Search This Blog

Showing posts with label hukum. Show all posts
Showing posts with label hukum. Show all posts
MAKALAH PERBUATAN MAIN HAKIM SENDIRI DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS

MAKALAH PERBUATAN MAIN HAKIM SENDIRI DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGIS


1. Pendahuluan
Tindak kekerasan oleh massa dalam bentuk main hakim sendiri terhadap pelaku kejahatan, pada saat ini telah menjadi fenomena baru dalam masyarakat. Fenomena ini terus bermunculan, seiring dengan bergulirnya gerakan reformasi. Harian Kompas mencatat selama 1 tahun terakhir hanya di wilayah Jabotabek saja telah terjadi 46 peristiwa kekerasan dengan korban tewas dan dibakar massa sebanyak 67 orang. Korban tersebut semuanya adalah pelaku tindak kriminal, seperti pencurian sepeda motor, perampasan mobil/taksi, pencurian ternak dan sebagainya.
Salah satu contoh yang sangat tragis adalah ketika empat pelaku kejahatan di Pondok Gede yang sudah ada di atas mobil patroli Polisi, kemudian diseret, dianiaya dan dibakar oleh massa. Menyikapi kejadian tersebut, komentar yang muncul dari salah satu anggota masyarakat adalah: “ … kalau diserahkan kepada polisi, tak lama lagi mereka akan keluar dan kembali nodong”. Komentar ini menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada aparat penegak hukum telah hilang dan juga menunjukkan rendahnya kemampuan polisi untuk mencegah tindakan main hakim sendiri tersebut.
Peristiwa main hakim sendiri ini tidak hanya terjadi di Jakarta yang karakteristik penduduknya sangat beragam. Di Cilacap yang masyarakatnya dikategorikan lebih tradisional, selama kurun waktu lima bulan tercatat 13 pelaku kejahatan tewas dihakimi massa. Sembilan diantaranya tewas dengan cara dibakar dan salah satunya adalah pelaku pencurian satu ekor ayam.
Mencermati perilaku masyarakat dalam menyikapi berbagai tindak pidana kejahatan tersebut, pertanyaan yang muncul adalah mengapa masyarakat berperilaku demikian ? Tidak mampukah peraturan hukum sebagai sarana kontrol sosial mencegah tindakan main hakim sendiri ? Makalah ini akan menguak fenomena perilaku main hakim sendiri dari aspek sosiologis.

2. Hukum dan masyarakat
Untuk mengatur ketertiban dan kepatuhan terhadap norma kehidupan bermasyarakat diperlukan suatu norma hukum. Hoeber (dalam Schur, 1968) menyebutkan empat fungsi dasar hukum sebagai sarana kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu :
a. Untuk menetapkan hubungan-hubungan antar anggota masyarakat, dengan menunjukan jenis-jenis perilaku apa saja yang diperbolehkan dan yang dilarang;
b. Menentukan pembagian kekuasaan dan merinci siapa saja yang mewakili kewenangan untuk melakukan pemaksaan, serta siapa saja yang harus mentaatinya. Sekalipun memilihkan sanksi-sanksi yang tepat dan efektif;
c. Menyelesaikan sikap sengketa; dan
d. Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi kehidupan yang berubah, dengan cara merumuskan kembali hubungan-hubungan antar anggota masyarakat. Apabila fungsi-funsgi ini dijalankan dengan benar dan kosekuen, dapat diharapkan perilaku manusia dan tata kehidupam masyarakat akan sesuai dengan kaidah, norma, nilai dan aturan yang berlaku secara universal.

