Search This Blog

Showing posts with label aset hasil korupsi. Show all posts
Showing posts with label aset hasil korupsi. Show all posts
TESIS KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENGAMBILAN ASET HASIL KORUPSI

TESIS KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENGAMBILAN ASET HASIL KORUPSI

(KODE : PASCSARJ-0195) : TESIS KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENGAMBILAN ASET HASIL KORUPSI (PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peranan Jaksa sebagai Pengacara Negara dalam bidang perdata semakin penting dalam mengembalikan aset atau keuangan negara hasil dari tindak pidana korupsi. Karena menurut hasil Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2007 yang diluncurkan oleh Transparency International (TI) Indonesia, ternyata negara Indonesia belum dapat menurunkan tingkat pertumbuhan korupsinya secara signifikan. Indonesia masih berada di urutan ke-143 dari 180 negara di Dunia dengan nilai 2,3 atau peringkat ke-37 terkorup. Ini berarti nilai Indonesia turun 0,1 dari sebelumnya pada tahun 2006 IPK sebesar 2,4.1
Hasil survei beberapa tahun lalu yang dilakukan oleh sebuah lembaga independen, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mengatasnamakan PERC (Political and Economic Risk Consultancy) yang berkedudukan di Hongkong, dalam laporannya yang berjudul The Asian Intelligence Report, menyebutkan bahwa negara Indonesia sebagai negara terkorup di antara 12 negara di kawasan Asia.
Laporan PERC mengenai tingginya tingkat korupsi di Indonesia sebenarnya bukan hal yang baru. Majalah Der Spiegel pernah mempublikasikan hasil survei dari Lembaga Transparency Internasional yang mencantumkan Indonesia termasuk negara terkorup di antara 41 negara di dunia. Hasil laporan terakhir dari Lembaga Transparency Internasional menurut laporan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia, Taufik Efendi, pada tahun 2007 di Hotel Madani Medan, bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia berada pada posisi 143 dari 179 negara terkorup.
Kejaksaan Agung berupaya menyeret mantan Presiden Soeharto menjadi pesakitan dalam perkara pidana dugaan korupsi atas dana senilai 420 juta dolar AS dan Rp. 185,92 miliar, ditambah lagi ganti rugi immateriil Rp. 10 triliun pada tujuh yayasan termasuk Yayasan Supersemar, namun upaya itu gagal karena Soeharto sakit dan dinyatakan tidak dapat diadili. Pada tanggal 11 Mei 2006, Kejaksaan Agung mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) HM. Soeharto dan mengalihkan upaya pengembalian aset negara melalui pengajuan gugatan perdata. Dalam hal pengembalian aset negara, maka Kejaksaan Agung (Kejagung) melalui Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamda TUN) memerintahkan Direktorat jajarannya untuk bertindak sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN).
Dachmer, menegaskan permohonan sita jaminan tidak harus selalu disertai bukti otentik. Pada tanggal 21 Agustus 2000, Tim Jaksa Pengacara Negara (JPN)
Begitu pula hasil korupsi yang dilakukan mantan Komisaris Utama Bank Harapan Sentosa, Hendra Rahardja, sebesar US$ 9,3 juta yang disimpan dalam bentuk rekening bank di Hongkong, Irwan Salim US$ 5 juta di Bank Swiss, dalam bentuk dana di Amerika Serikat, Cina, Australia, dan negara tetangga Singapura diperkirakan mencapai Rp.6-7 triliun. Dana korupsi atas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ke luar negeri sekitar Rp. 18,5 triliun dalam rekening beberapa bank di Amerika Serikat.
Beberapa contoh perbuatan korupsi di atas, Amin Suryadi, mengungkapkan bahwa korupsi terbatas pada tiga unsur yaitu, penyalahgunaan wewenang, perbuatan melawan hukum, dan kerugian negara. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya dalam penelitian ini disebut UUPTPK) terdapat 27 jenis korupsi yang masih belum diketahui oleh publik seperti suap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan dan gratifikasi.
UUPTPK memberikan batasan mengenai pengertian sanksi, baik sanksi pidana maupun sanksi administratif berupa denda atas tindak pidana korupsi adalah ”Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Ketentuan pencantuman denda pada pasal-pasal dalam UUPTPK, mengisyaratkan bahwa korupsi terhadap aset negara baik besar maupun kecil harus dikembalikan ke kas negara, untuk kembali diperuntukkan sesuai dengan ketentuan di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah demi kepentingan publik.
Pengembalian uang negara atau aset negara hasil dari perbuatan korupsi dalam pelaksanaannya terasa sulit diterapkan karena pada umumnya tindak pidana korupsi baik dalam skala kecil maupun skala besar dilakukan dengan cara-cara yang sangat rahasia, terselubung, melibatkan banyak pihak dengan solidaritas yang kuat untuk saling melindungi atau menutupi perbuatan korupsi melalui manipulasi hukum, rekayasa hukum, dan masa bodoh para pejabat negara terhadap kepentingan rakyat. Bahkan harta kekayaan dari hasil jarahan para koruptor sudah sampai melewati lintas negara melalui ditransfer antar rekening ke negara lain sebagai antisipatif dan untuk mengaburkan asal-usul kekayaan tersebut.
Terhadap pelaku tindak pidana korupsi sangat diperlukan pemberian sanksi yang tegas walaupun uang yang dikorupsinya itu telah dikembalikan, hal ini dapat dilihat ketentuan dalam Pasal 4 UUPTPK :
”Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3”.
Berdasarkan bunyi Pasal 4 tersebut, maka mengenai pemberantasan korupsi dapat ditarik benang merah bahwa :
1. Menghukum pelaku; dan
2. Mengembalikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Korupsi sudah menjadi budaya bangsa Indonesia, dapat dilakukan oleh sendiri atau orang lain atau suatu korporasi pada umumnya selalu merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam hal bertindak sebagai pembela (Pengacara atau Advokat) untuk mengembalikan aset atau harta hasil korupsi di sidang pengadilan, maka UUPTPK di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan diberikan kewenangan untuk dan atas nama negara atau pemerintah sebagai penggugat atau tergugat yang dalam pelaksanaannya tidak hanya memberikan pertimbangan atau membela kepentingan negara atau pemerintah, tetapi juga membela dan melindungi kepentingan rakyat.
Jalur keperdataan dalam pengembalian aset negara, dibandingkan jalur pidana relatif lebih mudah karena dalam hal pembuktian, pemerintah cukup mempunyai bukti awal bahwa aset yang akan diambil adalah hasil, atau berhubungan dengan tindak pidana. Implementasinya adalah apa yang disebut civil forfeiture. Dalam masalah pembuktian, pemerintah cukup menghitung berapa pendapatan yang layak bagi pelaku, kemudian membandingkan dengan aset yang dimiliki. Jika aset yang dimiliki melebihi jumlah pendapatannya, maka pelaku berkewajiban membuktikan bahwa aset tersebut diperoleh secara legal.
Kemudahan dalam masalah pembuktian melalui jalur civil forfeiture, merupakan alternatif yang potensial, karena lebih efektif dalam upaya pengembalian aset, walaupun prosedur ini tidak luput dari berbagai kelemahan, seperti lambat dan biaya tinggi. Di samping itu, perlu dipertimbangkan bahwa pemanfaatan potensi civil forfeiture harus diikuti dengan adanya perjanjian bilateral disamping pula memerlukan suatu restrukturisasi hukum nasional. Restrukturisasi di bidang hukum, antara lain menghendaki adanya reformasi bidang hukum materiil dan formil. Bidang hukum formil antara lain, hukum acara perdata yang harus diformat kembali, mengingat Indonesia masih menggunakan hukum acara perdata yang hanya berlaku dalam kasus-kasus yang bersifat individual atau private to private. Di samping itu pula civil forfeiture menuntut legal expertise dan pengetahuan teknis yang tinggi, dan dikhawatirkan Indonesia masih belum memiliki sumber daya yang bisa memenuhi tuntutan ini. Perluasan jurisdiction scope dari civil forfeiture merupakan suatu hal yang mutlak, mengingat aset hasil korupsi lebih banyak disembunyikan di negara lain. Yang lebih penting, adalah perlu dipertimbangkannya aspek check and balance karena jalur ini rawan penyalahgunaan oleh aparat penegak hukum.
Masalah pembuktian menggunakan asas civil forfeiture akan tetapi instrumen hukum yang diterapkan untuk mengembalikan aset negara atau harta negara yang dikorupsi oleh pihak-pihak tertentu berdasarkan hukum perdata, diperani oleh Jaksa dengan sebutan Jaksa Pengacara Negara (selanjutnya disebut JPN). Untuk kekayaan negara dalam hal ini disamakan dengan aset negara yang haknya diambil alih oleh seorang atau lebih atau suatu korporasi yang dapat dimungkinkan terjadi melalui perbuatan korupsi selama melaksanakan tugas-tugas kenegaraan.
Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk bertindak sebagai Penuntut Umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan Undang-Undang. Salah satu bentuk wewenang lain yang dimaksud tersebut adalah kewenangan untuk bertindak sebagai Jaksa Pengacara Negara. Jaksa Pengacara Negara atau JPN diberi wewenang sebagai aktor yang berprofesi membela hak-hak negara dalam mengambil harta kekayaan atau aset hasil korupsi, bukanlah masalah atau hal yang baru karena telah menjadi hukum berdasarkan Koninklijk Besluit tertanggal 27 April 1922, kurang jelas alasan-alasannya mengapa sampai tahun 1977 fungsi tersebut terlupakan. Beberapa kasus korupsi dalam mengembalikan aset hasil korupsi yang di bela oleh JPN selama ini Jaksa hampir selalu menang dalam perkara-perkara perdata. Dengan demikian Jaksa tetap dapat bertindak sebagai penggugat dan juga sebagai tergugat.
Sejalan dengan Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan beberapa undang-undang yang baru, serta berdasarkan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan, maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sudah tidak sesuai lagi sehingga perlu dilakukan perubahan secara komprehensif dengan membentuk undang-undang yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Perubahan UU Kejaksaan RI dimaksudkan untuk lebih memantapkan dan mensinergikan kedudukan dan peran serta memperluas wewenang Kejaksaan Republik Indonesia yakni sebagai Pengacara Negara.
Uraian tersebut di atas, semakin jelaslah dasar hukum bagi kejaksaan untuk bertindak dalam bidang keperdataan sebagai pihak penggugat dan tergugat dalam pengembalian aset hasil korupsi dan bertindak sebagai pengacara negara meskipun masih terdapat kontroversi dalam hal penggunaan istilah Jaksa Pengacara Negara. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka menarik perhatian penulis untuk melakukan penelitian di dalam tesis ini yang berjudul, ”Kewenangan Kejaksaan Sebagai Jaksa Pengacara Negara Dalam Pengembalian Aset Hasil Korupsi”.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis memberikan pokok permasalahan yang diteliti di dalam tesis ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana dasar hukum kewenangan Jaksa sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN) ?
2. Bagaimana penerapan aturan gugatan perdata dalam pengembalian aset hasil korupsi oleh Jaksa sebagai Pengacara Negara ?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan mendalami dasar hukum kewenangan jaksa sebagai Jaksa Pengacara Negara (JPN);
2. Untuk mengetahui dan mendalami penerapan aturan gugatan perdata dalam pengembalian aset hasil korupsi oleh Jaksa sebagai Pengacara Negara ?

D. Manfaat Penelitian
Permasalahan yang diangkat di dalam penelitian ini dan dihubungkan dengan peraturan-perundang-undangan yang ada, diharapkan dapat membawa sejumlah manfaat yang berguna secara teoritis dan praktis. Sehubungan dengan itu, penelitian ini bermanfaat untuk :
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan membuka paradigma berfikir terhadap permasalahan dasar hukum JPN dan prinsip-prinsip dasar pengembalian aset hasil korupsi karena korupsi sangat banyak merugikan keuangan negara dan menghambat pembangunan. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan perbandingan dan referensi bagi peneliti lanjutan serta dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan. Penelitian ini juga diharapkan bisa memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat peraturan perundang-undangan dan masukan terhadap istilah Jaksa Pengacara Negara;
2. Secara praktis penelitian ini ditujukan kepada kalangan aparat penegak hukum khususnya Kejaksaan, Pengacara (Advokat), dan para Hakim yang menangani kasus-kasus tindak pidana korupsi. Di samping itu, diharapkan kepada Anggota DPR dan Pemerintah (perancang undang-undang) agar mencantumkan kalimat dalam pasal-pasal tentang istilah yang semestinya disandang oleh Jaksa sebagai pembela negara atau menggantikan istilah JPN dengan format istilah lain dan baku yang tidak menimbulkan benturan peraturan-peraturan yang telah ada tentang Kejaksaan dan Advokat.