinya tampak telah mampu menjawab tuntutan masyarakat pada zaman tersebut. Fakta ini diperoleh dari dokumen yang menyatakan bahwa selain melaksanakan kurikulum salafiyah seperti model bandongan, sorogan dan takhassus, pesantren ini juga melaksanakan kurikulum khalafiyah yaitu dengan berdirinya lembaga formal yaitu MIA (Madrasah Ibtidaiyah Agama) yang menggunakan sistem klasikal.

B. Kajian Terdahulu
Untuk mengetahui posisi dari penelitian ini maka perlu dipaparkan beberapa kajian terdahulu, baik itu berupa penelitian lapangan maupun kajian literatur. Ada beberapa kajian yang telah membahas tentang pondok pesantren X ini antara lain :
1. Umi Mahmuda, Kepemimpinan Kyai Zaini dalam Pengembangan Pondok Pesantren X, (Skripsi; 1994).
2. Nur Ali, Strategi Pembelajaran Kitab-kitab Islam Klasik di Pesantren (Studi Kasus Pondok Pesantren X) (Tesis; 1996).
3. Eni Halimiyah, Peranan K.H. Zaini Mun'im dalam Pembinaan Masyarakat X. (Skripsi; 1997)
4. M. Irfan, Pengelolaan Pendidikan Keterampilan di Pondok Pesantren X. (Tesis; 1997)
Adapun penelitian yang berkaitan dengan tema, penulis menemukan antara lain :
1. Mujamil Qomar, Politik Pendidikan Pesantren Melacak Transformasi Institusi, dan Metode (Tesis; 1996) kemudian dicetak menjadi buku dengan judul Pesantren : Dari Transformasi metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. Dalam penelitian ini dikemukakan bahwa kurikulum pesantren itu jika diamati dengan melihat kondisi pada dua kutub secara ekstrim (masa permulaan dan keadaan sekarang) memang menunjukkan perubahan yang sangat fundamental, tetapi ketika perubahan itu dilihat secara setahap demi setahap, ternyata hanya terjadi perubahan yang amat lamban. Perubahan yang terjadi lebih imitatif daripada upaya pembuatan model sendiri.
2. Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren : Suatu Kajian Tentang Unsusr dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren (Desertasi; 1983) kemudian oleh INIS diterbitkan pada tahun 1994. Penelitian yang mengambil 6 pesantren sebagai situsnya mengemukakan bahwa jenis pendidikan di pesantren ada yang bersifat formal dan non formal. Untuk yang bersifat non formal, hanya mempelajari agama yang bersumber dari kitab-kitab klasik. Kurikulum pada jenis pendidikan ini berdasarkan tingkat kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam kitab. Sedangkan untuk pendidikan formal (madrasah dan sekolah umum) berlaku kurikulum yang ditentukan oleh pemerintah (Depag dan Depdikbud).
Dari beberapa penelitian di atas, dapat dilihat bahwa penelitian yang mengkaji kurikulum pondok pesantren secara khusus masih belum peneliti temukan, terutama jika dikaitkan dengan era globalisasi.

C. Rumusan Masalah
Dari latar belakang dan kajian terdahulu di atas, maka akan diuraikan beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana struktur kurikulum pondok pesantren X ?
2. Apa landasan pengembangan kurikulum di pondok pesantren X ?
3. Apakah kurikulum yang diterapkan di pondok pesantren X relevan dengan era globalisasi ?

D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui struktur kurikulum di pondok pesantren X.
2. Mengetahui landasan pengembangan kurikulum di pondok pesantren X
3. Mengetahui relevansi kurikulum di pondok pesantren X dengan era globalisasi.

E. Manfaat Penelitian
Diharapkan dari penelitian ini, dapat memberikan manfaat kepada dua hal :
1. Teoritis
a. Diperoleh pemikiran tentang model kurikulum yang baik bagi pendidikan di Indonesia umumnya dan pendidikan di pondok pesantren pada khususnya dalam menghadapi era globalisasi.
b. Sebagai bahan kajian dan rujukan bagi penelitian di bidang yang serupa.
2. Praktis
a. Sebagai bahan perbandingan bagi Pondok Pesantren X dalam mengembangkan kurikulum yang lebih baik.
b. Sebagai salah satu model percontohan bagi lembaga pendidikan lain khususnya pondok pesantren.

F. Definisi Operasional
Kurikulum : rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, metode dan evaluasi yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Pondok Pesantren : lembaga pendidikan Islam yang mempunyai ciri-ciri antara lain : masjid/mushala, pondok, kyai, santri, dan literatur yang khas. Era globalisasi : suatu masa dimana terjadi pengglobalan seluruh aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, iptek, sosial dan budaya.

TESIS POLA PENGAMBILAN KEPUTUSAN KEPALA SEKOLAH DI SMPN X

TESIS POLA PENGAMBILAN KEPUTUSAN KEPALA SEKOLAH DI SMPN X


(KODE : PASCSARJ-0164) : TESIS POLA PENGAMBILAN KEPUTUSAN KEPALA SEKOLAH DI SMPN X (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Penyelenggarakan pendidikan secara baik, tertata dan sistimatis hingga proses yang terjadi didalamnya dapat menjadi suatu sumbangan besar bagi kehidupan sosial masyarakat. Dalam hal ini sekolah sebagai suatu institusi yang melaksanakan proses pendidikan dalam tataran mikro menempati posisi penting, karena di lembaga inilah setiap anggota masyarakat dapat mengikuti proses pendidikan dengan tujuan mempersiapkan mereka dengan berbagai ilmu dan keterampilan agar lebih mampu berperan dalam kehidupan masyarakat. Kedudukan sekolah sangat penting dalam kehidupan masyarakat pada dasarnya tidak terlepas dari fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan bagi masyarakat memiliki peran penting dan menentukan dalam perkembangan masyarakat.
Kepala sekolah sebagai top manajer di sekolah diharapkan dapat memainkan perannya dalam mempengaruhi bawahannya, khususnya para guru dalam meningkatkan kinerja atau prestasi kerjannya. Untuk melaksanakan pekerjaan seperti ini tidaklah mudah karena pekerjaan itu menuntut adanya sejumlah kompetensi yang harus dimiliki. Kepala sekolah dituntut memiliki kemampuan/pengetahuan, keterampilan mengendalikan emosi untuk dapat memahami diri sendiri dan orang lain. Berdasarkan hasil studi pendekatan sifat (the trait approach), ada tiga macam sifat pribadi yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin agar dapat berhasil dalam memimpinnya, yakni : 1) ciri-ciri fisik (physical characteristics), seperti tinggi badan dan penampilan; 2) kepribadian (personality), seperti menjunjung tinggi harga diri (self esteem); berpengaruh (dominant), dan stabilitas emosi; dan 3) kemampuan atau kecakapan (ability), seperti kecerdasan umum (general intelegence), keaslian (originality), dan wawancara sosial (social insght).
Jika dilihat dari sudut kewenangannya dalam organisasi sekolah, maka kepala sekolah mempunyai kemampuan yang lebih besar dalam proses penciptaan iklim sekolah yang baik dan kondusif bagi proses kegiatan pendidikan di sekolah, oleh karena itu, dalam menjalankan fungsinya, Kepala Sekolah harus mampu menguasai tugas-tugasnya serta melaksanakannya dengan baik. Kepala Sekolah bertanggungjawab terhadap seluruh aktivitas Sekolah, mengelola sumber-sumber daya yang ada baik sumber daya manusia, maupun sumber daya lainnya agar semua itu dapat menunjang terciptanya efektivitas kerja dalam proses pencapaian tujuan pendidikan di Sekolah, selain itu Kepala Sekolah juga adalah pemimpin pendidikan yang tugas utamanya adalah membantu guru mengembangkan daya kesanggupannya untuk menciptakan iklim sekolah yang menyenangkan dan untuk mendorong guru, murid dan orang tua murid supaya mempersatukan kehendak, pikiran dan tindakan dalam kegiatan-kegiatan bersama secara efektif bagi tercapainya maksud-maksud sekolah.
Kinerja kepala sekolah merupakan faktor yang signifikan dalam proses pencapaian tujuan-tujuan pendidikan sekolah, sehingga apabila kinerja kepala sekolah baik maka kemajuan sekolah akan tercapai, demikian juga sebaliknya. Sebagai pemimpin pendidikan, Kepala Sekolah dituntut untuk berupaya keras mengelola seluruh kegiatan di sekolah seefektif dan seefisien mungkin agar proses pendidikan di sekolah sesuai dengan yang diharapkan.
Kepala sekolah perlu meningkatkan kemampuannya dalam pengetahuan dan wawasan serta sikap antisipatif terhadap perubahan sosial masyarakat, hal ini tentu saja dimaksudkan agar pelaksanaan tugas sebagai kepala sekolah dapat berjalan dengan baik sehingga pencapaian tujuan pendidikan dapat berjalan secara efektif dan efisien, namun demikian kondisi tersebut nampaknya masih memerlukan proses. Masih rendahnya kemampuan kepala sekolah dianggap gagal di mana "sebab" utama dari kegagalan kepala sekolah ini terletak pada organisasi intern sekolah lanjutan itu sendiri. Keadaan tersebut tidak jauh berbeda dengan kondisi di SMP X Kabupaten X.
Kinerja Kepala Sekolah bukan sesuatu yang berdiri sendiri, dia dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor eksternal berkaitan dengan supra sistem sekolah yakni otoritas yang secara hirarkhis berada di atasnya seperti Dinas Pendidikan Kecamatan, Dinas Pendidikan Kabupaten serta Pemerintah Daerah Setempat. Supra sistem ini jelas akan berpengaruh pada kinerja Kepala Sekolah sebab Dinas Pendidikan punya peran koordinasi, pengawasan dan Pembinaan terhadap sekolah-sekolah, termasuk kinerja kepala sekolah, sedangkan faktor internal berkaitan dengan kemampuan atau ketrampilan kepala sekolah, serta kualitas individu kepala sekolah itu sendiri seperti sikap, minat, persepsi, kebutuhan, kompensasi serta kepribadian yang semua ini akan berpengaruh terhadap kepala sekolah dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan peran dan fungsinya dalam proses pendidikan di sekolah. Seorang kepala sekolah perlu memiliki kemampuan atau ketrampilan dalam hal konsep, teknis dan kemanusiaan (Conceptual Skill, technical Skill, Human Skill).
Keterampilan itu disebut keterampilan manajer, dan kemampuan tersebut pada dasarnya berkaitan dengan dimensi intelektual dan dimensi emosional, sehingga kedua dimensi kemampuan ini dari sudut internal akan mempengaruhi terhadap kinerja Kepala Sekolah, disamping faktor-faktor internal lainnya seperti bakat, pengalaman dan latar belakang pendidikan.
Kinerja kepala Sekolah Menengah Pertama (SMP) X masih perlu dioptimalkan, banyak faktor yang menyebabkanya diantaranya adalah motivasi kerjanya masih rendah, lingkungan, sistem pembagian insentif, kepemimpinan kepala sekolah, sarana-prasarana, hubungan interpersonal, komunikasi antar pribadi guru dengan guru, guru dengan kepala sekolah, guru dengan murid perlu ditingkatkan. Berbagai faktor tersebut yang penulis anggap penting dan merupakan solusi dalam peningkatan kinerja kepala sekolah melalui pola pengambilan keputusan kepala sekolah di SMP X Kabupaten X.

B. Fokus dan Pertanyaan Penelitian
Banyak faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan kepala sekolah, antara lain pendidikan, fasilitas mengajar, pelatihan, penataran, pengalaman kerja, motivasi kerja, tingkat kesejahteraan, lingkungan kerja, kepuasan kerja, dan kepemimpinan sekolah. Oleh karena berbagai keterbatasan yang ada pada peneliti, dalam penelitian ini memfokuskan permasalahan
1. Bagaimanakah pola pengambilan keputusan tentang input dalam sistem pendidikan di SMP X Kabupaten X ?
2. Bagaimanakah pola pengambilan keputusan tentang proses dalam sistem pendidikan di SMP X Kabupaten X ?
3. Bagaimanakah pola pengambilan keputusan tentang output dalam sistem pendidikan di SMP X Kabupaten X ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini ingin mendeskripsikan pola pengambilan keputusan kepala sekolah di SMP X Kabupaten X.
2. Tujuan Khusus
a. Pola pengambilan keputusan tentang input dalam sistem pendidikan di SMP X Kabupaten X
b. Pola pengambilan keputusan tentang proses dalam sistem pendidikan di SMP X Kabupaten X
c. Pola pengambilan keputusan tentang output dalam sistem pendidikan di SMP X Kabupaten X

D. Manfaat Penelitian
Manfaat teoritis penelitian ini adalah dapat menambah referensi dan pengembangan penelitian berikutnya yang sejenis. Sedangkan manfaat praktisnya, bagi kepala sekolah, hasil penelitian ini sebagai bahan masukan dalam rangka meningkatkan pola pengambilan keputusan kepala sekolah yang diharapkan mampu meningkatkan kualitas pendidikan dalam sekolah yang dipimpinnya. Bagi para guru, hasil penelitian ini sebagai masukan dalam rangka memotivasi diri dan pengembangan diri untuk meningkatkan kinerja sehingga mutu pendidikan yang diharapkan dapat terwujud, dan bagi para pembaca, dapat menambah pengetahuan sehingga dapat memberikan sumbang saran kepala sekolah dalam rangka ikut mendukung usaha peningkatan mutu pendidikan.