Namun demikian untuk menjalankan fungsi hukum tersebut menurut Parsons (1971) terdapat beberapa masalah penting yang harus diselesaikan terlebih dahulu, yaitu :
a. Masalah legitimasi, yang berkaitan daengan landasan bagi pentaatan kepada peraturan;
b. Masalah interpretasi, yang menyangkut masalah penetapan hak dan kewajiban subjek melalui proses penerapan peraturan;
c. Masalah sanksi, berkaitan dengan penegasan sanksi-sanksi yang akan timbul apabila terdapat pentaatan atau pelanggaran peraturan, serta menegaskan siapa yang berhak menerapkan sanksi tersebut;
d. Masalah yirisdiksi, yaitu berkaitan dengan penetapan garis kewenangan tentang siapa yang akan berhak menegakan norma-norma hukum dan apa saja yang akan diatur oleh norma hukum tersebut (perbuatan, orang, golongan dan peranan).
Keempat masalah ini menjadi amat penting, karena produk hukum yang berupa peraturan hukum harus memenuhi dan menjamin sara keadilan masyarakat. Oleh karenanya, melihat fungsi hukum yang demikian, antara hukum dan kehidupan sosial masyarakat tidaklah dapat dipisahklan. Peraturan hukum dapat digunakan sebagai sarana kontrol sosial dalam hubungan antara manusia maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Hubungan yang erat antara hukum dan masyarakat ini oleh Durkheim (1964) ditunjukan oleh perbedaan bentuk dan cara pelaksanaan hukum dalam suatu struktur sosial masyarakat yang berbeda. Dalam teorinya tentang solidaritas sosial, Durkheim membadakan masyarakat dalam dua jenis yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Solidaritas mekanik ditandai oleh pembagian kerja yang rendah, kesadaran kolektif kuat, idividualisme rendah, hukum yang sifatnya represif sangat dominan, konsendus terhadap pola-pola normatif sangat penting, keterlibatan komunitas dalam menghukum orang yang menyimpang sangat besar, dan bersifat primitif atau pedesaan. Dengan ciri yang demikian, maka hukum ini mendefinisikan setiap perilaku kejahatan sebagai ancaman terhadap solidaritas. Oleh karenanya pemberian hukum di sini dilakukan tanpa harus mencerminkan pertimbangan rasional yang mendalam mengenai jumlah kerugian secara objektif yang menimpa masyarakat dan juga bukan merupakan pertimbangan yang diberikan utuk menyesuaikan hukuman dengan kejahatannya. Hukuman tersebut cenderung mencerminkan dan menyatakan kemarahan kolektif. Sedang solidaritas organik ditandai oleh perbagian kerja yang tinggi, kesadaran kolaktif rendah, hukum yang sifatnya restitutif lebih dominan, individualis tinggi, lebih mementingkan konsensus pada nilai-nilai abstrak dan umum, badan-badan kontrol sosial yang menghukum orang yang menyimpang, dan bersifat industrial-perkotaan. Penerapan hukuman dalam solidaritas mekanik lebih bertujuan untuk memulihkan perilaku masyarakat agar sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Kemajuan pembangunan yang dicapai oleh masyatrakat Indonesia saat ini secara umum dapat dikategorikan pada struktur masyarakat bentuk solidaritas organik. Dengan kemajuan ini tentunya norma hukum yang dianut lebih bersifat restritutif. Namun melihat perilaku nain hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai penerapan hukum yang berlaku pada masyarakat yang memiliki karakteristik solidaritas mekanik. Ketidakselarasan antara kemajuan zaman dengan praktik pelaksanaan hukum ini selanjutnya dapat dikategorikan sebagai penyimpangan. Penyimpangan atau ketidaksesuaian yang terjadi dalam masyarakat ini, dalam teori sosiologi disebut sebagai anomie (Durkheim, 1964). Yaitu suatu keadaan dimana niali-nilai dan norma-norna semakin tidak jelas lagi dan kehilangan relevansinya. Tindakan main hakim sendiri, dengan demikian dapat dikategorikan sebagai anomie, atau dalam kasus main hakim sendiri ini terjadi ketidaksesuaian dalam penerapan fungsi hukum dengan tujuan yang diinginkan oleh masyatakat. Pelasanaan fungsi hukum oleh lembaga hukum dipadang oleh masyatakat belum memenuhi rasa keadilan masyarakat, sehingga masyarakat menjalankan hukumnya sendiri. Berlarutnya penyelesaian berbagai kasus pelanggaran hukum yang tanpa ujung telah menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi dan perangkat hukum.
Belum selesai penanganan hukum terhadap kasus 27 Juli, kasus Bank Bali dan kasus mantan presiden Soeharto, sebagai contoh, telah memberikan inspirasi kepada masyarakat untuk tidak lagi mempercayai hukum, di samping menumbuhkan kemarahan dan kekecewaan masyarakat terhadap lembaga hukum sebagai lembaga kontrol sosial. Oleh karenanya Smelser (1963) melihat gejala kekerasan massa ini sebagai perwujudan dari ledakan kemarahan dan akumulasi kekecewaan masyarakat. Sebagai akibatnya, ketika pengendalian atau kontrol sosial oleh pemerintah melalui peraturan atau pranata hukum dianggap tidak berfungsi, maka pengendalian sosial dalam bentuk lain akan muncul (Black, 1976). Tindakan individu atau massa untuk main hakim sendiri terhadap pelaku kejahatan pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk pengendalian sosial oleh masyarakat.
Keberanian masyarakat untuk mengambil alih proses pengendalian sosial dalam bentuk main hakim sendiri ini, mau tidak mau dapat dinyatakan sebagai buah dari gerakan reformasi. Gerakan reformasi telah mewariskan kepada masyarakat, baik yang positif maupun negatif, kebebasan, keberanian, keterbukaan informasi, demokrasi, dan sebagainya, yang kemudian menumbuhkan “kekuasaan dalam masyarakat. Rasa memiliki kekuasaan inilah yang kemudian menjadi pendorong munculnya tindakan main hakim sendiri oleh masyarakat. Di sini kekuasaan dipandang sebagai sarana untuk melegitimasikan setiap tindakan yang dilakukan oleh masyarakat, termasuk melakukan tindakan hukum. Di sini berlaku suatu asumsi, bahwa penguasalah pemilik hukum".

3. Hukum dan kekuasaan
Keterkaitan hukum dan kekuasaan ini dapat dibuktikan melalui sejarah pemerintahan orde baru. Kekuasaan yang sangat besar yang dimiliki oleh pemerintah orde baru, mendorong pelaksanaan sistem hukum sesuai dengan selera dan kebutuhan penguasa. Di sini mengandung artibahwa para pemilik kekuasan pada umumnya berusaha mempertahankan “status quo” melalui berbagai tindakan yang tersembunyi di balik instrumen dam peraturan hukum. Tindakan ini oleh Galtum (1996) disebut sebagai kekuasan “punisif”, yang memiliki sumber legitimasinya pada kemampuan untuk memberikan sanksi “kejahatan” terhadap mereka yang berada di bawah kekuasaannya, guna menciptakan “rasa takut”. Kekuasaan ”punitif” ini memiliki kecenderungan mewujudkan tujuannya melalui berbagai bentuk kekerasan fisik dan psikologis melalui penyiksaan, ancaman, tekanan dan sejenisnya.
Pemerintahan orde baru dengan kekuasaanya itu telah memperaktikan apa yang dilansir oleh Galtum tersebut. Pemberian stigma politik kepada para demonstran atau kepada kelompok yang berwawasan kritis, penggusuran tanah atas nama pembangunan, merupakan contoh jelas dari upaya untuk mempertahankan kekuasaan melalui instrumen hukum. Oleh karenanya menjadi benar apabila Max Weber (1922) menyatakan bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam suatu hubungan sosial melaksanakan kemauan sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apapun dasar kemampuan ini.
Mengapa penguasa (pemerintah) mampu menguasai rakyat yang sebenarnya memiliki kekuasaan fisik yang jauh lebih besar? Menurut Hume (dalam Aubert, 1973) ini disebabkan oleh kemampuan dan keberhasilan penguasa untuk menguasai opini. Yaitu dengan melakukan tekanan-tekanan, kekerasan dan berbagai bentuk penciptaan rasa takut lainnya, secara terus menerus sehingga memunculkan kepatuhan. Kepatuhan ini timbuk secara terus menerus untuk selalu tunduk dan pasrah, yang dilandasi oleh perasaan superioritas sang penguasa ataupun perasaan takut. Oleh karena hanya di atas opini sajalah kekuasaan dapat ditegakkan, maka penggalangan dan pembentukan opini terus menerus di lalukan guna mempertahan kekuasaan.
Seiring dengan jatuhnya kekuasaan orde baru, masyarakat kemudian merasa menggunakan kekuasaan yang dimilikinya, masyarakat kemudian mengadopsi dan meniru pola atau model penggunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintah orde baru. Masyarakat telah belajar banyak dari kemampuan pemerintah orde baru dalam menggunakan kekuasaannya, yang selanjutnya dipraktikan dalam bentuk pengadilan jalanan. Tindakan main hakim sendiri ini merupakan upaya masyarakat untuk menciptakan opini kepada pemerintah maupun kepada masyarakat lain secara lebih luas, guna menunjukkan kekuasaanya, meskipun tindakan tersebut disadari telah melanggar hukum.

4. Alternatif pencegahan
Perilaku menyimpang dan anomali dalam bentuk main hakim sendiri, sebagai suatu penyakit masyarakat, tentunya harus segera diobati. Untuk menemukan obat yang tepat pertama kali perlu dikenali akar permasalahan munculnya tindak kekerasan atau main hakim sendiri tersebut. Apabila akar masalahnya adalah ketidakpercayaan terhadap pranata hukum, maka fungsi hukum seperti yang dikemukakan olehHoeber di muka perlu dilaksanakan secara konsekuen. Upaya ini pada akhirnya akan menumbuhkan kewibawaan dan kepastian hukum yang memenuhi rasa keadilan masyarakat. Sedangkan apabila tindak kekerasan itu berakar pada ketidakadilan dan ketertidakpastian masyarakat oleh struktur kekuasaan (penguasa), maka obat yang tepat untuk itu adalah “pencairan” struktur kekuasaan yang menjadi sumbernya. Di sinilah kemudian dituntut demokratisasi dalam kehidupan sosial masyarakat. Untuk dapat melaksanakan ini semua, maka berbagai masalah yang dikemukakan oleh Parsons di muka perlu diselesaikan terlebih dahulu.
Berbagai masalah tersebut dapat diatasi dengan berbagai tindakan antara lain adalah :
a. Hukum danperaturan perundang-undangan harus dirumuskan dengan baik dan dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kepribadian, jujur, tidak memihak, serta memiliki kemampuan;
b. Peraturan perundang-undangan sebaiknya bersifat melarang, bukan bersifat mengharuskan;
c. Sanksi yang diancamkan di dalam perundang-undangan haruslah sebanding dengan sifat perundang-undangan yang dilanggar;
d. Lembaga hukum harus dibebaskan dari berbagai kekuasaan di luar kekuasaan yudikatif, utamanya kekuasaan eksekutif; dan
e. Para pelaksana hukum harus menafsirkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan tafsir yang dilakukan oleh aparat pelaksana hukum. Melalui tindakan-tindakan ini dan menentukan akar permasalahan timbulnya tindakan main hakim sendiri, diharapkan tindak kekerasan oleh massa dapat dihentikan.

Makalah Analisa Perubahan Kedudukan Polri

Makalah Analisa Perubahan Kedudukan Polri

Judul : Makalah Analisa Perubahan Kedudukan Polri

Daftar Isi :
KATA PENGANTAR, BAB I PENDAHULUAN, LATAR BELAKANG, MAKSUD DAN TUJUAN, BAB II PERMASALAHAN, BAB III PEMBAHASAN, ANALISA POLITIK, ANALISA YURIDIS, ANALISA PRAKTIS OPERASIONAL, BAB IV PENUTUP, KESIMPULAN, SARAN.

Sekilas Isi :
A. ANALISA POLITIK
Dalam perjuangan Orde Baru untuk kembali kepada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, Presiden memutuskan untuk menjadikan kedudukan organik dan tanggung jawab kepolisian RI sederajat dengan Angkatan Darat, Laut dan Udara sebagai unsur angkatan bersenjata dalam Departemen HANKAM.
Pada saat kedudukan polisi dibawah Departemen Dalam Negeri, polisi menjadi perebutan pihak-pihak tertentu untuk melakukan aktivitas politik dikarenakan polisi merupakan aparat sipil yang bersenjata dan memiliki kewenangan untuk merampas HAM.
Karena adanya perebutan tersebut, mengakibatkan kekacauan dimana-mana, sehingga Presiden Soekarno mengambil inisiatif untuk menggabungkan antara polisi dengan TNI langsung dibawah Departemen HANKAM dengan tujuan agar :
1. Tetap terjaganya keutuhan negara atau mencegah adanya perpecahan bangsa.
2. Terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa.
3. Mencegah adanya pemberontakan bersenjata karena polisi dan TNI memiliki senjata yang sama.
Setelah polisi digabung kembali dengan TNI bukan perbaikan yang terjadi tetapi malah berdampak buruk bagi masyarakat, maka dari itu polisi dipisahkan kembali dengan TNI dengan pertimbangan agar :
1. Polisi dan TNI lebih profesional dalam menjalankan tugasnya.
2. Polisi dan TNI dapat menjalankan perannya dengan baik.
3. Melarang TNI dan polisi berperang melakukan kegiatan politik praktis.
4. Memberikan peran yang lebih besar kepada sipil untuk melakukan kegiatan politik praktis.
5. Merubah paradigma dari polisi yang bersifat militeristik menjadi polisi yang sipil.

B. ANALISA YURIDIS
Pada masa Orde Baru :
1. Dengan ketetapan MPRS No. : 11/MPRS/1960 No. 54 Kepolisian Republik Indonesia dinyatakan sebagai Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Pernyataan tersebut tercantum dalam paragraf 404 sub 1 TAP MPRS No. 11/1960 yakni sebagai berikut : Polisi ikut serta dalam pertahanan.
2. Undang-Undang No. 13 Tahun 1961 Pasal 3
Kepolisian Negara adalah ABRI.
3. KEPPRES No. 52 Tahun 1964
Dinyatakan bahwa kepolisian negara RI sebagai unsur Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan merupakan bagian organik dari Departemen Pertahanan dan Keamanan.
Undang-Undang No. 43 Tahun 1999 :
Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, anggota POLRI merupakan dan termasuk pegawai negeri kepolisian yang bukan ABRI.
Undang-Undang Pokok Kepolisian No. 13 Tahun 1981 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa POLRI merupakan bagian dari ABRI.
TAP MPRS No. 1 dan 2 Tahun 1980 tentang Peraturan Militerasi.