Search This Blog

TESIS BUDAYA KERJA, KEMAMPUAN DAN KOMITMEN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI BIRO KEPEGAWAIAN SEKRETARIAT DAERAH PROVINSI


(KODE : PASCSARJ-0154) : TESIS BUDAYA KERJA, KEMAMPUAN DAN KOMITMEN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI BIRO KEPEGAWAIAN SEKRETARIAT DAERAH PROVINSI (PROGRAM STUDI : MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA)


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Perkembangan lingkungan strategis nasional dan internasional yang dihadapi dewasa ini dan di masa datang mensyaratkan perubahan paradigma kepemerintahan, pembaruan sistem kelembagaan, peningkatan kompetensi sumber daya manusia dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan bangsa serta hubungan antar bangsa yang mengarah pada terselenggaranya kepemerintahan yang baik (good governance).
Fenomena perubahan mendasar yang dimanifestasikan dengan melahirkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang nomor 43 tahun tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian telah memberikan arah perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kepegawaian pegawai negeri sipil yang mempunyai implikasi langsung terhadap kesiapan pengembangan sumber daya manusia, dan ketersediaan sumber daya lainya.
Perubahan tersebut membawa dampak pada perubahan budaya kerja, mau tidak mau harus dihadapi dan serangkaian adaptasi harus dilakukan terhadap keberagaman (diversitas) yang mengacu pada perbedaan atribut demografi seperti ras, kesukuan, gender, usia, status fisik, agama, pendidikan, atau orientasi seksual.
Selain keberagaman (diversitas), tantangan yang cukup kompleks adalah bagaimana mengubah budaya kerja lama yang sudah tidak sesuai lagi dengan nilai-nilai budaya kerja baru pada seluruh pegawai atas keinginan secara sukarela dan partisipasi pegawai. Orang tidak akan berubah dengan sendirinya hanya karena diperintah, dan hanya akan berubah kalau dia menginginkannya secara suka rela, karena menyadari. Dan orang yang bersedia meninggalkan cara lama sangat sedikit jumlahnya bahkan ketika situasi menjamin sekalipun (O'Neil, Osborn dan Plastrik, 2000 : 241). Kenyataan selama ini banyak para pemimpin dan aparatur negara bukan hanya sulit untuk berubah tapi juga sering mengabaikan nilai-nilai moral dan budaya kerja aparatur negara.
Berdasarkan evaluasi yang dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri, selain organisasi pemerintah daerah sudah terlalu banyak, pegawai negeri sipil banyak yang nganggur, hanya mondar-mandir dan membaca koran hingga jam kerja selesai (Jawa pos, Oktober 2003 : 10). Aktivitas yang menunjukkan nuansa kesibukan kerja hanya tampak di satuan kerja yang "ada proyeknya". Sehingga tidak salah jika ada sementara pengamat yang menyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil (PNS) lebih cenderung berorientasi pada proyek ketimbang melaksanakan tugas-tugas rutinnya (Yudoyono, 2002 : 64).
Disamping itu, banyak fakta menunjukkan bahwa 80 hingga 90 persen dana alokasi yang seharusnya diperuntukkan bagi pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana publik, habis untuk membiayai birokrasi dan legislasi pemerintahan daerah (Jawa Pos, 20 Oktober 2003 : 10). Lebih menyedihkan lagi ternyata sebagian besar tidak lebih sebagai sarana "bargaining" politik untuk bagi-bagi kekuasaaan.
Sepertinya tindakan menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan sulit diatasi bahkan cenderung mengarah menjadi budaya baru. Hal ini menunjukkan bahwa budaya kerja pegawai negeri sipil belum terlalu kuat dan masih jauh dari harapan.
Secara tidak sengaja atau tanpa disadari, nampaknya sebagian besar pegawai negeri sipil telah larut dalam kesibukan sehari-hari untuk memperbesar kekuasaan, wewenang, peran dan mengejar target fisik sambil memanfaatkan peluang di antara celah-celah ketentuan formal dan prosedur administratif yang berbeli-belit ciptaannya sendiri. Dan telah sekian lama aparat birokrasi lari di tempat hingga "loyo" kehabisan energi, karena mengabaikan nilai-nilai dasar budaya kita sendiri yang telah diajarkan oleh orang tua, guru, ulama/pendeta dan para pejuang kita. (Susilo, 2000 : 3).
Potret manusia Indonesia secara jelas diungkapkan oleh budayawan Mochtar Lubis pada tahun 1977, meskipun tidak menyebut ciri-ciri manusia Indonesia tersebut sebagai budaya kerja, tetapi sangat sulit dipungkiri bahwa apa yang disebutnya merupakan warna dasar budaya kehidupan aktual dan perilaku kerja sehari-hari kita. Enam ciri manusia Indonesia yang di potret : 1) Munafik atau hipokrit. 2) Enggan bertanggung jawab. 3) Berjiwa feodal. 4) Percaya takhyul. 5) Artistik. 6) Berwatak lemah. (Lubis dalam Sinamo, 2002 : 61-63).
Seiring dengan itu, dari kenyataan yang ada selama ini pegawai di Biro Kepegawaian ternyata hampir tak pernah bekerja serta bergerak secara impulsive atau terarah. Mereka bekerja seenaknya sendiri dengan cara kerja yang hanya asal kerja, acak-acakan, semrawut, dan fungsi manajemen hampir tidak berlaku. Disiplin kerja luntur. Banyak jam kerja yang tidak diefektifkan dengan tugas pekerjaannya.
Sikap-sikap bekerja ringkas, rapi, resik, rawat, rajin (5 R) dan lain sebagainya belum memuaskan. Selain itu belum adanya kesadaran bahwa suatu keberhasilan kerja berakar pada nilai-nilai yang dimiliki dan perilaku yang menjadi kebiasaan. Baginya yang penting adalah menerima gaji. Sehingga kinerja pelayanan sektor aparatur dan pengawasan masih di bawah dari harapan yang diinginkan. Hal ini dapat di lihat dari data Biro Kepegawaian dalam laporan pertanggungjawaban akhir tahun Kepala Daerah Tahun Anggaran 2003. "Meskipun demikian diakui bahwa secara umum kinerja pelayanan umum aparatur masih di bawah dari harapan yang diinginkan".
Untuk menentukan sejauh mana perlu melakukan perubahan, langkah pertamanya adalah dengan menganalisis budaya yang hidup dalam satuan kerja atau organisasi untuk memutuskan apa saja yang perlu diubah dan kedua adalah mengembangkan dan mengimplementasikan strategi perubahan tersebut (McKenna dan Beech, 2000 : 77, Pragantha, 1995). Namun seringkali pula ketika perubahan budaya dilakukan, kinerja yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Bahkan (Carnal, 1995, dalam Sofo : 349) akan mengganggu dan merusak, mengaduk-aduk yang tetap dan stabil sebelumnya (status quo). Sejumlah alasan mengapa hal ini terjadi; salah satunya adalah organisasi tidak mampu mengubah fundamental psikologis pegawainya untuk berubah (Riza, 1998).
Dekonstruksi budaya tersebut hanya akan mungkin jika seluruh komponen bersedia mengubah dirinya dalam konstruk budaya kerja baru, dan adanya dukungan pimpinan puncak untuk memudahkan penyebaran nilai-nilai yang diarahkan kepada terciptanya pegawai negeri sipil profesional, bermoral dan bertanggung jawab serta memiliki persepsi tepat terhadap pekerjaan. Perubahan budaya juga harus mengindahkan kode etik tertentu, baik dalam melancarkan perubahan maupun dalam menghadapi pihak yang menentang perubahan. (Sathe, 1985 : 380 dalam Ndraha, 2003 : 94). Oleh O'Leary, dalam Osborne dan Plastrik (2000 : 259) "Mengubah budaya pemerintah adalah seperti membangun Tembok Besar Cina".
Harus disadari pula bahwa budaya erat kaitannya dengan manusia (Kisdarto : 2000). Kuatnya budaya kerja akan terlihat dari bagaimana pegawai memandang budaya kerja sehingga berpengaruh terhadap perilaku yang digambarkan memiliki motivasi, dedikasi, kreativitas, kemampuan dan komitmen yang tinggi. Semakin kuat budaya kerja, semakin tinggi komitmen dan kemampuan yang dirasakan pegawai. Makin banyak pegawai yang menerima nilai-nilai makin tinggi kemampuan dan komitmen mereka pada nilai-nilai itu makin kuat budaya tersebut (Robbins, 1996 : 292). Menurut Wolsely dan Campbell (Prasetya, No. 01, Januari 2001 : 12) orang yang terlatih dalam budaya kerja akan menyukai kebebasan, pertukaran pendapat, terbuka bagi gagasan baru dan fakta baru, memecahkan permasalahan secara mandiri, berusaha menyesuaikan diri antara kehidupan pribadi dan sosialnya.
Pentingnya pembudayaan, pengetahuan dan pendidikan juga dikatakan BJ.Habibie (Kompas, 19 Februari 2004 : 9) bahwa dalam proses pembudayaan, individu menerima transfer nilai-nilai budaya dan agama sehingga yang bersangkutan memiliki perilaku sopan, berbudaya, bermoral, dan beretika. Dan melalui proses pengetahuan, seseorang dapat memiliki budaya bebas berpikir, menilai, mengkritik, dan bebas dikritik dalam mencari ilmu. Adapun lewat pendidikan, memungkinkan seseorang dapat memahami dan memiliki dasar ilmu pengetahuan yang dibutuhkan untuk menjadi terampil dalam suatu bidang.
Mengingat kompleksitas dan pluralitas kondisi masyarakat X, maka aparatur dalam melaksanakan tugas kenegaraan senantiasa meningkatkan kualitas moral, akhlak, iman dan tentunya juga harus diikuti peningkatan kemampuan dan komitmen yang didasari dengan semangat pengabdian yang berlandaskan kejujuran dan keiikhlasan dalam pelayanan publik. (Soenarjo, dalam Prasetya No. 7, Juli 2003).
Untuk itu sebagai unit kerja yang melaksanakan tugas pelayanan dan pembinaan dalam bidang kepegawaian di lingkungan Pemerintah Provinsi X, Biro Kepegawaian tidak terlepas dari nilai-nilai budaya kerja yang ditanamkan dan mempersepsikan nilai-nilai tersebut sehingga mampu mengubah sikap dan perilaku pegawai khususnya di Biro Kepegawaian guna menghadapi tantangan masa depan. Dan melakukan perubahan cara kerja lama menjadi cara kerja baru dalam rangka meningkatkan kualitas dan produktivitas sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (Instruksi Gubernur X No. 4 Tahun 2002).
Dari hasil program budaya kerja tahun 2003 mencerminkan budaya kerja (kejujuran, ketekunan, kreativitas, kedisiplinan dan iptek) belum menunjukkan kemampuan dan komitmen pegawai sesuai dengan apa yang diharapkan, seperti;
- Kurangnya komitmen pegawai terhadap visi dan misi organisasi (28,8%)
- Sikap pegawai yang tidak memegang teguh amanah dan komitmen dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan sehari-hari. (10,68%)
- Masih sering terjadi penyimpangan dan kesalahan (deviasi dan distorsi) dalam kebijakan kepegawaian yang berdampak luas kepada masyarakat. (4,39%)
- Banyaknya sorotan masyarakat terhadap kemampuan pegawai (29,88%)
- Banyaknya pegawai yang sering mangkir, datang terlambat, pulang lebih awal, menunda-nunda pekerjaan dan lain-lain. (26,25%)
Mengingat budaya kerja merupakan salah satu elemen kunci pengelolaan sumber daya manusia yang menentukan keberhasilan dan kehancuran (Sulaksono, 2002), maka penting untuk menganalisis budaya kerja pegawai sebagai upaya membangun kemampuan dan komitmen pegawai di Biro Kepegawaian. Dan salah satu masalah yang harus diperhatikan oleh setiap aparatur adalah kemampuan (Soekarwo, dalam Prasetya No. 3, Maret 2004), serta kurangnya komitmen, profesionalisme dalam tugas dengan pelaksanaan kebijakan (Tamin, 2001)
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini akan menganalisis budaya kerja pegawai dalam membangun kemampuan dan komitmen pegawai dengan melihat hubungan tentang budaya kerja, kemampuan dan komitmen pegawai. Hal ini dilandasi fakta bahwa Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara RI telah mengeluarkan Keputusan Nomor 25/KEP/M.PAN/4/2002 tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara. Keputusan tersebut kemudian ditindak lanjuti dengan Instruksi Gubernur X Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Program Budaya Kerja di Lingkungan Pemerintah Provinsi X.

1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka pertanyaan dalam penelitian ini dapat dirumuskan :
1.2.1 Apakah budaya kerja yang terdiri dari budaya kejujuran, budaya ketekunan, budaya kreativitas, budaya kedisiplinan, budaya iptek berpengaruh terhadap kemampuan pegawai negeri sipil di Biro Kepegawaian Sekretariat Daerah Provinsi X ?
1.2.2 Apakah budaya kerja yang terdiri dari budaya kejujuran, budaya ketekunan, budaya kreativitas, budaya kedisiplinan, budaya iptek berpengaruh terhadap komitmen pegawai negeri sipil di Biro Kepegawaian Sekretariat Daerah Provinsi X ?

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Menganalisis pengaruh budaya kerja yang ada terdiri dari kejujuran, ketekunan, kreativitas, kedisiplinan dan iptek terhadap kemampuan pegawai negeri sipil
1.3.2 Menganalisis pengaruh budaya kerja yang ada terdiri dari kejujuran, ketekunan, kreativitas, kedisiplinan dan iptek terhadap komitmen pegawai negeri sipil.

1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Sebagai masukan dan pertimbangan bagi Pemerintah Provinsi X khususnya Biro Kepegawaian Sekretariat Daerah Provinsi dalam menerapkan nilai-nilai budaya kerja.
1.4.2 Sebagai sumbangan pemikiran bagi dunia ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang pengembangan sumber daya manusia.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »