Search This Blog

Showing posts with label tesis ekonomi pembangunan. Show all posts
Showing posts with label tesis ekonomi pembangunan. Show all posts
TESIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI PEDESAAN DI KECAMATAN

TESIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI PEDESAAN DI KECAMATAN

(KODE : PASCSARJ-0183) : TESIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI PEDESAAN (PNPM-MP) DI KECAMATAN (PROGRAM STUDI : EKONOMI PEMBANGUNAN)


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Program pengentasan kemiskinan pada masa sekarang lebih berorientasi kepada pemberdayaan dan partisipasi. Sebelumnya telah dilalui begitu banyak program pengentasan kemiskinan di Indonesia yang pada umumnya memiliki konsep sebagai program yang berdasar kepada keinginan dan kebutuhan masyarakat. Kenyataan yang ditemui bahwa pada saat itu masyarakat tidak merasa memiliki terhadap program-program tersebut sehingga seringkali ditemukan di lapangan bahwa banyak program yang hanya seumur masa proyek dan berakhir tanpa dampak berarti bagi kehidupan masyarakat. Program yang ada tersebut kurang berhasil mencapai sasaran yang diharapkan, yakni kemandirian masyarakat baik secara ekonomis, sosial maupun politis. Bahkan sampai saat ini, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa masyarakat pada umumnya menganggap bahwa pemberdayaan adalah hanya sebatas mereka memperoleh akses finansial seperti dana bantuan atau pun kredit.
Perubahan orientasi dan cara berbagai program pengentasan kemiskinan, tidak terlepas dari aliran perubahan arti pembangunan itu sendiri. Pada awalnya pembangunan ekonomi yang tinggilah yang menjadi prioritas bagi setiap negara di dunia. Dengan adanya pola pendekatan trickle down effect ada suatu harapan akan terjadi tetesan kemakmuran yang dirasakan oleh sekelompok masyarakat tertentu.
Melalui pencapaian pendapatan nasional yang tinggi dianggap merupakan keberhasilan bagi seluruh bangsa. Namun kenyataan adalah bahwa pola pendekatan tersebut adalah tidak sempurna, yang terjadi adalah semakin luasnya kesenjangan yang terjadi antara masyarakat ekonomi lemah dan ekonomi kuat. Jumlah masyarakat miskin bukan berkurang melainkan bertambah dari tahun ke tahun.
Kenyataan tersebut membawa perubahan terhadap pola pengentasan kemiskinan oleh banyak negara. Di negara Indonesia, pemerintah kemudian mewujudkan program pengentasan kemiskinan melalui pola bantuan langsung dan pola pemberdayaan masyarakat. Berbagai program seperti Inpres Desa Tertinggal (IDT), program Takesra, program Jaring Pengaman Sosial (JPS), program kredit lunak bagi masyarakat miskin, Program Pengembangan Kecamatan Fase I dan Fase II serta berbagai program pengentasan kemiskinan melalui pemberian subsidi dan bantuan bagi masyarakat miskin telah dilakukan oleh pemerintah.
Program-program pengentasan kemiskinan yang sebelumnya, diprioritaskan pada upaya pemenuhan kebutuhan dasar, seperti pemenuhan kebutuhan sembilan bahan pokok, upaya peningkatan kemampuan para petani di pedesaan, melalui penyediaan sarana dan prasarana untuk meningkatkan kemudahan para petani menggarap sawah ladangnya, pelayanan kesehatan dan pendidikan yang lebih merata dengan program Inpres Kesehatan, dokter dan tenaga para medisnya, sekolah, guru dan perlengkapan lainnya, serta mengusahakan adanya listrik masuk desa dan perbaikan sarana pedesaan lainnya. Namun pendekatan semacam ini kemudian menimbulkan implikasi baru dalam menanggulangi kemiskinan di masyarakat. Pola ini memang sangat efektif dalam mencapai sasaran yang ada namun di sisi lain tanpa adanya penguatan sosial (social strengthening) justru akan menimbulkan ketergantungan masyarakat serta memperlemah daya kreasi dan inovasi dari masyarakat tersebut. Dampak dari program ini pun tidak berkelanjutan bagi pemenuhan kesejahteraan bagi masyarakat.
Menurut Prasojo (2003) ada beberapa permasalahan terkait upaya pemberdayaan masyarakat sehingga tidak mencapai tujuan pemberdayaan dan penanggulangan kemiskinan yaitu : 
a) Diskontinuitas dan dis koordinasi merupakan permasalahan pemberdayaan masyarakat dikarenakan tidak adanya koordinasi yang baik dari keseluruhan program yang menyangkut pemberdayaan masyarakat, dimana program dijalankan bersifat sporadis. Kebijakan pemerintah mengenai suatu program pemberdayaan tidak berkoordinasi dengan LSM atau upaya pendampingan masyarakat, sehingga program yang dijalankan tidak menyentuh akar permasalahan yang ada.
b) Disinformasi program yaitu suatu keadaan dimana masyarakat tidak mengetahui dan mengenal program pemberdayaan dengan baik. Hal ini disebabkan perbedaan tingkat pengetahuan masyarakat terhadap cara penyampaian informasi yang dilakukan oleh konsultan atau ilmuwan dan pendamping masyarakat dengan penggunaan bahasa ilmiah yang sulit dipahami oleh masyarakat sasaran pemberdayaan.
c) Disorientasi Pemberdayaan dengan pendekatan proses, biasanya membutuhkan waktu yang lama sehingga ada kecenderungan dari fasilitator baik dari pemerintah maupun LSM untuk mengubah kebijakan yang lebih nyata. Pendekatan pemberdayaan yang berorientasi proses diubah menjadi lebih berorientasi ke hasil. Sehingga terjadi perubahan orientasi pemberdayaan masyarakat yang menyebabkan ketidakberlanjutan program pemberdayaan masyarakat.
d) Adanya upaya Generalisasi. Kondisi keragaman yang dimiliki oleh negara Indonesia, mengandung potensi variasi lokal yang sangat bear. Oleh karena itu kebijakan pemberdayaan masyarakat harus mengikuti keragaman yang ada tersebut, karena dengan penyeragaman pelaksanaan program tidak akan menyentuh akar permasalahan dalam komunitas yang berbeda tersebut. Oleh karena itu pendekatan pembangunan melalui pemberdayaan masyarakat harus memperhatikan nilai-nilai dasar yang ada di masyarakat, karakter budaya, serta struktur sosial masyarakat. 
e) Rentang birokrasi dan tingginya biaya operasional, permasalahan birokrasi yang tidak fleksibel dengan biaya operasional yang tinggi, selalu menjadi penghambat yang sering ditemui dalam pengalaman pelaksanaan berbagai program dan kegiatan di Indonesia sampai saat ini. Orientasi petugas lapangan lebih kepada mengikuti peraturan dari pada menjawab kebutuhan lapangan. Hal ini akan sangat menghambat upaya pemberdayaan masyarakat.
f) Indikator yang tidak tepat dimana upaya pemberdayaan masyarakat yang selama ini dijalankan seringkali diukur dalam bentuk fisik, komoditas dengan berorientasi pada input dan kualitatif dari pada non-fisik dengan ukuran keberhasilan dari dampak dan proses. Hal ini mengabaikan pentingnya proses dalam upaya pemberdayaan karena yang paling penting adalah bagaimana menumbuhkan partisipasi, kesadaran akan nilai dan hukum dari masyarakat sehingga menjadi masyarakat yang mampu dan mandiri.
Pendekatan penanggulangan yang dilaksanakan saat ini lebih diprioritaskan pada pemberdayaan dan pengembangan kapasitas serta potensi masyarakat miskin dengan sebutan pembangunan manusia, sehingga mereka dapat terlepas dari kemiskinan secara mandiri dan berkelanjutan. Masyarakat yang pada masa sebelumnya dianggap sebagai objek dari pembangunan, kini diposisikan sebagai subjek pembangunan. Berdasarkan pengalaman masa lalu, dalam sistem perencanaan pembangunan yang bersifat top down planning, adalah dirasakan kurang membawa keberhasilan, sehingga perencanaan pembangunan yang sekarang dilakukan adalah lebih kepada bottom up planning. Paradigma pembangunan yang ada saat ini adalah yang bertumpu dan berorientasi pada rakyat (people-based and people-oriented development), rakyat harus diakui dan ditempatkan sebagai kunci dalam perumusan perencanaan dan implementasi kebijakan-kebijakan pembangunan. 
Tujuan dari konsep pemberdayaan masyarakat disini bukan untuk mencari dan menetapkan solusi, struktur penyelesaian masalah atau menghadirkan pelayanan bagi masyarakat melainkan lebih pada usaha bersama masyarakat sehingga mereka dapat mendefinisikan dan menangani masalah, serta terbuka untuk menyatakan kepentingan-kepentingannya sendiri dalam proses pengambilan keputusan. Konsep ini menjadi sangat penting terutama karena memberikan perspektif positif terhadap orang miskin. Orang miskin tidak lagi dipandang sebagai orang yang serba kekurangan (misalnya; kurang makan, kurang pendapatan, kurang sehat, kurang dinamis) dan objek pasif penerima pelayanan belaka, melainkan sebagai orang yang memiliki beragam kemampuan yang dapat dimobilisasi untuk perbaikan hidupnya.
Partisipasi masyarakat menjadi hal yang sangat penting dalam proses pembangunan, karena hanya dengan adanya partisipasi dari masyarakat penerima program pemberdayaan, maka hasil pembangunan tersebut akan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Masyarakat tentunya memiliki hak untuk berperan dalam perencanaan sampai dengan tahap evaluasi dari pembangunan itu sendiri. Partisipasi masyarakat akan terjadi apabila pelaku atau pelaksana program pembangunan di daerahnya adalah orang-orang, organisasi, atau lembaga yang telah mereka percaya integritasnya, serta apabila program tersebut menyentuh inti masalah yang mereka rasakan dan dapat memberikan manfaat terhadap kesejahteraan hidupnya. Tetapi, kondisi masyarakat yang telah begitu lama terbiasa disubsidi oleh pemerintah, telah mematikan kreativitas, sehingga usaha peningkatan partisipasi masyarakat mulai dari titik awal dan benar-benar membutuhkan usaha bersama dari seluruh elemen negara.
Belajar dari berbagai kekurangan dan mengatasi kendala dan kelemahan pada program pengentasan yang sebelumnya, saat ini Indonesia memiliki Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP) sebagai program pembangunan berbasis masyarakat. Didalamnya ada upaya pemberdayaan masyarakat sebagai strategi untuk mencapai tujuan meningkatnya kesejahteraan masyarakat terutama keluarga miskin. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan memiliki konsep melibatkan masyarakat dalam pembangunan dan peningkatan perekonomian mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada pemantauan dan evaluasi. PNPM dimaksudkan untuk menanggulangi kemiskinan melalui peningkatan partisipasi masyarakat di dalam proses pembangunan, peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam penyediaan layanan umum, dan peningkatan kapasitas lembaga lokal yang berbasis masyarakat. Pada program ini masyarakat bukan lagi sebagai objek melainkan subjek dalam upaya menanggulangi kemiskinan. Masyarakat menjadi mandiri dan memiliki kesadaran kritis akan partisipasinya terhadap pembangunan itu sendiri. Bahkan masyarakat pun akan memiliki kesempatan lapangan pekerjaan dalam pelaksanaan program ini. PNPM Mandiri ini berbasis pemberdayaan masyarakat yakni basisnya adalah bagaimana upaya meningkatkan kapasitas masyarakat dalam memecahkan persoalan terkait peningkatan kualitas hidup, kemandirian dan kesejahteraannya. Proses pemberdayaan masyarakat dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat ini terdiri dari tahap pembelajaran, kemandirian dan keberlanjutan. Sumber dana PNPM Mandiri Perdesaan berasal dari : 
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
c. Swadaya Masyarakat
d. Partisipasi dunia usaha
PNPM-MP merupakan program yang terbilang baru, dimana program ini baru dimulai sejak tahun 2007. Konsep PNPM-MP sebagai program pemberdayaan masyarakat adalah cukup bagus, apalagi berbagai kekurangan-kekurangan dan kegagalan yang terjadi pada program pemberdayaan yang sebelumnya telah di evaluasi, dan menghasilkan PNPM-MP sebagai solusi. Namun masih saja ditemukan berbagai kendala sehubungan dengan pelaksanaan PNPM dan terkait peran serta atau partisipasi masyarakat terjadi di beberapa daerah. Kecenderungan masyarakat masih bergantung terhadap pemerintah, dikarenakan beberapa waktu lamanya, masyarakat sudah terbiasa dengan menerima saja kebijakan apapun dari pusat, dan bukan berasal dari keinginan masyarakat sendiri. Masyarakat belum mampu sepenuhnya untuk berinovasi dan memiliki inisiatif sendiri. Masyarakat masih terkesan apatis karena pengalaman mereka selama masa sebelumnya dimana meskipun mereka menyampaikan aspirasi terhadap perencanaan pembangunan, yang sering diterima adalah aspirasi dari elit-elit pemerintah atau kelompok yang dianggap lebih menguasai program pembangunan yang tepat bagi masyarakat. Padahal yang lebih mengetahui permasalahan masyarakat adalah tentunya masyarakat itu sendiri. Maka poin penting dari permasalahan pemberdayaan masyarakat adalah pentingnya partisipasi masyarakat secara sukarela dan penuh kesadaran untuk berubah lebih baik menuju keberdayaan, dari sebab itu, peran pelaku program pemberdayaan seperti fasilitator, Kader Pemberdayaan Masyarakat dan pemerintah daerah pun mengambil posisi penting untuk menjadi agent of change, melakukan perubahan dengan menggugah kesadaran berpartisipasi oleh masyarakat di dalam pembangunan.
