Search This Blog

SKRIPSI PTK PENGGUNAAN METODE MONTESSORI DALAM UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA DINI

(KODE : PTK-0128) : SKRIPSI PTK PENGGUNAAN METODE MONTESSORI DALAM UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA DINI (PGTK)



BAB I 
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Anak merupakan seorang pembelajar aktif. Anak aktif membangun pengetahuannya melalui interaksi dengan lingkungan dan bermain. Dunia bermain merupakan dunia yang penuh spontanitas dan menyenangkan. Sesuatu akan dilakukan oleh anak dengan penuh semangat apabila terkait dengan suasana yang menyenangkan.
Bermain merupakan hal yang sangat penting bagi anak, karena bermain merupakan suasana belajar anak yang bermakna. Dijelaskan oleh Greenberg (dalam Solehuddin, 2002 : 7) yaitu : "Children learn as they live, work, play, and converse with peers. As they exchange ideas, they challenge each other every bit as much as many adults challenge them-to think, to reconstruct their ideas because they have new information and view points".
Sesuai dengan pendapat Greenberg tersebut, maka bermain merupakan saat belajar bagi anak. Pada saat bermain anak mengkreasikan ide bersama teman sebaya dan anak lainnya, sama halnya seperti orang dewasa yang menantang mereka untuk berpikir, untuk membangun gagasan atau ide mereka, karena mereka memiliki informasi dan pandangan baru.
Cara anak belajar haruslah menyenangkan. Salah satu pembelajaran di Taman Kanak-kanak yang menyenangkan adalah melalui pendekatan bermain sambil belajar. Bermain merupakan sarana yang efektif dalam upaya mengembangkan seluruh potensi anak. Melalui bermain seluruh aspek perkembangan anak baik fisik, motorik, sosial emosional, kognitif dan bahasa dapat berkembang. Bermain membuat anak memperoleh kesempatan untuk mengekspresikan ide dan pikirannya. Melalui kegiatan bermain ini dapat memberikan peluang belajar kepada anak untuk mengembangkan keterampilan-keterampilannya. Salah satu keterampilan yang dikembangkan di Taman Kanak-kanak adalah keterampilan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa.
Kemampuan berbahasa dapat diajarkan sejak dini, dimana kemampuan berbahasa sebagai sarana untuk berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan melalui interaksi dengan lingkungan. Pengalaman anak berinteraksi dengan lingkungan baik dengan teman sebaya maupun orang dewasa lainnya membuat perbendaharaan kata anak bertambah, disamping akan memperlancar kemampuan berkomunikasi juga dapat menyampaikan maksud atau keinginan tanpa kesulitan. Pengalaman berbahasa yang telah anak peroleh ini diperlukan untuk membangun dan menjadi dasar untuk memperkaya kemampuan membaca dini.
Pada Hakekatnya membaca dini merupakan suatu proses yang melibatkan aktivitas-aktivitas fisik. Sejalan dengan pendapat Mediani (2006 : 1) bahwa membaca dini merupakan proses yang melibatkan aktivitas auditif (pendengaran) dan visual (penglihatan) untuk memperoleh makna dari simbol berupa huruf atau kata. Didukung pula oleh pendapat Tampubolon (1993 : 62) bahwa membaca dini merupakan kegiatan fisik dan mental untuk menemukan makna dari tulisan. Lebih lanjut Pflaum (Tampubolon, 1993 : 43) menyatakan bahwa anak dapat diajarkan membaca apabila anak sudah mempunyai minat, dapat menyebutkan bunyi huruf, dapat mengingat kata-kata, memiliki kemampuan membedakan dengan baik, dan memiliki perkembangan bahasa lisan serta kosa kata yang memadai. Ditambahkan lagi oleh Hainstock (2008 : 87) bahwa anak-anak prasekolah tidak hanya dapat diajarkan membaca, tetapi masa prasekolah adalah masa puncak anak secara alamiah dan antusias menyerap kecakapan-kecakapan membaca. Kemampuan membaca ini merupakan tingkat keterampilan membaca dasar yang diupayakan sedemikian rupa, dimana anak memiliki kecakapan untuk memahami lambang-lambang bunyi dan kata sehingga anak dapat mengenal dan melafalkannya. Hal ini merupakan awal keterampilan membaca yang dipakai untuk melangkah ke tingkat membaca berikutnya.
Kemampuan membaca akan berhasil apabila dalam pembelajaran membaca dirancang dan dilaksanakan secara menyenangkan (joyful learning) dan sesuai dengan perkembangan jiwa anak. Freud (Moenir, 2006) menyatakan bahwa pengalaman emosional anak akan berpengaruh terhadap perkembangan anak, oleh karena itu pembelajaran yang menyenangkan akan memberikan pengalaman yang positif bagi anak. Sedangkan menurut Rose dan Nicholl (dalam Moenir, 2006) menyatakan bahwa pengalaman belajar yang menyenangkan adalah : "... use games and activities emotional and music, relaxation, play, color and learning map, learning become joyful, stress-free event. Pendapat lain yang dikemukakan oleh Teale dan Sulzby (dalam Irawati, 2007 : 2) merekomendasikan kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan di rumah maupun di sekolah untuk meningkatkan kemampuan membaca dan menulis : (1) mendengarkan cerita, (2) menulis pesan-pesan, (3) menceritakan kembali suatu cerita, (4) melibatkan diri dalam permainan drama yang melibatkan kegiatan membaca dan menulis otentik, (5) belajar mengeja nama-nama orang, dan (6) mengenal tulisan yang ada di sekelilingnya.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar membaca menjadi menyenangkan apabila dilakukan dengan suasana yang santai, memperhatikan pengalaman emosi anak, serta penggunaan media akan mempermudah anak menangkap apa yang diajarkan.
Cara lain yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kemampuan membaca dini adalah melalui kegiatan bercerita. Sesuai dengan pendapat Goodman (Irawati, 2007 : 3) bahwa di negara maju dalam kelas-kelas rendah dan pendidikan prasekolah seperti di Eropa, Amerika dan Australia, kegiatan membacakan cerita diyakini dapat mengembangkan kemampuan berbahasa, dan mengajarkan baca-tulis. Hal ini biasa dilakukan dengan menggunakan sebuah Big Book (buku besar). Big Book merupakan buku cerita yang berkarakteristik khusus yang dibesarkan, baik teks maupun gambarnya, untuk memungkinkan terjadinya kegiatan membaca bersama (shared reading) antara guru dan anak. Buku ini mempunyai karakteristik khusus seperti penuh dengan warna-warni, gambar yang menarik, mempunyai kata yang dapat diulang-ulang, mempunyai plot yang mudah ditebak, dan memiliki pola teks yang berirama untuk dapat dinyanyikan. Mendukung pendapat Goodman, Purbo (2003 : 4) mengemukakan Bahwa : 
Selain bercerita pembelajaran membaca dapat dilakukan melalui kegiatan menempelkan gambar-gambar yang berhubungan dengan huruf atau tulisan pada ruang bermain, mencoba meniru bentuk lingkaran/garis atau huruf tertentu, mengajak anak menonton film yang bersifat mendidik sekaligus menghibur sehubungan dengan pelajaran baca tulis, bermain tebak-tebakan huruf, dan menelusuri bentuk huruf dengan jari.
Pendapat Goodman dan Purbo mengindikasikan bahwa media belajar dalam bentuk konkret dapat membantu untuk mengembangkan kemampuan membaca. Pembelajarannya pun tak luput dari unsur kesenangan dan bermain sehingga pada akhirnya belajar membaca bukanlah hal yang menakutkan dan menyeramkan, tetapi merupakan hal yang menyenangkan bagi anak.
Riset lebih lanjut dari Nicole Niamic (Irawati, 2007 : 3) menyatakan bahwa anak yang terbiasa membaca atau dibacakan buku sejak kecil cenderung berprestasi lebih baik ketika duduk di TK atau SD, memiliki kemampuan berkomunikasi lebih baik dibandingkan dengan anak yang hanya dibacakan buku beberapa kali saja dalam seminggu, serta memiliki kemampuan matematika lebih baik. Berdasarkan sumber dari www.balipost.co.id menunjukkan bahwa hasil tes awal kemampuan membaca anak SD/MI kelas I pada umumnya anak yang pernah masuk TK kemampuan membacanya lebih baik dibandingkan dengan anak yang tidak dari TK. Hal ini didukung oleh hasil penelitian terdahulu dari Tatat Hartati dan Oho Garda (Masitoh, 2002 : 7). Hasil penelitian Tatat Hartati (1998) menyimpulkan bahwa program membaca dini Steinberg efektif dan dapat digunakan untuk mengajar dan meningkatkan keterampilan membaca untuk anak usia prasekolah. Sedangkan hasil penelitian Oho Garda (1996) menyimpulkan bahwa menggambar dan bermain huruf dikatakan oleh penciptaan lingkungan yang kondusif, kegemaran baca tulis pada anak dapat dipupuk.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa anak yang diajari keterampilan membaca sejak usia dini menjadi individu yang dapat meraih banyak kesempatan berwawasan luas ketika masuk sekolah, dengan catatan pendekatan yang digunakan hendaknya sesuai dengan karakteristik perkembangan anak dan bahasa sebagai alat komunikasi.
Selain kegiatan-kegiatan membaca yang dirancang secara menyenangkan, kemampuan membaca dini juga di dukung oleh lingkungan yang kaya akan bahan bacaan. Solehuddin (2000 : 72) mengungkapkan bahwa : 
Untuk mengembangkan aspek keterampilan baca-tulis awal, para guru dan orang tua dapat melakukannya dengan menyediakan lingkungan kelas dan rumah yang kaya dengan bahan-bahan tulisan dan bacaan yang menstimulasi perkembangan bahasa dan keterampilan baca tulis anak dalam suatu konteks yang bermakna. Jadi, bila pengembangan membacanya dilakukan hanya dengan mengajarkan abjad, membunyikan huruf, suasana yang memaksa dan kurang menyenangkan, maka dinilai kurang tepat.
Lingkungan kelas yang kaya akan bahan bacaan dan tulisan di peroleh dari materi yang beragam untuk tujuan menulis, label dan kata-kata kunci di sekitar ruangan yang sejajar dengan mata anak-anak, memajang hasil karya anak di papan buletin sehingga anak dapat melihatnya, serta buku-buku bacaan di perpustakaan, Asosiasi Membaca Internasional (1999) menyarankan jumlah ideal buku di perpustakaan sekolah adalah 20 kali jumlah anak. Adapun untuk perpustakaan kelas idealnya ada tujuh buku untuk satu anak (Witdarmono, 2008 : 4). Sedangkan bahan bacaan di lingkungan rumah tidak berbeda jauh dengan bahan bacaan di sekolah. Lingkungan rumah dapat menyediakan kartu-kartu permainan huruf, buku-buku bergambar yang di dalamnya ada tulisan-tulisan pendek tentang gambar-gambar tersebut, buku cerita dan sebagainya.
Berdasarkan sudut pandang di atas pembelajaran membaca seyogyanya memperhatikan perkembangan anak, dirancang secara menyenangkan dan penciptaan lingkungan yang kondusif untuk belajar anak. Melalui bermain sambil belajar merupakan cara terbaik menuju kemampuan membaca dan menulis pada anak TK. Guru dan orang tua hendaknya saling bekerjasama untuk dapat memberikan cara belajar dan mengajar sesuai dengan kemampuan yang dimiliki anak.
Pada kenyataannya di lapangan, sebagian Taman Kanak-kanak menerapkan pembelajaran membaca yang kurang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik perkembangan anak. Guru menerapkan pembelajaran yang konvensional, dimana pembelajaran didominasi oleh guru {teacher centered), kurang memberikan kesempatan kepada anak untuk berekspresi, berkreasi dan bereksplorasi sehingga kurang merangsang anak dalam mengembangkan minat dan gairah untuk belajar, terpaku pada buku teks, mengerjakan soal (drilling) atau privat cepat membaca dan lingkungan belajar yang kurang sesuai, dimana anak merasa tidak nyaman dalam belajar, tidak akrab, membuat anak tertekan dan jenuh. Hal tersebut di dukung oleh pernyataan Solehuddin (2002 : 1) bahwa : 
Pembelajaran sering dipahami secara sempit dan terbatas pada kegiatan akademik membaca, menulis dan berhitung. Banyak diantara pendidik berlomba untuk cepat mencapai hasil belajar dalam arti sempit. Anak dipacu untuk cepat bisa membaca, menulis dan berhitung yang hasilnya direfleksikan dengan angka di rapor. Tingginya angka-angka rapor itulah yang pada akhirnya di anggap sebagai supremasi dari keberhasilan suatu lembaga pendidikan, termasuk lembaga pendidikan prasekolah. Tidak cukup di sekolah, di luar sekolah pun berjamur pula kegiatan-kegiatan kursus dan bimbingan tes.
Memperkuat pernyataan Solehuddin, Supriadi (2004 : 46) mengungkapkan bahwa : Kecenderungan salah kaprah dalam pendidikan prasekolah di Indonesia karena kuatnya tekanan dari lingkungan (tuntutan orang tua dan masyarakat) dan pandangan pendidik sendiri bahwa TK merupakan pendidikan prasekolah, maka fungsi TK pun lebih mengutamakan penyiapan anak untuk masuk SD daripada pengembangan kepribadian secara utuh. Karena di SD anak akan diajari materi akademis, maka kegiatan pembelajaran di TK pun sarat dengan muatan akademis.
Akibatnya misi utama TK sebagai wahana pengembangan seluruh aspek kepribadian anak menjadi terkalahkan oleh kepentingan yang pragmatis.
Sutomo (2004 : 5) menyatakan bahwa sebagian besar bangsa Indonesia tidak banyak membaca dan belajar, sehingga sulit untuk mengerti, menguasai, mentransfer serta menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berbagai sumber data yang ditemukan cukup memberikan gambaran bahwa sumber daya manusia Indonesia memiliki mutu yang rendah. Hal ini diindikasikan dengan angka partisipasi buta huruf mencapai 9, 8% dan kemampuan baca tulis di Indonesia berada di urutan ke dua terendah (36%) setelah negara Venezuela (33, 9%). Ironisnya, Joni (Irawati, 2007 : 1) International Education Achievement (IEA) melaporkan bahwa kemampuan membaca anak-anak SD Indonesia berada di urutan 38 dari 39 negara yang diteliti. Di dukung pula oleh responden hasil polling milis Nakita (Maulani, 2007) 61, 5% orang tua merasa gelisah kalau anaknya belum bisa membaca, menulis dan berhitung. Hal ini terjadi kemungkinan besar karena tuntutan dari sebagian orang tua yang menginginkan anaknya untuk bisa membaca, menulis, dan berhitung.
Hal lain yang tampak dengan sistem pendidikan di sebagian lembaga sekolah salah satunya taman kanak-kanak yang lebih mengutamakan kemampuan anak dalam membaca menulis dan berhitung, dimana anak dibawa ke dalam suasana formal yang menitikberatkan pada orientasi persiapan masuk sekolah. Kadang-kadang sistem pendidikan seperti ini ditemukan pola-pola pembelajaran yang memasung kebebasan anak untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dengan berbagai aturan-aturan yang kaku sehingga anak sulit untuk mengembangkan seluruh potensinya. Dengan sistem pendidikan seperti ini, maka potensi-potensi anak kurang berkembang dan sering kali kurang diperhatikan. Ironisnya lagi sebagian orang tua menuntut lembaga pendidikan tempat anak belajar tersebut memberikan les calistung sebagai persiapan masuk SD. Padahal tidak seharusnya anak TK bisa membaca menulis, dan berhitung dengan memaksakan anak untuk memiliki kemampuan yang seharusnya baru diajarkan di SD. Hal ini membuat aktivitas bermain anak yang seyogyanya dominan untuk usia mereka, menjadi berkurang atau bahkan terabaikan. Kondisi seperti ini dirasakan kurang sesuai dengan prinsip pembelajaran di TK yaitu bermain sambil belajar. Padahal masa TK adalah masa ketika anak-anak ingin bermain, bereksplorasi, berimajinasi, serta bereksperimen dengan melakukan banyak kesalahan dan belajar dari kesalahannya.
Melihat fenomena yang terjadi di lapangan khususnya di TK X dari hasil diskusi dengan guru kelas bahwa kemampuan membaca dini masih rendah dan belum optimal. Hal ini terlihat dalam anak-anak masih sedikit yang mampu mengenal simbol-simbol huruf untuk persiapan membaca, pembelajaran masih menggunakan metode yang konvensional. Metode yang digunakan sebatas ceramah, bercakap-cakap dan pemberian tugas. Materi disampaikan dengan bantuan buku-buku latihan membaca, sehingga pembelajaran membaca kurang menyenangkan. Adanya permasalahan ini, sudah selayaknya para pendidik diantaranya guru memikirkan metode yang tepat dalam pembelajaran membaca, karena metode pembelajaran merupakan salah satu faktor penentu dalam keberhasilan suatu program pembelajaran. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Djunaidi, (1987 : 27) bahwa " Berhasil tidaknya suatu program pembelajaran bahasa seringkali di nilai dari segi metode yang digunakan, karena metodelah yang menentukan isi dan cara mengajar bahasa".
Metode yang baik adalah metode yang dapat membuat anak aktif untuk terus mengembangkan pengetahuannya secara mandiri. Tentunya metode pembelajaran membaca pada anak TK memiliki karakteristik tersendiri. Metode membaca dini seyogyanya disesuaikan dengan gaya dan kebutuhan anak. Hal ini mengingat bahwa setiap anak mempunyai kepekaan cara membaca yang berbeda satu sama lain. Aktivitas membaca dilakukan dalam suasana bermain sambil belajar, dimana anak tidak dibebani dengan aktivitas pembelajaran formal yang menegangkan karena mengingat kemampuan anak untuk berkonsentrasi pada satu topik bahasan biasanya masih sangat terbatas.
Salah satu metode pembelajaran membaca dini adalah metode Montessori. Hainstock (2008 : 32) menyatakan bahwa metode Montessori adalah suatu bentuk pembelajaran yang menggunakan pendekatan individual, dimana anak memimpin atau mengatur belajarnya sendiri, memanfaatkan media pembelajaran yang dapat diawasi dan diperbaiki bila salah oleh mereka sendiri, guru cukup memantau kapasitas dan gaya anak. Metode ini di desain untuk merangsang minat anak dalam belajar, menggali segala potensi dan kemampuan anak baik fisik maupun psikisnya. Metode Montessori khususnya pembelajaran membaca, membiarkan anak belajar membaca sesuai dengan cara dan kesempatan yang ada. Inisiatif belajar anak didukung oleh bimbingan guru yang menjadikan anak bisa membaca (melek huruf) secara bertahap. Alat peraga atau alat permainan yang dirancang menunjang belajar abstrak melalui pengalaman sensorik. Interaksi dengan alat peraga dapat memperkenalkan, memperkuat ingatan anak terhadap huruf dan kata serta memberikan fondasi kongkret untuk membangun pengetahuan abstrak. Anak terus di tantang dengan materi dan latihan yang menarik dan semakin kompleks, memperhatikan keunikan setiap anak dan menghindari sekolah yang formal sampai fondasi belajar anak benar-benar kokoh.
Berkaitan dengan permasalahan di atas, pembelajaran berbahasa salah satunya kemampuan membaca dini di pandang perlu untuk diperbaiki proses dan hasilnya. Upaya yang dapat dilakukan salah satunya melalui metode Montessori sebagai metode alternatif untuk memperbaiki kondisi pembelajaran yang ada. Melalui metode ini pembelajaran membaca dini di TK X diharapkan mengalami peningkatan dan perubahan yang lebih baik. Berdasarkan uraian tersebut peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai "PENGGUNAAN METODE MONTESSORI DALAM UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA DINI".

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, batasan masalah dalam penelitian ini adalah "apakah penggunaan metode Montessori dapat meningkatkan kemampuan membaca dini di TK ?". Adapun yang menjadi fokus masalah dalam penelitian ini adalah : 
1. Bagaimana kondisi objektif kemampuan membaca dini di TK X ?
2. Bagaimana implementasi penggunaan metode Montessori di TK X ?
3. Bagaimana peningkatan kemampuan membaca dini anak TK X setelah menggunakan metode Montessori ?

C. Tujuan Penelitian
1. Secara umum penelitian ini bertujuan : untuk mengetahui penggunaan metode Montessori dalam upaya meningkatkan kemampuan membaca dini.
2. Secara khusus penelitian ini bertujuan : 
a. Untuk mengetahui kondisi objektif kemampuan membaca dini di TK X
b. Untuk mengetahui implementasi penggunaan metode Montessori di TK X
c. Untuk mengetahui peningkatan kemampuan membaca dini anak TK X setelah menggunakan metode Montessori

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat : 
1. Bagi peneliti.
Dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang metode pembelajaran pada umumnya, dan penggunaan metode Montessori dalam meningkatkan kemampuan membaca dini anak TK pada khususnya.
2. Bagi Guru.
Menjadi bahan masukan dalam menggunakan metode alternatif pembelajaran bahasa untuk meningkatkan kemampuan membaca dini anak TK.
3. Bagi Lembaga Pendidikan.
Menjadi bahan rujukan untuk menggunakan metode alternatif sebagai metode pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan membaca dini.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »