Search This Blog

SKRIPSI ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN

SKRIPSI ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN


(KODE : EKONPEMB-0015) : SKRIPSI ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT KEMISKINAN




BAB I 
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah
Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah meningkatkan kinerja perekonomian agar mampu menciptakan lapangan kerja dan menata kehidupan yang layak bagi seluruh rakyat yang pada gilirannya akan mewujudkan kesejahteraan penduduk Indonesia. Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah menurunkan tingkat kemiskinan. Kemiskinan merupakan salah satu penyakit dalam ekonomi, sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Permasalahan kemiskinan memang merupakan permasalahan yang kompleks dan bersifat multidimensional. Oleh karena itu, upaya pengentasan kemiskinan harus dilakukan secara komprehensif, mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat, dan dilaksanakan secara terpadu (M. Nasir, dkk 2008).
Istilah kemiskinan muncul ketika seseorang atau sekelompok orang tidak mampu mencukupi tingkat kemakmuran ekonomi yang dianggap sebagai kebutuhan minimal dari standar hidup tertentu. Dalam arti proper, kemiskinan dipahami sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup. Dalam arti luas, Chambers (dalam Chriswardani Suryawati, 2005) mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu intergrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu : 1) kemiskinan (proper), 2) ketidakberdayaan (powerless), 3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency), 4) ketergantungan (dependence), dan 5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis. Menurut BPS (2007), seseorang masuk dalam kriteria miskin jika pendapatannya berada dibawah garis kemiskinan.
Usaha pemerintah dalam penanggulangan masalah kemiskinan sangatlah serius, bahkan merupakan salah satu program prioritas, termasuk bagi pemerintah provinsi Jawa Tengah. Upaya penanggulangan kemiskinan di Jawa Tengah dilaksanakan melalui lima pilar yang disebut "Grand Strategy". Pertama, perluasan kesempatan kerja, ditujukan untuk menciptakan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik, dan sosial yang memungkinkan masyarakat miskin dapat memperoleh kesempatan dalam pemenuhan hak-hak dasar dan peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan. Kedua, pemberdayaan masyarakat, dilakukan untuk mempercepat kelembagaan sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat dan memperluas partisipasi masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan kebijakan publik yang menjamin kehormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar. Ketiga, peningkatan kapasitas, dilakukan untuk pengembangan kemampuan dasar dan kemampuan berusaha masyarakat miskin agar dapat memanfaatkan perkembangan lingkungan. Keempat, perlindungan sosial, dilakukan untuk memberikan perlindungan dan rasa aman bagi kelomnpok rentan dan masyarakat miskin baik laki-laki maupun perempuan yang disebabkan antara lain oleh bencana alam, dampak negatif krisis ekonomi, dan konflik sosial. Kelima, kemitraan regional, dilakukan untuk pengembangan dan menata ulang hubungan dan kerjasama lokal, regional, nasional, dan internasional guna mendukung pelaksanaan ke empat strategi diatas (Bappeda Jateng, 2007).
Hasil dari upaya penanggulangan kemiskinan di Jawa Tengah memperlihatkan pengaruh yang positif. Hal ini terlihat dari tingkat kemiskinan yang mengalami pola yang menurun. Kecenderungan penurunan tingkat kemiskin di Jawa Tengah dari tahun ke tahun. Pada tahun 2003 tingkat kemiskinan sebesar 21,78 persen dan turun menjadi 20,49 persen di tahun 2005, tetapi di tahun 2006 meningkat menjadi 22,19 persen, kemudian turun menjadi 20,43 persen di tahun 2007 dan 19,23 persen di yahun 2008.
Tingkat kemiskinan di Jawa Tengah merupakan tingkat kemiskinan agregat dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah. Tingkat kemiskinan di 35 kabupaten di Jawa Tengah masih tidak merata, dan sebagian besar tingkat kemiskinannya masih tinggi. Ada empat kota yang memiliki tingkat kemiskinan dibawah 10 persen, yaitu Kota Semarang, Kota Pekalongan, Kota Tegal, Kota Salatiga, sedangkan yang lainya diatas 10 persen. Ini mengindikasikan usaha pemerintah dalam menurunkan tingkat kemiskinan belum merata ke seluruh kabupaten/kota. Untuk itu perlu dicari faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kemiskinan di seluruh kabupaten/kota, sehingga dapat digunakan sebagai acuan bagi tiap kabupaten/kota dalam usaha mengatasi kemiskinan.
Proses pembangunan memerlukan pendapatan nasional yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang cepat. Di banyak negara syarat utama bagi terciptanya penurunan kemiskinan yang tetap adalah pertumbuhan ekonomi. pertumbuhan ekonomi memang tidak cukup untuk mengentaskan kemiskinan tetapi biasanya pertumbuhan ekonomi merupakan sesuatu yang dibutuhkan, walaupun begitu pertumbuhan ekonomi yang bagus pun menjadi tidak akan berarti bagi penurunan masyarakat miskin jika tidak diiringi dengan pemerataan pendapatan (Wongdesmiwati, 2009). 
Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator untuk melihat keberhasilan pembangunan dan merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi pengurangan tingkat kemiskinan. Adapun syarat kecukupannya ialah bahwa pertumbuhan ekonomi tersebut efektif dalam mengurangi tingkat kemiskinan. Artinya, pertumbuhan tersebut hendaklah menyebar disetiap golongan pendapatan, termasuk di golongan penduduk miskin. Secara langsung, hal ini berarti pertumbuhan itu perlu dipastikan terjadi di sektor-sektor dimana penduduk miskin bekerja yaitu sektor pertanian atau sektor yang padat karja. Adapun secara tidak langsung, diperlukan pemerintah yang yang cukup efektif mendistribusikan manfaat pertumbuhan yang mungkin didapatkan dari sektor modern seperti jasa yang padat modal (Hermanto Siregar dan Dwi Wahyuniarti, 2008).
Penelitian yang dilakukan Wongdesmiwati menemukan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kemiskinan. Untuk menurunkan tingkat kemiskinan maka pertumbuhan ekonomi harus ditingkatkan.
Kebijakan upah minimum juga berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan. Gagasan upah minimum yang sudah dimulai dan dikembangkan sejak awal tahun 1970-an bertujuan untuk mengusahakan agar dalam jangka panjang besarnya upah minimum paling sedikit dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum (KHM), sehingga diharapkan dapat menjamin tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan hidup beserta keluarga dan sekaligus dapat mendorong peningkatan produktivitas kerja dan kesejahteraan buruh (Sonny Sumarsono, 2003).
Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : Per-01/Men/1999, Upah minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap. Yang dimaksud dengan tunjangan tetap adalah suatu jumlah imbalan yang diterima pekerja secara tetap dan teratur pembayarannya, yang tidak dikaitkan dengan kehadiran ataupun pencapaian prestasi tertentu. Kebijakan penetapan upah minimum oleh pemerintah adalah kebijakan yang diterapkan dengan tujuan sebagai jaring pengaman terhadap pekerja atau buruh agar tidak diekspolitasi dalam bekerja dan mendapat upah yang dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum (KHM). Jika kebutuhan hidaup minimum dapat terpenuhi, maka kesejahteraan pekerja meningkatkan dan terbebas dari masalah kemiskinan.
Peraturan Menteri Nomor 17, tahun 2005 (Per-17/Men/VIII/2005), KHL merupakan standar kebutuhan yang harus dipenuhi seorang pekerja atau buruh lajang untuk dapat hidup layak, baik fisik, non fisik, dan sosial selama satu bulan. Seorang pekerja dianggap hidup layak jika upahnya mampu memenuhi kebutuhan 3000 kalori per hari. Oleh karena itu, KHL menjadi salah satu pertimbangan dalam penetapan upah minimum. Ada 7 komponen KHL yang selalu dihitung, yaitu makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi, serta rekreasi dan tabungan.
Faktor lain yang berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan adalah pendidikan. Teori pertumbuhan baru menekankan pentingnya peranan pemerintah terutama dalam meningkatkan pembangunan modal manusia (human capital) dan mendorong penelitian dan pengembangan untuk meningkatkan produktivitas manusia. Kenyataannya dapat dilihat dengan melakukan investasi pendidikan akan mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang diperlihatkan dengan meningkatnya pengetahuan dan keterampilan seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka pengetahuan dan keahlian juga akan meningkat sehingga akan mendorong peningkatan produktivitas kerjanya. Perusahaan akan memperoleh hasil yang lebih banyak dengan memperkerjakan tenaga kerja dengan produktivitas yang tinggi, sehingga perusahaan juga akan bersedia memberikan gaji yang lebih tinggi bagi yang bersangkutan. Di sektor informal seperti pertanian, peningkatan ketrampilan dan keahlian tenaga kerja akan mampu meningkatkan hasil pertanian, karena tenaga kerja yang terampil mampu bekerja lebih efisien. Pada akhirnya seseorang yang memiliki produktivitas yang tinggi akan memperoleh kesejahteraan yang lebih baik, yang diperlihatkan melalui peningkatan pendapatan maupun konsumsinya. Rendahnya produktivitas kaum miskin dapat disebabkan oleh rendahnya akses mereka untuk memperoleh pendidikan (Rasidin K. Sitepu dan Bonar M. Sinaga, 2004).
Undang-Undang Dasar RI 1945 Pasal 31 ayat 2 menyebutkan bahwa setiap warga Negara wajib mengikuti pendidkan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Pasal 34 ayat 2 menyebutkan bahwa pemerintah pusat dan daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, sedangkan dalam ayat 3 menyebutkan bahwa wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat. Konsekuensinya, pemerintah pusat dan daerah wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruh peserta didik pada tingkat pendidikan dasar (SD dan SMP) serta satuan pendidikan lain yang sederajat, agar mampu melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Keterkaitan kemiskinan dan pendidikan sangat besar karena pendidikan memberikan kemampuan untuk berkembang lewat penguasaan ilmu dan keterampilan. Pendidikan juga menanamkan kesadaran akan pentingnya martabat manusia. Mendidik dan memberikan pengetahuan berarti menggapai masa depan. Hal tersebut harusnya menjadi semangat untuk terus melakukan upaya mencerdaskan bangsa (Criswardani Suryawati, 2005).
Penelitian yang dilakukan oleh Hermanto Siregar dan Dwi Wahyuniarti menemukan bahwa pendidikan berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan sangat penting dalam menuninkan tingkat kemiskinan.
Pembangunan bidang pendidikan di Jawa Tengah selama ini telah dilakukan melalui upaya pengembangan dan relevansi pendidikan sesuai dengan tujuan perkembangan iptek dan kebutuhan pasar kerja, dengan memperhatikan sistem pendidikan nasional yang berjalan dan juga sasaran komitmen-komitmen Internasional di bidang pendidikan. Akses masyarakat terhadap fasilitas-fasilitas pendidikan dapat dilihat dari angka partisipasi kasar (APK) SD/MI 107, 17 % menjadi 109, 12 %, SMP/MTS meningkat dari 71, 55 % menjadi 77, 68 % dan proporsi penduduk buta huruf dari 13, 27 % menjadi 10, 46 % masing-masing pada tahun 2003 dan tahun 2007 (Bappeda Jateng, 2008).
Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan adalah pengangguran. Salah satu unsur yang menentukan kemakmuran suatu masyarakat adalah tingkat pendapatan. Pendapatan masyarakat mencapai maksimum apabila kondisi tingkat penggunaan tenaga kerja penuh (full employment) dapat terwujud. Pengangguran akan menimbulkan efek mengurangi pendapatan masyarakat, dan itu akan mengurangi tingkat kemakmuran yang telah tercapai. Semakin turunya tingkat kemakmuran akan menimbulkan masalah lain yaitu kemiskinan (Sadono Sukirno, 2003). 
Tingkat pengangguran di Jawa Tengah tergolong masih tinggi, dimana masih dalam kisaran diatas 5 persen. Tingkat pengangguran di Jawa Tengah tidak stabil, mengalami beberapa kali fase naik turun. Pada tahun 2003, tingkat pengangguran sebesar 5,66 persen, kemudian naik menjadi 6,54 persen di tahun 2004. Peningkatan tingkat penggangguran terjadi secara beruntun dari tahun 2006 dan tahun 2007, dari 5,88 di tahun 2005 menjadi 7,29 di tahun 2006 dan 7,7 di tahun 2007.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, di Provinsi Jawa Tengah dalam peri ode 2003-2007 terjadi fenomena penurunan tingkat kemiskinan, tetapi rata-rata tingkat kemiskinannya dibanding provinsi-provinsi lain di pulau Jawa adalah yang paling tinggi. Belum meratanya hasil usaha pemerintah dalam mengatasi masalah kemiskinan ke seluruh kabupaten/kota menjadi penyebabnya, padahal dampak kemiskinan sangat buruk terhadap perekonomian. Untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kemiskinan di seluruh kabupaten/kota, sehingga dapat digunakan sebagai dasar kebijakan bagi tiap kabupaten/kota dalam usaha mengatasi kemiskinan.

1.2 Rumusan Masalah
Tingkat kemiskinan di Jawa Tengah tahun 2003 hingga tahun 2008 mengalami periode yang relatif baik karena mengalami trend yang menurun dari 21,78 persen di tahun 2003 menjadi 19,23 persen di tahun 2008, meskipun sempat mengalami kenaikan di tahun 2006 menjadi 22,16. Rata-rata tingkat kemiskinan Jawa Tengah masih yang paling tinggi dibanding dengan provinsi lain di pulau Jawa. Penyebabnya adalah belum meratanya hasil dari usaha pemerintah dalam mengatasi masalah kemiskinan keseluruh kabupaten/kota. Untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang dapat berpenganih terhadap tingkat kemiskinan di seluruh kabupaten/kota agar dapat diketahui faktor-faktor yang perlu dipacu untuk mengatasi masalah kemiskinan.
Faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan adalah pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan disertai pemerataan hasil pertumbuhan keseluruh sektor usaha sangat dibutuhkan dalam upaya menurunkan tingkat kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi Maka untuk mempercepat penurunkan tingkat kemiskinan, pertumbuhan ekonomi harus ditingkatkan.
Faktor lain yang mempengaruhi tingkat kemiskinan adalah upah minimum. Upah minimum ditetapkan berdasarkan kebutuhan hidup layak yang dibutuhkan pekerja dengan harapan dapat mendorong peningkatan kesejahteraan pekerja sehingga tingkat kemiskinan akan berkurang.
Selain itu, pendidikan dan pengangguran juga berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan. Keterkaitan kemiskinan dan pendidikan sangat besar karena pendidikan memberikan kemampuan untuk berkembang lewat penguasaan ilmu dan keterampilan yang pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas kerja dan memperbesar peluang kesempatan memperoleh pekerjaan yang lebih layak dan memperoleh kemakmuran. Pendapatan masyarakat maksimum tercapai saat perekonomian mencapai kesempatan kerja penuh. Semakin meningkatnya tingkat pengangguran akan semakin mengurangi pendapatan masyarakat yang berakibat naiknya tingkat kemiskinan.
Atas dasar permasalahan diatas maka persoalan penelitian yang ingin dipecahkan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan ?
2. Bagaimana pengaruh upah minimum terhadap tingkat kemiskinan ?
3. Bagaimana pengaruh pendidikan terhadap tingkat kemiskinan ?
4. Bagaimana pengaruh tingkat pengangguran terhadap tingkat kemiskinan ?
5. Bagaimana perbedaan kondisi tingkat kemiskinan di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah ?

1.3 Tujuan dan Kegunaan Tujuan Penelitian 
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas maka tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi, upah minimum, pendidikan, dan pengangguran terhadap tingkat kemiskinan.
2. Menganalisis perbedaan kondisi tingkat kemiskinan di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah.
Kegunaan penelitian :
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada :
1. Pengambil Kebijakan
Bagi pengambil kebijakan, penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi yang berguna di dalam memahami faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan sehingga dapat diketahui faktor-faktor yang perlu dipacu untuk mengatasi masalah kemiskinan.
2. Ilmu Pengetahuan
Secara umum hasil penelitian ini diharapkan menambah khasanah ilmu ekonomi khususnya ekonomi pembangunan. Manfaat khusus bagi ilmu pengetahuan yakni dapat melengkapi kajian mengenai tingkat kemiskinan dengan mengungkap secara empiris faktor-faktor yang mempengaruhinya.

1.4 Sistematika Penulisan 
Bab I Pendahuluan
Merupakan pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang masalah yang terdiri dari tingkat kemiskinan di Indonesia serta fenomena tingkat kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Pustaka
Menyajikan landasan teori tentang, teori kemiskinan, pengertian pertumbuhan ekonomi, hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan, teori upah minimum, hubungan antara upah minimum dan tingkat kemiskinan, teori pendidikan, hubungan antara pendidikan dan tingkat kemiskinan, teori penganguran, hubungan antara penganguran dan tingkat kemiskinan. Disamping itu pada bab ini juga terdapat penelitian terdahulu, kerangka pemikiran dan hipotesis yang dapat diambil.
Bab III Metode Penelitian
Pada bab ini dipaparkan tentang metode penelitian yang meliputi variabel penelitian dan definisi operasional, jenis dan sumber data, dan metode analisis.
Bab IV Hasil dan Pembahasan
Pada bab ini dipaparkan tentang deskripsi obyek penelitian, yaitu kondisi tingkat kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, upah minimum, pendidikan, dan pengangguran di Jawa Tengah, analisis data dan pembahasan.
Bab V Penutup
Pada bab ini disampaikan kesimpulan dan saran yang dapat diambil dari penelitian yang dilakukan.
TESIS PENGARUH MODEL QUANTUM LEARNING TERHADAP PENCAPAIAN KOMPETENSI BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKN) DENGAN MEMPERHATIKAN MINAT BELAJAR

TESIS PENGARUH MODEL QUANTUM LEARNING TERHADAP PENCAPAIAN KOMPETENSI BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKN) DENGAN MEMPERHATIKAN MINAT BELAJAR


(KODE : PASCSARJ-0150) : TESIS PENGARUH MODEL QUANTUM LEARNING TERHADAP PENCAPAIAN KOMPETENSI BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (PKN) DENGAN MEMPERHATIKAN MINAT BELAJAR (PROGRAM STUDI : TEKNOLOGI PENDIDIKAN)




BAB I
PENDAHULUAN 


A. Latar Belakang
Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya. Sumber daya manusia yang berkualitas akan bisa mengatasi keterbatasan yang ada dengan pemikiran dan inovasi yang dikembangkannya. Lebih-lebih di era globalisasi dewasa ini yang serba maju dibidang teknologi dan informasi, membutuhkan keberadaan sumber daya manusia yang memiliki kualitas yang baik, sehingga mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan Sumber Daya Manusia (SDM) memegang peranan yang sangat penting dan strategis guna menghadapi tantangan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju dan canggih. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut telah membawa kita dalam era dengan masyarakat yang tidak dapat berkembang tanpa ilmu pengetahuan, karena setiap upaya peningkatan kesejahteraan hidup memerlukan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tuntutan globalisasi secara bersama-sama telah mengakibatkan persaingan yang semakin ketat tentang perlunya penyediaan SDM yang berkualitas, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kualitas SDM tidak bisa terlepas dari dunia pendidikan, dan pendidikan dapat dikatakan sebagai usaha sadar memanusiakan manusia atau membudayakan manusia. Pendidikan adalah proses sosialisasi menuju kedewasaan intelektual, sosial, moral, sesuai dengan kemampuan dan martabatnya sebagai manusia. Bahkan pendidikan diyakini sebagai kunci keberhasilan kompetisi masa depan.
UU RI No 20 Tahun 2003 pasal 1 menjelaskan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Lebih lanjut dalam pasal 3 diamanatkan mengenai fungsi dan tujuan pendidikan, bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Depdiknas, 2003 : 6-11).
Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan khususnya pendidikan dasar dan menengah (Depdiknas, 2001 : 1). Disamping permasalahan tersebut, permasalahan klasik di dunia pendidikan yang sampai saat ini belum ada langkah-langkah strategis dari pemerintah untuk mengatasinya antara lain adalah kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan, rendahnya tingkat relevansi pendidikan dengan kebutuhan dunia kerja. Sebagian besar masyarakat merasa hanya memperoleh kesempatan pendidikan masih terbatas di tingkat sekolah dasar. Program pendidikan dasar masih belum merata di wilayah Indonesia, kurikulum pendidikan yang belum menyentuh pada kebutuhan dunia kerja, sarana prasarana pendidikan banyak yang kurang memadai bahkan sudah ketinggalan jaman, kualitas guru yang rendah, Dengan kondisi yang seperti ini maka harapan untuk dimilikinya sumber daya manusia yang berkualitas masih jauh dari kenyataan.
Kegiatan pendidikan adalah suatu proses sosial yang tidak dapat terjadi tanpa interaksi antar pribadi. Belajar adalah suatu proses pribadi, tetapi juga proses sosial yang terjadi ketika masing-masing orang berhubungan dengan yang lain dan membangun pengertian dan pengetahuan bersama. Pengetahuan ditemukan, dibentuk, dan dikembangkan oleh siswa. Guru menciptakan kondisi dan situasi yang memungkinkan siswa membentuk makna dari bahan-bahan pelajaran melalui suatu proses belajar dan menyimpannya dalam ingatan yang sewaktu-waktu dapat diproses dan dikembangkan lebih lanjut.
Cara pengemasan pengalaman belajar yang dirancang guru sangat berpengaruh terhadap kebermaknaan pengalaman bagi para siswa. Pengalaman belajar lebih menunjukkan kaitan unsur-unsur konseptual menjadikan proses pembelajaran lebih efektif. Kaitan konseptual yang dipelajari dengan sisi bidang kajian yang relevan akan membentuk skema (konsep), sehingga siswa akan memperoleh keutuhan dan kebulatan pengetahuan (Williams, 1976 : 116).
Mengajar tidak lagi dipahami sebagai proses menyampaikan ilmu pengetahuan dari guru ke peserta didik, melainkan lebih sebagai tugas mengatur aktivitas-aktivitas dan lingkungan yang bersifat kompleks dari peserta didik dalam usahanya mencapai tujuan pembelajaran. Guru bukanlah satu-satunya sumber belajar. Penerapan pembelajaran yang berpusat pada guru, dimana peserta didik terbiasa menerima ilmu pengetahuan secara instan, menjadikannya kurang aktif dalam menggali ilmu pengetahuan dari berbagai sumber belajar. Sehingga untuk menyiasati perlu membuat strategi pembelajaran yang disesuaikan dengan materi pelajaran dan kemampuan dasar peserta didik (siswa). Strategi pembelajaran yang tepat akan membina siswa untuk berpikir mandiri dan menumbuhkan daya kreatifitas, dan sekaligus adaptif terhadap berbagai situasi.
Guru perlu berusaha mengembangkan kompetensi dan kemampuan siswa. Kegiatan belajar mengajar harus lebih menekankan pada proses daripada hasil. Setiap orang pasti mempunyai potensi. Paradigma lama mengklasifikasikan siswa dalam kategori prestasi belajar seperti dalam penilaian ranking dan hasil-hasil tes. Paradigma lama ini menganggap kemampuan sebagai sesuatu yang sudah mapan dan tidak dipengaruhi oleh usaha dan pendidikan. Paradigma baru mengembangkan kompetensi dan potensi siswa berdasarkan asumsi bahwa usaha dan pendidikan bisa meningkatkan kemampuan mereka. Tujuan pendidikan adalah meningkatkan kemampuan siswa sampai setinggi yang dia bisa.
Penerapan sistem pengajaran dengan menggunakan model atau metode yang tepat akan memberikan suatu motivasi belajar yang lebih baik bagi anak didik, sehingga lebih berminat dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Dalam meningkatkan kualitas proses belajar mengajar tersebut selain pendidiknya harus kreatif, dituntut pula adanya partisipasi aktif dari siswa dalam mengikuti proses belajar mengajar. Suasana kelas perlu direncanakan dan dibangun sedemikian rupa sehingga siswa mendapatkan kesempatan untuk berinteraksi satu sama lain. Dalam interaksi ini, siswa akan membentuk komunitas yang memungkinkan mereka untuk mencintai proses belajar dan mencintai satu sama lain. Dalam suasana belajar yang penuh dengan persaingan dan pengisolasian siswa, sikap dan hubungan yang negatif akan terbentuk dan mematikan semangat siswa. Suasana seperti ini akan menghambat pembentukan pengetahuan secara aktif. Oleh karena itu, pengajar perlu menciptakan suasana belajar sedemikian rupa sehingga siswa bekerja sama secara gotong royong.
Dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas melalui jalur pendidikan khususnya kelompok mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan kepribadian dimaksudkan untuk peningkatan kesadaran dan wawasan peserta didik akan status, hak, dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia. Kesadaran dan wawasan termasuk wawasan kebangsaan, jiwa dan patriotisme bela negara, penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, kemajemukan bangsa, pelestarian lingkungan hidup, kesetaraan gender, demokrasi, tanggung jawab sosial, ketaatan pada hukum, ketaatan membayar pajak, dan sikap serta perilaku anti korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Dilihat dari cakupan pembelajaran mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang begitu strategis bagi penyiapan sumber daya manusia pembangunan dimasa depan, sudah seharusnya pihak-pihak yang terkait dengan hal ini memberikan perhatian lebih, namun kenyataan dilapangan sungguh berbeda, karena seringkali mata pelajaran ini dianggap tidak begitu penting dibandingkan dengan mata pelajaran yang diujikan secara nasional, siswa kurang begitu berminat dalam mengikuti pembelajaran mata pelajaran ini, sehingga pencapaian kompetensi belajarnya kurang bisa memenuhi harapan.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 tahun 2005 pasal 6 ayat 5 mengamanatkan bahwa, semua kelompok mata pelajaran sama pentingnya dalam menentukan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah. Oleh karenanya perlu dicarikan jalan keluar bagaimana agar siswa memiliki minat dalam mengikuti pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang pada akhirnya bisa meningkatkan pencapaian kompetensi belajarnya.
Tugas guru disamping menyampaikan materi juga menciptakan suasana dan lingkungan belajar yang kondusif serta menarik bagi siswa untuk lebih giat belajar dan dapat memotivasi siswa untuk terlibat aktif dalam proses belajarnya. Sehingga diharapkan dengan rancangan pembelajaran yang tepat yang dibuat oleh guru maka siswa akan memiliki prestasi belajar yang maksimal. Untuk itu guru perlu menguasai dan dapat menerapkan berbagai model pembelajaran, agar dapat mencapai tujuan pembelajaran yang sangat beranekaragam dan kompleks. Tidaklah cukup bagi guru hanya menggantungkan diri pada satu pendekatan atau model pembelajaran. Bermodalkan kemampuan melaksanakan berbagai model pembelajaran, guru dapat memilih model yang sangat baik dan tepat untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu atau yang sangat sesuai dengan lingkungan belajar atau sekelompok siswa tertentu serta dapat melibatkan secara aktif dalam proses belajar mengajar. Karena pada hakekatnya belajar adalah suatu kegiatan yang dilakukan siswa, bukan sesuatu yang dilakukan terhadap siswa.
Model Quantum Learning merupakan salah satu model pembelajaran yang dilakukan dengan adanya penggubahan bermacam-macam interaksi yang ada di dalam dan di sekitar situasi belajar, antara lain dengan menerapkan metode pembelajaran bervariasi serta pengkondisian suasana pembelajaran yang menyenangkan sehingga dapat merangsang minat siswa. Dengan demikian siswa yang tadinya tidak berminat dengan sebuah mata pelajaran akan menjadi berminat untuk mempelajarinya. Manfaat lainnya adalah siswa akan mudah mempelajari konsep sesuai dengan tujuan pembelajaran. Dunne & Wragg dalam Anwar Jasin (1996 : 12-13) menjelaskan bahwa pembelajaran efektif mempunyai beberapa karakteristik antara lain memudahkan murid belajar dan merupakan sesuatu yang bermanfaat seperti fakta, ketrampilan, nilai dan konsep bagaimana hidup serasi dengan sesama, atau sesuatu hasil belajar yang diinginkan.
Quantum Learning berakar dari upaya Dr. Georgi Lozanov, seorang pendidik berkebangsaan Bulgaria yang bereksperimen dengan apa yang disebutnya sebagai "suggestology" atau "suggestopodia". Prinsipnya adalah bahwa sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar, dan setiap detail apapun memberi sugesti positip dan negatip. Beberapa tekhnik yang digunakan adalah mendudukkan murid dengan nyaman, memasang musik latar dalam kelas, meningkatkan partisipasi individu, menggunakan poster untuk memberi kesan menonjolkan informasi dan menyediakan guru-guru yang terlatih baik dalam seni pengajaran sugestif.
Quantum Learning mencakup aspek-aspek penting dalam menyeimbangkan otak kanan dan otak kiri, pelayanan pada gaya belajar visual, auditorial dan kinestik, belajar berdasar pengalaman serta simulasi/permainan. Sejalan dengan itu guru (pengajar) diharapkan mempunyai kemampuan dan ketrampilan dalam pembelajaran mata pelajaran termasuk mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
Dengan penggunaan model Quantum Learning yang memadukan metode pembelajaran yang variatif serta pengkondisian suasana belajar yang menyenangkan, dengan mendudukkan murid dengan nyaman, memasang musik latar dalam kelas, meningkatkan partisipasi individu, menggunakan poster untuk memberi kesan menonjolkan informasi, dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan diperkirakan akan dapat merangsang minat dan kecerdasan emosi siswa. Dengan demikian siswa yang tadinya tidak berminat mengikuti pembelajaran mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan akan menjadi berminat untuk mengikutinya. Manfaat lainnya adalah siswa akan mudah mempelajari konsep sesuai dengan tujuan pembelajaran yang pada gilirannya akan dapat mendorong peningkatan pencapaian kompetensi belajar siswa, karena dengan model quantum learning siswa akan mudah mempelajari konsep sesuai dengan tujuan pembelajaran, dan memudahkan siswa belajar serta merupakan sesuatu yang bermanfaat seperti fakta, ketrampilan, nilai dan konsep bagaimana hidup serasi dengan sesama, atau sesuatu hasil belajar yang diinginkan. (Dunne & Wragg dalam Anwar Jasin, 1996 : 12-13).
Disamping itu untuk mencapai tujuan pembelajaran, diperlukan adanya minat siswa untuk mengikuti pembelajaran. S.C. Utami Munandar (1992 : 11) menyatakan bahwa prestasi seseorang selalu dipengaruhi macam dan intensitas minatnya, anak yang berminat terhadap matematika akan bekerja keras untuk mencapai nilai yang tinggi dalam matematika. Minat belajar adalah keseluruhan daya penggerak psikis dari dalam siswa yang mampu membangkitkan atau menimbulkan kegiatan belajar, menjamin kelangsungan kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar itu demi mencapai tujuan belajar, yang terwujud dalam perilaku (1) ketertarikan pada suatu objek tertentu, (2) respon terhadap suatu objek tertentu, dan (3) keinginan terhadap sesuatu hal.
Ketertarikan, respon dan keinginan terhadap suatu hal, misalnya terhadap kegiatan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan akan dapat mendorong siswa dengan sungguh-sungguh mengikuti proses pembelajaran, dan mempelajari materi pelajaran yang disampaikan oleh guru, sehingga akan dapat meningkatkan pencapaian kompetensi belajar Pendidikan Kewarganegaraan.
Kenyataan dilapangan masih banyak guru mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang masih belum beranjak dari model pembelajaran lama, seperti ekspositori yang cenderung teacher centered learning, siswa lebih banyak bersikap pasif, mereka lebih banyak menerima informasi dari guru dalam bentuk ceramah, dan tanya jawab, kemudian melakukan peningkatan pemahaman melalui pemberian tugas yang di berikan oleh guru. Pada model ekspositori ini keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran sangatlah sedikit. Semua rancangan pembelajaran sudah dipersiapkan sepenuhnya oleh guru, dan siswa tinggal menerima dan mengikuti saja dan menurut apa yang diperintahkan guru, kondisi ini sangat tidak menguntungkan karena sering menimbulkan rasa bosan, masa bodoh, dan rasa malas siswa dalam mengikuti pelajaran bahkan cenderung sekedarnya, tidak berminat mengikuti pelajaran dan bahkan merasa tertekan yang akibatnya pencapaian kompetensinya kurang baik., guru belum berani mencobakan model pembelajaran lain seperti model quantum learning yang lebih mengedepankan kepentingan perkembangan pribadi siswa, dan kebebasan berpikir dan berkreasi serta memberikan rasa senang dan nyaman mengikuti proses pembelajaran, yang menjadikan pencapaian kompetensi belajar siswa meningkat.
Berdasar latar belakang dan perkiraan-perkiraan yang penulis kemukakan perlu diuji kebenarannya, untuk itulah kiranya perlu adanya penelitian mengenai pendekatan pembelajaran quantum, dan minat belajar serta pengaruhnya terhadap pencapaian kompetensi belajar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan siswa SMA Negeri di Kabupaten X.

B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang di atas dapat diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut ;
1. Masih rendahnya mutu sumber daya manusia Indonesia sehingga tidak mampu bersaing untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang ada di masyarakat. Bagaimanakah langkah yang dapat diambil dalam rangka peningkatan mutu sumber daya manusia di Indonesia ?
2. Pencapaian kompetensi belajar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang rendah, jauh dari kriteria kelulusan yang ideal membuktikan bahwa banyak siswa yang kurang menguasai materi pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Bagaimanakah langkah yang dapat diterapkan untuk meningkatkan pencapaian kompetensi belajar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan ?
3. Proses pembelajaran mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan belum terlaksana dengan nyaman dan menyenangkan, sehingga siswa kurang berminat dalam mengikuti pembelajaran mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Bagaimanakan proses pembelajaran yang tepat agar siswa dapat merasa nyaman dan senang mengikuti pembelajan Pendidikan Kewarganegaraan ?
4. Belum digunakannya model pembelajaran yang dapat mempermudah pemahaman siswa terhadap materi pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan yang mampu meningkatkan keaktifan siswa. Bagaimanakah model pembelajaran yang tepat sehingga dapat mempermudah pemahaman siswa terhadap materi pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan mampu meningkatkan keaktifan siswa dalam mengikuti proses pembelajaran ?
5. Belum tersentuhnya faktor-faktor lain seperti minat belajar yang pada kenyataannya sangat berpengaruh terhadap peningkatan prestasi dan hasil belajar siswa. Bagaimanakah cara yang dapat ditempuh untuk mengoptimalkan faktor minat belajar ?

C. Pembatasan Masalah
Agar permasalahan yang diteliti tidak terlalu luas, maka peneliti dalam hal ini membatasi permasalahan sebagai berikut ;
1. Usaha peningkatan pencapaian kompetensi belajar siswa pada mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
2. Masalah model pembelajaran yang tepat diterapkan. Model quantum learning diharapkan mampu menciptakan suasana nyaman dan menyenangkan, serta mampu meningkatkan keaktifan siswa.
3. Memperhatikan faktor minat belajar siswa yang diperkirakan juga berperan penting dalam usaha peningkatan pencapaian kompetensi belajar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.

D. Perumusan Masalah
Permasalahan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut ;
1. Apakah terdapat perbedaan pencapaian kompetensi belajar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan antara penerapan model quantum learning dengan model pembelajaran ekspositori ?
2. Apakah terdapat perbedaan pencapaian kompetensi belajar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan antara siswa yang memiliki minat belajar tinggi dan rendah ?
3. Apakah terdapat interaksi pengaruh terhadap pencapaian kompetensi belajar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan antara model pembelajaran dan minat belajar siswa ?

E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :
1. Perbedaan pencapaian kompetensi belajar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan antara penerapan model quantum learning dengan model pembelajaran ekspositori
2. Perbedaan pencapaian kompetensi belajar mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan antara siswa yang memiliki minat belajar tinggi dan rendah.
3. Interaksi pengaruh terhadap pencapaian kompetensi belajar Pendidikan Kewarganegaraan antara model pembelajaran dan minat belajar.

F. Manfaat Penelitian
Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Segi Teoritis
Sebagai sumbangan ilmu pengetahuan mengenai upaya peningkatan pencapaian kompetensi belajar siswa dengan digunakannya beberapa alternative model pembelajaran, antara lain model pembelajaran quantum learning, terutama dari segi peningkatan minat belajar siswa.
2, Segi Praktis
a. Bagi Guru
1) Menawarkan alternatif model pembelajaran yang mampu untuk meningkatkan minat belajar pada siswa, sehingga akan tercipta proses pembelajaran yang aktif, kreatif dan efektif.
2) Meningkatkan kualitas komunikasi dengan siswa dalam proses pembelajaran.
b. Bagi siswa :
Menumbuhkan minat siswa sehingga diharapkan dapat meningkatkan pencapaian kompetensi belajarnya.
c. Bahan pertimbangan bagi dinas pendidikan dan pihak terkait dengan peningkatan mutu pendidikan dalam mengambil kebijakan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran melalui penggunaan model quantum learning.
TESIS POLA INTERAKSI KONFLIK DAN REAKTUALISASI PENDIDIKAN KARAKTER

TESIS POLA INTERAKSI KONFLIK DAN REAKTUALISASI PENDIDIKAN KARAKTER


(KODE : PASCSARJ-0149) : TESIS POLA INTERAKSI KONFLIK DAN REAKTUALISASI PENDIDIKAN KARAKTER (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN)




BAB I 
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan proses di mana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan, memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air, pelestarian nilai-nilai tradisi masyarakat yang merupakan modal dasar untuk memperkokoh rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Akan tetapi sampai saat ini pendidikan belum sepenuhnya berhasil membentuk individu yang memiliki keterampilan resolusi konflik serta gagal membentuk karakter, watak kepribadian yang berdampak pada degradasi moral dan kehancuran bangsa.
Sejak Indonesia merdeka, kebudayaan di berbagai tempat tidak mendapatkan tempat yang layak dan tidak memiliki ruang yang cukup untuk diekspresikan sehingga melahirkan berbagai akibat yang saat ini dialami bersama : gerakan pemisahan diri dari pusat, konflik sosial yang meluas, kredibilitas negara yang rendah, teror, dan masalah etnisitas (Abdullah 2006 : 63). Abdullah mengemukakan bahwa mengerasnya batas-batas kelompok (group boundaries) sebagai akibat langsung dari kesalahan sejarah dalam pengelolaan keragaman budaya. Mulai dari manajemen keragaman budaya di Indonesia hingga masalah ruang politik bagi keragaman budaya yang akhirnya menjadikan kita sekarang dihadapkan pada jalan panjang penataan persatuan dalam keragaman budaya (Abdullah 2006 : 65-79).
Setelah rezim Orde Baru berakhir, masalah konflik sosial yang disebabkan oleh perbedaan agama dan etnisitas yang belum hilang dari bumi Indonesia. Bahkan di era otonomi daerah ada kecenderungan agama dan etnisitas menguat. Lokalitas dan kembalinya etnisitas menumt Kalidjernih (2009) merupakan salah satu dampak globalisasi, selain homogenisasi dan hibridisasi. Di era globalisasi, identitas nasional tetap kuat, khususnya dalam hal yang bertalian dengan hak-hak legalitas dan warganegara, tetapi identitas lokal, regional dan komunitas menjadi semakin signifikan.
Pada tingkat nasional, fenomena agama dan etnisitas dalam dinamika politik lokal di Indonesia dapat dipahami sebagai keinginan untuk menunjukkan eksistensi dan identitas yang terkait dengan permasalahan ketidakadilan yang selama ini mereka rasakan dan terpaksa mereka terima. Pada tingkat lokal, akar permasalahan etnisitas biasanya berhulu pada aspek yang berkaitan dengan ikatan primordial, terutama suku dan agama, serta berkaitan dengan aspek keruangan di mana para pelaku berada (biasanya elite dan institusi lokal) yang membutuhkan ruang gerak (space) untuk mewujudkan eksistensi dan identitasnya sesuai dengan keinginan mereka (Setyanto dan Pulungan 2009 : 20).
Selanjutnya bangsa Indonesia merupakan bangsa yang pluralistik dengan keanekaragaman suku bangsa (etnis), budaya, adat istiadat, bahasa dan agama. Setiap suku bangsa atau etnis memiliki identitas kebudayaan, adat istiadat, dan bahasa sendiri yang khas. Keanekaragaman suku bangsa atau etnis dengan keunikan kebudayaan dan adat istiadatnya merupakan kekayaan bangsa Indonesia. Namun di lain sisi keanekaragaman dan perbedaan tersebut merupakan potensi untuk memicu terjadinya konflik budaya dan konflik sosial yang pada akhirnya mengancam terjadinya disintegrasi pada bangsa Indonesia, jika tidak mampu dikelola dengan baik. Hasil studi dari Suwarsih Warnaen (2002 : 44) menunjukan bahwa salah satu masalah serius yang dihadapi bangsa Indonesia sebagai bangsa multietnis adalah masalah integrasi nasional. Ekspresi rasa kesukubangsaan tampak masih sering menimbulkan ketegangan dalam hubungan antar suku bangsa.
Konflik adalah aspek instrinsik dan tidak dihindari dalam perubahan nilai. Konflik merupakan ekspresi heterogenitas kepentingan, nilai dan kenyakinan yang timbul oleh perubahan sosial. Namun cara kita menangani konflik adalah persoalan kebiasaan dan pilihan. Setiap pilihan resoluasi konflik yang diambil selalu mempertimbangkan kesesuaian-kesesuaian budaya dan lingkungan dimana resolusi konflik itu dipergunakan, sehingga dapat menghindari hambatan-hambatan kultural dan structural sosial (Salahudin, 2002;34).
Sementara itu perkembangan kreatifitas individu, menurut Simmel (Munandar, 1988 : 65-66) menuntut untuk menginternalisasikan produk budaya obyektif yang ada dalam kesadaran subyektifnya meskipun kenyataan subyektif ini jarang sempurna dan mungkin justru menghasilkan ketegangan-ketegangan baru. Meskipun kreativitas individu ini dapat menimbulkan ketegangan baru atau konflik, namun konflik dapat diarahkan sebagai pemeliharaan solidaristas, menciptakan aliansi, mengaktifkan peranan individu yang terisolasi dan sebagai sarana komunikasi sehingga posisi masing-masing lawan yang berkonflik saling diketahui.
Konflik sosial cenderung di nilai banyak orang sebagai sesuatu yang buruk. Pandangan seperti ini ada benarnya walaupun tidak selumhnya, karena secara teoritik konflik di samping memiliki beberapa dampak negatif ternyata konflik juga memiliki sejumlah fungsi yang positif. Dari segi negatif, konflik menjadi pengganggu ketertiban sosial, menimbulkan inefisiensi, menciptakan ketidakstabilan, menyulut persengketaan dan menyebabkan kehancuran. Sedangkan segi positifnya, konflik dapat menjadi pencegah bagi terciptanya konflik yang lebih serius, sebagai pemacu kreativitas dan inovasi masyarakat, sarana mempercepat kolusi sosial, dan mempakan alat saling kendali antar orang atau kelompok, antar pemerintah dan masyarakat yang diperintahnya (Amstuts, dalam Harjadmo, 1996 : 37)
Konflik dalam bentuk kekerasan terjadi bukan hanya dalam suatu masyarakat atau negara, tetapi juga di kampus, meskipun dalam skala yang sedang. Konflik atau kekerasan diantara mahasiswa akhir-akhir ini meningkat. Peningkatan konflik/kekerasan ini pada umumnya merupakan suatu masalah yang serius, misalnya : membawa senjata tajam, perkelahian fisik, mengancam mahasiswa lain dan dosen, menggunakan narkotika, dan sebagainya. Konflik atau kekerasan antar mahasiswa di Indonesia telah meningkat dalam bentuk perkelahian fisik secara masal atau tawuran yang merupakan masalah yang paling pelik bagi perguruan tinggi. Selain itu, banyak mahasiswa yang juga terlibat dalam penyalahgunaan narkoba dan obat-obat terlarang, perampokan, perusakan fasilitas kampus dan fasilitas umum serta kekerasan yang merusak lainnya, bentuk lainnya dalam kegiatan perguruan tinggi sehari-hari yang mengancam mahasiswa lainnya dan dosen baik secara fisik maupun psikologis.
Ketika mahasiswa pada umumnya mempunyai konflik, mereka cenderung untuk menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalahnya. Banyak diantara mereka tidak mampu menyelesaikan konflik secara konstruktif. Dalam banyak kasus, konflik antara mahasiswa dan dosen diselesaikan oleh pihak yang memiliki otoritas. Keterlibatan pihak otoritas untuk memecahkan konflik antar mahasiswa dan dosen terjadi karena dalam banyak kasus tidak ada yang mengajari/memberikan contoh kepada mahasiswa tentang bagaimana menyelesaikan konflik dalam cara-cara yang konstruktif melalui pendekatan langsung (seperti melalui pembelajaran).
Menurut Freud (1856-1939) manusia itu bertingkahlaku atas dasar motif yang berada dalam pikiran alam bawah sadar “unconscious mind", sehingga seringkali manusia berbuat kejahatan atas pikiran yang tidak disadarinya. Di lain sisi dapat dikatakan bahwa tingkah laku manusia terjadi atas dasar dorongan seksual "sexual drive") yang mengarah kepada prinsip kesenangan (pleasure principle) yang dikendalikan oleh id-nya masing-masing. Sementara itu ego manusia memberikan pertimbangan terhadap tingkah laku manusia atas dasar prinsip realitas (reality principle), sedangkan super ego memberikan pertimbangan terhadap tingkah laku manusia atas dasar prinsip moral (morality principle) (Wade and Tavris, 1992; Craig, 1986; Ross and Vasta, 1990). 
Ini berarti bahwa kadar id, ego dan super ego setiap manusia berbeda-beda, sehingga manusia yang cenderung pada kejahatan akan dikuasai oleh id-nya, sementara manusia yang cenderung pada kebaikan akan dikuasai oleh super-egonya. Idenya yang kontroversial adalah cara pandangnya terhadap perilaku manusia yang menurutnya didasarkan oleh keinginan yang tidak disadari (unconscious desires) dan pengalaman masa lalu manusia berupa sexual desires dan sexual expression pada masa kanak-kanaknya.
Thomas Lickona (1992) mendukung pendapat Freud dengan mengatakan terdapat sepuluh tanda dari perilaku manusia yang menunjukkan arah kehancuran suatu bangsa yaitu : meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, ketidakjujuran yang membudaya, semakin tingginya rasa tidak hormat kepada orangtua, guru dan figur pemimpin, pengaruh peer group terhadap tindakan kekerasan, meningkatnya kecurigaan dan kebencian, penggunaan bahasa yang memburuk, penurunan etos kerja, menurunnya rasa tanggungjawab individu dan warga negara, meningginya perilaku merusak diri dan semakin kaburnya pedoman moral.
Oleh sebab itu perlu dilakukan suatu upaya penanggulangan melalui dunia pendidikan, Horace Mann (1796-1859) mengatakan bahwa sekolah negeri haruslah menjadi penggerak utama dalam pendikan yang bebas (free public education), dimana pendidikan sebaiknya bersifat universal, tidak memihak (non sectarian), dan bebas. Pendapat tersebut mendapatkan dukungan dari Mann maupun John Dewey, seorang filsuf pendidikan, tujuan utama pendidikan adalah sebagai penggerak efisiensi sosial, pembentuk kebijakan berkewarganegaraan (civic virtue) dan penciptaan manusia berkarakter, jadi bukan untuk kepentingan salah satu pihak tertentu (sectarian ends).
Namun disisi lain, menurut Kosasih Djahiri (Budimansyah dan Syaifullah, 2006 : 8) Visi pendidikan nilai-moral disamping membina, menegakkan dan mengembangkan perangkat tatanan nilai, moral dan norma luhur adalah juga pencerahan diri dan kehidupan manusia secara kaffah dan berahklak mulia serta kehidupan masyarakat Madaniah (Civil Society). Pendidikan nilai, moral dan norma membawakan misi : (1) memelihara/melestarikan dan membina nilai, moral dan norma menjadi lima sistem kehidupan yang mengikat (sistem nilai, sistem budaya, sistem sosial, sistem personal, dan sistem organik); (2) mengklarifikasi dan merevitalisasi sub (1) sebagai "moral conduct" diri dan kehidupan manusia/masyarakat/bangsa/dunia dimana yang bersangkutan berada; 3) memanusiakan (humanizing), membudayakan (civilizing) dan memberdayakan (empowering) manusia dan kehidupannya secara utuh (kaffah) dan beradab (norm/value based). Insan/masyarakat bermoral (morally mature/healthy person) dan masyarakat bangsa berkepribadian; (4) membina dan menegakkan "law and order" serta tatanan kehidupan yang manusiawi-demokratis-taat azas; (5) khusus dinegara kita, disamping hal-hal diatas juga membawakan misi pembinaan dan pengembangan manusia/masyarakat/bangsa yang modern namun tetap berkepribadian Indonesia (sebagaimana kualifikasi UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Paradigma lain yang mengharuskan pendidikan nilai, moral dan norma adalah : (1) kehidupan manusia menurut Talkot Parsons merupakan kehidupan yang organis (lahir-tumbuh-berkembang-mati/hilang), selalu memiliki lima sistem yang norm-based (sistem nilai, sistem budaya, sistem sosial, sistem personal, dan sistem organik) yang selalu mengacu pada salah satu atau sejumlah sumber norma baku yang hidup/diakui masyarakat yang bersangkutan. Khusus dalam masyarakat Indonesia sumber norma baku itu meliputi norma : agama (sebagai syariah yang normatif-imperatif dan agama sebagai norma budaya kehidupan beragama), norma budaya/cultural, hukum positif (regional-nasional-internasional), hukum/dalil keilmuan dan norma metafisis. Kelima sistem kehidupan organis yang diutarakan diatas ada dalam setiap aspek kehidupan (Ipoleksosbudag) dan diwarnai oleh salah satu atau sejumlah norma baku serta hidup dalam lingkaran kehidupan (diri pribadi dan keluarga; masyarakat sekitar dan bangsa-negara)dimana manusia berada, sehingga jika dijumlahkan sistem nilai-moral jumlahnya tak terhingga; (2) maka oleh karenanya lahirlah postulat bahwa kehidupan manusia sarat dengan perangkat nilai-moral dari pelbagai sumber norma; yang berakibat adanya keharusan buat manusia untuk mampu : memahami, menyerap/mempribadikan, menganut, memilih dan memilah/menentukan dan melaksanakan pilihan nilai-moral yang menurutnya paling baik/sesuai/fungsional. Kemahiran menentukan/menampilkan kelayakan pilihan nilai-moral inilah yang menentukan kualifikasi insan bermoral-tidaknya seseorang; (3) bahwa agama sebagai rujukan normatif utama bukan hanya karena tuntutan normatif-imperatif semata melainkan juga karena secara faktualnya manusia/masyarakat Indonesia selalu menyatakan dirinya beragama (sekalipun hanya "akuan" saja) serta selalu menetapkan rujukan kelayakan/kepatutan dari rujukan norma dan budaya agama (haram, halal, dosa, pahala). Bahkan sejumlah penelitian keilmuan (a.l. Prof. DR. Yus Rusyana) menentukan temuan bahwa budaya Indonesia umumnya diwarnai oleh rujukan normatif keagamaan/Islam. (Budimansyah dan Syaifullah, 2006 : 53-54)
Namun kenyataan yang terjadi Indonesia khususnya pendidikan karakter yang diungkapkan oleh Doni Koesoema A (2007) dalam bukunya "Pendidikan Karakter" mencatat alasan kemunduran pendidikan karakter, antara lain : (1) adanya perbedaan pandangan dan visi tentang pendidikan karakter sehingga tidak semua orang sepakat dan sepaham tentang pendidikan karakter; (2) filosofis positivisme yang membedakan antara fakta ilmiah, teruji didukung bukti dengan nilai yang bagi kaum positivistik dipahami hanya sekedar ekspresi perasaan bukan sebagai kebenaran obyektif; (3) personalisme yang merayakan nilai subyektif. Otonomi, dan rasa tanggung jawab pribadi; (4) pluralisme sosio-politik-kultural.
Sejalan dengan pendapat tersebut, maka dalam penelitian sejarah yang dilakukan oleh Bigalke (Jamie S.Davidson & David Henley,Sandra Moniaga, 2010 : 43-44), menyingkapkan bahwa konflik dan ketidakstabilan bahkan dalam tata agraria yang tampaknya paling indah sekalipun. Hal ini menegaskan bahwa gagasan tentang adat sebagai sebuah jaminan perdamaian dan keselarasan adalah menyesatkan bukan saja sebagai sebuah preskripsi bagi masa depan, melainkan juga sebagai interpretasi tentang masa lampau.
Pendidikan merupakan aspek yang sangat penting dan sangat determinan dalam pembentukan karakter dan internalisasi nilai-nilai moral dan etika. Demoralisasi yang terjadi di masyarakat selama ini disinyalir salah satunya disebabkan oleh disorientasi pendidikan dan paradigma yang salah dalam proses pendidikan. Dapat dikatakan bahwa pendidikan yang berlangsung selama ini hanya diartikan sebagai proses transfer dalam pembelajaran dan tidak memperhatikan pembentukan jati diri yang dipengaruhi oleh lingkungan dan akan bertumbuh menjadi karakter yang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku peserta didik.

B. Rumusan Dan Pembatasan Masalah
1. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari uraian latar belakang penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dikemukakan identifikasi masalah dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut :
a. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan situasi konflik dapat terjadi dikalangan mahasiswa pada tingkat fakultas dan universitas ?
b. Bagaimana pola interaksi konflik yang dilakukan oleh mahasiswa dan fakultas pada tingkat universitas ?
c. Bagaimana reaktualisasi pendidikan karakter pada personal, lingkungan belajar, pelaksanaan pembelajaran dan program-program kerja di tingkat fakultas dan universitas ?
d. Bagaimanakah upaya pengelolaan situasi konflik yang digunakan oleh mahasiswa dan fakultas pada universitas ?
2. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dari penelitian ini adalah :
a. Pola interaksi konflik dibatasi pada : (1) metode resolusi konflik; (2) gaya manajemen konflik; (3) situasi konflik.
b. Mahasiswa dibatasi pada : mahasiswa Papua dan mahasiswa Non Papua

C. Maksud Dan Tujuan Penelitian
1. Maksud Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan mengenai pola interaksi konflik dan reaktualisasi pendidikan karakter di universitas Cenderawasih. Selain itu, penelitian ini dimaksudkan pula untuk mengkaji faktor-faktor dominan yang mempengaruhi reaktualisasi pendidikan karakter dan dapat dijadikan sebagai alternatif dalam pembangunan karakter individu, karakter baik dan karakter bangsa.
2. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui dan mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan situasi konflik dapat terjadi dikalangan mahasiswa pada tingkat fakultas dan universitas.
b. Untuk mengetahui dan mengkaji pola interaksi konflik yang dilakukan oleh mahasiswa dan fakultas pada universitas.
c. Untuk mengetahui dan mengkaji reaktualisasi pendidikan karakter pada personal, lingkungan belajar, pelaksanaan pembelajaran dan program-program kerja di tingkat fakultas dan universitas.
d. Untuk mengetahui dan mengkaji upaya pengelolaan situasi konflik yang digunakan oleh mahasiswa dan fakultas pada universitas.

D. Kegunaan Penelitian
Di harapkan dengan pelaksanaan penelitian ini akan dapat memberikan minimal dua kegunaan antara lain :
a. Aspek Pengembangan Ilmu
Secara keilmuan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan meningkatkan mutu pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang berpusat pada pendidikan resolusi konflik melalui pengintegrasian dalam mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan, khususnya yang berkaitan dengan membangun karakter mahasiswa yang mampu menyelesaikan konflik secara damai dengan keluaran konflik berupa solusi atas suatu konflik, seperti win & win solution, win & lose solution, serta lose & lose solution. Keluaran konflik juga bisa menciptakan suatu perubahan sistem sosial.
b. Aspek Guna Laksana
Secara praktis penelitian ini diharapakan dapat memberikan masukan yang bermanfaat dalam menentukan program pendidikan resolusi konflik melalui pendekatan komprehensif, yang berarti melibatkan seluruh aktivitas perguruan tinggi yang terintegrasikan ke dalam mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan, sehingga masuk ke dalam kegiatan intrakurikuler dan kegiatan ekstrakurikuler, meskipun tidak berdiri sendiri sebagai mata kuliah tersendiri. Pengintegrasian pendidikan resolusi konflik ke dalam mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan ini karena sejalan dengan tujuan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai mata kuliah yang membina mahasiswa menjadi warga negara yang baik, demokrasi dan bertanggungjawab. Selain itu juga dapat memberikan kontribusi dan dijadikan acuan bagi model resolusi konflik yang terjadi di luar masyarakat kampus.
TESIS PERAN MUTASI DALAM MENINGKATKAN PRESTASI KERJA DI PD PASAR

TESIS PERAN MUTASI DALAM MENINGKATKAN PRESTASI KERJA DI PD PASAR


(KODE : PASCSARJ-0148) : TESIS PERAN MUTASI DALAM MENINGKATKAN PRESTASI KERJA DI PD PASAR (PROGRAM STUDI : STUDI PEMBANGUNAN)




BAB I 
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah
Birokrasi merupakan lembaga yang memiliki kemampuan besar dalam menggerakkan organisasi, karena birokrasi ditata secara formal untuk melahirkan tindakan rasional dalam sebuah organisasi. Birokrasi merupakan sarana dan alat dalam menjalankan kegiatan pemerintah di era masyarakat yang semakin modern dan kompleks, namun masalah yang dihadapi oleh masyarakat tersebut adalah bagaimana memperoleh dan melaksanakan pengawasan agar birokrasi dapat bekerja demi kepentingan rakyat banyak.
Setelah berjalan 12 tahun era reformasi, Indonesia berusaha bangkit dari keterpurukan yang melanda di setiap bidang baik itu ekonomi, sosial, hukum, dan lainnya. Hal ini dapat kita lihat dari sistem pemerintahan, dimana Pemerintah cenderung tidak lagi dipercaya masyarakat. Sejak reformasi, sudah 4 (empat) orang Presiden yang memimpin Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan visi dan misi terbaiknya berusaha mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada Pemerintahan yang dipimpinnya.
Pentingnya kejelasan mekanisme dan prosedur kerja berkaitan erat dengan pengelolaan suatu organisasi dengan pendekatan kesisteman. Mekanisme dan prosedur kerja merupakan "peraturan permainan" yang harus ditaati dalam penyelesaian tugas lintas sektoral dan muldimensional. Karena ini menyangkut interaksi, interdependensi, dan koordinasi antar instansi di samping berlaku secara internal dalam lingkkuan satu-satuan kerja.
Kejelesan mekanisme dan prosedur kerja berkaitan erat dengan transparansi dan keterbukaan pemerintah dalam penyelenggaraan fungsi dan kegiatannya, termasuk dalam penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, perumusan dan penentuan kebijaksanaan, penegakan disiplin masyarakat, dalam malakukan pemungutan dana dari masyarakat serta penggunaannya, dan dalam memeberikan pelayanan umum kepada masyarakat luas.
Pemerintah dengan segala perangkatnya sebagai pilar utama penyelenggara negara semakin dihadapkan kepada kompleksitas global. Peranannya harus mampu dan cermat serta proaktif mengakomodasi segala bentuk perubahan. Kondisi tersebut sangat memungkinkan karena aparatur berada pada posisi sebagai perumus dan penentu daya kebijakan, serta sebagai pelaksana dari segala peraturan, melalui hirearki yang lebih tinggi sampai kepada hirearki yang terendah.
Sesuai dengan Penjelasan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 100 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural dimana dijelaskan bahwa untuk menciptakan sosok Pegawai Negeri Sipil sebagaimana Pegawai Negeri Sipil yang memiliki keunggulan kompetitif dan memegang teguh etika birokrasi dalam memberikan pelayanan yang sesuai dengan tingkat kepuasan dan keinginan masyarakat.
Masalah pelayanan publik merupakan suatu masalah tersendiri bagi birokrasi Pemerintahan. Pelayanan pemerintah pada umumnya dicerminkan oleh kinerja biroraksi pemerintah, apabila saat sekarang terjadi ekonomi biaya tinggi dan segala bentuk inefisiensi di sektor pemerintah, hal ini setidak-tidaknya bersumber dari kinerja birokrasi yang masih belum baik dan memuaskan masyarakat, dengan kata lain Prestasi Kerja birokrasi itu belum tercapai.
Prestasi kerja merupakan suatu hasil dari keterampilan dan kemampuan dari pegawai atau anggota pada suatu organisasi atau instansi-instansi pemerintah tertentu. Adapun faktor yang mempengaruhi dalam mencapai prestasi kerja tersebut adalah Mutasi Kerja. Untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, maka Mutasi harus berjalan sesuai dengan prosedurnya agar pelaksanaan terhadah rencana berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Mutasi harus mempunyai kategori atau standarisasi agar prestasi kerja dapat dikatakan atau dapat dinilai apakah baik ataupun kurang baik. Mutasi Kerja merupakan salah satu faktor utama agar pengawai mempunyai disiplin yang tinggi bertanggung jawab atas wewenang yang diberikan kepada pegawai tersebut.
Perusahaan daerah merupakan suatu badan usaha yang dibentuk oleh daerah untuk mengembangkan perekonomian daerah dan menambah penerimaan daerah. Berhubungan dengan itu Perusahaan Daerah didasarkan atas azas-azas ekonomi perusahaan yang sehat, dengan kata lain harus melakukan kegiatannya secara berdaya guna dan berhasil guna.
Perusahaan bertugas dalam lapangan sesuai dengan urusan rumah tangganya menurut peraturan-peraturan yang mengatur pokok-pokok pemerintahaan daerah. Sejalan dengan prinsip desentralisasi dimana menghendaki daerah yang dibentuk dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dengan sebaik-baiknya maka perlunya sumber-sumber keuangan bagi pembiayaan pemerintah daerah sehingga daerah dapat mendirikan perusahaan tersebut adapun modal perusahaan daerah dapat seluruhnya atau sebagian merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan, kecuali ditentukan lain berdasarkan Undang-Undang.
PD. Pasar Kota X merupakan suatu instansi pemerintah yang berada dibawah naungan Pemerintah Kota X. Tujuan dibentuknya PD. Pasar adalah untuk mengelola berbagai unit pasar yang ada di Kota X, baik itu pasar tradisional maupun pasar modern guna untuk memenuhi ataupun menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota X.
Dalam mewujudkan prestasi kerja tersebut, PD.Pasar Kota X telah menetapkan suatu target. Target yang dimaksud adalah ketetapan peningkatan pendapatan dalam pemenuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD), dimana target tersebut merupakan tujuan utama PD. Pasar Kota X sendiri. Dalam mencapai target tersebut PD. Pasar telah menetapkan berusaha semaksimal mungkin, hal ini dapat dilihat dari penetapan yang sesuai dengan fungsi manajemen baik itu seperti perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan koordinasi. Namun kenyataan di lapangan, tujuan yang telah ditetapkan tidak tercapai. Dari target 3 tahun terakhir (2007-2009) yaitu Rp. 15.400.078.000 (tahun 2007), Rp. 15.405.080.000 (tahun 2008), dan Rp. 15.407.100.000 (tahun 2009) PD.Pasar Kota X hanya memenuhi ataupun mampu memperoleh pendapatan rata-rata hanya 80%. Dimana pendapatan 3 tahun berturut-turut adalah Rp. 12.320.062.400 (80%) untuk tahun 2007, Rp. 12.940.267.200 (84%) untuk tahun 2008, dan Rp. 11.707.860.800 (76%) untuk tahun 2009.
Adapun penyebab tidak tercapainya tujuan sehingga prestasi kerja buruk adalah Mutasi Kerja yang masih berbau Kolusi bukan prestasi ataupun kemampuan kerja dari seorang pegawai. Dimana pegawai yang dimutasi masih dianggap kurang pas dalam menduduki jabatan yang diberikan oleh atasan. Hal ini mengakibatkan Satuan Kerja yang telah ditetapkan kurang berjalan maksimal.
Komponen organisasi dan Sumber Daya Manusia yang paling penting adalah penentuan pekerjaan atau jabatan. Untuk mencapai tujuan, organisasi perlu menetapkan jenis-jenis pekerjaan yang harus dilaksanakan. Manajemen perusahaan khususnya manajemen sumber daya manusia mutlak perlu mempunyai informasi dan data yang lengkap dan tepat mengenai semua jabatan yang ada agar dapat melaksanakan setiap fungsi manajemen secara keseluruhan. Informasi dan data jabatan tersebut diperoleh dari analisis jabatan.
Analisis jabatan merupakan proses untuk mempelajari dan mengumpulkan berbagai informasi yang berhubungan dengan suatu jabatan. Untuk itu, perlu diketahui pekerjaa apa saja yang harus dikerjakan, bagaimana mengerjakannya, dan mengapa pekerjaan itu harus dilakukan serta persyaratan untuk menduduki suatu jabatan. Dengan kata lain, analisis jabatan dapat diartikan sebagai suatu proses yang sistematis untuk mengumpulkan, menganalisis data dan informasi suatu jabatan.
Analisis jabatan ini sendiri perlu seorang pimpinan dalam menganalisis hasil kerja seorang atau beberapa pegawai dalam pencapaian suatu prestasi kerja. Dengan analisis kerja ini juga, seorang pimpinan akan mampu menempatkan pegawainya sehingga mengadakan mutasi kepada berbagai pegawai baik itu yang berpotensi maupun kurang potensi sesuai dengan kemampuan masing-masing pegawai.
Mutasi bukanlah bertujuan untuk mencari-cari kesalahan terhadap apa dan siapa yang akan di angkat ataupun dipindah tugaskan, tetapi apa dan bagaimana masalah tersebut dapat diatasi dengan pengangkatan ataupun pemindahan seorang pegawai sehingga prestasi kerja pegawai baik.
Pemimpin atau atasan merupakan orang yang berhak membawa ke arah mana tujuan organisasi yang dipimpinnya. Dengan demikian, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mendengarkan keluhan-keluhan bawahan, memberikan masukan atau bimbingan pengarahan kepada bawahan, serta menghargai prestasi pegawai dengan suatu pengangkatan jabatan.
Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa Mutasi kerja sangat penting dalam peningkatan prestasi pegawai. Dari hal tersebut, penulis merasa tertarik untuk mengadakan penelitian yang berjudul : "Peran Mutasi Dalam Meningkatkan Prestasi Kerja di PD. Pasar Kota X".

1.2 Perumusan Masalah 
Perumusan masalah merupakan penjelasan mengenai alasan mengapa masalah yang dikemukakan dalam proposal itu dipandang menarik, penting dan perlu diteliti. Di dalamnya dirumuskan dengan jelas dan tegas permasalahan yang perlu diteliti sehingga mudah diketahui ruang lingkup masalah dan arah penelitian yang akan dilakukan.
Gambaran Mutasi Kerja yang baik, merupakan kondisi dilematis dalam peningkatan prestasi dalam suatu organisasi. Sehingga setiap organisasi mengharapkan mempunyai pimpinan yang baik bagi kemajuan organisasi.
Dari uraian di atas, maka perlu dibuat suatu perumusan masalah. Perumusan masalah merupakan hal yang sangat penting dilakukan dalam penelitian sehingga dapat terarah dalam membahas masalah yang akan diteliti.
Adapun perumusan masalah yang dibuat penulis dalam penelitian ini yaitu : "Seberapa besar peran Mutasi dalam meningkatkan Prestasi Kerja Pegawai di PD. Pasar Kota X".

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Merupakan bagian yang secara tegas apa yang hendak dijawab atau dapat diperoleh dari suatu penelitian. Adapun yang mejadi tujuan dari penelitian yang dilakukan ini adalah :
a. Untuk mengetahui Pelaksanaan Mutasi Kerja yang ada di PD. Pasar Kota X.
b. Untuk Mengetahui seberapa besar tingkat prestasi kerja pegawai di PD. Pasar Kota X.
c. Untuk Mengetahui seberapa besar tingkat Peran Mutasi Kerja terhadap Prestasi Kerja Pegawai di PD. Pasar Kota X.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Berisi uraian tentang kegunaan Penelitian dan operasionalisasi hasilnya. Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Bagi penulis, penelitian ini menambah wawasan, meingkatkan kemampuan berfikir melalui penulisan karya ilmiah dan untuk menerapkan teori-teori yang diperoleh selama mengikuti perkuliahan di Magister Studi Pembangunan.
b. Diharapkan secara teoritis dapat mendukung pengembangan PD. Pasar Kota X dalam meningkatkan Prestasi Kerja sehingga memperoleh hasil kerja yang maksimal. Secara praktis dapat mendukung kebijakan-kebijakan pimpinan dalam menerapkan Mutasi Kerja di PD. Pasar Kota X.
TESIS PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI KEGIATAN EKSTRAKURIKULER BERBASIS PEMBIASAAN (STUDI DI SDN X)

TESIS PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI KEGIATAN EKSTRAKURIKULER BERBASIS PEMBIASAAN (STUDI DI SDN X)


(KODE : PASCSARJ-0147) : TESIS PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI KEGIATAN EKSTRAKURIKULER BERBASIS PEMBIASAAN (STUDI DI SDN X) (PROGRAM STUDI : PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN)




BAB I 
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Keberhasilan suatu bangsa dalam mencapai tujuan nasional tidak hanya ditentukan oleh sumber daya alam yang melimpah ruah, akan tetapi juga ditentukan oleh sumber daya manusianya. Marcus Tullius Cicero, pakar hukum dan negara dari Romawi (106-43M) adalah peletak dasar dari pendidikan karakter, mengatakan bahwa "within the character of the citizen, lies the welfare of the nation", (Suparma Santosa, 2004 : iii) Dari pendapat Cicero tersebut dapat diartikan bahwa akhlak yang mulia setiap warga negara terdapat negara yang sejahtera.
Hal ini dapat dipahami bahwa manusia yang berkarakter adalah manusia yang dalam setiap pikiran dan tindakannya akan memberikan manfaat dan nilai tambah pada lingkungannya. Sebaliknya, pikiran dan tindakan manusia yang berkarakter buruk akan banyak membawa kerusakan di muka bumi. Apabila dalam suatu bangsa banyak manusia yang berkarakter buruk maka bangsa tersebut akan buruk pula.
Hubungan antara aspek moral dengan kemajuan bangsa juga dikemukakan oleh Thomas Lickona (1992 : 13-18) mengungkapkan ada sepuluh tanda kemerosotan zaman dari remaja yang harus diwaspadai. Memang tidak seluruh remaja seperti itu, namun jika tanda-tanda itu sudah ada, maka itu berarti bahwa sebuah bangsa sedang menuju kehancuran. Kesepuluh tanda-tanda itu adalah :
1) Violence and vandalism, 2)Stealing, 3) Cheating, 4) Disrespest for authority, 5) Peer cruelty, 6) Bigotry, 7) Bad language, 8) Sexual precocity and abuse, 9) Increasing self-centeredness and declining civic responsibility, 10) Self destructive behavior.
Dwi Astuti Martianto (2002 : 2-3) mengartikan bahwa sepuluh tanda dari perilaku manusia yang menunjukkan arah kehancuran bangsa dari Thomas Lickona itu adalah sebagai berikut :
1) Meningkatnya kekerasan di kalangan pelajar
2) Penggunaan bahasa dan kata-kata yang buruk
3) Pengaruh/ ?eer group yang kuat dalam tindak kekerasan
4) Meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol dan sek bebas
5) Semakin kaburnya pedoman baik dan buruk
6) Menurunya etos kerja
7) Semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru
8) Rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara
9) Membudayakan ketidakjujuran
10) Adanya rasa saling curiga dan kebencian diantara sesama.
Tanda-tanda yang dikemukakan oleh Thomas Lickona tersebut di atas, sepertinya telah muncul di dalam masyarakat Indonesia. M. Soeparno (2005 : 1) mengungkapkan bahwa untuk mengentaskan bangsa Indonesia yang selama beberapa tahun terakhir semakin terpuruk, yang dibutuhkan adalah tindakan atau langkah kongkret.
"Waktunya semakin sempit, negara lain, bahkan negara-negara tetangga yang dulu menjadi murid kita, sekarang semakin jauh melesat meninggalkan kita di segala bidang kehidupan. Lebih memprihatinkan lagi, selain kondisinya semakin terpuruk, bangsa Indonesia masih harus dibebani segepok citra buruk yang dipikulnya seperti julukan bangsa kuli, bangsa paling kurop di dunia, tidak disiplin, munafik, ceroboh, jorok, suka melempar tanggung jawab, sarangnya kaum teroris, dan entah hinaan apalagi." (M. Soeparno, 2005 : 1).
Citra buruk itu, menurut M. Soeparno (2005 : 2), sebetulnya hanya bongkahan kecil yang menyeruak ke luar dari problem bangsa Indonesia. Bongkahan besar problem bangsa ini sesungguhnya berakar di dalam dan dasar bumi, yakni hancurnya karakter dan moral bangsa.
Civic Education adalah suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warganegara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakat.
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dirumuskan secara luas mencakup proses penyiapan generasi muda untuk mengambil peran dan tanggung jawabnya sebagai warganegara, dan secara khusus, peran pendidikan termasuk di dalamnya persekolahan, pengajaran, dan belajar dalam proses penyiapan warganegara tersebut.
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) memiliki visi, misi, tujuan, dan ruang lingkup isi. Visi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah terwujudnya suatu mata pelajaran yang berfungsi sebagai sarana pembinaan watak bangsa (nation and character building) dan pemberdayaan warga negara. Salah satu tujuan Pendidikan Kewarganegaraan adalah mengembangkan kompetensi peserta didik agar memiliki watak dan kepribadian yang baik, sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Tujuan tersebut sejalan dengan aspek-aspek kompetensi yang hendak dikembangkan dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Aspek-aspek kompetensi tersebut mencakup pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), keterampilan kewarganegaraan (civic skills), dan watak atau karakter kewarganegaraan (civic dispositions) (Budimansyah dan Suryadi, 2008 : 55-62).
PKn merupakan bagian atau salah satu tujuan pendidikan IPS, yaitu bahan pendidikannya diorganisasikan secara terpadu (integrated) dari berbagai disiplin ilmu sosial, humaniora, dokumen negara, terutama Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), GBHN dan perundangan negara dan bahan pendidikan yang berkenaan dengan bela negara. PKn adalah program pendidikan yang berintikan demokrasi politik yang diperluas dengan sumber-sumber pengetahuan lainnya, pengaruh-pengaruh positif dari pendidikan sekolah, masyarakat dan orang tua, yang kesemuanya itu diproses guna melatih para siswa untuk berpikir kritis, analitis, bersikap dan bertindak demokratis yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.
Cogan (1999 : 4) mengartikan Civic Education sebagai "...the fundamental course work in school designed to prepare young citizens for an active role in their communities in their adult lives". Atau suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warga negara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakatnya.
Dalam suatu penelitian tentang jati diri "citizenship education" yang melaporkan temuan David Kerr (1999 : 5-7) bahwa Pendidikan Kewarganegaraan minimal, didefinisikan secara sempit, hanya mewadahi aspirasi tertentu, berbentuk pengajaran Kewarganegaraan, bersifat formal, terikat oleh isi, berorientasi pada pengetahuan. Menitikberatkan pada proses pengajaran, hasilnya mudah diukur. Sedangkan Pendidikan Kewarganegaraan maksimal, didefinisikan secara luas, mewadahi berbagai aspirasi dan melibatkan berbagai unsur masyarakat. Kombinasi pendekatan formal dan informal, dilabeli citizenshp education, menitikberatkan pada partisipasi siswa melalui pencarian isi dan proses interaktif di dalam maupun di luar kelas.
Sejalan dengan itu maka Mahoney (Soemantri, 2001 : 295) merumuskan bahwa batasan dari Civic Education adalah memasukan seluruh kegiatan sekolah, termasuk kegiatan ekstrakurikulernya dalam kerangka Civic Education : kegiatan di dalam dan di luar kelas, diskusi, dan organisasi siswa (Student Government). Pendeknya, seluruh kegiatan sekolah menjadi tanggung jawab sekolah untuk di masukkan ke dalam Civic Education.
Watak atau karakter kewarganegaraan sesungguhnya merupakan materi yang paling substantif dan esensial dalam mata pelajaran PKn. Dimensi ini dapat dipandang sebagai muara dari pengembangan kedua dimensi. Pertama-tama perlu memiliki pengetahuan kewarganegaraan yang baik, memiliki keterampilan intelektual maupun partisipasif, dan pada akhirnya membentuk suatu karakter atau watak yang mapan, sehingga menjadi sikap dan kebiasaan sehari-hari. Watak yang mencerminkan warga negara yang baik itu misalnya sikap religius, toleransi, jujur, adil, demokratis, taat hukum, menghormati orang lain, memiliki kesetiakawanan sosial dan lain-lain.
Penyelenggaraan kegiatan ekstrakurikuler dalam rangka pengembangan pendidikan karakter siswa dilakukan secara terjadwal dan fleksibel, dengan memperhatikan kemajuan kegiatan ekstrakurikuler, kedalaman dan ritme dalam belajar, kegiatan ini dilaksanakan dengan bimbingan para pembina yang menguasai bidangnya masing-masing dan guru PKn dapat mengambil peran dalam upaya menyelesaikan program ekstrakurikuler dengan pembelajaran PKn.
Yang dimaksud kegiatan ekstrakurikuler dalam kerangka Civic Education yang diselenggarakan di luar jam pelajaran, selain membantu siswa dalam pengembangan minatnya, juga membantu siswa agar mempunyai semangat baru untuk lebih giat belajar serta menanamkan tanggung jawabnya sebagai warga negara yang mandiri. Bahkan pengertian Civic Educationn ini diperluas National Council for Social Studies (NCSS) yang dikutip Wuryan dan Syaifullah (2008 : 6) sebagai berikut :
“Citizenship Education is a process comprissing all the positive influence which are intended to shape a citizens view to this role in society. It comes powerly from formal schooling psrtly from parental influence and partly from learning outside the classroom and the home. Through citizenship education, our youth are helped to again understanding of our national ideals, the common good and the process of self government.” (NCSS, 1970 : 20).
Berdasarkan definisi di atas, bahwa pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) memperoleh pengaruh-pengaruh positif dari :
- Pendidikan di sekolah
- Pendidikan di rumah
- Pendidikan di luar kelas dan sekolah
Hal tersebut harus mendapatkan pertimbangan dalam penyusunan pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) agar siswa dapat memahami dan memengapreasiasikan cita-citanya.
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) persekolahan (school civics) yang bercirikan civic culture Indonesia yang dapat dikembangkan sekolah, melaluli PKn tetapi juga dapat melalui kegiatan ekstrakurikuler yang diperkaya dengan muatan lainnya yang bernafaskan Pendidikan Kewarganegaraan dengan pengembangan budaya secara bersamaan yang diarahkan untuk "nation and character building".
Di dalam lingkungan sekolah yang ingin diciptakan melalui kegiatan ekstra kurikuler adalah setidaknya sekolah memiliki upaya-upaya sadar untuk memberikan kontribusi terhadap pengembangan karakter melalui kegiatan ekstrakurikuler.
SDN X merupakan sebuah lembaga pendidikan formal yang siswanya paling banyak dan aktif mengikuti kegiatan ekstrakurikuler terutama kegiatan ekstrakurikuler pramuka bila dibandingkan dengan sekolah dasar lain yang berada di wilayah Kecamatan X, adanya pembinaan yang sungguh-sungguh terhadap kegiatan ekstrakurikuler dari pihak sekolah, adanya program dan rencana kegiatan ekstrakurikuler, kehadiran pembina yang tepat waktu setiap kegiatan, merupakan ciri khas dari sekolah tersebut.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis bermaksud untuk meneliti secara komprehensif pengembangan karakter melalui kegiatan ekstrakurikuler berbasis pembiasaan di SDN X.

B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang masalah tersebut di atas, penulis mengajukan rumusan masalah pokok penelitian ini, yaitu bagaimanakah pengembangan pendidikan karakter melalui kegiatan ekstrakurikuler berbasis pembiasaan di SDN X ?
Agar penelitian ini lebih terarah dan terfokus pada pokok permasalahan, maka masalah pokok tersebut penulis jabarkan dalam beberapa sub masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah gambaran umum kondisi pengembangan pendidikan karakter di SDN X ?
2. Metode apa saja yang digunakan dalam pengembangan pendidikan karakter melalui kegiatan ekstrakurikuler berbasis pembiasaan di SDN X ?
3. Kendala apa yang dihadapi dalam pengembangan pendidikan karakter melalui kegiatan ekstrakurikuler berbasis pembiasaan di SDN X ?
4. Bagaimanakah upaya untuk menanggulangi kendala dalam pengembangan pendidikan karakter melalui kegiatan ekstrakurikuler berbasis pembiasaan di SDN X ?

C. Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengembangan pendidikan karakter melalui kegiatan ekstrakurikuler berbasis pembiasaan di SDN X.
Sedangkan secara khusus tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan hal-hal sebagai berikut :
1. Gambaran umum kondisi pengembangan pendidikan karakter di SDN X.
2. Metode yang digunakan dalam pengembangan pendidikan karakter melalui kegiatan ekstrakurikuler berbasis pembiasaan di SDN X.
3. Kendala yang dihadapi dalam pengembangan pendidikan karakter melalui kegiatan ekstrakurikuler berbasis pembiasaan di SDN X.
4. Upaya untuk menanggulangi kendala dalam pengembangan pendidikan karakter melalui kegiatan ekstrakurikuler berbasis pembiasaan di SDN X.

D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian
Signifikansi dan manfaat penelitian ini adalah untuk memperoleh data konseptual dan gambaran mengenai alternatif pengembangan pendidikan karakter melalui kegiatan ekstrakurikuler berbasis pembiasaan.
1. Secara teoretis
Diharapkan dapat memberikan manfaat pada dunia pendidikan terutama dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang handal dan kokoh dengan melalui berbagai upaya untuk pengembangan pendidikan karakter melalui kegiatan ekstrakurikuler berbasis pembiasaan.
2. Secara Praktis
a. Memberi masukan kepada guru dalam upaya pengembangan pendidikan karakter melalui kegiatan ekstrakurikuler berbasis pembiasaan.
b. Memberi masukan kepada siswa dengan adanya kegiatan ekstrakurikuler diharapkan dapat membentuk karakter yang baik sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.
c. Memberi masukan kepada sekolah untuk meningkatkan kembali kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Dengan pembiasaan siswa mengikuti kegiatan ekstrakurikuler diharapkan dapat membentuk karakter siswa yang diharapkan.
d. Memberi masukan kepada orang tua akan pentingnya mengikuti kegiatan ekstrakurikuler sebagai upaya pembiasaan untuk pengembangan karakter siswa.
TESIS PENGARUH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM KELUARGA DAN BUDAYA RELIGIUS SEKOLAH TERHADAP KECERDASAN EMOSIONAL SISWA

TESIS PENGARUH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM KELUARGA DAN BUDAYA RELIGIUS SEKOLAH TERHADAP KECERDASAN EMOSIONAL SISWA


(KODE : PASCSARJ-0146) : TESIS PENGARUH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM KELUARGA DAN BUDAYA RELIGIUS SEKOLAH TERHADAP KECERDASAN EMOSIONAL SISWA (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM)




BAB I 
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu upaya terus menerus yang bertujuan mengembangkan seluruh potensi kemanusiaan peserta didik dalam mempersiapkan mereka agar mampu menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupannya. Dengan demikian, di satu sisi pendidikan merupakan sebuah upaya penanaman nilai-nilai kepada peserta didik dalam rangka membentuk watak dan kepribadiannya. Selanjutnya, pendidikan mendorong peserta didik untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut ke dalam perilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Fungsi pendidikan dalam Islam antara lain untuk membimbing dan mengarahkan manusia agar mampu mengemban amanah dari Allah, yaitu menjalankan tugas-tugas hidupnya di muka bumi, baik sebagai 'abdullah (hamba Allah yang harus tunduk dan taat terhadap segala aturan dan kehendak-Nya serta mengabdi kepada-Nya) maupun sebagai khalifah Allah di muka bumi, yang menyangkut tugas kekhalifahan terhadap diri sendiri, dalam keluarga, dalam masyarakat dan tugas kekhalifahan terhadap alam.
Manusia memang memiliki potensi dasar atau yang disebut fitrah, tetapi manusia juga punya keterbatasan. Keterbatasan atau kelemahan tersebut menyadarkan manusia untuk lebih memperhatikan eksistensi dirinya yang serba terbatas jika dibandingkan dengan Sang Maha Pencipta yang serba tak terbatas. Karena itu pendidikan dalam Islam antara lain bertugas untuk membimbing dan mengarahkan manusia agar menyadari akan eksistensi dirinya sebagai manusia yang serba terbatas, serta menumbuhkembangkan sikap iman dan takwa kepada Allah yang serba Maha Tak Terbatas. Di samping itu, pendidikan juga bertugas untuk membimbing dan mengarahkan manusia agar mampu mengendalikan diri dan menghilangkan sifat-sifat negatif yang melekat pada dirinya agar tidak sampai mendominasi dalam kehidupannya, sebaliknya sifat-sifat positifnya yang tercermin dalam kepribadiannya.
Pengendalian diri yang disebutkan di atas terkait dengan emosi. Dalam konteks pendidikan, keberhasilan siswa tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan intelektualnya belaka, tapi ada kecerdasan lain yang ikut menentukan yakni kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional (EQ) bukan didasarkan pada kepintaran anak, melainkan pada sesuatu yang dahulu disebut karakteristik pribadi atau "karakter". Penelitian-penelitian sekarang menemukan bahwa keterampilan sosial dan emosional ini mungkin bahkan lebih penting bagi keberhasilan hidup ketimbang kemampuan intelektual. Kecerdasan emosional bukan merupakan lawan kecerdasan intelektual yang biasa dikenal dengan IQ, namun keduanya berinteraksi secara dinamis. Pada kenyataannya perlu diakui bahwa kecerdasan emosional memiliki peran yang sangat penting untuk mencapai kesuksesan di sekolah, tempat kerja, dan dalam berkomunikasi di lingkungan masyarakat.
Banyak orang yang tertarik pada konsep kecerdasan emosional dimulai dari perannya dalam membesarkan dan mendidik anak-anak, tetapi selanjutnya orang menyadari konsep ini baik di lapangan kerja maupun di hampir semua tempat lain yang mengharuskan manusia saling berhubungan. Penelitian-penelitian telah menunjukkan bahwa keterampilan EQ yang sama untuk membuat anak atau peserta didik yang bersemangat tinggi dalam belajar, atau untuk disukai oleh teman-temannya di arena bermain, juga akan membantunya dua puluh tahun kemudian ketika sudah masuk ke dunia kerja atau ketika sudah berkeluarga.
Melihat urgensi EQ di atas, hendaknya pendidikan di mulai sejak dini yakni dalam lingkungan keluarga. Setiap orang tua tentu menginginkan anaknya menjadi orang yang berkembang secara sempurna. Mereka menginginkan anak yang dilahirkan itu kelak menjadi orang yang sehat, kuat, berketerampilan, cerdas, pandai, dan beriman. Bagi orang Islam, beriman itu adalah beriman secara Islam. Untuk mencapai tujuan itu, orang tualah yang menjadi pendidik pertama dan utama. Sedangkan yang menjadi posisi peserta didik tentulah si anak. Sekalipun demikian, sebenarnya semua anggota keluarga adalah peserta didik juga, tetapi dilihat dari segi pendidikan anak dalam keluarga, yang menjadi si terdidik adalah anak.
Lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama, karena dalam lingkungan keluarga inilah anak pertama kali memperoleh pendidikan dan bimbingan. Dalam perundang-undangan disebutkan bahwa keluarga memberikan keyakinan agama, menanamkan nilai moral, etika, dan kepribadian estetika, serta meningkatkan pengetahuan dan keterampilan peserta didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional. Pendidikan keluarga dalam pasal 27 ayat (1) Undang-undang No. 20 Tahun 2003 merupakan jalur pendidikan informal. Setiap anggota keluarga mempunyai peran, tugas dan tanggung jawab masing-masing, dan mereka memberi pengaruh melalui proses pembiasaan pendidikan di dalam keluarga.
Adapun bahan pendidikan atau bisa juga disebut kurikulum pendidikan dalam keluarga berbeda dengan kurikulum sekolah yang tegas. Kurikulum itu dalam garis besarnya ialah kurikulum untuk pengembangan jasmani dan keterampilan, kurikulum untuk pengembangan akal, dan kurikulum untuk pengembangan rohani anak. Kurikulum ini mengacu pada teori tentang aspek-aspek kepribadian dalam garis besar.
Kunci pendidikan dalam keluarga sebenarnya terletak pada pendidikan rohani dalam arti pendidikan kalbu, lebih tegas lagi pendidikan agama bagi anak. Karena pendidikan agamalah yang berperan besar dalam membentuk pandangan hidup seseorang. Ada dua arah mengenai kegunaan pendidikan agama dalam keluarga. Pertama, penanaman nilai dalam arti pandangan hidup, yang kelak mewarnai perkembangan jasmani dan akalnya. Kedua, penanaman sikap yang kelak menjadi basis dalam menghargai guru dan pengetahuan di sekolah. Pendidikan yang harus diberikan oleh orang tua kepada anaknya, tidaklah cukup dengan cara "menyerahkan" anak tersebut kepada suatu lembaga pendidikan. Tetapi lebih dari itu, orang tua haruslah menjadi guru yang terbaik bagi anak-anaknya. Orang tua yang demikian, tidak hanya mengajarkan pengetahuan (yang harus diketahui) dan menjawab pertanyaan-pertanyaan anaknya, tetapi lebih dari itu orang tua juga harus menjadi teladan yang baik bagi anaknya. Melalui keteladanan dan kebiasaan orang tua yang gandrung pada ilmu inilah, anak-anak bisa meniru, mengikuti dan menarik pelajaran berharga.
Dengan demikian, jika kecerdasan emosional merupakan salah satu unsur pokok dalam pendidikan anak, dan pendidikan itu berawal dari keluarga, maka pendidikan agama dalam keluarga khususnya akan menjadi kunci pula dalam pembentukan kecerdasan emosional pada anak atau peserta didik.
Namun satu hal yang tidak akan dilupakan, mungkin untuk sebagian besar orang, yaitu suatu tragedi yang mengejutkan terjadi di tanah Jombang. Seorang Ryan yang berasal dari keluarga dan lingkungan Islami, bahkan sempat mengenyam pendidikan di pesantren ternyata terlibat pembunuhan berantai yang menelan belasan korban. Tentu saja ulah mantan guru ngaji tersebut sontak membuat umat Islam mengernyitkan dahi serasa tidak percaya akan hal itu. Jadi ada kesenjangan di sini. Betapa tidak, karena pendidikan agama yang dipelajarinya ternyata jauh dari perbuatannya. Oleh karena itu, hal ini perlu penelusuran lebih jauh tentang teori yang menyebutkan bahwa pendidikan agama (Islam) dalam keluarga berperan besar dalam kecerdasan emosional, yang di dalamnya termasuk pengendalian diri.
Kembali terkait dengan kecerdasan emosional di atas, sekolah-sekolah dipandang sebagai informasi praktis tentang efektifitas pengajaran kecerdasan sosial dan emosional. Tentu saja jika dilihat praktiknya di lapangan, pendidikan agama Islam (PAI) memiliki kedudukan yang sangat potensial sehubungan dengan pengajaran kecerdasan emosional ini.
Pemahaman tentang PAI di sekolah dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu PAI sebagai aktivitas dan PAI sebagai fenomena. PAI sebagai aktifitas, berarti upaya yang secara sadar dirancang untuk membantu seseorang atau sekelompok orang dalam mengembangkan pandangan hidup (bagaimana orang akan menjalani dan memanfaatkan hidup dan kehidupannya), sikap hidup, dan keterampilan hidup, baik yang bersifat manual (petunjuk praktis) maupun mental dan sosial yang bernapaskan atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai Islam. Sedangkan PAI sebagai fenomena adalah peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih dan/atau penciptaan suasana yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan hidup yang bernapaskan atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai Islam, yang diwujudkan dalam sikap hidup serta keterampilan hidup pada salah satu atau beberapa pihak. Pemahaman yang demikian mengandung esensi bahwasanya PAI memiliki peran penting dalam membentuk kepribadian yang selaras dengan ajaran dan nilai-nilai Islam, termasuk dalam pembentukan kecerdasan emosional yang tinggi. Nampaknya peranan ini terbentur dengan kenyataan yang sebaliknya yaitu semakin maraknya kemerosotan moral (krisis multi-dimensional) dan umumnya juga terjadi di kalangan pelajar, sehingga PAI dianggap tidak berhasil dalam mengejawantahkan nilai-nilai universalnya. Memang sebaiknya tidak terburu-buru menyimpulkan bahwa krisis moral atau akhlak merupakan kesalahan pendidikan agama semata, karena bertolak dari suatu pandangan bahwa kegiatan pendidikan merupakan suatu proses penanaman dan pengembangan seperangkat nilai dan norma yang implisit dalam setiap bidang studi sekaligus gurunya, maka tugas mendidikkan akhlak yang mulia sebenarnya bukan hanya menjadi tanggung jawab guru agama an sich.
Terlepas dari siapa penanggung jawab utama masalah krisis akhlak di atas, perlu dibahas lebih lanjut adalah solusi-solusi baik secara teoritis maupun praktis. Namun sebelumnya, jika krisis akhlak atau moral merupakan pangkal dari krisis multi-dimensional, sedangkan PAI banyak menggarap masalah akhlak, maka perlu ditelaah apa yang menjadi penyebab titik lemah dari pendidikan agama tersebut.
Mochtar Buchori menyatakan, bahwa kegiatan pendidikan agama yang berlangsung selama ini lebih banyak bersikap menyendiri, kurang berinteraksi dengan kegiatan-kegiatan pendidikan lainnya. Cara kerja semacam ini kurang efektif untuk keperluan penanaman suatu perangkat nilai yang kompleks. Karena itu seharusnya para guru atau pendidik agama bekerja sama dengan guru-guru non-agama dalam pekerjaan mereka sehari-hari. Pernyataan senada telah dinyatakan oleh Soedjatmoko, bahwa pendidikan agama harus berusaha berintegrasi dan bersinkronisasi dengan pendidikan non-agama. Pendidikan agama, termasuk PAI, tidak boleh dan tidak dapat berjalan sendiri, tetapi harus berjalan bersama dan bekerja sama dengan program-program pendidikan non-agama kalau ia ingin mempunyai relevansi terhadap perubahan sosial yang terjadi di masyarakat.
Keberhasilan pendidikan agama dalam menanamkan nilai-nilai bagi pembentukan kepribadian dan watak siswa sangat ditentukan oleh proses yang mengintegrasikan antara aspek pengajaran, pengamalan, dan pembiasaan serta pengalaman sehari-hari yang dialami siswa baik di sekolah, keluarga maupun di lingkungan masyarakat. Keterpaduan, konsistensi, dan sinkronisasi antara nilai-nilai yang diterima peserta didik dari pengajaran yang diberikan guru di depan kelas dengan dorongan untuk pengamalan nilai-nilai tersebut ke dalam bentuk tindakan dan perilaku nyata sehari-hari, tidak saja dari siswa sendiri, tetapi juga dari seluruh pelaku pendidikan, termasuk guru dan staf sekolah. Pengamalan dan pembiasaan perilaku sehari-hari yang sejalan dengan nilai-nilai agama yang diajarkan dan yang berlangsung secara terus menerus itulah yang akan menciptakan suatu lingkungan pendidikan yang melahirkan pribadi-pribadi siswa yang utuh. Sebaliknya, inkonsistensi dan tidak sinkronnya pengetahuan tentang nilai-nilai ajaran agama yang diperoleh siswa dari guru di depan kelas dengan tindakan dan perilaku sehari-hari yang dialami siswa, baik di lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat, akan melahirkan split personality (pribadi pecah) pada siswa.
Adapun salah satu hal yang bisa dilakukan adalah dengan penciptaan budaya religius di sekolah. Penciptaan suasana atau budaya religius berarti menciptakan suasana atau iklim kehidupan keagamaan. Dalam konteks PAI di sekolah berarti penciptaan suasana atau iklim kehidupan keagamaan Islam yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan hidup yang bernapaskan atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai agama Islam, yang diwujudkan dalam sikap hidup serta keterampilan hidup oleh para warga sekolah. Dalam arti kata, penciptaan suasana religius ini dilakukan dengan cara pengamalan, ajakan (persuasif) dan pembiasaan-pembiasaan sikap agamis baik secara vertikal (habluminallah) maupun horizontal (habluminannas) dalam lingkungan sekolah. Melalui penciptaan ini, siswa akan disuguhkan dengan keteladanan kepala sekolah dan para guru dalam mengamalkan nilai-nilai keimanan, dan salah satunya yang paling penting adalah menjadikan keteladanan itu sebagai dorongan untuk meniru dan mempraktikkannya baik di dalam sekolah atau di luar sekolah. Sikap siswa sedikit banyak pasti akan terpengaruh oleh lingkungan di sekitarnya. Oleh karena itu, selain peranan pendidikan agama dalam keluarga, kecerdasan emosional pun dimungkinkan akan terlatih melalui penciptaan budaya religius di sekolah.
Dengan demikian, adanya budaya religius dan pendidikan agama Islam dalam keluarga ini menarik untuk diteliti lebih dalam kaitannya dengan pengaruhnya terhadap kecerdasan emosional siswa yaitu dengan judul penelitian "PENGARUH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM KELUARGA DAN BUDAYA RELIGIUS SEKOLAH TERHADAP KECERDASAN EMOSIONAL SISWA SMAN X".

B. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang terkait dengan judul tesis ini adalah sebagai berikut :
Tesis karya I Wayan Suija yang berjudul Hubungan Iklim Sekolah dan Pola Asuhan dalam Keluarga dengan Perilaku Bermasalah Siswa SMA Negeri Kotamadya Denpasar tahun 1996. Penelitian ini tergolong penelitian deskriptif dan juga korelasional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa iklim sekolah dan pola asuhan dalam keluarga memberi sumbangan yang berarti terhadap perilaku bermasalah. Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara iklim sekolah dengan perilaku bermasalah, terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara pola asuhan dalam keluarga dengan perilaku bermasalah siswa SMA Negeri Kotamadya Denpasar.
Disertasi karya Esther Heydemans tahun 2008 yang berjudul Hubungan antara Pola Asuh Orang Tua, Konsep Diri, Motivasi Diri, Iklim Sekolah dengan Kesadaran Emosi Siswa SMP Negeri di Kota Malang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif korelasional yaitu mencari hubungan antara variabel independen pola asuh orang tua, konsep diri, motivasi diri, iklim sekolah dengan variabel independen kesadaran emosi, baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum variabel pola asuh orang tua, konsep diri, motivasi diri, iklim sekolah dan kesadaran emosi siswa SMP Negeri di Kota Malang menunjukkan kategori sedang. Baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama terdapat hubungan antara pola asuh orang tua, konsep diri, motivasi diri, iklim sekolah terhadap kesadaran emosi dan memberi sumbangan efektif yang signifikan terhadap kesadaran emosi siswa kecuali konsep diri yang tidak memberi pengaruh yang signifikan.
Disertasi karya Musa Sukardi yang berjudul Pengaruh Penerapan Model Self-Science terhadap Kecerdasan Emosional Siswa Sekolah Menengah Pertama yang ditulis tahun 2008. Penelitian ini menggunakan rancangan kuasi eksperimen non-equivalent control group design. Penerapan model pengembangan self-science dilakukan dalam kegiatan layanan bimbingan di kelas dan di luar kelas. Analisis data menghasilkan temuan penelitian sebagai berikut : Pertama, penerapan model pengembangan self-science efektif dalam meningkatkan kecerdasan emosional siswa sekolah menengah pertama. Kedua, ada perbedaan kecerdasan emosional pada siswa yang diberi model pengembangan self-science dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran sebagaimana biasanya. Model pengembangan self-science secara signifikan memberi pengaruh yang lebih baik dibandingkan dengan pembelajaran sebagaimana biasanya terhadap kecerdasan emosional siswa sekolah menengah pertama.
Berdasarkan hasil temuan di atas, maka tema yang diajukan dalam penelitian ini memiliki peluang untuk memperdalam kesimpulan-kesimpulannya dengan variabel independen berbeda, yaitu pendidikan agama Islam dalam keluarga dan budaya religius di sekolah, serta kecerdasan emosional sebagai variabel dependen.

C. Rumusan Masalah
1. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan antara pendidikan agama Islam dalam keluarga terhadap kecerdasan emosional siswa SMAN X ?
2. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan antara budaya religius sekolah terhadap kecerdasan emosional siswa SMAN X ?
3. Apakah terdapat pengaruh yang signifikan secara bersama-sama antara pendidikan agama Islam dalam keluarga dan budaya religius sekolah terhadap kecerdasan emosional siswa SMAN X ?

D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan antara pendidikan agama Islam dalam keluarga terhadap kecerdasan emosional siswa SMAN X.
2. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan antara budaya religius sekolah terhadap kecerdasan emosional siswa SMAN X.
3. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang signifikan secara bersama-sama antara pendidikan agama Islam dalam keluarga dan budaya religius sekolah terhadap kecerdasan emosional siswa SMAN X.

E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini dapat memperkaya teori dan wawasan berupa studi ilmiah yang dapat menunjang perkembangan ilmu pengetahuan khususnya Pendidikan Agama Islam (PAI).
b. Penelitian ini bisa digunakan sebagai referensi akademik dan bahan masukan bagi penelitian serupa di masa yang akan datang.
2. Manfaat Praktis
Bagi lembaga pendidikan formal (sekolah) maupun informal, penelitian ini dapat memberikan gambaran secara riil mengenai kondisi pendidikan agama Islam dalam keluarga siswa dan budaya religius di sekolah secara umum serta pengaruhnya terhadap kecerdasan emosional siswa, sehingga bisa menjadi masukan untuk mengadakan evaluasi dan pengembangan ke arah yang lebih baik.

F. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan menyeluruh, sistematika penulisan tesis ini dibagi dalam enam bab, yaitu sebagai berikut.
Bab I memaparkan latar belakang masalah, penelitian terdahulu, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, hipotesis penelitian, batasan penelitian, definisi operasional dan sistematika penulisan.
Bab II merupakan kajian teori, yang mencakup pembahasan tentang pendidikan agama Islam dalam keluarga; budaya religius sekolah; kecerdasan emosional; dan hubungan kecerdasan emosional dengan pendidikan agama Islam dalam keluarga dan budaya religius sekolah.
Bab III merupakan metode penelitian yang mencakup pendekatan dan jenis penelitian, populasi dan sampel, data dan sumber data, teknik pengumpulan data, instrumen penelitian, teknik analisis data, uji validitas dan reliabilitas, pengecekan keabsahan data, dan tahapan penelitian.
Bab IV merupakan hasil penelitian, meliputi profil sekolah, deskripsi variabel penelitian, hasil pengujian persyaratan analisis, dan hasil pengujian hipotesis.
Bab V merupakan pembahasan dari hasil penelitian yang sudah dilakukan.
Bab VI merupakan bab terakhir yang berisikan tentang kesimpulan dari semua isi atau hasil penelitian ini. Dalam bab ini, juga dikemukakan beberapa saran yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan.