Search This Blog

Showing posts with label contoh skripsi PAUD. Show all posts
Showing posts with label contoh skripsi PAUD. Show all posts

SKRIPSI PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA PADA ANAK USIA DINI MELALUI TEKNIK MEMBACA NYARING MENGGUNAKAN BUKU CERITA BERGAMBAR

(KODE : PG-PAUD-0086) : SKRIPSI PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA PADA ANAK USIA DINI MELALUI TEKNIK MEMBACA NYARING MENGGUNAKAN BUKU CERITA BERGAMBAR

SKRIPSI PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA PADA ANAK USIA DINI MELALUI TEKNIK MEMBACA NYARING MENGGUNAKAN BUKU CERITA BERGAMBAR
BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Fokus utama tujuan pengajaran Bahasa Indonesia meliputi empat aspek ketrampilan berbahasa yaitu ketrampilan menyimak, ketrampilan berbicara, ketrampilan membaca dan menulis. Keempat aspek kemampuan berbahasa tersebut saling berkaitan erat, sehingga merupakan satu kesatuan dan bersifat hirarkis, artinya ketrampilan berbahasa yang satu akan mendasari ketrampilan berbahasa yang lain.
Di sekolah pembelajaran bahasa Indonesia memang memiliki peranan yang sangat penting dibandingkan dengan pembelajaran yang lain. Seperti yang dikemukakan Akhadiah dalam Darmiyati Zuchdi dan Budiasih (2001 : 57), bahwa pembelajaran membaca, guru dapat berbuat banyak dalam proses pengindonesiaan anak-anak Indonesia.
Dalam pembelajaran membaca, guru dapat memilih wacana yang berkaitan dengan tokoh nasional, kepahlawanan, kenusantaraan dan kepariwisataan. Selain itu, melalui pembelajaran membaca, guru dapat mengembangkan nilai-nilai moral, kemampuan bernalar dan kreativitas anak didik.
Pembelajaran membaca anak usia dini merupakan pembelajaran membaca tahap awal, salah satunya adalah membaca nyaring. Dengan membaca nyaring siswa akan mengenali huruf-huruf dan membacanya sebagai suku kata, kata dan kalimat sederhana.
Setelah peneliti mencermati ternyata siswa kurang tertarik dan kurang aktif dalam mengikuti pembelajaran membaca nyaring. Hal ini disebabkan oleh guru yang dalam pembelajaran membaca nyaring sering menggunakan metode ceramah, dan belum menggunakan metode, sehingga siswa mendapat pemahaman yang masih abstrak. 
Upaya meningkatkan kemampuan membaca nyaring merupakan kebutuhan yang mendesak untuk dilakukan sehingga dalam pembelajaran Bahasa Indonesia dapat memberikan pengalaman kongkrit, meningkatkan motivasi belajar siswa dan mempertinggi daya serap siswa serta siswa dapat memusatkan perhatiannya dalam belajar.
Media gambar memegang peranan yang sangat penting dalam proses belajar. Media gambar dapat memperlancar pemahaman dan memperkuat ingatan. Gambar dapat pula menumbuhkan minat siswa dan dapat memberikan hubungan dengan isi materi pelajaran dengan dunia nyata. 
Menurut Farida Nur’aini (2010 : 12) menyatakan bahwa “Alam pikir anak adalah gambar. Dengan perkataan lain, ‘bahasa alam pikir anak adalah bahasa gambar’. Semua informasi yang dia terima, akan dia pikirkan di alam pikirannya dalam bentuk konkret, bentuk yang sesuai dengan pemikirannya sendiri”.
Agar menjadi efektif, gambar sebaiknya diletakkan pada konteks yang bermakna dan siswa harus berinteraksi dengan gambar (image) itu untuk meyakinkan terjadinya proses informasi.
Bentuk media gambar bisa berupa gambar yang dibuat dari kertas karton atau sejenisnya yang tidak tembus cahaya. Contohnya lukisan, potret, gambar dari majalah atau gambar yang disertai kata atau kalimat.
Dengan adanya media gambar dalam proses belajar tersebut diharapkan guru dan murid bisa mengungkapkan isi mengenai gambar tersebut setelah menganalisa dan memikirkan informasi yang terkandung dalam gambar tersebut.
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa media gambar adalah gambar yang dibuat pada kertas karton atau sejenisnya yang dapat memberikan gambaran tentang segala sesuatu seperti binatang, orang, tempat atau peristiwa.
Manfaat yang diperoleh dalam proses belajar membaca dengan menggunakan media gambar adalah anak dapat memahami isi gambar, sehingga anak lebih termotivasi dan lebih tertarik untuk membaca dan mengetahui isi cerita bergambar. Dengan demikian membaca bagi anak perlu disediakan media sebagai visualisasi agar dapat menarik minat membaca sehingga kemampuan anak dapat lebih meningkat dibanding sebelum menggunakan media gambar.
Dari uraian diatas, peneliti menganggap perlu dilakukan penelitian tentang PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA PADA ANAK USIA DINI DENGAN TEKNIK MEMBACA NYARING MENGGUNAKAN MEDIA GAMBAR.

SKRIPSI PENGARUH TAYANGAN TELEVISI TERHADAP PERKEMBANGAN PERILAKU NEGATIF ANAK USIA DINI

(KODE : PG-PAUD-0085) : SKRIPSI PENGARUH TAYANGAN TELEVISI TERHADAP PERKEMBANGAN PERILAKU NEGATIF ANAK USIA DINI

SKRIPSI PENGARUH TAYANGAN TELEVISI TERHADAP PERKEMBANGAN PERILAKU NEGATIF ANAK USIA DINI
BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Era globalisasi informasi sekarang ini, Indonesia diramaikan oleh hadirnya beberapa televisi swasta seperti AN-TV, INDOSIAR, TRANSTV, MNC TV, Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), Surya Citra Televisi (SCTV), TV-Global, TV ONE, TRANS7, Metro-TV, Televisi Republik Indonesia (TVRI) yang sudah lebih lama beroperasi. Apabila sampai akhir dekade 80-an masyarakat dihadapkan pada suatu pilihan mau tidak mau, suka tidak suka hanya TVRI, saat ini masyarakat lebih leluasa memindah saluran yang satu ke saluran yang lain sesuai dengan acara yang dinikmati. Semua televisi swasta tersebut berusaha menarik perhatian pemirsa sebanyak-banyaknya dan dapat menempati porsi tertinggi. Hal ini berarti masuknya dana meliputi iklan yang menopang dari televisi tersebut. Dalam situasi demikian sudah tentu televisi harus menyiarkan hal-hal atau film-film import, meskipun porsinya mulai dikurangi, tetapi tidak mungkin atau belum berhasil seluruhnya.
Kekhawatiran muncul karena diduga akan menjadi muntahan acara dari luar negeri tersebut, sebab isinya tidak sesuai dengan budaya, kepribadian bahkan falsafat bangsa Indonesia. Hal itu tidak sepenuhnya benar dan tidak semua keliru, karena pada kenyataannya masyarakat tidak bisa menolak masuknya segala hal yang “berbau” asing. Bahkan tidak hanya dalam bidang komunikasi, tetapi dalam hal mode busana, rambut dan makanan alternatif sama dengan yang ada di luar negeri.
Dengan banyaknya stasiun televisi yang ada di Indonesia (bandingkan dengan jaman dahulu) dengan berbagai macam acara yang lebih mengutamakan hiburan (kecuali TVRI), tentu membawa konsekuensi semakin berat bagi pemirsa, khususnya orang yang sudah tua harus mulai mengarahkan anak-anaknya dalam memanfaatkan hasil teknologi tersebut. Kondisi ini menantang para orang tua untuk lebih selektif dan berkompromi dengan anak-anaknya untuk menyaksikan tayangan yang patut dinikmati dan acara yang seharusnya tidak dilihat oleh anak. Apalagi usia anak-anak merupakan usia yang strategis dan lebih mudah terkena pengaruh, baik dari lingkungan dengan kontak langsung maupun media elektronik.
Penelitian pada film untuk anak-anak yang dilakukan oleh Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI) bekerjasama dengan Balitbang Deppen tahun 1993 menunjukkan bahwa adegan antisosial (52%) lebih banyak dari pada adegan prososial (48%). Adegan prososial menurut Wispe adalah beberapa perilaku yang memiliki konsekuensi sosial positif sedangkan menurut Mussen dan Einsenberg perilaku prososial sebagai tindakan yang ditujukan untuk memberi bantuan atau kebaikan pada orang lain atau kelompok orang tanpa mengharapkan balasan, dengan cara-cara yang cenderung mentaati norma sosial, Contoh adegan prososial adalah mementingkan orang lain, mengalah dengan alasan yang masuk akal dan tanpa paksaan, aktivitas menolong, pemakaian bersama (share), kehangatan yang menggambarkan keakraban hubungan persahabatan atau persaudaraan termasuk romantisme dalam bekerjasama, simpati yang merupakan ungkapan perasaan dan perbuatan tertentu dari seorang kepada orang lain seperti yang dialami oleh orang tersebut, misalnya; turut sedih, turut bergembira, dan lain-lain. Sedangkan kategori adegan antisosial meliputi; berkata dan bertindak kasar, membunuh, berkelahi, pemaksaan, mencuri, berperang, memukul, melukai, mengganggu, menyerang, dan sejenisnya, seperti ungkapan kebencian atau mengejek (B. Gunarto, 1995 : 24).
Tayangan televisi berpengaruh negatif terhadap perkembangan perilaku anak tergantung dari penyesuaian anak, (Hurlock, 1978 : 344), “Anak yang penyesuaiannya baik kurang kemungkinannya terpengaruh secara negatif, apakah permanen atau temporer dibandingkan dengan anak yang buruk penyesuaiannya, dan anak yang sehat dibanding anak yang tidak sehat.”
Kuatnya pengaruh tontonan televisi terhadap prilaku seseorang telah dibuktikan dengan penelitian ilmiah. Seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh American Psychological Association (APA) pada 1995, yang mengatakan bahwa tayangan yang bermutu akan mempengaruhi seseorang untuk berperilaku baik. Sedangkan tayangan kurang bermutu akan mendorong seseorang untuk berperilaku buruk, bahkan penelitian ini juga menyimpulkan bahwa hampir semua perilaku buruk yang dilakukan orang adalah hasil dari pelajaran yang mereka dapat dari media semenjak usia anak-anak. Pengaruh sinetron dapat kita saksikan setiap hari, diantaranya banyak anak-anak yang menirukan ucapan-ucapan nakal dari tokoh film animasi 'Shinchan' yang kasar dan jorok. Belum lagi beberapa contoh prilaku negatif lain seperti pergaulan bebas, merampok, memperkosa, bertengkar, dan lain-lain yang dilakukan remaja karena pengaruh tayangan televisi.
Dalam sebuah buku yang berjudul Sex, Violence and The Media diungkapkan bahwa membaca dan melihat tayangan televisi yang berbau seks dan kekerasan dapat berpengaruh kepada perilaku seseorang. Media, televisi, majalah porno, dan juga iklan yang makin hari makin bebas menonjolkan seks dan kekerasan, sangat berpengaruh terhadap penyimpangan seks dan kekerasan di masyarakat, meningkatnya kejahatan, pemerkosaan dan lainnya. Yang paling menarik, dalam buku itu, juga memberikan kesimpulan bahwa mass media sebenarnya berpengaruh terhadap perilaku, penampilan, dan situasi mental para pemirsa dan pembacanya.
Pengaruh yang diingat seseorang melalui membaca ternyata hanya sekitar 15% saja, namun pengaruh terlihat semakin meningkat kalau disertai suara bahkan adegan visual yang ternyata berpengaruh 50% bagi yang menontonnya. Karena itulah televisi sangat besar pengaruhnya dalam mengubah perilaku penontonnya. Imitasi adalah tingkat pertama pengaruh yang kelihatan jelas, dimana pemirsa melihat secara berulang-ulang perilaku tokoh idolanya dan cenderung meniru perilaku tersebut. Ini bisa dimaklumi karena salah satu perkembangan perilaku seseorang dihasilkan dari contoh mereka yang lebih dewasa, orang tua, keluarga, guru, bahkan orang lain yang menjadi idola.
Berdasarkan kajian yang telah dikemukakan diatas, dapat ditarik kesimpulan, bahwa peran serta tayangan televisi sangat besar dalam perkembangan anak, terkhusus lagi terhadap pola pikir, sikap dan perilaku anak di sekolah. Dikhususkan pada anak usia 2-7 tahun (menurut konsep kognisi Piaget) dimana anak mengalami perkembangan pesat dalam bahasa, dan hanya bisa menyimpulkan sesuatu berdasarkan apa yang mereka lihat. Apabila anak pada usia ini selalu mendapatkan teman yang berupa tayangan televisi, maka hal tersebut akan sangat mempengaruhi perkembangan sikap dan perilaku anak tersebut. Mereka sedikit banyak akan meniru apa yang mereka lihat dari tayangan televisi tersebut. Menurut APA, berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, banyak bukti menunjukan bahwa tayangan televisi khususnya tayangan kekerasan dapat menyebabkan perilaku agresif, desensitisasi terhadap kekerasan, mimpi buruk, dan takut dirugikan. Menonton tayangan kekerasan juga dapat menyebabkan penontonnya kurang memiliki empati terhadap orang lain. Maka dari itu, apabila anak- anak terlalu sering didampingi oleh tayangan televisi, akan ada kemungkinan nantinya anak tersebut tidak sengaja menonton tayangan kekerasan tersebut. Disinilah diperlukan peran serta orang tua dan guru, yang mana sebelumnya sudah dikatakan bahwa guru dan orang tua merupakan pembimbing si anak dalam memanfaatkan tayangan yang ada di televisi tersebut.
Dikutip dari artikel Ningsih (2009), dibawah ini dicantumkan data mengenai fakta tentang pertelevisian Indonesia : 
1. Tahun 2002 jam tonton televisi anak-anak 30-35 jam/hari atau 1.560-1.820 jam/tahun, sedangkan jam belajar SD umumnya kurang dari 1.000 jam/tahun.
2. 85% acara televisi tidak aman untuk anak, karena banyak mengandung adegan kekerasan, seks dan mistis yang berlebihan dan terbuka.
3. Saat ini ada 800 judul acara anak, dengan 300 kali tayang selama 170 jam/minggu padahal satu minggu hanya ada 24 jam x 7 hari = 168 jam.
4. 40% waktu tayang diisi iklan yang jumlahnya 1.200 iklan/minggu, jauh diatas rata-rata dunia 561 iklan/minggu.
Anak-anak dan televisi merupakan dua hal yang agak sulit untuk pisahkan, menurut Cooney (dikutip dalam Yonathan, 2010), anak-anak dan televisi adalah suatu perpaduan yang sangat kuat yang diketahui orangtua, pendidik, dan pemasang iklan. Televisi juga merupakan suatu alat yang melebihi budaya dalam mempengaruhi cara berpikir dan perilaku anak. Televisi dapat membantu anak mengetahui hak-hak dan kewajiban anak sebagai warga negara yang baik dan bisa membangkitkan semangat anak untuk melibatkan diri dalam perbaikan lingkungan masyarakat, yang disertai oleh panduan orang tua (Chen, 1996). Singkat kata, sedikit banyak tayangan televisi dapat mempengaruhi cara pikir serta sikap dan perilaku anak.
Berdasarkan konsep di atas dapat disimpulkan bahwa tayangan televisi dapat berpengaruh terhadap perkembangan perilaku anak. Untuk itu peneliti ingin melakukan penelitian dengan judul “KORELASI PENGARUH TAYANGAN TELEVISI TERHADAP PERKEMBANGAN PERILAKU NEGATIF ANAK USIA DINI PADA KELOMPOK B TAMAN KANAK-KANAK”.

SKRIPSI PENGARUH POLA ASUH ORANGTUA TERHADAP PERKEMBANGAN KEMANDIRIAN ANAK DIDIK TK

(KODE : PG-PAUD-0084) : SKRIPSI PENGARUH POLA ASUH ORANGTUA TERHADAP PERKEMBANGAN KEMANDIRIAN ANAK DIDIK TK

contoh skripsi pgpaud
BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dunia anak-anak adalah dunia yang sangat menyenangkan. Bagi anak itu sendiri dunia adalah segala sesuatu ada di hari-harinya seperti, menangis, tertawa, ceria, sakit, kecewa, berteman, tidak cocok, kasih sayang orangtua, dimarahi dan Iain-lain.
Apabila kita ingin memahami kehidupan anak-anak umumnya usia pra sekolah (TK), maka kita harus banyak menyandarkan diri pada pengamatan terhadap tingkah laku yang nampak pada anak-anak tersebut. Pada anak-anak yang sudah belajar di Taman Kanak-kanak, anak tentu saja sudah mulai diajarkan sikap mandiri, disiplin, bekerjasama, berfikir dan lain sebagainya. Di sekolah memang peranan penting dipegang oleh para guru, tetapi peran orangtua juga sangat penting dalam menyiapkan anak dan menjadikannya anak yang cerdas, mandiri, disiplin, kreatif. Waktu anak-anak dengan orangtuanya lebih banyak dari pada waktu bersama guru di sekolah.
Kedekatan orangtua dengan anak akan tampak dari kelekatan anak dengan orangtuanya. Kelekatan berarti adanya hubungan afeksi yang kuat antara anak dengan orangtuanya. Membangun kelekatan dengan anak tidak otomatis berdampak ketergantungan anak. Agar kelekatan tidak berujung pada ketergantungan, maka orangtua perlu memberikan bimbingan dan pelatihan pada anak-anak untuk melakukan keperluan-keperluannya sendiri sesuai dengan tingkat usia anak.
Kemandirian anak dapat dilatih melalui hal-hal yang sederhana, yang paling penting adalah orangtua haras dapat menghargai anak dan tidak terlalu mengendalikan anak (Tim Pustaka Familia, 2006 : 21). Kemandirian diawali ketika seorang bayi dilahirkan di dunia. Ketergantungan sepenuhnya terhadap ibu selama sembilan bulan dalam kandungan benar-benar diputuskan. Tangisan bayi sesaat setelah keluar dari rahim ibu adalah penanda awal kemandiriannya sebagai manusia. Pada saat itulah ia harus menggunakan paru-parunya sendiri untuk bernafas. Kemandiriannya sebagai anak manusia tak terjadi begitu saja dan serentak. Seorang anak akan mengalami proses perkembangan dan pertumbuhan yang berjalan teras-menerus dalam rentang kehidupannya. Kemandirian fisik, emosional, moral berjalan seiring sangat dipengaruhi oleh kematangan biologis maupun dukungan sosial.
Kata kemandirian berasal dari kata dasar diri yang mendapatkan awalan ke dan akhiran an yang kemudian membentuk suatu kata keadaan atau kata benda. Karena kemandirian berasal dari kata dasar diri, pembahasan mengenai kemandirian tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai perkembangan diri itu sendiri. Emil Durkheim, misalnya melihat makna dan perkembangan kemandirian dari sudut pandang yang berpusat pada masyarakat. Menurut Abraham H. Maslow (dalam Mohammad Ali dkk, 2008 : 111) kemandirian dibedakan menjadi dua : yaitu 1) kemandirian aman, dan 2) kemandirian tidak aman. Kemandirian aman adalah kekuatan untuk menumbuhkan cinta kasih pada dunia, kehidupan, dan orang lain, sadar akan tanggung jawab bersama dan tumbuh rasa percaya diri terhadap kehidupan. Sedangkan kemandirian tidak aman yaitu kekuatan kepribadian yang dinyatakan dalam perilaku menentang dunia. Maslow menyebut kondisi ini sebagai selfish autonomy atau kemandirian mementingkan diri sendiri. Kemandirian merupakan suatu kekuatan internal individu yang diperoleh melalui proses individualisasi. Proses individualisasi itu adalah proses realisasi kedirian dan proses menuju kesempurnaan. Diri adalah inti dari kepribadian dan merupakan titik pusat yang menyelaraskan dan mengoordinasikan selurah aspek kepribadian. Kemandirian yang terintegrasi dan sehat dapat dicapai melalui proses perkembangan dan ekspresi sistem kepribadian sampai pada tingkatan yang tertinggi (Mohammad Ali dkk, 2008 : 111).
Sedangkan menurut Moh. Akhlis (1994 : 19) siswa yang memiliki sifat mandiri tinggi lebih tergantung pada diri sendiri dari pada pihak lain, antara lain adanya sifat kreatif tinggi, dan rasa tanggung jawab yang besar. Secara ringkas kemandirian dapat diartikan sebagai suatu kemampuan untuk memikirkan, merasakan, serta melakukan suatu sendiri atau tidak tergantung pada orang lain.
Kemandirian sangat penting dikembangkan pada diri anak. Hal ini dapat di-pahami bahwa anak merupakan subyek dan obyek yang berperan penting dalam proses pendidikan. Dalam pendidikan tersebut diarahkan untuk menciptakan anak yang berkualitas yang mempunyai pengetahuan dan ketrampilan, handal, berbudi luhur serta mampu bersaing di masa yang akan datang. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan anak-anak yang mempunyai kemandirian.
Dalam Tim Pustaka Familia (2006 : 49) cara mengembangkan kemandirian pada anak dibakukan dengan memberikan kesempatan untuk terlibat dalam berbagai aktivitas. Semakin banyak kesempatan maka anak akan semakin mahir mengembangkan keterampilannya sehingga anak lebih percaya diri. Peran orangtua amat penting dalam pembentukan kemandirian anak. Dengan kemandirian yang ditanamkan sejak dini, anak akan memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Hal ini akan memberikan pengaruh yang berarti dalam pergaulannya di masa mendatang. Sebab akan tumbuh perasaan bahwa mereka akan mampu melakukan sesuatu dan dapat mengontrol diri.
Menurat Mohammad Ali (2009 : 109) perkembangan kemandirian menjadi sangat penting karena dewasa ini semakin terlihat gejala-gejala negatif seperti ketergantungan disiplin kepada kontrol dari luar dan bukan karena niat sendiri secara ikhlas, sikap tidak peduli terhadap lingkungan fisik maupun sosial, sikap hidup yang mematuhi dan menghormati orang lain dilandasi bukan oleh hakikat kemanusiaan sejati melainkan hanya atribut-atribut sementara yang dimiliki oleh orang lain.
Kemandirian bukanlah keterampilan yang muncul tiba-tiba tetapi perlu di-ajarkan pada anak. Tanpa diajarkan, anak-anak tidak tahu bagaimana harus membantu dirinya sendiri. Kemampuan bantu diri inilah yang dimaksud dengan mandiri. Misalnya makan, mandi, berpakaian, buang air kecil dan buang air besar sendiri. Tentu saja kemandirian ini hanya bias dicapai melalui tahapan sesuai dengan perkembangan usia. Oleh karena itu, latihan kemandirian mesti dimulai di rumah, tak hanya di sekolah.
Kemandirian anak harus dibina sejak masih bayi, jikalau kemandirian anak diusahakan setelah anak besar, kemandirian itu akan menjadi tidak utuh. Kunci kemandirian anak sebenamya ada di tangan orangtua. Kemandirian yang dihasilkan dari kehadiran dan bimbingan orangtua akan menghasilkan kemandirian yang utuh. Untuk dapat mandiri anak membutuhkan kesempatan, dukungan dan dorongan dari keluarga khususnya pola asuh orangtua serta lingkungan sekitarnya, agar dapat mencapai otonomi atas diri sendiri. Kemandirian pada anak berawal dari keluarga serta dipengaruhi oleh pola asuh orangtua di dalam keluarga, orangtua lah yang berperan dalam mengasuh, membimbing, membantu dan mengarahkan anak untuk menjadi mandiri. Meski dunia pendidikan atau sekolah juga turut berperan dalam memberikan kesempatan kepada anak untuk mandiri, pola asuh orangtua tetap merupakan pilar utama dan pertama dalam membentuk anak untuk mandiri. Orangtua mana yang tidak mau melihat anaknya tumbuh menjadi anak mandiri. Tampaknya memang itulah salah satu tujuan yang ingin dicapai orangtua dalam mendidik anak-anaknya.
Pola asuh orangtua akan sangat mempengaruhi perkembangan kemandirian anak. Mohammad Ali (2009 : 118) mengatakan ada sejumlah faktor-faktor yang sering disebut sebagai korelat perkembangan kemandirian, yaitu gen atau keturunan orang tua, pola asuh orangtua, sistem pendidikan di sekolah dan sistem kehidupan di masyarakat. Seperti yang kita ketahui lingkungan yang paling dekat dengan anak dan tempat dimana anak berinteraksi pertama adalah lingkungan keluarga. Terdapat banyak faktor dalam keluarga yang dapat memengaruhi perkembangan anak. Salah satu faktor tersebut adalah pola asuh yang diterapkan orangtua kepada anaknya.
Menurut Ratri Sunar Astuti (2006 : 53) prinsip mendidik kemandirian adalah melatih pada saat yang tepat. Latihan yang terlalu awal justru akan membuat anak merasa tidak aman dan menjadi tertekan. Namun, apabila terlambat maka kita akan kesulitan mengubah sifat ketergantungan anak terhadap orangtua. Pada umumnya anak adalah insan yang masih perlu dididik atau diasuh oleh orang yang lebih dewasa dalam hal ini adalah ayah dan ibu, jika orangtua sebagai pendidik yang pertama dan utama ini tidak berhasil meletakkan dasar kemandirian maka akan sangat berat untuk berharap sekolah mampu membentuk anak menjadi mandiri.
Para siswa di TK obyek penelitian rata-rata berasal dari latar belakang keluarga yang berada. Kebanyakan berasal dari keluarga menengah ke atas yang orangtuanya bekerja di bidang meubel sehingga dalam kesehariannya anak didik di asuh oleh beberapa pengasuh. Perbedaan dalam hal kemandirian dan pola asuh anak didik TK ini sangat terasa. Ada sebagian anak yang mempunyai kemandirian yang tinggi, hal ini dapat dilihat dari anak dalam kegiatan sehari-hari di sekolah terhadap suatu tugas dari guru dengan mandiri tanpa meminta bantuan dari pihak lain, anak yang mempunyai kemandirian cenderung mendapatkan pola asuh yang baik dan bertanggung jawab melaksanakan tugas-tugas yang diberikan kepada anak tersebut, tetapi ada sebagian anak juga tingkat kemandiriannya yang rendah, hal tersebut dapat dilihat dari anak yang diberikan tugas dari guru selalu meminta bantuan, tidak percaya dengan kemampuan diri sendiri dan menggantungkan tugas-tugasnya tersebut kepada pihak lain. Fenomena tersebut kerap kali terjadi, misalnya seorang anak meminta bantuan pihak lain untuk memenuhi keperluannya walau sebenarnya mereka mampu melakukan sendiri. Tidak jarang anak meminta diambilkan minum atau sepatu, meskipun sebenarnya bisa mengambil sendiri.
Penelitian ini dilaksanakan di TK X karena banyak diminati oleh masyarakat setempat dan TK ini termasuk TK yang dijadikan sebagai TK unggulan dan sebagai pusat percontohan TK-TK lain di Kabupaten X. Mencermati kenyataan diatas, bahwa dari latar belakang keluarga yang berada akan membentuk pola asuh yang memengaruhi kemandirian anak didik. Secara kenyataan di TK X belum pernah diadakan penelitian tentang pengarah pola asuh terhadap perkembangan kemandirian anak. Hal tersebut mendorong penulis untuk mengadakan penelitian tentang pengarah pola asuh terhadap perkembangan kemandirian anak di sekolah tersebut, dan akhirnya penulis merumuskan ke dalam penelitian yang berjudul sebagai berikut : PENGARUH POLA ASUH ORANGTUA TERHADAP PERKEMBANGAN KEMANDIRIAN ANAK DIDIK TK X.

SKRIPSI PENGARUH LAYANAN KONSULTASI DALAM MENGATASI KESULITAN BELAJAR DI TK

(KODE : PG-PAUD-0083) : SKRIPSI PENGARUH LAYANAN KONSULTASI DALAM MENGATASI KESULITAN BELAJAR DI TK

skripsi pg paud
BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Tujuan pendidikan Taman Kanak-Kanak adalah membantu meletakkan dasar ke arah perkembangan sikap, pengetahuan, keterampilan dan daya cipta yang diperlukan oleh anak didik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan untuk pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya. Untuk mencapai semua itu diperlukan suatu perhatian khusus, terutama pendidikan sejak dini, yaitu sebuah pendidikan Taman Kanak-kanak yang dapat menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan kurikulum yang berlaku agar anak dapat mengembangkan seluruh kemampuan yang dimilikinya sesuai dengan tahap perkembangannya.
Di lingkungan tertentu, perkembangan anak usia taman kanak-kanak ini dirasakan tidak merata. Ada anak yang telah memenuhi karakteristik tahap-tahap perkembangan anak yaitu memiliki karakter yang menonjol, yakni sifat ekspresif dan eksploratif. Dari segi kognitif, mereka cenderung berpikir logis dan mudah menyerap sesuatu hal yang baru seperti teknologi dan penguasaan bahasa asing, namun masih ditemukan sejumlah permasalahan pada anak tertentu. Kesulitan belajar pada anak TK selalu ditemukan pada bidang tertentu. Anak-anak dengan inteligensi rata-rata bisa mengalami kesulitan belajar dalam bidang yang berbeda-beda. Otak dibagi ke dalam berbagai bagian yang mengendalikan tingkah laku yang berbeda. Beberapa bagian otak mengontrol kemampuan untuk berbicara, kemampuan untuk memahami kata yang diucapkan atau untuk mengenali apa arti kata-kata dan angka (Zulkifli, 2005 : 53).
Identifikasi kesulitan belajar sejak dini dapat dilakukan sebelum memasuki sekolah dasar yaitu pada tingkat pra sekolah dengan melihat tanda-tanda awal dari kesulitan belajar seperti perkembangan motorik, persepsi, bahasa atau atensi. Jenis kesulitan belajar di TK secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam 2 (dua) kelompok besar yaitu gangguan perkembangan wicara dan berbahasa dan gangguan kemampuan akademik, yang meliputi membaca, menulis, berhitung. Anak dengan gangguan perkembangan wicara dan bahasa dapat mengalami kesulitan untuk memproduksi suara huruf/kata tertentu, menggunakan bahasa verbal dalam berkomunikasi, dan memahami bahasa verbal yang dikemukakan orang lain.
Dalam kegiatan belajar yang berlangsung, tidak sedikit siswa akan mengalami hambatan dalam proses belajarnya, hambatan-hambatan itulah yang dimaksud dengan kendala yang menghambat proses tercapainya tujuan belajar. Kendala yang dialami siswa bermacam-macam antara individu yang satu dengan yang lain berbeda, baik macam maupun bobotnya.
Keberhasilan proses belajar sebagian dipengaruhi oleh peran orang tua. Dalam keluarga anak mulai mengadakan interaksi dengan orang-orang yang ada di sekitarnya, terutama dengan orang tuanya, yaitu ayah dan ibu. Melalui interaksi anak dengan orang tua, akan terbentuklah gambaran-gambaran tertentu mengenai anaknya. Dengan adanya gambaran-gambaran tertentu tersebut sebagai hasil persepsinya, maka akan terbentuklah sikap-sikap tertentu pada masing-masing pihak. Bagi orang tua anak sebagai objek sikap, sebaliknya bagi anak orang tua juga sebagai objek sikap. Pada anak akan terbentuk sikap tertentu terhadap orang tuanya, sebaliknya pada orang tua akan terbentuk sikap tertentu pada anaknya.
Untuk menjembatani permasalahan kesulitan belajar yang dialami anak TK adalah diberikannya kegiatan konseling di TK yang tujuannya untuk membantu proses perubahan (transisi) dari kanak-kanak sebagai makhluk individu yang menonjol keunikannya menjadi makhluk sosial. Oleh karena itu ditujukan untuk mencapai perkembangan penyesuaian pribadi dan sosial yang optimal dan memadai. Mengingat usia anak, maka diperlukan kolaborasi/kerjasama dengan orangtua. Hal ini amat diperlukan agar diperoleh informasi yang berkaitan dengan masalah, tujuan dari konsultasi, perencanaan intervensinya.
Berkaitan dengan hal tersebut orang tua harus selalu memonitor segala perkembangan proses belajar anaknya. Orang tua selalu berhubungan dengan guru pembimbing di sekolah tempat anak menuntut ilmu. Apabila dijumpai anak mengalami hambatan dalam belajarnya, orang tua harus berkonsultasi kepada gurunya agar dapat diketahui faktor-faktor yang menyebabkan anaknya mengalami kesulitan belajar dan dapat diketahui pemecahan masalah atas hambatan yang dialami. Layanan konsultasi antara orang tua dan guru pembimbing akan menjadi salah satu pemecahan atas permasalahan di atas. Dalam layanan konsultasi akan membantu peserta didik dan atau pihak lain dalam memperoleh wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang perlu dilaksanakan dalam menangani kondisi dan atau masalah peserta didik.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penelitian ini mengambil judul “PENGARUH LAYANAN KONSULTASI DALAM MENGATASI KESULITAN BELAJAR DI TK”.

SKRIPSI PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA ANAK USIA DINI

(KODE : PG-PAUD-0082) : SKRIPSI PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA ANAK USIA DINI

contoh skripsi pgpaud
BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 bab I pasal 1 ayat 1 yang dimaksud pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan merupakan transformasi nilai dari pendidik kepada peserta didik baik secara langsung maupun tidak langsung. Pendidikan juga sebagai upaya dalam rangka membangun, membina, dan mengembangkan kualitas manusia yang dilakukan terstruktur dan terprogram serta berkelanjutan. Oleh karena itu, pendidikan sebagai proses belajar harus dimulai sejak dini.
Dalam Islam dijelaskan bahwa usia anak-anak merupakan usia yang paling mudah untuk menerima atau merespon sesuatu baik melalui ungkapan, ucapan, panca indera, dan bahkan pengalaman, sehingga pada usia tersebut dianjurkan agar anak dilatih dengan ucapan-ucapan baik, terutama pada kehidupan awal anak (balita).
Pada umur tersebut pertumbuhan kecerdasan anak masih terkait kepada panca inderanya dan belum tumbuh pemikiran logis atau maknawi (abstrak), atau dapat dikatakan bahwa anak masih berpikir inderawi.
Usia dini merupakan masa emas (golden age) bagi anak- anak, karena pada usia ini anak-anak mempunyai kebebasan untuk berkembang dan tumbuh, baik secara fisik atau emosional dengan fasilitas dan media belajar yang representatif. Pada masa kanak-kanak ini juga merupakan periode pembentukan watak, kepribadian dan karakter.
Rasulullah saw bersabda : 
Abdan menceritakan kepada kami memberikan kabar kepada kami Abdullah memberikan kabar kepada kami Yunus dari Az-zuhri berkata : memberikan kabar kepadaku Abu Salamah bin Abdurrahman bahwasannya Abu Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw bersabda : “Tidaklah anak yang dilahirkan itu kecuali telah membawa fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari)
Anak yang baru lahir ke dunia oleh Allah telah dibekali fitrah. Fitrah yang berupa potensi atau kemampuan dari semua hal. Tinggal bagaimana dia mengembangkan potensinya. Jika anak berada di lingkungan yang baik maka niscaya kelak ia tumbuh menjadi anak yang mempunyai karakter dan kejiwaan yang baik. Pertumbuhan kejiwaan seorang anak merupakan tanggung jawab utama orang tua. Seorang anak akan tumbuh menjadi apa, itu tergantung didikan dari orang tuanya. Menjadi baik, jahat, menjadi orang Yahudi, Nasrani, maupun Majusi itu pun merupakan tanggung jawab dan didikan dari orang tua sebagaimana hadis diatas. Perkembangan dan pertumbuhan anak juga tidak terlepas dari pengaruh lingkungan baik lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat yang ikut mewarnai kehidupan anak.
Usia dini merupakan masa terpenting bagi anak, karena pada usia ini anak mulai tumbuh dan berkembang secara optimal, juga merupakan masa pembentukan kepribadian anak sehingga memiliki kepribadian yang utama.
Oleh karena itu penting diterapkan pendidikan agama sejak dini. Keberhasilan pada usia dini adalah faktor penentu keberhasilan anak di masa mendatang.
Perkembangan agama pada masa anak terjadi melalui pengalaman hidupnya yang didapat sejak kecil, dalam keluarga, lingkungan sekolah, dan dalam lingkungan masyarakat. Semakin banyak pengalaman yang bersifat agama, (sesuai dengan ajaran agama) maka sikap, tindakan, kelakuan dan caranya menghadapi hidup akan sesuai dengan ajaran agama.
Dengan memperkenalkan pendidikan agama sejak dini berarti telah membuat pribadi yang kuat berlandaskan agama dalam hal mendidik anak.
Keluarga mempunyai peran yang sangat penting dalam mendidik anak agar berperilaku sesuai dengan ajaran agama. Tetapi karena keterbatasan ataupun kesibukan orang tua, maka orang tua menyerahkan pendidikan anak mereka di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Untuk menyelamatkan fitrah Islami anak, orang tua perlu menyekolahkan anaknya pada sekolah-sekolah yang Islami sehingga mampu membentuk kepribadian anak yang sesuai dengan ajaran Islam. Pentingnya penanaman nilai- nilai agama sejak usia dini diantaranya agar tercipta manusia yang berakhlak mulia.
Pendidikan agama Islam diberikan kepada anak sejak dini melalui pengenalan-pengenalan terlebih dahulu mengenai ciptaan Allah yang meliputi alam seisinya. Kemudian dikenalkan sholat yang dimulai dengan wudhu'. Anak-anak diberi kesempatan untuk mempraktekkan wudhu'. Apabila memulai mengerjakan sesuatu dibiasakan dengan basmalah. Anak-anak dilatih membaca do'a sehari-hari seperti do'a makan, do'a mau tidur, do'a berangkat ke sekolah. Dengan mengajarkan kebiasaan-kebiasaan yang bernuansa Islami akan menjadikan anak berperilaku sesuai ajaran agama Islam.
Pelaksanaan pembelajaran agama Islam melalui cara-cara seperti itu tidak akan berhasil sepenuhnya tanpa kerjasama dengan orang tua peserta didik dalam hal membiasakan kegiatan-kegiatan yang diajarkan di sekolah untuk diterapkan juga di rumah. Selain itu, guru juga harus selalu mengulang-ulang materi yang diajarkan supaya anak terbiasa melakukannya dalam kegiatan sehari-hari.
Disinilah pentingnya mendidik anak sejak dini terutama dalam menanamkan pendidikan agama Islam. Karena pada usia ini merupakan masa-masa terpenting bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Sehingga perlu untuk ditanamkan nilai-nilai agama sejak dini agar dapat membentuk kepribadian anak yang Islami. Selain itu merupakan masa penentu keberhasilan anak di masa mendatang.
Dengan latar belakang di atas, penulis akan melakukan penelitian dalam bentuk skripsi yang mengangkat judul PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA ANAK USIA DINI DI PGIT X. Dengan alasan bahwa lembaga tersebut merupakan lembaga pendidikan prasekolah yang memprioritaskan pembelajaran pendidikan agama Islam pada anak usia dini.

SKRIPSI PELAKSANAAN METODE CERITA UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN SOSIALISASI ANAK USIA DINI DI TK

(KODE : PG-PAUD-0081) : SKRIPSI PELAKSANAAN METODE CERITA UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN SOSIALISASI ANAK USIA DINI DI TK

contoh skripsi paud
BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Pendidikan terpenting dan pertama yang harus diberikan oleh seorang pendidik adalah menanamkan keyakinan pada anak, yang mana ini diharapkan dapat melandasi sikap, tingkah laku dan kepribadian anak. Pembentukan kepribadian tersebut berlangsung secara berangsur-angsur dan berkembang sehingga menjadi proses menuju kesempurnaan.
Dalam mengkomunikasikan ilmu pengetahuan agar berjalan secara efektif, maka perlu menerapkan berbagai metode mengajar yang sesuai dengan tujuan, situasi dan kondisi yang ada guna meningkatkan pembelajaran dengan baik. Hal ini dikarenakan berhasil atau tidaknya suatu proses belajar mengajar ditentukan oleh adanya metode pembelajaran yang merupakan suatu bagian yang sangat urgen dalam sistem pembelajaran. Yang dimaksud dengan metode disini adalah suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam proses pembelajaran, metode sangat diperlukan oleh guru guna kepentingan proses pengajarannya.
Masa kanak-kanak merupakan sebuah periode penaburan benih, pendirian serta pondasi yang dapat disebut sebagai periode pembentukan watak, kepribadian dan karakter dari seorang manusia. Agar manusia kelak memiliki kekuatan dan kemampuan untuk berdiri tegar dalam meniti kehidupan.
Sebagaimana hadits Nabi : 
“Dari Abi Hurairoh sesungguhnya dia berkata bahwa rasulullah SA W. Bersabda : Tidaklah ada seorang anak pun yang dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah, kedua orang tualah yang mempengaruhi anak itu menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi”. (HR. Muslim)."
Pendidikan terhadap anak dipandang sebagai salah satu aspek yang memiliki peranan pokok sebagai pembentukan manusia menjadi insan kamil (manusia sempurna) atau yang memiliki kepribadian utama. Maka dari itu, hendaklah pendidikan menyentuh aspek yang bersinggungan langsung dengan ilmu umum agar mereka dapat hidup dan berkembang sesuai dengan cita-cita pendidikan itu sendiri. Dalam sebuah cerita terdapat ide, tujuan, imajinasi, bahasa dan gaya bahasa. Unsur-unsur dalam cerita tersebut berpengaruh dalam pembentukan pribadi anak. Untuk itulah tumbuh kepentingan dalam mengambil manfaat dari adanya sebuah cerita.
Metode cerita tampaknya memang merupakan metode yang sederhana namun dapat menarik interest seseorang lebih-lebih jika diterapkan untuk pendidikan anak-anak. Oleh karena itu, proses pendidikan pada anak dapat dilakukan oleh orang tua dan para pendidik melalui suri tauladan dengan contoh-contoh perilaku maupun dengan cerita-cerita yang dapat mendukung sikap dan nilai-nilai yang baik.
Masa usia dini merupakan periode emas (golden age) bagi perkembangan anak untuk memperoleh proses pendidikan. Periode ini adalah tahun-tahun berharga bagi seorang anak untuk mengenali berbagai fakta di lingkungan sebagai stimulan terhadap perkembangan kepribadian, psikomotor, kognitif maupun sosialnya. Pada usia dini tersebut anak masih mempunyai pola pikir sederhana, mereka belajar apa yang mereka lihat dan apa yang mereka dengar kemudian mereka cenderung mencontoh dari apa yang mereka lihat dan apa yang mereka dengar. Pengalaman tersebut nantinya akan terekam kuat dalam otak mereka. Jika lingkungan di sekitarnya baik, maka besar kemungkinan anak tersebut akan baik, begitu juga sebaliknya.
Awal masa kanak-kanak berlangsung dari usia dua sampai enam tahun. Orang tua menyebutnya sebagai usia problematis/usia sulit karena memelihara/mendidik mereka sulit; disebut sebagai usia main karena sebagian besar hidup anak waktunya dihabiskan untuk main. Masa ini dikatakan usia pra kelompok karena pada masa ini anak-anak mempelajari dasar-dasar perilaku sosial sebagai persiapan bagi kehidupan sosial yang lebih tinggi yang diperlukan untuk penyesuaian diri pada waktu masuk kelas satu SD. Manusia akan mengalami proses sosialisasi agar ia dapat hidup dan bertingkah laku sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat dimana ia berada. Syarat penting untuk berlangsungnya proses sosialisasi adalah adanya interaksi sosial, karena tanpa interaksi sosial, sosialisasi tidak mungkin berlangsung.
Perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian sesudah tahun pertama ditandai oleh beberapa proses-proses yang sangat fundamental. Tingkah laku sosial interaktif seperti tingkah laku kooperatif, altruistis dan agresif banyak dipengaruhi oleh latar belakang struktural yang disebut ‘‘role taking” (pengambilan peran) dan egosentrisme. Dalam buku ‘‘Denken over jezelf en ander” (berfikir tentang diri dan orang lain) (Gerris, Jansen, dan Badal, 1980) diterangkan bahwa perkembangan sosial dapat dibagi dalam tiga bagian yaitu kognisi sosial, artinya pengertian akan tingkah laku orang lain : kecakapan dalam bergaul dengan orang lain seperti sikap altruistis dan kooperatif : dan nilai-nilai sosial, artinya ‘‘berfikir dan bertindak dalam kenyataan sosial, berlangsung atas dasar pemilikan nilai-nilai”.
Dalam filsafat perkembangan dan pertumbuhan, disamping memperhatikan individualitas anak juga harus memperhatikan masyarakat dimana ia tumbuh dan dewasa. Lingkungan sosial inilah yang memberi fasilitas dan area-bermain pada anak untuk pelaksanaan realisasi diri. Oleh karena itu, anak tidak mungkin bisa berkembang sendiri tanpa bantuan dari lingkungan sosialnya (orangtua, lembaga pendidikan, dll). Setiap tingkah laku anak merupakan tingkah laku sosial, karena mempunyai relasi kaitan dengan orang lain baik dengan teman sebaya ataupun dengan orang dewasa.
Usia dini merupakan masa peka yang sangat penting bagi pendidikan. Untuk itu, saat yang paling baik memberikan pendidikan anak adalah pada usia dini. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya dilakukan pada saat usia dini yang dapat dilakukan oleh keluarga, sekolah dan masyarakat. Masa ini merupakan masa ekspresi kreativitas, seperti bermain boneka, suka mendengarkan atau bercerita, permainan drama, menyanyi, menggambar dan lain sebagainya.
Bagi anak usia TK mendengarkan cerita yang menarik yang dekat dengan lingkungannya merupakan kegiatan yang mengasyikkan. Guru dapat memanfaatkan kegiatan bercerita untuk menanamkan kejujuran, keberanian, keramahan, dan sikap-sikap positif yang lain dalam kehidupan lingkungan keluarga, sekolah, dan luar sekolah. Kegiatan bercerita juga memberikan sejumlah pengetahuan sosial, nilai-nilai moral dan keagamaan.
Proses pembelajaran akan berhasil apabila didukung oleh berbagai faktor dan aspek tertentu, diantaranya adalah metode pembelajaran. Metode pembelajaran merupakan suatu cara yang terarah dalam proses belajar mengajar sehingga pengajaran menjadi lebih berkesan dan terarah untuk mencapai tujuan pembelajaran. Penggunaan metode yang tepat dapat memudahkan pendidik untuk mencapai tujuan pendidikan.
Kondisi riil yang terjadi di obyek penelitian yaitu dalam penyampaian cerita masih memiliki banyak kendala. Hal itu disebabkan kurangnya minat dari anak dalam mendengarkan cerita yang disampaikan oleh guru dan kemampuan guru yang relatif rendah dalam menyampaikan cerita yang menarik
Dari uraian dan pemikiran tersebut, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan mengangkat judul ‘‘PELAKSANAAN METODE CERITA UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN SOSIALISASI ANAK USIA DINI DI TK”.