TESIS KONTRIBUSI BUDAYA MASYARAKAT DAN PERGAULAN TEMAN SEBAYA TERHADAP PERILAKU SOSIAL SISWA DI SMAN X

TESIS KONTRIBUSI BUDAYA MASYARAKAT DAN PERGAULAN TEMAN SEBAYA TERHADAP PERILAKU SOSIAL SISWA DI SMAN X


(KODE : PASCSARJ-0163) : TESIS KONTRIBUSI BUDAYA MASYARAKAT DAN PERGAULAN TEMAN SEBAYA TERHADAP PERILAKU SOSIAL SISWA DI SMAN X (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya pendidikan berperan untuk meningkatkan kualitas manusia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti yang luhur, mandiri, maju, kreatif, trampil, bertanggung jawab, produktif serta sehat jasmani dan rohani, sehingga mampu menghadapi segala pembahan era globalisasi yang menuntut kesiapan sumber daya manusia bukan hanya sebagai penonton, tetapi juga harus mampu sebagai pelaku. Konsekuensi dari masuknya budaya asing, pelaku bisnis, politik, ekonomi, dan sebagainya, bahkan nilai-nilai budaya asing, seperti perilaku free sex, pergaulan bebas tanpa batas dan bertolak belakang dengan budaya bangsa Indonesia, yang mampu menggeser budaya bangsa Indonesia. Untuk itu, yang mampu menghadapi masalah dan perubahan zaman adalah pemahaman budaya masyarakat perlu ditanamkan pada siswa sehingga mampu memilah dan memilih yang terbaik untuk menentukan sikap perilaku yang terbaik bagi diri sendiri dan bangsa Indonesia.
Kegiatan interaksi belajar mengajar harus selalu ditingkatkan efektifitas dan efisiensinya. Dengan banyakya kegiatan pendidikan di sekolah, dalam usaha meningkatkan mutu dan frekuensi isi pembelajaran, maka sangat menyita waktu siswa untuk mengatasi keadaan tersebut, guru perlu memberikan tugas-tugas di luar jam pelajaran. Disebabkan bila hanya menggunakan seluruh jam pelajaran. Disebabkan bila hanya menggunakan seluruh jam pembelajaran yang ada untuk tiap mata pelajaran hal itu tidak akan mencukupi tuntutan di dalam kurikulum. Dengan demikian perlu diberikan tugas-tugas, sebagai selingan untuk variasi teknik penyajian ataupun dapat berupa pekerjaan nimah. Tugas semacam itu dapat dikerjakan di luar jam pelajaran, di rumah maupun sebelum pulang, dan atau kegiatan ekstrakurikuler, sehingga dapat dikerjakan bersama temannya.
Seperti yang berlangsung pada kegiatan ekstrakurikuler yang berupa seni budaya yang bertujuan untuk meningkatkan kepedulian, menanamkan kesadaran, dan membina mental siswa serta menumbuhkembangkan sikap perilaku siswa agar sanggup menerima, memahami, dan mengerti tentang kebudayaan, baik budaya tradisional, budaya masyarakat maupun budaya asing yang bersifat selektif.
Apakah budaya ? Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang telah ditanyakan dan dicari jawabnya sejak era Ibnu Khaldun sampai saat ini. Seolah-olah jawaban atas pertanyaan itu tidak pernah ada, atau mungkin ketika ditemukan jawabannya oleh seseorang, maka yang didefinisikan itu (budaya) lantas berubah. Oleh karenanya orang tak pernah sampai pada keputusan final yang disepakati oleh semua orang. Apalagi budaya dilihat dari kacamata berlainan tergantung yang melihatnya. Alhasil konsep budaya berbeda-beda tergantung siapa yang mendefinisikan konsep tersebut. Dalam buku-buku pengantar antropologi selalu disebutkan hasil temuan Kroeber & Kluckhon yang mengidentifikasi definisi budaya. Mereka mencatat sekurang-kurangnya terdapat 169 definisi berbeda. Hal itu menunjukkan betapa beragamnya sudut pandang yang digunakan untuk melihat budaya. Masing-masing disiplin ilmu memiliki sudut pandangnya sendiri. Bahkan di dalam satu disiplin ilmu terdapat perbedaan karena pendekatan yang digunakan berbeda. Dalam disiplin ilmu psikologi misalnya, mungkin saja mereka yang tertarik dengan persoalan emosi akan mendefinisikan berbeda dengan mereka yang tertarik pada persoalan kesehatan mental (Mendatu, 2007. "Apakah Budaya". www.psikologi.omline.co.id.)
Kemampuan beradaptasi atau penyesuaian diri merupakan bentuk perilaku pada umumnya yang didasarkan atas keseimbangan kemampuan akal (kognisi) dan kemampuan rasa (afeksi), dan psikomotor, karena manusia tidak hanya memiliki otak tetapi juga mempunyai emosi dan keterampilan, baik keterampilan berkomunikasi maupun keterampilan fisik jasmaniah. Oleh karena itu, kesadaran terhadap perbedaan daya pikir, emosi, dan keterampilan manusia merupakan aspek penting keberhasilan penyesuaian diri. Mengingat manusia tidak hanya berperilaku atas dasar kemampuan akal semata, tetapi juga didasarkan pada kemampuan rasa, yakni kemampuan menilai perasaan kepuasan diri sendiri dan orang lain dalam masa perkembangan yang timbul dalam kehidupan sehari-hari.
Keseimbangan antara komponen kognisi, afeksi, dan psikomotor mutlak diperlukan. Seseorang yang terlalu mengagungkan kecerdasan akalnya tanpa diimbangi dengan kemampuan emosional atau sikap, dan psikomotor diprediksikan bahwa dia akan dapat mengalami kegagalan dalam bersosialisasi dengan lingkungannya. Kecakapan emosi bukan berarti memanjakan perasaan dan mengistimewakan sikap, dalam arti memuaskan dirinya sendiri tanpa memperhatikan orang lain, tetapi mengelola perasaan, sikap, dan keterampilan sedemikian rupa sehingga terekspresikan secara tepat dan efektif, yang memungkinkan orang bekerja sama dengan lancar menuju sasaran bersama.

B. Identifikasi Masalah
Kemampuan beradaptasi atau penyesuaian diri merupakan bentuk perilaku pada umumnya yang didasarkan atas keseimbangan kemampuan akal (kognisi) dan kemampuan rasa (afeksi), dan psikomotor, karena manusia tidak hanya memiliki otak tetapi juga mempunyai emosi dan keterampilan, baik keterampilan berkomunikasi maupun keterampilan fisik jasmaniah.
Perbedaan daya pikir, emosi, dan keterampilan manusia merupakan aspek penting keberhasilan penyesuaian diri. Mengingat manusia tidak hanya berperilaku atas dasar kemampuan akal semata, tetapi juga didasarkan pada kemampuan rasa, yakni kemampuan menilai perasaan kepuasan diri sendiri dan orang lain dalam masa perkembangan yang timbul dalam kehidupan sehari-hari. Keseimbangan antara komponen kognisi, afeksi, dan psikomotor mutlak diperlukan.
Seseorang yang mengagungkan kecerdasan akalnya tanpa diimbangi dengan kemampuan emosional/sikap, dan psikomotor diprediksikan dia akan dapat mengalami kegagalan dalam bersosialisasi dengan lingkungannya. Kecakapan emosi bukan berarti memanjakan perasaan dan mengistimewakan sikap, dalam arti memuaskan dirinya sendiri tanpa memperhatikan orang lain, tetapi mengelola perasaan, sikap, dan keterampilan sedemikian rupa sehingga secara tepat memungkinkan bekerja sama dengan lancar menuju sasaran bersama.
Aktivitas bebajar siswa, baik yang berlangsung di sekolah maupun di luar sekolah, rumah atau tempat lain, senantiasa perlu memperhatikan kemampuan beradaptasinya, sehingga diperoleh hasil belajar yang optimal, yaitu menguasai mated yang dipelajari dan mampu berprestasi dengan baik.

C. Pembatasan Masalah
Penelitian ini dibatasi pada masalah budaya masyarakat, pergaulan teman sebaya, dan perilaku sosial siswa SMAN X Kabupaten X.

D. Rumusan Masalah
1. Adakah kontribusi budaya masyarakat dan pergaulan teman sebaya terhadap perilaku sosial siswa SMAN X Kabupaten X ?
2. Adakah kontribusi budaya masyarakat terhadap perilaku sosial siswa SMAN X Kabupaten X ?
3. Adakah kontribusi pergaulan teman sebaya terhadap perilaku sosial siswa SMAN X Kabupaten X ?

E. Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah ingin mendeskripsikan tentang budaya masyarakat, pergaulan teman sebaya, dan perilaku sosial siswa. Sedangkan tujuan khusus penelitian ini ingin mendeskripsikan tentang kontribusi budaya masyarakat terhadap perilaku sosial siswa, kontribusi pergaulan teman sebaya terhadap perilaku sosial siswa, dan kontribusi budaya masyarakat dan pergaulan teman sebaya terhadap perilaku sosial siswa di SMAN X.

F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Dapat digunakan sebagai referensi dan penelitian berikutnya yang sejenis.
2. Manfaat Praktis
Sedangkan manfaat praktis bagi siswa, memberikan informasi arti pentingnya budaya masyarakat dan pergaulan teman sebaya terhadap perilaku sosial siswa di SMAN X, bagi masyarakat, memberikan masukan bahwa budaya masyarakat dapat membentuk perilaku sosial dan membangun nilai-nilai pergaulan teman sebaya terhadap perilaku sosial siswa di SMAN X.

TESIS KINERJA KEPALA SEKOLAH SMAN X DLM IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

TESIS KINERJA KEPALA SEKOLAH SMAN X DLM IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH


(KODE : PASCSARJ-0162) : TESIS KINERJA KEPALA SEKOLAH SMAN X DLM IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Sebagai pelaksanaan dari Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dikeluarkan Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanana undang-undang tersebut. Peraturan Pemerintah yang telah dikeluarkan dan harus segera dilaksanakan penyesuaian-penyesuaian aturan dibawahnya adalah Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan.
Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan mengatur tentang stndar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, stadar pembiayaan dan standar penilaian pendidikan. Dalam aturan tersebut ditetapkan pula kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, kurikulum tingkat satuan pendidikan dan kalender pendidikan/akademik yang berlaku dalam satu tahun pelajaran.
Sejatinya, sekolah adalah sebuah masyarakat kecil (mini society) yang menjadi wahana pengembangan siswa. Aktifitas didalamnya adalah proses pelayanan jasa. Murid datang ke sekolah untuk mendapatkan pelayanan, sementara kepala sekolah, guru dan tenaga lain adalah para profesional yang terus menerus berinovasi memberikan pelayanan yang terbaik untuk kemajuan sekolah.
Mengembangkan model pembaharuan adalah tugas yang sulit karena proses pembaharuan adalah usaha yang multidimensional. Tidak ada satu model pun yang dapat menjelaskan dengan sempurna betapa rumitnya pengembangan sekolah. Yang akan diusulkan oleh para konsultan adalah kerangka kerja yang memberi pedoman pada proses pembaharua. Dalam mengkaji-ulang data pada model "pengembangan sekolah" yang telah dipilih, dua proses utama telah diidentifikasi. Pertama, keinginan kepala sekolah untuk meningkatkan intensitas komunikasi di antara para pemegang peran merupakan alat untuk mengundang mereka untuk menjadi mitra dalam transformasi sekolah. Kesadaran yang lebih tinggi tentang berbagai masalah dan pandangan para pemegang peran dapat menciptakan peluang untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi oleh sekolah dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan. Kedua, dalam menggambarkan tanggung jawab pengambilan-keputusan oleh para pemegang peran mengakibatkan pemecahan masalah yang lebih cepat dan membebaskan kepala sekolah untuk berfungsi sebagai fasilitator dalam pengembangan sekolah. Kedua proses tersebut menyebabkan adanya tanggung jawab yang lebih besar bagi para pemegang peran. Hal ini meningkatkan motivasi dan jati diri para pemegang peran. Pemegang peran menggunakan berbagai istilah, misalnya kemitraan dan suasana kekeluargaan untuk menggambarkan adanya hubungan yang baru di sekolah (Depdiknas. 2007. "Model Pembaharuan pada Sekolah Menengah Umum : Pengalaman Indonesia"). (www.school.development.com).
Sebagaimana sekolah dipahami sebagai suatu organisasi, kepemimpinan dan manajemen menjadi menarik untuk diperdebatkan. Sebagai suatu organisasi, sekolah memerlukan tidak hanya seorang manajer untuk mengelola sumberdaya sekolah, yang lebih banyak berkonsentrasi pada permasalahan anggaran dan persoalan administratif lainnya, melainkan juga memerlukan pemimpin yang mampu menciptakan sebuah visi dan mengilhami staf dan semua komponen individu yang terkait dengan sekolah. Wacana ini mengimplikasikan bahwa baik pemimpin maupun manajer diperlukan dalam pengelolaan sekolah.
Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan "baru" dalam manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di mancanegara, seperti Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri. Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah merasa nirdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi (Dharma, 2003. "Manajemen Berbasis Sekolah". www.depdiknas.go.id).
MBS menciptakan rasa tanggung jawab melalui administrasi sekolah yang lebih terbuka. Kepala sekolah, guru, dan anggota masyarakat bekerja sama dengan baik untuk membuat Rencana Pengembangan Sekolah. Sekolah memajangkan anggaran sekolah dan perhitungan dana secara terbuka pada papan sekolah. Keterbukaan ini telah meningkatkan kepercayaan, motivasi, serta dukungan orang tua dan masyarakat terhadap sekolah. Banyak sekolah yang melaporkan kenaikan sumbangan orang tua untuk menunjang dan meningkatkan pemberdayaan mutu pendidikan sekolah.
Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul belakangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan di tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan sekolah hanya menerima apa adanya. Apa saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah adalah urusan pusat, kepala sekolah dan guru harus melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan mengalir dari pusat ke daerah menelusuri saluran birokrasi dengan begitu banyak simpul yang masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran jika nilai akhir yang diterima di tingkat paling operasional telah menyusut lebih dari separuhnya. Kita khawatir, jangan-jangan selama ini lebih dari separuh dana pendidikan sebenarnya dipakai untuk hal-hal yang sama sekali tidak atau kurang berurusan dengan proses pembelajaran di tingkat yang paling operasional, yaitu sekolah