Melalui pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan ada harapan untuk mampu mengurangi jumlah penduduk miskin tersebut. Basis dari program pemberdayaan ini adalah partisipasi masyarakat, yang menghargai pengalaman masyarakat di dalam pembangunan desa. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui bagaimana partisipasi masyarakat Kecamatan X dalam pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan, dimana partisipasi masyarakat akan menjadi tolak ukur keberhasilan dari pelaksanaan PNPM-MP, yang pada akhirnya akan mampu mengurangi jumlah penduduk miskin di Kecamatan X melalui upaya pemberdayaan. Untuk mencapai itu semua, masih dibutuhkan peran dari para pelaku yang sangat diharapkan mampu menjadi agen perubahan, mempercepat proses pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan partisipasi masyarakat di dalam pelaksanaan PNPM-MP tersebut. Maka uraian tersebut dijadikan oleh penulis sebagai latar belakang memilih judul "Analisis Tingkat Partisipasi Masyarakat dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan di Kecamatan X".

B. Perumusan Masalah
Pelaksanaan PNPM-MP bertujuan untuk memberdayakan masyarakat melalui peningkatan kapasitas masyarakat baik secara individu maupun kelompok, untuk kemudian mampu memecahkan berbagai masalah dan persoalan terkait pemenuhan kebutuhan, meningkatkan kualitas hidup, kemandirian serta kesejahteraan masyarakat. Partisipasi seluruh masyarakat, termasuk didalamnya masyarakat miskin, kelompok perempuan, komunitas adat terpencil, dan kelompok masyarakat lainnya yang terpinggirkan juga menjadi tujuan yang sangat penting bagi pelaksanaan PNPM-MP ini.
Pembangunan partisipatif tentunya mengutamakan partisipasi masyarakat lokal untuk mengembangkan kapasitas atau kemampuan masyarakat tersebut. Apabila wewenang diberikan kepada masyarakat untuk mengelola suatu program demi peningkatan kesejahteraan mereka sendiri, maka masyarakat akan mau mengerahkan segala potensi yang dimilikinya demi keberhasilan program tersebut. Agar sasaran penelitian ini lebih terarah, perlu adanya perumusan masalah yang jelas dan terinci yaitu : 
1) Bagaimana peranan fasilitator, Kader Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah sebagai agent of change dalam meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-MP di Kecamatan X ?
2) Bagaimana tingkat partisipasi masyarakat dan faktor-faktor penghambat partisipasi dalam pelaksanaan PNPM-Mandiri Perdesaan di Kecamatan X ?
Masalah tersebut menjadi menarik dan penting untuk diteliti karena keberhasilan dan keberlanjutan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan di Kecamatan X dan secara umum berpengaruh ke tingkat nasional, adalah dilihat dari terciptanya partisipasi masyarakat terhadap program tersebut. Ketika partisipasi masyarakat masih rendah, maka yang menjadi tujuan PNPM-Mandiri Perdesaan yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin secara mandiri, tidak akan dapat dicapai dengan maksimal. Dan apabila terjadi hal demikian maka, program ini hanya akan berakhir sama seperti program-program pemberdayaan masyarakat yang pernah dilaksanakan sebelumnya.

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian adalah : 
1) Untuk mengetahui bagaimana peranan Fasilitator, Kader Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah sebagai agent of change dalam meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap pelaksanaan PNPM-Mandiri Perdesaan di Kecamatan X.
2) Untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat dan faktor-faktor penghambat partisipasi dalam pelaksanaan PNPM-Mandiri Perdesaan di Kecamatan X.

D. Manfaat Penelitian
1. Secara akademis memberikan kontribusi keilmuan tentang pemberdayaan masyarakat dan pengembangannya serta partisipasi masyarakat dalam kegiatan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan dan proses pembangunan.
2. Secara praktis, memberi masukan kebijakan kepada pemerintah kecamatan dan kelompok kepentingan lainnya tentang pemberdayaan, peran aktif masyarakat dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan dan proses pembangunan.

TESIS STRATEGI EFISIENSI BIROKRASI PEMERINTAH DAERAH

TESIS STRATEGI EFISIENSI BIROKRASI PEMERINTAH DAERAH

(KODE : PASCSARJ-0182) : TESIS STRATEGI EFISIENSI BIROKRASI PEMERINTAH DAERAH (PROGRAM STUDI : EKONOMI PEMBANGUNAN)


BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kebutuhan akan pemerintahan yang efektif adalah suatu keniscayaan bagi tiap masyarakat/negara, apapun model, bentuk negara dan ideologi yang diadopsi dan bagaimanapun cara mereka memandang sejauh mana batas keterlibatan atau peran pemerintah dalam menangani urusan-urusan rakyatnya, terutama untuk mencapai tujuan kesejahteraan rakyat.
Dalam kacamata pembangunan sosial sebagai suatu pendekatan, cara pandang perspektif institusional (institutional perspective), yang berupaya untuk memobilisir berbagai institusi sosial termasuk pasar, masyarakat dan pemerintah/negara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menempatkan peran pemerintah di jajaran terdepan. Posisi pemerintah yang memiliki peran yang besar tersebut juga semakin menunjukkan urgensi terhadap pemerintah yang efektif baik dalam memobilisir berbagai institusi sosial maupun menjalankan fungsi utamanya sebagai pemberi pelayanan kepada masyarakat.
Menurut Loughlin, pemerintahan yang efektif dalam wacana politik dan pemerintahan dicirikan salah satunya adalah bersifat desentralistik, bukan yang sentralistik berlebihan. Ini disebabkan adanya kekhawatiran bahwa sentralisasi kekuasaan cenderung akan menimbulkan tirani. Maka di sini dibutuhkan adanya pemerintahan daerah (berdasar azas desentralisasi) yang juga berperan sebagai alat untuk mengakomodasikan pluralitas di dalam suatu negara modern.
Keberadaan/pembentukan daerah otonom melalui desentralisasi pada hakekatnya adalah untuk menciptakan efisiensi dan inovasi dalam pemerintahan (Sarundajang, 2001 : 5). Dalam konteks pelayanan sebagai salah satu fungsi hakiki pemerintahan, pelaksanaan asas desentralisasi melalui pemberian otonomi kepada daerah dapat membuat penyediaan pelayanan publik juga menjadi lebih efektif dan efisien. Hal ini menurut Rondinelli dalam Kurniawan dapat terjadi terutama karena melalui otonomi terjadi optimalisasi hirarki dalam penyampaian layanan akibat dari penyediaan pelayanan publik dilakukan oleh institusi yang merniliki kedudukan lebih dekat dengan masyarakat sehingga keputusan-keputusan strategis dapat lebih mudah dibuat; juga karena adanya penyesuaian layanan terhadap kebutuhan dan kondisi yang ada di tingkat lokal sehingga alokasi anggaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi yang ada di wilayahnya.
Kondisi ideal tersebut tampaknya masih cukup sulit untuk diwujudkan di Indonesia karena sejumlah alasan. Salah satu determinan yang menjadi sorotan oleh berbagai kalangan adalah bahwa birokrasi peninggalan orde baru yang cenderung lemah dan lamban, akan menghambat pelaksanaan otonomi daerah. Dalam kondisi yang demikian, maksud penyelenggaraan otonomi daerah (penyediaan pelayanan yang efektif dan efisien. serta pemerintahan yang efisien, inovatif) yang bermuara pada kesejahteraan masyarakat tentu akan sukar dicapai.
Ketidakmampuan tersebut di atas, sebabnya cukup beragam untuk masing-masing daerah. Ada yang memang karena kemampuan daerah yang sangat minim, tapi tidak jarang pula karena faktor birokrasi pemerintahannya yang bermasalah. Daerah tersebut sebenarnya punya kemampuan (karena kekayaan sumber daya alamnya misalnya), tetapi karena kesalahan skala prioritas (dengan melaksanakan program mercusuar, rumah dinas yang mewah dll), inefisiensi, korupsi dan lain sebagainya. Hal-hal seperti inilah yang menurut Lusk sebagai penghalang upaya-upaya pembangunan sosial dengan merujuk pada kondisi inefisiensi birokrasi (bureaucratic inefficiency), peraturan/perundang-undangan yang berbelit-belit (complex rules and regulations) dan korupsi pemerintahan (political corruption) di Amerika Latin.
Problem yang dihadapi di negeri ini dapat dikatakan relatif sama. Birokrasi Indonesia dan negara-negara berkembang saat ini oleh Prasojo digambarkan sebagai sesuatu yang berat, lambat, tidak kreatif dan tidak sensitif terhadap publik (Prasojo, Kompas 2004). Islamy menilai birokrasi di kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia cenderung bersifat negara patrimonialistik tidak efisien, tidak efektif (over consuming and under producing). tidak obyektif, menjadi pemarah ketika berhadapan dengan kontrol dan kritik, tidak mengabdi kepada kepentingan umum. tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen penguasa dan sering tampil sebagai penguasa yang sangat otoritatif dan represif.
Penilaian lain juga mengungkapkan, sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hasil penelitian, bahwa birokrasi di Indonesia ada kecenderungan berkembang ke arah "parkinsonian" dimana terjadinya proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktur dalam birokrasi secara tidak terkendali. Pemekaran yang terjadi bukan karena tuntutan fungsi dan kebutuhan, tetapi semata-mata untuk memenuhi tuntutan struktur. Disamping itu, terdapat pula kecenderungan terjadinya birokrasi "orwellian" yakni proses pertumbuhan kekuasaan birokrasi atas masyarakat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi dikendalikan oleh birokrasi. Akibatnya, birokrasi Indonesia semakin membesar (big bureaucracy) dan cenderung tidak efektif dan tidak efisien. Pada kondisi yang demikian, sangat sulit diharapkan birokrasi siap dan mampu melaksanakan kewenangan-kewenangan barunya secara optimal.
Seorang konsultan manajemen organisasi bisnis dan publik sempat mengamati perilaku pegawai birokrasi (pemerintahan) di salah satu propinsi kawasan Indonesia Timur. Sebagian pegawai datang pukul delapan untuk absen, setengah jam kemudian pergi ke warung kopi sampai pukul satu, kemudian kembali ke kantor dan pukul dua ia sudah menghilang. Ketika berdialog dengan pimpinan mereka, sang Gubernur langsung mengeluhkan "saya tidak tahu bagaimana caranya agar birokrasi di tempat saya, bisa melayani rakyat lebih baik lagi. Saya tidak mau ada filsafat "kalau bisa diperlambat, kenapa dipercepat" katanya. Dalam kondisi yang seperti ini, berbicara peningkatan produktivitas kerja, pelayanan prima akan terkesan terlalu dini.
Berbagai "penyakit' pun seakan tak pernah lekang dari tubuh birokrasi. Fenomena ini belakangan sering disebut dengan istilah patologi birokrasi (penyakit birokrasi). Siagian mencirikan kecenderungan patologi karena persepsi, perilaku birokrasi dituding sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam dan gaya manajerial, masalah pengetahuan dan ketrampilan. tindakan melanggar hukum keperilakuan, dan adanya situasi internal. Kategorisasi yang terdiri dari 5 poin itu, bila dirinci bisa melahirkan puluhan penyakit birokrasi, seperti penyalahgunaan wewenang dan jabatan, menerima sogok, mempertahankan status quo, penipuan, tidak peduli kritik/saran, tidak mau bertindak, takut mengambil keputusan, kurangnya komitmen, kurangnya kreativitas dan eksperimentasi. Kurangnya visi yang imajinatif, nepotisme. patronase, keengganan mendelegasikan, ritualisme, xenophobia, ketidakmampuan belajar dan berkembang, pura-pura sibuk, cara kerja legalistik, tidak disiplin dan pertentangan kepentingan, kurangnya prakarsa, ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko, penggemukan pembiayaan, korupsi kontrak fiktif, bertindak sewenang-wenang. kaku, tidak peka, tidak peduli mutu kinerja, tanggung jawab rendah, kerja berbelit-belit, kerja asal jadi, tidak profesional, pemborosan, ketidak tepatan sasaran dan tujuan, pengangguran terselubung, terlalu banyak pegawai, sarana dan prasarana yang tidak tepat, dan masih banyak jenis penyakit birokrasi lainnya (Siagian, 1994 : 35-145).
Munculnya ekonomi biaya tinggi, yang membuat rakyat terbebani. Juga dituduh bertanggung jawab dalam munculnya "mentalitas birokrasi" yang diidentikkan dengan pola perilaku 4-D : duduk, datang, diam dan (dapat) duit. Bahkan birokrasi juga dituduh sebagai penyebab menyebarnya kultur negatif, aji mumpung, korupsi dan sebagainya. Pada birokrasi melekat stigma kaku, reaktif, inefisien. Jauh dari bayangan ideal Weber tiga abad silam, yang sampai abad keduapuluh birokrasi dipercaya sebagai satu-satunya organisasi yang bisa mengatur mekanisme pemerintahan secara efisien.
Keburukan birokrasi memang sudah begitu jelasnya dan telah menjadi gejala yang sangat merata. Mempersoalkannya tidak lagi dirasakan sebagai kritik keilmuan dan tidak mesti datang dari seorang pakar. Kesan negatif terhadap birokrasi meluas menjadi pemahaman umum bagi masyarakat yaitu bahwa birokrasi adalah representasi organisasi yang lamban dan terpusat, pemenuhan terhadap ketentuan dan peraturan, serta rantai hirarki komando, tidak lagi berjalan baik. Birokrasi menjadi bengkak, boros dan tidak efektif.
Saat ini kesadaran terhadap problem yang melekat pada birokrasi akhirnya mengantarkan pada suatu kesimpulan bahwa harus ada "sesuatu" untuk memperbaiki kebobrokan birokrasi sebagai organisasi publik. Sesuatu itu adalah "perubahan/pembaharuan". Dalam wacana akademik maupun praktisi muncul istilah-istilah seperti reformasi birokrasi, reformasi administrasi, reformasi manajemen sektor publik dan lain sebagainya. Walaupun latar belakang lahirnya dan definisi-definisi tersebut tidak sama persis, namun mempunyai titik temu pada upaya pembenahan pengelolaan sektor publik secara lebih baik, lebih profesional.
Penerapan pendekatan manajemen profesional pada sektor publik telah banyak disuarakan oleh para pakar dengan berbagai istilah, misalnya dengan nama "managerialism" oleh Pollitt, "new public management" oleh Hood, "market based public administration" oleh Lan dan Rosenbloom, dan "entrepreneurial government/reinventing government" oleh Osborn dan Gaebler. Apapun istilah yang dipergunakan, yang jelas pendekatan manajemen profesional ini telah merubah orientasi fokus peran dan fungsi birokrasi dalam pemerintahan yang semula lebih mementingkan "process" menuju ke "product', atau dari "rule governance" menuju ke "goal governance", yang pada pelaksanaannya membutuhkan paradigma baru, inovasi, perubahan struktur, kreativitas, tekad/keberanian, efisiensi tinggi, kecepatan, fleksibelitas, optimisme, kegigihan dan lain sebagainya berupa nilai-nilai yang sebelumnya dianggap hanya milik organisasi bisnis dan para entrepreneur.
Dalam konteks Indonesia, upaya perbaikan citra/pembenahan birokrasi yang telah mengalami "distorsi" memang sudah mulai dilakukan. Reformasi 1998 dan otonomi daerah dalam hal ini menduduki peranan yang strategis. Otonomi daerah di Indonesia dapat dikatakan buah dari reformasi sekaligus salah satu wadah dari reformasi birokrasi. Keberadaan reformasi birokrasi sendiri sudah merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi demi tercapainya apa yang biasa disebut good governance. Arus good governance ini menjadi penting sebagai salah satu aspek reformasi Yang dituntut oleh masyarakat yang memiliki makna mencakup transparansi pengelolaan negara, akuntabilitas terhadap publik dan masyarakat yang partisipatif terhadap kebijakan pemerintah yang merupakan bentuk dari tata kelola pemerintahan yang baik.
Pelaksanaan otonomi daerah idealnya akan mengubah perilaku pemerintah daerah untuk lebih efisien dan profesional. Untuk itu, pemerintah daerah perlu melakukan perekayasaan ulang terhadap birokrasi yang selama ini dijalankan (bureaucracy reengineering). Hal tersebut karena pada saat ini dan di masa yang akan datang pemerintah (pusat dan daerah) akan menghadapi gelombang perubahan baik yang berasal dari tekanan eksternal maupun dari internal masyarakatnya. Dari sisi eksternal, pemerintah akan menghadapi globalisasi yang sarat dengan persaingan dan liberalisme arus informasi, investasi, modal, tenaga kerja, dan budaya. Di sisi internal, pemerintah akan menghadapi masyarakat yang semakin cerdas (knowledge based society) dan masyarakat yang semakin banyak tuntutannya (demanding community).
Kecenderungan peningkatan kecerdasan masyarakat dan banyaknya tuntutan yang mereka serukan akan menjadi pressure bagi pemerintah. Yang ditujukan tentu adanya optimalisasi pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah. Pelayanan publik yang optimal akan mustahil tercapai tanpa adanya organisasi pemerintah daerah yang bekerja secara profesional dan efisien serta memiliki sumber daya aparatur yang memiliki jiwa kewirausahaan. Ini mutlak dibutuhkan mengingat sumber daya terbatas (dana, personal, peralatan) sementara tuntutan akan out put tetap maksimal. Hal ini juga dimaksudkan sebagai salah satu upaya agar di tengah gelombang tekanan politik (political pressures) domestik maupun luar negeri kesulitan anggaran dan keuangan (fiscal pressures), pemerintah dan pemerintah daerah bisa terhindar dari keterpurukan dan kebangkrutan.
Hal tersebut memang bukan persoalan mudah. Namun, secara teoretik, salah satu prasyarat penting agar birokrasi pemerintah dapat mendinamisasikan dirinya ialah dengan cara mentransformasikan diri dari birokrasi yang kaku menjadi organisasi pemerintahan yang strukturnya desentralisasi, inovatif, fleksibel dan responsif.
Setelah pelaksanaan otonomi daerah, beberapa pemerintah daerah terbukti telah membentuk sistem birokrasi yang lebih mudah bagi pelayanan publik. Dalam beberapa daerah studi, hal ini menghasilkan rasionalisasi tata kerja, jam kerja dan transparansi yang lebih besar. Penyederhanaan ini khususnya muncul dalam kasus pemberian ijin. Pelayanan ini menjadi lebih mudah dan lebih efisien, dan dilakukan dalam satu atap. Pemerintah pusat juga mendorong Pemkab dan Pemkot untuk mengembangkan sistem pelayanan satu atap atau Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (SAMSAT) untuk tujuan ini. Selain itu, rasionalisasi pada divisi tenaga kerja menghasilkan penyerahan kewenangan dan tanggung jawab administratif yang lebih besar.
Persoalan yang terjadi selama ini dalam konteks kesejahteraan rakyat adalah kemampuan keuangan atau APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) suatu daerah yang tinggi tidak menjamin terjadinya peningkatan kesejahteraan yang signifikan bagi masyarakatnya. Daerah-daerah yang tergolong "sedang" juga menghadapi problem yang sama, apalagi daerah-daerah yang tergolong" miskin", yang merasa lebih tidak mampu lagi untuk memberikan pelayanan lebih baik kepada masyarakatnya. Hal yang sering terjadi, anggaran dana yang tersedia setiap tahunnya sebagian besar terserap hanya untuk kebutuhan operasional birokrasi pemerintah daerah. Tidak banyak pemerintah daerah yang dapat memberikan pelayanan optimal terhadap hal yang berhubungan langsung dengan kebutuhan masyarakat seperti pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya dengan alasan tidak tersedianya dana untuk itu. Padahal persoalan yang sesungguhnya bisa jadi bukan pada jumlah dana yang sedikit, tapi bagaimana pengelolaan dana/sumber daya tersebut dapat dilakukan secara efisien.
Efisiensi merupakan hal yang secara normatif memang harus dilaksanakan oleh organisasi manapun. Dari sisi normatifnya pula, efisiensi adalah sesuatu yang mudah diucapkan oleh siapapun tapi tidak mudah untuk dilaksanakan dan tentu bukannya merupakan sesuatu yang bebas kendala. Ini menarik untuk dikaji secara lebih mendalam.

B. Permasalahan
Dari pemaparan di atas tampak bahwa otonomi telah membawa angin baru dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Persoalan distorsi birokrasi yang sebenarnya adalah masalah klasik sudah seharusnya segera diselesaikan dengan semangat reformasi birokrasi, diiringi optimisme, inovasi, serta keberanian untuk melakukan perubahan.
Otonomi daerah adalah momen yang tepat. Kewenangan luas yang diberikan kepada daerah memberi kesempatan besar untuk melakukan banyak hal, tentu di tengah berbagai keterbatasan, tantangan dan persoalan yang muncul yang merupakan implikasi dari penerapan otonomi itu sendiri.
Daerah-daerah menghadapi keterbatasan, tantangan dan persoalan tersebut secara berbeda dan menghasilkan sesuatu yang berbeda pula. Sebagian daerah menangkap bola otonomi dengan antusias dan kreativitas tinggi dalam rangka optimalisasi pelayanan publik dan mencapai kesejahteraan rakyat. Salah satu daerah yang layak mendapat apresiasi dalam hal ini adalah Pemerintah Kota X yang telah melakukan banyak hal berupa program-program inovatif dengan keterbatasan yang sama dengan daerah !ain.
Sejauh ini telah diketahui melalui penelitian yang dilakukan sebelumnya (Prasojo dkk, 2004) bahwa kata kunci keberhasilan berbagai program di atas dari sisi pemerintah daerahnya adalah penerapan pola efisiensi birokrasi secara ketat di segala bidang. Mengingat efisiensi adalah sesuatu yang tidak mudah untuk dilaksanakan, maka peneliti tertarik untuk mendalami seperti apa strategi efisiensi yang dilakukan dan apa saja kendalanya. Pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut : 
1. Bagaimana strategi efisiensi dan pelaksanaannya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota X ?
2. Faktor- faktor apa saja yang menjadi penghambat dan pendukung dalam pelaksanaan strategi efisiensi tersebut ?
3. Bagaimana peran kebijakan strategi efisiensi terhadap kesejahteraan rakyat di X ?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan, ada tiga tujuan yang dicapai dalam penelitian ini, yakni : 
1. Menggambarkan strategi efisiensi dan pelaksanaannya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota X sebagai salah satu faktor kunci keberhasilan dalam pelaksanaan program-program inovatif.
2. Menggali dan mendeskripsikan faktor-faktor penghambat dan pendukung pelaksanaan strategi efisiensi tersebut.
3. Mengetahui peran strategi efisiensi yang dilakukan terhadap pelayanan publik dan program peningkatan kesejahteraan rakyat X.

D. Manfaat Penelitian
Sejalan dengan tujuan di atas penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi pada pengembangan kajian di Bidang Otonomi dan Pemerintahan Lokal yang merupakan objek bahasan utama dalam konsentrasi Otonomi dan Pembangunan Lokal dan juga dalam kajian pembangunan sosial, di mana seperti yang dikatakan Lusk dalam Midgley bahwa birokrasi yang inefisien merupakan salah satu penghalang upaya-upaya pembangunan sosial. Selain itu dalam rangka menambah pengetahuan dan pengalaman penulis dalam penelitian ilmiah di Bidang Pemerintahan Lokal.