B. Fokus dan Pertanyaan Penelitian
Era desentralisasi seperti saat ini, di mana sektor pendidikan juga dikelola secara otonom oleh pemerintah daerah, praksis pendidikan harus ditingkatkan ke arah yang lebih baik dalam arti relevansinya bagi kepentingan daerah maupun kepentingan nasional. Manajemen sekolah saat ini memiliki kecenderungan ke arah school based management (manajemen berbasis sekolah/MBS).
Segi kepemimpinan, seorang kepala sekolah mungkin perlu mengadopsi gaya kepemimpinan transformasional, agar semua potensi yang ada di sekolah dapat berfungsi secara optimal. Kepemimpinan transformasional dapat didefinisikan sebagai gaya kepemimpinan yang mengutamakan pemberian kesempatan, dan atau mendorong semua unsur yang ada dalam sekolah untuk bekerja atas dasar sistem nilai (values system) yang luhur, sehingga semua unsur yang ada di sekolah (guru, siswa, pegawai, orangtua siswa, masyarakat, dan sebagainya) bersedia, tanpa paksaan, berpartisipasi secara optimal dalam mencapai tujuan ideal sekolah.
Ciri seorang yang telah berhasil menerapkan gaya kepemimpinan transformasional adalah sebagai berikut : (1) mengidentifikasi dirinya sebagai agen perubahan (pembaruan); (2) memiliki sifat pemberani; (3) mempercayai orang lain; (4) bertindak atas dasar sistem nilai (bukan atas dasar kepentingan individu, atau atas dasar kepentingan dan desakan kroninya); (5) meningkatkan kemampuannya secara terus-menerus; (6) memiliki kemampuan untuk menghadapi situasi yang rumit, tidak jelas, dan tidak menentu; serta (7) memiliki visi ke depan. Dalam era desentralisasi, kepala sekolah tidak layak lagi untuk takut mengambil inisiatif dalam memimpin sekolahnya. Pengalaman kepemimpinan yang bersifat top down seharusnya segera ditinggalkan. Pengalaman kepemimpinan kepala sekolah yang bersifat instruktif dan top down memang telah lama dipraktikkan di sebagian besar sekolah kita ketika era sentralistik masih berlangsung. Beberapa fenomena pendidikan persekolahan sebagai hasil dari model kepemimpinan yang instruktif dan top down dapat kita sebutkan, antara lain, sistem target pencapaian kurikulum, target jumlah kelulusan, formula kelulusan siswa, dan adanya desain suatu proyek peningkatan kualitas sekolah yang harus dikaitkan dengan peningkatan NEM (nilai ebtanas murni) secara instruktif. Keadaan ini berakibat pada terbelenggunya seorang kepala sekolah dengan juklak dan juknis. Dampak negatifnya ialah tertutupnya sekolah pada proses pembaruan dan inovasi. (Suyanto, 2007. "Kepemimpinan Kepala Sekolah". www.diknas.go.id ) Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah
1. Bagaimana kinerja kepala sekolah dalam pemberdayaan guru ?
2. Bagaimana kinerja kepala sekolah dalam pengelolaan sarana prasarana ?
3. Bagaimana kinerja kepala sekolah dalam hal pengelolaan dana pendidikan ?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan umum yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah ingin mendeskripsikan tentang kinerja kepala sekolah dalam manajemen berbasis sekolah, dan tujuan khusus ingin mendiskripsikan kinerja kepala sekolah dalam pemberdayaan guru. pengelolaan sarana prasarana, dan pengelolaan dana pendidikan.

D. Manfaat Penelitian
Manfaat teoritis dapat digunakan sebagai referensi dan pengembangan penelitian berikutnya yang sejenis. Sedangkan manfaat praktis, bagi kepala sekolah, dapat meningkatkan kinerja kepala sekolah dalam pemberdayaan guru. pengelolaan sarana prasarana, dan pengelolaan dana pendidikan.

TESIS STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF

TESIS STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF


(KODE : PASCSARJ-0161) : TESIS STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF (PROGRAM STUDI : ILMU KOMUNIKASI)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pemilihan umum (Pemilu) merupakan sarana demokrasi yang menjadi ajang bagi kedaulatan rakyat. Dalam negara demokratis, pemilu yang notabene merupakan cerminan suara rakyat menjadi penentu bagi keberlangsungan sebuah negara untuk menentukan nasib dan tujuan sebuah bangsa. Suara-suara inilah yang akan diwadahi oleh partai politik-partai politik yang mengikuti pemilu menjadi wujud wakil-wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pemilihan Umum menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pada tahun 2009 bangsa Indonesia telah mengadakan pemilihan umum untuk kesepuluh kalinya. Pelaksanaan pemilu secara periodik menunjukkan bahwa Indonesia menganut sistem negara demokrasi. Sejak Pemilihan Umum tahun 1999 Indonesia telah dianggap sebagai negara terbesar ketiga yang menyelenggarakan pemilihan umum secara demokratis. Pemilihan umum ini menjadi wahana aspirasi politik rakyat Indonesia yang digelar setiap lima tahun sekali, sebagai amanat dari Undang-Undang Dasar 1945. Pemilu juga menjadi ajang paling massif, bebas, dan adil untuk menentukan partai dan tokoh yang berhak mewakili rakyat. Dalam sistem perwakilan, tak ada cara lain yang paling absah untuk memilih para wakil rakyat kecuali melalui pemilu.
Pemilihan umum legislatif tahun 2009 di ikuti oleh 38 partai politik yang lolos seleksi verifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU), ditambah enam partai politik lokal di Aceh (www.kpu.go.id/index.php). Adanya banyak partai politik yang mengikuti pemilu 2009, sebagai konsekuensi sistem multipartai yang diterapkan di Indonesia. Terdapatnya banyak partai politik juga berdampak pada ketatnya kompetisi antar partai politik dalam menggaet suara pemilih untuk memperebutkan kursi di parlemen. Keberhasilan sebuah partai politik dalam perolehan suara, membuktikan betapa besarnya dukungan dan kepercayaan rakyat terhadap partai politik tersebut.
Guna memenangkan kompetisi di ajang pemilu, para kontestan partai politik saling bersaing satu sama lain dengan menerapkan berbagai strategi komunikasi politik yang jitu. Tentu, komunikasi politik yang dilakukan oleh partai politik menyesuaikan dengan sistem politik yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, sistem politik mau tidak mau turut mempengaruhi dan dipengaruhi oleh komunikasi yang dilakukan oleh partai politik. Almond (1990 : 34) melihat bahwa komunikasi politik merupakan salah satu masukan yang menentukan bekerjanya semua fungsi dalam sistem politik. Komunikasi politik menyambungkan semua bagian dari sistem politik sehingga aspirasi dan kepentingan dikonversikan menjadi berbagai kebijaksanaan.
Strategi komunikasi politik partai dalam menghadapi pemilu harus menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang ada tentang pemilu, walaupun perumusan undang-undang itu sendiri sempat menjadi perdebatan panjang antar partai politik, karena terjadi tarik-menarik kepentingan, yaitu bagaimana undang-undang yang dibuat bisa menguntungkan partai politik tertentu. Untuk mengatur pelaksanaan pemilu tahun 2009, maka dibuatlah UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilanm Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pada dasarnya Undang-undang Pemilu tahun 2008 dengan Undang-undang Pemilu tahun 2003 mempunyai kesamaan arti, namun terdapat beberapa pasal yang berbeda isi. Undang-undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD pasal 107, ayat 2, menyebutkan :
Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu Daerah Pemilihan, dengan ketentuan :
a. nama calon yang mencapai angka BPP ditetapkan sebagai calon terpilih;
b. nama calon yang tidak mencapai angka BPP, penetapan calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut pada daftar calon di daerah
pemilihan yang bersangkutan.
Isi pada UU Pemilu tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD pasal 107, ayat 2 di atas hampir sama dengan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD pasal 214, ayat 2 yang menyebutkan :
Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dari partai politik peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi partai politik peserta pemilu di suatu daerah pemilihan, dengan ketentuan :
a. Calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) suara BPP;
b. Dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya lebih banyak daripada jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) suara BPP;
c. Dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan huruf a dengan perolehan suara yang sama, maka penentuan calon terpilih diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) suara BPP, kecuali bagi calon yang memperoleh suara 100% (seratus perseratus) dari BPP;
d. Dalam hal calon yang memenuhi ketentuan huruf a jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi yang belum terbagi diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut;
e. Dalam hal tidak ada calon yang memperoleh sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut.
Perubahan isi pada UU Pemilu tahun 2008 muncul ketika Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi UU No 10 Tahun 2008 tentang pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD pasal 214 huruf a.b.c.d.e. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 22-24/PUU-VI/2008 dinyatakan bahwa Pasal 214 huruf a, huruf, b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian penetapan calon legislatif untuk pemilu 2009 ditentukan dengan sistem suara terbanyak bukan berdasarkan nomor urut (Dumadi, 2009).
Perbedaan isi undang-undang pemilu tahun 2003 dan tahun 2008 (setelah keluarnya putusan MK) inilah yang diduga berimplikasi terhadap strategi komunikasi politik partai politik dalam menghadapi pemilu legislatif 2009. Dengan demikian masing-masing partai politik dalam strategi komunikasi politiknya cenderung mengalami perubahan dibanding pada pemilu 2004, karena harus menyesuaikan dengan aturan perundang-undangan yang ada. Secara prinsip, sistem pemilu yang digunakan dalam pemilu 2009 adalah sistem pemilu yang lebih demokratis berdasarkan kebutuhan peningkatan derajat keterwakilan dan geopolitik Indonesia.
Implikasi dari perbedaan isi UU Pemilu tahun 2003 dan tahun 2008 adalah ada dua hal. Pertama, UU Pemilu tahun 2003 berdampak pada aktifnya peran partai politik dalam berkampanye dan berkomunikasi politik dibandingkan calon anggota legislatifnya. Kedua, UU Pemilu tahun 2008 berimbas pada lebih aktifnya para calon anggota legislatif dalam kampanye dan berkomunikasi politik dibandingkan partai politik itu sendiri. Kenyataan inilah yang dapat dilihat dan ditemukan pada pemilu tahun 2009. Para calon anggota legislatif saling jor-joran menggelontorkan dana dan tenaga bahkan kelewat batas dalam beriklan dan berkampanye memperebutkan suara pemilih. Kondisi ini terjadi karena para calon anggota legislatif menyadari bahwa penetapan calon didasarkan para suara terbanyak bukan nomor urut, oleh sebab itu tidak bisa hanya mengandalkan pada partai politik dalam berkampanye.
Implikasi lain dari perbedaan isi Undang-undang Pemilu tahun 2003 dengan tahun 2008 adalah pola strategi penggunaan media oleh partai politik. Sebagaimana diketahui bahwa belanja iklan politik yang dilakukan oleh partai politik dan pemerintah tahun 2009 naik 100 persen, yaitu sebesar Rp. 800 milyar dibanding pada pemilu 2004 sebanyak Rp. 400 milyar (www.okezone.com). perbedaan inilah yang disinyalir bahwa sebuah Undang-undang dapat mempengaruhi terhadap keputusan partai politik dalam berkomunikasi melalui media dalam kampanye pemilihan umum.
Penggunaan media sangatlah penting dalam proses kampanye dan sosialisasi politik pada pemilu. Menurut Pawito (2009 : 91) "Dalam konteks politik modern, media massa bukan hanya menjadi bagian yang integral dari politik, tetapi juga memiliki posisi yang sentral dalam politik." Dengan sifatnya yang massif, media massa menjadi kekuatan yang besar dalam menginformasikan pesan-pesan politik dari partai politik. Dengan karakter yang dimilikinya, media menjadi kekuatan yang bisa menyatukan isu dan opini di masyarakat dengan memberikah arah ke mana mereka harus harus berpihak dan prioritas-prioritas apa yang harus dilakukan. Dengan kemampuannya media dapat memberi semangat, menggerakkan perubahan, dan memobilisasi masyarakat untuk suatu tujuan.
Salah satu kontestan pada pemilu legislatif 2009 adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). PKS merupakan partai dakwah yang berazaskan islam. Pada pemilu 1999 nama PKS adalah partai keadilan (PK) tetapi karena tidak memenuhi ambang batas 2% sebagai syarat mengikuti pemilu tahun 2004, maka partai Keadilan berubah nama menjadi Partai Keadilan Sejahtera. Kehadiran. PKS -bagi sebagian orang- telah memberi secercah harapan bagi rakyat Indonesia bahwa ada partai yang bermoral (bersih), anti korupsi, dan peduli pada rakyat. PKS juga dinilai mampu menumbuhkan kembali kepercayaan orang pada partai Islam. Indikatornya adalah meningkatnya jumlah konstituten mereka di Pemilu 2004 lalu (Irfan, 2004).
Hasil pemilu 2009 menunjukkan perolehan suara PKS 7.88% atau 8.206.955 suara. Perolehan suara pemilu 2009 ini bagi PKS relatif stabil atau ada kenaikan sedikit dibanding pada pemilu sebelumnya yaitu 7.34% secara Nasional (www.calegindonesia). Dan untuk Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, PKS memperoleh 176,645 suara atau 7 kursi di DPRD Propinsi, dengan tingkat partisipasi pemilih sebanyak 72,95% dalam pemilu 2009 ((www.kpud-diyprov.go.id).
Perolehan suara partai secara Nasional ini menjadi alasan mengapa penelitian ini memilih PKS sebagai studi kasus penelitian tentang strategi komunikasi politik partai politik dalam pemilu legislatif 2009. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa, disaat suara Partai Demokrat naik secara tajam dan partai-partai besar lainnya cenderung mengalami penurunan seperti Partai Golkar, PDIP, PKB, dan PPP, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bisa stabil dengan mempertahan perolehan suaranya seperti pada pemilu 2004. Kenyataan ini juga menimbulkan pertanyaan yang memerlukan jawaban, kiranya strategi apa yang di pakai oleh PKS dalam pemilu legislatif 2009.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana penyikapan Partai Keadilan Sejahtera terhadap perubahan UU. No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD, dan DPD ?
2. Bagaimana strategi komunikasi politik Partai Keadilan Sejahtera sesudah perubahan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD, dan DPD pada pemilu legislatif 2009 ?
3. Bagaimana penggunaan media oleh Partai Keadilan Sejahtera dalam kampanye pemilu legislatif 2009 ?
4. Apa dampak dari penerapan strategi komunikasi politik Partai Keadilan Sejahtera terhadap perolehan suara partai pada pemilu legislatif 2009 ?

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk memahami dan mendeskripsikan masalah strategi komunikasi politik partai politik dalam menghadapi pemilu 2009, dengan mengarahkan kajiannya pada :
1. Penyikapan Partai Keadilan Sejahtera terhadap perubahan UU. No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD, dan DPD ?
2. Strategi komunikasi politik Partai Keadilan Sejahtera sesudah perubahan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD, dan DPD pada pemilu legislatif 2009 ?
3. Penggunaan media oleh Partai Keadilan Sejahtera dalam kampanye pemilu 2009.
4. Dampak dari penerapan strategi komunikasi politik Partai Keadilan Sejahtera terhadap perolehan suara partai pada pemilu legislatif 2009.

D. Kegunaan Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan ilmu komunikasi, khususnya pada kajian komunikasi politik yang berkaitan dengan strategi komunikasi politik oleh partai politik dalam menghadapi pemilihan umum.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini juga diharapkan bisa bermanfaat sebagai informasi dan bahan masukan bagi para pengurus dan kader partai politik secara umum dan khususnya Partai Keadilan Sejahtera serta masyarakat luas dalam menentukan kebijakan dan strategi komunikasi pada pemilu-pemilu selanjutnya.

TESIS IMPLEMENTASI AKAD IJARAH PADA PEGADAIAN SYARIAH

TESIS IMPLEMENTASI AKAD IJARAH PADA PEGADAIAN SYARIAH


(KODE : PASCSARJ-0160) : TESIS IMPLEMENTASI AKAD IJARAH PADA PEGADAIAN SYARIAH (PROGRAM STUDI : HUKUM EKONOMI SYARIAH)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah mahluk sosial yang dalam kehidupan senantiasa berinteraksi antara satu dengan yang lain. Masing-masing individu saling bergantung satu sama lain dalam memenuhi hajat hidupnya. Tidak ada satu orang pun di dunia yang dapat hidup dengan sempurna tanpa jasa orang lain.
Dari sifat kehidupan manusia yang saling bergantung satu sama lain ini, muncullah berbagai problematika kehidupan baik yang meliputi aspek ritual maupun sosial. Problem kehidupan ini tentunya harus segera direspon dengan serangkaian garis-garis hukum yang mampu memecahkan setiap permasalahan yang timbul dalam kehidupan manusia.
Dalam menjawab pemasalahan yang timbul nampaknya peranan hukum lslam dalam konteks kekinian dan kemoderenan dewasa ini sangat diperlukan dan tidak dapat dihindarkan. Kompleksitas permasalahan umat yang selalu berkembang seiring dengan perkembangan jaman membuat hukum Islam harus menampakkan sifat elastisitas dan fleksibilitasnya guna memberikan yang terbaik dan bisa memberikan kemaslahatan bagi umat manusia.
Mendasarkan pada kemaslahatan tersebut maka Islam mengajarkan kepada ummatnya untuk saling bantu membantu, yang kaya membantu yang miskin.
Bentuk saling membantu ini dapat berupa pemberian tanpa ada pengembalian dari yang diberi (karena berfungsi sosial), seperti infaq, zakat dan shodaqoh, ataupun berupa pinjaman yang harus dikembalikan kepada yang memberi pinjaman minimal mengembalikan pokok pinjamannya. Syari'at Islam juga memerintahkan umatnya supaya saling tolong menolong, yang kaya harus menolong yang miskin, yang mampu harus menolong yang tidak mampu. Bentuk tolong menolong ini bisa berbentuk pemberian dan bisa berbentuk pinjaman.
Dalam konteks pinjam-meminjam hukum Islam membolehkan baik melalui individu maupun melalui lembaga keuangan, Mengenai Pembiayaan didalam Hukum Islam, Kepentingan Kreditur sangat diperhatikan dan dijaga jangan sampai dirugikan. Oleh sebab itu, dibolehkan meminta barang dari debitur sebagai jaminan utangnya. Dalam Dunia Finansiil barang itu dikenal dengan obyek jaminan (collateral) atau barang agunan. Konsep tersebut dalam fikih Islam dikenal dengan istilah rahn. Kontrak gadai yang dalam bahasa Arab diistilahkan dengan rahn sebenarnya bukan hal baru dalam praktek perekonomian. Kontrak gadai sudah ada dalam tradisi bangsa Arab sebelum Islam. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Sayyid Sabiq bahwa : Sudah menjadi kebiasaan bangsa Arab, bahwa apabila orang yang menggadaikan barang tidak mampu melunasai utangnya maka barang gadai itu dikeluarkan dari miliknya.
Sampai Islam datang, ternyata perjanjian gadai masih berlaku, tentunya dengan batasan syarat dan rukun tertentu, bahkan mendapat legitimasi hukum sebagai perbuatan jaiz atau dibolehkan, baik menurut ketentuan al Qur'an, Sunnah maupun ijma' Ulama.
Dalam al Qur'an (QS al Baqoroh 283) disebutkan : Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis. maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berepiutang) akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhan-nya ;dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang berdosa hatinya ; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah : 283).
Kalimat "Hendaklah ada barang tanggungan" dapat diartikan sebagai "gadai". Sedangkan dalam Sunnah Rasulullah SAW dapat ditemukan dalam ketentuan Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dari Aisyah r.a. berkata :
Artinya : "Rasulullah pernah membeli makanan dari orang Yahudi dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi beliau." (HR. Bukhori Muslim).
Berkaitan dengan pembolehan perjanjian gadai ini, jumhur Ulama juga berpendapat boleh dan mereka tidak pernah berselisih. Dalam Islam gadai mempunyai pengertian yaitu menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut pandangan syara' sebagai jaminan uang, hingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang, atau bisa mengambil sebagian (manfaat) barang itu.
Menurut aturan dasar pegadaian, bahwa barang-barang yang dapat digadaikan di lembaga ini hanyalah berupa barang-barang bergerak padahal mempunyai berbagai resiko yang tinggi.
"Gadai mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi. Namun pada kcnyataannya dalam masyarakat konsep tersebut dinilai tidak adil. Dilihat dari segi komersial, yang meminjamkan uang merasa dirugikan, misalnya karena inflasi, atau pelunasan berlarut-larut,sementara barang jaminan tidak laku."
Seiring dengan kemajuan zaman dan tuntutan masyarakat Muslim di Indonesia yang sangat merindukan bertransaksi berdasarkan prinsip -prinsip Islam dalam berbagai aspek termasuk di bidang Pegadaian, kemudian Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998, Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan, Undang-undang memberikan peluang untuk diterapkan praktek perekonomian sesuai Syariah dibawah perlindungan hukum positif, sebagaimana termuat pada pasal 1 ayat 12 dan 13 :
"Pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan dengan imbalan atau bagi hasil.
Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan Hukum Islam antara Bank dengan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan Syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (Mudhorobah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (Musyarokah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (Murobahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (Ijarah), atau adanya pilihan pemindahan kepemilikan barang atas barang yang disewa dari pihak Bank oleh pihak lain (Ijarah wa iqtina).
Berdasarkan Undang-undang tersebut kemudian terwujudlah lembaga keuangan syariah, pada awalnya Perbankan Syariah, Asuransi Syariah kemudian Pegadaian Syariah dan lain-lain, dari sekian banyak lembaga keuangan Syariah yang sudah mempunyai payung Hukum Positif adalah Perbankan Syariah, sedangkan lembaga keuangan syariah yang lainnya belum mempunyai payung hukum tersendiri, seperti Asuransi Syariah, Pasar Modal Syariah dan Pegadaian Syariah.
"Pegadaian Syariah adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak dibidang jasa keuangan non bank dengan kegiatan utama menyalurkan pinjaman kepada Masyarakat berdasarkan hukum gadai, fidusia dan usaha lain yang menguntungkan".
Pegadaian Syariah Cabang X beberapa produknya telah dibeli oleh masyarakat, nasabah di Pegadaian Syariah belum tentu orang Islam yang tau dan taat menjalankan Syariatnya bahkan non muslim boleh bertransaksi di Pegadaian Syariah, Pada bidang transaksi bisnis Agama bukan suatu keharusan non muslim boleh menundukkan diri pada Hukum Islam darisitulah tergambar Islam rohmatan HI alamin, mereka kebanyakan dari kalangan bawah yang amat sangat terpaksa kekurangan uang untuk kebutuhan hidup sehari hari sehingga tidak tau prinsip Syariah atau bukan Syariah yang penting datang bawa barang pulang bawa uang, lain lagi bagi kalangan menengah keatas, bukan karena kekurangan uang untuk kebutuhan sehari-hari, akan tetapi kekurangan modal untuk mengembangkan usahanya sehingga mereka mengetahui ada pilihan yang tepat untuk mencari modal yang Islami.
Adapun landasan hukum operasional Pegadaian adalah diatur dalam pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 103 tahun 2000 yaitu :
a. Penyaluran uang pinjaman atas dasar hukum gadai.
b. Penyaluran uang pinjaman berdasarkan jaminan fidusia, pelayanan jasa titipan, pelayanan jasa sertifikasi logam mulia dan batu adi, unit toko emas, dan insutri perhiasan emas serta usaha-usaha lainnya yang dapat menunjang tercapainya maksud dan tujuan perusahaan.
Disamping berdasarkan ketentuan tersebut di atas untuk penerapan prinsip Syariah. mendasarkan pada :
a. Pasal 1 ayat 12 dan 13 Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
b. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor : 9 /DSN-MUI/IV/2000. Tentang Pembiayaan Ijarah
c. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor Nomor : 29/DSN-MUI/IV/2002. Tentang Rahn.
d. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 26/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn Emas.
e. Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor : 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Murobahah
Pegadaian Syariah masih menggunakan kebijakan gadai konvensional, disisi lain harus menerapkan prinsip-prinsip syariah, dan pengawasannya secara kolektif dari pusat, hal yang demikian itulah yang menarik untuk dikaji dan dievaluasi secara kritis.
Lembaga tersebut mengklaim dirinya mengatasi masalah tanpa masalah, apakah hal itu betul atau justru tidak mengatasi masalah tetapi membuat masalah.
Pada zaman sekarang ini banyak bermunculan lembaga keuangan baik bank atau bukan bank yang yang mengklaim dirinya sebagai lembaga keuangan Syariah dan banyak juga yang hanya kulitnya saja tapi prakteknya tidak Syariah.
Perum Pegadaian Syariah Cabang X berdiri pada tahun 2004 dan mulai efektif bekerja melayani gadai yang sesuai Syariah, sampai sekarang sudah berusia lima tahun berjalan, perkembangan gadai syariah tersebut tidak sepesat Perbankan Syariah yang memang diminati banyak nasabah kelas menengah keatas, karena kesan gadai adalah hanya diminati oleh masyarakat kelas bawah yang bersifat konsumtif, hal ini terlihat dari produk yang ditawarkan oleh gadai Syariah X belum banyak karena peminatnya masih relatif didominasi oleh kalangan bawah yang dengan terpaksa lari ke Pegadaian karena kebutuhan yang mendesak, hal ini penulis ketahui ketika berada di Pegadaian dan mencoba wawancara dengan nasabah yang datang di Pegadaian Syariah. Sepintas yang menarik adalah Pegadaian mengatasi masalah tanpa masalah, hal ini terlihat dari kredit pinjaman yang ditawarkan oleh Pegadaian dengan garis batas minimal Rp. 20.000 sampai dengan Rp 150.000,- dengan proses yang amat sederhana dan cepat cukup dengan waktu lima belas menit uang sudah bisa diterima, dari sinilah sepintas benar-benar mengatasi masalah tanpa masalah, akan tetapi dari sisi lain yang terkait dengan sewa modal dan akad yang dibuat oleh nasabah dengan Pegadaian apakah tidak akan menimbulkan masalah, terkait dengan barang agunan yang tidak mempunyai setandar pasar yang pasti seperti barang-barang elektronik dan kendaraan bermotor, dari sinilah yang mendorong penulis untuk mengkaji hal-hal yang terkait dengan akad Rahn Ijarah di Pegadaian Syariah, apakah gadai Syariah menggunakan konsep Islami yang sesuai dengan al Qur'an dan al Hadits yang di Implemntasikan oleh Ulama Imam Mazhab dalam Kitab-kitab Fiqih, ataukah hanya sekedar merobah akad konvensional menjadi akad Syariah akan tetapi sistemnya tetap sama seperti konvensional.
Berdasarkan klaim Perum Pegadaian dan uraian tersebut diatas Penulis tertarik untuk meneliti dan mengevaluasi tentang Implementasi akad ijarah pada Pegadaian Syariah Cabang X.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka kajian ini hanya dibatasi pada masalah :
Apakah Implementasi akad ijarah pada Perum Pegadaian Syariah Cabang X sudah sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah.

C. Tujuan Penelitian
Penelitian merupakan bagian pokok Ilmu Pengetahuan yang bertujuan untuk lebih mendalami segala aspek kehidupan, disamping itu juga merupakan sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, baik dari segi teoritis dan praktis.
Tujuan Penelitian ini adalah untuk :
1. Mengetahui sistem gadai dengan akad Ijarah pada Perum Pegadaian Syariah Cabang X.
2. Mengetahui sejauhmana penerapan prinsip Syariah pada akad Ijarah di Perum Pegadaian Syariah Cabang X.

D. Manfaat Penelitan
Dari hasil penelitian dapat diharapkan memberi manfaat penelitian sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan yang berarti bagi berbagai pihak, yang senantiasa antusias dengan sebuah sistem yang Islami, terutama sekali kepada segenap Penegak Hukum, Penasehat Hukum, Konsultan Hukum, Ekonom dan para Mahasiswa Fakultas Hukum untuk dapat memahami dan mendalami sistem ekonomi Syariah (di bidang Pegadaian) yang kini berkembang pesat.
2. Manfaat Praktis
Sebagai tambahan pengetahuan, sehingga masyarakat mengetahui tentang mekanisine aktivitas perjanjian gadai yang sesuai dengan prinsip Syariah, sehingga gadai Syariah menjadi pilihan utama bagi masyarakat Muslim khususnya di sekitar wilayah X dan masyarakat Indonesia pada umumnya untuk bertransaksi yang benar-benar Islami.